Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 ALERGI MAKANAN 1. Pengertian (Definisi) • • • 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Pemeriksaan Penunjang 5. Kriteria Diagnosis 6. Diagnosis 7. Diagnosis Banding 8. Terapi • Alergi makanan didefinisikan sebagai salah satu bentuk reaksi simpang yang terjadi dari respon imun spesifik yang timbul secara reproduktif akibat paparan dari suatu bahan makanan. Reaksi simpang terhadap makanan sendiri dapat terjadi baik melalui proses imunologik maupun non imunologik. Intoleransi makanan merupakan reaksi terhadap makanan yang bukan reaksi imunologik, misalnya reaksi toksik, reaksi metabolik, dan reaksi indiosinkrasi. Gejala yang timbul disebabkan alergi makanan bisa terjadi pada berbagai organ sasaran dan dapat dibagi sesuai waktu. Gejala immediate timbul dalam waktu menit sampai jam setelah mengkonsumsi bahan makanan, sedangkan gejala delayed terjadi dalam waktu beberapa jam sampai hari. Kejadian berulang dengan paparan alergen makanan yang sama. Organ sasaran bisa berpindah-pindah, gejala sering kali sudah dijumpai pada masa bayi. Adanya riwayat keluarga yang menderita alergi • • • Kulit Eritema, Gatal, Urtikaria, Erupsi morbiliformis, Angioedem, Flushing, Erupsi morbiliformis, Angioedem, Eksim Mata Gatal, Eritema konjungtiva, Produksi air mata berlebihan, Edem periorbita, Edem periorbita Saluran nafas atas Nasal kongestif, Gatal, Hidung berair, Bersin, Edem laring, Suara sengau, Batuk kering Saluran nafas bawah Batuk, Dada terasa menyempit, Sesak, Wheezing, Retraksi interkostal, Pemakaian otot nafas tambahan Mulut Angioedem (lidah, palatum, bibir), Mulut gatal, Lidah bengkak Saluran cerna bawah Nausea, Kolik abdomen, Refluks, Muntah, Diare, Nyeri perut, Hematochezia, Iritabel dan penolakan makanan dengan penurunan berat badan Kardiovaskular Takikardi, Hipotensi, Pusing, Lemas, Penurunan kesadaran • Uji kulit : sebagai pemeriksaan penyaring sensitisasi terhadap suatu alergen (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan) dengan positive predictive value (PPV) > 95%. • Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan. • IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler. Sedangkan IgE spesifik untuk menentukan spesifikasi terhadap suatu alergen bahan makanan tertentu. • Endoskopi dan biopsi: prosedur pemeriksaan untuk saluran cerna untuk mengetahui organ sasaran secara histologis. 1. Anamnesa 2. Pemeriksaan fisik 3. Pemeriksaan penunjang 4. Food challenge 1. Anamnesa: berdasarkan waktu, paparan berulang, target organ, riwayat atopi 2. Pemeriksaan fisik sesuai organ yang terkena 3. Pemeriksaan penunjang: uji kulit, darah tepi, IgE total/spesifik endoskopi dan biopsi 4. Food challenge: Diet dilakukan selama 3 minggu, setelah itu dilakukan provokasi dengan 1 bahan makanan setiap minggu. Makanan yang menimbulkan gejala alergi pada provokasi ini dicatat. Disebut alergen kalau pada 3 kali provokasi menimbulkan gejala alergi. Waktunya tidak perlu berturut-turut. Jika dengan salah satu regimen diet tidak ada perbaikan padahal sudah dilakukan dengan benar, maka diberikan regimen yang lain. Selanjutnya diet yang berikutnya juga dilakukan selama 3 minggu sebelum dilakukan provokasi. 1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah 2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif 3. Reaksi karena gangguan psikologis Identifikasi alergen dan eliminasi (Penghindaran) Alergen harus dihindari sebaik mungkin dan makanan-makanan yang tergolong hipoalergenik dipakai sebagai pengganti. Pengobatan Kromolin, Nedokromil. Glukokortikoid. Beta adrenergic agonist Metil Xantin Simpatomimetika Leukotrien antagonis H1-Reseptor antagonis Probotik Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 1 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 ALERGI MAKANAN 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan 1. 2. 3. Penghindaran terhadap alergen Kontrol teratur ke poli alergi Dukungan keluarga terhadap penderita. Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fumgsionam : dubia ad bonam IV C 1. Prof.DR.Ariyanto Harsono,dr,SpAK 2. DR.Anang Endaryanto,dr,SpAK 3. Zahrah Hikmah,dr,SpA 4. Azwin Mengindra Putera,dr,SpA Kekambuhan dan beratnya gejala (tingkat kepatuhan penderita). 80% Pasien sembuh dalam waktu 7 hari. 1. Boyce A. J, et al. Guidelines for the diagnosis and management of food allergy in the United States: report of the NAID sponsored expert panel.J Allergy Clin Imunol 2010;126(6): S5-58 2. Burks A. W, et al. NIAID Sponsored 2010 Guidelines for managing food allergy: applications in the pediatric population. Pediatrics 2011;128;955-65 3. Dupont C. Food Allergy: Recent advances in pathophysiology and diagnosis. Ann Nutr Metab 2011;59(suppl 1):8–18. 4. Gerez I F A, Shek L P C, Chng H H, Lee B W. Diagnostic tests for food allergy. Singapore Med J 2010; 51(1): 4-9 5. Gourbeyre P, Denery S, Bodinier M.Probiotics,prebiotics, and synbiotics: impact on the gut immune system and allergic reaction J.Leukoc.Biol. 2011;89:685-95. 6. Harsono A. Alergi makanan. Dalam: Arwin AP Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati. Penyunting.Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak.Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia,2007.h 270-84. 7. Wang j, Sampson H. A. Food allergy: recent advances in pathophysiology and treatment. Allergy Asthma Immunol Res. 2009 October;1(1):19-29. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 2 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 ALERGI OBAT 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Pemeriksaan penunjang 5. Kriteria Diagnosis 6. Diagnosis 7. Diagnosis banding 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis Suatu respon abnormal yang terkait secara imunologis terhadap suatu obat pada seorang individu yang telah tersensitisasi. Gambaran terperinci gejala reaksi obat • Lama dan urutan gejala • Terapi yang telah diberikan • Outcome Hubungan antara waktu pemberian obat dan gejala • Apakah penderita sudah pernah mendapatkan obat yang sama sebelum terapi sekarang? • Berapa lama penderita telah mendapatkan obat sebelum munculnya reaksi? • Kapan obat dihentikan? • Apa efeknya? Keterangan keluarga atau dokter yang merawat Apakah ada foto pasien saat mengalami reaksi? Apakah ada penyakit lain yang menyertai? Daftar obat yang diminum pada waktu yang sama • Riwayat sebelumnya • Reaksi obat lainnya • Alergi lainnya • Penyakit lainnya Gejala sistemik: Anafilaksis, serum sickness, SLE like, scleroderma like, drug rash with eosinophilia systemic symptoms (DRESS), nekrolisis epidermal toksik, sindroma steven johnson, mikroskopik polyangitis Gejala spesifik pada organ: Kulit: Urtikaria/angioedema, pemphigus, purpura, ruam makulopapular, dermatitis kontak, foto dermatitis, acute generalized exanthematouspustulosis (AGEP), fixed drug eruption (FDE), eritema multiformis, fibrosis sistemik nefrogenik Paru: Asma, batuk, pnemoni interstitial, organizing pneumoni Hati: hepatitis kolestatik, hepatitis hepatoseluler Ginjal: nefritis interstitial, nefritis membraneous Darah:Anemia hemolitik, trombositopenia, netropenia Jantung: Valvular diseases Muskuloskeletal/neurological: polymiositis. meningitis aseptik, myasthenia gravis Uji in vivo • Uji kulit • Uji provokasi untuk diagnostik pasti Uji in vitro. • IgG dan IgM spesifik • Uji aglutinasi dan lisis sel darah merah • Uji pelepasan histamin • Uji sensitisasi jaringan • IgE RAST Anamnesa Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang 1. Anamnesa 2. Pemeriksaan fisik. 3. Pemeriksaan penunjang: in vivo dan in vitro 1. Alergi makanan 2. Infeksi Penghentian obat yang dicurigai Pengobatan • Antihistamin • Adrenalin • Pengobatan suportif • Kortikosteroid 1. Penghentian obat 2. Memberitahu riwayat obat penyebab alergi pada tenaga kesehatan saat berobat Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fumgsionam : dubia ad bonam IV C 1. Prof.DR.Ariyanto harsono,dr,SpAK 2. DR.Anang Endaryanto,dr,SpAK 3. Zahrah Hikmah,dr,SpAK Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 3 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 ALERGI OBAT 4. 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan Azwin Mengindra Putera,dr,SpAK Tingkat kekambuhan gejala alergi (kepatuhan penderita). 80% Pasien sembuh dalam waktu 10 hari. 1. Akib AAP, Takumansang DS, Sumadiono, Satria CD. Alergi obat. Dalam: Arwin AP Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati. Penyunting. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak.Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia,2007.h 295-307. 2. Alergi obat.Dalam: Antonius H. Pudjiaadi, Badriul Hegar, Setyo Handryastuti, Nikmah Salamia Idris, Ellen P. Gndaputra, Eva Devita Harmoniati. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Dokter Indonesia,2010.h 1-4 3. Mirakian R, et al. BSACI guidelines for management of drug allergy. J Clin Exp Allergy 2008,39,43-61 4. Dowling P.J, et al. Drug allergy: an updated practice parameter. Ann Allergy Asthma Immunol. 2010;105: 1-78 Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 4 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 RINITIS ALERGI 1. Pengertian (Definisi) Gangguan fungsi pernafasan akibat inflamasi pada saluran hidung diakibatkan paparan alergen yang diperantarai IgE. 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Pemeriksaan penunjang 5. Kriteria Diagnosis 6. Diagnosis 7. Diagnosis banding 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan Keluhan pilek berulang atau menetap, rinorea, gatal hidung, bersin-bersin, sumbatan hidung, sering bernafas melalui mulut pada penderita dengan riwayat keluarga atopi. Bila parah terdapat gangguan tidur, gangguan sekolah. Rhinorea, adenoid face, maloklusi gigi, allergic gape, allergic shiners, transverse nasal crease, edema konjungtiva, mata gatal dan kemerahan. Sekret hidung jernih, membrane mukosa edema, basah dan kebiru-biruan (boggy and bluish). 1. Uji kulit goresan 2. IgE total, IgE spesifik, 3. Eosinofil hapusan mukosa hidung. 1. Anamnesa 2. Pemeriksaan fisik 3. Penunjang 1. Anamnesa: pilek berulang dengan riwayat atopi 2. Pemeriksaan fisik: seperti dijelaskan di atas 3. Pemeriksaan penunjang: Uji kulit, IgE total/spesifik, eosinofil pada hapusan mukosa hidung 1. Rinitis vasomotorik 2. Rinitis bakterial 3. Rinitis virus 4. Abnormalitas anatomis kongenital terutama diketahui sejak lahir 5. Benda asing Penghindaran alergen Farmakoterapi • Antihistamin H1 (Oral, Intranasal, Intraokuler) • Kortikosteroid intranasal • Kromolin (Intranasal, Intraokuler) • Dekongestan (Intranasal, Oral) • Antikolinergik • Antilekotrien Imunoterapi 1. Penghindaran Alergen 2. Pengobatan memerlukan waktu yang lama 3. Pendidikan penggunaan obat harus benar (kortikosteroid hirupan atau semprotan) Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fumgsionam : dubia ad bonam IV C 1. Prof.DR.Ariyanto Harsono,dr,SpAK 2. DR.Anang Endaryanto,dr,SpAK 3. Zahrah Hikmah,dr,SpA 4. Azwin Mengindra Putera,dr,SpA Gejala semakin memberat atau tidak sehingga mempengaruhi kualitas hidup (sekolah, sosial). 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 5 hari. 1. Asha’aari A Z A, et al. Comparison of Serum Specific IgE with Skin Prick Test in the Diagnosis of Allergy in Malaysia. Med J Malaysia 2011:6(3):202-6 2. Bousquet J, et al. Allergic rhinitis management pocket reference 2008. Allergy 2008: 63: 990–996 3. Gerez I F A, Shek L P C, Chng H H, Lee B W. Diagnostic tests for food allergy. Singapore Med J 2010; 51(1): 4-9 4. Gourbeyre P, Denery S, Bodinier M.Probiotics,prebiotics, and synbiotics: impact on the gut immune system and allergic reaction J.Leukoc.Biol. 2011;89:685-95. 5. Lim M Y, Leong J L. Allergic rhinitis: evidence-based practice. Singapore Med J 2010; 51(7) : 542 6. Munasir Z, Rakun M.W. Rinitis Alergik. Dalam: Arwin AP Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati. Penyunting.Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak.Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia,2007.h 246-52. 7. Oliver P, Raapc U, Holza M, Hörmannb K, Klimeka L. Pathophysiology of itching and sneezing in allergic rhinitis. Swiss Med Wkly 2009;139(3–4):35 – 40 Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 5 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 ARTHRITIS IDIOPATIK JUVENIL 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. PemeriksaanFisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. PemeriksaanPenunjang Arthritis Idiopatik Juvenile(AIJ) adalah radang sendi tanpa penyebab yang jelas (idiopatik) dengan durasi penyakit paling sedikit 6 minggu serta pada anak berusia kurang dari 16 tahun. • Gejala morning stiffness atau fenomena gel (kekakuan setelah duduk atau tidak aktif dalam jangka waktu lama). Keluhan atralgia yang sering terjadi di siang hari. Gejala lainya itu anak mendadak lemas di pagi hari ataupun setelah tidur siang dan membaik selang beberapa waktu tanpa diobati. • Keluhan nyeri sendi mungkin tidak dominan tetapi anak sering berhenti menggunakan sendi secara normal (misal: terjadi kontraktur atau lemas) tanpa mengeluh sakit. Anak AIJ sering absen dari kegitan sekolah dan olahraga, ini juga mencerminkan keparahan penyakit atau kekambuhan AIJ. • AIJ subtipesistemik ditandai dengan demam yang spiking dan terjadi 1-2 kali setiap hari, pada waktu yang sama, dengan suhu yang dapat kembali normal ataupun di bawah normal. Pola demam ini sangat khas dan tidak didapatkan pada penyakit infeksi, keganasan ataupun Kawasaki. AIJ subtipesistemik biasanya disertai ruam berwarna salmon pada tubuh dan ektremitas. • Sedangkan yang tipe psoriasis arthritis dapat menunjukkan gejala psoriasis yang khas tetapi kadang manifestasinya juga tidak jelas. Yang harus diperhatikan adalah adanya gejala dactylis pada kuku anak. • Subtipeentesitis sering kali muncul dengan rasa sakit setelah latihan ataupun pada malam hari. Perhatian harus diberikan bila anak merasa nyeri pada pantatdan punggung yang membaik dengan aktivitas. Anak-anak ini tidak bisa berbaring di tempat tidur sepanjang pagi tapi harus bangun karena sakit punggung. Klinis Diagnosis terutama berdasarkan klinis. Penyakit ini paling sering terjadi pada umur 1-3 tahun. Nyeri ekstremitas seringkali menjadi keluhan utama pada awal penyakit. Gejala klinis yang menyokong kecurigaan ke arah AIJ yaitu kekakuan sendi pada pagi hari, ruam rematoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal, nodul rematoid, tenosinovitis. Dan tanda-tanda penyakit lain penyebab nyeri sendi dapat disingkirkan. Berdasarkan : 1. GejalaKlinis 2. Pemeriksaan lab 3. Pemerikasaanthoraksfoto Maka AIJ dibagi dalam beberapa golongan: 1. Sistemik 2. Oligoarthritis a) Persisten b) Extended 3. Poliarthritis (factor reumatoid negative) 4. Poliarthritis (faktor rheumatoid positif) 5. Artritis psoriatic 6. Artritisterkaitentesitis 7. Artritis lain-lain a) Tidak memenuhi katergori b) Memenuhi lebih dari satu kategori ARTHRITIS INDIOPATIK JUVENIL 1. GonitisTuberkulosis 2. Keganasan tulang 3. Keganasan darah (leukemia, neuroblastoma) 4. Growing pain 1. Laboratorium • Pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai penunjang diagosis. Bila diketemukan Anti Nuclear Antibody (ANA), Faktor Reumatoid (RF) dan peningkatan C3 dan C4 maka diagnosis AIJ menjadi lebih sempurna. • Biasanya ditemukan anemia ringan, Hb antara 7-10 g/dl disertai leukositosis yang didominasi netrofil. • Trombositopenia terdapat pada tipe poliartritis dan sistemik, seringkali dipakai sebagai petanda reaktivasi penyakit. • Peningkatan LED dan CRP, gammaglobulin dipakai sebagai tanda penyakit yang aktif. Beberapa peneliti mengemukakan peningkatan IgM dan IgG sebagai petunjuk aktifitas penyakit. Pengkatan IgM merupakan karakteristik tersendiri dari AIJ, sedangkan peningkatan IgE lebih sering pada anak yang lebih besar dan tidak dihubungkan dengan aktivitas penyakit. Berbeda dengan orang dewasa C3 dan C4 dijumpai lebih tinggi. • Faktor Reumatoid lebih sering pada dewasa dibanding pada anak. Bila positif, sering kali pada AIJ poliartritis, anak yang lebih besar, nodul subkutan, erosi tulang atau keadaan umum yang buruk. Faktor Reumathoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah dideteksi, sedangkan pada AIJ lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar dideteksi laboratorium. • Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada AIJ. Kekerapannya lebih tinggi pada penderita wanita muda dengan oligoartritis dengan komplikasi uveitis. Pemeriksaan imunogenetik menunjukkan bahwa HLA B27 lebih sering pada tipe oligoartritis yang kemudian menjadi spondilitis ankilosa. HLA B5 B8 dan BW35 lebih sering ditemukan di Australia. 2. Pada pemeriksaan radiologis biasanya terlihat adanya pembengkaan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis. Kelainan yang lebih jarang adalah pembentukan tulang baru Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 6 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 ARTHRITIS IDIOPATIK JUVENIL 8. Terapi 9. Edukasi 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. PenelaahKritis 14. IndikatorMedis 15. Kepustakaan IV C 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 6. periostal. Pada stadium lanjut, biasanya setelah 2 tahun, dapat terlihat adanya erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Pada tipe oligoartritis dapat ditemukan gambaran yang lebih khas yaitu erosi, pengecilan diameter tulang panjang dan atropi jaringan lunak regional sekunder. Hal ini terutama terdapat pada fase lanjut. Pada tipe sistemik Kauffman dan Lovel menemukan gambaran radiologis yang khas yaitu ditemukannya fragmentasi tidak teratur epifisis pada fase awal yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam metafisis. NSAID (obat anti inflamasi non steroid) : aspirin, ibuprofen, meloxicam Steroid: oral atau intra artikular Obat-obat yang dapat memodifikasi perjalanan penyakit (DMARDs): hidroxychloroquine, methotreksat Imunosupresan Rehabilistasimedis AIJ adalah penyakit kronis yang sebagianbesartidaksembuh total tetapidapatdikontrol Penderita AIJ harus minum obat secara teratur serta control rutin ke poli rematologi anak. Prognosis tergantung dari jenis AIJ serta keteraturan pengobatann. Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam Prof. DR. dr. Ariyanto Harsono SpA(K) DR. dr. Anang Endaryanto SpA(K) dr. Zahrah Hikmah dr. Azwin M. Lubis Jumlah sendi yang terkena Aktivitasanak LED Fotopolossendi 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 14 hari. Ayaz NA, Ozen S, Bilginer Y, Ergüven M, Taskiran E, Yilmaz E, et al. MEFV mutations in systemic onset juvenile idiopathic arthritis. Rheumatology (Oxford). Jan 2009;48(1):23-5. Prakken B, Albani S, Martini A. Juvenile idiopathic arthritis. Lancet 2011; 377: 2138–49 Scola MP, Imagawa T, Boivin GP, Giannini EH, Glass DN, Hirsch R, et al. Expression of angiogenic factors in juvenile rheumatoid arthritis: correlation with revascularization of human synovium engrafted into SCID mice. Arthritis Rheum. Apr 2001;44(4):794-801. Sherry DD,C Rabinovich E, Poduval M, Bhaskar A R S. Juvenile Idiopathic Arthritis. Available at.http://emedicine.medscape.com/article/1007276 Wittkowski H, Frosch M, Wulffraat N, Goldbach-Mansky R, Kallinich T, Kuemmerle-Deschner J, et al. S100A12 is a novel molecular marker differentiating systemic-onset juvenile idiopathic arthritis from other causes of fever of unknown origin. Arthritis Rheum. Dec 2008;58(12):3924-31. Yanagimachi M, Miyamae T, Naruto T, Hara T, Kikuchi M, Hara R, et al. Association of HLA-A(*)02:06 and HLA-DRB1(*)04:05 with clinical subtypes of juvenile idiopathic arthritis. J Hum Genet. Mar 2011;56(3):196-9. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 7 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DERMATITIS ATOPI 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. PemeriksaanFisik 4. 5. 6. 7. Kriteria Diagnosis • Dermatitis Atopik (DA) adalah keradangan kronis dari kulit yang didasari oleh faktor herediter dan faktor lingkungan, bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula, vesikel, kusta, skuama dan pruritus yang hebat. • Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi lebih banyak didapatkan pada anak-anak. Bila residif biasanya disertai infeksi, atau alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan. 1. Berulangdenganpenyebab yang sama 2. Rasa gatal 3. Keluargadenganriwayatalergi 4. Disertaidengangejalaalergilainnya Onset Sekitar 50% gejala muncul pata tahun pertama kehidupan. Sekitar 30% terdiagnosa pada usia 1-5 tahun. Macam-macam lesi Lesi akut, sub-akut atau kronik. Lesi akut ditandai oleh papula dan papula-vesikula yang sangat gatal dengan eksudat serosa yang dilatarbelakangi eritema. Lesi kronik ditandai likenifikasi (penebalan kulit dan penonjolan pola permukaan kulit) dan prurigo nodularis (papula fibrotik). Bentuk klinis · Bentuk infantil Berlangsung sampai 2 tahun, predileksi pada daerah muka terutama pada pipi lebih sering pada bayi yang lebih muda. · Bentuk anak Lanjutan dari bentuk infantil, berupa kulit kering dengan predileksi daerah fleksura antikubiti, poplitea, tangan, kaki dan periorbita. · Bentuk dewasa Terjadi pada usia 20 tahun, umumnya berlokasi di daerah lipatan, muka, leher, badan bagian atas, dan ekstremitas. Untuk Bayi : Modifikasi Kriteria Hanifin and Rajka pada bayi: Kriteria mayor : 1. Riwayat keluarga DA 2. Dermatitis dengan tanda gatal 3. Dermatitis yang typical facial atau eczematous ekstensor atau dermatitis likenifikasi Kriteria minor : 1. Xerosis/iktiosis/hyperlinear palms 2. Perifollicular accentuation 3. Chronic scalp scaling 4. Periauricular fissures Untuk Anak : Kriteria Hanifin untuk anak : Krireria mayor (harus punya 3) 1. Pruritus 2. Morfologi dan distribusi typical 3. Lesi yang melibatkan muka dan ekstensor selama bayi dan masa anak 4. Flexural lichenification dan linearity by adolescence 5. Dermatitis kronik atau dermatitis kronik kambuhan Kriteria minor 1. Xerosis 2. Iktiosis/palmar hyperlinearity/keratosis pilaris 3. IgE reactivity (increased serum IgE, RAST, or prick test positivity) 4. Hand/foot dermatitis 5. Cheilitis 6. Dermatitis kulit kepala (e.g., cradle cap) 7. Kepekaan terhadap infeksi kulit (khususnya S. aureus dan herpes simplex) 8. Perifollicular accentuation (especially in pigmented races) Diagnosa bisa ditegakkan bila ada sedikitnya 2 gambaran pada kriteria mayor atau 1 gambaran pada kriteria mayor plus 1 gambaran pada kriteria minor. DERMATITIS ATOPI Diagnosis 1. Dermatitis Kontak Alergi Diagnosis Banding 2. Dermatophytosisataur dermatophytids 3. Sindrom defesiensi imun 4. Sindrom Wiskott-Aldrich 5. Sindrom Hyper-IgE 6. Penyakit Neoplastik 7. Langerhans' cell histiocytosis 8. Penyakit Hodgkin 9. Dermatitis Numularis 10. Skabies Dermatitis Seborrheic PemeriksaanPenunjang Diagnosis DA berdasarkanpadaklinis, pemeriksaanpenunjangtidakterlaludibutuhkan: Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 8 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DERMATITIS ATOPI 8. Terapi 9. Edukasi 1. IgEspesifik 2. Tesujikulit Penatalaksanaan dasar diberikan untuk semua kasus baik yang ringan, sedang maupun berat, berupa berupa perawatan kulit, hidrasi, kortikosteroid topikal, antihistamin, tars, antibiotik bila perlu, identifikasi dan eliminasi faktor-faktor pencetus kekambuhan. · Perawatan Kulit Hidrasi adalah terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat adalah peningkatan kandungan air pada kulit dengan cara mandi dan menerapkan sawar hidrofobik. untuk mencegah evaporasi. Mandi selama 15-20 menit 2 kali sehari tidak menggunakan air panas dan tidak menambahkan oil (minyak) karena mempengaruhi penetrasi air. Sabun dengan moisturizers disarankan Setelah mandi memberihkan sisa air dengan handuk yang lembut. Bila perlu pengobatan topikal paling baik setelah mandi karena penetrasi obat jauh lebih baik.Pada pasien kronik diberikan 3-4 kali sehari dengan waterin-oil moisturizers sediaan lactic acid. · Kortikosteroids topikal Kortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus, dan efek vasokonstriktor. Yang perlu diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid topikal adalah: segera setelah mandi dan diikuti berselimut untuk meningkatkan penetrasi; tidak lebih dari 2 kali sehari; bentuk salep untuk kulit lembab bisa menyebabkan folikulitis; bentuk krim toleransinya cukup baik; bentuk lotion dan spray untuk daerah yang berambut; pilihannya adalah obat yang efektif tetapi potensinya terendah; efek samping yang harus diperhatikan adalah: atropi, depigmentasi, steroid acne dan kadang-kadang terjadi absorbsi sistemik dengan supresi dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis; bila kasus membaik, frekuensi pemakaian diturunkan dan diganti dengan yang potensinya lebih rendah; bila kasus sudah terkontrol, dihentikan dan terapi difokuskan pada hidrasi. · Antihistamin Merupakan terapi standar, tetapi belum tentu efektif untuk menghilangkan rasa gatal karena rasa gatal pada DA bisa tak terkait dengan histamin. · Tars Mempunyai efek anti-inflamasi dan sangat berguna untuk mengganti kortikosteroid topikal pada manajemen penyakit kronik. Efek samping dari tar adalah folikulitis, fotosensitisasi dan dermatitis kontak. · Antibiotik sistemik Kadang-kadang diperlukan karena infeksi sekunder dapat menyebabkan kekambuhan dan penyulit. Infeksi di curigai bila adakrusta yang luas, folikulits, pioderma dan furunkulosis. S. aureus yang resisten penisilin merupakan penyebab tersering dari flare akut. Bila diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin atau sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini pertama. Bila alergi penisilin, eritromisin adalah terapi pilihan utama, dengan perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin, teofilin akan menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin resisten adalah klindamisin. · Identifikasi dan eliminasi faktor-faktor eksaserbasi Sabun dan baju yang bersifat iritatif dihindari. Baju iritatif dari wol dihindari. Demikian juga keringat dapat juga mengiritasi kulit. Stres sosial dan emosional juga harus dihindari. Eliminasi alergen makanan, binatang dan debu rumah. DA berat Selain manajemen dasar dilaksanakan pada DA berat terapi imunomodulasi sudah harus dilaksanakan. Kortikosteroid sistemik. Efek perbaikannya cepat, tetapi flare yang parah sering terjadi pada steroid withdrawal. Bila tetap harus diberikan, tapering dan perawatan intensif kulit harus dijalankan. Thymopentin. Untuk dapat mengurangi gatal-gatal dan eritem digunakan timopentin subkutan 10 mg/ dosis 1 kali/hari selama 6 minggu, atau 3 kali/minggu selama 12 minggu. Interferon-gamma. Dosis yang digunakan antara 50 υg-100υg /m2/ hari subkutan diberikan selama 12 minggu. Siklosporin A. Pemberian per oral 5 mg/kg/hari selama 6 minggu. Dapat pula diberikan secara topikal dalam bentuk salep atau gel 5%. Tacrolimus. Digunakan takrolimus 0,1 % dan 0,03 % topikal dua kali sehari. Obat ini umumnya menunjukan perbaikan pada luasnya lesi dan rasa gatal pada minggu pertama pengobatan. Tacrolimus tidak mempengaruhi fibroblasts sehingga tidak menyebabkan atropi kulit. Pimecrolimus Pemakaian pimecrolimus 1,0 % mereduksi gejala sebesar 35 %. Gammaglobulin Bekerja sebagai antitoksin, antiinflamasi dan anti alergi. Pada DA Gammaglobulin intravena (IVIG) adalah terapi yang sangat mahal, namun harus dipertimbangkan pada kasus kasus khusus. Probiotik Lactobacillus rhamnosus GG 1 kapsul (109) kuman/dosis dalam 2 kali/hari memperbaiki kondisi kulit setelah 2 bulan. 1. 2. Pentingnya hidrasi kulit Pentingnya mencari dan menghindari penyebab Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 9 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DERMATITIS ATOPI 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. PenelaahKritis 14. IndikatorMedis 15. Kepustakaan 3. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fumgsionam : dubia ad bonam IV C 1. Prof. DR. dr. AriyantoHarsonoSpA(K) 2. DR. dr. AnangEndaryantoSpA(K) 3. dr. ZahrahHikmah 4. dr. Azwin M. Lubis 1. Rasa gatal 2. Kulitkering 3. Ruam 4. Infeksisekunder 5. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 5 hari. 1. Callard RE, Harper JI. The skin barrier, atopic dermatitis and allergy: a role for Langerhans cells?.Trends Immunol. Jul 2007;28(7):294-8. 2. Haeck IM, Rouwen TJ, Timmer-de Mik L, et al. Topical corticosteroids in atopic dermatitis and the risk of glaucoma and cataracts. J Am AcadDermatol. Feb 2011;64(2):275-81. 3. Huang JT, Abrams M, Tlougan B, Rademaker A, Paller AS. Treatment of Staphylococcus aureus colonization in atopic dermatitis decreases disease severity. Pediatrics. May 2009;123(5):e808-14. 4. Irvine AD. Fleshing out filaggrin phenotypes. J Invest Dermatol. Mar 2007;127(3):504-7. 5. Leung DYM. Atopic Dermatitis. In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) : Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp.774-777. 6. Sandilands A, Smith FJ, Irvine AD, McLean WH. Filaggrin's fuller figure: a glimpse into the genetic architecture of atopic dermatitis. J Invest Dermatol. Jun 2007;127(6):1282-4. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 10 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 SINDROMA STEVENS JOHNSON 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. PemeriksaanFisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. PemeriksaanPenunja ng 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis Sindroma Stevens Johnson (SSJ) adalah suatu manifestasi eritema multiforme yang berat, fatal dan jarang terjadi, sehingga seringkali disebut eritema eksudativum multiform mayor, Reaksi hipersensitivitas yang terjadi pada SSJ melibatkan kelainan pada kulit, mukosa orifisium serta mata dan menyebabkan gangguan sistemik yang berat, bahkan dapat menyebabkan kematian. Sinonimnya antara lain: sindroma de Friessinger-Rendu, eritema poliform bulosa, sindromamuko-kutaneo-okular, dermatostomatitis. Gejala prodromal berkisarantara 1-14 hari berupa demam, lesu, batuk, pilek, nyerimenelan, nyeri dada, muntah, pegalototdanatralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Setelah itu akan timbul lesi di kulit, mukosa mulut, mukosa mata. Bisa didahului dengan riwayat minum obat, makanan atau infeksi. • Kulit: Manifestasi di kulit bias berupa ruam yang awalnya macula kemudian menjadi papula, vesikel, bula dan kadang eritema. Yang khas adalah didapatkan lesi target (target lesion). Bila bula kurang dari 10% disebut Steven Johnson Syndrome, 10-30% disebut Steven Johnson Syndrome-Toxic Epidermolysis Necroticans (SSJ-TEN), lebihdari 30% Toxic Epidermolysis Necroticans (TEN). Sekitar 80% penyebab TEN adalahobat. • Mukosa (mulut, tenggorokan dan genital); berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah, • Mata; berupa konjungtivitis kataralis, blefaro konjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasikornea. • Mukosa lain yang juga sering terkena gastrointestinal sehingga terjadi gangguan proses menelan makanan dan menyebabkan dehidrasi dan kekurangan asupan, sehingga penting dilakukan alimentasi asupan secara panenteral. 90 % diagnosis SSJberdasarkan 1. Anamnesis &gejalaklinik. 2. Adanya trias kelainan kulit, mukosa & mata. 3. Hubungan faktor penyebab 90 SINDROMA STEVEN JOHNSON Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson: 1. Toxic EpidermolysisNecroticans. Sindroma Steven Johnson sangat dekat dengan TEN. SSJ dengan bula lebih dari 30% disebut TEN. Seringkali diagnosis SSj overlap dengan TEN (SSJ-TEN) 2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada seluruh kulit. Biasanya mukosa tidak terkena. Sampai saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik dalam mendukung diagnosis SSJ kecuali biopsy kulit.(tidak rutin dilakukan). Pada pemeriksaan laboratorium bias didapatkan anemia, lekosit yang normal atau sedikit meningkat, peningkatan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya circulating immune complex. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dari biopsy kulit dapat mendukung ditegakkannya diagnosis. Penatalaksanaan utama adalah menghentikan obat yang diduga sebagai penyebab SSJ, sementara itu kemungkinan infeksi herpes simplex dan Mycoplasma pneumonia harus disingkirkan. Selanjutnya perawatan lebih bersifat suportif dan simptomatik: 1. Pasien dengan SSJ harus diperlakukan seperti pasien luka bakar dengan pengawasan special terhadap hemodinamik, keseimbangan cairan dan elektrolit, serta control terhadap nyeri (jangan menggunakan NSAID karena beresiko tinggi). 2. Bila telah terjadi dehidrasi ataupun gangguan elektrolit maka dilakukan rehidrasi dan koreksi. 3. Blister kulit bias dikompres basah dengan larutan larutan burowi ataupun cairan saline (perawatan kulit seperti perawatan luka bakar). 4. Alimentasi kalori dan protein secara parenteral. Lesi pada saluran cerna menyebabkan kesulitan asupan makanan dan minuman. 5. Bila telah terjadi infeksi sekunder maka diberikan antibiotika. Antibiotika yang paling beresiko tinggi adalah β-lactam dan sulfa jangan digunakan. Untuk terapi awal dapat diberikan antibiotika spectrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Terapi infeksi sekunder menggunakan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin 8-16 mg/kg/hari secara intravena, diberikan 2 kali/hari. 6. Kortikosteroid: deksametasondosisawal 1mg/kg BB bolus intravena, kemudian dilanjutkan 0,2-0,5 mg/kg BB intravena tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi. Lesi mulut diberi kenalog in orabase. 7. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0.5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS. 8. Konsultasi kebagian opthalmologi bila didapatkan kelainan mata, kebagian kulit dan kelamin untuk perawatan bersama, dan kebagian bedah plastic sehubungan dengan perawatan lesi kulit terbuka yang biasanya dirawat sebagaimana luka bakar. 1. Perawatan pasien 2. Prognosis pasien 3. Penyebab terjadinya SSJ Prognosis dapat diperkirakan dengan menggunakan skor SCORTEN, dengan variable sebagai berikut: usia> 40 tahun, keganasan, denyut jantung> 120 x/m, epidermal detachment>10%, BUN > 10 mmol/L, kadar gula darah> Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 11 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 SINDROMA STEVENS JOHNSON 11. 12. Tingkat Evidens Tingkat Rekomendasi 13. PenelaahKritis 14. IndikatorMedis 15. Kepustakaan 14mmol/L, bikarbonat< 20mmol/L (masing-masing diberikan nilai 1, kemudian dijumlah). Perkiraan mortalitas sebagai berikut: • SCORTEN 0-1 => 3.2% • SCORTEN 2 => 12.1% • SCORTEN 3 => 35.3% • SCORTEN 4 => 58.3% • SCORTEN 5 or more => 90% IV C 1. Prof. DR. dr. Ariyanto HarsonoSpA(K) 2. DR. dr. Anang Endaryanto SpA(K) 3. dr. Zahrah Hikmah 4. dr. Azwin M. Lubis Lesikulit Lesimata Lesimukosa lain Infeksisekunder 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 21 hari. 1. Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric patients. Pediatrics 2001;108:485–92. 2. Darmstadt GL, Sidbury R. Steven Johnson Syndrome. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds): Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004; 2181-4. 3. Gruchalla R: Understanding drug allergies. J Allergy ClinImmunol 2000;105:S637–44. 4. Metry DW, Jung P, Levy ML. Use of Intravenous Immunoglobuline in children with Steven Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis: Seven cases and review of literature. Pediatrics 2003;112:14306. 5. Reilly TP, Lash LH, Doll MA. A role for bioactivation and covalent binding within epidermal keratinocytes in sulfonamide-induced cutaneous drug reactions. J Invest Dermatol 2000;114:1164–73. 6. Volcheck GW. Clinical evaluation and management of drug hypersensitivity. Immunol Allergy Clin N Am 2004;24:357-71. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 12 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 HIPOGLIKEMIA 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik Pada anak kadar glukosa plasma < 40 mg/dl dikategorikan sebagai hipoglikemia - Apakah didapatkan gejala takikardi, berkeringat, lemas, lapar, mual, muntah ? - Apakah didapatkan gejala pusing, gangguan penglihatan? - Apakah didapatkan penurunan kesadaran, gangguan psikologis, perubahan tingkah laku? Adrenergik: takikardi, berkeringat, lemas, lapar, mual, muntah Neuropenik (penurunan penggunaan glukosa oleh otak): pusing, gangguan visual, somnolens. Gangguan psikologis, perubahan tingkah laku Kombinasi gejala di atas memerlukan pemeriksaan kadar glukosa darah. 4. Pemeriksaan Penunjang - Darah : kadar gula, kadar insulin, kortisol, growth hormone, non esertified fatty acid, acetoacetate, 3 β hydroxybutirate, carnitine( free dan total) blood spot acyl carnitine, ammonia, lactate - Urine : ketone, reducing substances, organic acids 5. Kriteria Diagnosis kadar glukosa plasma < 40 mg/dl 6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan tambahan lain 7. Penyulit 8. Terapi 1. Penurunan kesadaran 2. Kematian Jika penderita sadar: 1. Berikan glukosa oral , misal jus jeruk, minum manis. Untuk berat 30 kg diperlukan 10 gram glukosa, dan >30 kg diperlukan 15 gram glukosa. 2. Cek kadar glukosa 10-15menit dan ulang jika diperlukan. Pastikan kadar gula darah normal. Jika penderita tidak sadar: 1. Pasang infuse dextrose (n0,5g/kg selama 5 menit) atau 2-3 ml/kg D10% atau 1ml/kg D25%) 2. Maintenans infuse dextrose 3. Recek kadar gula 10menit kemudian ( D12,5 kadar dextrose paling tinggi yang diberikan melalui infuse perifer) 4. Berikan bolus dextrose jika perlu Apabila akses iv sulit, maka glukosa dapat diberikan melalui nasogastric tube. Maintenans infuse pada hipoglikemia bayi dapat dilakukan dengan GIR ( glucose infusion rate ) 6-8 mg/kg/menit. Glukagon membantu dalam pemecahan glikogen. Pada kondisi cadangan glikogen masih cukup (mis.insulin overdose) 1 mg glucagon im atau sc (0,5mg untuk neonates) dapat meningkatkan kadar gula darah. Glucagon tidak akan meningkatkan kadar glukosa 9. Edukasi 1. Potensi kematian oleh karena hipoglikemia 2. Informed consent dari keluarga 10. Prognosis Baik bila tidak muncul penyulit 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. Penelaah Kritis a. Nur Rochmah,dr,SpA b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K) c. A Yuniari Heryana, dr, SpA d. Netty Harjantien EP , dr, SpA(K) Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 13 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 HIPOGLIKEMIA 14. Indikator Medis 80% Pasien Hipoglikemia tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 3 hari 15. Kepustakaan 1. Zimmerman D, habiby RL, Brickman WJ. Diabetes Mellitus and Hypoglycemia. In: Green T, Franklin W, Tanz RR. Paediatrics. 2005.Mc Graw Hill.Singapore.hal.263-78. 2. Oberfield SE, Hale DE. Endocrinology. Dalam: Polin RA, Ditmar MF. Pediatric secrets. Edisi 4. Elsevier Mosby. Phiadelphia.hal 191-21. 3. Clarke W, Jones T, Rewers A, Dunger D, Klingensmith GJ. Assessment and Management of Hypoglycemia In Children and Adolescent With Diabetes. Pediatric Diabetes 2009:10 (Suppl,12)13445. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 14 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 CONGENITAL ADRENAL HYPERPLASIA 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH) merujuk grup defisiensi enzim pada sintesis steroid di korteks adrenal. - Mual, muntah, diare pada usia bulan awal kelahiran - Didapatkan sakit yang sama pada keluarga - Bisa didapatkan genital yang ambigus ataupun ukuran genital laki-laki (penis dan skrotum) yang lebih besar dari pada anak seusia ( pubertas prekoks perifer) - genital yang ambigus ataupun ukuran genital laki-laki (penis dan skrotum) yang lebih besar dari pada anak seusia ( pubertas prekoks perifer) - tanda-tanda dehidrasi bahkan syok hipovolemik - Salt loosing crisis dapat terjadi pada usia dua minggu dengan gejala muntah, diare, dehidrasi, hiperkalemia, dan hiponatremia. - CAH laki-laki simple virilized sering datang pada usia 3-7 tahun, dengan pubertas awitan awal, advanced bone age, dan prepubertal testis. - Remaja dan dewasa wanita non klasik CAH sering datang dengan keluhan virilisasi, hirsutisme, abnormal menstruasi, infertilitas, atau akne. Pemeriksaan Penunjang Hipoglikemia, hyponatremia, hyperkalemia dan metabolik asidosis 5. Kriteria Diagnosis Klinis dan laboratoris 6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris 7. Diagnosis Banding 46 XY DSD 8. Terapi 1. Terapi medikamentosa 4. Pada tipe defisiensi 21OH lase yaitu 95% tipe CAH akan didapatkan kenaikan dari 17 OHP Pada tipe yang salt wasting dapat diberikan replacement therapy dengan glukokortikoid dan mineralokortikoid. Terapi glukokortikoid dapat doberikan dengan hydrocortisone 10-20 mg/m2. Pada pasien yang baru terdiagnosis, utamanya pada bayi baru lahir, memerlukan dosis yang lebih tinggi. Terapi mineralokortikoid dengan diberikan fludrokortisone (9 fluoro-cortisol) 0,1mg oral.Tidak tergantung berat badan. Pada sakit berat diberikan hydrocortisone iv dan sodium chloride, misalnya pada operasi, sakit, sakit berat. Dosis 20 mg hydrocortisone mempunyai efek mineralokortikoid setara 0,1 mg. Terapi mineralokortikoid pada bayi diperlukan dosis lebih tinggi yaitu 0,15–0,30mg/hari, tergantung suplementasi sodium oleh karena bayi insensitive terhadap mineralokortikoid..sehingga perlu dosis lebih besar. Suplementasi garam 1-2 g NaCl/hari. Salt loosing CAH dapat menghentikan terapi mineralokortikoid dan suplementasi garam pada saat dewasa, oleh karena pada deasa lebih sensitive terhadap mineralokortikoid. Evaluasi pertumbuhan dilakukan tiap 3 bulan dan evaluasi bone age tiap tahun. Plasma 17OHP tidak digunakan untuk monitor terapi oleh karena dapat terjadi variasi diurnal dan hyperresponsive terhadap stres. Pada anak besar terapi glukokortikoid dapat diberikan dexametasone atau prednisone. 2. Terapi bedah : klitororeduksi, vaginoplasti 3. Terapi suportif 9. Edukasi 1. Minum obat secara teratur 2. Dosis obat pada kondisi sakit 3. Kliroreduksi pada 46 XX CAH 10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. Penelaah Kritis a. Nur Rochmah,dr,SpA b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K) c. A Yuniari Heryana, dr, SpA d. Netty Harjantien EP, dr, SpA(K) 1. Pertumbuhan dan perkembangan optimal sesuai usia, bone age sesuai usia, tidak terjadi krisis adrenal 14. Indikator Medis Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 15 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 CONGENITAL ADRENAL HYPERPLASIA 15. Kepustakaan 2. 80% Pasien Congenital Adrenal Hyperplasia simple case akan sembuh dalam waktu 3 hari 3. 80% Pasien Congenital Adrenal Hyperplasia dengan tindakan operasi akan sembuh dalam waktu 7 hari 1. Saroj Nimkarn, Karen Lin Su, Maria I New. Steroid 21 Hydroylase Deficiency Congenital Adrenal Hyperplasia. Pediatr Clin N Am 58: 2011:1281-1300. 2. Maria I New, Lucia Ghizzoni, Karen Lin Su. An Update of Congenital Adrenal Hyperplasia. Fima Lifshift, ed. 2007. New York. 3. Miller L Walter, Achermann JC, Fluck CE. The Adrenal Corteks and Its Disorders. Dalam : Pediatric Endocrinology, Third Edition. Philadelphia. 444-512. 4. Pediatric Endocrinology. Dalam: Styne DM, ed. Guide To Pediatric Endocrine Emergencies. Lippincolt Williams & Wilkins. Philadelphia. 2004. 295-7. 5. Raine JE. Adrenal Disorders. Dalam Practical Endocrinology and Diabetes In Children. 2nd ed. 137-42. 2006. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 16 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DIABETES MELLITUS TIPE 1 1. Pengertian (Definisi) Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang dapat disebabkan berbagai macam etiologi, disertai dengan adanya hiperglikemia kronis akibat gangguan sekresi insulin atau gangguan kerja dari insulin, atau keduanya. Sedangkan Diabetes Mellitus tipe-1 lebih diakibatkan oleh karena berkurangnya sekresi insulin akibat kerusakan sel β-pankreas yang didasari proses autoimun 2. 3. 4. Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang - Polidipsi, poliuria, polifagia, berat badan turun - Riwayat keluarga dengan sakit yang sama. - Pada umumnya penderita DM tipe 1 tidak obesitas, - Didapatkan penurunan berat badan 1. Adanya gejala klinis ditambah kadar glukosa acak/sewaktu> 11.1 mmol/L (> 200 mg/dL).* Acak/sewaktu dimaksudkan setiap saat tanpa memperhatikan saat makan terakhir. atau 2. Kadar glukosa darah puasa > 7.0 mmol/L (> 126 mg/dL).** Puasa dimaksudkan tanpa asupan kalori paling cepat 8 jam. atau 3. Kadar glukosa darah postprandial > 11.1 mmol/L (> 200 mg/dL) selama uji toleransi glukosa. Sesuai WHO, menggunakan glukosa yang setara 75 g (anhydrous glucose) yang dilarutkan dalam air atau 1,75 g/kg berat badan sampai dengan maksimum 75 g. 4. penurunan kadar insulin atau C-peptide, serta adanya antibodi ICA, GAD, IA2, dan IAA sebagai marker proses otoimun 5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Klinis 2. Hyperglikemia 6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris 7. Diagnosis Banding - Produksi berlebihan glukokortikoid atau katekolamin pada : o Tumor hipotalamus atau hipofisis o Tumor atau hiperplasia adrenal o Feokromositoma Pada keadaan ini didapatkan uji toleransi glukosa yang abnormal dan glukosuria tanpa ketosis, yang disebabkan oleh peningkatan glikogenolisis dan glukoneogenesis. - Renal glukosuria. Pada keadaan ini didapatkan glukosuria tanpa hiperglikemia maupun ketosis. 8. Terapi Medikamentosa - Pada dugaan DM tipe-1 penderita harus segera rawat inap. - Insulin Dosis total insulin adalah 0,5 - 1 UI/kg BB/hari. Selama pemberian perlu dilakukan pemantauan glukosa darah atau reduksi air kemih. Gejala hipoglikemia dapat timbul karena kebutuhan insulin menurun selama fase ”honeymoon”. Pada keadaan ini, dosis insulin harus diturunkan bahkan sampai kurang dari 0,5 UI/kg BB/hari, tetapi sebaiknya tidak dihentikan sama sekali. - Diet o Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia pubertas dapat juga ditentukan dengan rumus sebagai berikut : o Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55% karbohidrat, 10-15% protein (semakin menurun dengan bertambahnya umur), dan 30-35% lemak. o Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali makanan kecil sebagai berikut : 1000 + (usia dalam tahun x 100) = ....... Kalori/hari 20% berupa makan pagi. 10% berupa makanan kecil. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 17 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DIABETES MELLITUS TIPE 1 o 9. Edukasi 25% berupa makan siang. 10% berupa makanan kecil. 25% berupa makan malam. 10% berupa makanan kecil. Pengobatan penyakit penyerta seperti infeksi dan lain-lain. 1. Injeksi insulin secara teratur 2. Pengaturan pola makan sesuai kebutuhan kalori 10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. Penelaah Kritis a. Nur Rochmah,dr,SpA b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K) c. A Yuniari Heryana, dr, SpA d. Netty Harjantien EP , dr, SpA(K) 14. Indikator Medis Klinis baik, HbA1c dalam rentang normal sesuai usia, komplikasi DM tipe 1 dapat dicegah. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 4 hari. 15. Kepustakaan 1. Maria E. Craig AHA, Kim C. Donaghue. Definition, epidemiology and classification of diabetes in children and adolescents. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl. 12):3-12. 2. Wolfsdorf J. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children, and Adolescents: A consensus statement from the American Diabetes Association. Diabetes care. 2006;29(5):1150-9. 3. APEG. Clinical Practice Guidelines: Type-1 Diabetes in Children and Adolescents. 2005. 4. Drash AL. Management of the Child with Diabetes Mellitus-Clinical Course, Therapeutic Stategies, and Monitoring Techniques. In: Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. New York: Marcel Dekker ; 1996:617-29. 5. International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes. Consensus Guidelines 2000-ISPAD Consensus Guidelines for Management of Type 1 Diabetes Mellitus in Children and Adolescents. Zeist, Netherlands: ISPAD, 2000. 6. Netty EP, Faizi M. Diabetes Mellitus pada Anak dan Remaja. In: Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak No 32. Surabaya: Oktober 2002; 11-22. 7. Netty EP. Diabetes Mellitus Tipe I dan Penerapan Terapi Insulin Flexibel pada Anak dan Remaja. Diajukan pada Forum Komunikasi Ilmiah (FKI) Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. February 13, 2002. 8. UKK Endokrinologi. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe-1 Di Indonesia. Jakarta: PP IDAI, 2000. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 18 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 KETOASIDOSIS DIABETIKUM 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. 4. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang Kondisi yang mengancam jiwa yang disebabkan penurunan kadar insulin efektif didalam tubuh, atau berkaitan dengan resistensi insulin, dan disertai peningkatan produksi hormon-hormon kontra regulator yakni : glukagon, katekolamin, kortisol dan growth hormon. - Sesak , penurunan kesadaran, mual, muntah - Polidipsi, poliuria, polifagia, berat badan turun - Riwayat keluarga dengan sakit yang sama. - Penurunan kesadaran bahkan koma - Tanda-tanda dehidrasi bahkan syok hipovolemia - Tanda-tanda sesak - Pada umumnya penderita DM tipe 1 tidak obesitas, - Didapatkan penurunan berat badan 1. Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL); Asidosis, bila pH darah < 7,3 dan kadar bikarbonat < 15 mmol/L). 2. penurunan kadar insulin atau C-peptide, serta adanya antibodi ICA, GAD, IA2, dan IAA sebagai marker proses otoimun 5. Kriteria Diagnosis Kriteria diagnosisnya adalah sebagai berikut : • Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL). • Asidosis, bila pH darah < 7,3. • kadar bikarbonat < 15 mmol/L). Derajat berat-ringannya asidosis diklasifikasikan sebagai berikut : 6. Diagnosis 7. Diagnosis Banding 8. Terapi • Ringan: bila pH darah 7,25-7,3, bikarbonat 10-15 mmol/L. • Sedang: bila pH darah 7,1-7,24, bikarbonat 5-10 mmol/L. • Berat: bila pH darah < 7,1 , bikarbonat < 5 mmol/L. Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris KAD juga harus dibedakan dengan penyebab asidosis, sesak, dan koma yang lain termasuk : hipoglikemia, uremia, gastroenteritis dengan asidosis metabolik, asidosis laktat, intoksikasi salisilat, bronkopneumonia, ensefalitis, dan lesi intrakranial. Medikamentosa Tujuan penatalaksanaan: 1) Memperbaiki sirkulasi dan perfusi jaringan (resusitasi dan rehidrasi), 2) Menghentikan ketogenesis (insulin), 3) Koreksi gangguan elektrolit, 4) Mencegah komplikasi, 5) Mengenali dan menghilangkan faktor pencetus. 9. Edukasi 1. Injeksi insulin 2. Pengaturan pola makan 10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. Penelaah Kritis a. Nur Rochmah,dr,SpA b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K) c. A Yuniari Heryana, dr, SpA d. Netty Harjantien EP, dr, SpA(K) 14. Indikator Medis Klinis baik, HbA1c dalam rentang normal sesuai usia. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 6 hari (1 minggu) 15. Kepustakaan 1. Christos D. Kussmaul breathing 2009 [updated 26 February 2013 at 05:49; cited 2013 March, 3rd 2013]. Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Kussmaul_breathing. 2. R A R Treasure, P B S Fowler H T Millington, Wise PH. Misdiagnosis of diabetic ketoacidosis as hyperventilation syndrome. British Medical Journal. 1987;294:630. 3. Maria E. Craig AHA, Kim C. Donaghue. Definition, epidemiology and classification of diabetes in children and adolescents. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl. 12):3-12. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 19 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 KETOASIDOSIS DIABETIKUM 4. Stu Brink, Lori Laffel, Supawadee Likitmaskul, Li Liu, Ann M Maguire, Birthe Olse, et al. Sick day management in children and adolescents with diabetes. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl.12):146-53. 5. Casqueiro J, Casqueiro J, Alves C. Infections in patients with diabetes mellitus: A review of pathogenesis. Indian journal of endocrinology and metabolism. 2012 Mar;16 Suppl 1:S27-36. 6. Craig ME, Twigg SM, Donaghue KC, Cheung NW, Cameron FJ, Conn J, et al. Acute complications – diabetic ketoacidosis and sick-day management. In: Maria Craig, Twigg S, editors. National EvidenceBased Clinical Care Guidelines for Type 1 Diabetes in Children, Adolescents and Adults. Canberra: Australian Paediatric Endocrine Group and Australian Diabetes Society; 2011. p. 123-35. 7. Glaser N. Pediatric Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar State. Pediatric Clinics of North America. 2005;52(6):1611-35. 8. Wallace TM, Matthews DR. Recent advances in the monitoring and management of diabetic ketoacidosis. QJM : monthly journal of the Association of Physicians. 2004 Dec;97(12):773-80. 9. lfsdorf J. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children, and Adolescents: A consensus statement from the American Diabetes Association. Diabetes care. 2006;29(5):1150-9. 10. Wright J, Ruck K, Rabbitts R, Charlton M, De P, Barrett T, et al. Diabetic ketoacidosis (DKA) in Birmingham, UK, 2000--2009: an evaluation of risk factors for recurrence and mortality. The British Journal of Diabetes & Vascular Disease. 2009;9(6):278-82. 11. Abbas E. Kitabchi, Nyenwe EA. Hyperglycemic Crises in Diabetes Mellitus: Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar State. Endocrinol Metab Clin N Am. 2006;2006:725-51. 12. Michael J. Haller, Mark A. Atkinson, Schatz D. Type 1 Diabetes Mellitus: Etiology, Presentation, and Management. Pediatric Clinics of North America. 2005;52(6):1553-78. 13. American Diabetes A. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes care. 2009 Jan;32 Suppl 1:S62-7. 14. Association AD. Type 2 Diabetes in Children and Adolescents. Pediatrics. 2000;105(3):671-80. 15. Wolfsdorf J, Craig ME, Daneman D, Dunger D, Edge J, Lee W, et al. Diabetic ketoacidosis in children and adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes. 2009 Sep;10 Suppl 12:118-33. 16. Muhammad Faizi, Netty EP, AY Heryana, Rochmah N. Data Instalasi Rawat Inap Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2002-2012. [Unpublished] 17. Pulungan AB, Mansyoer R, Batubara JRL, B T. Gambaran Klinis dan Laboratoris Diabetes Mellitus tipe-1 pada Anak Saat Pertama kali datang ke Bagian IKA-RSCM Jakarta. Sari Pediatri. 2002;4:26-30. 18. Piva JP, Czepielewski M, Garcia PCR, Machado D. Current perspectives for treating children with diabetic ketoacidosis. Jornal de Pediatria. 2007;83(5 Suppl):S119-27. 19. Niyutchai Chaithongdi JSS, Christian A. Koch, Stephen A. Geraci. Diagnosis and management of hyperglycemic emergencies. Hormones. 2011;10(4):250-60. 20. Chua HR, Schneider A, Bellomo R. Bicarbonate in diabetic ketoacidosis - a systematic review. Annals of intensive care. 2011;1(1):1-12. 21. Dunger DB. ESPE/LWPES consensus statement on diabetic ketoacidosis in children and adolescents. Archives of Disease in Childhood. 2004;89(2):188-94. 22. Association AD. Hyperglycemic 2002;25(Supplement 1):S100-8. Crises in Patients With Diabetes Mellitus. Diabetes care. 23. Glaser NS, Wootton-Gorges SL, Marcin JP, Buonocore MH, Dicarlo J, Neely EK, et al. Mechanism of cerebral edema in children with diabetic ketoacidosis. The Journal of pediatrics. 2004 Aug;145(2):164-71. 24. Bruno Guerci, Muriel Benichou, Michele Foriot, Philip Bohme, Sebastien Fougnot, Patricia Franck, et al. Accuracy of an Electrochemical Sensor for Measuring Capillary Blood Ketones by Fingerstick Samples During Metabolic Deterioration After Continuous Subcutaneous Insulin Infusion Interruption in Type 1 Diabetic Patients. Diabetes care. 2003;26:1137-41. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 20 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 HIPOTIROID KONGENITAL 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. 4. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang Hipotiroid adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan pada salah satu tingkat dari aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid-”end organ”, dengan akibat terjadinya defisiensi hormon tiroid, ataupun gangguan respon jaringan terhadap hormon tiroid. Hipotiroid kongenital disebabkan kurang atau tidak adanya hormone tiroid sejak dalam kandungan. - Hipotiroid kongenital dapat disertai adanya prolonged physiological jaundice, poor feeding, lethargi, hipotermia, konstipasi dan perkembangan yang terlambat. - Riwayat ibu atau keluarga dengan sakit yang sama. Jika ibu sakit tiroid ditanyakan juga riwayat pengobatan selama hamil - At Birth : postmaturity, makrosomia, large head, open posterior fontanella, maturasi tulang terlambat - During early infancy : prolongen physiological jaundice, poor feeding, lethargy, somnolence, hypothermia, constipasi, makroglossia, hoarse cry, umbilical hernia, dry, mottled skin, goitre 1. TSH , FT4 2. Ultrasonografi ginjal (USG) tiroid 3. Congenital Hipothyroid newborn screening: Bila kadar TSH tinggi > 40 µU/ml dan T4 rendah, < 6 µg/ml, bayi diberi terapi tiroksin dan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Bayi dengan kadar TSH diantara 25-50 µU/ml, dilakukan pemeriksaan ulang 2-3 minggu kemudian. 5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Klinis 2. FT4 rendah dan TSH yang tinggi 6. Diagnosis 7. Diagnosis Banding Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris Mongolisme Sering disertai hipotiroid kongenital, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan faal tiroid secara rutin. epikantus (+) makroglosi (+) miksedema (-) retardasi motorik dan mental ”Kariotyping”, trisomi 21 8. Terapi Medikamentosa Sodium L-Thyroxine, diberikan sedini mungkin. Umur Dosis µg/kg BB/hari 0-3 bulan 10-15 3-6 bulan 8-10 6-12 bulan 6-8 1-5 tahun 5-6 2-12 tahun 4-5 > 12 tahun 2-3 Kadar T4 dipertahankan di atas pertengahan nilai normal. 9. Edukasi 1. Berobat secara teratur 2. Meminum obat sebelum makan saat perut kosong 10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. Penelaah Kritis a. Nur Rochmah, dr, SpA b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K) c. A Yuniari Heryana, dr, SpA d. Netty Harjantien EP, dr, SpA(K) 14. Indikator Medis Perkembangan membaik. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3 hari 15. Kepustakaan 1. Fisher DA. Disorders of the Thyroid in the Newborn and Infant. In : Sperling MA, ed. Pediatric Endocrinology. Philadelphia : Saunders, 2002 : 161-82. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 21 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 HIPOTIROID KONGENITAL 2. Styne DM. Disorders of the Thyroid Gland. In: Core Handbooks in Pediatrics – Pediatric Endocrinology. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2004 : 83-108. 3. Rossi WC, Caplin N, Alter CA. Thyroid Disorders in Children. In: Moshang T, ed. Pediatric Endocrinology – The Requisites in Pediatrics. St Louis, Missouri: Elsevier Mosby, 2005 : 171-90. 4. Fort PF, Brown RS.Thyroid Disorders in Infancy. In : Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. New York : Marcel Dekker, 1996 : 369-81. 5. Batubara Jose RL, Tridjaja B, Pulungan A. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Cetakan Pertama. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI 2010. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 22 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DISORDER OF SEX DEVELOPMENT 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik Kelainan bentuk genitalia eksterna/ fenotip yang jelas antara laki-laki atau perempuan - Penggunaan progesterone atau androgen pada awal kehamilan - Ibu yang mengalami virilasi - Riwayat kematian perinatal - Adanya keluarga yang menderita genitalia ambigua atau kelainan urologi - Adanya keluarga yang mengalami hyperplasia adrenal kongenital - Perempuan yang amenorrhea atau infertilitas - Tentukan teraba gonad, posisi, ukuran, dan teksturnya - Pengukuran panjang falus - Tentukan posisi meatus dari uretra, adanya hipospadia, dan korda - Tentukan derajat darifusi labioscrotal folds - Tentukan apakah terdapat orifisium vagina? Tanda-tanda lain : Hiperpigmentasi, dehdrasi, hipoglikemia, atau hipertensi “Webbed neck”, low hairline Kelainan kongenital lainnya - Tanda virilisasi menggunakan skala Prader. Skala virilisasi menurut Prader 4. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium: Serum elektrolit, kadar gula darah, 17-OH Progesteron, LH, FSH, DHEA, rasio Testoteron/DHT, estradiol 2. USG/CT-scan/MRI 3. Karyotiping 4. Genitografi 5. Laparoskopi/Biopsi gonad 6. Pemeriksaan Psikologi/Psikiatri 5. Kriteria Diagnosis Kriteria diagnosisnya adalah sebagai berikut : • Ditemukan kelainan pada bentuk genitalia • Pemeriksaan Karyotiping menunjukkan kelainan atau normal namun dengan tampilan fenotip yang berbeda dengan hasil karyotiping • Pemeriksaan Laboratorium 17-OHP 6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan tambahan lain 7. Penyulit 1. Krisis adrenal 2. Depresi 3. Gangguan orientasi seksual 4. Keganasan 8. Terapi Penentuan jenis kelamin (sex assessment), pola asuh seksual (sex rearing), pengobatan hormonal, koreksi secara pembedahan, dan psikologis Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 23 Multi-disiplin ilmu meliputi: Ilmu Kesehatan Anak, Bedah Urologi, Bedah Plastik, Kandungan & Kebidanan, Psikiatri, Genetika Klinik, Rehabilitasi Medik, Patologi Klinik, Patologi Anatomi, dan Bagian Hukum Rumah Sakit/ Kedokteran Forensik 9. Edukasi 3. Potensi fertilitas 4. Kapasitas fungsi seksual 5. Fungsi endokrin 6. Perubahan menjadi keganasan 7. Testosteron imprinting dan waktu saat pembedahan 8. Faktor psikoseksual: identitas gender, peran gender, dan orientasi gender 9. Aspek kultural 10. Informed consent dari keluarga 10. Prognosis Baik bila tidak muncul penyulit 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. Penelaah Kritis a. Nur Rochmah,dr,SpA b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K) c. A Yuniari Heryana, dr, SpA d. Netty Harjantien EP, dr, SpA(K) 14. Indikator Medis 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 6 hari (1 minggu) 15. Kepustakaan 1. Madhusmita M, Lee MM. Intersex Disorder. Dalam: Moshang T, ed. Pediatric Endocrinologi. New York: Elsevier Mosby, 2005; 103-122. 2. Witchel SF, Lee PA. Ambiguous Genitalia. Dalam: Sperling MA, Eds. Pediatric Endocrinology. USA: Saunders, 2002; 111-33. 3. Hyun Grace, TF Kolon. Apractical approach to intersex in the newborn period. Pediatr Ur Clin of Nort Am 2004; 31 (3): 435-43. 4. Conte FA, Grumbach MM. Abnormalities of Sexual Determination & Differentiation. Dalam: Greenspan FS, Gardner DG, eds. Basic & Clinical Endocrinology. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2001; 511-46. 5. Zemel S, Slover RH. Disorders of Sexual Differentiation. Dalam: McDermot MT, ed. Endocrine Secrets. Philadelphia: Hanley & Belfus, Inc, 2002; 325-33. 6. Lee PA, Houk CP, Ahmed SF, Hughes IA. Consensus Statement on Management of Intersex Disorders. Pediatrics 2006; 118:e488-500. 7. Ono M, Harley VR. Disorders of sex development: new genes, new concepts. Nature Review Endocrinology 2013; 9:79-91 Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 24 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 TURNER SYNDROME 1. Pengertian (Definisi) Kelainan genetik yang disebabkan delesi sebagian atau semua bagian dari seks kromosom X 2. Anamnesis Keterlambatan pertumbuhan dan pubertas 3. PemeriksaanFisik - Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai adalah perawakan pendek dan pubertas terlambat (90%), gejala lain dapat dilihat pada gambar : - Manifestasi klinis lain dapa tjuga dijumpai lymphedema, anomaly jantung, anomaly ginjal, proses autoimun : hipo/hipertiroid, rheumatic 4. PemeriksaanPenunjang 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Karyotyping, dapat ditemukan 45 maupunmosaik Ultrasonografi: untuk evaluasi anatomi ginjal Echokardiografi: untuk evaluasi anatomi jantung Regular tiroid skrining: FT4, TSH Monitoring hipertensi Oftalmologi: strabismus THT: otitisrekuren, audiologi Orthopedi: skoliosis Evaluasi kognitif 5. Kriteria Diagnosis Manifestasi klinis (fenotip) dan ditunjang pemeriksaan karyo typing 6. Diagnosis pemeriksaan karyo typing 45,X ; 46,X,i(Xq) ; 46,X,r(X) ; 46,XXq2 ; 46,XXp2 ; 47,XXX ; 46,X,t(X;15) 7. Diagnosis Banding Sindroma Noonan 8. Terapi TERAPI MEDIKAMENTOSA 1. Terapi hormone pertumbuhan: 0,05mg/kg/hari 2. Oksandrolone (0,0625mg/kg/hari) jika terapi hormone pertumbuhan dimulainya terlambat 3. Induksi pubertas dengan estrogen usia lebih kurang 13 tahun. Pengaturan siklus withdrawal bleeding dengan estrogen dan progesteron TERAPI NON MEDIKAMENTOSA 9. Edukasi 1. Konseling psikologis 2. Pengaturan diet 3. Peer group support 1. Tujuan pengobatan :mencapa itingg badan optimal sesuai usia, 2. Memasuki pubertas optimal 3. Evaluasi psikoterapi, masalah visuospasia l dan kognitif. 4. Pilihan reproduksi Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 25 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 TURNER SYNDROME 10. Prognosis 1. Gejala fisik: tidak berbahaya 2. Kematian biasanya karena kelainan jantung 3. Sebagian besar infertile 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. PenelaahKritis 14. IndikatorMedis 15. Kepustakaan a. Nur Rochmah,dr,SpA b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K) c. A Yuniari Heryana, dr, SpA d. Netty Harjantien EP , dr, SpA(K) FT4, TSH, BUN, kreatinin. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3 hari. 1. Nelly E Kirk, Fechner PY, Rosenfeld RG. Turner Syndrome. Dalam Pediatric Endocrinology 5th ed. Vol2. FimaLifshift,ed. New York. 2007: 305-19. 2. Saenger P. Turner Syndrome. Chapter 15. Dalam : Pediatric Endocrinology, Third Edition. Philadelphia. 2008.610-52. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 26 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 GRAVES DISEASE 1. Pengertian (Definisi) Kelainan imunogenetik yang memiliki karakteristik klinis yaitu tiromegali, hipertiroidism dan oph thalmopati infiltrative 2. Anamnesis Sulit tidur, mudah lelah saat aktivitas, cemas, dada berdebar, peningkatan nafsu makan, kehilangan berat badan, tidak tahan udara panas,peningkatan frekuensi buang air besar. Riwayat keluarga (+) pada 60% kasus 3. PemeriksaanFisik Struma difus, takikardi, wide pulse pressure, proptosis, tremor, keringatberlebih, kelemahanototproksimal 4. PemeriksaanPenunjang FT 4 , TSH, antibody tiroid (terutamaTSH receptor antibodies / TRAbs), ambil anyodium radioaktif 5. Kriteria Diagnosis Struma difus, FT 4 meningkat, TSH menurun, TRAbs (+) 6. Diagnosis 7. Diagnosis Banding Adenoma tiroid, , Toxic multinodular goiter, sindroma McCune – Albright, tumor pituitari 8. Terapi ObatAntitiroid Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris Namaobat Dosis/hari Pemberian Propiltiourasil 5-10 mg/kg Dalam 3 dosis Metimazol 0.25-1.0 mg/kg Dalam 1 atau 2 dosis Propanolol 0.5-2.0 mg/kg Dalam 3 dosis Yodiumradioaktif Indikasi : pasien Graves relaps dengan pengobatan anti tiroid jangka lama : pasien dengan penyakit tiro kardiak berat : pasien dengan multi nodulartoksik : pasien yang hipersensitif terhadap obatan titiroid Pembedahan Indikasi : struma yang sangat besar dan resisten terhadap radio aktif : ibu hamil dengan struma nodular yang alergi obatan titiroid : pasien yang alergi obatan titiroid dan tidak ingin diterapi dengan Yodium radioaktif 9. Edukasi Kepatuhan minum obat 10. Prognosis Remisi sebesar 25% setiap 2 tahun pengobatan 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. Penelaah Kritis a. Nur Rochmah,dr,SpA b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K) c. A Yuniari Heryana, dr, SpA d. Netty Harjantien EP, dr, SpA(K) Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 27 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 GRAVES DISEASE 14. Indikator Medis FT 4 , TSH. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 4 hari. 15. Kepustakaan 1. Susanto R, Julia M, Hakimi. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam: Batubara J, Tridjaja B, Pulungan A, penyunting. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI 2010; 205-47. 2. Brown RS. The Thyroid. Dalam: Charles C, Clayton P, Brown R, penyunting. Brook’s Clinical Pediatric Endocrinology. 6th edition. Boston: A John Wiley & Sons, Ltd., Publication 2009;250-82. 3. Dallas J, Foley T. Hyperthyroidism. Dalam: Lifshitz F, penyunting. Pediatric Endocrinology 5th edition Volume 2Growth, Adrenal, Sexual, Thyroid, Calcium, and Fluid Balance Disorders. New York: Informa Healthcare USA, Inc. 2007; 415-42. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 28 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 HASHIMOTO’S TYROIDITIS 1. Pengertian (Definisi) Penyaki tautoimun yang spesifik menyerang kelenjar tiroid 2. Anamnesis Usia > 6 tahun, pembesaran kelenjar tiroid, rasa tekanan di leher / kesulitan menelan, anak pendek dan gemuk (disbanding teman sebaya), tidak tahan dingin, konstipasi, prestasi sekolah terganggu. 3. Pemeriksaan Fisik strumadifus, letargi. Retardasi pertumbuhan, kulit kering 4. Pemeriksaan Penunjang Thyroid anti peroxidase antibodies (TPOAbs), Thyrotropin receptor-blocking antibodies (TRBAbs), FT 4 , TSH, USG, skintigrafi, biopsy jarum halus bila antibody anti tiroid negatif 5. Kriteria Diagnosis TPOAbs (+) atauTRBAbs (+).FT 4 ↓, TSH ↑ 6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris 7. Diagnosis Banding GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium) 8. Terapi Levotiroksin (L-T 4 )100 μg/m2 luas permukaan tubuh. 9. Edukasi 1. Kepatuhan minum obat 2. Dapat terjadi krisis tiroid yang menyebabkan kematian (gelisah, lekas marah, berkeringat banyak, hiperaktivitas → delirium, koma). 10. Prognosis Prognosis baik bila terapi ade kuat. Konsekuensi paling berat adalah retardasi pertumbuhan 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. Penelaah Kritis a. Nur Rochmah,dr,SpA b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K) c. A Yuniari Heryana, dr, SpA d. Netty Harjantien EP, dr, SpA(K) 14. Indikator Medis FT 4 , TSH. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 4 hari. 15. Kepustakaan 1. Susanto R, Julia M, Hakimi. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam: Batubara J, Tridjaja B, Pulungan A, penyunting. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI 2010; 205-47. 2. Brown RS. The Thyroid. Dalam: Charles C, Clayton P, Brown R, penyunting. Brook’s Clinical Pediatric Endocrinology. Edisi 6. Boston: A John Wiley & Sons, Ltd., Publication 2009; 250-82. 3. Fisher D, grueters A. Thyroid Disorders in Childhood and Adolescence. Dalam: Sperling M, penyunting. Pediatric endocrinology, 3rd edition. Philadelphia: Elsevier Inc. 2008; 227-53. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 29 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DEFISIENSI HORMON PERTUMBUHAN 1. Pengertian (Definisi) Pada Growth Hormone stimulation test didapatkan hasil yang rendah 2. Anamnesis - Perawakan pendek disbanding anak sebaya, - Tidak ada riwayat pubertas/ menstruasi orang tua tidak terlambat 3. PemeriksaanFisik - Perawakan pendek 4. Pemeriksaan Penunjang - Stimulasi hormone pertumbuhan dengan insulin/ clonidin - IGF-1 - bone age 5. Kriteria Diagnosis - Tinggi badan di bawah persentil 3 atau -2 SD - Kecepatan tumbuh di bawah P25 - Usiatulang terlambat > 2 tahun - Kadar GH < 10 ng/ml pada 2 jenis uji provokasi - IGF-1 rendah - Tidak ada kelainan dismorfik tulang atau sindroma tertentu 6. Diagnosis Berdasarkan pemeriksaan fisik dan kadar hormone pertumbuhan 7. Diagnosis Banding Perawakan pendek familial, constitutional delay of growth and puberty, hipotiroid 8. Terapi Hormon pertumbuhan 9. Edukasi - Terapi secara teratur - Efek samping terapi 10. Prognosis Tergantung etiologi 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. Penelaah Kritis a. Nur Rochmah,dr,SpA b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K) c. A Yuniari Heryana, dr, SpA d. Netty Harjantien EP, dr, SpA(K) 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan Pertumbuhan, IGF 1. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3 hari. - Rosen bloom AL, Connor EL. Hypopituitarism and Other Disorders of the Growth Hormone – Insulin Like Growth Factor 1 Axis. In Pediatric Endocrinology 5th ed. Vol 2. Hal 65-90. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 30 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DIARE BERKEPANJANGAN 1. Pengertian (Definisi) Diare adalah keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam. Diare berkepanjangan adalah diare akut yang berlangsung lebih dari 7 hari Diare kronik adalah diare dengan atau tanpa disertai darah yang berlangsung ≥ 14 hari bukan disebabkan oleh infeksi 2. Anamnesis Onset, frekuensi, kuantitas dan karakter diare (cair, adanya lendir dan atau darah) dan muntah (adanya darah, bilious). Panas Kembung Adanya dehidrasi : mata cowong, air mata kering, buang air kecil berkurang, sesak, kejang, dan gangguan kesadaran Adanya pemyakit penyerta lain Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya Intake Adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair, kembung, iritasi pada pantat 3. Pemeriksaan Fisik Pengukuran berat badan Kesadaran Tanda vital Mata cowong Adanya air mata Turgor kulit Bising usus Extremitias (perfusi, capillary refill time) Derajat dehidrasi ditentukan dengan kriteria WHO : Dehidrasi berat : Minimal dua gejala: Letargi/ penurunan kesadaran, mata cowong, malas minum ataupun turgor kulit sangat menurun (≥2 detik) Dehidrasi ringan-sedang : Minimal dua gejala, atau satu gejala dehidrasi berat dan satu gejala: Anak gelisah / iritabel, Mata cowong, Anak tampak haus / ingin minum banyak ataupun Turgor kulit menurun Tidak dehidrasi apabila tidak cukup gejala untuk klasifikasi dehidrasi berat atau ringan-sedang 4. Pemeriksaan Penunjang Analisa feses Test malabsorbsi: clini test,floating test Darah lengkap Kultur feses, Kultur urine.Pemeriksaan serum elektrolit, pemeriksaan gas darah tidak rutin dilakukan. 5. Kriteria Diagnosis Gejala Klinis Derajat dehidrasi Komplikasi (apabila terjadi) 6. Diagnosis Diare berkepanjangan osis Banding Apendisitis akut Intussusepsi Infeksi saluran kemih Resusitasi cairan dan elektrolit bila ada gangguan sesuai derajat dehidrasi Identifikasi Penyebab diare Zinc selama 10-14 hari dengan dosis 10mg/hari (untuk anak di bawah 6 bulan) dan 20mg/hari (untuk anak di atas 6 bulan). Antibiotika diberikan pada kasus tertentu Vitamin A 100.000 IU IM (untuk anak di atas 1 tahun); 50.000 IU (untuk anak di bawah 1 Tahun). Probiotik : 1 kapsul/1 bungkus per hari. Penatalaksanaan sesuai penyebab Obat-obat antidiare tidak dianjurkan. Pengelolaan diit yang rasional 9. Edukasi Menjaga higiene dan sanitasi Tanda-tanda dehidrasi Tetap memberikan ASI Diet sesuai etiologi Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 31 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DIARE BERKEPANJANGAN 10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. Penelaah Kritis Prof. Dr. Subijanto MS, dr, SpA(K) Dr. Reza Ranuh, dr, SpA(K) Alpha Fardah Athiyyah, dr, SpA(K) Andy Darma, dr, SpA 14. Indikator Medis 80% penderita akan sembuh dalam waktu 14 hari Tidak dehidrasi Diare berkurang 15. Kepustakaan WHO. Pocket book of Hospital care for children. 2005 UKK Gastrohepatologi IDAI. Modul Diare. 2010 UKK Gastrohepatologi. Buku Ajar Gastrohepatologi 2010 Suparto, P. Studi mengenai Gastroenteritis Akuta Dengan Dehidrasi Pada Anak Melalui Pendekatan Epidemiologi Klinik Desertasi, 1987. Larry K.Pickering and John D.Snyder. Gastroenteritis. In: Nelson. Texbook of Pediatrics. Saunders, Philadelphia, Edisi 17 2004; p.1272-1276. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 32 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DIARE AKUT DEHIDRASI BERAT 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik Diare adalah keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam. Diare akut: Diare yang berlangsung paling lama 14 hari. Diare berdarah adalah episode diare akut dengan darah dalam tinja Dehidrasi berat: dehidrasi >10% untuk bayi dan >9% untuk anak dan menunjukkan tanda gangguan alat vital tubuh (somnolen, koma, Kussmaul, gangguan dinamik sirkulasi) dan memerlukan pemberian cairan-elektrolit parenteral. Onset, frekuensi, kuantitas dan karakter diare (cair, adanya lendir dan atau darah) dan muntah (adanya darah, bilious). • Panas • Kembung Adanya dehidrasi : mata cowong, air mata kering, buang air kecil berkurang, sesak, kejang, dan gangguan kesadaran • Adanya penyakit penyerta lain • Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya • Intake Adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair, kembung, iritasi pada pantat • • • • • • • • Pengukuran berat badan Kesadaran Tanda vital Mata cowong Adanya air mata Turgor kulit Bising usus Extremitias (perfusi, capillary refill time) Derajat dehidrasi ditentukan dengan kriteria WHO : Dehidrasi berat : Minimal dua gejala: Letargi/ penurunan kesadaran, mata cowong, malas minum ataupun turgor kulit sangat menurun (≥2 detik) Dehidrasi ringan-sedang : Minimal dua gejala, atau satu gejala dehidrasi berat dan satu gejala: Anak gelisah / iritabel, Mata cowong, Anak tampak haus / ingin minum banyak ataupun Turgor kulit menurun Tidak dehidrasi apabila tidak cukup gejala untuk klasifikasi dehidrasi berat atau ringan-sedang 4. Pemeriksaan Penunjang Analisa feses, urine Darah lengkap, serum elektrolit, fungsi ginjal, analisa gas darah Kultur feses, 5. Kriteria Diagnosis Gejala Klinis Derajat dehidrasi Komplikasi (apabila terjadi) 6. Diagnosis Diare akut Dehidrasi berat 7. Diagnosis Banding Apendisitis akut Intussusepsi Infeksi saluran kemih 8. Terapi Rehidrasi : beri 100 ml/kg cairan Ringer Laktat / Ringer Asetat (atau bila tidak tersedia, dapat diberikan NaCl 0.9%) yang dibagi sebagai berikut Usia <12 bulan : 30 ml/kg dalam 1 jam dilanjutkan 70 ml/kg dalam 5 jam berikutnya Usia ≥12 bulan : 30 ml/kg dalam 30 menit dilanjutkan 70 ml/kg dalam 2 ½ jam berikutnya Dapat diulang jika denyut nadi masih sangat lemah / tidak teraba Periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika status hidrasi belum membaik, beri tetesan intravena lebih cepat. Juga beri oralit (5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum ; biasanya setelah 3-4jam (bayi) atau 1-2 jam (anak). Makanan tetap diberikan, ASI maupun formula diteruskan. Zinc selama 10-14 hari dengan dosis 10mg/hari (untuk anak di bawah 6 bulan) dan 20mg/hari (untuk anak di atas 6 bulan). Antibiotika diberikan pada kasus tertentu Vitamin A 100.000 IU IM (untuk anak di atas 1 tahun); 50.000 IU (untuk anak di bawah 1 Tahun). Probiotik : 1 kapsul/1 bungkus per hari. Pengobatan problem penyerta (gangguan elektrolit, keseimbangan asam basa) Obat-obat antidiare tidak dianjurkan. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 33 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DIARE AKUT DEHIDRASI BERAT 9. Edukasi Menjaga higiene dan sanitasi Tanda-tanda dehidrasi Tetap memberikan ASI 10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. Penelaah Kritis Prof. Dr. Subijanto MS, dr, SpA(K) Dr. Reza Ranuh, dr, SpA(K) Alpha Fardah Athiyyah, dr, SpA(K) Andy Darma, dr, SpA 14. Indikator Medis 80% penderita akan sembuh dalam waktu 7 hari Tidak dehidrasi Diare berkurang 15. Kepustakaan WHO. Pocket book of Hospital care for children. 2005 UKK Gastrohepatologi IDAI. Modul Diare. 2010 UKK Gastrohepatologi. Buku Ajar Gastrohepatologi 2010 Suparto, P. Studi mengenai Gastroenteritis Akuta Dengan Dehidrasi Pada Anak Melalui Pendekatan Epidemiologi Klinik Desertasi, 1987. Larry K.Pickering and John D.Snyder. Gastroenteritis. In: Nelson. Texbook of Pediatrics. Saunders, Philadelphia, Edisi 17 2004; p.1272-1276. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 34 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DIARE KRONIK 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis Diare Kronik adalah keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam dengan atau tanpa disertai darah yang berlangsung ≥ 14 hari - Onset, frekuensi, kuantitas dan karakter diare (cair, adanya lendir dan atau darah) dan muntah (adanya darah, bilious). Panas Kembung Adanya dehidrasi : mata cowong, air mata kering, buang air kecil berkurang, sesak, kejang, dan gangguan kesadaran Adanya pemyakit penyerta lain Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya Intake Adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair, kembung, iritasi pada pantat - 3. Pemeriksaan Fisik - Pengukuran berat badan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Analisa feses, urine Darah lengkap Kultur feses, Kultur urin Pemeriksaan serum elektrolit, pemeriksaan gas darah tidak rutin dilakukan. Uji malabsorbsi : Clini test, Floating test Biopsi usus BOF Kesadaran Tanda vital Derajat dehidrasi Bising usus Pemeriksaan anorectal Extremitias (perfusi, capillary refill time) Ada gagal tumbuh Ada malnutrisi Gejala lain yang menyertai 4. Pemeriksaan Penunjang 5. Kriteria Diagnosis 1. 2. 3. 6. Diagnosis Diare Kronik 7. Diagnosis Banding Apendisitis akut Intussusepsi Infeksi saluran kemih 8. Terapi 1. Koreksi gangguan cairan dan elektrolit bila ada 2. Makanan tetap diberikan, ASI maupun formula diteruskan. 3. zinc selama 10-14 hari dengan dosis 10mg/hari (untuk anak di bawah 6 bulan) dan 20mg/hari (untuk anak di atas 6 bulan). 4. Antibiotika diberikan pada kasus tertentu 5. Vitamin A 100.000 IU IM (untuk anak di atas 1 tahun); 50.000 IU (untuk anak di bawah 1 Tahun). 6. Probiotik : 1 kapsul/1 bungkus per hari. 7. Pengobatan problem penyerta. 8. Obat-obat antidiare tidak dianjurkan. 9. Dietetik : • Dalam keadaan berat mungkin diperlukan parenteral nutrisi • Enteral continous drip feeding memberikan hasil baik dengan formula khusus (low lactose) • Dalam keadaan malabsorbsi berat , serta alergi protein susu sapi dapat diberikan elemental atau semi elemental formula 9. Edukasi 1. 2. 3. Gejala Klinis Derajat dehidrasi Komplikasi : sepsis , malnutrisi, gangguan tumbuh kembang Menjaga higiene dan sanitasi Tanda-tanda dehidrasi Tetap memberikan ASI Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 35 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DIARE KRONIK 10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C a. b. c. d. 13. Penelaah Kritis Prof. Dr. Subijanto MS, dr, SpA(K) Dr. Reza Ranuh, dr, SpA(K) Alpha Fardah Athiyyah, dr, SpA(K) Andy Darma, dr, SpA 14. Indikator Medis Tidak dehidrasi Diare berkurang Tidak malnutrisi Tidak gagal tumbuh 15. Kepustakaan 1. 2. 3. 4. WHO. Pocket book of Hospital care for children. 2005 UKK Gastrohepatologi IDAI. Modul Diare. 2010 UKK Gastrohepatologi. Buku Ajar Gastrohepatologi 2010 Larry K.Pickering and John D.Snyder. Gastroenteritis. In: Philadelphia, Edisi 17 2004; p.1272-1276. Nelson. Texbook of Pediatrics. Saunders, Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 36 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGUS Refluks gastroesofagus (RGE) adalah aliran balik isi lambung (berupa air liur, makanan/minumam, cairan lambung, cairan pankreas, cairan empedu) ke dalam esofagus tanpa adanya usaha. Fisiologis : regurgitasi setelah minum/makan dengan waktu yang singkat, tidak ada keluhan lainnya. Patologis : regurgitasi berulang dengan waktu yang lebih lama, terjadi siang/malam, tidak bergantung minum/makan, dapat disertai keluhan radang esofagus. 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis - 3. Pemeriksaan Fisik - Pengukuran berat badan 1. 2. 3. 4. 5. Darah lengkap Pemantauan pH esofagus Endoskopi Biopsi jaringan esofagus Barium meal : mendeteksi kelainan anatomi saluran cerna atas Keluhan regurgitasi, dapat disertai darah Nyeri dada atau rasa terbakar Batuk, sesak Suara serak Anemia (pucat) Muntah darah/BAB darah Kesulitan menelan Gelisah Penurunan berat badan, kenaikan berat badan yang tidak optimal Pada bayi : rewel saat minum, menolak minum, aspirasi berulang Kesadaran Tanda vital Anemia Sesak (stridor, wheezing) 4. Pemeriksaan Penunjang 5. Kriteria Diagnosis 1. 2. 3. 4. 6. Diagnosis Penyakit refluks gastroesofageal 7. Diagnosis Banding Akalasia Gastroparesis Gastroenteritis Ulkus peptik Esophagitis/gastroenteritis eosinofilik Alergi makanan Pankreatitis Appendisitis 8. Terapi 1. RGE fisiologis : Yakinkan orangtua bahwa regurgitasi adalah fisiologis ASI diteruskan Jika frekuensi berlebih (>4 kali sehari) dan bayi sudah mendapat susu formula, dapat diberikan thickening milk modifikasi Posisi bayi setelah minum, terlentang dengan sudut 45-60 derajat antara pinggang dengan tempat tidur Prokinetik (cisaprid) 0,2 mg/kg/kali, 3 kali sehari, bila tatalaksana di atas tidak memberikan respon 2. RGE patologis (terbukti penyakit RGE) : H2 antagonis (ranitidin) 2 mg/kg/BB/hari, 2 kali sehari, atau Proton pump inhibitor (PPI), omeprazole 1-2 mg/kgBB/hari, sekali sehari Diberikan selama 1-2 bulan bergantungh respon klinis Bedah dilakukan bila tidak respon terapi atau RGE yang mengancam jiwa 9. Edukasi 1. 2. 3. Anamnesa Gejala Klinis Endoskopi Biopsi Tanda-tanda kegawatan Gangguan susunan saraf pusat Tetap memberikan ASI Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 37 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGUS 10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis Tatalaksana dengan H2 antagonis atau PPI membaik dalam 2 minggu 15. Kepustakaan 1. 2. 3. a. b. c. d. 4. Prof. Dr. Subijanto MS, dr, SpA(K) Dr. Reza Ranuh, dr, SpA(K) Alpha Fardah Athiyyah, dr, SpA(K) Andy Darma, dr, SpA IDAI. Pedoman pelayanan medis. 2011 GRAMIK FK UNAIR. Sindroma gangguan motilitas saluran cerna. 2004 Sulaiman B. Gastroesophageal reflux disease (GERD) in children : from infancy to adolescence. Journal of Medical sciences, 2011 Yvan Vandenplas, Colin D. Rudolph, at all. Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines: Joint Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN) and the European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN). Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, 2009 Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 38 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 PENYAKIT HIRSCHPRUNG 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik Penyakit Hirschprung adalah penyakit yang ditandai dengan tidak adanya sel ganglion di dalam pleksus mienterikus dan submukosa. Panjang segmen aganglionik bervariasi mulai dari segmen yang pendek yang hanya mengenai daerah sfingter anal sampai daerah yang meliputi seluruh kolon bahkan usus kecil. Pada bayi: Pada anak: - Pada anak ditandai dengan distensi perut Gagal tumbuh Muntah Diare intermiten Konstipasi disusul dengan diare yang eksplosif enterokolitis Pemeriksaan rektal 4. Mekonium >48 jam Distensi abdominal setelah hari kedua Muntah Minum berkurang Saluran anal dan ampula rekti yang kecil Biopsi Rektal Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan radiologis - Foto polos abdomen: usus mengalami distensi, sedikit udara di rektum - Colon in loop: tampak zona transisi Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi; Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi; Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi 5. Kriteria Diagnosis 1. 2. 3. 6. Diagnosis Penyakit Hirschprung 7. Diagnosis Banding Konstipasi idiopatik 8. Terapi 1. Penanganan umum: - Stabilisasi Penderita - Antibiotik bila terjadi enterokolitis - Evakuasi kolon dengan enema 2. Penanganan khusus: - Kolostomi - Dilanjutkan bedah definitif 9. Edukasi 1. 2. Gejala Klinis Pemeriksaan radiologis Komplikasi (apabila terjadi) Menjaga higiene dan sanitasi Tetap memberikan ASI 10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. Penelaah Kritis a. b. c. d. Prof. Dr. Subijanto MS, dr, SpA(K) Dr. Reza Ranuh, dr, SpA(K) Alpha Fardah Athiyyah, dr, SpA(K) Andy Darma, dr, SpA Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 39 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 PENYAKIT HIRSCHPRUNG 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan 1. 2. Secara umum prognosisnya baik 90% pasien mendapat tindakan pembedahan dan sembuh 10% pasien bermasalah dengan saluran cerna sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%. Imseis, E. And C.E. Gariepy (2004). Hirschprung’s disease. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker., Goulet., Kleinman.et al.Ontario, BC Decker Inc.1 : 1031-1043 O;Neill.(2004).”Hirscphrung’s Disease”, 2006, from www.APSA Resources for parents Hirschprung’s Disease Pt_1.htm. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 40 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 PERDARAHAN GASTROINTESTINAL PADA ANAK 1. Pengertian (Definisi) Perdarahan gastrointestinal dapat terjadi dimana saja pada traktus digestivus dari mulut sampai dengan anus. Darah dapat terlihat pada tinja atau muntahan atau dapat saja perdarahan tersembunyi yang hanya dapat dilihat dengan pemeriksaan laboratorium. Perdarahan Gastrointestinal dibagi menjadi: 1. Perdarahan gastrointestinal atas ialah perdarahan yang terjadi pada saluran cerna bagian proksimal dari ligamentum Treitz 2. Perdarahan gastrointestinal bawah ialah perdarahan yang terjadi pada saluran cerna dibawah ligamentum Treitz 2. Anamnesis • • • • • • • Konfirmasi darah yang keluar benar- benar keluar dari traktus digestivus Jumlah darah yang keluar dan karakteristiknya Anak tampak sakit akut atau kronis Apakah perdarahan masih berlangsung Riwayat pemberian obat (antikoagulan, aspirin,dll) Riwayat penyakit terdahulu (epitaksis, penyakit hati, perdarahan) Riwayat muntah hebat kemudian disusul muntah darah 3. Pemeriksaan Fisik • • • • • Kesadaran dan tanda vital Tanda-tanda syok Peningkatan nadi 20/menit atau penurunan tekanan darah sistolik 10 mmHg saat dari duduk akan berdiri merupakan tanda terjadi perdarahan yang cukup signifikan Tanda-tanda hipertensi portal, obstruksi intestinal, koagulopati, epistaksis, fisura ani dan hemoroid Pemeriksaan colok dubur • • • • • • Apt test untuk membedakan darah bayi dan darah ibu Foto polos abdomen Esofagogastrodudodenoskopi Sigmoidoskopi dan kolonoskopi Biopsi Meckel scan 4. Pemeriksaan Penunjang 5. Kriteria Diagnosis 1. 2. 3. Gejala Klinis Derajat perdarahan Komplikasi (apabila terjadi) 6. Diagnosis Perdarahan gastrointestinal atas atau bawah 7. Diagnosis Banding Hipertensi Portal Tifus Abdominalis Megakolon toksik Tumor colon NEC 8. Terapi 1. 2. 3. 4. 9. Edukasi 1. 2. Resusitasi cairan Kumbah lambung dengan menggunakan normal saline Perdarahan dari pembuluh darah (varises, kelainan vaskuler) yang persisten: • Vasopresin 20 unit/1,73m2 selama 20 menit atau ocreotide 25-30 µg/m2/jam, keduanya dapat diberikan selama 24 jam apabila diperlukan • Pemasangan Sengstaken-Blakemore tube • Skleroterapi • Konsul bedah anak Perdarahan akibat ulkus : antasida, dekompresi gaster, elektrokauter, injeksi epinefrin lokal, pembedahan darurat. Tanda-tanda syok Tanda-tanda perdarahan 10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam 11. Tingkat Evidens IV Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 41 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 PERDARAHAN GASTROINTESTINAL PADA ANAK 12. Tingkat Rekomendasi C a. b. c. d. 13. Penelaah Kritis Prof. Dr. Subijanto MS, dr, SpA(K) Dr. Reza Ranuh, dr, SpA(K) Alpha Fardah Athiyyah, dr, SpA(K) Andy Darma, dr, SpA 14. Indikator Medis Tidak anemia Perdarahan berhenti 15. Kepustakaan 1. 2. Suraatmaja, S. Kapita selekta Gastroenterologi Anak. 2010 UKK Gastrohepatologi. Buku Ajar Gastrohepatologi 2011 Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 42 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2012-2014 ANEMIA DEFISIENSI BESI 1. 2. Pengertian (Definisi) Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis Anemia yang disebabkan karena kekurangan zat besi untuk sintesis hemoglobin. • kebutuhan besi meningkat (masa pertumbuhan yang cepat, menstruasi, infeksi kronis) • kekurangan besi yang diserap (pola makan dan jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari) • menderita perdarahan saluran cerna (tukak lambung, penyakit Crohn, colitis ulserativa) • pucat, lemah, lesu, gejala pika, penurunan nafsu makan • mengalami gangguan perilaku dan prestasi belajar • anemia tanpa disertai ikterus, organomegali dan limfadenopati • stomatitis angularis, atrofi papil lidah, koilonikia • takikardi, murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran jantung • gangguan pertumbuhan • bila Hb <5 g/dL ditemukan gejala iritabel dan anoreksia • riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik • Hemoglobin, Hematokrit dan Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC) menurun, RDW meningkat • hapusan darah tepi: hipokromik mikrositik • kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat, saturasi besi menurun • kadar feritin menurun ANEMIA DEFISIENSI BESI • Thalassemia (khususnya Thalassemia minor) HbA 2 meningkat feritin serum dan timbunan Fe tidak turun • anemia karena infeksi menahun pada umumnya anemia normokromik normositik, kadang-kadang terjadi anemia hipokromik mikrositik feritin serum dan timbunan Fe tidak turun kadar SI menurun dan TIBC menurun atau normal • keracunan timah hitam (Pb) terdapat gejala lain keracunan Pb • Anemia sideroblastik terdapat ring sideroblastik pada pemeriksaan sumsum tulang • Hemoglobin, Hematokrit dan Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC), RDW • hapusan darah tepi • kadar besi serum (SI) dan TIBC, saturasi besi • kadar feritin 1. MEDIKAMENTOSA Pemberian preparat besi (ferro sulphate/ferro fumarate/ferro gluconate) dosis 4-6 mg besi elemental/kgBB/hari dibagi 3 dosis, diberikan di antara waktu makan. Preparat besi ini diberikan sampai 2-3 bulan setelah kadar hemoglobin normal. Ascorbic acid 100 mg/15 mg besi elemental (untuk meningkatkan absorbsi besi). 2. BEDAH Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti perdarahan karena diverticulum Meckel. 3. SUPORTIF Makanan gizi seimbang terutama yang mengandung kadar besi tinggi yang bersumber dari hewani (limpa, hati, daging) dan nabati (bayam, kacang-kacangan) 4. Lain-lain (rujukan sub spesialis, rujukan spesialisasi lainnya) Ke sub bagian terkait dengan etiologi dan komplikasi (Gizi, Infeksi, Respirologi, Gastro-Hepatologi, Kardiologi) 1. Terapi periksa kadar retikulosit setiap 2 minggu dan hemoglobin setiap 4 minggu kepatuhan orang tua dalam memberikan obat gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala gangguan gastro-intestinal misalnya konstipasi, diare, rasa terbakar di ulu hati, nyeri abdomen dan mual, gejala lain dapat berupa pewarnaan gigi yang bersifat sementara. 2. Tumbuh kembang penimbangan berat badan setiap bulan perubahan tingkah laku daya konsentrasi dan kemampuan belajar anak usia sekolah, konsultasi ahli psikologi aktivitas motorik Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. 2. 3. Prof. Bambang Permono dr, SpAK DR. IDG Ugrasena dr, SpAK Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 43 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2012-2014 ANEMIA DEFISIENSI BESI 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan 4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA Pemberian preparat besi selama 2-3 bulan dan respon pemberian preparat besi dievaluasi dengan peningkatan kadar retikulosit setiap 2 minggu dan hemoglobin setiap 4 minggu. 1. Hilmann RS, Ault KA. Iron Deficiency Anemia. Hematology in Clinical Practice. A Guide to Diagnosis and Management. New York; Mc Graw Hill, 1995: 72-85. 2. Lanzkowsky P. Iron Deficiency Anemia. Pediatric Hematology and Oncology. 2nd ed. New York; Churchill Livingstone Inc, 1995: 35-50. 3. Nathan DG, Oski FA. Iron Deficiency Anemia. Hematology of Infancy and Childhood. 1st ed. Philadelphia; Saunders, 1974: 103-25. 4. Recht M, Pearson HA. Iron Deficiency Anemia. In: Mc Millan JA, De Angelis CD, Feigin RD, Warshaw JB, penyunting. Oski’s Pediatrics: Principles and Practice. 3rd ed. Philadelphia; Lippincott William & Wilkins, 1999: 1447-8. 5. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010: 10-3. 6. Suplementasi Besi pada Bayi dan Anak. Dalam: Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011: 1-6. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 44 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2012-2014 THALASSEMIA 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi Suatu kelompok anemia hemolitik kongenital herediter yang diturunkan secara autosomal, disebabkan oleh kekurangan sintesis rantai polipeptida yang menyusun molekul globin dalam hemoglobin. • pucat • gangguan nafsu makan • gangguan tumbuh kembang • perut membesar • anemia • bentuk muka mongoloid (facies Cooley) • dapat ditemukan ikterus • gangguan pertumbuhan • splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut membesar • riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik • darah tepi Hb rendah dapat mencapai 2-3 g% gambaran morfologi eritrosit mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda Howell-Jolly, poikilositosis dan sel target. Gambaran ini lebih kurang khas. Retikulosit meningkat • pemeriksaan khusus HbF meningkat: 20-90% Hb total Elektroforesis Hb: hemoglobinopati lain dan mengukur kadar HbF. pemeriksaan pedigree: kedua orang tua pasien thalassemia mayor merupakan trait (carrier) dengan HbA 2 meningkat (>3,5% dari Hb total). • pemeriksaan lain foto Ro tulang kepala: gambaran hair on end, korteks menipis, diploe melebar dengan trabekula tegak lurus pada korteks foto tulang pipih dan ujung tulang panjang: perluasan sumsum tulang sehingga trabekula tampak jelas THALASSEMIA • anemia defisiensi besi • anemia karena infeksi menahun • anemia pada keracunan timah hitam (Pb) • anemia sideroblastik • hapusan darah tepi • pemeriksaan khusus Elektroforesis Hb pemeriksaan pedigree • pemeriksaan lain foto Ro tulang kepala foto tulang pipih dan ujung tulang panjang 1. MEDIKAMENTOSA Pemberian iron chelating agent: diberikan setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000 μg/l atau saturasi transferin lebih 50% atau sekitar 10-20 kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kgBB/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5 hari berturut-turut setiap selesai transfusi darah. Deferiprone, dosis 50-75 mg/kgBB/hari, 3x/hari peroral, setiap hari. Deferasirox, dosis 20-30 mg/kgBB/hari, 1x/hari peroral, setiap hari. Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian khelat besi, untuk meningkatkan efek kelasi besi. Folic acid 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat. Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel darah merah. 2. BEDAH Splenektomi dengan indikasi: Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya ruptur. Hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi eritrosit (Packed Red Cell/PRC) melebihi 250 ml/kgBB dalam satu tahun. 3. SUPORTIF Transfusi darah: Diberikan pada Hb «8 g/dL sampai kadar Hb 10-11 g/dL. Dengan keadaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC 10 ml/kgBB/hari. 4. Lain-lain (rujukan sub spesialis, rujukan spesialisasi lainnya) tumbuh kembang, kardiologi, gizi, endokrinologi, radiologi, gigi 1. Terapi Pemeriksaan kadar feritin setiap 1-3 bulan, karena kecenderungan kelebihan besi sebagai akibat absorbsi besi meningkat dan transfusi darah berulang. Kepatuhan orang tua dalam memberikan obat. Efek samping kelasi besi yang dipantau: demam, sakit perut, sakit kepala, gatal, sukar bernafas. Bila hal ini terjadi kelasi besi dihentikan. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 45 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2012-2014 THALASSEMIA 2. 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan Tumbuh kembang Anemia kronis memberikan dampak pada proses tumbuh kembang, sehingga diperlukan perhatian dan pemantauan tumbuh kembang penderita. 3. Gangguan jantung, hepar dan endokrin Anemia kronis dan kelebihan zat besi dapat menimbulkan gangguan fungsi jantung (gagal jantung), hepar (gagal hepar), gangguan endokrin (diabetes mellitus, hipoparatiroid) dan fraktur patologis. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK 2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK 3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK 4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA Kadar hemoglobin dipertahankan rata-rata 9,5 g/dL 1. Brozovic M, Henthorn J. Investigation of abnormal hemoglobins and thalassemia. In; Dacie JV, Lewis SM, eds. Practical Hematology. 8th ed. Churchill Livingstone Edinburgh, 1995: 249. 2. Cappellini N, Cohen A, Eleftheriou A, Piga A, Porter J. Guidelines for the Clinical Management of Thalassemia. Thalassemia International Federation, April 2000. 3. Eleftheriou A. Clinical Management of Thalassemia. In: Compliance to Iron Chelation Therapy with Desferrosamine. Thalassemia International Federation 2000: 14-6. 4. Miller DR, Baehner RL, Mc Millan CW, Miller LP. Blood Disease of Infancy and Childhood. 5th ed. St. Louis; Mosby Co, 1997: 619. 5. Nathan DB, Oski FA. Hematology of Infancy and Childhood. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders, 2000: 979. 6. Wahidiyat I, Thalassemia dan Permasalahannya di Indonesia. Naskah lengkap Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) Jakarta, 1999: 293-6. 7. Talasemia. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010: 299-302. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 46 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2012-2014 LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. 7. Diagnosis Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan Suatu keganasan primer organ pembuat darah, sehingga sumsum tulang sebagai pembuat darah didominasi oleh sel klon maligna limfositik dan terjadi penyebaran sel-sel ganas tersebut melalui darah ke semua organ tubuh. • pucat • sering demam • perdarahan • berat badan turun • anoreksia • nyeri tulang • pembesaran kelenjar getah bening dan perut Gejala klinis bervariasi luas, dapat berupa: • anemia dan tanda perdarahan: perdarahan kulit (ptekie, atraumatik ekimose), perdarahan gusi, hematuria, perdarahan saluran cerna, dan perdarahan otak • pembesaran kelenjar limfe general • organomegali (hepatomegali, splenomegali, limfadenopati), massa di mediastinum • pada jantung terjadi gejala akibat anemia • infeksi: di mulut, saluran nafas atas/bawah, selulitis, sepsis • leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah (tekanan intra kranial meningkat), perubahan status mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI dan VII, kelainan neurologic fokal • riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik • anemia normositik normokromik • pada hitung jenis terdapat limfositosis dan atau limfoblas. Jumlah limfoblas dapat mencapai 100% • pemeriksaan darah lengkap: lekosit bisa menurun, normal, atau meningkat atau hiperlekositosis (>100.000/mm3). Trombositopenia, uji tourniquet positif dan waktu perdarahan memanjang. • retikulositopenia • kepastian diagnostik: pungsi sumsum tulang. Terdapat pendesakan eritropoiesis, trombopoesis, dan granulopoesis. Sumsum tulang didominasi oleh limfoblas. Dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan immunophenotyping. • rontgen foto toraks AP dan lateral untuk melihat infiltrasi mediastinal • lumbal pungsi: untuk mengetahui ada infiltrasi ke cairan serebrospinal LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT • Anemia aplastik • pemeriksaan darah lengkap • hapusan darah tepi dan retikulosit • pungsi sumsum tulang • dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan immunophenotyping • rontgen foto toraks AP dan lateral • lumbal pungsi 1. Protokol pengobatan Protokol pengobatan menurut UKK Hemato-Onkologi ada 2 macam yaitu: a. Protokol middle dose Metothrexate (Jakarta 1994) lihat lampiran b. Protokol Nasional LLA 2006 lihat lampiran 2. Pengobatan suportif Terapi suportif misalnya transfusi komponen darah, pemberian antibiotika, nutrisi, dan psikososial 1. Terapi Komplikasi terapi adalah alopesia, depresi sumsum tulang, agranulositosis. Sepsis merupakan komplikasi selama pengobatan sitostatik. Pada pemberian kortikosteroid dapat terjadi perubahan perilaku, misalnya marah dan nafsu makan yang berlebihan. 2. Tumbuh kembang Pasien secepatnya masuk sekolah. Dalam jangka lama perlu diobservasi fungsi hormonal dan tumbuh kembang anak. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK 2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK 3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK 4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA Remisi komplit dicapai setelah pengobatan selama 108-118 minggu. 1. Bagemann, Rastetter J. Atlas of Acute Leukemia. In: Clinical Hematology 3rd ed. Thieme, Stuttgart. 1986: 243-8. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 47 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2012-2014 LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT 2. 3. 4. 5. 6. Margolin JF, Robin KR, Steuber CP. Acute Lymphoblastic Leukemia in Principle and Practice of Pediatric Oncology, 6th ed. Lipincott. 2011: 518-65. Munker R and Sakhalkar V. Acute Lymphoblastic Leukemia in Modern Hematology, Biology and Clinical Management, 2nd ed. Munker R, Hiller E, Glass J, Paqutte R edsd.en Press. 2007: 173-93. Nathan DB, Oski FA. Hematology of Infancy and Childhood 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders, 2000: 979. Saha V and Chessells J. Childhood Lymphoblastic Leukemia in Evidence Based Pediatric Oncology, 2nd . Pinkerton Rshankar AG and Matthay K eds, Blackwell. 2007: 267-78. Sandlund J, Harrison PL, Rivers G, Behm FG, Head D, Boyett J, Rubritz JE, et all. Persistence of Lymphoblasts in Bone Marrow on Day 15 and Day 22 to 25 of Remission Induction Predicts a Dismal Treatment Outcome in Children with Acute Lymphoblastic Leukemia. Blood, 2002: 100: 43-6. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 48 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2012-2014 PURPURA TROMBOSITOPENIK IMUN (PTI) 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis Kelainan perdarahan pada anak usia 2-4 tahun, dengan insiden 4-8 kasus per 100.000 anak per tahun. Terjadi akut, sembuh sendiri dalam 6 bulan dan jika PTI terjadi pada usia <1 tahun atau >10 tahun, kronis dan dihubungkan dengan kelainan imunitas. • riwayat infeksi saluran nafas atas atau saluran cerna 1-3 minggu sebelumnya • riwayat perdarahan, gejala dan tipe perdarahan, lama perdarahan, riwayat sebelum perdarahan • riwayat pemberian obat-obatan misalnya heparin, sulphonamide, quinidine/quinine, aspirin • riwayat ibu menderita HIV, riwayat keluarga yang menderita trombositopenia atau kelainan hematologi • manifestasi perdarahan, tipe perdarahan termasuk perdarahan retina, derajat berat perdarahan • perabaan hati, limpa, kelenjar getah bening • infeksi • gambaran dismorfik yang diduga kelainan kongenital termasuk kelainan tulang, kehilangan pendengaran • riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik • manifestasi perdarahan • trombositopenia • dihubungkan dengan kelainan imunitas PURPURA TROMBOSITOPENIK IMUN (PTI) • Anemia aplastik • Leukemia • Septikemia • Penyakit imunologik • morfologi eritrosit, leukosit dan retikulosit • Hemoglobin, indeks eritrosit dan jumlah leukosit • Trombosit, masa perdarahan PTI AKUT • bed rest (Masuk Rumah Sakit) dan roborantia • kortikosteroid Prednison 2 mg/kgBB/hari peroral selama 7 hari, kemudian tapering of dalam periode 7 hari. PTI KRONIS Kortikosteroid Prednison 2 mg/kgBB/hari/po atau iv selama 7 hari, kemudian tapering of dalam periode 7 hari. Pada perdarahan emergensi: Methylprednisolone 8-12 mg /kgBB/iv atau Dexamethasone 0,5-1,0 mg /kgBB/iv atau po, bersama-sama dengan IVIG atau transfusi trombosit. Intravenous immunoglobulin (IVIG) Dosis inisial 0,8 g/kgBB, 1x pemberian. Diulang dengan dosis yang sama jika jumlah trombosit <30x109 /l pada hari ke 3 (72 jam setelah infus pertama). Pada perdarahan emergensi: 0,8 g/kgBB, 1-2 kali pemberian, bersama-sama dengan kortikosteroid dan transfusi trombosit. Pada PTI kronis: 0,4 g/kgBB/x, setiap 2-8 minggu. Siklosporin 3-8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis Azatioprin 50-300 mg/m2 per os/hari selama 4 bulan Transfusi trombosit pada umumnya tidak diberikan berhubung adanya zat anti terhadap trombosit Splenektomi kadang-kadang dilakukan pada PTI akut dengan dugaan perdarahan otak. Dilakukan bersama dengan transfusi trombosit dalam jumlah besar. Pemantauan tanda-tanda perdarahan Pencegahan dan penanganan infeksi PTI AKUT Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam PTI KRONIS Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis I/II/III/IV A/B/C 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK 2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK 3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK 4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA PTI akut sembuh sendiri dalam 6 bulan dan jika PTI terjadi lebih dari 6 bulan akan menjadi kronis dan dihubungkan dengan kelainan imunitas. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 49 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2012-2014 PURPURA TROMBOSITOPENIK IMUN (PTI) 15. Kepustakaan 1. 2. 3. 4. Lanzkowsky P. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Edisi ke 2. New York: Churchill Livingstone; 1995: 202-3. Lillyman JS. Disorders of Platellets. Thrombocytopenia and Thrombocytosis. Dalam: Lillyman JS, Hann IM, penyunting. Paediatric Hematology. Edisi ke 1. Edinburgh: Churchill Livingstone; 1992: 12968. Beardsky DS. Platelet Abnormalities in Infancy and Childhood. Edisi ke 4. Philadelphia: Saunders; 1993: 1561-604. Grabowski EF, Corrigan JJ. Hemostasis: General Considerations. Dalam: Miller DR, Baehner RL, Miller LP, penyunting. Blood Diseases of Infancy and Childhood. Edisi ke 7. St. Louis: Mosby; 1995: 849-923. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 50 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2012-2014 HEMOFILIA 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi Penyakit kongenital herediter yang disebabkan karena gangguan sintesis faktor pembekuan darah. Ada 3 jenis hemofilia: Hemofilia A: defek faktor VIII Hemofilia B: defek faktor IX (prevalensi Hemofilia A:B=5-8:1) Hemofilia C: defek faktor XI (jarang) Klasifikasi derajat hemofilia berdasarkan kadar FVIII/FIX: Ringan: 5-25% (5-25 U/dL) Sedang: 1-5% (1-5 U/dL) Berat: <1% (<1 U/dL) • riwayat perdarahan yang terjadi spontan atau paska trauma/operasi, seperti: perdarahan lewat tali pusat saat lahir, perdarahan sendi karena jatuh saat belajar berjalan, riwayat timbul “biru-biru” bila terbentur • nyeri/bengkak pada sendi • riwayat keluarga dengan keluhan perdarahan yang sama Ada perdarahan yang dapat berupa: • hematom di kepala atau tungkai atas/bawah • hemarthrosis (sendi bengkak, hangat pada perabaan, nyeri dan gerak terbatas) • sering dijumpai perdarahan interstitial yang akan menyebabkan atrofi otot, pergerakan terganggu dan terjadi kontraktur sendi. Sendi yang sering terkena adalah siku, lutut, pergelangan kaki, paha dan sendi bahu • perdarahan intrakranial, dapat ditemukan pucat, syok, sesak napas dan/atau penurunan kesadaran • riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik • APTT memanjang • PPT normal • Serum Prothrombin Time pendek • kadar fibrinogen normal • Retraksi bekuan baik • kadar Faktor VIII/IX HEMOFILIA • Von Willebrand’s disease • Defisiensi Vitamin K • APTT • PPT • Serum Prothrombin Time • Kadar fibrinogen • Retraksi bekuan • kadar Faktor VIII/IX Hemofilia A 1. Darah segar Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang mencapai 20-40% kemudian diikuti pemberian FVIII hingga mencapai kadar hemostatik 2. Plasma segar beku Pemberiannya harus disesuaikan dengan golongan darah dan faktor rhesus untuk mencegah reaksi transfusi hemolitik. Dosis 10-15 ml/kgBB dengan interval 8-12 jam. 3. Kriopresipitat 4. Konsentrat FVIII Hemofilia B 1. Darah segar Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang mencapai 20-40% kemudian diikuti pemberian FIX hingga mencapai kadar hemostatik 2. Plasma segar beku Pemberiannya harus disesuaikan dengan golongan darah dan faktor rhesus untuk mencegah reaksi transfusi hemolitik. Dosis 10-15 ml/kgBB dengan interval 8-12 jam. 3. Kriopresipitat 4. Konsentrat FIX Pedoman dosis Anti Hemophilic Factor Indikasi FVIII (IU/kg) FIX (IU/kg) Durasi (hari) Epistaksis 10-15 20-30 1-2 Perdarahan oral 10-15 20-30 1-2 mukosa Hemarthrosis 15-25 30-50 1-2 Hematoma 15-25 30-50 1-2 Hematuria persisten 15-25 30-50 1-2 Perdarahan GI 15-25 30-50 1-2 hari setelah perdarahan stop Perdarahan 15-25 30-50 min.3 hari Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 51 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2012-2014 HEMOFILIA retroperitoneal Trauma tanpa perdarahan Perdarahan lidah/ retrofaring Trauma dengan perdarahan,bedah Perdarahan intrakranial 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan 20-25 40-50 2-3 20-25 40-50 3-4 50 100 10-14 50 100 10-14 1. 2. 3. Menghindari trauma RICE (Rest, Ice, Compression, Elevation) Pemantauan efek samping terapi Pemeriksaan fungsi hati setiap 6 bulan 4. Tumbuh kembang Gangguan tumbuh kembang dapat terjadi bila terdapat komplikasi kontraktur sendi. Hal ini dapat dicegah dengan penanganan secara komprehensif. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK 2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK 3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK 4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA Keluhan klinis berkurang (tidak didapatkan bengkak dan perdarahan) setelah pemberian AHF 1. Higartner MW, Corrigan JJ. Coagulation disorders. Dalam: Miller DR, Baehner RL, Miller LP, penyunting Blood diseases of infancy and childhood; edisi ke 7. St. Louis Mosby; 1995: 924-86. 2. Lanzkowsky P. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Edisi ke 2. New York: Churchill Livingstone; 1995: 254-62. 3. Montgomery RR, Gill JC, Scott JP. Hereditary Clotting Factor Deficiencies (Bleeding Disorders). Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting Nelson Text Book of Pediatric; edisi ke 16. Philadelphia: WB Saunders Co.2000: 1508-11. 4. Rickard KA. Guidelines for therapy and optimal dosages of coagulation factors for treatment of bleeding and surgery in haemophilia. Haemophilia; 1995 (suppl 1): 8-13. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 52 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2012-2014 PERDARAHAN AKIBAT DEFISIENSI VITAMIN K 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. 4. Pemeriksaan Fisik Kriteria Diagnosis 5. 6. 7. Diagnosis Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan Perdarahan akibat gangguan proses koagulasi yang disebabkan oleh kekurangan vitamin K atau dikenal dengan Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB) • onset perdarahan • lokasi perdarahan • pola pemberian makanan • riwayat pemberian obat-obatan pada ibu selama kehamilan • ada perdarahan di saluran cerna, umbilikus, hidung, bekas sirkumsisi dan lain sebagainya • riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik • waktu pembekuan memanjang • APPT memanjang • PTT memanjang • Thrombin Time normal • USG, CT Scan atau MRI untuk melihat lokasi perdarahan PERDARAHAN AKIBAT DEFISIENSI VITAMIN K Gangguan hemostasis lain misalnya gangguan fungsi hati • waktu pembekuan • APPT • PTT • Thrombin Time • USG, CT Scan atau MRI Vitamin K1 dosis 1-2 mg/hari selama 1-3 hari Fresh Frozen Plasma (FFP) dosis 10-15 ml/kgBB Pemberian Vitamin K1 pada bayi baru lahir 1 mg im (dosis tunggal) atau per oral 3 kali masing-masing 2 mg pada waktu bayi baru lahir, umur 3-7 hari dan umur 1-2 tahun. Ibu hamil yang mendapat pengobatan antikonvulsan mendapat profilaksis vitamin K1 5 mg/hari selama trimester ketiga atau 10 mg im pada 24 jam sebelum melahirkan, selanjutnya bayinya diberi vitamin K1 1 mg im dan diulang 24 jam kemudian. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK 2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK 3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK 4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA Klinis membaik dan FH normal setelah pemberian vitamin K1 dan FFP 1. Willoughby MLN. Pediatric Hematology. Edinburg: London, 1977: 327-9. 2. Chalmers EA, Gibson BE. Acquired disorders of hemostasis during childhood. Dalam: Lilleyman J, Hann I, BlanchetteV, Eds. Pediatric Hematology. Edisi ke 2. London: Churchill Livingstone, 2000: 629-49. 3. Sutor AH, Von Kries R, Cornelissen M, Mc Ninch AW, Andrew M. Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB) in Infancy. Thromb Haemost 1999; 81: 456-61. 4. Respati H, Reniarti L, Susanah S. Hemorrhagic Disease of The Newborn. Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, Eds. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2005: 182-96. 5. World Health Organization, Food and Agriculture Organization of United Nations, 2002. Vitamin K. Didapat dari: http://www.fao.org/documents/showcdr.asp?urlfile=/DOCREP/004/Y2809E/y2809e00.htm. (Diakses tanggal 8 Agustus 2005) Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 53 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2012-2014 ANEMIA APLASTIK 1. Pengertian (Definisi) Suatu kelainan yang ditandai oleh pansitopenia pada darah tepi dan penurunan selularitas sumsum tulang. 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. 8. Pemeriksaan Penunjang Terapi 9. Edukasi • keluhan pucat, lemah, mudah lelah dan berdebar-debar • tanda-tanda infeksi • perdarahan Gejala klinis bervariasi, dapat berupa: • anemia • febris • perdarahan hepatosplenomegali dan limfadenopati tidak lazim ditemukan pada anemia aplastik riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik darah tepi • granulosit <500/mm3 • trombosit <20.000/mm3 • retikulosit <1.0% sumsum tulang • hiposeluler <25% ANEMIA APLASTIK • Leukemia akut • Sindrom Fanconi: anemia aplastik konstitusional dengan anomali kongenital • Anemia Ekstrem-Damashek: anemia aplastik konstitusional tanpa anomali kongenital • Anemia aplastik konstitusional tipe II • Diskeratosis kongenital • pemeriksaan darah tepi • pemeriksaan sumsum tulang Hindari infeksi eksogen maupun endogen, seperti: • pemeriksaan rektal • pengukuran suhu rektal • tindakan dokter gigi Pada tindakan-tindakan diatas, resiko infeksi bakteri meningkat Simptomatik • anemia: transfusi sel darah merah padat (PRC) • perdarahan profus atau trombosit<10.000/mm3: transfusi trombosit (tiap unit/10kgBB dapat meningkatkan jumlah trombosit ±50.000/mm3) Transfusi trombosit untuk profilaksis tidak dianjurkan. Kortikosteroid • Prednison 2 mg/kgBB/24 jam dibagi 3 dosis, untuk mengurangi fragilitas pembuluh kapiler, diberikan selama 4-6 minggu Siklosporin • 5-15 mg/kgBB/hari setiap 12-24 jam tappering menjadi 3-10 mg/kgBB/hari Efek samping • virilisme, hirsutisme, akne hebat, perubahan suara (reversible sebagian bila obat dihentikan) • pemberian jangka panjang dapat menimbulkan adenoma karsinoma hati kolestasis • hepatotoksik pada pemberian sublingual • Hindari infeksi dan trauma yang dapat menyebabkan perdarahan • Pemantauan efek samping terapi Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 1. 2. 3. 4. Prof. Bambang Permono dr, SpAK DR. IDG Ugrasena dr, SpAK Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK Maria C Shanty Larasati dr, SpA Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 54 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2012-2014 ANEMIA APLASTIK 14. Indikator Medis Klinis membaik dan didapatkan parameter hematologi: granulosit >500/mm3, trombosit >20.000/mm3, retikulosit <1.0% 15. Kepustakaan 1. 2. 3. Epstein FH. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. N Eng. J. Med 1997, 336: 1365-72. Young NS. Bone Marrow Aplasia: The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. Education Programme of The 26th Congress of The International Society of Hematology, Singapore: ISH, 1996. Young NS. Pathogenesis and Pathophysiology of Aplastic Anemia. Dalam: Hoffman R, Benz EJ, Shattil SJ dkk. Penyunting. Hematology: Basic Principles and Practice, edisi ke 2. New York: Churchill Livingstone, 1995: 299-325. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 55 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2012-2014 HIPERLEUKOSITOSIS 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Pengertian (Definisi) Anamnesis Pemeriksaan Fisik Kriteria Diagnosis Diagnosis Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi Jumlah leukosit darah tepi yang melebihi 100.000/mm3 Tidak didapatkan keluhan yang khas dan spesifik. Manifestasi klinis yang timbul merupakan perwujudan kelainan metabolik yang mendasari. Jumlah leukosit darah tepi melebihi 100.000/mm3 HIPERLEUKOSITOSIS • Pemeriksaan darah tepi • Pemeriksaan serum elektrolit (natrium, kalium, kalsium, fosfat) • Pemeriksaan asam urat Hiperhidrasi Dektrosa 5% dalam NaCl 0,45%: 2-3 liter/m2/hari Alkalinisasi urin a. Tambahkan NaHCO 3 40 meq/liter b. Untuk mempertahankan pH urin 7,0-8,0 c. Stop NaHCO 3 jika bikarbonat serum »30 mEq/L dan/atau pH urin>8,0 Pengobatan hiperurisemia Allopurinol 300 mg/m2/hari atau 10 mg/kgBB/hari per oral dibagi dalam 3 dosis (maksimum 800 mg/hari) atau 200 mg/m2/hari iv (maksimum 600 mg/hari) Diuresis a. b. 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis Target produksi urin 100 ml/m2/jam dan berat jenis urin <1.010 Dapat diberikan Furosemid 0,5-1 mg/kgBB/kali atau Mannitol 25% 0,5 g/kgBB selama 5-10 menit jika pasien mengalami oligouria, dapat diulang setiap 6 jam bila perlu Tunda transfusi suspensi darah merah (PRC) karena dapat meningkatkan viskositas darah, terutama jika lekosit > 300.0000/mm3 Monitor a. elektrolit : Na, K, Ca, P, ureum, kreatinin b. darah lengkap c. urin output, pH, berat jenis urin setiap 6 jam d. tanda-tanda vital: respirasi, jantung dan susunan saraf pusat terutama bila terdapat hiperkalemia atau hipokalsemia Kemungkinan terjadi komplikasi : sindroma lisis tumor, lekostasis, perdarahan, trombosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. 2. 3. 4. Prof. Bambang Permono dr, SpAK DR. IDG Ugrasena dr, SpAK Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK Maria C Shanty Larasati dr, SpA Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 56 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2012-2014 HIPERLEUKOSITOSIS 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan kadar leukosit kurang 50.000/μ 1. Bunin NJ, Pin CH. Differing Complication of Hyperleukocytosis in Children with Acute Lymphoblastic or Acute Nonlymphoblastic Leukemia. J Clin Oncol 1985; 3: 1590-5. Dikutip dari Lange B, D’Angio G, Ross III AJ, O’Neill, Jr.JA, Packer RJ. Oncology Emergencies. Dalam: Pizzo PA, Poplack DG, Penyunting: Principles and Practice of Pediatric Oncology.ed 2. Philladelphia: JB Lippincott Company, 1993: 964-8. 2. Cuttner J, Holland JF, Norton L, dkk. Therapetic Leukopheresis for Hyperleukocytosis in Acute Myelocytic Leukemia. Med Pediatric Oncology 1983;11:76. Dikutip dari Baer MR. Management of Unusual Presentations of Acute Leukemia. Dalam: Bloomfield CD, Herzig GP, Penyunting. Hematology-Oncology Clin Nort Am 1993: 7: 275-92. 3. Jones DP, Mahmoud H, Chesney RW. Tumor Lysis Syndromes: Pathogenesis and Management. Pediatric Nephrol 1995: 9:206-12. 4. Martin G, Barragan E, Bolufer P, Chillon C, Garcia-Sanz R, Gomes T, dkk. Relevance of Presenting White Blood Cell Count and Kinetics of Molecular Remission in The Prognosis of Acute Myeloid Leukemia with CBFbeta/MYH 11 Rearrangement. Haematologica 2000. 85(7): 699-703 Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 57 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2012-2014 LIMFOMA NON HODGKIN (LNH) 1. Pengertian (Definisi) Keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat yang pada dasarnya merupakan keganasan sel limfosit. 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. 7. Diagnosis Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi • pembesaran perut • pembesaran kelenjar • sesak napas • nyeri • kesulitan menelan • pembengkakan daerah leher, muka, dan sekitar leher Gejala klinis bervariasi, dapat berupa: • massa intraabdominal dan intratorakal (massa mediastinum) sering disertai efusi pleura • nyeri, disfagi, sesak napas, pembengkakan daerah leher, muka, dan sekitar leher • limfadenopati supraklavikular atau aksiler, jarang sekali retroperitoneal • pembesaran limpa dan hati • riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik • biopsi, pemeriksaan sitologis cairan efusi, aspirasi sumsum tulang • bila memungkinkan pemeriksaan imunologik dan sitogenik • pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, cairan serebrospinal, asam urat, LDH, USG abdomen, scanning tulang LIMFOMA NON HODGKIN • Neuroblastoma • biopsi, pemeriksaan sitologis cairan efusi, aspirasi sumsum tulang • pemeriksaan imunologik dan sitogenik • pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, cairan serebrospinal, asam urat, LDH, USG abdomen, scanning tulang Kemoterapi dengan protocol COMP Fase induksi • Cyclophosphamide 1,2 g/m2 iv (hari ke 1) • Vincristine 2 mg/m2 iv (hari ke 3,10,18,26) • Methotrexate 300 mg/m2 iv (hari ke 12) • Methotrexate 6,25 mg/m2 it (hari ke 4,30,34) • Prednison 60 mg/m2 po (hari ke 3 sampai 30 kemudian diturunkan bertahap sampai hari ke 40) Fase rumatan • Cyclophosphamide 1,0 g/m2 iv (minggu ke 0,4,8,12,16,20) • Vincristine 1,5 mg/m2 iv (minggu ke 0,2,4,6,8,10,12,14,16,18,20) • Methotrexate 300 mg/m2 iv (minggu ke 2,6,10,14,18) • Methotrexate 6,25 mg/m2 it (minggu ke 4,8,12,16,20) • Prednison 60 mg/m2 po selama 5 hari (minggu ke 0,4,8,12,16,20) Kemoterapi dengan protocol CHOP • Cyclophosphamide 750 mg/m2 iv (minggu ke 1,4,7,10,13,16,19,22) • Adriamycine 50 mg/m2 iv (minggu ke 1,4,7,10,13,16,19,22) • Vincristine 2 mg/m2 iv (minggu ke 1,4,7,10,13,16,19,22) • Prednison 40 mg/m2 po selama 5 hari (minggu ke 1,4,7,10,13,16,19,22) Selama kemoterapi periksa fungsi hati dan ginjal tiap bulan Pemantauan efek samping terapi Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal tiap bulan. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK 2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK 3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK 4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA Tidak didapatkan massa (CT scan/MRI) dan kadar LDH dalam batas normal (<480 U/L) setelah selesai kemoterapi 1. 2. 3. Patte C. Non Hodgkin’s Lymphoma. Dalam Pinkerton CR and Plowman PN penyunting. Paediatric Oncology. Edisi ke 2. London; Chapman and Hall Medical; 1997: 278-95. Oberlin O, Mc Dowell HP. Hodgkin’s Disease. . Dalam Pinkerton CR and Plowman PN penyunting. Paediatric Oncology. Edisi ke 2. London; Chapman and Hall Medical; 1997: 296-319. Hudson MM, Donaldson SS. Dalam Poplack DG, Pizzo PZ penyunting. Principles and Practice of Pediatric Oncology. Edisi ke 4. Philadelphia; Lippincott Williams and Wilkins; 2002: 661-705. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 58 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2012-2014 LIMFOMA NON HODGKIN (LNH) 4. 5. Margrath I. Malignant Non-Hodgkin’s Lymphomas in Children. Dalam Poplack DG, Pizzo PZ penyunting. Principles and Practice of Pediatric Oncology. Edisi ke 4. Philadelphia; Lippincott Williams and Wilkins; 2002: 661-705. Oberlin O. Hodgkin’s Disease. Dalam Voute PA, Kalifa C and Barret A penyunting. Cancer in Children Clinical Management. Edisi ke 4. New York; Oxford University Press; 1999: 137-53. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 59 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2012-2014 TUMOR WILMS 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan Tumor ganas embrional ginjal yang berasal dari metanefros. Nama lain tumor ini adalah nefroblastoma atau embrioma renal. • • • • • • • • • • • • • • • • keluarga yang menderita tumor Wilms penyakit lain yang menyertai riwayat keluarga untuk kanker kelainan kongenital yang lain tumor jinak tumor dalam perut (tumor abdomen), gejala paling sering (75-90%) hematuria (makroskopis), 25% kasus hipertensi (60% kasus) anemia penurunan berat badan infeksi saluran kencing demam malaise anoreksia nyeri perut bersifat kolik dapat dijumpai bersama kelainan kongenital lain, seperti aniridia, hemihipertrofi, anomali saluran kemih atau genetalia, retardasi mental • riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik • IVP dan USG abdomen • LDH, VMA • histopatologi jaringan tumor TUMOR WILMS • Neuroblastoma • Limfoma • IVP dan USG abdomen • LDH, VMA • histopatologi jaringan tumor Operasi (pembedahan) Kemoterapi Radioterapi Stadium I dan II dengan jenis sel favourable operasi + kemoterapi (Vincristine dan Dactinomycine) Stadium III dengan jenis sel favourable operasi + kemoterapi (Vincristine, Dactinomycine dan Doxorubicine) + radioterapi Stadium IV dengan jenis favourable kemoterapi (Vincristine, Dactinomycine dan Doxorubicine) + radioterapi Pada stadium II sampai IV dengan jenis unfavourable operasi + kemoterapi (Vincristine, Dactinomycine dan Doxorubicine + Cyclophosphamide) + radioterapi Pemantauan efek samping terapi Pemantauan tumbuh kembang Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK 2. DR. IDG Ugrasena dr, SpA 3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK 4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA Tidak didapatkan massa (CT scan/MRI) dan kadar LDH dalam batas normal (<480 U/L) setelah selesai kemoterapi 1. 2. 3. 4. Breslow N, Olsham A, Beckwith JB, Green DM. Epidemiology of Wilms’ Tumor. MPO, 1993; 21: 17281. De Camargo B, Weitzman S. Nephroblastoma. Dalam: Voute PA, Kalifa C, Barret A, penyunting. Cancer in children: clinical management. Edisi ke 4. New York: Oxford; 1998: 259-73. Lanzkowsky P. Wilms’ tumor. Dalam: Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke 2. New York: Churchill Livingstone; 1995: 437-51. Madden SL, Cook DM, Morris JF, Gashler A, Sukhatme VP, Rauscher FJ. Transcriptional repression mediated by the WT1 Wilms’ tumor gene product. Science, 1991; 253: 1550-3. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 60 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2012-2014 TUMOR WILMS 5. Schwartz CE, Haber DE, Stanton VP, Strong LC, Skolnick MH, Housman DE. Familial predisposition to Wilms’ tumor does not segregate with the WT1 gene. Genomics, 1991; 10: 927-30. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 61 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 KOLESTASIS PADA BAYI 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. PemeriksaanFisik 4. 5. Diagnosis Diagnosis Banding 6. PemeriksaanPenunjang 7. Terapi Kolestasis adalah gangguan pembentukan, sekresi dan pengaliran empedu mulai dari hepatosit, saluran empedu intrasel, ekstrasel dan ekstra-hepatal. Hal ini dapat menyebabkan perubahan indikator biokimia, fisiologis, morfologis, dan klinis karena terjadi retensi bahan-bahan larut dalam empedu. Dikatakan kolestasis apabila kadar bilirubin direk melebihi 2.0 mg/dl atau 20% dari bilirubin total. Riwayat kehamilan dan kelahiran: infeksi ibu pada saat hamil atau melahirkan, berat lahir, lingkar kepala, pertumbuhan janin (kolestasis intrahepatik umumnya berat lahirnya < 3000 g dan pertumbuhan janin terganggu) Riwayat keluarga: riwayat kuning, tumor hati, hepatitis B, hepatitis C, hemokro-matosis, perkawinan antar keluarga. Resiko hepatitis virus B/C (transfusi darah, operasi, dll) paparan terhadap toksin/obat-obat 1. Pertumbuhan (berat badan, lingkar kepala) 2. Kulit: ikterus, spider angiomata, eritema palmaris, edema 3. Abdomen: a. Liver : pembesaran/ukuran, konsistensi, permukaan. b. Splenomegali. c. Vena kolateral, asites. 4. Mata: ikterik 5. Lain-lain: jari tabuh, asteriksis, foetor hepaticus Kolestasispadabayi • Anatomi : atresia bilier, kista koledokal, hipoplasia bilier • Infeksi : toksoplasma, rubella, sitomegalovirus, simplek herpes, sipilis • Metabolik : galaktosemi, tirosinemi • Endokrin : hipotiroit, hipokortisol • Genetik : sindrom Alagille, PFIC • Lain-lain : infeksi bakteri 1. Gambaran darah tepi 2. Biokimia darah • Serum bilirubin direk dan indirek • ALT(SGPT), AST(SGOT) • Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT) • Masa protrombin • Albumin, globulin • Kolesterol, trigliserida • Gula darah puasa • Ureum, kreatinin • Asam empedu 3.Urin: rutin (leukosit urin, bilirubin, urobilinogen, reduksi) dan kultur urin 4.DAT(aspirasi cairan duodenum) 5.Pemeriksaan etiologi: TORCH (toksoplasma, rubella, CMV, herpes simpleks), hepatitis virus B, C, skrining sederhana penyakit metabolik (gula darah, trigliserida). 6.Pencitraan: • SG dua fase (puasa 4-6 jam dan sesudah minum), • T scan, MRI • kintigrafi 7. Kolangiografi intraoperatif untuk kasus kolestasis ekstrahepatik 8. Biopsi hati A.Terapi operasi Kasai Porto-Hepatic-Enterostomy untuk kolestasis ekstrahepatik B. Terapi medikamentosa untuk kolestasis intrahepatik yang diketahui penyebabnya C. Terapi suportif 1. Asam ursodeoksikolat 10-20 mg/kg dalam 2-3 dosis 2. Kebutuhan kalori mencapai 130-150% kebutuhan bayi normal dan mengandung lemak rantai sedang (Medium chain trigliseride-MCT), misalnya panenteral, progrestimil 3. Vitamin yang larut dalam lemak - A 5000-25.000 IU - D: calcitriol 0,05-0,2 ug/kg/hari - E 25-200 IU/kk/hari - K1 2,5-5 mg: 2-7 x/ minggu 4. Mineral dan trace element : Ca, P, Mn, Zn, Se,Fe 5. Terapi komplikasi lain: misalnya hiperlipidemia/xantelasma: Obat HMG-coA reductase inhibitor contohnya kolestipol, simvastatin 6. Pruritus: - Atihistamin: difenhidramin 5-10 mg/kg/hati, hidroksisin 2-5 mg/kg/hati - Rifampisin 10 mg/kg/hari - Kolestiramin 0,25-0,5g/kg/hari Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 62 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 KOLESTASIS PADA BAYI 8. Pemantauan 9. Edukasi 10. 11. 12. 13. Prognosis Tingkat Evidens Tingkat Rekomendasi Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan A. Terapi Dilihat progresifitas kondisi klinis seperti ikterus (berkurang, tetap, semakin kuning), besarnya hati, limpa, asites, vena kolateral. Kadar bilirubin direk dan indirek, ALT, AST, GGT, albumin, tes koagulasi dan pencitraan. B. Tumbuh Kembang Pertumbuhan pasien dengan kolestasis intrahepatik menunjukkan perlambatan sejak awal. Pada pasien dengan kolestasis ekstrahepatik umumnya bertumbuh dengan baik pada awalnya tetapi kemudian akan mengalami gangguan pertumbuhan sesuai dengan perkembangan penyakit. Pasien dengan kolestasis perlu dipantau pertumbuhannya dengan membuat kurva pertumbuhan berat badan dan tinggi badan bayi/anak. Penjelasan terutama pada perjalanan penyakit yg lama, dan prognosis yang kurang baik Untukkolestasis extra hepatic survival setelahoperasi Kasai 20%, sedang untuk intra hepatic sekitar 60% IV C Sjamsul Arief, dr, MARS Sp.A(K) Bagus Setyoboedi, dr, Sp.A(K) 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 14 hari 1. Kamath BM, Munoz PS, Bab N, Baker A, Chen Z, Spinner NB, et al. A longitudinal study to identify laboratory predictors of liver disease outcome in Alagille syndrome. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2010;50(5):526-30. 2. Santos JL, Choquette M, Bezerra JA. Cholestatic liver disease in children. Curr Gastroenterol Rep 2010;12(1):30-9. 3. Liu X, Invernizzi P, Lu Y, Kosoy R, Bianchi I, Podda M, et al. Genome-wide meta-analyses identify three loci associated with primary biliary cirrhosis. Nat Genet 2010;42(8):658-60. 4. Davit-Spraul A, Gonzales E, Baussan C, Jacquemin E. Progressive familial intrahepatic cholestasis. Orphanet J Rare Dis 2009;4:1. 5. Tamura S, Sugawara Y, Kaneko J, Togashi J, Matsui Y, Yamashiki N, et al. Recurrence of cholestatic liver disease after living donor liver transplantation. World J Gastroenterol 2008;14(33):5105-9. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 63 Panduan Praktik Klinis SMF : Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 HEPATITIS AKUT 1. Pengertian (Definisi) Hepatitis adalah suatu keadaan inflamasi dan atau nekrosis hati.Hepatitis A merupakan penyebab terbanyak hepatitis virus tetapi tidak menimbulkan kronisitas. Hepatitis B dan C karena bisa menjadi kronis akan dibicarakan dalam bab tersendiri. Penyebab non virus kurang sering dijumpai tetapi perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding. 2. Anamnesis Gejala non spesifik (prodromal) yaitu anoreksia, mual, muntah dan demam. Dalam beberapa hari - minggu timbul ikterus, tinja pucat dan urin yang berwarna gelap. Saat ini, gejala prodromal berkurang. Perlu ditanyakan riwayat kontak dengan penderita hepatitis sebelumnya dan riwayat pemakaian obat-obat hepatotoksik. 3. Pemeriksaan Fisik 4. 5. Diagnosis Diagnosis Banding 6. Pemeriksaan Penunjang 7. Terapi 8. Pemantauan 9. 10. 11. 12. Edukasi Prognosis Tingkat Evidens Tingkat Rekomendasi Keadaan umum: sebagian besar sakit ringan. Kulit, sklera ikterik, nyeri tekan di daerah hati, hepatomegali; perhatikan tepi, permukaan, dan konsistensinya. Hepatitis Akut • Jaundice fisiologis, penyakit hemolitik, sepsis • Carotenemi • Hemolytic-uremic syndrome • Reye syndrome • Malaria, leptospira, brucellosis, infeksi berat • Batu empedu • Wilson’s disease, Cystic fibrosis, Systemic Lupus Erythremotasus (SLE). Keracunan obat seperti acetaminofean,asam valproat, kombinasi obat anti tuberkulosa. 1. Darah tepi: dapat ditemukan pansitopenia: infeksi virus, eosinofilia: infestasi cacing, leukositosis: infeksi bakteri. 2. Urin: bilirubin urin 3. Biokimia: a. Serum bilirubin direk dan indirek b. ALT(SGPT) dan AST (SGOT) c. Albumin, globulin d. Glukosa darah e. Koagulasi: faal hemostasis terutama waktu protrombin 4. Petanda serologis: a. IgM antiHAV, HbsAg, IgM anti HBc, Anti HDV, Anti HCV, IgM Leptospira, kultur urin untuk leptospira, kultur darah-empedu (Gal) 5. USG hati dan saluran empedu: Apakah terdapat kista duktus koledokus, batu saluran empedu, kolesistitis; parenkim hati, besar limpa. a. Terapi suportif: pembatasan aktivitas, pemberian makanan terutama harus cukup kalori. Hindari obat hepatotoksik seperti parasetamol, INH, Rifampisin. b. Medikamentosa: Ursedeoksikolikasid (UDCA) Obat anti virus: interferon, lamivudin, ribavirin. Prednison khusus untuk VHA bentuk kolestatik. Kolestasis berkepanjangan diberi vitamin larut dalam lemak dan terapi simptomatis untuk menghilangkan rasa gatal yaitu kolestiramin. Hepatitis fulminan dirawat intensif. Konsultasi kepada ahli gastrohepatologi diperlukan bila • Timbul gejala-gejala ke arah fulminan: • Kesadaran menurun, terdapat gejala perdarahan, ALT dan AST lebih dari 1000 iu/l, serum bilirubin lebih dari 10 mg/dl, pemanjangan waktu protrombin lebih dari 3 detik dari nilai normal. • Terjadi kolestasis yang memanjang (lebih dari 30 hari) • Penilaian kesadaran, suhu badan, derajat ikterus, besar hati. • Gejala perdarahan terutama dari saluran cerna. • Laboratorium: Bilirubin direk, indirek, ALT dan AST, glukosa, albumin, PT diulang tiap 3-7 hari tergantung perkembangan penyakit. Tentang perjalanan penyakit serta kemungkinan menjadi kronis pada infeksi HBV dan HCV Pada umumnya baik, angka kematian kurang dari 2% IV C 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan Sjamsul Arief, dr, MARS Sp.A(K) Bagus Setyoboedi, dr, Sp.A(K) 80% Pasien akan semnuh dalam waktu 5 hari 1. Baris Z, Saltik Temizel IN, Uslu N, Usta Y, Demir H, Gurakan F, et al. Acute liver failure in children: 20-year experience. Turk J Gastroenterol 2012;23(2):127-34. 2. Mohd Hanafiah K, Jacobsen KH, Wiersma ST. Challenges to mapping the health risk of hepatitis A virus infection. Int J Health Geogr 2011;10:57. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 64 Panduan Praktik Klinis SMF : Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 HEPATITIS AKUT 3. Rapti IN, Hadziyannis SJ. Treatment of special populations with chronic hepatitis B infection. Expert Rev Gastroenterol Hepatol 2011;5(3):323-39. 4. Selimoglu MA, Ertekin V, Karabiber H, Turgut A, Gursan N. Treatment results of chronic hepatitis B in children: a retrospective study. Turk J Pediatr 2010;52(4):360-6. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 65 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 ASCITES 1. Pengertian (Definisi) Asites adalah peningkatan jumlah cairan intra peritoneal. Penyebab asites terbanyak adalah gangguan hati kronis tetapi dapat pula disebabkan penyakit lain. 2. Patogenesis Asites dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, diantaranya: • Peningkatan tekanan hidrostatik: Sirosis, oklusi vena hepatika (sindrom Budd-Chiari), obstruksi vena cava inferior, perikarditis konstriktif, penyakit jantung kongestif • Penurunantekananosmotikkoloid: Penyakit hati stadium lanjut dengan gangguan sintesis protein, sindrom nefrotik, malnutrisi, proteinlossing enteropathy • Peningkatanpermeabilitaskapiler peritoneal: Peritonitis TB, peritonitis bakteri, penyakit keganasan pada peritonium • Kebocoran cairan di cavum peritoneal: Bile ascites, pancreatic ascites (secondary to a leaking pseudocyst), chylous ascites, urine ascites • Micellanous: Myxedema, ovarian disease (Meigs' syndrome), chronic hemodialysis 3. Gejala Klinis Derajat Asites dapat ditentukan secara semikuantitatif sebagai berikut: Tingkatan 1 : bila terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang sangat teliti Tingkatan 2 : mudah diketahui dengan pemeriksaan fisik biasa tetapi dalam jumlah cairan yang minimal Tingkatan 3 : dapat dilihat tanpa pemeriksaan fisik khusus akan tetapi permukaan abdomen tidak tegang Tingkatan 4 : asites permagna Pemeriksaan fisik: • Distensi abdomen • Bulging flanks • Timpani pada puncak asites • Fluid wave • Shifting dulness • Puddle sign Foto thorax dan foto polos abdomen (BOF) • Elevasi diaphragma, pada 80% pasien dengan asites, tepi lateral hepar terdorong ke sisi medial dinding abdomen (Hellmer sign). Terdapat akumulasi cairan dalam rongga rectovesical dan menyebar pada fossa paravesikal, menghasilkan densitas yang sama pada kedua sisi kandung kemih. Gambaran ini disebut “dog’s ear” atau "Mickey Mouse" appearance. Caecum dan colon ascenden tampak terletak lebih ke medial dan properitoneal fat line terdorong lebih ke lateral merupakan gambaran yang tampak pada lebih dari 90% pasien dengan asites. Ultrasonografi • Volume cairan asites kurang dari 5-10 mL dapat terdeteksi. • Dapat membedakan penyebab asites oleh karena infeksi, inflamasi atau keganasan. CT scan 4. Pemeriksaan Fisik 5. Pemeriksaan Penunjang • 6. Kriteria Diagnosis 7. Diagnosis 8. Diagnosis Banding Asites minimal dapat diketahui dengan jelas pada pemeriksaan CT scan. Cairan asites dalam jumlah sedikit akan terkumpul di ruang perihepatik sebelah kanan. Ruang subhepatic bagian posterior (kantung Morison), dan kantung Douglas. Parasentesis abdomen Analisiscairanasitesdilakukanpada onset awalasites, tindakantersebutmemerlukanrawatinapuntukobservasi. Analisiscairanasites 1. Perbedaan kadar albumin serum-asites (SAAG) 2. Kadar amilase, meningkat pada asites gangguan pankreas. 3. Kadar trigliserida meningkat pada chylous asites. 4. Lekosit lebih dari 350/mikroliter merupakan tanda infeksi. Dominasi polimorfonuklear, kemungkinan infeksi bakteri. Dominasi mononuklear, kemungkinan infeksi tuberkulosis atau jamur. 5. Eritrosit lebih dari 50.000/mikroliter menimbulkan dugaan malignancy, tuberkulosis atau trauma. 6. Pengecatan gram dan pembiakan untuk konfirmasi infeksi bakterial. 7. Apabila pH < 7: tanda suatu infeksi bakterial. 8. Pemeriksaan sitologis pada keganasan SAAG (perbedaan kadar albumin serum – kadar albumin asites)berhubungan langsung dengan tekanan portal: bila lebih besar atau sebesar 1.1 g/dl, hipertensi portal (transudative ascites); SAAG kurang dari 1.1 g/dl bukan hipertensi portal (exudative ascites). 1. GejalaKlinis 2. Derajatdehidrasi Komplikasi (apabilaterjadi) Ascites Tipe asites sesuai dengan SAAG Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 66 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 ASCITES Tinggi ( > or = 1.1 g/dl) Sirosis Hepatitis alkohol Gagal jantung Gagal hati fulminan Trombosis vena porta 9. Terapi 10.Monitoring 11.Diet 12. Edukasi 13. Prognosis 14. Tingkat Evidens 15. Tingkat Rekomendasi 16. Penelaah Kritis 17. Indikator Medis 18. Kepustakaan Rendah ( < 1.1 g/dl) Tumor peritonium Asites pankreas Asites bilier TBC peritonium Sindrom nefrotik Obstruksi usus 1. Penangananasitestergantungdaripenyebabnya, diuretikdan diet rendahgaramsangatefektifpadaasiteskarenahipertensi portal. Padaasiteskarenainflamasiataukeganasantidakmemberihasil. Restriksicairandiperlukanbilakadarnatriumturunhingga<120 mmolperliter. 2. Kombinasispironolaktondanfurosemidsangatefektifuntukmengatasiasitesdalamwaktusingkat. Dosisawaluntukspironolaktonadalah 1-3 mg/kg/24 jam dibagi 2-4 dosisdanfurosemidsebesar 1-2 mg/kgBB/dosis 4 kali/hari, dapatditingkatkansampai 6 mg/kgBB/dosis. 3. Pada asites yang tidak memberi respon dengan pengobatan diatas dapat dilakukan cara berikut: • Parasentesis • Peritoneovenous shunt LeVeen atau Denver • Ultrafiltrasi ekstrakorporal dari cairan asites dengan reinfus Paracentesis : Pengambilan cairan untuk mengurangi asites masif yang aman untuk anak adalah sebesar 50 cc/kg berat badan. Disarankan pemberian 10 g albumin intravena untuk tiap 1 liter cairan yang diaspirasi untuk mencegah penurunan volume plasma dan gangguan keseimbangan elektrolit. Rawat inap diperlukan untuk memantau peningkatan berat badan serta pemasukan dan pengeluaran cairan. Pemantauan keseimbangan natrium dapat diperkirakan dengan monitoring pemasukan (diet, kadar natrium dalam obat dan cairan infus) dan produksi urin. Keseimbangan Na negatif adalah prediktor dari penurunan berat badan. Keberhasilan manajemen pasien dengan asites tanpa edema perifer adalah keseimbangan Na negatif dengan penurunan berat badan sebesar 0,5 kg per hari. Restriksi asupan natrium (garam) 500 mg/hari (22 mmol/hari) mudah diterapkan pada pasien - pasien yang dirawat akan tetapi sulit dilakukan pada pasien rawat jalan. Untuk itu pembatasan dapat ditolerir sampai batas 2000 mg/hari (88 mmol/hari). Retriksi cairan tidak diperlukan kecuali pada kasus asites dengan serum sodium level turun di bawah 120 mmol/L. Tentang perjalanan penyakit, biasanya terjadi pada fase akhir penyakit jelek IV C Dr.Sjamsul Arief, MARS SpA(K) Dr.Bagus Setyoboedi, SpA(K) 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 5 hari a. Amarapurkar DN, Punamiya S, Patel ND. An experience with covered transjugular intrahepatic portosystemic shunt for refractory ascites from western India. annals of Hepatology 2006:103-8. b. Gerbes AL, Gulberg V. Progress in treatment of massive ascites and hepatorenal syndrome World J Gastroenterol 2006;12:516-9. c. Seo JH, Kim SU, Park JY, Kim DY, Han K-H, Chon CY, et al. Predictors of Refractory Ascites Development in Patients with Hepatitis B Virus-Related Cirrhosis Hospitalized to Control Ascitic Decompensation. Yonsei Med J 2013;54(1):145-53. d. Bjerre M, Holland-Fischer P, Grønbæk H, Frystyk J, Hansen TK, Vilstrup H, et al. Soluble membrane attack complex in ascites in patients with liver cirrhosis without infections World J Hepatol 2010;2(6):221-5. e. European Association for The Study of The Liver. EASL clinical practice guidelines on the management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis. J Of Hepatol 2010;53:397-417. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 67 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 GAGAL HATI FULMINAN 1. Pengertian (Definisi) Gagal hati fulminan adalah suatu sindrom klinik yang disebabkan oleh nekrosis sel hati yang luas, diikuti kegagalan fungsi hati secara mendadak, yang ditandai dengan ensefalopati yang timbul dalam waktu kurang dari 8 minggu setelah gejala pertama penyakit hati. 2. Patofisiologi Berdasar interval waktu antara timbulnya ikterus dan ensefalopati, gagal hati dibagi menjadi 3 kategori : hiper akut, akut, dan sub akut. KlasifikasiGagalHatiAkut Hiper-akut 3. PemeriksaanFisik Interval jaundiceEnsefalopati Edema Otak Prognosis <7 hari Sering Sedang Penyebab Virus A,B Acetaminophen Non-A/B/C;obat Non-A/B/C;obat Akut 8-28 hari Sering Jelek Sub-akut 29 hari - 12 mg Sering Jelek Gejala klinis sangat bervariasi, merupakan gabungan antara gejala kelainan hati dan ensefalopati, mulai yang ringan sampai koma. Pada bayi perjalanan penyakit progresif dan bayi meninggal sebelum ikterus tampak. Gejala hepatitis : lemah, panas, anoreksia, muntah, nyeri perut, ikterus, kencing keruh, tinja akolis. Gejala neurologi : gangguan tingkah laku, pusing, sakit kepala, perubahan irama tidur, gangguan koordinasi dengan flapping tremor, refleks tendon yang meningkat, dan refleks Babinsky positif, hingga fase akhir terjadi hipotoni dan refleks-refleks menghilang. Gradasi koma hepatikum yang terjadi adalah sebagai berikut: Gradasi 0 Sub-klinis 1 2 Tingkat kesadaran Normal Normal Gangguan pola tidur Gelisah 4 4. PemeriksaanPenunjan g Lupa Tanda Neurologi Tidakada Gangguantesps ikometrik Tremor Bingung Apraksia Agitasi Inkordinasi Iritabel Tidakbisamenul is Asteriksis Disarthria Ataksia Refleks hipoaktif Normal Normal Confusion Disorientasi waktu Hilang hambatan Kelakuan tak terkontrol Disorientasitem pat Agresif Koma Tidakada Lethargy Respons lambat 3 Kejiwaan Somnolence Asteriksis Kekakuan otot Tanda Babinsky Refleks hiperaktif Deserebrasi Gangguan EEG Tidakada Tidakada Gelombang tigafase (5 Hz) Gelombang tigafase (5 Hz) Gelombang tigafase (5 Hz) Aktifitasgelo mbang Delta/ lambat Pemeriksaanlaboratorium a. Serum transaminase : meningkat 70 – 100 kali b. Bilirubin direk dan total : bilirubin > 4 mg/dl menunjukkan prognosis buruk c. Alkali fosfatase : normal atau meningkat d. Faal hemostasis : memanjang e. Albumin serum :faseawal normal danmenurunpadafaselanjut. Kadar albumin rendahmenunjukkan prognosis buruk f. Hipoglikemia, khususnyapadabayi Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 68 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 GAGAL HATI FULMINAN g. h. i. j. k. l. m. 5. Kriteria Diagnosis 6. Diagnosis 7. Terapi 8. Pemantauan 9. Edukasi 10. Prognosis Peningkatan kadar serum kreatinin signifikan mengarah pada hepatorenal syndrome Hiponatremiadanhipokalemia Kadar fosfat rendah Kadar serum ammonia meningkat secara dramatis Peningkatan serum laktat sebagai akibat gangguan perfusi jaringan dan penurunan klirens oleh hati Analisis gas darah : asidosis metabolik atau alkalosis respiratorik sebagai akibat dari hepatopulmonary syndrome Pemeriksaan serologi terhadap etiologi gagal hati fulminan Pemeriksaaanpenunjang lain a. EEG b. USG hati (Doppler) c. CT scan atau MRI abdomen. d. CT scan kepala e. Biopsihati 1. GejalaKlinis 2. Derajatdehidrasi 3. Komplikasi (apabilaterjadi) Gagal Hati Fulminan Tujuan pengobatan adalah mempertahankan fungsi otak, ginjal, pernafasan sampai terjadi regenerasi hati serta mencegah terjadi komplikasi, dengan pengawasan yang intensif dan berkesinambungan, meliputi : a. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. • Pemberiancairanintravena. • Mempertahankan kadar Natrium dan Kalium darah. b. Diet Tinggi kalori, tinggi karbohidrat dan cukup lemak. Protein 0,5-1 g/kgBB/hari. c. Pengobatanterhadapperdarahan Timbulnyaperdarahanmerupakanakibatdefisiensifaktor-faktorpembekuan, DIC, dantrombositopenia. • Vitamin K • Plasma segarbeku • Faktor pembekuan diberikan bila waktu protrombin memanjang lebih dari 10 detik • Antasiddanantagonisreseptor H 2 20 mg/kgBB/hari • Bilaterjadiperdarahandiberikandarahsegar d. Pengobatanterhadapensefalopati • Neomisin 25 mg/kgBBtiap 8 jam • Laktulose enema 150cc dalam 500cc air 4 kali sehari • Laktulose oral 1 ml/kgBB 4 kali sehari e. Pemberiansedatifharusdicegah • Bilakejangdiberi flumazenil (benzodiazepine-receptor antagonist) • Tidak boleh diberikan diazepam karena dapat menekan pusat pernapasan f. Antibiotik Jika diduga infeksi, sesuai hasil kultur. g. Edema serebri • Kortikosteroitmasihkontroversi • Manitol 0.5-1 g/kgBB iv bilatekananintrakraniallebihdari 30 mmHg, dosispemeliharaan 0.25-0.5 g/kgBB iv 4 kali sehari. h. Gangguanginjal Peritoneal dialisisatauhemodialisisbilaterjadigagalginjal i. Gangguanpernafasan • Intubasiendotrakhealdanventilasimekanikbilaterjadigagalnafas • AsidosisdiberiNatriumBicarbonatkarenadapatmemperbaikikesadarandanmeningkatkanalirandara hdanoksigenkeotak j. Usaha untukmenunjangfungsihati • Tranfusitukar (exchange transfusion) • Dialisis peritoneal padapenyakitWilsonuntukmembuangtembagadenganmenambah Dpenicillaminekedalamdialysate • Plasmapheresis pada gagal hati fulminan yang menunggu transplantasi • Charcoal haemoperfusion denganinfus prostacyclin • Transplantasihati Tekanan darah, nadi, suhu tubuh, produksi urine dan jika memungkinkan dengan tekanan vena sentral. Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, fungsi ginjal dan fungsi hati, serum elektrolit, albumin, analisa gas darah dan urine lengkap Mortalitas pada anak-anak sebesar 80-90% disebabkan edema serebri, sepsis, dan kerusakan multi organ. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 69 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 GAGAL HATI FULMINAN 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. PenelaahKritis 14. IndikatorMedis 15. Kepustakaan Angka keberhasilan hidup adalah sebesar ±10-20%. Dipengaruhi oleh derajat koma, macam pengobatan, umur penderita, dan tergantung pada kemampuan regenerasi hati serta komplikasi yang terjadi IV C Dr.Sjamsul Arief, MARS SpA(K) Dr.Bagus Setyoboedi, SpA(K) Penderita akan dirawat selama 14 hari a. b. c. d. e. Narkewicz MR, Olio DD, Karpen SJ, et al: Pattern of diagnostic evaluation for the causes of pediatric acuteliver failure: an opportunity for quality improvement. J Pediatr 2009; 155:801-806. Suchy FJ,Fulminant Hepatic Failure. In: Kliegman RM, Behrman RE, Stanton BF, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 19 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:4999-5008. Bravo LC, Gregorio GV, Shafi F, Bock HL, Boudville I, Liu Y, et al. Etiology, Icidence And Outcomes of Acute Hepatic Failure in 0-18 Year Old Filipino Children. SoutheaSt aSian J trop Med public health 2012;43(3):764-72. Ranganathan SS, Sathiadas MG, Sumanasena S, Fernandopulle M, Lamabadusuriya SP, Fernandopulle BMR. Fulminant Hepatic Failure and Paracetamol Overuse with Therapeutic Intent in Febrile Children Indian J Pediatr 2006;73(10):871-5. ÖZTÜRK Y, Berktafi S, SOYLU ÖB, KARADEM S, ASTARCIO⁄LU H, ARSLAN N, et al. Fulminant hepatic failure and serum phosphorus levels in children from the western part of Turkey. Turk J Gastroenterol 2010;21(3):270-4. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 70 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 HIPERTENSI PORTAL 1. Pengertian (Definisi) Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan aliran darah portal diatas 10-12 mmHg yang menetap, dimana tekanan dalam keadaan normal berkisar 4 – 8 mmHg. Hipertensi portal juga didefinisikan sebagai sekumpulan gejala yang terjadi karena peningkatan tekanan vena portal yang kronis. Merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada anak dengan penyakit hati. 2. Anamnesis - Riwayat kuning - Riwayat transfusi (penularan hepatitis B dan C) - Riwayat penyakit hati dalam keluarga (hemochromatosis, Wilson disease) 3. PemeriksaanFisik 4. PemeriksaanPenunjang 5. Kriteria Diagnosis 6 7. Diagnosis Diagnosis Banding 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens Pengukuranberatbadan Kesadaran Tanda vital Hematemesis Melena Ensefalopati akibat fungsi hati yang buruk Asites Hepatomegali Splenomegali Pelebaran vena dinding perut dan caput medusa Ikterus Laboratorium:darah lengkap, tes fungsi hati, faal hemostasis, albumin, serologi hepatitis, defisiensi alfa-1 antitripsin - Radiologi: foto polos abdomen, USG Doppler, CT scan, MRI, CT-angiografi - Endoskopi - Biopsi hati 1. GejalaKlinis 2. Intrahepatikatauekstrahepatik 3. Komplikasi Hipertensi portal • Ekstrahepatik: - Obstruksi vena porta: trombosis vena porta - Peningkatan aliran porta: arteriovenousfistula • Intrahepatik: - Penyakit hepatoseluler: hepatitis virus (akuit/kronis), sirosis, fibrosis hepar kongenital, penyakit Wilson, defisiensi α 1 - antitripsin, penyakit glycogen storage tipe IV, hepatotoksisitas (methotrexate, nutrisi parenteral) - Penyakit traktus bilier: atresia bilier ekstrahepatik, cystic fibrosis, kista duktus koledokus, kolangitis sklerosis, gangguan saluran empedu intrahepatik Hipertensi portal idiopatik Obstruksi postsinusoidal: sindrom Budd-Chiari, penyakit veno-occlusive (trombosis dan malformasi kongenital segmen toraks vena cava inferior, perikarditis konstriktif, gangguan katup trikuspid, miokardiopati kongestif berat) Terapi perdarahan varises esofagus: • Resusitasi cairan (cairan kristaloid maupun darah) • Koreksi koagulopati: vitamin K, transfusi trombosit dan Fresh Frozen Plasma • Pasang sonde lambung: monitor perdarahan • Reseptor H 2 bloker (ranitidin) • Medikamentosa: - Octreotide / Somatostatin: 1 mcg/KgBB/jam sampai 12 jam setelah perdarahan berhenti - Vasopressin: 0,33 U/KgBB selama 20 menit dan dilanjutkan dengan dosis yang sama tiap jam • Skleroterapi endoskopik Terapi preventif perdarahanvarises esofagus: • β-blocker: propanolol 0,5 mg/KgBB/12 jam • Skleroterapi preventif • Ligasi Varises endoskopik (jarang) • Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) • Splenektomi • Devaskularisasi • Transplantasi hati 1. GejalaKlinis 2. Komplikasi 3 Nutrisi Dengantatalaksanaadekwat, 5YSR 80% IV - Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 71 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 HIPERTENSI PORTAL 12. Tingkat Rekomendasi 13. PenelaahKritis 14. IndikatorMedis 15. Kepustakaan C Sjamsul Arief, dr, MARS Sp.A(K) Bagus Setyoboedi, dr, Sp.A(K) Persentase kesembuhan ditentukan oleh fungsi hati, sumbatan vena porta (ekstrahepatal), episode perdarahan serta usia dan kondisi fisik penderita. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 14 hari 1. Bosch J, Carlos J. Pathophysiology of portal hypertension and its complications. Dalam: Bircher J, Benhamou JP, McIntyre, Rizzetto M, Rodes J, eds. Oxford textbook of Clinical Hepatology. Edisi ke-2. New York: 1999;1:653-9 2. Dite P, Labrecque D, Fried M, et al. Esophageal varices. Dalam: World Gastroenterology Organisation practice guideline. Munich, 2008. Tersedia di http://guideline.gov/content.aspx?id=13000. 3. de Franchis R. Updating consensus in portal hypertension: Report of the Baveno V Consensus Workshop on definitions, methodology and therapeutic strategies in portal hypertension. J Hepatol 2010;53:762-8 4. McIntyre, N. & Burroughs, A. Cirrhosis, portal hypertension and ascites. Dalam: J.G.G. Ledingham & D.A. Warrell, eds. Concise Oxford textbook of medicine. Oxford: Oxford University Press, 2000;5:36 5. Shneider BL. Portal hypertention. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF, eds. Liver disease in children. Edisi ke-2. Philadelphia: LWW.com, 2001;129-51 6. Suchy FJ. Portal Hypertension and Varises. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, eds. Nelson textbook of Pediatrics. Edisike-18. Philadelphia: WB Saunders Co, 2007; 1709-1711 Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 72 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 TUMOR HATI PADA ANAK 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. PemeriksaanFisik 4. PemeriksaanPenunjan g 5. Kriteria Diagnosis 6. 7. Diagnosis Diagnosis Banding 8. Terapi Massa padahati, dapat bersifat jinak maupun ganas (kanker), dan bisa primer atau merupakan metastase dari organ lain. • Masa abdomen yang besar, atau pembesaran perut • Nyeri perut kanan • Nafsu makan menurun, penurunan berat badan • Muntah • Ikterus • Panas • Gatal-gatal pada kulit • Anemia • Nyeri punggung akibat penekanan tumor Dapat juga terjadi krisis akut abdominal disertai pecahnya tumor dan hemoperitonium (biasanya pada karsinoma hepatoseluler) • Pengukuranberatbadan • Kesadaran • Tanda vital • Status lokalis : ukuran,konsistensi,tepidanpermukaanhati • Laboratorium: darah lengkap, kimia darah, tes fungsi hati dan ginjal, serologi hepatitis B dan C, αfetoprotein / AFP (juga untuk monitoring terapi) • Biopsi hati untuk pemeriksaan histopatologi • Radiologi: Foto polos dada, USG / USG Doppler, CT-scan / MRI • Selain menentukan diagnosa tumor hati perlu juga dilakukan penentuan stadium dari tumor tersebut terutama pada tipe ganas • Metode penentuan stadium tumor hati pada anak, salah satunya sebagai berikut: - Stadium I : tumor dapat diangkat lengkap dengan pembedahan - Stadium II : tumor dapat diangkat dengan pembedahan tapi masihmeninggalkan sedikit sisa - Stadium III : tumor tidak dapat diangkat secara lengkap dengan pembedahan dan didapatkan penyebaran pada kelenjar getah bening disekitarnya - Stadium IV : tumor telah menyebar ke organ tubuh lain - Kambuhan : tumor muncul lagi setelah pengobatan baik dihati maupun organ lain Tumor hati • Abses hati • Neuroblastoma • Tumor Wilm’s • Kolestasis/sirosis hati • Penatalaksanaan tumor hati pada anak bergantung pada jenis dan stadium tumor, serta usia dan kondisi fisik penderita. • Pada tumor jinak biasanya dilakukan pembedahan untuk mengangkat tumor tanpa disertai pengobatan yang lainnya. • Pada tumor ganas diperlukan kerjasama dengan dokter bedah anak dan ahli onkologi anak. Pengobatan biasanya merupakan kombinasi antara : - Pembedahan - Kemoterapi - Radioterapi - Transplantasi hati • Pengobatan berdasarkan jenis dan stadium tumor: - Hepatoblastoma stadium I dan II : Pengangkatan tumor dan diikuti kemoterapi 4 seri menggunakan cisplatin, vincristine, dan fluorouracil. - Karsinoma hepatoseluler stadium I dan II Pengangkatan tumor diikuti kemoterapi cisplatin dan atau doxorubicin - Hepatoblastoma stadium III dan IV: Beberapa alternatif pengobatan yang dapat dilakukan : 1. Kemoterapi untuk mengurangi ukuran tumor dilanjutkan pengangkatan sebanyak mungkin tumor dan ditutup kemoterapi lagi 2. Pembedahan metastase tumor di paru 3. Kemoterapi 4. Radioterapi diikuti pembedahan 5. Penyuntikan obat kemoterapi langsung ke pembuluh darah hati 6. Kemoterapi dan kemoembolisasi 7. Transplantasi hati - Karsinoma hepatoseluler stadium III dan IV - Pengurangan ukuran tumor dengan menggunakan kemoterapi cisplatin dengan vincristine / fluorouracil atau doxorubicin dilanjutkan pengangkatan tumor sebanyak mungkin - Kambuhan Dilakukan pengobatan ulang berdasarkan pengobatan sebelumnya Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 73 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 TUMOR HATI PADA ANAK 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. PenelaahKritis 14. IndikatorMedis 15. Kepustakaan • Selain pengobatan terhadap tumornya perlu juga dilakukan pengobatan suportif dengan mencegah dan mengobati infeksi, efek samping pengobatan dan komplikasinya, serta memberikan rasa nyaman pada penderita selama pengobatan. Perlu dilakukan pengamatan secara berkala untuk memonitor respon terhadap pengobatan dan mewaspadai efek samping jangka panjang dari pengobatan. 1. GejalaKlinis 2. Stadium tumor 3. Komplikasi 4. Metastase 5. Nutrisi UntukHepatoblastoma 5YSR dibawah 20% IV C a. Sjamsul Arief, dr, MARS SpA(K) b. Bagus Setyoboedi, dr, SpA(K) Persentase kesembuhan ditentukan oleh jenis, stadium tumor, serta usia dan kondisi fisik penderita. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 30 hari 1. Bektas H, Schrem H, Kleine M, et al. Primary liver tumours – presentation, diagnosis and surgical treatment. Dalam: Liver Tumours – Epidemiology, Diagnosis, Prevention and Treatment. InTech, 2013; (5):91-111. 2. Cynthia EH. Neoplasm of the liver. Dalam: Behrman RE, Kleigman RM. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders Co, 2007; 1564 3. Czauderna P, Mackinlay G, Perilongo G, et al. Hepatocellular carcinoma in children: results of the first prospective study of the International Society of Pediatric Oncology group. J ClinOncol, 2002; 20(12): 2798804. 4. Jacobson DR, 2004. Hepatocellular Carcinoma. Last Updated: June 23, 2004. Tersedia di: http://www.emedicine.com/radio/topic332.htm 5. Katzenstein HM, Krailo MD, Malogolowkin MH, et al. Hepatocellular carcinoma in children and adolescents: results from the Pediatric Oncology Group and the Children's Cancer Group intergroup study. J Clin Oncol 2002; 20(12): 2789-97 6. Malogolowkin MH, Stanley P, Steele DA, et al. Feasibility and toxicity of chemoembolization for children with liver tumors. J ClinOncol2000; 18(6): 1279-84 7. Ortega JA, Douglas EC, Feusner JH, et al. Randomized comparison of cisplatin/vincristine/fluorouracil and cisplatin/ continous infusion doxorubicin for treatment of pediatric hepatoblastoma: A report from the Child’s Cancer Group and the Pediatric Oncology Group. J Clin Oncol, 2000; 18(14):2665-75 Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 74 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DUKTUS ARTERIOSUS PERSISTEN 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan adalah pembuluh darah yang menghubungkan arteria pulmonalis dengan bagian aorta distal dari arteria subklavia, yang akan mengalami perubahan setelah bayi lahir 1. Tidak biru 2. Tidak mau menetek 3. Nafas cepat (takipnea) 4. Berkeringat 5. Infeksi saluran pernafasan bagian bawah berulang 1. bising sistolik di sela iga kedua kiri atau 2. bising sistolik kresendo dan bising diastolik dekresendo (bising kontinu), dan 3. bising diastolik di apeks (karena stenosis mitral relatif) 1. Memenuhi minimal 1 kriteria anamnesis di atas 2. Memenuhi minimal1 kriteria pemeriksaan fisik di atas 3. Ekokardiografi : dilatasi atrium kiri (perbandingan dengan aorta lebih dari 1,2) Duktus Arteriosus Persisten 1. 'Venous Hum' 2. Ruptur sinus Valsava 3. Insufisiensi Aorta + VSD 4. Trunkus Arteriosus 5. 'Aortico-pulmonary window' 1. Foto thorax 2. EKG 3. Ekokardiografi 1. ibuprofen oral hari pertama 10 mg/kgBB , hari kedua dan ketiga 5 mg/kgBB bila belum menutup bisa diulang satu seri lagi 2. Tindakan pembedahan dilakukan secara elektif (sebelum masuk sekolah) 3. Kateterisasi intervensi, penutupan PDA dengan : * koil Gianturco pada PDA kecil, * Amplatzer Ductal Occluder (ADO) pada PDA sedang-besar 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi 2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan 3. Tanda-tanda gagal jantung Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fumgsionam : dubia ad bonam IV C 1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA 2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK 3. Alit Utamayasa, da SpAK 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 4 hari. 1. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h. 141145. 2. Moore P, Brook MM, Heyman MA. Patent Ductus Arteriosus. Dalam: Allen HD, Gutgesell HP, Clark EB, Driscoll DJ. Ed. Moss and Adams’Heart Disease In Infants, Children, and Adolescents Including The Fetus and Young Adult. Edisi ke-6. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2001. h. 652-669. 3. Friedman WF, Silverman N. 2001.Congenital Heart Disease in Infancy and Childhood. In Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine..6th ed. Ed By Braunwald, Zipes, Libby. WB Saunders Company Philadelphia London New York StLouis Sydney Toronto. pp 1505-1591. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 75 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 GAGAL JANTUNG 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi Sindroma klinis disebabkan oleh karena Jantung tidak dapat memompa darah yang diperlukan untuk memasok oksigen dan nutrien yang diperlukan sel di seluruh jaringan tubuh sehingga terjadi ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan oksigen di dalam sel. 1. Tanda-tanda dari kongesti paru-paru : "tachypnea", "dyspnea d'effort", batuk, sianosis. 2. Tanda-tanda dari kongesti vena sistemik : sembab perifer edema palpebra sering pada bayi. 1. Kardiomegali 2. takikardia 3. irama gallop 4. perubahan pada pulsus perifer termasuk Pulsus paradoxus dan alternans 5. "tachypnea" 6. ronkhi basah 7. wheezing 8. Dyspneu sampai dengan sianosis 9. hepatomegali 10. bendungan vena leher 11. sembab perifer 12. edema palpebra sering pada bayi. 1. Memenuhi minimal 1 kriteria anamnesis diatas 2. Memenuhi minimal 5 kriteria pemeriksaan fisik diatas Gagal jantung 1 Efusi pericardial 2. Pada bayi dengan infeksi saluran pernafasan bagian bawah : (bronkiolitis, pneumonia) 1. Foto thorax 2. EKG 14. Indikator Medis O 2 40-50% dengan pelembab. Sedasi dengan morphin 0,1-0,2 mg/kg/dosis s.c.setiap 4 jam kalau perlu, atau Phenobarbital 2-3 mg/kg/dosis p.o/i.m. setiap 8 jam selama 1-2 hari. 3. Eliminasi factor pencetus : demam diberi antipiretik, anemia ditanfusi PRC sampai PCV > 35%. 4. Atasi penyakit dasar seperti hipertensi, aritmia atau tirotoksikosis. 5. Digitalis : digoxin 6. Dopamine 7. Hydralazine : dosis 1 mg/kg - 5 mg/kg/hr oral dalam 3-4x 8. Captopril : neonatus : 0,1-0,4 mg/kg/dose, 1-4 x/hari bayi : 0,5-6,0 mg/kg/hr, tiap 6-24 jam anak besar : 12,5 mg/dose oral tiap 12-24 jam 9. diuretika : thiazide : chlorothiazide : 20-30 mg/kg/hr, oral. Hydrocholorothiazide 2-3 mg/kg/hr (2 x) Furosemid : 1-3 mg/kg/x intravena, 2-5 mg/hr/oral 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi 2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan 3. Penjelasan tentang penyakit yang mendasari Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fumgsionam : dubia ad bonam IV C 1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA 2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK 3. Alit Utamayasa, da SpAK 90% pasien sembuh dalam waktu 10 hari 15. Kepustakaan 1. 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 1. 2. 2. 3. 4. Colucci WS and Braunwald E. 2001. Pathophysiology of Heart Failure. In: Braunwald E, Zipes DP and Libby P. Ed. Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. WB Saunders Co. 6th.ed 503 – 599. Gessner IH. Congestive heart failure. Dalam : Gessner IH, Victoria BE. Pediatric cardiology a problem oriented approach. Philadelphia : WB Saunders Company, 1993. h. 117-129. Jordan SL, Scoot O. Heart Disease in Pediatrics. Edisi ke 3. London : Butterworth & Co.Ltd, 1989.h. 23439, 249-53. Nelson. Congestive Heart Failure. In : Behrman RE, Vaughan VC, eds Nelson Textbook of Pediatrics. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 76 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 GAGAL JANTUNG 198312th Tokyo : Igaku Shoin/WB Saunders, Co.1187. Ontoseno T. 2002. Konsep terbaru mengenai Gagal Jantung pada Anak. Dalam : Noer MS, Ismoedijanto dan Untario MC. Penyunting. Bunga Rampai Pediatri. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSUD DR Sutomo Surabaya. Hal : 122 – 142. 6. Ontoseno T.2004 . Diagnosis dan tatalaksana penyakit jantung bawan yang kritis pada neonatus. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak. FK Unair-RSUD Dr Sutomo Surabaya. Hal: 166- 184. 7. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h. 399-407. 8. Astasari D, Ontoseno T. Rahman M. Utamayasa A. Perubahan dimensi dan fungsi ventrikel kiri secara ekokardiografi pada pasien dengan gagal jantung akibat pirau krir ke kanan setelah pemberian Carvedilol. Karya Akhir, 2012. 9. Hoeper MM, Galie N, Simonneau G, Rubin LJ, 2002. New treatments for pulmonary arterial hypertension. Am J Respir Crit Care Med;165:1209-16. 10. Humbert M, Sitbon O, Simonneau G, 2004. Treatment of pulmonary arterial hypertension. N Engl J Med;351:1425-36 5. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 77 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DEFEK SEPTUM VENTRIKEL DAN INFEKSI/PNEUMONIA 1. Pengertian (Definisi) adalah defek pada septum yang menghubungkan antara ventrikel kanan dan kiri jantung yang disertai adanya infeksi/peumonia 2. Anamnesis 1. Sesak nafas waktu istirahat 2. Lekas lelah 3. Nafas cepat 4. Batuk 5. Kenaikan berat badan lambat 6. kadang tanpa gejala 7. panas 3. Pemeriksaan Fisik 1. Dyspneu 2. Bising akhir sistole tepat sebelum S2, pada sela iga 3-4 Ips kiri. 3. Bising pansistolik derajat 3 atau lebih skala 6, nada tinggi kasar pm sela iga lps kiri 4. Bising pansistolik derajat 3-4 sekala 6, nada tinggi kasar pm sela iga 3-4 Ips kiri disertai bising diastolik derajat 2/6 pendek nada rendah, pm sela iga 4 Imk kiri. 5. Bising sistolik lemah tipe ejeksi, pm Ips kiri bawah dengan S1 mengeras, setelah S1 terdengar klik sistolik (pembuka katup pulmonal), S2 mengeras/sangat keras dan tunggal 6. panas 7. adanya suara nafas tambahan: ronchi basah halus 4. Kriteria Diagnosis a. Memenuhi minimal 2 kriteria anamnesis di atas b. Memenuhi minimal 3 kriteria pemeriksaan fisik di atas c. Ekokardiografi : didapatkan defek septum ventrikel 5. Diagnosis Defek Septum Ventrikel dan Infeksi/Pnemonia 6. Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang a. Foto thorax b. EKG c. Ekokardiografi 8. Terapi Terapi konservatif 1. Tatalaksana gagal jantung kalau ada (lihat : Gagal jantung) 2. Tatalaksana kelainan lain (infeksi, kurang gisi). 3. Pencegahan endokarditis infeksiosa 1. ASD disertai infeksi/pnemonia 2. PDA disertai infeksi/pnemonia Operatif : - VSD kecil : biasanya tidak perlu, kadang-kadang menutup spontan. - VSD sedang: kalau tidak ada gagal jantung dapat ditunggu sampai anak berusia 2-4 tahun dengan berat badan minimal 10 kg, sekarang operasi dapat dipertimbangkan pada umur yang lebih muda. - VSD besar dengan hipertensi pulmonal yang belum menetap: dikerjakan operasi paliatif setelah gagal menangani gagal jantungnya (operasi tidak langsung menutup defek, tetapi dengan operasi pengikatan batang a. pulmonalis), setelah umur 4-6 tahun defek belum menutup, dikerjakan koreksi total. 9. Edukasi 10. Prognosis a. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi b. Penjelasan pemberian medikamentosa c. Tindakan yang mungkin akan dilakukan : 1. Tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medik yang akan dilakukan. 2. Tata cara tindakan medik yang akan dilakukan. 3. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi. 4. Alternatif tindakan medik lain dan resikonya masing-masing. 5. Progonosis penyakit apabila tindakan medik tersebut dilakukan 6. Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fungsionam : dubia ad bonam Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 78 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DEFEK SEPTUM VENTRIKEL DAN INFEKSI/PNEUMONIA 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis IV C 1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA 2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK 3. Alit Utamayasa, da SpAK 14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 14 hari (2 minggu). 15. Kepustakaan 1. William RV, Tani LY, Shaddy RE, 2001. Intermediate effects of treatment with metoprolol or carvedilol in children with left ventricular systolic dysfunction. The journal of heart and lung transplantation; 21: 906-9 2. Van der Linde D, Konings E, Slager MA, et al, 2011. Birth Prevalence of Congenital Heart Disease Worldwide. JACC; 58: 2242-7 3. Vaidyanathan B, 2009. Is there a role for carvedilol in the management of pediatric heart failure. A meta analysis and e-mail survey of expert opinion. Annuals Pediatric Cardiol; 2: 74-8 4. Hawkins A, Tulloh R, 2009. Treatment of pediatric pumonary hypertension. Vasc Health Risk Management; 5:509-24. 5. Humbert M, Morrel NW, Archer SL, Stenmark KR, MacLean MR, Lang IM, et al, 2004. Cellular and molecular pathobiology of pulmonary hypertension. J Am Coll Cardiol ; 43:13-24 6. Landzberg MJ, 2007. Congenital heart disease associated pulmonary arterial hypertension. Clin Chest Med;28: 243-53 7. Limsuwan A, Pienvichit P, Khowsathit P, 2005. Beraprost therapy in children with pulmonary hypertension secondary to congenital heart disease. Pediatr Cardiol; 26: 787-91 Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 79 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 RENJATAN KARDIOGENIK 1. Pengertian (Definisi) adalah ketidak mampuan jantung akibat gangguan fungsi memompa untuk memasok darah yang cukup ke jaringan agar kebutuhan metabolismenya terpenuhi 2. Anamnesis 1. Kulit dingin dan pucat 2. Gejala metabolik asidosis berat: nafas cepat dan dalam 3. Sesak/distres nafas 4. Edem perifer 3. Pemeriksaan Fisik 1. Akral dingin, basah dan pucat 2. Penurunan tekanan darah sampai tidak terukur, sulit atau tidak terabanya denyut nadi perifer (bandingkan ekstremitas atas dan bawah), pulse pressure menyempit 3. Gejala metabolik asidosis berat : nafas kussmaul 4. Distres nafas sedang sampai berat 5. Edem perifer 6. Bendungan vena jugularis 7. Hipoperfusi multi organ 8. Suara jantung melemah, terdengar S3 dan S4 4. Kriteria Diagnosis 1. 2. 5. Diagnosis Renjatan kardiogenik 6. Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi Memenuhi minimal 2 kriteria anamnesis di atas Memenuhi minimal 4 kriteria pemeriksaan fisik di atas 1. Renjatan hipovolemik 2. Renjatan sepsis 3. Renjatan neurogenik 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Darah lengkap Serum elektrolit (Natrium, Kalium, Calsium, Klorida) Analisa gas darah EKG Pemeriksaan serial kadar laktat, menggambarkan hipoperfusi dan prognosis foto polos dada ekokardiografi Resusitasi cairan, kristaloid adalah pilihan utama,tahap kegawatan dan replacement disusul tahap rumatan . Idealnya dengan pemasangan CVP, atau fluid challenge (pemberian cairan 200 ml atau 20 ml/kgBB iv dalam 30 menit), bila ada perbaikan perfusi selama/setelah pemberian, berarti hipovolemia, pemberian diteruskan dengan rumatan. Tetapi, bila tampak sesak dengan hepatomegali progresif tanpa ada perbaikan perfusi, cairan segera dihentikan, beri lasix sampai gejala sesak berkurang dilanjutkan pemberian Dopamin dan Dobutamin seperti kalau menghadapi gagal jantung (dalam hal ini renjatan kardiogenik). Kalau perlu diberikan norepineprin dengan dosis 0,5 mcg/kg/min dengan titrasi. 2. Meningkatkan curah jantung (koreksi disritmia, optimalisasi preload, meningkatkan kontraktilitas miokard, menurunkan afterload) 3. Mengurangi beban jantung (sedasi, mempertahankan suhu tubuh tetap normal, intubasi dan ventilasi mekanik, koreksi anemia) 1. 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi 2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan 10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fungsionam : dubia ad bonam 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi IV C 13. Penelaah Kritis 1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA 2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK 3. Alit Utamayasa, da SpAK 14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 10 hari. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 80 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 RENJATAN KARDIOGENIK 15. Kepustakaan 1. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : 145. Mosby, 2002. h. 141- 2. Bernstein D. Cardiac Therapeutics: Heart Failure. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Eds. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 17. Philadelphia: Saunders, 2004. h. 1586-1587 3. Emmanouilides GC, Allen HD, Riemenschneider TA, Gutgesel HP. Clinical synopsis of Moss and Adams’ Heart Disease in Infants, Children and Adolencents including the Fetus and Young Adult. Baltimore: Williams & Wilkins, 2002. H. 814-827 Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 81 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 TETRALOGI FALLOT DAN SERANGAN SIANOSIS adalah penyakit jantung bawaan tipe sianotik yang digambarkan dengan 4 macam kelainan: - Stenosis pulmonalis (valvular, infundibular) - Defek septum ventrikel - Hipertrofi ventrikel kanan - Overriding aorta pada septum ventrikel 1. Biru, bertambah waktu bangun tidur, menangis atau sesudah makan. 2. Sesak 3. Mudah lelah 4. Gangguan pertumbuhan 5. Dapat terjadi kehilangan kesadaran. 6. Sering jongkok bila berjalan 20-50 meter, untuk mengurangi sesak 7. Nafas cepat (takipneu) 8. Jari tabuh 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi 2 kriteria anamnesis di atas 2. Memenuhi 3 kriteria pemeriksaan fisik di atas 3. Ekokardiografi 5. Diagnosis Tetralogy of Fallot 6. Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 1. Sianosis bertambah waktu bangun tidur, menangis atau sesudah makan. 2. Dispneu 3. Hipoksia (timbul sekitar umur 18 bulan) 4. Dapat terjadi apneu. 5. Dapat terjadi kehilangan kesadaran. 6. Takipneu 7. Jari tabuh dengan kuku seperti gelas arloji. 8. Hipertrofi gingiva 9. Vena jugularis terlihat penuh/menonjol. Jantung: 10. Bising sistolik keras nada rendah pm sela iga 4 Ips kiri/VSD 11. Bising sistolik nada sedang, bentuk fusiform, amplitude maksimum pada akhir sistole berakhir dekat S2 pm sela iga 2-3 Ips kiri (stenosis pulmonalis) 12. Stenosis pulmonalis ringan: bising kedua lebih keras dengan amplitudo maksimum pada akhir sistole, S2 kembar. 13. Stenosis pulmonalis berat: bising lemah, terdengar pada permulaan sistole. S2 keras, tunggal, kadang terdengar bising kontinyu pada punggung (pembuluh darah kolateral). 14. Kadang dengan hepatomegali, dengan hepatojugular reflux. 1. Double Outlet Right Ventricle 2. Transpotitional of Great Artery 3. Total Anomaly Pulmonary Venous Drainage 4. Atresia tricuspid 5. Total acardia 1. 2. 3. 4. Foto thorax EKG Ekokardiografi Darah lengkap 1. O2 nasal 2 lpm atau masker 6-8 lpm 2. Tindakan konservatif; - Pada serangan hipoksia, dilakukan knee-chest position. - Medikamentosa - Morfin: 1/8 - 1/4 mg (0,1 mg/kb bb) (mengendurkan otot infundibulum). Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 82 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 TETRALOGI FALLOT DAN SERANGAN SIANOSIS - Propanolol (beta blocker), untuk mengurangi kontraktilitas miokard: - oral: 0,5-1 mg/kg bb/6 jam; - i.v.: 0,01-0,15 mg/kg bb/6-8 jam, selama 10 mnt. 4. Tindakan bedah (rujukan): - Operasi paliatif: sebelum dilakukan koreksi total: dilakukan pada ahak BB< 10 kg dengan keluhan yang jelas. (derajat III dan IV) - Koreksi total: untuk anak dengan BB > 10 kg. 5. Tatalaksana gagat jantung kalau ada. 6. Tatalaksana radang paru kalau ada. 9. 1. 2. 3. 4. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan Tanda-tanda gagal jantung Tanda-tanda radang paru Ad vitam : dubia ad malam Ad sanationam : dubia ad malam Ad fumgsionam : dubia ad malam IV C 1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA 2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK 3. Alit Utamayasa, da SpAK 14. Indikator Medis 90% pasien sembuh dalam waktu 14 hari 15. Kepustakaan 1. Anderson RH, Mc Carthey FJ, Shinebourne EA, Tunan M. 1997. Tetralogy of Fallot. Pediatric Cardiology. Vol. 2 Churchill Livingstone. London. Pp 774-775. 2. Kliegman RM,. Tetralogy of Fallot. In: Textbook of Pediatrics.Eds. Nelson WE, Behrman RE. 4rd ed. WB Saunders Co. Philadelphia. 1992, p. 1149-1153. 3. Rutkowski. Common Complication in Infant wth Cyanotic Congenital Heart Disease.p 166-167.2009 4. Teddy Ontoseno. Serangan Sianosis. Dalam: Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak ke XXIII. Ed: Soebijanto P, Erwin S, Bambang P.dkk. FK Unair. Surabaya,1991; hal.91. 5. Cicha I, Suzuki Y, Tateishi N, Maeda N. 1999 Rheological changes in human red blood cells under oxydative stress. Pathophysiology 6 : 103-110. 6. Behrman RE. 2000. Tetralogy of Fallot.. In : Behrman RE, Kliegman RM, eds. Nelson Textbooks of Pediatrics, 15th ed. Philadelphia : WB Saunders co. 1149-53. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 83 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DEMAM REUMATIK 1. Pengertian (Definisi) adalah penyakit multisistem terutama mengenai jantung, sendi, otak, jaringan kutan dan subkutan, timbul setelah infeksi tenggorokan oleh Group A beta hemolytic streptococcal Rheumatogenic strain (GABHS) dengan penyulit serius berupa gejala sisa pada katup jantung dan disebut penyakit jantung rematik yang cenderung kambuh, akibat respons autoimun 2. Anamnesis Gejala mayor: 1. Karditis: takikardia, sesak, berdebar 2. Poli artritis: nyeri sendi hebat umumnya asimetris sehingga anak tidak mau jalan, sering nyeri berpindahpindah, bengkak, demam 3. Korea Sydenham: gerakan yang tidak disengaja dan tidak bertujuan, inkoordinasi muskular, serta emosi yang labil. Manifestasi ini lebih nyata apabila pasien dalam keadaan stres, lidah dapat terjulur keluar dan masuk mulut dengan cepat, pasien berbicara tertahan-tahan dan meledak-ledak, koordinasi otot halus sukar. Tulisan tangannya buruk, yang ditandai oleh coretan ke atas yang tidak mantap. Bila disuruh membuka dan menutup kancing baju pasien menunjukkan inkoordinasi yang jelas, dan ia menjadi mudah kecewa. Kelabilan emosinya khas, pasien sangat mudah menangis, dan menunjukkan reaksi yang tidak sesuai, kehilangan perhatian, gelisah, serta tidak koperatif. 4. Eritema marginatum: ruam tidak gatal, makular, dengan tepi eritema yang menjalar dari bagian satu ke bagian lain mengelilingi kulit yang tampak normal. Lesi ini berdiameter sekitar 2,5 cm, tersering pada batang tubuh dan tungkai proksimal, dan tidak melibatkan wajah. 5. Nodulus subkutan Manifestasi minor: 1. Demam 2. Atralgia: nyeri sendi ringan, biasanya sendi besar 3. Riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik Manifestasi mayor: a. Karditis b. Poliartritis c. Korea d. Eritema marginatum e. Nodul subkutan 3. 4. Pemeriksaan Fisik Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi Manifestasi minor: 1. Demam 2. Arthralgia a. Memenuhi minimal 2 kriteria mayor di atas atau b. Memenuhi minimal1 kriteria mayor ditamabh 2 kriteria minor, ditambah adanya gejala infeksi streptokokus beta hemolitikus golongan A sebelumnya. Demam Reumatik 1. Artritis reumatoid 2. Artrids bakterial. 3. Artritis virus. 4. Reaksi alergi. 5. Bising fungsionil. 6. Kelainan jantung bawaan. 7. Miokarditis virus 8. Miokarditis bakterial lain. 9. Lupus eritematosus sistemik a. Darah lengkap b. LED c. C-Reactive Protein d. ASO e. Kultur hapusan tenggorok f. Foto thorax g. EKG h. Ekokardiografi 1. Iirah baring: Tanpa Karditis: Tirah baring selama 2 minggu dan mobilisasi bertahap selama 2 minggu Karditis tanpa Kardiomegali: Tirah baring selama 4 minggudan mobilisasi bertahap selama 4 minggu Karditis dengan Kardiomegali: Tirah baring selama 6 minggu dan mobilisasi bertahap selama 6 minggu Karditis dengan gagal jantung: Tirah baring selama dalam keadaan gagal jantung dan mobilisasi 2. Pemusnahan GABHS dan Pencegahan Sekunder Penisilin Benzatin 600.000 U untuk anak dengan berat badan kurang dari 30 kg dan l,2juta U bila berat badan lebih dari 30 kg, diberikan sekali. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 84 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DEMAM REUMATIK - 3. 9. Edukasi Penisilin oral 4 x 250 mg/hari untuk anak besar dan 4 x 125 mg/hari bila berat badan kurang dari 20 kg, diberikan selama 10 hari. Pada penderita yang alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin 5Q mg/kg BB/hari selama 10 hari Analgesik dan anti-inflamasi Artralgia: Salisilat saja 75-100 mg/kg BB/hari Artritis saja, dan/atau karditis tanpa kardiomegali: Salisilat saja 100 mg/kg BB/hari 2 minggu dilanjutkan dengan 75 mg/kg BB 4-6 minggu Karditis dengan kardiomegali atau gagal jantung: Prednison 2 mg/kg/ BB/hari selama 2 minggu,dikurangi bertahap selama 2 minggu ditambah salisilat 75 mg/kg BB selama 6 minggu. a. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi b. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan 10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fumgsionam : dubia ad bonam 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis IV C 1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA 2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK 3. Alit Utamayasa, da SpAK 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan 80% pasien sembuh dalam waktu 14 hari 1. Ayoub EM. Acute Rheumatic Fever. Dalam: Allen HD, Clark EB, Gutgesell HP, Driscoll DJ. Moss and Adams’ Heart Disease in Infants, Children, and Adolescents including the Fetus and Young Adult. Edisi ke 6. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2001. h.1226-41. 2. Oliver C. Rheumatic fever- Is it still a problem ? Journal of Antimicrobial chemotherapy.2000; 45: 13-21 3. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h. 304-10. 4. Taranta A, Markowitz M. Rheumatic Fever. Edisi ke 2. Dordrecht : Kluwer Academic Publishers, 1989. 5. Tandon R. Is it possible to Prevent Rheumatic Fever ? Indian Heart Journal 2004; 56: 677-67 6. Tani LY, Veasy LG, Minich LA and Shaddy RE. Rheumatic fever in Children younger than 5 years : Is the presentation different ? Pediatrics 2003; 112; 1065-1068 7. WHO Technical reports series. RHEUMATIC FEVER AND RHEUMATIC HEART DISEASE. Geneva 2004. 8. WHO Study Group, Report of rheumatic fever and rheumatic heart Disease. WHO Geneva, 1988 Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 85 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 KARDIAK SIANOSIS 1. Pengertian (Definisi) adalah sianosis yang disebabkan adanya kelainan jantung 2. Anamnesis - Biru pada bibir, kuku, mukosa mulut, ujung hidung - Sianosis sentral tanpa gejala distres pernafasan (takipnea) tanpa disertai pernafasan cuping hidung dan retraksi ruang iga - Suhu tubuh masih hangat 3. Pemeriksaan Fisik 1. 2. 3. Sianosis bibir, kuku, mukosa mulut, konjunctiva, ujung hidung bila saturasi O2 arteri ≤ 85 %. (Newborn ≤ 90%) Tes hiperoksia positip Pemasangan pulse oxymetri pada tangan kanan dan kaki. (adanya duktus yang masih terbuka mengakibatkan aliran darah aorta asenden dan disenden berasal dari ventrikel yang tidak sama). 4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi minimal 1 kriteria anamnesis di atas 2. Memenuhi minimal1 kriteria pemeriksaan fisik di atas 3. Ekokardiografi : dilatasi atrium kiri (perbandingan dengan aorta lebih dari 1,2) 5. Diagnosis Kardiak sianosis 6. Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis 11. 12. Tingkat Evidens Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 1. Persistent Pulmonary Hypertension of the Newborn 2. Sianosis karena kelainan paru (pneumonia, bronchiolitis berat, dan lain-lain) 1. PaO2 (right radial/brachial/temporal artery) 2. gula darah 3. Foto polos dada 4. Elektrokardiografi 5. Ekokardiografi 6. Darah lengkap 7. serum ferritin 8. Foto thorax 9.Kateterisasi 10.Angiokardiografi - Penempatan pada lingkungan yang nyaman dan fisiologis (suhu 36,5- 37o C & kelembaban sekitar 50%). - Bila curiga cardiac cyanosis, kuhsusnya ductal dependent, segera berikan Prostaglandine E1 (Prostin VR Pediatric) 0,05 – 0,1 ug/kg/men drip sampai KU membaik lalu turunkan step by step sampai 0,01 ug/kg/men. Bila dosis awal tidak ada respon, naikkan menjadi 0,4 ug/kg/men. Awas apneu-fever- taki/bradi kardia, flushing hipotensi dan cardiac arrest ! - Pemberian oksigen 2-4 liter per menit dengan masker atau kateter Nasofaringeal Pengobatan pada serangan sianosis: 1. Usahakan meningkatkan saturasi oksigen arterial dengan cara : * Membuat posisi ”knee chest” atau ”fetus * Ventilasi yang adekuat 2. Menghambat pusat nafas denga Morfin sulfat 0,1 – 0,2 mg/kg im atau s kutan 3. Bila serangan hebat bisa langsung diberikan Na Bic 1 meq/kg iv untuk mencegah asidosis metabolik 4. Bila Hb < 15 gr/dl bisa diberikan transfusi darah segar 5 ml/kg pelan sampai Hb 15-17 gr/dl 5. Propanolol 0,1 mg/kg iv terutama untuk prolonged spell diteruskan dosis rumatan 1 – 2 mg/kg oral 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi 2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fungsionam : dubia ad bonam IV C 1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA 2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 86 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 KARDIAK SIANOSIS 3. Alit Utamayasa, da SpAK 14. Indikator Medis 80% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 1 bulan. 15. Kepustakaan 1. Gaiha M, Sethi HPS, Sudah R, Arora, Acharya NR. 1993. A clinico-Hematological study of Iron deficiency anemia and its correlation withHyperviscosity Symptoms in Cyanotic Congenital Heart Disease. Indian Heart Journal 45 (1). 53-55. 2. Lany LT. 1997. Uji Penapisan Anemia Relatif Pada Penderita Tetralogy Fallot. Penelitian Karya Akhir Untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair-RSUD Dr Sutomo Surabaya. 3. HH and Risau W. 1998. Systemic hypoxia changes the organ-specific distribution of vascular endothelial growth factor and its receptors. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 95: 15809-15814. 4. Neches WH, Park SC, Ettedguy JA. 1997.Tetralogy of Fallot and Tetralogy of Fallot with Pulmonary Atresia. In : The Science and Practice of Pediatric Cardiology. Ed : Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR.2 ed. Williams & Wilkins A Waferly C. Baltimore*Philadelphia*London*Paris*Bangkok. Vol I : 1383-1411. 5. Ontoseno T. 2002a. Pattern of Tetralogy Fallot patients in Dr Soetomo Hospital, Surabaya. Folia Medica Indonesiana. (2) : 133-135 Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 87 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 TAKIKARDIA SUPRAVENTRIKULAR 1. Pengertian (Definisi) adalah peningkatan frekuensi denyut jantung, antara 180-300 kali per menit, dengan bentuk kompleks QRS yang seluruhnya normal. 2. Anamnesis 1. Fetal takikardia 2. hydrops 3. penurunan curah jantung: mendadak gelisah, tidak mau menetek, bernafas cepat dan tampak pucat, muntah-muntah, nadi sangat cepat (200-300/menit) dan sering disertai gejala gagal jantung atau renjatan. 4. Pada bentuk akut: pucat, gelisah, takipneu, sukar minum 3. Pemeriksaan Fisik 1. Takipneu 2. Denyut jantung 180-300 kali per menit (mungkin sulit dihitung) 3. Tanda-tanda gagal jantung 4. Kriteria Diagnosis 5. Diagnosis 1. Memenuhi minimal 2 kriteria anamnesis di atas 2. Memenuhi minimal poin 2 kriteria pemeriksaan fisik di atas 3. EKG: Takikardia supraventrikuler 6. Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto thorax 2. EKG 8. Terapi 1. Manuver Vagal (massage sinus karotikus, kantong es ditempelkan ke muka/ stimulasi nasogastrik) 2. Adenosine iv bolus 50 ug/kg dinaikkan setiap 2 menit dosis sama sampai maksimal 250 ug/kg, awas bronkhospame 3. Bila Adenosine tidak tersedia dan pasien shock, segera berikan Synchronized DC shock 0,5 joule/kg sampai maksimal 2 joule/kg lalu dilanjutkan dengan digitalisasi. 4. Digitalisasi cepat bila tanpa shock/gagal jantung, iv 0,03-0,04 mg/kgBB, pemberian pertama 1/2 dosis digitalisasi dilanjutkan 1/4 dosis lalu 1/4 dosis lagi selang 8 jam. Bila sudah kembali ke irama sinus maka dilanjutkan dosis oral untuk rumatan. Kontra indikasi bila ada WPW. 5. Bila belum berhasil, berikan Phenylephrine 10 mg dalam 200 cc cairan drip cepat, awasi systole jangan lebih dari 150-170 mmHg. 6. Bila belum berhasil, Propanolol atau Verapamil bisa dicoba (untuk > 1tahun). Verapamil : iv 0,050,1 mg/kg BB dapat diulangi 2 X dalam 15 menit. Peroral 1-10 mg/kg BB/hari dalam dosis terbagi 3 kali. 7. Amiodarone (bila akibat WPW atau postop), PO 10 mg/kg dibagi 2 dosis selama 5-10 hari lalu 57 mg/kg/hari sampai beberapa minggu diturunkan 2-5 mg/kg, IV 5 mg/kg dlm 15-20 menit dapat diulang maks 15 mg/kg dilanjutkan continous infusion 10-15 mg/kg/hari). Digitalis maintenance untk cegah rekuren selama 3-6 bulan (bila umur > 8 tahun disertai WPW, berikan Propanolol atau Atenolol) 9. Edukasi 1. 'Venous Hum' 2. Ruptur sinus Valsava 3. Insufisiensi Aorta + VSD 4. Trunkus Arteriosus 5. 'Aortico-pulmonary window' 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi 2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan 10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fumgsionam : dubia ad bonam 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi IV C 13. Penelaah Kritis 1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA 2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK 3. Alit Utamayasa, da SpAK 14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 7 hari (1 minggu). Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 88 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 TAKIKARDIA SUPRAVENTRIKULAR 15. Kepustakaan 1. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : 2002. h.338-341. Mosby, 2. Van Hare GF, Supraventricular Tachycardia. Dalam: Gillette PC, Garson A Jr, Ed. Clinical Pediatric Arrithmias. Edisi ke-2. Philadelpia: W.B. Saunders Company, 1999. h.97-120. 3. Deal BJ. Supraventricular Tachycardia Mecanisms and Natural History. Dalam: Deal BJ, Woff GS., Gelband H. Ed. Current Concepts in Diagnosis and Management of Arrithmias in Infants and Children. New York: Futura Publishing Company, 1998. H. 117-143 Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 89 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 INFEKSI SALURAN KEMIH - 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Pemeriksaan Penunjang 5. Kriteria Diagnosis 6. 7. Diagnosis Diagnosis Banding 8. Terapi Supportif Pemberian nutrisi adekwat, kebersihan urogenital, mencegah konstipasi ISK bawah Medikamentosa Antibiotik peroral Amoksisilin klavulanat 20 – 40 mg/kg/hari dibagi 3 dosis Trimethoprim-sulfamethoxasol 6-12 mg/kg trimethoprim & 30-60 mg/kg sulfamethoxasole dibagi 2 dosis Infeksi saluran kemih adalah ditemukan mikroba bermakna pada saluran air kemih dari sampel urin suprapubik berapapun jumlah kuman kateterisasi uretra ≥5x10 4 porsi tengah ≥10 5 Gejala klinis tidak spesifik Infeksi saluran kemih atas gejala panas tinggi, disertai gejala sistemik Gejala infeksi saluran kemih berdasarkan umur penderita adalah sebagai berikut : 0-1bulan : Panas/hipotermi, gejala sistemik,ikterus (sepsis). 1 bln-2 thn : panas/hipotermia, gejala sistemik, nyeri perut/ pinggang. 2-6 thn : Panas, gejala sistemik, tidak dapat menahan kencing, polakisuria, disuria, ngompol. 6-18 thn : Nyeri perut/pinggang, panas, tak dapat menahan kencing. Tidak spesifik tergantung usia dan lokasi infeksi saluran kemih : Panas/hipotermia Nyeri ketok pinggang 1. Pemeriksaan air kemih: Urinalisis, Leukosit esterase, nitrit, 2. Biakan air kemih 3. Pemeriksaan darah lengkap, ureum, kreatinin 4. Ultrasonografi ginjal-buli buli (USG) bila diperlukan, skintigrafi ginjal, CT scan, MRI pada kasus ISK atas, komplek, dan atipik 1. Gejala Klinis sesuai usia penderita 2. Biakan air kemih merupakan baku emas 3. Pemeriksaan air kemih ada kuman (gram), piuri,torak, lekosit, , lekosit esterase,nitrit 4. Kimia darah: ureum,kreatinin 5. Pencitraan :USG ginjal-buli buli, skintigrafi ginjal, CT scan, MRI bila diperlukan Infeksi saluran kemih Penyakit dengan panas yang tidak diketahui sebabnya - ICD Antibiotik parentral 1. neonatus : gentamisin 7,5 mg/kg sekali sehari dan ampisilin 100 mg/kg/hari diberikan 3 kali sehari. ISK pada Neonatus 9. ISK atas/ ISK komplek/ ISK Atipik Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 1. 2 3 4 5 1. 2. 3. 4. Seftriakson 75 mg/kg/hari sekali sehari Sefotaksim 150 mg/kg/hari dibagi tiap 6 -8 jam Seftasidim 100 – 150 mg/kg/hari dibagi tiap 8 jam Gentamisin 7,5 mg/kg/hari dibagi tiap 8 jam Amikasin 15 mg/kg/hari sekali sehari Berobat secara teratur Menjaga kebersihan daerah genetalia Pemakaian popok atau pempers harus diganti setiap buang air kemih atau buang air besar Buang air besar secara teratur Infeksi saluran kemih atas Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam Infeksi saluran kemih kompleks Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam IV C a. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) b. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) c. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) d. M Riza Kurniawan, dr, SpA 80% penderita akan sembuh dalam waktu 12 hari Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 90 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 INFEKSI SALURAN KEMIH Penderita tidak panas Biakan urin steril 15. Kepustakaan 1. Barbara J, Kher K. Urinary tract infection. In Kher K, Schnaper HW, Makker SP Eds. Clinical Pediatric Nephrology 2nd.Chennai.Replika Press.2007. 553-74. 2. Bensman A, Dunand O, Ulinski T. Urinaru tract infection. In Avner ED, Harmon WE,Niaudet P, Yoshikawa N Eds. Pediatric Nephrology 6th ed. Berlin Heidelberg.Springer Verlag.2009:1229-310 3. Hoberman A, Charron M, Hickey RW et al, 2003. Imaging studies after febrile urinary tract infection in young children. N Engl J Med ; 348 :195-202. 4. Nan wong S. Urinary tract infection. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Pediatric Nephrology.Hongkong.Medcom Limited.2005:160-70 5. Newman TB. The new American Academy of Pediatrics Urinary tract infection Guideline. Pediatrics 2011;128:595-610 6. Rusdidjas, Ramayati R. Infeksi saluran kemih. In Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO Eds. Buku ajar Nefrologi Anak. 2nd ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2009: 142163. 7. Pardede SO, Tambunan T, Alatas H, Trihono PP. Konsensus infeksi saluran kemih pada anak.Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:1-34 8. Pecile P, Miorin E, Romanello C, Vidal E, Contrado M, Valent F dkk. Age related renal parenchymal lesions in children with first febrile urinary tract infections. Pediatric 2009;124:23-9. 9. Yap HK, Resontoc LPR. Management of childhood urinary tract infection. In Yap HK, Liu ID, Tay W Eds. Pediatric nephrology. Singapore. 391-402. 10. Yilmaz A, Sevketoglu E, Gedikbasi A, Karyagar S, Kiyak A, Mulazimoglu M dkk. Prediction urinary tract infection with urinary neuthrophil gelatinase associated lipocalsin. Pediatr Nephrol 2009;124:2387-92. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 91 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 PENYAKIT GINJAL KRONIK 1. Pengertian (Definisi) Pada Penyakit Ginjal Kronik (PGK) terjadi kerusakan ginjal atau penurunan fungsi ginjal dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) <60 ml/menit/1.73m2 ≥ 3 bulan 2. Anamnesis Riwayat PGK tergantung penyakit yang mendasari dan beratnya penurunan fungsi ginjal 3. Pemeriksaan Fisik • • • • • • • 4. Pemeriksaan Penunjang 1. Darah lengkap 2. Urinalisis 3. Kimia darah: ureum, kreatinin, kadar hormone paratiroid, serum elektrolit, asam urat, serum albumin, protein total, kolesterol (lipid profile) 4. Gas darah bila diperlukan 5. Laju filtrasi glomerulus yang ditentukan dengan rumus Haycock-Schwartz 6. Foto tangan kiri dan pelvis untuk pemeriksaan bone age. 7. Pencitraan: Thorax foto, USG ginjal/buli-buli, serta pemeriksaan lain bila diperlukan 5. Kriteria Diagnosis • Anamnesis • Pemeriksaan penunjang 6. Diagnosis Penyakit ginjal kronik 7. Diagnosis Banding Gangguan tumbuh kembang – ICD 8. Terapi 1. Penyakit yang mendasari 2. Terapi konservatif • Nutrisi dengan kalori adekuat, protein dibatasi 1,8-2 g/kg BB/ hari. • Mengatur balans cairan masuk/keluar • Koreksi asidosis dengan NaHCO 3 1-2 mmol/kg BB/hari per oral Koreksi IV-NaHCO 3 dengan dosis 0,3 x BB (kg) x (24-HCO 3 - serum) pemberian setengah dosis HCO 3 selama 2-4 jam secara infuse. • Koreksi gangguan elektrolit: - Koreksi Natrium (Na): Defisit Na (mmol)= 0,6 x BB (kg) x (135 – serum Na) - Koreksi Kalium (K): Defisit K (mmol)= 0,6 x BB (kg) x (4 – serum K). Koreksi kalium diberikan secara infuse, dengan kecepatan maksimum 0,4 mmol/kgBB/ 1 jam • Terapi Hipertensi tergantung berat hipertensi. Dapat diberi kombinasi: - Furosemid 1-4 mg/kg BB/hari dosis terbagi - Amilodipin 0,05 mg/ kg BB/ hari, maksimal: 0,2 mg/kg BB/hari - Nifedipin 0,25 mg/kg BB/ 6-8 jam, maksimal: 0,5 mg/kg BB/hari - Captopril 0,1 mg/kg BB/ 8 jam, maksimal 6 mg/kg BB/ 8 jam - Losartan 0,5-0,7 mg/ kgBB/hari, maksimal 1,4 mg/kg BB/hari - Carvedilol 0,08 mg/kg BB/ 12 jam, maksimal 0,75 mg/kg BB/12 jam • Koreksi Anemia - Hb< 10 g/dl, Ht< 30% terapi recombinant eritropoietin sub kutan seminggu dua kali, dosis: 50 unit/ kg BB - Asam folat: 1-5 mg/hari selama 3-4 minggu diberikan bila terjadi defisiensi asam folat 3. Terapi pengganti ginjal • Dialysis – Peritoneal atau Hemodialysis • Cangkok ginjal 9. Edukasi • • • • Tergantung stadium PGK Pucat Nafsu makan menurun Mudah lelah Bengkak Gagal tumbuh Kadang kencing berkurang Minum obat teratur Membatasi minum sesuai dengan produksi urin Mengurangi konsumsi makanan yang mengandung garam Dialysis secara teratur 10. Prognosis • Tergantung stadium PGK • Pada umumnya kurang baik 11. 12. IV C Tingkat Evidens Tingkat Rekomendasi Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 92 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 PENYAKIT GINJAL KRONIK 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan a. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) b. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) c. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) d. M Riza Kurniawan, dr, SpA 80% penderita akan membaik dalam waktu 4 minggu • Penderita dengan PGK Stadium I sampai dengan IV, LFG stabil • Penderita dengan PGK stadium V, gejala uremia membaik 1. Yap HK, Aragon ET. Chronic kidney disease staging. In Yap HK, Liu ID, Tay W Eds. Pediatric Nephrology. Children Kidney Centre. Singapore.2012:19-25. 2. Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children. In Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical Paediatric Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 427-46. 3. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:Evaluation, Classification, and Stratification, 2000 4. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal Ginjal Kronik. Dalam Alatas H, Tambunan , Trihono PP, Pardede SO Eds. Buku Ajar Nefrologi Anak 2nd ed. Bali penerbit FKUI Jakarta, 2002; 509-30. 5. Fogo AB, Kon V. Pathophysiology of progressive renal disease. In Avner ED, Harmon WE, Niaudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1269-85. 6. Kei-Chiu TN, Chiu MC. Pre-Renal Replacement Program : Conservative Management of Chronic Kidney Disease. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005; 24752. 7. Yap HK. Anemia, Renal Osteodystrophy, Growth Failure in Chronic Renal Failure. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005; 253-61. 8. Winearls CG. Clinical Evaluation and Manifestation of chronic Renal Failure. In Johnson RJ, Feecally J Eds. Comprehensive Clinical Nephrology. Harcourt Publishers Limited London, 2000; section 14. 68 : 1-14. 9. Fine RN, Whyte DA, Baydstrun II. Conservative management of chronic renal insuffi-ciency. In Avner ED, Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams and Wilkins USA, 2004; 1291-305. 10. Kuizon BD, Sausky IB. Renal Osteodistrophy. In Avner ED, Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams and Wilkins USA, 2004; 1291-305. 11. Goonasekera CDA, Dillon MJ. The child with hypertension. In Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical Paediatric Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 151-61. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 93 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 BIOPSI GINJAL PADA ANAK 1. Pengertian (Definisi) 2. Indikasi 3. Kontraindikasi 4. 5. Persiapan Obat-obatan dan peralatan Suatu tindakan pemeriksaan jaringan ginjal yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis histologik, membantu menentukan strategi terapi dan untuk memastikan derajat perubahan aktif (reversibel) atau kronis (ireversibel) dalam menentukan prognosis dan kemungkinan respon terhadap terapi. Biopsi ginjal juga dapat digunakan untuk membantu penilaian penyakit genetik. Indikasi pasti: • Sindrom nefrotik resisten steroid atau dependen steroid • Glomerulonefritis progresif cepat • Glomerulonefritis akut atipikal atau yang tidak membaik • Kecurigaan nefritis tubulointerstisial akut • Sindrom hematuria rekuren • Proteinuria persisten non-ortostatik • Diagnosis penolakan alograf ginjal • Keterlibatan ginjal dalam penyakit sistemik (lupus eritematosus sistemik, Henoch-Schonlein purpura, sindrom vaskulitis, penyakit Fabry) Indikasi meragukan: • Penyakit ginjal kronik dengan etiologi tidak diketahui • Gangguan ginjal akut bukan akibat penyakit glomerulus atau tubulointerstisial • Evaluasi respon ginjal terhadap pengobatan Kontraindikasi absolut: • Ginjal tunggal (kecuali ginjal transplan) • Gangguan koagulasi • Hipertensi berat yang tidak terkontrol • Pasien tidak kooperatif atau tanpa sedasi yang adekuat • Pielonefritis akut Kontraindikasi relatif: • Gagal ginjal terminal • Kelainan ukuran, bentuk, dan/atau posisi ginjal • Pielonefritis kronis • Hidronefrosis • Neoplasma intrarenal (risiko penyebaran tumor intraabdominal) • Nefrokalsinosis • Anemia berat • Obesitas Kondisi dimana biopsi ginjal mempunyai nilai diagnostik minimal: • Penyakit kistik ginjal • Kelainan tubulus ginjal • Proteinuria postural Penjadwalan: • Penjadwalan dilakukan sesuai jadwal operator (Nefrologi Anak) dengan konsultan radiologi selambatlambatnya 1 (satu) minggu sebelum acara biopsi ginjal. • Bila sudah didapatkan jadwal yang pasti, diberitahukan kepada asisten operator (perawat Poli Nefrologi Anak) untuk persiapan alat dan prosedur pengiriman bahan selambat-lambatnya 1 (satu) minggu sebelum acara biopsi ginjal. Persiapan: • Surat persetujuan orang tua atau keluarga penderita (informed consent). • Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, fungsi ginjal dan uji faal hemostasis. • Penderita diberikan Vitamin K 5 mg im 3 hari berturut-turut, mulai H-1, H0 dan H+1. • Penderita dipuasakan sejak 6 jam sebelum biopsi dimulai. • Sebelum berangkat ke tempat biopsi dengan menggunakan tempat tidur beroda, iv line sudah harus terpasang pada tangan penderita. • Kassa dan desinfektan (povidon-iodine dan alkohol 70%) untuk desinfeksi lapangan biopsi • 2 ampul Lidokain • 2 atau 3 vial Midazolam (Dormicum) kemasan 5 mg/5 ml • 2 buah disposable syringe 2,5 ml • 2 buah disposable syringe 5,0 ml • 1 buah mess kecil 15 G • 1 set peralatan biopsi ginjal perkutan: o Biopsy gun Magnum Bard o Disposable core needle biopsy 16 G atau 18 G atau o Jarum Vim-Silverman • Plastik pembungkus USG probe (kondom Sutra™ merah) • Sarung tangan steril untuk semua operator • Penutup hidung dan mulut (masker) untuk semua operator dan yang hadir di ruang biopsi Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 94 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 BIOPSI GINJAL PADA ANAK 6. Pelaksanaan 7. Perawatan pasca biopsi 8. Edukasi 9. Prognosis 10. Tingkat Evidens 11. Tingkat Rekomendasi 12. Penelaah Kritis 13. Indikator Medis 14. Kepustakaan • • • • • • • Formulir pemeriksaan USG Formulir permintaan pemeriksaan patologi anatomi Tempat penyimpanan spesimen ginjal berisi formalin 3 buah bantal pasir 3 buah doek steril Operator mencuci tangan kemudian memakai masker dan sarung tangan steril. Asisten menyiapkan penderita di meja biopsi. Penderita dibaringkan telungkup. Perut penderita ditopang satu buah bantal pasir untuk fiksasi ginjal. Pantat dan paha penderita difiksasi dengan meletakkan 2 buah bantal pasir diatasnya. • Premedikasi penderita dengan Midazolam 0,1 mg/kgBB iv pelan. • Desinfeksi lapangan biopsi oleh operator dengan povidone-iodine dan alkohol. Lapangan biopsi ditutup dengan doek steril. • Ahli radiologi menetapkan lokasi biopsi (daerah kutub bawah ginjal kiri) dan mengukur jarak korteks ginjal dari kulit dengan bantuan ultrasonografi. • Setelah lokasi biopsi ditetapkan, operator melakukan insisi kecil di area biopsi, kemudian melakukan bius lokal pada daerah tersebut dengan 2 ampul Lidokain. • Operator memasukkan jarum biopsi secara tegak lurus dengan tuntunan ultrasonografi sampai jarum mencapai kapsula renalis sedalam jarak kulit ke korteks ginjal yang sudah diukur sebelumnya. • Setelah dipastikan jarum biopsi berada di lokasi yang tepat, operator melakukan biopsi. • Pelaksanaan biopsi maksimal sebanyak 3 kali dalam 1 sesi. • Setelah jaringan ginjal diperoleh, operator mengukur panjang jaringan dan memasukkannya ke dalam botol berisi formalin. • Spesimen jaringan ginjal tersebut kemudian dikirim ke bagian Patologi Anatomi dengan formulir pengantar yang telah disiapkan untuk pemeriksaan dengan mikroskop cahaya, imunofluoresensi dan mikroskop electron (bila memungkinkan). • Penderita ditidurkan telentang setelah luka biopsi ditutup dengan kassa. Setelah biopsi dilakukan, penderita dibawa kembali ke ruangan dengan pemantauan sebagai berikut : • Penderita tidur telentang selama 24 jam. • Awasi tanda-tanda vital penderita tiap 15 menit pada jam pertama, kemudian tiap 30 menit pada jam kedua, tiap jam pada 4 jam berikutnya. Bila keadaan umum penderita baik dan stabil, observasi dilanjutkan tiap 4 jam selama 24 jam berikutnya. • Lakukan pemeriksaan urine (makroskopik dan mikroskopik) setiap kali penderita kencing dalam 3 jam pertama pasca biopsi. Ulangi pemeriksaan tersebut 24 jam berikutnya. Ukur urine 24 jam. Penderita dianjurkan minum sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan diuresis dan mengurangi risiko obstruksi saluran kemih. • Bila timbul keluhan dan gejala nyeri perut atau hematuria, observasi diperketat dan batas waktu perawatan pasca biopsi diperpanjang sampai keluhan dan gejala hilang. Bila perlu, lakukan pemeriksaan ultrasonografi untuk mencari kausa. • Bila terjadi hematuria gross, tindakan yang harus dilakukan adalah : o Pindahkan dan observasi penderita di ruang UPI. o Berikan : Karbazokrom sodium sulfonat (Adona AC) 5 ml iv bolus. Jangan diberikan asam traneksamat (Transamin) oleh karena bahaya terjadinya pembentukan bekuan darah dalam saluran kemih. Furosemid 2 mg/kgBB/hari iv. Prednison 2 mg/kgBB/hari po selama 2 hari. 1. Gejala klinis Pada umumnya tidak terjadi komplikasi sesudah biopsi, akan tetapi bila didapatkan perdarahan di tempat biopsi dan atau di aprenkim ginjal, pada umumnya gejala klinis akan membaik pada akhir minggu pertama dengan terapi yang diberikan sesuai dengan komplikasi yang terjadi. 2. Terapi Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan terhadap komplikasi yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kerusakan ginjal dan bahkan kematian. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) 2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) 3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) 4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA 80% penderita biopsi ginjal anak akan dapat dipulangkan pada 1 hari sesudah prosedur 1. Chao SM, Tan PY, Chiang GSC. Renal biopsy and renal pathology. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 95 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 BIOPSI GINJAL PADA ANAK 2. 3. 4. Limited, 2005: 38-52. Damanik MP. Biopsi ginjal. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:3-14. Fogo AB. Renal pathology. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:565-97. Ong J, Yap HK. Renal biopsy protocol. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 417-22.Wirya IGNW. Biopsi ginjal. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:73-86. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 96 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DIALISIS PERITONEAL PADA ANAK 1. Pengertian (Definisi) 2. Indikasi 3. Kontraindikasi 4. Persiapan 5. Pelaksanaan 6. Edukasi 7. Prognosis 8. 9. Tingkat Evidens Tingkat Rekomendasi Suatu proses untuk mengeluarkan zat-zat yang menumpuk di dalam darah seperti ureum, kreatinin, fosfat, kalium, air, dan lain-lain akibat kegagalan fungsi ginjal. Penumpukan zat-zat tersebut dalam darah dikeluarkan ke dalam cairan dialisat yang berada di dalam rongga peritoneum. Dapat dilakukan sebagai prosedur akut maupun kronik (continuous ambulatory peritoneal dialysis/CAPD atau dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan) • Kelebihan cairan (edema paru, gagal jantung kongestif) • Hipertensif refrakter • Asidosis berat dan persisten • Hiperkalemia (kalium >7 mEq/l) yang tidak dapat diatasi secara konservatif • Toksin berupa uremia dengan gejala pruritus, pleuritis, perikarditis, dan susunan saraf pusat • Toksin eksogen seperti litium, salisilat, etanol, methanol, bromide ethylene glycol, dan aminoglikosida • Azotemia berat (BUN >50 mg/dl, ureum >200 mg/dl, atau kreatinin >15 mg/dl), klirens kreatinin <15 ml/menit/1,73 m2 • Pasca operasi bedah jantung dengan oliguria/anuria • Defek dinding perut atau infeksi • Distensi abdomen • Perforasi usus • Adesi atau reseksi usus • Ada hubungan antara rongga dada dan rongga perut Persiapan dan evaluasi pasien: • Tanyakan dan periksa pasien tentang operasi abdomen sebelumnya, adakah hernia, organomegali, distensi usus, ileus, dan tumor usus. Bila terdapat, kateterisasi harus dipasang lewat pembedahan dan visualisasi langsung • Jelaskan prosedur dan komplikasinya kepada pasien/keluarga pasien serta dapatkan izin tertulis (informed consent) • Konsultasi ke Bedah Urologi untuk pelaksanaan prosedur pemasangan kateter Tenckhoff. Keberhasilan dialisis peritoneal ditentukan oleh pemasangan akses dialisis. Pada anak lebih disukai doublecuffed, sedangkan pada bayi kurang dari 3 kg dengan single cuffed. Kateter yang paling disukai adalah kateter double cuffed Tenckhoff. • Periksa patensi dan kemungkinan kebocoran kateter Tenckhoff di ruang operasi dengan melakukan pertukaran cairan sebanyak 10 ml/kg secara cepat dengan menggunakan cairan dialisat 1,5%. • Volume dialisis (fill volume) berdasarkan periode pasca insersi kateter Tenckhoff: o Hari ke-1: 300 ml/m2 (anak >12 bulan), 200 ml/m2 atau 10 ml/kg (anak usia <12 bulan) o Hari ke-4: 500 ml/m2 (anak >12 bulan), 300 ml/m2 atau 15 ml/kg (anak usia <12 bulan) o Hari ke-8: 800 ml/m2 (anak >12 bulan), 400 ml/m2 atau 20 ml/kg (anak usia <12 bulan) o Hari ke-10: 900 ml/m2 (anak >12 bulan), 500 ml/m2 atau 25 ml/kg (anak usia <12 bulan) o Minggu ke-2: 1000 ml/m2 (anak >12 bulan), 600 ml/m2 atau 30 ml/kg (anak usia <12 bulan) o Minggu ke-3: 1100 ml/m2 (anak >12 bulan), 700 ml/m2 atau 35 ml/kg (anak usia <12 bulan) o Minggu ke-4: 1200 ml/m2 (anak >12 bulan), 800 ml/m2 atau 40 ml/kg (anak usia <12 bulan) • Frekuensi dialisis: o Lakukan pertukaran cairan sebanyak 10 ml/kg secara cepat dengan menggunakan cairan dialisat 1,5% sebanyak 5 kali segera sesudah dilakukan insersi kateter Tenckhoff o Lakukan pertukaran cairan setiap 1 jam selama 24-48 jam sampai cairan dialisat tidak menunjukkan darah • Berikan antibiotika Cefazolin intraperitoneal 125 mg/L selama maksimal 3 hari. • Bila didapatkan kebocoran, jangan menggunakan kateter selama 2 minggu. Lakukan dialisis volume rendah (300 ml/m2) selama 2 minggu bila sangat diperlukan untuk memulai dialisis. Berikan antibiotika Cefazolin intraperitoneal atau intravena selama minimal 5 hari. • Heparin intraperitoneal: o Tambahkan heparin 250 U/L selama minimal 3 hari o Naikkan dosis menjadi 500-1000 U/L bila cairan dialisat effluent masih bercampur darah o Hentikan heparin bila cairan dialisat effluent sudah jernih dan tidak ada fibrin. • Periksa jumlah sel (cell count), Gram dan kultur cairan dialisat saat antibiotika dihentikan. Berikan terapi sebagai peritonitis bila didapatkan peningkatan jumlah sel dalam cairan dialisat. • Pada anak ≥2 tahun, volume dialisis dapat ditingkatkan sampai 1400 ml/m2 untuk meningkatkan adekuasi dialisis. • Perlunya menjaga kebersihan dalam melakukan pertukaran cairan dialisat, baik kebersihan personal maupun lingkungan, untuk mencegah infeksi peritonitis. • Perlunya kepatuhan dalam jangka panjang untuk pengobatan dan monitoring kondisi klinis. • Penyakit ginjal stadium terminal sebagai penyakit yang mendasari mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang dan aspek sosial serta psikologis anak, terutama jika terdapat komplikasi yang menimbulkan sekuele. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 97 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DIALISIS PERITONEAL PADA ANAK 10. Penelaah Kritis 11. Indikator Medis 12. Kepustakaan 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) 2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) 3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) 4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA 50% penderita dengan dialisis peritoneal akan bertahan hidup dalam waktu 1 tahun pengobatan 1. Damanik MP. Dialisis peritoneal. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:594-606. 2. Ha IS, Lai WM. Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) and Automated peritoneal dialysis (APD). Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 267-71. 3. Sekarwana N. Dialisis peritoneal. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:232-8. 4. Sreedharan R, Avner ED. Chronic kidney disease. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1822-6. 5. Srivastava RN, Bagga A. Renal replacement therapy. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 330-45. 6. Verrina E. Peritoneal dialysis. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1785-816. 7. Yap HK, Aragon ET. Peritoneal dialysis orders post Tenckhoff insertion. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 281-2. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 98 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 GANGGUAN GINJAL AKUT PADA ANAK 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. Diagnosis 6. Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang • Keadaan dimana terjadi gangguan fungsi ginjal secara akut yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi ginjal (LFG) dan atau penurunan produksi urine yang bersifat reversibel. Gangguan ginjal ini menyebabkan regulasi cairan, elektrolit, asam basa dan tekanan darah menjadi terganggu. • Definisi GgGA ini mencakup gangguan fungsi ginjal ringan sampai kegagalan fungsi ginjal tahap akhir yang didasarkan pada suatu kriteria RIFLE (Risk, Injury, Failure, Loss, End-stage) yang disesuaikan untuk anak menjadi suatu kriteria pediatric RIFLE (gambar 1). Kriteria Risk, Injury, Failure menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal berdasarkan penurunan estimasi klirens kreatinin anak (melalui perhitungan LFG anak) dan produksi urine (sensitivity factors); sedangkan kriteria Loss dan End-stage menentukan prognosis fungsi ginjal selanjutnya dengan menggambarkan prognosis gangguan ginjal (specificity factors). Gambar 1. Kriteria pediatric RIFLE 1. Anak dengan kondisi yang berhubungan dengan hipovolemia berat, yaitu anak dengan gejala klinis muntah, diare dan penurunan asupan oral yang berisiko mengalami hipovolemia berat dan GgGA. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan poliuria seperti ketoasidosis diabetikum, asidosis tubulus renalis dan tubulopati kronik, jika asupan cairan tidak cukup mengimbangi produksi urin yang banyak, maka dapat terjadi hipovolemia berat dan GgA pre renal. 2. Anak dengan gejala yang mengarah pada penyakit ginjal dapat ditandai dengan oliguria onset akut, edema dan gross hematuria, yang didahului oleh riwayat faringitis atau impetigo yang sesuai dengan suatu glomerulobnefritis paska infeksi. Diare berdarah dengan oliguria atau anuria dapat merupakan suatu sindrom hemolitik-uremik terkait diare, sedangkan anak dengan pneumonia dan oliguria yang disertai anemia dan trombositopenia dapat merupakan sindrom hemolitik uremik terkait pneumonia. Gejala dan tanda sistemik vaskulitis seperti ruam malar atau purpurik, nyeri atau pembengkakan sendi dan hemoptisis, menunjukkan kemungkinan suatu rapidly progressive glomerulonephritis yang terkait dengan vaskulitis sistemik. 3. Anak sakit berat dengan faktor predisposisi untuk kegagalan multi organ, meliputi anak dengan sepsis dan hipotensi, sering mengalami kegagalan multi organ yang berakibat pada GgGA dengan kondisi oligoanuria, terutama dengan pemberian inotropik seperti nor adrenalin atau adrenalin; bayi dan anak paska prosedur bypass kardiopulmoner; anak yang imunosupresif atau mengalami neutropenia seperti pasien onkologi yang menjalani kemoterapi atau transplantasi sumsum tulang dengan kondisi:sepsis dan riwayat pengobatan yang nefrotoksik termasuk antibiotik seperti aminoglikosida atau amphotericin B, agen kemoterapi seperti cisplatin dan penghambat calcineurin. 4. Bayi baru lahir dengan oliguria atau anuria lebih dari 72 jam memerlukan perhatian dan membutuhkan tindak lanjut. Anuria atau oliguria tanpa adanya cidera iskemia menunjukkan suatu malformasi kongenital mayor seperti katup uretra posterior, atau penyakit genetik seperti penyakit ginjal yang diturunkan secara autosomal resesif. Pada bayi yang sakit dengan hematuria, dapat merupakan suatu trombosis vena renalis bilateral. • Tanda-tanda hipovolemia yang dapat terlihat: takikardi, waktu pengisian kapiler yang buruk, penurunan turgor kulit, membran mukosa kering, mata cowong, perubahan tekanan darah ortostatik. • Tanda sistemik vaskulitis seperti ruam malar atau purpurik, nyeri atau pembengkakan sendi dan hemoptisis. • Perjalanan penyakit akut (<48 jam) • Penurunan fungsi ginjal berdasarkan peningkatan serum kreatinin dan/atau penurunan produksi urine • Penggunaan kriteria pRIFLE untuk menentukan stadium klinis GgGA Gangguan ginjal akut dengan stadium Risk, Injury, Failure, Loss, End-stage a. Pre-renal GgGA b. Renal GgGA c. Post-renal GgGA 1. Sedimen Urin Pemeriksaan mikroskopis untuk pemeriksaan sel, kristal, debris dan torak. Diagnosis glomerulonefritis dapat ditentukan dengan adanya hematuria terkait eritrosit dismorfik dan torak eritrosit. Sel epitel tubuler Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 99 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 GANGGUAN GINJAL AKUT PADA ANAK 2. 3. 4. 5. 6. • • • 7. 8. Terapi • • • ginjal, sel torak tubuler atau torak dengan granular kasar dapat merupakan suatu nekrosis tubuler akut. Piuria dapat merupakan suatu pielonefritis atau gangguan tubulointerstisial (piuria steril). Terdapatnya eosinofil dapat merupakan suatu nefritis alergi interstisial akut. Kristal urin dapat menjadi suatu indikator etiologi dasar pada tampilan klinis yang sesuai untuk GgGA seperti kristal asam urat pada sindrom tumor lisis dan kistal kalsium oksalat pada keracunan etilen glikol. Jika tidak ditemukan kelainan maka dapat merupakan GgGA pre renal atau karena obstruksi. Darah lengkap untuk melihat adanya anemia, trombositopenia dan reticulositosis, yang dapat menjadi suatu sindrom hemolitik uremik atau GN terkait vaskulitis. Hapusan darah tepi untuk melihat adanya skistosit pada sindrom hemolitik uremik, atau sferosit pada nefritis lupus. Pemeriksaan hemoglobin dalam urin atau mioglobin serum untuk menyingkirkan suatu nefropati pigmen, jika riwayat penyakit menunjukkan suatu proses hemolisis intra vaskular atau rabdomiolisis. Pemeriksaan kadar komplemen serum (C3 dan C4), anti-nuclear antibodies antibodi sitoplasmik anti neutrofil, dan anti-glomerular basement membrane antibodies untuk membedakan berbagai jenis penyakit glomerular. Komplemen serum C3 didapatkan rendah pada GN paska infeksi, Nefritis Lupus, GN membranoproliferatif dan beberapa bentuk sindrom hemolitik uremik familial. Pola khusus abnormalitas biokimiawi dapat terlihat pada beberapa penyebab khusus dari GgGA. Kadar laktat dehidrogenase pada sindrom hemolitik uremik atau penyebab lain dari hemolisis. Hipokalsemia, hiperfosfatemia dan hiperurikemia dapat timbul pada sindrom tumor lisis. Peningkatan kadar kreatin kinase serum pada rabdomiolisis. Peningkatan pada gap anion dan osmolar dengan adanya GgGA, dapat merupakan suatu keracunan glikol etilen. Pencitraan Ultrasonografi merupakan modalitas pencitraan awal untuk mendeteksi obstruksi saluran kemih atas bilateral, obstruksi outlet vesica urinari atau obstruksi dari ginjal yang berfungsi tunggal. Dilatasi sistem pelvikaliseal dapat dideteksi dalam 24 hingga 36 jam etelah onset terjadinya obstruksi saluran kemih akut. Dilatasi saluran kemih atas dapat terlihat pada tahap awal obstruksi ureter jika didapatkan adanya penurunan produksi urin. Pada obstruksi saluran kemih bagian bawah, dilatasi ureter, hipertropi ukuran dan dinding vesica urinaria, dan adanya lesi terkait seperti ureterocele dapat terlihat melalui ultrasonografi. Suatu peningkatan ekogenisitas dapat terlihat pada penyakit ginjal akut dan kronis. Pada neonatus dengan trombosis vena renalis, pemindaian aliran doppler dapat menunjukkan suatu penurunan aliran darah. CT scan abdomen tanpa kontras dapat memperlihatkan kondisi pelvis renalis dan ureter proksimal, dan sangat membantu dalam mengindetifikasi lokasi obsturksi ureteral, batu, tumor atau kondisi abnormalitas kongenital. Pemindaian yang dengan kontras sebaiknya dihindari oleh karena risiko terjadinya nefropati kontras. Magnetic resonance urogram (MRU) statik berguna untuk mengidentifikasi morfologi sistem collecting pada uropati obstruktif, tanpa memperhatikan fungsi ekskresi. Risiko fibrosis sistemik nefrogenik setelah agen kontras gadolinium pada pasien dengan gagal ginjal membatasi penggunaan pemindaian dinamik pada GgGA. Biopsi ginjal diindikasikan jika dicurigai suatu rapidly progressive GN atau nefritis alergi interstisial akut, etiologi yang tidak jelas dan GgGA yang memanjang untuk menilai tingkat kerusakan, untuk membedakan antara nekrosis tubuler akut dan nekrosis kortikal akut. Tujuan utama tata laksana GgGA adalah untuk menjaga homeostasis, sembari menunggu perbaikan fungsi ginjal, yang dapat terjadi secara spontan atau menunggu penyebab dasar tertangani. Adanya sarana dan efikasi dialisis menyebabkan perburukan pasien dengan GgGA umumnya bukan karena kondisi GgGA tetapi karena faktor komorbid lainnya. Terapi konservatif 1. Mempertahankan perfusi ginjal yang adekuat o Pada pasien yang menderita sakit berat yang berisiko mengalami GgGA iskemia, perbaikan faktor pre renal seperti, dehidrasi, curah jantung yang buruk, hipovolemia dan abnormalitas elektrolit dan asam basa, sangat penting untuk mencegah perburukan GgGA. o Kecuali terdapat kontraindikasi karena cairan berlebihan atau gagal jantung, seorang anak dengan bukti klinis hipovolemia dan oliguria, sebaiknya diberikan cairan intravena selama 2030 menit, cairan kristaloid seperti normal salin (10 hingga 20 ml/kg) atau cairan koloid seperti albumin 5%, jika hipotensif. o Pemberian ini dapat diulang jika anak masih hipovolemik. o Perbaikan aliran urin yang adekuat dan perbaikan fungsi ginjal melalui resusitasi cairan adalah sesuai dengan kondisi penyakit pre renal. o Namun, jika produksi urin tidak meningkat dan fungsi ginjal gagal untuk membaik dengan kembalinya volume intra vaskular, pengawasan invasif mungkin diperlukan sehingga status cairan anak dapat dinilai dengan baik dan membantu dalam tata laksana selanjutnya. o Jika oliguria menetap setelah koreksi faktor pre renal yang adekuat, pemberian loop diuretic dapat merangsang timbulnya diuresis: furosemid intravena 2-5 mg/kg/dosis (maksimum 240 mg bolus) atau furosemid kontinyu 0.1-1 mg/kg/jam. 2. Mencegah cairan berlebih dan hipertensi o Volume cairan sebaiknya dibatasi dengan memberikan cairan sesuai dengan insensible water 2 per hari atau 30 ml/100 kcal), s e l a i n m e n g g a n t i k e h i l a n g a n loss (400 ml/m cairan melalui urin, sistem gastrontestinal dan lainnya. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 100 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 GANGGUAN GINJAL AKUT PADA ANAK o o Terapi sebaiknya ditujukan pada penurunan berat badan sebanyak 0,5 hingga 1 % per hari. Kelebihan cairan dapat memperberat hipertensi pada pasien dengan glomerulonefritis, berakibat pada hiperternsi urgensi atau emergensi. o Hipertensi emergensi penting untuk ditangani secara adekuat dengan agen anti hipertensi intravena untuk mengontrol penurunan tekanan darah dalam menghindari perburukan edema 3. 4. 5. 6. • 9. Edukasi otak yang disebabakn oleh gangguan auto regulasi otak. Mempertahankan nilai elektrolit dan asam basa o Hiperkalemia: Hiperkalemia emergensi dengan kadar kalium serum ≥7 mmol/L diikuti dengan perubahan pada elektrokardiografi seperti gelombang T puncak, glombang P datar, peningkatan interval PR dan pelebaran kompleks QRS. Kalsium intravena diberikan secara perlahan selama 15-30 menit: Kalsium glukonas 10% 0,5 ml/kg berat badan hingga maksimum 20 ml. Nebulisasi salbutamol : - Berat badan <25 kg: 2,5 mg. - Berat badan ≥25 kg: 5 mg. Salbutamol intravena 4 mg/kg. Insulin intravena 1 IU/5 g dekstrosa: 0,1 U/kg berat badan insulin and dekstrosa 0,5 g/kg berat badan. Amati kadar glukosa darah setiap 15 menit dan setiap 30 menit sampai kadar gula darah stabil. Peningkatan kadar kalium serum : 6 to <7 mmol/L: Natrium polistirene sulfonat per oral atau rektal 1g/kg berat badan hingga maksimum 30 g Koreksi asidosis o Hiponatremia: Restriksi cairan dan berikan loop diuretics jika oleh karena cairan yang berlebihan Suplementasi natrium jika terjadi renal salt wasting. o Hipokalsemia dan hiperfosfatermia: pengikat fosfat berbasis kalsium o Asidosis metabolik berat dimana kadar bikarbonat serum <15 mmol/L atau pH <7.2: Natrium bikarbonat intravena (3 mmol/kg berat badan) Catatan: hati-hati pada pasien dengan cairan berlebih dan hipertensi. Nutrisi adekuat o Kebutuhan kalori Defisit kumulatif energi berhubungan dengan angka mortalitas pada bayi dan anak yang mengalami GgGA. Karena diperlukan suatu restriksi cairan, meningkatkan konsentrasi makanan enteral atau parenteral akan memperbaiki jumlah kalori pasien. Namun, hal ini sering kali dibatasi oleh peningkatan osmolaritas jenis makanan yang diberikan dan berakibat pada hipernatremia Melalui dialisis awal dapat memberikan suatu optimalisasi nutrisi pasien. o Asupan protein Memastikan asupan kalori yang cukup dengan pemberian karbohidrat dan/atau lemak. Pemberian asupan protein 2 g/kg/hari. Penyesuaian dosis obat-obatan, terutama yang diekskresikan melalui ginjal. Hindari kerusakan ginjal lebih lanjut dengan menghindari antibiotik nefrotoksik, Angiotensin converting enzyme inhibitors atau angiotensin receptor blockers, penghambat calcineurin dan nefropati kontras. Terapi Pengganti Ginjal Akut Indikasi tradisional: o Hiperkalemia berat yang tidak berespon pada terapi konservatif o Asidosis yang tidak terkontrol yang dapat secara aman dikoreksi karena risiko cairan dan kadar natrium yang berlebihan o Kelebihan cairan yang berat dengan hipertensi yang tidak dapat terkontrol, edema paru atau gagal jantung. o Uremia progresif dengan kondisi umum yang menurun o Kondisi hiperkatabolik dengan meningkatnya kadar urea dalam darah >10 mmol/L per hari. Dialisis dilakukan sejak awal pada anak yang sakit berat dengan GgGA dengan tujuan mempertahankan homeostasis dan memberikan cukup ruang untuk kebutuhan pengobatan dan nutrisi yang diharapkan, karena restriksi cairan yang berat dapat berakibat pada nutrisi yang inadekuat, kecenderungan menjadi hipoglikemia, memberikan volume ruang yang cukup untuk transfusi darah, kesulitan dalam pemberian obat, seperti pemberian inotropik dan antibiotik intravena. • Pentingnya deteksi dini GgGA pada anak untuk menyelamatkan fungsi ginjal Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 101 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 GANGGUAN GINJAL AKUT PADA ANAK 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan • Pentingnya mengenali penyebab GgGA supaya dapat dilakukan tata laksana yang cepat dan tepat. • Pentingnya melakukan tata laksana GgGA sesuai stadium klinis dengan cepat dan tepat, baik konservatif maupun terapi pengganti ginjal. • Beratnya komplikasi GgGA yang dapat terjadi pada jangka pendek maupun jangka panjang. • Pentingnya monitoring jangka panjang terhadap fungsi ginjal. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C a. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) b. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) c. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) d. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA 80% penderita GgGA anak akan membaik setelah 3 minggu perawatan 1. Andreoli SP. Clinical evaluation of acute kidney injury in children. Dalam: Avner E, Harmon W, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Edisi 6. Berlin: Springer Verlag; 2009: 1603-1618. 2. Alatas H. Gagal ginjal akut. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, Eds. Buku ajar nefrologi anak. Edisi 2. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002: 490-508. 3. Bellomo R, Kellum JA, Ronco C. Defining and classifying acute renal failure: from advocacy to consensus and validation of the RIFLE criteria. Intensive Care Med 2007; 33:409-413. 4. Bellomo R, Ronco C, Kellum JA, Mehta RL, Palevsky P; Acute Dialysis Quality Initiative workgroup. Acute renal failure - definition, outcome measures, animal models, fluid therapy and information technology needs: the Second International Consensus Conference of the Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) Group. Crit Care 2004; 8:R204-212. 5. Himmelfarb J, Ikizler TA. Acute kidney injury: changing lexicography, definitions, and epidemiology. Kidney Int 2007; 10:971-976. 6. Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and classification: time for change? J Am Soc Nephrol 2003; 14:2176-2177. 7. Kellum JA, Bellomo R, Ronco C. The concept of acute kidney injury and the RIFLE criteria. Dalam: Ronco C, Bellomo R, Kellum JA, eds. Acute kidney injury. Basel: Karger, 2007: 10-16. 8. Roesli RMA. Diagnosis dan pengelolaan gangguan ginjal akut. Edisi kedua. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD/RS dr.Hasan Sadikin Bandung dan Puspa Swara, 2011: 1-142. 9. Yap HK, Ng KH, Resontoc LPR. Management of acute kidney injury. Dalam: Yap HK, Liu ID, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology On-The-Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 1-13. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 102 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOKOKUS 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis Suatu bentuk peradangan non-supuratif di glomerulus yang secara histopatologi menunjukkan proliferasi dan inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe nefritogenik di tempat lain dan ditandai dengan gejala nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, dan oliguria yang terjadi secara akut. • Sembab periorbita pada pagi hari (75%) • Malaise, sakit kepala, muntah, panas dan anoreksia • Air kemih kemerahan seperti air daging • Menderita infeksi saluran nafas atas 8-14 hari sebelumnya atau infeksi kulit 3 minggu sebelumnya • Edema periorbita • Asites (kadang-kadang) • Takikardia, takipnea, rales pada paru, dan cairan dalam rongga pleura • Hipertensi (tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih dari persentil ke-95 menurut umur, jenis kelamin dan tinggi badan) pada > 50% penderita • Air kemih merah seperti air daging, oliguria, kadang-kadang anuria 1. Sembab 2. Hematuria 3. Hipertensi 4. Azotemia 5. ASTO positif Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus 1. Penyakit-penyakit ginjal: • Glomerulonefritis kronis eksaserbasi akut • Glomerulonefritis fokal, nefritis herediter (sindrom Alport), IgA-IgG nefropati, hematuria berulang ringan • Glomerulonefritis progresif 2. Penyakit-penyakit sistemik: • Purpura Henoch-Schӧnlein • Lupus eritematosus sistemik • Endokarditis bacterial subakut 3. Penyakit-penyakit infeksi: • Infeksi virus (morbili, parotitis, varisela, Echo) • Infeksi bakteri lain. • Urinalisis: proteinuria ringan (pemeriksaan urine rebus), hematuria makroskopis atau mikroskopis, torak granular, torak eritrosit • Laboratorium darah: BUN naik pada fase akut, lalu normal kembali, ASTO >100 Satuan Todd, komplemen C3 <50 mg/dl pada 4 minggu pertama, LED meningkat pada fase akut, kemudian menurun setelah gejala klinis menghilang • Radiologi: tanda bendungan pembuluh darah paru, cairan dalam rongga pleura, dan kardiomegali 1. Tirah baring pada minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS (misalnya kesadaran menurun, hipertensi, edema). 2. Antibiotika untuk eradikasi kuman: • Amoksisilin 50 mg/kgBB dibagi 3 dosis selama 10 hari • Jika alergi penisilin: Eritromisin 30 mg/kg BB/hari selama 10 hari 3. Diuretik: Furosemid 1-2 mg/kg/dosis (2-3 kali sehari) selama 3-10 hari (sesuai status edema dan hipertensi) 4. Anti-hipertensi (kombinasi dan durasi diberikan sesuai status hipertensi): • Amlodipin 0,05-0,2 mg/kg/hari • Captopril 0,3-2 mg/kg/dosis (3 kali sehari) • Losartan 0,5-1,4 mg/kg/hari • Carvedilol 0,08-0,75 mg/kg/dosis (2 kali sehari) 5. Diet nefritis (rendah garam dengan 2 g garam/hari). 6. Tata laksana komplikasi seperti gagal ginjal, krisis hipertensi, gagal jantung, edema paru. 1. Gejala klinis Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau hipokomplementemia yang menetap, sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama. 2. Terapi Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan terhadap komplikasi yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kematian. Pada kasus yang berat, pemantauan tanda vital secara berkala diperlukan untuk memantau kemajuan pengobatan. 3. Tumbuh Kembang Penyakit ini tidak mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang anak, kecuali jika terdapat komplikasi yang menimbulkan sekuele. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 103 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOKOKUS 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan I/II/III/IV A/B/C 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) 2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) 3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) 4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA 80% penderita GNAPS akan sembuh dalam waktu 1 minggu perawatan 1. Kumar GV. Clinical study of post Streptococcal acute glomerulonephritis in children with special reference to presentation. Curr Pediatr Res 2011;15(2):89-92. 2. Noer MS. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:323-61. 3. Pan CG, Avner ED. Acute poststreptococcal glomerulonephritis. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1783-5. 4. Rauf S, Albar H, Aras J. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus glomerulonefritis akut pasca Streptokokus. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 2012. 5. Rodriguez-Iturbe A, Mezzano S. Acute postinfectious glomerulonephritis. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:74353. 6. Smith JM, Faizan MK, Eddy AA. The child with acute nephritic syndrome. Dalam: Webb NJA, Postlethwaite RJ, Eds. Clinical Paediatric Nephrology. Edisi 3. London: Oxford University Press, 2003:197-225. 7. Srivastava RN, Bagga A. Acute glomerulonephritis. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 106-23. 8. Tasic V. Postinfectious glomerulonephritis. Dalam: Geary DF, Schaefer F, Eds. Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008:309-17. 9. Tse NK. Acute glomerulonephritis and rapidly progressive glomerulonephritis. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 103-8. 10. Yap HK, Lau PYW, Resontoc LPR, Thong WY. Management of acute glomerulonephritis. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 113-9. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 104 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 HEMODIALISIS PADA ANAK 1. Pengertian (Definisi) 2. Indikasi 3. Prosedur pelaksanaan Suatu proses pemisahan zat-zat tertentu (toksin uremik) dari darah melalui membran semipermeabel di dalam ginjal buatan (dializer), dan selanjutnya dibuang melalui cairan dialisis (dialisat). Gangguan ginjal akut: • Kelebihan cairan (edema paru, gagal jantung kongestif, hipertensi yang resisten terhadap antihipertensi, dan membantu pengeluaran cairan pada pasien oliguria/anuria untuk memenuhi tunjangan nutrisi yang meningkat serta memerlukan darah dan produk darat • Keadaan serius yang mengancam hidup pasien, atau gangguan metabolik yang tidak dapat dikontrol dengan obat seperti hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperurisemia, hiperfosfatemia • Keracunan atau kelebihan dosis obat (salisilat, glikol etilen, lithium) Penyakit ginjal kronik: • Klirens kreatinin menurun sampai 5-10 ml/menit/1,73 m2 • Osteodistrofi ginjal • Gangguan pertumbuhan dan perkembangan • Komplikasi: hiperkalemia tidak terkontrol, kelebihan cairan, gagal jantung, perikarditis, ensefalopati uremik, neuropati uremik) • Periksa berat badan sebelum dan sesudah hemodialisis dengan menggunakan timbangan yang sama. Usahakan mencapai target berat badan kering setiap selesai hemodialisis. • Laboratorium sebelum dan sesudah hemodialisis: o darah lengkap o fungsi ginjal (BUN, kreatinin) o elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium, fosfat) o analisis gas darah • Premedikasi untuk mencegah sindrom disekuilibrium dialysis: o Fenobarbital intravena 3-5 mg/kg o Manitol 0,5-1 g/kg o dapat dihentikan bertahap bila sudah mencapai durasi maksimal hemodialisis (4 jam) • Akses vaskular dengan kateter double lumen: o Neonatus: 5-7 F o 3-6 kg: 7 F o 6-15 kg: 8F o >15 kg: 9 F o 15-30 kg: 10 F o >30 kg: 11.5 F • Blood line: o anak = 60 ml o dewasa = 120 ml • Dialyzer/hemofilter berdasarkan luas permukaan tubuh (LPT): o LPT 0,5 m2 (10-20 kg) FB 50 (volume 35 ml) o LPT 0,7 m2 (20-30 kg) FB 70 (volume 45 ml) o LPT 0,9 m2 (30-40 kg) FB 90 (volume 55 ml) o LPT 1,1 m2 (>40 kg) FB 110 (volume 65 ml) • Volume ekstrakorporal: o tidak melebihi 10-30% volume darah o <10 kg: volume darah = 80 ml/kg >10 kg: volume darah = 70 ml/kg o Volume Ekstrakorporal = Volume Dialyzer + Volume Blood Line o bila melebihi 10% volume darah, dapat dilakukan priming blood transfusion pada saat memulai hemodialisis untuk “menambah” volume darah • Dialisat: bikarbonat • Blood flow untuk anak: o 150-200 ml/m2/menit o 5-7 ml/kg/menit o BB <10 kg: ≤100 ml/menit o BB 10-40 kg: 2,5 x BB (kg) + 100 ml/menit o BB >40 kg: maksimal 250 ml/menit • Dialysate flow: 500 ml/menit (300-800 ml/menit) • Durasi (time/t): Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 105 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 HEMODIALISIS PADA ANAK o disesuaikan dengan laju klirens urea yang diinginkan: sesi pertama = 30% klirens urea sesi kedua = 50% klirens urea sesi ketiga = 70% klirens urea sesi keempat = 90% klirens urea (maksimal 4 jam) o dihitung dengan rumus: Kt/V = -ln C 1 /C 0 K = koefisien urea (K 0 A) t= time (durasi hemodialisis) V = total body water (ml) C 0 = kadar urea sebelum dialisis C 1 = kadar urea pasca dialisis o klirens urea dan ln C 1 /C 0 : 30 % klirens urea ln C 1 /C 0 = 0,357 50 % klirens urea ln C 1 /C 0 = 0,693 70 % klirens urea ln C 1 /C 0 = 1,204 90 % klirens urea ln C 1 /C 0 = 2,032 o perhitungan koefisien urea (K) menggunakan tabel sebagai berikut: Luas Permuka an Tubuh 2 (m2)/Blood flow 4. Edukasi Koefisien Urea (K) berdasarkan Blood Flow (QB) ml/menit 50 75 100 125 150 200 250 300 0.4 49 71 89 103 114 130 141 149 0.7 50 - 96 - 130 154 171 184 1.0 50 - 97 - 133 159 178 192 1.3 50 - 98 - 137 166 188 203 1.6 50 - 99 - 141 173 197 215 o perhitungan total body water (V) menggunakan rumus Mellits Cheek: Laki-laki (TB <132,7cm): V (ml) = (-1,927 + (0,465 x BB) + (0,045 x TB)) x 1000 Laki-laki (TB ≥132,7cm) V (ml) = (-21,993 + (0,406 x BB) + (0,209 x TB)) x 1000 Perempuan (TB <110,8 cm) V (ml) = (0,076 + (0,507 x BB) + (0,013 x TB)) x 1000 Perempuan (TB ≥110,8cm) V (ml) = (-10,313 + (0,252 x BB) + (0,154 x TB)) x 1000 TB dalam cm, BB dalam kg o setelah memasukkan nilai K, V, dan ln C 1 /C 0, maka nilai t (durasi hemodialisis) dapat ditentukan, dengan maksimal durasi 4 jam (sesuai jadwal rutin unit dialisis). • Ultrafiltrasi (UF): o pertimbangkan berat badan, adanya kelebihan cairan, hipertensi, dan hemokonsentrasi o maksimal 1,5±0,5 % BB/jam atau 5% berat badan untuk mencegah hipotensi berat selama dialisis o 0,2 ml/kg/menit selama 4 jam dialisis o pada gangguan ginjal akut, maksimal 0,2 ml/kg/menit o lakukan sequential UF bila terjadi kelebihan cairan berat • Heparin (hentikan 1 jam sebelum hemodialisis selesai): o Loading dose: regular = 50 U/kg (dewasa 1500 U) dosis rendah = ≤15 kg: 5-10 U/kg (dewasa 1000 U) >15 kg: 10-20 U/kg o Dosis rumatan: regular = 50 U/kg/jam (dewasa 750 U/jam) dosis rendah = 5-10 U/kg/jam (dewasa 500 U/jam) • Suport tekanan darah: o Infus normal salin 0,9% 10-20 ml/kg o Infus albumin 5% 10 ml/kg o Infus albumin 20% 1 g/kg atau 5 ml/kg • Perlunya menjaga kebersihan dalam melakukan pertukaran cairan dialisat, baik kebersihan personal maupun lingkungan, untuk mencegah infeksi peritonitis. • Perlunya kepatuhan dalam jangka panjang untuk pengobatan dan monitoring kondisi klinis. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 106 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 HEMODIALISIS PADA ANAK 5. Prognosis 6. 7. 8. Tingkat Evidens Tingkat Rekomendasi Penelaah Kritis 9. Indikator Medis 10. Kepustakaan • Penyakit ginjal stadium terminal sebagai penyakit yang mendasari mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang dan aspek sosial serta psikologis anak, terutama jika terdapat komplikasi yang menimbulkan sekuele. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) 2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) 3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) 4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA 50% penderita dengan hemodialisis akan bertahan hidup dalam waktu 1 tahun pengobatan 1. Lau SC. Hemodialysis. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 280-6. 2. Reese L. Hemodialysis. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1817-34. 3. Sekarwana N. Hemodialisis. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:223-31. 4. Sreedharan R, Avner ED. Chronic kidney disease. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1822-6. 5. Srivastava RN, Bagga A. Renal replacement therapy. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 330-45. 6. Sudjatmiko S, Oesman O. Hemodialisis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:615-27. 7. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Prasetyo RV. Continuous venovenous hemodialysis (CVVHD) or hemodialfiltration (CVVHDF) protocol. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 249-59. 8. Yap HK, Kanitkar M. Hemodialysis orders. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 260-4. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 107 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 NEFRITIS HENOCH-SCHÖNLEIN PURPURA PADA ANAK 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang Suatu vaskulitis sistemik pembuluh darah kecil dengan mediasi imunologis yang secara primer menyerang kulit, saluran cerna, sendi dan ginjal. Gangguan ginjal diklasifikasikan oleh International Study on Kidney Diseases in Children (ISKDC) menjadi 6 grup berdasarkan biopsi ginjal. • Gejala sistemik: ruam kulit (di pantat, tungkai bawah dan pergelangan kaki), artralgia, artritis, nyeri perut, kencing berwarna seperti teh, gangguan ginjal akut, nyeri kepala, kejang, perdarahan paru • Ruam makuloeritematosa kemudian menjadi makulopapular dan purpura yang simetris di pantat, tungkai bawah, pergelangan kaki, lengan, wajah, dan telinga • Artralgia dan artritis di tangan, kaki, pergelangan kaki dan lutut • Gangguan gastrointestinal: kolik abdomen, muntah, berak darah, melena, ileus, intususepsi • Gangguan ginjal: Hematuria mikroskopis dan makroskopis, sindrom nefrotik dan gangguan ginjal akut • Gangguan saraf: nyeri kepala, ensefalopati ringan, kejang • Gangguan paru: perdarahan alveolar Berdasarkan The European League Against Rheumatism (EULAR) dan Pediatric Rheumatology European Society (PReS): • Ruam makulopapular dan purpura (harus ada) di pantat, tungkai bawah, pergelangan kaki, lengan, wajah, dan telinga • Disertai minimal 1 dari: o Artralgia dan artritis o Gangguan gastrointestinal o Gangguan ginjal (harus ada) o Deposisi IgA pada biopsi organ Nefritis Henoch-Schönlein Purpura 1. 2. 1. 2. 3. 4. 8. Terapi Nefropati IgA Nefritis lupus Urinalisis: hematuria, proteinuria, torak. Darah: darah lengkap, laju endap darah, fungsi ginjal, fungsi liver, elektrolit, asam urat, bikarbonat, IgA serum, C3, C4, ANA, anti-dsDNA, ASTO, ANCA USG abdomen untuk eksklusi intususepsi. Biopsi ginjal dan kulit. I. Terapi imunosupresan Indikasi: • Proteinuria ringan-sedang: o Proteinuria ≥1 g/hari/1,73m2 o Sindrom nefrotik o Proteinuria persisten antara 0,5-<1 g/hari/1,73m2 sesudah diterapi selama 3-6 bulan , khususnya jika ada 1 gambaran: Nyeri perut yang hebat Ruam berulang Hematuria makroskopis berulang • Penyakit berat: o Sindrom nefritik-nefrotik o Penurunan fungsi ginjal secara akut yang bukan oleh karena nekrosis tubular akut o Gambaran crescents pada biopsi ginjal • Tanpa nefritis: o Nyeri perut hebat o Nyeri sendi berat yang menghalangi mobilisasi sehari-hari o Artritis berulang o Purpura berulang. a. Proteinuria ringan-sedang, diberikan kombinasi imunosupresan Metilprednisolon/Predniso(lo)n dan MMF: • Predniso(lo)n oral 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi selama 2 minggu sampai ruam dan nyeri perut menghilang, kemudian diubah ke dosis harian. Dosis seharusnya secara bertahap di turunkan 5 mg/hari setiap 2 minggu, tergantung pada hasil pemeriksaan urine. Dosis bisa diubah menjadi alternate saat proteinuria turun menjadi <0,3 g/hari/1,73 m2 dan diturunkan sampai minimal dosis untuk mengontrol penyakit. Ekivalensi dengan Metilprednisolon oral: Prednison 5 mg = Metilprednisolon 4 mg (catatan: Metilprednisolon oral tersedia dalam sediaan tablet 4 mg, 8 mg dan 16 mg) • Mycophenolate mofetil (MMF) bisa ditambahkan dengan dosis 600 mg/m2/dosis tiap 12 jam sebagai steroid sparring agent. b. Penyakit berat, diberikan kombinasi antara imunosupresan Metilprednisolon/Predniso(lo)n dan Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 108 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 NEFRITIS HENOCH-SCHÖNLEIN PURPURA PADA ANAK MMF, atau Metilprednisolon/ Predniso(lo)n dan CPA: • Metilprednisolon puls 10–30 mg/kg/dosis (maksimal 1 g) selama 3 hari tiap bulan sampai 6 siklus (6 bulan). Terapi puls tidak dilanjutkan bila proteinuria turun sampai <0,3 g/hari/1,73m2 dan fungsi ginjal pulih. • Predniso(lo)n per oral dimulai dengan 0,5–1,0 mg/kg (maksimal 30 mg) per hari setelah tiap metilprednisolon puls selesai. Predniso(lo)n oral diturunkan bertahap 5 mg/hari pada setiap metilprednisolon puls berikutnya. Penurunan dosis Predniso(lo)n oral seharusnya dilanjutkan tiap bulan sampai 6–12 bulan dan dapat diubah menjadi alternate saat proteinuria turun menjadi <1 g/hari/1,73m2. Sebagai alternatif, predniso(lo)n oral 1–2 mg/kg/hari (maksimal 60 mg/hari) setiap hari bisa digunakan sebagai terapi awal selama 3 bulan. Ekivalensi dengan Metilprednisolon oral: Prednison 5 mg = Metilprednisolon 4 mg (catatan: Metilprednisolon oral tersedia dalam sediaan tablet 4 mg, 8 mg dan 16 mg) • MMF dimulai saat terapi steroid dengan dosis 600 mg/m2/dosis tiap 12 jam (15-23 mg/kg/dosis tiap 12 jam, dosis maksimal 1 g tiap 12 jam). Periksa darah lengkap tiap bulan. Bila absolute neutrophil count (ANC) < 1,5x109/L: Tunda pemberian MMF Berikan GM-CSF (Leucogen) selama 3-5 hari atau sampai ANC >2,5x109/L. Cek kadar mycophenolate jika perlu (target 2-4mg/L) Efek samping : Netropenia (khususnya dalam 1-6 bulan terapi), anemia, trombositopenia (jarang) Gastritis, ulkus peptik, kolik abdomen, diare, perdarahan dan perforasi gastrointestinal: Mulai berikan ranitidin profilaksis 3 mg/kg/dosis tiap malam (maksimal 150 mg) atau omeprazole 1 mg/kg/dosis tiap malam atau 2 kali sehari (maksimal 120 mg, 3 kali sehari). Pertimbangkan pengubahan terapi ke Myfortic jika terdapat efek samping gastrointestinal. Ekivalensi dengan Myfortic: Myfortic 180 mg = MMF 250 mg Myfortic 360 mg = MMF 500 mg. atau • Cyclophosphamide (CPA) puls 500-1000 mg/m2: o Tiap 4 minggu sebanyak 6 siklus o Periksa darah lengkap: Pada hari ke-7, 10, 14 sesudah puls untuk melihat titik nadir leukosit darah Berkala tiap bulan. Bila leukosit darah <4,0x109/L atau absolute neutrophil count (ANC) < 1,5x109/L: Tunda pemberian CPA Berikan GM-CSF (Leucogen) selama 3-5 hari atau sampai ANC >2,5x109/L Turunkan dosis sebesar 20% pada pemberian selanjutnya. 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi II. Terapi suportif • Anti-proteinuria: o Kaptopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam) o Losartan 0,5-1,4 mg/kg/hari • Anti-hipertensi: o Amlodipin 0,05-0,2 mg/kg/hari o Nifedipin 0,25-1 mg/kg/dosis o Kaptopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam) o Losartan 0,5-1,4 mg/kg/hari o Carvedilol 0,08-0,75 mg/kg/dosis (tiap 12 jam) • Hindari obat anti-inflamasi non-steroid III. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll) • Rujukan ke Bagian Mata untuk monitor efek samping obat dan komplikasi hipertensi jangka panjang. 1. Pentingnya kepatuhan dalam pengobatan jangka panjang. 2. Pentingnya memonitor kondisi klinis dan efek samping obat secara berkala dan bahwa terapi farmakologik dapat dibutuhkan pada setiap waktu. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 109 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 NEFRITIS HENOCH-SCHÖNLEIN PURPURA PADA ANAK 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) 2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) 3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) 4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA 80% penderita Henoch-Schönlein purpura nefritis anak akan terkontrol setelah 3 bulan pengobatan 1. Albar H. Nefritis Henoch-Schönlein. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:102-11. 2. Bagga A, Menon S. Henoch-Schönlein purpura. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 137-41. 3. Coppo R, Amore A. Henoch-Schönlein purpura. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1111-26. 4. Davian JC. Henoch-Schönlein purpura nephritis: pathophysiology treatment, and future strategy. Clin J Am Soc Nephrol 2011;6:679-89. 5. Kidney Disease: Improving Global Outcome (KDIGO) Glomerulonephritis Work Group. KDIGO Clinical Practice Guideline for Glomerulonephritis. Kidney Int Suppl. 2012; 2: 231-2. 6. Liu DI, Yap HK. Management of Henoch-Schönlein purpura nephritis. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 160-6. 7. Noer MS. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar Nefrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:323-61. 8. Srivastava RN, Bagga A. Renal vasculitis and systemic lupus erythematosus. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005:124-39. 9. Van Why SK, Avner ED. Henoch-Schönlein purpura nephritis. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1789. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 110 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 HIPERTENSI PADA ANAK 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi Suatu keadaan nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih dari persentil ke-95 berdasarkan umur, jenis kelamin dan tinggi badan pada pengukuran 3 kali berturut-turut. • Hipertensi ringan atau sedang umumnya tidak menimbulkan gejala. • Gejala-gejala dapat berupa sakit kepala, pusing, nyeri perut, muntah, anoreksia, gelisah, berat badan turun, keringat berlebihan, murmur, epistaksis, palpitasi, poliuri, proteinuri, hematuri, atau retardasi pertumbuhan. • Riwayat penggunaan obat-obat seperti kortikosteroid, atau obat-obat golongan simpatomimetik (misalnya efedrin). Riwayat penyakit dalam keluarga, misalnya hipertensi, stroke, gagal ginjal, dan lain-lain. • Dilakukan pengukuran tekanan darah pada empat ekstremitas untuk mencari koarktasio aorta. Kesadaran dapat menurun sampai koma, tekanan sistolik dan diastolik meningkat, denyut jantung meningkat. Dapat ditemukan bunyi murmur dan bruit, tanda gagal jantung, dan tanda ensefalopati. • Pada pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan kelainan retina berupa perdarahan, eksudat, edema papil atau penyempitan pembuluh darah arteriol retina. Nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih dari persentil ke-95 berdasarkan umur, jenis kelamin dan tinggi badan pada pengukuran 3 kali berturut-turut. Hipertensi 1. Hipertensi akut dapat disebabkan oleh glomerulonefritis akut pasca streptokokus, sindrom hemolitik uremik, lupus eritematosus sistemik, dan purpura Henoch-Schӧnlein. Pemeriksaan air kemih, kadar elektrolit, IgG, IgM, IgA, C3, ASTO, ANA, sel LE, BUN, kreatinin serum, dan hematologi, dapat membedakan penyebab hipertensi tersebut. 2. Hipertensi kronis dapat disebabkan oleh glomerulonefritis kronis, pielonefritis kronis, uropati obstruktif, penyempitan pembuluh darah ginjal, dan gagal ginjal tahap akhir. Hipertensi sekunder pada anak dapat pula disebabkan oleh hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing, feokromositoma, hipertiroid, hiperparatiroid, pengobatan steroid jangka panjang, neurofibromatosis, sindrom Guillain-Barre, dan luka bakar. 1. Pemeriksaan penunjang untuk mencari penyakit primer dibagi dalam 2 tahap. Pemeriksaan tahap 2 dilakukan bila pada pemeriksaan tahap 1 didapatkan kelainan, dan jenis pemeriksaan yang dilakukan disesuaikan dengan kelainan yang didapat. 2. Pemeriksaan tahap 1 meliputi pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit ginjal (urinalisis, biakan urin, kolesterol, albumin, globulin, asam urat, ureum, kreatinin, darah lengkap dan USG ginjal); pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit endokrin (elektrolit serum, aktivitas renin plasma dan aldosteron, katekolamin plasma, katekolamin urin dan metabolitnya dalam urin, aldosteron dan metabolit steroid dalam urin (17 ketosteroid dan 17 hidrokortikosteroid)); dan evaluasi akibat hipertensi terhadap organ target meliputi EKG dan ekokardiografi yang dapat menunjukkan pembesaran ventrikel kiri; foto toraks yang dapat menunjukkan adanya pembesaran jantung dengan edema paru; funduskopi dapat dilihat adanya kelainan retina berupa perdarahan, eksudat, edema papil, atau penyempitan pembuluh darah arteriol retina; dan CT scan kepala yang dapat menemukan atrofi otak yang bila segera ditangani gejala dapat menghilang tanpa gejala sisa. 3. Pemeriksaan tahap 2 dilakukan untuk evaluasi diagnostik ke arah penyebab hipertensi sekunder seperti anti Streptolisin O (ASTO), komplemen 3 (C3), kultur hapusan tenggorok/keropeng infeksi kulit, sel LE, uji serologi untuk SLE, miksio sistouretrografi (MSU), biopsi ginjal, CT ginjal, Tc 99m DTPA atau DMSA scan, renografi, arteriografi, Digital Subtraction Angiography (DSA), CT kelenjar adrenal atau abdomen, scanning adrenal dengan l131 meta-iodobenzilguanidin, katekolamin vena kava, analisis aldosteron dan elektrolit urin, uji supresi dengan deksametason, renin vena renalis. • Tujuan pengobatan hipertensi pada anak adalah mengurangi risiko jangka pendek maupun panjang terhadap penyakit kardiovaskular dan kerusakan organ target. Selain menurunkan tekanan darah dan meredakan gejala klinis, perlu diperhatikan faktor-faktor lain seperti kerusakan organ target, faktor komorbid, obesitas, hiperlipidemia, kebiasaan merokok dan intoleransi glukosa. • Tujuan akhir pengobatan hipertensi adalah menurunkan tekanan darah hingga di bawah persentil ke-95 berdasarkan usia, jenis kelamin dan tinggi badan anak. Pada anak dengan hipertensi kronik, dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah sebesar 20-30% dalam waktu 60-90 menit. • Seringkali diperlukan kombinasi beberapa antihipertensi untuk mengendalikan tekanan darah dengan prinsip menggunakan obat-obatan dengan tempat dan mekanisme kerja yang berbeda. I. Medikamentosa • Penggunaan obat antihipertensi pada anak dimulai bila tekanan darah berada 10 mmHg di atas persentil ke95 untuk umur dan jenis kelamin. Langkah pengobatan, macam dan dosis obat antihipertensi adalah sebagai berikut: Golonga n obat Angiotens in convertin g enzyme inhibitor (ACE-I) Jenis obat Kaptopril Lisinopril Dosis dan interval 0,1 mg/kg/kali, tiap 8 jam Neonatus: 0,03 mg/kg/hari 0,1 mg/kg/hari Dosis maksimal Anak Dewasa 6 50 mg tiap 8 mg/kg/hari, jam tiap 8 jam 450 mg/hari Neonatus: 2 mg/kg/hari 0,2-1 mg/kg/hari 5 mg/hari atau 10-20 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya Efek samping Teratogenik. Pemeriksaan serum kreatinin dan kalium berkala. Dapat dibuat suspensi. Hati-hati pemakaian pada penyakit ginjal 111 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 HIPERTENSI PADA ANAK mg/hari dengan proteinuria dan diabetes mellitus. Teratogenik. Pemeriksaan kadar serum kreatinin dan kalium. Losartan dapat dibuat suspensi. FDA membatasi pemakaian losartan hanya untuk anak ≥6 tahun dan kreatinin klirens ≥30 ml/menit/1,73 m2. Dapat menyebabkan takikardi dan edema. Angiotens in receptor blocker (ARB) Losartan 0,5-0,7 mg/kg/kali, tiap 24 jam 1,4 mg/kg/kali, tiap 24 jam 100 mg/hari Calcium channel blocker (CCB) Amlodipi n 0,05 mg/kg/hari , tiap 24 jam 0,25 mg/kg/kali, tiap 6-8 jam 0,25-0,5 mg/kg/kali, tiap 12-24 jam 1-2 mg/kg/kali, tiap 12 jam 0,2 mg/kg/hari 0,6 mg/kg/hari 20 mg/hari 0,5 mg/kg/kali, tiap 6-8 jam 20 mg, tiap 6-8 jam 3 mg/kg/kali, tiap 12-24 jam 120 mg/hari 10 mg/kg/kali, tiap 6 jam 600 mg/kali, tiap 6 jam 0,08 mg/kg/kali, tiap 12 jam (naikkan 0,08 mg/kg/kali tiap 1-2 minggu) 0,5-1 mg/kg/hari , tiap 12-24 jam 0,2-0,5 mg/kg/kali, tiap 6-12 jam 5-10 mcg/kg/ha ri, tiap 8-12 jam (naikkan sampai 5-25 mcg/kg/ha ri, tiap 6 jam) Test dose: 0,005 mg/kg (maksimu m 0,25 0,75 mg/kg/kali, tiap 12 jam 25 mg tiap 12 jam 8 mg/kg/hari, tiap 12-24 jam 100 mg/hari 2 mg/kg/kali, tiap 6-12 jam 80 mg/kali, tiap 6-12 jam 0,9 mg/hari 2,4 mg/hari Mulut kering atau sedasi. Rebound hypertension. Pemberian dengan beta blocker dapat menyebabkan bradikardia. 0,5 mg/kg/hari, tiap 6-12 jam 5 mg tiap 6-12 jam Dapat menyebabkan hipotensi atau sinkop, terutama seteleh dosis pertama Nifedipin Alpha and beta blocker Extende d release Nifedipin Labetalo l Carvedil ol Beta blocker Atenolol Propano lol Central alpha blocker Klonidin Periphera l alpha antagonis ts Prazosin Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya Kontraindikasi pada penderita asma dan gagal jantung, diabetes mellitus yang tergantung insulin. Non-cardioselective agents. Tidak digunakan pada penderita diabetes mellitus, asma, gagal jantung. 112 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 HIPERTENSI PADA ANAK Diuretik Hidroklo rotiazid Furosem id Spironol akton mg) 0,025-0,1 mg/kg/kali, tiap 8-12 jam 1-1,5 mg/kg/kali, tiap 12-24 jam 0,5-1 mg/kg/kali, tiap 6-24 jam 1 mg/kg/hari , tiap 12-24 jam 4 mg/kg/hari 50 mg tiap 12-24 jam 12 mg/kg/hari 240 mg tiap 4-6 jam, maksimal 2 g/kali 100 mg/hari 3,3 mg/kg/hari, tiap 6-12 jam Harus dimonitor kadar elektrolit secara periodik Berguna sebagai terapi tambahan pada penyakit ginjal Hiperkalemia berat, terutama bila dikombinasi dengan ACE-I atau ARB • Cara penurunan dosis obat anti hipertensi (Step-Down Therapy) Penurunan obat antihipertensi secara bertahap perlu dilakukan pada anak, setelah tekanan darah terkontrol dalam batas normal untuk suatu periode waktu. Petunjuk untuk langkah penurunan dosis obat-obat antihipertensi pada anak dan rernaja seperti terlihat pada tabel berikut. Tabel 1. Petunjuk untuk step-down therapy pada bayi, anak atau remaja Bayi Kenaikan tekanan darah terkontrol untuk 1 bulan. Dosis obat tidak ditingkatkan dan bayi terus tumbuh. Bila tekanan darah tetap konstan dan terkontrol, berangsur-angsur dihentikan. dosis obat diturunkan setiap minggu dan Anak / Remaja Tekanan darah terkontrol dalam batas normal untuk 6 bulan sampai 1 tahun. Kontrol tekanan darah dengan interval waktu 6-8 minggu. Ubah menjadi monoterapi. Setelah terkontrol berlangsung kira-kira 6 minggu, turunkan monoterapi setiap minggu dan bila memungkinkan berangsur-angsur dihentikan. 9. 10. Edukasi Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. 15. Indikator Medis Kepustakaan II. Bedah • Sesuai dengan kelainan yang ditemukan. III. Suportif • Restriksi cairan. • Pada anak dan remaja, dianjurkan untuk mengubah gaya hidup: penurunan berat badan, diet rendah lemak dan garam, olahraga teratur, menghentikan rokok dan kebiasaan minum alkohol. IV. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll) • Rujukan ke Bagian Mata untuk melihat keterlibatan retina. • Rujuk ke konsultan nefrologi anak bila tidak berhasil dengan pengobatan atau terjadi komplikasi. 1. Pentingnya arti pengobatan non-farmakologik untuk pengontrolan tekanan darah. 2. Pentingnya memonitor tekanan darah secara terus menerus, dan bahwa terapi farmakologik dapat dibutuhkan pada setiap waktu. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) 2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) 3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) 4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA 80% penderita hipertensi anak akan membaik setelah 2 minggu perawatan 1. Arafat M, Mattoo TK. Measurement of blood pressure in children : recommendation and prescriptions on cuff selection. Pediatrics 1999;104:e30-4. 2. Bahrun D. Hipertensi sistemik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar Nefrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:242-90. 3. Batisky DL, Robinson RF, Mahan JD. Treatment of childhood hypertension. Dalam: Geary DF, Schaefer F, editor. Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 677-94. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 113 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 HIPERTENSI PADA ANAK 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. Beevers G, Lip GYH, O’Brien E. Blood pressure measurement p art-1 sphygmomanometry: factors common to all techniques. Br Med J 2001;322 : 981-5. Beevers G, Lip GYH, O’Brien E, 2001. Blood pressure measurement part-2 conventional sphygmomanometry: technique of auscultatory blood pressure measurement. Br Med J 2001;322:1043-7. Brewer ED. Evaluation of hypertension in childhood diseases. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1519-40. Ellis D. Management of the hypertensive child. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1541-76. Goonasekera CDA, Dillon MJ. The child with hypertension. Dalam: Webb NJA, Postlethwaite RJ, editor. Clinical Paediatric Nephrology. Edisi 3. London: Oxford University Press, 2003:151-62. Hadtstein C, Wühl E. Investigation of hypertension in childhood. Dalam: Geary DF, Schaefer F, editor. Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 645-64. Lande MB. Systemic hypertension. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:163947. Lestari E, Zarlina I. Hipertensi pada anak. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Komepndium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:45-9. Leung LC. Hypertension: diagnosis and evaluation. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 80-8. Li SP, Wong S. Treatment of hypertension.. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 89-95. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Children and Adolescents. The fourth report on the diagnosis, evaluation and treatment of high blood pressure in children and adolescents. Pediatrics 2004;114:555-76. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus Tata Laksana Hipertensi Pada Anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 2011. Srivastava RN, Bagga A. Hypertension. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 292-314. Task Force on the Blood Pressure in Children – National Heart, Lung and Blood Institute, Bethesda, Maryland. Report on the second task force blood pressure control. Pediatrics 1987;79:1-25. Yap HK, Aragon ET, Ng KH. Approach to diagnosis of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 201-25. Yap HK, Ng KH, Resontoc LPR, Quek T. Treatment of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 227-39. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 114 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 KRISIS HIPERTENSI PADA ANAK 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding Suatu keadaan peningkatan akut tekanan darah sistolik atau diastolik melebihi persentil 99 ditambah 5 mmHg yang meliputi: • Hipertensi urgensi: peningkatan tekanan darah tanpa kerusakan organ target dengan gejala klinis (sakit kepala, mual, pandangan kabur) • Hipertensi emergensi: peningkatan tekanan darah dengan kerusakan organ target (otak, jantung, mata, ginjal) dan gejala klinis • Pada krisis hipertensi dapat timbul ensefalopati hipertensif, hemiplegi, gangguan penglihatan dan pendengaran, parese nervus fasialis, penurunan kesadaran, bahkan sampai koma. Dekompensasi kordis dengan edema paru yang ditandai dengan gejala oleh gejala edema, dispnea, sianosis, takikardi, ronki, kardiomegali, suara bising jantung, dan hepatomegali. • Riwayat penggunaan obat-obat seperti kortikosteroid, atau obat-obat golongan simpatomimetik (misalnya efedrin). Riwayat penyakit dalam keluarga, misalnya hipertensi, stroke, gagal ginjal, dan lain-lain. • Dilakukan pengukuran tekanan darah pada empat ekstremitas untuk mencari koarktasio aorta. Kesadaran dapat menurun sampai koma, tekanan sistolik dan diastolik meningkat, denyut jantung meningkat. Dapat ditemukan bunyi murmur dan bruit, tanda gagal jantung, dan tanda ensefalopati. • Pada pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan kelainan retina berupa perdarahan, eksudat, edema papil atau penyempitan pembuluh darah arteriol retina. • Peningkatan akut tekanan darah sistolik atau diastolik melebihi persentil 99 ditambah 5 mmHg • Dengan atau tanpa kerusakan target organ (otak, jantung, mata, ginjal) Krisis Hipertensi 1. Hipertensi akut dapat disebabkan oleh glomerulonefritis akut pasca streptokokus, sindrom hemolitik uremik, lupus eritematosus sistemik, dan purpura Henoch-Schӧnlein. Pemeriksaan air kemih, kadar elektrolit, IgG, IgM, IgA, C3, ASTO, ANA, sel LE, BUN, kreatinin serum, dan hematologi, dapat membedakan penyebab hipertensi tersebut. 2. Hipertensi kronis dapat disebabkan oleh glomerulonefritis kronis, pielonefritis kronis, uropati obstruktif, penyempitan pembuluh darah ginjal, dan gagal ginjal tahap akhir. Hipertensi sekunder pada anak dapat pula disebabkan oleh hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing, feokromositoma, hipertiroid, hiperparatiroid, pengobatan steroid jangka panjang, neurofibromatosis, sindrom Guillain-Barre, dan luka bakar. 7. Pemeriksaan Penunjang 1. Funduskopi: kelainan retina berupa perdarahan, eksudat, edema papil, atau penyempitan pembuluh darah arteriol retina. 2. Foto toraks: pembesaran jantung dengan edema paru. 3. EKG: kadang-kadang ditemukan pembesaran ventrikel kiri. 4. CT-scan kepala: kadang-kadang ditemukan atrofi otak. Bila segera ditangani gejala dapat menghilang tanpa gejala sisa. 5. Pemeriksaan penunjang untuk mencari penyakit primer seperti pada protokol Hipertensi pada Anak. 8. Terapi • Pada krisis hipertensi, tekanan darah harus diturunkan secara bertahap dalam waktu 24 jam, dengan penurunan awal sebesar ≤25% dalam 8 jam pertama. • Seringkali diperlukan kombinasi beberapa antihipertensi untuk mengendalikan tekanan darah dengan prinsip menggunakan obat-obatan dengan tempat dan mekanisme kerja yang berbeda. I. Medikamentosa • Penggunaan obat antihipertensi pada anak dengan krisis hipertensi adalah sebagai berikut: Obat Cara pemberian Dosis awal Nifedipin Oral atau sublingual 0,25-0,5 mg/kg, tiap 30 menit, maks. 20 mg 1-3 mg/kg bolus, kemudian 2-5 mg/kg/kali tiap 6 jam, maks.150 mg Diazoksid Intravena cepat (1-2 menit) Natrium nitroprusid Pompa infus kontinyu 0,25-8 mcg/kg/menit, naikkan 25% tiap 5-10 menit, maks. konsentrasi final = Respo n awal Lamany a respon 15 menit 4-24 jam 2 menit 1-10 menit Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya Efek samping/ Komentar Hanya pada penderita yang sadar baik Nausea, hiperglikemia, retensi natrium, takikardia, hipotensi bila bersama antihipertensi lain, gangguan gastrointestinal, hiperurisemia, trombositopenia Membutuhkan pengawasan terus menerus, risiko keracunan tiosianat 115 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 KRISIS HIPERTENSI PADA ANAK 200 mcg/ml (bila tidak membaik dengan dosis maksimal >10 menit:stop karena toksik) Furosemid Klonidin Intravena Pompa infus kontinyu Intravena, intramuskular 1-5 mg/kg/kali, tiap 6 jam, maks.240 mg 0,1-1 mg/kg/jam 2-5 menit 2 jam 0,002 mg/kg/kali, ulangi tiap 4-6 jam, dosis bisa dinaikkan 3x lipat IV: 5 menit IM: lebih lama menit Beberap a jam 1-2 jam 2-4 jam Gliseril trinitrit Pompa infus kontinyu 1-10 mcg/kg/menit, maks. 400 mcg/menit Nikardipin Pompa infus kontinyu 1-3 mcg/kg/menit, maks. 250 mcg/menit menit (terutama pada gangguan ginjal dan hati). Kontraindikasi: koarktasio aorta, tekanan intrakranial meningkat, perdarahan intrakranial. Hiponatremia, hipokalemia Mengantuk, mulut kering, rebound hypertension Bradikardia, takikardia, sakit kepala, muntah, methemoglobine mia Keuntungan: awitan dan hilangnya efek cepat, mengurangi spasme koroner, afterload dan preload Peningkatan tekanan intracranial, reflex tachycardia, flushing, sakit kepala, hipotensi, edema perifer, gangguan gastrointestinal II. Bedah • Sesuai dengan kelainan yang ditemukan. III. Suportif • Restriksi cairan. • Pada anak dan remaja, dianjurkan untuk mengubah gaya hidup: penurunan berat badan, diet rendah lemak dan garam, olahraga teratur, menghentikan rokok dan kebiasaan minum alkohol. 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis IV. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll) • Rujukan ke Bagian Mata untuk melihat keterlibatan retina. • Rujuk ke konsultan nefrologi anak bila tidak berhasil dengan pengobatan atau terjadi komplikasi. 1. Pentingnya arti pengobatan non-farmakologik untuk pengontrolan tekanan darah. 2. Pentingnya memonitor tekanan darah secara terus menerus, dan bahwa terapi farmakologik dapat dibutuhkan pada setiap waktu. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. 2. 3. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 116 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 KRISIS HIPERTENSI PADA ANAK 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan 4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA 80% penderita krisis hipertensi anak akan membaik setelah 2 minggu perawatan 1. Arafat M, Mattoo TK. Measurement of blood pressure in children : recommendation and prescriptions on cuff selection. Pediatrics 1999;104:e30-4. 2. Bahrun D. Hipertensi sistemik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar Nefrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:242-90. 3. Batisky DL, Robinson RF, Mahan JD. Treatment of childhood hypertension. Dalam: Geary DF, Schaefer F, editor. Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 677-94. 4. Beevers G, Lip GYH, O’Brien E. Blood pressure measurement p art-1 sphygmomanometry: factors common to all techniques. Br Med J 2001;322 : 981-5. 5. Beevers G, Lip GYH, O’Brien E, 2001. Blood pressure measurement part-2 conventional sphygmomanometry: technique of auscultatory blood pressure measurement. Br Med J 2001;322:1043-7. 6. Brewer ED. Evaluation of hypertension in childhood diseases. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1519-40. 7. Ellis D. Management of the hypertensive child. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1541-76. 8. Goonasekera CDA, Dillon MJ. The child with hypertension. Dalam: Webb NJA, Postlethwaite RJ, editor. Clinical Paediatric Nephrology. Edisi 3. London: Oxford University Press, 2003:151-62. 9. Hadtstein C, Wühl E. Investigation of hypertension in childhood. Dalam: Geary DF, Schaefer F, editor. Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 645-64. 10. Lande MB. Systemic hypertension. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:163947. 11. Lestari E, Zarlina I. Hipertensi pada anak. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Komepndium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:45-9. 12. Leung LC. Hypertension: diagnosis and evaluation. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 80-8. 13. Li SP, Wong S. Treatment of hypertension.. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 89-95. 14. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Children and Adolescents. The fourth report on the diagnosis, evaluation and treatment of high blood pressure in children and adolescents. Pediatrics 2004;114:555-76. 15. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus Tata Laksana Hipertensi Pada Anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 2011. 16. Srivastava RN, Bagga A. Hypertension. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 292-314. 17. Task Force on the Blood Pressure in Children – National Heart, Lung and Blood Institute, Bethesda, Maryland. Report on the second task force blood pressure control. Pediatrics 1987;79:1-25. 18. Yap HK, Aragon ET, Ng KH. Approach to diagnosis of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 201-25. 19. Yap HK, Ng KH, Resontoc LPR, Quek T. Treatment of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 227-39. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 117 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 TERAPI METILPREDNISOLON PULS PADA ANAK 1. 2. Pengertian (Definisi) Indikasi 3. Persiapan 4. Prosedur pelaksanaan 5. Prognosis 6. 7. 8. Tingkat Evidens Tingkat Rekomendasi Penelaah Kritis 9. Indikator Medis 10. Kepustakaan Suatu tindakan pemberian terapi metil-prednisolon secara puls untuk anak. • Gangguan imunitas tubuh • Terapi anti-penolakan untuk allograft rejection. • Skrining terhadap infeksi: o Infeksi Virus Varisela-zoster (VZV) Periksa riwayat terakhir infeksi virus varisela-zoster atau imunisasi VZV Konfirmasi kekebalan pasien terhadap varisela-zoster (titer IgG-VZV) Periksa jika pasien baru terpapar (dalam 3 minggu sesudah kontak) terhadap VZV. Jika ragu, periksa titer IgM-VZV. o Infeksi lain Pastikan pasien tidak mengalami infeksi dalam 2 minggu terakhir. • Memastikan tekanan darah dalam batas normal sebelum memulai pemberian metilprednisolon puls. • Pemeriksaan kadar glukosa darah sebelum pemberian puls. • Hentikan prednison per oral. • Dosis metilprednisolon intravena: 10-30 mg/kg/tiap hari atau alternating berdasarkan protokol (dosis tunggal maksimal 1 g/hari) • Berikan furosemid intravena 1-2 mg/kgBB (tergantung fungsi ginjal) sebelum pemberian infus metilprednisolon puls. • Larutkan metilprednisolon sesuai kebutuhan dalam 20 ml cairan Dekstrosa 5% atau Dektrosa 5% 0,45% salin. • Berikan metilprednisolon secara infus selama 30-60 menit. • Dosis kurang dari 250 mg dapat diberikan secara bolus pelan. • Efek samping pemberian secara bolus dosis besar meliputi aritmia jantung, pembuluh darah kolaps atau henti jantung (mengandung benzil alkohol). • Monitor tanda vital meliputi denyut nadi, laju nafas, tekanan darah tiap 15 menit selama pemberian secara infus; dilanjutkan tiap jam selama 4 jam pertama (post infus); lalu setiap 4 jam selama 24 jam. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) 2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) 3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) 4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA 90% penderita yang mendapatkan terapi metilprednisolon puls tidak didapatkan komplikasi 1. Yap HK, Resontoc LPR. Methylprednisolon pulse therapy. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 186. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 118 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 NEFRITIS LUPUS PADA ANAK 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. 4. Pemeriksaan Fisik Kriteria Diagnosis 5. 6. 7. Diagnosis Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang Suatu penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan inflamasi multisystem dan adanya circulating autoantibodies terhadap self-antigens dengan keterlibatan ginjal yang diklasifikasikan berdasarkan kriteria International Society of Nephrology/Renal Pathology Society menjadi 6 kelas melalui biopsi ginjal. • Gejala sistemik: ruam malar, ruam diskoid, fotosensitivitas, nyeri sendi, nyeri pleuritik, bengkak, kencing berbusa atau berwarna seperti teh, kejang, psikosis, pucat. • Dilakukan pemeriksaan organ sistemik dan pengukuran tekanan darah. • Adanya 4 dari 11 kriteria dari American College of Rheumatology 1997: 1. Ruam malar 2. Ruam discoid 3. Fotosensitivitas 4. Ulkus oral 5. Artritis 6. Pleuritis atau perikarditis 7. Gangguan ginjal (harus ada) berupa proteinuria persisten atau torak seluler 8. Gangguan neurologi 9. Gangguan hematologi 10. Gangguan imunologi 11. Antinuclear antibody (ANA) positif Nefritis Lupus 1. Drug-induced lupus 1. Diagnostik: komplemen C3 dan C4, anti-dsDNA, ANA, lupus anticoagulant, IgG dan IgM anticardiolipin, IgG dan IgM anti-beta 2 glikoprotein, anti-ENA (bila memungkinkan) yaitu anti-Ro, anti-La, anti-Sm, anti-RNP, anti-SCL70, anti-Jo1. 2. Keterlibatan organ sistemik: darah lengkap, retikulosit, hapusan darah tepi, direct Coomb’s test, 8. Terapi laju endap darah, CRP, sedimen urine, protein urine, BUN, kreatinin, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, fosfat, klorida), bikarbonat, asam urat, alkali fosfatase, albumin, SGOT, SGPT, bilirubin, kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida, foto toraks, ekokardiografi. I. Terapi imunosupresan berupa kortikosteroid dan cortisteroid sparing agents Steroid perlu dikombinasi dengan sparring agents (mycophenolate mofetil atau MMF, calcineurin inhibitor atau CNI, cyclophosphamide atau CPA) untuk meminimalkan efek samping steroid jangka panjang. Kombinasi yang disarankan adalah: - Steroid + MMF ± CNI - Steroid + CPA Fase induksi selama 6 bulan: • Metilprednisolon puls intravena tiap 2-4 minggu dengan dosis 10-30 mg/kg/hari (maksimal 1 gram) selama 3 hari sebanyak 6 siklus. • Predniso(lo)n oral dimulai dengan dosis 0,5-1 mg/kg/hari (maksimal 30 mg) tiap hari, dan diturunkan bertahap 5 mg/hari dalam waktu 1 bulan sesudah pemberian metilprednisolon puls dan tergantung aktivitas penyakit. Penurunan dosis predniso(lo)n oral dilakukan selama 6-12 bulan dan dapat diubah menjadi dosis selang sehari jika proteinuria turun hingga <0,3 mg/hari/1,73 m2 dan kadar C3, C4 serum normal sampai dosis minimal yang dapat mengendalikan aktivitas penyakit. Ekivalensi dengan Metilprednisolon oral: Prednison 5 mg = Metilprednisolon 4 mg (catatan: Metilprednisolon oral tersedia dalam sediaan tablet 4 mg, 8 mg dan 16 mg) • MMF oral dimulai bersamaan metilprednisolon puls dengan dosis 600 mg/m2/dosis tiap 12 jam (15-23 mg/kg/dosis tiap 12 jam). Dosis maksimal 1 g tiap 12 jam. Cek darah lengkap tiap bulan. Bila absolute neutrophil count (ANC) < 1,5x109/L: Tunda pemberian MMF Berikan GM-CSF (Leucogen) selama 3-5 hari atau sampai ANC >2,5x109/L. Cek kadar mycophenolate jika perlu (target 2-4 mg/L) Efek samping : Netropenia (khususnya dalam 1-6 bulan terapi), anemia, trombositopenia (jarang) Gastritis, ulkus peptik, kolik abdomen, diare, perdarahan dan perforasi gastrointestinal: o Mulai berikan ranitidin profilaksis 3 mg/kg/dosis tiap malam (maksimal 150 mg) atau omeprazole 1 mg/kg/dosis tiap malam atau 2 kali sehari (maksimal 120 mg, 3 kali sehari). o Pertimbangkan pengubahan terapi ke Myfortic jika terdapat efek samping Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 119 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 NEFRITIS LUPUS PADA ANAK gastrointestinal. Ekivalensi dengan Myfortic: Myfortic 180 mg=MMF 250 mg Myfortic 360 mg = MMF 500 mg. • CNI terdiri dari Cyclosporin A(CsA) dan tacrolimus (Tac) Tambahkan CsA oral jika terdapat proteinuria persisten >1 g/hari/1.73 m2 setelah 3 bulan terapi, dengan kreatinin serum normal Dosis : CsA: 3-6 mg/kg/hari (dosis tiap 12 jam) untuk mencapai kadar CsA darah 150-200 µg/L Tac: 0.2 mg/kg/hari (dosis tiap 12 jam) untuk mencapai kadar Tac darah 8-10 µg/L Gunakan diltiazem 15-30 mg tiap 8-12 jam untuk meningkatkan kadar CNI, naikkan 15 mg/dosis hingga maksimal 60 mg tiap 8-12 jam. Monitor: - Kadar CNI tiap 4-6 minggu setelah kadar yang diinginkan tercapai - Kadar kreatinin serum tiap 4-6 minggu, dan jika meningkat 25%, turunkan dosis CNI 20% untuk melihat apakah terjadi nefrotoksik akibat CNI - Kadar gula darah tiap 4-6 minggu, lalu tiap 3 bulan jika memakai Tac - Kadar HbA1c tiap 6 bulan jika memakai Tac. Efek samping yang umum didapatkan: - Nefrotoksik - Gejala neurologis (tremor, nyeri kepala) - Hirsutisme dan hipertrofi gusi (CsA) - Intoleransi glukosa dan diabetes melitus (Tac). Interaksi obat yang penting diperhatikan: - Antibiotika jenis makrolid meningkatkan kadar CNI - Inhibitor HMG CoA reduktase (statin) Pemakaian bersamaan dapat menyebabkan rabdomiolisis, mialgia dan kelemahan otot (khususnya pada pemakaian simvastatin) Monitor kadar kreatinin kinase atau aldolase tiap 4-6 minggu, lalu tiap 3 bulan jika pasien memakai statin. CNI dilanjutkan selama 3-6 bulan dan dihentikan saat remisi lengkap dicapai. • CPA puls 500-1000 mg/m2 diberikan tiap 4 minggu sebanyak 6 siklus. Periksa darah lengkap: Pada hari ke-7, 10, 14 sesudah puls untuk melihat titik nadir leukosit darah Berkala tiap bulan. Bila leukosit darah <4,0x109/L atau absolute neutrophil count (ANC) < 1,5x109/L: Tunda pemberian CPA Berikan GM-CSF (Leucogen) selama 3-5 hari atau sampai ANC >2,5x109/L Turunkan dosis sebesar 20% pada pemberian selanjutnya. Fase rumatan: • Predniso(lo)n oral diturunkan dosisnya perlahan sampai dosis terendah yang tetap mempertahankan kondisi remisi, dan sebaiknya tidak dihentikan • MMF oral di diturunkan dosisnya perlahan sampai dosis terendah yang tetap mempertahankan kondisi remisi, dan sebaiknya tidak dihentikan • CsA dan Tac diturunkan dosisnya perlahan sampai dosis mencapai remisi, kemudian dapat dipertimbangkan untuk dihentikan • CPA puls diberikan setiap 3 bulan selama 24 bulan (total masa pengobatan adalah 30 bulan), kemudian dihentikan. II. Terapi suportif • Klorokuin difosfat (Resochin) 3 mg/kg/hari o skrining oftalmologi tiap 6 bulan untuk retinopati yang diinduksi klorokuin (gangguan penglihatan warna, gangguan visus, pandangan kabur,fotofobia, skotoma, pigmentary retinopathy reversibel) • Anti-proteinuria: o Kaptopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam) o Losartan 0,5-1,4 mg/kg/hari • Anti-hipertensi: o Amlodipin 0,05-0,2 mg/kg/hari o Nifedipin 0,25-1 mg/kg/dosis o Kaptopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam) o Losartan 0,5-1,4 mg/kg/hari o Carvedilol 0,08-0,75 mg/kg/dosis (tiap 12 jam) • Anti-kolesterol: Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 120 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 NEFRITIS LUPUS PADA ANAK o Lovastatin 0,4-0,8 mg/kg/dosis (tiap 12-24 jam) • Anti-sindroma antifosfolipid: o Aspirin 5 mg/kg/hari (maksimal 100 mg) o Rivaroxaban (Xarelto) 10 mg/hari o Warfarin (sesuai International Normalized Ratio/INR) Loading dose : Hari 1: 0,2 mg/kg ( dosis maksimal 10 mg) Hari 2-4 :jika INR = 1,1-1,3,ulang loading dose awal Jika INR= 1,4-1,9, berikan 50% loading dose awal Jika INR = 2-3, berikan 50% loading dose awal Jika INR = 3,1-3,5, berikan 25% loading dose awal Jika INR >3,5, tunda warfarin dan periksa INR tiap hari hingga INR <3,5, lalu restart dengan memberikan 50% dosis sebelumnya Dosis rumatan (hari ke-5 dan selanjutnya): Jika INR =1,1-1,4, naikkan dosis 20 % dari dosis sebelumnya Jika INR =1,5-1,9, naikkan dosis 10 % dari dosis sebelumnya Jika INR = 2-3, dosis tetap Jika INR =3,1-3,5, turunkan dosis 10 % dari dosis sebelumnya Jika INR >3,tunda warfarin dan cek warfarin hingga INR <3,5, lalu restart dengan memberikan 50 % dosis sebelumnya Jika terdapat kesulitan dalam mempertahankan INR selama terapi, pasien dapat diterapi dengan low molecular weight (LMW) heparin, atau warfarin dosis lebih rendah ditambah aspirin. • Hindari obat anti-inflamasi non-steroid III.Plasmaferesis • Indikasi : trombosis mikroangiopati. • Dosis : 5-10 siklus, tergantung respon yang tampak pada remisi microangiopathic hemolytic anemia (MAHA), aktivitas lupus nefritis, dan perbaikan fungsi ginjal. • Dilakukan bersamaan dengan protokol imunosupresif yang dipilih. 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan IV. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll) • Rujukan ke Bagian Mata untuk monitor efek samping obat dan komplikasi hipertensi jangka panjang. 1. Pentingnya kepatuhan dalam pengobatan jangka panjang. 2. Pentingnya memonitor kondisi klinis dan efek samping obat secara berkala dan bahwa terapi farmakologik dapat dibutuhkan pada setiap waktu. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. 2. 3. 4. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA 80% penderita nefritis lupus anak akan remisi setelah 3 bulan pengobatan 1. Alatas H. Nefritis lupus. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar Nefrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:366-80. 2. Alatas H. Nefritis lupus pada anak. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:118-23. 3. Hahn BH, McMahon MA, Wilkinson A, Wallace WD, Daikh DI, Fitzgerald JD, et al. American College of Rheumatology guidelines for screening, treatment and management of lupus nephritis. Arthritis Care Res 2012; 64:797-808. 4. Hochberg MC. Updating the American College of Rheumatology revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus [letter]. Arthritis Rheum 1997; 40:1725. 5. Hong X, Wong SN. Lupus nephritis. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 14654. 6. Kidney Disease: Improving Global Outcome (KDIGO) Glomerulonephritis Work Group. KDIGO Clinical Practice Guideline for Glomerulonephritis. Kidney Int Suppl. 2012; 2: 231-2. 7. Niaudet P, Salomon R. Systemic lupus erythematosus. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 121 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 NEFRITIS LUPUS PADA ANAK 8. 9. 10. 2009:1127-53. Pan CG, Avner ED. Glomerulonephritis associated with systemic lupus erythematosus. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1788-9. Sng A, Lau PYW, Liu DI, Yap HK. Management of lupus nephritis. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 136-53. Srivastava RN, Bagga A. Renal vasculitis and systemic lupus erythematosus. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005:124-39. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 122 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 PENCEGAHAN NEFROPATI KONTRAS PADA ANAK 1. Pengertian (Definisi) 2. Faktor Risiko 3. Indikasi 4. Tindakan Pencegahan 5. Edukasi 6. Prognosis 7. 8. 9. Tingkat Evidens Tingkat Rekomendasi Penelaah Kritis Suatu keadaan dimana didapatkan gangguan fungsi ginjal dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) sebesar ≥25% dari harga dasar (baseline) dalam waktu 3 hari sesudah pemberian media kontras secara intravaskular tanpa penyebab lain. Biasanya peningkatan kreatinin serum mencapai puncak dalam 3-5 hari sesudah pemberian media kontras dan akan kembali ke baseline dalam waktu 1-3 minggu. • Faktor pasien: o Penyakit ginjal kronik (PGK) o Nefropati diabetik o Hipovolemia o Hipotensi o Anemia o Curah jantung menurun o Penggunaan obat-obatan nefrotoksik • Faktor teknis prosedural: o Dosis media kontras √ Injeksi kontras multipel dalam 72 jam √ Volume media kontras o Rute media kontras √ Intraarterial o Jenis media kontras √ Osmolalitas √ Viskositas Pasien yang akan menjalani prosedur pemeriksaan dan/atau intervensi radiologis dengan kontras, dengan kondisi klinis: • LFG <60 ml/menit/1,73 m2 • Gangguan ginjal yang mendapatkan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) dalam 24 jam sebelum/sesudah prosedur • Hipovolemia yang berisiko mengalami nekrosis tubular akut 1. Gunakan metode pemeriksaan alternatif yang tidak memerlukan media kontras 2. Gunakan dosis media kontras yang lebih rendah 3. Hindari pelaksanaan prosedur berulang dalam waktu berdekatan antara 48-72 jam (minimal interval ideal adalah 2 minggu) 4. Hindari hipovolemia 5. Hentikan penggunaan obat-obatan nefrotoksik (seperti OAINS, diuretika, aminoglikosida) minimal 24 jam sebelum pemberian media kontras 6. Pemberian hidrasi: • Normal salin 0,9% dengan kecepatan 1 ml/kg/jam yang dimulai 12 jam sebelum prosedur dan diteruskan sampai 12 jam sesudah prosedur (total waktu pemberian 24 jam) • Natrium bikarbonat 8,4% dengan kecepatan 3 ml/kg/jam selama 1 jam sebelum prosedur, dilanjutkan dengan 1 ml/kg/jam selama 6 jam sesudah prosedur • N-acetylcysteine oral: o 1 bulan-2 tahun: 400 mg tiap 12 jam, 1 hari sebelum dan pada hari prosedur dilakukan o >2 tahun: 600 mg tiap 12 jam, 1 hari sebelum dan pada hari prosedur dilakukan 7. Monitor fungsi ginjal (BUN, kreatinin), elektrolit serum (natrium, kalium, klorida) dan bikarbonat: • Baseline sebelum prosedur • Sesudah prosedur: 2 jam, 24 jam, 48 jam 8. Monitor produksi urine sebelum dan sesudah prosedur. 1. Gejala klinis Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua. Bila didapatkan peningkatan serum kreatinin yang menetap, sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 3 bulan pertama. 2. Terapi Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan terhadap komplikasi yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kematian. Pada kasus yang berat, pemantauan tanda vital secara berkala diperlukan untuk memantau kemajuan pengobatan dan bila perlu dapat dilakukan dialisis. 3. Tumbuh Kembang Penyakit ini tidak mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang anak, kecuali jika terdapat komplikasi yang menimbulkan sekuele. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) 2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) 3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 123 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 PENCEGAHAN NEFROPATI KONTRAS PADA ANAK 10. Indikator Medis 11. Kepustakaan 4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA 80% penderita nefropati kontras akan membaik dalam waktu 2 minggu perawatan 1. ACT investigators. Acetylcysteine for prevention of renal outcomes in patients undergoing coronary and peripheral vascular angiography: main results from the randomized Acetylcysteine for Contrast-Induced Nephropathy Trial (ACT). Circulation 2011; August 22 [Epub ahead of print]. 2. Marenzi G, Assanelli E, Marana I, Lauri G, Campodonico J, Grazi M, et al. N- Acetylcysteine and contrast-induced nephropathy in primary angioplasty. N Engl J Med 2006; 354:277382. 3. Solomon R. The role of osmolality in the incidence of contrast-induced nephropathy: a systematic review of angiographic contrast media in high risk patients. Kidney Int 2005; 68:2556-63. 4. Stacul F, van der Molen AJ, Reimer P, Webb JAW, Thomsen HS, Morcos SK, et al. Contrast induced nephropathy: updated ESUR Contrast Media Safety Committee guidelines. Eur Radiol 2011; August 25 [Epub ahead of print]. 5. Yap HK, Resontoc LPR. Preventing contrast nephropathy. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 14-7. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 124 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 ANEMIA RENAL PADA ANAK 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi Suatu keadaan dimana didapatkan penurunan jumlah sel darah merah akibat penyakit ginjal kronik (PGK) dengan sebab multifaktorial, terutama defisiensi eritropoeitin. • Pucat • Lemah atau malaise, mudah lelah • Nyeri seluruh tubuh (mialgia) • Gejala ortostatik • Sinkop • Nyeri dada, jantung berdebar • Gangguan tidur, sulit konsentrasi • Nafsu makan menurun • Riwayat PGK • Konjungtiva anemis • Hipotensi ortostatik, takiaritmia • Takipnea • Hepatosplenomegali 1. Gejala klinis anemia 2. Pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia: • Pada anak <1 tahun bila kadar Hb kurang dari -2SD sesuai umur, yaitu: o Lahir: Hb 16,5 g/dl (rerata); Hb 13,5 g/dl (-2SD) o 1-3 hari: Hb 18,5 g/dl (rerata); Hb 14,5 g/dl (-2SD) o 1 minggu: Hb 17,5 g/dl (rerata); Hb 13,5 g/dl (-2SD) o 2 minggu: Hb 16,5 g/dl (rerata); Hb 12,5 g/dl (-2SD) o 1 bulan: Hb 14,0 g/dl (rerata); Hb 10,0 g/dl (-2SD) o 2 bulan: Hb 11,5 g/dl (rerata); Hb 9,0 g/dl (-2SD) o 3-6 bulan: Hb 11,5 g/dl (rerata); Hb 9,5 g/dl (-2SD) o 6-24 bulan: Hb 12,0 g/dl (rerata); Hb 10,5 g/dl (-2SD) • Pada anak >1 tahun bila Hb kurang dari persentil ke-5 sesuai umur dan jenis kelamin, yaitu: o 1-2 tahun: Hb 10,7 g/dl (laki-laki); Hb 10,8 g/dl (perempuan) o 3-5 tahun: Hb 11,2 g/dl (laki-laki); Hb 11,1 g/dl (perempuan) o 6-8 tahun: Hb 11,5 g/dl (laki-laki); Hb 11,5 g/dl (perempuan) o 9-11 tahun: Hb 12,0 g/dl (laki-laki); Hb 11,9 g/dl (perempuan) o 12-14 tahun: Hb 12,4 g/dl (laki-laki); Hb 11,7 g/dl (perempuan) o 15-19 tahun: Hb 13,5 g/dl (laki-laki); Hb 11,5 g/dl (perempuan) 3. PGK Anemia Renal 1. Anemia aplastik 2. Sirosis hati 3. Gangguan endokrin (hipertiroid, hipotiroid, hipoadrenal, hiperparatiroid). • Pemeriksaan darah tepi: indeks sel darah merah, hapusan darah tepi, hitung retikulosit • Pemeriksaan darah: panel besi (serum iron, ferritin, transferrin saturation, total iron-binding capacity (TIBC), iron saturation), kadar vitamin B12 dan asam folat, fungsi hati (bilirubin, SGOT, SGPT), TSH, fungsi ginjal (BUN, kreatinin), elektrolit dan bikarbonat • Biopsi sumsum tulang • Pemeriksaan radiologik didapatkan tanda bendungan pembuluh darah paru, dan kardiomegali Pertimbangkan untuk mulai terapi bila Hb <11 g/dl. Target terapi: • Hb 11-12 g/dl • Hct 33%. 1. Medikamentosa • rhEPO-alfa intravena (Eprex® atau Hemapo®) o direkomendasikan untuk pasien dengan hemodialisis o dosis awal: 50-75 U/kg 3x/minggu, periksa Hb/Hct tiap 1-2 minggu hingga target Hb/Hct tercapai. Dosis dinaikkan hingga mencapai dosis maksimal 240 U/kg/dosis 3x/minggu o dosis rumatan: 100-300 U/kg/minggu o monitor tekanan darah untuk melihat perburukan hipertensi yang memerlukan terapi. • rhEPO-beta subcutan (Recormon®) o direkomendasikan pada pasien pra-dialisis dan dengan dialisis peritoneal o gunakan untuk pemberian secara subkutan bila terjadi aplasia sel darah merah murni pada pemakaian rhEPO-alfa o dosis: 75-150 U/kg/minggu. Dosis dinaikkan 25-50 U/kg/minggu tiap bulan hingga mencapai dosis maksimal 240 U/kg/minggu. Target Hb/Hct seharusnya dapat dicapai dalam waktu 3 bulan. • Darbepoietin-alfa (Aranesp®) o merupakan recombinant erythropoiesis stimulating protein terbaru (analog dengan rhEPO) dengan 2 rantai oligosakarida tambahan, yang memberikan efek lebih lama, sehingga membutuhkan frekuensi pemakaian lebih sedikit dibandingkan rhEPO o diberikan secara subkutan atau intravena pada anak usia 7-16 tahun, dengan waktu paruh 21 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 125 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 ANEMIA RENAL PADA ANAK o jam (12-25 jam) bila diberikan intravena dan 33 jam (16-44 jam) bila diberikan subkutan. Bioavailabilitas pemberian subkutan 52%(32-70%) dosis awal: 0,45 mcg/kg/minggu subkutan atau intravena (diperkirakan setara dengan rhEPO 100 U/kg/minggu). Oleh karena Aranesp tersedia dalam prefilled syringe (Singapur) berisi 20 dan 40 mcg, dan akurasi dosis dipertanyakan bila sebagian isinya terbuang, maka penting untuk menyesuaikan interval dosis sehingga lebih tepat bagi pasien dengan ukuran tubuh berbeda (tabel 1) Pengurangan dosis darbepoetin-alfa secara bertahap √ periksa darah lengkap tiap 2-4 minggu √ jika Hb tidak naik minimal 1 g/dL dalam 4 minggu dan cadangan besi adekuat, dosis darbepoetin-alfa dapat dinaikkan 25%. Peningkatan selanjutnya dilakukan dengan interval 4 minggu hingga respon yang diinginkan tercapai √ jika Hb meningkat >2,5 g/dL dalam 4 minggu, dosis darbepoetin-alfa diturunkan 25-50% tergantung kecepatan peningkatan Hb √ jika Hb >14 g/dL, hentikan darbepoetin-alfa hingga Hb <13 g/dL, lalu kembali berikan darbepoetin-alfa dengan dosis 25% lebih rendah dari dosis sebelumnya √ perubahan dosis pada fase rumatan dilakukan dengan interval minimal tiap 2 minggu √ jumlah maksimal darbepoetin-alfa yang aman diberikan dalam dosis tunggal atau ganda belum dapat ditentukan. Dosis >3 mcg/kg/minggu selama lebih dari 28 minggu telah diberikan pada pasien dengan PGK tanpa efek toksik darbepoetin-alfa sendiri. • Methoxy poliethylene glycol-epoetin beta (Mircera®) o continuous erythropoetin receptor activator (CERA) adalah nama generik kelas obat baru dari generasi ketiga erythropoietic-stimulating agents (ESAs) o Mircera®, salah satu CERAs yang tersedia di pasaran, secara struktur sama dengan EPOs sintetik yang sudah ada namun Mircera® terkoneksi dengan polyethylene glycol (PEG) sehingga waktu paruh lebih lama (6x lebih lama daripada darbepoetin-alfa dan 20x lebih lama daripada epoietin) o pada pasien PGK, polyethylene glycol-epoetin beta bila diberikan secara intravena, waktu paruhnya 134 jam (5,6 hari) dan klirens sistemik total 0,494 mL/jam/kg. Bila diberikan secara subkutan, waktu paruhnya 139 jam (5,8 hari) o penyesuaian dosis awal: √ dosis awal 0,6 mcg/kg diberikan tiap 2 minggu secara intravena atau subkutan untuk meningkatkan Hb >11 g/dL √ jika kadar Hb ≥11 g/dL tercapai, Mircera® dilanjutkan tiap bulan dengan dosis sebesar 2 kali dosis sebelumnya yang diberikan tiap 2 minggu √ jika laju peningkatan Hb <1 g/dL selama lebih dari 1 bulan, dosis dapat ditingkatkan 25% dari dosis sebelumnya √ peningkatan selanjutnya sebesar 25% dapat dilakukan dalam interval 1 bulan hingga target Hb tercapai √ Mircera® tersedia dalam bentuk prefilled syringes berisi 30, 40, 50, 75, 100, 150, 200, 250 mcg methoxy polyethylene glycol-epoetin beta dalam 0,3 ml larutan o titrasi dosis secara bertahap: √ monitor darah lengkap tiap bulan √ perlu monitor kadar Hb dan kepatuhan pada penyesuaian dosis karena belum banyak pengalaman pada pasien dengan peritoneal dialisis √ jika laju kenaikan Hb >2 g/dL dalam 1 bulan atau kadar Hb meningkat dan mencapai 12 g/dL, dosis diturunkan 25% √ jika kadar Hb terus meningkat, terapi dihentikan hingga kadar Hb mulai turun, dan terapi dimulai lagi dengan penurunan dosis 25% dari dosis sebelumnya √ setelah dosis dihentikan, diharapkan Hb turun sebesar 0,35 g/dL tiap minggu √ sebaiknya penyesuaian dosis dilakukan dengan interval minimal tiap 1 bulan • Pemberian hematinik: o Suplemen besi o Asam folat 50 mcg (neonatus), 0,1-0,25 mg (usia <4 tahun), 0,5-1,0 mg (usia >4 tahun) o Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 126 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 ANEMIA RENAL PADA ANAK oral/subkutan/ intravena/intramuskular Vitamin B12 20 mcg/kg o 2. 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan Suportif • Pemberian nutrisi yang adekuat • Koreksi hiperparatiroid sekunder • Hindari toksisitas aluminium • Atasi infeksi atau inflamasi kronis • Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung, maka tatalaksananya disesuaikan dengan komplikasi yang terjadi. 1. Gejala klinis Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau hipokomplementemia yang menetap, sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama. 2. Terapi Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan terhadap komplikasi yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kematian. Pada kasus yang berat, pemantauan tanda vital secara berkala diperlukan untuk memantau kemajuan pengobatan. 3. Tumbuh Kembang Penyakit ini tidak mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang anak, kecuali jika terdapat komplikasi yang menimbulkan sekuele. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) 2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) 3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) 4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA 50% penderita anemia renal akan membaik dalam waktu 3 bulan pengobatan 1. Cano F, Alarcon C, Azocar M, Lizama C, Lillo AM, Delucchi A, et al. Continuous EPO receptor activator therapy of anemia in children under peritoneal dialysis. Pediatr Nephrol 2011; 26:1303-10. 2. Lerner NB. Anemia of chronic disease and renal disease. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1653. 3. Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI). KDOQI Clinical practice guidelines and clinical practice recommendations for anemia in chronic kidney disease. III. Clinical practice recommendations for anemia in chronic kidney disease in children. Am J Kidney Dis 2006; 47(Suppl 3): S86-109. 4. Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI). KDOQI Clinical practice guidelines and clinical practice recommendations for anemia in chronic kidney disease. 2007 update of hemoglobin target. Am J Kidney Dis 2007; 50:471-530. 5. Sekarwana N. Gagal ginjal kronik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:509-30. 6. Srivastava RN, Bagga A. Chronic renal failure. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 315-29. 7. VanDeVoorde RG, Warady BA. Management of chronic kidney disease. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1661-92. 8. Yap HK. Anemia, renal osteodystrophy, growth failure in chronic renal failure. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 253-61. 9. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Lau PYW. Renal anemia. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 32-40. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 127 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 TERAPI SIKLOFOSFAMID PULS PADA ANAK DENGAN PENYAKIT GINJAL 1. 2. Pengertian (Definisi) Indikasi 3. Prosedur pelaksanaan 4. Efek samping Suatu tindakan pemberian terapi siklofosfamid secara puls pada anak dengan penyakit ginjal. • Vaskulitis terkait anti-neutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA) dengan necrotizing glomerulonephritis atau glomerulonefritis kresentik: o Induksi dengan metilprednisolon puls intravena 10-30 mg/kg/hari selama 3 hari berturut-turut dan diberikan tiap bulan selama 6 bulan bersama dengan siklofosfamid intravena 500-1000 mg/m2 tiap bulan selama 6 bulan. o Predniso(lo)n oral 0,5-1 mg/kg/hari, dosis diturunkan bertahap sesuai respon. o Fase rumatan: mikofenolat mofetil 600 mg/m2/dosis, diberikan 2 kali sehari selama 6 bulan. • Nefritis lupus ISN/RPS kelas III dan IV (terapi standar): o Siklofosfamid puls intravena diberikan tiap bulan selama 6 bulan, lalu tiap 3 bulan selama 2½ tahun. o Predniso(lo)n oral 0,5 mg/kg/hari, diturunkan bertahap 0,25 mg/kg alternating setelah tercapai remisi. • Periksa berat badan dan tinggi badan, hitung luas permukaan tubuh saat masuk rumah sakit. • Pastikan pasien tidak ada tanda infeksi atau riwayat kontak dengan varisela zoster. • Pemeriksaan laboratorium : o Darah lengkap o Fungsi ginjal (BUN,kreatinin), elektrolit (natrium, kalium, klorida, kalsium, fosfat, magnesium), bikarbonat, asam urat o Urinalisis. • Pemberian dosis siklofosfamid puls jika: o Jumlah lekosit total >4,0x109/L atau o Absolute neutrophil count >2,5x109/L. • Leukosit nadir (nilai terendah) terjadi 10-14 hari setelah pemberian puls: o Pemeriksaan darah lengkap ulang pada hari ke- 7,10 dan 14. o Jika leukosit nadir <1,0x109/L, turunkan dosis siklofosfamid berikutnya sebanyak 20%. • Pastikan hidrasi secara adekuat untuk mencegah terjadinya sistitis hemoragik : o Kebutuhan cairan intravena 0,45% salin sebanyak 2 L/m2/hari. o Tambahkan 10 ml KCl 7,45% per 500 ml kecuali pasien dengan gagal ginjal atau kalium serum ≥4 mmol/L. o Berikan furosemid intravena jika pasien mengalami oliguria. • Monitor: o Suhu badan, denyut nadi, laju nafas setiap jam dan tekanan darah setiap 4 jam o Intake/output secara ketat o Pastikan anak kencing setiap 2 jam saat terbangun dan setiap 3 jam saat tertidur untuk mencegah terjadinya sistitis hemoragik. • Mulai siklofosfamid intravena dan diikuti Mesna® setelah 2 jam hidrasi intravena: o Menit ke-0 Prometazin oral 0,5 mg/kg/dosis (maksimal 25 mg) o Menit ke-15 Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid (dilarutkan sebanyak 20 mg/ml dalam Dekstrosa 5%) o Menit ke-30 Siklofosfamid intravena Dosis = 500 mg/m2, 750 mg/m2, 1000 mg/m2 (dosis dapat dinaikkan tiap bulan sampai dosis optimal tercapai untuk tiap pasien) Dilarutkan dalam 100-150 ml Dekstrosa 5% atau 0,45% salin selama 1 jam. Furosemid intravena 1 mg/kg (maksimal 2 mg/kg). o Menit ke-90 Mulai kembali cairan intravena pra-siklofosfamid o Jam ke-4½ Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid o Jam ke-8½ Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid o Jam ke-12 Timbang berat badan pasien: Bila BB naik >1 kg : beri furosemid intravena 1 mg/kg (maksimal 2 mg) Bila pasien nefrotik berat atau oliguria: ulangi laboratorium (BUN, kreatinin, natrium, kalium, klorida, magnesium dan bikarbonat) o Jam ke-12½ Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid o Jam ke-16½ Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid o Jam ke-24 Periksa pasien. Hentikan hidrasi bila klinis pasien baik. • Supresi sumsum tulang dengan netropenia. • Alopesia. • Toksisitas kandung kemih dengan sistitis hemoragik. • Kegagalan gonad: gagal ovarium pada 13% pasien <20 tahun dan pada 100% pasien >30 tahun. • Iritasi gastrointestinal: mual, muntah. • Gangguan elektrolit: hiponatremia, hipomagnesemia. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 128 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 TERAPI SIKLOFOSFAMID PULS PADA ANAK DENGAN PENYAKIT GINJAL 5. Prognosis 6. 7. 8. Tingkat Evidens Tingkat Rekomendasi Penelaah Kritis 9. Indikator Medis 10. Kepustakaan • Risiko keganasan. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) 2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) 3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) 4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA 80% penderita yang mendapatkan terapi siklofosfamid puls tidak didapatkan komplikasi 1. Bosch X, Guilabert A, Espinosa G, Mirapeix E. Treatment of antineutrophil cytoplasmic antibody-associated vasculitis. JAMA 2007;298:655-69. 2. Lehman TJ, Sherry DD, Wagner-Weiner L, McCurdy DK, Emery HM, Magilavy DB, et al. Intermittent intravenous cyclophosphamide therapy for lupus nephritis. J Pediatr 1989;114:1055-60. 3. Yap HK, Resontoc LPR. Methylprednisolon pulse therapy. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 190-2. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 129 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 SINDROM NEFROTIK DEPENDEN STEROID PADA ANAK 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia yang kambuh berulang 2 kali berturutan selama pengobatan steroid atau dalam 14 hari sesudah dosis steroid dihentikan • Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum) • Oliguria • Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus) • Nafsu makan menurun • Diare • Nyeri perut • Atopi • Riwayat keluarga sindrom nefrotik • Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum) • Gejala akut abdomen pada peritonitis 1. Sembab 2. Albumin darah <2,5 g/dL 3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam) 4. Kolesterol darah >200 mg/dL 5. Kambuh 2 kali berturutan selama pengobatan steroid atau dalam 14 hari sesudah dosis steroid dihentikan Sindrom Nefrotik Dependen Steroid 1. Gagal jantung 2. Kwashiorkor • Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin), elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium) • Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam • Foto toraks AP 8. 9. Terapi Edukasi • Predniso(lo)n: o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi hari sampai proteinuria negatif selama 3 hari berturut-turut atau maksimal selama 3 minggu o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate (selang sehari) yang diturunkan perlahan dan diminum pada pagi hari selama 12-21 minggu (masa pengobatan total 4-6 bulan) o Diberikan predniso(lo)n sebagai dosis tunggal pagi hari setiap hari selama mengalami infeksi saluran nafas atas atau infeksi lain pada saat sudah dalam fase rumatan (dosis sesuai dengan dosis selang sehari) untuk mencegah serangan kambuh sindrom nefrotik • Kombinasi dengan corticosteroid-sparing agent yang dimulai saat sudah mengalami remisi, pilihannya: o Siklofosfamid 2 mg/kg/hari sebagai dosis tunggal selama 8-12 minggu (dosis kumulatif maksimal 168 mg/kg). Hanya aman diberikan dalam 1 seri pengobatan. o Levamisol 2,5 mg/kg sebagai dosis alternate (selang sehari) selama minimal 12 bulan. o Siklosporin A dosis awal 4-5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan dengan pemantauan fungsi ginjal dan kadar siklosporin A dalam darah untuk menghindari nefrotoksisitas. o Mikofenolat mofetil 1200 mg/m2/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan. o Takrolimus dosis awal 0,1 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan dengan pemantauan fungsi ginjal dan kadar takrolimus dalam darah untuk menghindari nefrotoksisitas. o Rituksimab 375 mg/m2 tiap 2 minggu sebanyak 2 seri pengobatan, bila tetap mengalami kambuh sering dengan kombinasi optimal steroid dan obat lainnya. • Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai • Anti-proteinuria: o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam) o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg) • Suportif: o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah gula, rendah garam (bila masih edema) o Atasi infeksi atau inflamasi o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan dengan komplikasi yang terjadi. 1. Gejala klinis Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Diperlukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan. 2. Terapi Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid dan obat lainnya dalam jangka panjang. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 130 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 SINDROM NEFROTIK DEPENDEN STEROID PADA ANAK 3. 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan Tumbuh Kembang Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) 2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) 3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) 4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA 50% penderita sindrom nefrotik dependen steroid akan remisi dalam waktu 6 bulan pengobatan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 109-15. 2. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26. 3. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:667-702. 4. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90. 5. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1804-6. 6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200. 7. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:381-426. 8. Yap HK, Aragon ET. Rituximab protocol for nephrotic syndrome. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 187-9. 9. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 131 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 SINDROM NEFROTIK KAMBUH JARANG PADA ANAK 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia yang kambuh berulang kurang dari 2 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun • Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum) • Oliguria • Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus) • Nafsu makan menurun • Diare • Nyeri perut • Atopi • Riwayat keluarga sindrom nefrotik • Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum) • Gejala akut abdomen pada peritonitis 1. Sembab 2. Albumin darah <2,5 g/dL 3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam) 4. Kolesterol darah >200 mg/dL 5. Kambuh kurang dari 2 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun Sindrom Nefrotik Kambuh Jarang 1. Gagal jantung 2. Kwashiorkor • Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin), elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium) • Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam • Foto toraks AP 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan • Predniso(lo)n: o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi hari sampai proteinuria negatif selama 3 hari berturut-turut atau maksimal selama 3 minggu o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate (selang sehari) pada pagi hari minimal selama 4 minggu, kemudian dosis diturunkan perlahan selama 4-16 minggu (masa pengobatan total 3-6 bulan) • Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai • Anti-proteinuria: o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam) o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg) • Suportif: o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah gula, rendah garam (bila masih edema) o Atasi infeksi atau inflamasi o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan dengan komplikasi yang terjadi. 1. Gejala klinis Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau hipokomplementemia yang menetap, sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama. 2. Terapi Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid jangka panjang. Bila kemudian didapatkan serangan berulang sering, diperlukan biopsi ginjal dan kombinasi dengan obat-obatan lainnya. 3. Tumbuh Kembang Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) 2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) 3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) 4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA 80% penderita sindrom nefrotik kambuh jarang akan remisi dalam waktu 3 bulan pengobatan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 109-15. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 132 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 SINDROM NEFROTIK KAMBUH JARANG PADA ANAK 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:667-702. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1804-6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:381-426. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 133 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 SINDROM NEFROTIK KAMBUH SERING PADA ANAK 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia yang kambuh berulang lebih dari 2 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun • Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum) • Oliguria • Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus) • Nafsu makan menurun • Diare • Nyeri perut • Atopi • Riwayat keluarga sindrom nefrotik • Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum) • Gejala akut abdomen pada peritonitis 1. Sembab 2. Albumin darah <2,5 g/dL 3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam) 4. Kolesterol darah >200 mg/dL 5. Kambuh lebih dari 2 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun Sindrom Nefrotik Kambuh Sering 1. Gagal jantung 2. Kwashiorkor • Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin), elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium) • Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam • Foto toraks AP 8. 9. Terapi Edukasi 10. Prognosis • Predniso(lo)n: o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi hari sampai proteinuria negatif selama 3 hari berturut-turut atau maksimal selama 3 minggu o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate (selang sehari) yang diturunkan perlahan dan diminum pada pagi hari selama 12-21 minggu (masa pengobatan total 4-6 bulan) o Diberikan predniso(lo)n sebagai dosis tunggal pagi hari setiap hari selama mengalami infeksi saluran nafas atas atau infeksi lain pada saat sudah dalam fase rumatan (dosis sesuai dengan dosis selang sehari) untuk mencegah serangan kambuh sindrom nefrotik • Kombinasi dengan corticosteroid-sparing agent yang dimulai saat sudah mengalami remisi, pilihannya: o Siklofosfamid 2 mg/kg/hari sebagai dosis tunggal selama 8-12 minggu (dosis kumulatif maksimal 168 mg/kg). Hanya aman diberikan dalam 1 seri pengobatan. o Levamisol 2,5 mg/kg sebagai dosis alternate (selang sehari) selama minimal 12 bulan. o Siklosporin A dosis awal 4-5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan dengan pemantauan fungsi ginjal dan kadar siklosporin A dalam darah untuk menghindari nefrotoksisitas. o Mikofenolat mofetil 1200 mg/m2/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan. o Takrolimus dosis awal 0,1 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan dengan pemantauan fungsi ginjal dan kadar takrolimus dalam darah untuk menghindari nefrotoksisitas. • Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai • Anti-proteinuria: o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam) o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg) • Suportif: o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah gula, rendah garam (bila masih edema) o Atasi infeksi atau inflamasi o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan dengan komplikasi yang terjadi. 1. Gejala klinis Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Diperlukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan. 2. Terapi Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid dan obat lainnya dalam jangka panjang. 3. Tumbuh Kembang Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 134 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 SINDROM NEFROTIK KAMBUH SERING PADA ANAK 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) 2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) 3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) 4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA 50% penderita sindrom nefrotik kambuh sering akan remisi dalam waktu 6 bulan pengobatan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 109-15. 2. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26. 3. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:667-702. 4. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90. 5. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1804-6. 6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200. 7. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:381-426. 8. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 135 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 SINDROM NEFROTIK KONGENITAL DAN INFANTIL 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia yang terjadi sejak lahir (kongenital) atau pada usia 4 bulan sampai 1 tahun (infantil) • Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum) • Oliguria • Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus) • Nafsu makan menurun • Diare • Nyeri perut • Atopi • Riwayat keluarga sindrom nefrotik • Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum) • Gejala akut abdomen pada peritonitis 1. Sembab 2. Albumin darah <2,5 g/dL 3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam) 4. Kolesterol darah >200 mg/dL 5. Usia: sejak lahir (kongenital), 4-12 bulan (infantil) Sindrom Nefrotik Kongenital atau Infantil 1. Gagal jantung 2. Kwashiorkor • Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin), elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium) • Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam • Foto toraks AP dan lateral kanan 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan • Workup TB: uji tuberkulin, BTA lambung • Kontrol edema: transfusi albumin 20% 3-4 g/kg/hari selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai sampai tercapat target kadar albumin serum 1,5 g/dl. • Anti-proteinuria: o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam) o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg) • Suportif: o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah gula, rendah garam (bila masih edema) o Atasi infeksi atau inflamasi o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan dengan komplikasi yang terjadi. 1. Gejala klinis Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau hipokomplementemia yang menetap, sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama. 2. Terapi Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid jangka panjang. Bila kemudian didapatkan serangan berulang, diperlukan biopsi ginjal dan kombinasi dengan obat-obatan lainnya. 3. Tumbuh Kembang Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) 2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) 3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) 4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA 80% penderita sindrom nefrotik kongenital atau infantil akan memburuk dalam 1 bulan setelah terdiagnosis bila tidak mendapatkan transfusi albumin yang adekuat 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 109-15. 2. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26. 3. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 136 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 SINDROM NEFROTIK KONGENITAL DAN INFANTIL 4. 5. 6. 7. 8. 2009:667-702. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1804-6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:381-426. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 137 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID PADA ANAK 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia yang tidak mengalami remisi setelah 6-8 minggu pengobatan steroid • Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum) • Oliguria • Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus) • Nafsu makan menurun • Diare • Nyeri perut • Atopi • Riwayat keluarga sindrom nefrotik • Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum) • Gejala akut abdomen pada peritonitis 1. Sembab 2. Albumin darah <2,5 g/dL 3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam) 4. Kolesterol darah >200 mg/dL 5. Tidak mengalami remisi setelah 6-8 minggu pengobatan steroid Sindrom Nefrotik Resisten Steroid 1. Gagal jantung 2. Kwashiorkor • Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin), elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium) • Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam • Foto toraks AP 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis • Predniso(lo)n: o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi hari sampai proteinuria negatif selama 3 hari berturut-turut atau maksimal selama 3 minggu o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate (selang sehari) yang diturunkan perlahan dan diminum pada pagi hari selama 12-21 minggu (masa pengobatan total 4-6 bulan) • Kombinasi dengan corticosteroid-sparing agent yang dimulai saat sudah mengalami remisi, pilihannya: o Siklosporin A dosis awal 4-5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 6 bulan dengan pemantauan fungsi ginjal dan kadar siklosporin A dalam darah untuk menghindari nefrotoksisitas. Bila menunjukkan remisi parsial, dapat dilanjutkan sampai 12 bulan. o Mikofenolat mofetil 1200 mg/m2/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan. o Takrolimus dosis awal 0,1 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 6 bulan dengan pemantauan fungsi ginjal dan kadar siklosporin A dalam darah untuk menghindari nefrotoksisitas. Bila menunjukkan remisi parsial, dapat dilanjutkan sampai 12 bulan. o Rituksimab 375 mg/m2 tiap 2 minggu sebanyak 4 seri pengobatan, bila tetap mengalami kambuh sering dengan kombinasi optimal steroid dan obat lainnya. • Bila tetap mengalami serangan: o Metilprednisolon intravena 30 mg/kg (maksimal 1 gram) atau deksametason intravena 5 mg/kg (maksimal 150 mg), diberikan selang sehari sebanyak 6 dosis; bergantian dengan predniso(lo)n oral 2 mg/kg/hari secara selang sehari. • Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai • Anti-proteinuria: o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam) o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg) • Suportif: o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah gula, rendah garam (bila masih edema) o Atasi infeksi atau inflamasi o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan dengan komplikasi yang terjadi. 1. Gejala klinis Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Diperlukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan. 2. Terapi Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid dan obat lainnya dalam jangka panjang. 3. Tumbuh Kembang Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 138 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID PADA ANAK 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan I/II/III/IV A/B/C 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) 2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) 3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) 4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA 30% penderita sindrom nefrotik resisten steroid akan remisi dalam waktu 6 bulan pengobatan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 109-15. 2. Hari P, Bagga A, Mantan M. Short term efficacy of intravenous dexamethasone and methylprednisolone therapy in steroid resistant nephrotic syndrome. Indian Pediatr 2004; 41:993– 1000. 3. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26. 4. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:667-702. 5. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90. 6. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1804-6. 7. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200. 8. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:381-426. 9. Yap HK, Aragon ET. Rituximab protocol for nephrotic syndrome. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 187-9. 10. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 139 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 SINDROM NEFROTIK SERANGAN PERTAMA PADA ANAK 1. 2. Pengertian (Definisi) Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia. • Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum) • Oliguria • Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus) • Nafsu makan menurun • Diare • Nyeri perut • Atopi • Riwayat keluarga sindrom nefrotik • Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum) • Gejala akut abdomen pada peritonitis 1. Sembab 2. Albumin darah <2,5 g/dL 3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam) 4. Kolesterol darah >200 mg/dL Sindrom Nefrotik 1. Gagal jantung 2. Kwashiorkor • Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin), elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium) • Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam • Foto toraks AP dan lateral kanan 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan • Workup TB: uji tuberkulin, BTA lambung • Predniso(lo)n: o Diberikan setelah workup TB selesai supaya tidak mempengaruhi hasil uji tuberkulin. Bila terinfeksi TB, maka obat anti-tuberkulosis (OAT) diberikan bersamaan dengan predniso(lo)n o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi hari selama 4-6 minggu o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate (selang sehari) pada pagi hari selama 4 minggu, kemudian dosis diturunkan perlahan selama 4-16 minggu (masa pengobatan total 3-6 bulan) • Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai • Anti-proteinuria: o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam) o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg) • Suportif: o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah gula, rendah garam (bila masih edema) o Atasi infeksi atau inflamasi o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan dengan komplikasi yang terjadi. 1. Gejala klinis Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau hipokomplementemia yang menetap, sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama. 2. Terapi Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid jangka panjang. Bila kemudian didapatkan serangan berulang, diperlukan biopsi ginjal dan kombinasi dengan obat-obatan lainnya. 3. Tumbuh Kembang Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam I/II/III/IV A/B/C 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K) 2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K) 3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K) 4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA 80% penderita sindrom nefrotik akan remisi dalam waktu 3 bulan pengobatan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 109-15. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 140 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 SINDROM NEFROTIK SERANGAN PERTAMA PADA ANAK 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:667-702. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1804-6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:381-426. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 141 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 ASFIKSIA NEONATORUM 1. Pengertian (Definisi) Asfiksia neonatorum adalah kondisi gangguan pertukaran gas karbondioksida dengan oksigen yang menyebabkan terjadinya hipoksemia dan hiperkarbia pada janin sehingga menyebabkan asidosis. 2. Anamnesis Bayi tidak bernapas spontan dan adekuat setelah lahir atau sesaat setelah lahir. 3. Pemeriksaan Fisik • • • • • Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap Kulit sianosis Tonus otot menurun Denyut jantung <100 kali/ menit Tidak ada respon terhadap reflek rangsangan 4. Kriteria Diagnosis 1. Adanya asidosis metabolik atau mixed acidemia (pH <7.00) pada darah arteri umbilikus atau analisa gas darah arteri apabila fasilitas tersedia Adanya persisten nilai apgar 0-3 selama >5 menit Manifestasi neurologis segera pada waktu perinatal dengan gejala kejang, hipotonia, koma, ensefalopati hipoksik iskemik Adanya gangguan fungsi multiorgan segera pada waktu perinatal 2. 3. 4. 5. Diagnosis Asfiksia 6. Diagnosis Banding • • • • • • Pengaruh sedasi, pemberian anestesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan Infeksi virus, sepsis atau meningitis Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung dan paru Penyakit neuromuskular Trauma persalinan Kelainan metabolisme bawaan 7. Pemeriksaan Penunjang • • • Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, elektrolit, gula darah USG kepala MRI kepala 8. Terapi Resusitasi • Tahapan resusitasi tidak melihat nilai apgar Langkah awal resusitasi Indikasi : bila terdapat salah satu jawaban tidak dari pertanyaan cukup bulan, bernapas atau menangis, dan tonus otot baik Ventilasi tekanan positif (VTP) Indikasi : apnu atau megap-megap, denyut jantung <100 x/menit, saturasi tetap di bawah nilai target meskipun telah diberi O2 aliran bebas sampai 100% Ventilasi tekanan positif dan kompresi dada Indikasi : denyut jantung <60 x/menit setelah 30 detik dilakukan VTP efektif • Terapi medikamentosa : Epinefrin : Indikasi : - Denyut jantung bayi <60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi adekuat dan kompresi dada - Asistolik Dosis : - 0,1-0,3 mL/kg BB dalam larutan 1:10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB) diberikan i.v, dibilas dengan 0,5-1 mL normal salin - 0,3-1 mL/kg BB larutan 1:10.000 bila diberikan endotrakeal - Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu. Volume ekspander : Indikasi : - Hipovolemia - Tidak ada respon dengan resusitasi Jenis cairan : - Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%) - Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak Dosis : - Dosis awal 10 mL/kg BB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis. Bikarbonat : Indikasi : - Asidosis metabolik. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik. - Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai dengan pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi. Dosis : 1-2 mEq/kg BB atau 2 mL/kg BB (4,2%) atau 1 mL/kg BB (8,4%) Cara : - Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena dengan Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 142 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 ASFIKSIA NEONATORUM kecepatan minimal 2 menit. Efek samping : - Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO 2 dari bikarbonat merusak fungsi miokardium dan otak. 9. Edukasi 10. Prognosis • • • Jaga kehangatan. Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka. Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit) • • • Ad vitam Ad sanationam Ad fungsionam 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Level C : dubia ad malam : dubia ad malam : dubia ad malam Rekomendasi 13. Penelaah Kritis • • • • • dr. Agus Harianto, SpAK dr. Risa Etika, SpAK dr. Martono Tri Utomo, SpAK dr. Dina Angelika, SpA dr. Kartika Darma Handayani, SpA 14. Indikator Medis • • • Bayi bernapas, denyut jantung >100 kali/ menit, tidak sianosis, tonus otot baik Sebagian besar bayi baru lahir (90%) tidak memerlukan bantuan pernapasan Sekitar 10% bayi baru lahir memerlukan bantuan pernapasan dan 1 % memerlukan bantuan resusitasi lengkap (intubasi, kompresi dada, pemberian obat) untuk kelangsungan hidupnya 80 % Pasien sembuh dalam waktu 3 minggu • 15. Kepustakaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kattwinkel J, McGowan JE, Zaichkin J. Textbook of neonatal resuscitation; edisi ke-6. AAP & AHA, 2011; 1302 American Academy of Pediatrics. Special report- neonatal resuscitation: 2010 Amaerican Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Pediatrics 2010; 126(5): e1400-11. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic-ischemia encephalopathy. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 711-28. Ringer SA. Resuscitation in the delivery room. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 47-62. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 624-35. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 31-41. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 143 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 BAYI DARI IBU PENDERITA DIABETES MELITUS (IDM) 1. Pengertian (Definisi) Kondisi hipoglikemia beserta segala akibatnya pada bayi baru lahir dari ibu penderita diabetes. Kelainan spesifik yang sering ditemukan pada IDM : • Kelainan metabolisme o Hipoglikemia o Hipokalsemia o Hipomagnesemia • Kelainan kardiorespirasi o Asfiksia perinatal o Hyaline membrane disease o Kardiomiopati hipertropik o Takipnea sementara pada neonatus • Kelainan hematologis o Polisitemia dan hiperviskositas o Hiperbilirubinemia o Trombosis vena ginjal • Masalah morfologis dan fungsional o Cedera lahir o Kelainan bentuk bawaan (jantung, ginjal, saluran cerna, saraf, skeletal, wajah abnormal, mikroptalmos) 2. Anamnesis • • • • 3. Pemeriksaan Fisik Pada saat lahir IDM cenderung memiliki wajah sembab, pletorik, IDM juga gemetar dan hipereksitasi. Bayi dapat berukuran besar atau kecil untuk masa kehamilan. Setelah lahir • Hipoglikemia • Mungkin ditemui bersama dengan letargi, menyusu yang buruk, apnea, jitteriness pada 6-12 jam pertama setelah kelahiran • Tanda gawat pernapasan • Penyakit jantung mungkin ditemui. Penyakit ini didiagnosis dengan rasio kardio-timus yang membesar pada film rontgen dada atau melaui bukti fisik adanya gagal jantung • Kelainan bawaan mungkin tercatat pada pemeriksaan fisik 4. Kriteria Diagnosis • • • 5. Diagnosis Bayi dengan ibu diabetes melitus (IDM) 6. Diagnosis Banding • • • • • Pengaruh sedasi, pemberian anastesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan Hipotermia Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung, paru, saluran cerna, dan renal Penyakit neuromuskular Kelainan metabolisme bawaan 7. Pemeriksaan Penunjang • • Darah lengkap Hematokrit o Pada saat lahir pada usia 4 sampai 24 jam Kadar glukosa serum o Diperiksa dengan menggunakan dextrostix pada saat lahir, tiap 6 jam selama 24 jam, dan selanjutnya pada usia 36 dan 48 jam o Pembacaan <45 mg/dL dengan menggunakan dextrostix harus diverifikasi oleh pengukuran glukosa serum Kadar kalsium serum bila terdapat gejala kejang o Jika kadar kalsium rendah, kadar magnesium serum harus diukur Kadar bilirubin serum o Seperti yang diindikasikan oleh pemeriksaan fisik Pemeriksaan radiologi o Tidak diperlukan kecuali terdapat bukti adanya masalah jantung, pernapasan, atau skeletal Elektrokardiografi dan ekokardiografi : jika terdapat kardiomiopati hipertropik atau kelainan pembentukan jantung USG kepala MRI kepala • • • • • • • Riwayat ibu penderita diabetes Riwayat bayi makrosomia Riwayat bayi kecil untuk masa kehamilan Riwayat ibu dengan penyakit ginjal, retina atau jantung Anamnesis Gejala klinis Pemeriksaan penunjang Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 144 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 BAYI DARI IBU PENDERITA DIABETES MELITUS (IDM) 8. Terapi Hipoglikemia • 2-4 mL dekstrosa 10% selama 5 menit, diulang jika perlu • Infus glukosa 10% berkesinambungan dengan kecepatan 8-10 mg/kg/menit • Memulai pemberian asupan enteral sesegera mungkin • Kortikosteroid : pada hipoglikemia yang terus bertahan (hidrokortison 5 mg/kg/12 jam) • Mempertimbangkan pemberian glukagon dan epinefrin Hipokalsemia • Dosis awal 1-2 mL/kg/dosis glukonat kalsium 10% IV, diberikan secara perlahan selama 10 menit • Memantau tanda ekstravasasi • Dosis juga diberikan melalui infus intravena berkesinambungan, 2-8 mL/kg/hari • Akan memberikan respon dalam 3-4 hari Hipomagnesemia • Magnesium sulfat (MgSo4) 2mEq/kg/dosis setiap 6 jam IV atau IM 9. Edukasi • • Kontrol yang baik terhadap diabetes ibu merupakan faktor kunci dalam menentukan hasil akhir fetus Angka morbiditas dan mortalitas perinatal pada anak dari wanita penderita diabetes mellitus telah membaik sejalan dengan diterapkannya tata laksana diet dan terapi insulin 10. Prognosis Ad vitam Ad sanationam Ad fungsionam 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Level C : dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam Rekomendasi 13. Penelaah Kritis • • • • • 14. Indikator Medis Bayi sadar, gejala klinis hipoglikemia tidak ada, hasil glukosa serum normal dr. Agus Harianto, SpAK dr. Risa Etika, SpAK dr. Martono Tri Utomo, SpAK dr. Dina Angelika, SpA dr. Kartika Darma Handayani, SpA 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 1 minggu 15. Kepustakaan 1. 2. 3. 4. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call problems disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 534-40. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 171-9. Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 284-96. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 35-6. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 145 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 ENSEFALOPATI HIPOKSIK ISKEMIK 1. Pengertian (Definisi) Ensefalopati hipoksik iskemik perinatal adalah suatu sindroma yang ditandai dengan adanya kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak yang akut yang disebabkan karena asfiksia. 2. Anamnesis Dari anamnesis didapatkan riwayat asfiksia, usia gestasi, kesulitan saat lahir, adanya kejang dan gangguan kesadaran. 3. Pemeriksaan Fisik Menurut Sarnat dan Sarnat, ensefalopati iskemik hipoksik (HIE) dapat diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan : HIE Tingkat I • Periode letargi dan iritabilitas, kewaspadaan berlebihan dan jitteriness berselang-seling • Pemberian minum yang buruk • Tonus otot meningkat, refleks tendon dalam berlebihan, refleks Moro berlebihan dan/ atau spontan • Eksitasi simpatik terbukti oleh peningkatan denyut jantung dan pupil dilatasi • Tidak ada aktivitas kejang • Gejala hilang dalam 24 jam HIE Tingkat II • Letargi • Pemberian minum buruk, refleks gag tertekan • Hipotonia • Denyut jantung menurun dan pupil konstriksi • 50-70 % terdapat kejang, biasanya dalam waktu 24 jam setelah kelahiran HIE Tingkat III • Abnormalitas neurologis yang terus berlanjut • Koma • Flasidisitas • Tidak ada refleks • Pupil diam, sedikit reaktif • Apnea, bradikardia, hipotensi • Kejang tidak umum tetapi jika ada sulit ditangani 4. Kriteria Diagnosis • • • Anamnesis Gejala klinis Pemeriksaan penunjang 5. Diagnosis • • • HIE Tingkat I HIE Tingkat II HIE Tingkat III 6. Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang • • • • • • • • • • • • • • • • • • • Pengaruh sedasi, pemberian anastesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan Infeksi virus, sepsis atau meningitis Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung dan paru Penyakit neuromuskular Trauma persalinan Kelainan metabolisme bawaan Darah lengkap Gula darah Pemeriksaan urine lengkap, produksi urine, dan osmollaritas. Serum elektrolit (Na, Ka, Ca, P, dan Mg) BUN dan serum kreatinin Faal pembekuan darah Faal hati Analisa gas darah Foto torak Pungsi lumbal EEG USG kepala MRI kepala 8. Terapi a. b. Upaya yang optimal adalah pencegahan Resusitasi. • Ventilasi yang adekuat • Oksigenasi yang adekuat. • Perfusi yang adekuat • Koreksi asidosis metabolik • Pertahankan kadar glukosa dalam darah antara 75 sampai 100 mg/dL • Kadar kalsium harus dipertahankan dalam kadar yang normal. Ca glukonas 10% 200 mg/kg BB intravena atau 2 ml/kg BB diencerkan dalam aquades sama banyak diberikan secara intravena dalam waktu 5 menit. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 146 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 ENSEFALOPATI HIPOKSIK ISKEMIK • • d. Atasi kejang (lihat bab kejang pada neonatus) Mencegah timbulnya edema cerebri. Restriksi cairan dengan pemberian 60 mL/kg BB per hari. Penggunaan glucocorticoid dan osmotic agents tidak direkomendasikan. Pengobatan potensial untuk mencegah kematian saraf secara lambat. Celah waktu (window of opportunity) 6-12 jam untuk mengurangi atau mencegah kerusakan otak pada neonatus yang timbul karena asfiksia dengan cara memberikan suatu neuroprotektif : • Mencegah pembentukan radikal bebas yang berlebihan dengan memberikan allopurinol, superoxide dismutase, vitamin E, resusitasi dengan udara ruang • Hipotermi. Dengan cara selective head cooling, atau mild systemic hypothermia, atau selective head cooling dan mild systemic hypothermia • Pemberian phenobarbital sebelum kejang dosis 40 mg/kg BB intravena dalam waktu 1 jam • Ca2+ channel blockers • Magnesium sulfat Pengobatan suportif untuk organ-organ lainnya yang mengalami kelainan • • • Jaga kehangatan. Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka. Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit) c. 9. Edukasi 10. Prognosis Asfiksia dengan HIE Tingkat I • Ad vitam : dubia ad bonam • Ad sanationam : dubia ad bonam • Ad fungsionam : dubia ad bonam Asfiksia dengan HIE Tingkat II-III • Ad vitam : dubia ad malam • Ad sanationam : dubia ad malam • Ad fungsionam : dubia ad malam 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi Level C 13. Penelaah Kritis • • • • • dr. Agus Harianto, SpAK dr. Risa Etika, SpAK dr. Martono Tri Utomo, SpAK dr. Dina Angelika, SpA dr. Kartika Darma Handayani, SpA 14. Indikator Medis • • • Bayi bernapas spontan, denyut jantung >100 kali/ menit, tidak sianosis, tonus otot baik Tidak didapatkan kejang 80% pasien akan sembuh dalam waktu 3 minggu 15. Kepustakaan 1. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic-ischemic encephalopathy. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, eds. Manual of Neonatal Care, 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 71128. Volpe JJ. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. In: Volpe JJ, eds.,Neurology of the Newborn,4th ed.Philadelphia:WB.Saunders Co, 2001;217-394. Levene M,Evans DJ. Hypoxic-ischemic brain injury. In: Rennie JM eds. Roberton's Textbook of Neonatology 4th ed. Philadelphia, Elsevier Limited, 2005; 1128-48. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Perinatal Asphyxia. In: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE, eds. Neonatology Management, Procedures, On-Call Problems, Diseases, and Drugs 6th ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2009; 624-35. Stoll BJ, Kliegman RM. Nervous System Disorders. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, eds. Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed. Philadelphia, WB Saunders Co., 2004; 559-68. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 283-9. 2. 3. 4. 5. 6. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 147 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 HIPERBILIRUBINEMIA PADA BAYI BARU LAHIR 1. Pengertian (definisi) Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar serum bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90. Sedangkan ikterus neonatorum adalah keadaan klinis bayi yang ditandai oleh pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus tampak secara klinis bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL. 2. Anamnesis • • • • • • 3. Pemeriksaan Fisik Umum : Keadaan umum (gangguan nafas, apnea, instabilitas suhu, dll) Khusus : • Dengan cara menekan kulit ringan dengan memakai jari tangan dan dilakukan pada pencahayaan yang memadai. • Berdasarkan Kramer dibagi menjadi : Riwayat ikterus pada anak sebelumnya Riwayat keluarga anemi dan pembesaran hati dan limpa Riwayat penggunaan obat selama ibu hamil Riwayat infeksi maternal Riwayat trauma persalinan Riwayat asfiksia Derajat ikterus I II III IV V 4. Kriteria Diagnosis Daerah ikterus Kepala dan leher Sampai badan atas (di atas umbilikus) Sampai badan bawah (di bawah umbilikus) hingga tungkai atas (di atas lutut) Sampai lengan, tungkai bawah lutut Sampai telapak tangan dan kaki Perkiraan kadar bilirubin 5,0 mg/dL 9,0 mg/dL 11,4 mg/dL 12,4 mg/dL 16,0 mg/dL Hiperbilirubinemia fisiologis • Terjadi peningkatan bilirubin indirek pada cukup bulan dengan puncak 6-8 mg/dL pada usia 3 hari • Kadar 12 mg/dL masih dalam batas fisiologis • Pada bayi prematur dapat meningkat 10-12 mg/dL pada usia 5 hari Hiperbilirubinemia non fisiologis • Ikterus mulai sebelum berusia 36 jam • Peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dL/jam • Total bilirubin serum >15 mg/dL pada bayi cukup bulan dan diberi susu formula • Total bilirubin serum >17 mg/dL pada bayi cukup bulan dan diberi ASI • Ikterus klinis >8 hari pada bayi cukup bulan dan >14 hari pada bayi kurang bulan Peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90. Gambar 1. Nomogram untuk penentuan risiko berdasarkan kadar bilirubin serum spesifik berdasarkan waktu pada saat bayi pulang Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 148 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 HIPERBILIRUBINEMIA PADA BAYI BARU LAHIR Nomogram- persentil ke-95 untuk kadar bilirubin serum 24 jam: ≥ 8 mg/ dL (137 µM/ L) 48 jam: ≥ 14 mg/ dL (239 µM/ L) 72 jam: ≥ 16 mg/ dL (273 µM/ L) 84 jam: ≥ 17 mg/ dL (290 µM/ L) Hipebilirubinemia direk bila kadar bilirubin direk >1 mg/dL bila bilirubin total <5 mg/dL atau kadar bilirubin direk >20% dari bilirubin total bila bilirubin total >5 mg/dL. • • • • • • Hiperbilirubinemia fisiologis Hiperbilirubinemia non fisiologis Infeksi virus, sepsis atau meningitis Kelainan kongenital susunan syaraf pusat Trauma persalinan Kelainan metabolisme bawaan Pemeriksaan Penunjang • • • • • • • • • • • Bilirubin total Bilirubin direk dan indirek Faal hati Albumin Golongan darah (ABO dan Rhesus) ibu dan anak Darah rutin Hapusan darah Retikulosit Coomb test Kadar enzim G6PD (pada riwayat keluarga dengan defisiensi G6PD) USG abdomen (pada ikterus berkepanjangan) Terapi a. Follow up pada bayi baru lahir yang pulang • dipulangkan sebelum 24 jam : kontrol ulang usia 72 jam • dipulangkan usia 24-47,9 jam : kontrol ulang usia 96 jam • dipulangkan usia 48-72 jam : kontrol ulang usia 120 jam b. Fototerapi Fototerapi dilakukan bila kadar total serum bilirubin (TSB) melebihi batas yang diharapkan sesuai pada gambar 2. 5. Diagnosis 6. Diagnosis Banding 7. 8. Gambar 2. Guideline fototerapi pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih. c. Penghentian fototerapi Tergantung dari usia saat fototerapi dan penyebab hiperbilirubinemia. Pada bayi yang masuk rumah sakit (TSB 18 mg/dl), fototerapi dapat dihentikan bila TSB <13 mg/dL atau 14 mg/dL. d. Tranfusi tukar Dilakukan bila kadar total serum bilirubin melampaui garis seperti pada gambar 3 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 149 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 HIPERBILIRUBINEMIA PADA BAYI BARU LAHIR Gambar 3. Guideline tranfusi tukar pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih. Tranfusi tukar segera bila bayi menunjukkan tanda ensefalopati bilirubin akut (hipertonia, opistotonus, panas, menangis melengking) atau TSB ≥5 di atas garis. Faktor risiko : isoimun hemolitik, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi, instabilitas temperatur, sepsis asidosis Tabel 1. Rekomendasi manajemen hiperbilirubinemia pada bayi kurang bulan (sehat dan sakit) dan bayi cukup bulan (sakit) Total serum bilirubin (mg/dL) Bayi sehat Bayi sakit BB (g) Fototerapi Tranfusi tukar Fototerapi Tranfusi tukar Kurang bulan <1000 5-7 Bervariasi 4-6 Bervariasi 1000-1500 7-10 Bervariasi 6-8 Bervariasi 1501-2000 10-12 Bervariasi 8-10 Bervariasi 2001-2500 12-15 Bervariasi 10-12 Bervariasi Cukup bulan >2500 15-18 20-25 12-15 18-20 9. Edukasi • • • Kunci tata laksana hiperbilirubinemia adalah mengidentifikasi proses non fisiologis yang menjadi penyebab dasar meningkatnya kadar bilirubin serum Fasilitas yang tidak dilengkapi dengan instrumen atau teknik diagnostik yang diperlukan harus merujuk neonatus ke fasilitas yang tingkatannya lebih tinggi Terapi sinar tidak boleh digunakan pada kasus hiperbilirubinemia direk 10. Prognosis Hiperbilirubinemia fisiologis • Ad vitam : dubia ad bonam • Ad sanationam : dubia ad bonam • Ad fungsionam : dubia ad bonam Hiperbilirubinemia non fisiologis • Ad vitam : dubia ad malam • Ad sanationam : dubia ad malam • Ad fungsionam : dubia ad malam 11. Tingkat Evidens I 12. Tingkat Rekomendasi Level C 13. Penelaah Kritis • • • • dr. Agus Harianto, SpAK dr. Risa Etika, SpAK dr. Martono Tri Utomo, SpAK dr. Dina Angelika, SpA Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 150 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 HIPERBILIRUBINEMIA PADA BAYI BARU LAHIR 14. Indikator Medis • dr. Kartika Darma Handayani, SpA • • Gejala klinis ikterus menghilang, kadar bilirubin normal Hiperbilirubinemia fisiologis terjadi 50-60% pada bayi cukup bulan dan 80% pada bayi kurang bulan, gejala klinis keseluruhan menghilang dalam 2 minggu Pada hiperbilirubinemia non fisiologis, ikterus bertahan >14 hari 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 7 hari • • 15. Kepustakaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 288-300. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 304-339. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 42-8. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Santosa GI, Usman A, eds. Buku ajar neonatologi, edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2008; 147-69. American Academic of Pediatrics. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004; 114; 297-316. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 181-91. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 151 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 HIPOGLIKEMIA PADA BAYI BARU LAHIR 1. Pengertian (definisi) Hipoglikemi adalah keadaan hasil pengukuran kadar glukosa darah kurang dari 45 mg/dL (2.6 mmol/L). 2. Anamnesis • • • • • • 3. Pemeriksaan Fisik Gejala Hipoglikemi : tremor, jittery, keringat dingin, letargi, kejang, distress nafas 4. Kriteria Diagnosis • • • • 5. Diagnosis Hipoglikemia 6. Diagnosis Banding • • • • Riwayat bayi menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi, dan gangguan pernapasan Riwayat bayi prematur Riwayat bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK) Riwayat bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK) Riwayat bayi dengan ibu Diabetes Mellitus Riwayat bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan Terdapat gejala klinis hipoglikemia Kadar glukosa darah <45 mg/dL Pemantauan glukosa di tempat tidur untuk penapisan dan deteksi awal Hipoglikemia harus dikonfirmasi oleh nilai laboratorium serum jika memungkinkan Penyakit SSP (perdarahan, infeksi) Sepsis Asfiksia Abnormalitas metabolik (hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia, hipomagnesemia, defisiensi piridoksin) Insufisiensi adrenal • 7. Pemeriksaan Penunjang • • • • • • • 8. Terapi a. Gula darah Darah lengkap Serum elektrolit (natrium, kalsium, fosfat, dan magnesium) Faal pembekuan darah Pungsi lumbal USG kepala MRI kepala Monitor Pada bayi yang beresiko (BBLR, BMK, bayi dengan ibu DM) perlu dimonitor dalam 3 hari pertama : • Periksa kadar glukosa saat bayi datang/ umur 3 jam • Ulangi tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai pemeriksaan glukosa normal dalam 2 kali pemeriksaan • Kadar glukosa ≤45 mg/dL atau gejala positif tangani hipoglikemia • Pemeriksaan kadar glukosa baik, pulangkan setelah 3 hari penanganan hipoglikemia selesai b. • • • Penanganan hipoglikemia dengan gejala atau kadar glukosa <25 mg/dL Bolus glukosa 10% 2 mL/kg pelan-pelan dengan kecepatan 1 mL/menit Pasang jalur iv D10 sesuai kebutuhan (kecepatan infus glukosa/ GIR 6-8 mg/kg/menit GIR (mg/kg/menit) = Kecepatan cairan (cc/jam) x konsentrasi dextrose (%) 6 x BB (kg) • • • • Konsentrasi glukosa tertinggi untuk infus perifer adalah 12,5%, bila lebih dari 12,5% digunakan vena sentral. Periksa glukosa darah pada : 1 jam setelah bolus dan tiap 4 jam Bila kadar glukosa masih <25 mg/dL, dengan atau tanpa gejala, ulangi seperti diatas Bila kadar 25-45 mg/dL, tanpa gejala klinis : - Infus D10 diteruskan - Periksa kadar glukosa tiap 3 jam - ASI diberikan bila bayi dapat minum Bila kadar glukosa ≥ 45 mg/dL dalam 2 kali pemeriksaan - c. • • • Ikuti petunjuk bila kadar glukosa sudah normal (lihat ad d) ASI diberikan bila bayi dapat minum dan jumlah infus diturunkan pelan Jangan menghentikan infus secara tiba-tiba Kadar glukosa darah <45 mg/dL tanpa GEJALA : ASI teruskan Pantau, bila ada gejala manajemen seperti diatas Periksa kadar glukosa tiap 3 jam atau sebelum minum, bila : - Kadar < 25 mg/dL, dengan atau tanpa gejala tangani hipoglikemi (lihat ad b) - Kadar 25-45 mg/dL naikkan frekuensi minum Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 152 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 HIPOGLIKEMIA PADA BAYI BARU LAHIR d. • • • • e. Kadar ≥ 45 mg/dL manajemen sebagai kadar glukosa normal Kadar glukosa normal IV teruskan IV teruskan Periksa kadar glukosa tiap 12 jam Bila kadar glukosa turun, atasi seperti diatas (lihat ad b) Bila bayi sudah tidak mendapat IV, periksa kadar glukosa tiap 12 jam, bila 2 kali pemeriksaan dalam batas normal, pengukuran dihentikan Persisten hipoglikemia (hipoglikemia lebih dari 7 hari) Konsultasi endokrin Terapi : kortikosteroid hidrokortison 5 mg/kg/hari 2 x/hari iv atau prednison 2 mg/kg/hari per oral, mencari kausa hipoglikemia lebih dalam • Bila masih hipoglikemia dapat ditambahkan obat lain: somatostatin, glukagon, diazoxide, human growth hormon, pembedahan. (jarang dilakukan) • • 9. Edukasi • • Pemantauan glukosa bisa dihentikan setelah bayi mulai menerima asupan dengan penuh atau mendapatkan infus glukosa terus menerus secara teratur dan 3 kali pemeriksaan yang dilakukan setiap jam hasilnya >45 mg/ dL Jika tanda kembali timbul dan pemberian asupan tidak bisa ditoleransi, mulai lagi dari awal 10. Prognosis Ad vitam Ad sanationam Ad fungsionam 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi Level C 13. Penelaah Kritis dr. Agus Harianto, SpAK dr. Risa Etika, SpAK dr. Martono Tri Utomo, SpAK dr. Dina Angelika, SpA dr. Kartika Darma Handayani, SpA 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan • • • 1. 2. 3. 4. : dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam Tidak didapatkan gejala klinis hipoglikemia dan kadar gula darah normal 80% membaik dalam 24 jam 80% pasien sembuh dalam waktu 7 hari Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call problems disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 313-7. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri Neonatal Emergensi Dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 56-7. Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 284-96. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 35-6. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 153 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 KEJANG PADA BAYI BARU LAHIR 1. Pengertian (definisi) Gangguan sementara fungsi otak dengan manifestasi gangguan kesadaran episodik disertai abnormalitas sistem motorik atau otonomik 2. Anamnesis • • • • • • • • 3. Pemeriksaan Fisik • Riwayat hipoksik-iskemik ensefalopati o general (asfiksia neonatorum) o fokal (infark karena kelainan arteri atau vena) Riwayat perdarahan intrakranial (intraventrikular, subdural, trauma ) Riwayat infeksi SSP (TORCH, meningitis, sepsis) Riwayat gangguan metabolik o transient (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia) o kelainan metabolisme bawaan (a.l.: defisiensi piridoxin) Riwayat kelainan kongenital SSP (hidrosefalus, hidransefali, porensefali, kelainan pembuluh darah otak) Riwayat ensefalopati bilirubin (kern ikterus) Riwayat maternal drug withdrawal (heroin, barbiturates, methadone, cocaine, morfin) Idiopatik • Subtle (samar) : kedipan mata, gerakan seperti mengayuh, apnea lebih dari 20 detik dengan detak jantung normal, tangisan melengking, mulut seperti mengunyah/ menghisap Tonik (fokal dan general) : gerakan tonik seluruh ekstremitas, fleksi ekstremitas atas disertai ekstensi ekstremitas bawah Klonik (fokal dan multifokal). Fokal : gerakan ritmis, pelan, menghentak klonik. Multifokal : gerakan klonik beralih dari ekstremitas yang satu ke ekstremits yang lain tanpa pola spesifik. Mioklonik (fokal, multifokal, general) : gerakan menghentak multipel dari ekstremitas atas dan bawah. Anamnesis Gejala klinis Pemeriksaan penunjang : laboratorium, USG kepala, EEG • • 4. Kriteria Diagnosis • • • 5. Diagnosis Neonatal seizures 6. Diagnosis Banding • • • • 7. Pemeriksaan • • • • • • • • • • • Penunjang 8. Terapi Jitteriness Gerakan tidur mioklonus Apnea pada saat tidur Gerakan mengisap yang terputus Darah lengkap Gula darah Serum elektrolit (natrium, kalsium, fosfat, dan magnesium) Faal pembekuan darah Kadar billirubin dan faal hati Pemeriksaan TORCH Analisa gas darah Pungsi lumbal USG kepala MRI kepala EEG • • Pertahankan homeostasis sistemik (pertahankan jalan nafas, usaha nafas dan sirkulasi) Terapi etiologi spesifik o Dekstrose 10% 2 mL/kg BB intravena bolus pelan dalam 5 menit o Kalsium glukonas 10 % 200 mg/kg BB intravena (2 mL/kg BB) diencerkan aquades sama banyak diberikan secara intra vena dalam 30 menit (bila diduga hipokalsemia) o Antibiotika bila dicurigai sepsis atau meningitis o Piridoksin 50-100 mg/kg IV sebagai terapeutik trial pada defisiensi piridoksin, kejang akan berhenti dalam beberapa menit • Terapi antikejang o Fenobarbital: Loading dose 20 mg/kg BB intravena dalam 15 menit, jika tidak berhenti dapat diulang dengan dosis 5 mg/kg BB tiap 5 menit sampai total 40 mg/kg atau kejang berhenti. o Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin: loading dose 20 mg/kg BB intra vena kecepatan 1 mg/kg/menit o Bila masih kejang dapat diberikan : Diazepam 0,3 mg/kg/jam (dengan support ventilasi mekanik) Midazolam 0,2 mg/kg iv kemudian 0,1-0,4 mg/kg/jam o Rumatan fenobarbital dosis 3-5 mg/kg BB/hari dapat diberikan secara intravena/intramuskuler/peroral , dimulai 24 jam setelah loading dose o Rumatan fenitoin dosis 4-8 mg/kgBB/hari intravena dimulai dalam 12 jam setelah loading dose Penghentian obat anti kejang dapat dilakukan 2 minggu setelah bebas kejang dan penghentian obat anti kejang sebaiknya dilakukan sebelum pulang kecuali didapatkan lesi otak bermakna pada USG atau CT Scan Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 154 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 KEJANG PADA BAYI BARU LAHIR kepala atau adanya tanda neurologi abnormal saat akan pulang. 9. Edukasi • • Bayi yang mengalami kejang mungkin mempunyai lebih dari satu penyebab, misalnya HIE dengan hipokalsemia, atau sepsis dengan hipoglikemia Klinisi seharusnya tidak hanya mendiagnosis kejang saja tanpa mengetahui penyebab dasarnya 10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam Ad sanationam : dubia ad malam Ad fumgsionam : dubia ad malam 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi Level C 13. Penelaah Kritis dr. Agus Harianto, SpAK dr. Risa Etika, SpAK dr. Martono Tri Utomo, SpAK dr. Dina Angelika, SpA dr. Kartika Darma Handayani, SpA 14. Indikator Medis • • • 15. Kepustakaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. Tidak didapatkan gejala kejang Bila penyebabnya sekunder (metabolik), 70% gejala menghilang dalam 24 jam bila penyebabnya teratasi 80% Pasien sembuh dalam waktu 2 minggu Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call problems disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 374-9. Bergin AM. Neonatal seizures. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 729-42.. Depkes RI. Klasifikasi kejang. Dalam: Buku bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode tepat guna untuk paramedis, bidan dan dokter. Depkes RI, 2001. Young TE, Mangum B. Neofax. Dalam: Neofax, edisi ke-7, 2004: 154-155. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 273-80. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri Neonatal Emergensi Dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 84-92. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 155 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 SEPSIS NEONATORUM 1. Pengertian (Definisi) Suatu sindroma respon inflamasi janin / FIRS disertai gejala klinis infeksi yang diakibatkan adanya kuman di dalam darah pada neonatus. • FIRS (Fetal inflammatory response syndrome/ Sindroma respon inflamasi janin) Bila ditemukan dua atau lebih keadaan : laju napas > 60 x/menit atau <30 x/menit atau apnea dengan atau tanpa retraksi dan desaturasi oksigen, suhu tubuh tidak stabil (< 360C atau > 37,50C), waktu pengisian kapiler > 3 detik, hitung leukosit < 4.000 x 109/L atau > 34.000 x 109/L • TERDUGA/ SUSPEK SEPSIS Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai gejala klinis infeksi • TERBUKTI/ PROVEN SEPSIS Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai bakteremia / kultur darah positif • Laboratorium : o Leukositosis (> 34.000 x 109/L) o Leukopenia (< 4.000 x 109/L) o Netrofil muda >10% o Perbandingan netrofil immatur (stab) dibanding total (stab+segmen) atau I/T ratio > 0,2 o Trombositopenia < 100.000 x 109/L) o CRP > 10 mg/dl atau 2 SD dari normal • Klasifikasi : 1. Early Onset (dini): terjadi pada 5 hari pertama setelah lahir dengan manifestasi klinis yang timbulnya mendadak, dengan gejala sistemik yang berat, terutama mengenai sistem saluran pernafasan, progresif dan akhirnya syok 2. Late Onset (lambat): timbul setelah umur 5 hari dengan manifestasi klinis sering disertai adanya kelainan sistem susunan saraf pusat 3. Infeksi nosokomial yaitu infeksi yang terjadi pada neonatus tanpa resiko infeksi yang timbul lebih dari 48 jam saat dirawat di rumah sakit 2. Anamnesis • • • 3. Pemeriksaan Fisik • • • • • Antenatal: paparan terhadap mikroorganisme dari ibu (Infeksi ascending melalui cairan amnion, adanya paparan terhadap mikroorganisme dari traktur urogenitalis ibu atau melalui penularan transplasental) Selama persalinan: trauma kulit dan pembuluh darah selama persalinan, atau tindakan obstetri yang invasif Postnatal: adanya paparan yang meningkat postnatal (mikroorganisme dari satu bayi ke bayi yang lain, ruangan yang terlalu penuh dan jumlah perawat yang kurang), adanya portal kolonisasi dan invasi kuman melalui umbilikus, permukaan mukosa, mata, kulit • • • • • Suhu tubuh tidak stabil (<36 ⁰C atau >37,5 ⁰C) Laju nadi >180 x/menit atau <100 x/menit Laju nafas >60 x/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen,apnea atau laju nafas <30 x/menit Letargi Intoleransi glukosa: hiperglikemia (plasma glukosa >10 mmol/L atau >170 mg/dl) atau hipoglikemia ( <2,5 mmol/L atau < 45 mg/dL) Intoleransi minum Tekanan darah < 2 SD menurut usia bayi Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (usia 1 hari) Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (usia < 1 bulan) Pengisian kembali kapiler/ capillary refill time > 3 detik 4. Kriteria Diagnosis • • • Anamnesis Gejala klinis Kultur darah positif 5. Diagnosis • • Sepsis awitan dini Sepsis awitan lambat 6. Diagnosis Banding Kelainan bawaan jantung, paru, dan organ-organ lain. 7. Pemeriksaan Penunjang • • • • • • Darah rutin Hapusan darah tepi Kadar C-reactive protein (CRP) Kultur darah Pungsi lumbal dan kultur cairan serebrospinal Foto polos dada 8. Terapi 1. Diberikan kombinasi antibiotika golongan Ampisilin dosis 50 mg/kg BB/dosis i.v (tiap 12 jam untuk neonatus umur ≤7 hari, dan tiap 8 jam untuk neonatus umur >7 hari), dan gentamisin 4-5 mg/kg/dosis tiap 24 jam. Dosis Ampisilin untuk meningitis adalah 100 mg/kgBB/dosis i.v (tiap 12 jam untuk neonatus umur ≤7hari, dan tiap 8 jam untuk neonatus umur >7 hari). Dilakukan septic work up sebelum antibiotika diberikan : darah lengkap, urine lengkap, feses lengkap, kultur darah, kultur cairan serebrospinal, urine dan feses (atas indikasi), pungsi lumbal dengan analisa 2. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 156 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 SEPSIS NEONATORUM 3. 4. 5. 6. 7. • • cairan serebrospinal (jumlah sel, kimia, pengecatan Gram), foto polos dada, pemeriksaan CRP kuantitatif. Pemeriksaan lain tergantung indikasi seperti pemeriksaan bilirubin, gula darah, analisa gas darah, foto abdomen, USG kepala dan lain-lain. Apabila gejala klinik dan pemeriksaan ulang tidak menunjukkan infeksi, pemeriksaan darah dan CRP normal, dan kultur darah negatif maka antibiotika diberhentikan pada hari ke-7. Bila kultur positif antibiotika disesuaikan dengan hasil kultur. Apabila gejala klinik memburuk dan atau hasil laboratorium menyokong infeksi, CRP tetap abnormal, maka diberikan Meropenem i.v. dengan dosis 20 mg/kg BB/dosis tiap 12 jam i.v .Lama pemberian antibiotika 10-14 hari. Pada kasus meningitis pemberian antibiotika minimal 21 hari. Pengobatan suportif meliputi : Termoregulasi, terapi oksigen/ventilasi mekanik, terapi syok, koreksi asidosis metabolik, terapi hipoglikemi/hiperglikemi, transfusi darah, plasma, trombosit, terapi kejang, transfusi tukar, imunoglobulin. 9. Edukasi 10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam Ad sanationam : dubia ad malam Ad fungsionam : dubia ad malam 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi Level C 13. Penelaah Kritis dr. Agus Harianto, SpAK dr. Risa Etika, SpAK dr. Martono Tri Utomo, SpAK dr. Dina Angelika, SpA dr. Kartika Darma Handayani, SpA 14. Indikator Medis • • • Gejala klinis sepsis tidak ada Kultur darah negatif 80% Pasien sembuh dalam waktu 2 minggu 15. Kepustakaan 1. 2. Haque KN. Definitions of bloodstream infection in the newborn. Pediatr crit Care Med 2005; 6(3): 45-9. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 665-72. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri neonatal emergensi dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 92-7. Puopolo KM. Bacterial and fungal infections. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 624-55. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 19-20. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 213-20. 3. 4. 5. 6. Pada sepsis yang didiagnosis secara klinis, jangka waktu terapi 10-14 hari Pada meningitis, jangka waktu terapi 14-21 hari Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 157 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 ABSES OTAK 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi Proses peradangan purulen yang terisolir di antara jaringan otak, baik disertai pembentukan kapsul atau tidak • Sakit kepala merupakan keluhan dini yang paling sering dijumpai (70-90%). • Terkadang juga didapatkan mual, muntah dan kaku kuduk (25%). • Adanya riwayat penyakit jantung bawaan sianotik, infeksi sinus atau mastoid • Adanya riwayat prosedur bedah saraf, trauma kepala maupun kondisi imunosupresi • Panas tidak terlalu tinggi. • Kejang biasanya bersifat fokal. • Gangguan kesadaran mulai dari perubahan kepribadian, apatis sampai koma. • Apabila dijumpai papil edema menunjukkan bahwa proses sudah berjalan lanjut. • Dapat dijumpai hemiparese dan disfagia. • Defisit neurologis fokal menunjukkan adanya edema di sekitar abses. 1. Anamnesis dan gejala klinis yang spesifik 2. Hasil neuro imaging (CT Scan atau MRI dengan kontras) Abses otak 1. Tumor di daerah serebropontin 2. Abses ekstradural 3. Empiema subdural 1. Pemeriksaan laboratorium : o Darah : jarang dapat memastikan diagnosis. Biasanya lekosit sedikit meningkat dan laju endap darah meningkat pada 60% kasus o Cairan Serebro Spinal (CSS) : dilakukan bila tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial (TIK) oleh karena dikhawatirkan terjadi herniasi 2. Pemeriksaan radiologi: CT Scan: CT-scan kepala dengan kontras dapat dipakai untuk memastikan diagnosis. Stadium serebritis awal (1-3 hari), serebritis lanjut (4-9 hari), formasi kapsul dini (10-14 hari) dan formasi kapsul lanjut (>14 hari) Stadium awal hanya didapatkan daerah hipodens dan daerah irreguler yang tidak menyerap kontras. Pada stadium lanjut didapatkan daerah hipodens dikelilingi cincin yang menyerap kontras. Penatalaksanaan medikamentosa dengan atau tanpa aspirasi dilakukan pada stadium serebritis, abses multipel dan abses yang didapatkan pada daerah kritis Pada penatalaksanaan medikamentosa diberikan: 1. Cefotaxime 200 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis atau Ceftriaxone 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis 2. Metronidazole 15 mg/KgBB/dosis IV kemudian dilanjutkan dengan 7,5 mg/KgBB/dosis IV/PO setiap 6 jam hari (maksimal 4 g/hari). Antibiotik diberikan selama kurang lebih 6 minggu. 3. Apabila didapatkan peningkatan TIK dapat diberikan: a. Mannitol dosis awal 0,5-1 mg/KgBB IV kemudian dilanjutkan 0,25-0,5 mg/KgBB IV setiap 4-6 jam b. Dexamethasone dosis awal 0,5 mg/KgBB IV dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,5 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 3 dosis atau Methylprednisolone dosis awal 1-2 mg/KgBB IV dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,5 mg/KgBB/dosis setiap 6 jam. Pengurangan dosis (tappering off) dimulai pada hari ke 5 Perhatian: Steroid dapat menghambat penetrasi antibiotik pada abses dan menghambat pembentukan dinding abses yang berakibat abses mudah pecah dan terjadi meningitis. Penatalaksanaan bedah: • Aspirasi stereotactic • Kraniotomi • 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi Neuroendoskopi Penjelasan tentang komplikasi dan prognosis penderita. Sebelum era antibiotik mortalitas mencapai 40-60%. 2. Banyaknya komplikasi dan kematian disebabkan karena abses serebri yang multiple, adanya GCS yang turun dan meningitis. 3. Penjelasan terhadap adanya rekurensi. 4. Keterlambatan diagnosis mempunyai kontribusi terhadap derajat berat penyakit. • Angka mortalitas mencapai 4-12 %. • Kejang bersifat kronis cukup sering didapatkan dan terkadang bermanifestasi setelah beberapa tahun pasca abses serebri 4 C 1. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 158 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 ABSES OTAK 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan 1. Prof. Darto Saharso SpA(K) 2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA • Pengobatan dengan cefotaxime menunjukkkan angka kesembuhan 76 % pada kasus abses otak • Tingkat mortalitas setelah pasien menjalani tindakan bedah adalah sebesar 15%. • 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 6 minggu 1. Helweg-Larsen J, Astradsson A, Richhall H, Erdal J, Laursen A, Brennum J. Pyogenic brain abscess, a 15 year survey. BMC Infect Dis 2012;12:332. 2. Shachor-Meyouhas Y, Bar-Joseph G, Guilburd JN, Lorber A, Hadash A, Kassis I. Brain abscess in children - epidemiology, predisposing factors and management in the modern medicine era. Acta Paediatr 2010;99(8):1163-7. 3. Jansson AK, Enblad P, Sjolin J. Efficacy and safety of cefotaxime in combination with metronidazole for empirical treatment of brain abscess in clinical practice: a retrospective study of 66 consecutive cases. Eur J Clin Microbiol Infect Dis 2004;23(1):7-14. 4. Kao PT, Tseng HK, Liu CP, Su SC, Lee CM. Brain abscess: clinical analisys of 53 cases. J Microbiol Immunol Infect;36:129-136 5. Tauber MG, Schaad UB. Bacterial infections of the nervous system. Dalam Swaiman KF. Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF ed. Pediatric neurology principles and practice. Edisi kelima. Philadelphia: Elsevier; 2012. Hal 1241-61. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 159 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 BELL’S PALSY 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis 11. 12. Tingkat Evidens Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis Suatu paralisis nervus fasialis unilateral yang bersifat mendadak, tidak diketahui sebabnya (idiopatik) yang mengakibatkan ketidakmampuan pengontrolan otot wajah pada sisi yang terkena • Nyeri telinga didekat mastoid • Kesulitan menutup mata • Kesulitan menggunakan otot wajah secara normal • Kesulitan minum dan makan karena gangguan mulut pada sisi yang terkena • Riwayat infeksi saluran pernafasan sebelumnya • Bell’s palsy ditegakkan setelah kondisi-kondisi infeksi, inflamasi, injuri, neoplasma, penyakit metabolik, dan kelainan kongenital dapat disingkirkan. • Parese nervus facialis unilateral. • Gangguan sensoris pada daerah yang terkena, • Drooling • Gangguan pengecapan • Gangguan pendengaran • Pengeluaran air mata berlebihan. • Anamnesis yang spesifik • Pemeriksaan neurologi parese N VII perifer Bell’s Palsy 1. Palsy nervus fasialis yang lain, yang terkait: a. Infeksi b. Penyakit metabolik c. Injuri d. Kelainan congenital 2. Lesi UMN supranuklear (lokasi lesi di atas nucleus fasialis di Pons) sepertiga atas N Fasialis normal, sedangkan duapertiga di bawahnya mengalami paralysis 3. Tumor jinak skull 4. Aneurisma serebral 5. Meningioma 6. Sklerosis multiple 1. ELISA terhadap HSV 2. Tidak ada pemeriksaan laboratorium lain yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bell’s palsy 3. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan CT-scan/MRI dilakukan bila dicurigai adanya fraktur atau metastase neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multiple, AIDS, dan CNS 4. Pemeriksaan Elektrofisiologi - Untuk mengetahui fungsi N fasialis - Jarang dilakukan 1. Steroid - Prednisolone oral 1 mg/kgbb/hari selama 10 hari 2. Anti virus - Acyclovir oral 10-20 mg/kgbb/hari 3. Kombinasi steroid & anti virus Diterangkan bahwa sebagian Bell’s palsy akan membaik tanpa deformitas, tetapi 1/3 penderita mengalami sekuele berupa: regenerasi motorik tidak lengkap dengan tanda epifora, inkompeten oral, & obstruksi nasal. Regenerasi sensorik tidak lengkap (gangguan pengecapan), ageusia ( kehilangan pengecapan), diasthesia ( kehilangan sensasi atas stimulasi) 1. Pemulihan lengkap dengan gejala sisa 2. Pemulihan tidak lengkap pada fungsi motorik, tetapi tidak ada defek pada kosmetik 3. Kecacatan menetap yang nyata IV C 1. 2. Prof. Darto Saharso SpA(K) dr Prastiya Indra Gunawan SpA Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 160 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 BELL’S PALSY 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan Angka kesembuhan dengan terapi steroid 88,2%, sedangkan dengan kombinasi steroid dan anti virus sekitar 91,2% 1. Eudocia CQ,Shafali SJ, Rajeev HM, Manveen KB, Anton YP. The benefits of steroids versus steroids plus antivirals for treatment of Bell’s palsy: a meta-analysis. BMJ. 2009; 339 2. Evangelos P, Anastasia G, M Arampatzi. Facial nerve palsy in childhood. The Japanese Society of Child Neurology. 2010; 33. 644-650 3. Smith SA, Quvrier R. Peripheral neuropathies. Dalam Swaiman KF. Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF ed. Pediatric neurology principles and practice. Edisi kelima. Philadelphia: Elsevier; 2012. Hal 1503-8. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 161 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 | INFEKSI CYTOMEGALO VIRUS (CMV) KONGENITAL 1. 2. Pengertian (Definisi) Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan Infeksi yang terjadi pada bayi dari ibu penderita CMV selama masa kehamilan • Mayoritas bayi yang lahir dengan infeksi CMV congenital adalah asimtomatik. • Pada bayi baru lahir, didapatkan IUGR, ikterus, bercak perdarahan dibawah kulit (ptekie sampai purpura), bayi tidak bergerak aktif dan malas minum. • Letargi, hiper/hipotoni, ikterus, hepatomegaly, splenomegali, • Gejala neurologi: mikrosefali, chorioretinitis, kejang, tuli neural sensorik dan perubahan tonus otot 1. Gejala klinis yang spesifik 2. Deteksi virus (identifikasi CMV-DNA) dengan PCR pada sampel urine, saliva, darah atau cairan serebrospinal sebelum 3 minggu pertama usia 3. IgM anti CMV positif 4. CT-Scan kepala tampak leukomalacia atau atrofi kortikal atau efusi subdural atau perdarahan otak Infeksi CMV kongenital 1. Infeksi rubella kongenital 2. Toksoplasmosis congenital 1. Deteksi virus (identifikasi CMV-DNA) dengan PCR pada sampel urine, saliva, darah atau cairan serebrospinal sebelum 3 minggu pertama usia 2. Deteksi antigen atau IgM CMV di darah 3. Pada ibu: serokonversi IgG diantara 2 sampel serum yang diambil dengan jark 2-3 minggu adalah diagnosis yang nyata adanya infeksi primer. 4. Pemeriksaan SGOT meningkat > 300 IU, bilirubin direct > 30 mg/dl, dan trombositopenia 20.000125.000/mm3 5. CT Scan kepala: tampak leukomalasia periventrikular, atrofi kortikal, pembesaran ventrikel unilateral/ bilateral, efusi subdural dan perdarahan otak • Gansiklovir 6 mg/kgBB/dosis IV drip dalam 1 jam, diberikan tiap 12 jam selama 6 minggu atau • Valgansiclovir oral dengan dosis 15 mg/kg BB setiap 12 jam selama 6 minggu • Terapi suportif 1. Menjelaskan pengobatan yang akan diberikan, jangka waktu pengobatan, cara pemberian dan efek samping pengobatan ganciclovir yakni granulocytopenia, anemia, tromobositopenia. 2. Menjelaskan prognosis infeksi CMV sesuai dengan kelainan yang terjadi pada penderita 3. Jika infeksi CMV sudah dikonfirmasi, klasifikasikan simtomatik atau asimtimatik dan dilakukan monitoring 1,3,6 dan 12 bulan dan secara periodik sampai usia sekolah dengan tujuan mendeteksi sekuele dengan onset lambat. 4. Konseling orang tua apabila merencanakan memiliki anak lagi untuk berkonsultasi pada dokter agar tidak terjadi penularan pada bayinya • Bayi dengan congenital CMV 90% mengalami sekuele tumbuh kembang sperti palsi serebral, epilepsi, gangguan sensori-neural, retardasi mental, gangguan tingkah laku dan kebutaan • Angka mortalitas mencapai 5-30% • Lesi intracranial pada neuroimaging berhubungan dengan gangguan intelektual >80% kasus IV C 1. Prof. Darto Saharso SpA(K) 2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA 1. 10-15% penderita dengan pengobatan gancyclovir mengalami sensorineural sekuele 2. Netropenia terjadi pada pada 63% anak yang sedang menjalani terapi gansiklovir dan 38% anak yang menjalani terapi valgansiklovir 3. Pasien akan sembuh dalam waktu 2-3 minggu perawatan 1. Buosenso D, Seranti D, Gargiullo L, Ceccareli M, Ranno O, Valentini P. Congenital cytomegalovirus infection: current strategies and future perspectives. Eur Rev Med Pharmacol Sci. 2012; 16:919-35 2. Cheeran MC, Lokensgard JR, Schleiss MR. Neuropathogenesis of congenital Cytomegalovirus infection: disease mechanism and prospects for intervention. Clin Microbiol Rev. 2009; 22: 99-126 3. Nasetta L, Kimberlin D, Whitley R. Treatment of congenital cytomegalovirus infection: implications for future therapeutic strategies. JAC . 2009; 63: 862-7 4. Kenneson A, Cannon MJ. Review and meta-analysis of the epidemiology of congenital cytomegalovirus (CMV) infection. Rev Med Virol. 2007; 17: 253-76 5. Maria BL, Bale JF. Infections of the nervous system. Dalam Menkes Jh, Sarnat HB, Maria BL editor. Child Neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2006. Hal 457-8. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 162 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 163 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 PALSI SEREBRAL 1. 2. Pengertian (Definisi) Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis Palsi Serebral atau Cerebral Palsy (CP) adalah Sekelompok kelainan pergerakan dan postur yang menyebabkan keterbatasan aktivitas yang terjadi karena gangguan non progresif yang muncul pada masa perkembangan otak janin/bayi Anemnesis ibu merupakan hal yang penting (yang mendorong ibu minta pertolongan pengobatan) : • Anak belum dapat berjalan; • Belum dapat duduk; • Terlambat bicara • Kaki gemetar • Gerakan kurang pada sisi badan • Mata juling. Anamnesis saat kehamilan dan persalinan : • infeksi saat kehamilan (rubella, sifilis, tocoplasma, sitomegalovirus) • percobaan pengguguran • ibu dengan penyakit kronis, • Trauma • Toksemia • IUGR • ibu usia <17 tahun atau >35 tahun • perdarahan antepartum • trauma persalinan • asfiksia • berat lahir rendah, prematur • hipoglikemia • hiperbilirubinemia kern ikterus • syok • Paralisis spastik (paraparesis, diplegia, kuadriparesis, hemiparesis, monoparesis); • Atetosis; • Koreoatetosis; • Distonia/atonia; • Tremor; • Rigiditas; • Ataksia; • Kelainan bahasa; • Hiperkinesis/hipokinesis. • Disfungsi handung kemih; • Drooling • Malnutrisi • Gangguan pendengaran • Mata: gangguan visus, gerakan bola mata, strabismus, dan nistagmus • Gangguan pola tidur • Psikomotorik : gangguan tingkah laku dan lain-lainnya Berdasarkan aspek klinis dan anatomis, sindrom palsi serebral diklasifikasikan : 1. Abnormalitas motorik: a. Tipe abnormalitas tonus (hipertoni atau hipotoni) atau tipe dari gerakan abnormal (ataxia, distonia, choreoatetosis) b. Keparahan keterbatasan fungsional 2. Gangguan penyerta (contoh: kejang, gangguan kgnitif, pendengaran, visual dan perilaku) 3. Anatomi dan temuan radiologi a. Bagian tubuh yang terlibat contoh: diplegia, hemiplegia dan quadriplegia b. Hasil pencitraan Beberapa sindrom palsi serebral yang umum: 1. CP spastik diplegia Kelumpuhan anggota gerak bilateral ekremitas bawah dengan derajat tertentu gangguan ekstremitas atas, 80% kasus pada bayi prematur. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 163 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 PALSI SEREBRAL 2. CP spastik Hemiplegik Kelumpuhan 2 anggota gerak sepihak, anggota gerak atas lebih berat, kerusakan traktus kortikospinalis unilateral. 30% kasus. 3. CP spastic kuadriplegi Gejala peningkatan tonus otot menyeluruh, spastisitas yang nyata disertai tanda-tanda keterlibatan traktus kortikospinal. Disertai gangguan menelan dan artikulasi dan inkordinasi otit faring. Terkadang bisa dijumpai gangguan visus maupun auditori. 4. CP Atetotik/Koreoatetotik Keterlibatan entrapiramidal, dijumpai gerakan abnormal involunter dengan amplitude tinggi, tremor, balismus maupun mioklonus. 5. CP Ataksia Kelainan pada serebelum dan serabut asosiasinya, ataksia merupakan gejala utama. 5. Diagnosis 6. Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi Diagnosis CP secara umum berdasarkan pada anamnesa dan gejala klinik. Tim diagnostik dan penatalaksanaan CP ini meliputi : 1. Tim Inti : • Neuropediatri • Dokter Gigi • Psikolog • Perawat • Fisioterapi (terapi kerja, terapi bicara) • Pekerja Sosial (pengunjung rumah) 2. T im Konsultasi : • Tim Tumbuh Kembang Anak dan Remaja • Dokter Bedah (Ortopedi) • Dokter Mata • Dokter THT • Psikiater Anak • Guru SLB (cacat tubuh, tunanetra, tunarungu) • Inherited metabolic disorder • Metabolic myopathies • Metabolic neuropathy • Traumatic peripheral nerve lesion • Vascular malformation of the spinal cord Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari penyebab dan prognosisnya : Pemeriksaan TORCH Neuro imaging : CT scan/ MRI (63% abnormal) Test perkembangan : gangguan bicara (90% kasus) Psikologik : test IQ (juga penting untuk terapi dan rehabilitasi) Audiometri untuk mendeteksi ketulian A. Medikamentosa, untuk mengatasi spastisitas : 1. Benzodiazepin : • Usia < 6 bulan tidak direkomendasi • Usia > 6 bulan: 0,12-0,8 mg/KgBB/hari PO dibagi 6-8 jam (tidak lebih 10 mg/dosis) 2. Baclofen 0.2 mg/kg setiap 8 jam 3. Haloperidol : 0,03 mg/KgBB/hari PO dosis tunggal (untuk mengurangi gerakan involunter) 5. I n j e k s i Botox : • Usia < 2 tahun belum direkomendasikan Dosis rekomendasi 0.5-2 U/kgBB B. Terapi Perkembangan Rehabilitasi Medik dengan terapi fisik dan okupasi C. Terapi bedah 1. Dorsal rhizotomy 2. Tendon lengthening D. Lain-lain : 1. Pendidikan khusus 2. Penyuluhan psikologis 3. Rekreasi a. Bila diagnosis CP tegak, dianjurkan untuk melakukan komunikasi dan transfer informasi yang baik Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 164 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 PALSI SEREBRAL 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan kepada orang tua tentang kondisi dan prognosis penderita b. CP tidak mempengaruhi fungsi reproduksi, sehingga memungkinkan penderita dapat mempunyai anak • Anak dengan CP akan mengalami retardasi mental 52%, gangguan bahasa dan bicara 38%, gangguan pendengaran 12%dan epilepsi 34-94%. IV C a. Prof. Darto Saharso SpA(K) b. dr Prastiya Indra Gunawan SpA • Probabilitas mencapai usia 20 tahun mencapai 50% pada CP berat. • Kemampuan untuk duduk diusia 2 tahun mempunyai adalah prediksi untuk kemampuan mandiri di masa mendatang. • Penderita CP yang memerlukan nasogastric tube selama tahun awal kehidupan mempunyai angka mortalitas 5 kali lebih besar dibanding yang dengan oral feeding. 1. Ashwal, B. Practice Parameter: Diagnostic assessment of the child with cerebral palsy: Report of the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology and the Practice Committee of the Child Neurology Society. Neurology 2004;62:851-63. 2. Druschel C, Althuizes HC, Funk JF, Placzek R. Off label use of botulinum toxin in children under two years of age: a systematic review. Toxins 2013;5:60-72. 3. Novak I, Hines M, Goldsmith S, Barclay R. Clinical prognostic messages from a systematic review on cerebral palsy. Pediatrics 2012;130:1285-1312. 4. Gudiol MV, Calafat CB, Farres MG, Algra MH, Baxter KM, et al. Treadmill interventions with partial body weight support in children under six years of age at risk of neuromotor delay: a report of a Cochrane systematic review and meta analysis. Eur J Phys Rehabil Med 2013;49:67-91. 5. Jan MMS. Cerebral palsy: comprehensive review and update. Ann Saudi Med 2006;26:123-32. 6. Pakula AT, Braun KMV, Allsopp MY. Cerebral palsy: classification and epidemiology. Phys Med Rehabil Clin N Am 2009;20:425-52. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 165 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 EPILEPSI LOBUS TEMPORALIS 1. 2. Pengertian (Definisi) Anamnesis Kejang berulang tanpa provokasi yang berasal dari medial atau lateral lobus temporalis. Semiologi kejang: • Biasanya berupa kejang parsial sederhana tanpa gangguan kesadaran, dengan atau tanpa aura, dan dapat berupa kejang parsial kompleks dengan gangguan kesadaran. • Aura dijumpai pada 80% penderita ELT. • Aura yang timbul dapat berupa gejala penciuman, ilusi, halusinasi penglihatan dan halusinasi pendengaran. • 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan Fenomena psikis yang dapat timbul adalah dejavu, depersonalisasi dan derealisasi, juga dapat disertai dengan perasaan cemas dan takut. • Otomatisasi gerak bibir, gerakan mengecap, mengunyah atau menelan berulang • Postur distonik unilateral tungkai • Penderita menjadi diam, mata melebar, pupil dilatasi 1. Gejala klinis Kejang dengan semiologi khas aktivasi lobus temporalis 2. EEG: gelombang paku atau tajam regio temporal anterior, mid-temporal atau temporal posterior, ataupun TIRDA (temporal intermittent rhythmic delta activity) 3. MRI: abnormalitas regio temporalis atau Hipocampal mesial sclerosis Epilepsi lobus temporalis 1. Epilepsi lobus frontalis 2. Epilepsi Rolandic 3. Continous spike wave during slow wave sleep 4. Landau Klefner syndrome Pemeriksaan radiologi : MRI : dijumpai atropi hipokampus pada 87% penderita Pemeriksaan EEG : Gelombang paku dan gelombang tajam yang diikuti dengan gelombang lambat pada regio temporal anterior, mid-temporal atau regio temporal posterior atau TIRDA (temporal intermittent rhythmic delta activity) • Carbamazepine dosis awal 5 mg/KgBB/hari PO, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan 15-20 mg/KgBB/hari PO, atau • Asam valproat dosis awal 15 mg/kgBB/hari terbagi 2-3 dosis PO selama 2 tahun bebas kejang • Bila tidak ada respons dapat dilakukan stimulai N. Vagus atau pembedahan lobektomi temporal anterior. • Gejala klinis Pemahaman terhadap adanya kejang atau tidak • Terapi Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan OAE jangka panjang Pendidikan penanganan kejang akut Pemahaman terhadap efek samping obat • Tumbuh Kembang Banyak terkait gangguan motorik, speech, tingkah laku maupun problem belajar • Anak dengan abnormal imaging termasuk tumor, cortical dysplasia atau mesial temporal sclerosis mempunyai kemungkinan menjadi intraktabel cukup tinggi dan dipertimbangkan untuk operasi resektif. • Rata-rata bebas kejang pasca temporal lobektomi dengan mesial temporal sclerosis adalah 86%. • Anak dengan epilepsy mempunyain resiko tinggi untuk komorbiditas dengan penyakit psikiatri IV C 1. Prof. Darto Saharso SpA(K) 2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA • Anak dengan OAE pertama yang gagal, 51% respon terhadap OAE kedua • Remisi mencapai 29% bila gagal diterapi dengan 2 macam obat dan 10% bila gagal diterapi dengan 3 obat 1. Nickels KC, Kisiel LC, Moseley BD, Wirell EC. Temporal lobe epilepsy in children. Ep Research and Treat 2011;2012:1-16. 2. Sillanpaa M, Haalaja L, Tomson T, Svern I. Carbamazepine. Dalam Shorvon S, Perucca E, Engel J ed. Treatment of epilepsy 3rd ed. Oxford: Wiley-Blackwell; 2009. Hal 459-74. 3. Fernando C, Kahare P, Brode M, Anderman F. The Mesio-temporal lobe epilepsy syndrome. Dalam Roger J, Bureau M, Dravet C ed. Epileptic syndrome in infancy, childhood and adolescence 4th ed. Hal 565-75. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 166 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 SINDROMA GUILLAIN-BARRÉ (SGB) (=Guillain-Barré Syndrome (GBS) atau Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) atau Acute Febrile Polyneuritis) 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis 11. 12. Tingkat Evidens Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis Suatu acute immune mediated polineuropathy yang mengenai system syaraf perifer, bersifat ascending paralysis, kelemahan motorik yang progresif dan arefleksi dalam 4 minggu, dimulai dari tungkai dan lengan ke tubuh. Sering disertai gangguan sensorik, otonomik dan abnormalitas batang otak. Timbulnya didahului oleh infeksi virus. • Kelemahan motorik yang progresif dan arefleksia dimulai dari tungkai dan lengan ke tubuh pada sebagian besar kasus, dan perubahan sensasi nyeri seiring hilangnya system syaraf otonom pada sebagian kasus. • Komplikasi SGB dapat mengancam hidup terutama apabila mengenai otot-otot pernafasan dan system syaraf otonom. • Sering didahului infeksi virus 2-4 minggu sebelumnya, sulit kencing (10-15%), nyeri (50%), sehingga anak menjadi rewel dan iritabel • Kelemahan otot ascending dan hilangnya refleks fisiologis (Tanda khas SGB) yang simetris. • Kelemahan kaki (dropfoot) merupakan gejala pertama, dan kelemahan ini dapat mengenai otot-otot pernafasan hingga membutuhkan respirator. • Instabilitas otonom (26%), berupa neuropati otonomik yang mengenai sistim simpatis dan parasimpatis dengan manifestasi klinis berupa hipotensi ortostatik, disfungsi pupil, pengeluaran keringat abnormal dan takikardia. • Ataksia (23%) • Gangguan saraf kranial (35-50%) • Kelemahan motorik progresif dan asending • Pemeriksaan neurologi: kelemahan motorik dan arefleksia • Pemeriksaan neurofisiologi EMG-NCV spesifik Sindroma Guillain Barre 1. Poliomyelitis 2. Myositis akut 3. Lesi medulla spinalis 1. Analisa LCS • 48 jam I : normal • Minggu II : diikuti kenaikan kadar protein, tanpa/ disertai kenaikan lekosit (albuminocytologic dissociation) 2. Pemeriksaan elektrofisiologi EMG dan NCV (Nerve Conduction Velocity) • Minggu I : terjadi pemanjangan / hilangnya F-response (88%), prolonge distal latencies (75%), blok pada konduksi (50%) • Minggu II : terjadi penurunan potensial aksi otot (100%), prolong distal latencies (92%) dan penurunan kecepatan konduksi (84%) 3. Pemeriksaan radiologi MRI sebaiknya dilakukan pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala SGB. Pemeriksaan dengan menggunakan kontras gadolinium memberikan gambaran peningkatan penyerapan kontras 1. IVIG (Intravenous Imunoglobulin) 0,4 g/kgBB/hari, iv, selama 5 hari. Perbaikan klinis mulai tampak setelah hari ke 2-3. • Plasmafaresis dilakukan 4-5 kali dalam waktu 7-10 hari (hati-hati dapat terjadi hiperkalsemia, perdarahan karena kelainan pembekuan darah dan gangguan otonom). 2. Steroid 3. Dexamethasone 0,5 mg/ kgBB/ hari dibagi dalam 3 dosis (kontroversial) 4. Rehabilitasi medis diperlukan pada penderita yang sakit lama 5. Alat bantu pernafasan (respirator) apabila terjadi kelumpuhan pada otot-otot pernafasan • Memberikan penjelasan mengenai pengobatan • Memberikan penjelasan mengenai prognosis penderita 1. Sembuh sempurna (75-90%), 20% masih bisa berjalan sampai lebih dari 6 bulan 2. Sembuh dengan gejala sisa berupa drop foot atau tremor postural (25-36%) 3. Kambuh (kambuh atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu ke-4 = Chronic Inflamatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP)) 4. Kematian (1-5%) akibat gagal nafas, terutama pada SGB tipe aksonal dengan kelumpuhan hebat. IV C 1. Prof. Darto Saharso SpA(K) 2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA • 10% dengan kecacatan yang menetap • 25 % memerlukan ventilator • 5% meninggal • Perbaikan pada pemberian steroid iv 60,6%, pada steroid oral 47,1%, plasma exchange + IVIG 61%, IVIG Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 167 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 SINDROMA GUILLAIN-BARRÉ (SGB) (=Guillain-Barré Syndrome (GBS) atau Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) atau Acute Febrile Polyneuritis) • • • 15. Kepustakaan dibandingkan plasma exchange 58,2% Pemberian IVIG dapat mencegah kematian 2,4-6,3% Pemberian steroid dapat mencegah kekambuhan sebesar 6,5-14,3% Pasien akan sembuh dalam waktu 2-3 minggu 1. RAC Hughes, AV Swan, JC Raphael, R van Koningsveld, PA Van Doorn. Immunotherapy for GuillainBarre syndrome: a systematic review. Brain. 2007; 130: 2245-2257 2. M Fish, G Llewelyn. A Guillain-Barre Syndrome. ACNR. 2008; 8: 10-12 3. Smith SA, Quvrier R. Peripheral neuropathies. Dalam Swaiman KF. Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF ed. Pediatric neurology principles and practice 5th ed. Philadelphia, Elsevier 2012. Hal 1508-10. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 168 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 HIDROSEFALUS 1. Pengertian (Definisi) Hidrosefalus adalah suatu keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinalis, disebabkan baik oleh produksi yang berlebihan maupun gangguan absorpsi, dengan atau pernah disertai tekanan intrakanial yang meninggi sehingga terjadi pelebaran ruangan-ruangan tempat aliran cairan serebrospinalis. Terdapat 2 tipe: komunikan dan non komunikan. 2. Anamnesis • 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis Pada anak : Bila sutura kranialis sudah menutup, terjadi tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial : M untah proyektil Nyeri kepala Kejang Kesadaran menurun Anak : • Pembesaran lingkar kepala • Papiledema Bayi : Pada bayi, kepala dengan mudah membesar sehingga akan didapatkan gejala : • Kepala makin membesar • Vena-vena kepala prominen • Ubun-ubun melebar dan tegang • Sutura melebar • “Cracked-pot sign”, yaitu bunyi seperti pot kembang yang retak atau buah semangka pada perkusi kepala • Perkembangan motorik terlambat • Perkembangan mental terlambat • Tonus otot meningkat, hiperrefleksi (refleks lutut/akiles) • “Cerebral cry”, yaitu tangisan pendek, bernada tinggi dan bergetar • Nistagmus horizontal • “Sunset phenomena”, yaitu bola mata terdorong ke bawah oleh tekanan dan penipisan tulang tulang supraorbita, sklera tampak di atas iris, sehingga iris seakan-akan seperti matahari yang akan terbenam. • Anamnesis kepala yang membesar • Pemeriksaan fisik yang spesifik • Pemeriksaan penunjang CT Scan atau MRI kepala Hidrosefalus 1. Ciri keluarga (familial feature) 2. Megaensefali 3. Hidransefali 4. Tumor otak 5. Cairan subdural (subdural effusion) - Pemeriksaan darah : Tidak ada pemeriksaan darah khusus untuk hidrosefalus - X foto kepala kranium yang membesar atau sutura yang melebar - USG kepala : dilakukan bila ubun-ubun besar belum menutup. - CT-Scan/MRI kepala: untuk mengetahui adanya pelebaran ventrikel dan sekaligus mengevaluasi struktur-struktur intraserebral lainnya. - Analisis cairan serebrospinal pada hidrosefalus akibat perdarahan atau meningitis untuk mengetahui kadar protein dan menyingkirkan kemungkinan ada infeksi sisa. - EEG untuk mengevaluasi kemajuan klinis. Abnormalitas EEG dapat ditemukan fokal, difus dan berguna mendeteksi kejang. Farmakologis : mengurangi volume cairan serebrospinalis • Acetazolamide 25 mg/kgBB/hari PO dibagi dalam 3 dosis (maksimal 100mg/KgBB/hari) • Furosemide 1 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 3-4 dosis Pembedahan • Ventrikuloperitoneal shunt • Endoskopi • Pengukuran lingkaran kepala secara berkala. Pengukuran ini penting untuk melihat pembesaran kepala yang progresif atau lebih dari normal. • Hidrosefalus membutuhkan perawatan jangka panjang • Komplikasi pemasangan shunt :malfungsi, infeksi dan terkadang membutuhkan revisi • Hidrosefalus yang tidak diterapi mortalitas mencapai 50% • Prognosis jangka panjang sangat dipengaruhi oleh penyebab hidrosefalusnya • Hidrosefalus yang diterapi bedah survival rate mencapai 90% dan IQ normal pada 2/3 pasien • Mortalitas karena hidrosefalus dan terapinya antara 0 – 3% tergantung pada lamanya follow up. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 169 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 HIDROSEFALUS 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan • Infeksi shunt terjadi antara 1 5 – 30 %. • Epilepsi terjadi 6 – 30% penderita IV C 1. Prof. Darto Saharso SpA(K) 2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA • 60% anak dengan hidrocephalus dapat bersekolah (meskipun terdapat banyak kesulitan) • 40% anak relatif dapat hidup normal • 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3-5 hari perawatan 1. Ventakaramana NK. Hydrocephalus indian scenario – a review. Jour of pediatr neurosciences 2011;6:11-22. 2. Vinchon M. Pediatric hydrocephalus outcomes : a review. Fluid and barrier of the CNS 2012;9:1-10 3. Rekate HL. A contemporary definition and classification of hydrocephalus. Semin Pediatr Neurol 2009;16:9-15. 4. Groat J. Review of the treatment & management of hydrocephalus. US pharm 2013;13. 5. Menkes JH, Sarnat HB, Sarnat F. Malformations of the central nervous system. Dalam Menkes Jh, Sarnat HB, Maria BL editor. Child Neurology 7th ed. Lippincott William and Wilkins, Philadelphia. 2006. Hal 330-49. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 170 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 ENSEFALITIS HERPES SIMPLEKS 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. 7. Diagnosis Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan Inflamasi parenkim otak yang disebabkan infeksi virus Herpes tipe 1 (HSV-1) dan tipe 2 (HSV-2). • Demam • Nyeri kepala • Gejala psikiatrik • Kejang • Muntah • Kelemahan otot fokal • Hilangnya memori • Gangguan status mental • Fotofobia • Kelainan gerakan • Pada neonatus gejala mulai tampak pada usia 4-11 hari berupa letargik, malas minum, iritabel dan kejang • Gangguan kesadaran • Demam • Disfasia • Ataxia • Kejang fokal > general • Hemiparesis • Gangguan saraf otak • Hilangnya lapangan pandang dan papiledema. Pada neonatus : • temperatur tidak stabil • Ubun-ubun besar menonjol • Tanda traktus piramidalis • Ikterus • Renjatan • Perdarahan • Distres nafas • Lesi kulit yang khas. 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang spesifik 2. EEG spesifik 3. PCR CSS pada minggu pertama sakit 4. Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala dengan kontras) 5. Biopsi otak Ensefalitis herpes simpleks Meningitis aseptic 1. Analisis CSS : Pada minggu pertama dapat normal, pleositosis mononuklear, peningkatan ringan protein, kadar glukose normal/menurun ringan, jumlah sel normal. Kultur CSS dapat positif pada neonates 2. PCR : sensitif dan spesifik 3. MRI : Merupakan pilihan utama, lesi bermakna pada lobus temporalis bagian medial dan bagian inferior lobus frontalis 4. EEG: Cukup sensitif tapi tidak spesifik 5. Biopsi otak: Merupakan pemeriksaan definitif untuk menegakkan diagnosis 1. Acylovir 10-20mg/KgBB/dosis setiap 8 jam IV drip dalam 1 jam selama 10 hari. 2. Terapi suportif lainnya (anti kejang, obat penurun panas, oksigenasi, nutrisi parenteral dan enteral). 1. Infeksi SSP HSV harus selalu dipertimbangkan pada anak-anak yang mengalami kejang parsial dengan febris dan penurunan kesadaran. 2. Perlunya pemantauan jangka panjang terhadap komplikasi yang ditimbulkan pasca HSE. 3. Outcome neurologis yang buruk dikaitkan dengan keterlambatan inisiasi terapi aciclovir Jika tidak diterapi mortalitas HSE mencapai 70% dan jika hidup maka defisit neurologi yang berarti mencapai 97% IV C 1. Prof. Darto Saharso SpA(K) 2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA Gejala sisa neurologis serta cacat berat dikaitkan dengan keterlambatan inisiasi terapi acyclovir. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 14 hari 1. Kelly C, Sohal A, Michael BD, Riordan A, Solomon T, Kneen R. Suboptimal management of central nervous system infections in children: a multi-centre retrospective study. BMC Pediatrics 2012;12:145-52. 2. Ward KN, Ohrling A, Bryant NJ, Bowley JS, Ross EM, Verity CM. Herpes simplex serious Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 171 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 ENSEFALITIS HERPES SIMPLEKS 3. neurological disease in young children: incidence and long-term outcome. Arch Dis Child 2012;97:162-165. James SH, Kimberlin DW, Whitley RJ. Antiviral therapy for herpesvirus central nervous system infections: neonatal herpes simplex virus infection, herpes simplex encephalitis, and congenital cytomegalovirus infection. Antiviral Res. 2009; 83(3): 207–213. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 172 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 KEJANG DEMAM 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (di atas 38°C), yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Dibagi menjadi 2 yakni kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks - Didapatkan riwayat panas disertai kejang - Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga yang lain Tidak spesifik Pemeriksaan neurologi dalam batas normal Kejang Demam Sederhana (KDS) : Kejang berlangsung singkat, < 15 menit Kejang umum tonik dan atau klonik Tanpa gerakan fokal Tidak berulang dalam 24 jam Kejang Demam kompleks (KDK) : Kejang lama > 15 menit Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam. Kejang Demam Diagnosis banding untuk kejang demam pertama kali: 1. Meningitis 2. Ensefalitis 3. Abses otak 1. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab (darah tepi, elektrolit dan gula darah). 2. X-ray kepala, CT-Scan kepala atau MRI tidak rutin dan hanya dikerjakan atas indikasi adanya kejang fokal atau hemiparese. 3. Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Bayi < 12 bulan : diharuskan 2. Bayi antara 12-18 bulan : dianjurkan 3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda menigitis. 4. EEG tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas (misalnya kejang demam komplikata pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal). 1. Penanganan Pada Saat Kejang •Menghentikan kejang: Diazepam dosis awal 0,3-0,5 mg/KgBB/dosis IV (perlahan-lahan) atau 0,40,6mg/KgBB/dosis rektal suppositoria. Bila kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan dosis yang sama 20 menit kemudian. •Turunkan demam : • Antipiretik : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO, keduanya diberikan sehari 3-4 kali • Kompres : suhu >39°C : air hangat; suhu > 38°C : air biasa •Pengobatan penyebab : antibiotik diberikan sesuai indikasi dengan penyakit dasarnya. 2. 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens Pencegahan Kejang • Pencegahan berkala (intermiten) untuk KDS dengan Diazepam 0,1 m g/KgBB/dosis PO dan antipiretik pada saat anak menderita penyakit yang disertai demam. 1. Meyakinkan penderita bahwa kejang demam mempunyai prognosis yang baik 2. Memberikan cara penanganan kejang yang benar 3. Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali 4. Tidak ada kontra indikasi pemberian vaksinasi pada penderita kejang demam 5. Pemberian obat untuk mencegah frekuensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek samping obat Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fumgsionam : dubia ad bonam IV Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 173 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 KEJANG DEMAM 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis C 14. Indikator Medis - 1. 2. - 15. Kepustakaan 1. 2. 3. 4. 5. dr. Prastiya Indra Gunawan SpA Prof. dr. Darto Saharso SpA(K) Hampir semua anak mempunyai prognosis yang baik Anak usia dibawah 12 bulan yang mengalami kejang demam mempunyai kemungkinan sebesar 50% terjadi rekurensi . 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 2 hari American academy of pediatrics subcommittee on febrile seizures. Febrile seizure: Guideline for the neurodiagnostic evaluation of the child with a simple febrile seizure. Pediatrics 2011;127:389-94. Kundu GK, Rabin F, Nandi ER, Sheikh N, Akhter S. Etiology and risk factors of febrile seizure – an update. Bangladesh J Child Helath 2010;34:103-12. American academy of pediatrics subcommittee on febrile seizures. Febrile seizures: clinical practice guidelines for the long-term management of the child with simple febrile seizures. Pediatrics 2008;121:1281-6. Berg AT, Shinnar S, Hausser WA, Leventhal JM. Predictors of recurrent febrile seizure: a metaanalytic review. J Pediatr 1990;116:329-37 Shloma Shinnar. Dalam Swaiman KF. Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF ed. Pediatric neurology principles and practice. Edisi kelima. Philadelphia: Elsevier; 2012. Hal 790-7. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 174 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 MATI OTAK 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik Mati Otak (MO) atau Brain Death adalah suatu diagnosis klinis berdasarkan hilangnya fungsi neurologis akibat suatu koma ireversibel. Koma dan apnea merupakan persyaratan untuk mendiagnosa mati otak. • Koma dan apnea harus ada untuk mendiagnosis mati otak • Keadaan yang harus diperhatikan sebelum menentukan mati otak: • Hipotensi, hipotermi, dan gangguan metabolik yang dapat mempengaruhi pemeriksaan neurologi harus dikoreksi • Sedatif, analgesik, agen blokade neuromuscular, dan antikejang seharusnya dihentikan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan eliminasi half-life dari setiap obat untuk meyakinkan bahwa obatobat tersebut tidak mempengaruhi pemeriksaan fisik • Pemeriksaan mati otak direkomendasikan untuk dilakukan 2 orang dokter berbeda yang terlibat dalam perawatan anak dipisah dalam suatu periode observasi. • Rekomendasi periode observasi untuk neonatus (37 minggu usia gestasi sampai usia 30 hari) adalah 24 jam dan 12 jam untuk bayi dan anak (>30 hari sampai usia 18 tahun). Pemeriksaan pertama adalah untuk menentukan mati otak dan pemeriksaan kedua untuk mengkonfirmasi kondisi mati otak berdasarkan kondisi yang tetap dan ireversibel. Tahap 1 a. Identifikasi kausa koma • Traumatic brain injury • Anoxic brain injury • Penyakit metabolik yang diketahui • Penyakit lain yang harus dispesifikasikan b. Koreksi dari faktor yang dapat mempengaruhi pemeriksaan neurologi: • Temperatur inti tubuh >95° F(35°C) • Tekanan sistolik atau MAP dalam batas normal (tekanan sistolik tidak kurang dari 2 SD sesuai usia) • Obat sedatif/analgesik dieksklusi sebagi faktor perancu • Intoksikasi metabolic dieksklusi sebagai faktor perancu • Blokade neuromuscular dieksklusi sebagai faktor perancu Jika semua semua faktor sudah dieksklusi bisa lanjut ke tahap 2. Tetapi bila ada faktor perancu langsung ke tahap 4. Tahap 2 Pemeriksaan fisik; (reflek spinal cord dapat diterima) 1. Tonus flaksid, pasien tidak berespon terhadap stimulus nyeri yang dalam 2. Refleks cahaya pupil: tidak ada respons terhadap cahaya bilateral, pupil dilatasi dan posisi di tengah. 3. Reflek cornea, batuk dan muntah tidak ada. (Refleks kornea : tidak dijumpai kedipan mata dengan mengoles mata dengan ujung kapas; Refleks oro-faringeal : tidak dijumpai refleks muntah dengan stimulasi pada faring posterior; Refleks trakeobronkial: kateter penghisap dimasukkan melalui endotracheal tube hingga mencapai karina atau lebih dalam. Tidak didapatkan refleks batuk) 4. Tidak didapatkan reflek sucking dan rooting 5. Refleks vestibulo-okular (tes kalori) : pemeriksaan ini tidak boleh dikerjakan jika ada perforasi membrana timpani. Tes ini dikerjakan pada posisi kepala terangkat 30o dengan melakukan irigasi 6. membrana timpani pada satu sisi dengan 10 cc air es. Lakukan irigasi selama 1 menit pada tiap telinga dan jarak pemeriksaan antara 2 telinga sebaiknya berkisar 5 menit. Deviasi tonik pada mata secara langsung terhadap stimulus kalori dingin tidak dijumpai pada MO. Tidak didapatkan usaha bernafas sewaktu dalam ventilasi mekanik Jika ada elemen yang tidak bisa dilakukan maka langsung ke tahap 4. Tahap 3 Tes apnea : Tidak didapatkan usaha bernafas meskipun PaCO 2 ≥60 mmHg dan a ≥20mmHg peningkatan diatas garis dasar PaCO 2 . Jika tes apnea merupakan kontra indikasi atau tidak dapat dilakukan maka langsung ke tahap 4. Prasyarat : penderita harus dalam keadaan kardiovaskuler dan respirasi yang stabil • Sesuaikan setting ventilator untuk memelihara PaCO 2 berkisar 40 mmHg • Pra-oksigenasi dengan O 2 100% selama 5-10 menit • Diskoneksi dari ventilator • Berikan 100% O 2 melalui kateter trakea dengan aliran 6 l/menit • Monitoring O 2 saturasi dengan pulse oxymetri Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 175 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 MATI OTAK • 2 • • • Ukur PaCO 2 mmHg setelah 5 menit lalu setelah 8 menit jika PaCO 2 tidak melebihi 60 mmHg 2 hubungkan kembali penderita dengan ventilator Pemutusan hubungan dengan ventilator tidak boleh melebihi 10 menit pada satu kali pemeriksaan Tes apnea positif : jika tidak ada usaha bernafas dengan PaCO >60mmHg Jika selama tes apnea terjadi hipotensi yang bermakna, desaturasi yang nyata atau aritmia kardiak, 2 secara langsung dilakukan pemeriksaan BGA, hubungkan segera kembali dengan ventilator. Seharusnya pada keadaan PaCO 2 <60mmHg, hasil tes dikatakan belum pasti. Selanjutnya pertimbangan diserahkan kepada pediatri untuk menentukan kapan tes dapat diulang atau tergantung dari tes lain untuk menegakkan diagnosis klinis Mati otak. Tahap 4 Tes tambahan Diperlukan bila: 1. Jika ada komponen dari pemeriksaan atau tes apnea tidak dapat dilakukan 2. Jika ada ketidakjelasan hasil dari pemeriksan fisik 3. Jika ada efek medikasi yang nyata Tes tambahan yakni: 1. EEG yang menyatakan electroserebral silence 2. Pemeriksaan Cerebral Blood Flow (CBF) yang menyatakan tidak ada perfusi cerebral 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. 7. Diagnosis Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan • Evaluasi prasyarat sebelum inisiasi mati otak • Evaluasi pemeriksaan fisik, tim penguji dan periode observasi • Tes apnea • Studi tambahan Mati Otak 1. EEG 2. Pemeriksaan CBF Penjelasan bahwa mati otak mempunyai prognosis yang buruk Ad vitam : dubia ad malam Ad sanationam : dubia ad malam Ad fumgsionam : dubia ad malam IV C 1. 2. • • 1. 2. 3. 4. Prof. Darto Saharso SpA(K) dr Prastiya Indra Gunawan SpA Pemeriksaan tambahan tidak diperlukan untuk mendiagnosis mati otak kecuali dalam keadaan tertentu CBF studi dapat dilakukan dengan radionuclide CBF Nakagawa TA, Ashwal SA, Mathur M, Mysore M. Guidelines for the determination of brain death in infants and children : an update of the 1987 task force recommendations-executive summary. Ann Neur 2012;71(4):573-85 Tath B, Ekici B. Brain death in children.Turk Arch Ped 2011;46:94-8 Shewmon DA. Chronic brain death : Meta-analysis and conseptual consequences. Neurology 1998;51:1538-45 Monteiro LM, Bollen CW, van Huffelen AC, Ackerstaff RGA, Jansen NJG, van Vught AJ. Transcranial doppler ultrasonography to confirm brain death: a meta analysis. Intensive Care Med 2006;32:1937-44. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 176 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 MENINGITIS BAKTERI 1. Pengertian (Definisi) Meningitis adalah suatu reaksi keradangan yang mengenai satu atau semua lapisan selaput yang membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang menimbulkan eksudasi berupa pus atau serosa, disebabkan oleh bakteri spesifik/non spesifik atau virus. 2. Anamnesis Neonatus • G ejala tidak khas • Panas ± • Bayi tampak malas, lemah, tidak mau minum, muntah, dan kesadaran menurun • Pernafasan tidak teratur Anak umur 2 bulan-2 tahun : • Gambaran klasik (-) • Hanya panas, muntah, gelisah, kejang berulang • Kadang-kadang “high pitched cry” Anak umur > 2 tahun : • Panas, menggigil, muntah, nyeri kepala 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi • Kejang • Gangguan kesadaran Neonatus • Ubun-ubun besar kadang-kadang cembung Anak • Tanda-tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig (+) 1. Gejala klinis: panas, muntah, kejang 2. Pemeriksaan fisik: tanda rangsang meningeal positif pada anak 3. Pemeriksaan analisis cairan serebrospinal dari lumbal pungsi Meningitis 1. Meningismus 2. Abses otak 3. Tumor otak Pemeriksaan analisis cairan serebrospinal : Meningitis Bakteri Tekanan Meningkat Warna Keruh Total White blood cell >1000 Polymorphonuclear cells +++ Mononuclear celss + Protein Meningkat Glucosa ↓↓ Gram stain Positive Pemeriksaan radiologi : o X-foto dada : untuk mencari kausa meningitis o CT- Scan/MRI kepala dengan kontras: dilakukan bila didapatkan tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial dan lateralisasi Pemeriksan lain: • Darah : LED, CRP, lekosit, hitung jenis, biakan • Air kemih : biakan • Cairan serebrospinal: biakan Farmakologis : a. Rekomendasi obat anti infeksi empiris : Pasien Antibiotik Dosis (iv) Neonatus/ Ampicillin + 50-100 mg/kg tiap 6-8 jam bayi<3bulan Cefotaxime/ 100 mg/kg tiap 8-12 jam Gentamicin 2,5 mg/kg tiap 8 jam Neonatus Vancomycin + 15 mg/kg tiap 8-24 jam prematur Ceftazidime 100 mg/kg tiap 8-12 jam Bayi usia > 3 Ceftriaxone / 100 mg/kg tiap 24 jam (max 4g) bulan Cefotaxime 100 mg/kg tiap 8jam (max 12 g) Durasi terapi antibiotik: Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 177 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 MENINGITIS BAKTERI Mikroorganisme Neisseria meningitides Haemophilus influenza Streptocccus pneumonia Streptococus agalactiae Basilus aerob gram negative Listeria monocytogenes Durasi terapi (hari) 7 7 10-14 14-21 21 21 b. Pengobatan simptomatis • Menghentikan kejang : • Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis rektal suppositoria, kemudian dilanjutkan dengan : • Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau • Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis • Menurunkan panas : • Antipiretik : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO diberikan 3-4 kali sehari • Kompres air hangat/biasa • Menurunkan proses inflamasi : • Deksamethason dosis 0.15 mg/kg iv tiap 6 jam selama 4 hari. Seharusnya dimulai sebelum pemberian antibiotik yang pertama. c. Pengobatan tambahan • Cairan intravena 2. Perawatan : Pada waktu kejang : • Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka • Hisap lendir • Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi • Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh) Bila penderita tidak sadar lama: • Beri makanan melalui sonde • Cegah dekubitus dan pneumonia ortostatik dengan • Merubah posisi penderita sesering mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan setiap 6 jam • Cegah kekeringan kornea dengan salep antibiotic • Bila mengalami inkontinensia urin lakukan pemasangan kateter • Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement • Pemantauan ketat : • Tekanan darah • Pernafasan • • • • 9. Edukasi 1. 2. 3. 10. Prognosis Nadi Produksi air kemih Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC Fisioterapi dan rehabilitasi. Deteksi dini terhadap kecurigaan meningitis bakteri dan kecepatan pemberian antibiotik sangat penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas Pemberian antibiotik empiris seharusnya berdasarkan epidemiologi local, usia dan factor resiko Penjelasan terhadap resiko komplikasi berupa peningkatan tekanan intracranial, hidrosefalus, infark ataupun subdural efusi yang bisa terjadi. Faktor yang terkait dengan prognosis yang buruk Etiologi: • Streptococcus pnenumonia • Bakteri enteric gram negative • Titer bakteri yang tinggi Pasien: • Bayi baru lahir • Status imunitas yang buruk Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 178 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 MENINGITIS BAKTERI 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan Derajat berat penyakit sewaktu MRS • Penyakit derajat berat • Adanya gejala neurologis fokal • Koma • Gangguan kardiovaskular • Tidak adanya panas Tipe manajemen • Memerlukan perawatan intensif • Terapi antibakteri yang tidak adekuat • Tidak adanya terapi antiinflamasi IV C 1. Prof. Darto Saharso SpA(K) 2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA • Imunoprofilaksis Vaksin H Influenzae type b efektif dan aman melindungi terhadap meningitis • Metaanalysis pemberian antibiotik untuk terapi meningitis bakteri selama 4-7 hari dan 7-14 hari tidak didapatkan perbedaan bermakna • Pemberian deksamethason dapat menurunkan resiko terjadinya gangguan pendengarab pasca meningitis bakteri • 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 2 minggu 1. Tauber MG, Schaad UB. Bacterial infections of the nervous system. Dalam Swaiman KF. Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF ed. Pediatric neurology principles and practice 5th ed. Philadelphia, Elsevier 2012. Hal 1241-61. 2. Maria BL, Bale JF. Infection of the nervous system. Dalam Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL. Child neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2006. Hal 433-48. 3. Prats JG, Gaspar AJ, Riberio AB, Paula GD, Boas LV et al. Systematic review of dexamethasone as adjuvant therapy for bacterial meningitis in children. Rev Paul Pediatr 2012;30:586-93. 4. Huy NT, Thao NTH, Diep DTN, Kikuchi M, Zamora J et al. Cerebrospinal fluid lactate concentration to distinguish bacterial from aseptic meningitis: a systemic review and metaanalysis. Crit care 2010;14:2-15. 5. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL, Kaufman BA, Roos KL. Practice guidelines for the management of bacterial meningitis. CID 2004;39:1267-83. 6. Beek D, Brouwer MC, Thwaites GE, Tunkel AR. Advances in treatment of bacterial meningitis. Lancet 2012;380:1693-702. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 179 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 | ATROPI SPINAL MUSKULAR (ASM) 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis Kelainan neurodegenerative otosomal resesif yang ditandai dengan kelemahan progresif lower motor neuron (LMN) yang disebabkan oleh delesi homozygote dari Survival Motor Neuron 1 (SMN 1). Kelemahan progresif tergantung pada tipe ASM. Tipe I didapatkan kelemahan otot, kesulitan menghisap, menelan dan bernafas, riwayat sianosis berkepanjangan saat lahir. Tipe II didapatkan gangguan tumbuh kembang terutama gangguan motorik (belum bisa berdiri atau duduk), tremor jari-jari. Tipe III didapatkan kelemahan otot proksimal yang progresif lambat, kesulitan melakukan gerakan motorik khusus misal naik tangga dan mendaki Tipe IV gejala mirip tipe III Sesuai dengan lesi LMN : 1.Kelemahan flaksid 2.Hipotonia 3.Refleks tendon menurun atau tidak ada 4.Fasikulasi 5.Atropi otot 1. Kelemahan otot tipe LMN yang progresif 2. NCV normal 3. CMAPs rendah 4. SMN 1 gen absen homozigote Atropi spinal muscular 1. Distropi muscular kongenital 2. Miopati kongenital 3. Miastenia gravis 4. Gangguan metabolism karbohidrat 1. Kadar craetinin kinase (CK) normal pada ASM tipe I dan sedikit meningkat pada 3 tipe lainnya 2. Analisa cairan serebro-spinal normal 3. Analisa kromosom, khususnya pada rantai 5q 4. NCV normal 5. Conduction Motor Action Potentials (CMAPs) dapat rendah normal atau menurun (tergantung tingkat keparahan penyakitnya), pada kelemahan kronis, CMAPs mendekati normal karena telah terjadi reinervasi dan kolateral 6. Biopsi otot pada awal penyakit tampak atropi serabut-serabut otot dan hipertropi kompensasi. Tampak degenerasi atau hilangnya SMN dengan gambaran neurogenik pada morfologi otot 1. Penatalaksanaan bersifat suportif, bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien dan meminimalkan kecacatan 2. Ventilasi non mekanik dapat diberikan pada penderita yang mengalami kelemahan otot pernafasan 3. Percutaneous gastrostomy diberikan pada penderita dengan kelemahan otot menelan untuk mencegah komplikasi dan memperbaiki nutrisi 4. Terapi pembedahan (koreksi skoliosis atau intervensi ortopedi lainnya) diindikasikan bila didapatkan kemungkinan harapan hidup yang lama 1. Penjelasan bahwa atrapi spinal muscular adalah kelainan yang disebabkan genetik 2. Menjelaskan tipe dari atrapi spinal muscular yang berhubungan dengan tingkat keparahan dan prognosisnya 3. Terapi yang diberikan hanya bersifat suportif untuk meningkatkan kulitas hidup penderita 4. Genetik konseling dilakukan pada orangtua penderita atrapi spinal muscular yang merencanakan untuk kehamilan berikut. Ad vitam : dubia ad malam Ad sanationam : dubia ad malam Ad fumgsionam : dubia ad malam IV C 1. Prof. Darto Saharso SpA(K) 2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA 1. 2. 3. 15. Kepustakaan 4. 1. 2. 3. Angka harapan hidup pada ASM tipe I usia 2 tahun adalah 32%, kebanyakan meninggal sebelum usia 18 bulan Pada ASM tipe II, angka harapan hidup usia 2 tahun adalah 100% dan usia 20 tahun 77% Pada ASM tipe III, angka harapan hidup tergantung onset penyakit. Bila onset < 3tahun angka harapan usia 2 tahun 98% dan 20 tahun 34%. Bila onset > 3 tahun, angka harapan usia 2 tahun 100% dan 20 tahun 67% Pada ASM tipe IV, angka harapan hidup usia 2 tahun adalah 100% dan usia 20 tahun 100% Lewelt A, Newcomb TM, Swoboda KJ. New therapeutic approaches to spinal muscular atrophy. Curr Neurol Neurosci Rep. 2012; 1: 42-53 Wadman RI, Bosboom WM, Van den Berg LH, Wokke JH, Lannaccone ST, Vrancken AF. Drug treatment for spinal muscular atrophy types II and III. Cochrane Database Syst Rev. 2011; 7: 12 Stavarchi M, Apostol P, Toma M, Cimponeiru D, Gavrila L. Spinal muscular atrophy disease: a literature review for teurapeutic strategies. Journal of Medicine and Life. 2010; 1: 3-9 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 180 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 | ATROPI SPINAL MUSKULAR (ASM) 4. 5. Montes J, Gordon AM, Pandya S, Devivo DC, Kafmann P. Clinical outcome measures in spinal muscular atrophy. J Child Neurol, 2009; 24: 968-78 Sarnat HB, Menkes JH. Disease of the motor unit. Dalam Menkes Jh, Sarnat HB, Maria BL editor. Child Neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2006. Hal 969-78. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 181 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 STATUS EPILEPTIKUS 1. Pengertian (Definisi) Bangkitan kejang yang berlangsung selama 30 menit atau lebih, baik secara terus menerus atau berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran di antara kejang. Teridiri dari 2 fase yakni fase I mekanisme terkompensasi dan fase II mekanisme tidak terkompensasi. Terdiri dari 2 kategori yakni konvulsif satus epileptikus dan nonkonvulsif status epileptikus. 2. Anamnesis • • • Lama kejang, sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik) Tingkat kesadaran di antara kejang Riwayat kejang sebelumnya, • Riwayat kejang dalam keluarga • Panas, • Trauma kepala • Riwayat persalinan, • Tumbuh kembang • Penyakit yang sedang diderita dan dahulu. 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 1. Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi : • Pelepasan adrenalin dan noradrenalin • Peningkatan cerebral blood flow dan metabolisme • Hipertensi, hiperpireksia • Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat 2. Fase (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi : • Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak • Depresi pernafasan • Disritmia jantung, hipotensi • Hipoglikemia, hiponatremia • Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC Bisa memakai salah satu dari kriteria dibawah: • Kejang berlangsung selama 30 menit atau lebih • Kejang berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang selama durasi 30 menit atau lebih Status epileptikus 1. Reaksi konversi 2. Syncope 1. Pemeriksaan darah ( darah tepi, elektrolit, gula darah, fungsi ginjal, fungsi hati, analisa gas darah) dianjurkan untuk evaluasi penyebab 2. CT Scan kepala bila ada indikasi perdarahan otak, tumor atau infeksi intrakranial 1. Tindakan suportif. Merupakan tindakan awal yang bertujuan menstabilisasi penderita (harus tercapai dalam 10 menit pertama), yaitu ABC : • Airway : Bebaskan jalan nafas • Breathing : Pemberian pernafasan buatan/bantuan nafas • Circulation : Pertahankan/perbaiki sirkulasi, bila perlu pemberian infus atau transfusi jika terjadi renjatan. 2. Hentikan kejang secepatnya. Dengan memberikan obat anti kejang, dengan urutan pilihan sebagai berikut (harus tercapai dalam 30 menit pertama) : Rute intravena: 1. Pilihan I : Golongan Benzodiazepin (Diazepam dosis 0.15/mg/kgBB ) 2. Pilihan II : Phenytoin loading 20 mg/kgbb dilanjutkan maintenance 3. Pilihan III : Phenobarbital loading dengan dosis 20 mg/kgBB dilanjutkan maintenance Rute intranasal: Midazolam intranasal dosis 0.2 mg/kgBB Rute intramuscular: Midazolam intramuscular 0.2 mg/kgBB 3. Pemberian obat anti kejang lanjutan 4. Mencari penyebab status epileptikus 5. Penatalaksanaan penyakit dasar Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 182 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 STATUS EPILEPTIKUS 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan 6. Mengatasi penyulit 7. Bila terjadi refrakter status epileptikus atasi dengan : • Midazolam, atau • Barbiturat (thiopental, phenobarbital, pentobarbital) 1. Menjelaskan komplikasi status epileptikus termasuk gejala neurologis fokal, gangguan kognitif maupun gangguan tingkah laku. 2. Keterlambatan penanganan akan berhubungan dengan respon terapi yang terlambat, farmakoresistensi dan mortalitas. 3. Resiko berulangnya status epileptikus tahun I 11-16% dan 2 tahun pertama 18%. Tergantung pada : • Penyakit dasar • Kecepatan penanganan kejang • Komplikasi Angka mortalitas konvulsif status epileptikus mencapai 3-11% IV C 1. Prof. Darto Saharso SpA(K) 2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA • Kegagalan untuk mendiagnosis dan manajemen terapi status epileptikus secara akurat akan menghasilkan mortalitas sebesar 3-7% dan morbiditas neurologi 9-28%. • Rute administrasi obat mempunyai peran penting dalam kecepatan penanganan 1. Sofou K, Kristjandottir R, Papachatzakis NE, Ahmadzadeh A, Uvebrant P. Management of prolonged seizures and status epilepticus in childhood: a systematic review. J of Chikd Neurol 2009;24:918-26. 2. Meier H, Boon P, Engelsen B, Gocke K, Shorvon S, et al. EFNS guideline on the management of stautus epilepticus. Eur J of Neurol 2006;13:445-50. 3. Brophy GM, Bell R, Allredge B, Bleck TP, Glausr T et al. Guidelines for the evaluation and management of status epilepticus. Neurocrit care 2012;17:3-23. 4. Arif H, Hirsch LJ. Treatment of status epilepticus. Seminars in neurology 2008;28:342-54. 5. Prasad K, Krishnan PR, Al Roomi K, Sequeira R. Anticonvulsant therapy for status epilepticus. Br J Clin Pharmacol 2007;63:640-7. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 183 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 GAGAL TUMBUH (FAILURE TO THRIVE) 1. Pengertian (Definisi) Failure to thrive (FTT) merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan kenaikan berat badan yang tidak sesuai dengan seharusnya, tidak naik (flat growth) atau turun dibandingkan dengan pengukuran sebelumnya (diketahui dari grafik pertumbuhan), terutama pada usia dibawah 3 tahun. Istilah yang lebih tepat adalah fail to gain weight bukan diterjemahkan sebagai gagal tumbuh, karena dalam hal ini yang dinilai hanyalah berat badan terhadap umur pada minimal 2 periode pengukuran (dapat memakai berat badan pada saat lahir). Tinggi badan dan lingkar kepala yang juga merupakan parameter pertumbuhan mungkin masih normal. Perpindahan posisi berat badan terhadap umur yang melewati lebih dari 2 persentil utama atau 2 standar deviasi ke bawah jika diplot pada grafik BB menurut umur. FTT juga belum tentu gizi kurang atau gizi buruk 2. Anamnesis Masa neonatal : FTT dapat disebabkan oleh manajemen ASI yang salah, cara pemberian susu formula yang salah (jumlah, cara pengenceran), kelainan metabolik, kelainan kromosom dan kelainan anatomis (rongga mulut, gastrointestinal, dll) Usia 3-6 bulan: kemungkinan penyebab antara lain underfeeding (karena kemiskinan), cara pembuatan formula yang salah, intoleransi protein susu, disfungsi motorik oral, refluks gastroesofagus,kelainan anatomis sal pencernaan atau gangguan malabsorbsi dan penyakit jantung bawaan. Usia 7-12 bulan : keterlambatan pemberian makanan padat, intoleransi makanan, penyakit infeksi, disfungsi motor oral, dan orang tua yang protektif. Diatas usia 12 bulan: masalah seperti usia diatas ditambah dengan masalah psikososial 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. Diagnosis 6. Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi Dilakukan pengukuran BB, TB, dan lingkaran kepala. Kemudian ditentukan status gizi anak tersebut. Pada pasien yang gizinya masih cukup, tidak ditemukan gejala yang khas, sedangkan anak dengan gizi kurang anak tampak kurus tanpa disertai kelainan fisis lain. Pasien yang mengalami gizi buruk terlihat cengeng, kurus sekali, ditemukan wasting, ekstremitas hipo/atrofi, crazy pavement dermatosis. Pasien FTT akibat kelainan kromosom atau genetik dapat terlihat dismorfik. Cari adanya kelainan fungsional atau kelainan anatomis,tanda infeksi. Perhatikan terhadap kemungkinan adanya child abuse. Pemeriksaan antropometris Gejala Klinis Pemeriksaan penunjang Diagnosis ditegakkan berdasar : 1. Pemeriksaan antropometris 2. Pemeriksaan klinis 3. Pemerisaan penunjang Bayi Prematur Bayi dengan intra uterin growth restriction Kelainan anatomis tulang: osteogenesis imperfecta,achondroplasia Darah tepi lengkap Urinalisis dan feses lengkap Kultur darah, urine Uji tuberculin Pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi sesuai penyakit dasar yang dicurigai (misal:analisis gas darah bila curiga adanya tubulopati, elektrolit, pemeriksaan laktat dan amoniak bila dicurigai penyakit inborn error, dll) Pemeriksan radiologis bila dicurigai adanya kelainan anatomis Mencari dan mengobati penyakit dasarnya apakah merupakan kelainan organik atau non organik Terapi Medikamentosa Diberikan bila ditemukan penyakit yang mendasari (underlying disease) Terapi Nutrisi Berikan menurut tahapan Asuhan Nutrisi Pediatri (Pediatric Nutrition Care) - Hitung kebutuhan kalori serta protein menggunakan prinsip BB ideal menurut PB atau TB saat ini dikalikan RDA kalori /protein sesuai dengan height age (PB atau TB saat ini ideal untuk usia berapa?), dimulai dengan kalori BB aktual dan dinaikkan bertahap sampai kalori BB ideal atau dimulai 50-60 % dari kalori BB ideal untuk menghindari refeeding syndrome - Asupan mineral dan vitamin yang berlebihan tidak terindikasikan Atur jadwal makanan sesuai feeding rule ( 3x makan, 1-2 x snack, susu/asi 3-4x) Stop pemberian jus, punch, soda sampai berat badan normal Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 184 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 GAGAL TUMBUH (FAILURE TO THRIVE) Evaluasi pemberian ASI pada bayi - 9. Edukasi 10. Prognosis Perbaiki manajemen laktasi Pastikan jumlah asupan serta jadwal pemberian ASI disesuaikan dengan kebutuhan bayi (on demand). Frekuensi pemberian berkisar antara 8-12 kali dalam 24 jam dengan lama pemberian minimal 10 menit disetiap payudara untuk memastikan asupan hind-milk Atasi masalah ibu misalnya kelelahan, stress, rasa lapar Waspada bila berat badan tidak naik atau tetap dalam 2 minggu Waspada bila anak tidak mau makan selama > 1 bulan FTT sederhana Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fumgsionam : dubia ad bonam FTT dengan kelainan kompleks Ad vitam : dubia ad malam Ad sanationam : dubia ad malam Ad fumgsionam : dubia ad malam 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan a. b. c. d. Prof. Dr. Boerhan Hidajat, dr, SpA(K) Dr. Roedi Irawan, dr, SpA(K) Siti Nurul Hidayati, dr, SpA(K) Nur Aisiyah Widjaja,dr,SpA(K) Berat badan naik, panjang /tinggi badan bertambah, lingkar kepala normal 1. Gahagan S. Failure to thrive: A consequences of undernutrition. Pediatr Rev. 2006;27:e-11. 2. Krugman SD,Dubowitz H. Failure to thrive. AAFP 2003: 68:879-84 3. Olsen OM, Petersen J, Skovgaard AM. Failure to thrive: the prevalence and concurrence of anthropometric criteria in a general infant population. Arch Dis Child 2007: 92; 109-114 4. Khoshoo V, Reifen R.Use of energy-dense formula for treating infants with non-organic failure to thrive. European Journal of Clinical Nutrition 2002:56;921-24 5. UKK NPM IDAI. Gagal Tumbuh. Dalam Standar Pelayanan Medis IDAI 2007 Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 185 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 KEP BERAT (MARASMUS, KWASHIORKOR, MARASMUS-KWASHIORKOR) 1. Pengertian (Definisi) KEP adalah penyakit atau keadaan klinis yang diakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan protein dan energi, dapat karena asupan yang kurang atau kebutuhan /keluaran yang meningkat atau keduanya secara bersama. Sering disertai dengan kekurangan zat gizi lain. Berdasarkan lama dan beratnya kekurangan energi dan protein, KEP diklasifikasikan menjadi KEP derajat ringan-sedang (gizi kurang) dan KEP derajat berat (gizi buruk). Gizi kurang belum menunjukkan gejala klinis yang khas, hanya dijumpai gangguan pertumbuhan dan anak tampak kurus.Pada gizi buruk secara klinis didapatkan 3 bentuk ,yaitu : kwashiorkor, marasmus, dan marasmik-kwashiorkor, walaupun demikian dalam penatalaksanaannya hampir sama 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik Kapan tubuh makin kurus Kapan timbul bengkak Kapan terjadi penurunan atau hilangnya nafsu makan Riwayat makan sebelum sakit Riwayat pemberian ASI dan Makanan Pendamping ASI Gejala dan tanda yang mengarah ke penyakit infeksi, misalnya diare,TB,campak,ISK, HIV Gejala yang mengarah ke penyakit kelainan anatomis, misalnya Hipertrofi Pyloric Stenosis, Hierschsphrungs disease, malrotasi, post ileostomi, post colostomi, penakit jantung bawaan , dll Gejala yang mengarah pada penyakit keganasan Batuk kronik Kelainan kulit Kelainan mata Diuresis terakhir Latar belakang sosial anak KEP ringan Sering ditemukan gangguan pertumbuhan: Anak tampak kurus Pertumbuhan linier berkurang atau terhenti Berat badan tidak bertambah, adakalanya berat badan bahkan turun Ukuran lingkar lengan atas lebih kecil dari normal. Maturasi tulang terlambat Rasio berat badan terhadap tinggi badan normal/menurun Tebal lipatan kulit normal atau berkurang Anemia ringan Aktivitas dan perhatian berkurang jika dibandingkan dengan anak sehat - KEP berat Secara klinis terdapat 3 tipe, yaitu Kwashiorkor: Perubahan mental sampai apatis, anemia, rambut tipis kemerahan mudah dicabut / rontok, gangguan sistem gastrointestinal, pembesaran hati, bercak merah kecoklatan di kulit dan mudah terkelupas (crazy pavement dermtosis), atrofi otot, edema simetris pada kedua punggung kaki, dapat sampai seluruh tubuh 4. 5. Kriteria Diagnosis Diagnosis - - Marasmus: Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus, perubahan mental, cengeng, kulit kering, dingin dan mengendor, keriput, lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit berkurang, otot atrofi hingga kontur tulang terlihat jelas (iga gambang), kadang terdapat bradikardi, tekanan darah lebih rendah dibandingkan anak sehat yang sebaya - Marasmik-kwashiorkor: Didapatkan tanda dan gejala klinis marasmus dan kwashiorkor bersamaan. - Kondisi tersebut sering disertai penyakit infeksi seperti diare, TB paru, infeksi HIV KLINIS ANTROPOMETRIS (< 5 th : kurva WHO 2007, > 5 th : kurva CDC 2000) Tabel 1. Klasifikasi KEP menurut WHO Tanda KEP KEP sedang KEP berat (gizi kurang) (gizi buruk) Edema simetrik tidak Tidak/Ya BB/TB <-2SD (70-90%) <-3SD severe wasting (<70%) TB/U <-2SD (85-89%) <-3SD (severe stunting (<85%) Ditegakkan berdasarkan : 1. Pemeriksaan Klinis 2. Antropometris 3. Pemeriksaan penunjang (termasuk untuk mencari penyakit yang menyertai/underlying disease) Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 186 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 KEP BERAT (MARASMUS, KWASHIORKOR, MARASMUS-KWASHIORKOR) 6. Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi Adanya edem maupun asites pada kwashiorkor atau marasmik-kwasiorkor perlu dibedakan dengan : Sindroma nefrotik Sirosis hepatis Gagal jantung kongestif Pellagra Infantil 1. 2. 3. 4. Kadar gula darah, darah tepi lengkap, urin lengkap, feses lengkap, elektrolit serum, protein serum (albumin, globulin), feritin. Tes mantoux Radiologi (dada, AP dan Lateral ) EKG KEP berat ditata laksana melalui 3 fase (stabilisasi, transisi dan rehabilitasi) dengan 10 langkah tindakan seperti pada tabel di bawah ini: Tabel 2. Sepuluh langkah tata laksana KEP berat No FASE STABILISASI TRANSISI REHABILITASI Hari ke 1-2 1 Hipoglikemia 2 Hipotermia 3 Dehidrasi 4 Elektrolit 5 Infeksi 6 Mulai Pemberian Makanan (F-75) 7 Pemberian Makana utk Tumbuh kejar (F-100) 8 Mikronutrien 9 Stimulasi Hari ke 2-7 Minggu ke-2 Tanpa Fe Minggu ke 3-7 dengan Fe 10 Tindak lanjut Medikamentosa - - - - Atasi : hipoglikemi, hipotermi, dan dehidrasi Hipoglikemi Semua anak dengan KEP berat berisiko mengalami hipoglikemi. Pada saat datang ke rumah sakit, anak harus segera diberi glukosa atau sukrosa 10%, atau makanan. Pemberian makan yang sering penting untuk mencegah hipoglikemi. Hipoglikemi dan hipotermi biasanya terjadi bersamaan dan sering merupakan tanda infeksi. Bila ditemukan hipotermi, harus dicek terhadap kemungkina hipoglikemi. Dikatakan hipoglikemi bila kadar gula darah < 3mmol/L (<54 mg/dl). Bila gula darah tidak bisa diukur harus dianggap setiap anak dengan KEP berat menderita hipoglikemi. Terapi Sukrosa atau glukosa 10% sebanyak 50ml per oral atau melalui sonde lambung Bila anak tidak sadar, berikan glukosa 10% intravena dengan dosis 5cc/kg BB . Jika tidak tersedia, beri larutan glukosa 10% dengan sonde lambung Hipotermia Hipotermi dikaitkan dengan peningkatan mortalitas pada anak dengan KEP berat. Dikatakan hipotermi bila temperatur aksila <35ºC atau tidak terbaca pada thermometer. Temperatur rectal <35,5ºC. Terapi Berikan makan atau minum manis segera Pastikan tubuh anak tertutup pakaian, termasuk kepala, selimuti dan tempatkan pemanas atau lampu didekat anak, atau tempatkan anak pada dada atau perut telanjang ibu, kemudian selimuti ibu dan anak. Dehidrasi Sering terjadi overdiagnosis terhadap dehidrasi dan overestimasi penilaian derajat dehidrasi pada anak dengan KEP berat. Hal ini disebabkan sulitnya menilai status dehidrasi secara akurat pada KEP berat dengan hanya menggunakan tanda klinis. Anggap semua anak dengan diare cair mungkin mengalami dehidrasi. Terapi Tata laksana dehidrasi didasarkan derajat dehidrasi. Kebanyakan anak dengan dehidrasi dapat diatasi dengan cairan rehidrasi oral (CRO). Pada rehidrasi ringan sedang (WHO rencana B), sebanyak 70- Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 187 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 KEP BERAT (MARASMUS, KWASHIORKOR, MARASMUS-KWASHIORKOR) - 100ml/kg CRO harus diberikan dalam 8-12 jam. Jika anak muntah, rehidrasi dapat ditunda selama 3060 menit, kemudian dicoba kembali. Bila anak menolak minum atau tidak dapat minum, pasang sonde lambung. Bila dehidrasi membaik, diat pemberian susu dapat dimulai walaupun rehidrasi dengan CRO belum selesai. Jangan menggunakan rute intravena untuk rehidrasi kecuali untuk syok. Bila didapatkan tanda syok, berikan larutan dekstrose 5% : NaCl 0,9% (1:1) atau Ringer-Dekstrose 5% sebanyak 15 ml/kgBB dalam 1 jam pertama Evaluasi setelah 1 jam Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan • dan status hidrasi ulangi pemberian cairan seperti diatas untuk 1 jam berikutnya kemudian lanjutkan dengan pemberian Resomal/mineral mix per oral/nasogastrik 10 ml/kgBB/jam selama 10 jam, selanjutnya mulai berikan formula F-75 • Bila tidak ada perbaikan klinis maka anak menderita syok septik. Dalam hal ini berikan cairan rumat sebanyak 4ml/kgBB/jam dan berikan darah sebanyak 10ml/kgBB/jam secara perlahan (dalam 3 jam). Kemudian mulailah pemberian F-75 bila syok sudah taratasi • Bila terdapat anemia berat dengan Hb <4g/dl, Hb 4-6g/dl disertai distress pernapasan atau tanda gagal jantung, berikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dalam 3 jam. Bila ada tanda gagal jantung berikan transfusi “packed red cell” untuk transfusi dengan jumlah yang sama. Berikan furosemid 1mg/kgBB secara i.v pada saat transfusi dimulai. • Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria,syok).Bila pada anak dengan distress napas setelah transfusi Hb tetap <4g/dl atau antara 4-6g/dl, jangan diulangi pemberian darah. a. Antibiotik - Infeksi tidak nyata: kotrimoxazol (4mg/kg/hari trimetoprim dan 20 mg/kg/hari sulfametoxazol, dibagi 2 dosis) selama 5 hari. - Infeksi nyata : ampicillin IV 100 mg/kg/hari, dibagi 4 dosis selama 2 hari, dilanjutkan per oral (ampicillin/amokisisilin) dan gentamicin 7,5 mg/kg IV/IM sekali sehari selama 7 hari. b. Vitamin-mineral - Vit A (dosis sesuai usia,yaitu <6 bulan : 50.000 SI,6-12 bulan: 100.000 SI, > 1 tahun :200.000 SI) IM atau oral diberikan pada hari 1 & 2 kemudian diulang pada hari ke 15 atau sebelum pulang - Asam folat: 5 mg pada hari pertama, selanjutnya 1 mg/hari, selama 2 minggu - MgSO4 40%: 0,25 ml/kg/hari maksimal 2ml,IM, selama 10 hari - Seng sulfat ; 2-4 mg/kg/hari, selama 2 minggu - Pemberian MgSO4 dan Seng bisa diganti dengan mineral mix - Sulfas ferrosus : 3 mg/kg/hari, baru diberikan pada fase rehabilitasi. Pengobatan penyakit penyerta seperti TB, diare akut,kronik, penyakit jantung bawaan,dll B. DIETETIK - Oral atau enteral • Gizi kurang : kebutuhan energi dihitung sesuai RDA untuk umur TB (height-age) dikalikan berat badan ideal (target berat badan) • Gizi buruk: lihat tabel (sesuai fase) - Diet bisa diberikan peroral atau enteral melalui pipa nasogastrik pada kasus gangguan absorbsi dengan continuous feeding atau intermiten - Jenis diet pada fase stabilisasi harus hipoosmolar, rendah laktosa dan rendah serat - Bila didapatkan diare kronik (persisten) diberikan formula/diet elemental, semi elemental tergantung beratnya kerusakan mukosa usus yang dapat menimbulkan malabsorbsi karbohidrat (laktosa), protein dan lemak - Nutrisi parenteral (Intravena): hanya atas indikasi tepat. Bisa diberikan secara parsial atau total tergantung toleransi pemberian enteral (absorbsi) dan derajat beratnya diare kronik, untuk memenuhi total kalori yang diperlukan sesuai kebutuhan. - Makanan padat diberikan pada fase rehabilitasi dan berdasarkan berat badan, yaitu: BB < 7 kg diberi makanan bayi, BB ≥ 7 kg diberi makanan usia anak - Makanan padat (solid) pada kasus diare kronik bisa dimulai dengan pemberian bubur BREDA (bubur realimentasi daging ayam), modifikasi bubur rendah laktosa (soy based diet) - Evaluasi : akseptabilitas, toleransi, reaksi simpang, kenaikan berat badan ≥ 50 g/kgBB/minggu Tabel 3. Kebutuhan energi, protein dan cairan sesuai fase-fase tata laksana gizi buruk tabilisasi (F75) Transisi (F75 F100) Rehabilitasi (F100) Energi 80-100 kkal/kgbb/hr 100-150 kkal/kgbb/hr 150-220/kgbb/hr Protein 1-1.5 g/kgbb/hr 2-3 g/kgbb/hr 4-6 g/kgbb/hr Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 188 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 KEP BERAT (MARASMUS, KWASHIORKOR, MARASMUS-KWASHIORKOR) Cairan 100-130 ml/kgbb/hr bebas sesuai kebutuhan energi Bila ada edema berat : 100 ml/kgbb/hr Tabel 4. Komposisi F75, F100, dan F135 beserta nilai kalori dan osmolaritas formula Bahan makanan Formula WHO Susu skim bubuk Gula pasir Minyak sayur Larutan elektrolit Tambahan air s/d Nilai Gizi Energi Protein Laktosa Kalium Natrium Magnesium Seng Tembaga (Cu) % Energi Protein % Energi Lemak Osmolaritas 9. Edukasi 10. Prognosis Per 1000 ml F 75 F100 F135 g g g ml ml 25 100 30 20 1000 85 50 60 20 1000 90 65 75 27 1000 Kkal g g mmol mmol mmol mg mg mosm/l 750 9 13 36 6 4,3 20 2,5 5 36 413 1000 29 42 59 19 7,3 23 2,5 12 53 419 1350 33 48 63 22 8 30 3,4 10 57 508 Cuci tangan sebelum menyiapkan makan Gunakan bahan makanan yang baik dan aman Peralatan masak yang bersih dan cara memasak yang benar - Gizi buruk tanpa penyakit berat Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fumgsionam : dubia ad bonam Gizi buruk dengan penyakit yang brat Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fumgsionam : dubia ad bonam 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan 1. 2. 3. 4. Prof. Dr. Boerhan Hidajat, dr, SpA(K) Dr. Roedi Irawan, dr, SpA(K) Siti Nurul Hidayati, dr, SpA(K) Nur Aisiyah Widjaja,dr,SpA(K) Berat badan naik 50 gram/kg BB/ minggu, gejala klinis hilang atau berkurang 1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis tatalaksana anak gizi buruk: buku I,II. Jakarta: Departemen Kesehatan. 2003 2. WHO. Management of severe malnutrition: a manual for physicians and other senior health workers. Geneva: World Health Organization. 1999. 3. WHO Indonesia. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota. Jakarta: WHO Indonesia. 2009. 4. Penny ME. Protein-Energy Malnutrition.In: Walker WA, Watkins JB, Duggan C, eds. Nutrition in Pediatrics, Basic Science and Clinical Applications.3rd ed. BC Decker Inc Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 189 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 KEP BERAT (MARASMUS, KWASHIORKOR, MARASMUS-KWASHIORKOR) 5. 6. 7. 8. 9. 10. 2003.p174-90 World Health Organization. Integrated Management of Childhood Illness. Management of the Child with a Serious Infection or Severe Malnutrition. Guidelines for Care in the FirstReferral Level in Developing Countries. Geneva: World Health Organization. 2000 Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Malnutrisi Akut Berat dan Terapi Nutrisi Berbasis Komunitas.IDAI 2011 Mann MD, Hiil ID, Peat GM. Protein and Fat absorption in prolonged diarrhea in infancyArchives of Disease in Childhood, 1982, 57, 268-73 Clifford W, Walker A. Chronic Protracted Diarrhea of Infancy: A Nutritional Disease. Pediatrics 1983;72;786 Bhutta, Z.A., Molla, AM.. Issani, Z. et al. Dietary management of persistent diarrhoea: Comparison of a traditional rice-lentil based diet with soy formula. Pediatrics, 1991;88:1010-18. Bhutta, Z.A., Molla, AM.. Issani, Z. et al. Nutrient absorption and weight gain in persistent diarrhoea: Comparison of a rice- lentil/yogurt/milk diet with soy formula. J. Pediatr. Gastroenterol.Nutr., 1994; 18:45-52. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 190 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 OBESITAS 1. Pengertian (Definisi) Obesitas adalah keadaan penimbunan jaringan lemak tubuh yang berlebihan dan ditandai dengan adanya gambaran klinis yang khas. Kelainan ini sering disertai komplikasi hiperlipidemia, obstructive sleep apnea syndrome (OSAS), dan non alcoholic steato hepatitis (NASH) Obesitas terjadi bila asupan energI total melebihi pengeluaran energi total. Ketidakseimbangan energI ini dapat disebabkan oleh asupan energi yang berlebih dan atau pengurangan pengeluaran energi, baik untuk metabolisme, termoregulasi dan aktivitas fisik. Peningkatan asupan energi ditemukan pada sindrom genetik, sedang pengurangan energi dijumpai pada defisiensi hormon. Namun kelainan genetik dan hormonal tersebut ternyata tidak dapat menjelaskan peningkatan berlebih berat badan pada kebanyakan pasien. Kebanyakan obesitas dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan misalnya pola makan, olah raga, jenis aktifitas sehari hari 2. Anamnesis Riwayat pertumbuhan/pertambahan berat badan Kapan mulai tambah gemuk Riwayat masukan makanan Riwayat obesitas dalam keluarga Tidur mengorok Aktivitas sehari hari Perawakan pendek atau defek pertumbuhan linear pada anak dengan obesitas harus dicurigai kemungkinan defisiensi growth hormone, hipotiroidisme, kelebihan kortisol, pseudohipoparatirodsme, atau sindrom genetik, misalnya sindrom Prader Wili Kulit kering, konstipasi, intoleransi terhadap cuaca dingin atau cepat lelah mengarah hoipotiroidisme. Riwayat kerusakan pada SSP (misalnya infeksi, trauma, pendarahan, radiasi, kejang) mengarah pada obesitas hipotalamikus dengan atau tanpa defisiensi growth hormone, atau hipotiroidisme hipotalamus. Riwayat sakit kepala pagi hari, muntah, gangguan penglihatan dan miksi berlebih juga merupakan petunjuk bahwa obesitas disebabkan oleh tumor atau massa di hipotalamus. Tabel 1. Karakterikstik dan etiologi obesitas Obesitas idiopatik 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. Diagnosis Obesitas endogen >90% kasus <10% kasus Perawakan tinggi (umumnya persentil ke-50 Perawakan pendek (umumnya persentil ke-5 TB/U TB/U) Umumnya didapatkan riwayat obesitas pada Umumnya tidak didapatkan riwayat obesitas pada keluarga keluarga Fungsi mental normal Fungsi mental sering retardasi Usia tulang : normal atau advanced Usia tulang : terlambat (delayed) Pemeriksaan fisik umumnya normal Terdapat stigmata pada pemeriksaan fisik Pengukuran TB, BB, BB/TB, body mass index (BMI) dan tekanan darah Peningkatan berat badan di luar karakter keluarga Obesitas pada anak yang pendek Peningkatan berat badan progresif yang tidak disertai dengan peningkatan pertumbuhan linear yang sebanding Muka tembem, dagu rangkap, leher pendek Tonsil/adenoid Kulit kering, intoleransi terhadap dingin, konstipasi, cepat lelah Akumulasi lemak di leher dan badan, tetapi tidak pada ekstremitas Striae ungu Hipertensi Rambut wajah yang berlebihan, jerawat, menstruasi irregular pada remaja perempuan Perkembangan seksual yang tidak sesuai usianya Payudara tampak besar Perut membuncit, pendular Ekstremitas, jari meruncing Kaki bentuk X dan O Genitalia, buried penis Kriteria diagnosis 1. Untuk usia ≤ 2 tahun menggunakan kurva WHO 2006. Berdasarkan kurva WHO Z score bila terletak diatas +3SD disebut obesitas, diatas +2SD hingga +3SD disebut gizi lebih (overweight ). 2. Usia ≥ 2 tahun menggunakan kurva index massa tubuh (BMI) CDC 2000. Bila BMI terletak diatas persentil 95 disebut obesitas. Sedangkan bila BMI terletak antara diatas persentil 85 (antara 85-95) dikatakan gizi lebih (overweight). Ditegakkan berdasarkan: Tanda klinis/Pemeriksaan Fisik Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 191 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 OBESITAS 6. Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi Antropometris Prader-Willis Syndrome Precoccius Puberty Polycistis ovary syndrome Dilakukan sesuai indikasi: Darah perifer lengkap Tes toleransi glukosa oral Fungsi tiroid Profil lipid Sekresi dan fungsi growth hormone Kalsium, fosfat dan kadar hormon paratiroid bila dicurigai pseudohipoparatiroidisme Fungsi hati : SGOT, SGPT Foto orofaring AP dan Lat USG hati MRI otak dengan fokus hipotalamus dan hipofisis, bila terindikasi secara klinis Sleep studies untuk mendeteksi sleep apnea Tata laksana komprehensif obesitas mencakup penanganan obesitas dan dampak yang terjadi. Tujuan utama tata laksana obesitas adalah perbaikan kesehatan fisik jangka panjang melalui kebiasaan hidup yang sehat secara permanen. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat empat tahap tata laksana dengan intensitas yang meningkat. Prinsip tata laksana obesitas adalah mengurangi asupan energi serta meningkatkan keluaran energi. Tahap I: Pencegahan Plus Pada tahap ini, pasien overweight dan obesitas serta keluarga memfokuskan diri pada kebiasaan makan yang sehat dan aktivitas fisik sebagai strategi pencegahan obesitas. Kebiasaan makan dan beraktivitas yang sehat adalah sebagai berikut: 1. Mengonsumsi 5 porsi buah-buahan dan sayur-sayuran setiap hari. Setiap keluarga dapat meningkatkan jumlah porsi menjadi 9 porsi per hari 2. Kurangi meminum minuman manis, seperti soda, punch. 3. Kurangi kebiasaan menonton televisi (ataupun bentuk lain menonton) hingga 2 jam per hari. Jika anak berusia < 2 tahun maka sebaiknya tidak menonton sama sekali. Untuk membantu anak beradaptasi, maka televisi sebaiknya dipindahkan dari kamar tidur anak. 4. Tingkatkan aktivitas fisik, 1 jam per hari. Bermain adalah aktivitas fisik yang tepat untuk anak-anak yang masih kecil, sedangkan pada anak yang lebih besar dapat melakukan kegiatan yang mereka sukai seperti olahraga atau menari, bela diri, naik sepeda dan berjalan kaki. 5. Persiapkan makanan rumah lebih banyak ketimbang membeli makanan dari restoran. 6. Biasakan makan di meja makan bersama keluarga minimal 5 atau 6 kali per minggu. 7. Mengonsumsi sarapan bergizi setiap hari 8. Libatkan seluruh anggota keluarga dalam perubahan gaya hidup 9. Biarkan anak untuk mengatur sendiri makanannya dan hindari terlalu mengekang perilaku makan anak, terutama pada anak < 12 tahun. 10. Bantu keluarga mengatur perilaku sesuai kultur masing-masing Tahap II: Manajemen Berat Badan Terstruktur Tahap ini berbeda dari tahap I dalam hal lebih sedikitnya target perilaku dan lebih banyak dukungan kepada anak dalam mencapai perubahan perilaku. Beberapa tujuan yang hendak dicapai, di samping tujuan-tujuan pada tahap I adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Diet terencana atau rencana makan harian dengan makronutrien seimbang sebanding dengan rekomendasi pada Dietary Reference Intake, diutamakan pada makanan berdensitas energi rendah. Jadwal makan terencana beserta snack (3 kali makan disertai 2 kali snack, tanpa makanan ataupun minuman mengandung kalori lainnya di luar jadwal) Pengurangan waktu menonton televisi dan kegiatan menonton lainnya hingga 1 jam per hari. Aktivitas fisik atau bermain aktif yang terencana dan terpantau selama 60 menit per hari. Pemantauan perilaku ini sebaiknya tercatat Reinforcement terencana untuk mencapai target perilaku Tahap III: Intervensi multidisipliner menyeluruh Pendekatan ini meningkatkan intensitas perubahan perilaku, frekuensi kunjungan dokter, dan dokter spesialis yang terlibat untuk meningkatkan dukungan terhadap perubahan perilaku. Untuk implementasi tahap ini, hal-hal berikut harus diperhatikan: 1. 2. 3. 4. 5. Program modifikasi perilaku dilaksanakan terstruktur, meliputi pemantauan makanan, diet jangka pendek, dan penetapan target aktivitas fisik Pengaturan keseimbangan energi negatif, hasil dari perubahan diet dan aktivitas fisik Partisipasi orang tua dalam teknik modifikasi perilaku dibutuhkan oleh anak < 12 tahun Orang tua harus dilatih untuk memperbaiki lingkungan rumah Evaluasi sistemik, meliputi pengukuran tubuh, diet, aktivitas fisik harus dilakukan pada awal program dan dipantau pada interval tertentu Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 192 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 OBESITAS 6. Tim multidisipliner yang berpengalaman dalam hal obesitas anak saling bekerja sama, meliputi pekerja sosial, psikologi, perawat terlatih, dietiesien, physicial therapist, dokter spesialis anak dengan berbagai subspesialisasi seperti nutrisi, endokrin, pulmonologi, kardiologi, hepatologi, dan tumbuh kembang, ahli gizi, dokter spesialis olah raga, psikolog, guru, dokter spesialis bedah ortopedi, dan ahli kesehatan masyarakat. 7. Kunjungan ke dokter yang reguler harus dijadwalkan, tiap minggu selama minimum 8-12 minggu paling efektif 8. Kunjungan secara berkelompok lebih efektif dalam hal biaya dan bermanfaat terapeutik. Tahap IV: Intervensi pelayanan tersier Intervensi tahap IV ditujukan untuk anak remaja yang obesitas berat. Intervensi ini adalah tahap lanjutan dari tahap III. Anak-anak yang mengikuti tahap ini harus sudah mencoba tahap III dan memiliki pemahaman tentang risiko yang muncul akibat obesitas dan mau melakukan aktivitas fisik berkesinambungan serta diet bergizi dengan pemantauan. − Diet sangat rendah kalori, yaitu pada tahap awal dilakukan pembatasan kalori secara ekstrim lalu dilanjutkan dengan pembatasan kalori secara moderat. Terapi ini tidak dianjurkan untuk anak dan remaja. Obat-obatan: yang telah dipakai pada remaja adalah sibutramine yaitu suatu inhibitor re-uptake serotonin dan orlistat yang menyebabkan malabsorpsi lemak melalui inhibisi lipase usus. Food and Drug Administration (FDA) menyetujui penggunaan sibutramine untuk pasien >16 tahun dan orlistat untuk pasien >12 tahun. Bedah: mengingat semakin meningkatnya jumlah remaja dengan obesitas berat yang tidak berespons terhadap intervensi perilaku, terdapat beberapa pilihan terapi bedah, baik gastric bypass atau gastric banding. Tata laksana ini hanya dilakukan dengan indikasi yang ketat karena terdapat risiko perioperatif, 2 pascaprosedur, dan perlunya komitmen pasien seumur hidup. Kriteria seleksi meliputi 40 BMI kg/m dengan masalah medis atau 50 kg/ m2, maturitas fisik (remaja perempuan berusia 13 tahun dan anak remaja laki-laki berusia 15 ta hun, m a turita s e m os iona l da n kognitif, da n s uda h be rus a ha m e nurunka n berat badan selama 6 bula n m e la lui progra m m odifika s i pe rila ku). − − 9. Edukasi 10. Prognosis Pemantauan pertumbuhan Pendidikan / penjelasan bahaya atau komplikasi Melibatkan orang tua dan keluarga dalam program kepatuhan Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fumgsionam : dubia ad bonam 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan a. b. c. d. Prof. Dr. Boerhan Hidajat, dr, SpA(K) Dr. Roedi Irawan, dr, SpA(K) Siti Nurul Hidayati, dr, SpA(K) Nur Aisiyah Widjaja,dr,SpA(K Penurunan berat badan 0,5 – 2 kg/ bulan 1. De Onis M, Blössner M. Prevalence and trends of overweight among preschool children in developing countries. Am J Clin Nutr. 2000; 72:1032-9. 2. Schneider MB, Brill SR. Obesity in children and adolescents. Pediatr.Rev.2005; 26:155-62. 3. Spear BA, Barlow SE, Ervin C, Ludwig D, Saelens B, Schetzina KE, et al. Recommendations for Treatment of Child and Adolescent Overweight and Obesity. Pediatric .2007; 120:254-88. 4. BrillLau DCW, Douketis JD, Morrison KM, Hramiak IM, Sharma AM, Ur E & Members of the Obesity Canada Clinical Practice. 2006 Canadian clinical practice guidelines on the management and prevention of obesity in adults and children [summary]. Can. Med. Assoc J. 2007; 176(Suppl): 1-13. 5. Barlow SE and the Expert Committee. Expert committee recommendations regarding the prevention, assessment, and treatment of child and adolescent overweight and obesity: summary report. Pediatric. 2007;120 (Suppl):164. 6. Davis M, Cleveland G, Hassink S, Johnson R, Paradis G, Resnicow K. Reommendations for Prevention of Childhood Obesity. 2007; 120:229-53. 7. Daniels SR, Greer FR & the Committee on Nutrition. Lipid Screening and Cardiovascular Health in Childhood. Pediatrics. 2008; 122:198-208. 8. Dilley KJ, Martin LA, Sullivan, Seshadri R, Binns HJ & the Pediatric Practice Research Group. Identification of overweight status is associated with higher rates of screening for comorbidities of overweight in pediatric primary care practice. Pediatrics. 2007; 119: e148 - e155. 9. Kavey REW, Allada Y, Daniels SR, Hayman LL, McCrindle BW, Newburger JW, et al. Cardiovascular risk reduction in high-risk pediatric patients: a scientific statement from the American Heart Association Expert Panel on Population and Prevention Science; the Councils on Cardiovascular Disease in the Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 193 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 OBESITAS 10. 11. 12. 13. 14. Young, Epidemiology and Prevention, Nutrition, Physical Activity and Metabolism, High Blood Pressure Research, Cardiovascular Nursing, and the Kidney in Heart Disease; and the Interdisciplinary Working Group on Quality of Care and Outcomes Research: Endorsed by the American Academy of Pediatrics. Circulation. 2006 December 12; 114: 2710-38. American Heart Association, Gidding SS, Dennison BA, Birch LL, Daniels SR, Gilman MW, Lichtenstein AH, et al. Dietary recommendations for children and adolescents: a guide for practitioners. Pediatrics. 2006; 117: 544-59. Sjarif DR. Obesitas. Dalam: Trihono PP, penyunting. Hot Topics in Pediatrics II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002. WHO Multicentre Growth Reference Study Group. WHO Child Growth Standards: Length/height-for-age, weight-for-age, weight-for-length, weight-for-height and body mass index-for-age: methods and development. Geneva: World Health Organization; 2006. Jolliffe C, Janssen I. Vascular Risk and Management of Obesity in Children and Adolescents, Vascular Health and Risk Management. 2006 ;2:171-87. Freedman D. Childhood Obesity and Coronary Heart Disease. In: Marcus K, Wabitsch M, eds. Obesity in Childhood and Adolescence. Pediatr Adolesc Med.Basel, Karger. 2004 ;9:160-69. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 194 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo, Surabaya 2012-2014 DEFISIENSI VITAMIN A (Xerophthalmia) 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. PemeriksaanFisik 4. Kriteria Diagnosis 5. Diagnosis 6. Diagnosis Banding 7. PemeriksaanPenunj ang 8. Terapi 9. Xeroftalmia adalah penyakit akibat defisiensi vitamin A yang bermanifestasi pada mata. Terdapat beberapa stadium klinis defisiensi vitain A pada mata, yakni : Butasenja / hemeralopia (XN) BercakBitot Xerosiskonyungtiva (X1) Xerosiskornea (X2) Ulkuskornea< 1/3 luaspermukaankornea (X3A) Ulkuskornea< 1/3 luaspermukaankornea (X3B) Keratomalacea / Prolaptustridis Corneal scar (XS) XeroftalmiaseringkalimenyertaiKurangEnergi Protein (KEP) Sejakkapanterjadinyakelainanpadamata Bagaimanamulainya Obat yang sudahdiberikan Bagaimanamasukanmakanansehari-hari Apakahpasienmenderitacampakataudiarekroniksebelumnya Bercakbitot Kekeringanpadakonjungtivabulbi Kekeringan/kekeruhan/ulkuspadakornea Terdapatnyaprolaps/keratomalasea Tanda-tandamalnutrisi Bercakbitot Kekeringanpadakonjungtivabulbi Kekeringan/kekeruhan/ulkuspadakornea Terdapatnyaprolaps/keratomalasea Tanda-tandaKEP berat Berdasarkan Anamnesa - Pemeriksaan Fisik - Pemeriksaan Laboratorium - Kadar vitamin A serum (retinol) Serum retinol < 20µg/dl indikator kadar serum rendah Biladisertai KEP perbaiki status gizisesuaikeadaanklinis Pemberian vitamin A Usia<6 bulan: 50,000 SI, oral atau IM Usia 6-12 bulan : 100,000 SI, oral atau IM Usia> 1 tahun : 200,000 SI, oral atau IM Diberikanpadahari ke-1, 2, dan 14 ataubilaadaperburukanklinis Perawatan local Mata dibersihkan, diberisalepmataantibiotik, ditutupdengankainkasa dibasahicairangaramfisiologik Pendidikangizikeluargadenganmengetahuisumberterbanyak vitamin padaprodukhewanisepertitelur,daging, susu, keju. Sumbernabati (pro vit A/beta )terbanyakterdapatpadawortel, ketela, labukuning, sayurbayamdanbrokoli. Pemberian vitamin A oral setiap 6 bulan, dosisseperti di atas Edukasi 10. Prognosis - yang A karoten Bila ada kelainan anatomis/fungsional pada mata Ad vitam : dubia ad malam Ad sanationam : dubia ad malam Ad fumgsionam : dubia ad malam 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. PenelaahKritis a. b. c. Prof. Dr. Boerhan Hidajat, dr, SpA(K) Dr.Roedi Irawan, dr, SpA(K) Siti Nurul Hidayati, dr, SpA(K) Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 195 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo, Surabaya 2012-2014 DEFISIENSI VITAMIN A (Xerophthalmia) d. 14. IndikatorMedis 15. Kepustakaan Nur Aisiyah Widjaja,dr,SpA(K) Kadar serum retinol >20µg/dl 1. Heird WC. Vitamin Deficiencies and Excesses In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors Nelson Textbook of Pediatrics 18thed, Philadelphia Saunders 2007 p. 177-88 2. Lo CW O’Bryan A. Laboratory Assessment of Nutritional Status In. Walker WA, Watkins JB, Duggan C, editors Nutrition in Pediatrics, basic science and Clinical Applications 3rd ed. BC Decker Inc. 2003 p. 17-20 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis tatalaksana anak gizi buruk: buku II. Jakarta: DepartemenKesehatan. 2003 4. Sethuraman U. Vitamine. Pediatrics 2006; 27:44-55 5. Ajaiyeoba A, Samaila E. Use of Bitot’s spot in screening of vitamine A deficiency in Nigerian Children.Afr. J. Biomed. Res. 2001:4:155 - 57 Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 196 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 KERACUNAN 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik Keracunan adalah terpaparnya seseorang dengan suatu zat yang menimbulkan gejala dan tanda disfungsi organ serta dapat menimbulkan kerusakan atau kematian. - Curiga keracunan pada anak: awitan penyakit akut - Usia 1-5 tahun atau remaja - Kondisi saat pasien ditemukan (benda yang ada di dekat pasien, seperti obat-obatan atau bahan kimia) - Riwayat medis saat ini dan sebelumnya - Kecelakaan atau disengaja - Jenis, jumlah dan dosis saat terjadinya keracunan Tanda dan gejala yang dapat mengarah pada golongan racun spesifik disebut toxidromes Organofosfat: perubahan status mental, takipnea, bronkospasme, bradikardia atau takikardia, salvias, miosis, poliuri, defekasi, emesis, lakrimasi, kejang, diaphoresis (keringat berlebihan) Salisilat (ringan 150-300 mg/kg: gangguan saluran cerna, tinnitus, takipnea) (sedang 300-500 mg/kg: demam, diaphoresis dan agitasi) (berat >500 mg/kg): disartria, koma, kejang, edema paru - 4. Kriteria Diagnosis 5. Diagnosis 6. Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 1. 2. 3. Anamnesis Gejala klinis Pemeriksaan fisik Diagnosis keracunan di tegakkan berdasarkan : anamnesa dan manifestasi klinis yang ada Syok anafilaksis 1. Darah rutin 2. Analisa gas darah 3. Serum elektrolit 4. Gula darah sewaktu Tindakan emergensi : Airway : Bebaskan jalan nafas, kalau perlu lakukan intubasi. Breathing : Berikan pernafasan buatan bila penderita tidak bernafas spontan atau pernafasan tidak adekwat Circulation : Pasang infus bila keadaan penderita gawat dan perbaiki perfusi jaringan. Identifikasi penyebab keracunan. Bila mungkin lakukan identifikasi penyebab keracunan, tapi hendaknya usaha mencari penyebab keracunan ini tidak sampai menunda usaha-usaha penyelamatan penderita yang harus segera dilakukan. Eliminasi racun. A. Racun yang ditelan Rangsang muntah Akan sangat bermanfaat bila dilakukan dalam 1 jam pertama sesudah menelan bahan beracun, bila sudah lebih dari 1 jam tidak perlu dilakukan rangsang muntah kecuali bila bahan beracun tersebut mempunyai efek yang menghambat motilitas ( memperpanjang pengosongan ) lambung. Rangsang muntah dapat dilakukan secara mekanis dengan merangsang palatum mole atau dinding belakang faring,atau dapat dilakukan dengan pemberian obat-obatan : Sirup Ipecac Dapat diberikan pada anak diatas 6 bulan. Pada anak usia 6 - 12 bulan 10 ml 1 - 12 tahun 15 ml > 12 tahun 30 ml Pemberian sirup ipecac diikuti dengan pemberian 200 ml air putih. Bila sesudah 20 menit tidak terjadi muntah pada anak diatas 1 tahun pemberian ipecac dapat diulangi. Apomorphine Sangat efektif dengan tingkat keberhasilan hampir 100%, dapat menyebabkan muntah dalam 2 5 menit. Dapat diberikan dengan dosis 0,07 mg/kg BB secara subkutan. Kontraindikasi rangsang muntah : 1. Keracunan hidrokarbon,kecuali bila hidrokarbon tersebut mengandung bahan-bahan berbahaya seperti camphor, produk-produk yang mengandung halogenat atau aromatik, logam berat dan pestisida. 2. Keracunan bahan korossif 3. Keracunan CNS stimulant ( seperti strichnin ) 4. Penderita kejang 5. Penderita dengan gangguan kesadaran Kumbah lambung Kumbah lambung akan berguna bila dilakukan dalam 1-2 jam sesudah Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya menelan bahan 197 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 KERACUNAN beracun,kecuali bila menelan bahan yang dapat menghambat pengosongan lambung. Kumbah lambung seperti pada rangsang muntah tidak boleh dilakukan pada : - Keracunan bahan korosif - Keracunan hidrokarbon - Kejang Pada penderita dengan gangguan kesadaran atau penderita-penderita dengan resiko aspirasi jalan nafas harus dilindungi dengan cara pemasangan pipa endotracheal. Penderita diletakkan dalam posisi trendelenburg dan miring kekiri, kemudian dimasukkan pipa orogastrik dengan ukuran 24 - 36 Fr,pencucian lambung dilakukan dengan cairan garam fisiologis ( normal saline/ PZ ) atau 1/2 normal saline 100 ml atau kurang berulang-ulang sampai bersih. Pemberian Norit ( activated charcoal ) Jangan diberikan bersama obat muntah, pemberian norit harus menunggu paling tidak 30 - 60 menit sesudah emesis. Dosis 1 gram/kg BB dan bisa diulang tiap 2 - 4 jam bila diperlukan,diberikan per oral atau melalui pipa nasogastrik. Indikasi pemberian norit untuk keracunan : 1. Obat2 analgesik/antiinflammasi : acetamenophen, salisilat, antiinflamasi non steroid, morphine, propoxyphene. 2. Anticonvulsants/sedative : barbiturat, carbamazepine, chlordiazepoxide, diazepam, phenytoin, sodium valproate. 3. Lain-lain: amphetamine, chlorpheniramine, cocaine, digitalis, quinine, theophylline, cyclic anti – depressants 4. Norit tidak efektif pada keracunan Fe, lithium, cyanida,a sam basa kuat dan alkohol. Catharsis Efektivitasnya masih dipertanyakan. Jangan diberikan bila ada gagal ginjal, diare berat, ileus paralitik atau trauma abdomen Diuretika paksa ( Forced diuretic ) Diberikan pada keracunan salisilat dan phenobarbital ( alkalinisasi urine ). Tujuan adalah untuk mendapatkan produksi urine 5,0 ml/kg/jam, hati-hati jangan sampai terjadi overload cairan. Harus dilakukan monitor dari elektrolit serum pada pemberian diuresis paksa. Kontraindikasi : udema otak dan gagal ginjal Dialysis Hanya dilakukan bila usaha-usaha lain sudah tidak membawa hasil. Bermanfaat hanya pada bahan beracun yang bisa melewati filter dialisis ( dialysable toxin ) seperti phenobarbital, salisilat, theophylline, methanol, ethylene glycol dan lithium. Dialysis dilakukan bila : Asidosis berat Gagal ginjal Ada gejala gangguan visus Tidak ada respon terhadap tindakan pengobatan. Hemoperfusi masih merupakan kontroversi dan jarang digunakan. B. C. D. E. F. Racun yang disuntikkan atau sengatan Immobilisasi Pemasangan torniquet diproksimal dari suntikan Berikan antidotum bila ada Racun pada kulit dan mata Lepaskan semua yang dipakai kemudian bersihkan dengan sabun dan siram dengan air yang mengalir selama 15 menit. Jangan diberi antidotum Racun yang dihisap melalui saluran nafas Keluarkan penderita dari ruang yang mengandung gas racun. Berikan oksigen Kalau perlu lakukan pernafasan buatan Pemberan antidotum kalau mungkin Pengobatan Supportif Pemberian cairan dan elektrolit Perhatikan nutrisi penderita Pengobatan simtomatik ( kejang, hipoglikemia, kelainan elektrolit dsb.) Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 198 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 KERACUNAN 9. Edukasi Memberikan informasi secara intensif kepada orang tua atau orang yang bertanggung jawab dalam perawatan anak dan kepada masyarakat mengenai : Keracunan pada anak, bagaimana terjadinya, akibat yang terjadi serta bagaimana mencegahnya. Bahan-bahan yang potensial dapat menyebabkan keracunan yang terdapat didalam atau sekitar rumah yang seringkali tidak diketahui oleh orang tua. Pengetahuan sederhana bagaimana memberikan pertolongan pertama bila terjadi keracunan. 10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fungsionam : dubia ad bonam 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. dr. A. Latief Azis, Sp. A (K) dr. Ira Dharmawati, Sp. A dr. Hari Kushartono, Sp. A(K) dr. Neurinda Permata Kusumastuti, Sp. A dr. Arina Setyaningtyas, Sp. A dr. Dwi Putri Lestari, Sp. A Terapi suportif harus segera diberikan sambil menunggu pemberian antidotum apabila zat toksik memiliki antidotum 2. Respon pemberian antidotum tergantung jenis zat toksiknya 3. Eliminasi racun dengan meningkatkan ekskresi melalui urin dapat dilakukan dengan pemberian natrium bikarbonat dalam waktu 1-2 jam untuk mempertahan pH urine 7,5-8,5 4. 80% Pasien tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 5 hari 1. Aranoff SC. Food poisoning. Dalam: Behrman RE,Kliegman RM Eds.Nelson Textbook of Pediatrics.Philadelphia : Saunders, 1992; 1770 -74. 2. Dreisbach RH. Poisoning, Prevention, Diagnosis and Treatment. Dalam : Dreisbach Ed. Handbook of Poisoning. California : Lange Medical Publication 1983; 3 - 103. 3. Hutchison JH,Cockburn F. Accidental poisoning in childhood. Dalam : Hutchison Ed. Practical pediatrics problems. London : Lloyd-Luke, 1986; 673 - 89. 4. Madse M. Poisoning,ingestion and overdosis. Pediatric Critical Handout, University of Minesotta, 1998. 5. Olson KR. Comprehensive evaluation and treatment of poisoning and overdose. Dalam :Olson KR Ed. Lange : Clinical manual : Poisoning and drug overdose. San Francisco :Apleton & Lange,Prentice Hall International,1990; 1 - 57. 6. Pascoe DJ. Poisoning. Dalam : Pascoe Ed. Quick reference to pediatric emergencies. Philadelphia : Lippincott; 1984; 86 - 142. 7. Pearson-Shaver AL,Steinbart CM. Evaluation of the poisoned child. Dalam : Holbrook PR Ed. Textbook of Pediatric Critical Care. Philadelphia : Saunders,1993; 982 - 97. 8. Reece RM. Poisoning. Dalam:Reece RM ed. Manual of emergency Pediatrics.Philadelphia:Saunders,1978; 203 - 37. 9. Rumack BH. Chemical and drug poisoning. Dalam : Behrman RE,Kliegman RM Eds. Nelson Tetbook of Pediatrics.Philadelphia: Saunders, 1992; 1774 - 65. 10. Wolf AD,Berkowitz ID,Liebelt E,Rogers MC. Poisoning and the critically child. Dalam : Rogers MC Ed. Textbook of Pediatric Intensive Care.Baltimore: William Wilkins,1996;1315-91 Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 199 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 SYOK ANAFILAKSIS 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. Diagnosis 6. Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi Syok anafilaksis adalah suatu reaksi anafilaksis berat yang disertai dengan insufisiensi sirkulasi. Penyebab anaphylaksis pada anak 1. Makanan: kacang, telur, susu, ikan laut, buah. 2. Alergen imunoterapi. 3. Gigitan atau sengatan serangga. 4. Obat-obatan: penisilin, sulfa, immunoglobin (IVIG), serum, NSAID. 5. Latex. 6. Vaksin. 7. Exercise induce. 8. Anafilaksis idiopatik: anafilaksis yang terjadi berulang tanpa diketahui penyebabnya meskipun sudah dilakukan evaluasi/observasi dan challenge test, diduga karena kelainan pada sel mast yang menyebabkan pengeluaran histamin. Reaksi timbul dalam beberapa detik atau menit sesudah paparan alergen. Gejala kardiovaskular : hipotensi/renjatan. Gejala saluran nafas : sekret hidung yang encer, hidung gatal, edema hipofaring/ laring, gejala asma. Gejala kulit : pruritus, eritema, urtikaria dan angioedema. Gejala intestinal : kolik abdomen, kadang-kadang disertai muntah dan diare. Gejala SSP : pusing, sincope, gangguan kesadaran sampai koma. 1. Anamnesis 2. Gejala klinis 3. Pemeriksaan fisik Diagnosis syok anafilaksis di tegakkan berdasarkan : anamnesa dan manifestasi klinis yang ada Keracunan 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 9. Edukasi Darah rutin Analisa gas darah Serum elektrolit Gula darah sewaktu Life support: Airway, Breathing, Circulation. Hentikan obat/bahan yang diduga sebagai penyebab. Adrenalin (1:1000) 0,01ml/kg BB, berikan sc (ringan)/im (sedang)/iv (berat). Bila tidak ada perbaikan bisa diulang 2-3 kali selang 10 – 15 menit. Infus RL/NaCl/ cairan koloid 10-20 ml/kg/10 menit bila dengan adrenalin belum menunjukkan perbaikan perfusi jaringan. Bronkodilator pada penderita yang menunjukkan gejala seperti asma: Aminofilin intravena atau β adrenergik bronkodilator (albuterol, terbutalin) parenteral atau nebulizer. Antihistamin:Diphenhidranin 1-2 mg/kg BB i.m. atau i.v. atau 5 mg/kg BB per oral. Chlortrimeton untuk gejala-gejala kulit seperti urtikaria, angioedema, pruritus. Kortikosteroid: Hidrokortison 6 - 8 mg/kg BB/6-8 jam. Kortikosteroid hanya diberikan pada renjatan refrakter, urtikaria persisten, atau angioedema yang masih menetap setelah fase akut teratasi. Pengetahuan sederhana bagaimana memberikan pertolongan pertama bila terjadi syok anafilaksis 10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fungsionam : dubia ad bonam 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. Penelaah Kritis 1. 2. 3. 4. 5. 6. 14. Indikator Medis dr. A. Latief Azis, Sp. A (K) dr. Ira Dharmawati, Sp. A dr. Hari Kushartono, Sp. A(K) dr. Neurinda Permata Kusumastuti, Sp. A dr. Arina Setyaningtyas, Sp. A dr. Dwi Putri Lestari, Sp. A 1. Gejala yang timbul akibat allergen membaik dalam waktu 10-15 menit setelah diberi Adrenalin sc (ringan)/im (sedang)/iv (berat). Bila tidak ada perbaikan bisa diulang 2-3 kali selang 10 – 15 menit. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 200 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 SYOK ANAFILAKSIS 2. 3. 4. 5. 6. 15. Kepustakaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Infus RL/NaCl/ cairan koloid bila dengan adrenalin belum menunjukkan perbaikan perfusi jaringan. Tanda-tanda perbaikan perfusi jaringan bila nadi teraba kuat, Tensi terukur, Capillary refill time < 2 detik, akral hangat. Hilangnya gejala asma ( wheezing, sesak, retraksi) setelah pemberian bronkodilator pada penderita yang menunjukkan gejala seperti asma Gejala-gejala kulit seperti urtikaria, angioedema, pruritus menghilang setelah pemberian Antihistamin (dalaw waktu 48 jam) Kortikosteroid hanya diberikan pada renjatan refrakter, urtikaria persisten, atau angioedema yang masih menetap setelah fase akut teratasi (>12 jam) 80% Pasien tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 1 hari Abraham D, Grammer L. Idiophathic anaphylaxis. Immunol Allergy Clin North Am 2001; 21(4): 783 – 94. Asthma & Allergy Information Research ( AAIR ). Anaphylaxis – Life threatening allergy. http://www.users.globalnet.co.uk/~aair/anaphylaxis.htm. Terr A I. Anaphylaxis. Dalam : Stites DP, Stobo JD, Wlls JV eds. Basic and Clinical Immunology 6th ed. Connecticut: Prentice Hall Inc, 1987; 449–52. Linzer J. Pediatric anaphylaxis. http://www.emedicine.com/emerg/topic360.htm Rusznak C, Peeble RS. Anaphylaxis and anaphylactoid reactions. Post grade medicine2002; III (5): 101–14. Ownby DR. Pediatric anaphylaxis, insect stings and bite. Immunol Allergy Clin North Am 1999; 19(2): 347– 61. Burk AW, Jones SM, Wheeler JG, Sampson HA. Anaphylaxis and food hypersensitivity. Immunol Allergy Clin North Am 1999; 19(3): 533 –53. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 201 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 SYOK HIPOVOLEMIK 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 5. Diagnosis 6. Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi Syok adalah sindroma klinis akut yang disebabkan kegagalan fungsi kardiovaskuler dalam menyediakan kecukupan oksigen dan nutrien lain untuk metabolisme jaringan, yang disebabkan karena kekurangan cairan. - Kehilangan cairan : muntah, diare, luka bakar, perdarahan, drainase bedah - Masukan cairan : jenis, jumlah - Produksi urin Perubahan berat badan KOMPENSASI Tekanan darah N/↑ & mungkin tjd maldistribusi; fungsi organ vital masih baik Takikardi; takipnea; CRT 2-3 detikl; iritabilitas ringan DEKOMPENSASI Perfusi mikrovaskuler ↓; pe↓ volume sirkulasi efektif Kulit dingin; lembab; pucat; mottled; sianosis; kesadaran ↓; CRT>4 detik; hipotensi; nadi lemah; oliguria IRREVERSIBLE tekanan darah tidak teratur, nadi tidak teraba, penurunan kesadaran semakin dalam (sopor-koma), anuria dan tanda-tanda kegagalan sistem organ lain 1. Gejala klinis 2. Pemeriksaan fisik Diagnosis syok hipovolemik di tegakkan berdasarkan : anamnesa dan manifestasi klinis yang ada 1. Syok Septik 2. Syok Kardiogenik 1. Darah rutin 2. Analisa gas darah 3. Serum elektrolit 4. Gula darah sewaktu 1. Bebaskan jalan napas dan oksigenasi dengan O2 100%. 2. Pasang akses vaskuler (IV / IO) dan ambil sampel darah untuk laboratorium (darah lengkap, gula darah acak, kalsium). 3. Bolus dengan cairan kristaloid / koloid isotonik 20 ml/kg secepatnya (< 10 menit), bisa diulang sampai perfusi baik ATAU 60 ml/kg ATAU terdengar ronki ATAU hepatomegali (total waktu 10-15 menit). 4. Evaluasi tanda klinis syok setiap selesai bolus. 5. Koreksi hipoglikemi dan hipokalsemi. Bila resusitasi cairan telah diberikan (2-3 kali bolus) dimana + 40-60% dari volume darah telah dimasukkan namun belum ada respon adekuat, lakukan intubasi bila diperlukan. Evaluasi kemungkinan penyebab syok dan lakukan tatalaksana lanjut sesuai penyebabnya. Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons kompensasi. Kehilangan volume yang cukup besar dalam waktu lambat, masih dapat ditolerir dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat. Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan lansung. 10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fungsionam : dubia ad bonam 11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 1. 2. 3. 4. 5. 6. dr. A. Latief Azis, Sp. A (K) dr. Ira Dharmawati, Sp. A dr. Hari Kushartono, Sp. A(K) dr. Neurinda Permata Kusumastuti, Sp. A dr. Arina Setyaningtyas, Sp. A dr. Dwi Putri Lestari, Sp. A • Pengisian kapiler harus tercapai dalam waktu 60 menit dengan tanda waktu pengisian kapiler < 2 detik, denyut nadi normal tanpa perbedaan kualitas nadi perifer dan sentral, produski urin > 1mL/kgBB/jam, kesadaran normal, tekanan darah normal sesuai usia dan saturasin oksigen > 95%. • 80% Pasien tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 1 hari. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 202 PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012-2014 SYOK HIPOVOLEMIK 15. Kepustakaan 1. 2. 3. 4. 5. APLS. The pediatric emergency medicine course. Edisi ke-2. 1993. Bell LM. Shock. Dalam: Fleisher GR, Ludwig S, penyunting. Textbook of pediatric emergency medicine. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. Hal: 46-57. Smith L, Hernan L. Shock states. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting. Pediatric critical care. Edisi ke-3. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. Hal: 294-410. Zingarelli B. Shock and reperfusion injury. Dalam: Nichols DG, et al, penyunting. Rogers’ textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. Hal: 252-65. Nadel S, Kissoon NT, Ranjit S. Recognition and initial management of shock. Dalam: Nichols DG, et al, penyunting. Rogers’ textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. Hal: 372-83. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 203 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 BRONKIOLITIS 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Pemeriksaan penunjang 5. Kriteria Diagnosis 6. 7. Diagnosis Diagnosis Banding 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens Bronkiolitis adalah penyakit obstruktif saluran nafas akibat inflamasi yang terjadi pada saluran nafas kecil (bronkiolus) Etiologi terbanyak (50%) adalah Respiratory Synctitial Virus (RSV) Etiologi lain adalah influenza, adenovirus, rhinovirus dan mycoplasma. Biasanya menyerang anak usia 2 bulan-2 tahun terutama 2-6 bulan Seringkali didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas dengan gejala batuk pilek, dapat disertai demam atau hanya subfebris. Keluhan sesak nafas yang ditandai dengan nafas dangkal dan cepat akan timbul setelahnya. Pada keadaan yang berat bisa didapatkan cyanosis. Biasanya tidak didapatkan riwayat atopi pada keluarga maupun penderita. Faktor resiko lainnya: anak laki-laki. Tidak mendapatkan ASI, tinggal di pemukiman yang padat, waktu hamil ibu merokok/terpapar asap rokok Takipnea dengan laju respirasi untuk anak <2 bulan ≥60x/menit, 2-12 bulan≥50x/menit, 1-5 tahun≥40x/menit. Ekspiratory effort yang ditandai dengan ekspirium yang memanjang dan disertai retraksi dinding dada, dan nafas cuping hidung. Suara perkusi paru hipersonor. Pada auskultasi paru dapat terdengar suara nafas tambahan terutama berupa wheezing, sedang ronki basah halus dapat terdengar pada akhir atau awal inspirasi. Pada obstruksi yang berat suara nafas nyaris tidak terdengar, wheezing bahkan dapat menghilang. Tanda lainnya adalah demam, sianosis pada keadaan sesak yang berat, dan biasanya anak tampak gelisah. 1. Foto polos dada AP dan lateral 2. Analisa Gas Darah 3. Pemeriksaan untuk mendeteksi Antigen RSV 1. Gejala Fisik sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas. Untuk menentukan berat ringannya sesak pada bronkiolitis dapat dilakukan skoring dengan RDAI (Respiratory Distress Assessment Instrument) 2. Pada foto polos dada dapat terlihat gambaran hiperinflasi baru dengan diameter anteroposterior yang melebar pada foto lateral. Dapat pula disertai bercak konsolidasi yang tersebar. 3. Analisa Gas Darah dapat menunjukkan keadaan hiperkarbia (PaCO 2 yang tinggi), asidosis respiratorik, dan pada keadaan lanjut dapat terjadi asidosis metabolic dan gagal nafas. 4. Bila tersedia pemeriksaan deteksi cepat antigen RSV sebagai penyebab utama bronkiolitis dapat dilakukan Bronkiolitis 1. 2. 3. 4. 5. 1. • • • • 2. 3. 4. 5. 6. • • • Asma bronkiale dalam serangan Pneumonia Aspirasi benda asing Gagal jantung Penyakit lain yang menyebabkan inflamasi pada saluran nafas misalnya cystic fibrosis Indikasi rawat inap pada penderita bronkiolitis adalah: Hipoksia yang berat dan takipnea yang berat Keadaan umum yang lemah dan tidak dapat diberikan intake peroral Usia < 12 minggu atau riwayat kelahiran prematur Disertai kelainan kardiovaskular, imunologi atau paru lainnya. Oksigenasi, bila ada tanda gagal nafas dapat diberikan ventilasi mekanik Pembersihan jalan nafas Pemberian cairan dan kalori yang cukup Koreksi kelainan asam basa dan elektrolit. Obat-obatan: Antibiotik tidak rutin diberikan kecuali didapatkan kecurigaan infeksi bakteri atau disertai pneumonia Kortikosteroid sistemik: dexametason 0,5 mg/kg (loading) dilanjutkan dengan 0,5 mg/kg/hari dibagi 3 dosis Nebulasi dapat dilakukan dengan β2-agonis (misalnya salbutamol 0,1 ml/kgBB/dosis), sehari 4-6 kali) yang diencerkan dengan normal saline untuk membantu bersihan mukosilier. Penggunaan epinefrine maupun hypertonic saline belum dianjurkan secara rutin • Pemberian antivirus masih belum dilakukan secara rutin 1. Menghindari paparan asap rokok baik saat bayi dalam kandungan maupun setelah lahir 2. Pemberian ASI pada saat bayi dan pemberian nutrisi yang cukup saat anak-anak 3. Lingkungan rumah yang cukup ventilasi dan sinar matahari 4. Bila bayi terutama di bawah 6 bulan menderita infeksi saluran nafas akut yang masih ringan agar segera diperiksakan ke dokter Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fungsionam : dubia ad bonam IV Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 204 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 BRONKIOLITIS 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan C 1. 2. 3. 1. 2. 1. 2. 3. 4. dr. Landia Setiawati SpA(K) dr. Retno Asih Setyoningrum SpA(K) dr.Deddy Iskandar SpA Perbaikan gejala klinis Perbaikan analisa gas darah dan saturasi oksigen Wohl MEB. Bronchiolitis. Dalam: Kendig EL, Chernick V, penyunting. Kendig’s Disorders of the Respiratory Tract in Children. Edisi ke-5. Philadelphia : WB Saunders,1990 : 360-70. Goodman D. Bronchiolitis. Dalam : Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB Saunders,2003 : 1415-7 Kleigman RM, Jenson HB, Stanton MF. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia : WB Saunders; 2009; 1456-59 Wright RB, Pomerantz WJ, Luria JW. New approaches to Respiratory Infection in Children. Ped Emerg Med Clin of North Am 12002; 20: 93-110 Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 205 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 PNEUMONIA 1. 2. Pengertian (Definisi) Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Pemeriksaan penunjang 5. Kriteria Diagnosis 6. 7. Diagnosis Diagnosis Banding 8. Terapi Pneumonia adalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi. Terbanyak adalah virus atau bakteri. Etiologi lain parasit dan aspirasi zat tertentu Gejala yang timbul biasanya mendadak. Dapat didahului denganinfeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejala umum: batuk, demam tinggi, nafas cepat dan sesak nafas. Pada keadaan yang berat bisa didapatkan cyanosis Pada anak yang besar bisa didapatkan nyeri dada. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala yang tidak khas seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang, sulit minum, dan perut kembung Takipnea dengan laju respirasi untuk anak <2 bulan ≥60x/menit, 2-12 bulan≥50x/menit, 1-5 tahun≥40x/menit. Inspiratory effort ditandai dengan retraksi dinding dada, nafas cuping hidung Gerakan dinding toraks dapat tertinggal pada daerah yang terkena infeksi, perkusi normal atau redup, auskultasi paru dapat terdengar terdengar suara nafas tambahan berupa ronki basah halus di lapangan paru yang terkena. Tanda lainnya adalah demam tinggi, sianosis, dan dapat ditemukan tanda dehidrasi. Pada infeksi oleh kuman atipik (mycoplasma, chlamydia) gejalanya tidak jelas maupun memberikan onset akut seperti diatas. Panas seringkali tidak tinggi, batuk tidak produktif, tidak sesak, dan seringkali disertai sakit kepala dan malaise. 1. Foto polos dada 2. Analisa Gas Darah 3. Hitung Leukosit dan differerential count 4. Laju Endap Darah (LED) 5. C-Reactive Protein (CRP) 6. Procalcitonin 7. Kultur darah, sputum, swab oropharyngeal 1. Gejala Fisik sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas 2. Pada foto polos dada terlihat infiltrat alveolar maupun interstitial yang dapat ditemukan di seluruh lapangan paru. Kelainan gambaran radiologis biasa sebanding dengan derajat klinis penyakit, kecuali pada infeksi oleh kuman atipikal yang gambaran radiologis lebih berat daripada keadaan klinis. Gambaran lain yang dapat dijumpai berupa konsolidasi pada satu atau beberapa segmen atau lobus paru, penebalan pleura pada pleuritis, atau adanya komplikasi pneumonia berupa atelektasis, efusi pleura, abses paru, pneumothorak, pneumomediastinum dan pneumatokel 3. Analisa Gas Darah menunjukkan keadaan asidosis respiratorik, hipoksemia, sedang PaCO 2 dapat rendah, normal atau meningkat tergantung kompensasi yang terjadi. Dalam keadaan lanjut bisa terjadi asidosis metabolik, dan gagal nafas. 4. Peningkatan hitung leukosit dengan hitung jenis bergeser ke kiri pada infeksi bakterial 5. LED, CRP, dan procalcitonin meningkat pada infeksi bakterial 6. Pemeriksaan kultur darah dapat menunjang menentukan etiologi terutama pada kasus nasokomial. Sedang kultur sputum dan swab oropharyngeal sering terkontaminasi flora normal Pneumonia 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. • • • • • • 3. 4. 5. Infeksi saluran pernafasan bawah lainnya (Bronkiolitis, laringotrakeobronkitis) Kelainan bawaan pada paru (cystic lung disease, bullae, hypoplasia, dan lain sebagainya) Payah jantung Sepsis Pada bayi karena gejalanya yang tidak khas dapat menyerupai sepsis, meningitis dan ileus Untuk pneumonia ringan dapat diterapi secara rawat jalan dapat diberikan antibiotik peroral dengan amoksisilin 50-80 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis atau amoksisilin-asam klavulanat 50 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis, serta diberikan edukasi kepada orang tua Untuk pneumonia berat dan sangat berat dianjurkan rawat inap dan diberikan terapi: Ampisilin 100 mg/kg/hari iv dibagi dalam 4 dosis atau ampisilin-sulbaktam 100 mg/kg/hari iv dalam 4 dosis untuk Community acquired pneumonia Ceftriaxone 100 mg/kg/hari iv dibagi dalam 2 dosis atau antibiotik sesuai kultur untuk Hospital acquired pneumonia Lama pemberian antibiotik tergantung : kemajuan klinis penderita, hasil pemeriksaan laboratoris, foto thorak dan jenis kuman penyebab. Sebagian besar membutuhkan waktu 10-14 hari Oksigenasi, dapat diberikan secara nasal atau masker sesuai keadaan klinis. Bila ada tanda gagal nafas diberikan bantuan ventilasi mekanik. Pemberian cairan dan kalori yang cukup Koreksi kelainan asam basa atau elektrolit yang terjadi. Untuk dugaan pneumonia atipik dapat diberikan eritromisin 50 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis, atau spiramisin 50 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis, atau klaritromisin 15 mg/kg/hari dibagi 2 dosis selama 10-14 hari. Untuk dugaan Pneumonia Pneumocystic carinii dapat diberikan kotrimoksasol 20 mg/kg/hari dibagi 4 dosis. Untuk keadaan khusus lainnya dapat diberikan Anti viral (Acyclovir, Gancyclovir) pada pneumonia karena Cyto Megalous Virus (CMV), Anti jamur (Amphotericin B, Ketoconazole, Fluconazole) pada pneumonia karena jamur, Imunoglobulin pada keadaan imunodefisiensi terutama imunitas humoral Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 206 Panduan Praktik Klinis SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 PNEUMONIA 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan 1. 2. 3. 4. 5. Pemberian imunisasi untuk mencegah pneumonia Pengobatan secara dini bila didapatkan gejala infeksi saluran pernafasan Pemberian ASI pada saat bayi dan pemberian nutrisi yang cukup saat anak-anak Lingkungan rumah yang cukup ventilasi dan sinar matahari Untuk pneumonia ringan yang dirawat jalan harus dipastikan antibiotik dikonsumsi secara lengkap dan kontrol secara teratur 6. Untuk pneumonia berat sebaiknya di rawat inap dan memerlukan jangka waktu tertentu sampai pneumonianya dapat membaik Pneumonia ringan Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fungsionam : dubia ad bonam Pneumonia berat dan sangat berat Ad vitam : dubia ad malam Ad sanationam : dubia ad malam Ad fungsionam : dubia ad malam IV C 1. dr. Landia Setiawati, SpA(K) 2. dr. Retno Asih Setyoningrum, SpA(K) 3. dr. Deddy Iskandar, SpA 1. Perbaikan gejala klinis 2. Perbaikan radiologis 3. Perbaikan parameter laboratorium 1. Lichenstein R, Suggs AH, Campbell J. Pediatric pneumonia. Emerg Med Clin N Am 2003; 21 : 437-51. 2. Sectish TC, Prober CG. Pnemonia. Dalam : Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB, penyunting. NelsonTextbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB Saunders, 2003 : 1432-5. 3. Gaston B. Pneumonia. Pediatr Rev 2002 : 23 : 132-40 4. Lichenstein R, Suggs AH, Campbell J. Pediatric pneumonia. Emerg Med Clin N Am 2003; 21: 437-51 5. Sandora TJ, Harper MB. Pneumonia in hospitalized children. Pediatr Clin N Am 2005; 52: 1059-81 6. Mc Intosh K. Community-acquired pneumonia in children. N Eng J Med 2002; 346: 429-36 7. Stein RT, Marostica PJC. Community-acquired bacterial pneumonia. Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A, penyunting. Kendig’s disorders of the respiratory tract in children, Edisi ke-7. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2006; 441-52. 8. Apisamthanarak A, Mundy LM. Etiology of community-acquired pneumonia. Clin Chest Med 2005; 26: 47-55 9. Crawford SE, Dawn RS. Bacterial pneumonia, lung abscess and empyema. Dalam: Taussig LM, Landau LI, penyunting. Pediatric respiratory medicine, Edisi ke-2. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008; 501-54 Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 207 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN-HIPERAKTIVITAS (GPPH) 1. Pengertian (Definisi) Gangguan penyesuaian diri perkembangan perhatian (inatensi), aktivitas (hiperaktivitas) dan kontrol perilaku kurang (impulsif) yang telah berlangsung 6 bulan atau lebih dan terjadi sebelum usia 7 tahun pada tingkat sampai menganggu penyesuaian diri dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan 2. Anamnesis 1.Tidak ada kelainan pendengaran 2. Tidak ada riwayat trauma 3. Tidak ada trauma persalinan 4. Tidak ada Penelantaraan anak 5. Tidak ada kelainan kongenital 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis 1. Tidak mampu memusatkan perhatiannya untuk waktu yang lama, 2. Perhatiannya mudah teralihkan oleh stimulus lain. Rentang waktu pemusatan perhatian yang singkat, kemampuan menyimak yang rendah 3. Hiperaktivitas a. Anamnesis. b. Pemeriksaan fisik. c. Pemeriksaan Neurofisiologis. d. Laporan prestasi akademis. e. Behavior Rating scales yang diperoleh dari beberapa sumber ( guru dan orang tua ). f. Harus memenuhi kriteria DSM IV. 1. Gangguan Pemusatan Perhatian (Inatensi) 2.Impulsivitas 3. Hiperaktivas 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN-HIPERAKTIVITAS (GPPH) 1 .Penyakit kronis 2. Gangguan tidur (Sleep disorders). 3. Depresi. 4. Gangguan kecemasan. 5. Obsessive-compulsive disorders. 6. Gangguan sekunder akibat stres. 7. Pervasive developmental disorders. 8. Gangguan psikiatri lainnya. 7. Pemeriksaan Penunjang 1. 2. 3. 4. 8. Terapi 1. Terapi Perilaku 2. Metilfenidat : -Short acting : 5-20 mg ( 2-3x/hari). -Intermediate-acting : 20-40 mg ( pagi 20 mg, sore 20 mg) -Long-acting : 18-72mg (1 kali/hari) 3. Amfetamin 9. Edukasi 1. Hubungan orang tua dan anak dipererat 2. Menghindari perlindungan orang tua yang berlebihan 3. Perhatian di sekolah oleh guru Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam IV C 1. Dr. Irwanto, dr., SpA(K) 2. Ahmad Suryawan, dr., SpA(K) 3. Mira Irmawati, dr., SpA(K) 4. Prof. Moersintowarti B.Narendra, dr., MSc, SpA(K) 1. Perhatian membaik 2. Aktivitas menjadi normal 1. American Academy of Pediatrics (2000), “Clinical practice guideline: diagnosis and evaluation of the child with ADHD”, Pediatrics, vol. 105, h. 1158-70. 2. American Academy of Pediatrics (2001), “Clinical practice guideline:Treatment of the school-aged child with ADHD”, Pediatrics, vol. 108, h. 1033-44. 3. Polaha, J., Cooper, S.L., Meadows, T., Kratochvil, C.J. (2005), “ The Assessment of AttentionDeficit/Hyperactivity Disorder in Rural Primar Care: The Portability of American Academy of Pediatrics 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan Darah lengkap Pemeriksaan pendengaran Pemeriksaan IQ Bila perlu MRI kepala Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 208 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN-HIPERAKTIVITAS (GPPH) Guidelines to “Real World” “, Pediatrics, vol 115, no 2, h. 120-6. 4. Reiff, M.I., (2001), Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder, dalam : Bergman, A.B. (penyunting), Twenty Common Problems in Pediatrics. Mc Graw-Hill, Singapura, h. 265-299. 5. Simms MD (2004), Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder, dalam : Behrman, R.E., Kliegman, R.M., Jenson, H.B. (penyunting) Nelson Textbook of Pediatrics, edisi ke-17, W.B.Saunders Co, Philadelphia, h. 107-10. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 209 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 CAMPAK 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis - Campak, measles, atau rubeola adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh virus campak. Penyakit ini sangat menular sejak awal masa prodromal sampai lebih kurang 4 hari setelah munculnya ruam. Penularan secara droplet (airborne). Campak mempunyai gejala klinis yang khas, terdiri dari 3 stadium, yaitu : 1. (Stadium masa tunas 10-12 hari) 2. Stadium prodromal 2-4 hari 3. Stadium erupsi 5-7 hari 4. Stadium konvalesen Stadium prodromal diawali dengan demam yang makin tinggi disertai batuk, pilek, nyeri telan, konjungtivitis dan silau bila kena cahaya (fotofobia), seringkali diikuti muntah dan diare. Pada masa ini dapat ditemukan tanda patognomonis adanya bercak Koplik’s, yaitu enantema di mukosa pipi di depan dari molar 3, yang biasanya muncul 2 hari sebelum timbulnya ruam. Pada hari ke 4-5 demam, timbul ruam makulopapular pada kulit, yang dimulai dari belakang telinga, batas antara rambut dan kulit, kemudian menyebar ke wajah, dada, perut, lengan dan kaki secara bersamaan. Suhu akan mulai turun pada hari ke 2-3 ruam, dan ruam kemudian mengalami hiperpigmentasi dan deskuamasi. Pada stadium konvalesen ruam akan berangsur menghilang sesuai dengan urutan timbulnya. Pada anak dengan gizi buruk gejala muntah dan diare bisa sangat berat. Bisa timbul komplikasi berupa otitits media, bronkopneumoni, mastoiditis, laryngitis akut, ensefalitis, gastroenteritis, adenitis servikal, SSPE (subacute sclerosing panencephalitis), aktivasi tuberculosis, dan gangguan gizi sampai kwashiorkor. Stadium prodromal didapatkan panas disertai 3C dan 1 K (cough, coryza, conjunctivitis, dan koplik’s spot) Stadium erupsi ditandai timbulnya ruam makulopapular yang bertahan 5-6 hari, yang dimulai dari batas telinga kemudian menyebar ke wajah dan seluruh tubuh. Sekitar 2-3 hari setelah ruam muncul biasanya panas akan menghilang. Stadium konvalesen setelah 3 hari ruam akan menjadi kehitaman dan mengelupas, dan menghilang setelah 1-2 minggu sesuai urutan timbulnya. Penentuan status gizi penderita penting karena gizi buruk mempunyai komplikasi yang berat Gejala fisik lainnya ditemukan sesuai dengan timbulnya komplikasi yang terjadi. A. diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksan tambahan 1. Anamnesa : Panas, batuk pilek dan konjuntivitis serta ditemukannya bercak Koplik’s (patognomonik) 2. Pemeriksaan fisik : Adanya ruam makulopapular yang timbul pertama dari belakang telinga kemudian menyebar ke wajah, dada dan seluruh tangan dan kaki. 3. Pemeriksaan Ig M spesifik campak (+) dan pemeriksaan virologi 4. kultur virus dari swab ginggiva atau urine B. Untuk campak dengan komplikasi : Ensefalitis Pneumonia 5. Pemeriksaan penunjang 1. 2. 3. 4. 5. 6. Diagnosis Campak Campak dengan komplikasi (ICD 10: B05.1,2,3,4) 7. Diagnosis Banding 8. Terapi Pemeriksaan darah lengkap : jumlah leukosit normal atau meningkat apabila ada komplikasi Pemeriksaan serologi : Ig M spesifik campak Feses lengkap jika diare Pemeriksaan penunjang untuk komplikasi : pungsi lumbal, foto polos dada, CT scan/MRI kepala. Analisa gas darah, elektrolit serum, dan gula darah acak sesuai indikasi 1. Rubela 2. Infeksi Adenovirus 3. Infeksi Enterovirus 4. Scarlet fever 5. Infeksius mononukleosus 6. Penyakit Kawasaki 7. Erupsi obat 8. Roseola infantum (eksantema subitum) • Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari : 1. Pemberian cairan yang cukup 2. Kalori yang sesuai dan jenis makanan yang disesuaikan dengan tingkat kesadaran dan adanya komplikasi 3. Suplemen nutrisi Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 210 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 CAMPAK 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan 4. Antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder 5. Anti konvulsi apabila terjadi kejang 6. Pemberian vitamin A. • Indikasi rawat inap : Hiperpireksia (suhu > 39,00 C), dehidrasi, kejang, asupan oral sulit, atau adanya komplikasi. • Campak tanpa komplikasi : 1. Hindari penularan 2. Tirah baring di tempat tidur 3. Vitamin A pada usia <6 bulan 50.000 IU, usia 6 bulan – 1 tahun 100.000 IU, pada usia > 1 tahun 200.000 IU, apabila disertai malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari. 4. Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai. Jenis makanan disesuaikan dengan tingkat kesadaran pasien dan ada tidaknya komplikasi. • Campak dengan komplikasi : 1. Ensefalopati/ensefalitis • Mengatasi kejang dengan diazepam • Antibiotika bila diperlukan, antivirus dan lainya sesuai dengan PPK ensefalitis • Kortikosteroid, bila diperlukan sesuai dengan PPK ensefalitis • Kebutuhan jumlah cairan disesuaikan dengan kebutuhan serta koreksi terhadap gangguan elektrolit • Pengobatan suportif dan simtomatis lain 2. Bronkopneumonia : • Antibiotika sesuai dengan PPK pneumonia • Oksigen nasal atau dengan masker • Koreksi gangguan keseimbangan asam-basa/gas darah dan elektrolit 3. Enteritis : koreksi dehidrasi sesuai derajat dehidrasi 1. Perlunya isolasi 2. Penyakit yang swasirna 3. Penjelasan tentang komplikasi yang bisa terjadi 4. Imunisasi campak termasuk dalam program imunsasi nasional sejak tahun 1982. Strategi reduksi campak terdiri dari : a. Pengobatan pasien campak dengan memberikan vitamin A b. Imunisasi campak PPI : diberikan pada umur 9 bulan. Imunisasi campak dapat diberikan bersama vaksin MMR pada umur 12-15 bulan Mass campaign, bersamaan dengan Pekan Imunisasi nasional Catch-up immunization, diberikan pada anak sekolah dasar kelas 1-6 c. Surveilans Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam IV C a. b. c. d. e. f. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. Prof. Dr. Ismoedijanto, dr, SpA(K), DTM&H Prof. Dr. Soegeng Soegijanto dr, SpA(K), DTM&H Prof. Parwati Setiono Basuki, dr, SpA(K), MSc (CTM) Widodo Darmowandowo, dr, SpA (K) Dominicus Husada, dr, SpA(K), DTM&H, MCTM (TP) Dwiyanti Puspitasari, dr, SpA(K), DTM&H, MCTM (TP) Bebas panas Tidak sesak dan tidak diare Nafsu makan membaik Ruam telah menghitam dan atau mengelupas Setelah 7 hari perawatan Tindak lanjut : a. Pada kasus campak dengan komplikasi bronkhopneumonia dan gizi kurang perlu dipantau terhadap adanya infeksi TB laten. b. Pantau gejala klinis serta lakukan uji Tuberkulin setelah 1-3 bulan penyembuhan. c. Pantau keadaan gizi untuk gizi kurang/buruk, konsultasi pada Divisi Nutrisi & Metabolik Parwati SB. Campak dalam perspektif perkembangan imunisasi dan diagnosis. Pediatri pencegahan mutakhir I, CE IKA Unair, 2000 : 73-92. Katz SL. Measles in Katz SL, Gershon AA, Hotez PJ (eds). Krugman’s Infectious Diseases of Children, 8th ed, St. Louis, Mosby, 1998 : 247-264. Kristensen I, Aaby P, Jensen H, Routine vaccination and child survival : Follow up study in Guinea-Bissou, West Africa. Br Med J. 2000; 321 : 1-8. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 211 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 CAMPAK 4. 5. 6. 7. 8. 9. Joklik WK. Paramyxovirus in Joklik WK, Virology, 3rd ed. London, Prentice-Hall International Inc., 1988; hal. 204-219. Redd SC, Markowitz LE, Katz SL, Measles vaccine in Plotkin and Orenstein (eds), Vaccines, 3rd ed, Philadelphia, WB Saunders, 1999 : 222-266. Toit DR, Ward KN, Brown DWG, Mirev E. Measles and rubella misdiagnosed as exanthema subitum (roseola infantum) Br Med J, 1996; 312 : 101-2. WHO. Manual for the laboratory diagnosis of measles virus infection. Geneva, 2000. WHO/V&B/00. 16. Heifand RF, Health JL, Anderson LJ, Gonus D, Bellini WJ. Diagnosis of measles with an IgM-captured EIA : the optimal timing of specimen collection after rash onset. J Infect Dis, 1997; 175 : 195-7. Shann F. Meta analysis of trials of prophylactic antibiotics for children with measles : inadequate evidence Br Med J, 1997; 314 : 334. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 212 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DEMAM BERDARAH DENGUE ( DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER ) 1) Pengertian (Definisi) 2) Anamnesis Infeksi virus dengue yang saat memasuki periode kritis disertai/disusul dengan kebocoran plasma/ plasma leakage dan gangguan hemostatik berupa munculnya perdarahan yang lebih prominen serta trombositopenia ≤ 100.000 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari dan disertai tidak mau bermain 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timul rewel yg tak jelas peyebabnya 3. Perdarahan pada kulit, mimisan, perdarahan gusi, muntah darah, dan hypermenorrhea 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam seperti morbili. Pada periode recovery dapat timbul “convalescence rash” berupa ruam seperti morbili dengan lokasi pada kedua extremitas bawah ( shoe like appearance) atau pada kedua ekstremitas atas (handglove like appearance) 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan atau gejala saluran cerna berupa diare ringan. 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting 7. Jika saat datang syok penderita akan mengeluh anyep dan loyo namun panas tidak lagi dijumpai - - 3) Pemeriksaan Fisik • • • • • • • 4) Kriteria Diagnosis 1. 2. 3. 4. Diagnosis 6) Diagnosis Banding 7) Pemeriksaan Penunjang Penting menetapkan hari sakit keberapa saat penderita datang Penderita tampak sakit sedang sampai berat, kadang disertai penurunan kesadaran Temperatur dapat sub febris normal atau sub normal Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes RL yang positif (>10 titik pada area berdiameter 1 inchi), atau dijumpai gejala perdarahan spontsan, berupa petekiae, ekimosis, perdarahan gusi, dan hypermenorhoea. Kadang dijumpai muntah darah dan berak darah Pada penderita DHF grade 3 dan 4 apabila dilakukan tes RL umumnya negatif Adanya kebocoran plasma yang bisa ditunjukkan dengan efusi pleura dan atau asites; ditunjang dengan hasil pemeriksaan tambahan Tanda vital Nadi dapat normal pada DHF grade 1 dan grade 2, sedangkan untuk DHF grade 3 nadi dapat cepat dan kecil, dan nadi tak teraba untuk DHF grade 1 dan grade 2. Pada DHF grade 3 terjadi penyempitan tekanan nadi ≤ 20 atau terjadi penurunan systole dan diastole Pada DHF grade 4 tekanan darah tak terukur Frekuensi nafas dapat normal, cepat dangkal maupun cepat dan dalam (pernapasan Kuzmaul) Hepatomegali Gejala klinik Gejala plasma leakage berupa peningkatan hematokrit ≥ 20 %, atau ditemukan adanya ascites dan efusi pleura, sedangkan untuk DHF grade 3 dan DHF grade 4 berupa gangguan sirkulasi/syok Gangguan hemostatik berupa trombositopenia ≤ 100.000 dan adanya tanda perdarahan mulai dari perdarahan ringan sampai perdarahan masif yang mengancam nyawa. Dapat ditunjang dengan hasil NS1 dan atau Ig M dan atau Ig G dengue positif Demam Berdarah Dengue (ICD 10: A91) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Dengue fever Trombositopenik purpura Infeksi virus lain seprti morbili, rubella, chikungunya Sepsis ITP, leukemia, anemia aplastik Syok karena sebab lain Malaria, demam tifoid. a. Darah lengkap, dijumpai adanya trombositopenia (≤ 100.000, dan peningkatan hematokrit ≥ 20 % , leukopenia, hasil hitung jenis menunjukkan limfopenia pada awal sakit dan netropenia pada akhir perjalanan sakit b. Photo / USG thorax didapatkan efusi pleura dextra USG abdomen dijumpai adanya ascites c. Pemeriksaan SGOT dan SGPT biasanya ada penignkatan walau tidak sampai 10 x harga normal, dalam prosentasi kecil SGOT dan SGPT dapat meningkat > 10 x harga normal d. Pemeriksaan Ig M dan Ig G Dengue e. NS1 f. Elektrolit serum, gula darah acak, dan albumin g. PPT dan APTT atas indikasi Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 213 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DEMAM BERDARAH DENGUE ( DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER ) 8) Terapi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9) Edukasi 10) Prognosis 11) Tingkat Evidens 12) Tingkat Rekomendasi 13) Penelaah Kritis 14) Indikator Medis Pemberian cairan intravena untuk mengatasi plasma leakage, prinsipnya “ diberikan seminimal mungkin untuk mempertahankan sirkulasi yang efektif”; “ disertai observasi ketat dari waktu ke waktu sampai plasma leakage berhenti “ Pemberian infus cairan RLD5 pada DHF grade I dan II yang LFT normal/ atau RAD5 pada penderita DHF grade I dan grade II yang SGOT dan SGPT nya > 10 x harga normal, dengan formula pemberian cairan 7-5-3 Pada penderita DHF grade 3 dan grade 4 syok diatasi secepat mungkin, kalau syok sudah teratasi pemberian cairan mengikuti formula 7-5-3 (lampiran algoritme pemberian cairan penderita DHF) Melakukan observasi ketat dari waktu ke waktu, meliputi Keadaan umum, nafsu makan dan capillary refill time (CRT) Tanda vital tekanan darah, nadi, frekuensi napas, temperatur Produksi urine Hematokrit Laboratorium sesuai kebutuhan Observasi ketat dilakukan sampai plasma leakage nya berhenti (peristiwa plasma leakage ≤ 2 x 24 jam) Tanda klinis berhentinya plasma leakage adalah tanda vital yang stabil, disertai munculnya gejala mau makan / minum serta mau bermain dari penderita Lakukan deteksi sedini mungkin syok pada penderita dengue, sebab prolong syok memperburuk prognosis Pada penderita DHF yang tidak memberi respon dengan pemberian cairan seperti diatas, maka segera cari kemungkinan dibawah, dan segera lakukan koreksi : Plasma leakage Perdarahan internal yang tersembunyi (“concealed internal bleeding”) Hypoglycemia Hyponatremia Hypocalcemia Asidosis Pemberian transfusi darah diperlukan apabila terjadi perdarahan. Transfusi trombosit jarang diberikan pada penderita DHF, kecuali apabila didapat Trombositopenia ≤ 50.000 yang disertai tanda perdarahan aktif. Pada perdarahan masif dapat diberikan transfusi wholeblood. Tranfusi FFP atas indikasi. Oksigen dan obat penurun panas atas indikasi Steroid biasanya diperlukan pada komplikasi jantung dan mata Inotropik, vasopressor, dan hemodialisis hanya pada kondisi tertentu 1) Perjalanan klinik infeksi virus dengue secara umum, dan keberadaan penderita dalam perjalanan klinik tersebut (natural course) 2) Penanganan yang sedang dilakukan. 3) Prognosis penderita 4) Program 4M Plus (menguras, menutup, mengubur, dan mencegah perindukan/sarang nyamuk) 5) Identifikasi kasus lain di lingkungan sekitar DHF grade 1 dan grade 2 Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fungsionam : dubia ad bonam DHF grade 3 Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam DHF grade 4 Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam IV A a. Widodo Darmowandowo, dr, SpA (K) b. Dominicus Husada, dr, SpA(K) c. Dwiyanti Puspitasari, dr, SpA d. Leny Kartina, dr, SpA e. Prof. Parwati Setiono Basuki, dr, SpA(K), MSc (CTM) f. Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H 1. Bebas demam 2x24 jam 2. Sudah tidak syok dalam 48 jam terakhir 3. Melewati hari kelima sakit 4. Nafsu makan membaik Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 214 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DEMAM BERDARAH DENGUE ( DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER ) 15) Kepustakaan 5. 6. 7. 8. 9. 10. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Hemodinamik stabil, produksi urine cukup Tidak ada perdarahan Tidak didapatkan muntah dan nyeri perut Trombosit lebih dari 50.000/mm3 dan cenderung meningkat Ada ruam penyembuhan pada sebagian kasus Setelah 5 hari perawatan World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.p.1-67. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated 2010 sept 1. Available from: http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control. Edisi kedua. WHO, Geneva, 1997. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1-146 Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics 1957;19:823 Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting. Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 215 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DEMAM TYPHOID 1. 2. Pengertian (Definisi) Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Pemeriksaan penunjang 5. Kriteria Diagnosis 6. 7. Diagnosis Diagnosis Banding 8. Terapi Penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan S. paratyphi Pada bayi tidak khas, bisa berupa diare yang ringan sampai berat. Bisa disertai panas tinggi. Bisa disertai ikterus. • Pada anak juga tidak khas, spektrum keluhannya luas, tetapi didapatkan 3 komponen keluhan, yaitu demam, gangguan saluaran cerna dan dapat disertai gangguan syaraf • Demam bersifat stepladder, pada hari ≥ ke 5 sakit biasanya demam terus menerus tinggi, diberi antipiretik turun sebentar kemudian naik lagi. Malam hari demam dirasakan lebih tinggi daripada siang hari. • Gangguan saluran cerna berupa nyeri perut, muntah, diare, obstipasi dan kembung • Gangguan syaraf kalau ada dapat berupa delirium atau penurunan kesadaran • Pada demam typhoid yang disertai komplikasi infeksi saluran kemih atau otitis media akut, yang biasanya terjadi pada minggu ke-2 sakit ditandai dengan panas yang tidak mau turun walau sudah mendapat antibiotika • Pada demam typhoid yang disertai komplikasi pneumonia, yang biasanya terjadi pada minggu ke-2 sakit didapati panas yang tidak turun walau diberi antibiotika dan juga disertai sesak nafas. • Pada demam typhoid yang disertai komplikasi ensefalopati yang biasanya terjadi pada akhir minggu pertama atau awal minggu ke-2 sakit, dijumpai kesadaran delirium/obtundasi, dan penderita bisa gaduh gelisah. • Pada demam typhoid yang disertai perforasi usus, yang biasanya terjadi pada akhir minggu ke-2 sakit atau awal minggu ke-3,, didapati nyeri abdomen yang disusul dengan tanda perforasi usus dan peritonitis • Pada bayi tidak khas, dapat dijumpai febris tinggi, hepatomegali, splenomegali, ikterus • Pada anak dapat dijumpai febris ≥ 5 hari, dengan kesadaran mulai komposmentis hingga delirium atau penurunan kesadaran, bibir pecah-pecah, lidah kotor, meteorismus, hepatomegali dan splenomegali • Gejala klinik lain sesuai dengan komplikasi yang terjadi 1. Pemeriksaan darah tepi, demam typhoid klasik akan mendapat leukopenia dan relative lymphositosis 2. Pemeriksaan serologi widal O dilakukan hari ke ≥ 5 sakit dengan titer 1/200. Widal terbaik dapat dilakukan 2 kali dengan jarak 5-7 hari dan didapatkan peningkatan titer >4x. 3. Pemeriksaan serologi Ig M dengan metode Tubex (antibodi anti-Salmonella 09) dilakukan hari ke ≥ 5 sakit dengan hasil ≥ + 4 4. Pemeriksaan kultur salmonella typhi dari specimen darah, dilakukan pada sebelum hari ke- 5 sakit dengan hasil positif. Biakan sumsum tulang dapat positif hingga minggu ke-4. 5. Atas indikasi tertentu dilakukan : Pemeriksaan serum elektrolit, glukosa darah, SGOT, SGPT, BUN dan serum kreatinin Pemeriksaan urine, atau kultur urine Pemeriksaan thorax photo Pemeriksaan USG abdomen Pemeriksaan CT scan / MRI otak Sesuai dengan : Gejala klinik Pemeriksaan darah tepi Pemeriksaan serologi Pemeriksaan kultur salmonella typhosa dari spesimen darah Demam Tifoid (ICD10: A01.00) 1. Awal sakit adalah influenza, bronchitis, bronchopneumonia, gastroenteritis, infeksi virus dengue, sepsis, UTI 2. Phase lanjut ( ≥ minggu ke 2) tuberculosis, malaria, sepsis, infeksi saluran kemih, otitits media akuta, keganasan, UTI, hepatitis, shigellosis 1. Kalau diperlukan diberi infus cairan sesuai dengan umur dan kebutuhan 2. Antibiotika Penderita terapi ambulatoir dapat dipakai : Chloramphenikol oral dengan dosis 50-100 mg/kgBB terbagi dalam 4 dosis sampai 2 minggu. Monitor efek samping terutama dengan pemeriksaan retikulosit. Amoxicillin oral dengan dosis 100 mg per kgBB sampai 2 minggu Cefixime oral dengan dosis 10 – 15 mg per kgBB terbagi dalam 2 dosis selama 2 minggu Pada penderita yang indikasi rawat inap, diberikan ceftriaxone 80 mg per kgBB per hari dibagi 2 kali, dengan lama pemberian selama 5 – 10 hari Pada penderita yang disertai komplikasi pneumonia, otitis media akuta maupun infeksi saluran kemih, ceftriaxone dengan dosis dan lama pemberian sama dengan diatas Pada penderita yang resisten terhadap ceftriaxone, maka pemberian ciprofloxacine dengan dosis 15 mg per kgBB dalam dosis terbagi selama 7 – 10 hari 3. Pada karier S. typhi (tetap ada dalam urin/feses selama lebih dari 6-12 bulan): amp[isilin 100/mg/kgBB/hari dibagi 4, selama 6-12 minggu ; atau kotrimoksasol 4-20 mg/kgBB/hari dibagi 2 selama 6-12 minggu • Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 216 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DEMAM TYPHOID 4. 9. Edukasi 10. Prognosis 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan Kortikosteroid dosis tinggi (metode Hoffman) diberikan pada penderita demam tifoid yang disertai komplikasi ensefalopati 5. Pada anak besar, diet menghindari serat serta mobilisasi bertahap sebaiknya diberlakukan 6. Antipiretika sesuai kebutuhan 7. Tindakan bedah mungkin diperlukan juka ada perforasi/peritonitis 1) Perjalanan klinik infeksi demam typhoid secara umum, dan posisi penderita dalam perjalanan klinik tersebut (natural course) 2) Penanganan yang sedang dilakukan 3) Prognosis penderita 4) Isolasi dan menghindari penularan secara fekal-oral 5) Imunisasi Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fungsionam : dubia ad bonam IV C a. Widodo Darmowandowo, dr, SpA (K) b. Dominicus Husada, dr, SpA(K) c. Dwiyanti Puspitasari, dr, SpA d. Leny Kartina, dr, SpA e. Prof. Parwati Setiono Basuki, dr, SpA(K), MSc (CTM) f. Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H 1. Bebeas demam 2x24 jam 2. Nafsu makan dan minum membaik 3. Perbaikan kondisi klinis penderita 4. Tidak ada komplikasi atau sudah membaik 5. Pemeriksaan darah lengkap 6. Setelah 7 hari perawatan 1. American Academy of Pediatrics. Salmonella infections. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS,McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 report of the committee in infectious diseases. Edisi ke-27.Elk Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics; 2006, h.57984. 2. Cleary TG. Salmonella species. Dalam: Dalam : Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases. Edisi ke- 2. Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003. h. 830-5. 3. Cleary TG. Salmonella. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004, h. 912-9. 4. Pickering LK dan Cleary TG. Infections of the gastrointestinal tract. Dalam: Anne AG, Peter JH, Samuel LK, penyunting. Krugman’s infectious diseases of children. Edisi ke-11. Philadelphia; 2004, h. 212-3 Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 217 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DEMAM DENGUE ( DENGUE FEVER ) 1) Pengertian (Definisi) 2) Anamnesis Infeksi virus dengue yang saat memasuki periode kritis tanpa disertai plasma leakage/kebocoran plasma, tetapi didapatkan adanya trombositopenia 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari dan disertai tidak mau bermain 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timbul rewel yg tak jelas penyebabnya 3. Perdarahan kulit, mimisan, perdarahan gusi, muntah darah, dan hypermenorrhea 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam seperti morbili. Pada periode recovery dapat timbul “convalescence rash” berupa ruam seperti morbili dengan lokasi pada kedua extremitas bawah ( shoe like appearance) atau pada kedua ekstremitas atas (handglove like appearance) 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan atau gejala saluran cerna berupa diare ringan. 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting - - 3) Pemeriksaan Fisik • • • • • • • • • 4) Kriteria Diagnosis 6) Diagnosis Diagnosis Banding 7) Pemeriksaan Penunjang 8) Terapi 9) Edukasi 10) Prognosis 11) Tingkat Evidens Penting menetapkan hari sakit keberapa saat penderita datang Penderita dapat tampak sakit ringan, sedang, sampai berat. Pada penderita bayi dapat tampil rewel sekali Temperature dapat febris, sub febris, normal atau sub normal Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes Rumpel Leede yang positif, atau dijumpai gejala perdarahan spontan, berupa petekiae, ekimosis, perdarahan gusi, dan hypermenorhoea Dapat dijumpai gejala saluran napas atas berupa pilek, batuk, pharyngitis ringan Pada hari sakit 1-3 dapat dijumpai flushing terutama pada muka Pada hari sakit 3-5 dapat dijumpai ruam morbiliform Dapat dijumpai adanya “convalescence rash” pada periode recovery Dapat dijumpai hepatomegali 1. 2. 3. Gejala dan tanda klinik sesuai anamnesis dan pemeriksaan fisik Trombositopenia (<100.000/mm3). Sering disertai leukopenia (<4000/mm3) Tanpa kebocoran plasma yang ditandai dengan tak didapatkannya peningkatan hematokrit, dan atau tak dijumpai adanya ascites dan atau efusi pleura dextra. 4. NS1 antigen dengue + atau Ig M dengue + Demam Dengue (ICD10: A90) 1. Undifferentiated fever 2. Dengue Hemorrhagic fever grade I dan grade II 3. Trombositopenik purpura, leukemia, anemia aplastik 4. Infeksi virus lain seperti campak, rubella, chikungunya 5. Demam tifoid, malaria a. Darah lengkap, dijumpai adanya trombositopenia (< 150.000, dapat > 100.000, tetapi ada yang ≤ 50.000 dengan hematokrit normal b. Pada hari sakit ≤ 3, periksa NS1 Antigen Dengue Pada hari sakit ke 4 periksa NS1 Antigen Dengue dan Ig M-Ig G Dengue Pada hari sakit ≥ 5 periksa Ig M dan Ig G Dengue c. Photo / USG thorax menyingkirkan adanya efusi pleura USG abdomen untuk menyingkirkan adanya ascites d. ALT/AST dan gula darah acak jika diperlukan 1. Kalau diperlukan diberikan infus cairan rumatan sesuai umur, dengan memenuhi kebutuhan cairan sesuai formula Halliday Segar 2. Apabila trombosit <50.000 dan disertai tanda perdarahan aktif diberikan transfusi trombosit 3. Pada perdarahan massif dapat diberikan transfusi wholeblood 4. Parasetamol 5. Diazepam jika kejang (kejang demam) 1) Perjalanan klinik infeksi virus dengue secara umum, dan keberadaan penderita dalam perjalanan klinik tersebut (natural course) 2) Penanganan yang sedang dilakukan. Pengobatan utama adalah cairan. 3) Prognosis penderita 4) Program 4M Plus (menguras, menutup, mengubur, dan mencegah perindukan/sarang nyamuk) 5) Identifikasi kasus lain di lingkungan sekitar Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fungsionam : dubia ad bonam IV Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 218 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DEMAM DENGUE ( DENGUE FEVER ) 12) Tingkat Rekomendasi 13) Penelaah Kritis 14) Indikator Medis 15) Kepustakaan A a. b. c. d. e. f. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Widodo Darmowandowo, dr, SpA (K) Dominicus Husada, dr, SpA(K) Dwiyanti Puspitasari, dr, SpA Leny Kartina, dr, SpA Prof. Parwati Setiono Basuki, dr, SpA(K), MSc (CTM) Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H Bebas demam 2x24 jam Melewati hari kelima sakit Nafsu makan membaik Hemodinamik stabil, produksi urine cukup Tidak ada perdarahan Tidak didapatkan muntah dan nyeri perut Trombosit lebih dari 50.000/mm3 dan cenderung meningkat Ada ruam penyembuhan pada sebagian kasus World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.p.167. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated 2010 sept 1. Available from: http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control. Edisi kedua. WHO, Geneva, 1997. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1-146 Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics 1957;19:823 Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting. Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 219 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DIPHTHERIA 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis suatu penyakit infeksi toksik akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan/atau mukosa. Di negara lain penyebab juga melibatkan C. Ulcerans dan C. Pseudotuberculosis.. Difteri Hidung Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen, disertai lecet pada nares dan bibir atas. Dapat terjadi epistaxis …… Difteri Tonsil-Faring Gejala anoreksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan …….. Difteri Laring Biasanya merupakan perluasan difteri faring, pada difteri laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas atas Difteri Kulit Berupa tukak di kulit, tepi, kelainan cenderung menahun. Unusual types - konjungtiva, vulvovaginal, anal, telingaDifteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra, dapat disertai air mata bercampur darah. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau. Pada daerah vulvovaginal berupa tukak yang bergerombol, dapat meluas ke daerah perineum dan anal. Perlu anamnesis tambahan tentang status imunisasi difteri Ditanyakan adanya kontak atau adanya kasus difteri di sekitar penderita Pada umumnya penderita tidak panas tinggi. Gejala dan tanda bergantung pada lokasi difteri. Difteri Hidung Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. gejala sistemik yang timbul tidak nyata Difteri Tonsil-Faring Membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal menuju laring dan trachea. Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Dapat terjadi lymphadenitis servikalis dan submandibularis bila bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck. Gejala selanjutnya tergantung derajat elaborasi toksin dan luas membran. Bila kasus berat, bisa terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni- maupun bilateral, disertai kesulitan menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam satu minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit pada jantung atau saraf. Pada kasus ringan membran terlepas dalam 7-10 hari; biasanya terjadi penyembuhan sempurna. Difteri Laring Biasanya merupakan perluasan difteri faring, pada difteri laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas atas. Gejala sukar dibedakan dari tipe infectious croup yang lain seperti nafas berbunyi, stridor progresif, suara parau, batuk kering dan pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, subcostal dan supraclavicular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran meluas ke percabangan tracheobronchial. Dalam hal difteri laring sebagai perluasan difteri faring, gejala merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia. Difteri Kulit Berupa tukak di kulit, tepi jelas, dengan membran pada dasarnya. Unusual types - konjungtiva, vulvovaginal, anal, telingaDifteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra, dapat disertai air mata bercampur darah Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau Pada daerah vulvovaginal berupa tukak yang bergerombol, dapat meluas ke daerah perineum dan anal. 1. Untuk memperkirakan kemungkinan penderita difteri perlu dikenali definisi klinis kasus difteri dengan klasikasi kasus suspected, probable, dan confirmed. Confirmed terdiri dari indigenous atau imported. Termasuk suspected case adalah laringitis, atau nasofaringitis, atau tonsilitis disertai pseudomembran. Probable case bila suspected case disertai satu di antara kriteria-kriteria sebagai berikut: -kontak dalam waktu pendek (kurang dari 2 minggu) dengan kasus confirmed -pada saat bersamaan terdapat epidemi difteri di area tersebut -stridor -pembengkakan/edema leher -perdarahan submukosa atau petekie di kulit -toxic circulatory collapse -insufisiensi renal akut -miokarditis dan/atau kelumpuhan motorik 1-6 minggu awitan sakit -meninggal Confirmed case bila probable case disertai isolasi strain toksigenik C diphtheriae dari lokasi tipikal (hidung, tenggorok, ulkus kulit, luka, konjungtiva, telinga, vagina) atau ≥ 4X kenaikan serum antitoksin, tetapi hanya bila kedua sampel serum diambil sebelum pemberian toksoid atau antitoksin difteri. Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 220 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DIPHTHERIA 2. 5. 6. Diagnosis Diagnosis Banding 7. Pemeriksaan Penunjang 8. Terapi 9. Edukasi 10. Prognosis Diagnosis harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. 3. Penentuan kuman difteri dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. 4. Diagnosis pasti bila diisolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan tes toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). (di BBLK Surabaya pembiakan dilakukan menggunakan media transport Amies, ditanam pada media Hoyle, kemudian ditapis (skrin) untuk menentukan toksigenisitas), Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih lanjut untuk penggunaan secara luas. Cara lain adalah dengan pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap difteri. Difteria (ICD10: A36.9) Difteri Hidung : 1. Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis) 2. Benda asing dalam hidung 3. Snuffles (lues congenita) . Diteri faring : . Tonsilitis membranosa akuta oleh karena streptokokus (tonsillitis akuta/septic sore throat) 2. Mononucleosis infectiosa 3. Tonsilitis membranosa non bakterial 4. Tonsillitis herpetika primer 5. Moniliasis 6. Blood dyscrasia 7. Pasca tonsilektomi Difteri Laring : 1. Infectious croup yang lain 2. Spasmodic croup 3. Angioneurotic edema pada laring 4. Benda asing dalam laring Difteri Kulit : 1. Impetigo 2. Infeksi oleh karena. streptokokus /stafilokokus Difteri konjungtiva : . Konjungtivitis karena virus atau bakteri lain a. Darah lengkap b. Kultur hapusan hidung dan tenggorok, lesi kulit, konjungtiva palpebra untuk difteri dan kuman lain… c. Pengecatan gram d. Urin lengkap e. elektrokardiografi f. bila perlu foto dada g. Pada keadaan berat ditambahkan analisis gas darah, elektrolit serum, dan gula darah acak 1.Isolasi dan Karantina Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui, masing-masing dengan selang waktu ≥ 24 jam. Pada umumnya isolasi dilakukan sedikitnya 10 hari 2.Tatalaksana medikamentosa Tujuan mengobati penderita difteri adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteri a. Serum antidifteri. Untuk difteri berat (tonsil-faring, dengan atau tanpa komplikasi) 100.000 iu, pada difteri sedang (misalnya difteri tonsil saja) 40.000 iu, dan pada difteri ringan (nasal, kulit, konjungtiva) 20.000 iu. b. Antibiotik penisilin prokain im (50.000-100.000 iu/kg/hari) atau eritromisin po (50 mg/kg/hari, dibagi 3). Jika didapatkan infeksi sekunder dapat ditambahkan kloksasilin iv (30 mg/kg/hari, dibagi 3) c. Imunisasi DPT, DT, atau Td tergantung usia. Diberikan sedikitnya 2 minggu setelah ADS. d. Pengobatan penyulit yang pada umumnya berupa miokarditis, nefritis, dan neuritis. a. Difteri adalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Jadi perlu diperhatikan imunisasi sesuai usia b. Difteri penyakit menular yang memerlukan isolasi ketat c. Kontak erat penderita memerlukan penanganan epidemiologis khusus d. Perlu follow-up untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya komplikasi lambat yang memerlukan pengobatan suportif karena biasanya bersifat reversibel. Yang dapat muncul lambat biasanya adalah neuritis seperti paralisis palatum molle (hingga minggu keenam) Difteri berat : Ad vitam : dubia ad malam Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 221 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 DIPHTHERIA Ad sanationam : dubia ad malam Ad fungsionam : dubia ad malam Difteri lain : Pada umumnya dubia ad bonam 11. Tingkat Evidens 12. Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan a. b. c. d. e. a. b. c. d. e. f. a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. I/II/III/IV A/B/C Prof. Parwati S. Basuki, dr., SpA(K), MSc (CTM) Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H Widodo Darmowandowo, dr., SpA(K) Dominicus Husada, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP) Dwiyanti Puspitasari, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP) Bebas demam Bisa makan dan minum Membran menghilang Hasil kultur hapusan tengorok dan hidung negatif Komplikasi – jika ada- sudah membaik. Setelah 14 hari perawatan American Academy of Pediatrics. Diphtheria. In: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, et al, eds Red book: 2006 Report of the committee on infectious diseases 27th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2006: 277 Buescher ES. Diphtheria (Corynebacterium diphtheriae) in: Kliegman RM, Stenton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed Philadelphia: WB Saunders, 2011; 929. Christie AB, ed. Diphtheria. Infectious Diseases: Epidemiology and clinical practice. Edinburgh London New York : Churchill Livingstone, 1987; 1183-209. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. Pedoman Penanggulangan KLB Diphteri di Jawa Timur. 2011. Feigin RD, Stechenberg BW, Nag PK. Diphtheria. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, Demmler-Harrison GJ, Kaplan SL, eds. Feigin & Cherry’s Textbook of Pediatric Infectious Diseases 6th ed 2009:13931402 Guilfoile PG. Diphtheria. Dalam: Babcock H, Heyman D, eds. Deadly diseases and epidemics: Diphtheria. New York, Chelsea House 2009 Halsey NA, Smith MHD. Diphtheria. Dalam: Warren KS, Mahmoud AAF, eds. Tropical and Geographical Medicine. International Student Edition. New York : Mc Graw-Hill, 1990, 860-6. Hodes HL. Diphtheria. Ped. Clin.North America 1979; 26 : 445. McCloskey RV. Corynebacterium diphtheriae (Diphtheria). Dalam : Mandel GL, Douglas RG, Bennett JE, eds. Principles and practice of Infectious Diseases. Churchill Living stone : John Wiley & Sons inc. 1985; 1171-4. Top FH, Wehrle PF,eds. Diphtheria. Communicable and Infectious Disease. St. Louis. The CV Mosby Co. 1976 : 223-38. Wharton M. Diphtheria. Dalam: Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, eds. Krugman’s Infectious Diseases of Children. 11th ed St. Louis : The Mosby Co, 2004 : 85-96. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 222 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 INFEKSI VIRUS DENGUE 1) Pengertian (Definisi) 2) Anamnesis 3) Pemeriksaan Fisik 4) Kriteria Diagnosis Diagnosis 6) Diagnosis Banding 7) Pemeriksaan Penunjang 8) Terapi Penyakit akut sistemik dan dinamis yang disebabkan oleh virus dengue, ditandai dengan febris yang imbul mendadak, disusul dengan periode kritis dan periode recovery. 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari disertai tidak mau bermain 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timul rewel yg tak jelas peyebabnya 3. Perdarahan kulit, mimisan, perdarahan gusi, hypermenorrhea 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam seperti morbili 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan atau gejala saluran cerna berupa diare ringan. 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting • Penting menentukan hari sakit keberapa saat penderita datang • Penderita dapat tampak sakit ringan, sedang, sampai berat. Pada penderita bayi dapat tampil rewel sekali • Panas, temperature dapat tinggi sampai 39 bahkan 40oC saat awal sakit, atau mulai menurun sekitar 37-38oC saat mau memasuki periode kritis. • Pada awal sakit dapat dijumpai adanya kemerahan pada muka atau kemerahan pada kulit (“flushing”), atau berupa ruam seperti morbili • Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes Rumpel Leede, atau dijumpai gejala perdarahan spontan berupa petekiae, ekimosis, perdarahan gusi, atau hypermenorhoea • Dapat dijumpai gejala pilek, batuk ringan atau pharyng sedikit hiperemia atau gejala diare ringan • Dapat dijumpai hepatomegali 1. Gejala klinik 2. Leukopenia, mungkin disertai trombositopenia, SGOT (dan SGPT) meningkat 3. NS1 antigen dengue + 4. Ig M dengue + 1. Diagnosis probable infeksi virus dengue berdasar adanya keluhan panas tinggi yang timbul mendadak disertai 2 dari gejala yang lain (nyeri, flushing/ruam, tanda perdarahan RL tes +/perdarahan spontan) disertai leukopenia, dan mungkin SGOT dan SGPT meningkat 2. Dalam perjalanan klinik setelah panas turun infeksi virus dengue akan menjadi : - Undifferentiated fever yang tidak disertai trombositopenia dan plasma leakage, atau - Dengue fever yang disertai trombositopenia tanpa plasma leakage atau - Dengue haemorrhagic fever yang disertai trombositopenia dan plasma leakage atau - Unusual clinical manifestation/expanded dengue syndrome, berupa infeksi virus dengue dengan keterlibatan organ hepar (liver involvement), organ central nerve system (CNS involvement), organ jantung dan keterlibatan organ lainnya atau adanya perdarahan yang massif 3. Untuk penderita infeksi virus dengue yang tak disertai trombositopenia dan plasma leakage, pemeriksaan etiologi dengan memeriksa NS1 antigen dengue, Ig M dan Ig G dengue menjadi sangat perlu untuk diagnosis infeksi virus dengue. 1. Infeksi virus Chikungunya 2. Demam typhoid awal 3. Exanthema subitum 4. Sepsis 5. Malaria 6. Morbili, rubella a. Darah lengkap, dijumpai leukopenia b. SGOT biasanya sedikit meningkat sedangkan SGPT lebih jarang meningkat c. Pada hari sakit ≤ 3, periksa NS1 Antigen Dengue d. Pada hari sakit ke 4 periksa NS1 Antigen Dengue dan Ig M-Ig G Dengue e. Pada hari sakit ≥ 5 periksa Ig M dan Ig G Dengue 1. Pada penderita yang datang pada periode febris, maka pengobatan yang diberikan : • Antipiretik Parasetamol sebagai pilihan dengan dosis 10 mg/kgbb/kali, tidak lebih dari 4 kali • Hindari asam salisilatdan ibuprofen • Antibiotika tidak diperlukan • Makan dan minum disesuaikan dengan kondisi nafsu makan dan kemauan minumnya • Kebutuhan cairan harus dipenuhi. Pemberian cairan dapat peroral, akan tetapi apabila penderita tidak mau minum, muntah terus, maka pemberian cairan intra vena pilihannya (sesuai Formula Halliday Segar yang dikenal sebagai formula cairan rumatan) Berat badan ( kg ) Vol cairan rumatan 24 jam 10 100 cc / Kg BB 10 – 20 1000 cc + 50 cc / Kg BB > 10 Kg 20 1500 cc + 20 cc / Kg BB > 20 Kg Setiap derajat kenaikan temperatur, cairan ditambah 12 % kebutuhan 1 hari Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 223 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 INFEKSI VIRUS DENGUE 9) Edukasi 10) Prognosis 11) Tingkat Evidens 12) Tingkat Rekomendasi 13) Penelaah Kritis 14) Indikator Medis 15) Kepustakaan 2. Apabila penderita ditetapkan berobat jalan, kalau dalam perjalanan sakitnya didapatkan keluhan dan tanda klinik sebagai berikut, penderita segera dibawa ke ruamah sakit terdekat. Gejala dan tanda klini yang dimaksud adalah : Nyeri abdomen Muntah persisten Perdarahan Panas yang tidak terkontrol dengan antipiretik Lethargi/restlessness Hepatomegali > 2 cm Laboraturium ada peningkatan hematokrit disertai penurunan trombosit secara cepat Penderita tampak loyo, dan pada perabaan terasa dingin 3. Apabila ditetapkan rawat inap, maka pemberian cairan rumatan intravena diberikan, kemudian di follow up apakah pada waktu panas mulai turun, penderita menjadi undifferentiated fever, dengue fever, dengue haemorrhagic fever ataukah unusual clinical manifestation of dengue viral infection 1) Perjalanan klinik infeksi virus dengue secara umum, dan keberadaan penderita dalam perjalanan klinik tersebut (natural course) 2) Penanganan yang sedang dilakukan. Pengobatan utama adalah cairan. 3) Prognosis penderita 4) Program 4M Plus (menguras, menutup, mengubur, dan mencegah perindukan/sarang nyamuk) 5) Identifikasi kasus lain di lingkungan sekitar. Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fungsionam : dubia ad bonam IV A a. Widodo Darmowandowo, dr, SpA (K) b. Dominicus Husada, dr, SpA(K) c. Dwiyanti Puspitasari, dr, SpA d. Leny Kartina, dr, SpA e. Prof. Parwati Setiono Basuki, dr, SpA(K), MSc (CTM) f. Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H Keadaan umum penderita Tanda Vital Setelah 5 hari perawatan 1. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.p.1-67. 2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated 2010 sept 1. Available from: http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html. 3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control. Edisi kedua. WHO, Geneva, 1997. 4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1-146 5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics 1957;19:823 6. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting. Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 224 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 MALARIA BERAT (ICD 10: B50.0) 1) Pengertian (Definisi) 2) Anamnesis 3) Pemeriksaan Fisik 4) Kriteria Diagnosis 5) 6) Diagnosis kerja Diagnosis Banding 7) Pemeriksaan Penunjang 8) Terapi Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang disebabkan oleh satu atau lebih spesies Plasmodium, ditandai dengan panas tinggi bersifat intermiten, anemia, dan hepato-splenomegali. a) Pasien berasal dari daerah endemis malaria, atau riwayat bepergian ke daerah endemismalaria. b) Lemah, nausea, muntah, tidak ada nafsu makan, nyeri punggung, nyeri daerah perut, pucat, mialgia, dan atralgia. c) Malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa serangan demamdengan interval tertentu (paroksisme), diselingi periode bebas demam. Sebelum demampasien merasa lemah, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah. d) Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis -- Plasmodium atauinfeksi ber ulang dari satu jenis Plasmodium), demam dapat berlangsung terus menerus (tanpa interval), e) Pada pejamu yang imun gejala klinisnya minimal. f) Periode paroksisme terdiri atas stadium dingin (cold stage), stadium demam (hotstage), dan stadium berkeringat (sweating stage). g) Paroksisme jarang dijumpai pada anak, stadium dingin seringkali bermanifestasisebagai kejang h) Pada sebagian kasus akan didapatkan kesadaran yang menurun, atau urine berwarna coklat, atau ikterus. a) Pada malaria ringan dijumpai anemia, muntah , diare, ikterus, dan hepato-splenomegali. b) Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh P.falciparum, disertai satu atau lebih kelainan sebagai berikut: • Hiperparasitemia, bila >5% eritrosit dihinggapi parasite • Malaria serebral dengan kesadaran menurun • Anemia berat, kadar hemoglobin <7 g/dl • Perdarahan atau koagulasi intravaskular diseminata • Ikterus, kadar bilirubin serum >50 mg/dl • Hipoglikemia, kadang-kadang akibat terapi kuinin • Gagal ginjal, kadar kreatinin serum >3 g/dl dan diuresis <400 ml/24jam • Hiperpireksia • Edem paru • Syok, hipotensi, gangguan asam basa • Urine berwarna coklat (black water fever) a) Sesuai dengan anamnesis b) Sesuai dengan pemeriksaan fisik Malaria Berat (ICD 10: B 50.0) a) Demam tifoid b) Meningitis c) Apendisitis d) Gastroenteritis e) Hepatitis f) Influenza dan infeksi virus lainnya g) Sepsis h) Riketsiosis a) Pemeriksaan apus darah tepi: Tebal: ada tidaknya Plasmodium Tipis: identifikasi spesies Plasmodium/tingkat parasitemia b) RDT c) Pemeriksaan penunjang lain sesuai dengan komplikasi yang terjadi: i) DPL, HJ, LED ii) Urinalisis iii) SGOT, SGPT, bilirubin T/D/I iv) Alkali fosfatase, albumin v) Ureum, kreatinin vi) AGD dan elektrolit vii) Gula darah sewaktu viii) EKG ix) Foto toraks x) Analisis cairan serbrospinalis xi) Hitung parasit a) b) Antipiretik apabila demam >39oC Suportif • Pemberian cairan, nutrisi, transfusi darah • Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan dengan pemberian oralatau parenteral • Pelihara keadaan nutrisi • Transfusi darah pack red cell 10 ml/kgbb atau whole blood 20 ml/kgbb apabila anemia dengan Hb <7,1g/dl Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 225 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 MALARIA BERAT (ICD 10: B50.0) • • • Bila terjadi perdarahan, diberikan komponen darah yang sesuai Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik, bila perlu pasang CVP. Dialisis peritoneal dilakukan pada gagal ginjal • Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan oksigen • Apabila terjadi gagal napas perlu pemasangan ventilator mekanik (bila mungkin) • Pertahankan kadar gula darah normal Medikamentosa c) Pilihan utama: Artesunat intravena Pengobatan malaria di tingkat RS dianjurkan untuk menggunakan artesunate intravena. Kemasan dan cara pemberian artesunat Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik dan pelarut dalam ampul yang berisi 0,6 ml natrium bikarbonat 5%. Larutan artesunat dibuat dengan mencampur 60 mg serbuk kering artesunik dan 0,6 ml natrium bikarbonat 5%,diencerkandengan Dextrose 5% sebanyak 3-5 cc dan diberikan secara bolus perlahan-lahan. Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgbb per-iv sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgbb per-iv setiap 24 jam sampai penderita mampu minum obat. Pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin ( ACT lainnya)+ primakuin. Kemasan dan cara pemberian artemeter Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter dalam larutan minyak. Artemeter diberikan dengan dosis 1,6mg/kgbb intramuskular dan diulang setelah 12 jam. Selanjutnya artemeter diberikan 1,6 mg/kgbb intramuskular satu kali sehari sampai penderita mampu minum obat. Bila penderita sudah dapat minum obat, pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin ( ACT lainnya)+ primakuin. Obat alternatif: Kina dihidroklorida parenteral, Quinine Kemasan dan cara pemberian kina parenteral Kina per-infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat pada daerah yang tidak tersedia derivat artemisinin parenteral. Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina dihidroklorida 25%. Satu ampul berisi 500 mg/2 ml. Dosis kina HCl 25 % (per-infus): dosis 10 mg/kgbb (bila umur < 2 bulan: 6 - 8 mg/kg bb) diencerkan dengan dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 % sebanyak 5 - 10 ml/kgbb diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat, selanjutnya diberikan kina peroral sampai 7 hari. Catatan 1) 2) 3) 4) 5) 6) 9) Edukasi 10) Prognosis 11) Tingkat Evidens 12) Tingkat Rekomendasi 13) Penelaah Kritis Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan kematian. Pada penderita dengan gagal ginjal, dosis rumatan kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya. Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan primakuin dengan dosis 0,75 mg/kgbb. Dosis kina maksimum : 2.000 mg/hari. Hipoglikemia dapat terjadi pada pemberian kina parenteral oleh karena itu dianjurkan pemberiannya dalam Dextrose 5% Klorokuin tidak lagi dapat digunakan untuk semua jenis malaria di Indonesia a) Pemakaian kelambu saat tidur b) Penggunaan losion anti nyamuk c) Minum obat malaria pencegahan apabila bepergian kedaerah endemis malaria Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fungsionam : dubia ad bonam IV C a) Dominicus Husada, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP) b) Dwiyanti Puspitasari, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP) c) Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H d) Prof. Parwati S. Basuki, dr., SpA(K), MSc (CTM) e) Widodo Darmowandowo, dr., SpA(K) Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 226 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 MALARIA BERAT (ICD 10: B50.0) 14) Indikator Medis 15) Kepustakaan 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. Bebas demam 2x24 jam tanpa antipretik Respon klinis dan parasitologis memadai Tidak ada parasitemia Tidak ditemukan komplikasi atau sudah membaik Setelah 10 hari perawatan American Academy of Pediatrics. Malaria. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 Report of the committee in infectious diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics; 2006, h. 435-41. Daily JP. Malaria. Dalam: Anne AG, Peter JH, Samuel LK, penyunting. Krugman’s infectious diseases of children. Edisi ke-11. Philadelphia; 2004. h. 337-48. Krause, Peter J. Malaria (Plasmodium). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia; 2004. h. 1139-43. Wilson CM. Plasmodium species (Malaria). Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke- 2. Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003, h.1295-1301. World Health Organization. Severe falciparum malaria. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2000. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 227 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 SEPSIS (ICD 10: A41.9) 1) Pengertian (Definisi) 2) Anamnesis a) b) c) d) e) 3) Pemeriksaan Fisik 4) Kriteria Diagnosis 5) 6) Diagnosis kerja Diagnosis Banding 7) Pemeriksaan Penunjang 8) Terapi Sepsis atau septicemia adalah keadaan ditemukannya gejala klinis terhadap suatu penyakit yang berat, disertai dengan ditemukannya respons sistemik yang dapat berupa hipotermia, hipertermia, takikardia, hiperventilasi dan letargi. Dari hasil biakan dapat ditemukan mikroorganisme penyebab Adanya faktor risiko untuk sepsis, infeksi primer atau dapat ditemukan fokus infeksi yang mendasari timbulnya sepsis. Faktor resiko juga mencakup : Riwayat luka bakar luas Diketahui immunokompromais atau immunosupresi Riwayat tindakan pembedahan/ prosedur invasif/ rawat inap Menggunakan IVCD, VP shunt, invasive airway Adanya tanda awal sepsis yang dapat berupa demam, hiperventilasi, takikardia, vasodilatasi yang disusul dengan hipotensi Gelisah dan agitasi Letargi Muntah Penurunan kesadaran, letargi, agitasi a) Hipotermia atau Hipertermia b) Takikardia c) Hiperventilasi d) Gangguan perfusi e) Perut kembung f) Timbulnya petekia dan purpura g) Ditemukan selulitis atau inflamasi sendi a) Sesuai dengan anamnesis b) Sesuai dengan pemeriksaan fisik Sepsis (ICD 10: A 41.9) a) Sindroma Syok Dengue b) Intoksikasi c) Sindrom Kawasaki d) Leptospirosis e) Tuberkulosis f) Malaria g) Kriptokokosis h) Penyakit Lyme i) Rocky Mountain Spotted Fever j) Keganasan a) Hemoglobin, Hematokrit, Trombosit, Leukosit, Hitung dengan hapusan darah tepi b) Urinalisis c) Foto Rontgen toraks d) SGOT &SGPT serta Bilirubin T/D/I e) Procalcitonin f) Biakan darah berulang g) Biakan urin h) Biakan sputum/ LCS/ apusan/ feses i) Biakan jamur pada darah dan urin j) Ureum & Kreatinin k) Gula darah sewaktu l) PT & APTT m) Elektroli serum n) FDP, D-dimer a) Antibiotik empirik sesuai pola kuman atau dapat diberikan: • Ampisilin-Sulbactam (100-200 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 kali untuk Ampisilinnya) dan Gentamisin (5-7 mg/kgBB/hari, sekali sehari) • Sefotaksim 100mg/kgBB/hari iv dalam 3 dosis • Metronidazol atau klindamisin dapat diberikan bersama obat di atas bila didapatkan kecurigaan bakteri anaerob. • Setelah ada hasil biakan dan uji resistensi, antibiotik diberikan secara definitif. b) c) d) e) f) g) Memperbaiki perfusi jaringan melalui resusitasi cairan, koreksi asam-basa. Mempertahankan fungsi respirasi secara efisien, antara lain dengan pemberian oksigen dan mengusahakan agar jalan napas tetap terbuka Renal support untuk mencegah gagal ginjal akut Terapi Oksigen Terapi cairan intravena TPN Anti jamur sistemik Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 228 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 SEPSIS (ICD 10: A41.9) 9) Edukasi 10) Prognosis 11) Tingkat Evidens 12) Tingkat Rekomendasi 13) Penelaah Kritis 14) Indikator Medis 15) Kepustakaan h) Parasetamol i) Transfusi PRC/ TC/ FFP/ Cryo j) Inhalasi k) Obat anti kejang: diazepam, fenobarbital, fenitoin; atas indikasi l) Antagonis H2 atau penghambat pompa proton a) Tirah baring b) Imunisasi c) Perbaiki nutrisi d) Perbaiki higiene pribadi dan lingkungan e) Edukasi prognosis kepada pasien dan keluarganya Ad vitam : dubia Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fungsionam : dubia IV C a) Dominicus Husada, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP) b) Dwiyanti Puspitasari, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP) c) Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H d) Prof. Parwati S. Basuki, dr., SpA(K), MSc (CTM) e) Widodo Darmowandowo, dr., SpA(K) 1. Bebas demam 2x24 jam tanpa antipretik 2. Perbaikan klinis 3. Hemodinamik stabil 4. Tidak terjadi komplikasi atau sudah membaik 5. Hasil kultur negative 6. Setelah 14 hari perawatan a) Sepsis dan Syok Sepsis. Dalam: Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Penyunting. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2008. h358-63 b) Feigin RD. Bacteremia and Septicemia. Dalam: Behreman RE, Vaughn VC and Nelson WE. Penyunting) Nelson textbook of pediatrics, edisi ke 13. Philadelphia: WB Saunders. Co, 1987: 568 c) Moffet HL. Sepsis and bacteremia. Moffet pediatric infectious disease, edisi ke-3 Philadelphia: JB Lippincott, 1989. H 292-9 d) Jaffari NS, McCracken Jr MD. Sepsis and septic shock: a review for clinicians. Pediat Infect Dis Journ, 1992; 11: 739-49 Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 229 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 TETANUS 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. 5. 6. 7. 8. Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut dan fatal yang disebabkan oleh Clostridium tetani dengan tanda utama spasme tanpa gangguan kesadaran. Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan tali pusat yang tidak steril, riwayat keluar cairan dari telinga (otitis media supurativa kronik), atau adanya gangren gigi sebagai port d’entree Riwayat anak tidak diimunisasi/imunisasi tidak lengkap, dan tidak ada imunisasi tetanus pada BUMIL/WUS. Gejala awal, pada anak besar didapatkan trismus (tidak bisa membuka mulut) atau sulit menelan (disfagia) karena kekakuan otot masseter Anak atau bayi sadar Selain kekakuan bisa didapatkan kejang, baik kejang rangsang maupun kejang spontan Ditanyakan waktu antara terjadinya trauma sampai munculnya gejala, atau ditanyakan waktu saat sulit membuka mulut sampai terjadinya kejang Penderita sadar Gejala kinik didominasi dengan kekakuan otot bergaris lokal, gejala awal biasanya bayi tidak dapat menetek, mulut mencucu atau sulit menelan pada anak yang lebih besar. Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opistotonus (ada sela antara punggung pasien dengan alas, sat pasien ditidurkan), perut seperti papan disusul dengan timbulnya kejang karena adanya rangsangan atau kejang spontan Kekakuan ekstremitas yang khas : flexi pada tangan dan ekstensi pada kaki (anggota gerak spastik/boxing position) Adanya penyulit : gangguan saraf otonom (hipertensi, takikardi, hiperpireksia, hiperhidrosis, gangguan irama jantung sampai gangguan hemodinamika. Derajat/Severitas penyakit Tetanus (Kriteria Surabaya): Derajat I (tetanus ringan) • Trismus • Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan • Tidak dijumpai disfagia atau kejang • Tidak dijumpai gangguan respirasi Derajat II (tetanus sedang) • Trismus sedang • Kekakuan umum makin jelas • Dijumpai kejang rangsang tanpa kejang spontan Derajat IIIa (tetanus berat) • Trismus berat • Otot sangat spastic, timbul kejang spontan • Takipnea, takikardi • Apneic spell Derajat IIIb (Tetanus dengan gangguan saraf otonom) • Gangguan otonom berat • Hipertensi berat dan takikardi • Hipotensi dan bradikarddi • Hipertensi berat atau hipotensi berat Anamnesis dan gejala cukup khas sehingga sering tidak diperlukan pemeriksaan penunjang, kecuali Pemeriksaan Penunjang dalam keadaan meragukan untuk membuat diagnosis banding. 1. Pungsi Lumbal 2. Pemeriksaan darah rutin, preparat hapusan darah tepi atau biakan dan uji kepekaan 3. Foto thoraks 4. Elektrolit serum dan gula darah acak, atas indikasi 1. Sesuai dengan anamnesa Kriteria Diagnosis 2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik Tetanus ( ICD 10: A35) Diagnosis 1. Trismus karena abses gigi/abses retrofaring/parafaring/peritonsiler Diagnosis Banding 2. Sepsis neonatorum 3. Meningitis bakterialis, ensefalitis, rabies 4. Keracunan striknin, epilepsy, efek simpang fenotiasin, tetani 5. Hipokalsemia Terapi Dasar Tetanus Terapi 1. Pemberian antibiotik • Penisilin prokain 50.000 IU/kgBB/kali i.m tiap 12 jam • Metronidasol loading dose 15 mg/kgbb/dalam 1 jam selanjutnya 7,5 mg/kgbb/x tiap 6 jam Bila ada sepsis/pneumonia dapat ditambahkan antibiotika yang sesuai. 2. Imunisasi aktif-pasif Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 230 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 TETANUS • Anti tetanus serum (ATS) 5.000-10.000 IU, diberikan intramuskular. Untuk neonatus bisa diberikan iv; apabila tersedia dapat diberikan Human tetanus immunoglobulin (HTIG) 3000-6000 IU i.m. • Dilakukan imunisasi DT/TT/DTP pada sisi yang lain, pada saat bersamaan. 3. Anti konvulsi Pada dasarnya kejang diatasi dengan diazepam, dosis disesuaikan dengan respon klinik (titrasi) : • Bila datang dengan kejang diberi diazepam : neonatus bolus 5 mg iv anak bolus 10 mg iv • Apabila datang tidak dalam keadaan kejang hanya diberikan diazepam rumatan dengan menggunakan syringe pump dengan dosis: Tetanus ringan : 0,8 cc/jam Tetanus sedang : 1,2 cc/jam Tetanus berat : 1,6 cc/jam • Dosis rumatan maximal : anak 240 mg/24 jam neonatus 120 mg/24 jam • Bila dengan dosis 240 mg/24 jam masih kejang (tetanus sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/24 jam, dengan atau tanpa kurarisasi . • Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur dalam botol cairan infus. • Dapat dipertimbangkan penggunaan anti konvulsan lain, seperti magnesium sulfat, bilamana ada gangguan saraf otonom. Magnesium sulfat diberikan dengan dosis 100mg /kg BB/hari dalam drip dan bial perlu dinaikkan secara titrasi sampai kejang berhenti. Tanda intoksikasi yang penting adalah hilangnya reflex patella dan penurunan tekanan darah pada anak besar 4. Perawatan luka atau port d’entre Dilakukan setelah pemberian antitoksin dan antikonvusan 5. Terapi suportif • Bebaskan jalan nafas • Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan & memindah-mindahkan posisi pasien) • Pemberian oksigen • Perawatan dengan stimulasi minimal • Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde nasogastrik, asal tidak memperkuat kejang • Bantuan nafas pada tetanus berat atau tetanus neonatorum • Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit 9. Edukasi 10. Prognosis Pada tetanus ringan dan sedang • Diberikan teraoi dasar tetanus • Perhatian khusus pada keadaan jalan nafas (akibat kejang dan aspirasi) • Pemberian cairan parenteral, bila perlu nutrisi parenteral Pada tetanus berat • Terapi dasar seperti diatas • Perawatan dilakukan di ICU seperti intubasi dan ventilator • Balans cairan dilakukan secara ketat • Apabila spasme sangat hebat, berikan pankuronium bromide 0,02 mg/kg IV, diikuti 0,05 mg/kg/kali tiap 2-3 jam • Apabila terjadi aktifitas simpatis berlebihan, berikan ẞ blocker seperti propanolol/ἁẞ blocker labetalol Pencegahan 1. Imunisasi aktif a) Imunisasi dasar DPT diberikan 3 kali sejak usia 2 bulan dengan interval 4-6 minggu, diberikan ulangan pada usia 18 bulan dan 5 tahun b) Eliminasi tetanus neonatorum dengan memberikan imunisasi TT pada ibu hamil dan wanita usia subur minimal 5x suntikan toksoid (untuk mencapai tingkat TT lifelong card) 2. Pencegahan pada luka • Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang • Luka ringan dan bersih - Imunisasi lengkap : tidak perlu ATS atau tetanus immunoglobulin - Imunisasi tidak lengkap : imunisasi aktif DPT/DT • Luka sedang/berat dan kotor Imunisasi (-)tidak jelas : ATS 3000-5000 U, atau tetanus immunoglobulin 250-500 U. Tetanus toksoid pada sisi lain. Imunisasi (+), lamanya > 5 tahun: ulangan toksoid, ATS 3000-5000 U, atau tetanus immunoglobulin 250-500 U Tetanus ringan dan sedang Ad vitam : dubia ad bonam/malam Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 231 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 TETANUS 11. 12. Tingkat Evidens Tingkat Rekomendasi 13. Penelaah Kritis 14. Indikator Medis 15. Kepustakaan Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam Tetanus berat dan tetanus neonatorum Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam IV C a. Prof. DR. Ismoedijanto, dr, SpA(K) b. Prof. DR. Soegeng Soegijanto dr, SpA(K) c. Prof. Parwati Setiono Basuki, dr, SpA(K) d. Widodo Darmowandowo, dr, SpA (K) e. Dominicus Husada, dr, SpA(K) f. Dwiyanti Puspitasari, dr, SpA Perbaikan klinis, termasuk penderita sudah tidak panas dan sudah bisa makan dan minum Tidak tampak spasme ataupun trismus Luka/port d’entrée dirawat dengan baik Setelah 10 hari perawatan Sekuele Spasme berkurang setelah 2-3 minggu namun kekakuan dapat berlangsung sampai 6-8 minggu pada kasus yang berat Gangguan otonon dimulai beberpa hari setelah kejang dan berlangsung selama 1-2 minggu Tumbuh Kembang Bisa terjadi gangguan tumbuh kembang pada kasus tetanus neonatorum karena akibat hipoksia yang berat 1. Arnon SS. Tetanus dalam Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) Nelson Textbook of pediatrics, 17 ed. Philadelphia, Saunders, 2004 : 951. 2. Brook I, tetanus dalam Long SS, Pickering LK, Preber CG. Churchill livingstone, New York, 2nd ed, 2003 : 981. 3. Bizzini B, 1979. Tetanus toxin. Microbiol Rev. 43 (2) : 224-40. 4. Cristie AB, 1987. Tetanus dalam infectious disease : Epi demiology and clinical practice. 4th ed. Churchill living stone, Edenburgh, hal. 759-786. 5. Irwantono FJ, Ismoedijanto, M. Faried Kaspan, Dwi Atmadji Soejoso. Parwati SB, 1978. evaluasi klinik tetanus neonatorum selama 7 tahun. KONIKA IV, Yogyakarta. 6. Ismoedijanto, Koeswardoyo, Dwi AS, S. Soegianto, IGN Gde Ranuh, 1981. Diazepam dosis tinggi pada tetanus neonatorum. Naskah lebgkap diskusi kelompok tetanus neonatorum, KONIKA V, Medan. 7. Khoo BH, Lee EL, Lam KL, 1978. Neonatal tetanus treated with high dozage diazepam. Arch Dis Childhood, 53 : 737-79. 8. Laurence DR, Webster RA, 1986. Pathologic physiology, pharmacology and therapeutic of tetanus. Clin pharm therap 4 : 36-61. 9. Lowburry Ejl, 1971. Tetanus : Bacteriology, prophylaxis and treatment. Folia traumatologica, Geigy, hal. 116. 10. Rizal Altway 2006. Perbandingan kriteria derajat berat penyakit tetanus antara kriteraia Surabaya dan kriteria Ablett. Karya Akhir. 11. Ismoedijanto, Nasiruddin, B Wahyu. 2004. High dose diazepan in treatment of severe tetanus. South East Asia Journal of Tropical medicine and hygine. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 232 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 Demam Tanpa Penyebab yang Jelas (ICD 10: R50) 1) Pengertian (Definisi) 2) Anamnesis 3) Pemeriksaan Fisik 4) Kriteria Diagnosis 5) 6) Diagnosis kerja Diagnosis Banding 7) Pemeriksaan Penunjang 8) Terapi Demam tanpa penyebab yang jelas adalah gejala demam akut dengan penyebab yang tidak jelas sesudah anamnesis dan pemeriksaan fisis secara teliti dalam periode demam kurang dari 7 hari. a) Riwayat imunisasi b) Adanya paparan terhadap infeksi c) Adanya tanda-tanda keganasan seperti nyeri, pembesaran organ dan perdarahan d) Adanya gejala: • nyeri menelan • nyeri telinga • batuk, sesak napas • muntah, diare • nyeri/menangis waktu buang air kecil a) Suhu rektal >38oC b) Tentukan derajat sakitnya c) Subjektif (lihat tabel YOS) • Kualitas tangis • Reaksi terhadap orangtua • Tingkat kesadaran • Warna kulit/selaput lendir • Derajat hidrasi • Interaksi a) Sesuai dengan anamnesis b) Sesuai dengan pemeriksaan fisik Demam Tanpa Penyebab yang Jelas (ICD 10: R 50) a) Dengue b) Otitis media c) Abses d) Osteomielitis e) Riketsia f) Chlamydia g) HIV h) Infeksi HSV i) Infeksi jamur j) Keganasan k) Autoimun dan penyakit kolagen l) Infeksi Saluran Kemih m) Pneumonia n) Gastroenteritis bakterial o) Meningitis p) Endokarditis a) Darah lengkap, LED b) Hitung jenis • Leukosit > 15.000/μl meningkatkan risiko bakteremia menjadi 3-5%, bila > 20.000/ μl risiko menjadi 8-10% • Untuk mendeteksi bakteremia tersembunyi hitung neutrofil absolut lebih sensitif dari hitung leukosit atau batang absolut • Hitung absolut neutrofil > 10.000/μl meningkatkan risiko bakteremia menjadi 8-10% c) Urinalisis d) Procalsitonin e) Biakan urin dan feses f) Pemeriksaan biakan darah dianjurkan karena 6-10% anak dengan bakteremia dapat berkembang menjadi infeksi bakteri g) Biakan darah dan urin jamur h) Tes mantoux i) Rontgen toraks j) Ekokardiografi k) USG/CT-scan kepala l) USG/ m) Hapusan darah tebal dan tipis n) ANA dan anti ds-DNA o) IgG,A,M,E p) CD4 dan CD8 q) BMP r) Jika tersedia IgM dan IgG untuk penyakit riketsia seperti scrub typhus a) Berdasarkan kecurigaan temuan klinis b) Suportif c) Paracetamol Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 233 Panduan Praktik Klinis SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2012 – 2014 Demam Tanpa Penyebab yang Jelas (ICD 10: R50) d) e) 9) Edukasi 10) Prognosis 11) Tingkat Evidens 12) Tingkat Rekomendasi 13) Penelaah Kritis 14) Indikator Medis 15) Kepustakaan a) Cairan parenteral Antibiotika Empirik dapat digunakan : • Amoksisilin 60 –100 mg/kgbb/hr atau Amoksisilin-Clavulanat atau Ampisilin-Sulbactam • Seftriakson 50 –75 mg/kgbb/hr maksimum 2 g/hr • Bila alergi terhadap kedua obat tersebut, pilih obat lain sesuai dengan hasil ujiresistensi Nutrisi dan istirahat cukup Ad vitam : bonam Ad sanationam : bonam Ad fungsionam : bonam IV C a) Dominicus Husada, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP) b) Dwiyanti Puspitasari, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP) c) Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H d) Prof. Parwati S. Basuki, dr., SpA(K), MSc (CTM) e) Widodo Darmowandowo, dr., SpA(K) 1. Bebas demam 2x24 jam tanpa antipretik 2. Nafsu makan membaik 3. Perbaikan klinis 4. Tidak dijumpai komplikasi atau sudah membaik 5. Setelah 10 hari perawatan 1. Bannister BA, Begg NT, Gillespie SH. Pyrexia of unknown origin. Oxford: Blackwell Science; 1996. h.414-27. 2. Lorin MI, Feigin RD. Fever of unknown origin. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook ofpediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia: Saunders; 1992. h. 1012-22 3. Lorin MI. Fever: pathogenesis and treatment. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook ofpediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia: Saunders; 1992. h. 148-52. 4. Miller ML, Szer L, Yogev R, Bernstein B. Fever of unknown origin. Pediatr Clin North Am. 1995;9991015. 5. Radhi AS, Carroll JE. Fever in pediatric practice. Edisi ke-1. London: Blackwell Scientific Publications;1994, h. 15-236. 6. Shapiro ED. Fever without localizing signs. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting.Principles and practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke- 2. Philadelphia, PA: Elsevier Science;2003, h. 110-4. Surabaya, Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Pembina Utama Madya NIP. 19490906 197703 1 001 Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K) Pembina Utama NIP. 19510303 197612 1 001 Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya, Dodo Anondo, dr., MPH Pembina Utama Madya NIP. 19550613 198303 1 013 Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 234