BAB II INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL YANG BERKAITAN DENGAN PEMANASAN GLOBAL A. INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL A. 1 UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE Diluncurkan pada tahun 1992 dan diberlakukan pada tahun 1994, menetapkan suatu tujuan pokok untuk menstabilkan konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang akan mencegah intervensi manusia yang berbahay pada sistem ilkim. 4 UNFCCC dibentuk pada tanggal 1992 dalam Rio Summit di Rio de Jainero, Brazil yang mempunyai tujuan untuk menegosiasikan perjanjian yang berskala luas dalam mereduksi dan membatasi dampak dari pemanasan global. Terdapat beberapa kemajuan dalam satu dasawarsa terakhir. 5 Second World Climate Confrence yang dilaksanakan pada tahun 1990 merupakan sebuah langkah signifikan bagi awal permintaan akan adanya sebuah kerangka kerja perjanjian internasional. Konfrensi ini di sponsori oleh WMO (World Meteorology Organization), UNEP (United Nations 4 The World Bank, “World Development Report 2010: Development and Climate Change in 2010”, (Washington: The International Bank for Reconstruction and Development, 2010), hal 318 5 Mark Maslin, Global Warming: A Very Short Introduction, Oxford University Press Inc, New York, 2004, hal 118 Universitas Sumatera Utara Environmental Programme), dan organisasi internasional lainnya, serta negosiasi dan diskusi pada tingkat mentri di antara 137 negara ditambah komunitas negara-negara Eropa. UNFCCC menyusun kerangka kerja untuk melakukan aksi terhadap pengontrolan dan pembatasan emisi. UNFCCC tersebut akhirnya diterima secara universal sebagai suatu komitmen politik internasional tentang perubahan iklim dan kemudian di buka untuk ditandatangani pada KTT Bumi tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Confrence on Environmental and Development) di Rio de Jainero, Brazil pada bulan Juni 1994 dan mulai berkekuatan tetap pada tanggal 21 Maret 1994 setelah diratifikasi oleh 50 negara. terdapat 189 negara yang meratifikasi konvensi tersebut dan negara yang meratifikasi disebut parties (negara pihak). 6 A. 2 PROTOKOL KYOTO a. Sejarah Lahirnya Protokol Kyoto Gagasan dan program untuk menurunkan emisi GRK secara internasional telah dilakukan sejak tahun 1979. Program itu memunculkan sebuah gagasan dalam bentuk perjanjian internasional, yaitu Konvensi Perubahan Iklim, yang diadopsi pada tanggal 14 Mei 1992 dan berlaku sejak 6 “Perjalanan Panjang Protokol Kyoto”, diakses dari http://www.terranet.or.id/beritanya.php?od-12671, pada tanggal 11 november 2010 Universitas Sumatera Utara tanggal 21 Maret 1994, Pemerintah Indonesia turut menandatangani perjanjian tersebut dan telah mengesahkannya melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994. Agar Konvensi tersebut dapat dilaksanakan oleh Para Pihak, dipandang penting adanya komitmen lanjutan, khususnya untuk negara pada Annex I (negara industri atau negara penghasil GRK) untuk menurunkan GRK sebagai unsur utama penyebab perubahan iklim. Namun, mengingat lemahnya komitmen Para Pihak dalam Konvensi Perubahan Iklim, Conference of the Parties (COP) III yang diselenggarakan di Kyoto pada bulan Desember tahun 1997 yang dimana menghasilkan suatu konsensus yang berupa keputusan dasar bagi negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca gabungan yang paling sedikit persen darii tingkat emisi tahun 1990 menjelang periode 2008-2012. komitmen yang mengikat secara hukum ini akan mengembalikan tendensi peningkatan emisi yang secara historis dimulai di negara-negara tersebut 150 tahun yang lalu. Protokol Kyoto yang demikian selanjutnya protokol itu disebut, disusun untuk mengatur target waktu penurunan emisi bagi negara maju. Sementara, negara berkembang tidak memiliki kewajiban atau komitmen untuk menurunkan emisinya. 7 7 Daniel Murdiyarso, Protokol Kyoto: Implikasinya bagi Negara Berkembang, Jakarta: Penerbit Buku Kompas,Jakarta,2007, hal 36 Universitas Sumatera Utara Di bawah Protokol Kyoto, negara-negara maju atau industri harus patuh di bawah hukum yang mengikat tentang pengendalian enam emisi gas rumah kaca yaitu: Carbondioxide , Methane, Nitrousoxide, Hydrofluorocarbons, Perfluorocarbons, dan Sulfurhexafluoride. 8 Lahirnya Protokol Kyoto tidak dapat dilepaskan dari peran UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) sebagai kerangka Konvensi Perubahan Iklim yang diterima secara universal. Pada Konferensi para pihak kedua (CoP-2) di Jenewa merupakan titik awal dimana para negara memutuskan untuk mengadopsi suatu Protokol sebagai langkah konkret untuk menghadapi pemanasan global. Pertemuan tersebut menghasilkan deklarasi Jenewa yang terdiri dari 10 butir dan beberapa diantaranya yang relevan dengan Protokol Kyoto adalah; 9 pertama, pengakuan dan penerimaan para mentri dan ketua delegasi atas laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dapat digunakan sebagai pijakan untuk mengambil tindakan global, nasional dan local khususnya oleh negara-negara Annex I dalam rangka menurunkan emisi GRKnya. Kedua, ajakan kepada semua pihak untuk mendukung pengembangan Protokol dan Instrumen legal lainnya yang didasarkan atas temuan ilmiah yang disajikan dalam laporan tersebut. Ketiga, instruksi 8 “Kyoto Protocol”, dapat dilihat pada Microsoft ® Encarta ® 2006. © 1993-2005 Microsoft Corporation. All rights reserved. 9 Daniel Murdiyarso, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi: Konvensi Perubahan Iklim, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003, hal 23 Universitas Sumatera Utara kepada semua perwakilan para pihak untuk mempercepat negosiasi terhadap teks Protokol yang secara hukum akan mengikat sehingga dapat adopsi pada CoP (Conference of Parties) III berupa komitmen negaranegara dalam konvensi kebijakan dan tindakan atau policies and measures (PAMs). Keempat, undangan kepada negara berkembang untuk mengimplementasikan konvensi dan mendukung upaya tersebut. b. Tujuan Protokol Kyoto Protokol Kyoto bertujuan menjaga konsentrasi GRK di atmosfer agar berada pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim bumi. Untuk mencapai tujuan itu, Protokol mengatur pelaksanaan penurunan emisi oleh negara industri sebesar 5 % di bawah tingkat emisi tahun 1990 dalam periode 2008-2012 yang tercipta dalam suatu prinsip kerja sama yang dapat terlihat pada mekanisme yang ada pada Protokol Kyoto seperti; 10 • Implementasi Bersama (Joint Implementation) Implementasi Bersama adalah sebuah mekanisme yang memungkinkan negara-negara maju untuk membangun proyek bersama yang dapat menghasilkan kredit penurunan atau 10 “Sekilas Perubahan Iklim dalam Kerangka Negosisasi Internasional”, diakses dari http://www.wwf.or.id/admin/file-upload/files/FCT1189527007.pdf, pada tanggal 15 novenmber 2010 Universitas Sumatera Utara penyerapan emisi GRK. Implementasi Bersama merupakan suatumekanisme untuk mengalihkan unit pengurangan emisi yang diperoleh dari suatu kegiatan atau program yang dilakukan di negara maju ke negara maju lainnya. Hal ini berarti bahwa setiap kegiatan atau program yang dilakukan oleh suatu negara di negara lainnya akan memberikan unit pengurangan emisi bagi negara yang melakukan program tersebut. 11 • Perdagangan Emisi (Emission Trading) Perdagangan Emisi merupakan mechanisme yang memungkinkan sebuah negara maju untuk menjual kredit penurunan emisi GRK kepada negara maju lainnya. Perdagangan Emisi dapat dimungkinkan ketika negara maju yang menjual kredit GRK memiliki kredit penurunan GRK melebihi target negaranya. • Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism). Mekanisme ini memungkinkan negara-negara non- Annex I untuk berperan aktif membantu penurunan emisi GRK melalui proyek yang di implementasikan oleh sebuah negara maju. 11 “Guide To The Kyoto Protocol”, diakses dari: http://yosemite.epa.gov/oar/globalwarming.nsf/uniqueKeyLookup/SHSU5BUQN2 /$File/Kyoto.pdf,pada tanggal 15 November 2010 Universitas Sumatera Utara Nantinya kredit penurunan emisi GRK yang dihasilkan dari proyek tersebut dapat dimiliki oleh negara maju tersebut. Mekanisme Pembangunan Bersih juga bertujuan agar negara berkembang dapa mendukung pembangunan bekelanjutan, selain itu Mekanisme Pembangunan Bersih adalah satu-satunya mekanisme di mana negara berkembang dapat berpartisipasi dalam Protokol Kyoto. c. Manfaat Pengesahan Protokol Kyoto Dengan mengesahkan Protokol Kyoto, Indonesia mengadopsi Protokol tersebut sebagai hukum nasional untuk dijabarkan dalam kerangka peraturan dan kelembagaan sehingga dapat: 1. Mempertegas komitmen pada Konvensi Perubahan Iklim berdasarkan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan (common but differentiated responsibilities principle) ; 2. Melaksanakan pembangunan berkelanjutan khususnya untuk menjaga kestabilan konsentrasi GRK di atmosfer sehingga tidak membahayakan iklim bumi; 3. Membuka peluang investasi baru dari negara industri ke Indonesia melalui MPB; Universitas Sumatera Utara 4. Mendorong kerja sama dengan negara industri melalui MPB guna memperbaiki dan memperkuat kapasitas, hukum, kelembagaan, dan alih teknologi penurunan emisi GRK; 5. Mempercepat pengembangan industri dan transportasi dengan tingkat emisi rendah melalui pemanfaatan teknologi bersih dan efisien serta pemanfaatan energi terbarukan; 6. Meningkatkan kemampuan hutan dan lahan untuk menyerap GRK. d. Materi Pokok Protokol Kyoto Protokol Kyoto disusun berdasarkan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan, sebagaimana tercantum dalam prinsip ketujuh Deklarasi Rio, yang berarti bahwa semua negara mempunyai semangat yang sama untuk menjaga dan melindungi kehidupan manusia dan integritas ekosistem bumi, tetapi dengan kontribusi yang berbeda sesuai dengan kemampuan negara masing-masing. Protokol Kyoto terdiri atas 28 Pasal dan 2 Annex: Annex A : Gas Rumah Kaca dan kategori sektor/sumber. Annex B : Kewajiban penurunan emisi yang ditentukan untuk Para Pihak. Materi pokok yang terkandung dalam Protokol Kyoto, antara lain hal-hal berikut: Universitas Sumatera Utara a) Definisi Protokol Kyoto mendefinisikan beberapa kelembagaan Konvensi dan Protokol, yaitu: Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) IPCC didirikan pada tahun 1988 oleh kedua badan perserikatan bangsa-bangsa (PBB) yaitu UNEP (United Nations Environmental Programme) dan WMO (World Meteorological Organization). Pendiri IPCC ini mempunyai tujuan untuk melakukan berbagai studi saintifik mengenai perubahan iklim. IPCC terdiri dari 2500 ilmuwan dari seluruh dunia dan memberikan pernyataan dan laporan secara berseri mengenai perubahan iklim dan dampaknya. 12 Beberapa laporan dari IPCC terkait dengan perubahan iklim antara lain adalah mengenai semakin meningkatnya panas 12 Shannon K. Orr, “Interest Groups and International Climate Change Policy”, paper ini dipersiapkan untuk Annual Meeting of the American Political Science Association, August 28-August 31, 2003, diakses dari http://www.allacademic.com/meta/p64400_index.html,pada tanggal 14 November 2010, Hal 3 Universitas Sumatera Utara atmosfir yang meningkat dari 1,4 derajat celcius menjadi 5,8 derajat celcius di akhir abad 21. 13 Laporan pertama pada tahun 1990 telah banyak membantu dimulainya proses negosiasi tentang konvensi perubahan iklim. Laporan pengkajian kedua yang disahkan pada tahun 1995 telah banyak menolong para negara pihak dalam mengadopsi Protokol Kyoto. Sedang laporang ketiga yang diterbitkan pada tahun 2001 banyak mengungkap buktibukti baru mengenai perubahan iklim dan kerentanan negara-negara berkembang. Tidak seperti laporan sebelumnya, pada laporan ketiga, IPCC juga menyiapkan rangkuman dari ketiga kelompok kerja yang dikenal dengan nama synthesis report. IPCC juga menghasilkan beberapa makalah teknis (technological papers) dan laporan khusus yang telah diselesaikan IPCC. Laporan tersebut diantaranya adalah methodological dan technological issues of technology transfer dan land-use, land use change and forestry. Dari laporan pengkajian IPCC kedua diperoleh bahwa efisiensi energi sebesar 10-30 persen dapat 13 Sonia Labatt and Rodney R. White, Carbon Finance: The Finanial Implication of Climate Change, Jon Wiley & Sons, Inc, New Jersey, 2007, hal 5. Universitas Sumatera Utara dilakukan banyak negara tanpa biaya atau dengan biaya yang tidak berarti untuk waktu 20-30 tahun mendatang. 14 IPCC terbagi dalam tiga kelompok kerja (working group) ditambah task force yang mempunyai fungsi unutk mengkalkulasi jumlah GRK yang diproduksi oleh tiap-tiap negara. keempat kelompok ini memiliki dua co-chairmen (satu dari negara maju dan satu lagi dari negara berkembang) serta unit technical support. WG-1 mempunyai tugas untuk mengkaji aspek ilmiah dari perubahan dan sistem iklim. 15 WG-1 inilah yang melaporkan berbagai informasi dan data-data terbaru mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kondisi perubahan iklim. iklim. WG-2 mengkaji tingkat kerawanan social-ekonomi dan sistem alami terhadap perubahan iklim,konsekuensi negative dan positif dari perubahan iklim, dan berbagai pilihan untuk penyesuaian terhadap perubahan iklim. 16 Tugas dari kelompok kerja ini lebih menekankan pada 14 Daniel Murdiyarso, Op.Cit, Hal 35-36 “The IPCC Working Group I”, diakses dari http://www,ipcc.ch/about/workinggroup1.htm, pada tanggal 16 november 2010. 16 “The IPCC Working Group II”, diakses dari http://www,ipcc.ch/about/workinggroup2.htm, pada tanggal 16 november 2010 15 Universitas Sumatera Utara kajian-kajian mengenai dampak-dampak dari perubahan iklim baik dampak ekonomi maupun social. WG-3 melakukan kajian-kajian untuk mengurangi perubahan iklim melalui pembatasan atau mencegah emisi gas rumah kaca dan meningkatkan aktivitas yang dapat memindahkan gas rumah kaca tersebut dari atmosfer. 17 Laporan-laporan yang berasal dari WG-3 ini diorientasikan untuk mencari solusi atau respon terkait dengan perubahan iklim serta kebijakan-kebijakan instrument yang tepat. Pada tahun 2001 ketiga kelompok kerja tersebut telah mempublikasikan laporan yang berasal dari 400 ahli dari 120 negara yang dilibatkan dalam proses drafting, revisi, dan menyeesaikan laporan. Sedangkan 2500 ahli lainnya melakukan review terhadap laporan-laporan tersebut. Selain itu, IPCC juga menyusun penelitian mengenai gas rumah kaca; dari mana asalnya dan mengkaji tentang konsensus yang berhubungan dengan pemanasan global. 18 IPCC merupakan contoh grobal environmental governance yang berbentuk institusi yang sifatnya formal. IPCC secara 17 “The IPCC Working Group III”, diakses dari http://www,ipcc.ch/about/workinggroup3.htm, pada tanggal 16 november 2010 18 Mark Maslin, Op.Cit, hal 15 Universitas Sumatera Utara tipikal mepunyai fungsi sebagai global environmental governance karena dibentuk bukan atas inisiatif para pemerintah, namun dibentuk oleh dua organisasi internasional yaitu UNEP dan WMO. Didalam IPCC ini meliputi tenaga-tenaga ahli di bidang lingkungan dan para ilmuwan. 19 Karena bukan atas inisiatif para pemerintah, IPCC menjadi sebuah lemabaga otonom. Namun sebagai lembaga otonom, IPCC selalu terlibat dialog dengan para pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari dua co-chaimen yang ada di dalam IPCC yang merupakan perwakilan dari negara-negara maju dan berkembang. Conference of the Parties (COP) COP merupakan implementasi dan negosiasi dalam konteks politik dari Konvensi Kerangka Persekutuan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change) yang bertemu 19 Frank Biermann, “Global Environmental Governance: Conceptualization and Examples”, Global Governance Working Paper No.12, November 2004, (Amsterdam, Berlin, Oldenburg, Postdam: The Global Governance Project), hal 13 Universitas Sumatera Utara setiap satu tahun sekali merupakan badan pembuat keputusan tertinggi. CoP bertanggung jawab mengulas dan mengimplementasikan hasil konvensi dengan menelaah komunikasi nasional dan menginventarisir emisi yang dikumpulkan oleh para pihak tersebut. Setiap pihak konvensi ini mewakili delegasi nasional yang mempunyai otoritas atas nama pemerintahannya untuk melakukan negosiasi dalam konvensi. 20 Sedangakan IPCC merupakan lembaga merupakan lembaga yang memberikan data dan fakta mengenai perubahan iklim dan dampaknya yang berisikan aktor-aktor non-pemerintah dan privat. Konfrensi para pihak (First session of Confrence of The Parties I) ini melakukan siding pertamanya yang diadakan di Berlin, Jerman pada tahun 1995. Konfrensi tersebut memutuskan bahwa komitmen negara-negara maju untuk mengembalikan emisi ke tingkat tahun 1990 menjelang tahun 2000, tidak memadahi untuk mencapai tujuan jangka panjang konvensi untuk menghindari pengaruh manusia yang membahayakan sistem iklim bumi. Oleh karena itu 20 Shannon K Orr, Op.Cit, hal 5 Universitas Sumatera Utara para mentri dan pejabat tinggi lainnya menanggapinya dengan mengadopsi Mandat Berlin yang antara lain menekankan dimulainya suatu proses yang memungkinkan pengambilan tindakan pada periode setelah tahun 2000. CoP I juga memberikan mandate untuk para pihak agar segera meluncurkan serangkaian rencana pembicaraan baru untuk memperjelas komitmen-komitmen negara maju. 21 CoP II dilaksanakan pada tanggal 8-19 Juli di 1996 di Jenewa. Konfrensi tersebut membicarakan berbagai hal, antara lain seperti pengembangan dan transfer teknologi di antara pihak-pihak; pembahasanmengenai kegiatan secretariat yang berhubungan dengan bantuan teknis dan financial kepada para pihal-pihak; pengkajian mengenai laporan IPCC sehubungan dengan pemasan global dan terciptanya memorandum of understanding (MoU) antara pihak-pihak konferensi dan GEF (global environmental facility). 22 Namun konfrensi ini belum menghasilkan suatu konsensus yang dapat mengikat negara-negara secara 21 22 Daniel Murdiyarso,2003,Op.Cit hal 3 “Report of The Conference of the Parties on Its Second Session (CoP II)”, Laporan mengenai CoP II ini dapat di download melalui http://unfccc.int/resource/docs/cop2/15a01.pdf, diakses pada tanggal 16 November 2010 Universitas Sumatera Utara hukum untuk melakukan reduksi terhadap emisi yang diproduksi. Pada CoP III di Kyoto tahun 1997, para pihak dalam UNFCCC telah berhasil menciptakan suatu konsensus baru untuk membatasi negara-negara maju atau industri dalam meproduksi GRK. Konfrensi tersebut telah menghasilkan protokol yang merupakan dasar bagi negara-negara industri untuk mengurangi emisi GRK gabungan mereka paling sedikit 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang 2008-2012. 23 negara-negara yang bertujuan untuk mengurangi emisi secara signifikan dan negara-negara yang konsen terhadap konsekuensi ekonomi dan politik. 24 b) Kebijakan dan Tata Cara Pasal 2 Protokol Kyoto mengatur kebijakan dan tata cara dalam mencapai komitmen pembatasan dan penurunan emisi oleh negara pada Annex I serta kewajiban untuk mencapai batas waktu komitmen tersebut. Di samping itu, Protokol juga mewajibkan negara industri untuk melaksanakan kebijakan dan mengambil 23 Daniel Murdiyarso, Op. Cit, hal 4 Sandra Rollings-Magnusson and Robert C. Magnusson, “The Kyoto Protocol: Implication of a Flawed but Important Environmental Policy”, Canadian Public Policy, Vol XXVI no 3, University of Toronto Press, Toronto, 2000, hal 348 24 Universitas Sumatera Utara tindakan untuk meminimalkan dampak yang merugikan dari perubahan iklim terhadap pihak lain, khususnya negara berkembang. e. Target Penurunan Emisi Target penurunan emisi yang dikenal dengan nama Quantified Emission Limitation and Reduction Objectives (QELROs) yang dijelaskan dalam Pasal 3 dan 4 Protokol Kyoto adalah ketentuan pokok dalam Protokol Kyoto. Emisi GRK menurut Annex A Protokol Kyoto meliputi : Carbon Dioxide (CO2), Methane (CH4), Nitrous Oxide (N2O), Hydrofluorocarbon (HFC), Perfluorocarbon (PFC), dan Sulfurhexafluoride (SF6) .Target penurunan emisi GRK bagi negara pada Annex I Konvensi diatur dalam Annex B Protokol Kyoto. Ketentuan ini merupakan pasal yang mengikat bagi negara pada Annex I. Protokol juga mengatur tata cara penurunan emisi GRK secara bersama-sama. Jumlah emisi GRK yang harus diturunkan tersebut dapat meringankan negara yang emisinya tinggi, sedangkan negara yang emisinya rendah atau bahkan karena kondisi tertentu tidak mengeluarkan emisi dapat meringankan beban kelompok negara yang emisinya tinggi. Universitas Sumatera Utara A. 3 PROTOKOL MONTREAL a. Sejarah lahirnya Protokol Montreal Sejarah lahirnya protokol montreal berangkat dari penelitian dua ahli kimia dari University of California, Rowland dan Molina, pada tahun 1974 yang memberi sebuah hipotesis sekaligus sebagai “early warning” tentang adanya keterkaitan rusaknya lapisan ozon akibat gas klorin yang terkandung dalam senyawa CFC (Chlorofluorocarbons). Gas klorin yang mampu bertahan sampai ratusan tahun ini, diindikasikan sebagai penyebab menipisnya lapisan ozon. Kemudian tahun 1985, Farman melakukan sebuah penelitian dan menemukan lubang ozon (ozon hole) di benua Antartika. Kondisi ini akhirnya menjadi sebuah perbincangan yang sangat menarik di kalangan para pemerhati masalah lingkungan khususnya di Amerika Serikat. Ozon merupakan gas yang tidak berwarna yang tersusun atas tiga unsure oksigen (O). secara kimia, ozon sangat aktif dan bereaksi dengan sejumlah zat lain. ozon bisa berdampak positif ketika berada pada kondisi normal. Salah satu sifat ozon yang sangat baik adalah mampu menyerap ultraviolet-B (UV-B) yang sangat merusak kesehatan manusia dan lingkungan, maka ketika ozon dalam kondisi berlubang yang terjadi adalah persoalan yang rumit terhadap manusia Universitas Sumatera Utara dan lingkungan. Untuk mengukur temperatur ozon digunakan alat yang disebut sebagai Dobson Unit (DU). Ozon dalam kondisi standar jika berada dalam kondisi standar jika berada pada kondisi temperature 300 DU setara dengan 3 milimeter atau 0,12 inchi. Sementara jika berada di kisaran dibawah 300 DU, maka terjadi persoalan dengan ozon. Warna hijau dan kuning menunjukkan ozon dalam kondisi standard atau berlimpah sementara warna biru dan ungu ozon dalam kondisi sedikit. 25 Ketika ozon dalam jumlah yang standar maka lapisan ozon akan berfungsi secara optimal. Ozon akan melindungi alam semesta dari beragam kerusakan baik yang terjadi dalam tubuh manusia maupun lingkungan. Kerusakan alam yang melanda dunia saat ini serta munculnya banyak penyakit yang menimpa masyarakat dunia representasi dari lemahnya pengawasan dan regulasi terhadap lapisan ozon. Lapisan ozon yang fungsinya sebagai filter terhadap sinar ultra violet telah mengalami kerusakan akibat munculnya zat radikal bebas seperti CFC (chlorofluorocarbon). Untuk mengamankan kondisi lapisan ozom maka perlu dibentuk regim internasional untuk mengatur jumlah zat-zat yang dapat meipiskan lapisan ozon yang banyak diproduksi oleh negara-negara besar. Sebelum fase pengaturan zat-zat 25 http://ozonholewatch.htm. Down Load Tanggal 14 november 2010. Universitas Sumatera Utara yang dapat menipiskan lapisan ozon maka negara-negara yang perduli terhadap masalah ozon, sepakat untuk membuat regulasi terhadap perlindungan lapisan ozon yang dikenal sebagai Konvensi Wina (Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer). Konvensi Wina (Vienna Convention) Konvensi Wina merupakan bentuk keprihatinan masyarakat internasional terhadap persoalan menipisnya lapisan ozon yang terjadi pada tahun 1985. Untuk menyikapi persoalan lingkungan khususnya masalah ozon, maka pada tanggal 22 Maret 1985 dibentuklah konvensi Wina (Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer) di Wina, Austria. Tujuan dari konvensi Wina ini adalah bahwa para negara sepakat untuk melindungi manusia dan lingkungan dari bahaya penipisan ozon (ozone deletion layer) melalui penelitian, observasi, dan bahkan pertukaran informasi. Pada tahun 1985, negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Wina berjumlah 184 negara dam pada tanggal 13 maret 2007, anggota Konvensi Wina yang telah meratifikasi adalah 191 Universitas Sumatera Utara negara. 26 Amerika Serikat sendiri telah menandatangani Konvensi Wina yang yang telah meratifikasi Konvensi Wina pada tanggal 27 Agustus 1986. Amerika Serikat sebagai negara besar mempunyai peran yang sangat signifikan dalam proses perlindungan lapisan ozon. Hal ini mengingat bahwa pengaruh Amerika Serikat terhadap sekutu- sekutunya begitu sangat besar. Keputusan Amerika Serikat untuk menandatangani dan meratifikasi Konvensi Wina secara tidak langsung diikuti oleh negara-negara dunia internasional yang meratifikasi Konvensi Wina tentunya merupakan sebuah langkah maju dalam program perlindungan lingkungan khususnya ozon yang digalakkan oleh PBB. Kemudian sebagai langkah konkret dalam perlindungan lapisan ozon dari zat-zat yang dapat menipiskan lapisan ozon maka dibuat sebuah protokol. Protokol adalah aturan-aturan khusus secara detail yang menjelaskan isi dari sebuah konvensi. Maka untuk menindaklanjuti dari program perlindungan lapisan ozon dibentuklah Protokol Montreal. Regulasi yang komprehensif dalam protokol montreal memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam mengatur jalannya 26 http://status of ratification – the ozone secretariat.htm. Down Load tanggal 14 november 2010. Universitas Sumatera Utara produksi zat-zat yang dapat menipiskan lapisan ozon. Hal ini sangat penting karena gas klorin yang terkandung dalam senyawa CFC mampu menipiskan lapisan ozonKetika gas klorin tidak dikendalikan secara terukur maka bahaya besar akan mengancam mahluk hidup yang ada di muka bumi ini. Untuk itu pemahaman dan pengetahuan tentang Protokol Montreal merupakan hal yang wajib diketahui oleh banyak pihak baik kalangan akademisi, pemerhati lingkungan, masyarakat awam, dan bahkan para pengambil kebijakan-kebijakan strategis terkait dengan lingkungan. Protokol Montreal (Montreal Protocol) Protokol Montreal (Montreal Protocol on Substnaces that Deplete the Ozone Layer) dideklarasikan oleh negara-negara Pihak pada tanggal Protokol Montreal pada tahun 1987, para Pihak yang meratifikasi Protokol Montreal sangatlah sedikit, yakni berkisar 31 negara Pihak. Tetapi, seiring dengan perjalanan waktu dan desakan dunia internasional dan kelompok-kelompok pemerhati masalah lingkungan khususnya masalah menipisnya lapisan ozon di atas benua Antartika maka jumlah negara yang sudah meratifikasi Universitas Sumatera Utara Protokol Montreal sampai dengan tanggal 13 maret 2007 mencapai angka kisaran yang sangat menakjubkan yakni 191 negara. dan hanya lima negara yang belum meratifikasi Protokol Montreal. Kelima negara tersebut adalah Irak, Andora, Timor leste, Holy Sea, San Marino. 27 Untuk merespon Protokol Montreal ini, Amerika Serikat telah mengirimkan delegasinya (full powers) untuk menandatanganinya Protokol Montreal pada tanggal 16 September 1987 dan di level domestik Amerika Serikat, Amerika Serikat telah meratfikasi Protokol Montreal pada tanggal 21 April 1988. Tujuan dari Protokol Montreal ini adalah untuk mengendalikan lebih lanjut terhadap menipisnya lapisan ozon yang kemudian menyebabkan lubang ozon (ozon hole) diatas benua Antartika yang mencapai 27 kilometer persegi dengan cara mengendalikan lebih dan bahkan meminimalisasikan zat-zat yang dapat menipiskan lapisan ozon (ozon depletion substances) Berpijak pada kerangka hipotesa Rowland dan Molina, tentang gas klorin dari senyawa CFC (chlorofluorocarbon) yang mamu merusak lapisan ozon, maka di awal pembentukan Protokol 27 http://status of ratification – Ozone secretariat.htm Down Load 14 november 2007 Universitas Sumatera Utara Montreal, Protokol Montreal mengajak negara-negara untuk segera mempunyai perhatian yang besar terhadap “bencana atmosfer” yang mengancam kehidupan manusia dan lingkungan di masa yang akan datang. Perhatian terhadap persoalan ozon sedikit menampakkan bentuknya pada beberapa tahun pasca dideklarasikannya Protokol Montreal. Hal ini bisa dilihat dari tiga. fakta berikut. Pertama, masuknya 12 anggota masyarakat Eropa, yang tnetunya sangat mempunyai pengaruh yang sangat signifikan bagi oengurangan zat-zat yang dapat menipiskan lapisan ozon dan negara-negara Eropa tersebut mempunyai kepedulian yang serius terhadap pengurangan ODS (ozon depletion substances). Selain itu juga, menjelang bukan maret 1989, pihak yang meratifikasi Protokol Montreal semakin bertambah banyak menjadi 40 negara. Kedua, negara-negara pihak yang telah meratifikasi Protokol Montreal sudah mulai menunjukkan keseriusan terhadap Protokol Montreal dengan membuat regulasi di level domestic. Tidak terkecuali pula, negara-negara Eropa yang memiliki beban 768.400 ton CFC juga berjanji unutk meminimalisasikan atau melakukan pengurangan secara bertahap (phase out) terhadap jumlah CFC Universitas Sumatera Utara yang dimilikinya. Negara-negara Eropa tersebut berjanji untuk menuntaskan phase out di negaranya masing-masing pada tahun 2000, yang kemudian dijadwal ulang lebih cepat pada tahun 1997. Pihak Amerika Serikat yang mempunyai predikat the most producer of CFC yakni 694.600 ton juga berjanji untuk melakukan phase out di level domestik Amerika Serikat dengan membuat regulasi terhadap CFC dan melakukan pengawasan terhadap produksi, konsumsi, ekspor, dan impor CFC. Ketiga, munculnya pembahasan-pembahasan mengenai keinginan untuk memperluas adanya ketentuan-ketentuan dari badan pengawas Montreal yang diselenggarakan di Helsinki pada musim semi pada tahun 1989. ketentuan-ketentuan tersebut menyangkut pembatasan-pembatasan terhadap produksi metal klorofom dan karbon tetaklorida, karena dua zat ini ternyata memiliki kans yang cukup memadai yakni sekitar 13 persen dalam merusak lapisan ozon. 28 Setelah mendapatkan perhatian yang cukup besar dari banyak pihak, maka diharapkan Protokol Montreal akan mamou berjalan efektif dalam mengawal regulasi dalam rangka mengurangi kadar 28 Daryanto, Agenda Politik Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, Hal 488-489. Universitas Sumatera Utara CFC dan zat-zat lain yang merupakan zat yang menipiskan lapisan ozon. Untuk itu perlu dibuat sebuah regulasi berupa pengaturan dan amandemen-amandemen dalam Protokol Montreal. Dalam sejarahnya, Protokol Monteal telah mengalami satu kali pengaturan yakni di Wina pada tahun 1995 dan empat kali amandemen. Pegaturan dan amandemen ini dilakukan atas kerangka dasar bahwa untuk melaksanakan dan mengefektifkan tujuan dari Protokol Montreal diperlukan perubahan dan pengaturan yang disesuaikan dengan dinamika zat-zat yang menipiskan lapisan ozon dan kondisi domestic di masing-masing negara pihak. Amandemen pertama dalam Protokol Montreal terjadi pada tanggal 29 Juni 1990. Amandemen ini disebut Amandemen London, Inggris. Amandemen London ini telah diratifikasi oleh 185 negara Pihak dan Amerika Serikat telah meratifikasi amandemen London pada tanggal 18 Desember 1991. Tujuan dari amandemen ini adalah untuk memperkuat prosedur-prosedur – prosedur pengawasan substansi-substansi yang mengurangi lapisan ozon termasuk dalam Protokol Montreal, serta memperluas lingkup Protokol dengan menambah 12 ODS baru dan membentuk mekanisme keuangan untuk Protokol Montreal. Universitas Sumatera Utara b. Negara-Negara Peratifikasi Protokol Montreal Paska dideklerasikannya Protokol Montreal pada tahun 1987 sebagai media pelaksana dari konvensi Wina pada tahun 1985, maka banyak negara yang tertarik unutk bergabung pada tahun 1987 adalah 31 negara Pihak. Seperti Arab Saudi, Mesir, Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, Uni Soviet dan lain-lain. diantara banyak negara yang menandatangani dan meratifikasi Protokol Montreal, negara-negara Eropa merupakan negara yang sangat peduli terhadap persoalan lingkungan. Negara yang sangat menonjol dalam perlindungan terhadap lingkungan adalah Jerman, khususnya Jerman Barat. Ketika fenomena lubang ozon menjadi perbincangan yang hangat di kalangan akademisi, praktisi, dan epistemic community, maka saat itu pula banyak negara yang apatis dan tidak sedikit pula yang hanya menganggapnya sebagai isu politik. Jerman Barat, sebelum terjadinya unifikasi dengan Jerman Timur, memiliki sikap yang berbeda dengan negara-negara lain. Maksudnya adalah Jerman memiliki perhatian yang relative besar terhadap persoalan penipisan lapisan ozon di atas benua Antartika. Keseriusan Jerman Barat atas persoalan ozon, dapat dilihat dari dibentuknya departemen lingkungan hidup yang secara khusus menangani regulasi zat-zat yang menipiskan lapisan ozon. Universitas Sumatera Utara Konsen negara-negara di dunia internasional untuk persoalan lingkungan tentu tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan leran dari kelompok-kelompok yang mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap persoalan lingkungan khususnya mengenai penipisan lapisan ozon. Penipisan lapisan stratosfir yang berdampak pada kerugian yang sangat besar bagi kehidupan mahluk hidup yang ada di muka bumi adalah hal yang sangat urgen untuk segera mendapatkan perhatian yang besar. Gebrakan politil di lingkaran kekuasaan dan tekanan yang dilakukan pleh para pemerhati dan aktivis lingkungan untuk menekan pemerintahannya masing-masing memberikan efek yang luar biasa bagi terwujudnya sistem rejim yang kuat untuk menjadi regulator bagi stabilisasi permasalahan lingkungan yang terkait dengan lubang ozon. Hal ini tentunya menjadi kabar baik bagi terwujudnya fenomena alam yang bebas dari ketakutan bencana dunia ke depan. Kelompokkelompok yang perduli terhadap permasalahan lingkungan memiliki peran yang sangat penting dalam menyadarkan negara yang acuh-tak acuh terhadap persoalan lingkungan. Data terakhir yang memuat jumlah protokol Montreal tanggal 13 maret 2007 ada sekitar 191 negara yang telah meratifikasi Protokol Universitas Sumatera Utara Montreal. Amerika Serikat sendiri menandatangani Protokol Montreal pada tanggal 16 september 1987 dan meratifikasi Protokol Montreal pada tanggal 21 April 1988. Pada sesi sebelumnya, Amerika Serikat juga menandatangani Konvensi Wina yang merupakan cikal bakal terbentuknya Protokol Montreal pada tanggal 22 Maret 1985 dan meratifikasinya pada tanggal 27 agustus 1985. B. INSTRUMEN HUKUM NASIONAL B. I. Undang-Undang no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Sehubungan dengan kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. 29 Oleh karena itu diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Adapun ruang lingkup perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ini meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan 29 “Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup” diakses http://www.digilib-ampl.net/detail/detail.php, tanggal 17 november 2010 dari Universitas Sumatera Utara penegakan hukum. Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion, dan penyusunan RPPLH. Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH. Mengenai pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya alam, pencadangan sumber daya alam, dan/atau pelestarian fungsi atmosfer. Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, menghasilkan, membuang, mengangkut, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3. Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan. Universitas Sumatera Utara B. II. BALI ROADMAP United Nations Climate Change Conference 2007 dilaksanakan di Denpasar pada tanggal 3-14 Desember 2007. Konferensi tersebut telah menghasilkan sejumlah keputusan dan yang paling utama di antaranya adalah Bali Roadmap yang merupakan sebuah kumpulan keputusan yang dibuat sebagai persiapan untuk konferensi PBB tentang perubahan iklim global yang akan diselenggarakan selanjutnya. 30 Pada dasarnya, Bali Roadmap ialah langkah-langkah yang didalamnya tercakup kesepakatan aksi adaptasi, jalan pengurangan emisi gas rumah kaca, dan transfer teknologi dan keuangan yang meliputi adaptasi dan mitigasi. poin-poin Bali Roadmap, yaitu : 1. Adaptasi Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk membiayai proyek adaptasi di negara-negara berkembang melalui metode clean development mechanism (CDM). CDM ialah salah satu dari ketiga metode pengurangan emisi CO2 yang ditetapkan dalam Kyoto Protocol. Proyek ini dilaksanakan oleh Global Environment Facility (GEF). Kesepakatan ini memastikan adanya dana adaptasi pada tahap awal periode komitmen pertama Kyoto Protocol (2008-2012). Dana yang tersedia berjumlah sekitar 37 juta euro dan mengingat banyaknya jumlah 30 “UNCCC2007: Bali Roadmap" diakses dari http://www.uncccbaliroadmapMajari Magazine.htm, pada tanggal 16 november 2010 Universitas Sumatera Utara proyek CDM, angka ini akan bertambah menjadi sekitar US$ 80-300 juta dalam periode 2008-2012. Beberapa negara peserta konferensi belum menyepakati pelaksanaan proyek adaptasi ini dikarenakan sulitnya regulasi dan penyatuan kebijakan nasional. 2. Teknologi Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk memulai program strategis untuk memfasilitasi teknologi mitigasi dan adaptasi yang dibutuhkan negaranegara berkembang. Tujuan program ini adalah untuk memberikan contoh proyek yang konkrit, menciptakan lingkungan investasi yang menarik, dan juga termasuk memberikan insentif untuk sektor swasta untuk melakukan alih teknologi. Global Environment Facility (GEF) akan menyusun program ini bersama dengan lembaga keuangan internasional dan perwakilan-perwakilan dari sektor keuangan swasta. Negara-negara peserta konferensi juga bersepakat untuk memperpanjang mandat Expert Group on Technology Transfer selama 5 tahun. Grup ini diminta memberikan perhatian khusus pada kesenjangan dan hambatan pada penggunaan dan pengaksesan lembaga-lembaga keuangan. 3. Reducing emissions from deforestation in developing countries (REDD) Emisi karbon yang disebabkan karena deforestasi hutan merupakan isu utama di Bali. Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk menyusun sebuah Universitas Sumatera Utara program REDD dan menurunkan hingga tahapan metodologi. REDD akan memfokuskan diri kepada penilaian perubahan cakupan hutan dan kaitannya dengan emisi gas rumah kaca, metode pengurangan emisi dari deforestasi, dan perkiraan jumlah pengurangan emisi dari deforestasi. Deforestasi dianggap sebagai komponen penting dalam perubahan iklim sampai 2012. 4. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk mengakui Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sebagai assessment yang paling komprehensif dan otoritatif. 5. Clean Development Mechanisms (CDM) Merupakan mekanisme Implementation. 31 yang berbasis Negara-negara pasar peserta juga sama konferensi seperti Joint bersepakat untuk menggandakan batas ukuran proyek penghutanan kembali menjadi 16 kiloton CO2 per tahun. Peningkatan ini akan mengembangkan angka dan jangkauan wilayah negara CDM ke negara yang sebelumnya tak bisa ikut mengimplementasikan mekanisme pengurangan emisi CO2 ini. 6. Negara Miskin 31 Daniel Murdiyarso, CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih, Jakarta, 2003, hal 5 Universitas Sumatera Utara Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk memperpanjang mandat Least Developed Countries (LDCs) Expert Group. Grup ini akan menyediakan saran kritis bagi negara miskin dalam menentukan kebutuhan adaptasi. Hal tersebut didasari fakta bahwa negara-negara miskin memiliki kapasitas adaptasi yang rendah. Setelah mundurnya jadwal konferensi selama satu hari dan setelah diadakannya perpanjangan waktu selama 23 jam, delegasi dari 189 negara, termasuk Amerika Serikat, akhirnya dapat menyepakati Bali Roadmap. Keikutsertaan Amerika Serikat dalam Bali Roadmap memberikan sinyal positif bagi keberhasilan menyatukan seluruh bangsa dalam satu aksi bersama untuk menyelamatkan bumi. Seperti yang kita ketahui, Amerika Serikat ialah negara emiten karbon dan negara industri yang sangat besar dan tanpa keikutsertaan AS dalam Bali Roadmap, upaya penyelamatan bumi tidak akan maksimal. Universitas Sumatera Utara