AKUNTANSI TOPIK KHUSUS STUDI KASUS

advertisement
Nama
: NOVIANI
NPM
: 14.06.1.0151
Kelas
: AKUNTANSI E SMSTR VI
Tugas MK
: AKUNTANSI TOPIK KHUSUS
STUDI KASUS TOSHIBA
Toshiba telah berkiprah dalam industry teknologi di seluruh dunia sejak tahun 1875, itu
artinya selama 140 tahun Toshiba telah mampu mencuri hati masyarkat di seluruh dunia
dengan produk yang berkualitas, brand image yang tangguh, dan layanan pelanggan yang
excellent. Reputasi yang bagus itu kini hancur berantakan hanya karena pressure yang
sangat tinggi untuk memenuhi target performance unit.
Kasus ini bermula atas inisiatif Pemerintahan Perdana Menteri Abe yang mendorong
transparansi yang lebih besar di perusahaan-perusahaan Jepang untuk menarik lebih banyak
investasi asing. Atas saran pemerintah tersebut, Toshiba menyewa panel independen yang
terdiri dari para akuntan dan pengacara untuk menyelidiki masalah transparansi di
Perusahaannya. Betapa mengejutkannya bahwa dalam laporan 300 halaman yang
diterbitkan panel independen tersebut mengatakan bahwa tiga direksi telah berperan aktif
dalam menggelembungkan laba usaha Toshiba sebesar ¥151,8 miliar (setara dengan Rp
15,85 triliun) sejak tahun 2008.
Panel yang dipimpin oleh mantan jaksa top di Jepang itu, mengatakan bahwa eksekutif
perusahaan telah menekan unit bisnis perusahaan, mulai dari unit personal computer
sampai ke unit semikonduktor dan reaktor nuklir untuk mencapai target laba yang tidak
realistis. Manajemen biasanya mengeluarkan tantangan target yang besar itu sebelum akhir
kuartal/tahun fiskal. Hal ini mendorong kepala unit bisnis untuk menggoreng catatan
akuntansinya. Laporan itu juga mengatakan bahwa penyalahgunaan prosedur akuntansi
1
secara terus-menerus dilakukan sebagai kebijakan resmi dari manajemen, dan tidak
mungkin bagi siapa pun untuk melawannya, sesuai dengan budaya perusahaan Toshiba.
Hisao Tanaka adalah seorang yang telah menjabat di toshiba sebagai Presiden Eksekutif
dan Chief Executive Officer (CEO). Perusahaan toshiba sendiri sudah berdiri selama 140
tahun namun hancur begitu saja dikarnakan perilaku etika yang tidak baik yang dilakukan
tanaka, karena pangkat yang tinggi dan mempunyai kewenangan atas data yang diberikan
untuk di laporkan namun menyalah gunakan data tersebut untuk mendapatkan keuntungan
dalam perusahaan dikarenakan target yang tidak tercapai.
Akibat laporan ini CEO Toshiba, Hisao Tanaka mengundurkan diri pada tanggal 21 juni
2015 disusul keesokan harinya pengunduran diri wakil CEO Toshiba, Norio Sasaki. Selain
itu Atsutoshi Nishida, chief executive dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 yang
sekarang menjadi penasihat Toshiba juga mengundurkan diri. Panel tersebut mengatakan
bahwa Tanaka dan Sasaki tidak mungkin tidak tahu atas praktik penggorengan laporan
keuangan ini. Penggorengan ini pasti dilakukan secara sistematis dan disengaja.
Saham Toshiba turun sekitar 20% sejak awal April ketika isu akuntansi ini terungkap. Nilai
pasar perusahaan ini hilang sekitar ¥ 1,67 triliun (setara dengan Rp 174 triliun). Badan
Pengawas Pasar Modal Jepang kemungkinan akan memberikan hukuman pada Toshiba atas
penyimpangan akuntansi tersebut dalam waktu dekat ini.
ANALISIS KASUS
Manajemen Berbasis Kinerja
Target yang terlalu tinggi, dan tekanan atas pencapaian target tersebutlah yang
menyebabkan skandal ini terjadi. Dalam akuntansi manajemen, hal ini disebut dengan
akuntansi pertanggungjawaban, yaitu bagaimana kepala unit bisnis melaporkan pencapaian
kinerjanya atas tanggung jawab yang diberikan manajemen puncak perusahaan kepadanya.
Tidak ada yang salah sebenarnya dalam praktik akuntansi pertanggungjawaban ini, malah
dianjurkan untuk menciptakan kinerja yang lebih baik, namun kesalahannya terletak pada
2
tumpuan penilaian kinerja semata-mata hanya pada sisi kinerja keuangan. Meskipun kita
mengenal ada empat perspektif kinerja dalam balance score card (keuangan, pelanggan,
proses bisnis internal dan pertumbuhan dan pembelajaran), namun dalam kenyataannya
tetap perspektif keuangan selalu yang didewakan.
Tidak hanya di Jepang, Amerika atau negara barat lainnya, di Indonesia pun praktik
manajemen berbasis kinerja ini sering banyak disalahgunakan. Praktik sederhananya adalah
manajemen puncak memberikan target yang luar biasa tinggi kepada unit bisnis
dibawahnya, sebenarnya manajemen puncak mengetahui bahwa target itu sangat tidak
realistis, namun sengaja ia berikan agar memacu unit bisnis menghasilkan yang lebih
banyak lagi melebihi target normal, agar target yang dibebankan kepadanya bisa dicapai.
Atau contoh sederhananya begini: dewan komisaris (BOC) memberikan target
pertumbuhan 10% kepada dewan direksi (BOD) perusahaan, selanjutnya BOD memberikan
target 12% kepada setiap unit bisnis dibawahnya, untuk mengamankan agar pencapaiannya
yang 10% itu dapat dengan mudah dipenuhi, selanjutnya kepala unit bisnis memberikan
target yang lebih tinggi lagi misal sebesar 15% kepada manajer divisi dibawahnya lagi,
demikian seterusnya.
Praktik ini sebenarnya normal terjadi, namun tekanan dan punishment dari atasan agar
target tercapai itulah yang membuat unit bisnis mengakali laporannya. Cara gampangnya
adalah dengan memberikan laporan yang salah alias laporan ABS (Asal Bapak Senang)
seperti pada kasus Toshiba ini.
Cara Baru Pengawasan
Kasus akuntansi Toshiba ini tidak akan mungkin muncul ke permukaan, jika komisaris
(Chairman) Toshiba tidak melakukan inistiatif membentuk panel independen ini, artinya
jika dengan pengawasan biasa saja (internal audit atau komite audit), hal ini pasti tidak
terdeteksi.
Demikian juga peran OJK nya Jepang yang tidak mampu mendeteksi kasus ini, dengan
beranekaragam regulasi yang dikeluarkan OJK ternyata masih belum mampu mencegah
3
terjadinya praktik kecurangan akuntansi pada perusahaan terdaftar di bursa, ini juga patut
dipertanyakan.
Hal yang sama terjadi juga pada eksternal auditor Toshiba yang juga tidak mampu
menemukan kecurangan akuntansi ini. Audit independen saja tidak mampu menemukannya
bagaimana dengan internal audit atau OJK?
Perlu dipikirkan cara baru pengawasan untuk mencegah hal ini terulang lagi, mungkin
semacam inspeksi dari komisaris perusahaan atau dari regulator (jika perusahaan terbuka).
Inpeksi atau pemeriksaan khusus bisa dilakukan kapan saja dengan waktu yang tidak tentu.
Pemeriksaan khusus (inpeksi) ini harus dituangkan dalam peraturan resmi (peraturan OJK
atau peraturan pemerintah) agar semua perusahaan melakukannya secara bersama,
termasuk didalamnya siapa yang menanggung biaya inspeksi ini. Dengan penerapan
pengawasan berlapis ini tentunya akan tercipta laporan keuangan yang lebih accountable,
good corporate governance, dan tentunya kepercayaan para stake holder (termasuk
didalamnya investor) akan semakin tinggi.
Perilaku Etika Dalam Bisnis
Perilaku etika bisnis pada kasus skandal akuntansi thosiba yang dilakukan CEO dan
presiden tanaka tahun 2015 dengan penyimpangan pencatatan keuntungan perusahaan
mencerminkan perilaku yang kurang baik. Dilihat dari etika pada kasus ini adanya
tindakan kecurangan dalam pembuatan laporan keuangan dengan begitu mudahnya mereka
menaikan laba operasional. Hal ini karena adanya keinginan tanaka untuk membuat
perusahaan seakan-akan sudah memenuhi performance unit yang sesuai dengan target dan
seakan - akan tidak terlihat bahwa ada target yang tidak tercapai. Seharusnya Tanaka
memikirkan kembali apa yang dilakukannya salah atau benar karena akibatnya membuat
banyak pihak yang kecewa bahkan dirinya sendiri akan mendapatkan kerugian.
Dalam menciptakan etika bisnis yang baik dikasus ini ada hal-hal yang perlu diperhatikan
antara lain:
1. Pengendalian Diri
2. Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Sosial Responsibility)
4
3. Mempertahankan Jati Diri Tidak Mudah Untuk Terombang-Ambing Oleh Pesatnya
Perkembangan Informasi dan Teknologi.
4. Menerapkan Konsep “Pembangunan Berkelanjutan”
5. Menghindari Sifat 5K (kata belece, kongkalikong, koneksi, kolusi dan komisi)
6. Mampu Menyatakan Yang Benar Itu Benar
7. Konsekuen dan Konsisten Dengan Aturan Main Yang Telah Disepakati Bersama.
8. Menumbuhkan Kesadaran dan Rasa Memiliki Terhadap Apa Yang Disepakati
9. Perlu adanya sebagian Etika Bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif
yang berupa peraturan perundang-undangan.
Laporan Audit
Pada kasus ini laporan keuangan yang dihasil pihak manajemen tidak sesuai dengan
pernyataan hal ini terbukti saat investigasi independen sebenarnya menemukan bahwa
pihak manajemen berbohong mengenai jumlah keuntungan yang mereka dapatkan selama
lebih dari 6 tahun dikarenakan ingin memenuhi target internal perusahaan setelah terjadi
krisis finansial tujuh tahun lalu. Namun adanya kelihaian pihak manajemen dalam
memanipulasi laporan keuangan membuat pihak auditor sulit menemukan adanya
kecurangan pada laporan keuangan tersebut sehingga butuh waktu cukup lama untuk
mengindentifikasi kasus ini dikarenakan ketidaktelitian auditornya.
Aturan Etika Profesi Akuntansi
Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung jawabnya dengan standar
profesionalisme tertinggi, untuk mencapai tujuannya dapat dilihat 4 kebutuhan dasar yang
harus dipenuhi :
-
- Kreabilitas
Pada kasus hisao tanaka ini tidak memenuhi kreadibilitas dengan baik karena telah
membuat laporan keuangan agar terlihat adanya keuntungan di dalam perusahaan.
- - Profesionalisme
5
Pada kasus ini presiden sekaligus CEO tidak menjalankan tugasnya dengan baik atau secara
profesionalisme bahkan melakukan perbuatan yang menguntungkan saja dengan cara
menambahkan laba pada laporan keuangan.
- - Kualitas Jasa
Kuranganya pelayanan dan jasa pada bagian pengawasan auditor pada laporan keuangan.
-
- Kepercayaan
Hisao Tanaka pada dasarnya di toshiba sudah mendaptkan kepercayaan dari caranya
bekerja dan telah memiliki reputasi diperusahan dengan baik, akan tetapi dikarenakan pada
tahun tertentu ia harus mencapai target dan ternyata kurangnya target yang diharapkan
sangatlah besar maka dari itu ia melakukan penambahan laba pada laporan keuangan dan
tidak lagi dipercayai seegingga ia bertanggung jawab atas kasus ini dan mengundurkan diri.
Prinsip Pertama – Tangggung Jawab Profesi
Dalam kasus ini pihak auditor yang kurang berhati-hati saat mengaudit laporannya dan
pihak direksi seharusnya lebih bisa berhati-hati lagi untuk tidak melakukan kecurangan
menutupi kerugian karena tindakan tersebut merugikan banyak pihak seperti hilangnya
kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan maupun profesinya sendiri.
Prinsip Kedua – Kepentingan Publik
Pada kasus hisao tanaka kurangnya pelayanan publik dan tidak adanya komitmen pada
profesi yang menunjukkan sikap profesionalisme, untuk menjaga sikap profesionalisme
yang baik seorang CEO dan presiden seharusnya mempunyai sikap yang bertanggung
jawab dan jujur, dan sebagai auditor harus lebih bisa teliti agar tercipta laporan keuangan
yang lebih accountable, good corporate govermance, dan akan mendapatkan kepercayaan
para stake holder.
Prinsip Ketiga – Integritas
Integritas mengharuskan para pihak untuk bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus
mengorbankan rahasia penerima jasa. Tidak adanya kejujuran pada kasus ini walaupun
niatnya baik untuk melindungi perusahaan dari kerugiaan namun cara presiden itu salah.
6
Prinsip Kelima – Kompetensi Dan Kehati-Hatian Profesional
Pada kasus ini penyajian laporan keuangan seharusnya mempunyai sikap kehati-hatian
dalam menyajikan laporan keuangan.
Prinsip Ketujuh – Perilaku Profesional
Sebagai presiden dan CEO hisao hataka seharusnya berprilaku konsisen sesuai reputasi
profesinya dengan baik dan menjauhi tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan,
namun pada kasus ini hataka bertanggung jawab dengan mengundurkan diri dikarenakan
kesalahannya.
7
Download