Ekspresi Gen Penyandi Pathogenesis Related

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Pyricularia grisea Saccardo
Pada tahun 1637 Soong Yin-Shin di Cina dalam bukunya “Utilization of
Natural Resources” telah melaporkan adanya penyakit padi yang dikenal sebagai
rice fever. Penyakit ini dinamakan blas oleh Mescalf, yang dikenal dengan bercak
daun belah ketupat (Ou 1985). Pada tahun 1880 Pyricularia grisea Saccardo
ditemukan pada rumput tropik, kemudian tahun 1891 Pyricularia oryzae Cavvara
ditemukan pada tanaman padi. Pada tahun 1918 baru diketahui bahwa penyakit
blas disebabkan oleh Pyricularia grisea Saccardo (Rossman et al. 1990) yang
merupakan faktor pembatas produksi padi (Oryza sativa L.) di seluruh dunia.
Kerugian akibat penyakit ini diperkirakan mencapai $55 juta/tahun di Asia
Selatan dan Asia Tenggara (Herdt 1991). Saat ini telah diketahui 67 nama jenis
Pyricularia, tiga diantaranya adalah Pyricularia jenis baru (P. kookicola
Bussaban, P. longispora Bussaban, P. variabilis Bussaban) dan studi molekuler
telah memastikan bahwa Pyricularia grisea dan P. oryzae adalah identik (Lebrun
et al. 1991; Bussaban et al. 2003).
Penyakit ini muncul di lahan kering dan kemudian di lahan sawah yang
agak cenderung kering. Cendawan blas dapat menginfeksi tanaman padi pada
setiap tahapan pertumbuhannya dengan membentuk bercak baik pada daun, ruas
batang, leher malai, cabang malai dan kulit gabah yang dapat menyebabkan
kehampaan pada biji sehingga bisa mengakibatkan kegagalan panen (Ou 1985;
IRRI 2003).
Cendawan ini ditemukan di alam dalam bentuk aseksual, sedangkan dalam
bentuk seksualnya yaitu Magnoporte grisea (Hebert) Barr hanya diproduksi
dengan pembiakan di laboratorium. Kehilangan hasil padi akibat blas leher malai
(neck blast) dapat mencapai lebih dari 80 % (Chen 1993). Serangan patogen pada
buku batang (node blast) dapat menyebabkan batang patah (Ou 1985) dan
kematian yang menyeluruh pada batang sebelah atas dari buku yang terinfeksi.
Sedangkan serangan P. grisea pada leher malai memperlihatkan gejala nekrotik
yang berwarna abu-abu. Infeksi pada buku leher menyebabkan busuk pada leher
yang sangat berbahaya bagi tanaman. Bercak yang terjadi pada malai padi
6
biasanya berwarna coklat dan bisa pula berwarna hitam yang semuanya terjadi
akibat hifa yang berkembang membentuk konidiofor dan penetrasi aktif konidia
yang matang (Gambar 1) (Zhao et al. 2007).
20 µm
Keterangan : A=apresorium, C= konidia G = tabung infeksi
ukuran skala Bars 20 µm,
Gambar 1. Konidia Pyricularia grisea (Zhao et al. 2007).
Gejala daun yang terserang oleh blas daun (leaf blast) berupa bercak
berbentuk belah ketupat dengan ujung yang runcing. Pada bagian tengah bercak
berwarna abu-abu atau putih yang dikelilingi warna coklat sampai coklat
kemerahan pada bagian pinggir bercak (Ou 1985). Bentuk warna dan ukuran
bercak tersebut bervariasi tergantung pada ketahanan varietas, umur tanaman dan
umur bercak tersebut (Scardaci et al. 1997). Pada varietas yang tidak tahan, pada
kondisi lingkungan yang lembab, pinggiran bercak berwarna coklat dengan sedikit
kuning (halo), sedangkan pada varietas yang tahan, bercak tidak berkembang
melainkan hanya berupa titik coklat saat penetrasi sebesar jarum. Hal ini
disebabkan adanya reaksi hipersensitif yang cepat dari tanaman inang sehingga
patogen tidak berkembang (Ou 1985).
Cendawan P. grisea yang menyebabkan penyakit mempunyai 3 fase
pertumbuhan, yaitu: infeksi, kolonisasi dan sporulasi. Fase infeksi, diawali dengan
penetrasi aktif konidia pada permukaan daun ke dalam sel epidermis tanaman padi
(Koga 2001). Penetrasi ini diperantarai oleh tekanan mekanik melalui proses
enzimatik. Selanjutnya konidia akan menghasilkan tabung kecambah (germ tube)
yang akan membentuk apresorium. Pada kondisi yang cocok dan lembab,
apresorium akan menghasilkan tabung infeksi (haustoria) yang akan menembus
7
sel epidermis pada permukaan daun padi. Kemudian hifa akan berkembang dalam
sel tanaman dan akan menyebabkan bercak (Leung dan Shi 1994).
Pada kelembaban yang tinggi, pada tanaman yang peka, bercak akan
menghasilkan konidia dalam waktu 3-4 hari. Apresorium tidak mampu melakukan
penetrasi pada sebagian varietas tahan akibat adanya kandungan silikat pada
dinding sel epidermis. Produksi spora akan meningkat seiring dengan
meningkatnya kelembaban udara dan kebanyakan spora yang dihasilkan
dilepaskan ke udara (air borne) pada malam hari, yang merangsang
perkembangan penyakit (Scardaci et al. 1997; IRRI 2003).
Menurut Bonman et al. (1987) penyakit blas lebih menyukai kondisi
periode embun yang panjang, kelembaban yang tinggi, sedikit ada angin pada
malam hari dan temperatur malam sekitar 22 oC – 29 oC. Daun yang basah yang
berasal dari embun ataupun sumber lain sangat dibutuhkan untuk infeksi. Spora
dihasilkan dan dilepaskan pada kondisi kelembaban relatif yang tinggi, dan tidak
ada spora yang dihasilkan pada kondisi kelembaban dibawah 89 %. Sporulasi
meningkat apabila kelembaban relatif diatas 93 %, sedangkan temperatur
optimum untuk perkecambahan spora, pembentukan bercak dan sporulasi adalah
28 oC pada kelembaban 95 % dengan kondisi gelap selama 15 jam (Ou 1985).
Blas daun terjadi antara fase persemaian, sedangkan busuk leher terjadi setelah
pembentukan malai. Infeksi oleh cendawan blas umumnya dimulai pada saat
benih disemai di bak persemaian (Ahn dan Amir 1986; IRRI 2003).
Cendawan P. grisea mempunyai banyak ras dan ras-ras tersebut dapat
berubah dan terbentuk ras baru dengan cepat apabila populasi tanaman atau sifat
ketahanan tanaman berubah. Konidia yang dihasilkan oleh bercak blas dapat
menjadi ras baru yang memiliki patogenitas yang berbeda. Keragaman yang tinggi
ini disebabkan oleh kemampuannya dalam melakukan perkawinan antar haploid
hifa yang berlainan material genetiknya (Parasexual exchanged DNA) (Ou 1985;
Zeigler 1998). Mutasi, seleksi dan aliran gen diantara populasi, dan rekombinasi
genetik merupakan faktor utama yang menentukan struktur genetik dan dinamika
populasi cendawan ini (Kiyosawa 1981). Disamping itu variasi pada cendawan
blas disebabkan oleh adanya elemen transposon POT2 dalam genomnya
(endogenous repetitive DNA sequences). Elemen ini merupakan salah satu elemen
8
sekuen berulang (selain sekuen berulang MGR) yang tersebar pada genom
cendawan blas. Elemen transposon POT2 ini mempunyai sekuen terminal
inverted repeat dan sekuen internal yang diduga sebagai sekuen transposase.
Sekuen transposase ini berperan dalam penyisipan elemen transposon ke dalam
kromosom lain untuk membentuk rekombinan baru (Kachroo et al. 1994).
Menurut Kiyosawa (1981) dan Tenjo dan Hamer (2002) cendawan P. grisea
mempunyai ras patogenik yang berbeda kemampuannya dalam menginfeksi
varietas padi, dan merupakan salah satu cendawan yang menunjukkan variasi serta
diklasifikasikan dalam beberapa ras berdasarkan kemampuan menginfeksi pada
tanaman padi differensial. Terjadinya infeksi dan penyakit oleh cendawan P.
grisea meliputi penempelan konidia pada permukaan inang, perkecambahan
konidia, pembentukan apresorium, penetrasi, pertumbuhan invasif dan sporulasi
(Gambar 2) (Zhao et al. 2007).
Konidia
Sporulasi
Perkecambahan
Perkembangan apresorium
Pertumbuhan invasif
Penetrasi
Gambar 2. Siklus hidup cendawan Pyricularia grisea (Zhao et al. 2007).
Faktor yang mendukung perkembangan penyakit blas, antara lain adalah
pemakaian pupuk nitrogen yang berlebihan, tanah dalam kondisi aerobik dan stres
kekeringan. Kandungan nitrogen yang tinggi mengakibatkan peningkatan nitrat
dalam tanah sehingga meningkatkan kerentanan tanaman terhadap penyakit ini.
Nitrogen amonium diubah menjadi nitrat apabila tanah mempunyai drainase dan
aerasi yang baik (Scardaci et al. 1997).
9
Menurut Mogi et al. (1991) tujuh varietas lokal ditetapkan sebagai varietas
diferensial berdasarkan reaksi patotipe-nya yang khas terhadap ras-ras dominan
yang ditemukan di beberapa lokasi endemik penyakit blas di Indonesia. Adapun
varietas lokal yang ditetapkan sebagai varietas diferensial adalah Asahan,
Cisokan, IR64, Kruwing Aceh, Cisadane, Cisanggang dan Kencana Bali
(Tabel 1).
Belum tersedianya informasi mengenai varietas diferensial (differential
variety) tanaman padi untuk ketahanan terhadap penyakit blas pada daerah tropika
akan menyulitkan di dalam mempelajari mekanisme sinyal tranduksi di dalam
sistem ketahanan padi (Fucuta et al. 2002).
Tabel 1. Ras-ras dominan berdasarkan pola reaksi terhadap varietas diferensial.
Varietas
Nomor kode ras-ras dominan
Nilai
diferensial
001
003
011
013
021
041
051
101
111
113
133
201
skor
Asahan
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
S
200
Cisokan
R
R
R
R
R
R
R
S
S
S
S
R
100
IR64
R
R
R
R
R
S
S
R
R
R
R
R
40
K.Aceh
R
R
R
R
S
R
R
R
R
R
S
R
20
Cisadane
R
R
S
S
R
R
S
R
S
S
S
R
10
Cisanggang
R
S
R
S
R
R
R
R
R
S
S
R
2
K.Bali
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
1
Keterangan : R = tahan ; S = peka
(Sumber Mogi et al. 1991)
(Semakin besar nomor kode ras-ras dominan di Indonesia diatas maka bersifat semakin virulen).
Resistensi Tanaman Padi terhadap Patogen Blas
Ada dua kelompok klasifikasi ketahanan tanaman terhadap suatu penyakit,
yaitu ketahanan vertikal (vertical resistance) dan ketahanan horizontal (horizontal
resistance). Ketahanan vertikal bersifat monogenik/oligogenik (adanya gen
mayor) dan hanya efektif terhadap ras-ras spesifik saja dan menunjukkan bebas
bercak atau sangat tahan (hypersensitive). Interaksi yang terjadi antara gen mayor
dan patogen adalah inkompatible, di mana gen mayor ini langsung mengenali
patogen sehingga dapat menghambat siklus hidupnya (Finckh 1994), seperti tujuh
gen ketahanan mayor yaitu gen Pik, Pik-h, Piz, Piz5, Pil, Pi7(t) dan Pik-m, yang
dapat digunakan sebagai sumber gen ketahanan terhadap blas dalam perakitan
10
piramiding gene tanaman padi (Reflinur 2005). Sedangkan ketahanan horizontal
bersifat poligenik (adanya gen minor) dan tahan terhadap banyak ras patogen
sehingga bersifat tidak spesifik (McCouch et al. 1994; Agrios 1998). Patogen
menyerang tanaman melalui dua cara yaitu necrotropy dan biotropy. Necrotropy
merupakan patogen yang membunuh sel inang dengan cara menghasilkan
enzim/toksin tertentu sehingga mampu menghambat mekanisme pertahanan
tanaman inang, contohnya blas. Biotropy adalah patogen yang menyerang sel
hidup dan mengubah metabolisme tanaman untuk mendukung pertumbuhan dan
reproduksi patogen (Hammond-Kosack dan Jones 1997).
Reaksi tanaman padi terhadap penyakit blas dibagi menjadi tiga yaitu tahan
(completely resistant), moderat (partially resistant) dan peka (susceptible).
Cendawan tidak dapat menimbulkan bercak sama sekali pada varietas tahan
(Correa-viktoria dan Zeigler 1995). Untuk lebih memahami mekanisme interaksi
tanaman padi dengan patogen blas serta untuk mengembangkan varietas padi yang
lebih tahan terhadap penyakit blas, maka isolasi maupun karakterisasi dari gen
resistensi (R gene) sangatlah dibutuhkan.
Pengenalan patogen oleh tanaman yang tahan, dikontrol oleh gen resistensi
(R gene) yang ada pada tanaman dan gen avirulen (Avr) yang ada pada patogen.
Hal ini akan mengaktifkan sistem pertahanan (defense response) tanaman
terhadap patogen. Interaksi antara patogen dan inang dijabarkan dalam konsep
gene for gene (Tabel 2), dimana untuk setiap lokus genetik ada yang mengatur
ketahanan atau kerentanan tanaman inang dan ada lokus yang mengatur virulen
atau tidaknya suatu patogen, sehingga jika ada gen dalam tanaman inang yang
berperan untuk memberikan ketahanan maka ada pula gen dalam patogen yang
berperan untuk meningkatkan virulensinya agar dapat mematahkan ketahanan
inang yang bersangkutan (Staskawicz et al. 1995). Kendala yang sering dihadapi
di lapangan adalah terputusnya ketahanan suatu varietas terhadap penyakit karena
patogen berhasil beradaptasi membentuk ras baru sehingga berhasil menyerang
varietas yang sebelumnya sudah diidentifikasi bersifat resisten.
Studi genetika untuk mendapatkan gen resistensi terhadap penyakit blas
telah banyak dilakukan. Tanaman padi telah ditemukan lebih dari 25 gen mayor
yang mengendalikan ketahanan terhadap penyakit blas (Naqvi dan Chatto 1996)
11
dan 2 gen resistensi, yaitu Pi-b (Kawasaki et al. 1999) dan Pi-ta (Bryan et al.
2000) telah berhasil diisolasi dan diklon. Kedua gen resisten ini mempunyai
struktur gen yang mirip, yaitu NBS (nucleotide binding site) dan LRR (leucine rich
repeat). NBS dan LRR ini juga merupakan ciri pada gen resisten tanaman lain
yang sudah berhasil diisolasi, seperti gen resisten Hml pada jagung, RPS2 dan
RPMI pada Arabidobsis, Cf-9 pada tomat (Jones et al. 1994). Masing-masing gen
tersebut (Pi) akan berinteraksi secara spesifik dengan ras-ras tertentu dari
cendawan P. grisea (Ou. 1985). Saat ini terdapat 30 lokus ketahanan terhadap blas
yang telah diidentifikasi berdasarkan QTL pada padi, 20 diantaranya adalah gengen mayor yang mengatur ketahanan terhadap penyakit blas, sebagai contoh
adalah gen Pi-1, Pi-2, Pi-4, Pi-5, Pi-7 dan Pi-zh (Wang et al. 1989; Yu et al.
1991; McCouch et al. 1994).
Tabel 2 Konsep gene for gene
Genotip
Genotip Tanaman Inang
Patogen
Avr
avr
R
r
Inkompatibel
Kompatibel
(Tidak Terjadi Penyakit)
(Penyakit)
Kompatibel
Kompatibel
(Penyakit)
(Penyakit)
(Sumber Flor 1971 dalam Buchanam et al. 2000)
Beberapa usaha pengendalian terhadap penyakit blas telah dilakukan, antara
lain adalah penggunaan varietas tahan, penggunaan pupuk yang berimbang dan
pemakain fungisida (Amril 1992). Di antara usaha pengendalian tersebut,
penggunaan varietas tahan merupakan metode yang sangat praktis dan ekonomis
bagi petani serta ramah lingkungan. Akan tetapi ketahanan suatu varietas terhadap
penyakit blas tidak dapat bertahan lama karena cendawan P. grisea mempunyai
banyak ras dan ras-ras tersebut berubah dengan cepat dimana selama 21 bulan
pengamatan ditemukan keragaman jumlah, komposisi dan frekuensi ras diantara
bulan-bulan pengamatan (Ou 1985). Di Sumatera Barat selama tiga tahun telah
12
ditemukan adanya perubahan profil DNA dari tahun ke tahun (Utami et al. 2000).
Hasil penelitian mengenai penyakit blas memperlihatkan bahwa kendali genetik
ketahanan terhadap penyakit blas dapat berbeda-beda tergantung varietas padi
yang digunakan dan jenis isolat uji yang dipakai.
Toriyama et al. (1996) menyatakan metode pengembangan varietas padi
tahan blas dapat dilakukan dengan penggabungan beberapa gen tahan dominan
(true resistence) pada satu varietas, pembentukan varietas dengan beberapa gen
ketahanan horizontal (field resistance), dan penggabungan gen-gen ketahanan true
resistance dan field resistance, serta perakitan varietas-varietas multiline. Usaha
pemulia tanaman dalam merakit varietas padi yang memilki ketahanan terhadap
penyakit blas telah banyak dilakukan di Indonesia, tetapi mekanisme induksi yang
mengontrol pengaktifan sistem pertahanan tanaman terhadap patogen masih
belum terungkap.
Mekanisme yang terjadi selama patogenesis dan respon yang spesifik dari
tanaman merupakan langkah yang sangat penting untuk dipahami agar program
pengembangan varietas yang tahan terhadap blas dikemudian dapat berhasil
dengan baik (Koga 2001). Oleh karena itu perakitan varietas padi tahan blas harus
dilakukan dengan cepat dan berkesinambungan serta disesuaikan dengan
komposisi ras cendawan P. grisea yang berkembang di lapangan (Kustianto et al.
1993; Amir 2002).
Karateristik gen PR1 dan gen PBZ1
Tanaman akan bereaksi terhadap kehadiran suatu patogen dengan
mengaktifkan suatu multikomponen sistem pertahanan. Diawali dengan sinyal
transduksi yang mengubah stimulus menjadi bentuk yang lain dengan melibatkan
urutan reaksi biokimia di dalam sel yang dilaksanakan oleh enzim dan
berhubungan melalui second messenger (Voet dan Donald 1995). Terdapat tiga
mekanisme utama dalam proses penerimaan sinyal dan inisiasi transduksi sel
dalam merespon sinyal dari lingkungan yaitu penerimaan sinyal oleh sel target,
penguatan sinyal, respon seluler terhadap sinyal sehingga mengaktifkan
downstream seperti pada Phatogenesis Related (PR). Tanaman padi yang
13
terinduksi oleh serangan patogen blas akan mengaktifkan kelompok gen (family
genes) yang menyandi kode PR protein (Gee et al. 2001; Heisser et al. 2005).
Proses interaksi pada tanaman meliputi tahapan seperti pengenalan oleh
gen R, aktivasi protein kinase, aktivasi kelompok gen Rac, fosforilasi bertingkat
dan timbulnya respon pertahanan tanaman yang berupa diproduksinya senyawa
fitoaleksin dan PR protein seperti pada PR1 dan PBZ1 (Shimamoto et al. 2001).
Gen PR1 dan gen PBZ1 merupakan Phatogenesis Related protein (PR protein),
yaitu gen-gen yang aktif sebagai reaksi tanaman terhadap infeksi patogen.
Gee et al. (2001) menjelaskan over expresi gen PR dari kayu cendana dapat
meningkatkan sistem pertahanan tanaman terhadap patogen tertentu. PR protein
ini dapat mendegradasi dinding sel patogen yang tersusun oleh polisakarida atau
menghambat patogenesis atau mungkin juga dapat meningkatkan resistensi
terhadap beberapa patogen
dan juga menunjukkan anti mikroba (Hammond-
Kosack dan Jones 1997: Gee et al. 2001).
Menurut Agrawal et al. (2001) etilen terlibat dalam ekspresi gen
pathogenesis-related (PR) yang terdapat pada tanaman dikotil, tetapi hanya
sedikit gen PR yang diidentifikasi dan karakterisasi pada tanaman monokotil
seperti padi, dan beberapa jenis gandum. Ternyata etilen mempengaruhi terhadap
tiga gen penting gen PR pada padi (kultivar Nipponbare) seperti, gen PR10, PR1
dan PR5 terhadap perkecambahan daun. Hasil ini menandai adanya suatu peran
dinamis untuk etilen di dalam gen PR yg diinduksi di dalam tanaman padi.
Menurut Agrawal et al. 2001 terdapat tiga gen penting dalam tanaman padi yaitu
gen PR1, PR5 dan PR10 (PBZ1).
Empat belas famili dari PR protein (PR1–PR14) telah diketahui dan
diidentifikasi berdasarkan fungsi atau karakteristik strukturnya (Van Loon dan
Van Strein 1999). PR1 merupakan gen yang pertama kali berhasil diidentifikasi
dan merupakan kelompok yang paling dominan dari PR protein. Protein ini
berfungsi sebagai antifungal (Selitrennikoff 2001). Protein PR1 terakumulasi oleh
infeksi patogen, induksi bahan kimia seperti salicylic acid (SA) dan benzo (1,2,3)
thiadiazole-7-carbothioic acid S-methyl ester (BTH) (Kim et al. 2002; Shimono et
al. 2007).
14
Pada tanaman padi, ekspresi gen PR1 diinduksi oleh infeksi patogen,
diantaranya Magnaporthe grisea, Bipolaris sorokiniana dan Pseudomonas
syringae pv. Syringae (Schweizer et al. 1997). Walaupun fungsi secara biokimia
protein PR masih banyak yang belum diketahui, tetapi ada beberapa contoh yang
memiliki anti mikroba seperti PR3 dan PR2 yang dapat menghambat pertumbuhan
cendawan dan dapat mendegadrasi sel dinding cendawan sehingga terjadi
penurunan kerusakan penyakit setelah di infeksi oleh cendawan patogen (Gee et
al. 2001).
Protein PBZ1 mempengaruhi respon ketahanan di dalam tanaman padi
melawan cendawan (Van loon et al. 1994). Ekspresi gen ini pada tanaman padi
dapat diinduksi oleh probenazole (3-allyloxy-1, 2-benzisothiazole-1, 1-dioxide)
yang dapat meningkatkan aktifitas enzim yang berkaitan dengan sistem
pertahanan pada tanaman, seperti peroksidase, polyphenoloxidase, ammonia-lyase
dan catechol-O-methyltransferase serta asam α-linolenic yang berfungsi sebagai
penghambat perkecambahan konidia (Gambar 4) (Iwata 2001).
Aktivasi sistem
pertahanan alami
PBZ1, PR1-------- ?
B
L
A
S
F
u
n
g
i
s
i
d
a
Ekspresi
PR
Membran sel
Dinding sel
Hipersensitif
Gambar 3. Hipotesis Probenazole di dalam sistem pertahanan penyakit tanaman
padi (Iwata 2001).
Ekspresi gen PBZ1 dapat juga diinduksi oleh vitamin B1 (Ahn et al. 2005),
dan diinduksi oleh bakteri hawar (Suharsono et al. 2002). Baru-baru ini, peneliti
melaporkan banyak gen pertahanan berhubungan di dalam tanaman padi yang
15
diinduksi oleh aplikasi probenazole (Shimono et al. 2000). Sehubungan dengan
tatanama yang dibentuk protein intraselular dengan karakteristik yang sama maka
PBZ1 disebut juga sebagai PR10 (Agrawal et al. 2001; Nakhashita et al. 2001).
Ekspresi gen PR1 dan PBZ1 pada padi japonica secara spesifik diinduksi
oleh ras blas (Magnophorthe grisea) yang bersifat avirulen dan dihambat oleh ras
blas yang bersifat virulen. Hal ini menunjukkan bahwa kedua gen ini berperan
dalam sistem pertahanan tanaman padi terhadap penyakit blas yang diperantarai
oleh gen resistensi (R gene) (Suharsono et al. 2002). Studi gen PR1 dan gen PBZ1
pada padi indica belum dilakukan, padahal padi indica merupakan sumber genetik
untuk gen resistensi terhadap penyakit blas (Ramli 2000).
Download