Majalah HUBUNGAN INTERNASIONAL Vol. IX, No. 11/I/Puslit/Juni/2017 Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis IMPLIKASI MUNDURNYA AS DARI KESEPAKATAN PARIS Rizki Roza*) Abstrak Presiden Donald Trump telah menarik AS dari Kesepakatan Paris. Trump berpandangan Kesepakatan Paris ditujukan untuk memincangkan, merugikan, dan memiskinkan AS. Trump mengklaim komitmen AS terhadap Kesepakatan Paris telah menyebabkan kerugian dan berkurangnya lapangan kerja. Pembedaan perlakuan terhadap negara maju dan negara berkembang tampaknya mempengaruhi sikap Trump. Dengan status sebagai negara berkembang, meskipun merupakan penghasil emisi karbon terbesar dunia, China dan India tidak dituntut komitmen sebagaimana yang ditanggung AS, sehingga Trump berpandangan bahwa Kesepakatan Paris tidak adil dan merugikan kepentingan nasional AS. Meskipun banyak pihak tetap optimis terhadap Kesepakatan Paris tanpa dukungan AS dan banyak negara menyatakan tetap berkomitmen untuk bekerja sama, Indonesia perlu mendorong China dan India untuk mengajak AS kembali berkomitmen terhadap Kesepakatan Paris, mengingat kedua negara ini cukup mempengaruhi keputusan Trump. Pendahuluan Indonesia, sebagai salah satu negara kepulauan terbesar, dengan garis pantai dan wilayah pesisir yang luas dan dihuni cukup banyak penduduk, merupakan salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Setiap perkembangan yang terjadi atas upaya global menghadapi perubahan iklim harus menjadi perhatian Indonesia, termasuk keputusan yang baru saja diambil Trump tersebut. Tulisan singkat ini akan mengkaji perubahan sikap Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada 1 Juni 2017 mengumumkan bahwa AS menarik diri dari Kesepakatan Paris 2015. Hampir seluruh pemimpin dunia langsung merespons keputusan Trump tersebut dengan kecaman. Para pengamat memperkirakan mundurnya AS akan membuat dunia semakin sulit untuk mencapai tujuan yang ditentukan Kesepakatan Paris dalam upaya penurunan emisi dan pengendalian perubahan iklim. *) Peneliti Muda Masalah-Masalah Hubungan Internasional pada Bidang Hubungan Internasional, Pusat Penelitian, Badan Keahlian DPR RI. Email: [email protected] Info Singkat © 2009, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI www.puslit.dpr.go.id ISSN 2088-2351 -5- Pemerintah AS terhadap Kesepakatan Paris, implikasinya, dan respons Indonesia terhadap hal tersebut. masing-masing negara memiliki komitmen nasional, negara maju dituntut untuk mendukung pelaksanaan komitmen negara berkembang. Selain itu, dalam hal pendanaan, transfer teknologi, dan capacity building, terdapat pembedaan perlakuan. Negara maju diharuskan menyediakan pendanaan untuk negara berkembang dan memimpin mobilisasi pendanaan, sementara dukungan pendanaan oleh negara berkembang bersifat sukarela. Pembedaan perlakuan ini diterapkan berdasarkan prinsip adil dan berimbang. Negara maju diminta berkontribusi lebih besar karena historical responsibility yang berbeda. Kesepakatan Paris Kesepakatan Paris dihasilkan dalam Konferensi Pengendalian Perubahan Iklim PBB (COP 21 UNFCCC) yang diselenggarakan di Paris pada 30 November–11 Desember 2015. Konferensi ini menjadi bagian penting pembangunan berkelanjutan karena menghasilkan kesepakatan yang legally binding dan akan berlaku setelah tahun 2020. Setelah melalui perundingan panjang selama satu dekade dan akhirnya disetujui hampir semua negara di dunia pada 2015, mengikat AS dan 187 negara lainnya, Kesepakatan Paris menjadi kesepakatan global bersejarah dalam upaya penurunan emisi dan pengendalian perubahan iklim. Hanya Suriah dan Nikaragua yang tidak menandatangani Kesepakatan Paris. Kesepakatan dapat diratifikasi negara-negara anggota Konvensi mulai 22 April 2016 hingga 21 April 2017. Kesepakatan ini akan mulai berlaku sebulan setelah setidaknya 55 negara yang meliputi 55% emisi global bergabung. Tujuan utama Kesepakatan Paris adalah untuk menjaga kenaikan temperatur global di bawah 2 derajat Celcius dari tingkat pre-industri dan melakukan upaya untuk membatasinya hingga di bawah 1,5 derajat Celcius. Sasaran ini berlaku untuk semua negara, namun Kesepakatan Paris memberikan pembedaan tanggung jawab antara negara maju dan negara berkembang. Negara maju dituntut untuk memimpin penurunan emisi dan menyediakan dana, sementara negara berkembang diberi fleksibilitas untuk berkontribusi sesuai kemampuan nasional. Pembedaan tanggung jawab ini berlaku dalam berbagai aspek, termasuk di antaranya mitigasi, adaptasi, pendanaan, transfer teknologi, capacity building, serta transparansi aksi dan dukungan. Pembedaan perlakuan dalam upaya mitigasi misalnya terkait dengan kontribusi nasional. Setiap negara diminta untuk mencapai tingkat emisi tertinggi global secepatnya, dan harus melaporkan kontribusi nasionalnya (Intended Nationally Determined Contribution/INDC) setiap lima tahun. Kontribusi nasional ini juga harus meningkat setiap periode. Walaupun Perubahan Sikap AS Pada Konferensi Pengendalian Perubahan Iklim PBB tahun 2015, Presiden AS Barack Obama merupakan aktor utama yang mengkampanyekan pentingnya isu perubahan iklim. Obama menjalankan berbagai langkah demi tercapainya kesepakatan global terkait perubahan iklim. Salah satu langkah penting yang dilakukan adalah dengan membuat perjanjian perubahan iklim bersama China yang diumumkan dalam kunjungannya ke Beijing tahun 2014. Menurut Obama, perjanjian itu menjembatani beberapa perbedaan antara negara maju dan negara berkembang. Pada masa Pemerintahan Barack Obama, AS telah menandatangani Kesepakatan Paris pada September 2016. Posisi Presiden Trump terhadap isu perubahan iklim sangat berseberangan dengan Obama. Sikap Trump sudah mulai tergambar sejak masa kampanye pemilihan Presiden tahun lalu. Dalam kampanyenya, Trump menyampaikan bahwa ia akan menghapus kesepakatan yang berlawanan dengan kepentingan nasional, di antaranya berjanji akan membatalkan Kesepakatan Paris sebagai upaya untuk mengembalikan kejayaan industri minyak dan batu bara AS. Upaya Kesepakatan Paris untuk membatasi pemanasan global melalui pengurangan karbondioksida yang berasal dari penggunaan bahan bakar fosil, seperti minyak dan batu bara, dianggap sebagai penghambat perekonomian AS. Pada Pemerintahan Obama, AS berkomitmen mengurangi emisi sebesar 26 sampai 28 persen pada 2025. Komitmen tersebut akan menyulitkan upaya Trump untuk menciptakan lebih banyak -6- lapangan kerja dengan mendorong kembali produksi batu bara AS. Karena itulah Trump berupaya untuk menarik negaranya dari Kesepakatan Paris. Sikap resmi Pemerintahan Trump akhirnya disampaikan pada 1 Juni 2017. Presiden Trump mengumumkan bahwa ia telah memutuskan untuk menarik negaranya keluar dari Kesepakatan Paris. Dalam pandangan Trump, Kesepakatan Paris merupakan perjanjian yang ditujukan untuk memincangkan, merugikan, dan memiskinkan AS, sementara negara pesaing AS seperti China dan India diuntungkan oleh perjanjian itu. Menurutnya, kesepakatan itu telah menyebabkan AS kehilangan produk domestik bruto sebesar 3 triliun dolar dan 6,5 juta lapangan kerja. Trump menawarkan negosiasi ulang Kesepakatan Paris dan menginginkan kesepakatan baru yang lebih adil yang tidak merugikan dunia usaha dan pekerja AS. Dalam studi hubungan internasional, sikap Trump ini sering dianggap sebagai penghambat terwujudnya kerja sama internasional. Sebuah negara akan enggan untuk mematuhi kesepakatan internasional jika kesepakatan tersebut dapat menimbulkan keuntungan yang lebih besar bagi negara lain, terutama negara yang merupakan pesaing utamanya. Bersama China, India, dan Uni Eropa, AS tercatat sebagai negara penghasil emisi karbon terbesar dunia. Perbedaan status sebagai negara maju dan negara berkembang antara AS dengan China dan India, menyebabkan ketiga negara ini mendapatkan perlakuan yang berbeda dalam Kesepakatan Paris. Sekalipun China merupakan negara terbesar pertama penghasil emisi karbon, namun dengan statusnya sebagai negara berkembang, maka Kesepakatan Paris tidak menaruh beban yang lebih besar terhadap China sebagaimana yang harus ditanggung AS sebagai negara maju. Pertumbuhan pesat China di berbagai bidang, yang juga disusul oleh India, tidak jarang menempatkan kedua negara ini sebagai pesaing utama AS. Dengan mengabaikan historical responsibility, kondisi inilah yang menyebabkan Trump berpandangan bahwa Kesepakatan Paris tidak adil dan merugikan kepentingan nasional AS. Dengan demikian, China dan India dapat menjadi faktor kunci yang mampu menarik kembali AS ke dalam Kesepakatan Paris. Selain itu, terdapat juga pandangan yang melihat bahwa keputusan Trump ini tidak semata terkait persoalan lingkungan hidup dan kerugian yang dihadapi negaranya. Trump dilihat sedang berupaya memberi pesan lain terhadap sekutu-sekutu Eropanya. Trump sebenarnya masih memiliki alternatif, misalnya dengan membuat kebijakan lingkungan yang lebih longgar dalam mengimplementasikan Kesepakatan Paris dibanding yang dibuat pada masa Pemerintahan Obama. Sikap Trump terhadap kerja sama internasional terkait perubahan iklim tidak dapat dipisahkan dari pandangan Trump terhadap kerangka kerja sama internasional lainnya yang dianggap telah membebani dan merugikan AS. Implikasi Mundurnya AS AS merupakan negara penyumbang sekitar 15 persen emisi karbon global, terbesar kedua setelah China. Mundurnya AS akan membuat dunia semakin sulit untuk menjaga kenaikan temperatur global di bawah 2 derajat Celcius sebagaimana yang diupayakan Kesepakatan Paris. Organisasi Meteorologi Dunia WMO menyatakan mundurnya AS dari kesepakatan ini akan menaikkan suhu global 0,3 derajat Celcius sampai akhir abad ini. Di sisi lain, AS juga merupakan sumber keuangan dan teknologi yang penting bagi negaranegara berkembang dalam upaya mengatasi peningkatan temperatur global. Sebagian pihak tetap optimis terhadap perkembangan ini. Penurunan emisi karbon AS diyakini akan tetap menurun, sampai setengah seperti yang direncanakan Presiden Obama. Perkiraan ini didasarkan pada tingginya penggunaan gas sebagai sumber energi dibanding batu bara, yang didukung perkembangan teknologi pengeboran yang memungkinkan penurunan harga gas alam. Menyesalkan dan mengecam keputusan Trump, publik AS terutama aktivis lingkungan hidup tetap menjaga komitmen mereka terhadap Kesepakatan Paris. Al Gore (mantan Wakil Presiden AS) misalnya, meminta komunitas internasional untuk tidak khawatir terhadap posisi Trump yang terkesan abai terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Menurut Al Gore, AS akan tetap melanjutkan aksi mengurangi emisi, terlebih dengan adanya negara-negara bagian di AS yang masih terus berkomitmen dengan kebijakan prolingkungan, tidak terkecuali -7- pengusaha dan konsumen. Para pemimpin perusahaan besar seperti Google, Apple, dan ratusan perusahaan lain termasuk perusahaan minyak ExxonMobil, juga mendesak Presiden Trump untuk tetap bergabung dalam Kesepakatan Paris. Konsumen di AS juga mulai lebih menyukai penggunaan sumbersumber energi terbarukan. Berbeda dengan AS, sikap China, India, dan Uni Eropa justru memperkuat komitmennya terhadap Kesepakatan Paris. PM China Li Keqiang menyampaikan janjinya untuk tetap mengimplementasikan Kesepakatan Paris. Pemimpin Uni Eropa dan China akan mendukung penuh penerapan semua aspek Kesepakatan Paris, terlepas dari partisipasi AS. Presiden Perancis dan Perdana Menteri India, beberapa hari setelah pengumuman Trump menyatakan bahwa negara mereka akan bekerja sama dalam memerangi perubahan iklim. Kedua negara akan mengadakan pertemuan tingkat tinggi pertama Aliansi Solar Internasional. Aliansi ini merupakan prakarsa kedua negara yang akan memimpin langkahlangkah mendukung pemanfaatan energi sinar matahari dan mendorong perusahaanperusahaan kedua negara berpartisipasi. Aliansi tersebut berusaha memobilisasi dana lebih dari satu triliun dolar pada tahun 2030 dan mengikutsertakan lebih dari 100 negara yang kaya sinar matahari untuk mendayagunakan energi sinar matahari ke sejumlah negara paling miskin di dunia. Sebagai negara penyumbang emisi terbesar ketiga dunia, PM India berjanji akan terus mendukung perjanjian itu. Perubahan sikap AS tampaknya tidak mempengaruhi komitmen tiga pihak lainnya, yaitu China, India, dan Uni Eropa yang merupakan penghasil emisi karbon terbesar dunia. dalam memerangi perubahan iklim yang mencerminkan keseimbangan dan keadilan, termasuk mengupayakan tercapainya sasaran Kesepakatan Paris dengan keterlibatan seluruh negara di dunia. Merespons keputusan Presiden Trump, Indonesia perlu terus mendorong realisasi komitmen negara maju yang diharapkan memimpin upaya pengendalian perubahan iklim. Dengan berasumsi bahwa China, India, dan Uni Eropa merupakan faktor kunci yang dapat menarik kembali AS ke dalam Kesepakatan Paris, perlu kiranya Pemerintah Indonesia bersama parlemen untuk mendorong negara-negara tersebut duduk bersama AS demi mencapai kesepakatan di luar kerangka Kesepakatan Paris, sehingga dapat lebih menguntungkan upaya global dalam memerangi perubahan iklim. Upaya semacam ini sebelumnya sudah dilakukan Pemerintahan Obama. Presiden Barack Obama dan Presiden Xi Jin Ping berhasil menemukan pijakan bersama, termasuk dengan negara-negara pulau kecil dan Uni Eropa, untuk menjaga komitmen dalam memerangi perubahan iklim. Referensi “Al Gore Sebut Donald Trump Tak Bisa Hentikan Gerakan Pro-Lingkungan”, http://internasional.kompas.com/ read/2017/06/01/21282531/al.gore.sebut. donald.trump.tak.bisa.hentikan.gerakan. pro-lingkungan, diakses 5 Juni 2017. “Kontroversi setelah Trump mundur dari kesepakatan iklim”, http://www.antaranews. com/berita/633151/kontroversi-setelahtrump-mundur-dari-kesepakatan-iklim, diakses 5 Juni 2017. Max Boot, "Trump May Rue His Middle Finger to Europe", http://foreignpolicy. com/2017/06/06/trump-may-rue-hismiddle-finger-to-europe/, diakses 5 Juni 2017. “Perubahan Iklim”, http://www.kemlu. go.id/id/kebijakan/isu-khusus/Pages/ Perubahan-Iklim.aspx, diakses 5 Juni 2017. “Presiden Perancis Kritik Mundurnya AS dari Kesepakatan Iklim Paris”, http://internasional. kompas.com/read/2017/06/02/06372181/ presiden.perancis.kritik.mundurnya.as.dari. kesepakatan.iklim.paris, diakses 5 Juni 2017. “Trump umumkan AS akan keluar dari Perjanjian Paris”, http://www.antaranews. com/berita/632708/trump-umumkan-asakan-keluar-dari-perjanjian-paris, diakses 5 Juni 2017. Penutup Kondisi geografis sebagai negara kepulauan menyebabkan Indonesia termasuk negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Di sisi lain, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki salah satu hutan tropis terbesar, Indonesia juga memiliki peran penting dalam penyerapan karbon dan manfaat lain dari hutan yang dapat dinikmati seluruh dunia. Dengan demikian, menjadi kepentingan Indonesia untuk turut memastikan adanya kerja sama internasional -8-