Setahun Pengungsi Rohingya di Aceh. PDF 958 KB

advertisement
Contents
LATAR BELAKANG< 4
TEMUAN-TEMUAN UTAMA
DI ACEH & INDONESIA
< 12
REKOMENDASI - REKOMENDASI
< 21
PROFIL ORGANISASI
< 25
Hidup Dalam Penantian
Setahun Pengungsi Rohingya di Aceh
Narasi: Tim Yayasan Geutanyoe
Foto: Muhammad Arafat
Carlos Sardina Galaché
THE GEUTANYOË FOUNDATION
Jl. Nurdin Ar–Raniry No.59
Gampông Paya Bujôk Tunoëng, Kec. Langsa Barô
Kota Langsa, Aceh. Zip Code 24415
Telp.+62–641–22870
E–mail: [email protected]
www.geutanyoe.org
@2016. Seluruh Isi dilindungi oleh hak cipta.
| 2 |
20 Mei 2016 - Genap setahun kini, kehidupan para pengungsi Rohingya di
Aceh. Sejak aksi heroik kemanusiaan nelayan Aceh menyelamatkan pengungsi
Rohingya dan imigran Bangladesh yang terkatung-katung di lautan, mengharap
diterima dinegara tujuan. Sejak itu pula, telah banyak kemajuan diperoleh, para
korban telah diobati dan dipulihkan kesehatannya, sejumlah anak dan orang tua
yang terpisah juga berhasil disatukan, dan sejumlah rencana pemukiman baru telah
dibangun untuk menampung mereka dalam jangka panjang.
Disamping keberhasilan, dalam setahun ini juga kita temukan sejumlah
masalah dan kegagalan terkait bagaimana menangani pengungsi secara layak serta
respon dan dampak sosial yang ditimbulkan bagi komunitas lokal. Menimbang
beban trauma kekerasan yang mereka alami, perbedaan budaya dan cara hidup,
keterbatasan kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, serta perbedaan cara
pandang antar lembaga-lembaga kemanusiaan, telah menciptakan tantangantantangan yang sama sekali baru bagi kita.
Menimbang kompleksitas permasalahan yang terjadi, serta pelajaran berharga
yang bisa diambil bagi para pelaku kemanusiaan dimasa depan; sebagai refleksi dari
perjalanan setahun program advokasi kemanusiaan dan penguatan bagi pengungsi
Rohingya dan imigran Bangladesh di Aceh yang telah dilakukan, maka laporan
sederhana ini pun disusun.
Laporan ini tidaklah dimaksudkan sebagai penyelidikan mendalam dan
tematik terhadap krisis kemanusiaan yang dialami Rohingya sejak awal hingga
kini, sedemikian hingga harus menyediakan resolusi yang mendalam pula terhadap
masalah. Karenanya, laporan ini sebatas refleksi dari perjalanan setahun bersama
pengungsi dan imigran asing di Aceh. Sedemikian hingga dibuat cukup dengan
mengandalkan hasil-hasil observasi dan wawancara, serta analisa temuan-temuan
di lapangan.
| 3 |
LATAR BELAKANG
Kehadiran pengungsi Rohingya ke Aceh bukanlah kasus perdana. Fenomena
ini bahkan sudah berlangsung sejak 7 tahun terakhir, dimana kita mencatat pada
3 Februari 2009 sekitar 198 orang pengungsi Rohingya (semuanya laki-laki)
diselamatkan oleh nelayan Idi Rayeuk ke pelabuhan Kuala Idi karena boat yang
mereka tumpangi sudah tidak memiliki mesin serta tidak memiliki stok makanan dan
minuman sama sekali. Sejak itu, sejumlah rombongan silih berganti tiba mendarat di
pantai Aceh melalui sejumlah titik berbeda.
Arus Migrasi dan Pengungsian
Para penyintas yang diselamatkan oleh nelayan Aceh pada medio Mei 2015
lalu terdiri dari campuran etnis Rohingya asal Myanmar dan sejumlah etnis lain asal
Bangladesh. Mereka terlibat dalam 2 bentuk perjalanan/migrasi: migrasi dipaksakan
dan migrasi sukarela. Disebut migrasi terpaksa, baik pemaksaan secara langsung
ataupun dikarenakan merasa terancam keselamatan hidupnya hingga memilih
keluar dari negara asalnya. Sementara sebutan migrasi sukarela, dikarenakan pilihan
perjalanan untuk memperoleh kehidupan ekonomi lebih baik di negara lain.
Rohingya yang berasal dari Myanmar maupun kamp-kamp penampungan di
Bangladesh merupakan etnis minoritas tanpa pengakuan kewarganegaraan yang
motivasi utamanya melakukan imigrasi adalah untuk mencari perlindungan dari
penyiksaan dan diskriminasi, dikarenakan kurangnya perlindungan dari negara.
Sementara sebagian besar etnis Bangladesh itu memilih keluar dari negara asalnya
dengan tujuan mencari pekerjaan dan pendapatan lebih baik, dengan pengecualian
sejumlah kasus kecil migrasi dengan pemaksaan baik oleh sebab diculik maupun
penipuan oleh para penyelundup manusia.
| 4 |
Faktor Pendorong Migrasi Secara Terpaksa Orang Rohingya
Gelombang pengungsi etnis Rohingya asal Myanmar sudah berlansung
sejak beberapa dekade terakhir, tepatnya sejak deklarasi kemerdekaan Myanmar
dari Inggris Raya pada 1948 disusul berbagai mekanisme diskriminatif untuk
membatasi mobilitas dan pertumbuhan orang-orang Rohingya disana. Puncaknya
terjadi pada 1982 ketika UU Kewarganegaraan Myanmar mengeluarkan Rohingya
dan beberapa etnis minoritas lain, seperti Panthay, Ba Shu, dan enam etnis lainnya
dari daftar delapan etnis utama dan 135 kelompok etnis kecil lainnya. Status
etnis Rohingya kemudian diturunkan menjadi temporary residents dan hanya
menyandang temporary registration cards.
Begitupun, jauh sebelum UU Kewarganegaraan itu dibuat dan disahkan,
Pemerintah Myanmar juga berkali-kali mengeluarkan kebijakan keras terhadap
warga Rohingya yang mengarah pada pelanggaran HAM berat dengan tujuan
mengusir mereka keluar dari Myanmar.
Berbagai faktor diskriminasi secara sistemis, pelanggaran HAM berat, serta
kemiskinan akut yang dihadapi etnis Rohingya tersebut, telah membuat para
pengungsi ini terpaksa keluar negaranya dengan kondisi perjalanan yang buruk
dan terdampar di Perairan Indonesia, Thailand, dan Malaysia dalam kondisi yang
memprihatinkan. UNHCR mencatat dalam 3 Tahun terakhir lebih dari 123.000 orang
pengungsi etnis Rohingya keluar dari Myanmar melalui laut dengan menggunakan
kapal.
Secara umum, pengungsi Rohingya sudah menjadikan Malaysia sebagai
destinasi utama, dimana Thailand menjadi lokasi transit menunggu kesempatan
untuk bisa menuju ke Malaysia baik melalui darat dan laut. Sementara untuk
Indonesia sendiri, para pengungsi Rohingya ini umumya rombongan penumpang
kapal yang terlunta–lunta di laut dan diselamatkan para nelayan Indonesia atas
pertimbangan kemanusiaan. Oleh pemerintah Indonesia, para pengungsi Rohingya
ini kemudian ditempatkan di sejumlah lokasi kamp penampungan maupun detensi
di wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, maupun sekitar ibukota negara
Jakarta.
Faktor Pendorong Migrasi Orang Bangladesh
Latar belakang sosial masyarakat Bangladesh adalah berbeda dari negara
bagian Arakan - Myanmar, demikian pula motivasi migrasi keduanya. Di Bangladesh,
umumnya migrasi dikaitkan ke situasi negaranya dengan jumlah pengangguran
terbuka dan terselubung tinggi. Pada 2010 saja, dari jumlah angkatan kerja sekitar
56 juta jiwa, 24% diketahui pengangguran baik terbuka maupun terselubung. Hanya
| 5 |
6,8% tenaga kerja yang mampu diserap dalam sektor formal, dan 47,3% di sektor
informal.
Migrasi buruh pun kemudian menjadi trend penting sosial ekonomi selama
beberapa dekade terakhir. Antara 1976-2015 diperkirakan 9,3 juta rakyat
Bangladesh telah bermigrasi mencari pekerjaan ke seluruh penjuru dunia. Dan
Bangladesh sendiri menjadi sangat bergantung pada uang/devisa dari luar negara,
dengan kontribusi hingga 12% dari GDP/PDB negara.
Selama bertahun-tahun, kegiatan migrasi menjadi semakin beresiko, dan para
pencari kerja pun semakin berani mengambil resiko, termasuk melakukan perjalanan
secara illegal dan berbahaya, mengambil pinjaman hingga terperangkap dalam
jebakan hutang rentenir. Sementara para penyelundup dan pedagang manusia
memiliki jaringan kerja yang kuat serta dilindungi oleh figur-figur berkuasa, termasuk
politisi dan anggota parlemen, membuat mereka impunitas dalam beroperasi.
Dikombinasikan dengan lemahnya penegakan hukum di Bangladesh dan tingginya
tingkat korupsi di lembaga-lembaga penegakan hukum, pemerintah daerahnya serta
kehakiman.
Trend kini, jaringan para penyelundup menjadi semakin mengakar dalam
masyarakat, dengan para agen yang bebas bekerja dalam komunitasnya, bahkan
ada yang bekerja di sekolah, pegawai pemerintahan, teman dan bahkan keluarga.
Sebagaimana terbukti kemudian, sejumlah besar warga negara Bangladesh yang
terperangkap dalam krisis perahu Mei 2015 lalu adalah korban perdagangan manusia
dan umunya berusia di bawah 18 tahun.
Perjalanan Laut yang Berbahaya
Pelayaran maritim di Teluk Benggala dan Laut Andaman bukanlah hal baru.
Bahkan selama bertahun-tahun menjadi modus utama migrasi bagi pengungsi
Rohingya yang berlayar dari Myanmar ke Malaysia melalui Thailand. Sementara
pelayaran ini bukan fenomena baru, jumlah Rohingya yang berangkat dari Teluk
Benggala terus meningkat secara dramatis sejak 2012. Komisi Tinggi PBB untuk
Pengungsi (UNHCR) memperkirakan bahwa lebih dari 150.000 jiwa etnis Rohingya
dan Bangladesh telah meninggalkan Myanmar dengan menggunakan kapal sejak
20121. Lebih lanjut, Satuan Pengawasan Maritim UNHCR pula menjelaskan antara
Juni 2012 dan Agustus 2014, diperkirakan 87.000 Rohingya dan Bangladesh
melakukan perjalanan laut berbahaya dari Teluk Benggala. Dan sekitar 3 bulan
1. http://www.unhcr.org/5396de0f9.html and http://www.unhcr.org/555aee739.html
| 6 |
pertama 2015, diperkirakan 25.000 orang Rohingya dan Bangladesh berangkat
secara tidak teratur lewat laut dari Teluk Benggala, atau berjumlah dua kali lipat dari
periode yang sama di 2014. Setidaknya 400 jiwa juga dilaporkan telah meninggal
di laut.
Pengungsi, imigran korban penyelundupan dan perdagangan manusia itu
menghadapi pelecehan di tangan para calo. Di dalam perahu mereka tidak diberikan
makanan dan air minum secara memadai dan terpaksa tinggal dalam kondisi penuh
sesak dan sempit, bermingu-minggu bahkan berbulan-bulan lamanya. Diketahui
pula laporan bahwa sejumlah pengungsi perempuan menerima pelecehan seksual
dari kru kapal, demikian pula anak-anak turut mengalami kekerasan.
Belakangan ini, muncul sebuah trend baru yang disebut “kamp lepas pantai”
dengan para penumpang yang ditahan di atas kapal yang lebih besar untuk jangka
waktu lama guna menghindari resiko penangkapan seewaktu hendak mendarat.
Pada saat yang sama, terjadi peningkatan jumlah penumpang perempuan di kapal,
dari 10% pada tiga kuartal pertama tahun 2014 menjadi 14% di kuartal terakhir
2014 dan kuartal pertama 2015. Menyebut contoh, kapal yang mendarat di
Aceh Utara pada tanggal 10 Mei, dari total 584 orang pernumpang terdapat 86
perempuan (5 hamil) dan 59 anak-anak. Banyak wanita Rohingya itu berencana
untuk bergabung bersama suami, atau terlibat dalam perjodohan dengan laki-laki
Rohingya di Malaysia.
Pada Mei 2015, gerakan maritim tidak teratur ini menjadi berita utama ketika
beberapa kapal diperkirakan membawa lebih dari 7.0002 penumpang ditinggalkan
terkatung-katung di Laut Andaman oleh penyelundup, tanpa air, makanan dan
bahan-bakar yang cukup3. Perahu berikut para penumpang itu ditinggalkan begitu
saja oleh para penyelundup menyusul penangkapan pada pelaku perdagangan
manusia di Thailand dan Malaysia pasca penemuan kuburan massal pengungsi di
perbatasan Thailand-Malaysia di awal Mei.
Sayangnya, pemerintah Indonesia, Malaysia dan Thailand awalnya menanggapi
dengan menolak kapal yang terkatung-katung itu untuk mendarat, bahkan memutar
arah perahu dalam apa yang digambarkan sebagai permainan ‘ping pong’ manusia.
Sejak krisis kemanusiaan berlangsung di laut, kecaman internasional pun terjadi dan
2. Amnesty International. South East Asia: Inaction Paves the Way for Future Refugee Disaster.
News: Asia and the Pacific. Amnesty International, 1 July 2015. Web. 16 Oct. 2015. https://
www.amnesty.org/en/latest/news/2015/07/south-east-asia-inaction-paves-the-way-for-futurerefugee-disaster/
3 South-East Asia, Mixed- Maritime Movements. Rep. UNHCR, Spring 2015. Web. 15 Oct. 2015.
http://www.unhcr.org/53f1c5fc9.html
| 7 |
pemerintah setempat diminta untuk mendahulukan penyelamatan nyawa diatas
kepentingan sempit mereka dan prinsip tidak campur-tangan sesama anggota
ASEAN, dan segera bertindak atas nama kemanusiaan.4
Kenapa Aceh?
Lokasi geografis provinsi Aceh yang terletak di mulut Selat Malaka yang
merupakan jalur lintas kapal internasional, menjadikan Aceh sebagai bagian
negara Indonesia yang pertama sekali dijumpai oleh kapal–kapal pengungsi yang
terkatung–katung ditengah lautan. Demikian halnya lalu lintas kelompok nelayan
Aceh yang beroperasi menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI),
menjadi faktor penting yang kemudian mempertemukan para pengungsi Rohingya
ini dengan masyarakat Aceh dan Indonesia.
Keberuntungan itu ditambah dengan Adat Laôt (tradisi bahari) rakyat Aceh
yang mewajibakan seluruh nelayan Aceh untuk menolong sesiapapun yang dijumpai
dan membutuhkan bantuan di laut, mencatatkan Aceh sebagai daerah terdepan
Indonesia yang terlibat dalam upaya penyelamatan pengungsi Rohingya di Indonesia.
Terhitung sejak 2009, nelayan Aceh telah berulang kali menyelamatkan rombongan
pengungsi yang terdampar ini.
Aksi heroik kemanusiaan yang ditunjukkan nelayan Aceh ini akhirnya
memperoleh perhatian dunia. Dalam sebuah penyelamatan terhadap apa yang
disebut tragedi “ping–pong manusia” oleh angkatan laut masing–masing negara
kawasan ASEAN, pada Mei 2015 lalu. Tanpa memperdulikan larangan dari otoritas
kelautan, nelayan Aceh bersikeras membantu para pengungsi yang terkatung–
katung dengan mengkedepankan semangat kemanusiaan.
Antara 10–20 Mei 2015, total 1.807 orang pencari suaka Rohingya dan
warga Bangladesh telah diselamatkan oleh nelayan setempat di lepas pantai Aceh,
Indonesia setelah menempuh perjalanan selama berbulan-bulan di lautan dengan
menumpang kapal para penyelundup manusia. Aceh dan Indonesia, sedianya bukan menjadi tujuan awal dari pelarian.
Berhubung sikap keras yang ditunjukkan pemerintah Malaysia dan Thailand
terhadap para pendatang illegal ini, menjadikan Aceh sebagai harapan terakhir bagi
para pengungsi dan imigran yang terkatung-katung di laut ini.
4 “Boat crisis’ a test for ASEAN’s humanitarian resolve”, Thompson Reuters, 18 May 2015: http://
www.reuters.com/article/us-asia-migrants-asean-idUSKBN0O31J220150518
| 8 |
Trend kedatangan pengungsi Rohingya dan imigran Bangladesh ke Aceh
tampaknya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sikap ramah dan terbuka
yang secara alamiah ditunjukkan masyarakat Aceh menjadi magnet bagi pengungsi
etnis Rohingya, selain kesamaan agama dan cara hidup tradisional. Fenomena
kecenderungan Rohingya untuk menjadikan Aceh sebagai destinasi utama
pengungsiannya tampaknya akan terus berlangsung hingga tahun-tahun kedepan.
Kondisi ini tentu saja mulai mengkhawatirkan, karena kondisi Aceh yang
baru saja selesai dari konflik politiknya serta kemiskinan sosial yang masih
mendera mayoritas rakyatnya. Dibutuhkan strategi bersama dikalangan komunitas
Internasional untuk mengintervensi kasus kemanusiaan ini. Dengan solusi akhir
berupa pemulangan kembali pengungsi ke tanah airnya, dan disertai pemulihan hakhak mereka sebagai warga negara yang sah.
| 9 |
Kronologis Rohingya dan Warga Negara Banglades Yang Diselamatkan
dan Dibawa Ke Darat di Aceh Sejak Tahun 2009
19 Mei 2015 •
342 Rohingya dan 67 warganegara
Banglades di Julok, Aceh Timur
• 15 Mei 2015
49 Rohingya dan warganegara Banglades
di Kuala Simpang, Aceh Tamiang
15 Mei 2015 •
682 Rohingya dan arganegara Banglades
di Pusong, Langsa
• 10 Mei 2015
582 Rohingya dan arganegara Banglades
di Seuneudon, Aceh Utara
29 Juli 2013 •
68 Rohingya di Teunom, Aceh Jaya
(dalam perjalanan dari Malaysia ke Autralia)
• 7 April 2013
80 Rohingya di Pulo Aceh, Aceh Besar
28 Pebruari 2013 •
63 Rohingya di Kuala Idi, Aceh Timur
• 26 Pebruari 2013
127 Rohingya di Muara Batu, Aceh Utara
1 Pebruari 2012 •
54 Rohingya di Krueng Geukuh, Aceh Utara
• 3 Pebruari 2009
198 Rohingya dan arganegara Banglades
di Kuala Idi, Aceh Timur
7 Januari 2009 •
197 Rohingya di Sabang, Aceh
| 10 |
TEMUAN-TEMUAN UTAMA DI ACEH & INDONESIA
Secara umum, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi PBB tahun
1951 sehingga tidak berkewajiban menerima pengungsi sebagai warga negara
ataupun memberikan perlindungan resmi dan hanya menampung mereka sementara
atas dasar kemanusiaan. Di kawasan Asia Tenggara, hanya Filipina, Kamboja dan
Timor Leste yang menandatangani Konvensi Pengungsi PBB.
Belum adanya regulasi Indonesia yang mengatur tentang pengungsi
internasional menghambat pihak–pihak terkait mengambil kebijakan dan
penanganan secara layak dan cepat terhadap permasalahan pengungsi yang terjadi.
Sebagai contoh: pihak imigrasi dan kepolisian kebingungan mengambil tindakan
hukum bagi pengungsi yang terlibat dalam usaha menyelundupkan pengungsi lain
keluar kamp secara illegal. Juga larangan penggunaan anggaran pemerintah untuk
membiayai penanganan pengungsi, praktis membuat Pemda sangat bergantung
pada komitmen pembiayaan lembaga lain.
Disisi lain, meskipun biaya hidup pengungsi sangat bergantung pada
pembiayaan lembaga internasional, pemerintah masih saja belum mengizinkan para
pengungsi untuk bekerja sedemikian membuat pengungsi frustasi dengan kondisi
kehidupannya. Tak mengherankan, pengungsi kemudian memilih keluar secara
illegal ke Malaysia dan negara lain dengan pengharapan memperoleh pemasukan
bagi keluarganya.
Jelang batas waktu setahun bagi pengungsi Rohingya gelombang Mei 2015
yang ditampung di Aceh berakhir, pemerintah Indonesia memastikan bahwa mereka
diizinkan untuk tinggal sementara lebih lama. Sebagaimana dijelaskan Direktur
HAM Kementerian Luar Negeri Indonesia, Dicky Komar dalam wawancara dengan
BBC Indonesia, Jumat (26/02), bahwa ia mengakui ada kendala pada UNHCR
(Badan Pengungsi PBB) untuk memenuhi tenggat waktu pemrosesan identitas dan
penempatan para pengungsi ke negara ketiga. Begitupun, belum diketahui sejauh
mana perpanjangan waktu ini akan diberikan.
| 12 |
Peran Menentukan Nelayan Aceh dalam Penyelamatan Pengungsi
1. Nelayan Aceh merupakan pihak pertama yang menemukan dan menyelamatkan
pengungsi yang terkatung–katung di tengah laut ini, setelah ditelantarkan oleh
mafia penyelundup manusia maupun ditolak otoritas laut dari sejumlah Negara
ASEAN, dengan logistik ala kadar yang dimilikinya selama melaut.
2. Semangat dan keberanian kemanusiaan kelompok nelayan Aceh ini ditunjukkan
dalam inisiatif menyelamatkan para pengungsi yang terkatung–katung dan
kelaparan di laut ini ke darat, meskipun awalnya mendapat penolakan dari
otoritas kelautan.
3. Semangat kemanusiaan nelayan Aceh ini terilhami dari aturan masa lalu berupa
Adat Laôt yang masih dijunjung tinggi para nelayan hingga kini. Aturan adat
ini menyebutkan siapa saja yang membutuhkan pertolongan dilaut, haruslah
dibantu, apapun latar belakangnya.
4. Peralatan yang digunakan para nelayan dalam proses penyelamatan pengungsi
sangat sederhana, hanya bermodal radio dan sedikit ruang boat ikan, sehingga
proses evakuasi pengungsi memakan waktu yang cukup lama.
Perubahan Sikap & Kebijakan Kemanusiaan Pemerintah Nasional &
Daerah
1. Masyarakat Aceh sejak beberapa tahun terakhir telah memainkan peran
penting penyelamatan para pengungsi yang terkatung–katung dilaut. Kini Aceh
bertindak lebih jauh dengan turut menampung para pengungsi di wilayahnya
sebelum memperoleh penempatan ke Negara ketiga.
1. Berbeda dengan kawasan lain di Indonesia, masyarakat dan pemerintah di
Aceh sejak awal tidak menganggap para pengungsi ini sebagai pendatang
ilegal, sehingga tidak menempatkan mereka dalam rumah detensi/tahanan,
tapi mengalokasikan sejumlah lokasi yang bisa dipakai untuk membangun
penampungan bagi para pengungsi.
Kesehatan Fisik Membaik, Trauma Psikis Masih Dihadapi
Secara umum, pengungsi Rohingya di Aceh telah memperoleh layanan
pengobatan yang mencukupi, terutama terhadap cedera fisik dan kekurangan
gizi yang dihadapi selama perjalanan di laut. Begitupun, terbatasnya dukungan
psikososial yang diberikan membuat masih ada kasus gangguan psikis, yaitu sindrom
pasca–trauma kekerasan yang tampak dalam pola komunikasi dan relasi sosial antar
sesama pengungsi. Kita menemukan sejumlah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) yang mulai meningkat dalam lokasi–lokasi penampungan pengungsi, serta
sejumlah percobaan bunuh diri yang utamanya dilakukan perempuan pengungsi.
| 13 |
Pemukiman dan Lingkungan
1. Secara mendasar, lembaga–lembaga kemanusiaan dan pemerintah daerah di
Aceh sudah bersepaham untuk menempatkan para pengungsi Rohingya ini ke
suatu lokasi pemukiman yang permanen selama mereka berada di Aceh. Lokasi
permanen dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan, serta menghindari
proses pemindahan yang menguras waktu dan energi.
2. Lokasi permanen untuk pengungsi ini didesain sebagai suatu komplek
pemukiman/perkampungan, terdiri dari bangunan tempat tinggal berupa
kamar–kamar, serta dilengkapi dengan fasilitas umum seperti tempat belajar,
tempat ibadah, MCK, serta sarana bermain dan olahraga. Komplek juga
dilengkapi dengan lahan pertanian, dan diberi batas pagar dengan lingkungan
sekitarnya.
3. Dari 3 kabupaten/kota lokasi pengungsi Rohingya di Aceh, baru kab. Aceh Utara
dan Kota Langsa yang telah menyelesaikan pembangunan komplek pemukiman
pengungsi ini. Begitupun, komplek pemukiman ini kini mulai terlihat sepi karena
banyak ditinggalkan pengungsi yang melarikan diri ke Malaysia.
Anak dan Pemuda Pengungsi Butuh Akses Pendidikan Formal
1. Hampir seluruh camp, baik yang permanen maupun sementara, telah memiliki
beberapa balai yang dipergunakan untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan.
Pengungsi dewasa secara umum menjalani memperoleh pengajaran keterampilan
berbahasa Indonesia, English, dan Arabic. Sementara pendidikan untuk anak,
masih mengambil bentuk kegiatan belajar sambil bermain. Disimpulkan,
pendidikan informal telah tersedia untuk seluruh pengungsi.
2. Begitupun, para orang tua pengungsi mulai menganggap pendidikan yang
diperoleh anak–anak mereka tidak lagi memadai. Pengungsi menginginkan
anak–anak mereka dapat bersekolah ke jenjang formal layaknya anak–
anak pada umumnya. Sejauh ini, Pemkot Langsa dan Kabupaten Aceh Timur
dengan dibantu sejumlah lembaga kemanusiaan telah berhasil memfasilitasi
pengintegrasian anak pengungsi dalam sistem persekolahan formal. Sementara
Kabupaten Aceh Utara belum menetapakan kebijakan dan perizinan serupa
bagi pengungsi Rohingya disana.
Terjebak Hutang, Pengungsi Butuh Pekerjaan dan Menghasilkan Uang
1. Meskipun telah memperoleh bantuan kebutuhan hidup yang memadai,
namun para pengungsi tetap merasa membutuhkan uang kontan. Karena
| 15 |
para pengungsi yang menempuh perjalanan laut ini tidaklah berangkat secara
cuma–cuma. Mereka harus membayar sejumlah uang, hingga $2,000, kepada
para penyelundup agar dapat diberangkatkan keluar dari Myanmar. Memenuhi
ini, pengungsi terkadang harus berhutang dengan jaminan keselamatan
anggota keluarganya yang masih berada di negara asal. Karena itu, kita dapat
memahami keinginan menggebu mereka untuk segera memperoleh pekerjaan
dan penghasilan guna membayar hutang biaya perjalanan dan membebaskan
anggota keluarganya yang terancam.
2. Mencukupi kebutuhan terhadap uang kontan ini, pengungsi sering menjual
murah bantuan yang diperolehnya dari lembaga-lembaga kemanusiaan ke
warga maupun pedagang kelontong sekitar. Sementara pengungsi yang kreatif,
mulai berdagang kebutuhan khas pengungsi didalam kamp untuk sesamanya.
3. Secara umum para pengungsi ingin segera bekerja dan memperoleh pendapatan
untuk membantu keluarga dan saudaranya yang sangat membutuhkan
pertolongan di Myanmar maupun Bangladesh. Sayangnya, banyak lembaga
kemanusiaan yang belum bergerak ke sektor ini, sehingga pengungsi terpaksa
mencari terobosan sendiri guna memperoleh uang.
4. Pengungsi sendiri mengeluhkan bahwa hingga saat ini mereka tidak diizinkan
untuk bekerja diluar lokasi kamp penampungan. Kuatnya desakan kebutuhan
keuangan ini, terbatasnya dukungan organisasi kemanusiaan untuk penciptaan
pekerjaan didalam lokasi kamp, serta larangan bekerja di luar kamp, menjadikan
pengungsi frustasi. Tidak mengherankan jika kemudian mereka nekat melarikan
diri ke Malaysia meskipun secara illegal.
Meski Memperoleh Bantuan, Pengungsi Memilih Melarikan Diri
1. Temuan terkini, pengungsi Rohingya yang berada di kamp–kamp penampungan
di Aceh telah banyak yang melarikan diri. Data terakhir Yayasan Geutanyoë, dari
1,080 pengungsi pada awal penyelamatan kini hanya tersisa 240–an saja (3/4
pengungsi telah meninggalkan camp), didominasi oleh perempuan dan anak–
anak.
2. Secara umum, pengungsi meninggalkan kamp–kamp di Aceh dengan maksud
menuju ke Malaysia melalui Sumatera Utara. Kasus pertama pengungsi Rohingya
melarikan diri terjadi pada Juli 2015 (dalam suasana puasa Ramadhan) dari kamp
Kuala Langsa. Menyusul terjadi secara bergelombang hingga jumlah pengungsi
yang tersisa di kamp–kamp seluruh Aceh menurun drastis.
3. Banyaknya pengungsi Rohingya yang meninggalkan kamp–kamp di Aceh
tidaklah dipengaruhi dengan kualitas pelayanan kemanusian yang diberikan
untuk mereka. Bahkan bisa dikatakan bahwa pelayanan kemanusiaan yang
| 16 |
berikan terhadap pengungsi Rohingya di Aceh termasuk yang terbaik di
kawasan ASEAN, jika tidak disebutkan terbaik di seluruh dunia untuk kasus
etnis Rohingya ini.
4. Sebagian besar diantara mereka yang meninggalakn camp lebih dilatar belakangi
karena mereka terpisah dari keluarga yang sudah berada lebih dahulu di Malaysia.
Selain motif ekonomi dimana keluarga di Myanmar mengaharapkan kiriman
uang untuk membayar hutang biaya perjalanan, maupun sekedar kebutuhan
sehari–hari di kamp–kamp penampungan Rohingya di negara asal.
5. Para pengungsi yang meninggalkan kamp di Aceh cenderung menggunakan jasa
agen penyelundup manusia yang selama ini beroperasi untuk menyelundupkan
Tenaga Kerja Indonesia secara illegal ke Malaysia.
Inovasi Penanganan Kemanusiaan Yang Berhasil Dilakukan di Aceh
Menyusul upaya penyelamatan dilakukan tahun lalu, para pemerintah daerah
di Aceh yang menampung para pengungsi Rohingya dan imigran Bangadesh dari
krisis kapal di laut Andaman Sea telah berhasil menampilkan kepemimpinan
kemanusiaan yang patut dicontoh. Melalui kerja sama erat dengan berbagai
pemangku kepentingan untuk membantu para korban, termasuk masyarakat lokal
dan organisasi, organisasi keagamaan nasional , PBB dan lembaga internasional
lainnya. Buah manis kolaborasi diantara pemerintah daerah Aceh Utara, Langsa, dan
Aceh Timur serta mitra kemanusiaan mereka telah menghasilkan sejumlah inisiatif
yang inovatif, diantaranya :
1. Pembangunan komplek penampungan/shelter pengungsi, dilengkapi
dengan fasilitas umum yang memang sangat dibutuhkan pengungsi untuk
mengembangkan kualitas kehidupannya, seperti bangunan dan kelas untuk
belajar, pos medis, balai pertemuan, Mushalla, lapangan olahraga, bahkan
hingga lahan kosong untuk tujuan pertanian. Pemda-pemda di Aceh bersama
lembaga donor dan kemanusiaan internasional berhasi menjalin kemitraan sejak
penyusunan Master Plan pembangunan, menandatanganani Pakta Integritas
dan komitmen lain hingga selesainya pembangunan dan penampungan.
2. Pemda di Aceh bersama Konsorsium Lembaga Kemanusiaan berhasil menyusun
Standard Operasional dan Prosedur (SOP) dan Kode etik tentang panduan kerja
penanganan kemanusiaan bagi pengungsi lintas negara, dan berhasil melakukan
konsultasi publik atas hal tersebut sebagai panduan bersama dalam penanganan
pengungsi di Langsa dan Aceh Timur.
3. Pemko Langsa dan Kabupaten Aceh Timur bersama lembaga-lembaga
kemanusiaan berhasil menyekolahkan anak anak pengungsi ke sistem pendidikan
formal, yaitu di tingkat PAUD (6 anak di Pemkot Langsa) dan Sekolah Dasar (15
| 17 |
Anak, 6 anak di Pemkot Langsa dan 9 anak di Kabupaten Aceh Timur).
4. Pemko Langsa berhasil membangun komitmen bersama setiap anggota
Konsorsium Lembaga Kemanusiaan yang terlibat dalam penanganan
kemanusiaan bagi pengungsi agar dapat melibatkan dan menguntungkan pula
masyarakat sekitar, guna mengurangi gap antara pengungsi dan masyarakat
sekitar sebagai penyangga.
5. Dalam memberikan bantuan, mengedepankan nilai-nilai saling menghormati,
kesetaraan, kebersamaan, dan bekerjasama, bahkan hingga sharing program
antara sesama lembaga kemanusiaan pada lokasi dan kegiatan yang bersamaan.
6. Inisiatif Program Kakak dan Adik Asuh, dimana seorang relawan menjaga,
mengasuh dan menjadi tempat curhat dan keluh kesah bagi beberapa orang
pengungsi (biasanya 5-6 orang).
7. Penyusunan mekanisme dan aturan perkawinan bagi pengungsi didalam kamp/
penampungan (masih dalam tahap assessment).
8. Pengembangan ekonomi bagi pengungsi dilakukan dengan melibatkan kerjasama
dengan kelompok masyarakat lokal yang telah berhasil. Termasuk perdagangan
hasil produksi antara pengungsi dan kelompok masyarakat lokal tersebut (dalam
tahap penyiapan sarana dan prasarana pendukung).
9. Penyusunan regulasi bagi para nelayan di Aceh agar memiliki aturan hukum
positif ketika membantu penyelamatan pengungsi yang terkatung-katung di
laut dimasa depan (persiapan kajian dan penyelenggaraan pertemuan dengan
Panglima Laot se-Aceh segera oleh Yayasan Geutanyoe)
| 19 |
REKOMENDASI - REKOMENDASI
Pemerintah Indonesia
1. Meminta pemerintah Indonesia untuk memperpanjang proses penanganan
kemanusiaan bagi pengungsi Rohingya di Aceh, setidaknya hingga setahun
kedepannya.
2. Sosialisasi kepada pihak keamanan, pegawai dinas, dan masyarakat sekitar
mengenai hak–hak pengungsi dan kewajiban mereka selama tinggal di Aceh.
Merujuk ke hukum dan regulasi yang telah dirumuskan di level internasional,
perundang–undangan Indonesia, maupun Qanun dan Adat di Aceh.
3. Meminta pemerintah Indonesia untuk memberi keleluasaan bagi anak–anak
pengungsi Rohingya di seluruh Indonesia untuk mengakses Pendidikan Formal
yang paling dekat dengannya melalui pendekatan pendidikan inklusif.
4. Meminta pemerintah Indonesia untuk menerbitkan akta kelahiran bagi setiap
bayi pengungsi Rohingya yang baru lahir, baik di Aceh maupun seluruh Indonesia.
5. Mendorong kemandirian pengungsi untuk memenuhi kebutuhan pangan,
melalui pemanfaatan sejumlah lahan sekitar lokasi pengungsi sebagai lahan
pertanian dan basis produksi mereka menuju ketahanan pangan untuk dan oleh
pengungsi. Mengingat terus menurunnya jumlah bantuan untuk mereka akhir–
akhir ini.
6. Melatih pengungsi dan masyarakat rentan setempat dengan keterampilan
lain sesuai dengan skill dasar yang telah dimiliki dan sesuai kebutuhan pasar
local. Pengungsi difasilitasi menghasilkan produk yang memenuhi kebutuhan
masyarakat local, serta dapat memperoleh income yang memadai digunakan
untuk kebutuhan lain yang tidak mampu dibiayai oleh lembaga kemanusiaan
selama ini.
7. Memfasilitasi dan mendukung pos medis untuk beroperasi setiap hari melayani
gangguan dan keluhan kesehatan pengungsi. Pos medis yang beroperasi setiap
hari menjamin penangan segera atas kemungkinan outbreak penyakit menular.
8. Mengintensifkan promosi kesehatan di kalangan pengungsi terutama kelompok
perempuan. Promosi kesehatan dilakukan tidak saja dalam bentuk distribusi
material Informasi, Komunikasi dan Pendidikan (IKP), namun juga untuk
memampukan kelompok perempuan pengungsi membentuk layanan sejenis
POSYANDU bagi anak–anak mereka.
| 21 |
9. Mendorong pengajaran keterampilan berbahasa Indonesia dan Inggris secara intensif
dan menyenangkan bagi pengungsi, terutama untuk kelompok remaja dan pemuda.
10.Sosialisasi hukum perundang–undangan nasional, adat istiadat setempat serta
aturan lain yang berlaku di Indonesia kepada pengungsi, agar mereka memahami dan
menghindari tindakan melanggar hukum dan norma–norma kehidupan yang berlaku
disini.
11.Membentuk Desk Keamanan Pengungsi dan Masyarakat Sekitar guna melindungi
pengungsi dari kemungkinan kriminalitas dan human trafficking, serta sebagai forum
penyelesaian masalah yang terjadi diantara pengungsi, pihak keamanan maupun
dengan masyarakat sekitar.
12.Mendorong advokasi status legal bagi pengungsi, berupa dukungan kemudahan bagi
pengungsi untuk memperoleh dokumen pengakuan dari UNHCR.
13.Pemberian penhargaan kepada para nelayan yang telah terlibat langsung dalam
proses penyelamatan pengungsi sebagai bentuk apresiasi atas aksi heroik kemanusian
tersebut.
14. Mendokumentasikan proses penyelamatan dan penanganan pengungsi dan imigran asing
oleh nelayan dan masyarakat Aceh, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia
sebagai pembelajaran penting dan good practice dari Indonesia untuk masyarakat ASEAN
dan dunia, terkait dengan meningkatnya trend pengungsi dan imigrasi oleh sebab konflik di
dunia akhir–akhir ini.
Negara-Negara ASEAN
1. Meminta ASEAN untuk menyelesaikan persoalan pengungsi Rohingya hingga ke akar
masalahnya, berupa kebijakan diskriminatif pemerintah Myanmar yang mengeluarkan
etnis Rohingya dari status kewarganegaraannya.
2. Mendesak ASEAN untuk segera menyusun dan mengesahkan kerangka kerja kebijakan
regional bagi para pencari suaka dan pengungsi, mengacu ke standar internasional
dan Konvensi Pengungsi 1951.
3. Mendesak semua negara anggota ASEAN yang menandaatangani Konvensi PBB
tentang Hukum Laut untuk mematuhi hukum adat internasional yang mengharuskan
mereka untuk menyelamatkan dan mendaratkan pengungsi yang terkatung–katung
di laut. Kami juga mendesak pemerintah untuk memastikan proses debarkasi secara
aman, dari awal sampai akhir, dan mentransfer semua orang yang telah diselamatkan
ke pusat-pusat penampungan resmi pemerintah di ASEAN.
4. Mendesak negara–negara anggota ASEAN untuk membentuk gugus–tugas regional
yang mengatur mekanisme dukungan kemanusiaan yang harus diberikan untuk
pengungsi, sejak dari penyelamatan hingga penampungan, maupun dukungan
| 22 |
bersama untuk negara yang terkena dampak dari pengungsian.
5. Meminta negara–negara anggota ASEAN untuk mengakui status Rohingya
sebagai pencari suaka/pengungsi, dan bukan sebagai imigran ilegal.
6. Mendesak negara–negara di ASEAN untuk mengizinkan anak–anak pengungsi
mengakses sistem pendidikan formal yang tersedia dinegaranya, dan
mengizinkan pengungsi dewasa untuk bekerja, sebagai bagian dari kebijakan
integrasi pengungsi ke dalam masyarakat lokal.
7. Mengharapkan ASEAN agar dapat menjadikan model penanganan pengungsi
yang dilakukan di Aceh sebagai best–practice penanganan pengungsi di
kawasan ASEAN.
Donor, Lembaga dan Masyarakat Internasional
1. Meminta negara-negara penerima refugees untuk meningkatkan jumlah
pengungsi Rohingya yang diterima lewat proses refugee resettlement dari Aceh
dan Indonesia pada umumnya.
2. Meminta donor dan organisasi internasional mulai dapat mentransformasikan
program kemanusiaan untuk pengungsi Rohingya di Indonesia ke arah
development, fokus berupa penciptaan mata pencaharian, dan pelatihan
ketrampilan.
3. Meminta donor dan organisasi internasional untuk mendukung organisasi
kemanusiaan di tingkat lokal untuk mengimplementasikan program integrasi
pendidikan anak dan pemuda Rohingya ke jalur pendidikan formal tersedia, dan
menyediakan lokasi penampungan permanen bagi pengungsi selama menunggu
penempatan ke negara ketiga.
4. Meminta donor dan organisasi internasional untuk mendorong program
kemanusiaan yang khusus membidik penguatan pengungsi perempuan dan
anak, melalui pengembangan akses pendidikan, keterampilan dan livelihood,
psiko-sosial, dan pemberantasan buta huruf.
5. Meminta donor dan organisasi internasional menyediakan sarana komunikasi
(internet) yang memadai di setiap kamp penampungan yang memungkinkan
para pengungsi tetap dapat berkomunikasi dengan keluarganya yang terpisah,
baik di kamp–kamp penampungan di Indonesia, di luar negeri, maupun di
kampung halaman.
| 23 |
PROFIL ORGANISASI
Organisational Profile
Date of Establishment Registered Legal Status Address Email :
Phone Website : December 24, 2013
: Ministry of Justice and Human Rights, Republic of Indonesia
: AHU–0015804.AH.01.04.Tahun 2015
: Jl. Nurdin Ar-Raniry No. 58, Gampông Paya Bujôk Tunoëng.
Kota Langsa, Provinsi Aceh – Indonesia, Kode Pos 24415
[email protected]
: +62 641 22870
: www.geutanyoe.org
Organisation Structure
Executive Board
Director International Director Vice Director Finance Humanitarian Coordinator Supervisory Board : Hermanto Hasan
: Lilianne Fan
: Rima Shah Putra
: Yusmawati Khazan
: Nasruddin
: Iskandar Dewantara
Advisory Board
Benny Widyono (Indonesia/US)
Fadlullah Wilmot (Australia/UK)
Fakri Karim (Indonesia/Thailand)
Ilarius Wibisono (Indonesia)
Tan Sri Dr. Jemilah Mahmood (Malaysia)
Ambassador Joseph Rees (US)
LeRoy Hollenbeck (US)
Muammar Vebry (Indonesia)
Simon Field (Australia)
Overiew of the Organisation
The Geutanyoe Foundation (Yayasan Geutanyoe) is an Aceh–based organisation
established by activists who pioneered the humanitarian and non-violent civic movement
in Aceh since 1999. We are dedicated to cultivating and upholding values of dignity,
humanity, equality, justice, peace, democracy, and sustainability in Aceh and Southeast
Asia.
We seek to provide humanitarian assistance and protection to, and empower and uphold
the rights of people in need, including disaster- and conflict-affected communities,
refugees, migrants and victims of trafficking, vulnerable and marginalised groups,
including children, women, ethnic and religious minorities and isolated communities. We
also seek to harness local and global knowledge to find sustainable and durable solutions
to some of the regional’s most intractable humanitarian and social challenges. Through our work we hope to protect, rejuvenate and promote Aceh’s diverse social,
cultural, historical and ecological heritage as a contribution to humanity, society and our
planet. We do this through catalytic humanitarian, community empowerment, educational,
cultural and ecological initiatives.
“Geutanyoe” is the Acehnese word for “us”, “we” or “ours”. We chose this as the name
of our organisation because Aceh’s experience has taught us that the key to sustaining
peace after decades of war and isolation lies in building common visions while respecting
differences and diversity: in recognising, celebrating and protecting Aceh’s diverse
heritage, histories, traditions, ecology, identities, and ideas; bridging differences through
dialogue and cultivating respect for diversity; and forging shared values and common
visions for the future. Our logo represents the Acehnese ‘Saleum’ greeting, in traditional
Gayo ‘kerawang’ motif and colours.
Visi
To establish an Acehnese and regional community founded on dignity, humanity, equality,
justice, peace, democracy, and sustainability, in accordance with universal values.
Misi
1. To proactively promote humanitarian values, peace-building and sustainability in
locally, nationally, and regionally.
2. To promote respect for human rights and equality for all.
3. To protect and assist vulnerable groups, including children, elderly, disabled, refugees,
religious/ethnic minorities and stateless persons, and address the root causes of
vulnerability.
4. To promote the reconciliation between the State and the victims of past violence and
to prevent the emergence of future conflict and violence.
5. To promote the establishment of a culture of openness, accountability and
transparency, as well as good and clean governance, free from corruption, collusion
and nepotism.
6. To develop community-based economic initiatives to promote sustainable livelihoods
for the people of Aceh.
7. To develop the quality of education for the realisation of productive, competitive, and
skilled human resources Aceh.
8. To develop community empowerment efforts in the field of health and social
protection, in order to achieve healthy societies.
9. To enable the people of Aceh to participate in and determine political processes and
development planning in accordance with the public interest.
10. To increase understanding and social cohesion between different cultural and social
groups in Acehnese society and throughout the region.
Apa yang telah kami lakukan
1. Emergency response, humanitarian services and advocacy on Rohingya refugees and
Bangladesh nationals who were rescued by a group of fishermen in Aceh in May 2015
in 3 districts/municipalities (North Aceh, East Aceh and Langsa; ASEAN region.)
2. Promoting the culture of Aceh by bringing a Saman Gayo troupe to the Kuala Lumpur
International Arts festival in Kuala Lumpur (September 2015)
3. Photo exhibition and education campaign at the 10-year commemoration of the
earthquake and tsunami disaster in Aceh (December 2014)
4. Advocacy for victims of the 2013 Gayo earthquake (July-December 2013)
Yayasan Geutanyoe
@AcehFoundation
[email protected]
Jl. Nurdin Ar-Raniry No. 58, Gampông Paya Bujôk Tunoëng.
Kota Langsa, Provinsi Aceh – Indonesia, Kode Pos 24415
www.geutanyoe.org
Download