PERIODE INDONESIA KLASIK (ABAD VI/V SAMPAI ABAD XVII) Masa pengaruh India di Indonsia oleh para ahli sering disebut dengan istilah masa Indonsia kuno. Penggunaan istilah klasik dalam sejarah kebudayaan dan kepurbakalaan Indonesia agaknya belum begitu lazim. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, kata klasik dikaitkan dengan kesusasteraan dan kesenian Eropa kuno. Sementara itu, kita mengenal istilah Arkelogi Klasik yang mengacu pada bekas-bekas peninggalan Yunani dan Romawi kuno dari masa keemasannya. Dalam istilah klasik juga juga terkandung pengertian kuno. Berangkat dari satu kenyataan bahwa pada masa pengaruh HinduBudha di Indonsia, terutama bidang kesenian mengalami masa puncaknya maka dalam bab ini digunakan periode Indonsia Klasik. Masa Indonesia klasik ini ditandai dengan masuknya pengaruh budaya India yang kemudian bertemu dengan kebudayaa asli Indonsia. Perkembangan dari kedua budaya tersebut mencapai puncaknya dan kemudian lambat laun pengaruh India berkurang dengan masuknya pengaruh Islam. Masa Indonesia klasik ini berlangsung sekitar abad IV/V sampai XV Masehi. Dalam proses itu pertemuan dua budaya itu, bangsa Indonesia lebih bersifat selektif. Unsurunsur budaya India diambil intinya dalam upaya untuk penyuburan atau memperkaya budaya Indonesia. Melihat cara bangsa Indonesia menghadapi dan menanggapi pengaruh budaya India terlihat bahwa unsur-unsur budaya India tidak pernah menjadi unsur yang dominan dalam kerangka budaya Indonesia secara keseluruhan. Atau dapat dikatakan bahwa pengaruh budaya India merupakan penyuburan dan pengkayaan budaya Indonesia. Pengaruh budaya India terhadap penyuburan budaya Indonesia berkembang pesat terutama di Jawa. Pengaruh itu memberi corak tersendiri pada beberapa aspek kehidupan sosial-ekonomi, politik, dan budaya di Indonesia. Misalnya, hasil-hasil kesenian, dikenal dengan sebutan kesenian Hindu Jawa. Hasil kesenian Hindu Jawa umumnya dikelompokkan ke dalam dua periode yang masing-masing periode mempunyai ciri-ciri sendiri, yaitu periode Klasik Tua dan periode klasik muda atau periode klasik Jawa tengah dan periode klasik Jawa Timur. A. Pengaruh agama Hindu-Buddha Terdapat beberapa sumber untuk merunut perkembangan agama Hindu dan Buddha yaitu prasasti, kitab-kitab keagamaan, karya sastra, data menumental berupa candi dan area, serta berita-berita asing terutama dari Cina. Sumber sejarah tertua yang dapat menunjukkan pengaruh India adalah prasasti yang ditemukan di Kutai, Kalimantan, yang diperkirakan berasal dari abad IV-V Masehi. Dari prasasti ini diketahui bahwa pada masa Universitas Gadjah Mada 1 raja Mulawarman sudah berkembang agama Hindu. Kemudian menyusul prasasti yang ditemukan di Jawa Barat yang menunjukkan adanya kerajaan yang bercorak ke-Hinduan dengan raja Purnawarman. Temuan prasasti di sebuah desa Dakawu yang kemudian dikenal dengan prasasti Tuk Mas menunjukkan bahwa pusat ke-Hinduan mulai bergeser ke Jawa Tengah. Dari bentuk huruf dan bahasa yang digunakan, prasasti itu diduga berasal dari tahun 500 Masehi. Menyusul ditemukannya prasasti di desa Sejomerto, kabupaten Batang, lebih memperjelas kehadiran agama Hindu di Jawa Tengah. Dalam prasasti Sejomerto disebutkan ada orang bernama Dapunta Saelendra bersama ibu, ayah, dan istrinya. Dari nama itu kemudian disimpulkan bahwa ia adalah seorang pemuja Ciwa (Hindu) yang taat. Kedua prasasti itu, prasasti Tuk Mas dan Sejomerto tidak jelas mencantumkan angka tahun yang berupa candra sengkala. Baru pada prasasti Canggal di dekat Muntilan dengan jelas terdapat candra sengkala sehingga dapat dipastikan angka tahunnya yakni 732 Masehi. Dengan begitu, di Jawa tengah pada masa itu sudah berkembang agama Hindu, yang terlihat dengan adanya pemujaan terhadap lingga (bentuk prasasti yang ditemukan) sebagai aspek dewa Ciwa. Pada masa yang sama di Jawa Timur juga sudah berkembang agama Hindu. Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya prasasti di Dinaya, Malang yang berangka tahun 760 Masehi. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa pendirian candi dipersembahkan untuk Agastya, yakni suatu nama yang mempunyai kaftan dengan dewa Ciwa (Hindu). Pada abad ke-5 agama Buddha tampaknya belum meluas di Jawa. Hal itu dapat diketahui dari sumber berita Fa Hien, seorang Budhis yang terpaksa singgah ke Jawa karena kapalnya terserang badai. Pada tahun 414 Masehi itu ia mencatat bahwa di tempat ia singgah sudah banyak Brahmana yang melakukan praktek agamanya kurang balk dan tidak sama dengan agama yang ia anut, yakni agama Buddha. Pada akhir abad ke-7 seorang musafir Cina, I-Tsing, menceriterakan bahwa pada tahun 664/665 Masehi ada musafir Cina bernama Hwui-Ning pergi ke Jawa dan tinggal di sana selama tiga tahun. Atas bimbingan seorang guru bernama Jnanabadra, ia menterjemahkan satu naskah tentang masuknya Buddha ke Nirwana ke dalam bahasa Cina. Naskah itu dianggapnya menyimpang dari naskah yang umum dipakai dalam agama Buddha aliran mahayana. I-Tsing selanjutnya menguraikan bahwa pada waktu itu Sriwijaya sudah menjadi pusat agama Buddha dan di sana juga sudah terdapat perguruan tinggi agama Buddha. Diceriterakan juga bahwa di Sriwijaya ada sekitar 1000 orang bhiksu, terdapat juga pengikut Mahayana dan Hinayana. Dalam perkembangannya agaknya Buddha mahayana lebih berpengaruh, hal itu terbukti dari temuan-temuan prasasti di sekitar Palembang, seperti prasasti Talang Tuo dan Kedukan Bukit. Universitas Gadjah Mada 2 Dari temuan arca-arca yang bersifat Hindu seperti di Kalimantan Timur, Jawa Barat dan temuan arca yang bersifat Buddha seperti di Sempaga (Sulawesi Barat), Bukit Siguntang (Sumatra Selatan) dan di Jawa Timur, menunjukkan bahwa kedatangan kedua agama itu waktunya hampir bersamaan. Bahkan kemudian dalam perkembangannya ternyata kedua agama itu terjadi perpaduan yang harmonis. Misalnya dalam prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 Masehi diceritakan bahwa ada seorang guru dari Gaudadwipa mempimpin upacara peresmian patting Manjusri. Patung Manjusri itu selain disamakan dengan Triratna (Buddha, Dharma, dan Sangha), juga disamakan dengan Brahma, Wisnu, dan Maheswa atau Ciwa dalam agama Hindu. Begitu juga para pengikut mahayana di Jawa Tengah tidak membedakan antara para dewa dalam agama Hindu dengan Boddhisatwa dalam agama Buddha. Pada masa Sendok sampai akhir periode Erlangga, agama Hindu dan Buddha tidak dibedakan secara mencolok dan keduanya hidup secara berdampingan. Hal itu diketahui dari sebuatan gelar Sendok yakni Sri Isana (sebutan untuk Ciwa) dan putri Sendok yang menikah dengan Lokapala disebut Sugatapaksa (sebutan untuk Buddha). Pada masa Singhasari dan Majapahit agama buddha dan Hindu mencapai puncak perkembangannya. Pada masa itu raja dipandang sebagai Wisnu ketika ia masih hidup dan sesudah meninggal dicandikan sebagai Ciwa dan Buddha. Proses penyatuan dan penyamaan tersebut sebenarnya sudah mulai tampak sejak masa Sendok, Kadiri, Singhasari, dan mencapai puncaknya pada masa Majapahit. Dalam kitab Arjunawijaya digambarkan bahwa ketika raja Arjunawijaya memasuki sebuah candi Buddha, para Bhiksu menyambutnya dan menerangkan bahwa para Jina penjuru alam (tathagata) yang ada dalam patung-patung sama dengan penjilmaan Ciwa. Kemudian para Bhiksu menegaskan bahwa antara Buddha dan Ciwa sesungguhnya tidak ada perbedaan. Dalam kitab Sutasoma juga digambarkan bahwa Kalarudra (tokoh agama Hindu) marah sekali pada Sutasoma (titisan Buddha) dan hendak membinasakannya. Para dewa mengingatkan bahwa sebenarnya antara Buddha dan Ciwa tidak ada perbedaan. Keduanya sekalipun disebut dengan dua nama yang berbeda tetapi tidak dapat dijadikan dua. Jinatwa (hakekat Buddha) sama dengan Ciwatattwa (hakekat Ciwa). Siapa sebenamya yang membawa pengaruh India, terutama agama Hindu ke Indonesia? Sementara ahli perpendapat bahwa golongan ksatria mempunyai peranan besar dalam proses itu, sedangkan ahli yang lain berpendapat bahwa golongan waisya dan brahmana justru yang mempunyai peranan besar. Terlepas dari perdebatan itu yang jelas bahwa pengaruh India tersebut sebagian besar melalui jalur perdagangan. Juga tidak menutup kemungkinan beberapa penguasa di Nusantara sengaja mengundang ahli Universitas Gadjah Mada 3 agama dari India untuk mengajarkan agama atau menjadi penasehat penguasa. Adapun pengaruh India itu tidak saja pada aspek keagamaan yang meliputi agama Hindu dan Budha tetapi aspek-aspek lain seperti sastra, seni, organisasi sosial, dan organisasi ketatanegaraan. Tugas latihan 1. Apakah buktinya bahwa pada abad IV-V agama Hindu sudah menjadi agama keajaan? 2. Diskusikan: apakah ada kemungkinan agama Hindu sudah dianut oleh sebagaian nenek moyang bangsa Indonesia sebelum abad IV? 3. Mengapa sampai terjadi perpaduan yang harmonis antara agama hindu dan Buddha? B. Pemerintahan kerajaan dan Perubahan Masyarakat Bangunan-bangunan candi secara tidak langsung juga dapat menunjukkan gambaran mengenai keadaan politik pemerintah pada periode Indonsia klasik ini. Bukti-bukti lain berupa prasasti, berita-berita Cina, dan berita asing lainnya juga memberikan banyak informasi mengenai kerajaan-kerajaan yang berkuasa pada masa itu. Pengaruh India dalam struktur birokrasi, hukum, dan perubahan struktur masyarakat merupakan pokok bahasan dalam bagian berikut ini. 1. Struktur Birokrasi Dari bukti-bukti sejarah dengan jelas digambarkan bahwa keraton sebagai ibukota kerajaan tidak hanya berfungsi sebagai pusat kegiatan pemerintahan, tetapi juga merupakan pusat kegiatan ekonomi, kegiatan kesenian, dan kegiatan sosial-budaya lainnya. Oleh karena itu, orientasi masyarakat terhadap keberadaan keraton dan kedudukan raja sebagai pemimpin semakin kuat. Hal itu dibuktikan dengan konsepkonsep seperti "konsep kosmogoni", "konse raja yang ideal", "konsep suksesi", "konsep legitimasi", dan "konsep susunan pemerintahan yang baik". Dalam konsep kosmogoni ini diyakini bahwa perpaduan antara mikrokosmos dengan makrokosmos akan menghasilkan suatu kehidupan yang bahagia. Oleh karena itu, dunia manusia dengan dunia para dewa harus disatukan. Susunan kerajaan harus sesuai dengan tempat kedudukan dunia para dewa. Dalam dunia dewa, dewa Indra yang merupakan pemimpin para dewa berkedudukan di puncak gunung atau meru sedangkan empat penjuru mata angin dijaga oleh dewa penjaga mata angin atau dewa lokapala. Demikian juga di keraton terdapat kedaton yang merupakan tempat yang paling sakral Universitas Gadjah Mada 4 sebagai inti keraton dan tempat bersinggasana raja sang pemimpin. Sementara itu, pejabat-pejabat keraton tersebar di empat penjuru mata angin. Konsep raja yang ideal adalah antara lain raja harus berwibawa dan melaksanakan darma. Kewibawaan seorang raja tidak ditentukan oleh keadaan fisiknya tetapi ditentukan oleh bagaimana cara ia memimpin. Untuk meningkatkan kewibawaannya raja hams arif, adil, bijaksana, dan mengaku titisan dewa. Agar raja dapat berlaku adil dan bijaksana ia harus mengikuti ajaran astabrata. Hampir semua raja mengaku titisan dewa Wisnu kecuali raja Balitung, misalnya, yang mengaku titisan dewa Rudra. Universitas Gadjah Mada 5 Konsep suksesi yang diyakini paling baik adalah apabila pengganti raja itu merupakan keturunan langsung raja yang sedang memerintah atau putra/putri mahkota. Apabila pergantian tahta tidak dapat dilaksanakan dengan cara itu maka putra atau putri raja sebelumnya dapat menggantikannya. Konsep legitimasi seorang raja merupakan sarana bagi raja (terutama raja yang bukan keturunan langsung dari raja sebelumnya) untuk meningkatkan kewibawaannya. Cara yang ditempuh biasanya melalui antara lain silsilah raja, pulung atau darn, dan mengaku titisan dewa. Pada periode Indonsia klasik susunan birokrasi kerajaan mengalami perubahan tergantung kebutuhan dan kepentingan penguasa kerajaan. Pada periode Jawa Tengah atau pada masa Mataram Kuna secara garis besar struktur birokrasi pemerintahan dapat digambarkan sebagai berikut. Penguasa tertinggi adalah raja. Posisi di bawah raja ditempati oleh satu kelompok yang disebut rakryan kagnap yang terdiri dari hino, halu, sirikan, wka, dan bawang. Mereka mendapat gelar rakryan kecuali bawang yang mendapat gelar pamgat (pemegang peradilan). Di bawah rakryan kagnap terdapat pejabat-pejabat yang bergelar rakai dan pamgat. Mereka itu adalah Tiruan, Halaran, wlahan, panggilhyang, manghuri, tanjung, langkha, wadihati, makudur, dalinan, pangkur, tawan, dan tirip. Mereka yang bergelar rakryan, pamgat, dan rakai mendapat tanah lungguh sebagai pengganti gaji. Mereka ini menjadi penguasa di masing-masing tanah lungguhnya dan mempunyai banyak pembantu untuk melaksanakan tugas-tugas baik lingkungan keraton maupun di tanah lungguh itu. Di tingkat yang paling rendah dalam struktur pemerintahan adalah desa yang diperintah oleh para rama. Beberapa nama rama antara lain kalang, patih, gusti, kalima, partaya, winkas, wariga, hulair, tuhaburu, tuha alas, marhyang, dan bihara swami. Pada periode Jawa Timur yakni ketika pusat pemerintahan dipindahkan dari Jawa tengah ke Jawa Timur sekitar awal abad X sampai masa Majpahit (sekitar abad XV), susunan birokrasi mengalami perubahan. Di bawah Raja terdapat putra mahkota yang mempunyai peluang menggantikan tahta kerajaan. Mereka bergelar Rakarayan mapatih i hino. Peringkat berikutnya adalah rakarayan i halu kemudian Rakarayan i sirikan. Tiga jabatan itu diduduki oleh putra-putra raja yang bertindak sebagai Raja Muda. Di bawah Raja Muda terdapat dua jabatan lagi yang kedudukannya sejajar, yakni Pamgat Tiruan dan Upapatti. Pejabat yang pertama mengurusi masalah-masalah Universitas Gadjah Mada 6 kegamaan dan pejabat yang kedua mengurusi masalah-masalah peradilan. Selain kelima pejabat tersebut di pusat kerajaan masih terdapat 12 pejabat lain yang kedudukannya di bawah lima pejabat tersebut. Namun ke dua belas pejabat itu belum diketahui fungsi dan tugas-tugas mereka. Kemungkinan mereka adalah pelaksana pemerintahan di tingkat pusat. Keduabelas jabatan itu adalah rake halaran, rake panggilhyang, rake wlahan, pamgat manghuri, rake langka, rake tanjung, pangkur, tawan (hahangan), tirip, pamgat wadihati, dan pamgat makudur. Dari 12 jabatan itu terlihat ada tiga jabatan yang tidak mendapat gelar yakni tawan, tirip, dan pangkur. Ini menunjukkan bahwa ketiga pejabat yang menduduki jabatan tersebut tidak memperoleh tanah lungguh. Dari sumber-sumber prasasti juga diketahui bahwa pejabat-pejabat terendah adalah para pejabat desa yang disebut rama atau karaman. Jumlah rama atau karaman di tiap-tiap desa tidak sama tergantung kebutuhan masing-masing desa. Pada masa Singhasari dan terutama pada masa Majapahit dasar-dasar struktur birokrasi tidak banyak mengalami perubahan tetapi terdapat jabatan jabatan baru sebagai pelengkap dan telah dilakukan pembagian kewilayahan. Pada masa Majapahit, misalnya, terdapat dewan penasehat raja yang disebut Bhatara Sapta Prabu atau Pahom Narendra. Di bawah raja masih tetap diduduki Raja-Raja Muda atau Rakaryan Mahamantri. Di .bawah Raja-Raja Muda terdapat pelaksana-pelaksana tingkat pusat yang disebut Tanda ring Pakirakiran, termasuk di dalam jajaran ini adalah apatih, Dharmmadyaksa (pejabat urusan agama), dan Dharmmapapati (pejabat urusan peradilan). Para pejabat di jajaran Tanda ring Pakirakiran mempunyai bawahan atau pejabat pelaksana di tingkat daerah yang masing-masing mengurusi urusan tertentu. Dalam prasasti juga disebutkan adanya daerah kerakaian atau watak, tetapi belum diketahui pejabat-pejabat yang mengurus daerah itu. Di tingkat yang paling bawah dalam struktur birokrasi adalah satu wilayah di bawah watak yang disebut wanua atau thani. Nama jabatan di tingkat wanua atau thani antara lain tuhaning nayaka, parujar, matanda, tuhaning kawula, tuhaning lampuran, manapel yang menggambarkan posisi jabatan dari satu jenis pekerjaan tertentu. Universitas Gadjah Mada 7 2. Struktur Masyarakat Sementara itu, dari prasasti juga dapat diperoleh informasi mengenai antara lain halhal yang menyangkut upacara penetapan sima (pembebasan tanah perdikan). Upacara semacam itu dipimpin oleh seorang pendeta dan dihadiri pejabat-pejabat keraton. Kelompok-kelompok profesi pada masa tersebut mengalami perkembangan dan semakin bervariasi misalnya mengenai kelompok-kelompok profesi, seperti kelompok pandai logam, pengrajin, petani, dan pedagang. Selain itu sistem kasta, catur warna yang berupa brahmana, ksatria, waisya, dan sudra serta penggolongan lain yang disebut asta candala atau delapan golongan orang rendah juga merupakan bentuk baru dari struktur masyarakat periode Indonesia klasik. Berdasarkan sumber-sumber prasasti dan kitab-kitab kuno secara umum dapat dikatakan bahwa unsur-unsur kebudayaan India yang masuk ke dalam kebudayaan Indonesia di bidang pranata sosial adalah: pembagian masyarakat ke dalam empat golongan (catur warna), jenjang kehidupan manusia (caturasrama). pranata kerajaan, dan sistem peradilan. Penggolongan masyarakat berdasarkan profesinya sebenarnya berakar dari masa sebelumnya. Sebelum adanya pengaruh India, di Indonesia sudah dikenal adanya golongan penguasa, golongan pedagang, golongan hamba, dan golongan orang-orang yang dapat berhubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang disebut shaman atau dukun. Pada masa Indonsia klasik, konsep catur warna lebih menegaskan adanya golongan berdasarkan profesinya dan fungsi golongan tersebut dalam masyarakat. Dalam sistem kasta yang muncul pada masa Indonesia klasik ini merupakan hal yang baru. Sistem kasta lebih menekankan perbedaan harkat dan martabat manusia. Pembagian kasta dari lapisan tertinggi sampai terbawah adalah sebagai berikut: brahmana, ksatria, waisya, dan lapisan terendah adalah paria dan candala. Penerapan sistem kasta ini mungkin sudah diterapkan pada kerajaan-kerajaan Hindu yang tertua. Akan tetapi, buktibukti yang jelas dapat menunjukkan penerapan sistem kasta adalah prasasti Balitung 898 M. Dalam prasasti itu menyebutkan bahwa masyarakat terbagi dalam golongan Brahmana, ksatria, weisya, dan sudra. Pada masa Mataram kuno sampai Singhasani juga sudah terdapat pembagian masyarakat berdasarkan kasta. Akan tetapi gambaran yang lebih jelas mengenai penerapan sistem kasta itu dijumpai pada masa Majapahit. Universitas Gadjah Mada 8 Pada kerajaan Majapahit terdapat bukti-bukti mengenai penerapan konsep catur warna dan sistem kasta dalam kehidupan kerajaan dan masyarakamya. Pembagian masyarakat pada masa Majapahit di kelompokkan dalam dua kelompok besar. Pertama, yaitu catur warna dan kedua golongan di luar kasta. Keanggotaan yang bersifat keturunan hanya terdapat dalam golongan Sudra. Begitu juga dalam golongan hamba masih terbagi lagi ke dalam golongan hamba berdasarkan keturunan (grehaja). Seorang grehaja dapat merdeka dengan jalan membayar tebusan. Seorang hamba yang sudah bebas dapat memasuki golongan lain berdasarkan kemampuannya, bukan lagi berdasarkan atas keturunan. Asalusul Gadjah Mada yang diduga berasal dari rakyat kebanyakan menunjukkan adanya golongan masyarakat yang keanggotannya bukan berdasarkan keturunan. Dalam masalah perkawinan antar golongan, sebagaimana dijelaskan dalam kitan hukum Kutara Manawa dan Nagarakrtagama, bahwa perkawinan yang ideal adalah perkawinan yang terjadi dalam satu golongan. Namun tidak menutup kemungkinan anggota dari golongan rendah kawin dengan anggota dari golongan yang lebih tinggi. Hal itu jelas diatur dalam kitab tersebut dengan istilah patriloma dan amuloma. Patriloma adalah perkawinan yang terjadi karena pihak perempuan kedudukannya lebih tinggi dari pihak laki-laki, sedangkan amuloma sebaliknya. Kehidupan masyarakat pada masa Majapahit agaknya lebih didasarkan pada konsep catur warna dan sedikit sekali terpengaruh konsep kasta dari India. Hal itu disebabkan dalam wilayah kekuasaan majapahit, penduduknya tidak hanya terdiri dari orang-orang yang memeluk agama Buddha atau agama Hindu saja tetapi juga terdapat komunitaskomunitas lain yang beragama Islam. Orang-orang Islam dan orang-orang Cina yang datang dari Kanton pada masa Majapahit sudah tersebar di terutama ibukota kerajaan dan daerah-daerah pesisir. Disamping catur warna yang sudah dipraktekkan pada masa itu juga terdapat penggolongan masyarakat yang disebut caturasrama. Keempat tingkatan itu adalah brahmacari yakni satu kelompok masyarakat yang hidup sebagai murid dan kehidupannya dicurahkan untuk mencari bekal keagamaan, grhastha yakni kelompok masyarakat yang kehidupannya dicurahkan untuk membangun rumah tangga untuk mendapatkan keturunan, wanaprastha yakni satu kelompok masyarakat yang pergi mengundurkan dini dari dunia ramai untuk mencari kelepasan, dan sanyasin atau bhiksuka yakni suatu kelompok masyarakat yang sudah mencapai kesempurnaan. Dengan adanya pranata kerajaan dengan bermacam-macam upacara serta birokrasinya itu merupakan hal yang barn dalam budaya Indonsia. Dengan Universitas Gadjah Mada 9 munculnya kerajaankerajaan, para pemimpin lokal pada masa sebelumnya seperti kepala suku dan sebagainya mulai mendapat fungsi baru dan mempunyai tugas mengurusi daerah yang lebih luas. Begitu juga dengan kedudukan raja yang turun temurun, munculnya pejabat-pejabat pusat dan daerah, serta pentingnya kedudukan istri-istri raja sebagai "penjaga" keberlangsungan dinasti merupakan hal yang baru bagi bangsa Indonesia. 3. Hukum Sampai saat ini memang kita belum menemukan kitab perundang-undangan dari masa awal Indonsia Klasik sampai masa akhir jaman Majapahit. Akan tetapi dari beberapa sumber prasasti dan kidung diketahui bahwa pada masa Majapahit telah ada kitab perundang-undangan. Misalnya dari prasasti Bendasari yang dibuat pada masa raja Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara) disebutkan bahwa "dengan berpedoman kepada isi kitab yang mulia Kutara Manawa dan lainnya, menurut teladan kebijaksanan para pendeta dalam memutuskan pertikaian zaman dahulu". Atau dalam prasasti Trawulan, misalnya, disebutkan "semua ahli tersebut bertujuan hendak menafsirkan kitab undangundang Kutara manawa dan lainnya". Dengan begitu jelas bahwa pada masa Majapahit telah digunakan kitab undang-undang Kutara Manawa dan kitab-kitab lainnya. Sebuah kitab undang-undang Agama yang ditemukan di Bali telah dijadikan bahan disertasi oleh J.C.C. Jonker tahun 1885. Kemudian oleh Profesor Slamet Mulyono berdasarkan penelitian terhadap naskah Agama yang telah diterjemahkan oleh Jonker itu berkesimpulan bahwa kitab Agama merupakan salinan dari kitab perundang-undangan jaman majapahit yaitu Kutaramnawadharmacastra. Kitab perundang-undangan Agama dalam teks aslinya memuat 275 pasal tetapi dalam terjemahannya didapti satu pasal rusak, dua pasal lainnya merupakan ulangan dari pasal sebelumnya. Jadi tinggal 272 pasal. Kitab perundang-undangan Agama ini terdiri dari: (1) Ketentuan umum mengenai denda; (2) Uraian tentang kejahatan, terutama pembunuhan (astadusta); (3) Perlakuan terhadap hamba (kawula); (4) pencurian atau astacorah; (5) paksaan atau walat/aula sahala; (6) jual bell (adol atuku); (7) gadai (sanda); (8) hutang pihutang (ahutang apihutang); (9) titipan; (10) mahar (tukon); (11) perkawinan (kawarangan); (12) perbuatan mesum (paradara); (13) warisan (drewe kaliliran); (14) caci maki (wakparusya); (15) menangani (danda-parusya); (16) kelalaian/kenakalan Universitas Gadjah Mada 10 (kagelehan); (17) perkelahian (atukaran); (18) tanah (bhumi); dan (19) Fitnah (duwilatek). Semua keputusan dalam pengadilan diambil atas nama raja yang disebut Sang Amawabhumi yang artinya orang yang mempunyai atau menguasai negara. Dalam soal pengadilan ini raja dibantu oleh Dharmadhyaksa kasaiwan (kepala agama Siwa) dan Dharmadhyaksa kasogatan (kepala agama Buddha). Kedudukan kedua Dharmadhyaksa tersebut sama dengan hakim tinggi. Mereka dibantu oleh lima orang uppatti. Bagi seorang pragwikaka yaitu pendeta yang sempurna pengetahuannya pada kitab-kitab Dharmacastra, Kutaramanawa, dan lainnya juga harus menguasai hukum adat. Dengan begitu, pada masa Indonesia Klasik itu hukum adat juga dipraktekkan. Dalam kitab undang-undang Agama tidak dikenal pidana penjara dan pidana kurungan tetapi pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok meliputi pidana mati, pidana potong angota badan, denda, ganti kerugian (panglicawa /patukucawa). Adapun pidana tambahan meliputi tebusan, penyitaan, dan uang pembeli obat (patijabajampi). Dari aspek keuangan kerajaan tampaknya pidana mati dan denda lebih menguntungkan dibanding dengan pidana penjara atau kurungan. Seseorang yang tidak sanggup membayar denda, misalnya, maka ia menjadi orang yang berhutang pada raja dan harus menjadi hamba atau budak. Orang yang menjadi hamba atau budak seperti itu disebut dandadasa. C. Peninggalan Budaya dan Kesenian 1. Seni Bangun Seni ban gun atau arsitektur merupakan perpaduan karya seni dan pengetahuan tentang ilmu bangunan. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, seni bangunan terus kehidupannya. mengalami Nenek moyang perkembangan kita dalam sesuai dengan merancang kebutuhan bangunan selalu mempertimbangkan syarat-syarat kenyamanan, kekokohan bangunan, dan unsur keindahannya. Syarat-syarat tersebut tidak hanya diterapkan pada bangunanbangunan yang bersifat profan (keduniaan) seperti bangunan rumah tinggal tetapi juga untuk bangunan yang bersifat sakral seperti bangunanban gunan suci keagamaan. Seni bangun pada masa Indonesia kiasik yang masih dapat ditelusi adalah seni bangun candi. Pembangunan candi yang berlangsung sejak abad ke-8 sampai abad ke-16 terpusat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Oleh karena itu kemudian muncul Universitas Gadjah Mada 11 istilah langgam Jawa Tengah dan langgam Jawa Timur. Langgam Jawa Tengah bercirikan antara lain bentuk bangunannya agak tambun, atapnya berundak-undak, pad pintu terdapat hiasan makara, letak candinya di tengah halaman, dan bentuk arcanya lebih luwes. Sementara itu, langgam jawa Timur (termasuk candi-candi yang berada di Sumatra) bercirikan bentuk bangunannya ramping, bentuk arcanya agak kaku, letak candi induk berada di belakang halaman, dan tidak ada hiasan makara. Dengan pengecualian candi-candi tertentu, dilihat dari gaya arsitektur-nya, candicandi di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam gaya seni bangun Klasik Tua dan gaya seni bangun Klasik muda. Seni bangun Klasik tua berlangsung sampai tahun 1000 Masehi dan seni bangun Klasik Muda berlangsung sesudah tahun tersebut sampai kirakira abad XVI. Kelompok candi di dataran Dieng kalau dilihat daricara pengerjaanya sebenarnya dapat dianggap sebagai seni bangun candi yang tertua. Hal itu dapat dilihat dari cara penanganan yang sederhana sehingga bentuk dan penyusunan bangunan tampak sederhana. Akan tetapi karena kebanyakan candi-candi di Jawa tidak jelas tahun didirikannya dan angka-angka tahun itu biasanya dikaitkan dengan temuan prasasti atau naskah-naskah kuno, maka membuat kronologi candi masih sulit dilakukan. Berdasarkan temuan prasasti di desa Canggal dekat Magelang yang berangka tahun 732 Masehi yang mempunyai kaitan erat dengan Candi Gunung Wukir, sebanarnya candi ini justru merupakan candi yang tertua. Sedangkan dalam kelompok candi Dieng hanya ditemukan satu prasasti dibelakang salah satu candi Dieng, yakni candi Arjuno. Prasasti tersebut berangka tahun 809 Masehi. Candi Gunung Wukir, sekalipun hampir habis batu-batu aslinya, namun dari karakter candinya mempunyai persamaan dengan Candi Badut di dekat kota Malang Jawa Timur. Prasasti yang dapat dikaitkan dengan Candi badut adalah prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 Masehi. Berdasarkan langgam candi Jawa Timur dan langgam Jawa tengah seperti yang diuraikan di atas, candi Badut justru masuk ke dalam langgam Jawa Tengah. Candi Kalasan di dekat Yogyakarta, berdasarkan prasasti yang ditemukan di dekat candi dibangun tahun 778 Masehi dan dipersembahkan untuk Dewi Tara. Akan tetapi, bentuk candi yang sekarang dapat kita lihat dengan ukiran-ukirannya yang indah itu sebenarnya merupakan bangunan yang ketiga yang menyelubungi bangunan aslinya. Universitas Gadjah Mada 12 Candi Gunung Wukir, candi Badut, dan candi Kalasan yang asli, mempunyai persamaan pokok. Kaki candi tidak terdapat hiasan, tidak terdapat susunan bingkaibingkai, dan tidak ada goresan bias apapun. Ciri-ciri inilah yang menandai seni bangun candi gaya klasik Tua. Atau lebih tepatnya ciri-ciri itu mendominasi gaya seni bangun abd ke-8. Sementara itu, dalam kelompok Candi Dieng terdapat semacam penggabungan gaya seni bangun Klasik Tua dan Klasik muda. Misalnya, Candi Arjuno berbentuk tambun, sedangkan Candi Puntodewo langsing dan memiliki kaki ganda. Candi Sewu kalau dilihat dari ciri-cirinya lebih tepat dimasukkan pada jajaran gaya seni bangun Klasik Tua dan itu diperkuat dengan temuan prasasti baik yang ditemukan di dekat candi (berangka tahun 792) itu maupun prasasti Kelurak (782). Kelompok Candi Loro Jonggrang di Prambanan kalau dilihat dari tahun didirikannya termasuk dalam seni bangun Klasik Tua tetapi kalau dilihat dari gaya seninya lebih banyak mengikuti gaya Klasik Muda. Ciri-ciri khas seni bangun gaya Klasik Muda dijumpai pada Candi Loro Jonggrang. Sosok candi ramping dan kaki bersusun dua, dinding tubuh candi diberi kesan bertingkat dua oleh bingkai sabuk, dan atapnya tersusun rapat tidak berkesan berundak-undak. Barangkali Candi Loro Jonggrang ini merupakan candi penutup dari gaya seni bangun candi Klasik Tua. Pada pertengahan abad ke-13, dengan ciri-ciri yang khusus mendominasi candicandi yang dibangun pada masa itu dan sesudahnya. Ciri-ciri yang khusus itulah yang kemudian menjadi tanda dari gaya seni bangun candi Klasik Muda. Candi Kidal yang berdirinya berkaitan dengan dicandikannya Anusapati raja Singhasari. Gaya seninya tampak jelas berbeda dengan gaya seni bangun candi terdahulu. Begitu juga Candi Gurah dekat kota Kediri. Sekalipun candi Gurah ini hanya meninggalkan sedikit bekasnya saja namun terlihat adanya ciri-ciri khusus yang mendominasi gaya inasa Klasik Muda. Misalnya Makara yang ada diujung lengan tangga dan arah hadap candi induknya serta arca-acra yang ditinggalkan menjadi petunjuk gaya Klasik Muda itu. Candi Jago yang merupakan tempat dicandikannya Wisnuwardhana raja Singhasari mempunyai beberapa ciri yang muncul pada gaya bangun jaman Majapahit. Misalnya Susunan kaki candi yang bertingkat tiga dan selasar berundak di depan candinya. Ciri yang sama ditemukan pada candi Induk Panataran. Candi-candi yang jelas: jelas mengikuti gaya seni bangun pada masa Klasik Muda , sekalipun masih ada pola Candi Kidal adalah Candi Jawi, Bangkal, Bajang Ratu, Ngetos, Kali Cilik, Sawentar, dan Candi Penataran. Pola bangunan yang sama Universitas Gadjah Mada 13 adalah bentuk tubuh candi ramping dan didukung dengan kaki candi yang agak tinggi, tubuh candi yang terkesan pendek diberi bingkai sabuk. Kesan ramping itu diperkuat dengan adanya susunan atapnya yang meruncing ke atas. Susunan berundak juga ditampilkan secara jelas oleh candi-candi seperti candi Sukuh di lereng gunung Lawu. Halaman candi ini bersusun tiga secaraberundak. beberapa candi di lereng gunung Penanggungan juga mempunyai halaman bersusun berundak. Dari uraian itu terlihat bahwa seni bangun candi mengalami perkembangan sekalipun tidak dalam garis yang lurus. Justru variasi-variasi yang ditampakkan merupakan warna dari corak lokal pada bangunan candi yang ada di Indonesia. 2. Seni Rupa Seni rupa yang berkembang pada masa Indonsia Klasik berupa seni patung, seni lukis termasuk relief, dan seni kerajinan. Bukti-bukti mengenai adanya seni patung pada masa tersebut sangat melimpah. Umumnya patung-patung itu terbuat dari bahan batu, terakota, dan logam. Patung yang terbuat dari bahan kayu kemungkinan besar juga sangat banyak. Hanya barangkali karena jenis bahnnya yang mudah lapuk sehingga patung kayu pada masa itu tidak sampai pada kita. Namun dalam prasasti Dinoyo tahun 760, misalnya disebutkan bahwa pada mulanya patung Agastya terbuat dari kayu cendana kemudian diganti dengan bahan batu hitam. Patung batu dibuat dengan cara dipahat dan patung logam dengan teknik cor. Sebagian besar patung-patung masa itu menggambarkan dewa-dewa atau tokohtokoh yang dikenal dalam agama Hindu dan Buddha. Contoh dari patung masa itu adalah patung Brahma dari batu, patung Wisnu dari batu, patung Ciwa dari perunggu dan patung Manjucri dari perak. gambar Bukti-bukti artefaktual mengenai seni lukis sampai sekarang memang belum ditemukan tetapi dari sumber prasasti dan juga sumber lain dapat diketahui keberadaan seni itu. Dalam prasasti sering disebut bermacam-macam jenis kain seperti ganjarpatra, lunggar mayang, gringsing, dan lain-lain menunjukkan bahwa pada masa itu telah berkembang seni lukis. Penamaan jenis jenis kain tersebut disarkan pada motif-motif bias yang dibuat. Pembuatan hiasaan dapat dengan cara Universitas Gadjah Mada 14 ikat atau lukis batik. Dan berita Cina yang ditulis Ma Huan juga menyebutkan adanya lukisan berupa manusia, binatang, burung dan lain-lain pada selembar kertas panjang yang kedua ujung kain itu diberi tongkat kayu. Relief berupa ragam hias yang dipahatkan di dinding-dinding Candi sampai sekarang masih dapat kita saksikan. Fungsi dari ragam bias berupa relief tersebut adalah pertama hanya sebagai hiasan semata, sebagai penguat bagian-bagian Candi, sebagai simbol yang mempunyai kekuatan magis, dan sebagai media pendidikan seperti relief cerita yang diambilkan dari kitab-kitab klasik keagamaan. Hasil seni kerajinan pada masa Indonsia Klasik sampai sekarang juga masih dapat kita saksikan terutama dari bahan-bahan yang awet seperti kerajinan logam dan gerabah. Benda-benda hasil seni kerajinan berupa perhiasan, alat-alat upacara dan alat untuk keperluan sehari-hari. Bukti-bukti lain yang menunjukkan pada masa itu sudah berkembang seni kerajinan adalah kitab-kitab sastra dan beberapa prasasti. Istlah- istilah yang menunjukkan adanya kegiatan seni kerajinan sering dijumpai pada sumber tertulis itu seperti magawai payung (membuat payung), mabubut (membuat barang dengan cara membubut), Makajang (membuat pakaian), manganam-anam (membuat barang anyaman), mangdyun (membuat periuk), undahagi (tukang kayu), pandai wsi (pembuat barang dari besi) dan lain-lain. 3. Sastra Kegiatan olah sastra pada masa Indonsia Klasik dimulai kira-kira abad IX. Pada masa sebelumnya memang telah muncul karya sastra dari India yang sangat terkenal yaitu Ramayana karya Walmiki dan Mahabarata yang dihimpun oleh Wyasa Krsna Dwaipayana. Kedua kitab ini disebut kitab Wiracarita. Pada masa Kediri karya-karya sarta yang muncul berupa karya sastra saduran. Kemudian pada masa Singhasani sampai Majapahit muncul karya sastra ciptaan yang tetap berinduk pada kedua kitab Wiracarita. Pada umumnya karya-karya sastra Indonesia Klasik ini bersifat pujasastra dan jumlahnya sangat banyak. Yang sampai pada kita saja diperkirakan lebih dari 1000 buah. Karya sastra tertua dan dianggap paling berpengaruh adalah karya saduran Ramayana Kakawin yang berasal dari kerajaan Mataram-Kuno. Dilihat dari bahasa yang digunakan karya ini ditulis sekitar abad IX. Kemudian muncul karya saduran Mahabarata dalam bentuk gancaran yang diringkas. Ketika pusat pemerintahan mulai bergeser ke Jawa Timur tradisi karya sastra Kakawin ini masih tetap bertahan. Karya-karya kakawin yang muncul kemudian itu antara lain Arjunawiwaha karya Mpu Universitas Gadjah Mada 15 Kanwa yang ditulis antara tahun 1028-1085 pada masa kekuasaan Erlangga di Jawa Timur. Kemudian muncul karya sastra kakawin Hariwangsa karya Mpu Panuluh yang ditulis pada masa Jayabhaya raja Kediri antara tahun 1135-1157. Pada masa raja Kediri berikutnya, Kameswara, muncul karya sastra Smaradahana karya Mpu Dharmaja yang ditulis sekitar 1182-1185. Dilihat dari segi bahasa dan pola estetikanya, karya-karya sastra kakawin dipengaruhi India. Diduga karya sastra kakawin ini hanya hidup dan berkembang di lingkungan istana kerajaan. Kita melihat bahwa kerajaan-kerajaan masa itu adalah kerajaan Hindu dan Budha tentu saja karya-karya sastra pada masa itu juga terdapat karya-karya berupa ajaran-ajaran agama. Pada masa itu agaknya kakawin bukan satu-satunya jenis sastra yang hidup di Indonesia. Di luar lingkungan istana kerajaan juga berkembang karya-karya sastra yang kemudian dikenal dengan karya sastra lesan. Karya-karya sastra lisan yang hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat di luar istana, disampaikan pada masyarakat secara lesan dengan bahasa setempat. Beberapa contoh mengenai sastra lisan itu antara lain teka-teki, peribahasa, sajak dan puisi rakyat, mithologi, legenda, dongeng, dan nyanyian rakyat. Berikut ini beberapa contoh karya sastra masa Indonesia Klasik, termasuk karya sastra sejarah. Masa Kadiri: Krsnayana karya Mpu Triguna, Sumanasantaka karya Mpu Monaguna, Smaradahana karya Mpu Dharmaja, Bharatayuddha karya Mpu Sedah dan Panuluh, Wrttasancaya karya Mpu Tanakung. Masa Majapahit: Nagarakrtagama karya Prapanca, Sutasoma karya Tantular, Panji Wijayakrama, Rangga Lawe, dan Sundayana. Universitas Gadjah Mada 16