Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016 UPAYA PENEKANAN MORTALITAS PADA IKAN KERAPU BEBEK YANG TERINFEKSI IRIDOVIRUS MELALUI APLIKASI BAHAN IMUNOSTIMULAN Lutfi H. Murtiono1), W. Nuraini2), E. Noerbaeti2) dan D. Yunianto2) Laboratorium Penguji Kesehatan Ikan dan Lingkungan Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon ABSTRAK Penyakit iridovirus merupakan salah satu penyakit viral yang menyerang ikan kerapu pada skala pembesaran dan mengakibatkan tingkat mortalitas yang tinggi sehingga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Penanganan terhadap penyakit ini masih belum dapat tertangani secara tuntas sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi para pembudidaya. Penggunaan bahan immunostimulan vitamin C dosis tinggi dan bahan immunostimulan lainnya mampu menekan mortalitas akibat penyakit iridovirus. ikan kerapu bebek, C. altivelis yang telah terinfeksi iridovirus dipindahkan ke bak terkontrol dengan volume 3 M3 dengan sistem air mengalir dan dipelihara selama 1 bulan. Sebanyak 3 bak pemeliharaan digunakan untuk penanganan gelondongan ikan yang terinfeksi iridovirus masingmasing sebanyak 130 ekor, 147 ekor dan 231 ekor. Pada setiap bak, diberi perlakuan yang berbeda yaitu untuk perlakuan bak 1 menggunakan vitamin C dan immunostimulan dengan masing-masing dosis 5 g dan 5 ml per kilogram pakan, perlakuan pada bak 2 berupa 1 g vitamin C dan 5 ml bahan imunostimulan per kilogram pakan, serta perlakuan pada bak 3 hanya menggunakan bahan imunostimulan dengan dosis 10 ml/kg pakan. Bahan yang digunakan merupakan produk komersial yang telah terdaftar. Pelaksanaan kegiatan dilakukan di laboratorium kesehatan ikan dan lingkungan pada bulan Februari 2013 dengan pengamatan dilakukan terhadap nilai sintasan selama masa pemeliharaan. Hasil kegiatan secara berturut-turut tercatat nilai sintasannya sebesar 56,9%, 40,8% dan 9,1%. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan vitamin C dosis tinggi yang ditambahkan dengan bahan imunostimulan mampu menekan angka mortalitas terhadap ikan kerapu bebek yang terinfeksi penyakit iridovirus. Kata kunci : Iridovirus, kerapu bebek, imunostimulan PENDAHULUAN Penyakit iridovirus menjadi salah satu penyakit yang banyak dikhawatirkan oleh pembudidaya kerapu di Indonesia selain beberapa jenis penyakit lainnya baik dari golongan bakteri atau virus. Beberapa kasus akibat infeksi iridovirus telah banyak dilaporkan terjadi di beberapa kawasan budidaya. Infeksi iridovirus diketahui sebagai suatu penyakit yang mematikan pada budidaya jaring apung ikan laut seperti kakap merah di Jepang dan ikan kerapu di Asia Tenggara (Koesharyani, dkk. 2001). Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh penyakit ini bernilai sangat tinggi. Penyakit ini dikenal dengan nama ” Sleepy Grouper Disease” yang umumnya menginfeksi stadia fingerling sampai ukuran siap jual. Beberapa kejadian yang dilaporkan antara lain pada budidaya ikan kerapu lumpur di Sumatra Utara (Rukyani dkk, 1993). Selain itu juga dilaporkan menimbulkan kematian massal pada red sea bream, Pagrus major di Jepang (Inouye et al. dalam Mahardika et al., 2004), kerapu malabar, Epinephelus malabaricus di Thailand (Danayadol et al. dalam Mahardika et al, 2004), kerapu, Epinephelus sp di Taiwan (Chou et al. dalam Mahardika et al., 2004), brownspotted grouper, E. tauvina di Singapura (Chua et al, 1994). Bahkan terakhir dilaporkan terjadi di Sumatera Barat, dimana jenis ikan yang terserang adalah kerapu bebek, C. altivelis dan mengakibatkan kerugian hingga Rp. 2,8 Miliar (Sunarto, 2013). Umumnya upaya penanganan bagi ikan yang sudah terinfeksi sangat susah karena untuk penyakit virus belum ada obatnya. Salah satu alternatifnya terutama bagi ikan yang sudah terserang adalah melakukan penanganan secepatnya dan memberikan bahan imunostimulan guna meningkatkan kekebalan tubuh ikan. Imunostimulan berfungsi dalam proses peningkatan sistem kekebalan tubuh dan bekerja melalui pengaktifan sistem kekebalan alami (innate immune system) baik komponen kekebalan seluler maupun humoral. Komponen kekebalan seluler meliputi sel fagosit (makrofag dan sel granulosit), sel sitotosik dan sel pembunuh alami (natural killer cell), sedangkan komponen 31 Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016 kekebalan humoral meliputi opsoni, sistem litik, antiprotease, peptida antibakteri, metal-binding protein dan interferon (Sunarto, 2013). Penggunaan imunostimulan telah banyak dilaporkan karena terbukti mampu berperan dalam peningkatan sistem pertahanan tubuh ikan. Sakai (1999), menyatakan bahwa penggunaan imunostimulan dapat meningkatkan sel fagosit melalui pemberian glucan, lactoferrin dan levamisole, mengaktifkan limfosit, serta memproduksi antibodi dalam tubuh. Salah satunya dari bahan imunostimulan yaitu vitamin C, dimana penggunaan vitamin C ini dilaporkan mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh pada ikan. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian bahan imunostimulan dalam penekanan mortalitas ikan kerapu bebek yang telah terinfeksi iridovirus. MATERI DAN METODE Ikan uji Ikan uji yang digunakan dalam kegiatan kerekayasaan ini adalah ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) sebanyak 508 ekor dengan bobot rata-rata 75,80 ± 11,7 g. Ikan uji berasal dari KJA perairan Teluk Ambon Dalam dan dalam kondisi telah terinfeksi iridovirus dari alam. Perlakuan Ikan yang telah terinfeksi dikarantinakan pada bak pemeliharaan tersendiri dan ditempatkan pada bak fiber dengan volume 3 m3 dengan sistem air mengalir. Sebanyak 3 buah bak fiber digunakan untuk menampung ikan uji ini. Kepadatan tebar pada setiap bak berbeda dikarenakan penempatan ikan secara acak mengingat kondisi ikan yang telah lemah akibat infeksi iridovirus, yaitu : 130 ekor, 147 ekor dan 231 ekor. Bahan imunostimulan yang digunakan yaitu menggunakan vitamin C (C-SAN® AQUATIC, Sanbe) dan imunostimulan cair (FISH IMUNOVIT, Boster®) dari produk komersial yang telah terdaftar. Adapun perlakuan pemberian bahan imunostimulan adalah sebagai berikut : 1) vitamin C dosis 5 g dan 5 ml imunostimulan per kg pakan; 2) vitamin C dosis 1 g dan 5 ml imunostimulan; dan 3) imunostimulan 10 ml per kg pakan. Bahan imunostimulan tersebut dicampurkan dalam pakan rucah dan diberikan bersamaan pada saat pemberian pakan yaitu 2 kali sehari secara adlibitum. Pergantian air dilakukan setiap hari dan kebersihan bak pemeliharaan selalu dijaga dengan penyiponan pada dasar bak. Ikan dipelihara selama 28 hari dan dilakukan pengamatan terhadap sintasan, gejala klinis serta deteksi infeksi iridovirus dengan PCR. Kondisi kualitas air selama perlakuan diukur meliputi parameter suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut. Untuk nilai sintasan (survival rate / SR) dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut : Sintasan (%) = (jumlah ikan yang hidup pada akhir pemeliharaan/jumlah ikan pada awal pemeliharaan) x 100%. Deteksi PCR Mortalitas harian dicatat dan diamati gejala klinis serta diambil secara sampling untuk dilakukan pengujian iridovirus di laboratorium. Deteksi iridovirus dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) mengikuti prosedur IQ2000 Irido Instruction Manual (Anonim, 2012) dengan organ target limpa dan insang. Organ target tersebut diekstraksi dengan 600 µl DTAB solution kemudian diinkubasi selama pada suhu 75°C selama 5 menit. Setelah penambahan 700 µl chloroform kemudian disentrifugasi pada 12.000 g selama 5 menit. Kemudian sebanyak 200 µl supernatan dipindahkan ke tube baru dan ditambahkan 100 µl CTAB solution dan 900 µl ddH2O untuk kemudian disentrifugasi pada 12.000 g selama 10 menit. Pelet yang terbentuk ditambahkan dengan 150 µl dissolving solution dan diinkubasi pada suhu 75°C selama 5 menit dan disentrifugasi pada 12.000 g selama 5 menit. Pindahkan supernatan yang terbentuk kedalam tube baru dan ditambahkan dengan 300 µl ethanol 95% dan disentrifugasi kembali pada 12.000 g selama 5 menit untuk selanjutnya dicuci dengan ethanol 75%. Selanjutnya dikeringkan dan pelet dilarutkan dalam ddH2O atau akuades steril untuk dilanjutkan proses amplifikasi. Proses amplifikasi mengikuti prosedur DNA kit dari IQ2000. Analisis hasil amplifikasi dilakukan dengan elektroforesis 100 – 150 V pada 2% gel agarose menggunakan buffer TAE selama 30 – 35 menit. Kemudian dilakukan staining atau pewarnaan menggunakan ethidium bromide. Pembacaan hasil elektroforesis menggunakan UV transiluminator. 32 Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016 HASIL DAN PEMBAHASAN Selama 28 hari masa pemeliharaan, persentase sintasan ikan kerapu bebek yang terinfeksi iridovirus selama perlakuan tersajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Sintasan (%) ikan kerapu bebek (C. altivelis) yang terinfeksi iridovirus dengan pemberian bahan imunostimulan selama pemeliharaan 28 hari. Perlakuan 1 2 3 Jumlah awal ikan (ekor) 130 147 231 Jumlah pada akhir pemeliharaan (ekor) 74 60 21 Sintasan (%) 56,9 40,8 9,1 Mortalitas (%) 43,1 59,2 90,9 Dari Tabel 1 diatas terlihat bahwa perlakuan 1 memiliki sintasan yang tertinggi dibandingkan dengan perlakuan 2 dan 3, yaitu secara berturut-turut adalah 56,9%, 40,8% dan 9,1%. Pada perlakuan 1 dengan penambahan vitamin C dosis 5 g dan 5 ml imunostimulan per kg pakan yang diberikan terlihat memberikan pengaruh dalam penekanan mortalitas. Kematian terjadi pada awal-awal pemeliharaan, terutama pada 1 minggu pertama dimana ikan dalam kondisi lemah dan stres. Kondisi ini diduga karena ikan terinfeksi iridovirus yang telah berlangsung beberapa waktu sebelumnya. Selain itu, nafsu makan pada awal pemeliharaan menurun sehingga menyulitkan dalam upaya penanganan. Namun kondisi wadah pemeliharaan yang selalu terjaga suplai airnya melalui pergantian air dan penyiponan pada dasar bak, secara perlahan ikan menunjukkan penurunan terhadap gejala stres yang timbul. Pada saat inilah, ikan mulai timbul nafsu makannya sehingga asupan vitamin C dan imustimulan yang dicampurkan dapat diserap. Tingkat mortalitas harian terlihat pada grafik di bawah ini. Gambar 1. Grafik mortalitas harian kerapu bebek, C. altivelis yang terinfeksi iridovirus selama perlakuan 40 35 30 25 3 20 2 15 1 10 5 0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 Penurunan mortalitas pada perlakuan 1 juga terlihat lebih cepat dibanding perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ikan kerapu bebek yang diberikan vitamin C dengan dosis lebih tinggi memberi respon imun yang positif. Vitamin C mampu meningkatkan ketahanan tubuh ikan terhadap kondisi stres, hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan total leukosit dalam darah. Leukosit berfungsi sebagai sistem pertahanan tubuh ikan yang bereaksi terhadap gangguan dari luar (Moyle dan Cech, 1988 dalam Putri, 2003). Menurut Suprayudi, dkk (2006) menyatakan bahwa penambahan 100 ppm vitamin C pada pakan uji dapat meningkatkan respon imunitas ikan kerapu bebek terhadap kondisi stress lingkungan berupa perubahan salinitas. Produk vitamin C yang digunakan untuk kegiatan ini, pada setiap gram mengandung 400 mg vitamin C, yang berarti jika pada perlakuan 1 menggunakan sebanyak 5 g akan terkandung 2.000 mg vitamin C. Hal tersebut juga disampaikan oleh 33 Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016 Sakai (1999), bahwa penggunaan vitamin C dengan dosis tinggi (lebih dari 1.000 mg/kg) meningkatkan respon kekebalan tubuh. Ditambahkan juga bahwa penggunaan vitamin C dosis tinggi meningkatkan kekebalan tubuh ikan terhadap infeksi bakteri (Liu et al., 1989; Wahli et al, 1995 dalam Sakai, 1999; Hardie et al, 1991). Selain itu, diduga perbedaan kepadatan ikan menjadi salah satu faktor yang memengaruhi jumlah mortalitas pada diantara ketiga perlakuan. Pada perlakuan 3, jumlah ikan sebanyak 231 ekor, sehingga menimbulkan stres dan memperparah kondisi ikan. Sedangkan pada perlakuan 1 dan 2, jumlah ikan lebih sedikit dibandingkan pada perlakuan 3 sehingga tingkat adaptif ikan lebih cepat karena dalam kondisi yang nyaman. Deteksi iridovirus dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan terhadap ikan yang mati dan diambil secara sampling. Dari hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa ikan positif terinfeksi iridovirus pada ketiga perlakuan. Hasil uji terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil deteksi iridovirus dengan metode PCR terhadap ikan yang mati. Hasil uji PCR dari ikan uji pada sampling Hasil uji PCR dari ikan uji yang mati akhir Hari keA B C A B C 1 Positif Positif Positif * * * 5 Positif Positif Positif * * * 10 Positif Positif Positif * * * 15 * Positif Positif * * * 20 * * Positif * * * 24 Positif Positif Positif * * * 28 Negatif Negatif Positif * * Positif * = tidak ada ikan yang diuji karena tidak ada kematian. Dari Tabel 2 diatas, terlihat bahwa ikan-ikan yang mati pada masing-masing perlakuan setelah dilakukan pengujian dengan metode PCR ternyata positif terinfeksi iridovirus. Hal ini menunjukkan bahwa ikan kerapu bebek yang mati disebabkan oleh virus iridovirus. Pada ikan yang mati dilakukan pemeriksaan klinis dan menunjukkan adanya perubahan pada beberapa bagian tubuhnya antara lain warna tubuh yang terlihat lebih gelap, insang yang pucat. Sedangkan pada organ dalam terlihat perubahan pada beberapa organ seperti adanya pembengkakan pada bagian limpa. Ciri-ciri tersebut mirip dengan yang dinyatakan olah Koesharyani, dkk (2001) bahwa ikan yang terinfeksi terlihat ikan berenang lemah di permukaan air, atau berdiam di dasar bak. Ikan terlihat berwarna lebih gelap dan ditandai anemia yang berat pada insang, hati terlihat berwarna lebih gelap, dan adanya pembengkakan pada limpa. Adapun organ target dari iridovirus adalah jaringan pembuat darah (haematophoietic tissue) yaitu limpa dan ginjal. Iridoviridae merupakan famili dari virus yang termasuk dalam genom dsDNA (virus DNA sitoplasmik) dengan bentuk icosahedral. Famili ini memiliki lima genera yaitu Chloriridovirus, Iridovirus, Lymphocystivirus, Megalocytivirus, dan Ranavirus. Diameter virus ini bervariasi antara 120 – 240 nm serta berkembang pada sitoplasma sel-sel yang terinfeksi (Inouye et al. dalam Mahardika et al, 2004). Hasil uji deteksi PCR terlihat pada Gambar 2 di bawah ini. 34 Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016 1 Gambar 2. 2 3 4 5 6 8 9 Deteksi virus dengan PCR terhadap ikan kerapu bebek pada masing-masing perlakuan. 1). Kontrol positif, 2-3). Hasil amplifikasi iridovirus dari perlakuan A, 4-5). Hasil amplifikasi iridovirus dari perlakuan B, 6-8). Hasil amplifikasi iridovirus dari perlakuan C, 9). Kontrol negatif. A Gambar 3. 7 B A). Ikan yang mati terinfeksi iridovirus yang ditandai dengan warna tubuh terlihat lebih gelap, B). Pembengkakan organ limpa pada ikan yang terinfeksi irirdovirus. Secara histopatologi ditemukan sel-sel yang membesar atau biasa disebut ballooned cell, heteromorphic ballon cells, productively infected cells, giant cells, basophilic enlarged cells, merupakan ciri khas dari infeksi iridovirus pada jaringan haematopoitik dan saluran pencernaan (Danayadol et al dalam Mahardika et al., 2004). Pada akhir kegiatan, dilakukan pengujian PCR dari ikan yang masih hidup pada masing-masing perlakuan 1, 2 dan 3. Hasil uji PCR deteksi iridovirus menunjukkan pada perlakuan 1 dan 2 menunjukkan hasil negatif, sedangkan pada perlakuan 3 masih terdeteksi positif. Hal tersebut menunjukkan adanya pemulihan kembali (recovery) dari ikan yang terserang iridovirus. Kemampuan untuk pemulihan kembali (recovery) juga dinyatakan oleh Mahardika dkk (2004) dimana ikan kerapu macan, E. fuscoguttatus yang telah diinfeksikan dengan iridovirus mampu untuk pulih kembali. Data kualitas air selama kegiatan masih berada dalam kisaran normal untuk keperluan budidaya. Data kisaran kualitas air disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kisaran kualitas air selama kegiatan Perlakuan Parameter A B C Suhu (°C) 29.8 ± 0.6 30 ± 0.7 30.1 ± 1.0 Salinitas (ppt) 31.7 ± 0.8 31.6 ± 1.0 31.7 ± 0.9 Oksigen terlarut (mg/L) 4.6 ± 0.8 4.5 ± 0.8 4.6 ± 0.9 pH 8.27 ± 0.1 8.3 ± 0.1 8.3 ± 0.2 35 Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016 KESIMPULAN Pemberian bahan imunostimulan berupa vitamin C dan imunostimulan dengan dosis 5 g dan 5 ml per kilogram pakan memberikan hasil yang lebih baik dalam menekan mortalitas pada ikan kerapu bebek yang telah terinfeksi iridovirus dibandingkan pemberian perlakuan lain dengan dosis yang lebih rendah. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2012. IQ2000 irido instruction manual. GeneReach Biotechnology Corp. Taiwan. Chua, F.H.C., M.L.Ng, K.L.Ng, I.J. Loo, and J.Y Wee. 1994. Investigation of Outbreaks of a Novel Disease, Sleepy Grouper Disease, Affecting the Brown-spotted Grouper, Epinephelus tauvina, Forskal. J. Fish Dis. 17. Hardie, L.J., Fletcher, T.C., Secombes, C.J. 1991. The effect of dietary vitamin C on the immune response of Atlantic salmon (Salmo salar). Aquaculture 95. Koesharyani, I., Des Roza, Ketut Mahardika, Fris Johnny, Zafran dan Kei Yuasa. 2001. Penuntun Diagnosa Penyakit Ikan-II. Penyakit Ikan Laut dan Krustase di Indonesia. Kerjasama Balai Penelitian Perikanan Laut Gondol dan Japan International Cooperation Agency. Liu, O.R., Plumb, J.A., Guerin, M., Lovell, R.T. 1989. Effects of megalevels of dietary vitamin C on the immune responses of channel catfish Ictaurus punctatus in ponds. Dis. Aquat. Org. 7. Mahardika, K., Zafran, F. Johnny dan Des Roza. 2004. Tingkat Kerentanan Ikan Kerapu Macan, Epinephelus fuscoguttatus Dalam Berbagai Umur Terhadap Infeksi Iridovirus. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Putri, I. 2003. Pengaruh sari buah mengkudu (Morinda citrifolia) terhadap pertumbuhan dan gambaran darah ikan gurame (Osphronemus gouramy). Skripsi. Fakultas Perikanan IPB. Bogor. Rukyani, A., P. Taufik dan A. Yuliansyah. 1993. Laporan Survei Kasus Kematian Ikan Kerapu (Grouper) di Daerah Sumatera Utara. Laporan Kerja Sama Puslitbangkan dengan Dinas Perikanan Tanjung Pinang. Sakai, M. 1999. Current research status of fish immunostimulants. Aquaculture 172.Sunarto, A. 2013. Menyingkap tabir kematian kerapu di Mandeh (artikel). Majalah INFHEM Vol. 2 No. 2. Sunarto, A. 2013. Vaksin dan imunostimulan. Materi Pelatihan Vaksinator Ikan Angkatan ke-4. Jepara. Suprayudi, M. A., Indriastuti, L. dan Setiawati, M. 2006. Pengaruh penambahan bahan-bahan imunostimulan dalam formulasi pakan buatan terhadap respon imunitas dan pertumbuhan ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis. Jurnal Akuakultur Indonesia, 5(1). 36