BAB III PERJAMUAN KUDUS A. PENDAHULUAN C.J den Heyer mengatakan bahwa Perjamuan Kudus bertolak dari Firman Tuhan dan tradisi. Kata-kata yang Yesus ucapkan pada perjamuan terakhir bersama dengan para murid yang disertai dengan tindakan yang memadai hanya dapat dipahami bertolak dari tradisi Yahudi Kuno berdasarkan Perjanjian Lama tentang perayaan Paskah dan jamuan makan bersama.1 Ucapan-ucapan Yesus yang singkat pada waktu Ia mengadakan perjamuan terakhir bersama para muridNya (Mrk 14:22-25, Mat 26:26-29, Luk 22-14-20) yang dikenal sebagai “Amanat Penetapan Perjamuan Malam,” juga surat Paulus di Korintus (1 Korintus 10;14-22 dan 11:17-34) tentang “Perjamuan Tuhan” merupakan dua petunjuk dan alasan yang kuat bagi gereja menetapkan dan memberi makna atas Perjamuan Kudus. Pemahaman Gereja yang berbeda-beda tentang Perjamuan Kudus, kadangkala menjadi salah satu alasan terjadinya konflik dalam Gereja yang berakhir dengan skisma.2 Perbeda itu tidak hanya di antara Gereja Protestan dan Katolik, akan tetapi di antara gereja-gereja Protestan juga terjadi hal yang sama. Tanpa mempersoalkan pemahaman yang berbeda itu, di bagian ini penulis akan mengelaborasi latar belakang sosio-teologis dan makna Perjamuan Kudus dalam pengajaran Gereja. 1 C.D den Heyer, Perjamuan Tuhaan: Study Mengenai Paskah dan Perjamuan Kudus Bertolak dari Penafsiran dan Teologi Alkitabiah, (Jakarta: BPK-GM, 1997), xi 2 Ibid 56 B. LANDASAN SOSIO-TEOLOGIS PERJAMUAN KUDUS 1. Perjamuan Kudus dalam Tradisi Perayaan Paskah Yahudi Paskah (Pessakh) sesungguhnya berasal dari tadisi suku Keni di Mesir. Tradisi ini adalah semacam pesta keluarga yang dilakukan oleh para peternak di musim semi.3 Di musim semi biasanya domba dan kambing beranak, sehingga untuk menjaga keselamatan dan menjamin kesuburan kawanan kambing dan domba diadakanlah ritual penyembahan kepada dewa. Kepala keluarga memilih salah satu anak domba yang terbaik, menyembelihnya dan memercik darahnya di tiang tenda, untuk menolak bala.4 Demikian juga saat musim menuai, suku Keni melakukan ritual pemujaan terhadap dewi kesuburan dengan membawa hasil-hasil terbaik dari pertanian mereka. Kedua ritual ini biasanya dilakukan di kuil atau juga di rumah. Israel memberi makna baru terhadap perayaan Paskah. Paskah dipahami sebagai peristiwa perbuatan Allah yang telah membebaskaan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Paskah (Ibr: Pesakh) dan (Yunani: Paskha) berarti melewatkan, yakni kisah Allah membunuh (Pesakh) anak-anak sulung Mesir.5 Menjelang Israel keluar dari Mesir, Allah memberi perintah kepada Musa supaya tiap-tiap keluarga menyembelih anak domba jantan dan memercikan darahnya di setiap pintu, agar ketika Allah melalui rumah-rumah Israel, mereka terhindar dari kematian anak sulung. Peristiwa keluaran memberi inspirasi dan lambang pengharapan bagi banga Israel. Untuk mengenang peristiwa ini, setiap tahunnya bangsa Israel melaksanakan pesta Paskah. Allah telah membebaskan Israel dari Mesir dan mengaruniakan kepada mereka “suatu negeri yang baik dan luas, negeri yang berlimpah susu dan madunya.” 6 Setiap 3 C. Groenen, Pengantar Ke dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), 61 H.H Rowley, Ibadat Israel Kuna, (Jakarta: BPK-GM, 1983), 36 5 Ibid., 11 6 E. Martasudjito,Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgi dan Pastoral, (Yogyakarta: Kanisius, 4 2005), 28 57 tahun Exodus dari Mesir tetap terkenang; suatu kenangan yang membangkitkan kembali keberanian dan kekuatan yang membawa pengharapan dan kerinduan akan pembebasan yang datang dari Allah sendiri. Itulah makna pesta Paskah yang tetap hidup bagi orang Yahudi di antara masa lampau dan masa depan. 7 Paskah dirayakan dengan motivasi membarui sikap dan pengucapan syukur dengan sukacita. Pembaruan sikap yang dimaksud adalah perubahan dari hidup lama sebagai bangsa tanpa identitas menjadi umat Allah.8 Perayaan pesta Paskah Yahudi (Hag ha-pesakh) biasanya jatuh pada musim semi bulan Maret- April, masa ketika bunga bermekaran, yakni pada tanggal 14 Nisan di saat bulan purnama atau berselang 1-2 hari sesudah bulan purnama. Biasanya setelah perayaan Paskah disusul dengan perayaan Roti tidak beragi. Tradisi Paskah ditandai dengan masing-masing kepala keluarga membunuh seekor domba jantan yang berumur setahun pada hari ke sepuluh bulan Abib dan disembelih pada hari ke empatbelas. 9 Darah domba dipercik di pintu sebagai tanda pembebasan dan penebusan. Bulan Abib dikenal kemudian dengan nama bulan Nisan artinya “awal bulan” atau “permulaan dari tahun keagamaan.” Kitab Keluaran mencatat bahwa “Paskah bagi Tuhan” adalah sebuah seremonial yang sangat penting dilaksanakan dan biasanya diikuti dengan perayaan “roti tidak beragi” (matsot).10 7 Martasudjita, Ekaristi,…, 50 Rasid Rahman, Hari Raya: Hari Raya Liturgi, (Jakarta: BPK-GM, 2015, 13 9 Samuel J. Schutz, The Old Testament Speaks, (San Fransisco: Haper and Row Publisher, 8 1990), 65 10 Paskah dilakukan di rumah masing-masing (berupa perjamuan keluarga) yang dimulai setelah senja. Domba disembelih (pesakh) di Bait Allah dan darahnya dipercik di atas altar, dagingnya dipanggang lengkap dengan kepala sampai beserta perut menjadi hidangan utama di atas meja. Sehabis perjamuan, sisa daging yang tinggal sampai pagi, dibakar habis dengan api. Tata cara perayaan (seder) itu adalah sebagai berikut: Setelah matahari terbenam tanda dimulainya hari Paskah Pertama, anggota keluarga (sepuluh sampai limabelas orang) berkumpul di ruang keluarga. Sebelum memulai anak-anak mencari sisa ragi dan membuangnya (bedicat chametz), kemudian nyonya rumah menyalakan lilin-lilin paskah (handlakat he-nerot). Pemberkatan lilin dan cawan anggur pertama (kaddesh,) dan mencuci tangan (urchatz). Makanan yang disiapkan dalam jamuan ini adalah domba paskah, sayur pahit, roti dan cawan 58 Pada Perjamuan Paskah, domba Paskah adalah sesuatu yang sagat penting. Bahkan perjamuan Paskah tanpa domba Paskah benar-benar tidak lengkap. Mengapa? Karena menurut kisah Exodus, domba Paskah memegang peranan penting dalam lingkup kesepuluh tulah yang dijatuhkan Allah kepada Mesir. Kematian seluruh anak sulung lakilaki Mesir menyebabkan bangsa Israel harus menyembelih anak domba dan menyekakan darahnya di ambang pintu rumah mereka. Darah domba itulah yang telah menyelamatkan (Passover) bangsa Israel dan anak-anak sulung mereka dari wabah kematian. Peristiwa itu sekaligus menjadi “kunci kendaraan” bagi Israel pada saat meninggalkan Mesir. Selain unsur di atas, ada empat cawan yang tersedia di atas meja, yaitu: 11 cawan pertama merupakan cawan pembuka disertai beberapa ucapan untuk memberkati hari raya tersebut. Cawan kedua diberikan setelah penjelasan mengapa hari raya itu dirayakan, cawan ketiga diberikan setelah menyantap domba paskah, roti tidak beragi dan sayur pahit, sementara cawan keempat diberi terakhir bersamaan mazmur pujian. Meja perjamuan Paskah yang penuh dengan berbagai macam hidangan dan piala membuktikan anggur. Sebagai pembuka ialah pemecahan roti tak beragi dan memakannya (yachhatz) serta mencari afikomen. Hidangan pembuka adalah salad yang dicelupkan cuka dan air garam (karpas) dan diselingi dengan minum dari cawan anggur. Kemudian para tamu makan sayur pahit, dan haroset yaitu percampuran kenari, buah dan anggur. Banyak makanan yang dimakan pada perjamuan ini yang tidak dimakan pada perjamuan lainnya. Oleh karena itu biasanya anak-anak akan bertanya kepada orangtuanya (bapak atau kakeknya). Untuk menjawab pertanyaan itu orang tua harus menjelaskan dengan Haggadah. Artinya menceritakan hal-hal penting bagi generasi penerus berupa kisah perbudakan di Mesir dan pembebasan yang dilakukan oleh Allah. Biasanya orangtua akan memulai dengan “ dulu bapaku seorang Aram, pengembara. Ia pergi ke Mesir dengan sedikit orang saja dan tinggal di sana…”( dst seperti tertulis dalam ulangan 26:56). Setelah cerita selesai hadirin minum anggur yang ke dua (maggid) dan mencuci tangan kedua (rachtzah). Kemudian pemberkatan dan memaka roti tidak beragi (motzi atau matsah), makan sayur pahit (maror) dan makanan penutupnya (korech). Tahap berikut adalah perjamuan festival (schulchan orech) dan memakan afikomen (tzafun). Setelah makan, hadirin minum anggur ketiga dan undangan bagi Nabi Elia (barech), di antarasetiap minuman dan hidangan selalu dibarengi dengan nyanyian Mazmur (hallel), yakni pasal 113, 114 pada bagian pertama dan pasal 115-118 pada bagian penutup sebagai Mazmur Paskah. Hidangan terakhir adalah domba Paskah yang berumur sekitar setahun sehingga hanya cukup untuk sepuluh sampai limabelas orang saja. Terakhir adalah nyanyian mazmur-mazmur dan minuman anggur keempat (nirtzah). Lihat Rasid Rahman, Hari Raya,…, 12-14 11 Eko Riyadi, Lukas: Sungguh orang Ini adalah Orang Benar, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 247 59 bahwa pesta itu dirayakan dalam pengharapan bahwa pembebasan akan segera datang. Anggur yang menandakan sukacita dan gembira, benar-benar menjiwai citra Mesianik.12 Berhubung Paskah adalah puncak peringatan pembebasan, kesadaran nasionalisme Yahudi dibangkitkan dan harapan akan kedatangan Mesias yang menyelamatkan Yahudi diperteguh kembali. Maka pada saat itu ribuan peziarah kembali ke Yerusalem dan tersebar di seluruh kota merayakan pesta. Dimana-mana orang merayakan pesta dengan makan dan minum sepuasnya. Perayaan ini dimulai sejak senja dan berakhir hingga larut malam. Pesta ini penuh dengan sukacita dan kehangatan. Kota Yerusalem menjadi milik bersama, setiap peziarah berhak masuk ke dalam rumah siapapun untuk merayakan paskah dan biasanya setiap keluarga menyediakan beberapa ruangan khusus yang diberi dengan cuma-cuma bagi setiap tamu yang datang. 13 Dari penjelasan di atas, ada tiga hal yang dapat disimpulkan. Pertama, Pesta Paskah merupakan simbol kemerdekaan dan keselamatan yang dikerjakan Allah bagi umat Israel. Pesta ini selalu ditandai dengan ritual berdarah, penyembelihan binatang kurban (domba paskah) dan pemercikan darah untuk mengenang peristiwa penyelamatan (pass over) Israel dari kematian di Mesir. Kedua, Peristiwa ini menjadi simbol yang memberi identitas baru bagi Israel. Bangsa yang merdeka dan umat pilihan Allah. Identitas ini memberikan suatu kondisi yang baru bagi Israel (Yahudi) untuk memulai babak baru dalam sejarah keselamatan mereka. Dan ketiga, merupakan simbol yang memperkuat ikatan kekerabatan dan nasionalisme di antara orang-orang Yahudi. 12 13 C.D den Heyer, Perjamuan Tuhan,…, 40 JT Nielson, Kitab Injil Matius, (Jakarta: BPK-G, 2012), 93 60 2. Legitimasi Penetapan Perjamuan Kudus 2.1. Injil Sinoptik Perjamuan Malam Paskah yang dilakukan oleh Yesus bersama dengan para murid dalam catatan Matius dan Markus memiliki makna pada kematian Yesus yang dapat diraba dan didengar dalam penjelasan yang diberikanNya kepada murid-muridNya pada malam itu (Matius 26:6-29, Mark 14:22-25). Menurut Matius dan Markus kematian Yesus adalah kuban tebusan bagi dosa manusia. Yesus mempersembahkan diriNya melalui kematian di kayu salib agar manusia mendapatkan keselamatan.14. Melalui katakataNya kepada para murid malam itu, Yesus memahami bahwa diriNya adalah Ebed Yahwe dalam Deutro Yesaya yang akan mengalami penderitan dengan menuangkan darahNya dan menyerahan nyawaNya ke dalam maut (Yesaya 53:12). KematianNya menjadi Perjanjian Baru yang telah dinubuatkan Yeremia (Yer 31:33-34). Tepat pada waktu orang banyak sibuk mempersiapkan anak-anak domba yang dijadikan pada domba Paskah pada tanggal 14 Nisan (sehari menjelang Perayaan Paskah), Yesus mempersiapkan dan mempersembahkan diriNya sebagai kurban Paskah yang sesungguhnya. Ia adalah domba Paskah yang akan “disembelih” di puncak perayaan Paskah malam itu. Darah domba Paskah yang biasa ditumpahkan oleh satu keluarga untuk keluarganya sendiri, kini darah Yesus yang berharga itu dicurahkan untuk menyelamatkan semua orang. Perjamuan Paskah Yesus itu menjadi anamnesis akan penderitaan dan kematian Yesus yang membawa perdamaian.15 Tindakan Yesus memecah roti melambangkan penyerahanNya dan pengorbanan diriNya. Yesus menyerahkan tubuh dan darahNya sendiri kepada para muridNya secara simbolis melalui roti dan anggur. Sukacita Paskah yang dirayakan oleh 14 Eko Riyadi, Matius: Sungguh Ia ini adalah Anak Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 208 15 JT Nielson, Kitab Injil Matius,…, 100 61 Yesus bersama murid-muridNya adalah masa dukacita yang tidak bisa dihindari oleh Yesus. Yesus menjadi anak domba yang darahNya menggantikan darah domba biasa, untuk keselamatan semua orang.16 Darah Yesus yang ditumpahkan menjadi tanda Perjanjian Baru, antara manusia dan Allah.17 Pemahaman Lukas tidak jauh berbeda dengan Matius dan Markus. Ia mencatat roti yang diberi Yesus kepada para murid adalah tubuh Yesus yang diserahkan sebagai kurban keselamatan murid-muridNya. Yesus memberi arti baru bagi roti yang dibagikanNya itu kepada murid-muridNya sebagai simbol dari Paskah itu sendiri.18 Satu catatan Lukas yang berbeda dari Matius dan Markus adalah perbincangan Yesus kepada para murid “sejenak seusai mereka makan.” Perbincangan ini menjadi penting bagi Lukas untuk memberi salah satu makna dalam Perjamuan Kudus. Tindakan Yesus yang menjadi “pelayan meja” bagi para murid adalah sebuah keteladanan di antara para murid yang berlomba ingin menjadi yang terbesar di antara yang lainnya. Yesus membawa sebuah revolusi dengan menanggalkan dominasi dan membaktikan dirinya untuk melayani. Inilah signifikansi yang dinyatakan oleh Lukas tentang perjamuan Malam Yesus. Ajaran ini harus dimengerti oleh orang Kristen ketika mereka berkumpul dan memecahkan roti.19 2.2. Injil Yohanes Membaca sepintas Injil Yohanes hampir tidak ditemukan teks yang secara langsung menyinggung “penetapan” Perjamuan Kudus. Namun dalam catatan yang berkembang mengatakan, “sesungguhnya Yohanes dan Pauluslah yang menjadi landasan 16 Jacob Van Bruger, Markus: Injil Menurut Petrus, (Jakarta:BPK-GM, 2011), 520 David Imam Santoso, Teologi Matius, (Malang: SAAT, 2009), 210 18 Eko Riyadi, Lukas,…,248 19 Josep A Grasi, Broken Bread and Broken Bodies, (New York: Orbis Books, 1985), 66 17 62 kuat bagi gereja untuk menetapkan Perjamuan Kudus sebagai sakramen penting dalam Gereja.”20 Ada beberapa pokok pikiran Yohanes yang kemudian dipakai oleh Gereja Pertama, Pidato Yesus tentang “Roti untuk memaknai Perjamuan Kudus. Hidup”(Yohanes 6). Yohanes menyebut Yesus adalah Roti kehidupan (Yoh 6:35). Dia adalah Roti kebenaran yang diberikan Bapa yang turun dari surga dan memberi kehidupan kepada dunia. Kedua, Yohanes mencatat bahwa kematian Yesus tepat pada “Hari Persiapan Paskah” (Yoh 19:14,31). Kematian Yesus yang terjadi tepat pada waktu Perayaan Paskah Yahudi ditempatkan oleh Yohanes sebagai kematian Anak Domba Paskah yang sesungguhnya. Yesuslah Anak Domba yang akan menghapus dosa manusia (Yoh 1:29) yang dimaksud oleh Yohanes di awal pemberitaannya. Yohanes menghubungkan kematian Yesus di kayu salib dengan penyembelihan anak domba Paskah di Bait Suci Yerusalem. Dengan menemukan identifkasi ini, sesungguhnya Yohanes lebih maju jauh dari tradisi Kristen mula-mula, sehingga amanat Yesus pada saat memecah-mecahkan roti dan memberikan anggur kepada para murid sesungguhya menyatakan kesengsaraan dan kematian Yesus sendiri. Jadi bukan roti tidak beragi dan anggur yang menandakan sukacita, melainkan darah domba Paskah yang berabad-abad dikenang yang pernah melindungi umat Israel dari kematian yang keji di Mesir. Sama seperti domba Paskah di masa lalu (saat keluar dari Mesir) yang telah menyelamatkan Israel dari kematian, demikian darah Yesus (Anak domba Paskah yang baru) dicurahkan pada kehidupan setiap orang yang percaya kepadaNya. 20 Martasudjita, Ekaristi,…, 235 63 2.3. Surat Paulus Teks Paulus mengenai Ekaristi terdapat dalam suratnya yang pertama di Korintus. Surat ini bertujuan untuk menanggapi berbagai persoalan dan ketegangan yang terjadi di dalam jemaat Korintus. Salah satu persoalan itu adalah ketimpangan yang sangat “memalukan dan menghinakan” jemaat Allah pada saat orang-orang kaya melakukan perjamuan makan.21 Jemaat cenderung mengelompokan orang lain berdasarkan status sosialnya. Orang kaya seringkali menghina dan mempermalukan orang miskin yang tidak punya apa-apa. Permasalahan ini sangat serius dan berpotensi menjadi alasan terjadinya perpecahan di dalam jemaat.22 Oleh karena itu Paulus menentang kecenderungan gaya hidup komunitas yang demikian. Bagi Paulus, kesatuan di dalam sebuah jemaat adalah menjadi dasar utama perayaan dan pelaksanaan perjamuan. Komunitas yang menyatu, komunitas tanpa pembedaan status sosial adalah dasar yang dibutuhkan untuk Ekaristi. Komunitas yang terpecah belah menyelewengkan realitas ekaristi yang sesungguhnya. 23 Perintah Yesus yang disampaikan oleh Paulus di Korintus terkait Perjamuan Tuhan, dijelaskan oleh Yosep Fitzmyer dengan mengatakan: Bagi Paulus, Ekaristi adalah Perjamuan Tuhan, perjamuan makan dimana umat Allah yang baru menyantap “makanan rohani” dan meneguk 21 Martasudjita, Ekaristi,..., 236 Dalam penelitian arkaelog yang dilakukan oleh Murphy-O‟Cornor sebagaiman dikutip oleh KenanB. Osborne mengatakan bahwa umumnya ruang makan orang kaya di Korintus diseting sedemikian rupa, sehingga tamu-tamu yang datang dan ikut dalam perjamuan makan akan terlihat jelas berdasarkan tempat duduknya dan makanan apa yang ia peroleh dalam perjamuan tersebut. Tuan rumah dan tamu istimewa mendapat tempat duduk di bagian dalam ruang makan di dalam rumah dan biasanya hanya menampung 6-9 orang saja. Sedangkan tamu yang lain hanya bisa duduk di serambi rumah (ruangan terbuka). Dengan keadaan seperti itu dapat dibayangkan bahwa hanya tuan rumah dan tamu-tamunya yang kaya saja yang mendapat makanan dan minuman yang lebih banyak, sedangkan yang bukan tamu istimewa yang berada di luar hanya mendapat sedikit makanan bahkan seringkali tidak mendapat apa-apa. Mereka yang menyediakan makanan banyak tidak bersedia membagikan kepada yang berkekurangan. Jelas bahwa di Jemaat Korintus tidak ada persaudaraan, tetapi yang sangat diutamakan adalah kepentingan diri sendiri dan kelompok. “tiap-tiap orang makan makanannya sendiri, sehingga yang seorang lapar dan yang lainnya mabuk” (1 Kor 11:21). Lihat. Kenan O Osborne, Komunitas, Ekaristi dan Spiritualitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 27-30 23 Ibid., 39 22 64 “minuman rohani-nya”. Dengan tindakan ini, umat Allah yang baru menyatakan dirinya sebagai komunitas “perjanjian baru,” karena mereka berbagi pada “meja perjamuanTuhan.” Persekutuan jemaat tidak hanya menunjukan kesatuannya dengan Kristus dan jemaat yang lain, tetapi juga sebuah penyataan tentang peristiwa Kristus dan sifat eskatologisnya. 24 Oleh karena itu dalam suratnya Paulus mengingatkan dua hal. Pertama, Perjamuan Kudus adalah tidak hanya sebatas mengingat kembali makna dari kesengsaraan dan kematian Yesusdalam menebus manusia dari hukuman dosa, akan tetapi juga memberitakan kematianNya hingga Ia datang kembali.25 Untuk mengenang dan memperingati itu, setiap orang seharusnya mengucap syukur dengan penuh sukacita karena bebas dari hutang dan dosa. Sukacita itu terpenuhi di dalam kebersamaan dan kesatuan di antara sesama komunitas (jemaaat). Karena kebersamaan-kesatuan itu melambangkan kebersamaan-kesatuan dengan Kristus. Kedua, Perjamuan Tuhan adalah perjamuan Eskatologis. Itulah sebabnya Paulus berkata,“sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum anggur dari piala ini kamu memberitakan kematian Tuhan sampai ia datang” (1 Kor 11:26). Melalui Perjamuan Tuhan, kesatuan jemaat dengan Kristus dan sesama sudah terbentuk, namun di pihak lain kesatuan tersebut belum berakhir. Dalam Perjamuan Tuhan ada tanda harapan dan gambar yang mendahului pemenuhan di akhir zaman, yakni ketika Yesus datang untuk kedua kalinya. Oleh karena itu perayaan Perjamuan Kudus merupakan kesatuankebersamaan dengan Tuhan dan sesama yang menantikan kepenuhannya secara final dan kekal pada saat kedatangan Yesus yang kedua kalinya. 24 25 Kenan B Osborne, Komunitas,..., 34 Ebenhaizer I. Nuban Timo, Allah menahan Diri,..., 371 65 C. INTERPRETASI DOGMATIS TERHADAP MAKNA PERJAMUAN KUDUS Dari penelusuran sosio-teologis di atas, ditemukan tiga fakta. Pertama, pemahaman terhadap makna “Perjamuan Kudus” tidak terlepas dari makna sosial dan religius perjamuan makan Paskah dan ritus kurban dalam masyarakat Yahudi. Kedua, Istilah “Perjamuan Kudus” tidak terdapat di dalam Alkitab. Istilah ini merupakan rekonstruksi kemudian yang dibuat oleh gereja. Ketiga, perkataan Yesus di Perjamuan Paaskah malam itu yang dipertegas kembali oleh Paulus menjadi legitimasi bagi gereja untuk menetapkan Perjamuan Kudus sebagai salah satu sakramen Gereja. Secara umum Perjamuan Kudus menyimpan tiga makna. Pertama, makna kesatuan (unity) antara manusia dengan Allah. Kedua, makna keselamatan melalui pengurbanan Yesus (Jesus sacrifice). Ketiga, makna pengharapan akan kehidupan pada kedatangan Yesus yang kedua kalinya. 1. Perjamuan Kudus adalah Jamuan Makan Bersama Yesus Persitiwa jatuhnya manusia ke dalam dosa di Taman Eden disebabkan oleh makan/makanan. Adam dan Hawa menjadi berdosa karena tiga hal, 26 mereka makan sendiri-sendiri, mereka makan sembunyi-sembunyi dan mereka makan membelakangi Tuhan.27 Semua perbuatan ini adalah perbuatan yang telah dipengaruhi oleh Iblis. Perjamuan makan yang dilakukan oleh Yesus dengan mengundang manusia makan bersama menjadi tanda penyelesaian dosa tersebut. Perjamuan yang dilakukan oleh Yesus adalah sebuah perjamuan yang menggambarkan Perjamuan Kerajaan Allah yang di dalamnya manusia makan bersama-sama, manusia makan secara terbuka (setiap orang mendapat jatah yang sama), dan makan di hadapan Allah. Tiga cara makan ini berkaitan erat dengan tiga isi karya pendamaian, yakni berhubungan pembenaran, 26 Ibid., 359 Hal ini diperlihatkan dengan jelas oleh Yudas di malam Perjamuan Paskah yang dirayakan oleh Yesus. Setelah Ia menerima roti, Ia pergi dan membelakangi Yesus ( Yoh 13:20-36) 27 66 pengudusan dan penugasan. Makan bersama-sama berhubungan dengan pembenaran (justification), makan secara terbuka berhubungan dengan pengudusan (sanctification), dan makan di hadapan Allah berhubungan dengan penugasan (vocation).28 Perjamuan makan di dalam Perjamuan Kudus adalah tanda dari karya pendamaian antara manusia dengan Allah yang di dalamnya ketiga karya pendamaian tersebut di atas ada. Pertama, pembenaran. Persekutuan orang-orang yang makan bersama menerima roti dan anggur yang sama, mengelilingi satu meja yang sama adalah representasi pembenaran yang dilakukan oleh Kristus melalui Roh Kudus bagi manusia. Saat manusia masih terasing dari Allah, manusia makan sendiri-sendiri yang pada akhirnya menimbulkan kecurigaan, saling mempermasalahkan, dan tidak ada kejujuran. Kebenaran yang ada hanyalah kebenaran dari sudut pandang aku dan engkau. Makan sendiri-sendiri, menimbulkan disharmonisasi dalam sebuah komunitas. Akan tetapi makan bersama di meja Perjamuan Kudus, mengajarkan orang untuk saling berbagi dan meninggalkan egoismenya. Park Jae Soon mengatakan bahwa, ”gerakan persekutuan di meja makan yang diprakarsai oleh Yesus adalah gerakan yang membebaskan manusia dari egoisme kepada persekutuan sejati yang telah diperdamaikan.”29 Makan bersama di meja Perjamuan Kudus menandakan bahwa tidak ada kecurigaan dan sikap saling mempersalahkan. Karena setiap orang menerima roti dan anggur dalam ukuran yang sama. Perjamuan itu adalah perjamuan transparan dimana semua orang bisa melihat satu dengan yang lainnya. Kebenaran yang ada adalah kebenaran bersama. Orang saling mengampuni, sehingga persekutuan semakin kuat dan kokoh. 28 Nuban Timo, Allah Menahan Diri,…, 359 Park Jae Soon, Jesus: Table Community Movement and The Church” dalam Asia Journal of Theology Vol 7, Number 1, April 1973, 74 29 67 Dalam pandangan Yesus makanan adalah simbol sentral kerajaan, yaitu suatu keadaan dimana semua diterima pada meja perjamuan dan semua memiliki secukupnya.30 Makan dan minum bersama menghadirkan suasana dunia ilahi dan persekutuan dengan Allah. Oleh karena itu itu beberapa pendeta agama lokal menjelaskan bahwa makan bersama dalam ritual-ritual tradisional mengandung pesan kesediaan dari peserta ritus untuk menjadikan darah dan daging mereka pesan dan nilai-nilai yang terkandung di dalam pelaksanaan ritus, pasca penyelenggaraan ritual-ritual dimaksud.31 Perjamuan makan dalam Perjamuan Kudus berhubungan dengan karya kedua, yakni, pengudusan. Perjamuan makan dalam Perjamuan Kudus adalah representasi jamuan makan di dalam terang dan di tempat yang terbuka dan melaluinya manusia telah dikuduskan oleh karya Kristus melalui Roh Kudus. Tentu hal ini merupakan tindakan terbalik dari sikap makan sendiri-sendiri dan di tempat yang tersembunyi. Orang yang makan di tempat terbuka biasanya akan mengambil secukupnya karena melihat orang lain yang belum makan. Itulah nilai yang membedakan orang yang suka makan sendiri dan sembunyi-sembunyi. Sebagai jamuan makan yang diundang oleh Yesus, Perjamuan Kudus mengajarkan sebuah kesempatan bagi setiap orang untuk bersedia membagikan hasil keringat sendiri kepada orang lain, terutama dengan mereka yang lapar dan berkekurangan. Makan bersama dengan mereka yang lapar adalah simbol sentral dari kerajaan Allah. Takenaka mengatakan, “kalau setiap mulut dalam dunia yang didiami orang penuh dengan makanan sehari-hari maka kita akan memiliki damai di bumi. Kedamaian di bumi adalah gambaran kedamaian di surga. Berbagi makanan dan makan di 30 Fransiskus Borgias, Teologia Makan: Menyimak Kitab Suci Sebagai Kritik Kebudayaan, Forum Biblika No. 18 (Jakarta: LAI, 2005), 31 31 Ebenhaizer Nuban Timo, Allah menahan Diri,…, 237 68 tempat terbuka secara terang-terangan berarti berbagi surga. Menumpuk makanan bagi diri sendiri dan makan sendiri-sendiri berarti berada dalam perjalanan ke neraka.”32 Perjamuan makan berkaitan dengan ciri penyelamatan yang ketiga, penugasan manusia. Makan di hadapan Allah berhubungan dengan tugas khusus (misi) yang harus dikerjakan oleh manusia. Pada saat Allah memerintahkan Musa agar Israel makan domba Paskah dalam keadaan pinggang terikat, menggunkan kasut kaki, memegang tongkat dan makan tergesa-gesa, bukan supaya mereka menetap di Israel. Akan tetapi mereka makan karena mereka akan segera melakukan perjalanan yang jauh, makan untuk keluar dari Mesir, keluar dari rumah perbudakan. Ada satu tugas dan tanggungjawab yang harus dikerjakan sesaat setelah orang berpartisipasi di jamuan makan Perjamuan Kudus di hadapan Allah. Tugas tersebut adalah memberitakan kematian Kristus sampai Ia datang kedua kalinya. Makan dengan menyelesaikan tugas memiliki hubungan yang sangat erat. Dan inilah yang menjadi sentral dari Perjamuan Kudus yang dilakukan oleh Gereja. Upacara ini dilaksanakan sebagaimana dipesan oleh Yesus dengan tugas yang harus dilaksanakan. Paulus juga menegaskan hal yang sama, “sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu harus memberitakan kematian Tuhan sampai ia datang” (1 Kor 11:26). Demikian juga saat Perjamuan Kudus selesai, Imam berkata kepada seluruh jemaat, ”pulanglah kamu ke dalam hidup, rumah tanggamu, dan tugasmu. Ingatlah menjadi saksi Kristus dalam seluruh laku hidupmu.” Makan untuk pergi menjadi saksi Kristus, menunjukkan pembenaran dan pengudusan yang telah dilakukan Yesus Kristus kepada dunia, untuk menjadi terang yang bercahaya di depan orang, supaya 32 Ebenhaizer Nuban Timo, Makanan adalah Surga, (Jakarta:BPK-GM, 2015), 39-46 69 mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu di surga (Matius 15:16). 2. Perjamuan Kudus adalah Ibadah Pendamaian Manusia dengan Allah Salah satu makna yang terpenting dalam perjamauan Kudus adalah pengorbanan Yesus (Jesus Sacrifice). Dalam uraian sebelumnya penulis telah menjelaskan bahwa sistem dan hukum ritual kurban di dalam PL menjadi kuci utama dalam memahami pengorbanan Yesus yang senantiasa diingat, dikenang dan dihayati di dalam Perjamuan Kudus. Dalam perasaan, kenangan dan penghayatan orang Kristen, Yesus adalah kurban tebusan, kurban pendamaian, darahnya menjadi simbol perjanjian yang baru antara manusia dengan Allah. Yesus adalah tebusan (ransom) Penebusan berasal dari kata menebus yang berarti membeli kembali sesuatu yang dulunya menjadi milik anda. Menebus juga berarti mendapatkan sesuatu dengan membayar uang tebusan. Tebusan atau penebusan dalam tradisi Alkitab dikenal dengan sebutan “ransom”. Istilah rasom berkembang dalam pelaksanaan ritual kurban bakaran di Israel dalam rangka pendamaian antara manusia (Israel) dengan Allah. 33 Dalam teks PL, ransom (tebusan) adalah sesuatu hal yang harus dibayar oleh seseorang untuk terluputkaan dari penderitaan ataupun kematian. Tebusan (ransom) dapat berupa uang ataupun berupa penderitaan orang lain, atau binatang pengganti untuk manusia (Bilangan 8:10-12). Nampaknya hal ini juga kelihatan dalam Imamat 17:11 bahwa nyawa binatang ada di dalam darahnya, darah itu diberikan kepada Allah di atas mezbah untuk mendamaikan manusia dengan Allah. Allah dalam kemurahanNya mengizinkan manusia yang penuh 33 Gordon J Wenham, The Book Of Leviticus,(Michigan: Grand Rapids, 1979), 59 70 dosa untuk mempersembahkan sebuah tebusan (ransom) untuk dosa-dosanya, sehingga manusia dilepaskan dari kematian.34 Ada beberapa kasus dalam Alkitab yang seringkali dikaitkan dengan istilah ransom. Pertama, kasus kelaparan yang dialami oleh orang Israel akibat dari perbuatan Saul yang telah membunuh orang-orang Gibeon (2 Sam 21:3-6). Untuk mendamaikan hal tersebut, Daud harus membayar tebusan. Kematian beberapa anggota keluarga Saul adalah menjadi sebuah tebusan (ransom) untuk melindungi kelurga Saul yang lain dan bangsa Israel juga. Kedua kasus perzinahan yang dilakukan oleh seseorang yang sudah beristri, untuk mendamaikan masalah tersebut maka suami harus membayar kompensasi yang disebut dengan tebusan (ransom). Hal ini sebenarnya adalah semacam izin untuk menggantikan hukuman maksimal di Timur Dekat Kuno pada umumnya, akan tetapi sebuah pengecualian dalam mempertimbangkan kasus-kasus pembunuhan di dalam PL. Dalam penggunaan secara modern, istilah ransom cenderung diartikan sebagai sejumlah pembayaran yang diberikan kepada teroris untuk membebaskan para sandera. Acapkali hal ini melibatkan pembayaran atas sebuah tindakan dan perilaku yang illegal. Akan tetapi dalam PL pembayaran tebusan merupakan suatu tindakan yang sangat manusiawi. Ini adalah sebuah penghargaan yang diberikan kepada seseorang yang seharusnya menerima hukuman mati.35 Jika seseorang memiliki domba jantan yang mengamuk dan mengakibatkan kematian bagi orang lain, maka pemiliknya harus bertanggungjawab dalam arti ia harus dihukum mati. Akan tetapi pengadilan memutuskan untuk menyelamatkannya jika dia mau membayar tebusan (ransom). Teologia penebusan atau uang tebusan (ransom) berkembang di abad pertengahan yang digagas oleh Anselmus. Menurut 34 35 Ibid., 61 Ibid., 60 71 Anselmus, “ manusia berutang sesuatu kepada Allah, dan utang ini haruslah dibayar, akan tetapi tidak ada seorangpun yang bisa menyelesaikan utang ini kecuali Allah sendiri, tetapi tidak ada seorangpun yang melakukannya kecuali manusia. Jika tidak, maka manusia tidak dapat menyelesaikannya. Karena itu perlu satu pribadi yang adalah Allah-manusia untuk melakukannya. Pribadi yang sama untuk melakukan penebusan itu harus Allah dan manusia yang sempurna, tidak ada seorangpun yang dapat melakukannya, kecuali Dia. Oleh karena inilah Allah menjelma di dalam Kristus dan menyerahkan diriNya demi kehormatan Allah.” 36 Penebusan bukanlah hal sepele mengenai “membuat orang menjadi saleh,” akan tetapi penebusan adalah bagian dari karya Allah yang sama pentingnya dengan penciptaan. Seluruh kehidupan manusia telah diracuni oleh kejahatan, akan tetapi Allah memberikan penawarnya kepada manusia yakni penebusan oleh Yesus Kristus. Manusia membutuhkan seorang penebus karena ia selalu terbelenggu oleh dosa-dosanya. Jean Jacques Rousseau mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan bebas, akan tetapi ia akan terbelenggu setelah ia lepas dari kodrat alaminya. 37 Manusia yang bebas adalah manusia patuh terhadap hukum, akan tetapi manusia cenderung tidak patuh dan ingin menguasai yang lainnya secara berlebihan dan mengakibatkan dirinya menjadi anarkis. Inilah hal-hal yang membelenggu manusia, keinginan-keinginan hatinya yang melampaui kekuatan dirinya yang dapat merusak dirinya sendiri maupun orang lain.38 Itulah dosa yang dimaksud oleh Alkitab. Dosa terjadi karena pengaruh kekuatan si Jahat Iblis. Ia menggoda dan menguasai hati manusia, 36 John Stott, The Incomparable Christ, (Surabaya: Momentum, 2001), 87 Jean Jacques Rousseau, The Social Contract, translated and introduced by Maurice Cranstone, (Midlesex-England: Penguin Book, 1968), 49 38 Ibid 37 72 sehingga ada sejuta keinginan daging yang kuat, kebiasaan dan kecanduan yang menyebabkan manusia hidup di bawah penderitaan.39 Dalam Perjanjian Lama kisah “eksodus” adalah peristiwa penebusan terbesar yang telah dilakukan oleh Allah kepada Israel diantara bangsa-bangsa yang lain. Peristiwa itu dilakukan dengan bayaran yang sangat mahal yang harus ditanggung oleh bangsa Mesir dengan kematian seluruh anak sulung (laki-laki) mereka. Sementara bayaran yang harus ditangggung oleh Israel adalah dengan menyembelih kurban anak domba dan darahnya dipercik di setiap pintu rumah mereka. Dalam Perjanjian Baru ide tentang tebusan digunakan pada apa yang telah dilakukan oleh Yesus kepada manusia melalui pengorbanan dirinya di atas kayu salib. Markus memberi kesaksian bahwa kedatangan Yesus di dunia bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani dan memberikan nyawanya menjadi tebusan bagi orang banyak (Markus 10:45). Yesus telah menebus dan menyelamatkan manusia dari tempat perbudakan dengan cara menempatkan diriNya di bawah perbudakan yang sama. Dia tidak saja hanya mengangkat dosa manusia, tetapi ia telah datang bersama dengan manusia dalam batas terakhir yakni kematian.40 Dia telah membuat dirinya sama seperti manusia mengalami kematian, tetapi kematianNya tidak sekadar kematian biasa, melainkan menjadi tebusan bagi manusia. Tidak ada Penebus dan Juruselamat yang seperti Yesus yang kedatanganNya untuk menderita dan mati bagi manusia. Dalam catatan Petrus, manusia ditebus bukan dengan emas dan perak, tetapi ditebus dengan darah yang tidak tercemar, tanpa noda, dan darah itu adalah darah Yesus (1 Petrus 1:18-19). Petrus menekankan bahwa kematian Yesus adalah kematian 39 Reinhard Bonnke, The Romance of Redeeming, (Yogyakarta: E-R Production and Andi, 40 Lesslie Newbigin, Sin and Salvation, (London: Northumberland Press Limited, 1956), 2011), 14 66,80-83 73 anak domba yang dikurbankan di Bait Suci di Yerusalem sesuai dengan hukum Yahudi. Dia memberi hidupNya bukan saja hanya untuk manusia, akan tetapi menggantikan manusia di tempat dimana seharusnya mereka ada. Paulus juga mencatat hal yang sama. Menurut Paulus, Yesus telah menebus dan mendamaikan manusia dan Allah dengan darahNya sendiri. Kristus telah menyerahkandiriNya sebagai persembahan dan korban harum bagi Allah (Efesus 5:2). Yesus perlu menebus manusia, karena manusia telah melawan Allah dan telah kehillangan kemuliannya. Harga tebusan yang bisa menyelamatkan manusia dari hukuman tersebut adalah nyawa Yesus sendiri. DarahNya memberi pengampunan, dalam darahNya manusia memperoleh penebusan. “Demikianlah kiranya mereka yang ada di dalam Kristus, pada akhirnya diselamatkan dari hukuman Allah (Roma 8:1)”. Di masa Perjanjian Lama setiap hari imam-imam besar harus mempersembahkan korban untuk dosanya sendiri dan umat, akan tetapi Krisus mempersembahkan diriNya sekali untuk semua dan selamanya. Kristus telah mempersembahkan diriNya kepada Allah sebagai persembahan yang tidak bercacat (Ibr 9:14). Penebusan Yesus adalah sempurna. UcapanNya “sudah selesai” di atas kayu salib, bukan saja hanya bukti secara teologis, akan tetapi merupakan bukti secara antropologis. “Sudah selesai” dalam bahasa Yunani disebut “Tetelestai”. Kata ini berasal dari kata “teleό” artinya mengakhiri dengan sempurna. Berdasarkan hasil penemuan arkaelog, kata ini biasanya tertulis dalam dokumen/ surat perjanjian utang-piutang. Jika kata ini sudah tertera dalam sebuah nota atau surat utang, itu artinya hutang tersebut telah dibayar dengan lunas dan tidak ada penambahan utang lagi. Kata ini juga seringkali diucapkan oleh seorang pelukis ataupun pengukir. Jika ukiran ataupun lukisannya sudah selesai dan tidak ada yang perlu ditambahkan lagi, maka ia akan mengatakan “tetelestai74 sudah selesai”, perfecto!- sempurna! Dengan demikian saat Yesus mengucapkan kata “Sudah selesai” itu sama artinya bahwa hutang manusia telah lunas, telah ditebus dengan harga yang sangat mahal. Ditebus dengan kehidupan Yesus sendiri. Penebusan itu telah diselesaikan pada masa lalu dengan hasil yang tetap berlanjut sampai sekarang. Penebusannya sempurna! Tidak akan ada lagi tebusan atau penebusan yang lainnya. Sudah selesai! Ya, Rencana sepanjang sejarah untuk menebus manusia sudah selesai dikerjakan oleh Yesus.41 Pekerjan yang dilakukan oleh Yesus di dunia sudah rampung. Tugas menyeleksi dan melatih para duta sudah selesai. Pekerjaan sudah selesai. Lagu telah dinyanyikan. Darah sudah mengalir. Pengorbanan telah terjadi. Sengat kematian sudah dicabut. Habislah sudah. Apakah itu teriakan karena kekalahan? Bukan! Kalau tangannya tidak diikat, pasti kemenangan diacungkan ke langit gelap itu. Ini adalah teriakan pekerjan sudah selesai. Teriakan kemenangan. Teriakan pemenuhan dan teriakan kelegaan. Yesus lega, karena kematian-Nya adalah kematian yang tidak sia-sia, menebus manusia dari hukuman dosa. Yesus adalah Kurban Pendamaian Umumnya para teolog Kristen memberi dua perspektif yang berbeda tentang kematian Yesus sebagai kurban untuk menyelamatkan manusia. Kedua persepektif itu adalah kurban sebagai sacrifice dan kurban sebagai victim. Yesus sebagai kurban (sacrifice) adalah sebuah gagasan yang mengatakan bahwa Yesus dengan sukarela mengurbankan dirinya. Sedangkan Yesus sebagai korban (victim) adalah sebuah gagasan yang menegaskan bahwa sesugguhnya Yesus tidak mau mati, namun menjadi korban paksa dari tatanan sosial politis yang amat demonis.42 Leonardo Boff salah seorang teolog pembebasan dari Brazil mengatakan bahwa kematian Yesus itu adalah kerelaan Yesus 41 42 Max Lucado, No Wonder They Call Him The Savior, (Bandung: Visi Press, 2011), 67 Joas Adiprasetya, Berdamai dengan Salib, (Jakarta: Grafika Kreasindo dan UPI STT Jakarta, 2010), 51 75 sendiri untuk mati. Yesus sebagai kurban tidak ditentukan dari fakta kekerasan dan darah yang tercurah sebenarnya hanyalah ekspresi luar atau korban (victim) dari kesediaan berkurban yang interior (sacrifice). Akan tetapi kurban Kristus memberi keselamatan yang dipahami sebagai kemanusiaan yang utuh. Penyaliban Yesus bermakna soteriologis justru karena ia menunjuk kepada Allah yang merengkuh salib itu demi solidaritas dengan semua orang yang mederita dalam sejarah. Allah menerima salib di dalam Yesus bukan untuk mengekalkannya dan menyingkirkan pengharapan kita namun demi mengakhiri semua salib di dalam sejarah.43 Tanpa mengabaikan sistem pengorbanan yang dipahami oleh orang Israel, kedua pembedaan yang dibuat oleh para teolog di atas akan menolong kita memahami peristiwa pengorbanan Yesus di kayu salib. Di dalam Perjanjian Baru, Yesus adalah kurban yang sejati. Dalam diriNya sendiri, persembahan yang sempurna dengan cinta dan ketaatan telah Ia lakukan kepada Bapa. Yesus adalah Domba Allah yang telah disembelih sebagai kurban yang tidak bercacat di malam perayaan Paskah. Ia sendirilah yang telah memikul dosa-dosa dunia. Hal inilah yang diperkenalkan oleh Yohanes kepada muridmuridnya. Yohanes pembaptis menyebut Yesus sebagai anak domba Allah. Perhatian ini ditekankan oleh Yohanes untuk menunjukan bahwa Yesus adalah penggenapan ibadah kurban dalam PL.44 Sehingga di dalam Ijilnya, Yohanes konsisten menunjukan bahwa kematian Yesus tepat pada waktu penyembelihan anak domba pada perayaan paskah di Bait Suci di Yerusalem. Menurut penulis surat Ibrani, pengurbanan menurut hukum Yahudi telah berkurang kekuatannya untuk memperbaiki hubungan manusia dengan Allah. Kurban yang sempurna itu hanya ada di dalam ketaatan Yesus oleh karena itu pengurbananNya 43 44 Ibid., 52 Ebenhaizer I Nuban Timo, Allah Menahan Diri,…, 295 76 yang sempurna layak untuk menghapus dosa-dosa manusia. Dengan dengan darahNya setiap orang dapat memasuki ruang yang Maha Kudus dimana Allah berada. Di dalam ritual kurban yang lama, manusia mendekati Allah dengan mempersembahkan kehidupan mereka secara simbolis melalui hewan kurban yang dipersembahkan dengan perantaraan seorang Imam. Kini Yesus adalah Imam yang sejati. Jikalau dalam PL, salah satu fungsi imam adalah menjadi perantara umat dengan Allah untuk mempersembahkan kurban jemaat setelah terlebih dahulu mempersembahkan kurbannya sendiri, kini Yesus adalah kurban itu sendiri. Yesus tidak hanya menggenapi kurban PL, tetapi mengakhirinya. Kurban dalam PL yang dilakukan setiap hari dan setiap tahun kini telah berakhir. Yesus sendiri telah mengurbankan diriNya bagi Allah agar manusia dapat menghadap dan bersekutu dengan Allah. DarahNya melebihi darah domba dan sapi jantan yang hanya menebus dan mendamaikan sementara. Darahnya sekali saja tercurah untuk selamanya. Kematian Yesus mengubah dan membalikan seluruh ritual kurban dalam PL. Manusia tidak lagi membawa persembahan pendamaian dengan Allah. Akan tetapi Allah yang menyediakan persembahan itu kepada manusia atas nama manusia. 45 Persembahan itu bukan lagi binatang kurban, tetapi Allah sendiri. Allah yang mempersembahkan diriNya melalui Yesus. Oleh karena itu sekarang manusia dapat mendekati Allah melalui Kristus sebagai satu-satunya kurban yang sempurna. Manusia tidak lagi mempersembahkan diri mereka sekalipun dalam sebuah simbol, akan tetapi telah bersatu dengan Dia dan mempersembahkan hidup mereka kepada Bapa di dalam Dia dan melalui Dia. Dosa manusia menjadikan manusia tidak dapat mempersembahkan kurban yang layak kepada Tuhan. Hanya dengan dan oleh Yesus sendiri yang bisa 45 Ibid., 299 77 melakukannya. Dia telah melakukanNya dengan sempurna yakni sebagai manusia dan karena Dia rela menyatukan manusia dengan Dirinya sendiri di dalam kemanusiaanNya. Kristus di dalam kematiannya menjadi korban (sacrifice) telah menebus dosa-dosa dunia. Dengan kematian Kristus, binatang kurban yang biasa dipersembahkan tidak dipakai lagi. Kematian Kristus menjadi kurban sekali untuk semua. Orang-orang Kristen tidak perlu mempersembahkan kurban (bakaran) untuk menebus dosa-dosanya. Darah Kristus yang telah tumpah di atas kayu salib adalah pembayaran yang sempurna untuk harga dari penebusan itu sendiri. PengorbananNya telah memikul murka Allah kepada manusia, sebagaimana yang terjadi pada sapi-sapi jantan dan domba-domba di dalam PL, sehingga manusia yang berdosa sekalipun dapat mengalami kehadiran Allah dan doa-doa mereka juga terjawab. Kematian Yesus adalah sebuah pengorbanan yang real yang telah disimbolkan di dalam Perjanjian Lama. Kehidupan manusia yang menjadi persembahan kepada Allah, telah disempurnakan oleh Yesus melalui kematianNya. KematianNya adalah ketertundukan yang sempurna atas hukuman Allah terhadap keberdosaan manusia dan persembahan yang sempurna karena dukacita akan dosa. Di dalam dan melalui Kristus, Allah mampu melakukan apa yang tidak menjadi bagian dari Kristus dengan mempersembahkan tubuh dan darahNya kepada Bapa. Inilah Yesus sang Domba Allah yang tidak hanya sekadar simbol, tetapi real, memikul dosa dunia. Yesus bukan hanya sebagai kurban (sacrifice), tetapi juga kurban (victim). Teori dari para sosiolog-antropolog-teolog berikut (Jon D Levenson, Evan Pitchard, dan Rene Geard) tentang kurban dan makna pengurbanan dalam masyarakat primitif dan Israel dapat menolong kita memahami pengurbanan (victim) Yesus. 78 Menurut Jon D Levenson pengorbanan seorang anak (child sacrifice) dewa/Tuhan adalah sesuatu hal yang benar-benar terjadi dalam masyarakat Israel kuno. Ini merupakan sesuatu yang kelihatannya seperti perbuatan orang bar-bar, akan tetapi sesungguhnya nilai dari pengurbanan seorang anak (manusia) jauh melebihi pengurbanan binatang. Anak laki-laki pertama adalah kurban persembahan yang paling berharga/agung untuk mendamaikan manusia dengan Allah. Binatang pengganti yang biasa diberikan sebagai kurban pendamaian sesungguhnya tidak diwajibkan, ini hanyalah diizinkan dengan pemahaman bahwa tuntutan Allah terhadap anak-anak itu hendaknya selalu diingat.46 Dengan “theological Ideal” menurut Levenson ritual pengurbanan anak (child sacrifice) akan menciptakan sebuah ikatan yang kuat antara manusia dengan Allah. 47 Apa yang diberikan oleh manusia kepada Allah dalam pengorbanan, pada akirnya akan dikembalikan, dibangkitkan dan bahkan sesuatu hal yang lebih besar akan diterima oleh generasi berikutnya. Oleh karena ritual child sacrifice dalam masyarakat Israel kuno, mendapat banyak kecaman dari para nabi, akhirnya ritual ini ditransformasi dan disublimsikan ke dalam praktek dan narasi yang baru. Proses transformasi dan sublimasi tersebut kelihatan benar adanya. Penyaliban Yesus yang terjadi tepat pada perayaan Paskah tahunan di Yerusalem di malam itu telah ditransformasi dan disublimasikan oleh para penulis awal kekristenan dalam narasi yang baru. Peristiwa naas itu ditransformasi dan disublimasiskan menjadi peristiwa yang menyelamatkan manusia. Transformasi dan sublimasi ini dapat dipahami sebagai usaha kekristenan mula-mula untuk mempertahankan eksistensinya di tengah-tengah persaingan politikreligius dunia Romawi-Yunani pada waktu itu. Dalam bukunya “Memandang Wajah 46 47 Jon D Levenson, From The Death,…, dalam Jeffrey Carter, Understanding,…, 422 Ibid., 423 79 Yesus,” Ioanes Rahmat mengatakan, “di dalam dunia kekristenan mula-mula ada banyak allah dan ada banyak tuhan yang disembah dan tidak sedikit dari para allah ini adalah orang-orang besar yang dideifikasi (dalam dunia Yunani Romawi). Ini menjadi tantangan besar bagi gereja mula-mula. Gereja harus berjuang dalam persaingan ideologi religiopolitis untuk menentukan tuhannya sendiri yang sebisa mungkin lebih baik dari tuhan Yunani-Romawi. Gereja harus bertarung memperebutkan anggota-anggota baru di tengah kultus-kultus keagamaan lain dalam masyarakat Yunani-Romawi”.48 Konsep tentang anak yang dikurbankan dalam gagasan Jon D Levenson terlihat jelas dalam pemaknaan atas peristiwa kematian Yesus. Dalam ajaran gereja terkesan peristiwa salib itu dipahami sebagai berikut. Pertama, peristiwa penyaliban Yesus adalah peristiwa yang terjadi atas inisitif Allah sendiri. Allah berinisiatif mendamaikan manusia dengan diriNya sendiri, melalui pengurbanan Yesus. Allah mengurbankan Yesus sebagai bukti cinta kasih-Nya bagi dunia ini. Kedua, Yesus adalah Putra Allah, Anak satu-satunya yang sangat dikasihi yang kepadaNya Allah berkenan. Ia adalah anak pertama yang lahir tanpa noda dan dosa. Oleh karena itu Allah mengutusnya ke dalam dunia dan harus kembali duduk di sebelah kanan Bapa di sorga. Allah menginginkan Yesus sebagai kurban yang sejati karena Ia memiliki nilai dan harga jauh lebih tinggi dari kurban-kurban (binatang) yang biasa diberikan manusia kepada Allah. Pelaksanan pendamaian dengan membawa kurban berdarah yang diizinkan Allah dan 48 Ada dua kultus besar yang menjadi tantangan besar dalam sejarah awal Kekristenan. Pertama kultus Serapim. Dalam kultus ini Dewa Serapis adalah dewa yang paling ditakuti. Dewa ini merupakan perpaduan antara Dewa Osiris dan Apis (perpaduan Dewa Mesir dan Yunani). Dewa Serapis adalah dewa yang sejajar dengan Dewa Matahari (Zeus), dewa kesuburan (Dionsyus) dan dewa dunia orang mati dan kehidupan yang kekal (Hades). Dewa Serapis dengan perantaraan manusia mengundang para penyembahnya untuk datang mengikuti perjamuan Suci. “ Sang Dewa mengundang anda ke perjamuannya yang akan diselenggarakan di kuil Thoeris besok pada jam ke-9.” Kultus yang kedua adalah, Kultus Isis di abad ke 5. Dewi Isis adalah istri Osiris yang bertahan di dunia Yunani dan Romawi. Ia disembah sebagai Ibu atas segala sesuatu, ditinggikan sebagai Ratu Surga, dewi penyembuh yang memiliki obat untuk hidup yang kekal, penguasa daratan yang memisahkan bumi dari sorga, Juruslamat yang kekal dan paling kudus untuk umat manusia. Lih. Ioanes Rahmat, Memandang Wajah Yesus, (Jakarta: Pustaka Surya Daun, 2012), 112116 80 dijalani Yesus bukan sebuah skandal karena bukan Allah yang menuntut darah. Akta berdarah itu diizinkan Allah berlaku atas anak-Nya dan dijalani Yesus Kristus, betapapun Allah tidak berkenan kepada kurban sembelihan karena iblislah yang menuntut darah dari pelaku dosa. Supaya tuntutan hukum itu dibayar tuntas dan Allah memperoleh kembali manusia miliknya, Allah menjalani tuntutan itu. Darah Yesus Kistus mengalir dari Golgota sebagai tebusan bagi manusia.49 Ketiga, manusia juga turut mengorbankan Yesus. Yesus pantas untuk dikurbankan karena ia manusia yang terlahir tanpa cela dan tanpa dosa. Orang-orang Yahudi mengorbankan Yesus dengan memakai tangan penguasa Romawi, karena hukum Yahudi melarang keras pembunuhan. Yesus dikurbankan dengan cara tidak wajar, dengan kekerasan, penghinaan dan kutukan. Salib dengan jelas menunjukan pengurbanan itu. Pemahaman ini tentu menimbulkan pertanyaan, bagaimana Yesus yang dikurbankan menjadi alat keselamatan bagi semua orang? Dalam proses “transformasi” dan “sublimasi” itu teori Rene Girard menolong kita untuk memahaminya. Menurut Girard kekerasan berupa pembunuhan (terhadap kurban) adalah sesuatu hal yang kudus dan menjadi penyelamat di kemudian hari. Memberi kurban adalah salah satu bentuk kekerasan yang paling buruk (bad violence) akan tetapi bisa berubah menjadi kekerasan yang baik (good violence) manakala tatanan sosial masyarakat menjadi baik/harmonis. Siapapun yang berjasa untuk pertama kalinya dalam hal ini, di kemudian hari akan selalu dikenang/diingat sebagai seorang yang baik hati yang telah menolong masyarakat mengatasi krisis yang berbahaya, dengan kematiannya. Dalam keberadaannya sebagai bentuk kekerasan yang buruk maupun kekerasan yang baik, korban menjadi sesuatu yang misteri, mempunyai kekuatan, 49 secara potensial berbahaya namun bermurah hati, Ebenhaizer Nuban Timo, Allah Menahan Diri,…, 309 81 transenden-ilahi (a divine being), tetapi juga dekat bagi masyarakat, memiliki kekuatan untuk disembah/dipuji, memiliki kekuatan yang bisa melindungi, memberkati dan juga mengutuk. Gagasan ini dimulai oleh Rene Girard dengan melihat bahwa di dalam masyarakat kekerasan adalah sesuatu hal yang tidak bisa dihindari. Kekerasan itu diakibatkan oleh hasrat setiap orang untuk meniru (mimetic desire) . Hasrat meniru ini menyebabkan setiap anggota masyarakat menjadi rival bagi sesamanya dan karena hal itu terjadi pada setiap orang, maka terjadilah kekerasan secara kolekif, semua melawan semua (all-against-all). Sementara itu tetapi di pihak lain masyarakat menyadari bahwa setiap orang tidak akan bisa hidup dalam suasana yang kacau seperti itu, sehingga dirasa perlu ada korban yang harus dikorbankan (sacrificed victim). Kurban yang dikurbankan itu disebut Girard dengan “kambing hitam (scapegoat). Dengan mengurbankan scapegoat, kekerasan kolektif (all-against-all) berubah/dialihkan menjadi semua melawan satu (allagainst-one). Istilah pengalihan ini disebut dengan “mekanisme kambing hitam”. Dengan kematian kambing hitam, harmoni sosial akan tercipta. Yang menarik adalah pada akhirnya orang akan memahami bahwa kambing hitam tersebut menjadi penyelamat atas kekacauan yang telah terjadi. Ia yang tadinya bisa-biasa saja tetapi berubah menjadi yang lebih tinggi, Ia adalah obat bagi kejahatan yang terjadi, racun dan obat, penjahat dan pahlawan.50 Sejak awal pemberitaan Yesus telah menimbulkan berbagai pro dan kontra bahkan konflik yang hebat di antara orang-orang penting di Yahudi, tidak saja hanya pimpinan pemerintahan, pemuka agama bahkan rakyat biasa sekalipun. Sikap Yesus terhadap orang-orang kecil dan pendosa telah membawa pertentangan di antara kaum 50 Joas Adiprasetia, Berdamai dengan Salib, …, 54 82 Farisi dan Ahli-ahli Taurat. Konflik semakin kuat setelah Yesus membongkar dan menelanjangi para ahli Taurat dan kaum Farisi yang hendak membunuh Yesus. Rivalitas dan agresi masyarakat Yahudi terhadap Yesus semakin meningkat setelah adanya pengakuan bahwa Yesus adalah Putra Allah, hingga pada akhirnya dalam hati orang banyak timbul kebencian dan bersepakat untuk menyingkirkan Yesus. Masalah-masalah sosial politik yang tadinya mengancam tatanan harmonisasi sosial politik Yahudi kini di alihkan kepada Yesus. Kekacauan di dalam tatanan sosial Yahudi karena rivalitas semua melawan semua (all aginst all) kini telah beralih kepada Yesus dan menjadi semua melawan satu (all against one). Akhirnya Yesus yang tidak berdosa dikorbankan. Yesus adalah korban “kambing hitam” tetapi Ia bukan kambing hitam sembarangan. Ia adalah Hamba yang Kudus yang harus menderita dan dibunuh untuk menenangkan tatanan sosial politik pada zamanNya. 51 Dia adalah korban kekerasan dari ketidakadilan dan kekacauan tatanan sosial masyarakat Yahudi. Kesalahan dilimpahkan padaNya, dan direndahkan hingga di titik nol. Tetapi apa yang terjadi, justru kematianNya membuat Dia menjadi besar. Di kemudian hari orang banyak baru menyadari bahwa Ia layak disembah, Ia berkuasa, Dia adalah Allah sang Penyelamat. Segala masalah, kebencian dan kekerasan yang terjadi dalam tatanan sosial politik Yahudi dialihkan kepada Yesus sebagai “kambing hitam.” Ketertiban sosialpolitik, ekonomi dan religious masyarakat Yahudi ditukar dengan kehidupan Yesus. Dia yang tidak mengenal dosa, menjadi berdosa karena manusia, supaya manusia dapat dibenarkan. Pertanyaannya adalah bagaimana kematian Yesus menjadi keselamatan bagi dunia? Jawabnnya adalah Keselamatan muncul dari kesengsaraan Yesus, keselamatan itu Dia bawa karena Ia berhasil keluar dari cengkraman kekerasan di dalam masyarakat dan 51 J.B. Banawiratma,Kristologi dan Allah Tritunggal,…, 53 83 budaya Yahudi. Penderitaan salibNya menelanjangi mekanisme kambing hitam dan kekerasan yang menyertainya. Bagi Yesus, kematian adalah klimaks dari kehidupan dan pelayananNya. KeinginanNya untuk menghadapi kematian adalah sebuah proklamasi bagi dunia bahwa semua ajarannya tentang kerajaan Allah adalah lebih penting dari apapun juga, kendati dengan hidupNya sendiri.52 Penangkapan, penderitan dan kematianNya menyaksikan kepada dunia bahwa prioritas kerajaan Allah adalah mengalahkan segala bentuk kekerasan dan ketidakadilan. Di balik kebencian orang banyak kepada Yesus, salib dan kematianNya menjadi pendamai antara manusia dengan Allah. Dia adalah manusia sejati Putra Allah yang dikurbankan oleh manusia yang dikemudian hari dikenal sebagai pendamai. Tidak hanya pada kematianNya di atas kayu salib, akan tetapi seluruh rangkaian karya dan pengajaran Yesus bermuara pada pendamaian manusia dengan Allah. Kematiannya pada waktu itu mendatangkan pahala yang besar, yakni keselamatan bagi dunia dan generasi berikutnya. Melalui kebangkitan Yesus pembalikan radikal atas mekanisme kambing hitam tampil sepenuhnya. Kebangkitan Yesus membuktikan diriNya sebagai Allah sejati dan manusia sejati. Kristus adalah satu-satunya agen yang mampu keluar dari strukturstruktur pengkambinghitaman, dengan demikian manusia terbebas dari kekuatan tersebut. Penderitaan buruk dari seseorang korban yang tidak bersalah (Yesus) pada akhirnya merupakan sesuatu yang baik (a good bad thing).53 Kematian Yesus sebagai korban adalah sebuah kematian yang sangat berharga, kematian yang mendamaikan manusia dengan Allah. Ia tidak hanya mempersembahkan kurban, tetapi ia sendiri adalah kurban pendamaian itu. 52 Josep A Grassi, Broken Bread,…, 73 Mark S. Heim, Saved from Sacrifice: A Theology Cross, (Grand Rapids: William B Eerdmans Pub.co, 2006), 108-112 53 84 Kebangkitan Yesus tidak hanya menunjukan adanya kehidupan setelah kematian, tetapi karena Yesus dibangkitkan dari korban sebuah sistem penjajahan yang menggunakan kekerasan, maka kebangkitan-Nya juga menjadikan kisah semua korban kekerasan menjadi kisah yang terbuka.54 Kebangkitannya mengatakan tidak ada yang selesai kalau korban masih tetap dibungkamkan, apabila dia belum diperbolehkan berbicara. Kehidupan korban yang dibangkitkan adalah kehidupan korban selanjutnya. Korban yang dihidupkan itulah yang mempunyai hak untuk mengadakan rekonsiliasi. 55 Kebangkitan Yesus memberikan kesaksian atas ketidakadilan yang ditimpakan pada-Nya dan Allah membiarkan korban itu terus menjadi saksi kekejaman yang dideritanya. Kebangkitan Kristus akan menunjukkan secara jelas batas jangkauan lengan kekerasan. Mengatakan adanya kehidupan di tengah kematian yang direncanakan, mengungkapkan adanya harapan di tengah kebuntuan yang sengaja diciptakan, dan juga menegaskan bahwa kekuasaan dan kekerasan tidak sanggup melaksanakan segala yang dikehendakinya. Kebangkitan Kristus mematahkan segala bentuk kekerasan dan menunjukan keadilan sebagai representasi Allah yang senantiasa ingin mendamaikan dan menyelamatkan manusia. Darah Perjanjian Dalam diskursus dogmatis peristiwa penyaliban Yesus yang “menyelamatkan” itu akan terus menuai berbagai pertanyaan kritis. Mengapa harus darah yag dipakai untuk menebus? Apakah Allah pribadi yang menginginkan darah? Apakah hubungan darah dengan penyelamatan yang dilakukan oleh Yesus? Lalu apa yang dimaksud Yesus dengan darah perjanjian? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu ada 54 Paul Budi Kleden, Di Tebing Waktu: (Maumere: Ladero, 2009), 171-173 55 Ibid 85 Dimensi Sosio Politis Perayaan Kristen, baiknya terlebih dahulu kita memahami makna darah atau darah kurban dalam masyarakat (masyarakat primitif juga pemahaman bangsa Israel). Umumnya orang memahami bahwa darah adalah kehidupan dari setiap makhluk hidup. Dari semua bagian tubuh, darah memainkan peranan yang sangat penting sebab konsentrasi terbesar dari daya hidup terdapat dalam darah. Dalam kepercayaan lokal masyarakat tertentu, olesan darah pada tiang-tiang rumah yang baru ditahbiskan dapat memberi daya pada rumah tersebut. Orang Makasar mengoles benda-benda keramat milik mereka dengan darah untuk memberikan daya hidup baru pada benda-benda tersebut. Orang Sakai di Siak membiarkan beberapa tetes darah mereka jatuh di atas jenazah sebagai tindakan pars pro toto. Darah memiliki tempat dengan akumulasi terbesar dari daya hidup. Itu sebabnya darah paling banyak dijadikan sesajen. Hampir di seluruh wilayah, umumnya darah korban yang jatuh ke bumi diyakini memberikan kesuburan bagi tanah sehingga hasil panen melimpah.56 Lain halnya dalam masyarakat Mediterania kuno. Darah adalah simbol dari kehormatan.57 Kehormatan seseorang selalu dihubungkan dengan hubungan darah dalam kekeluargaan yang dia miliki. Seseorang dapat dipercaya di dalam sebuah kelompok masyarakatnya berdasarkan hubungan darah keluarganya. Akan ada jarak yang jauh di antara keluarga yang berdarah “bangsawan” dengan yang tidak. Seseorang yang berada diluar hubungan darah keluarga, tidak dihargai, patut dicurigai, dan bahkan pada akhirnya bisa saja dianggap tidak berguna. Oleh karena itu, jika seseorang ingin mendapatkan 56 Kruijt, Alb.C. Het Animisme der Indonesiers. Rotterdam: Electrische Drukkerij D. van Sijn & Zoon. (Tanpa tahun), dikutip oleh Ebenhaizer I Nuban Timo, Ditebus Dengan Darah Yang Mahal:Soteriologi Salib Dari Perspektif Ritual Kurban Evans-Pritchard Dan Rene Girard, Materi Seminar dan Symposiun Nasional Dalam Rangka Dies Natalis Ke-46 Fakultas Teologi Universits Kristen Satya Wacana. Salatiga, 16 Maret 2016 57 Malina Bruce J, The New Testament: Insight From Cultural Antropology, (New York: John Knox, 1987), 30 86 “darah kehormatan” dari keluarga-keluarga terhormat, mereka harus membuat ikatan perjanjian misalnya melalui ikatan pernikahan.58 Dalam masyarakat Nuer di Afrika, darah berfungsi sebagai penebus dalam ritual korban (piacular sacrifice). “The piacular sacrifices are performed in situations of danger (sickness, barreness, other moments of misfortunes) arising from the intervention of Spirit in human affairs, often thought of as being brought about by some fault”.59 Dalam situasi ini perlu diadakan pendamaian supaya intervensi dari roh-roh yang menakutkan manusia (sebagai penyebab bencana) dapat diakihiri. “The sacrifice is intended to rid the suffere of the spiritual influence whose activity is apparent in the sickness.”60 Dalam teori-teori (seperti H. Hubert dan M. Mauss) ritual kurban (sacrifice) merupakan momentum untuk membangun komunikasi antara yang kudus dan yang profan dengan menjadikan korban (victim) sebagai mediator. Korban berperan untuk mempertemukan Yang Ilahi dan manusia, “hidup si korban” mempersatukan Allah dan manusia. Tanpa mengabaikan makna tersebut, dalam penelitiannya terhadap ritus kurban masyarakat Nuer, Evans-Pritchard menemukan makna lain yang sifatnya memperkaya makna kurban menurut Hubert dan Mauss. Apa yang terjadi dalam ritus penebusan Nuer, kurban bukan hanya ditujukan kepada Allah, tetapi juga untuk melawan illah-illah (gods) yang lain. Penyakit, kekeringan, kemandulan dan aneka bencana dianggap sebagai yang disebabkan oleh ilah-ilah karena dosa dan kejahatan manusia. Ritual kurban diadakan untuk membujuk ilah-ilah pergi dari manusia dan tidak lagi menyusahkan manusia, 58 Ibid Evan Pitchard, The Meaning of Sacrifice among the Nuer. dalam: Jeffrey Carter (Ed). Understanding,…, 192 60 Ibid., 196 59 87 mencegah penyakit (prophylactic) dan apotropaic (melindungi dari bahaya).61 Jadi ritual kurban adalah untuk memisahkan illah-illah tersebut dari manusia. Sebelum pemisahan dengan illah-illah, manusia terlebih dulu dipersatukan dengan Allah melalui ritual tadi. Umumnya para teolog Kristen memahami bahwa soteriologi salib adalah piacular sacrifice (korban tebusan). 62 Oleh karena itu makna ritual piacular sacrifice dalam masyarakat Nuer akan sangat menolong kita untuk memahami makna pengorbanan Yesus yang menyelamatkan manusia. Dosa membuat hubungan manusia dengan Allah menjadi terputus. Putusnya hubungan ini mengakibatkan berbagai persoalan bagi manusia sendiri secara pribadi, dengan orang lain dan terlebih-lebih terhadap Tuhan. Secara umum orang Kristen memahami bahwa dosa adalah hanya sebatas hubungan antara manusia dengan Tuhan. Akan tetapi, Walter Wink menunjukkan bahwa dosa bukan melulu masalah Allah dan manusia. Ada pihak ketiga yang ikut bermain. Dalam tulisannya Walter Wink mengatakan: Adam and Eve could not bear the weight of all human tragedy. The ancient myth of the fall of the “sons of God” in Gen. 6:1-4 was enlisted to explain the presence of an evil that emanates not from humanity alone but from something higher as well: not divine, but transcendent, suprahuman, that persist through time, is opposed to God and human faithfulness, and seeks our destruction, damnation, illness, and death.63 Kejahatan bukan saja diciptakan oleh manusia saja. Akan tetapi masalah dosa sesungguhnya juga disebabkan oleh makhluk-makhluk sipiritual. Makhluk-makhluk spiritual juga ambil bagian dalam menciptakan kejahatan. Makhluk-makhluk ini bukan hanya memberontak melawan Allah, mereka juga mempengaruhi manusia untuk ambil 61 Ibid Luis Berkhof, Sistematic Thoelogy,…, 364 dan Ebenhaizer Nuban Timo, Allah Menahan Diri,…, 297 63 Walter Wink, Naming the Power. The Language of Power in the New Testament. (Philadelphia: Fortress Press, 1984), 23 62 88 bagian dalam pemberontakan itu.64Wink menyebutkan bahwa makhluk-makhluk tersebut adalah malaikat ciptaan Allah yang jatuh karena keinginan mereka berkuasa dan menjadi ilahi sama seperti Allah (Yes.14:12-14).65 Catatan ini hendak menunjukkan bahwa dosa merupakan masalah segitiga yang muncul di antara Allah – manusia - roh-roh. Hal Lindsey menulis: “The keyto understanding man’s purpose and destiny is related to the pre-history conflict that began with Lucifer’s revolt against God.”66 Manusia sejatinya adalah milik Allah. Tetapi kejatuhan dalam dosa membuat hubungan dengan Allah terputus dan manusia tidak bisa terus bertahan hidup tanpa membangun hubungan dengan dunia ilahi. Putusnya hubungan ini dimanfaatkan dengan baik oleh Iblis. Melalui para bawahannya (demon) Iblis menawarkan diri sebagai mediator yang menghubungkan kembali manusia dengan the most high, yang tidak lain adalah Iblis, bukan Allah.67 Manusia yang pada dasarnya merindukan adanya hubungan dengan dunia ilahi menerima tawaran ini karena cocok dengan kecenderungan hati manusia pasca kejatuhan, yakni manusia bisa menggunakan daya-daya ilahi untuk meraih tujuan-tujuannya yang sudah dilumuri dosa.68 Tujuan keberadaan manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah dalam karya penciptaan adalah menaklukkan kehendak, pikiran dan perbuatan-perbuatannya pada kehendak Allah, tetapi karena dosa manusia menjadi makin terasing dari Allah, putus hubungan dengan penciptanya dan hidup dalam cengkraman Iblis, diperalat Iblis untuk terus memberontak dan memusuhi Allah.69 Pasca kejatuhan ke 64 dalam dosa, Hal Lindsey, Satan is Alive and Well on planet Earth. (GrandRapids-Michigan: Zondervan Publishing House.1972), 65 65 Walter Wink , Engaging the Power. Discerment and Resistance in a World of Domination. (Minneapolis: Fortress Press:1992), 68 66 Hal Lindsey, Satan is,…, 45 67 Ibid.,62 68 Rebecca Brown, He Came to Set the Captives Free. (USA: Chick Publications, 1986), 151 69 Ibid., 175 89 manusia juga berurusan dengan Iblis. Allah dan Iblis mengklaim diri sebagai pemilik kehidupan manusia. Di sinilah terjadi peperangan rohani sebagaimana kata Paulus (Ef.6:12). Inilah yang menjadi inti terdalam dari penderitaan manusia, yakni mengalami disorientasi kehidupan. Ritual sacrifice yang muncul dalam berbagai agama dan budaya adalah untuk memberikan sesuatu kepada dunia roh untuk memulihkan keadaan disorientasi ini. Darah yang melambangkan kehidupan dicurahkan sebagai pertukaran untuk kehidupan manusia. Dalam darah kurban, menurut Evans-Pritchard terkandung ide pembelian, penebusan, pertukaran, tawaran dan pembayaran. 70 Binatang kurban yang darahnya dicurahkan berperan sebagai pengganti manusia. Sebagaimana yang ditunjukkan Rebecca Brown dan Elaine,71 yang terjadi dalam perayaan Black Sabbath.72 Elaine menegaskan bahwa perayaan Black Sabbth dibuat bersamaan dengan peristiwa Jumat Agung karena Iblis berharap bisa menodai masa-masa perayaan kemurahan Allah.73 Dua hal yang selalu dilakukan dalam Black Sabbath: seorang manusia sebagai kurban yang dipilih dari para perserta kultus atau orang yang diincar oleh para satanists dan salib dalam posisi terbalik sebagai altarnya.74 Iblis selalu hadir secara personal dalam ritual itu di tengah-tengah para penyembahnya. Elaine yang adalah high princess (bride) Iblis yang selalu menghadiri 70 Evan Pitchard, The Meaning of Sacrifice among the Nuer, dalam: Jefrey Carter (Ed). Understanding,…, 198 71 Elaine seorang gadis muda yang terjerumus dalam kultus penyembahan terhadap Iblis bahkan menjadi imam besar perempuan (bride) iblis mengaku bahwa berkali-kali ia ingin membebaskan diri dari perbudakan pada kuasa-kuasa supra-natural yang penuh dengan kepalsuan. Keinginan ada tetapi daya dan energi kebaikan tidak tersedia pada dirinya sendiri karena telah ditawan oleh Iblis. Elaine bersama puluhan peserta kultus penyembahan Iblis di California mengaku bahwa hanya apabila Kristus diundang memerintah di dalam hati melalui Roh Kudus energi kebaikan dalam hati bisa dipulihkan dan berwujud dalam tindakan-tindakan kebaikan. Untuk lebih detil Lih. Rebecca Brown, He Come to Set, (USA: Chick Publications, 1986) 72 Black Sabbath atau Black Mass adalah salah satu ritus penyembahan kepada Iblis yang dilakukan secara tetap setiap tahun. Perayaan itu berlangsung pada bulan purnama dan pada akhir minggu perayaan Paskah Kristen. 73 Rebecca Brown, He Came to Set,…, 69 74 Hal Lindsey, Satan IsAlive,…, 21 90 perayaan Black Sabbath dan wajib melayani birahi seksnya Iblis. Di akhir perayaan itu Elaine mengatakan: What a mockery the Black Sabbaths are. Satan knows that they are a mockery! The ceremony itself is supposed to be simbolic of the death of Christ. Satan proclaims that Jesus Christ was the ultimate sacrifice to him, that he won over Christ by killing him on the cross. Satan is lying! He knows that he was defeated at the cross, not Jesus, and so do all of the demons. But the people don‟t. I am one of the fortunate ones, I found out that it is all a lie.75 Iblis menuntut korban berdarah bukan dalam wujud binatang melainkan manusia sebab dengan darah, Iblis memperoleh energi terbaru untuk terus men-desecrate karya penebusan Allah.76 Hal yang paling digemari oleh Iblis dan para demon bawahannya adalah minum darah. Dengan minum darah Iblis dan para bawahannya mendapatkan energi segar untuk terus melakukan kampanye pemberontakan terhadap Allah dan menarik sebanyak mungkin manusia sebagai pengikut.77 Apa yang terjadi dalam perayaan tahunan Black Sabbath menunjukkan bahwa Iblis menghendaki kurban darah terutama manusia.78 Orang yang terpilih untuk disalibkan dalam perayaan Black Sabbath yang darahnya diminum oleh Iblis dan juga dibagi-bagikan di antara para demon dan seluruh Satanists akan segera mati dalam beberapa hari setelah Black Sabbath karena mana (daya hidupnya) sudah diambil. Iblis menghendaki darah. Dalam karya penebusan manusia Allah mengikuti tuntutan Iblis, karena Allah bukan pribadi yang sewenang-wenang (Maz. 7:12,9:5,dst). Ia memberikan Yesus Kristus sebagai korban berdarah. Pemberian ini pun bukan keputusan sepihak dari Bapa. Di dalam pengurbanan Yesus, dua aspek kembar yang ditemukan Evans-Pritchard dalam ritus piacular masyarakat Nuer muncul ke permukaan. Pertama, 75 Rebecca Brown, He Come To Set,…,74 Ibid.,69 77 Ibid., 50, 70 78 Hal Lindsey, Satan Is Alive,…, 18 76 91 dalam kurban Yesus, Allah dan manusia serta Iblis yang hidup dalam permusuhan bertemu. Inilah yang Evans-Pritchard namakan dimensi desakralization dari pelaksanaan kurban penebusan, yakni momen di mana yang ilahi menjumpai yang insani. 79 Kedua, dalam kurban yang sama terjadi juga pemisahan antara manusia dan Iblis. Darah Yesus tidak hanya memenangkan kembali manusia kepada Allah, tetapi serentak dengan itu membebaskan manusia dari cengkraman Iblis. Ciri prophylactic (alat pencegah penyakit) dan apotropaic (alat melindungi dari bahaya) serta eliminasi dosa dan regulasi daya yang berfaedah yang disebutkan Evans-Pritchard,80 nampak dalam piacular sacrifice yang dijalani Yesus. Dari penjelasan di atas yang bisa disimpulkan adalah sebagai berikut. Darah adalah tempat menyimpan daya hidup dalam jumlah terbanyak. Darah adalah nyawa (Ul. 12:23). Nyawa makhluk hidup adalah di dalam darahnya (Im. 17:11). Dalam karya penyelamtan, tuntutan darah tidak dari Allah. Itu adalah rekayasa budaya dan konstruksi sosial. Iblis memiliki andil dalam proses proses konstruksi itu. Walter Wink,81 Rebecca Brown,82 dan Hal Lindsey sepakat mengatakan bahwa: “Satan invented the powerful of suggestion, the ability to put thoughts into aour minds about thing we alredy desire.”83 Pertanyaan sebelumnya sudah mulai terjawab, akan tetapi muncul pertanyaan yang baru lagi, apakah darah kurban binatang tidak cukup untuk mendamaikan manusia? Apa khasiat istimewa dari darah Yesus? Darah dalam setiap ritual kurban yang diadakan Iblis berfungsi memperkuat Iblis karena darah itu adalah nyawa makhluk berdosa. Iblis tidak mampu menaklukan orang yang telah dibasuh oleh darah Yesus melalui doa dan penyerahan diri karena ada unsur keilahian. Itu darah yang bebas dari 79 Evan Pitchard, The Meaning,…, dalam Jefrrey Carter, Undertsanding Religion,…, 190 Ibid., 198 81 Walter Wink, Engaging the Power,…, 67 82 Hal Lindsey, Satan is Alive,…, 208 83 Ibid, 59 80 92 dosa. Darah Yesus yang tidak tercemar dosa itu berkhasiat membersihkan dosa dan melindungi pendosa.84Yang menjadi pertanyaan adalah, mungkinkah kemanusiaan Yesus bisa terbebas dari pencemaran dosa? Bukakah setiap manusia dikandung dalam dosa dan diperanakan dalam kesalahan (Maz 51:7)? Bagaimana darah yang mengalir dalam dalam darah Yesus tidak tercemar oleh dosa? Menurut Karl Barth, dosa asali diturunkan melalui orangtua laki-laki.85Kelahiran Yesus dari anak dara Maria mengandaikan bahwa Yesus bebas dari dosa warisan, tetapi mau menaklukan diri di bawah kutuk dosa demi menebus manusia. Dengan menerima Yesus sebagai kurban dalam peristiwa salib, Iblis menunjukan diri sebagai yang bukan maha tahu.86 Ebenhaizer Nuban Timo mengatakan, “Bagaikan ikan rakus yang menangkap umpan cacing, Iblis menangkap umpan kemanusiaan Yesus tanpa tahu bahwa sebenarnya Yesus adalah Allah yang mengambil wujud manusia berdosa. Akibat kecerobohan itu Iblis terperangkap dan tidak berdaya.” 87 Jadi melalui salib yakni kurban berdarah dari Yesus Kristus, manusia dipersatukan kembali dengan Allah, sementara Iblis dibuat tidak berdaya. Bersamaan dengan itu tiga tujuan lain dari ritual piacular sacrifice dari Evans-Pritchard juga ikut terdeteksi dalam penebusan yang dilakukan Yesus. Pertama, yakni memberi keyakinan dan keberanian kepada manusia untuk hidup dan terus berjuang melawan Iblis, tidak kalah gertak menurut istilah Rebeca Brown. Kedua, memperkuat ikatan sosial di antara orangorang percaya. Ketiga, manusia dikuatkan untuk menciptakan moralitas baru.88 84 Evans-Pritchard, The Meaning Sacrifice,…, dalam Jeffry Carter, Understanding,…, 202 85 Karl Barth, Church Dogmatics I/1. (Edinburgh: T & T Clark, 1970), 556 Rebecca Brown, He Came to Set,…, 175 87 Ebenhaizer I Nuban Timo, Ditebus Dengan Darah Yang Mahal:Soteriologi Salib Dari Perspektif Ritual Kurban Evans-Pritchard Dan Rene Girard. Materi seminar dan symposium Nasional dalam Rangka Dies Natalis ke-46 Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga, 16 Maret 2016 88 Evan Pitchard, The Meaning Sarifice,…, dalam Jeffrey Carter, Understanding,…, 86 93 Allah bukankah Tuhan yang menuntut dan haus akan darah tetapi Iblislah yang menginginkan itu. Ia tidak menuntut adanya korban berdarah sebagai pra-syarat perdamaian.89 Iblislah yang menuntut darah karena keberdosaan manusia yang menolak Allah sebagai kepala atas kehidupannya dan menjadikan Iblis sebagai kepalanya. Karena manusia yang lahir dari ciptaan kasih dan cinta Allah, maka Allah tidak membiarkan manusia diperbudak oleh Iblis. Allah bertindak untuk menyelamatkan manusia dari cengkraman Iblis yang harus dibayar dengan mahal yaitu dengan darah. Alkitab menegaskan bahwa sesungguhnya Allah tidak berkenan kepada kurban sembelihan dan kurban sajian dan tidak menuntut kurban bakaran dan kurban penghapusan dosa. Sekalipun dalam akta pendamaian baik dalam ibadah Israel yang kemudian digenapi oleh Yesus melalui pengorbananNya itu hanya jalan yang diizinkan oleh Allah, semata-mata demi membebaskan manusia dari cengkraman maut. Iblislah yang haus akan darah. Ia yang menuntut darah. Darah binatang-binatang kurban tidak mampu menghapus dosa, sebab mereka hanyalah binatang pengganti saja, sedangkan Iblis menuntut darah (sebagai simbol kehidupan) dari orang berdosa, maka Allahpun membayar tuntutan itu dengan darah Anak-Nya sebagai pengganti manusia, supaya manusia selamat. Dengan demikian keputusan Allah menjadikan diriNya sekutu manusia dan manusia menjadi sekutu-Nya dapat terwujud.90 Allah mengerjakan keselamatan bukan dengan kekerasan. Itu merupakan mekanisme yang didesain masyarakat sebagai alat untuk mengakhiri kekerasan. Menurut penulis, teori Rene Girard dalam penjelasaaan sebelumnya telah memperlihatkan gagasan itu dengan sangat menarik. Allah mengijinkan korban berdarah terjadi atas Yesus, Yesus 89 90 Luis Berkhof, Sistematic Theology,…, 363 Nuban Timo, Allah Menahan Diri,…, 307 94 setuju menjadi korban berdarah, bukan karena itu adalah hal yang pantas, tetapi adalah keharusan cinta kasih demi menyelamatkan manusia.91 Darah sebagai simbol pengikat janji menandakan adanya daya yang mengikat sekaligus mendamaikan terus hubangan di antara kedua belah pihak yang berjanji. Besar kemungkinan inilah yang dimaksud oleh Matius dan Markus dengan „darah perjanjian”. Darah Kristus yang tertumpah menjadi simbol yang mengikat perjanjian yang baru antara manusia dengan Allah sehingga terciptalah tata relasi yang baru dan tetap damai. Darah Kristus menjadi materai yang baru antara manusia dengan Allah. Seperti halnya mereka yang berkeluarga terikat oleh darah, demikian pula Allah dan manusia- secara simbolis dihubungkan satu kepada yang lain melalui ikatan darah. Yesus pada perjamuan Paskah memberi cawan minuman dengan menyebut “darah perjanjian” hendak mengatakan bahwa melalui penyerahanNya, manusia akan menjadi mitra baginya dalam perjanjian itu. Perjanjian itu terlebih dahulu dimulai dengan peyerahan totalitas kehidupan Yesus sebagai korban yang mendamaikan manusia dengan Allah. DarahNya yang tercurah sebagaimana banyak dipahami di dalam pengorbanan kuno terang-terangan untuk menebus dan menyucikan manusia agar layak menerima perjanjian itu. Dengan menunjukan roti sebagai tubuh-Nya dan anggur sebagai darah-Nya, Yesus mengisyaratkan sesuatu perbedaan yang sangat fundamental antara diri-Nya dengan domba paskah yang disembelih pada Exodus atau pada perayaan festival tahunan Paskah Yahudi.92 Perbedaan yang sangat fundamental itu adalah darah domba dalam sejarah Exodus hanya sebuah tanda, sebuah tanda penting yang meyakinkan Allah untuk melalui (pass over) rumah-rumah Israel dari kematian pada waktu itu. Tetapi tubuh Yesus yang 91 92 Ibid., 309 Choan Seng Song, Jesus The Crucified People, (New York: Crossroad, 1990), 21 95 dipecah-pecah dan darahNya yang dicurahkan lebih dari sebuah tanda biasa. Yesus yang tergantung di atas kayu salib adalah Allah sendiri. Darah Yesus menyelamatkan bukan hanya Israel, tetapi manusia secara keseluruhan. Sebagai ciptaan yang pertama dan ciptaan yang baru, Yesus akan “melalui” (pass over) kematian menuju ke kehidupan yang kekal. Yesus tidak hanya menuntun orang ke jalan itu, tetapi Ia sendirilah jalan keselamatan itu. Makan daging dan meminum darahNya adalah simbol kesatuan dengan Dia. Para murid yang menerima dan percaya pada perkataanNya akan melalui kematian yang kekal dan masuk ke dalam kehidupan yang kekal sebagai ciptaan yang baru sebagaimana yang telah Yesus lakukan. Inilah perjanjian yang baru itu yang Yesus katakan kepada para murid, yakni sebuah janji yang dimateraikan dan dirayakan sekali dan untuk semua dengan menumpahkan darahnya sendiri. 93 Yesus mengubah sifat perjamuan Paskah tersebut tidak hanya sebatas pemahaman lama yang dipahami oleh orang Yahudi, menjadi Perjamuan Persembahan kurban. Perjamuan itu menjadi anamnesis peringatan akan penderitaan dan kematian Yesus yang membawa perdamaian.94 Darah Yesus adalah darah yang murni. Oleh karena itu dalam perjamuan Tuhan darah Yesus memurnikan/menyucikan manusia dari dosa. (I Yoh 1:7). Melalui darah itu, Allah menyatakan perjanjian baru kepada manusia. Hal inilah yang menarik dari Perjanjian Baru itu tidak saja hanya pada darah Kristus sebagai material jasmani, tetapi pada darahnya yang mengalir kehidupannya. Dengan memberi diriNya sendiri secara simbolis menjadi roti dan anggur yang dimakan saat Paskah yang baru, Allah membuat kematian manusiawinya (di dalam Yesus) menyelamatkan kematian manusia itu sendiri. 93 Jack Miles, Christ: A Crisis In The Life To God, (New York: A Division Of Random House, INC, 2002), 211 94 JT Nielsen, Kitab Injil Matius,…, 100 96 Memakan daging dombah Paskah adalah hal yang lumrah dalam ritual Paskah, tetapi meminum darah tidak pernah. Allah telah melarang Israel memakan “daging dengan kehidupan” yakni darah. Orang Israel di Mesir tidak meminum darah domba Paskah, tetapi memercikannya di ambang pintu rumah mereka. Akan tetapi dalam perayaan Paskah yang kedua melalui Perjamuan Kudus, darah Domba Allah harus diminum, karena di dalamnya ada sumber kehidupan. Kehidupan yang telah memilih untuk menjelma dengan simbol hidup yang luar biasa. Meminum darahNya secara simbolis menunjukan dua hal. Pertama, Yesus bermaksud membagikan hidupnya yang kekal kepada umatnya.95 Dialah sumber kehidupan, darahNya membawa kehidupan dan menjadi tanda perjanjianNya dengan manusia. Karena setelah pengorbanan yang sudah dilakukan oleh Yesus itu, tidak akan ada lagi penyelenggaraan pengorbanan yang lebih istimewa dari pada itu. Kedua, sebagaimana dalam pemahaman masyarakat Mediterania kuno bahwa hubungan darah dalam keluarga menunjukan terhormat tidaknya seseorang/keluarga tersebut. Keluarga yang tidak terhormat bisa menjadi keluarga terhormat apabila tanda kehormatan itu diberikan padanya melalui ikatan perjanjian, misalkan dengan pernikahan. Dengan demikian barang siapa yang menerima ataupun meminum darah Yesus, secara simbolis jelas akan orang menjadi anggota keluarga Allah dan berhak menerima kemuliaan Allah. 3. Perjamuan Kudus adalah Ibadah Pengharapan Perjamuan makan dalam Perjamuan Kudus adalah antisipasi dari perwujudan keselamatan akhir pada parousia.96 Dosa bermula dari soal makan dan penyelesaian terhadap dosa dihubungkan dengan makan. Itu wujud dalam perjamuan makan yang ditetapkan oleh Yesus dalam Perjamuan Kudus Dalam perayaan Perjamuan 95 96 Ibid., 219 Ebenhaizer I Nubantimo,Allah Menahan Diri,.., 367 97 Kudus tidak hanya mengenang Kristus yang telah mati untuk mendamaikan manusia dengan Allah, akan tetapi aspek yang lain yang penting untuk dipahami bersama adalah adanya sebuah pengharapan antisipasi akan kedatangan kembali Yesus Kristus yang bangkit.97 Orang Kristen bersekutu untuk makan bersama dalam sakramen Perjamuan Kudus, bukan saja hanya mengenang Yesus Kristus yang mati, akan tetapi juga karena percaya akan kedatanganNya kembali sebagai yang hidup dan berharap mereka akan diundang kembali ambil bagian dalam perjamuan kawin itu. Makan bersama Yesus saat ini menegaskan bahwa sebagaimana mereka bersatu dengan Dia di dalam kematian-Nya, demikian juga para murid akan bersatu dengan Dia di dalam kemulian-Nya kelak. 98 Sebelum berpisah dengan Yesus dan sesama dalam waktu yang lama, anggota perjamuan Kudus menyebar ke dunianya sendiri-sendiri. Roti (Tubuh Yesus ) yang sudah dipecahpecahkan dimakan dan anggur (darah Yesus) yang diminum secara bersama-sama itu memiliki arti yang sangat dalam bahwa tubuh dan darah Kristus itu dijadikan darah daging mereka.99 Inilah yang membuat perjamuan Kudus berbeda dengan perjamuan makan lainnya. Setiap orang pergi dengan membawa potongan tubuh Kristus di dalam dirinya, menyatu dengan Kristus dalam hidup dan pekerjaan. Potongan tubuh Kristus yang ada pada masing-masing orang kelak menjadi bukti yang bisa dijadikan tiket untuk ambil bagian dalam perjamuan kawin dalam rumah Bapa. Dalam perjamuan kawin itu, 97 Ibid., 372 Pemahaman ini memiliki hubungan dengan hikmat yang dipraktekan oleh orang bersaudara yang hendak terpisah satu dengan yang lain dalam jangka waktu yang cukup lama. Untuk menghindari kelak saat mereka bertemu dan tidak saling kenal, maka mereka akan mengambil satu barang yang paling berharga dipecahkan dan dibagi-bagi. Kelak ketika mereka ataupun generasi bertemu, pecahanpecahan tersebut disatukan untuk membuktikan bahwa mereka adalah satu keluarga dan orang-orang yang bersaudara. Hikmat dan tradisi ini diperagakan oleh Gereja dalam Perjamuan Kudus . 99 Nuban Timo, Allah Menahan Diri,…, 367 98 98 pembenaran, pengudusan dan penugasan yang sudah diterima dari Perjamuan Kudus dimateraikan selama-lamanya.100 D. PERJAMUAN KUDUS DALAM SEJARAH GEREJA 1. Perayaan Ekaristi dalam Jemaat Mula-Mula s/d Abad VI Pada masa jemaat mula- mula, perayaan Ekaristi dirayakan menurut model perjamuan paskah menurut Yahudi disertai pembacaan dari tulisan yang telah disiapkan oleh para nabi atau Rasul. Memasuki abad IV-VI, orang Kristen berada di zaman kejayaan dan kebebasan.101 Ibadah dan perayaan gerejawi yang tadinya hanya dilakukan di tempattempat tersembunyi, pada masa ini dilangsungkan di Basilica bangunan dan gedung raja yang agung dan megah. Pakaian resmi uskup, imam dan diakon menjadi khusus dan bagus, apalagi pada perayaan Ekaristi para pemimpin menggunakan busana liturgi yang indah dan berseni, agung dan semarak. Di sepanjang abad I-VI pemahaman tentang Perjamuan Kudus dalam Gereja masih berpegang teguh pada pemahaman Alkitabiah. Ada tiga hal yang menjadi landasan keyakinan. Pertama, Ekaristi dilakukan untuk mengenang seluruh rangkaian karya keselamatan yang telah dilakukan oleh Yesus dalam rangka memberitakan kerajaan Allah yang mencakup seluruh pengajaranNya, dan keberpihakannya terhadap orang-orang miskin dan tertindas terlebih-lebih karya penebusan yang telah dilakukanNya melalui kayu salib, dan kebangkitanN. Kedua, kebiasaan memecahkan roti dan perjamuan makan bersama di dalam jemaat senantiasa dipahami untuk memperkuat kebersamaan-kesatuaan 100 Ibid., 368 Perjanjian Edict Milano yang dimaklumkan oleh Kaisar Kontatinus (pada tahun 313) memberikan kebebasan yang besar bagi agama Kristen. Ditambah pada tahun 380M, agama Kristen menjadi agama Negara. Dapat dibayangkan betapa jaya dan bebasnya agama Kristen dalam beribadah dan melakukan praktek-praktek agamanya. Dengan pengakuan agama Kristen sebagai agama Negara, maka para pemuka agama memperoleh penghargaan dan penghormatan sama seperti Kaisar atau para pangeran dan pejabat petinggi Negara. Pengaruh perubahan itu, juga membawa dampak yang sangat signifikan. 101 99 antar sesama jemaat dan juga memperkuat kesatuan-kebersamaan dengan Kristus yang adalah kepala Gereja. Ketiga, ajaran Bapa-Bapa Gereja yang menekankan Realis Pracentia Christus dalam roti dan anggur. 2. Ekaristi dalam Gereja di Abad Pertengahan s/d Abad XX Pada abad Pertengahan, perayaan Ekaristi mengalami pembaharuan dengan mengikuti Buku Sakramentarium Adrianus, kumpulan-doa-doa Paus Adrianus di abad VIII. Pembaharuan ini dikenal dengan. Demi kesatuan rakyat dan gereja di kekaisarannya, maka Karolus Agung mendekritkan Misa Kudus Roma-Galikan di seluruh kekaisarannya. Praktek perayaan pada abad ini sangat diwarnai oleh zaman Gotik yang menekankan individual, subjektif dan etis. Liturgi hanya menjadi urusan klerus dan umat semakin teralienasi dari perayaan liturgi. Umat menjadi penonton, karena bahasa yang dipakai adalah bahasa Latin. Umat terkdang tidak tahu apa yang sedang dirayakan, karena doadoa yang diucapkan oleh sangat lembut dan bisik-bisik untuk menjaga kesucian dan suasana agung, sakral dan misteri. Yang diketahui oleh umat adalah homili, menyembah Tuhan saat hosti dan piala saat elevasi pada saat penyambutan komuni. Pada masa Paus Gregorius VII abad XI, peraturan sentralisasi liturgi Romawi ditegakkan. Semua uskup di wilayah gereja Barat harus menggunakan liturgi Romawi. Gregorius VII mewajibkan semua teks liturgi harus mendapat pengesahan dari kuria Roma. Dengan demikian kemurnian ajaran dan bentuk perayaan liturgi dimanapun dapat dipelihara. Realis Pracentia masih sangat ditekankan di abad ini,102 terutama sejak 102 Ajaran realis pracentia di zaman ini mengalami puncaknya di tokoh Thomas Aquinas. Thomas Aquinas memahami sakramen sebagai tanda dan sarana untuk kehidupan rohani manusia. Thomas Aquinas memikirkan tiga segi sakramen Ekaristi, yakni, ekaristi sebagai signumcommeorativum yang mengenangkan penderitaa wafat Yesus, Ekaristi sebagai signum communionis yang mengungkapkan kesatuan gereja dan Ekaristi sebagai signum praefigurativum yang menunjuk makna esakatalogis Ekaristi. Juga Thomas menegaskan ajaran transsubstantiatio yakni perubahan roti dan anggur yang menjadi tubuh dan darah Kristus setelah konsekrasi. Lih. Martasudjita, Ekaristi,…, 52-53 100 kasus Berengarius,103sementara gagasan mengenai anamneses hampir tidak dikenal lagi.104 Abad XVI Gereja memasuki sejarah yang baru karena gerakan Reformasi dari Martin Luther, Johanes Calvin, Zwingli dan yang lainnya. Intinya, para reformator menolak dan memperotes teologi dan gereja yang dipandang jauh menyimpang dari sumber-sumber hidup iman, yakni Kitab Suci. Tradisi Gereja juga Misa Kudus sebagaimana yang telah dijalankan oleh gereja ditolak.105 Para Reformator abad XVI menekankan sifat simbolis dari kehadiran Kristus dalam Ekaristi, sifat perjamuan dari Ekaristi dan menolak sifat korban dari misa kudus.106 Gerakan Reformasi ini berkembang sangat cepat dan pengaruhnya luas, hingga Raja Henry VIII menyatakan pemisahan diri Gereja Anglikan Inggris dari Gereja Katolik Roma walaupun sebenarnya disebabkan oleh alasan pribadi.107 Pada abad XVII-XVIII, zaman Aufklarung (Pencerahan) menghasilkan kelompok rasionalisme yang sangat menekankan akal budi atau rasio. Reaksi atas zaman ini ialah munculnya aliran romantisme yang amat menekankan perasaan. 108 Selanjutnya di 103 Berengarius menolak realis prasentia Christi (kehadiran Kristus yang sungguh-sungguh di dalam roti dan nggur perjamuan). Akibat penolakannya ini gereja menjadi heboh dan mendapat tanggapan yang serius dari gereja. Gereja mengutuk Berengarius dan tetap memaksanya untuk mengakui iman gereja akan Ekaristi kudus yakni sesudah konsekrasi, roti dan anggur benar-benar berubah menjadi tubuh dan darah Kritus 104 Matasudjita, Ekaristi,…, 51 105 Menanggapi Reformasi, Gereja Katolik melaksanakan beberapa kali Konsili yang dikenal dengan Konsili Trente (1545-1563). Trente menegaskan tiga hal. Pertama, Realis Pracentia, kehadiran Kristus yang sungguh-sungguh real dan nyata dalam ekaristi. Kedua, ajaran transsubtantiatio. Ketiga, kurban yang dirayakan dalam misa kudus adalah kurban salib Kristus. 106 107 Martasudjita, Sakramen-Sakramen,(Jogyakarta: Kanisius, 2003), 289 Sri Paus tidak menyetujui keinginannya menceraikan istrinya dan menikah dengan perempuan lain. 108 Terhadap aneka perubahan zaman ini, liturgi Roma bertahan mantap tanpa dapat dikutak-katik sedikitpun. Rahasia kuatnya liturgi Romawi ini tentu sangat terkait dengan suasana hasil gereja pasca-Trente hingga awal abad XX yang sangat klerikalis, piramidal, yuridis dan sangat menekankan kesatuan-keseragaman. Lih, Martasudjita, Sakramen-Sakramen,…, 236 101 abad XX pandangan Johannes Betz sangat mempengaruhi pemahaman Gereja tentang Ekaristi.109 E. PERBEDAAN SUBSTANSI DOGMATIS PERJAMUAN KUDUS ROMA KATOLIK DAN GEREJA PROTESTAN Ada dua perbedaan yag sangat substansial antara Gereja Roma Katolik dan Gereja Protestan dalam memahami Perjamuan Kudus. Pertama, doktrin TransubStantiation (perubahan zat). Pada saat Imam (Pastor) mengangkat roti dan berkata, “Inilah TubuhKu”, roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus. Ini bukanlah sebuah kasus yang sederhana dari penerapan pekerjaan Kristus, tetapi kehadiranNya secara personal dalam keanggunan dan kekuasanNya dalam roti dan anggur.110 Kedua, dalam pelaksanaan Eucharisti, anggur tidak dibagikan kepada jemaat, hanya roti saja. Pada Konsili Konstan (1414-1415) memutuskan bahwa anggur tidak lagi dibagikan kepada jemaat, hanya untuk para Pastor saja. Keputusan ini diteguhkan oleh Konsili Trente (1545-1563). 111 109 Menurut Betz, ada tiga macam kehadiran Kristus yang tidak pernah terpisahkan di dalam Ekaristi yang mencakup dan saling meliputi satu dengan yang lain (drei ineinanderliegende Gegewartsweisen). Pertama, kehadiran personalYesus Kristus. Pada perayaan Ekaristi seluruh diri-pribadi Yesus Kristus hadir dalam Roh Kudus. Kedua, kehadiran aktual tindakan Yesus Kristus. Kristus tidak hanya hadir sebgai pribadi tetapi dengan seluruh kaya dan tindakan penyelamatanNya, termasuk misteri kurban salibNya. Kurban salib Kristus itu dihadirkan dalam Ekaristi secara sakramental. Dan ketiga, kehadiran real Yesus Kristus dalam rupa roti dan anggur. Kehadiran pribadi Kristus dan karya penebusanNya dalam kurban salib itu mengalami penampakannya yang objekif dalam kehadiran real Tubuh dan Darah-Nya dalam rupa roti dan anggur. Lih. Martasudjita, Sakramen-Sakamen,…, 237 110 G. C Berkouwer, The Sakraments,…, 203 111 Keputusan ini dilandasi dengan dasar pemikiran bahwa dalam tubuh sudah ada darah. Jadi saat jemaat menerima tubuh (roti) Ekaristi, sesungguhnya darah Yesus juga telah diterima. 102 F. PERJAMUAN KUDUS DALAM PANDANGAN EKUMENIS Suatu pandangan ekummenis mengenai Perjamuan Kudus antara Gereja Roma Katolik dan Gereja-Gereja Reformasi tampak baik dalam dua dokumen. Pertama, Dokumen Hasil Sidang Raya di Geneva pada tahun 1975 yang mengatakan: Ekaristi atau Perjamuan Kudus adalah korban pujian yang besar, yang dengannya Gereja berbicara atas nama seluruh ciptaan. Karena dunia yang dengannya Allah telah memperdamaikan diri-Nya sendiri hadir dalam setiap Perjamuan malam: dalam roti dan anggur, dalam pribai orang-orang dan dalam doa-doa yan mereka naikan bagi mereka sendiri dan orang lain. Sementara orang-orang percaya dan doa-doa mereka dipersatukan dalam Pribadi Tuhan kita dan dengan syafaat-Nya, mereka diubah dan diterima. Dengan demikian Ekaristi atau Perjamuan Kudus mengungkapkan kepada dunia bagaimana seharusnya dunia itu.112 Kedua, dokumen Lima hasil Sidang Dewan Gereja-Gereja Sedunia (World Council Church) di Lima Ibu Kota Peru, Amerika Latin pada tahun 1982 yang berisi pernyataan teologis bersama mengenai baptisan, ekaristi dan pelayanan (Baptism, Eucharisti and Ministry atau sering disingkat BEM). Dalam dokumen ini secara maksimal telah disusun rumusan dan pernyataan yang menjadi titik temu bersama di atara Gereja Roma Katolik dan Gereja-Gereja Reformasi. Pertama, Ekaristi (Perjamuan Kudus) adalah pengenangan akan wafat dan kebangkitan Kristus. Anamneses ini tidak hanya berarti mengingat kembali apa yang sudah lewat serta artinya akan tetapi pemakluman yang efektif tentang tindakan kebesaran Allah dan janji-janjinya. Kedua, ajaran tentang realis prasentia menjadi ajaran yang disambut baik dan penuh kegembiraan dalam dokumen tersebut. Ketiga, Dalam BEM disepakati bahwa Kristus yang mengundang dan memimpin Perjamuan. Kehadiran Kristus ditandakan dan dihadirkan melalui seorang pelayan tertahbis. 112 One Baptism, One Eucharisti, and a Mutually Recognize Ministry, Faith and Order Paper 73 ( Geneva, 1975), 20 103