Latar Belakang - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup seorang diri. Dalam
kehidupannya manusia sebagai individu membutuhkan peran manusia lain, hal
inilah yang menuntut manusia untuk dapat menyesuaikan diri (adaptasi) dengan
kondisi dan diri manusia lainnya. Aktivitas manusia dalam hubungannya dengan
manusia lain terjadi proses interaksi dan sosialisasi yaitu melalui proses belajar
yang terjadi secara terus menerus. Proses sosialisasi itu pada akhirnya akan
membentuk suatu pemahaman yang sama terhadap sesuatu dalam suatu kelompok
atau komunitasnya (Sunarto, 2004:23).
Terbentuknya suatu pola pengetahuan inilah yang selanjutnya membentuk
tujuan yang sama pada kelompoknya. Proses belajar yang telah menjadi kebiasaan
dapat dikatakan sebagai budaya atau kebudayaan. Koentjaraningrat (1982:182)
mengatakan bahwa kebudayaan adalah:
”keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar.”
Kesamaan pola pengetahuan antara individu satu dengan individu lainnya
inilah yang kemudian dipolakan dalam kelompok sosialnya (komunitas) dan pada
akhirnya menjadi sebuah acuan dalam bertindak dan berkehidupan masing-masing
manusia anggota komunitas. Salah satu hal yang menarik untuk dikaji dalam suatu
komunitas adalah bagaimana setiap individu anggota komunitas membentuk suatu
Universitas Sumatera Utara
perilaku yang disebut dengan perilaku kolektif (Sunarto, 2004:187). Menurut
Lofland (2003:37), istilah perilaku kolektif secara harfiah mengacu pada perilaku
serta bentuk-bentuk peristiwa sosial lepas (emergent) yang tidak dilembagakan
(extra-institutional).
Medan sebagai ibukota Sumatera Utara merupakan kota terbesar ketiga di
Indonesia. Perkembangan teknologi dan akses informasi baik media elektronik
maupun media cetak berkembang dengan pesat di kota yang menuju menjadi kota
metropolitan ini. Dampak dari perkembangan teknologi dan pesatnya akses
informasi salah satunya adalah sangat terbukanya masyarakat khususnya anak
muda atau remaja kota Medan terhadap segala bentuk penyebaran informasi dan
globalisasi. Anak muda atau remaja kota Medan mengambil peran dalam hal
mengikuti perkembangan zaman secara global ini.
Salah satu komunitas anak muda atau remaja dengan perilaku kolektif dan
budaya penolakannya di kota Medan adalah komunitas musik indie. Musik indie
bukan merupakan suatu genre musik, melainkan musik indie adalah jalur bagi
band-band yang menuangkan hasil karyanya secara independent (mandiri) baik
dalam menentukan genre music, lagu dan album musik. Bayu (2003:1)
mengatakan bahwa:
”Indie label atau independent label adalah non major label. Jalur ini
merupakan salah satu opsi bagi band-band yang ingin menuangkan hasil
karya mereka dalam bentuk album. Konsep indie label yang mengusung
independensi, membebaskan setiap band menciptakan kreasi musik sesuai
idealisme mereka masing-masing. Ini dimungkinkan karena tidak adanya
campur tangan industri musik komersial yang cenderung mengubah jenis
dan warna musik mereka sesuai tuntutan pasar.”
Universitas Sumatera Utara
Umumnya, label indie dibangun atas dasar komunitas. Satu dekade
terakhir, label indie bermunculan. Namun, mereka tidak bersaing satu sama lain.
Sebaliknya, mereka justru bergandengan tangan meluaskan pengaruh musik
alternatif. Inilah kekuatan label indie atau sering juga disebut
label
nonmainstream (Kompas, 9 Mei 2010). Irwansyah Harahap, musikolog Medan
dalam majalah Kover (Edisi Mei 2010) mengatakan bahwa:
”Sebuah band indie bisa dikatakan berhasil apabila ia berhasil membentuk
pasarnya sendiri dan tidak lagi harus didikte label mainstream. Nah, di kita
malah masih sering salah kaprah. Orang masih berpikir dan beranganangan bagaimana caranya agar bisa menembus label mainstream. Padahal,
sebenarnya ukuran keberhasilan sebuah band indie ialah apabila ia mampu
mengisi ruang kosong yang belum diisi oleh label mainstream.”
Sebagai komunitas yang terlepas dari ’kungkungan’ major label,
komunitas ini pun memiliki suatu cara yang khas dalam mengemas setiap
pertunjukan-pertunjukan musik (event atau gigs) sebagai ajang mengekspresikan
karya-karya mereka kepada peminatnya yang pada umumnya berasal dari
kalangan anak muda atau remaja pula. Cara yang khas seperti ini pulalah yang
juga sebagai wujud perilaku kolektif dari komunitas musik indie tersebut. Hal
inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji secara mendalam mengenai
komunitas musik indie dan perilaku kolektif komunitas musik indie di kota
Medan.
Universitas Sumatera Utara
1.2. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah
yang dimaksud dengan komunitas musik indie dan bagaimana perilaku kolektif
yang ditunjukkan oleh komunitas tersebut?. Dari rumusan permasalahan ini
dijabarkan ke dalam tiga pertanyaan penelitian, yaitu;
1. Bagaimanakah asal usul munculnya musik indie dan remaja-remaja komunitas
musik indie?
2. Bagaimana kreativitas komunitas musik indie dalam menciptakan karya dan
menyelenggarakan pertunjukan musik?
3. Bagaimana bentuk komunitas musik indie sebagai wujud dari perilaku kolektif
dan bagaimana komunitas ini dapat bertahan dalam persaingan musik yang
sangat ketat?
1.3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini dilakukan pada tiga komunitas musik indie
kota Medan, yaitu komunitas Kirana, komunitas Tomat dan komunitas Medan
Movement. Adapun yang menjadi ruang lingkup penelitian adalah pertama, asalusul munculnya musik indie dan remaja-remaja komunitas musik indie. Kedua,
kreativitas
komunitas
musik
indie
dalam
menciptakan
karya
dan
menyelenggarakan pertunjukan musik. Dan yang terakhir adalah, komunitas
musik indie sebagai wujud dari perilaku kolektif dan bertahannya komunitas ini
dalam persaingan musik yang sangat ketat. Hal ini dapat diperoleh melalui dua
kategori informan, yaitu remaja-remaja sebagai pelaku ketiga komunitas musik
Universitas Sumatera Utara
indie Medan tersebut dan remaja-remaja kota Medan sebagai penikmat musik
indie kota Medan.
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1. Tujuan Penelitian
Penetapan tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting karena
setiap penelitian yang dilakukan haruslah mempunyai tujuan tertentu. Studi ini
bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan asal-usul dikenalnya musik indie di kota Medan.
2. Memaparkan kreativitas remaja-remaja pengikut
musik
indie dalam
menciptakan karya lagu, serta mendeskripsikan kreativitas remaja-remaja
komunitas musik indie dalam menyelenggarakan pertunjukan musik.
3. Mendeskripsikan komunitas musik indie sebagai wujud dari perilaku kolektif.
1.4.2. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian memiliki manfaat yang hendak dicapai agar hasil dari
penelitian dapat memberikan sumbangsih bagi pembaca nantinya. Secara
akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan
khususnya ilmu Antropologi, terutama mengenai komunitas musik indie. Selain
itu, diharapkan penelitian ini juga dapat menjadi bahan rujukan atau literatur bagi
para pembaca yang ingin meneliti lebih jauh mengenai komunitas musik indie dan
perilaku kolektif komunitas tersebut. Secara praktis, penelitian ini diharapkan
dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi para pembaca dan pihak-
Universitas Sumatera Utara
pihak yang terkait dengan komunitas musik indie. Dengan demikian, penelitian ini
dapat membantu para pembaca untuk memahani perilaku kolektif komunitas
musik indie, khususnya di kota Medan.
1.5. Tinjauan Pustaka
Nico frijda mengatakan bahwa perilaku manusia merupakan suatu keadaan
yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong dan kekuatan-kekuatan
penahan. Perilaku dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua
kekuatan tersebut di dalam diri seseorang. Perilaku manusia pada hakikatnya
adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri. Oleh karena itu perilaku manusia
mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi,
berpakaian, dan lain-lain. Bahkan kegiatan internal (internal activities) sendiri,
seperti berfikir, persepsi dan emosi, juga merupakan perilaku manusia (dalam
Mutis dkk, 2007:28).
Manusia tidak bisa hidup sendiri dan cenderung akan selalu melakukan
sharing (berbagi bersama) dengan manusia yang lain. Proses sharing ini lalu
diserap sebagai pengetahuan individual lewat proses belajar yang dilakukannya.
Apabila hasil dari proses sharing ini terus menerus disosilisasikan dan
dimantapklan akhirnya relatif membentuk pemahaman yang sama tentang sesuatu,
relatif memiliki kesamaan pola pengetahuan, bahkan dalam banyak hal relatif
memiliki artefak atau material yang sama (Sunarto, 2004:31).
Kesamaan antara individu satu dengan individu lainnya inilah yang
kemudian dipolakan dalam kelompok sosialnya, sehingga akhirnya menjadi
Universitas Sumatera Utara
sebuah acuan dalam bertindak dan berkehidupan masing-masing manusia anggota
kelompok tersebut (Koentjaraningrat, 1982:140). Selanjutnya, Mutis (2007:106121) mengatakan bahwa sesuatu yang terpola atau sesuatu yang telah menjadi
kebiasaan ini kemudian disebut dengan istilah budaya atau kebudayaan.
Menurutnya, ini artinya sesuatu yang disebut dengan budaya apabila hal-hal yang
dimiliki manusia tersebut sifatnya :
1. Sudah menjadi milik bersama dengan orang lain yang ada di kelompoknya.
Masalahnya, konsep bersama dalam hal ini kecenderungannya akan dilihat
secara berbeda oleh masing-masing ahli.
2. Sesuatu itu didapat lewat proses belajar dan tidak didapat secara biologis atau
genitas. Artinya, budaya sifatnya harus dipelajari dan tidak bisa diturunkan
begitu saja dari generasi sebelumnya. Akal manusia akan selalu memproses
pengetahuan yang diperoleh dari proses belajar ini, sehingga budaya
cenderung akan mengalami modifikasi dan perubahan, baik sifatnya lambat
(evolusi) maupun cepat (revolusi).
Menurut Hermawan (2008:1), secara umum, kelompok diartikan sebagai
kumpulan orang-orang. Sementara sosiolog melihat kelompok sebagai dua atau
lebih orang yang mengembangkan perasaan kebersatuan dan yang terikat
bersama-sama oleh pola interaksi sosial yang relatif stabil. Terdapat sejumlah
kriteria yang mencirikan apakah sekumpulan orang bisa disebut sebagai kelompok
atau tidak, tetapi pada dasarnya terdapat dua karakteristik pokok dari kelompok,
yaitu 1) adanya interaksi yang terpola dan 2) adanya kesadaran akan identitas
bersama.
Universitas Sumatera Utara
Komunitas adalah suatu kesatuan hidup manusia yang menempati suatu
wilayah yang nyata dan berinteraksi secara kontinu sesuai dengan suatu sistem
adat istiadat dan terikat oleh suatu rasa identitas. Berdasarkan yang tertulis di
Wikipedia, komunitas adalah:
”sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi
lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam
komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud,
kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah
kondisi lain yang serupa. Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas
yang berarti "kesamaan", kemudian dapat diturunkan dari communis yang
berarti "sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak".
Sekelompok manusia termasuk yang tergabung dalam suatu komunitas,
yang melakukan suatu kegiatan secara bersama dapat diartikan sebagai suatu
bentuk kolektivisme (kebersamaan). Perilaku sekelompok manusia yang
dilakukan secara bersama ini pula dapat diistilahkan sebagai perilaku kolektif.
Neil Smelser dalam Suryanto (2008:2) mengidentifikasi beberapa kondisi yang
memungkinkan munculnya perilaku kolektif, diantaranya:
1. Structural conduciveness, yaitu beberapa struktur sosial yang memungkinkan
munculnya perilaku kolektif, seperti: pasar, tempat umum, tempat peribadatan,
mall, dan sebagainya.
2. Structural Strain, yaitu munculnya ketegangan dalam masyarakat yang muncul
secara terstruktur. Misalnya: antar pendukung kontestan pilkada.
3. Generalized Belief: share interpretation of event, yaitu menginterpretasikan
suatu peristiwa yang diketahui oleh banyak orang. Misalnya suatu pertunjukan
acara atau konser.
Universitas Sumatera Utara
4. Precipitating factors, yaitu ada kejadian pemicu (trigerring incidence). Misal
ada pencurian, ada kecelakaan, dan lain-lain.
5. Mobilization for actions, yaitu adanya mobilisasi massa. Misalnya: aksi buruh,
rapat umum suatu ormas, dan seterusnya.
6. Failure of Social Control, yaitu akibat agen yang ditugaskan melakukan
kontrol sosial tidak berjalan dengan baik.
Bila dilihat dari beberapa kategori di atas, komunitas musik indie termasuk
dalam kategori yang ketiga dan keenam yaitu Generalized belief: share
interpretation of event, yang berarti bahwa anak muda yang tergabung dalam
komunitas musik indie mencoba menginterpretasikan suatu peristiwa yang pada
umumnya diketahui oleh banyak orang dan Failure of Social Control, yaitu
melakukan suatu perilaku kolektif akibat adanya agen yang ditugaskan melakukan
kontrol sosial tidak berjalan dengan baik. Menurut Barker (2008:338), anak muda
adalah:
” petunjuk alamiah dan niscaya dari usia yang ditentukan secara biologis,
suatu pengklasifikasian secara organis terhadap orang-orang yang
menempati posisi sosial tertentu akibat perkembangan usia mereka.”
Sibley di dalam bukunya Barker (2008:340) mengemukakan bahwa:
”Batas kategorisasi anak berbeda-beda di berbagai kebudayaan dan telah
mengalami perubahan berarti melalui perjalanan sejarah di dalam
masyarakat Barat kapitalis. Batas-batas yang memisahkan anak-anak dan
orang dewasa tetap merupakan sesuatu yang membingungkan. Remaja
adalah suatu zona ambivalen dimana batas anak-anak/dewasa bisa secara
beragam ditempatkan menurut siapa yang melakukan kategorisasi. Jadi,
remaja tidak mendapatkan akses di dalam dunia orang dewasa, namun
mereka mencoba mengambil jalan antara dirinya dengan dunia anak-anak.
Pada saat yang sama mereka mempertahankan sejumlah hubungan dengan
anak-anak. Remaja bisa terlihat mengancam dimata orang dewasa karena
Universitas Sumatera Utara
mereka menerobos batas-batas dewasa/anak-anak dan tampak berbeda di
ruang ’orang dewasa’... Tindakan menentukan garis batas dalam konstruksi
kategori-kategori yang terpisah menyela hal-hal secara alami
berkelanjutan.”
Perilaku kolektif anak-anak muda bersama komunitasnya, yaitu berusaha
menginterpretasikan suatu peristiwa akibat agen yang ditugaskan melakukan
kontrol sosial tidak berjalan dengan baik. Khususnya dalam hal musik, anak-anak
muda yang tergabung dalam komunitas musik indie, berusaha melakukan kontrol
sosial tersebut melalui musik indie. Musik indie sebagai suatu hasil karya seni,
merupakan salah satu wujud dari budaya populer. Musik indie adalah salah satu
media yang dapat digunakan untuk menyuarakan penderitaan rakyat tertindas
ataupun realitas sosial yang ada. Karya seni yang hanya menjadi instrumen
hegemoni yang membuat ilusi-ilusi dan fantasi dimana kemudian secara tidak
disadari membuat penikmat lupa terhadap realitas sosial disekitarnya, karena
keindahan dan kesan-kesan yang dibawa dan ditawarkannya (Wink, 2008:1).
Munawar (2008:2) mengemukaan bahwa seniman atau penikmat seni
dapat saja acuh terhadap realitas karena disibukkan dengan kontemplasi tentang
cinta, kasih sayang, keharuan dan sebagainya, sehingga tanpa di sadari dia sedang
melanggengkan sebuah tatanan sosial politik ekonomi dan yang lebih parah lagi
implikasinya terhadap kaum tertindas; dimana disaat mereka seharusnya sedang
berpikir dan mengusahakan terwujudnya suatu perubahan menuju keadaan yang
lebih baik, seniman-budayawan malah terlena dalam suasana mabuk keharuan,
cinta, kasih sayang, dll. Menurutnya, seni sebagai konsep perlawanan adalah
subordinat dari sebuah perlawanan budaya (counter cultur). Konsuekensinya
Universitas Sumatera Utara
karya seni tersebut akan terpinggirkan meski mungkin cuma sementara dan
menghadapi penolakan secara reaksioner dari masyarakat tetapi juga memiliki
resiko "dijinakkan" oleh hegemoni sistem yang ada dengan mengubahnya menjadi
sekedar konsep alternatif yang kemudian bakal menjadi mainstream kesenian.
Dalam konteks gerakan perubahan, seni adalah sebuah media sekaligus alternatif
perlawanan. Meski begitu seni tidak dapat lepas sebagai sebuah bentuk
perlawanan budaya (counter culture) tersendiri.
Musik populer cenderung diciptakan dengan beberapa sifat yang salah
satunya berupa representasi kehidupan manusia dimana di dalamnya terdapat
ekspresi, impresi, dan lain-lain. George Planketes melalui esainya yang berjudul
“Music” menyatakan lirik yang berupa kata-kata yang dinyanyikan dalam musik
dapat mensugesti (terutama para remaja) dan akhirnya termanifestasi ke dalam
perilaku pendengar tersebut (Muhary;2007:17).
Thomas Inge dan Dennis Hall dalam Muhary (2007:19) mengatakan :
“Musik merupakan pusat dari ‘pengalaman’ usia remaja, meliputi
identitasnya, ideologi, dan aktivitas. Semakin meningkat lirik lagu yang
rumit, menjadi sangat kuat dan sangat berarti, dari nyanyian perorangan
menjadi musik kelompok perlawanan untuk protes dan perubahan di
tengah-tengah pergolakan politik dan sosial dengan latar belakang sebuah
massa”
Strinati (2007:78-79) juga mengatakan bahwa:
“Sebenarnya Gendron menggunakan contoh produksi mobil untuk
menjelaskan apa yang dimaksud Adorno ketika dia mengatakan bahwa
fungsi kapitalisme adalah untuk menstandardisasi komoditas. Standardisasi
melibatkan pertukaran bagian-bagian bersama-sama dengan individualisasi
semu. Bagian-bagian dari suatu jenis mobil dapat dipertukarkan dengan
bagian-bagian mobil lain berdasarkan standarisasi, sementara penggunaan
gaya atau individualisasi semu seperti penambahan sirip belakang pada
Universitas Sumatera Utara
sebuah mobil Cadillac membedakan mobil-mobil antara satu sama lain,
serta menyembunyikan kenyataan bahwa standardisasi tengah terjadi.
Menurut Gendron, Adorno mengemukakan bahwa apa yang terjadi pada
mobil terjadi pada music pop. Keduanya dibedakan oleh inti dan periferi
(sampingan, tambahan), intinya mengikuti standardisasi, sedangkan periferi
tunduk pada individualisasi semu. Proses standardisasi itu terikat dengan
kehidupan orang-orang yang harus hidup di dalam masyarakat kapitalis dan
dengan status inferior music pop jika dibandingkan dengan music klasik
maupun music garda depan. Gendron juga menjelaskan bahwa
standardisasi music pop, menurut pandangan Adorno, berlangsung secara
diakronis (begitulah, dari waktu ke waktu seiring dengan ditetapkannya
standar-standar music pop) maupun secara sinkronis (standar-standar yang
berlaku kapan pun).”
Yudhasmara (2010:1) menyebutkan Indie pop adalah sebuah aliran musik
alternative pop yang berasal dari Inggris pada pertengahan era 1980an. Terkadang
istilah indie digunakan untuk menggambarkan grup musik yang berkarier secara
independen. Indie adalah gerakan bermusik yang berbasis dari segala yang ada
pada
penyanyi
tanpa
bantuan
langsung
label
mulai
dari
merekam,
mendistribusikan dan promosi dengan uang sendiri. Menurutnya, terdapat
perbedaan antara mainstream dan indie. Umumnya yang dimaksud dengan
mainstream adalah arus utama, tempat di mana band-band yang bernaung di
bawah label besar, sebuah industri yang mapan. Band-band tersebut dipasarkan
secara meluas yang coverage promosinya juga secara luas, nasional maupun
internasional, dan mereka mendominasi promosi di seluruh media massa, mulai
dari media cetak, media elektronik hingga multimedia dan mereka terekspos
dengan baik. Klasifikasi kelompok indie itu lebih kepada industrinya,
perbedaannya lebih kepada nilai investasi yang dikeluarkan oleh perusahaan
rekaman. Dilihat dari talenta dan bakat, tidak ada yang memungkiri kalau band-
Universitas Sumatera Utara
band indie terkadang lebih bagus daripada band-band mainstream. Masalah utama
mereka adalah uang, karena industri musik mainstream berbasis kepada profit,
jadi label menanamkan modal yang besar untuk mencari keuntungan yang lebih
besar pada nilai investasinya.
Istilah Indie, baru populer di pertengahan tahun 1990an. Awalnya
Indonesia lebih mengenal istilah underground bagi musik yang ‘lari’ dari trend
budaya mainstream. Perkembangan musik luar yang menghasilkan beberapa
varian-varian baru seperti grunge, brit pop, hip-hop, melodic punk dan lain-lain
(Fikrie, 2008:1). Hal ini menyeret anak-anak muda Indonesia pada sekian banyak
pilihan bermusik. Selanjutnya di kota-kota besar, banyak bermunculan band-band
serta komunitas-komunitas dengan varian musik yang beragam. Sejak saat itu
istilah underground mulai digantikan dengan istilah Indie. Mungkin istilah
underground, dirasa terlalu identik dengan musik metal. Maka istilah indie
dengan kesan yang lebih modern, mulai lazim digunakan.
“Pure Saturday”, menjadi pionir band-band dengan aliran selain metal
yang membuat album rekaman sendiri. Grup band ini tercatat mencetak album
pertamanya pada tahun 1995, dengan tajuk ‘Not A Pup E.P’. Keberhasilan
mencetak album ini lantas diikuti oleh sederet nama lain seperti “Waiting Room”,
“Pestol Aer”, “Toilet Sound” dll. Selanjutnya booming Indie semakin menjadi,
ketika “Mocca” (band Swing Pop asal Bandung) sukes menembus angka di atas
100.000 copy dalam penjualan kaset mereka. Keberhasilan “Mocca”, turut
membawa dampak bagi perkembangan musik indie. Selanjutnya deretan nama
Universitas Sumatera Utara
seperti “Puppen”, “Shagy Dog”, “Superman Is Dead”, “Rocket Rockers”,
“Superglad” dll, mencuri perhatian para penikmat musik.
Musisi Indonesia, banyak mengadopsi budaya barat dalam berkarya.
Sebagai negara bagian dunia ketiga, kita memiliki banyak ketertinggalan dalam
soal ekonomi dibanding dengan negara-negara maju. Akhirnya musik kelas bawah
di belahan utara bumi, diadaptasi oleh kelas menengah di Indonesia. Karena kelas
menengah memiliki kesempatan lebih untuk mengintip perkembangan dunia
musik luar negeri ketika itu. Tak heran presiden Soekarno kala itu pernah
memenjarakan “Koes Ploes”, karena musiknya dituduh identik dengan budaya
kapitalisme internasional. Soekarno dengan padangan politiknya melihat musik
“Koes Ploes”, bukan hal yang penting bagi kelas bawah di Indonesia. “Koes
Ploes” juga tak salah jika mengadaptasi musik yang menurut mereka
mengekspresikan kebebasan.
Semangat-semangat penolakan juga masih terdengar dalam lirik-lirik band
indie di Indonesia. Terakhir kita dengar “Efek Rumah Kaca” yang lugas dalam
merekam realitas sosial. Lagu ‘Di Udara’ misalnya, bercerita soal kematian
Munir, seorang aktivis hak azasi manusia. Selanjutnya ada ‘Cinta Melulu’, yang
mengkritik soal budaya latah musisi Indonesia dalam membuat lirik-lirik lagu
cinta. Hits lainnya ‘Jalang’, mengkritik kebijakan UU Pornografi dan Pornoaksi.
(Kompas, 3 September 2008). “Ras Muhammad” dengan musik reggaenya,
pantas juga di sebut sebagai musisi indie yang concern berbicara soal realitasrealitas sosial. Belum lagi jika menyebut beberapa band Punk seperti “Marjinal”
dan “Bunga Hitam”, yang hampir setiap lirik lagunya berbau kritik sosial. Hal
Universitas Sumatera Utara
yang sama juga masih dilakukan oleh band-band lain, seperti “Burger Kill”,
“KOIL”, “Seringai”, “Komunal” dll. Untuk band-band seperti ini, kita pantas
mengucap salut. Mereka benar-benar mengadopsi idealisme indie dalam
bermusik. Idealisme yang bukan hanya sekedar di maknai dalam proses distribusi
dan produksi kaset/cd, tapi juga dalam karya mereka yang jujur dalam merekam
realistas sosial (Fikrie, 2008:1).
Seharusnya band indie merupakan band yang beridealis dengan karakter
musikalitas dan menghasilkan sesuatu yang baru berdasarkan eksperimennya
tanpa mengikuti trend, sekaligus mereka melakukan aktivitas band secara mandiri,
seperti menitipkan demo ke radio, mencari gigs hingga memproduksi album.
Apalagi pegenalan dan penjualan karya sudah dapat dilakukan melalui teknologi
internet. Seiring jaman, tidak salah kalau mereka mendapatkan akses yang mudah
untuk mendukung aktivitas band indie itu sendiri. Kebutuhan kepada seseorang
yang dipercayai untuk mengurusi band, banyaknya telah menjadi kebutuhan band
indie (mandiri). Selain itu kertertarikan indie maupun Major Label pun akan
bersikap mengikuti keadaan idealisme band itu sendiri yang dilihat dari karya,
budaya dan massa.
Pekerjaan rumah untuk penggemar mereka adalah mengenalkan karya
mereka. Ini lebih efektif dan mungkin akan menarik industri, baik indie ataupun
Major Label. Perlahan budaya akan berubah untuk menikmati karya-karya dari
musisi kritis dengan keidealisan karyanya. Dalam kenyataannya, bentukan label
yang dikatakan Major mempertimbangkan pasar yang luas. Sebaliknya, hal ini
adalah Indie Label yang berjasa besar. Sebuah harga yang harus mahal untuk
Universitas Sumatera Utara
karya musikalitas yang berkualitas, bukan karya yang terlahir karena mengikuti
trend, tuntutan budaya atau industri musik/hiburan. Majalah Kover (Edisi Mei
2010) menuliskan bahwa:
”Sejarah mencatat, indie label memang tidak selalu bertumpu pada
penjualan album secara massal, tapi mengutamakan komunitas dulu.
Kemudian membentuk pasarnya sendiri. Sebenarnya, pergerakan indie
sudah menjalar ke ranah musik kita sejak tahun 1990-an. Padi adalah
salah satu band indie yang berhasil membentuk komunitasnya sendiri
hingga menancapkannya di jalur mainstream.”
Di Medan sendiri hanya beberapa nama band indie yang masih mampu
eksis, semisal “SPR”, “Cherrycola”, “Korine Conception”, “Army Clown”, “Sinar
Band” maupun “Beautiful Monday” yang saat ini dikabarkan sedang menjalani
proses rekaman untuk album band perdana di Jakarta. Band-band indie Medan ini
eksis dengan caranya masing-masing. SPR yang hidup dari panggung ke
panggung atas undangan beberapa event organizer Medan, senasib dengan “Army
Clown”. Sementara ada yang eksis atas kemauan yang kuat lewat promosi ke
promosi album. Caranya beragam, mulai dari menjalin koneksi dengan radio dan
media cetak, misalnya, seperti “Cherrycola” dan “Korine Conception” (Fikrie,
2008:1).
Belakangan, perkembangan musik indie di Medan memang drastis naik.
Diperkirakan jumlahnya ratusan band, mencakup pelajar dan mahasiswa. Mereka
berjalan dengan gayanya masing-masing. Ada yang mengekspresikan eksistensi
bandnya dengan membuat mini album tanpa peduli apakah album itu akan
“meledak” di pasaran atau tidak. Ini kemudian diikuti dengan munculnya
beberapa label rekaman, seperti Huria Record! dan Evilusound Record, dan
Universitas Sumatera Utara
beberapa label lainnya. Selain itu, muncul lagi rental-rental rekaman yang ternyata
menjadi peluang tersendiri bagi pengusaha musik di Medan. Salah satu rental
rekaman yang boleh dikatakan memadai itu adalah Music Room Studio yang
didirikan oleh T Harris. A. Sinar (Riza, 2004:1).
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Rancangan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif. Metode ini digunakan agar mampu menghasilkan data-data deskriptif
mengenai perilaku kolektif komunitas musik indie di kota Medan. Dengan
demikian, eksplorasi data secara mendalam tentang aktivitas kolektif remajaremaja yang tergabung dalam komunitas musik indie bisa terjaring dengan baik.
1.6.2. Informan Penelitian
Untuk menghasilkan data dengan tingkat akurasi yang baik mengenai
komunitas musik indie di kota Medan, maka penulis melakukan pengambilan data
melalui dua kategori informan, yaitu:
1. Pelaku komunitas musik indie yang merupakan pelaku langsung kegiatan musik
maupun pergelaran musik indie di Medan.
2. Penikmat musik indie yang merupakan penonton di setiap pergelaran musik
indie.
Universitas Sumatera Utara
1.6.3. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini dibedakan atas data kualitatif dan data kuantitatif.
Data kualitatif dijadikan data utama, sedangkan data kuantitatif digunakan untuk
melengkapi data kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan mencari data
primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari
lapangan melalui observasi dan wawancara mendalam. Sedangkan data sekunder
merupakan data yang diperoleh dari kepustakaan, dalam hal ini buku-buku,
literatur, jurnal, tesis, laporan penelitian, skripsi, serta bahan-bahan bacaan yang
relevan dengan masalah penelitian.
Dalam penelitian ini, pengumpulan data primer dilakukan dengan beberapa
teknik, yaitu :
1.6.3.1. Wawancara
Pertanyaan-pertanyaan awal hingga informasi yang dibutuhkan untuk
mendeskripsikan kondisi objektif, sangat efektif dengan metode ini. Metode ini
juga dapat lebih mendekatkan diri secara emosional dengan informan. Selain itu,
data-data otentik dari sudut pandang masyarakat (emic view) juga dapat dimulai
dengan wawancara. Menurut Bungin (2007:107) wawancara merupakan proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil
bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang
diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, di mana
pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama.
Wawancara yang dilakukan pada praktek penelitian ini bersifat
kondisional. Penulis melakukan wawancara terbuka ataupun tertutup, berencana
Universitas Sumatera Utara
dan tidak berencana, dan wawancara mendalam berdasarkan kondisi yang sesuai
dengan keadaan di lapangan. Untuk mendapatkan data tentang pengertian istilah
indie, penulis juga melakukan wawancara melalui surat elektronik (email) ke
email resminya “Pure Saturday” ([email protected]) yang dianggap sebagai
pioner band indie di Indonesia. Wawancara berencana dan tidak berencana,
penulis lakukan pada informan selaku penikmat musik indie, yaitu informan yang
terbilang sering penulis lihat hadir di setiap acara-acara pertunjukan musik indie
di kota Medan, seperti yang penulis lakukan kepada Nola Pohan, Rizki Maghfira,
dan Acid Anwar. Wawancara kepada informan tersebut langsung penulis lakukan
dengan cara berbincang di tengah-tengah pertunjukan musik indie (gigs).
Kekurangan dan ketidakjelasan data mengenai hal ini, penulis mengatasinya
dengan melakukan wawancara kembali kepada informan dalam gigs berikutnya
yang juga dihadiri oleh informan.
Wawancara mendalam penulis lakukan seperti kepada Yas Budaya (vokalis
“Alone At Last”, band indie asal kota Bandung) dalam kesempatan ketika “Alone
At Last” diundang konser oleh komunitas Medan Movement. “Alone At Last”
merupakan band indie Indonesia yang sampai saat ini mampu eksis dan produktif
dalam menghasilkan karya. “Alone At Last” juga merupakan band indie yang
cukup dikenal oleh remaja-remaja pelaku dan penikmat musik indie, serta
mempunyai friends (dalam dunia musik secara luas dikenal dengan istilah fans)
yang dinamakan ‘Stand Alone Crew’ yang tersebar di seluruh daerah Indonesia.
Atas dasar itulah, penulis langsung meminta waktu kepada Yas Budaya ketika
bertemu di Aula Terminal Futsal (tempat berlangsungnya konser “Alone At
Universitas Sumatera Utara
Last”). Sebelumnya, penulis tidak menyangka, Yas Budaya sangat merespon
dengan baik ajakan penulis untuk berdiskusi (wawancara) mengenai musik indie
dengannya, “Gue demen banget kayak ginian, gue respect sama lo. Yok kita
berbagi cerita” jawab Yas Budaya.
Wawancara penulis lakukan dengan Yas
Budaya beberapa jam sebelum “Alone At Last” konser.
Wawancara secara mendalam penulis lakukan khususnya bagi informan
kunci pada ketiga komunitas musik indie, yaitu informan selaku pelaku komunitas
musik indie yang merupakan anggota yang aktif dan berpengaruh di
komunitasnya seperti penulis mewawancarai Torep, Lutfi (Kentung) di komunitas
Kirana. Di komunitas Tomat ada Dicky dan Ari, dan di komunitas Medan
Movement penulis jumpai Indra Antian Sitompul (Bimbim), Fandy dan Darren.
Wawancara mendalam ini dilakukan sesuai dengan waktu dan tempat yang
disepakati informan dengan penulis. Tempat wawancara biasa dilakukan di tempat
berkumpulnya remaja-remaja komunitas tersebut, dan juga pernah dilakukan pada
malam hari di salah satu warung kopi yang ada di kota Medan. Penulis juga
memanfaatkan korespondensi melalui percakapan telepon, pesan singkat (sms),
dan BBM (BlackBerry Messenger) fasilitas pesan singkat yang disediakan
BlackBerry smartphone kepada informan apabila ada wawancara yang tidak
begitu jelas ditangkap oleh alat perekam, dan apabila informan sedang berada di
luar kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
1.6.3.2. Observasi Partisipasi
Informasi dan data pada penelitian ini salah satunya didapat dari observasi
partisipasi dimana peneliti terlibat aktif di dalam kegiatan remaja-remaja
komunitas musik indie. Selain itu, observasi partisipasi merupakan pilihan yang
tepat untuk mendukung akurasi data yang diperoleh dari wawancara. Penulis
terlibat langsung pada komunitas musik indie, lebih tepatnya pada komunitas
Tomat sekitar pada akhir tahun 2006 dan kemudian bergabung membentuk
komunitas Medan Movement. Penulis juga berperan aktif sebagai penikmat musik
indie sekaligus pelaku komunitas musik indie. Dalam hal bermusik, penulis
bergabung dalam band “Aboutmind”, sebagai additional (pemain pengganti)
bassist (pemain bass) dalam band “Parksound” dan “Just In Case”. Sebagai pelaku
komunitas musik indie, penulis juga berperan dalam proses penyelenggaran
pertunjukan musik indie (gigs) dan menjalin kerjasama dengan komunitaskomunitas lainnya.
Menurut Danandjaja (1994; 105), penelitian di lapangan (fieldwork) perlu
dipupuk dahulu hubungan baik serta mendalam dengan para informan sehingga
timbul percaya-mempercayai, disebut raport (rapport). Rapport atau hubungan
baik yang terjalin dengan remaja-remaja komunitas musik indie tersebut, tentu
memiliki manfaat tersendiri bagi penulis dalam melakukan penelitian ini. Tujuan
penelitian yang berusaha menggambarkan perilaku kolektif komunitas musik
indie kota Medan, dapat diperoleh dengan keterlibatan langsung penulis.
Keakraban dan hubungan personal yang berhasil penulis jalin dengan remajaremaja komunitas musik indie kota Medan yang dikaji tanpa kehilangan
Universitas Sumatera Utara
objektivitas penelitian, pada akhirnya keberhasilan dalam memperoleh data dapat
dilakukan dengan baik.
1.6.3.3. Literatur
Penelusuran literatur (studi pustaka) yang berhubungan dengan data-data
psikologi remaja, perilaku kolektif, budaya populer, dan teori-teori yang
berhubungan dengan masalah penelitian menghasilkan keterangan yang
membantu penulis untuk mempertajam analisis dan melengkapi data yang
dibutuhkan dalam penelitian ini. Adapun jenis literatur ini berupa buku-buku
teori, laporan penelitian; skripsi, tesis, disertasi, artikel, opini dari surat kabar atau
majalah, serta media online melalui internet.
1.6.3.4. Bahan visual
Sebagai bahan informasi sekunder, penulis menggunakan dokumentasi
visual untuk lebih menguatkan data dari hasil observasi dan wawancara. Alat
dokumentasi berupa kamera DSLR tipe Nikon D3000 10 Megapixel yang penulis
miliki.
1.6.4. Analisis Data
Pengelompokan
dari
data
yang
terkumpul
digunakan
untuk
mendeskripsikan komunitas musik indie, perilaku kolektif para remaja komunitas
musik indie. Analisis dan penyajian data kualitatif dilakukan dengan
menggunakan deskriptif analisis. Data-data yang telah dikumpulkan termasuk
juga catatan lapangan dikelompokkan atas dasar aktivitas khusus yang diteliti.
Kemudian, pengelompokkan data tersebut dikaitkan satu dengan yang lainnya
Universitas Sumatera Utara
sebagai suatu kesatuan kejadian dan fakta yang terintegrasi. Tahap terakhir,
kesimpulan diperoleh dari analisa data dan literatur-literatur yang terkait dengan
tujuan penelitian.
1.6.5 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam studi ini adalah di kota Medan yang terletak di
Jalan Kenanga Raya, kecamatan Medan Selayang, lokasi sebuah rumah sebagai
tempat berkumpulnya remaja-remaja komunitas Medan Movement. Jalan
Darussalam, kecamatan Medan Baru, tempat berdirinya studio musik Kirana dan
sekaligus sebagai tempat berkumpulnya remaja-remaja komunitas Kirana. Dan di
Jalan Tomat, kecamatan Medan Baru, tempat berdirinya studio Tomato dan
tempat berkumpulnya remaja-remaja komunitas Tomat.
Universitas Sumatera Utara
Download