PENGARUH KASEIN TERHADAP PENINGKATAN PEMBENTUKAN

advertisement
PENGARUH KASEIN TERHADAP PENINGKATAN PEMBENTUKAN
BIOFILM BAKTERI Staphylococcus aureus DARI SUSU MASTITIS.
The influence of casein increase establishment of Staphylococcus aureus
biofilm bacteria from mastitis milk.
Ahmad Khoirul Nahrowi, Pratiwi Trisunuwati, Sri Murwani.
Program Studi Pendidikan Dokter Hewan, Program Kedokteran Hewan, Universitas
Brawijaya
[email protected]
ABSTRAK
Kemampuan membentuk biofilm yang dimiliki oleh bakteri penyebab
mastitis, menjadikan penyakit tersebut sulit untuk diterapi. Hal ini disebabkan karena
biofilm tidak dapat ditembus oleh antibiotik maupun antibodi. Kasein pada susu
diduga mempunyai peranan dalam peningkatan pembentukan biofilm dengan cara
degradasi oleh extracelluler protease yang dimiliki oleh bakteri S. aureus menjadi βkasein sehingga dapat meningkatkan pembentukan biofilm. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh kasein terhadap pembentukan biofilm dari bakteri
S. aureus. Penelitian ini merupakan eksperimental menggunakan post test control
design only dengan rancangan penelitian RAL (Rancangan Acak Lengkap).
Perlakuan dalam penelitian ini adalah penambahan kasein yang dilarutkan pada
media MHB dengan kadar 15 g/L, 20 g/L, 25 g/L, 30 g/L, 35 g/L dan 0 g/L sebagai
kontrol positif. Pengukuran pembentukan biofilm dilakukan dengan ELISA reader /
microplate reader dengan panjang gelombang 570 nm (OD570nm). Data yang
diperoleh dianalisa menggunakan one way ANOVA. Hasil penelitian menunjukan
bahwa kasein meningkatkan pembentukan biofilm bakteri S. aureus pada
penambahan kasein 20g/L. Kesimpulan penelitian ini menunjukan bahwa kasein
berpengaruh terhadap peningkatan pembentukan biofilm S. aureus.
Kata kunci : mastitis, S. aureus, biofilm, kasein.
ABSTRACT
The ability to form biofilms by bacterial such as S. aureus againt masitis
impact in difficulty to treat, because biofilms can not be penetrated by antibiotics and
antibodies. Milk casein is likely to have a role in improving the establishment of the
biofilm . Casein is degraded by proteases extracelluler into β - casein could be
increase biofilm formation . The purpose of this study was to understand the
influence of casein on the formation of bacterial biofilms of S. aereus . This study
was an experimental post-test control design using the research design of randomized
completely design. The treatment in this study consisted of treatment of 15 g/L , 20
g/L , 25 g/L , 30 g/L , 35 g/L and 0 g/L as a positive control . Measurement of biofilm
formation was performed by ELISA reader / microplate reader at a wavelength of 570
nm (OD570nm) . The data analysis used is one way ANOVA test. The results of this
study casein effect on bacterial biofilm formation of S. aureus at casein added 20g/L.
The concludes of this result was casein affect securely the increased of biofilm
formation of S. aureus.
Keyword: mastitis, S. aureus, biofilm, casein.
PENDAHULUAN
Salah satu penyakit yang
mengancam industri peternakan sapi
perah adalah mastitis. Mastitis
merupakan penyakit infeksius yang
menyerang saluran susu. Menurut
Robert et al, (2003) salah satu
penyebab
mastitis
adalah
Staphylococcus aureus (S. aureus).
Mastitis yang disebabkan oleh S.
aureus pada saat ini sangat sulit
dikendalikan. Mastitis subklinis juga
banyak ditemukan, meskipun mastitis
klinis juga sering terjadi. Infeksi
mastitis
subklinis
menyebabkan
kenaikan SCC (Somatic Cell Count)
meningkat, tetapi tidak terdeteksi
infeksi pada ambing dan puting susu.
Infeksi oleh S. aureus sangat sulit
untuk dimusnahkan dengan terapi
antibiotik.
Staphylococcus
aureus
merupakan salah satu bakteri yang
menyebabkan mastitis kronis pada
sebagian sapi perah. Terapi mastitis
pada saat ini belum mendapatkan hasil
yang maksimal dan sesuai dengan
yang diharapkan karena sebagian
bakteri penyebab mastitis mampu
membentuk biofilm. S. aureus
membentuk biofilm sebagai upaya
pertahanan diri dari bakteri tersebut.
Biofilm yang dibentuk oleh S. aureus
berfungsi
sebagai
mekanisme
pertahanan bagi bakteri dengan cara
meningkatkan resistensi terhadap fisik
yang dapat menghancurkan sel-sel
yang tidak menempel, fagositosis oleh
sel-sel sistem imun (kekebalan) tubuh,
dan penetrasi dari senyawa beracun
seperti antibiotik. Bakteri di dalam
biofilm lebih resisten 10-1.000 kali
dibandingkan bila tidak di dalam
biofilm (Monroe, 2007).
Biofilm meliputi sekumpulan
mikroorganisme khususnya bakteri
yang melekat di suatu permukaan dan
diselimuti oleh pelekat karbohidrat
yang
dihasilkan
oleh
bakteri.
Komposisi biofilm terdiri dari sel-sel
mikroorganisme, produk ekstraseluler,
polisakarida sebagai bahan pelekat,
dan air yang merupakan bahan
penyusun utama biofilm dengan
kandungan hingga 97%. Polisakarida
(polimer dari monosakarida atau gula
sederhana) yang diproduksi oleh
mikroba untuk membentuk biofilm
termasuk eksopolisakarida (EPS) yaitu
polisakarida yang diproduksi dari
dalam sel. Bahan-bahan penyusun
biofilm yang lain contohnya adalah
protein, lipid, dan lektin (Sutherland,
2001). Biofilm mmenjadi masalah
pada sektor industri pangan seperti
industri peternakan susu (Chen dkk,
2007).
Bahan-bahan penyusun biofilm
tersebut merupakan bahan penyusun
susu. Komponen penyusun susu adalah
protein, lemak, vitamin, mineral,
laktosa serta enzim. Menurut Jones
(2006), pada kasus mastitis terjadi
perubahan komposisi susu yang salah
satunya adalah adanya penurunan pada
jumlah kasein. Susu sapi normal
jumlah kasein dapat mencapai 2,8%.
Susu yang terkena infeksi mastitis,
kadar kaseinnya menurun menjadi
2,3%.
Penurunan
kadar
kasein
tersebut yang menjadi landasan
berpikir untuk melakukan penelitian
ini, apakah kasein tersebut berperan
dalam pembentukan biofilm. Semua
uraian yang telah dijelaskan diatas
menjadi dasar penelitian ini dan untuk
mengetahui peran kasein dalam
meningkatkan pembentkan biofilm
dilakukan penelitian ini.
MATERI DAN METODE
Uji Konfirmasi Bakteri
Uji
konfirmasi
bakteri
dilakukan dengan serangkaian uji yang
diantaranya adalah sebagai berikut :
pewarnaan gram, uji katalase, dan uji
koagulase (Quinn et al., 2002). Uji
katalase merupakan uji yang dilakukan
untuk
membedakan
antara
staphylococcus dengan streptococcus,
dimana
pada
staphylococcus
mempunyai enzim katalase yang
bereaksi dengan Hidrogen Peroksida
(H2O2)
sehingga
menghasilkan
gelembung udara (Todar, 2008). Uji
koagulase
dialakukan
dengan
menanam bakteri Staphylococcus
aureus kedalam plasma kelinci dan
hasil positif ditunjukan dengan adanya
gumpalan (Cappucino and Sherman,
2005).
Metode Modified Congo Red Agar
(MCRA)
Metode MCRA digunakan
untuk mengetahui bakteri S. aureus
yang dapat membentuk slime layer.
Hasil positif dari pengujian ini
ditandati dengan munculnya warna
hitam pada koloni bakteri. Metode
MCRA yang digunakan mengadopsi
metode menurut Mariana et al (2009)
dengan menggunakan 0,4 gram CRA
40%, 40 gram BAB, 10 gram glukosa
yang dilarutkan pada 1000 mL
aquades.
Semua
sampel
kemudian
ditanam dalam media MCRA tersebut
dan diinkubasi selama 48-72 jam.
Hasil positif ditunjukan dengan
mnculnya koloni berwarna hitam pada
media.
Penambahan Kasein
Prosedur penambahan kasein
dilakukan sama dengan metode
Microtitter Plate Biofilm Assay.
Kasein yang ditambahkan bervariasi
mulai dari 15g/L; 20g/L; 25g/L; 30g/L
dan 35 g/L dan ditambahkan pada
media MHB. Penambahan kasein
dilakukan pada mikrotiter plate
sebanyak 100µL yang telah berisikan
biakan bakteri S. aureus 1,5 x 106
CFU/ml.
Metode Microtiter Plate Biofilm
Assay
Metode
digunakan
untuk
mengetahui jumlah biofilm yang
terbentuk
dengan
interpretasikan
jumlah biofilm yang terbentuk dengan
kepekatan warna dari masing-masing
sumuran pada mikroplate. Metode
yang dipakai untuk uji mikrotiter plate
adalah metode menurut Chamdit dan
Siripermpool, (2012) dengan beberapa
modifikasi, dengan langkah sebagai
berikut :
1. Setiap sampel yang digunakan
ditanam kedalam TSB dengan
ditambahkan 2,5% glukosa kemudian
diinkubasi selama 24 jam pada suhu
37oC.
2. Setelah diinkubasi suspensi bakteri
tersebut diukur dengan metode Mc
Farland 0,5 sehingga didapatkan
estimasi jumlah suspensi bakteri
mencapai 1,5 x 108 CFU/mL.
3. Masing-masing suspensi bakteri
diencerkan hingga konsentrasi 1,5 x
106 CFU/mL.
4. Suspensi diambil 10µL untuk
kemudian
dimasukan
kedalam
mikrotiter plate dan ditambahkan
100µL suspensi kasein dalam media
MHB kemudian diinkubasi selama 24
jam pada suhu 37oC.
5. Suspensi bakteri dicuci dengan PBS
dengan pH 7,5 sebanyak 3x.
6.
Fiksasi
biofilm
dengan
menambahkan methanol sebanyak
200µL kedalam well (sumuran) selama
15 menit, kemudian methanol dibuang.
7. Setiap sumuran diisi dengan 2%
kristal violet sebanyak 200µL selama 5
menit kemudian dicuci dengan aqudest
steril.
8. Sebanyak 200µL asam asetat glasial
33% dimasukan kedalam setiap
sumuran selama 15 menit.
9.
Sampel
diukur
dengan
menggunakan mikrotiter plate ELISA
reader dengan OD570nm.
Analisis Data
Penelitian
ini
merupakan
penelitian eksperimental laboratoris
dengan desain penelitian post test only
control-group design. Rancangan
penelitian yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Data yang diperoleh merupakan data
kuantitatif hasil pembacaan ELISA
reader yang berupa nilai absorbansi
atau Optical Density yang diukur
dengan ELISA reader (BIO-RAD
Model 550). Analisa data yang
digunakan adalah uji one-way ANOVA
kemudian dilakukan uji lanjutan
Tukey.
Penelitian
ini
juga
menggunakan uji korelasi-regresi
untuk mengetahui keeratan hubungan
antara keberadaan kasein terhadap
pembentukan biofilm S. aureus dan
untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh pemberian kasein terhadap
pembentukan biofilm S. aureus. Uji
statistik tersebut dilakukan dengan
bantuan software SPSS for Windows
versi 16.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Konfirmasi Bakteri
Uji
konfirmasi
dilakukan
dengan tiga pengujian, yaitu :
pewarnaan gram, uji katalase dan uji
koagulase.
Pewarnaan
gram
merupakan uji yang dilakukan secara
fenotip untuk membedakan antara
bakteri gram negatif dengan bakteri
gram positif berdasarkan struktur
dinding selnya. Hasil dari metode ini
merupakan warna ungu pada bakteri
gram positif dan warna merah pada
bakteri gram negatif. Warna tersebut
muncul dari zat pewarna yang
ditambahkan
pada
saat
proses
pewarnaan. Warna ungu berasal dari
kristal violet dan warna merah berasal
dari safranin. Bakteri Gram positif
akan mempertahankan zat pewarna
kristal violet dan akan tampak
berwarna ungu tua di bawah
mikroskop.
Bakteri gram negatif akan
kehilangan zat pewarna kristal violet
setelah dicuci dengan alkohol dan pada
saat pemberian zat pewarna safranin
akan tampak berwarna merah.
Perbedaan warna ini disebabkan oleh
perbedaan dalam struktur dinding
selnya. Bakteri gram negatif lebih
banyak mengandung lipid pada
dinding
selnya,
sehingga
saat
pemeberian alkohol lipid pada dinding
selnya akan meluruh dan akan
kehilangan zat pewarna kristal violet
(Midigan et al, 2004).
Pada sampel (Gambar 1)
diperoleh hasil pewarnaan gram
berupa bakteri yang berbentuk bulat
(coccus) bergerombol dengan warna
ungu.
Gambar 1 Hasil Pewarnaan Gram S.
aureus (perbesaran 1000X)
Uji
katalase
merupakan
pengujian yang digunakan untuk
membedakan bakteri Staphylococcus.
dengan Streptococcus. Staphylococcus
mempunyai enzim katalase sedangkan
Streptococcus tidak mempunyai enzim
katalase (Todar, 2008). Hasil uji
katalase sampel pada penelitian ini
menunjukan hasil positif yang
ditunjukan dengan adanya gelembung
udara pada sampel (Gambar 2).
Gelembung tersebut merupakan reaksi
antara enzim katalase yang dimiliki
oleh staphylococcus dengan H2O2.
Ketiga uji yang digunakan
untuk mengkonfirmasi sampel bakteri
yang digunakan dalam penelitian ini,
semua hasil menunjukan postif. Hasil
tersebut dapat menjadi bukti bahwa
sampel yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan bakteri S.
aureus.
Uji screening Pembentukan Biofilm
pada media MCRA
Gambar 2 Hasil Uji Katalase
Uji koagulase digunakan untuk
mengidentifikasi bahwa sampel yang
diuji merupakan positif S. aureus.
Bakteri
ini
mempunyai
enzim
koagulase
yang
mampu
mengkoagulasi / menggumpalkan
plasma darah kelinci. Hasil uji
koagulase sampel pada penelitian ini
juga menunjukan hasil positif yang
ditandai dengan adanya penggumpalan
dari plasma darah kelinci (Gambar
5.3), maka dapat dipastikan bahwa
sampel yang diuji merupakan bakteri
S. aureus (Katz, 2010).
Gambar 3 Hasil Uji Koagulase (anak
panah menunjukan penggumpalan)
Modified Congo Red Agar
digunakan sebagai uji seleksi awal dari
sampel bakteri yang digunakan dalam
penelitian ini. Hasil positif dari uji
MCRA ditunjukan dengan adanya
koloni yang berwarna hitam yang
merupakan reaksi dari PIA dengan
congo red agar pada MCRA.
Keberadaan gen icaA dan icaD
merupakan indikasi bahwa isolat
tersebut mampu membentuk biofilm,
sehingga MCRA dapat digunakan
sebagai uji seleksi awal pembentukan
biofilm (Mariana et al, 2009).
Gambar 4 Uji Modified Congo Red
Agar (MCRA);
Uji CRA dilakukan di dalam
media agar yang merupakan campuran
dari BHIA, sukrosa dan congo red
agar. Pengamatan hasil (Gambar 5.4)
dapat dilakukan langsung berdasarkan
pengelihatan secara langsung dimana
isolat yang memproduksi slime warna
koloninya berwarna hitam, sedangkan
isolat yang tidak memproduksi
berwarna merah muda atau merah
(Arciola et al., 2002)
Pada penelitian ini dilakukan
uji CRA terhadap S. aureus yang
diisolasi dari kasus mastitis pada sapi
perah. Hasil dari penelitian ini
didapatkan
beberapa
isolat
menunjukan aktifitas pembentukan
slime. Pada penelitian ini juga diamati
adanya isolat yang membentuk koloni
yang bersifat mukoid. Koloni mukoid
biasanya dihubungkan dengan sifat
bakteri membentuk kapsul protektif
(Quin et al., 2002).
Kapsul
memungkinkan bakteri untuk terhidar
dari sel-sel fagositosis dengan
menyamarkan antigen permukaan,
sehingga kapsul berperan sebagai
barier fisik baik terhadap opsonin
maupun sel fagositosis (Khan, 2002).
Efek Kasein terhadap Pembentukan
Biofilm Staphylococcus aureus
Penelitian ini menggunakan
kasein
sebagai
bahan
yang
mempengaruhi pembentukan biofilm
bakteri S. aureus. Kasein yang
digunakan dilarutkan kedalam media
MHB mejadi 5 jenis, yaitu 15 g/L ; 20
g/L ; 25 g/L ; 30 g/L ; 35 g/L. Artinya
dalam x gram kasein akan dilarutkan
kedalam satu liter media MHB. Hasil
data yang diperoleh (Tabel 5.1)
merupakan hasil dari pembacaan
menggunakan metode microtitter plate
biofilm assay yang selanjutnya akan
dilakukan pengujian / analisa data
dengan uji one way ANOVA yang
dilanjukan dengan uji post hoc TUKEY
HSD (œ = 0,05).
Tabel 1 Optical Density pembentukan biofilm S. aureus melalui metode Microtiter
Plate Biofilm Assay.
Perlakuan
Optical Density
Rata-rata + Standart
Deviansi
Sampel
Kasein
1
2
3
4
0 g/L 0.373 0.434 0.498 0.380
0.4212 + 0.0579 a
15 g/L 0.508 0.485 0.511 0.526
0.5075 + 0.0169 ab
Isolat S.
20 g/L 0.660 0.510 0.584 0.634
0.5097 + 0.0660 bc
aureus
SA9/I/201 25 g/L 0.728 0.718 0.658 0.670
0.6350 + 0.0346 cd
3/Madiun 30 g/L 0.726 0.691 0.702 0.764
0.7207 + 0.0323 d
35 g/L 0.737 0.803 0.758 0.725
0.7557 + 0.0343 d
Tabel diatas merupakan hasil
dari penelitian yang digunakan untuk
mengetahui efek dari kasein terhadap
pembentukan biofilm. Berdasarkan
tabel diatas diketahui adanya kenaikan
dari pembentukan biofilm yang
digambarkan dengan naiknya angka
dari pembacaan pada microplate
reader.
Efek
kasein
terhadap
pembentukan biofilm pada penelitian
ini diketahui dengan menggunakan
microtiter plate biofilm assay. Uji
mikrotiter plate memberikan hasil
kuantitatif untuk uji pembentukan
biofilm. Prinsip pengujian dari metode
ini adalah mengukur bakteri yang
membentuk biofilm dan menempel
pada permukaan mikroplate. Bakteri
yang melekat bisa menjadi indikator
pengukuran dengan melalui proses
pewarnaan
dan
nilai
dibaca
berdasarkan optical density (OD) pada
sumuran. Semakin banyak bakteri
yang melekat pada sumuran, maka
akan semakin tinggi OD yang
didapatkan (Westgate et al., 2011).
Kandungan kasein 0 g/L
merpakan
kontrol
positif
dari
penelitian ini. Hasil angka dari
pembacaan OD pada kandungan
kasein 0 g/L dapat dijadikan angka
batas minimal untuk mengetahui
adanya pengaruh dari kasein terhadap
pembentukan biofilm. Kandungan
kasein 15 g/L menunjukan kenaikan
pada angka pembacaan OD dari
pembentukan bioflm bakteri S. aureus.
Perlakuan dengan kandungan kasein
20 g/L ; 25 g/L ; 30 g/L dan 35 g/L
juga menunjukan kenaikan angka
pembacaan OD dan menunjukan hasil
yang berbeda nyata dengan kandungan
kasein 0 g/L.
Metode pembacaan OD pada
penelitian ini merupakan metode yang
sering digunakan untuk mengetahui
kemampuan bakteri untuk membentuk
biofilm, selain karena sifatnya yang
kuantitatif uji ini juga cukup mudah
dilakukan dengan untuk jumlah isolat
yang cukup banyak. Metode ini juga
digunakan untuk melihat pengaruh zat
tertentu terhadap pertumbuhan biofilm
dengan cara memodifikasi media yang
digunakan
untuk
menumbuhkan
biofilm (Coanye dan Nelis, 2010).
Peningkatan
pembentukan
biofilm disebabkan oleh adanya βkasein yang merupakan pecahan dari
kasein. β-kasein dihasilkan dari kasein
yang dipecah oleh extracelluler
protease yang dihasilkan oleh S.
aureus. β-kasein mempunyai peranan
meningkatkan pembentukan biofilm.
Dalam
upaya
meningkatkan
pembentukan
biofilm,
β-kasein
mempunyai peranan pada adesi dan
invasi sel bakteri maupun biofilm yang
telah lepas pada sel hospesnya. Sesuai
dengan yang dikemukakan Almeida
(2003). Teori terbaru yang ditemukan
bahwa
β-kasein
juga
mampu
menstimulasi terjadinya adesi dan
invasi pada sel hospes. Dengan adanya
β-kasein maka akan mempermudah
terjadinya adesi maupun invasi
kedalan sel hospes. Sehingga bakteri
maupun biofilm tersebut mampu
dengan mudah mengifeksi sel hospes.
Extracelluler
protease
merupakan enzim pemecah protein
yang dihasilkan oleh bakteri S. aureus
ataupun biofilm yang dibentuknya.
Extracelluler protease juga memicu
terjadinya peningkatan adesi dari
bakteri maupun biofilm itu sendiri.
Extracelluler protease dapat berperan
lagi dalam penempelan biofilm yang
lepas pada permukaan sel hospes.
Dengan adanya extracelluler protease
yang dihasilkan oleh bakteri yang
membentuk biofilm, bioflm juga dapat
dengan mudah masuk kedalam sel
hospes. Peran extracellular protease
dalam menstimulasi terjadinya adesi
adalah merusak protein membrane
yang ada pada sel hospes. Karena
extracellular
protease
merpakan
enzim yang berfungsi memecah atau
mendegradasi proten sehingga protein
membran pada sel hospes dapat rusak
karena terdegradasi dan bakteri S.
aureus
ataupun
biofilm
dapat
menempel (adesi) bahkan masuk
(invasi) kedalam sel hospes dengan
mudah. Alpha dan beta kasein
termasuk komponen susu yang dapat
mendukung pembentukan biofilm
bakteri (Varhimo et al.,2010).
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini
adalah kadar kasein susu mempunyai
pengaruh
terhadap
peningkatan
pembentukan
biofilm
bakteri
Staphylococcus aureus.
DAFTAR PUSTAKA
Almeida, R.A., Luther, DA., Nair, R.,
Oliver, S.P., 2003. Binding of
host glycosaminoglycans and
milk protein : possible in the
pathogenesis of Streptococcus
uberis mastitis. Vet. Microbiol.
94
Arciola, C. R., D. Campoccia, S.
Gamberini, M. Cervellati, E.
Donati, dan L. Montanaro.
2002.
Detection
Slime
Production by Means of
Optimised Congo Red Agar
Plate Test Based on A
Colourimetric
Scale
in
Staphylococcus
epidermidis
Clinical Isolate Genotipe for
ica locus. Biomaterial 23:
4233-4239
Cappucino, J. G. and N. Sherman.
2005.
Microbiology:
A
Laboratory Manual. 7th ed.
Pearson Education Inc. USA.
101 - 102, 117, 164, 166, 189,
204, 409 - 416, 509 - 512.
Chen, J., Rossman, M. L., & Pawar,
D. M. (2007). Attachment of
enterohemorragic Escherichia
coli to the surface of beef and a
culture medium. LWT – Food
Science and Technology, 40,
249–254.
Coanye, T., dan H. J. Nelis. 2010. In
Vitro and In Vivo Model
System to Study Microbial
Biofilm Formation. J. of Mic.
Met. 83: 89-105
Jones, G. M., 2006. Understanding the
basics of mastitis. Virginia
Cooperative Extension.
Publication No. 404-233.
Virginia State University,
USA,pp: 1-7.
Katz, D.S. 2010. Coagulase Test
Protocol. American Society of
Microbiology.
http://www.microbiologylibrar
y.org/index.php/library/laborat
ory-test/3220-coagulase-testprotocol.[9 oktober 2013]
Khan M.Z., Khan A. 2006. Basic Fact
of Mastitis in Dairy Animals : a
Review.
Department
of
Veterinary
Pathology,
University of Agriculture,
Faisalabad, Pakistan
Madigan, MT; Martinko J; Parker J.
2004. Brock Biology of
Microorganisms (10th Edition).
Lippincott Williams &
Wilkins. ISBN 0-13-066271-2.
Mariana N. S.,. Salman S. A., Neela
V. dan Zamberi S. 2009.
Evaluation of modified Congo
red agar for detection of
biofilm produced by clinical
isolates
of
methicillin–
resistance
Staphylococcus
aureus. African Journal of
Microbiology Research Vol.
3(6) pp. 330-338
Monroe D.,2007. Looking for Chinks
in the Armor of Bacterial
Biofilms. PLoS Biol 5(11): 307
Quinn, P. J., B. K. Markey, M. E.
Carter, W. J. Donnelly and F.
C. Leonard. 2002. Veterinary
Microbiology and Microbial
Disease. Blackwell Publishing.
USA. 43 - 46, 465 - 475.
Robert J.V., 2003. Managing New
Intramammary Infections in
The Fresh Cow. West
Michigan Veterinary Services
Zeeland, Michigan. National
Mastitis Council Regional
Meeting Proceedings. 30-35
Siripermpool. P, and Chamdit. S
2012. Anti mikrobial Effect of
Clove and Lemongrass Oils
against Planktonic Cells and
Biofilms of Staphylococcus
aureus. Mahidol University
Journal of Pharmaceutical
Sciences 2012: 39 (2), 28-36.
Sutherland IW. 2001. Biofilm
exopolysaccharides: a strong
and sticky framework.
Cambridge University Press
Microb. 147:3-9
Todar, Kenneth. 2008. The Good, the
bad and the Deadly. Todar’s
Online
Textbook
of
Bacteriology.
http://textbookbacteriology.net/
staph.html
Varhimo, E., Varmanen, P., Fallarero,
A., Skogman, M., Pyorala, S.,
Iivananainen, A., Sukura, A.,
Vourela, P., Savijoki, K., 2010.
Alphaand
βcasein
components of host milk
induce biofilm formation inthe
mastitis
bacterium
Streptococcus
uberis.
Veterinary
Microbiology
149.381-389
Westgate, S. J., S. L. Percival, P. D.
Clegg, D. C. Knottenbelt dan
C.
A. Cochrane. 2011.
Evidence and significance of
biofilm in chronic wounds in
horses. dalam: Biofilm and
Veterinary Medicine, Springer
Series on Biofilm 6. p: 143-173
Download