BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ketika tantangan yang dihadapi datang bersamaan dengan kesempatan untuk meningkatkan daya saing dan pencapaian di tengah persaingan global, perguruan tinggi mau tidak mau harus memperhatikan kapasitas institusinya dalam menghadapi tantangan dan peluang tersebut. Kapasitas institusi tersebut akan berkenaan dengan bagaimana perguruan tinggi mengelola Tri Darma, sumber daya manusia, keuangan dan tata kelola organisasi dengan berprinsip kepada tata kelola perguruan tinggi yang baik (good university governance). Salah satu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas tersebut adalah dengan memberikan otonomi kepada perguruan tinggi. Kartadinata (dalam Coffait & Hill, 2012: 64) menyatakan: “Autonomy will allow universities to make prompt decisions responsibly in responding the challenges and needs of the global community” Pernyataan tersebut menyampaikan bahwa tujuan dari otonomi perguruan tinggi adalah untuk memberikan kewenangan kepada perguruan tinggi dalam membuat keputusan yang cepat dan tepat dalam merespon kebutuhan lingkungan. Hal tersebut akan membuat penyelenggaraan universitas semakin relevan dengan perkembangan bangsa dan negara serta dunia global. Dinamika tantangan ekonomi global dengan bergesernya kekuatan ekonomi ke belahan dunia Asia menuntut perguruan tinggi di wilayah ini untuk mampu menjadi institusi yang lebih otonom agar mampu merespon tantangan 1 tersebut dengan cepat. Barnet (dalam Coiffait & Hill, 2012) menggambarkan bahwa pada saat ini mata dunia tengah fokus tertuju kepada kemunculan Asia sebagai kekuatan ekonomi global yang membuat pendidikan tinggi di negaranegara Asia menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Hal ini disebabkan karena untuk membangun daya saing sebuah bangsa pembangunan tidak lagi terfokus kepada pembangunan fisik dan eksplorasi sumber daya alam semata melainkan lebih menekankan kepada pembangunan modal manusia. Universitas Gadjah Mada adalah salah satu universitas yang saat ini memegang status Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) bersama dengan 10 perguruan tinggi negeri yang lain yang telah siap. Perubahan status ini semakin dikuatkan dengan disetujuinya statuta UGM dengan diterbitkannya peraturan pemerintah nomor 67 tahun 2013 tentang statuta Universitas Gadjah Mada yang menjadi landasan UGM dalam menjalankan universitas yang lebih otonom dan mandiri. Dalam sejarah pendiriannya Universitas gadjah Mada adalah universitas nasional pertama yang didirikan oleh rakyat Indonesia dengan status Vritje Universiteit atau universitas swasta/milik rakyat (Santoso, 2013: 2). Dengan kata lain ketika awal berdiri universitas Gadjah Mada sudah berstatus independen atau otonom. Dinamika perubahan kebijakan pendidikan tinggi dari masa ke masa membawa Universitas Gadjah Mada ke berbagai status yang berbeda dengan implikasi yang berbeda-beda sampai pada status saat ini yang seharusnya kembali membawa UGM menjadi universitas yang otonom. Dari hasil studi yang dilakukan oleh peneliti melalui studi literatur dan wawancara dengan 14 informan 2 kunci, perubahan yang terjadi akibat perubahan status Universitas Gadjah Mada menjadi PTN BH membawa banyak perubahan yang penerapannya tidak mudah diimplementasikan di dalam tata kelola perguruan tinggi. Dua dimensi yang menjadi tantangan terbesar dalam penyelenggaraan Universitas Gadjah Mada adalah pengelolaan keuangan dan sumber daya manusia karena pengelolaan kedua komponen tersebut masih melibatkan kewenangan pemerintah. Status otonomi perguruan tinggi yang diberikan menjadi dilema dalam pengelolaan sumber daya manusia. Hal ini disebabkan karena sebagian sumber daya manusia adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang pengelolaannya masih bergantung kepada pemerintah pusat dan sebagian yang lainnya adalah sumber daya manusia yang dikelola secara mandiri oleh UGM. Sementara itu, dengan otonomi yang diberikan seharusnya UGM mempunyai kewenangan penuh dalam membuat keputusan atas pengelolaan sumber daya manusianya. Berkenaan dengan pengelolaan akademik, UGM sudah otonom secara substantif. Akan tetapi dalam tataran praksis masih terjadi gesekan antara otonomi penyelenggaraan akademik dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang dibuat oleh pemerintah. Selain itu, pemahaman tentang status otonomi yang disandang UGM dan implikasinya belum dipahami secara komprehensif oleh sebagian manajemen universitas. Bahkan mereka melihatnya secara pesimis sebagai kesulitan dibandingkan sebagai sebuah peluang untuk secara lebih efisien, efektif, dan responsif dalam menjalankan tata kelola perguruan tinggi di UGM. Oleh karena itu, melakukan studi secara intensif tentang kasus ini diharapkan akan memberikan pemahaman tentang bagaimana sebenarnya implikasi dari status 3 otonomi yang disandang oleh UGM terhadap dinamika penyelenggaraan institusi tersebut . Dinamika penyelenggaraan UGM pada saat ini adalah akumulasi dari sejarah panjang perjalanan institusi ini melayani pendidikan bangsa Indonesia sejak bangsa ini baru merdeka. Dengan demikian, pembahasan dinamika penyelenggaraan universitas Gadjah Mada sebagai universitas negeri badan hukum tidak bisa dilepaskan dari pembahasan penyelenggaraan pada masa UGM menjadi PTN, PT BHMN dan PT BLU. Hal tersebut disebabkan karena dinamika yang terjadi sekarang adalah perngaruh dari keadaan UGM pada masa sebelumnya. Salah satu contoh adalah dualisme pengelolaan SDM universitas yang penulis kemukakan secara khusus pada Bab VII. Organisasi universitas secara umum berevolusi menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana organisasi tersebut berada agar tetap bisa relevan dengan kebutuhan masyarakat dan tujuan penyelenggaraan universitas tersebut. UGM misalnya, cikal bakal universitas ini adalah Balai Pendidikan Tinggi Gadjah Mada yang didirikan oleh rakyat dan berstatus otonom. Ketika berubah menjadi PTN melalui amalgamasi perguruan tinggi-perguruan tinggi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, UGM berubah menjadi universitas milik pemerintah. Pada masa awal penyelenggaraanya, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1950 tentang Peraturan Sementara Tentang Universitas Gadjah Mada, negara menjamin otonomi Universitas ini dengan memberikan status Badan Hukum. Akan tetapi dalam tataran praksis, otonomi ini tidak pernah benar-benar ada karena penyelenggaraannya diatur dengan keputusan-keputusan yang dibuat oleh 4 pemerintah pusat. Oleh karena itu, penelitian ini melakukan studi terhadap penyelenggaraan UGM sejak universitas ini berdiri dengan membaginya ke dalam periodesasi untuk memberikan nuansa perbandingan dalam dinamika penyelenggaraan Universitas Gadjah Mada dari masa ke masa. Mempelajari dinamika perubahan di universitas terkait dengan usaha untuk menjadi universitas yang lebih otonom diharapkan akan bisa memberikan masukan kebijakan dalam pembuatan keputusan untuk keberlanjutan Universitas Gadjah Mada dalam melayani pendidikan anak bangsa di tengah tantangan global. Selain itu, penelitian ini diharapkan bisa memberikan gambaran dinamika perubahan sebuah pergguruan tinggi menjadi perguruan tinggi yang otonom sebagai sebuah learning case bagi perguruan tingggi negeri lainnya yang akan menuju ke tahap tersebut. Dalam melihat dinamika otonomi perguruan tinggi di Universitas Gadjah Mada tersebut, peneliti membagi data dalam 4 periodesasi yaitu; a) Periode PTN yaitu UGM dalam status Perguruan Tinggi Negeri (PTN), b) Periode PT-BHMN yaitu UGM dalam status Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN), c) Periode PT BLU UGM dalam status Perguruan Tinggi Badan Layanan Umum (PT BLU), dan d) Periode PTN BH UGM dalam status Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) Penggunaan istilah periode atau periodesasi dalam pembahasan selanjutnya merujuk kepada pembagian tersebut. Periodesasi tidak dibuat 5 berdasarkan waktu melainkan berdasarkan perubahan status hubungan antara institusi Universitas Gadjah Mada dengan pemerintah. Perubahan status kelembagaan UGM merubah bagaimana hubungan antara pemerintah dengan Universitas berjalan. Dilihat dari konsekuensi kelembagaan, hubungan tersebut dimulai dengan hubungan antara pemerintah dengan unit pelaksana teknis yaitu UGM sebagai PTN dengan ruang otonomi, kemudian bergeser kepada semakin hilangnya otonomi. Perubahan menjadi PT-BHMN merubah bentuk hubungan tersebut menjadi kontraktual. Sedangkan perubahan menjadi PT BLU kembali membawa hubungan UGM dengan pemerintah menjadi hubungan instruksional. Yang terakhir, perubahan status UGM menjadi PTN BH kembali membawa hubungan UGM dengan pemerintah dalam konteks kontraktual. Perubahan status UGM pada setiap periode berimplikasi kepada perubahan struktur organisasi (organizational structure), tata kelola sumber daya manusia (human capital management), tata kelola keuangan (financial allocation and management) dan kepada penyelenggaraan akademik (academic matters). Umumnya perubahan membuat organisasi mengalami turbulensi karena berada dalam masa transisi dalam mengimplementasikan kebijakan baru yang dihasilkan oleh perubahan tersebut (Carnall: 2007), Daft (2010), Bolman & Deal (2008). Bentuk penyelenggaraan otonomi melalui PTN BH ini memungkinkan perguruan tinggi mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam mengelola institusinya. Akan tetapi, masih banyak perdebatan tentang bentuk otonomi seperti apa yang harus diimplementasikan di perguruan tinggi di Indonesia mengingat disparitas kualitas antar perguruan tinggi yang begitu dalam dan juga 6 perbedaan tantangan yang dihadapi oleh setiap perguruan tinggi. Terdapat 3000 lebih institusi perguruan tinggi yang tersebar ke seluruh pelosok Nusantara. Sebagian masih berkutat dengan masalah akses mahasiswa, kualitas input, infrastruktur, dan permasalahan-permasalahan yang mendasar lainnya. Sementara itu, sebagian lagi ada yang sudah siap untuk berkompetisi dalam persaingan global di tingkat regional maupun internasional. Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk mencoba memberikan gambaran tentang dinamika pelaksanaan otonomi pendidikan tinggi di Indonesia dengan melakukan penelitian dengan pendekatan intensif (intensive approach) melalui studi kasus (case study) atas dinamika perubahan Universitas Gadjah Mada yang sedang mengimplementasikan otonomi perguruan tinggi melalui status PTN BH. James (1965) berpendapat bahwa otonomi pada dasarnya bukan privilese yang diberikan kepada perguruan tinggi, melainkan sebuah sifat intrisik yang dimiliki oleh institusi itu sendiri. Sifat tersebut adalah kondisi dasar yang memungkinkan institusi untuk menjalankan fungsi Tri Darma Perguruan Tinggi. World Bank (2014) mendefinisikan otonomi perguruan tinggi sebagai wujud desentralisasi, yaitu transfer kekuasaan dan tanggung jawab dari struktur yang lebih tinggi kepada struktur yang lebih rendah. Dalam hal ini transfer tersebut dapat dimaknai sebagai transfer dari pemerintah pusat yang diwakili oleh Dinas Pendidikan Tinggi kepada institusi perguruan tinggi. Nizam (2006) menyampaikan bahwa kebutuhan akan otonomi penyelenggaraan perguruan tinggi di Indonesia sebagai kebutuhan yang mendesak untuk memenuhi tujuan berikut: 7 1. Meningkatkan kualitas, relevansi kesetaraan, efisiensi dan tata kelola institusi perguruan tinggi, 2. Menempatkan institusi pendidikan tinggi dalam posisi yang tepat sebagai kekuatan moral independen untuk mendorong demokrasi dan reformasi sosial-politik di negara Indonesia, 3. Menyambut tantangan baru yang didorong oleh konstruksi knowledge economies, internasionalisasi dan kompetisi ketat dunia global. Lebih lanjut, Zadja (2006), Rondinelli (1981) mengungkapkan bahwa konsep desentralisasi adalah konsep rumit yang memiliki banyak segi (multifaceted). Perguruan tinggi dituntut untuk mandiri dalam pengelolaan institusinya. Sementara di sisi yang lain, penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai bagian dari pelayanan publik harus selaras dengan kebijakan dan regulasi atas pendidikan tinggi sekaligus regulasi-regulasi lain yang mengatur aspek penyelenggaraannya. Dalam konteks penelitian ini misalnya, pengelolaan sumber daya manusia seharusnya menjadi kewenangan penuh UGM, tetapi pada praktiknya kewenangan tersebut beririsan dengan kewenangan Kementerian Pengelolaan Aparatur Negara dan Kementerian Riset & Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Oleh karena itu, salah satu fokus pertanyaan penelitian pada penelitian ini spesifik mengeksplorasi tantangan pengelolaan sumber daya manusia pada periode PTN BH. Sementara itu, dalam aspek pengelolaan keuangan, kewenangan institusi tersebut terkekang oleh aturan pengelolaan keuangan negara yang dikontrol oleh Kementerian Keuangan. Dengan demikian konteks otonomi perguruan tinggi di 8 Indonesia pada umumnya, dan UGM pada khususnya adalah menempatkan otonomi perguruan tinggi di tengah-tengah kendali aturan tersebut. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang dipaparkan sebelumnya, maka rumusan permasalahan pokok dalam penelitian adalah: Bagaimana dinamika otonomi perguruan tinggi dalam perubahan tata kelola Universitas Gadjah Mada dari masa ke masa dalam setiap perubahan status? Rumusan permasalahan pokok tersebut akan dijawab melalui pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apa perubahan yang terjadi dalam penyelenggaraan Universitas Gadjah Mada dalam setiap perubahan status? 2. Dalam setiap perubahan status, bagaimana perubahan hubungan antara Universitas Gadjah Mada dengan Pemerintah? 3. Pada perubahan dari status PT-BHMN ke PT BLU dan kemudian ke PTN BH, UGM mengalami masa transisi yang relatif cepat; terkait tata kelola apa saja yang tetap, dan apa saja yang berubah? 4. Apa saja tantangan yang dihadapi oleh Universitas Gadjah Mada dalam menghadapi perubahan tata kelola terutama dalam pengelolaan sumber daya manusia pada periode PTN BH? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi di Indonesia melaui contoh kasus implementasi perubahan status Universitas gadjah Mada dari masa ke masa yaitu dari masa sejak menjadi PTN, PT-BHMN, PT BLU dan status saat ini yaitu PTN BH. 9 Dengan melakukan studi ini peneliti berharap bisa mengetahui perubahan apa saja yang terjadi dengan perubahan status tersebut dalam kerangka keluasan otonomi yang diakibatkan oleh status yang disandang. Dengan melakukan studi kasus intensif (intensive case study) melalui pengumpulan data dokumentasi, observasi dan wawancara, studi ini diharapkan mampu memberikan gambaran dinamika penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi dalam konteks tantangan yang dihadapi, apa saja yang berubah (what change) dan apa saja yang tetap (what states), bagaimana hal tersebut berubah (how these change) dan mengapa berubah (why these change). Dengan berpijak pada tujuan tersebut diperoleh gambaran implikasi otonomi dalam setiap aspek penyelenggaraan UGM baik di bidang akademik, sumber daya manusia, organisasi dan tata kelola serta usaha perguruan tinggi dalam menopang pembiayaannya melalui ventura yang dikelola oleh institusi perguruan tinggi. Penelitian ini menghadirkan sebuah matriks yang menjelaskan otonomi perguruan tinggi di Universitas Gadjah Mada dari masa ke masa sehingga diperolah pemahaman tentang otonomi perguruan tinggi dalam konteks Universitas Gadjah Mada pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian studi kasus tentang penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi di Indonesia dengan mengambil kasus penyelenggaraan di UGM ini diharapkan dapat memberikan manfaat penelitian antara lain: 1.4.1. Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan khasanah literatur tentang otonomi perguruan tinggi, khususnya tentang bagaimana konsep tersebut 10 diterapkan pada sebuah institusi perguruan tinggi di Indonesia. Walaupun otonomi perguruan tinggi adalah sebuah konsep lazim di belahan dunia lain, namun dalam kasus usaha reformasi pendidikan tinggi di Indonesia konsep ini masih terbilang baru di kalangan praktisi dan akademisi dan baru muncul lagi ke publik sejak disahkannya Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi. Oleh karena itu, penggunaan pendekatan studi kasus pada penelitian ini diharapkan akan bisa mengeksplorasi dinamika perubahan, tantangan-tantangan dan kendala yang dihadapi oleh Universitas Gadjah Mada sehingga bisa menggambarkan karakteristik penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi di Indonesia dalam konteks Universitas Gadjah Mada. 1.4.2. Manfaat Praktis Implementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia juga belum menunjukkan hasil yang maksimal dan masih umum dipahami hanya terbatas kepada desentralisasi pemerintahan daerah. Desentralisasi dalam bidang pendidikan tinggi yang berbentuk otonomi perguruan tinggi pun baru diberlakukan kepada sebagian kecil perguruan tinggi yang ada di negeri ini. Dengan diberlakukannya otonomi perguruan tinggi pada beberapa perguruan tinggi yang dinilai sudah siap menyandang status PTN BH, peneliti melihat ini akan menjadi tren hubungan pemerintah dengan perguruan tinggi ke depannya. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan gambaran kepada perguruan tinggi-perguruan tinggi negeri yang berniat untuk menyandang status yang sama atau sedang dalam proses menjadi PTN BH tentang bagaimana dinamika pelaksanaan tata kelola perguruan tinggi dalam menyambut perubahan 11 menuju perguruan tinggi yang lebih otonom. Selain itu, bagi perguruan tinggi yang menjadi objek kasus penelitian, hasil studi kasus ini diharapkan bisa menjadi evaluasi diri dalam mengevaluasi dan merumuskan kebijakan strategis dalam membawa Universitas Gadjah Mada menjadi universitas kelas dunia yang melayani kebutuhan bangsa seperti yang tertera dalam visi universitas. 1.5. Keaslian Penelitian Ishdama Wiswardana (2013) melakukan telaah kritis terhadap implementasi undang-undang nomor 12 tahun 2012 pada periode transisi perubahan status PTBHMN ke PTN BH dalam konteks melihat jatidiri UGM sebagai kampus pancasila. Penelitian ini dibingkai dalam teori politik yang berkenaan dengan bagaimana politik mempengaruhi kebijakan publik dan implementasi kebijakan. Penelitian tersebut tidak spesifik membahas tentang otonomi perguruan tinggi. Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi kasus dengan kasus tunggal yang dibuat dalam sistematika periodesasi (chronicles) yang mencoba memberikan gambaran dinamika penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi di Indonesia dengan mengambil kasus penyelenggaraan di Universitas Gadjah Mada (UGM). Dengan sistematika periodesasi yang didasarkan kepada perubahan status dari masa ke masa, peneliti berharap studi ini akan memberikan gambaran yang menyeluruh tentang dinamika sebuah perguruan tinggi dalam usahanya untuk menjadi perguruan tinggi yang otonom. Oleh karena itu, peneliti berkeyakinan bahwa penelitian ini asli buah pikiran peneliti sendiri. 12