Stilistika Thn 4 no 1 - 2014.pmd

advertisement
DIKSI PUITIS KUMPULAN CERPEN “MENGAKAR KE
BUMI MENGGAPAI KE LANGIT JILID 3”
KARYA TAUFIQ ISMAIL
Nani Solihati
Dosen Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA Jakarta
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui diksi puitis yang terdapat dalam cerita pendek karya
Taufiq Ismail dengan indikatornya adalah penggunaan majas dalam cerpen-cerpenya tersebut. Metode yang
digunakan untuk mengkaji cerpen adalah metode deskriptif analisis dengan bentuk kumpulan data secara faktual
yang terdapat dalam keempat cerpen yang ada dalam himpunan tulisan “Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit”
Jilid 3 karya Taufiq Ismail. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa cerpen-cerpen Taufiq Ismail menggunakan berbagai
bentuk majas secara variatif untuk membangun karya cerpen yang utuh.
Kata kunci: Diksi Puitis, Majas, Cerpen
Abstract: This research aims at finding poetic dictions which are applied short stories of Taufiq Ismail. The
indicators used in analyzing the short stories in the linguistic styles found on it. This research uses analytical
descriptive method with the factual data. The data are gotten by analyzing four short stories in “Mengakar Ke
Bumi Menggapai Ke Langit” episode 3. The result shows that Taufiq Ismail short stories use many various
linguistic styles to make the complete and meaningful stories.
Keyword: Poetic Diction, Linguistic style, Short stories
PENDAHULUAN
Taufiq Ismail (TI) dikenal sebagai seorang
penyair Angkatan ‘66. Puisi-puisinya bernapaskan
perjuangan menumbangkan Orde Lama seiring
dengan pergerakan-pergerakan heroik mahasiswa.
Hal ini terlihat pada sajak-sajaknya seperti Kita
Pemilik Sah Republik Ini, Salemba, Karangan Bunga,
dan Sebuah Jaket Berlumur Darah. Selain menulis
mengenai gerakan mahasiswa, Taufik Ismail (TI)
juga melakukan kritik sosial lewat puisi-puisinya
yang satir, seperti pada puisi Tuhan Sembilan Senti,
Malu (Aku) Jari Orang Indonesia, dan Miskin Desa,
Miskin Kota.
Kepenyairan Taufik Ismail (TI) juga telah
mendapatkan banyak pengakuan dengan meraih
berbagai penghargaan seperti Anugrah Seni dari
Pemerintah RI (1970), Cultural Visit Award dari
pemerintah Australia (1977), SEA Write Award dari
kerajaan Thailand (1994). Untuk meneguhkan
kepenyairannya itu, ia juga menerbitkan himpunan
puisinya dari mulai ia menulis puisi sampai pada
puisi mutakhirnya yang terangkum Mengakar ke
Bumi Menggapai ke Langit Jilid I yang tebalnya
mencapai 1076 halaman. Kumpulan puisinya ini
diterbitkan pada tahun 2008.
Sebagai seorang penyair, tentu saja
kepenyairannya sudah tidak perlu dipertanyakan
lagi. Terlebih lagi, telah banyak telaah terhadap
puisi-puisinya itu. Namun bagaimana dengan
cerpen-cerpennya? Taufik Ismail (TI) lebih dikenal
sebagai seorang penyair dan pemerhati sastra
melalui esai-esainya dari pada sebagai seorang
penulis cerpen. Produktifitas Taufik Ismail (TI)
dalam cerpen sangat minim dan jauh sekali bila
dibandingkan produktifitasnya dalam menulis puisi
Nani Solihati : Diksi Puitis Kumpulan Cerpen “Mengakar Ke Bumi Menggapai Ke Langit Jilid 3” Karya Taufiq Ismail
81
maupun esai. Publikasi cerpen-cerpen Taufik Ismail
(TI) sudah sangat lampau, yakni dalam rentang
waktu 1961-1968 sehingga menyulitkan para
peneliti menelaah secara lebih mendalam karena
kesulitan dalam hal mencari arsip tersebut. Kini
cerpen-cerpen Taufik Ismail (TI) dapat dinikmati
dalam himpunan tulisan Mengakar ke Bumi Menggapai
ke Langit Jilid 3. Buku ini memuat berbagai tulisan
Taufik Ismail (TI), termasuk di dalamnya cerpen
dan drama yang pernah ditulisnya. Adapun empat
cerpen tersebut berjudul Danau Michigan Musim
Bunga, Kuliah Pagi di Bulan April, Garong-garong, dan
Kembali ke Salemba.
Untuk itu menarik sekali bila menelaah dengan
mendalam cerpen-cerpen yang dibuat oleh Taufik
Ismail (TI) ini, terlebih bila menilik dari sudut
pandang kajian ektrinsik jika unsur-unsur di luar
teks disandingkan dengan teks. TI sebagai seorang
penyair tentu saja memiliki kecenderungankecenderungan estetik dalam memilih kata
untuk menyusun prosanya tersebut. Bila hal ini
benar terjadi, maka apa yang dilakukan Taufik
Ismail (TI ) dalam cerpennya bisa jadi merupakan
usaha memperoleh diksi puitis yang disebut
Barfield dalam Pradopo sebagai kata-kata yang
dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian
rupa hingga artinya menimbulkan atau
dimaksudkan untuk menimbulkan imaginasi estetik
(1993:54).
Untuk membangun dimensi imajinasi estetik
ini tentu saja hanya akan didapat dengan
menggunakan teks yang sifatnya tidak denotatif,
tetapi lebih kepada pemberdayaan teks konotatif
dan itulah yang disimpulkan Wellek dan Warren
mengenai bahasa sastra (1993:5).
Adapun teks konotatif lebih dikenal sebagai
majas seperti yang diungkapkan oleh Abrams dalam
Supriyanto yang menyatakan, majas merupakan
penyimpangan dari bahasa sehari-hari yang
digunakan sehari-hari, penyimpangan dari bahasa
baku atau standar, penyimpangan makna, dan
penyimpangan susunan (rangkaian) kata-kata
supaya memperoleh efek tertentu atau makna
khusus (2009:17).
Pendapat mengenai majas yang digunakan
untuk memperoleh efek tertentu ini senada dengan
yang diungkapkan oleh Pradopo yang menyatakan
bahwa, majas juga bertujuan untuk menghidupkan
82
kalimat dan memberi gerak pada kalimat serta
menimbulkan reaksi tertentu dan atau tanggapan
pikiran kepada pembaca (1993:93). Dalam kata lain,
dengan produk kata yang estetis ini, akan
melahirkan imaji-imaji yang melimpah dan bahkan
mampu membuat pembaca dapat menafsirkan
karya sastra dengan berbagai asosiasinya dalam
kehidupan nyata.
Oleh karena itu, untuk menilai penggunaan
diksi puitis dalam cerpen TI maka indikator yang
dicari adalah sejauh mana TI menggunakan majas
dalam cerpen-cerpennya. Dengan demikian, tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan
majas pada cerpen dalam himpunan tulisan
Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit Jilid 3 karya
Taufiq Ismail yang memuat keempat cerpen TI
yang berjudul Danau Michigan Musim Bunga, Kuliah
Pagi di Bulan April, Garong-garong, dan Kembali ke
Salemba.
Agar tidak terjadi kesalahpahaman konsep
mengenai majas dan gaya bahasa yang seringkali
keduanya disinonimkan. Maka perlu dijabarkan di
sini bila kedua konsep tersebut berbeda. Bila
menilik pendapat Moeliono dalam Sugono maka
majas merupakan bagian dari gaya bahasa itu. Hal
ini berumula dari penerjemahan gaya bahasa yang
secara keliru menerjemahkan kata Belanda stylfiguur.
Di dalam kata stylfiguur terdapat styl yang memang
berarti gaya bahasa, tetapi figuur lalu terlupakan
diterjemahkan. Oleh karena itu stylfiguur atau figure
of speech ini sekarang dinamakan majas dan figurative
language kita sebut bahasa majasi atau bahasa yang
bermajas (2009:174).
Senada dengan Moeliono, Sudjiman
menyatakan bahwa majas merupakan bagian dari
gaya bahasa. Hal ini terlihat lewat pernyataannya
yang menyatakan bahwa gaya bahasa mencakup
diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas
dan citraan, pola rima, matra yang digunakan
seorang sastrawan atau yang terdapat dalam karya
sastra (1993:13). Keraf pun berpendapat demikian
dengan membagi gaya bahasa berdasarkan
penggunaannya ke dalam 4 jenis yakni, gaya bahasa
berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa berdasarkan
nada yang terkandung dalam wacana, gaya bahasa
berdasarkan struktur kalimat, dan gaya bahasa
berdasarkan langsung tidaknya makna (1987:116).
Bentuk-bentuk majas merupakan bagian dari gaya
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
bahasa yang ditinjau dari langsung tidaknya makna.
Dalam banyak literatur, kata majas sering
bersinonim dengan gaya bahasa (Keraf) dan bahasa
kias (Pradopo), meskipun maksud yang
disampaikannya itu merujuk pada bentuk khas dari
majas.
Adapun majas menurut Sugono adalah bahasa
yang maknanya melampaui batas yang lazim.
Hal itu disebabkan oleh pemakaian kata yang khas
atau karena pemakaian bahasa yang menyimpang
dari kelaziman ataupun karena rumusannya
yang jelas (2009:174). Tak jauh berbeda dengan
Sugono, Nurgiyantoro menyatakan bahwa,
permajasan (figure of thought) merupakan teknik
pengungkapan bahasa, penggaya bahasa yang
maknanya tidak menujuk pada makna harfiah
kata-kata yang mendukung, melainkan pada
makna yang ditambah, makna yang tersirat
(1987: 297).
Pendapat sedikit berbeda diungkapkan oleh
Dale dkk. dalam Tarigan yang menyatakan bahwa,
majas atau figure of speech adalah bahasa kias, bahasa
indah yang dipergunakan untuk meninggikan serta
meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan
serta memperbandingkan suatu benda atau hal
tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih
umum (1990: 112).
Dari sini, dapat diambil simpulan bahwa
majas dapat berarti bahasa yang maknanya
melampaui batas yang lazim karena maknanya tidak
menujuk pada makna harfiah kata-kata yang
mendukung, melainkan pada makna yang
ditambah, makna yang tersirat sehingga membuat
bahasa menjadi indah dan digunakan untuk
meninggikan serta meningkatkan efek dalam
berbahasa.
Pada dasarnya majas menurut Tarigan dapat
dibagi menjadi empat jenis yakni, Majas
perbandingan, majas pertentangan, majas
penegasan, dan majas perulangan. Majas
perbandingan terdiri dari perumpamaan, kiasan,
penginsanan, alegori, dan antitesis. Majas
pertentangan terdiri dari hiperbola, litotes, ironi,
oksimoron, paronomasia, paralipsis, dan zeugma.
Majas penegasan terdiri dari metonimia, sinekdoke,
alusi, eufimisme, elipsis, inversi, dan gradasi. Majas
perulangan terdiri dari aliterasi, antanaklasis,
kiasmus, dan repetisi (1990: 117).
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif analisis dengan bentuk
kumpulan data secara faktual yang terdapat dalam
keempat cerpen yang ada dalam himpunan tulisan
“ Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit” Jilid 3 karya
Taufiq Ismail dengan objek penelitian adalah
pengunaan majas dalam buku tersebut. Adapun
fokus penelitian ini adalah penggunaan majas yang
terdapat dalam cerpen-cerpen Taufiq Ismail
berjudul Danau Michigan Musim Bunga, Kuliah Pagi
di Bulan April, Garong-garong, dan Kembali ke Salemba
yang terdapat pada halaman 507-556 dalam
himpunan tulisan “Mengakar ke Bumi Menggapai ke
Langit” Jilid 3.
Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri
dibantu tabel kerja analisis penggunaan majas pada
himpunan tulisan “Mengakar ke Bumi Menggapai ke
Langit” Jilid 3 karya Taufiq Ismail. Adapun tabel
kerja analisis itu sebagai berikut.
Sebagai keterangan untuk kolom cerpen, dari
kolom satu sampai empat merupakan perurutan
cerpen dari yang lebih awal sampai pada yang
terakhir. Dengan demikian perurutannya
sebagai berikut, Danau Michigan Musim Bunga,
Kuliah Pagi di Bulan April, Garong-garong, dan Kembali
ke Salemba.
Untuk teknik pengumpulan data, penelitian
ini didahuli dengan membaca cerpen-cerpen Taufiq
Ismail dalam Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit
Jilid 3, untuk kemudian mencari kata-kata yang
mengandung majas dan selanjutnya mencatatnya
dalam kartu analisis berdasarkan masing-masing
cerpen.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis
data dengan melakukan beberapa hal sebagai
berikut, pertama, membaca dengan cermat cerpencerpen Taufiq Ismail yang terdapat dalam Mengakar
ke Bumi Meng gapai ke Langit Jilid 3 untuk
mendapatkan kata-kata yang mengandung majas
sebagai data. Kedua, menandai kata-kata yang
Nani Solihati : Diksi Puitis Kumpulan Cerpen “Mengakar Ke Bumi Menggapai Ke Langit Jilid 3” Karya Taufiq Ismail
83
mengandung majas. Ketiga, menyalin kata-kata yang
telah ditandai ke dalam kartu data. Keempat, setelah
semua kata tercatat dalam kartu-kartu data,
penelitian ini beranjak kepada proses menganalisis
kata-kata itu sesuai dengan bentuk majas serta
maknanya. Kelima, Setelah data didapat, klasifikasi
pun dilakukan dengan memilah bentuk-bentuk
majas sesuai dengan bentuknya masing-masing.
Keenam, menyusun analisis deskriptif berdasarkan
cerpen dan bentuk-bentuk majas di dalamnya.
Ketujuh, membuat simpulan dari hasil analisis
berdasarkan data yang telah diperoleh berupa tabel
kerja analisis. Ketujuh teknik analisis data ini
dilakukan dengan cermat dengan memperhatikan
unsur teks cerpen dengan intensif dan teliti.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Setelah melakukan penelitian, hasil yang
didapat adalah bahwa Taufiq Ismail menggunakan
majas dalam membangun diksi puitisnya. Hal
tersebut terdapat dalam dalam 4 cerpen yang
terdapat pada himpunan tulisan Mengakar ke Bumi
Menggapai ke Langit Jilid 3.
Adapun sebaran penggunaan majas dalam
cerpen-cerpen tersebut sangat variatif. Dalam
cerpen Danau Michigan Musim Bunga terdapat 41
majas, Kuliah Pagi di Bulan April terdapat 40 majas ,
Garong-garong terdapat 59 majas, dan Kembali ke
Salemba terdapat 16 majas. Untuk lebih jelasnya,
dapat dilihat tabel.
Rekapitulasi Penggunaan Majas
Himpunan Tulisan Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit Jilid III
84
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
Pembahasan
Nilai keindahan (estetis) merupakan bagian
esensial dari sebuah karya sastra selain tentu saja
keindahan dan kejujuran yang tertuang di dalamnya
seperti yang disampaikan Sugono (2009: 159).
Keindahan tersebut dapat dicapai dengan
memaksimalkan diksi secara efektif untuk
menyampaikan gagasan. Karya sastra tentu saja
berbeda bentuknya dengan karya ilmiah. Oleh
karena itu pencapaian gagasan akan lebih baik bila
dituangkan dengan teks konotatif. Teks konotatif
inilah yang kemudian disebut sebagai diksi puitis.
Adapun diksi puitis dibangun dengan
menggunakan majas.
Diksi Puitis dalam Cerpen Danau Michigan
Musim Bunga
Dalam cerpen ini, terdapat 41 pernyataan yang
mengandung diksi puitis. Dalam 41 pernyataan
tersebut, diksi puitis dibangun oleh 9 majas
per umpamaan, 2 majas kiasan, 8 majas
penginsanan, 3 majas hiperbola, 1 majas litotes, 4
majas sinekdoke, 3 majas alusi, 6 majas elipsis, 2
majas inversi dan 3 majas repetisi.
Diksi puitis ini digunakan untuk memperkuat
penokohan, maupun penggambaran latar dalam
cerpen tersebut. Untuk memperkuat penokohan,
Taufik Ismail (TI) menggunakan majas
perumpamaan dengan mengumpamakan tokoh
dalam cerpen tersebut sebagai klarinet, “Aku
memilih yang seperti klarinet!” (hlm. 510) atau
Tengkuknya melandai seperti lembah (hlm. 514).
Penokohan juga digambarkan untuk
mengungkapkan perasaan dengan menggunakan
majas hiperbola, Aku cemburu setengah mati (hlm.
503). Selain itu, Taufik Ismail (TI) juga
menyampaikan penokohan dengan menyebut ciriciri tokoh tersebut tanpa memperkenalkan
namanya, Aku hampir memilih yang blonda dan
bergaun biru, tapi tiba-tiba aku menjawab lain (hlm.
510). Hal ini berarti Taufik Ismail (TI)
menggunakan majas sinekdoke.
Dalam kasus lain, Taufik Ismail (TI) berusaha
menampilkan cerpennya secara singkat dengan
mehilangkan predikat dan subjek suatu kalimat.
Seperti pada pernyataan berikut,
“Dan begitu jeli,” ujar Martin menghela napas.
“Kau lihat pinggangnya?”
Langsing (hlm. 511).
Dalam menggambarkan latar, Taufik Ismail
(TI) juga seringkali mengeksplorasi kepenyairannya
dengan perumpamaan-perumpamaan yang estetik.
Seperti pada pernyataan berikut yang
menggambarkan gelapnya malam dengan angin
yang berhembus seperti seekor naga,
Di sepanjang pantai daun kegelapan merayap
seperti seekor naga, dengusannya dingin dan berdeburdebur (hlm. 512).
Menggunakan kata jarum-jarum cahaya untuk
menggambarkan cahaya lampu yang dipantulkan
oleh muka kuala seperti tampak pada pernyataan
di halaman 513. Citraan estetik juga tampak pada
pernyataan berikut,
Hanya lampu-lampu jalan yang memberi
cahaya buram dan mengabut di telan suara dan
sosok ombak yang mengempas ngilu ke pantai
danau (hlm. 507).
Dalam pernyataan ini, hempasan ombak
memiliki sifat manusia yakni ngilu. Tentu
saja hal ini untuk menimbulkan latar yang
kuat untuk membangun suatu cerpen yang
dapat meninggalkan kesan dan pesan di hati
pembaca.
Diksi Puitis dalam Cerpen Kuliah Pagi di
Bulan April
Kuliah Pagi di Bulan April menghadirkan 40
pernyataan yang mengandung diksi puitis. Dalam
40 pertnyataan tersebut, majas yang paling banyak
digunakan untuk membangun diksi puitis adalah
majas elipsis, untuk kemudian selanjutnya disusul
oleh majas perumpamaan, kiasan, dan inversi yang
masing-masing digunakan dalam 4 pernyataan,
kemudian sinekdoke dan repetisi masing-masing
sebanyak 3 pernyataan, lalu selanjutnya eufimisme
serta hiperbola masing-masing sebanyak 2
pernyataan, dan terakhir metonimia yang hanya
terdapat dalam 1 pernyataan.
Pada cerpen ini Taufik Ismail (TI) lebih banyak
menggunakan diksi puitis dalam membangun
penokohan. Seperti pada pernyataan berikut ini,
Kau seperti orang yang punya pemburu yang tajam, tapi
takut masuk ke hutan (hlm. 517). Pernyataan ini
berusaha untuk menegaskan penokohan dengan
cara mengumpamakan rasa takut terhadap
seseorang dengan perumpamaan orang yang masuk
ke dalam hutan yang penuh dengan binatang
Nani Solihati : Diksi Puitis Kumpulan Cerpen “Mengakar Ke Bumi Menggapai Ke Langit Jilid 3” Karya Taufiq Ismail
85
buasnya padahal ia bersama seorang pemburu yang
mahir. Tanpa pernyataan ini, penggambaran
mengenai sikap tokoh menjadi tidak kuat
Taufik Ismail (TI) juga membangun
penokohan dengan menggunakan majas kiasan
dengan penggunaan kata bandot untuk mengejek
seseorang. Bandot tentu saja bukan dalam arti
sebenarnya melainkan sifatnya yang menyerupai
bandot. Dalam hal ini tentu play boy. Adapun
fungsinya adalah untuk memperkuat penokohan
(hlm. 516).
Pernyataan lain untuk mematangkan
penokohan dengan menggunakan majas Sinekdoke
dengan bentuk pars prototo yang menyebut bagian
dari organ tubuh manusia yakni telinga, tentu saja
telinga dalam pernyataan ini tidak berarti hanya
telinga saja melainkan pula organ tubuh secara
keseluruhan dalam wujud manusia. Berikut
pernyataannya, “Begitulah yang kudengar. Dengan
telingaku sendiri (sambil menunjuk telinganya).
Bukan melalui telinga orang lain.” (hlm. 519).
Lain lagi pada pernyataan di halaman 521.
Dalam pernyataan ini, TI berusaha membangun
alur dengan percakapan tokoh. Majas yang
digunakan adalah majas elipsis. Tokoh dalam cerpen
tersebut, hanya berkata, “Persija?” Pernyataan ini
tentu saja jika terlepas dari konteks percakapan
maka tidak jelas siapa objek dalam kalimat ini. Akan
tetapi, pilihan Taufik Ismail (TI) dengan
menggunakan majas elipsis ini justru membuat
cerpennya menjadi lebih utuh.
Diksi Puitis dalam Cerpen Garong-garong
Bila dibandingkan dengan cerpen lain,
kemampuan TI membangun diksi puitis dengan
memberdayakan penggunaan majas ini lebih
maksimal. Hal ini dapat dilihat dari begitu
banyaknya, penggunaan majas di dalamnya yakni
sebanyak 59 pernyataan. Majas-majas yang
digunakan antara lain perumpamaan sebanyak 7
pernyataan, kiasan sebanyak 3 pernyataan,
penginsanan sebanyak 9 pernyataan, repetisi
sebanyak 20 pernyataan, hiperbola sebanyak 6
pernyataan, ironi sebanyak 7 pernyataan, sinekdoke
sebanyak 1 pernyataan, eufisme sebanyak 3
pernyataan, elipsis sebanyak 7 pernyataan, dan
inversi sebanyak 1 pernyataan.
86
Untuk membangun nuansa estetik dalam
cerpen ini. TI berusaha mengeksplosi majas-majas
personifikasi maupun kiasan baik ketika
membangun latar, alur, maupun penokohan dalam
cerita ini. Seperti pada pernyataan berikut,
Nyeri terasa seperti seribu mata gergaji digesekgesekkan ke tulang-tulang dadanya (hlm. 545).
Dalam pernyataan tersebut, rasa nyeri akibat
ditembak yang dialami tokoh dalam cerita ini
diumpamakan dengan mata gergaji yang seakan
hendak memotong tulang-tulangnya. Penggunaan
majas perumpamaan untuk menggambarkan rasa
nyeri seperti itu membuat rasa sakit tokoh tersebut
tergambarkan dengan jelas dan sangat terkesan
estetik dan puitik.
Penokohan juga dibangun dengan hiperbola
yang juga tak kalah puitik. Perhatikan pernyataan
berikut,
Seribu kunang-kunang mengerjap dalam kelam,
berubah jadi api memancar-mancar (hlm. 536).
Untuk menyatakan rasa pening, lampu
dianggap telah berubah jadi seribu kunang-kunang.
Tentu kata seribu yang ditulis pada pernyataan
tersebut adalah berlebihan. Penggunaan pernyataan
tersebut tentu saja lebih bermakna pada rasa pusing
yang luar biasa yang dialami oleh tokoh dalam cerita
ini.
Adapun untuk menggambarkan latar, TI
menggunakan majas kiasan. Dalam hal ini ketika
menggambarkan cuaca yang cerah, perhatikan
penyataan berikut,
Langit dipasangi sobekan-sobekan bulu domba dan
garis-garis angin yang tipis (hlm. 547).
Dalam pernyataan tersebut Taufik Ismail (TI),
mengiaskan awan-awan yang bertebaran di langit
adalah sobekan bulu domba dan angin yang sepoisepoi dikiaskan memiliki garis tetapi tipis. Pemilihan
kata ini bukan saja membangun citraan visual pada
pembaca, tetapi juga citraan estetik.
Tak berhenti sampai di situ, Taufik Ismail (TI)
juga menggunakan majas penginsanan dengan
menyatakan bahwa angin pingsan (hlm. 530). Tentu
saja tak ada angin yang pingsan. Pemilihan kata ini
merupakan upaya Taufik Ismail (TI) untuk
menggambarkan keadaan latar yang tiba-tiba
berhenti dan sunyi yang bahkan tanpa ada angin
sedikit pun, pengarang menggunakan kata pingsan
untuk angin yang lazim untuk menggambarkan
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
keadaan manusia yang tidak sadar, tetapi dapat
disadarkan kembali. Tentu pemilihan kata pingsan
dianggap lebih tepat dibanding kata mati karena
penulis hendak menuliskan kembali bahwa angin
dalam cerita ini selanjutnya pun akan memperkuat
latar. Oleh karena itu, fungsi majas dalam kalimat
ini adalah memperkuat latar.
Taufik Ismail (TI) juga menggunakan majas
elipsis untuk membangun suasana dalam latar
ceritanya tersebut. Hal ini tampak pada kutipan
berikut ini,
Semua jam kantong hilang.
Jam meja.
Jam dinding.
Jam di menara kota sirna. (hlm. 530)
Dalam pernyataan ini, terdiri dari paragrafparagraf pendek. Pada paragaraf pertama dan
keempat terdapat predikatnya yakni hilang dan sirna
sedang untuk paragraf kedua dan ketiga, hal
tersebut tidak ada. Semestinya dua paragraf itu
pun memiliki predikat yang menyatakan bahwa
kedua benda itu telah dicuri, bisa menggunakan kata
raib, hilang, atau sirna. Meski demikian, justru
membuat alur cerita menjadi menarik dan unik
sehingga terjadi semacam penekanan bahwa
hilangnya predikat sebagai implikasi dari
penggambaran cerita yang memang menceritakan
suatu kehilangan.
Pada pernyataan lain, dalam menyampaikan
latar dalam cerita ini, Taufik Ismail (TI) berusaha
mengeksplorasi majas repetisi. Hal itu tidak sekalidua kali dilakukan TI. Sebagai contoh, perhatikan
contoh penyataan berikut,
Suara gendering berderam-deram berirama
dengan langkah rrrp, rrrp, rp, rp. (hlm. 527)
Pengulangan rrrp, rrrp, rp, rp dalam kalimat
ini adalah bentuk dari peniruan bunyi atau
onomatope yang menirukan langkah bunyi sepatu
ketika menapak ke jalan sehingga seakan-akan
menghasilkan bunyi rrp. Pengulangan kata tersebut
menghasilkan keriuhan yang terjadi dalam cerita
tersebut. Sehingga yang terjadi kemudian adalah,
latar cerita menjadi kuat dan membuat pembaca
seakan tengah berada dalam kegaduhan tersebut.
Diksi Puitis dalam Cerpen Kembali ke Salemba
Cerpen ini merupakan cerpen terakhir. Tak
jauh berbeda dari cerpen-cerpen yang telah dibahas.
Diksi puitis timbul ditengah tengah cerita berupa
pernyataan-pernyataan yang berbentuk majas. Ada
16 majas yang digunakan TI untuk membangun
cerpennya itu, majas-majas itu antara lain, kiasan
sebanyak 6 majas, penginsanan sebanyak 1 majas,
metonimia sebanyak 1 majas, alusi sebanyak 1
majas, elipsis sebanyak 5 majas, inversi sebanyak 1
majas, dan repetisi sebanyak 1 majas.
Majas-majas tersebut digunakan Taufik Ismail
(TI) untuk membangun latar dalam cerita ini. Untuk
latar, Taufik Ismail (TI) menggunakan majas
perumpamaan seperti pada penyataan berikut,
Waskito menekannya puntung rokok ke atas
meja. Bunga api menyebar. Bram memandang
mereka semua. (hlm. 554)
Bunga api dalam pernyataan ini adalah untuk
mengiaskan percikan api yang terurai dari puntung
rokok yang sedang berasap. Pernyataan bunga api
tentu termasuk ke dalam diksi puitik karena tentu
pernyataan itu tidak lazim untuk menyatakan bara
dari asep rokok. TI juga menggambarkan latar
dengan menggunakan majas penginsanan seperti
tampak pada pernyataan berikut,
Angin mati di luar, berjuntaian di pepohonan.
(hlm. 554)
Penggunaan majas penginsanan terdapat pada
kata angin yang mati dan dapat berjuntaian. Tentu
saja angin tak akan mati layaknya mahkluk hidup.
Angin barangkali memang berhenti sejenak karena
ia akan terus berhembus, tapi angin tak pernah mati.
Demikian juga berjuntaian, karena yang berjuntaian
selain kelelawar juga monyet yang masing-masing
memiliki tangan atau kaki yang membantu, sedang
angin tak mempunyainya. Penggunaan majas
penginsanan dalam kalimat ini berfungsi untuk
memperkuat latar dengan meng gambarkan
kesunyiaan yang diisyaratkan dengan angin yang
tak berhembus. Kalimat sederhana sebetulnya
dapat ditulis dengan, tak ada angin di luar. Akan
tetapi, tentu nuansanya lebih kuat kalimat utama
ketimbang alternatif karena memiliki nuansa estetik
yang lebih kuat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Diksi puitis yang dibangun Taufik Ismail (TI)
dalam empat cerpennya berupa penggunaan majas.
Dari 4 cerpen tersebut, Taufik Ismail (TI)
Nani Solihati : Diksi Puitis Kumpulan Cerpen “Mengakar Ke Bumi Menggapai Ke Langit Jilid 3” Karya Taufiq Ismail
87
menggunakan majas perumpamaan yang terdiri dari
majas perumpamaan sebanyak 20 atau 12, 82%,
majas kiasan sebanyak 15 atau 9,62%, majas
penginsanan sebanyak18 atau 11, 54%, dan majas
alegori sebanyak 1 atau 0,64%. Untuk majas
pertentangan terdiri dari majas hiperbola sebanyak
11 atau 7,05%, majas litotes sebanyak 1 atau 0,64%,
dan majas ironi sebanyak 1 atau 0,64%. Untuk
majas penegasan terdiri dari majas metonimia
sebanyak 2 atau 1,28%, majas sinekdoke sebanyak
8 atau 5,13%, majas alusi sebanyak 4 atau 2,56%,
majas eufemisme sebanyak 5 atau 3,21%, majas
elipsis 35 atau 22,44%, dan majas inversi sebanyak
8 atau 5,13%. Untuk majas perulangan hanya
terdapat majas repetisi saja sebanyak 27 atau
17,31%.
Adapun 9 majas lainnya, yakni majas antitesis,
oksimoron, paranomasia, paralipsis, zeugma,
gradasi, aliterasi, antanaklasis, dan kiasmus tidak
digunakan TI dalam membangun cerpencerpennya yang terdapat pada himpunan tulisan
Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit Jilid 3. Di
antara macam-macam majas tersebut, majas yang
paling mendominasi adalah majas elipsis dengan
jumlah 35 atau 22,44%.
Saran
Penggunaan diksi puitis dalam cerpen
membuat sebuah cerpen memiliki nilai lebih,
terutama berkaitan erat dengan nuansa estetik. Oleh
karena itu, pemberdayaan perangkat bahasa dalam
hal ini majas menjadi hal penting dalam karya sastra,
88
mengingat salah satu indikator baik tidaknya sebuah
karya sastra berdasarkan indah atau tidaknya. Maka,
sudah semestinya para cerpenis Indonesia mulai
memperhatikan hal ini. Selain itu, dalam
pembelajaran bahasa Indonesia di SMA, cerpencerpen dalam Himpunan Tulisan Mengakar ke Bumi
Menggapai ke Langit jilid 3 karya Taufiq Ismail ini
dapat dijadikan sebagai salah satu perangkat
pembelajaran yang menarik dalam mempelajari
majas dan tentu saja nilai-nilai yang terdapat di
dalamnya sebagai sebuah bagian dari karya sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Burhan Nurgiyantoro. 1987. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Keraf , Gorys. 1987. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta:
Gramedia.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1993. Pengkajain Puisi:
Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan
Semiotik. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Sugono, Dendy (ed.). 2009. Buku Praktis Bahasa
Indonesia 1. Jakarta: Depdiknas.
Supriyanto, Teguh. 2009. Penelitian Stilistika dalam
Prosa. Jakarta: Pusat Bahasa
Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Semantik.
Bandung: Angkasa.
Wellek, Rene dan Austin Warren (terj. Melani
Budianta). 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta:
Gramedia.
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
REPRESENTASI KONFLIK DI ACEH DALAM NOVEL
LAMPUKI KARYA ARAFAAT NUR
Ade Hikmat
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi konflik di Aceh dalam novel Lampuki karya
Arafat Nur. Untuk mengetahui hal tersebut, maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa representasi konflik di Aceh terbagi menjadi dua. Yakni konflik vertikal, antara
masyarakat dengan tentara (pemerintah), dan juga konflik horisontal antara masyarakat dengan pemberontak.
Kata Kunci: Konflik vertikal, konflik horisontal, sosiologi sastra.
Abstract: This study aims to determine the representation of conflict in Aceh in the novel Lampuki Arafat Nur
works. To determine this, the research uses descriptive qualitative method. The results of this study indicate that
the representation of conflict in Aceh is divided into two. Namely vertical conflict, between the community and
the military (government), as well as horizontal conflicts between people with rebels.
Keywords: Vertical conflict, horizontal conflict, sociology of literature.
LATAR BELAKANG
Konflik di Aceh muncul dalam pergolakan
yang akut. Di mana usaha untuk memisahkan diri
dari NKRI mengemuka setelah muncul kekecewaan terhadap pemerintah pusat dengan
mengedepankan pemerintahan yang sentralistik.
Namun demikian, pemberitaan yang tidak
berimbang memunculkan spekulasi yang berbeda
antara pandangan jurnalistik yang dimonitor
pemerintah dengan pandangan masyarakat Aceh.
Informasi dikeberi untuk memberikan pencitraan
positif atas langkah pemerintah,
Pola represif yang dilakukan pemerintah
dianggap jalan benar untuk menghadapi pemberontakan. Tentara dikirim ke Aceh dengan
jumlah yang sedikit memunculkan polemik baru
dalam kehidupan masyarakat Aceh. Masyarakat
menjadi ketakutan dan dikepung oleh dua pihak
yang tidak dikehendaki mereka, Tentara Republik
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
yang dibentuk Hasan Di Tiro 4 Desember 1976,
hal ini yang pada akhirnya masyarakat Aceh yang
netral harus memilih, menjadi nasionalis atau
menyebrang menuju GAM. Namun demikian,
upaya teror yang dilakukan tentara, memunculkan
instink pilihan. Menurut Robinson (2014)
penggunaan teror oleh militer Indonesia dalam
aksi kontra-pemberontakan melawan GAM
dalam periode rezim Orde Baru pertengahan 1990
telah menyebabkan meluasnya dukungan dari
masyarakat Aceh yang terpengar uh oleh
kebijakan militer Indonesia tersebut, dan
mendorong mereka untuk menjadi lebih simpatik
dan mendukung.
Polemik inilah yang mengemuka dalam
novel Lampuki karya Arafat Nur. Sebagai sebuah
karya sastra, ia berusaha menyampaikan narasi
empiris dengan sajian yang fiktif. Meski
demikian, tidak melunturkan unsur mimetik dari
peristiwa sosial yang terekam dalam pikiran
pengarangnya.
Hal ini tentu saja dimungkinkan, karena karya
sastra merupakan fenomena kebudayaan,
kebudayaan selalu lahir dan berangkat dari dinamika
sosial. Sehingga pada dasarnya sastra dapat dikaji
melalui pintu sosiologi. Sosiologi menurut Bertand
dalam Rifa’i (2011: 21) adalah studi tentang
hubungan antara manusia (human relationship).
Ade Hikmat : Representasi Konflik di Aceh dalam Novel Lampuki Karya Arafaat Nur
89
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut,
maka dirumuskan masalah sebagai berikut,
“Bagaimanakah representasi konflik di Aceh dalam
novel Lampuki karya Arafat Nur?”
TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka
tujuan penelitian ini adalah, untuk mengetahui
representasi konflik di Aceh dalam novel Lampuki
karya Arafat Nur.
KAJIAN TEORI
Novel
Menurut Semi (1993: 32) novel merupakan
konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang
dan pemusatan kehidupan yang tegas. Di sini
pandang Semi lebih mengemukakan bagaimana
ketegangan menjadi bagian yang harus ada dalam
novel. Namun, Esten (2000: 12)lebih longgar
menyampaikan tentang pengertian novel.
Menurutnya, novel merupakan pengungkapan dari
fragmen kehidupan manusia (dalam jangka yang
lebih panjang) di mana terjadi konflik-konflik yang
akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan jalan
hidup antara para pelakunya.
Tak jauh berbeda dengan Esten, H.B.Jassin
(1991: 78) mengungkapkan bahwa novel
merupakan suatu yang bersifat cerita, bukan
semacam lukisan. Novel juga menceritakan sesuatu
kejadian yang luar biasa dari kehidupan orangorang, luar biasa karena dari kejadian ini terlahir
suatu konflik, suatu pertikaian yang mengalihkan
jurusan nasib mereka. Kedua pendapat tersebut
menekankan bagaimana pentingnya konflik.
Konflik ini kemudian dibangun dengan dua
unsur. Menurut Tjahyono(1988: 44) kedua unsur
itu terdiri dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur
intrinsik adalah hal-hal yang membangun karya
sastra dari dalam, sedangkan ekstrinsik adalah halhal yang berada di luar struktur karya sastra yang
mempengaruhi karya sastra tersebut.Unsur intrinsik
novel antara lain adalah tema, alur, latar, sudut
pandang, amanat, gaya bahasa dan penokohan.
Sedangkan unsur ekstrinsik meliputi, agama, politik,
ekonomi, budaya, nilai moral dan nilai pendidikan.
Adapun jenis novel terdiri dari tiga golongan,
menurut Sumardjo dan Saini K. M. (1988: 29)
90
bahwa tiga golongan tersebut terdiri dari novel
percintaan, novel petualangan, dan novel fantasi.
Namun demikian, penggolongan tersebut bukan
sesuatu yang ajeg. Artinya, jenis novel ini terus
berkembang bahkan muncul jenis yang lain seperti
detektif maupun misteri. Hal inilah yang
diungkapkan oleh Klare (2004: 11-12)yang terdiri
dari picaresque,The Bildungsroman, epistolary novel,
historical novel, satirical novel, gothic novel, dan detective
novel.Novel picaresque merupakan genre novel yang
mencoba untuk meletakkan ketidakadilan sosial
yang terlihat dengan cara yang satir. Novel seperti
ini kita dapat rasakan pada karya Andrea Hirata
dalam trilogi Laskar Pelangi.
Selanjutnya, TheBildungsromanatau novel
pendidikan, kata Bildungsromandiambil dari bahasa
Jer man untuk menyebut genre novel yang
menjelaskan perkembanganprotagonisdarimasa
kanak-kanakhingga dewasa.Genre lainnya adalah
epistolary novel.Genre ini lebih memandang pada
sudut pandang saja.Yakni sudut pandang orang
pertama.
Adapun genre Historical novel atau novel sejarah
merupakan novel yang berangkat dari fakta sejarah
untuk kemudian dimodifikasi dengan sedemikian
rupa untuk mencapai efek-efek tertentu.Kini genre
novel seperti ini cukup populer.
Untuk genre selanjutnya adalah satirical novel.
Genre ini memvisualisasikan kesenjangan hidup
dengan cara yang kritis. Adapun dua genre
selanjutnya, jarang diangkat oleh novelis Indonesia
terkini, untuk gothic novel, hanya novel Cantik Itu
Luka dan Lelaki Harimau karya Eka Kurniawanyang
agak lebih menonjol dibanding novel Hantu Pondok
Indah dan yang lainnya yang ditransformasi dari
film.Adapun detective novel, genre ini sepertinya
jarang muncul dalam sastra Indonesia.Namun
bukan berarti, pembaca Indonesia tidak menyukai
novel dengan genre semacam ini.Justru, tidak
sedikit di toko buku, novel-novel terjemahan genre
ini dipajang, seperti serial Sherlock Holmes.
Kajian Sosiologi Sastra
Sosiologi menurut Bertand dalam Rifa’i (2011:
21) adalah studi tentang hubungan antara manusia
(human relationship).Pengertian tersebut paling tidak
menerangkan titik temu antara sastra dengan
sosiologi. Sastra pada dasarnya merupakan upaya
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
merefleksikan kehidupan kedua yang kemudian
memunculkan teori mimetik (tiruan kenyataan).
Sehingga mengkaji sastra dari sudut sosiologi
merupakan suatu kemungkinan. Hal ini senada
dengan pendapat Endraswara dalam Kurniawan
(2009: 105)yang menjelaskan bahwa, “Sosiologi
adalah ilmu yang objek studinya adalah manusia,
sedangkan sastra juga demikian, merupakan hasil
ekspresi kehidupan manusia yang tidak akan lepas
dari akar masyarakatnya.”
Tak jauh berbeda dengan Endraswara, Semi
menyatakan bahwa,
Pendekatan sosiologis bertolak dari
asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan
kehidupan masyarakat.Melalui karya sastra
seorang pengarang mengungkapkan problem
kehidupan yang pengarang sendiri ikut
berada di dalamnya.Karya sastra menerima
pengaruh dari masyarakat dan sekaligus
mampu memberi pengaruh terhadap
masyarakat.Bahkan masyarakat sangat
menentukan nilai karya sastra yang hidup di
suatu zaman, sementara sastrawan sendiri yang
merupakan anggota masyarakat tidak
dapat mengelak dari adanya pengaruh
yang diterimanya dari lingkungan
yang membesarkannya dan sekaligus
membentuknya.
Pendapat Semi tersebut telah menegaskan
kembali hubungan kausal antara masyarakat dengan
karya sastra. Sehingga bisa ditarik benang merah,
bahwa tidak mungkin ada karya sastra tanpa ada
masyarakat. Sastra Klasik Indonesiahubungan
kausal tersebut, bagaimana aturan adat disampaikan
dalam hikayat maupun fabel. Bahkan kemudian
cikal bakal kesastraan Indonesia pun terepresentasi
dalam bentuk undang-undang.
Sosiologis sastra menurut Rahwana
(2014) memiliki dua kecenderungan pokok.
Kecendrungan itu terdiri dari(1) Pendekatan yang
berdasarkan ang gapan bahwa karya sastra
merupakan cermin proses sosial ekonomis belaka.
(2) Pendekatan yang beranggapan yang
mengutamakan teks sastra sebagai bahan
penelaahan dengan metode analisis teks untuk
mengetahui strukturnya, untuk memahami lebih
dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra.
Pendapat tersebut menekankan kecendrungan
pada penelaahan sosiologi sastra. Keduanya sahsah saja untuk kemudian dijadikan sebagai upaya
mengetahui bagaimana peristiwa sosial terjadi
dalam teks sastra.
Berdasarkan coraknya, menurut Junus dalam
Suwardi (2011: 3) terdapat dua corak, yaitu (1)
sociology of literature dan (2) literary sociology. Corak
pertama lebih melihat aspek sosial yang
menghasilkan karya sastra, sementara yang kedua
lebih menekan faktor sosial yang terdapat dalam
karya sastra. Pada penelitian ini, maka arah
penelitiannya lebih pada faktor sosial yang terdapat
dalam karya sastra.
Berdasarkan klasifikasinya, Damono (2004: 34) menjelaskan sosiologi sastra terbagi ke dalam tiga
bagian.Ada yang disebut dengan sosiologi
pengarang, yakni aspek yang memasalahkan status
sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang
menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra.
Kemudian sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; yang menjadi
pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam
karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya, dan
yang terakhir adalah sosiologi sastra yang
memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya
sastra.
Sedikit berbeda dari Damono,Setiadi dan
Kolip (2011: 948-949) mengklasifikasikan sosiologi
sastra berdasarkan objek kajiannya yang dibagi
menjadi delapan yaitu,
(1) Masalah kemiskinan, dimana suatu keadaan
seseorang atau sekelompok orang tidak
sanggup untuk memelihara dirinya sesuai
dengan standar kehidupan kelompoknya, dan
ketidakmampuan untuk memanfaatkan tenaga
mental maupun fisiknya dalam kelompok ini,
(2) Masalah kejahatan, yaitu suatu gejala seseorang
atau sekelompok orang menyakiti atau
melanggar hak-hak dan merampas hak-hak
orang lain,
(3) Disorganisasi keluarga, yaitu suatu perpecahan
dalam keluarga sebagai unit, oleh karena
ang gota keluarga ini gagal memenuhi
kewajibannya yang sesuai dengan peranan
sosialnya,
(4) Masalah generasi muda, yaitu semakin
bertambahnya usia kerja tentunya akan
Ade Hikmat : Representasi Konflik di Aceh dalam Novel Lampuki Karya Arafaat Nur
91
menimbulkan masalah lain seperti penyediaan
lapangan pekerjaan dan sarana-sarana
pendidikan dan keterampilan agar memiliki
daya guna bagi kehidupan masyarakatnya,
(5) Peperangan, yaitu menyangkut sebab-sebab
sekelompok orang atau bangsa menyerang
kelompok orang atau bangsa lain,
(6) Pelanggaran terhadap norma masyarakat,
dimana dalam kehidupan masyarakat selalu
terdapat kecendrungan dari seseorang atau
sekelompok orang untuk melakukan
penyimpangan atas norma dan tata aturan
yang berlaku di dalam kelompoknya,
(7) Masalah kependudukan, yang erat kaitannya
dengan jumlah produksi yang harus tersedia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sebab
persoalan ini jika tidak tertangani akan
menimbulkan berbagai sebab di antaranya
penyakit sosial (social patalogy),
(8) Masalah lingkungan, yaitu permasalahan
konservasi lingkungan dan pencemarannya
sebagai akibat perilaku manusia yang terkait
dengan pemenuhan akan kebutuhan
hidupnya.
Pendapat tersebut sejenak memang berpijak
pada aspek empiris kehidupan manusia sehari-hari
yang tidak terlepas dari delapan aspek tersebut. Hal
ini yang memang diangkat dalam beberapa karya
di antara Beleng gu karya Armijn Pane yang
membahas tentang disorganisasi keluarga atau
novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka yang
membahas tentang pelanggaran terhadap norma
masyarakat. Jika memandang novel Lampuki, maka
novel ini mengangkat bagian peperangan. Hal ini
karena alur cerita novel tersebut berpusat pada
pertikaian GAM dan TNI.
Teori Konflik
Menur ut Wirawan (2010: 1-2) konflik
merupakan perbedaan persepsi mengenai
kepentingan terjadi ketika tidak terlihat adanya
alternatif. Selama masih ada perbedaan tersebut,
konflik tidak dapat dihindari dan selalu akan terjadi.
Pendapat ini secara tegas mengungkapkan
karakteristik konflik. Bahwa konflik tidak akan
terjadi jika tidak ada perbedaan. Perbedaan yang
memicu konflik lebih pada perebutan kepentingan.
Hal ini yang terjadi pada beberapa konflik, baik
92
dalam lingkungan masyarakat terkecil yakni
keluarga maupun dalam konteks yang lebih besar,
organisasi maupun suatu daerah.
Berdasarkan tipenya, Kartikasari (2001: 6)
membedakan menjadi empat macam, yaknitanpa
konflik, konflik laten, konflik laten, konflik terbuka,
dan konflik di permukaan. Tanpa konflik berarti
setiap kelompok atau masyarakat yang hidupdamai
itu lebih baik, jika mereka ingin agar keadaan ini
terusberlangsung, mereka harus hidup bersemangat
dan dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan
tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif. Untuk
konflik laten merupakan konflik yang sifatnya
tersembunyi dan perlu diangkat kepermukaan
sehingga dapat ditangani secara efektif. Adapun
konflik terbuka, merupakan konflik yang berakar
dari semangat nyata, dan memerlukan berbagai
tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan
berbagai efeknya.Selanjutnya, konflik di
permukaan, konflik ini memiliki akar yang dangkal
atau tidak berakar dan muncul hanya karena
kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat
diatasi dengan meningkatkan komunikasi.
Konflik tidak akan terjadi jika tidak ada
sebabnya. Menurut Wiese dan Becker dalam
Soekamto (2006: 91) sebab yang melatarbelakangi
adanya konflik atau pertentangan ialah perbedaan
antara individu-individu, perbedaan kebudayaan,
perbedaan kepentingan, dan perubahan sosial.
Perbedaan antara individu-individu berarti
ketidaksamaan visi antar satu pihak dengan pihak
lain bisa memunculkan konflik. Biasanya perbedaan
antar individu ini dapat meluas menjadi perbedaan
antar daerah. Seperti beberapa konflik yang terjadi
di daerah, karena salah seorang memukul warga
suatu desa, maka desa yang bersangkutan akan
bertindak kepada seluruh warga yang merupakan
bagian dari pemukul tersebut atau dalam kata lain,
konflik sederhana dapat membesar. Selanjutnya
konflik yang diakibatkan perbedaan kebudayaan.
Konflik semacam ini memang lazim terjadi, terlebih
di Indonesia yang memiliki latar kebudayaan yang
sangat variatif sehingga sering terjadi gesekan antar
kebudayaan yang beragam tersebut. Adapun
perbedaan kepentingan, biasanya sering terjadi
dalam ranah politik dan ekonomi. Sengketa lahan
maupun perebutan kekuasaan akan selalu
memunculkan konflik yang bisa berakhir pada
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
konflik anarkis. Terakhir, perbedaan sosial.
Kecemburuan sosial sering memunculkan konflik
utamanya berkaitan dengan dikotomi antara kaum
bangsawan dengan kaum miskin. Konflik seperti
ini biasanya dimenangkan kaum bangasawan
sebagai pemilik modal.
Keempat pemicu konflik tersebut tentu saja
selalu melahirkan akibat. Namun ternyata tidak
semua akibatnya itu buruk, ada juga akibat baiknya.
Wirawan (2010: 106-109) menyebut beberapa
akibat tersebut yaknibertambahnya solidaritas/
ingroup, hancurnya atau retaknya kesatuan
kelompok, adanya perubahan kepribadian individu,
hancurnya harta benda dan jatuhnya korban
manusia, dan akomodasi, dominasi, dan takluknya
suatu pihak. Akibat pertama memunculkan
solidaritas merupakan aspek positif, solidaritas di
sini tercipta sebagai akibat dari tekanan yang sama
yang dirasakan oleh korban konflik. Misalnya
solidaritas yang terjadi di Palestina atau di Aceh
yang semula tidak mendukung GAM pada akhirnya
melakukan perjuangan yang serupa.
Konflik dapat dibedakan berdasarkan posisi
pelaku konflik yang berkonflik, yaitu (Wirawan,
2010: 116) 1) Konflik vertikalKonflik yang terjadi
antara elite dan massa (rakyat). Elit yang dimaksud
adalah aparat militer, pusat pemerintah ataupun
kelompok bisnis. Hal yang menonjol dalam konflik
vertikal adalah terjadinya kekerasan yang biasa
dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat. 2)
Konflik horizontal: Konflik terjadi dikalangan
massa atau rakyat sendiri, antara individu atau
kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif
sama. Artinya, konflik tersebut terjadi antara
individu atau kelompok yang memiliki kedudukan
relative sederajat, tidak ada yang lebih tinggi dan
rendah.
TENTANG NOVEL LAMPUKI
Lampuki ditulis oleh Arafat Nur. Meski bukan
kelahiran Aceh –dia lahir di Lubuk Pakam, Sumatra
Utara, 22 Desember 1974- namun semasa hidupnya
di habiskan di Aceh, mulai SD sampai SMA. Dia
kini dipercaya sebagai Ketua Devisi Sastra pada
Yayasan Ranub Aceh (KRA).
Novel Lampuki merupakan novel pemenang
lomba menulis novel yang diselenggarakan Dewan
Kesenian Jakarta tahun 2011. Berkat novel ini ia
diundang menjadi pembicara dalam Ubud Writers
& Readers Festival, sebuah ajang sastra internasional
di Bali yang diikuti 17 negara. Selain itu, berkat
novel ini juga ia diundang menjadi pembicara dalam
Asean Literary Festival yang diselenggarakan di
Jakarta.
Novel ini bercerita tentang Teungku
Muhammad yang merupakan guru ngaji dari
anak-anak kecil yang berada di daerah Lampuki.
Suatu malam dia didatangi Ahmadi, tokoh
berandal yang kini menjadi pemberontak.
Disebut juga sebagai Si Kumis Tebal lantaran
memiliki ciri khas tersebut. Dia sengaja datang
dengan maksud untuk membujuk dan memperdaya
murid-murid Teungku Muhammad untuk
bergabung dengannya bahkan ia melarang mereka
untuk pergi ke sekolah. Namun, hasutan itu tidak
lantas digubris oleh mereka, lantaran mereka tahu
bahwa memberontak sama saja menyerahkan
nyawa. Mereka orang-orang Lampuki sudah banyak
mengalami kehilangan lantaran perang yang
berkepanjangan.
Hadirnya Ahmadi dengan pasukan pemberontaknya membuat resah. Ia terus berusaha
membujuk, namun tak banyak yang turut
bergabung. Hing ga akhirnya ia melakukan
pengeboman yang mengundang tentara untuk
mencari pelakunya.
Situasi pun menjadi genting. Tentara yang
berusaha mencari pelaku melakukan tindakantindakan yang membabi buta sehingga timbul
korban, sementara pelakunya dapat melenggang
bebas di jalanan tanpa mereka ketahui.
Kehadiran tentara juga memunculkan ceritacerita unik, mulai kecemburuan sampai pada
larangan berkumis. Semua disajikan secara satir dan
humoris meski sesekali dimunculkan adegan
berdarah-darah. Kisah pemberontakan terus
berlanjut dengan persembunyiaan yang akhirnya
memunculkan keputusasaan yang pada akhirnya
mereka mati di mata senapan tentara.
METODE PENELITIAN
Dalam upaya mengkaji konflik dalam sebuah
karya sastra, maka sebagai sebuah fenomena sosial,
untuk mengkajinya menurut Verlag dan Hamburg
(2011: 12) adalah dengan menggunakan metode
kualitatif.
Ade Hikmat : Representasi Konflik di Aceh dalam Novel Lampuki Karya Arafaat Nur
93
Selanjutnya, untuk mengetahui nilai tersebut
tentu tidak dengan angka-angka melainkan katakata. Maka dalam penelitian ini, metode yang sesuai
adalah deskriptif kualitatif. Hal ini karena metode
deskriptif kualitatif menurut Semi (2012: 13)
merupakan metode yang menguraikan data dalam
bentuk kata-kata atau gambar-gambar, bukan dalam
bentuk angka-angka.

PEMBAHASAN
Penelitian ini akan membahas mengenai
representasi konflik di Aceh dalam novel Lampuki
karya Arafat Nur. Novel ini akan dikaji berdasarkan
posisi pelaku konflik yang berkonflik. Dalam hal
ini terdiri dari dua aspek, konflik vertikal dan konflik
horizontal.
Representasi Konflik Vertikal
Aceh merupakan daerah yang cukup rawan
karena memiliki potensi ekonomi yang lumayan
menggiurkan. Sebuah hipotesis dikemukakan oleh
Kingsbury menguraikan berikut sebagai kegiatan
usaha yang diduga dilakukan oleh militer Indonesia
di Aceh:

Obat terlarang: Pasukan keamanan
mendorong petani lokal Aceh untuk menanam
ganja dan membayar mereka harga yang jauh
di bawah nilai pasar gelap. Salah satu contoh
kasus yang disorot adalah di mana seorang
polisi pilot helikopter mengakui setelah
penangkapannya, bahwa ia mengangkut 40 kg
konsinyasi obat (ganja) untuk atasannya,
kepala polisi Aceh Besar (perlu dicatat bahwa
pada saat itu Kepolisian Republik Indonesia
atau Polri berada di bawah komando militer
atau ABRI). Kasus lain adalah pada bulan
September 2002 di mana sebuah truk tentara
dicegat oleh polisi di Binjai, Sumatera Utara
dengan muatan 1.350 kg ganja.

Penjualan senjata ilegal: Wawancara pada
tahun 2001 dan 2002 dengan para pemimpin
GAM di Aceh mengungkapkan bahwa
beberapa senjata mereka sebenarnya dibeli dari
oknum militer Indonesia. Metode pertama
penjualan ilegal tersebut adalah: personil
militer Indonesia melaporkan senjata-senjata
tersebut sebagai senjata yang disita dalam
pertempuran. Kedua, oknum personil militer
94



utama Indonesia yang mempunyai otoritas
akses bahkan langsung mensuplai GAM
dengan pasokan senjata serta amunisi.
Pembalakan liar : Oknum militer dan polisi
disuap oleh perusahaan penebangan untuk
mengabaikan kegiatan penebangan yang
dilakukan di luar wilayah berlisensi. Proyek
Pembangunan Leuser yang didanai oleh Uni
Eropa dari pertengahan 1990-an untuk
memerangi pembalakan liar sebenarnya telah
menemukan bahwa oknum polisi dan militer
Indonesia yang seharusnya membantu
mencegah pembalakan liar, pada kenyataannya
malah memfasilitasi, dan dalam beberapa
kasus, bahkan memulai kegiatan ilegal
tersebut.
Perlindungan liar: Oknum militer Indonesia
mengelola “usaha perlindungan” liar untuk
mengekstrak pembayaran besar dari
perusahaan-perusahaan besar seperti Mobil
Oil dan PT Arun NGL di industri minyak dan
gas, serta perusahaan perkebunan yang
beroperasi di Aceh. Sebagai imbalan untuk
pembayaran liar tersebut, militer akan
mengerahkan
personilnya
untuk
“mengamankan” properti dan daerah operasi
perusahaan tersebut.
Perikanan: nelayan lokal Aceh dipaksa untuk
menjual tangkapan mereka kepada oknum
militer dengan harga jauh di bawah harga
pasar. Oknum militer kemudian menjual ikan
untuk bisnis lokal dengan harga yang jauh
lebih tinggi. Oknum dari Angkatan Laut
Indonesia mungkin juga mencegat kapal-kapal
nelayan untuk memeras pembayaran dari
nelayan.
Kopi: Serupa dengan nelayan, penanam kopi
dipaksa menjual biji kopi kepada oknum
militer dengan harga murah yang kemudian
menjualnya dengan harga tinggi.
Dari pernyataan tersebut jelas bahwa konflik
di Aceh memang merupakan konflik perebutan
kepentingan selain juga konflik ketidak percayaan
terhadap pemerintah.
Dalam novel Lampuki ini, represi dari tentara
menjadi bagian dari konflik vertikal, karena tentara
sebagai perwujudan pemerintah melakukan
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
tindakan yang merugikan masyarakat Aceh. Meski
konflik dalam novel ini tidak digambarkan pada
perebutan nilai ekonomis, namun kekerasan yang
ditujukan pemerintah memberikan ketakutan pada
masyarakat bahkan kepada orang yang tak bersalah,
seperti petikan berikut ini,
Nahas betul nasibnya, sebelum cita-citanya
tercapai dia mati di ujung senapan. Tubuh kurusnya
bolong-bolong dicabik puluhan logam peluru di
kebun pisang belakang rumah. Entah ketika itu dia
hendak buang hajat atau memang mau pergi
ming gat lagi. Kala jasadnya dimandikan,
selangkangannya penuh kotoran, sampai salah
seorang yang memandikannya muntah-muntah.
(Nur, 2011:291)
Lelaki yang ditembak ini bernama Anwar,
meski tidak bersalah yang dipertegas oleh
pernyataan tokoh aku (Nur,2011: 290) dalam cerita
ini, tetap saja Si Komandan Pos tidak percaya
karena menganggap mereka telah bersekongkol.
Sehingga pada akhirnya memunculkan
kekhawatiran berlebihan terhadap tentara.
Perilaku semena-mena tersebut kembali
terjadi, ketika orang tak bersalah kali ini Majid yang
hanya karena berkumis harus kena pukulan dari
tentara. Tindakan ini memang muncul lantaran
keputusasaan tentara memburu pemberontak yakni
Ahmadi yang berhasil membunuh pasukan tentara
yang sedang berpawai. Ahmadi yang berkumis ini
kemudian menjadi sasaran sehingga semua orang
diperintahkan untuk mencukur kumisnya. Majid
yang baru kembali dari perantauan tidak tahu hal
itu sehingga meski membela, ia harus menerima
popor senapan di wajahnya. Seperti tercermin pada
kutipan berikut ini,
Paijo mengabaikan berbagai penjelasan dan
pembelaan Majid yang terucap dari mulutnya yang
gagap gemetar. Pembelaannya justru semakin
menimbulkan kemarahan, kian memunculkan
kecurigaan, tak ubahnya seorang lihai yang sedang
bermuslihat, mengecoh degan kecakapan bersilat
lidah –lidahnya seolah-olah sedang bersiasat untuk
menciptakan dalih dusta guna mengelabui mereka.
Maka Paijo pun memukul lidahnya, tetapi yang kena
hantam malah mulut dan mukanya.
Hal inilah yang membuat masyarakat tidak
bergabung untuk turut memberontak, seperti yang
disampaikan dalam novel ini,
Alasan keengganan orang-orang adalah
mereka tidak ingin mencari-cari penyakit dengan
tentara. Jera sudah tubuh dan jiwa mereka atas azab
yang mereka tanggung sebelumnya semasa Tahuntahun Pembantaian berlangsung. (Nur, 2011: 49).
Representasi Konflik Horisontal
Selain konflik vertikal, konflik yang lalu
muncul juga adalah konflik vertikal. Konflik ini
wajar terjadi karena didasari oleh ketidaksenangan
akan adanya pertikaian. Saparatis dianggap sebagai
biang keladi terhadap kehancuran yang terjadi.
Menghancurkan rasa aman dan ketentraman. Hal
ini wajar terjadi dalam setiap konflik seperti yang
disinggung bahwa konflik seperti yang disampaikan
Wirawan di awal pembahasan ini (2010: 106-109).
Dalam novel ini, representasi konflik
horisontal ini terlihat pada penggalan berikut ini,
Pemimpin-pemimpin kami di sini, sejak dari masa
kejayaan kesultanan sampai pada keruntuhan,
terkenal paling suka bersitegang, berkelahi,
membunuh, dan memelihara pertikaian abadi
sehingga pada akhirnya kami semua terpuruk,
tersuruk-suruk dalam kesengsaraan, hina, papa, dan
binasa. Dan, mereka yang tersisah adalah banditbandit yang selamanya akan menjadi penyakit bagi
kami semua. Mereka sangat senang begitu
menyaksikan saudara yang sama jabatan atau yang
lebih tinggi dari dirinya, jatuh terpuruk atau celaka.
Tak ada orang lain yang boleh lebih hebat dan hidu
senang di negeri ini. (Nur, 2011: 42)
Pada kutipan tersebut, terlihat bagaimana
konflik horisontal seperti sengaja dipelihara
sebagai upaya untuk mendapatkan jabatan atau
dalam novel ini lebih menekankan pada upaua
superioritas yang diusahakan oleh kelompok
tertentu untuk menindas kelompok minoritas yakni
masyarakat.
Ketidaksenangan juga terlihat pada seperatis
yang juga bertindak semena-mena, misalnya dengan
melarang masuk sekolah seperti kutipan berikut ini,
Namun, aku melihat larangan sekolah itu lebih pada
kepentingan lain yang merupakan salah satu upaya
pencegahan terhadap bertambahnya jumlah musuh
kumisnya dari golongan kaumnya sendiri –yang
kumaksud tentu saja bukan kaum kumis- yang kelak
akan menyerang dan mengancam kumisnya... (Nur,
2011: 46)
Ade Hikmat : Representasi Konflik di Aceh dalam Novel Lampuki Karya Arafaat Nur
95
Ketidaksenangan semacam itu tentu saja wajar.
Hal ini karena larangan itu bersifat spekulatif untuk
meneguhkan kepentingan kelompok tertentu. Ini
yang kemudian disadari oleh masyarakat dalam
novel ini sehingga pada akhirnya tidak menggubris
larangan sekolah tersebut.
Konflik horizontal juga terjadi ketika
masyarakat lebih menginginkan perdamaian
dibandingkan dengan pemberontakan. Namun
konflik dalam bentuk penolakan yang tidak
dilanjutkan dalam upaya pencegahan lantaran
ketidakkuasaan melakukan hal tersebut. Hal ini
seperti terlihat pada kutipan berikut ini,
Maka, ketenangan yang sejenak hadir, tidak
berlangsung panjang begitu lelaki itu muncul
bersama kawan-kawan muda, menggelar tikar di
beranda rumah mertuanya, lantas menghamburkan
potongan-potongan senjata, megasin, laras AK-47
yang msih terpisah, beserta ratusan peluru sambil
tergelak kegirangan... (Nur, 2011: 76)
Pernyataan tersebut menunjukkan ketenangan
yang didapat kemudian diganggu lantaran adanya
upaya untuk melakukan pemberontakan. Kegiatan
tersebut yang lalu membuat orang-orang gelisah
seperti yang ditulis pengarang novel ini,
Dia tidak menyadari wabah ketakutan dan
ngeri di wajah mertua dan semua orang Lampuki
yang begitu cepat menyebar dan menggentarkan
tubuh. Celakanya, Ahmadi mengira sekalian orang
turut menyambut dan mendukung tindakan
bodohnya. (Nur, 2011: 77)
Konflik ini bisa jadi ditimbulkan dari upaya
untuk memilih berdamai dibandingkan berada di
tengah kekacauan. Pembantaian yang terjadi tentu
menyisakan luka dan kesedihan yang mendelam,
sehingga tak seorang pun hendak merasakan yang
kedua kalinya.
KESIMPULAN
Aceh sebagai wilayah yang penuh konflik
ternyata menyajikan sudut pandang cerita yang lain.
Jika ditilik melalui novel Lampuki karya Arafat Nur
ini, maka representasi konflik di Aceh terbagi
menjadi dua. Yakni konflik vertikal, antara
masyarakat dengan tentara (pemerintah), dan juga
konflik horisontal antara masyarakat dengan
pemberontak.
96
Kedua jenis konflik ini sebetulnya merupakan
sesuatu yang tidak diharapkan karena kedua konflik
yang terjadi telah merugikan banyak pihak yang
tidak bersalah, tidak hanya harta, namun juga
nyawa.
DAFTAR PUSTAKA
Jassin, H. B. 1991.Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta:
CV Haji Masagung.
Esten, Mursal. 2000.Kesusastraan, Pengantar Teori dan
Sejarah. Bandung : Angkasa.
Klare, Mario. 2004. An Introduction to Literary Studies:
Second edition. London: Routladge.
Kurniawan,Heru.2009. Sastra Anak dalam Kajian
Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga
Penulisan Kreatif.Yogyakarta: Graha Ilmu.
Nur, Arafat. 2011. Lampuki. Bandung: Serambi
Ilmu Semesta.
Rahwana. 2014. Teori Kritik Sastra Akademik Periode.
http://rahwana-gosaki.blogspot.com.
Rifa’i, Muhammad. 2011. Sosiologi Pendidikan.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Sapardi Djoko Damono. 2002.Pedoman Penelitian
Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa
Depdiknas.
Semi, Atar.2012. Metode Penelitian Sastra.Bandung:
CV ANGKASA.
____. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1988.Apresiasi
kesusastraan,Jakarta : Gramedia.
Suwardi. 2011. Diktat Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
FBS Universitas Negeri Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: Raja Grafindo.
Tjahyono, Liberatus Tengsoe. 1988.Sastra Indonesia
Pengantar Teori dan Apresiasi, Jakarta : Nusa
Indah.
Verlag,Rowohlt Taschenbuch dan Reinbek bei
Hamburg.2011. An Introduction to Qualitative.
London: Sage Publication.
Wirawan. 2010. Konflik dan Manajemen Konflik: Teori,
Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta: Salemba
Humanika.
http://id.wikipedia.org/wiki/
Pemberontakan_di_Aceh
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
TINDAK TUTUR DIREKTIF DALAM PERCAKAPAN
PARA TOKOH FILM LASKAR PELANGI
Nur Aini Puspitasari
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP-UHAMKA
Abstract: Based on the results of a study of narrative film Laskar Pelangi figures it can be concluded that the use
of directive speech acts associated with the speakers intent to ask the hearer to do something. Directive speech
act can be viewed from various aspects, as proposed by Bach and Harnish are divided into subcategories six
directive speech acts, namely (1) requestives directive speech act, (2) questions directive speech acts, (3) requirements
directive speech acts; (4) directive speech acts prohibitive; (5) permissives directive speech acts; (6) directive
speech acts advisories. The sixth subcategory directive speech acts can be found in this thesis. Questions directive
speech acts are directive speech acts that are mostly foundin this study.
PENDAHULUAN
Komunikasi dapat dianggap sebagai fungsi
yang paling umum bukan hanya terjadi bagi
pengguna bahasa. Komunikasi bukan hanya terjadi
pada pemakaian bahasa tetapi memang bahasa
merupakan sarana yang paling terperinci dan efektif
untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Komunikasi dapat berjalan dengan lancar antara
pembicara dan pendengar harus saling mengenal
bahasa yang digunakannya.
Komunikasi yang wajar dapat diasumsikan
seorang penutur mengartikulasi ujaran dengan
maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada
petuturnya dan berharap petuturnya memahami
apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk
itu, penutur selalu berusaha agar tuturan relevan
dengan konteks, jelas, mudah dipahami, padat dan
ringkas (concise) dan selalu pada persoalan (straight
forward), sehingga tidak menghabiskan waktu
petuturnya.
Dalam setiap komunikasi, manusia saling
menyampaikan informasi, yang dapat berupa
gagasan, pikiran, maksud, perasaan maupun emosi
secara langsung. Maka, dalam setiap proses
komunikasi ini terjadi apa yang disebut peristiwa
tutur dan tindak tutur.
Tindak tutur biasa terjadi dalam komunikasi
sehari-hari. Seperti dalam percakapan, dialog,
diskusi, tanya jawab, wawancara, dan debat. Tindak
tutur juga terdapat dalam drama, karena dalam
drama tindak tutur yang terjadi didukung oleh
faktor-faktor nonbahasa, seperti gerak-gerik,
mimik, intonasi, irama, dan jeda.
Dalam film juga terdapat tindak tutur karena
terjadi percakapan antara penutur dengan petutur.
Misalnya saja dalam film Laskar Pelangi, yang
mampu mengkomunikasikan gagasan penutur
kepada petutur melalui dialog.
Film Laskar Pelangi menarik untuk diteliti
karena mengandung tindak tutur direktif. Hal ini
terlihat dari percakapan para tokoh yang terdapat
dalam film tersebut.
KAJIAN TEORI
1. Tindak Tutur
Tindak tutur merupakan suatu tindakan yang
diungkapkan melalui bahasa yang disertai dengan
gerak dan sikap anggota badan untuk mendukung
pencapaian maksud pembicara. Leech (1983: 19 –
20) berpendapat bahwa tindak tutur ditentukan
adanya beberapa aspek situasi ujar, antara lain (1)
yang menyapa (penyapa, penutur) dan yang disapa
Nur Aini Puspitasari: Tindak Tutur Direktif Dalam Percakapan Para Tokoh Film Laskar Pelangi
97
(petutur); (2) konteks sebuah tuturan (latar
belakang); (3) tujuan sebuah tuturan; (4) tuturan
sebagai bentuk sebuah tindak kegiatan; (5) tuturan
sebagai produk tindak verbal.
Austin (1962: 108) mengucapkan sesuatu
adalah melakukan sesuatu, dan bahasa atau tutur
dapat dipakai untuk membuat kejadian karena pada
umumnya ujaran yang merupakan tindak tutur
mempunyai kekuatan-kekuatan. Berdasarkan
hal tersebut Austin membedakan atau mengkalisfikasikan tindak tutur menjadi tiga aspek.
Ketiga aspek tersebut yaitu tindak lokusi, ilokusi,
dan perlokusi. Tindak lokusi adalah tindak
mengucapkan kata atau kata-kata yang menurut tata
bahasa dapat dimengerti dalam bahasa tertentu.
Tindak ini kurang lebih dapat disamakan dengan
menuturkan tuturan dengan makna dan acuan
tertentu. Tindak ilokusi adalah tindak yang
dilakukan dalam mengujarkan sesuatu. Tindak
perlokusi adalah tindak yang mengacu kepada
dampak atau efek yang ditimbulkan dengan
menyatakan sesuatu.
Searle membedakan tindak ilokusi dan
perlokusi. Menurut Searle tindak ilokusi ialah pesan
yang dikonvensionalisasi yang dimaksudkan untuk
dipahami petutur jika dia menganggap ujaran
penutur sahih. Searle menegaskan bahwa penutur
melakukan tindak ilokusi dengan memgungkapkan
maksudnya untuk menjanjikan sesuatu, meminta
seseorang melakukan sesuatu, menegaskan sesuatu,
dan sebagainya. Dengan cara seperti itu, petutur
dapat mengenali maksud penutur. Pada sisi lain,
tindak perlokusi merupakan tindak yang tidak
dikonvensionalisasi. Apakah penutur terhina,
terbujuk, percaya, dan sebagainya tidak dapat
dikenali hanya dari tindakan percaya atas
pemahaman petutur. “Keberhasilan” dalam
tindak perlokusi tidak dapat diprediksi dengan
cara yang sama dalam tindak ilokusi. (Searle, 1969:
23-24)
Daya ilokusi tuturan pada dasarnya sesuatu
yang dimaksudkan untuk dipahami. Keberhasilan
dalam komunikasi terjadi manakala petutur dapat
menangkap maksud penutur tersebut. Mereka
memandang komunikasi sebagai proses inferensial.
Penutur dengan apa yang dikatakannya memberi
dasar bagi petutur untuk menginferensi maksud
penutur.
98
Dalam sebuah tuturan konteks juga sangat
berpengaruh dalam pemahaman tindak tutur.
Konteks tuturan sangat mempengaruhi interpretasi
tindak tutur oleh penutur maupun lawan tuturnya.
2. Taksonomi Tindak Tutur
Klasifikasi taksonomi tindak tutur yang
dikemukakan para ahli mempunyai beberapa
perbedaan (Cruse, 2004: 356). Perbedaan
pengklasifikasian tersebut terjadi karena perbedaan
sudut pandang dari para ahli, ada yang melihatnya
dari sudut pandang filosofis, linguistik, dan relasi
personal, seperti pada tabel berikut.
Tabel 1
Taksonomi Tindak Tutur Berbagai Ahli
Fraser dalam Nadar (2009: 16-17) juga
membuat taksonomi tindak ilokusi menjadi delapan
macam lengkap dengan contoh-contoh kata
kerjanya sebagai berikut.
a. Acts of Asserting, contohnya accuse, acknowledge,
add, admit, advocate, affirm, agree, allege, announce,
apprise, argue, assent, assert, attest, aver, claim,
comment, concede, conclude, concur, confess, confirm,
conjecture, declare, deduce, denounce, deny, disagree,
dispute, emphasize, grant, hold, inform, maintain,
mention, note, notify, observe, point out, postulate,
predict, proclaim, profess, protest, reaffirm,
recognize, refuse, remark, remind, repeat, reply,
respond, retort, say, state, submit, suggest, swear, tell,
very, warn.
b. Acts of Evaluating, contohnya adjudge, analyse,
appraise, assess, calculate, call, certify, characterize,
choose, cite, classify, conclude, date, declare, describe,
diagnose, estimate, figure, formulate, evaluate, find,
grade, guess, hold, hypothesize, insist, interpret, judge,
locate, make, measure, picture, place, portray, postulate,
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
put, rank, read, reckon, regard, rule, speculate, take,
theorise, value.
c. Acts of Reflecting Speaker Attitude, contohnya
accept, apology, acclaim, admonish, agree, apologize,
applaud, approve of, blame, commend, commiserate,
complain, compliment, congratulate, condemn, credit,
curse, denounce, deplore, disagree, endorse, excuse,
favor, object to, oppose, praise, protect, question,
recognize, regret, salute, sympathise, thank, wish.
d. Acts of Stipulating, contohnya abbreviate, begin,
call, characterize, choose, class, classify, code, declare,
describe, define, denote, designate, distinguish, dub,
identify, nominate, parse, recast, rule, select, specify,
stipulate, term.
e. Acts of Requesting, contohnya appeal, ask, beg,
bid, call on, command, demand, direct, enjoin, forbid,
implore, insist, inquire, instruct, invite, order, petition,
plead, pray, prohibit, restrict, request, require, solicit.
f. Acts of Suggesting, contohnya admonish, advance,
advise, advocate, caution, counsel, exhort, propose,
recommend, suggest, urge, warn.
g. Acts of Exercising Authority, contohnya abolish,
abrogate, accept, adopt, agree to, allow, apply for,
appoint, approve, authorize, bless, cancel, choose, close,
condemn, consent, countermand, credit, declare, decree,
deny, dismiss, disown, dissolve, downgrade, excuse,
exempt, fine, forbid, forgive, grant, greet, invoke, nullify,
permit, present, prohibit, renounce, repudiate, reject,
restrict, take back, tender, withdraw.
h. Acts of Commiting, contohnya accept, assume,
assure, commit, dedicate, obligate, offer, pledge, promise,
undertake, swear, volunteer, vow.
Penelitian ini menggunakan taksonomi tindak
tutur yang dikemukakan oleh Searle yaitu asertif/
representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan
deklarasi. Pembagian Searle didasarkan pada jenis
dan hakikat tindakan yang dilakukan oleh seseorang.
Menurut Allan, kelima tindak tutur yang
diajukan Searle merupakan tindakan antarpribadi
yang biasanya ditunjukan pada individu-individu.
Oleh karena itu, jenis tindak tutur Searle ini dipilih
sebagai dasar kajian kerena lebih menekankan
hubungan komunikasi antarpersonal.
Berikut uraian kelima tindak tutur Searle
(1962: 34-37)
a. Tindak tutur representatif megandung nilai
kebenaran atau ketidakbenaran. Tindak tutur
ini harus memiliki arah kecocokan dari kata
b.
c.
d.
e.
ke dunia. Pada ilokusi ini penutur terikat pada
kebenaran proposisi yang diungkapkan,
misalnya menyatakan, mengusulkan,
membuat, mengeluh, mengemukakan
pendapat, dan melaporkan.
Tindak tutur direktif mewujudkan usaha pada
pihak penutur agar petutur melakukan sesuatu
untuk mencapai tujuan tersebut. Berbeda
dengan tindak representatif, tindak tutur ini
memliki arah kecocokan dari dunia ke kata;
dunia disesuaikan dengan kata yang terujar.
Dalam tindak direktif ini, muncul kewajiban
petutur yang harus dilakukan. Misalnya tindak
direktif adalah memerintah, memohon,
menuntut, dan sebagainya.
Tindak tutur komisif menjalankan pengubahan di dunia dengan cara menciptakan
kewajiban; penutur berjanji kepada diri sendiri
untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur ini
memilki arah kecocokan dari dunia ke kata.
Perbedaannya dengan tindak tutur direktif
adalah bahwa dalam tindak tutur komisif
kewajiban terletak pada diri penutur, bukan
pada diri petutur. Jadi pada ilokusi ini penutur
(sedikit banyak) terikat pada suatu tindakan
pada masa mendatang, misalnya menjanjikan,
menawarkan, berkaul, dan sebagainya.
Tindak tutur ekspresif mengungkapkan
keadaan psikologis penutur dan tidak memiliki
arah kecocokan antara kata dan dunia. Contoh
tindak ini adalah berterima kasih, meminta
maaf, mengucapkan selamat, memuji, dan
sebagainya.
Tindak tutur deklarasi merupakan pernyataan
yang mengubah perikeadaan di dunia,
misalnya dari sekadar sepasang manusia
menjadi suami-isteri. Tindak ini memiliki arah
kecocokan dari kata ke dunia dan dari dunia
ke kata. Berhasilnya ilokusi ini akan
mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi
proposisi dengan realitas, misalnya membaptis,
memecat, member nama, menjatuhkan
hukuman, mengangkat pegawai, dan
sebaginya. Tindak deklarasi merupakan
kategori tindak tutur yang sangat khusus
karena melibatkan seseorang yang dalam
sebuah lembaga diberi wewenang untuk
melakukannya.
Nur Aini Puspitasari: Tindak Tutur Direktif Dalam Percakapan Para Tokoh Film Laskar Pelangi
99
Tabel 2
Lima Fungsi Umum Dalam Tindak Tutur
3. Tindak Tutur Direktif
Tindak tutur direktif kadang-kadang disebut
juga tindak tutur impositif adalah tindak tutur yang
dilakukan penuturnya dengan maksud agar si
pendengar melakukan tindakan yang disebutkan
dalam ujaran itu (Gunarwan, 1992: 11). Tindak
tutur direktif dimaksudkan untuk menimbulkan
beberapa efek
melalui tindakan sang penyimak (Levinson,
1983: 240). Tuturan-tuturan memaksa, mengajak,
meminta, menyuruh, menagih, mendesak, memohon,
menyarankan, memerintah, memberi aba-aba, menentang
termasuk ke dalam jenis tindak tutur direktif
(Rustono, 1999: 33).
Tindak tutur direktif dapat mengungkapkan
maksud penutur (keinginan dan harapan) sehingga
ujaran atau sikap yang diungkapkan dijadikan
sebagai alasan untuk bertindak oleh petutur.
Menurut Bach dan Harnish (1977: 47-49), ada enam
subkategori utama tindak direktif, yakni requestives
(memohon), questions (pertanyaan), requirements
(perintah), prohibitives (larangan), permisivves
(pemberian izin), dan advisories.
Requestives mengungkapkan keinginan penutur
sehingga petutur melakukan sesuatu. Di samping
itu, requestives mengungkapkan maksud penutur
(atau jika jelas bahwa dia tidak mengharapkan
kepatuhan, requestives mengungkapkan keinginan
100
atau harapan penutur) sehingga petutur menyikapi
keinginan yang terekspresikan ini sebagai alasan
(atau bagian dari alasan) untuk bertindak. Verba
requestives ini mempunyai konotasi yang bervariasi
dalam kekuatan sikap yang diungkapkan,
sebagaimana yang ada dalam mengundang, mendorong,
dan meminta. Di samping itu, ada verba yang lebih
kuat, yang mengandung pengertian kepentingan,
seperti mendesak dan memohon. Sebagian verba
requestives memiliki cakupan yang lebih spesifik,
misalnya memanggil atau mengundang mengacu kepada
permohonan terhadap permintaan agar petutur
datang.
Questions (pertanyaan) merupakan request
dalam kasus yang khusus, yakni yang dimohon
ialah petutur memberikan informasi tertentu
kepada penutur. Terdapat perbedaan di antara
berbagai jenis pertanyaan, tetapi tidak semuanya
penting untuk taksonomi ilokusi. Menurut
Bach dan Harnish, pertanyaan yang tidak terlalu
cocok untuk analisis tindak tutur ialah antara
lain pertanyaan ujian, pertanyaan retoris,
interogasi, pertanyaan menguji (quiz), dan
menyelidik (query).
Requirements (perintah) seperti menyuruh dan
mendikte jangan sampai dikacaukan dengan
memohon (request), meskipun permohonan dalam
pengertian yang kuat. Ada perbedaan penting di
antara keduanya, yakni permintaan dan
per mohonan. Dalam requestives penutur
mengungkapkan maksudnya sehingga petutur
menyikapi keinginan yang diungkapkan oleh
penutur sebagai alasan untuk bertindak. Dengan
begitu, ujaran penutur dijadikan sebagai alasan
penuh untuk bertindak. Akibatnya, perintah tidak
mesti melibatkan ungkapan keinginan penutur
supaya petutur bertindak dengan cara tertentu.
Dalam mengungkapkan kepercayaan dan maksud
yang sesuai, penutur mempraanggapkan bahwa
dia memilki kewenangan yang lebih ting gi
daripada petutur, misalnya otoritas fisik, psikologis,
dan institusional, yang memberikan bobot
ujarannya.
Prohibitives (larangan) seperti melarang atau
membatasi, pada dasarnya merupakan perintah agar
petutur tidak mengerjakan sesuatu. Melarang orang
merokok sama halnya menyuruhnya untuk tidak
merokok. Prohibitives dipisahkan dari requirements
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
karena requirements menggunakan bentuk gramatikal
yang berbeda dan karena terdapat sejumlah verba
semacam itu.
Permissives (pemberian izin) seperti halnya
perintah dan larangan, mempraang gapan
kewenangan penutur. Pemberian izin mengungkapkan kepercayaan penutur dan maksud penutur
sehingga petutur percaya untuk merasa bebas
melakukan tindakan tertentu. Alasan yang jelas
untuk menghasilkan pemberian izin tampak bahwa
penutur mempraanggapkan adanya permohonan
terhadap izin atau mempraanggapkan adanya
pembatasan terhadap apa yang dimintakan izin itu.
Paling tidak berkaitan dengan per missive
noninstitusional, penutur mengungkapkan bahwa
dia tidak melakukan tindakan tersebut. Akan tetapi,
yang diharapkan membentuk alasan petutur dalam
bertindak ialah ujaran penutur, bukan sikap yang
diungkapkan penutur. Sebagian verba pemberian
izin ini sangat khusus, seperti melindungi (bless),
berpamitan (dismiss), permisi (excuse), dan
melepaskan (release).
Berkaitan dengan advisories, hal yang
diungkapkan penutur bukanlah keinginan bahwa
petutur bertindak tertentu, tetapi kepercayaan
bahwa bertindak sesuatu merupakan hal yang baik
dan tindakan itu merupakan kepentingan petutur.
Penutur juga mengungkapkan maksud bahwa
petutur mengambil kepercayaan berupa ujaran
penutur sebagai alasan untuk bertindak. Advisories
bervariasi menurut kekuatan kepercayaan yang
diungkapkan, misalnya admonishing (memperingatkan) dan suggesting (menyarankan). Sebagian
advisories mengimplikasi adanya alasan khusus
sehingga tindak yang disarankan merupakan
gagasan yang baik, misalnya penutur mempraanggapkan adanya suatu sumber bahaya atau
kesulitan bagi petutur.
4. Konsep Wacana dalam Film Laskar Pelangi
Film Laskar Pelangi merupakan karya yang
fenomenal karena memiliki tiga alasan, yaitu pertama
menjadi buku terlaris sepanjang sejarah sastra
Indonesia. Kedua, Laskar Pelangi dapat dijadikan
contoh dan role model dalam dunia pendidikan di
Indonesia. Ketiga, mampu memotivasi pembaca atau
pemirsanya melalui gagasan dan dialog-dialog yang
dituangkan oleh pengarang.
Film Laskar Pelangi diadaptasi dari novel
fenomenal Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, yang
mengambil setting akhir tahun 70-an di desa
Gantong, Belitong, sebuah pulau indah yang pernah
menjadi salah satu pulau terkaya di Indonesia. Film
ini berkisah tentang kalangan pinggiran, tentang
perjuangan hidup menggapai cita-cita yang
mengharukan dan indah persahabatan.
Film Laskar Pelangi tidak hanya menarik hati
pemirsanya melalui kisah yang mengharukan dari
2 orang guru yang mengabdi tanpa pamrih yaitu
Ibu Muslimah dan Pak Harfan dan dari 10 siswa
yang bersekolah di SD Muhammadiyah Gantong
yang berjuang menggapai mimpi serta keindahan
persahabatan yang menyelamatkan hidup manusia.
Tetapi, menariknya Film ini tidak ditulis dengan
bahasa baku selayaknya film Indonesia biasa,
namun masih disuntik peribahasa Indonesia baku
untuk mudah dimengerti oleh pemirsanya. Selain
itu, film Laskar Pelangi menggunakan dialog-dialog
secara langsung maupun tidak untuk mencapai
maksud tuturan.
Dalam film Laskar Pelangi komunikasi yang
dilakukan berbentuk dialog. Bila film menjadi
sebuah bahan belajar, maka yang akan dipelajari
adalah dialognya melalui menyimak agar siswa
mengerti maksud dan tujuan ujaran yang
dimaksudkan. Dialog merupakan kajian dalam
wacana. Percakapan atau dialog dalam film terdiri
atas ide-ide yang timbul dari pikiran dan perasaan
penulisnya. Hal ini sependapat dengan Suhendar
dan Pien Supinah (1998: 61) bahwa, “Ide-ide yang
muncul dalam membuat film harus tulus karena
film itu adalah alat pengutaraan pikiran, perasaan,
kehendak, dan lain-lain. Bahasa dalam film terdiri
dari percakapan, komentar, cerita, dan lain-lain.
Oleh karena film berbentuk percakapan atau
dialog, maka percakapan itu merupakan wacana.
Mengenai percakapan sebagai wacana, berikut ini
Stubbs (1983: 10) memberikan batasan tentang
wacana sebagai berikut:
“Wacana adalah organisasi bahasa di atas
kalimat atau di atas klausa, dengan perkataan lain
unit-unit linguistik yang lebih besar daripada kalimat
atau klausa, seperti pertukaran-pertukaran
percakapan atau teks-teks tertulis. Secara singkat:
apa yang disebut teks bagi wacana adalah kalimat
bagi ujaran (Utterence).”
Nur Aini Puspitasari: Tindak Tutur Direktif Dalam Percakapan Para Tokoh Film Laskar Pelangi
101
Dari pendapat Stubbs dapat disimpulkan
bahwa percakapan itu adalah wacana. Jadi,
pertukaran dalam percakapan-percakapan (dialog)
di dalam film Laskar Pelangi adalah suatu wacana.
Wacana dalam film Laskar Pelangi termasuk dalam
wacana dialog. Dalam wacana dialog terdapat
pertukaran ujaran antara dua orang pengirim atau
lebih yang saling bertukar peran. Setiap ujaran itu
harus mempunyai hubungan dengan ujaran lain
yang merupakan repliknya.
Wacana dialog dalam film mencerminkan
bentuk bahasa lisan yang berfungsi sebagai sarana
komunikasi, karena komunikasi merupakan fungsi
yang paling umum bagi pemakai bahasa. Bila dalam
film terdapat bahasa-bahasa yang tidak baku,
maksudnya adalah untuk menghidupkan isi film itu
sendiri.
Pada wacana dialog seperti dalam film yang
berisi dialog-dialog dapat terjadi tindak tutur, karena
tindak tutur itu terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
dan film merupakan perwujudan kehidupan seharihari. Untuk lebih memperkuat mengenai hal itu,
Chand Parves Servia berpendapat dalam Ahmadun
Yosi Herfanda, “Film adalah cermin keseharian
masyarakat, termasuk keseharian masyarakat dalam
berbahasa. Bahasa dalam film bisa dianggap
mencerminkan penggunaan bahasa Indonesia
dalam pergaulan sehari-hari.” (Republika, Minggu
7 Desember 2008)
Dalam film Laskar Pelangi berisi dialog atau
percakapan yang terjadi antar manusia yang di
dalamnya berisi tentang informasi karena itu dapat
ditemukan tindak tutur dalam dialog tersebut.
Tindak tutur tersebut dapat diidentifikasi menjadi
tindak tutur direktif dalam percakapan mereka dan
terdapat keunikan dari tindak tutur direktif tersebut,
yaitu menggunakan bermacam-macam modus
tuturan.
5. Wacana Dialog
Adanya dua orang yang terlibat dalam
peristiwa komunikasi merupakan ciri wacana dialog
(Kushartanti, 2007: 95). Pada wacana dialog
terdapat paling tidak dua pelaku, yaitu yang
berbicara dan yang diajak berbicara,
interlokutornya. Dalam peristiwa komunikasi
terjadi percakapan. Menurut Hatch dan Long dalam
Brown (2007: 250) ada beberapa kaidah yang
102
mengatur percakapan, yaitu “Bagaimana kita
mendapatkan perhatian orang lain? Bagaimana kita
memulai topik? Menghentikan topik? Menghindari
topik? Bagaimana seseorang menyela, mengoreksi,
atau mencari kejelasan?”
Menurut H. Clark (1994: 994) wacana dialog
dianggap joint activity sehingga ada empat unsur yang
terlibat, yakni (1) personalia (personel), (2) latar
bersama (common ground), (3) perbuatan bersama
(joint action), dan (4) kontribusi.
Unsur personalia, minimal harus ada dua
partisipan, yakni pembicara dan interlokutor (orang
yang diajak bicara). Dalam unsur personalia tidak
mustahil bila ada pendengar (side participant), yakni
orang lain yang bisa juga ikut serta dalam
pembicaraan itu. Selain itu, personalia juga dapat
mencakup bystanders, yakni partisipan yang
mempunyai akses terhadap apa yang dibicarakan
oleh pembicara dan interlocutor dan kehadirannya
diakui. Terakhir adalah penguping (eavesdroppers),
yakni pertisipan yang juga mempunyai akses
terhadap percakapan itu tetapi kehadirannya tidak
diakui, artinya bisa saja ada di kamar sebelah tetapi
mendengar percakapan tersebut. Clark (1994: 989)
menggambarkannya sebagai berikut.
Unsur latar bersama, merujuk pada anggapan
bahwa pembicara maupun interlocutor memiliki
kesamaan prasuposisi dan pengetahuan yang
sama.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian yang
didasarkan pada deskriptif kualitatif, dengan teknik
analisis isi (content analysis) dan prosedur induktif.
Artinya, data yang diperoleh dianalisis kemudian
dikelompokkan ke dalam kategori-kategori yang
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
ditetapkan sebelumnya. Aspek-aspek interpretasi
teks mengikuti pertanyaan penelitian dimasukkan
ke dalam kategori-kategori. Kategori-kategori
tersebut dapat direvisi dan diverifikasi bersamaan
dengan jalannya proses analisis (Krippendorff,
2004: 88).
Langkah-langkah penelitian yang dilakukan
meliputi studi teoritis, analisis wacana, dan
pembahasan. Langkah-langkah tersebut sebagai
berikut (1) kajian teori tindak tutur untuk
mendapatkan unsur-unsur kategori tentang jenisjenis tindak tutur yang berkaitan dengan masalah
penelitian; (2) kajian tentang subkategori tindak
tutur direktif untuk mendapatkan gambaran yang
jelas tentang tentang kaitannya dengan tindak tutur
direktif dalam film; (3) analisis data, data yang
dianalisis dalam penelitian ini adalah wacana dialog
yang diperoleh melalui teknik pengumpul data dari
tindak tutur direktif dalam percakapan para tokoh
film Laskar Pelangi. Untuk setiap cerita yang dipilih
diambil beberapa peristiwa tutur yang berupa
dialog. Dialog-dialog tersebut dilihat bentuk-bentuk
ujarannya untuk dicari subkategori tindak tutur
direktifnya, seperti requestif (memohon), question
(pertanyaan), requirements (perintah), prohibitives
(larangan), permisivves (pemberian izin), advisories,
yang ditemukan dalam data dari film Laskar Pelangi
VCD 1. Kemudian untuk menganalisis data yang
sudah dikelompokkan dalam tabel pengumpul data
peneliti menggunakan tabel analisis kerja; (4)
pembahasan hasil analisis. Pada tahap ini peneliti
membahas hasil-hasil analisis yang dikaitkan dengan
masalah penelitian, teori-teori yang relevan, serta
petunjuk pakar; (5) penarikan kesimpulan serta
menyampaikan hasil temuan penelitian ini,
penyampaian saran merujuk pada kesimpulan
penelitian; (6) penulisan laporan penelitian.
Instrumen utama dalam penelitian ini adalah
peneliti yang berperan sebagai pengamat penuh dan
dibantu dengan tabel pengumpulan data dan tabel
analisis kerja.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari temuan penelitian terlihat jelas bahwa
terdapat subkategori tindak tutur direktif dalam
percakapan para tokoh film Laskar Pelangi.
Subkategori tindak tutur direktif dalam percakpan
para tokoh film Laskar Pelangi meliputi;
1.
Subkategori tindak tutur direktif
requestives dalam percakapan para tokoh
film Laskar Pelangi
Film Laskar Pelangi merupakan film yang tidak
ditulis dengan bahasa baku bahasa Indonesia, tetapi
masih disuntik dengan peribahasa Indonesia baku
agar mudah dimengerti oleh pemirsa. Film Laskar
Pelangi menggunakan dialog secara langsung
maupun tidak langsung.
Dalam film Laskar Pelangi terdapat tindak tutur
direktif requestives karena mengandung maksud
penutur yang menghendaki petutur melakukan
sesuatu sesuai kehendak penutur. Permintaan
penutur tersebut penyampaiannya berbeda-beda
sesuai dengan konteks yang melatarinya.
Menurut Bach dan Harnish (1977: 48), verba
requestives memiliki cakupan yang lebih spesifik
seperti memang gil. Verba memanggil dalam
penelitian ini ditemukan tiga maksud misalnya, (1)
penutur memanggil petutur agar memperhatikan
tentang hal yang ingin disampaikan, (2) ada pula
memang gil karena permohonan terhadap
permintaan penutur agar petutur datang, dan (3)
penutur memanggil karena secara tidak langsung
penutur meminta informasi dari petutur tentang
waktu libur sekolah.
Bach dan Harnis (1977: 48) berpendapat
bahwa verba requestives memiliki verba yang lebih
kuat, yang mengandung pengertian kepentingan,
seperti memohon. Pada verba memohon ditandai
pada kata mohon tanpa diberi afiks me-, tetapi diberi
klitika ku-. Verba memohon pada percakapan para
tokoh film Laskar Pelangipenutur memohon kepada
petutur karena berharap mendapatkan informasi
dari petutur.
2. Subkategori Tindak Tutur Direktif
Questions dalam Percakapan Para Tokoh
Film Laskar Pelangi
Ujaran yang muncul dalam setiap percakapan
merupakan perpaduan gagasan penutur dalam
bentuk bahasa yang ingin disampaikan ataupun
dalam bentuk ingin mendapatkan informasi dari
petutur. Dalam film Laskar Pelangibanyak sekali
ditemukan subkategori tindak tutur direktif
questions karena pertanyaan yang muncul dari
penutur kepada petutur untuk mendapatkan
informasi, konfirmasi, dan memberi saran. Hal ini
dilatari karena film Laskar Pelangimerupakan film
Nur Aini Puspitasari: Tindak Tutur Direktif Dalam Percakapan Para Tokoh Film Laskar Pelangi
103
yang bertemakan pendidikan yang terjadi di
Belitong dan berkisah tentang kalangan pinggiran
yang memperjuangkan hidup menggapai cita-cita.
Tindak tutur direktif question merupakan
request dalam kasus yang khusus, yakni yang
dimohon ialah petutur memberikan informasi
tertentu kepada penutur. Temuan dalam penelitian
ini hanya terdapat tiga jenis bentuk pertanyaan yang
diajukan penutur kepada petutur, yakni penutur
berharap mendapatkan informasi dari petutur,
penutur bertanya untuk meminta konfirmasi dari
petutur, dan penutur bertanya untuk meminta saran
dari petutur. Hal ini merujuk kepada pendapat Bach
dan Harnish (1977: 48) bahwa pertanyaan yang
tidak terlalu cocok untuk analisis tindak tutur antara
lain pertanyaan ujian, pertanyaan retoris, interogasi,
pertanyaan menguji, dan menyelidik, sehingga
peneliti hanya mengkaji tiga jenis bentuk pertanyaan
yang telah ditemukan.
Tiga jenis bentuk pertanyaan yang digunakan
dalam percakapan para tokoh film Laskar Pelangi
adalah pertama penutur bertanya untuk meminta
konfirmasi, pertanyaan meminta konfirmasi pada
dasarnya merupakan bagian dari permintaan
informasi bedanya konfirmasi selalu merujuk
kepada peristiwa percakapan terdahulu. Dalam
temuan ini terdapat tiga pertanyaan meminta
konfirmasi, yaitu (1) ketika Ibu Ikal meminta
konfirmasi dari Ayah Ikal tentang izin di tempat
kerjanya, (2) Pak Harfan meminta konfirmasi dari
Bu Muslimah tentang raport khusus bagi Harun
karena Harun anak yang istimewa, (3) Ikal meminta
konfirmasi kepada A Ling tentang puisi yang Ikal
buat. Kedua, penutur bertanya untuk meminta
informasi. Menurut Goody, menyatakan bahwa
secara umum diartikan sebagai pertanyaan yang
mungkin benar dan mungkin juga salah. Informasi
mengacu pada sesuatu yang keberadaannya bersifat
independen atau berstatus objektif. Sesuatu yang
dimaksud dapat berupa fakta, opini, keputusan,
maksud, alasan, atau objek nyata. Dalam film
Laskar Pelangi, penyampaian tindak tutur direktif
question ditandai dengan adanya cara penuturan
yang bernada tanya dan penggunaan segmen tutur
Tanya seperti siapa, apa, di mana, dan kapan. Ketiga,
tindak tutur memberi saran dipandang sebagai
tindak direktif karena dalam menyampaikan saran,
pembicara menyatakan sebaiknya pendengar
104
melakukan suatu tindakan. Dalam meminta suatu
tindakan, tindakan yang dilakukan oleh petutur
bersifat menguntungkan bagi penutur atau juga
menguntungkan bagi petutur, sedangkan dalam
menyampaikan saran tindakan yang dilakikan oleh
petutur semata-mata menguntungkan bagi diri
petutur. Hal ini terdapat pada pertanyaan memberi
saran dari Bu Muslimah (penutur) kepada Pak
Harfan (petutur), Bu Muslimah bertanya untuk
memberi saran agar ia mencari seorang murid lagi,
pertanyaan itu ditujukan kepada Pak Harfan. Bu
Muslimah mengharapkan jawaban ya dari Pak
Harfan.
3. Subkategori Tindak Tutur Direktif
Requirements dalam Percakapan Para
Tokoh Film Laskar Pelangi
Menurut Bach dan Harnish (1977: 48) tindak
tutur direktif requirements merupakan
pengungkapan kepercayaan dan maksud yang
sesuai, penutur mempraanggapkan bahwa dia
memiliki kewenangan yang lebih tinggi dari pada
petutur, misalnya otoritas fisik, psikologi, dan
institusional yang memberikan bobot ujarannya.
Film Laskar Pelangi merupakan film yang bertema
pendidikan sehing ga kental dengan unsur
requirements yang dilakukan oleh para tokohnya.
Kecenderungan umum yang ditemukan dalam
percakapan para tokoh film Laskar Pelangiadalah
tidak tutur direktif requirements dituturkan oleh
guru kepada siswanya, kepala sekolah kepada guru,
dan teman sejawat yang memiliki otoritas.
Partikel –lah merupakan verba yang
menyatakan perintah. Hal ini ditandai dari satu
tuturan dituturkan oleh penutur yang tidak memiliki
otoritas kepada petuturnya, tuturan tersebut hanya
dituturkan kepada teman sejawatnya.
4. Subkategori Tindak Tutur Direktif
Prohibitives dalam Percakapan Para
Tokoh Film Laskar Pelangi
Subkategori tindak tutur direktif prohibitives
merupakan tindak tutur melarang atau membatasi,
yang pada dasarnya merupakan perintah agar
petutur tidak mengerjakan sesuatu. Percakapan para
tokoh dalam film Laskar Pelangihanya ditemukan
satu tuturan yang mengandung tindak tutur direktif
prohibitives.
Film Laskar Pelangimerupakan film yang
mencerminkan keseharian masyarakat Belitong
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
sehingga terjadi percakapan antara para tokoh
dalam pergaulan sehari-hari. Di Belitong sangat
sedikit mobil yang lalu lalang rata-rata masyarakat
menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi.
Hal ini tergambar pada aktivitas dan percakapan
tokoh Mahar sebagai penutur kepada Ikal sebagai
petutur yang mengandung subkategori tindak tutur
direktif prohibitives. Mahar melarang Ikal untuk
memeluk dirinya ketika Mahar sedang mengendarai
sepeda. Percakapan ini ditandai dengan kata
jangan.
5. Subkategori Tindak Tutur Direktif
Permissives dalam Percakapan Para
Tokoh Film Laskar Pelangi
Film Laskar Pelangi mencerminkan bentuk
bahasa lisan yang terdapat pada masyarakat Belitong
sehingga dapat dijadikan sarana komunikasi bagi
para tokoh dalam film tersebut. Penggunaan bahasa
Belitong dalam film Laskar Pelangisemata-mata
untuk menghidupkan isi film itu sendiri.
Subkategori tindak tutur direktif permissives
yang ditemukan dalam percakapan para tokoh film
Laskar Pelangimenggunakan verba pemberian izin
yang khusus seperti berpamitan (dismiss). Hal ini
merujuk karena film Laskar Pelangi merupakan role
model pembelajaran tentang perilaku yang terdapat
pada budaya ketimuran yang menjunjung tinggi
tentang sopan santun. Misal, seseorang berpamitan
ketika ingin pergi, dapat memiliki makna sebagai
budaya (kebiasaan) ataupun agar yang dipimiti
dapat mengetahui ke mana yang berpamitan akan
pergi.
6. Subkategori Tindak Tutur Direktif
Advisories dalam Percakapan Para Tokoh
Film Laskar Pelangi
Bach dan Harnish (1977: 49) berpendapat
bahwa subkategori tindak tutur direktif advisories
bervariasi menurut kekuatan kepercayaan yang
diungkapkan, misalnya admonishing (memperingatkan) dan suggesting (menyarankan). Dalam
temuan penelitian ini pernyataan yang mengandung
memperingatkan cukup banyak karena film Laskar
Pelangimerupakan film yang dapat dijadikan contoh
untuk kehidupan sehari-hari, sehingga penutur
memiliki alasan khusus yaitu memiliki maksud baik
terhadap petutur.
Selain memperingatkan ditemukan pula
suggesting (menyarankan) dalam penelitian ini. Dalam
film Laskar Pelangi tergambar bahwa masyarakat
Belitong senang dengan keterbukaan dan tidak suka
dengan kekerasan. Hal ini dapat ditemukan pada
percakapan para tokoh yang saling menyarankan
karena adanya alasan khusus dari penutur sehingga
tindak yang disarankan merupakan gagasan yang
baik bagi petutur.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian terhadap tuturan
para tokoh film Laskar Pelangi dapat disimpulkan
bahwa penggunaan tindak tutur direktif dengan
maksud penutur untuk meminta petutur melakukan
sesuatu. Tindak tutur direktif questions lebih
banyak ditemukan dalam percakapan para tokoh
film Laskar Pelangi karena film ini merupakan role
model dalam dunia pendidikan sehingga penutur
banyak bertanya kepada petutur untuk mendapat
informasi yang jelas dari penutur.
Bukan hanya sebagai role model dalam dunia
pendidikan, film Laskar Pelangi juga merupakan
role model perilaku masyarakat Belitong yang
ramah dan suka menjunjung tinggi sopan santun,
sehingga setiap ingin pergi selalu berpamitan. Hal
ini merujuk pada tindak tutur direktif permissives,
yaitu pemberian izin yang khusus seperti
berpamitan (dismiss).
Film merupakan cerminan budaya yang terjadi
dalam masyarakat. Perilaku yang dilakonkan para
tokoh merupakan contoh dalam kehidupan seharihari. Hal ini dapat dirujuk pada subkategori tindak
tutur direktif advisories yang mengandung makna
kekuatan kepercayaan sehingga penutur memiliki
alasan khusus untuk memiliki maksud yang baik
terhadap petutur.
DAFTAR PUSTAKA
Austin, J.L.. 1962. How to do Things with Words.
Oxford: Oxford University Press
Bach, Kent dan Robert M. Harinsh. 1977. Linguistic
Communication and Speech Acts. Cambridge:
MIT Press.
Brown, H. Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan
Pengajaran Bahasa Edisi Kelima. Jakarta:
Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Clark, Herbert H. 1994. Discourse Production. dalam
Gernbacher.
Nur Aini Puspitasari: Tindak Tutur Direktif Dalam Percakapan Para Tokoh Film Laskar Pelangi
105
Coulthard, Malcolm. 1977. An Introduction to
Discourse Analysis. London: Longman Group.
Cruse, D. Allan. 2004. Meaning in Language: An
Introduction to Semantics and Pragmatics. New
York: Oxford University.
Goody, EN. 1978. Question and Politness: Strategies in
Social Interaction. Cambridge: Cambridge
University Press.
Gunarwan, Asim. 1992. “Persepsi Kesantunan Direktif
di Dalam Bahasa Indonesia di Antara Beberapa
Kelompok Etnik di Jakarta” dalam Bambang
Kaswati Purwo. Bahasa Budaya. Jakarta:
Lembaga Bahasa Atma Jaya.
Herfanda, Ahmadun Yosi. Wacana: Menyoroti Bahasa
Indonesia dalam Film Kita. Republika, Minggu,
7 Desember 2008.
Krippendorff, Klauss. 2004. Content Analysis, An
Introduction to is Methodology. London: Sage
Publication.
Kushartanti. 2007. Pesona Bahasa. Jakarta:
Gramedia.
Leech, Geofrey. 1983. Principles of Pragmatics.
London: Longman.
106
Levinson, Stepehen. C.. 1983. Pragmatics.
Cambridge: Cambridge University Press.
Miles dan Huberman. 1992. Analisis Data. Jakarta:
Pustaka Pelajar.
Moleong, Lex V J. 2006. Metodologi Penelitian
Kualitatif (edisi revisi). Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Nadar, FX. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang:
CV. IKIP Semarang Press.
Searle, Jhon. R.. 1969. Speech Acts: An Essay in the
Philosophy. Cambridge: Cambridge University
Press.
Stubbs, Michael. 1983. Discourse Analysis: The
Sosiolinguistic Analysis of Natural Language.
Oxford: Basil Blackwell.
Suhendar, HME dan Pien Supinah. 1998.
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia.
Bandung: Pionir Jaya.
Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Pragmatik,
Bandung: Angkasa.
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL
PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM
(KAJIAN STRUKTURAL GENETIK)
Indah Rahmayanti
[email protected]
Abstract: This study focused on the genetic structuralism which consists of four aspects, that is the fact of
humanity, the collective subject, world view, dialectic understanding-explanation, and the structure of literary
works in the novel The Priyayi by Umar Kayam. Lucien Goldmann genetic structuralism approach is used because
the authors assume that the figures in the literature humanized, given a soul, has soul. Umar Kayam has more
dedication on life and of life. Cultural and social aspects of the novel consists of intrinsic characterization,
setting, plot and language style associated with genetic structuralism accompanied in this study. The purpose of
this study is to provide an understanding of literature with qualitative descriptive methods and techniques of
data collection with library research techniques and instrument format. The results of the study revealed the
most dominant genetic structuralism is dialectic understanding-explanation of the number 151 which explains
and describes of Wanagalih city and describe the figures of their attitude. Subject collective aspects of the
kinship group connecting 96 pieces of thought gentry in the household is obliged to accommodate the family to
enjoy educationand kinship gentry. Third, structural aspects of the relation between literary figures with figures
70 pieces explain the link between the figures with each other. Fourth, the relationship between characters with
objects around 54 pieces which link the figures of the surrounding environment, (society and nature). Fifth,
dialectic of understanding-explanation aspect of whole-part relationships 52 pieces which identifies minor issues
relating to larger and vice versa. Sixth, contrasting worldviews intergroup social aspects of 32 pieces which reveal
the presence problem that can be conflict in society. Seventh, the fact verbal aspects of humanity (in the works)
24 pieces that produce puppet plays work, school performances, cultural gatherings. Eighth, the fact the physical
aspect of humanity (in the act) 23 pieces that illustrate behavior that has become a daily figures. Ninth, the
collective aspects of the subject worker group revealed 20 pieces forms of thinking such thoughts make brick
house, school admission, employment, the environment figures on either consciously or unconsciously. Worldview
aspects of social inter connecting 18 pieces that connect the figures of levels between the aristocracy and gentry
with harem. Analysis of results of the dominant intrinsic gain is dispositive there are some 212 pieces protagonist
and antagonis.Latar 126 pieces consisting of a place setting, time setting, social setting. 53 pieces of a style,
mixing subtle use of the Java language and the Java language used rough figures. Some majas such as metonymy,
personification. Chronology of 50 units consisting of ten subtitled generally used groove mix. Social Aspects
237 pieces depicting the phylogenetic relationship among figures very closely and have a reciprocal relationship.
160 pieces depicting the culture of the building culture, language, environment, until the habit of the people.
Keywords : the fact of humanity, the collective subject, world view, dialectic understanding-explanation, and the structure of
literary
Abstrak: Fokus penelitian ini pada strukturalisme genetik yang terdiri atas empat aspek, yaitu fakta kemanusiaan,
subjek kolektif, pandangan dunia, dialektika pemahaman-penjelasan, dan struktur karya sastra dalam novel Para
Priyayi karya Umar Kayam.Pendekatan strukturalisme genetik Lucien Goldmann dipakai karena penulis beranggapan
bahwa tokoh-tokoh dalam karya sastra dimanusiakan, diberi jiwa, mempunyai raga.Umar Kayam memiliki penjiwaan
yang lebih mengenai hidup dan kehidupan. Aspek sosial budaya dan intrinsik novel yang terdiri dari perwatakan,
latar, alur dan gaya bahasa yang berhubungan dengan strukturalisme genetik disertai dalam penelitian ini.Tujuan
penelitian ini untuk memberikan pemahaman karya sastra dengan metode deskriptif kualitatif serta teknik
Indah Rahmayanti: Aspek Sosial Budaya dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam (Kajian Struktural Genetik)
107
pengumpulan data dengan teknik studi pustaka dan format instrumen. Hasil penelitian mengungkapkan
strukturalisme genetik paling dominan adalah dialektika pemahaman-penjelasan dengan jumlah 151 buah yang
menjelaskan kota Wanagalih dan mendeskripsikan tokoh dari sikapnya. Subjek kolektif aspek kelompok kekerabatan
96 buah menghubungkan pemikiran priyayi pada rumah tangganya berkewajiban menampung keluarga untuk
menikmati pendidikandan kekerabatan priyayi.Ketiga, struktur karya sastra aspek relasi antar tokoh dengan tokoh
70 buah menjelaskan kaitan antara tokoh yang satu dengan yang lain.Keempat,relasi antartokoh dengan objek di
sekitar 54 buah yang mengkaitkan antara tokoh-lingkungan sekitarnya,(masyarakat dan alam). Kelima,dialektika
pemahaman-penjelasan aspek keseluruhan-bagian 52 buah yang menjelasakan hubungan masalah kecil yang
berkaitan dengan hal yang lebih besar dan begitu pula sebaliknya.Keenam, pandangan dunia aspek
mempertentangkan antarkelompok sosial 32 buah yang mengungkapkan terdapatnya masalah yang dapat menjadi
pertentangan dalam masyarakat.Ketujuh, fakta kemanusiaan aspek verbal (dalam karya)24 buah yang menghasilkan
karya lakon wayang,pertunjukan sekolah,sarasehan kebudayaan.Kedelapan, fakta kemanusiaan aspek fisik (dalam
perbuatan)23 buah yang menggambarkan tingkah laku yang sudah menjadi keseharian tokoh.Kesembilan, subjek
kolektif aspek kelompok sekerja 20 buah mengungkapkan bentuk pemikiran seperti pemikiran membuat rumah
tembok,penerimaan lingkungan sekolah, hubungan sekerja tokoh pada lingkungannya baik disadari maupun tidak
disadari.Pandangan dunia aspek menghubungkan antarkelompok sosial 18 buah yang menghubungkan tokoh
dari tingkatan priyayi serta antara priyayi dengan sahayanya.Analisis intrinsik mendapatkan hasil dominan adalah
perwatakan 212 buah ada beberapa tokoh protagonis dan antagonis.Latar 126 buah yang terdiri dari latar tempat,latar
waktu,latar sosial.Gaya bahasa 53 buah, percampuran penggunaan bahasa jawa halus maupun bahasa jawa kasar
dipakai tokoh-tokoh.Beberapa majas seperti majas metonimia, personifikasi. Alur 50 buah yang terdiri dari sepuluh
subjudul yang secara umum alur yang digunakan alur campuran. Aspek sosial 237 buah yang menggambarkan
hubungan kekerabatan antara tokoh yang sangat erat dan memiliki hubungan timbal balik. Budaya 160 buah yang
menggambarkan budaya bangunan, bahasa, lingkungan, hingga kebiasaan masyarakatnya.
Kata kunci : fakta kemanusiaan, subjek kolektif, pandangan dunia, dialektika pemahaman-penjelasan, dan struktur karya
sastra.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan karya yang dapat
mengetahui nilai–nilai kehidupan, susunan adat
istiadat, suatu keyakinan, dan pandangan hidup
orang lain atau masyarakat. Salah satu cara untuk
dapat memahami,mengerti, dan memperjelas ihwal
kesusastraan adalah dengan cara membaca,
mempelajarinya, dan mendengarkan penjelasan–
penjelasan yang disampaikan oleh guru, dosen dan
atau pakar kesusastraan”.(Suroso,2009:1)
Salah satu bentuk karya sastra itu adalah novel.
Novel Para Priyayi karya Umar Kayam merupakan
salah satu novel yang sangat populer di kalangan
masyarakat, khususnya masyarakat Jawa karena
budaya yang diangkat dalam novel tersebut adalah
budaya Jawa yang merupakan budaya terbesar di
Nusantara. Budaya yang dimaksud dalam novel ini
bukan sekedar adat-istiadat tetapi juga aspek
pranata sosial yang terjadi dalam masyarakat Jawa.
108
Penelitian ini meng gunakan kajian
str ukturalisme genetik untuk membentuk
pemahaman dan penafsiran karya sastra dari sisi
pengarang. Alasan ini didorong karena tokoh–
tokoh dalam karya sastra dimanusiakan, mereka
semua diberi jiwa, mempunyai raga. Struktural
genetik dalam penelitian ini terdiri dari lima macam,
yaitu; pertama, fakta kemanusiaan yang terbagi
menjadi dua macam; verbal (dalam karya) dan fisik
(dalam perbuatan). Kedua, subjek kolektif yang
terbagi dua macam; kelompok kekerabatan dan
kelompok sekerja. Ketiga, pandangan dunia
yang terbagi dua macam; menghubungkan
antarkelompok sosial dan mempertentangkan
antar kelompok sosial. Keempat, dialektika
pemahaman-penjelasan yang terbagi menjadi
keselur uhan-bagian dan pemahamanpenjelasan. Serta kelima, struktur karya sastra
yang terbagi menjadi relasi antar tokoh dengan
tokoh lain dan relasi Antar Tokoh dengan Objek
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
disekitar. Aspek sosial budaya dan unsur intrinsik
yang mendasarinya juga disertakan yaitu, gaya
bahasa, alur, latar, dan perwatakan. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Kegunaan penelitian ini bagi mahasiswa dan penulis
lain sebagai bahan perbandingan guna meneliti
sastra selanjutnya dan bagi guru sebagai bahan
pemerkaya khazanah studi sastra khususnya
pengajaran sastra di sekolah.
Fokus Penelitian
Aspek sosial budaya dalam novel Para Priyayi
karya Umar Kayam ditinjau dari Kajian
Strukturalisme Genetik.
Subfokus Penelitian
Fokus dijabarkan dalam subfokus berupa
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1) Bagaimanakah intrinsik dari aspek perwatakan,
latar, alur dan gaya bahasa pada novel Para
Priyayi karya Umar Kayam?
2) Bagaimanakah strukturalisme genetik aspek
fakta kemanusiaan pada novel Para Priyayi
karya Umar Kayam ?
3) Bagaimanakah strukturalisme genetik aspek
subjek kolektif atau trans-individual pada
novel Para Priyayi karya Umar Kayam ?
4) Bagaimanakah strukturalisme genetik aspek
pandangan dunia pada novel Para Priyayi karya
Umar Kayam ?
5) Bagaimanakah strukturalisme genetik konsep
struktur karya sastra pada novel Para Priyayi
karya Umar Kayam ?
6) Bagaimanakah strukturalisme genetik subjek
dialektika pemahaman-penjelasan pada novel
Para Priyayi karya Umar Kayam ?
7) Bagaimanakah aspek sosial budaya yang
melingkupi strukturalisme genetik pada novel
Para Priyayi karya Umar Kayam ?
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian deskriptif kualitatif dengan mendeskripsikan fenomena sosial budaya yang dianalisis dari novel Para Priyayi karya Umar
Kayam. Fenomena-fenomena sosial budaya
dideskripsikan sesuai dengan latar belakang
strukturalisme genetik.
Teknik Analisis Data
Langkah-langkah yang dilakukan adalah
sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi bentuk gaya bahasa,
perwatakan, alur, latar dalam novel Para Priyayi
karya Umar Kayam
2. Mengidentifikasi bentuk strukturalisme
genetik dalam novel Para Priyayi karya Umar
Kayam
3. Menjelaskan sosial budaya yang terkandung
dalam analisis strukturalisme genetik dalam
novel Para Priyayi karya Umar Kayam
4. Menyimpulkan hasil penelitian strukturalisme
genetik dalam novel Para Priyayi karya Umar
Kayam
PEMBAHASAN
Hakikat Novel
Nurgiyantoro mengatakan bahwa novel
merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan
yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas,
novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur, yang
saling berkaitan satu dengan yang lain secara
erat dan saling mengguntungkan.Nurgiyantoro
(2010 : 22)
1. Tema
Menurut Stanton dan Kenny dalam
Nurgiyantoro, tema (theme) adalah makna yang
dikandung oleh sebuah cerita. Namun, makna yang
dikandung dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu,
maka masalahnya adalah: makna khusus yang mana
yang dapat dinyatakan sebagai tema itu.
Nurgiyantoro (2010 :67) Novel Para priyayi
mengisahkan kehidupan keluarga besar priyayi Jawa
dan masalah-masalah yang ada di dalamnya.
Pengisahan tentang perjuangan hidup untuk
membangun satu generasi priyayi.
Penokohan atau Perwatakan
Nurgiyantoro mengatakan bahwa tokohtokoh cerita novel biasanya ditampilkan secara
lebih lengkap, misalnya yang berhubungan
dengan ciri-ciri fisik, keadaan sosial, tingkah laku,
sifat dan kebiasaan, dan lain-lain, termasuk
hubungan antartokoh itu, baik hal itu dilukiskan
secara langsung maupun tidak langsung.
Nurgiyantoro(2010:13)
Indah Rahmayanti: Aspek Sosial Budaya dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam (Kajian Struktural Genetik)
109
Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh
sastrawan disebut perwatakan. Tokoh utama dalam
novel ini adalah Lantip dan Sastrodarsono. Lantip
adalah tokoh yang sabar, suka menolong, rajin, taat,
ulet, dan cekatan dalam mengerjakan tugastugasnya di kediaman keluarga Setenan
Sastrodarsono. Sejak kecil ia sudah dititipkan oleh
emboknya (ibunya) di keluarga Sastrodarsono.
Sedangkan Sastrodarsono digambarkan sebagai
tokoh yang patuh atau menurut saran dari orang
tua, ramah terhadap rakyat kecil, suka menolong
saudara dan masyarakat.
Lalu ada tokoh pembantu yaitu Noegroho
(anak Sastrodarsono) memiliki sikap pasrah, tabah,
berjiwa pemimpin, ikhlas, dan pasrah. Hardojo
adalah orang yang cerdas hingga berhasil dalam
meniti karier. Soemini adalah anak yang penurut,
namun ia keras kepala dalam menentukan keinginan
dirinya, hingga membuat Sastrodarsono marah.
Harimurti memiliki sifat yang sangat menyayangi
orang tuanya walaupun kadang berbeda pandangan,
ia tetap menghormati orang tuanya. Ia juga memiliki
sifat yang jujur dan tulus.
Pada dasarnya semua tokoh dalam novel Para
Priyayi ini rata-rata memiliki sifat protagonis, namun
terdapat tokoh Soenandar (keponakan dari
Sastrodarsono dan ayah dari Lantip) adalah orang
pembangkang, walau nakal Soenandar juga
memiliki sisi baik pada dirinya. Terdapat juga tokohtokoh sampingan seperti gupermen dan nippong
yang memiliki sifat antagonis.
Alur Cerita (Plot)
Menurut Nurgiyantoro plot novel tidak berisi
penyelesaian yang jelas, penyelesaian diserahkan
kepada interpretasi pembaca. Urutan peristiwa
dapat dimulai dari mana saja, misalnya dari
konflik yang telah meningkat, tidak harus
bermula dari tahap perkenalan (para) tokoh atau
latar.Nurgiyantoro (2010:12) Maka dapat simpulkan
bahwa alur adalah ur utan atau rangkaian
peristiwa dalam cerita. Akhir cerita novel Para
Priyayi ini dapat dikatakan happy ending. Hal ini
disebabkan setiap tokohnya telah mendapatkan
kebahagiaan, Marie telah hidup bahagia dengan
Maridjan, Harimurti telah mendapat kebebasannya,
dan Lantip telah menemukan jodohnya dengan
Halimah.
110
Latar (setting)
Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro, Latar
atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu,
menyaran pada pengertian tempat, hubungan
waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan, Stanton
mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan
plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga inilah
yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh
pembaca secara faktual jika membaca cerita
fiksi.Nurgiyantoro (2010:226) Maka dapat
disimpulkan bahwa latar merupakan keterangan,
petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu,
ruang, suasana, dan situasi terjadinya peristiwa
dalam cerita.
Latar tempat pada novel ini terdapat di
Wanagalih yang merupakan tempat tinggal
Sastrodarsono dan Ngaisah. Tempat ini merupakan
pusat berkumpulnya seluruh anggota keluarga
Sastrodarsono. Wonogiri merupakan tempat
mengajar Hardojo selama dua tahun. Hardojo juga
mendapatkan istri yang berasal dari daerah
Wonogiri. Solo merupakan tempat bekerja Hardojo
dan tempat ia selalu menemui Nunuk (gadis yang
di cintainya), setelah mendapat tawaran menjadi
abdi dalem Mangkunegaran. Hardojo mengurusi
bidang pendidikan orang dewasa dan gerakan
pemuda. Yogyakarta merupakan tempat tinggal
keluarga Noegroho sebelum pindah ke Jakarta.
Pada masa penjajahan Belanda, ia bekerja sebagai
guru HIS di Jetis Yogyakarta. Selain itu, Hardojo
juga tinggal di Yogyakarta setelah ia kecewa dengan
sikap Mangkunegaran yang memihak Belanda.
Jakarta merupakan tempat tinggal keluarga
Noegroho. Ketika keluarga Noegroho terkena
musibah, Marie hamil di luar nikah, Lantip
ditugasi oleh Sastrodarsono dan Ngaisah untuk
ikut Sus ke Jakarta membantu menyelesaikan permasalahan tersebut. Selain itu, keluarga
Soemini, anak Sastrodarsono yang ketiga, juga
tinggal di Jakarta.
Latar waktu novel ini diawali masa penjajahan
Belanda, kemudian pendudukan Jepang dan awal
Kemerdekaan hingga pemberontakan PKI. Cerita
ini di mulai tahun 1910 saat Sastrodarsono mulai
menapakkan kakinya ke jenjang priyayi di masa
penjajahan Belanda. Tiga puluh tahun kemudian
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
adalah masa pendudukan Jepang dan revolusi,
tokoh yang muncul dalam cerita ini adalah anakanak Sastrodarsono. Noegroho menjadi anggota
tentara, Hardojo menjadi abdi dalem di
Mangkunegaran dan Soemini menjadi istri asisten
wedana.
Latar sosial novel ini digambarkan sosial
masyarakat Jawa yang mempunyai adat dan
kebiasaan yang cukup unik, khususnya daerah
Wanagalih (Ngawi) Jawa Timur. Hal ini tidak
terlepas dari sosial budaya Umar Kayam yang
berasal dari Ngawi, Jawa Timur. Kebudayaan Jawa
yang ditampilkan begitu halus dan lembut
penyampaiannya sehingga tidak semua orang
dapat memahaminya. Kebudayaan di keraton
Mangkunegaran Surakarta pun ikut ditampilkan
dalam novel ini. Mangkunegaran merupakan
tempat bekerja Hardojo sehingga dalam novel ini
juga diceritakan mengenai kebudayaan di keraton
Mangkunegaran Surakarta.
Sudut pandang (point of view)
Menurut Harry Show, sudut pandang dibagi
menjadi 3 yaitu : Pengarang menggunakan sudut
pandang kata ganti orang pertama, mengisahkan
apa yang terjadi dengan dirinya dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya
sendiri. Sudut pandang novel ini adalah sudut
pandang orang pertama, terlihat pada setiap episode
cerita. Pengarang bertindak sebagai orang pertama
yang sedang menuturkan pengalamannya. Sudut
pandang ini menempatkan pengarang sebagai
“saya” atau “aku” dalam cerita. Pada bagian Lantip,
pengarang menjadi Lantip, pada bagian
Sastrodarsono, pengarang menjadi Sastrodarsono
dan seterusnya. Pengarang menjadi beberapa tokoh
sekaligus dalam satu rangkaian cerita.
Gaya bahasa
Menurut Albertine Minderop, gaya bahasa
mencakup berbagai figur bahasa antara lain
metafor, simile, antitesis, hiperbola, dan paradoks.
Pada umumnya gaya bahasa adalah semacam
bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa
digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk
menjelaskan orang atau objek. Dengan
menggunakan gaya bahasa, pemaparan imajinatif
menjadi lebih segar dan berkesan.Minderop
(2005:51) Jadi dapat disimpulkan bahwa gaya
bahasa adalah kata–kata atau ungkapan khusus
melalui bahasa yang dipakai pengarang dalam cerita.
Ada beberapa majas yang secara tidak langsung
diutarakan tokoh dalam penceritaan seperti,
metafora, metafora adalah suatu gaya bahasa yang
membandingkan satu benda dengan benda lainnya
secara langsung yang dalam bahasa ing gris
menggunakan to be dalam bahasa Indonesia tidak
ada to be yang digunakan secara langsung, contoh
;”kehidupan ini binatang lapar”. Kehidupan ini
binatang lapar merupakan metafor kehidupan
artinya kehidupan yang rakus dan ganas. Minderop
(2005:68) Jadi dapat disimpulkan bahwa metafora
merupakan semacam analogi yang membandingkan
dua hal secara langsung. contohnya: Apa sebabnya
kau naik pitam?” Tanya saya.” Kau pikir Firdaus tidak
bersalah, bahwa dia tidak membunuh orang itu?” (Makna
naik pitam adalah marah).
Litotes, menurut Sadikin, litotes adalah
ungkapan berupa mengecilkan fakta dengan tujuan
merendahkan diri.contoh: apa yang kami berikan ini
memang tak berarti buatmu. Sadikin (2011:34) Simile,
Menurut Minderop, Simile adalah perbandingan
langsung antara benda-benda yang tidak selalu
mirip secara esensial. Perbandingan yang
menggunakan simile biasa terdapat pada kata yang
menggandung “seperti” atau “laksana” (engkau
laksana bulan) dan “ketimbang /daripada” (ia lebih
cantik ketimbang mawar merekah).Minderop
(2005:62) Jadi simile merupakan perbandingan
maksudnya ialah bahwa ia langsung mengatakan
sesuatu sama dengan hal lain. Hiperbola, menurut
Ratih Mihardja, hiperbola adalah pengungkapan
yang melebih-lebihkan kenyataan sehing ga
kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
Contoh : pemikiran-pemikirannya tersebar ke seluruh
dunia.Mihardja (2011:30) Metonimia, menurut
Mihardja, metonimia adalah pengungkapan berupa
penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi
merek, ciri khas, atau atribut contoh : aku selalu
minum Aqua. Mihardja (2011:30) Gaya bahasa yang
digunakan para tokoh dalam novel Para Priyayi
masih bercampur dengan bahasa jawa baik yang
halus maupun bahasa jawa kasar seperti kata gincu
(berdandan), sengak, kecing (bau yang tidak
enak),ngenyek (menghina), monyet, goblok anak kecu
(pencuri), ndeso (orang kampungan), wagu (aneh),
Indah Rahmayanti: Aspek Sosial Budaya dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam (Kajian Struktural Genetik)
111
kaku (tidak lincah), terdapat penegasan kata seperti
gagah dan kokoh dan bahasa jawa halus yang
digunakan seperti Ndoro = bendoro (majikan), sinau
(belajar), kersaning (yang dikehendaki). Beberapa
majas dalam gaya bahasa tokohnya seperti majas
metonimia yaitu menggambarkan pertalian yang
sangat erat dari suatu kemajuan atau perubahan
kota Wanagalih. Ada pula majas personifikasi yang
dominan seperti menggambarkan pohon dapat
berunding dengan manusia yang seakan-akan
pohon tersebut adalah manusia, ....” pepohonan dan
batu-batu di dalam hutan itu. Semuanya menaruh hormat
belaka kepada Pak Kiai Jokosimo. Beliau memiliki wibawa
itu karena konon memiliki kesaktian dapat berbicara
dengan hewan dan tetumbuhan maupun batu-batuan...”,
terdapat kutipan meski sudah berkeluarga, beranak
pinak, sesungguhnya masih anak-anak ingusan, yang
merupakan majas sinisme yang menggambarkan
sindiran dengan ungkapan anak ingusan (anak kecil)
dan terdapat pula majas sarkasme yaitu sindiran
terkasar dari kutipan, Kalau pakde-mu ini kungkum
setiap malam anggarakasih, malam Selasa Kliwon itu,
sambil gemeletuk gigi-gigi Pakde karena kedinginan, itu
bukan karena Pakde kepingin jadi Ratu seperti raja
ketoprak itu, goblok!. Terlihat juga majas okupasi yaitu
adanya pertentangan sakitnya Sastrodarsono dari
kegiatan-kegiatan yang dijalaninya sebagai
penjelasan hingga membuat kesimpulan ia tetap
menjalani kegiatannya walaupun itu menimbulkan
keadaan yang makin memprihatinkan bagi
Sastrodarsono.
Majas parabel juga terlihat, majas ini
menjelaskan pelajaran atau nilai yang dikiaskan
melalui suatu kisah cerita tertentu dan dalam
kutipan tersebut digambarkan melalui kisah bala
tentara Nyai Roro Kidul. Pada kutipan Hampir lagi
gagal karena suara badung lain lagi mengusulkan lagi anak
wedok ditempatkan di ketoprak sebagai Dewi Bisu,
tergambarkan majas alegori yang menjadi satu
kesatuan makna dalam istilah-istilah tertentu seperti
suara badung yang berarti banyaknya suara yang
menentang dan anak wedok yang dalam bahasa
jawa berarti anak perempuan yang akan memainkan
dewi bisu yang berarti lakon tokoh wayang seorang
dewi khayangan yang tidak dapat berbicara. Majas
eufimisme juga banyak terlihat dalam gaya bahasa
para tokoh, contoh saat penjelasan nasib anak
perempuan yang buruk atau jelek dan kata terlunta112
lunta yang dimaksudkan pengarang adalah disiasiakan. Majas pendukung lainnya adalah majas
simbolik dan majas metafora
Amanat
Menurut Sadikin amanat adalah pemecahan
yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di
dalam karya sastra. Amanat yang ada dalam novel
ini adalah perlunya saling tolong menoloh antara
saudara dan masyarakat sekitar walau berbeda
tingkat sosialnya, keeratan kekerabatan yang
dibangun masing-masing tokohnya di dalam
keluarga, nilai kehidupan agar menjadi manusia
lebih baik dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sosial Budaya
Keberagaman tingkah laku manusia
berdasarkan latar belakangnya telah memengaruhi
kehidupan. Tingkah laku dapat pula berubah
dengan beragam alasan yang mengubah jalan
pikirannya. Grebstein dalam Sapardi Djoko
Damono, mengatakan bahwa meskipun sastra tidak
sepenuhnya dapat dikatakan mencerminkan
masyarakat pada waktu ia ditulis, karya sastra tidak
dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya
apabila dipisahkan dari lingkungannya atau
kebudayaan atau peradaban yang telah
menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks
yang seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendiri,
karena setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh
timbal balik dari fakta-fakta sosial, kultural yang
rumit dan bagaimanapun karya sastra bukanlah
suatu gejala yang tersendiri. Damono (1978:4) Jadi,
dapat disimpulkan bahwa aspek sosial dapat dipakai
sebagai acuan berinteraksi antarmanusia dalam
konteks masyarakat dengan lingkungan dan secara
tidak langsung telah mengatur tindakan-tindakan
individu terhadap hak dan kewajibannya sebagai
anggota masyarakat.
Dalam hal ini Kutha Ratna memperkuat
definisi sosiologi sastra yaitu analisis, pembicaraan
terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan
aspek-aspek kemasyarakatannya. Definisi lain
menyebutkan bahwa sosiologi sastra merupakan
aktivitas pemahaman dalam rangka mengungkapkan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung
dalam karya. Kutha Ratna (2011:24) Telah
dijelaskan Kutha Ratna bahwasanya sosiologi sastra
memang mencakup segi-segi kemasyarakatan yang
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
diterapkan dalam suatu karya. Menurut Kleden,
cerpen-cerpen dan novel Umar Kayam misalnya,
menampilkan secara khusus tema perubahan sosial
ini,dengan melukiskan dinamika deep structure atau
struktur dalam dari proses dislokasi sosial dan
mobilitas sosial. Kleden (2004:49)
Ditinjau dari aspek kebudayaannya, priyayi
memiliki tata laku dan nilai-nilai hidup yang berbeda
dengan masyarakat umum lainnya. Sebagai
golongan elite, priyayi adalah pendukung
kebudayaan warisan keraton pada masa yang lalu.
Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki oleh
priyayi erat kaitannya dengan sastra Jawa klasik,
wayang kulit tentang Mahabarta dan Ramayana,
serta seni, baik seni batik, seni tari dan sebagainya.
Menurut Koentjaraningrat dalam Suwondo,
perwujudan kebudayaan dapat dibagi menjadi tiga
bagian. Pertama, kebudayaan sebagai suatu
kompleks gagasan, nilai, norma, dan peraturan.
Kedua, kebudayaan sebagai suatu kompleks
aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat. Ketiga, kebudayaan sebagai bendabenda hasil karya manusia.Suwondo dkk(1994:1)
Keutuhan gagasan atau nilai itu menjadi
landasan perilaku masyarakat yang kehadirannya
masih dapat diamati dan dipahami. Hal tersebut
terwujud dalam bentuk adat istiadat. Dalam novel
ini terdapat unsur sosial dan budaya yang
tergambarkan dari peristiwa-peristiwa yang dialami
tokoh dalam novel. Aspek sosial yang tergambar
dalam peristiwa-peristiwa tersebut seperti,
hubungan priyayi dengan rakyat jelata yang terjalin
harmonis meski berbeda tingkatan sosial dalam
bermasyarakat, adanya nasehat orang tua yang
masih didengar dan diterapkan anak-anaknya
seperti nasehat orang tua Sastrodarsono saat ia akan
menginjakkan kaki di dunia priyayi, nasehat embok
kepada Lantip agar tidak membalas temannya yang
selalu mengejek dia, pertentangan sosial anak-anak
desa yang sering membolos sekolah karena
merindukan lingkungan permainan mereka
dipersawahan, Sastrodarsono sebagai priyayi yang
dihormati mampu membaur dengan rakyat jelata
sama dengan romo-romo yang dihor mati
Sastrodarsono juga mampu membimbing
Sastrodarsono sebagai priyayi muda, hubungan
teman-teman Lantip yang awalnya suka mengejek
Lantip sekarang berbailk mengandalkan Lantip
sebagai pemimpin mereka dikelas karena kemahiran
Lantip, hubungan Sastrodarsono dengan
keponakan-keponakannya yang terlihat Sastrodarsono ingin keponakan-keponakannya sama
suksesnya dengan anak-anaknya, hubungan
kekeluargaan yang erat pada keluarga Jawa terlihat
pada keluarga Sastrodarsono dan keluarga
Martoadmodjo, Warga desa yang masih
mempercayai kekuatan-kekuatan mistis serta
banyak lagi bentuk hubungan sosial yang
tergambarkan dalam novel ini.
Aspek budaya yang tergambar dalam
pengkisahan novel ini adalah pengungkapan
struktur bangunan yang menjadi gaya khas
warga Wanagalih dan Wanawalas yang tetap
mempertahankan keaslian lingkungannya, budaya
pembuatan tempe yang menjadi tradisi sekaligus
sumber pendapatan pada warga desa Wanawalas,
warga Wanagalih yang masih mempertahankan
budaya bahasa jawa dan kelestariannya dengan
membuat sarasehan membahas bahasa jawa, budaya
berkumpul dan melestarikan alun-alun kota, budaya
memakai bahasa jawa baik bahasa jawa halus
maupun kasar sebagai bahasa pergaulan rakyat
jelata, budaya membuat berbagai kerajinan dari kayu
yang dibuat bentuk bangunan maupun perahu, serta
berbagai macam bentuk lainnya.
Kajian Strukturalisme Genetik
Pencetus pendekatan strukuralime genetik
adalah Lucien Goldmann, seorang ahli sastra
Prancis. Pendekatan ini merupakan satu-satunya
pendekatan yang mampu merekonstruksikan
pandangan dunia pengarang. Strukturalisme
dikembangkan pada struktur sosial dan terdapat
penolakan pada analisis unsur intrinsik yang
menolak bahasa sastra sebagai bahasa yang khas.
Goldmann memusatkan perhatian pada hubungan
antara suatu visi dunia dengan kondisi-kondisi
historis yang memunculkannya. Kemudian, atas
dasar analisis visi pandangan dunia pengarang dapat
membandingkannya dengan data dan analisis sosial
masyarakat.
Untuk menopang teorinya tersebut,
Goldmann membangun seperangkat kategori yang
saling bertalian satu sama lain sehingga membentuk
apa yang disebut sebagai strukturalisme genetik.
Pada perkembangannya strukturalisme genetik juga
Indah Rahmayanti: Aspek Sosial Budaya dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam (Kajian Struktural Genetik)
113
dipengaruhi oleh ilmu seorang marxis, yaitu George
Lukacs. Teori strukturalisme genetik menekankan
hubungan antara karya dengan lingkungan
sosialnya karena masyarakat bersinggungan dengan
norma dan nilai. Menurut Goldmann dalam
Rosyidi, pada prinsipnya teori strukturalisme
genetik menganggap karya sastra tidak hanya
struktur yang statis dan lahir dengan sendirinya
tetapi merupakan hasil strukturasi pemikiran
subjek penciptanya yang timbul akibat interaksi
antara subjek dengan situasi sosial tertentu.
Rosyidi(2010:201)Selanjutnya diperjelas kembali di
dalam Faruk menurut Goldmann, Strukturalisme
Genetik pada prinsipnya adalah teori sastra yang
berkeyakinan bahwa karya sastra tidak semata-mata
merupakan suatu struktur yang statis dan lahir
dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil
strukturasi struktur kategoris pikiran subjek
penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang
terbangun akibat interaksi antara subjek itu dengan
situasi sosial dan ekonomi tertentu.
Goldmann memiliki pemikiran menyatukan
pendekatan strukturalisme (intrinsik) dan
pendekatan sosiologi (ekstrinsik). Menurut Faruk,
“strukturalisme genetik tidak dapat lepas begitu saja
dari struktur dan pandangan pengarang. Pandangan
pengarang itu sendiri dapat diketahui melalui latar
belakang kehidupan pengarang. Faruk(1999:12-13)
Kutha Ratna memperjelaskan kembali bahwa,
strukturalisme genetik adalah analisis struktur
dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul
karya. Secara ringkas bahwa strukturalisme genetik
sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis
intrinsik dan ekstrinsik. Kutha Ratna (2011:123)
Dalam kutipan Kutha Ratna dipaparkan bahwa,
strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien
Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog RumaniaPerancis. Teori tersebut dikemukakan dalam
bukunya yang berjudul The Hidden God: a study of
Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the Tragedies
of Racine, dalam bahasa Perancis terbit pertama kali
tahun 1956. Sebagai penghormatan terhadap jasajasanya, Jurnal Ilmiah The Philosophical Forum (Vol
XXIII, 1991-1992) secara khusus menerbitkan
karya-karya ilmiah dalam kaitannya dengan
kepakarannya, khususnya terhadap teori
strukturalisme genetik. Kutha Ratna (2011:121122) Strukturalisme genetik menyamakan homologi
114
dengan korespondensi, kualitas hubungan yang
bersifat struktural dan implikasi bermakna dengan
struktur sosial. Goldmann dalam Endraswara
menjelaskan, studi strukturalisme genetik memiliki
dua kerangka besar. Pertama, hubungan antara
makna suatu unsur dengan unsur lainnya dalam
suatu karya sastra yang sama. Kedua, hubungan
tersebut membentuk suatu jaring yang mengikat.
Oleh karena itu, seorang pengarang tidak mungkin
mempunyai pandangan sendiri.
Konsep Fakta Kemanusiaan
Goldmann dalam Rosyidi menyatakan bahwa,
fakta-fakta kemanusiaan mempunyai peranan
dalam sejarah, ia dapat berupa fakta individual dan
fakta sosial atau historis. Revolusi sosial, politik,
ekonomi, dan karya-karya kultural yang besar
merupakan fakta sosial (historis) yang hanya
mungkin diciptakan oleh objek trans-individual.
Subjek yang demikian yang juga menjadi subjek
karya sastra besar, sebab karya sastra semacam itu
merupakan aktivitas yang objeknya sekaligus alam
semesta dan umat manusia. Rosyidi (2010:201)
Penjelasan Goldmann tersebut terpapar bahwa
kultural fakta sosial menjadi obek dalam alam
semesta. Aktivitas atau perilaku manusia harus
menyesuaikan kehidupan dengan lingkungan
sekitar. Menurut Goldmann dalam Faruk, fakta
kemanusiaan dapat berwujud aktifitas sosial
tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi
kultural seperti filsafat, seni rupa, sen)i patung, dan
seni sastra. Faruk (2011:12)
verbal (dalam karya)
Tokoh dalam novel Para Priyayi ini memiliki
fakta kemanusiaan dalam aspek verbal seperti, Kiai
Jogo yang digambarkan mampu membuat suatu
karya bangunan pendopo Wanagalih dari kayu
hutan yang terpilih hingga di klaim dapat menyaingi
kekuatan keraton-keraton agung. Aspek verbal
lainnya juga banyak dilakukan oleh Lantip yang
membuat karya saat pertunjukkan di sekolahnya
dan saat Gus Hari membuat pertunjukan dengan
lakon wayang bersama Gadis, serta Sastrodarsono
yang membuat sekolah desa bagi warga desa
Wanawalas yang tidak mampu. Terdapat aktivitas
warga lainnya seperti membuat sarasehan tentang
kebudayaan dan bahasa Jawa bersama Sutan Takdir
Alisyahbana, Sanusi Pane dan Ki Hajar Dewantara
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
Fisik (dalam perbuatan)
Fakta kemanusiaan aspek fisik menggambarkan perbuatan atau tingkah laku yang sudah
menjadi keseharian tokoh. Novel Para Priyayi ini
terdapat penggambaran aspek-aspek tersebut
seperti kebiasaan nenek-nenek di Wanagalih yang
suka meminta izin terlebih dahulu kepada
tanaman-tanaman yang dipetiknya, seakan
mengajak berbicara. Kebiasaan lainnya adalah
memberi makanan sisa mereka terhadap
hewan-hewan ternak. Penjelasan lebih lengkap
terdapat pada analisis di atas. Suatu kebiasaan
yang secara turun temurun dilakukan dalam
masyarakat, maka dapat menjadi sebuah
kebudayaan.
Konsep Subjek Kolektif
Goldmann mengatakan dalam Faruk, revolusi
sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya kultural
yang besar, merupakan fakta sosial (historis).Faruk
(1999:14-15) Karya sastra diciptakan oleh
pengarang, dengan demikian karya sastra
merupakan kesamaan fakta kemanusiaan yang telah
dibuat oleh pengarang. Semua gagasan pengarang
dapat dikatakan sebagai perwakilan dari kelompok
sosial. Menurut Goldmann dalam Faruk, “Subjek
kolektif adalah kumpulan individu-individu yang
membentuk satu kesatuan beserta aktivitasnya.
Faruk (1999 : 150) Satu kesatuan tersebut dapat
dikatakan sebagai kelompok yang telah
menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan
menyeluruh mengenai kehidupan.
Kelompok kekerabatan
Pada strukturalisme genetik aspek subjek
kolektif menghubungkan kelompok kekerabatan
seperti pemikiran priyayi pada rumah tangganya
adalah soko guru keluarga besar yang berkewajiban
menampung sebanyak mungkin anggota keluargajaringan itu ke dalam rumah tangganya, budaya
priyayi jawa beranggapan bahwa tidak pantas bila
seseorang anggota keluarga besar priyayi
terbengkalai, jadi gelandangan tidak ada yang
mengurus, tidak menikmati pendidikan, seperti
pemikiran Sastrodarsono dan Ngaisah untuk
menyekolahkan Lantip menjadi pemererat
hubungan ibunya Lantip yang merupakan gadis
desa yang dihamili Soenandar (Ayah Lantip,
keponakan Sastrodarsono). Sastrodarsono juga
menghubungkan hubungan kekerabatannya
dengan warga desa Wanawalas saat tengah ngobrol
bersama, inilah yang menghubungkan anggota
keluarga secara kekerabatan.
Kelompok Sekerja
Novel Para Priyayi ini terdapat aspek subjek
kolektif dalam bentuk pemikiran kelompok
sekerja seperti pemikiran sebagian warga Wanagalih
yang telah membuat rumah mereka dari tembok
karena bagi mereka dianggap lebih kuat. Ada pula
kisah Lantip yang selalu diejek oleh temantemannya namun ia tidak membalasnya, itulah yang
membuat Lantip dapat diterima dilingkungan
teman-temannya sekolahnya. Lalu kisah
Sastrodarsono yang diterima dalam lingkungan
priyayi dalam kelompok kesukan (suatu kelompok
priyayi) dan banyak lagi penghubungan kelompok
sekerja yang dilakukan tokoh-tokoh pada
lingkungannya baik disadari maupun tidak
disadari.
Konsep Pandangan Dunia
Konsep pandangan dunia juga dikembangkan
oleh Goldmann yang terwujud dalam karya sastra
dan filsafat. Menurutnya dalam Faruk, struktur
kategoris yang merupakan kompleks menyeluruh
gagasan-gagasan,aspirasi-aspirasi dan perasaanperasaan yang menghubungkan secara bersamasama anggota-anggota kelompok sosial tertentu
dan mempertentangkannya dengan kelompok
sosial yang lain disebut pandangan dunia. Faruk
(1999:12)
Selanjutnya Goldmann dalam Far uk
menambahkan bahwa, karya sastra, namun
demikian, bukan refleksi dari suatu kesadaran
kolektif yang nyata dan ada, melainkan puncak
dalam suatu level koherensi yang amat tinggi dari
kecenderungan-kecenderungan khusus bagi
kelompok tertentu, suatu kesadaran yang harus
dipahami sebagai suatu realitas dinamik yang
diarahkan ke satu bentuk keseimbangan tertentu.
Far uk (1999:33) Pandangan dunia bukan
merupakan fakta empiris yang langsung, tetapi lebih
merupakan struktur gagasan, aspirasi dan perasaan
yang dapat menyatukan suatu kelompok sosial
masyarakat.
Indah Rahmayanti: Aspek Sosial Budaya dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam (Kajian Struktural Genetik)
115
Menghubungkan Antarkelompok Sosial
Pada strukturalisme pandangan dunia unsur
menghubungkan antarkelompok sosial banyak
dilakukan para tokoh dalam novel ini, seperti
permainan kartu pada pergaulan priyayi yang
berbeda pekerjaan akan menghubungkan
antarkelompok sosial tingkatan priyayi jawa.
Hubungan penjualan tempe dengan langganan
keluarga priyayi juga menggambarkan hubungan
timbal balik yang saling menguntungkan. Belajar
kehidupan priyayi untuk membersihkan
kamar,mengatur hidangan di meja makan, dan
mengatur rumah tangga priyayi juga terdapat di
dalam menghubungkan antara priyayi dengan
sahayanya atau pelayannya.
Mempertentangkan Antarkelompok Sosial
Terdapat unsur pandangan dunia mempertentangkan antarkelompok sosial seperti
pertentangan antara bangunan bersejarah di
Wanagalih, pertentangan saat bermain judi kesukaan
, pertentangan anak-anak desa yang tidak betah di
sekolah dan selalu merindukan ladang bermain
mereka, pertentangan antara pribumi dengan
gupermen, pertentangan pasangan yang berbeda
agama, dan pertentangan perempuan yang
menentang pernyataan bahwa perempuan
kebutuhan laki-laki semata, terlihat banyak
pertentangan yang terjadi pada setiap peristiwa yang
dialami tokoh-tokoh dalam novel.
Konsep Dialektika Pemahaman-Penjelasan
Karya sastra harus memiliki keterpaduan
antara struktur yang satu dengan yang lain. Unsur
luar dan unsur dalam sama-sama memiliki peran
penting di dalam membangun karya sastra.
Keterpaduan kedua unsur tersebut melengkapi
karya sastra yang tidak hanya dapat dilihat dari
dalam teks sastra, melainkan juga dapat dilihat dari
unsur pembentuk luar. Oleh karena itu, Goldmann
mengembangkan metode dialektik, yang dijelaskan
dalam Faruk. Prinsip dasar dari metode dialektik
yang membuatnya berhubungan dengan masalah
koherensi di atas adalah pengetahuannya mengenai
fakta-fakta kemanusiaan yang akan tetap abstrak
apabila tidak dibuat kongkret dengan mengintegrasikan ke dalam keseluruhan. Faruk (1999:
19-20) Goldmann menambahkan dalam Faruk,
116
Pemahaman adalah pendeskripsian struktur objek
yang dipelajari, sedangkan penjelasan adalah usaha
menggabungkan ke dalam struktur yang lebih besar.
Faruk (1999:21) Maka dapat disimpulkan pada
dasarnya pengertian konsep Pemahamanpenjelasan sangat berkait dengan konsep
Keselur uhan-bagian. Pada konsep fakta
kemanusiaan terdapat dua fakta, yaitu fakta
individual dan fakta sosial.
Keseluruhan-Bagian
Pada analisis ini terlihat bagaimana suatu
masalah kecil yang mempengaruhi masalah besar
dan begitu juga sebaliknya seperti para pembuat
tempe di Wanagalih yang membuat kota Wanagalih
menjadi terkenal, kemampuan Lantip yang berjiwa
pemimpin dan mudah bergaul menjadikan ia
disukai teman-temannya dan para guru, seorang
priyayi yang masuk dalam dunia priyayi harus
mengikuti seluruh kegiatan priyayi dengan macammacam perkumpulannya, lalu ada kisah hasil bumi
yang begitu banyak dibawakan keluarga
Sastrodarsono guna mewujudkan niat melamar
Aisah dan banyak kisah lain yang menguatkan
strukturalisme genetik aspek dialektika pemhaman
penjelasan keseluruhan-bagian.
Pemahaman-Penjelasan
Pada aspek ini terdapat pemahaman dan
penjelasan tokoh mengenai apa yang dipelajarinya
baik dari tokoh ke tokoh lain maupun dari tokoh
kepada lingkungan sekitarnya. Beberapa peristiwa
yang diungkapkan adalah pemahaman Lantip dan
Sastrodarsono tentang kota yang mereka tinggali
yaitu Wanagalih, lalu di saat pidato Lantip saat
meninggalnya Sastrodarsono, ia menjelaskan
bagaimana sosok Sastrodarsono semasa hidupnya,
dan bagaimana di saat tokoh Lantip menjelaskan
dan memahami orang-orang disekitarnya serta
perbedaan lingkungan saat ia masih anak desa biasa
hingga lingkungan saat ia sudah menjadi priyayi.
Struktur Karya Sastra
Faruk merumuskan dalam bentuk definisi,
strukturalisme genetik pada prinsipnya adalah teori
sastra yang berkeyakinan bahwa karya sastra tidak
semata-mata merupakan suatu struktur yang statis
dan lahir dengan sendirinya, melainkan merupakan
hasil strukturasi struktur kategoris pikiran subjek
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang
terbangun akibat interaksi antara subjek itu dengan
situasi sosial dan ekonomi tertentu. Faruk (1999:13)
Selanjutnya Kutha Ratna menegaskan kembali
bahwa, Secara definitif strukturalisme genetik harus
menjelaskan struktur dan asal-usul struktur itu
sendiri, dengan memperhatikan relevansi konsep
homologi, kelas sosial, subjek transindividual, dan
pandangan dunia.
Relasi Antartokoh dengan Tokoh
Hubungan antara tokoh dengan tokoh dalam
novel ini sangat beragam, seperti adanya hubungan
antara Sastrodarsono dengan keluarganya yang
merupakan keluarga petani, Sastrodarsono tetap
hormat kepada orang tuanya dan pakde-pakdenya,
hubungan antara Sastrodarsono dengan Lantip juga
erat, Lantip menjadi keponakan yang diandalkan
oleh Sastrodarsono walaupun terkadang ia
memarahi Lantip, Lantip memiliki hubungan yang
sangat dekat dengan emboknya karena mereka telah
melalui banyak sulit bersama tanpa sosok ayah
disampingnya, emboknya Lantip memiliki
hubungan dengan keluarga Sastrodarsono karena
Soenandar yang merupakan keponakan Sastrodarsono telah menghamili emboknya Lantip dan
Lantiplah anak hasil hubungan itu.
Relasi Antartokoh dengan Objek di sekitar
Dalam novel ini terdapat hubungan
antartokoh dengan objek dan sekitarnya seperti
antara Lantip dan Sastrodarsono yang beradaptasi
dengan lingkungan pedesaan saat masa kecilnya
sebelum menjadi priyayi dan lingkungan perkotaan
lingkungan priyayi, warga saat membuat perahu
pasti akan meminta izin kepada kayunya, kehidupan
keluarga Martoadmodjo yang diasingkan ke
pedalaman dan mereka tetap mampu beradaptasi
dengan lingkungan sekitarnya, Sastrodarsono tetap
ramah terhadap warga desa Wanawalas walau ia
sudah menjadi priyayi dan ada beberapa kisah lain
yang menggambarkan relasi antar tokoh dengan
objek disekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Djoko Damono,Sapardi. 1978. Sosiologi Sastra
Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta : Depdikbud.
Faruk. 1999. Strukturalisme Genetik (Teori
General, Perkembangan Teori, dan
Metodenya.Yogyakarta: Masyarakat Poetika
Indonesia.
_____. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Kleden, Ignas.2004.Sastra Indonesia dalam Enam
Pertanyaan(Esai-esai Sastra dan Budaya).Jakarta :
Grafiti.
Mihardja, Ratih.2011. Buku Pintar Sastra Indonesia
(Majas, Sajak, Puisi ,Syair ,Pantun, Peribahasa),
Jakarta : Laskar Aksara,
Minderop, Albertine. 2005. Metode Karakterisasi
Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Mustofa Sadikin. 2011. Kumpulan Sastra Indonesia.
Jakarta : Gudang ilmu
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Rosyidi, M. Ikhwan.dkk. 2010. Analisis Teks Sastra,
(Mengungkapkan Makna, Estetika dan
Ideologi dalam Perspektif Teori Formula,
Semiotika,Hermeneutika dan Strukturalisme
Genetik). Yogyakarta : Graha Ilmu.
Suroso, Puji Santosa dan Pardi Suratno. 2009.
Kritik Sastra(Teori,Metodologi dan Aplikasi).
Yogyakarta : Elmatera Publishing.
Suwondo,Tirto. dkk. 1994. Nilai-Nilai Budaya
Susastra Jawa. Jakarta : Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan
Indah Rahmayanti: Aspek Sosial Budaya dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam (Kajian Struktural Genetik)
117
PROMOTING CRITICAL THINKING
IN EFL CLASSROOMS
Martriwati
Universitas of Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA
Abstract: Indonesian students tend to have difficulties in asking questions. The typical classroom in Indonesia,
including English classrooms tend to be quiet in which students only do the teachers instructions and answer
teachers’ questions. More active classrooms in which students develop their thinking skills have been required
since the 2004 Curriculum. However, many teachers still have difficulty in developing the thinking skills of the
students. The traditional training they have already had focused on teaching the subject centered on the teacher.
This paper offers an overview of critical thinking and how we can promote it in EFL classrooms. Traditionally,
promoting critical thinking for the students relies on Bloom’s taxonomy that suggests the high order of thinking.
However, more practical binary types of questions will be highlighted for teachers: (1) “Fat Questions” versus
“Skinny questions”, (2) High-Consensus Questions” versus “Low Consensus Questions,” and (3) “True Questions”
versus “Review questions”.
Keywords: critical thinking, critical questions, high order of thinking, Bloom’s taxonomy
1. INTRODUCTION
Teachers in Indonesia have long experienced
the silent classrooms. When they ask the students
whether they know the topic being discussed or
not, there is hardly an answer. When they invite
them to ask questions, there is hardly a question.
Even when they answer a question, their answers
are usually so short that it lacks elaboration. This
phenomenon does not only happen to elementary
or high school students. Even university students
rarely ask questions. When they are asked why they
do not ask questions their answer even puzzle us:
they do not know what to ask.
In academic writing, for example in term
papers or even thesis, such a ‘silent voice’ also
happens. Students tend to simply copy an expert’s
words and put them into their piece of writing.
Such a “copy-paste” activity that is not merely a
matter of being efficient as how a computer works
but it is because they feel that they have no authority
to challenge the statements or, even worse, they
are afraid to misinterpret the statements if they
118
paraphrase them. Such phenomena show that
students still lack of what people define as critical
thinking.
The Indonesian National Curriculum of 2004
which is called “competency-based curriculum”
intends to enhance the students’ critical thinking.
It is explicitly stated by suggesting “whole
education” and “life-long education” in which
learners should learn not only the academic skills
but also the life skills and the vocational skills and
have the spirit of learning for the whole of their
lives. To support the struggle of establishing better
learning environments, collaborative learning and
critical thinking are promoted as methods in the
teaching learning processes. The methods hopefully
can counter the heyday of teacher-centered learning
in Indonesia and at the same time focus on the
processes and outcomes of education. Even
though such an argument has been implied by
previous curriculums, the phenomenon that
students lack the critical thinking skill is still
common in our classes.
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
Here, this paper joins the effort to promote
critical thinking in the narrower area: English
education in Indonesia. By encouraging critical
thinking in the classroom, hopefully we can
overcome the problems of silence and shyness of
the students. The teaching-learning processes in the
classroom, then, can be shifted into favorable
environments for exploring and refining
competence and skills in using English for
communication.
2. DEFINING CRITICAL THINKING
Taking from the definition constructed by the
National Council for Excellence in Critical
Thinking Instruction, Egege and Kutieleh (2004:
78) define critical thinking as “the intellectually
disciplined process of actively and skillfully
conceptualizing, applying, analyzing, synthesizing
and evaluating information gathered from
observation, experience, reflection, reasoning or
communication as a guide to belief and action.”
Despite its accuracy to define this learning capacity,
this definition seems still too broad.
In a simpler way, Vandermansbrugghe (2004)
classified critical thinking into two categories. The
first category is the ability to develop the capacity
to reason logically and cohesively. It is rooted at
the beginning of modern civilization when Greek
philosophers gave a strong foundation for the
journey of mind. That is why traditionally critical
thinking is taught by university through subjects
such as philosophy, language (Latin) and history. It
cannot be denied, then, that critical thinking from
the first place is very essential in European school
system.
The second category suggests that critical
thinking is the ability to question and challenge the
existing knowledge and the social order. This can
be drawn from European history in which the
beliefs derived from the Bible such as the Earth is
the centre of the universe, the Earth is flat and the
creation of man were criticized by scientists. This
lead to an era of Renaissance. In its development,
the challenge did not simply relate to natural
sciences but also social sciences.
The two categories above confirm that critical
thinking is highly enculturized in what is called
“Western Society”. Vandermansbrugghe (2004:
Martriwati: Promoting Critical Thinking In Efl Classrooms
421) quotes Atkinson’s argument saying that critical
thinking is essentially embedded in Western culture
since it can be only valued by cultures that see
individuals as primary units and who favor the idea
of individual conflict and dissension rather than
consensus and individual thought.
In general, Eastern society is typically in favor
of collectivism while Western society of
individualism. In contrasting between these two
types of society especially dealing with learning and
schooling, Hofstede (1986: 112) as quoted by
Brown (2000: 192) describes them as follows:
Though, critically we can question the validity
of the descriptions (they sound like stereotypes and
overgeneralized descriptions), we have to
acknowledge some truth in them when we reflect
on our own society (read: Indonesian society). The
facts that losing face and diploma certificates are
highly valued in our society prove that the
descriptions in one way or another fit to our
society—which is a communalist one. The
acceptance that Indonesian people tend to be more
119
communalist leads to the argument that students
in Indonesia are lack of critical thinking.
It can not be denied that the construct that
students grown up in Eastern culture lack of
critical thinking has been challenged by
postmodernists. They argue that such a stereotype
is only an essentialization action to show the
superiority of Western culture. Besides, the
globalization era in which the information flows
rapidly and freely across national and cultural
borders make the contemporary people are
culturally ‘hybrid’. There is an exchange of values
and practices from Western countries to Eastern
countries and the other way around. Practically
we can see this by comparing our classes now
with the ones many years ago. Students now look
much more active and the relationship between
students and teachers have become less formal
than in the past. In his research of writing
in L2 for several Japanese students, Stapleton
(2004) found that the students show the
elements of critical thinking. This lead to an
argument that critical thinking is simply a social
practice that can be learned and enhanced. In this
case, teachers take a great role in this ‘social
engineering’ to enhance critical thinking among
students.
3. BLOOM’S TAXONOMY AND HIGHER
ORDER OF THINKING
Looking back at the definition of critical
thinking, we can connect it with the high order of
thinking in Bloom’s taxonomy which has already been
very popular among English teachers in Indonesia.
The common feature of English classes in Indonesia
is that the questions we ask to the students are mostly
the first two levels in the taxonomy: (1) knowledge
and (2) comprehension. Many teachers are reluctant
to ask questions beyond comprehension questions
since the answers of those types might be difficult to
manage and there might not be easy to answer.
Naturally, to avoid the complexities they tend to ask
questions with a clear borderline between right and
wrong answers—which do not promote a real critical
thinking.
Although now educators have developed further
elaboration on critical thinking and promoted other
taxonomies of thinking skills—such as Bono’s lateral
thinking—the classical Bloom’s taxonomy is still
relevant, highly valued, and applied in the classroom.
The following matrix shows typical questions
that may lead to the thinking processes, starting
from the lower level of thinking process up to the
highest. In Bloom’s taxonomy there are six levels:
(1) knowledge, (2) comprehension, (3) application,
(4) analysis, (5) synthesis, and (6) evaluation.
Table 1: Matrix of Bloom’s Taxonomy
120
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
As often criticized, our education is highly
focused on accumulating knowledge. As a result,
our education values memorization more than
thinking skills. Applying Bloom’s taxonomy in the
classroom can trigger the students to think and
practice their thinking skills so that the can solve
their real life problems.
In an EFL classroom, the same paradigm may
overwhelm the teaching learning processes. The
silence and shyness that inhibit the students’
progress in acquiring communicative English can
be reduced by encouraging students to think
beyond knowledge and comprehension. If we open
one English textbook for high schools and we take
the reading part, then we just find the questions
that rarely go beyond the knowledge and
comprehension. Using those questions, students
are trained to locate and find certain information
and are asked to get the main ideas.
On the other hand, if we use Bloom’s
taxonomy for triggering the students to think, we
will be able to communicate their thoughts and
feelings using English. Communication is central
here and English is used to express thoughts and
feelings. Larger cognitive domains are targeted
when we apply all level in the taxonomy in the
classroom. The following table shows the targeted
cognitive domains and tasks students can do when
we encourage them to start their mental journey
to solve the problems we raise.
Table 2: Cognitive Domain
Martriwati: Promoting Critical Thinking In Efl Classrooms
121
122
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
4. TEACHERS AND CRITICAL
QUESTIONS
Bloom’s taxonomy is one way to systematically
organize and grade human’s thinking skills. For
English teachers, the application of all levels of
the thinking skills is not always easy. The
consideration to be taken when we apply Bloom’s
taxonomy in our classrooms is whether the
questions we raise trigger the students to express
themselves both in spoken language or written
language.
Another way to control our questions so that
they can be the threshold of thinking journey and
at the same time the stepping stone to express their
thoughts and their feelings better is by realizing
what kinds of questions we ask to them. In this
case, an English teacher should know the following
types of questions: (1) skinny questions vs. fat
questions, (2) high consensus questions vs. low
consensus questions, and (3) true questions vs.
review questions.
a. Skinny vs. Fat Questions
Skinny questions are questions that require a
skinny answer (Chapman et al. 1999: 4). The term
‘skinny’ here is used to show that such kind of
questions needs no explanation or elaboration
when students answer the questions. Yes- No
Questions are typically skinny questions. At the
beginning of a class, you may ask your students,
“Have you had breakfast this morning?” The
students most probably answer the questions using
yes or no answer—which is very skinny.
In Bloom’s taxonomy, when you ask your
students “Do you like the poem?” you might have
asked an evaluation question—the highest level of
thinking skills. But in reality, it is a skinny question.
The students can easily answer it by yes or no. The
problem with the question is whether the evaluation
question really triggers the targeted thinking skill
or not.
We can couch the question and change it into
a fatter one by saying: “What things do you like
about the poem? What things don’t you like about
it?” In this case, a fat question is a question requires
a fat answer (Chapman et al. 1999: 4)—a more
elaborated answer. Fat questions will force the
students to think deeper and to express their
Martriwati: Promoting Critical Thinking In Efl Classrooms
thoughts and feeling in more elaborated way. In a
speaking class, this kind of questions will give more
chance for the students to speak.
Fat questions do not only invite more
elaborated responses, but they also develop both
depth of thinking and range of thinking skills.
b. High Consensus and Low Consensus
Questions
A high consensus question is one to which
most people would give the same response, usually
a right or wrong answer (Chapman et al. 1999: 5).
After reading a text about Charles Darwin, for
example, an English teacher asks the students:
“What’s the title of the controversial Darwin’s
book?” The students may answer “The Origins of
species”. The answer might be right or wrong.
Therefore, in this case, the question is a highly
consensus question.
When the teacher asks further about Darwin’s
evolution theory by saying: “Do you agree with
Darwin’s Evolution theory?” This question may
lead to a hot debate on the matter, especially if
some of the students are informed about the The
Intelligent Design Theory—which is now claimed as a
competing theory. In this case, the question has a
low consensus among the students. There are pros
and cons among them and we cannot say whether
the students’ responses are right or wrong.
c. Review Questions vs. True Questions
We can find a review questions at the end of
a chapter in a textbooks. In a textbook on
linguistics, we might find the following questions:
“What is a phoneme? What are allophones?” The
purpose of review questions is to elicit students’
understanding and knowledge about certain topics.
Here, if the teacher asks such questions, we can
assume that the teacher actually know the answer;
(s)he just wants to make sure whether the students
have understood the topic or not.
On the other hand, when a teacher in a
multicultural classroom asks a student: “How do
you say ‘book’ in your mother tongue?” the question
might be a genuine question. It is a true question
since the teacher really wants to know the answer.
In short, a true question is a meaningful question–
a question which we do not know the answer. The
123
goal of a true question is not a correct answer, but
the thinking journey students take to create a
meaningful response. Thus a question such as
“What might you feel if you were a Panda—the endangered
animal?” will lead the students to think and express
their thoughts and feelings.
By realizing the questions asked in the
classroom, we, as teachers can be more active in
encouraging students to explore and expand not
only their knowledge but also their perspectives.
If many of our questions are high consensus,
skinny, and meant to review students’ knowledge
and understanding, then we will fail to encourage
them to practice the high order of thinking skills.
On the other hand, if we can make a balance in
types of questions we ask, then we can encourage
them to think in depth and in a broad range of
topics so that they can express their thoughts and
feeling better in English and explore their own
selves and their surroundings.
5. CONCLUDING REMARKS
The ultimate goal of teaching English in
Indonesia is to make the students able to use the
language for communication. In order to do so,
we have to encourage them to be more active, not
only physically but also mentally. To do so,
promoting critical thinking in the classroom is
beneficial for the teaching learning processes. The
students are trained to think in depth and are trained
to express their thoughts and feelings.
In promoting critical thinking skills in the
classroom, an EFL teacher should realize the
questions they usually ask to the students. Certain
types of questions will just elicit students’
124
knowledge and comprehension but other types of
questions might help the students to think more
thoroughly and deeply and then express their
feeling and thoughts.
DAFTAR PUSTAKA
Black, Howard and Sandra. 1992. Organizing
Thinking: Graphic Organizes (Book I & II).
Pacific Groove: Critical Thinking Books and
Software.
Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Language
Learning and Teaching (Fourth Edition). New
York: Longman.
Brown, H. Douglas. 2001. Teaching by Principles: An
Interactive Approach to Language Pedagogy (Second
Edition). New York: Longman.
Chapman, Christa et al. 1999. Higher Level Thinking
Question: Language Arts. San Clemente, CA:
Kagan.
Stapleton, Paul. 2002. “Critical Thinking in
Japanese L2 Writing: Rethinking Tired
Construct”. ELT Journal vol. 56/3. Oxford
University Press.
Ugege, Sandra and Salah Kutieleh. 2004. “Critical
Thinking: Teaching Foreign Notions to
Foreign Students”. International Education
Journal, Vol 4, No 4. Http://iej.cjb.net .
Vandermensbrugghe, Joelle. 2004. “The
Unbearable Vagueness of Critical Thinking
in the Context of Anglo-Saxonization of
Education”. International Education Journal, Vol
, No 3. Http://iej.cjb.net .
Wiederhold, Chuck. 1998. Cooperative Learning and
Higher Level Thinking. San Clemente, CA:
Kagan.
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
MEMBANGUN DAN MEMBENTUK KARAKTER
BANGSA MELALUI PEMBELAJARAN SASTRA
Prima Gusti Yanti
UNIVERSITAS PROF. DR. HAMKA
Ajarkan sastra kepada anak-anakmu agar mereka berani mengubah kelemahan menjadi kekuatan.
Ajarkan sastra kepada anak-anakmu agar mereka berani melawan ketidakadilan.
Ajarkan sastra kepada anak-anakmu agar mereka berani menegakan kebenaran.
Ajarkan sastra kepada anak-anakmu agar karakter bangsa tetap terjaga.
Ajarkan sastra kepada anak-anakmu agar jiwa-jiwa mereka hidup.
PENDAHULUAN
Saat ini pendidikan karakter menjadi persoalan
serius di kalangan generasi muda di dunia.
Hilangnya rasa hormat (respect) terhadap orang tua
dan guru, banyaknya perilaku kurang jujur,
kekerasan (violent act) karena kurangnya toleransi dan
rasa peduli antarsesama (Sirkit Syah dan Martadi,
2011). Hal yang sama juga terjadi di Indonesia.
Ketika aksi kekerasan semakn marak,
perkelahian pelajar/mahasiswa semakin banyak,
bentrok antarsuku/kelompok ada di pelupuk mata;
nurani kita semakin gelisah. Sebagai bangsa yang
multikultural, baik dalam hal suku maupun budaya,
sikap ramah, jujur, saling menolong dan
menghormati yang menjadi ciri khas bangsa kita
sudah mulai pudar. Nilai-nilai tersebut telah
tereduksi oleh sikap-sikap kebiadaban yang
membudaya dalam bentuk tawuran, pemerkosaan,
pembunuhan, mutilasi, aborsi, dan berbagai
perilaku lain yang muncul dalam kehidupan
masyarakat kita. Sentimen-sentimen primordialisme
berbasis kesukuan, agama, ras, atau antargolongan
menjadi demikian rentan tereduksi oleh emosiemosi agresivitas. Bangsa kita seolah-olah telah
menjelma menjadi “homo violens” yang
menghalalkan darah sesamanya dalam memanjakan
naluri dan hasrat purbanya. Benarkah bumi pertiwi
ini telah kehilangan jati diri sebagai bangsa yang
terhormat dan bermartabat? Tidakkah dapat nilainilai moral yang selama ini kita banggakan itu kita
bangun kembali. “Membangkit batang terendam”,
kata orang Melayu/Minang.
Karakter bangsa kita memang sudah semakin
terkikis, mulai dari karakter masyarakat hingga
karakter para pejabatnya. Sudah sangat susah
mencari figur yang berkarakter baik untuk zaman
sekarang. Sebagai bangsa yang beradab dan
berbudaya, situasi semacam itu jelas amat tidak
menguntungkan bagi masa depan bangsa,
khususnya dalam melahirkan generasi masa depan
yang cerdas, baik secara intelektual, emosional,
spiritual, maupun sosial. Dalam konteks demikian,
perlu ada upaya serius dari segenap komponen
bangsa untuk membangun “kesadaran kolektif ”
demi mengembalikan karakter bangsa yang hilang.
Oleh karena itu, pendidikan tampaknya menjadi
pilihan dan harus menjadi garda depan untuk
membangun karakter peserta didiknya. Di sinilah
pembelajaran sastra berperan sangat penting dalam
membangun karakter peserta didik yang kukuh.
Karakter yang kukuh dapat menjadi pondasi ketika
seseorang menghadapi goncangan sehing ga
bertahan, bahkan mampu menggunakan
goncangan itu tersebut sebagai peluang untuk maju.
Prima Gusti Yanti: Membangun dan membentuk Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Sastra
125
PENDIDIKAN KARAKTER DAN KARYA
SASTRA
Male J. Schwartz (2007) mengatakan,
“Character development is about developing virtuesgood
habits and disposition that lead students to responsible
andmature adulthood”. Pandangangan tersebut
mengisyaratkan bahwa melalui pendidikan karakter
dapat ditumbuhkembangkan nilai-nilai kebayikan,
kebiasaan hidup yang baik, serta watak yang dapat
memandu anak didik menjadi pribadi yang matang
serta bertanggung jawab.
Pendidikan karakter bertujuan untuk
membangun anak didik (generasi) yang jujur,
cerdas, tangguh, dan peduli. Untuk mencapai tujuan
tersebut kita harus berpijak pada enam pilar
karakter global yang selama ini selalu menjadi
sandaran dalam pengembangan karakter
pada banyak negara. Keenam pilar karakter
tersebut adalah kepercayaan (trustworthiness),
saling menghargai (respect), bertanggung
jawab (responsibility), keadilan (fairness), kepedulian
(caring), kewarganegaraan yang aktif (active
citizenship).
Enam pilar karakter global itu sesungguhnya
sudah dimiliki bangsa kita sejak lama. Karakterkarakter tersebut antara lain religius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis,
rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah
air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai,
gemar membaca/menulis, peduli lingkungan,
peduli sosial, bertang gung jawab. Dalam
penerapannya, karakter-karakter tersebut
dituangkan dalam tiga konsep pendidikan karakter,
yaitu (1) terkait dengan kesadaran sebagai makhluk
dan hamba Tuhan Yang Maha Esa, (2) terkait
dengan keilmuan, dan (3) terkait dengan rasa cinta
dan bangga menjadi orang Indonesia. Terkait
dengan kesadaran sebagai makhluk dan hamba
Tuhan Yang Maha Esa dapat menumbuhkan rasa
kasih saying, kejujuran, dan optimisme. Terkait
dengan keilmuan dapat menumbuhkan budaya
tradisi kelimuan, kepenasaran intelektual (intelelectual
curiosity), rasionalitas lebih tinggi daripada marah
atau emosi, dan terkait dengan rasa cinta dan
bangga menjadi orang Indonesia.
Mangunwijaya (1988: 124) mengatakan bahwa
pada mulanya seluruh karya sastra adalah religius,
bahkan setiap karya sastra yang berkualitas selalu
126
berjiwa religius. Dengan demikian, dapat
dinyatakan dalam karya sastra terkandung nilai,
norma, dan ajaran agama. Pernyataan seperti itu
muncul karena penulis karya satra adalah makhluk
sosial dan sekaligus makhluk religius, yang tidak
dapat dipungkiri pengalaman religiusnya akan
mempengaruhi karya satra yang dihasilkannya.
Dalam dunia kesusastraan kita masalah yang
mengedepankan pengalaman kehidupan
keberagamaan merupakan wilayah yang belum
banyak digarap. Oleh karena itu, penelaahan unsur
religiusitas dalam karya sastra merupakan bidang
garapan yang perlu mendapat perhatian secara
sunguh-sungguh. Lebih jauh Mangunwijaya (1988:
135) mengatakan bahwa sastra religius adalah
sebuah genre sastra yang bermaksud memberikan
jawaban pada situasinya dengan berbasiskan nilainilai yang bersifat tradisional keagamaan.
Kar ya sastra dapat berperan sebagai
pembimbing manusia dalam memahami dan
menghayati berbagai persoalan dalam kehidupan
manusia (Baca: Watloly, 2001; Nurgiyantoro,1998).
Sastra bukan barang langka yang hanya tersimpan
di museum. Sastra bukan mahluk asing yang hanya
diperlakukan sebatas pengenalan dan penghafalan
identitas. Sejatinya sastra merupakan unsur yang
amat penting yang mampu memberikan wajah
manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan,
keseimbangan, perspektif, har moni, irama,
proporsi, dan sumbilmasi dalam setiap gerak
kehidupan manusia dalam menciptakan peradaban.
Jika sastra tercerabut dari akar kehidupan manusia,
maka manusia tak lebih dari sekedar hewan berakal.
“Memulialkan sastra, menyemai peradaban
bangsa,” kata Yudi Latief dalam bukunya Menyemai
Karakter Bangsa.
SASTRA SEBAGAI PEMBENTUK DAN
PENGUBAH KARAKTER
Menurut hemat saya, kekuatan sastra yang
dahsyat mampu mengubah moralitas dan karakter
manusia ke dalam persepsi kehidupan yang
berbeda. Sejarah menuliskan bagaimana sosok
seorang Umar bin Khotab yang punya kepribadian
keras akhirnya luluh dalam basuhan sejuknya
kekuatan sastra ayat-ayat Al-Qur’an. Goresan luka
dari tajamnya pedang takkan bisa membuatnya
menangis. Hantaman pukulan dan tendangan dari
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
algojo terkuat dan terkejam sekalipun takkan
sanggup menggoyahkan ketegarannya. Ancaman
pembunuhan dan kematian tidak sedikit pun
membuatnya merinding ketakutan. Akan tetapi, hati
Umar luluh ketika mendengar untaian tata bahasa
Al-Qur’an yang dilantunkan adiknya. “Syair macam
apa yang kau baca itu? Betapa indah dan agungnya
kalimat di dalam syair ini,” “ tanya Umar saat
pertama kali mendengar ayat-ayat suci dari Tuhan
Penguasa semesta. Hanya syair dari Illahi inilah yang
mampu membuat air matanya mengalir deras.
Hanya untaian kalimat indah di dalam Al-Qur’anlah yang sanggup membuatnya takluk dan tunduk
serta merinding ketakutan.
Pengalaman-pengalaan spiritual itu tampaknya
menjadi alasan bagi negara-negara maju untuk
menjadikan sastra sebagai alat untuk membendung
moralitas anak-anak muda. Para pendidik di negaranegara maju sudah menyadari bahwa sastra punya
kekuatan besar yang sanggup merasuk ke hati
pelajar sehingga moralitas mereka juga bisa tertata.
Hal itu terbukti di negara-negara seperti Inggris,
Amerika, Perancis, Jerman, dan negara-negara maju
lain, bahwa pendidikan sastra banyak mempengarui
moralitas para siswa di sekolah. Ada perbedaan
yang signifikan antara siswa yang diajarkan sastra
dengan yang tidak. Siswa yang diajarkan sastra
hampir tidak pernah berperilaku negatif seperti
terlibat perkelahian dan melakukan tindak
kejahatan kriminal. Sastra ternyata mampu
menata etika mereka dengan budi pekerti yang
baik. Padahal remaja yang hidup di negara maju
tersebut merupakan remaja yang hidup di
tengah masyarakat yang memiliki kebebasan yang
tinggi.
Sebagai pembentuk karakter manusia, sastra,
terutama bagi anak didik, dapat dipandang sebagai
citraan atau metafora kehidupan yang disampaikan
kepada anak yang melibatkan, baik aspek emosi,
perasaan, pikiran, saraf sensori, maupun
pengalaman moral yang diekspresikan dalam
bentuk kebahasaan. Jadi, buku dapat dianggap dan
digunakan sebagai buku sastra bagi siswa/anak
apabila citraan dan metafora kehidupan yang
diberikan, baik dalam hal isi (emosi, perasaan,
pikiran, saraf sensori, dan pengalaman moral)
maupun dalam hal bentuk (kebahasaan dan caracara pengekspresiaan) dapat dijangkau dan
dipahami oleh siswa/anak sesui dengan tingkat
perkembangan jiwanya (Noor, 2011:37-38)
Nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra
diresepsi oleh anak dan secara tidak sadar
merekontruksi sikap dan kepribadian mereka.
Karya sastra selain sebagai penanaman nilai-nilai
dan karakter juga akan merangsang imajinasi
kreativitas anak untuk berpikir kritis melalui rasa
penasaran akan jalan cerita dan metafora-metafora
yang terdapat di dalamnya. Untuk itulah sastra harus
ada dan selalu harus diberadakan di dunia
pendidikan.
MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
MELALUI PEMBELAJARAN SASTRA
Ketika dalam sebuah seminar nasional, kertas
kerja saya terpumpun (foccused) pada pembelajaran
sastra yang efektif. Pada saat itu, ada pertanyaan
yang sangat berkesan bagi saya, bahkan sampai
sekarang masih mengelayuti pikiran saya.
Pertanyaan tersebut tentang metode pembelajaran
sastra yang paling tepat dalam pembelajaran sastra/
bahasa di sekolah. Sebeleum saya jawab saya balik
bertanya, “Apakah Ibu telah menerapkan metode
pembelajaran yang selama ini ada dan sudah kita
pahami?”. Dengan lantang dia menyatakan bahwa
semua metode pembelajaran yang secara teori
selama ini ada telah dirapkannya. Akan tetapi, dia
masih merasakan dan melihat raut kebosanan pada
wajah anak didiknya. Sesaat saya tertegun,
kemudian pertanyaan tersebut saya jawab dengan
sederhana. Dengan peserta didik yang heterogen,
tentu kita kesulitan menemukan satu metode yang
paling tepat dalam pembelajaran sastra. Menurut
hemat saya, metode pembelajaran sastra yang paling
tepat agar peserta didik tidak bosan adalah
“menyemai benih kerinduan”. Hal yang sulit adalah
bagaimana seorang guru dapat mananamkan benih
kerinduan terhadap sastra, termasuk bahasa, pada
peserta didik menjadi hal yang selama ini kita
lupakan. Sebagai guru, tentu kitalah orang paling
tahu kesenangan dan kebutuhan siswa. Jadikan
kesenangan dan kebutuhannya itu sebagai lahan
untuk menyemai benih kerinduan terhadap sastra.
Metode ini akan menempatkan tenaga pendidik
sebagai mediator sejati yang akan menjadi idola bagi
peserta didik. Sudah tidak pada saat lagi kita
memaksakan apa yang ada di dalam pikiran kita
Prima Gusti Yanti: Membangun dan membentuk Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Sastra
127
kepada peserta didik sehingga suasana kelas
menjadi tidak menyenangkan dan membuat peserta
didik tidak menyukai, bahkan membenci materi
yang diberikan.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana
pembelajaran sastra itu dapat membangun karakter
bangsa. Jika memang kurikulum 2013 akan
diterapkan secara menyeluruh, pembelajaran
(sastra) berbasis teks (genre) yang menjadi roh
kurikulum itu sangat mungkin untuk dilakukan.
Pembelajaran berbasis teks tentu saja akan berpijak
pada empat hal (Knapp and Megan Watkins, 2005),
yaitu (1) building knowledge of field, (2) modeling of
text, (3) joint construction of the text, dan (4) independent
construction of the text. Building knowledge of field
berhubungan dengan pembangunan konteks
berdasarkan pengetahuan siswa, modeling a text
berkaitan dengan genre tulisan tertentu sebagai
model teks yang akan dibahas, joint construction of
the text berkenaan dengan penyusunan teks secara
bersama-sama oleh guru dan siswa, sedangkan
independent construction of the text bertalian dengan
penyusunan teks secara mandiri oleh siswa. Bagianbagian itu tentu menjadi ruang yang tepat bagi sastra
untuk lebih berperan, terutama dalam membangun
karakter peserta didik. Tenaga pendidik harus jeli
memanfaatkan materi sastra agar benih kerinduan
peserta didik terhadap sastra semakin tinggi.
1) Membangun Karakter Bangsa Melalui Puisi
Puisi merupakan materi pembelajaran sastra
yang sangat menarik untuk digunakan di dalam
proses belajar mengajar. Melalui puisi peserta didik
dapat menikmati sastra secara lebih mendalam,
melalui puisi pula, benih kerinduan terhadap sastra
mulai dibangun. Misalnya, untuk membangun
konteks pembelajaran, guru dapat membaca puisi
(siswa dapat membaca atau mendengar puisi) yang
dapat menumbuhkan karakter peserta didik. Puisi
Rendra tentang “Balada Anita” berikut juga sarat
dengan pesan moral yang dapat mebangun dan
membentuk karakter peserta didik.
Bal
ad
a Anita
alad
ada
Ketakutan berbentuk lembut bercokol di dadanya
bicara dalam kenekatan memacu lepas-lepas butir
darah-butir darah,
128
meratai bunga-bunga, membungai tiap usia
sebelum dikejuti pintu penutup baginya.
Anita.
Memacu kuda garang, merasup hidup jalang
ditolaknya setiap perhentian.
Anita.
Dikutukinya cinta sarang cemburu, degil dan duka
berpacu juga ia yang terlanda rebah dikakinya.
Sampai tiba-tiba terpaling kepalanya
Satu binar caya merobah warna iklim
Lelaki berotot mengurungnya pada cinta
Yang dengan angkuh memandang ke darahnya
berpacuan
Anita.
Derai gerimis menampar muka
Kutuk membalik mendera dirinya
Dadanya yang subur terguncang-guncang oleh damba
Anita.
Dijatuhkannya dirinya dari menara.
Jika kita membaca puisi “Balada Anita” ini
secara mendalam, perasaan kita (pembaca) pasti
tersentuh karena pengarang berbicara tentang
penderitaan atau kesengsaran. Meskipun demikian,
pembaca tetap memperoleh kenikmatan dan
mendapat pengalaman batin tersendiri. Melalui
tokoh Anita, pengarang ingin membangun karakter
tentang nilai-nilai kemanusiaan, kearifan, dan
kebijaksanaan, “Anita” (tokoh yang dilambangkan
pengarang) bercerita tentang penderitaanya sebagai
seorang gadis yang belum menikah, sedangkan
usianya sudah beranjak dewasa (hampir melewati
usia perkawinan). Dia hampir menjadi perawan tua.
Hal ini dapat dilihat pada bait pertama berikut.
Ketakutan berbentuk lembut bercokol di dadanya/
bicara dalam kenekatan memacu lepas-lepas butir/ darahbutir darah, meratai bunga-bunga/ membungai tiap usia/
sebelum dikejuti pintu penutup baginya.
Pengaarang juga ingin mambangun karakter
tegar, tabah, dan sabar dengan merepresentasikan
Anita sebagai seorang gadis yang tegar dan mampu
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
menghadapi tantangan hidup. Nilai ketegaran Anita
tersebut diperlihatkan pengarang dengan kata-kata
memacu kuda jarang, seperti dalam bait kedua.
Anita// Memacu kuda garang, merasup hidup
jalang/ ditolaknya setiap perhentian.
Dengan ketegaran yang diperlihatkan Anita
pada bait kedua, tampaknya berpengaruh pada jalan
pikirannya tentang cinta. Pandangannya dalam hal
cinta tampak lebih dewasa. Dia tidak mau cinta yang
berbau kekanak-kanakan dan penuh rasa cemburu.
Dia menginginkan cinta yang dewasa. Cinta
kekanak-kanakan tidak disukainya. Hal itu
memperlihatkan bahwa dalam hidup ini manusia
harus tegar dan bersungguh-sungguh menjalankan
sesuatu.
Anita// dikutukinya cinta sarang cemburu, degil
dan duka/ berpacu juga ia yang terlanda rebah dikakinya.
Hubungan manusia dengan manusia juga
diungkapkan oleh pengarang melalui melalui
hadirnya kata-kata lelaki berotot pada bait kedua.
Tampaknya penulis ingin memperlihatkan bahwa
cinta seorang tidak mengenal umur. Dalam bait
ketiga tampak bahwa ketegaran Anita runtuh oleh
cinta seorang laki-laki. Untuk memperdalam
penderitaan tokoh dalam puisi ini pengarang masih
melanjutkan untain kata-katanya yang
merepresentasikan Anita diperkosa, kemudian lakilaki tempatnya melabuhkan cinta meninggalkannya.
Pemerkosaan yang dipersentasikan pengarang
tampak dengan hadirnya kata-kata darahnya
berpacuan dalam bait keempat.
Sampai tiba-tiba terpaling kepalanya// Satu binar
caya merobah warna iklim// Lelaki berotot mengurungnya
pada cinta//yang dengan angkuh memandang ke darahnya
berpacuan.
Sebagai manusia yang hidup di tengah
masyarakat, pemerkosaan itu merupakan aib. Anita
merasa malu menerima kenyataan ini. Penyesalan
yang datang kemudian mendera dirinya sehingga
dia bunuh diri. Bunuh diri yang merupakan
penyelesaian yang disampaikan pengarang tampak
merupakan pilihan yang tidak sesuai dengan norma
dan hukum agama yang berlaku. Perbuatan bunuh
diri dalam ajaran agama apa pun tetap dilarang
meskipun manusia telah melakukan perbuatan yang
tidak terpuji. Melalui untaian kata yang baik dan
makna yang mendalam, pengarang berhasil
menggring perasaan penikmat menjadi terhanyut
dan seolah-olah ikut prihatin atas nasib yang
menimpa Anita. Gambaran tersebut dapat dilihat
pada bait berikut.
Anita// Derai gerimis menampar muka// Kutuk
membalik mendera dirinya// Dadanya yang subur
terguncang-guncang oleh damba
Anita// Dijatuhkannya dirinya dari menara.
2) Membangun Karater Bangsa Melalui
Cerpen atau Novel
Novel Kemarau karya A.A. Navis juga sangat
kaya dengan pesan moral yang dapat membangun
dan membentuk karakter. Sebagai orang
Minangkabau, tentu kita semua sudah membaca
karya sastra agung tersebut. Berikut ini beberapa
nilai religiusitas yang ada di dalam novel tersebut
yang sesungguhnya dapat mmbentuk dan
membangun karakter peserta didik.
a) Mempercayai Takdir Tuhan
Pesan moral yang paling menonjol yang
disampaikan Navis adalah percaya pada takdir dan
kekuasaan Tuhan. Ketakwaan kepada Sang
Pencipta dapat dibuktikan dengan menyerahkan
diri sepenuhnya kepada Tuhan. Manusia dapat
berusaha secara maksimal, tetapi Tuhan lah yang
mengatur dan menentukan segalanya. Takdir Tuhan
itu tidak dapat ditentang. Apa pun yang digariskan
Tuhan, manusia tidak dapat mengubahnya. Hal itu
tampak pada kutipan berikut.
Sebagai petani kita telah mengerjakan sawah
kita. Kemudian kalau sawah itu kering karena
hujan tidak turun, Tuhanlah yang punya kuasa.
Kita sebagi umatnya lebih baik berserah diri dan
mempercayai-Nya karena Dialah yang Rahman
dan yang Rahim. Tuhanlah yang menentukan
segala-galanya. Meskipun hujan diturunkan-Nya
hingga sawah-sawah berhasil baik, tapi kalau
Tuhan menghendaki sebaliknya, didatngakan-Nya
tikus atau pianggang, maka hasilnya pun takkan
ada juga. Kalau Tuhan punya kehendak, memang
tak seorang pun yang kuasa menghalanginya. Itu
adalah takdir-Nya (Navis, 1967: 23).
Kepercayaan pada takdir Tuhan yang
disampaikan Navis itu tentu akan dapat membentuk
dan membangun karakter tabah dan tawakal bagi
peserta didik. Karakter tabah dan tawakal itu akan
menempatkan dan menghindari peserta didik dari
sifat sombong, angkuh, dan takabur. Dengan
Prima Gusti Yanti: Membangun dan membentuk Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Sastra
129
demikian, peserta didik akan dapat menempatkan
dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang harus
mempu menjalin hubungan dengan Sang Pencipta
dan manusia. Dalam penerapannya, pesan-pesan
ini terkait dengan kesadaran sebagai makhluk
dan hamba Tuhan Yang Maha Esa dapat menumbuhkan rasa kasih sayang, kejujuran, dan
optimisme.
b) Bertobat kepada Tuhan
Dalam ajaran islam, Tuhan adalah Maha
Pengampun. Oleh karena itu, sebesar apa pun dosa
yang diperbuat oleh manusia, Tuhan akan
mengampuni dosa itu, asalkan manusia tidak
mengulang dosa yang telah diperbuatnya itu.
Bertobat kepada Tuhan dilukiskan Navis melalui
percakapan antara tokoh utama, Sutan Duano,
dengan kakak iparnya, Haji Tumbijo. Setelah
ditinggal mati oleh istri yang sangat dicintainya,
Sutan Duano mengalami goncangan hidup. Dia
tidak tahan untuk hidup sendiri. Oleh karena itu,
dia menikah lagi. Namun, pernikahan keduanya dan
seterusnya tidak membuatnya bahagia. Kondisi
tersebut menambah keruwetan dalam hidupnya.
Akhirnya dia terjurumus ke tempat pelacuran dan
terlibat dalam pembunuhan. Anak tunggalnya,
Masri, juga pergi meninggalkannya. Sutan Duano
merasa dosanya semakin besar karena telah menyianyiakan darah dagingnya sendiri. Meskipun
terlambat, Sutan Duano akhirnya menyadari dosadosa yang telah diperbuatnya berkat nasihat kakak
iparnya, Haji Tumbijo. Dia segera bertobat kepada
Tuhan dan pergi ke sebuah desa. Di desa itulah dia
mendapatkan kedamaian. Hal itu dapat dilihat pada
kutipan berikut.
Carilah dia dalam hatimu seperti kau mencari
Tuhan, mencari kebenaran. Carilah dengan pahalapahala dan kebaikan. Kalau kau telah dapat itu,
telah dapat pahala dan kebaikan, engkau telah
menemui Tuhan, sudah menemui kebenaran. Dan
di situlah Masri berada, katanya. Ucapannya itu
menyadarkanku. Akupun tobat. Dan akhirnya aku
terdampar di kampung ini hingga sekarang. Dan
di sini aku telah menemui Tuhan, menemui
kebenaran dan kedamaian (Navis, 1967: 102).
Pesan moral yang disampaikan Navis tersebut
dapat membangun kesadaran peserta didik bahwa
130
manusia itu pernah berbuat salah. Ketika hal itu
terjadi, Tuhan masih membuka pintu tobat bagi
umatnya. Dalam penerapannya, pesan tersebut
berkaitan dengan kesadaran sebagai makhluk dan
hamba Tuhan Yang Maha Esa yang dapat
menumbuhkan rasa kasih sayang, kejujuran, dan
optimisme. Selain itu, pesan tersebut juga
berhubungan dengan keilmuan (menakar yang baik
dan buruk) yang dapat menumbuhkan rasa ingin
tahu, kepenasaran intelektual (intelelectual
curiosity), rasionalitas lebih tinggi daripada marah
atau emosi.
c) Berbagi sesama Manusia
Rezki yang diberikan Tuhan kepada manusia
tidak harus dipnikmati sendiri. Manusia wajib
membaginya dengan manusia lain. Dalam ajaran
islam hal tersebut dapat dilakukan dengan
mengeluarkan zakat. Pembaharuan yang dilakukan
Sutan Duano mengenai orang yag berhak
menerima zakat dapat dilihat pada kutipan
berikut.
Dulu zakat diberikan orang kepada setiap
orang yang mau meminta. Tapi sekarang, zakat
diberikan kepada yang betul-betul tidak mampu.
Hingga dengan zakat itu dia dapat memodali
hidupnya agar lebih baik. Diantaranya akulah yang
telah merasakan nikmatnya, kata yang berkarib
(Navis, 1967: 41)
.
Pesan moral yang disampaikan Navis tersebut
memperlihatkan bahwa manusia harus membagi
rezki yang dititipkan Tuhan kepadanya. Hal itu
menujukkan hubungan manusia dengan manusia
yang harus terjalin. Dalam penerapannya, pesan
moral ini dituangkan dalam konsep pendidikan
karakter yang terkait dengan kesadaran sebagai
makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa,
yaitu sifat religius, toleransi, kerja keras,
bersahabat, cinta damai, peduli lingkungan,
peduli sosial.
d) Menyampaikan Kebenaran
Kebenaran itu harus disampaikan meskipun
sangat sulit dan penuh tantangan. Pesan moral itu
diperlihatkan Navis melalui sikap Sutan Duano
yang selalu menyampaikan kebenaran meskipun hal
itu sangat menykitkan dan menimbulkan
pertengkaran. Hal itu terungakp melalui dialog yang
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
sengit antara Sutan Duano dengan Iyah, mantan
istrinya, sewaktu ia mengetahui bahwa anak mereka,
Arni dan Masri, terjebak dalam perkawinan inses,
yaitu perkawinan tali darah.
Tak sanggup aku membiarkannya, Iyah. Tak
sanggup? Aku tak sanggup menentang kutukan
Tuhan, Iyah. Cih, baru sekarang kau pandai
mengatakan itu. Kenapa baru sekarang,. Kenapa
setelah segala-galanya kau rusak, baru kau katakan
kau tak sanggup menentang kutukan Tuhan?
Walau apa katamu padaku, kau hina, kau cai, kau
kutuki, aku terima. Tapi untuk membiarkan
Masri dan Arni hidup sebagai suami istri pada hal
Tuhan telah melarangnya, aku tidak akan
membiarkannya. Walau kau telah berbuat sesuatu
yang benar, telah membesarkannya,. Tapi ada lagi
kebenarn yang lebih mutlak, yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi, Iyah, yakni kebenaran yang
dikatakan Tuhan dalam kitab-Nya (Navis, 1967:
169—170).
Pesan moral yang disampaikan Navis
pemahaman tentang keilmuan, khususnya
perceraian. Sikap hidup Sutan Duano yang
menyatakan bahwa perceraian merupakan suatu hal
yang menyakitkan, tetapi lebih menyakitkan lagi
hidup di jalan yang dimurkai Tuhan, seperti
menikah dengan saudara seayah yang terjadi antara
Arni dan Masri. Menurut Sutan Duano, apalah
artinya hidup bahagia jika dimurkai Tuhan dan
kebenaran dari Tuhan harus disampaikan walaupun
sangat menyakitkan. Dalam penerapannya, pesan
moral tersebut tentu terkait dengan sifat religius,
jujur, bertanggung jawab. Selain itu, pesan
tersebut juga dapat menumbuhkan karakter
keilmuan (menakar yang baik dan buruk) yang
dapat membangun budaya rasa ingin tahu,
kepenasaran intelektual (intelelectual curiosity),
rasionalitas lebih tinggi daripada marah atau
emosi.
PENUTUP
Pendidikan karakter sesungguhnya dapat
dikembangkan melalui tahap pengetahuan
(konowing), pelaksanaan (acting), dan dan kebiasaan
(habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan
yang dimiliki siswa. Siswa yang memiliki
pengetahuan tentang kebaikan belum tentu
bertindak baik sesuai dengan pengetahuaannya jika
ia tidak terlatih dan terbiasa melakukan kebaikan
itu dalam kesehariannya.
Pendidikan Abad XXI yang penuh tantangan
dengan pengaruh globalisasi menyadarkan kita akan
pentingnya merevitalisasi pendidikan karakter.
Kesadaran untuk kembali ke prinsip pendidikan
yang seimbang antara hati (heart), otak (head), dan
tangan (hand). Pembelajaran sastra dapat
menggiring kita kembali ke prinsip dasar
pendidikan, yaitu memanusiakan manusia
(humanizing human being). Nilai-nilai yang
terkandung dalam karya sastra diresepsi oleh
anak dan secara tidak sadar merekontruksi sikap
dan kepribadian mereka. Karya sastra selain
sebagai penanaman nilai-nilai dan karakter juga
akan merangsang imajinasi kreativitas anak
untuk berpikir kritis melalui rasa penasaran
akan jalan cerita dan metafora-metafora yang
terdapat di dalamnya. Untuk itulah sastra harus
ada dan selalu harus diberadakan di dunia
pendidikan.
Karakter bangsa dapat dibangun dan dibentuk
melalui pembelajaran sastra karena di dalam karya
sastra termaktub nilai-nilai moral yang akan
menuntun peserta didik menuju karakter-karakter
yang baik. Oleh karena itu, guru harus mampu
menemukan metode yang tepat. Metode yang patut
kita coba agar pembelajaran sastra dapat
membangun dan membentuk karakter adalah
dengan menyemai benih kerinduan terhadap sastra.
Jika cara ini dapat dilakukan guru, tentu kita tidak
menemukan lagi siswa yang merasa bosan, bahkan
tidak masuk, ketika pembelajaran sastra/bahasa
berlangsung. Masing-masing guru tentu punya kiat
tersendiri untuk menyemai benih kerinduan
terhadap sastra ini. Semoga....
DAFTAR PUSTAKA
Bandel, Katrin. 2006. Sastra Perempuan Seks. Jakarta:
Jalasutra.
Damono, Sapardi Djoko.1994. “Sastra, Politik, dan
Ideologi”. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru
Besar. Jakarta: Universitas Indonesia.
Delors, Jacque. 2002. Pendidikan untk Abad XXI:
Pokok Persoalan dan Harapan. Jakarta:
UNESCO-Depdiknas.
Prima Gusti Yanti: Membangun dan membentuk Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Sastra
131
Dryden, Gordon and Jeannette Vos. 1999. The
Learning Revolution: to Chance the Way the
World Learns. Canada: The Learning Web.
Freire, P. 2001. Menggugat Pendidikan. Yogyakarta:
Pustaka Karya.
Halliday, M.A.K. and Hasan 1965. Language: Context
and Text. Burwood: Vic. Deaken University.
Knapp, Peter and Megan Watkins, 2005. Genre, Teks,
Grammar. Sidney: University of new South
Wales Press Ltd.
Latief, Yudi. 2009. Menyemai Karakter Bangsa:Budaya
Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara.
132
Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiusitas.
Yogyakarta: Kanisius
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Penilaian dalam
Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta:
BPEE.
Syah, Sirkit dan Martadi (Ed.), 2011. Bunga Rampai
Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Generasi
Masa Depan. Surabaya:Unisa University Press.
Watloly, Aholiab. 2001. Tanggung Jawab Pengetahuan:
Mempertimbangkan
Wiyanto, Asul. 2005. Kesusastraan Sekolah. Jakarta:
Grasindo.
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
KAJIAN KATA BAKU DAN EFEKTIVITAS KALIMAT
BAHASA INDONESIA GURU SDN SEKECAMATAN
CIKALONG TASIKMALAYA JAWA BARAT
Dede Hasanudin
Abstraks: Penelitian yang berjudul “Kajian Kata Baku dan Efektivitas Kalimat Bahasa Indonesia Guru SDN
Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat” ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran
secara lengkap tentang pengetahuan dan wawasan guru tentang perkembangan bahasa Indonesia khususnya
mengenai bahasa baku, dan kemampuan dalam menganalisis kalimat efektif. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode Analisis deskriptif dengan menampilkan data apa adanya secara rinci, objektif,
sistematis, akurat dan komprehensif, sehingga menghasilkan pemerian data bahasa yang akurat pula. Hasil
pengamatan ini kemudian dideskripsikan, dipilah – pilah, dan dianalisis sesuai dengan gejala – gejala yang ditemukan
di lapangan; tanpa perlu mempertimbangkan betul salahnya yang ditulis oleh guru Sumber data penelitian ini
adalah ragam bahasa tulisan. Data utamanya adalah penulisan kata baku dan penulisan kalimat bahasa Indonesia
guru SDN Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan
tes tertulis tentang kata baku dan membuat kalimat efektif dalam bahasa Indonesia yang diberikan kepada guruguru SDN Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat sebanyak 90 orang, yang mewakili 20 sekolah SDN
yang ada di Kecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan terhadap 90 responden yang
terdiri dari 49 guru perempuan, dan 41 guru laki-laki. Skor tertinggi dalam pilihan ganda adalah 8 (1guru perempuan
dan 3guru laki-laki) dan skor terendah adalah 3 (1 guru perempuan dan 1 guru laki-laki). Sedangkan untuk tes esai
skor tertinggi adalah 27 (guru perempuan) dan skor terendah adalah 5 (guru perempuan). Sementara guru lakilaki mendapat skor tertingg 26 dan skor terendah 10. Secara keseluruhan Nilai dari kedua tes di atas, adalah nilai
tertinggi diperoleh guru wanita yaitu 80, dan nilai terendah adalah 50, sementara nilai tertinggi yang diperoleh
guru laki-laki adalah 75 dan nilai terendah 12,5. Berdasarkan data di atas, maka peneliti mengambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut(1) Dari hasil di atas didapati data yang sangat akurat bahwa skor tertinggi untuk tes
pilihan ganda diperoleh laki-laki. Sedangkan skor tertinggi untuk tes esai diperoleh perempuan. Hal ini membuktikan
bahwa perempuan lebih teliti dalam menganalisis kalimat. (2) Sebagian besar responden banyak kesulitan dalam
menganalisis kalimat, hal ini membuktikan bahwa pemahaman guru terhadap penggunaan kalimat efektif masih
sangat rendah. (3) Sebagaian besar guru SD Sekecematan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat banyak tidak mengetahui
kata baku dalam bahasa Indonesia, (4) Sebagaian besar guru SD Sekecematan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat
banyak tidak mengetahui bahwa sumber belajar bahasa Indonesia tidak hanya berpatokan dari buku saja, tetapi
bisa juga diunduh dari Internet.
Kata Kunci: Kajian, Kata Baku, Efektivitas, Kalimat, Indonesia.
PENDAHULUAN
Guru harus selalu digugu dan ditiru. Itulah
pribahasa yang sampai sekarang masih melekat dan
disandang oleh guru. Terlebih lagi guru-guru sd
yang mengawali proses pendidikan formal bagi
anak didik. Perkataan, perbuatan maupun prilaku
sehari-hari akan senantiasa menjadi tokok ukur dan
panutan bagi para siswanya. Demikian pula halnya,
dalam keterampilan menulis, jika guru saja salah
dalam mengajarkan keterampilan menulis kepada
peserta didik, maka akan selamanya siswa itu juga
akan salah. Bahasa yang sering muncul, ketika
Dede Hasanudin: Kajian kata baku dan efektivitas kalimat Bahasa Indonesia Guru SDN sekecamatan Cikalong Tasikmalaya ...
133
mereka sudah duduk di jenjang yang lebih tinggi,
adalah “ Kata Bapak/Ibu guru saya waktu di sd
begitu “. Kesalahan akhirnya ditumpahkan kepada
guru mereka di sd. Jika ini didiamkan, tentunya akan
membuat keterampilan menulis kalimat siswa akan
semakin buruk.
Sebenarnya keterampilan berbahasa terdiri
dari empat aspek, yaitu menyimak, berbicara,
membaca dan menulis. Keempatnya harus
bersinergi karena saling ketergantungan. Oleh
sebab itu, sangat wajar jika keempat aspek tersebut
diajarkan dalam kurikulum. Guru yang akan
mengajar pun harus memiliki kemampuan yang
baik dalam menguasai keempat aspek tersebut di
atas. Hal ini dimaksudkan agar apa yang
disampaikan kepada siswa dapat diserap secara baik
dan benar.
Inilah yang menjadi persoalan selama ini,
apakah keempat aspek yang diajarkan kepada siswa
sudah tepat dan benar. Tentunya untuk menjawab
persoalan ini perlu diadakan penelitian secara
seksama, mendalam dan berproses. Tidak mungkin
dapat dilakukan sekaligus. Satu persatu dari keempat
aspek itu harus diteliti. Hal inilah yang menarik
perhatian peneliti untuk meneliti salah satu dari
empat aspek keterampilan berbahasa di atas. Aspek
yang dimaksud adalah aspek keterampilan menulis.
Menulis yang dimaksud di sini adalah kemampuan
guru dalam menulis kata baku dan kalimat efektif
dalam bahasa Indonesia.
Kita menyadari bahwa faktor bahasa
daerah sangat mempengaruhi dalam pengajaran
bahasa Indonesia di sekolah. Sehingga tidak
jarang, guru dalam mengajar banyak memasukkan
diaelek bahasa daerah, yang tentunya akan
sangat berpengaruh pada keterampilan menulis
siswa. Misalnya saja di Jawa Barat, guru sulit
membedakan pelafalan antara /p/,f/, dan /v/.
Sehinga ketika ia mengucapkan kata duplikat
bisa saja diucapkan duflikat, positif, diucapkan
positip. Hal ini tentu juga berimbas kepada
keterampilan menulis guru tersebut. Ia menulis
sesuai dengan yang diucapkan. Padahal, jika kita
melihat Salah satu fungsi bahasa Indonesia sebagai
bahasa Nasional, guru wajib menggunakan bahasa
Indonesia dalam dunia pendidikan formal. Bukan
itu saja, tetapi juga harus disampaikan secara baik
dan benar.
134
Persoalan di atas, diperparah lagi ketika guru
membuat kalimat dalam bahasa Indonesia, tetapi
menggunakan struktur bahasa daerah. Misalnya saja
seorang guru menuliskan kalimat “Surat itu sudah
dikirimkan oleh saya untuk Paman”. Tentunya ini
bukan struktur bahasa Indonesia, karena kalimat
ini langsung diterjemahkan dari bahasa Sunda yang
berbunyi “Seurat eta parantos dikintunkeun ku abdi
kanggo emang”. Kalau kita ingin taat asas, maka
seharusnya kalimat di atas, ditulis sesuai struktur
bahasa Indonesia, “Saya sudah mengirimkan surat
itu kepada Paman”. Contoh lain adalah efektivitas
kalimat, misalnya hadirin sekalian, yang langsung
dialihtransformasikan dari bahasa daerah “Bapak
ibu sadayana”. Tentunya ini pemborosan kata, yang
benar adalah Hadirin yang saya hormati, atau Bapak
Ibu yang saya hormati”.
Fenomena di atas, yang menimbulkan hasrat
peneliti untuk melihat lebih jauh kemampuan
mnulis kata baku dan keterampilan menulis kalimat
bahasa Indonesia guru SDN Sekecamatan Cikalong
Tasikmalaya Jawa Barat.
Dengan melihat contoh-contoh di atas,
pertanyaan yang muncul ke permukaan adalah
sebagai berikut (1) Apakah benar bahwa kata baku
guru SDN Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa
Barat dipengaruhi oleh dialek bahasa Sunda ? (2)
Apakah stuktur kalimat bahasa Indonesia guru
SDN Sekecamatan Cikalong Tasaikmalaya Jawa
Barat dipengaruhi oleh dialek bahasa Sunda ? (3)
Bagaimana struktur kalimat bahasa Indonesia guru
SDN Sekecamatan Cikalong Jawa Barat ?
Sebagaimana yang telah diuraikan di dalam
latar belakang penelitian ini, peneliti dalam
kesempatan penelitian ini hanya akan meneliti
tentang salah satu aspek keterampilan berbahasa,
yaitu aspek keterampilan menulis. Keterampilan
menulis pun penulis batasi pada penulisan kata-kata
baku dan struktur kalimat dalam hal ini dilihat segi
efektivitas kalimat bahasa Indonesia guru SDN
Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat.
Berdasarkan latar belakang dan pertanyaan
penelitian, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah :
“Bagaimana kata baku dan efektivitas kalimat
bahasa Indonesia guru SDN Sekecamatan Cikalong
Tasikmalaya Jawa Barat “ ?
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
KAJIAN PUSTAKA
Istilah bahasa baku telah dikenal oleh
masyarakat secara luas. Namun pengenalan istilah
tidak menjamin bahwa mereka memahami secara
komprehensif konsep dan makna istilah bahasa
baku itu. Hal ini terbukti bahwa masih banyak orang
atau masyarakat berpendapat bahasa baku sama
dengan bahasa yang baik dan benar. “Kita berusaha
agar dalamsituasi resmi kita harus berbahasa yang
baku. Begitu juga dalam situasi yang tidak resmi
kita berusaha menggunakan bahasa yang baku”.
(Pateda,1997 : 30).
Slogan “pergunakanlah bahasa Indonesia
dengan baik dan benar”,tampaknya mudah
diucapkan, namun maknanya tidak jelas. Slogan itu
hanyalah suatu retorika yang tidak berwujud nyata,
sebab masih diartikan bahwa di segala tempat kita
harus menggunakan bahasa baku. Demikian
juga, masih ada cibiran bahwa bahasa baku
itu hanya buatan pemerintah agar bangsa ini
dapat diseragamkan dalam bertindak atau
berbahasa. ”Manakah ada bahasa baku, khususnya
bahasa Indonesia baku? “Manalah ada bahasa
Indonesia lisan baku”? “Manalah ada masyarakat
atau orang yang mampu menggunakan bahasa
baku itu, sebab mereka berasal dari daerah”. Atau
mereka masih selalu dipengaruhi oleh bahasa
daerahnya jika mereka berbahasa Indonesia secara
lisan.
Di dalam pengantar dikemukakan bahwa
masih banyak orang yang menyamakan pengertian
bahasa baku dengan bahasa yang baik dan benar.
Bahasa yang dipergunakan di dalam situasi tidak
resmi pun dianggap sebagai bahasa baku. Makna
baku tampaknya tidak dipahami secara benar,
apalagi makna bahasa baku. Hal ini disebabkan oleh
keengganan orang mencari makna istilah baku dan
bahasa baku itu di dalam kamus Umum atau Kamus
Istilah Linguistik, baik dari bahasa Indonesia
maupun dari bahasa Asing, terutama dalam bahasa
Inggris.
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Poerwadarminta menuliskan:
baku I
Jawa, (1) yang menjadi pokok, yang sebenarnya;
(2) sesuatu yang dipakai sebagai dasar ukuran (nilai,
harga; standar).
baku II
saling (1976 : 79).
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1988
: 71), kata baku juga ada dijelaskan.
baku I
(1) pokok, utama; (2) tolok ukur yang berlaku untuk
kuantitas atau kualitas dan yang ditetapkan
berdasarkan kesepakatan;
standar;
baku II
saling
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Badudu
dan Zain menjelaskan makna kata baku.
baku I
(Jawa) yang menjadi pokok; (2) yang utama;
standar.
baku II
(Manado), saling (1996 : 114)
Baku dalam bahasa baku di dalam 3 Kamus di
atas bermakna sama dengan baku I. Oleh karena
itu, bahasa baku ialah bahasa yang menjadi pokok,
yang menjadi dasar ukuran, atau yang menjadi
standar.
Istilah bahasa baku dalam bahasa Indonesia
atau standard language dalam bahasa Inggris dalam
dunia ilmu bahasa atau linguistik pertama sekali
diperkenalkan oleh Vilem Mathesius pada 1926. Ia
termasuk pencetus Aliran Praha atau The Prague
School. Pada 1930, B. Havranekdan Vilem
Mathesius merumuskan pengertian bahasa baku itu.
Mereka berpengertian bahwa bahasa baku sebagai
bentuk bahasa yang telah dikodifikasi, diterima dan
difungsikan sebagai model atau acuan oleh
masyarakat secara luas (A Standard language can
tentatively be definite as a codified form of language accepted
by and serving as a model for a large speech community)
(Garvin, 1967 dalam Purba, 1996 : 52).
Pengertian bahasa baku di atas diikuti dan
diacu oleh pakar bahasa dan pengajaran bahasa baik
di barat maupun di Indonesia. Di dalamDictionary
Language and Linguistics, Hartman dan Strok
berpengertian bahasa baku adalah ragam bahasa
yang secara sosial lebih digandrungidan yang sering
didasarkan bahasa orang-orang yang berpendidikan
di dalam atau di sekitar pusat kebudayaan atau suatu
masyarakat bahasa(Standard language is the socially
favourite variaty of a langauage, oftenbased on the
Dede Hasanudin: Kajian kata baku dan efektivitas kalimat Bahasa Indonesia Guru SDN sekecamatan Cikalong Tasikmalaya ...
135
speech of educated population in and a round the
culturaland or political cntre of the speech
community) (1972 : 218).
Di dalam Sociolinguistics A Critical Survey of
Theory and Application,Dittmar (1976: 8) berpengertian bahwa bahasa baku adalah ragam bahasa
dari suatu masyarakat bahasa yang disahkan sebagai
norma keharusan bagi pergaulan sosial atas dasar
kepentingan dari pihak-pihak dominan di dalam
masyarakat itu. Tindakan pengesahan itu dilakukan
melalui pertimbangan-pertimbangan nilai yang
bermotivasi sosial politik.
Kata-kata baku adalah kata-kata yang standar
sesuai dengan aturan kebahasaaan yang berlaku,
didasarkan atas kajian berbagai ilmu, termasuk ilmu
bahasa dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Kebakuan kata amat ditentukan oleh tinjauan
disiplin ilmu bahasa dari berbagai segi yang
ujungnya menghasilkan satuan bunyi yang amat
berarti sesuai dengan konsep yang disepakati
terbentuk.
Kata baku dalam bahasa Indonesia
memedomani Pedoman Umum Pembentukan
Istilah yang telah ditetapkan oleh Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa bersamaan ditetapkannya pedoman sistem penulisan dalam Ejaan
Yang Disempurnakan. Di samping itu, kebakuan
suatu kata juga ditentukan oleh kaidah morfologis
yang berlaku dalam tata bahasa bahasa Indonesia
yang telah dibakukan dalam Tata Bahasa Baku
Bahasa Indoensia.
Dalam Pedoman Umum Pembentukan istilah
(PUPI) diterangkan sistem pembentukqan istilah
serta pengindonesiaan kosa kata atau istilah yang
berasal dari bahasa asing. Bila kita memedomani
sistem tesebut akan telihat keberaturan dan
kemanapan bahasa Indonesia.
Kata baku sebenanya merupakan kata yang
digunakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia
yang telah ditentukan. Konteks penggunaannya
adalah dalam kalimat resmi, baik lisan maupun
tertulis dengan pengungkapan gagasan secara
tepat.
Kalimat dikatakan efektif apabila berhasil
menyampaikan pesan, gagasan, perasaan, maupun
pemberitahuan sesuai dengan maksud si pembicara
atau penulis.Untuk itu penyampaian harus
memenuhi syarat sebagai kalimat yang baik, yaitu
136
str ukturnya benar, pilihankatanya tepat,
hubungan antarbagiannya logis, dan ejaannya pun
harus benar.
Dalam hal ini hendaknya dipahami pula bahwa
situasi terjadinya komunikasi juga sangat
berpengaruh. Kalimat yang dipandang cukup
efektif dalam pergaulan, belum tentu dipandang
efektif jika dipakai dalam situasi resmi, demikian
pula sebaliknya.Misalnya kalimat yang diucapkan
kepada tukang becak, “Berapa, Bang , ke pasar
Rebo?”Kalimat tersebut jelas lebih efektif daripada
kalimat lengkap, “Berapa saya harus membayar, Bang,
bila saya menumpang becak Abang ke pasarRebo?”
Yang perlu diperhatikan oleh para siswa dalam
membuat karya tulis, baik berupa essay, artikel,
ataupun analisis yang bersifat ilmiah adalah
penggunaan bahasa secara tepat, yaitu memakai
bahasa baku. Hendaknya disadari bahwa susunan
kata yang tidak teratur dan berbelit-belit,
penggunaan kata yang tidak tepat makna, dan
kesalahan ejaan dapat membuat kalimat tidak
efektif.
Berikut ini akan disampaikan beberapa pola
kesalahan yang umum terjadi dalam penulisan serta
perbaikannya agar menjadi kalimat yang efektif.
1. Penggunaan dua kata yang sama artinya dalam
sebuah kalimat :
Sejak dari usia delapan tahun ia telah
ditinggalkan ayahnya.
(Sejak usia delapan tahun ia telah
ditinggalkan ayahnya.)
Hal itu disebabkan karena perilakunya
sendiri yang kurang menyenangkan.
(Hal itu disebabkan perilakunya sendiri
yang kurang menyenangkan.
Ayahku rajin bekerja agar supaya dapat
mencukupi kebutuhan hidup.
(Ayahku rajin bekerja agar dapat
memenuhi kebutuhan hidup.)
Pada era zaman modern init eknologi
berkembang sangat pesat.
(Pada zaman modern ini teknologi
berkembang sangat pesat.)
Berbuat baik kepada orang lain adalah
merupakan tindakan terpuji.
(Berbuat baik kepada orang lain
merupakan tindakan terpuji.)
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
2.
3.
4.
5.
Penggunaan kata berlebih yang ‘mengganggu’
struktur kalimat :
Menurut berita yang saya dengar
mengabarkan bahwa kurikulum akan
segera diubah.
(Berita yang saya dengar mengabarkan
bahwa kurikulum akan segera diubah.
atau Menurut berita yang saya dengar,
kurikulum akan segera diubah.)
Kepada yang bersalah harus dijatuhi
hukuman setimpal.
(Yang bersalah harus dijatuhi hukuman
setimpal.)
Penggunaan imbuhan yang kacau :
Yang meminjam buku di perpustakaan
harap dikembalikan.
(Yang meminjam buku di perpustakaan
harap mengembalikan. / Buku yang dipinjam
dari perpustakaan harap dikembalikan)
Ia diperingati oleh kepala sekolah agar tidak
mengulangi perbuatannya.
(Ia diperingatkan oleh kepala sekolah agar
tidak mengulangi perbuatannya.
Operasi yang dijalankan Reagan member
dampak buruk.
(Oparasi yang dijalani Reagan berdampak
buruk)
Dalam pelajaran BI mengajarkan jugateori
apresiasi puisi.
(Dalam pelajaran BI diajarkan juga teori
apresiasi puisi./ Pelajaran BI mengajarkan
juga apresiasi puisi.)
Kalimat tak selesai :
Manusia yang secara kodrati merupakan
mahluk sosial yang selalu ingin
berinteraksi.
(Manusia yang secara kodrati merupakan
mahluk sosial, selalu ingin berinteraksi.)
Rumah yang besar yang terbakar itu.
(Rumah yang besar itu terbakar.)
Penggunaan kata dengan struktur dan ejaan
yang tidak baku :
Kita harus bisa merubah kebiasaan yang
buruk.
(Kita harus bias mengubah kebiasaan yang
buruk.)
Kata-kata lain yang sejenis dengan itu antara
lain menyolok, menyuci, menyontoh, menyiptakan,
menyintai, menyambuk, menyaplok, menyekik,
menyampakkan, menyampuri, menyelupkan dan
lain-lain, padahal seharusnya mencolok,
mencuci, mencontoh, menciptakan,
mencambuk, mencaplok, mencekik,
mencampakkan, mencampuri, mencelupkan.
- Pertemuan itu berhasil menelorkan ide-ide
cemerlang.
(Pertemuan itu telah menelurkan ide-ide
cemerlang.)
- Gereja itu dilola oleh para rohaniawan secara
professional.
(Gereja itu dikelola oleh para rohaniwan
secara professional.)
- tau  tahu
- negri  negeri
- kepilih  terpilih
- faham  paham
- ketinggal  tertinggal - himbau  imbau
- gimana  bagaimana - silahkan  silakan
- jaman  zaman
- antri  antre
- trampil  terampil
- disyahk  disahkan
6.
Penggunaan tidak tepat kata ‘di mana’ dan
‘yang mana’ :
Saya menyukainya di mana sifat-sifatnya
sangat baik.
(Saya menyukainya karena sifat-sifatnya
sangat baik.)
Rumah sakit di mana orang-orang mencari
kesembuhan harus selalu bersih.
(Rumah sakit tempat orang-orang mencari
kesembuhan harus selalu bersih.)
Manusia membutuhkan makanan yang
mana makanan itu harus mengandung
zat-zat yang diperlukan oleh tubuh.
(Manusia membutuhkan makanan yang
mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh.)
1. Penggunaan kata ‘daripada’ yang tidak tepat :
Seorang daripada pembatunya pulang ke
kampung kemarin.
(Seorang di antara pembantunya pulang
ke kampung kemarin.)
Seorang pun tidak ada yang bisa
menghindar daripada pengawasannya.
(Seorang pun tidak ada yang bisa
menghindar dari pengawasannya.)
Tendangan daripada Ricky Jakob berhasil
mematahkan perlawanan musuh.
Dede Hasanudin: Kajian kata baku dan efektivitas kalimat Bahasa Indonesia Guru SDN sekecamatan Cikalong Tasikmalaya ...
137
8.
9.
(Tendangan Ricky Jakob berhasil
mematahkan perlawanan musuh.)
Pilihan kata yang tidak tepat :
Dalam kunjungan itu Presiden
Yudhoyono menyempatkan waktu untuk
berbincang bincang dengan masyarakat.
(Dalam kunjungan itu Presiden
Yudhoyono menyempatkan diri untuk
berbincang-bincang dengan masyarakat.)
Bukunya ada di saya.
(Bukunya ada pada saya.)
Kalimat ambigu yang dapat menimbulkan salah
arti :
Usul ini merupakan suatu perkembangan
yang menggembirakan untuk memulai
pembicaraan damai antara komunis dan
pemerintah yang gagal.
Kalimat di atas dapat menimbulkan salah pengertian.
Siapa/apa yang gagal? Pemerintahkah atau
pembicaraan damai yang prnah dilakukan?
(Usul ini merupakan suatu perkembangan
yang menggembirakan untuk memulai kembali
pembicaraan damai yang gagal antara pihak
komunis dan pihak pemerintah.
Sopir Bus Santosa yang Masuk Jurang
Melarikan Diri
Judul berita di atas dapat menimbulkan salah
pengertian. Siapa/apa yang dimaksud Santosa?
Nama sopir atau nama bus? Yang masuk
jurang busnya atau sopirnya?
(Bus Santoso Masuk Jurang, Sopirnya
Melarikan Diri)
10. Pengulangan kata yang tidakperlu :
Dalam setahun ia berhasil menerbitkan 5
judul buku setahun.
(Dalam setahun ia berhasil menerbitkan
5 judul buku.)
Film ini menceritakan perseteruan antara
dua kelompok yang saling menjatuhkan,
yaitu perseteruan antara kelompok Tang
Peng Liang dan kelompok Khong Guan
yang salingmenjatuhkan.
Film ini menceritakan perseteruan antara
kelompok Tan Peng Liang dan kelompok
Khong Guan yang saling menjatuhkan.)
138
11. Kata ‘kalau’ yang dipakaisecarasalah :
Dokter itu mengatakan kalau penyakit
AIDS sangat berbahaya.
(Dokter itu mengatakan bahwa penyakit
AIDS sangat berbahaya.)
Siapa yang dapat memastikan kalau
kehidupan anak pasti lebih baik daripada
orang tuanya?
(Siapa yang dapat memastikan bahwa
kehidupan anak pasti lebih baik daripada
orang tuanya?)
Kalimat merupakan salah satu struktur
sintaktis yang terdiri atas konstituen konstituen
yang bersifat linear, yang berada dalam dimensi
linear pula. Kalimat adalah rangkaian kata-kata
yang memliki makna. Verhaar, 1978: 72 dan
Lyons, 1977:273 mengemukakan bahwa
kalimat memiliki struktur bentuk (sintaksis).
Stuktur sintaksis terdiri atas struktur klausa dan
kalimat; yang kemudian ditambahkan oleh
Longacre (1972:3) sebagai seperangkat
kaidah yang menghubungkan makna dengan
bentuk dalam tuturan. Itulah sebabnya teori
distribusi akan digunakan untuk mengkaji
hubungan dan sifat antarargumen dan
predikator dari kalimat, atau antarkonstituen
dalan satu kalimat.
PEMBAHASAN
Sesuai dengan ruang lingkup masalah yang
telah dipaparkan di atas, Secara umum penelitian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan serta mengkaji
kata baku dan struktur kalimat dari segi efektivitas
kalimat bahasa Indonesia guru SDN Sekecamatan
Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat. Adapun tujuan
penelitian ini secara khusus adalah untuk dapat: (1)
Merumuskan kemampuan menulis kata-kata
baku gur u SDN Sekecamatan Cikalong
Tasikmalaya Jawa Barat, (2) Mer umuskan
kemampuan menulis kalimat bahasa Indonesia guru
SDN Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa
Barat, (3) Merumuskan struktur kalimat bahasa
Indonesia guru SDN Sekecamatan Cikalong
Tasikmalaya Jawa Barat., (4) Menjadikan hasil
penelitian sebagai acuan guru SDN di Jawa Barat
dalam mengajarkan keterampilan menulis bahasa
Indonesia kepada siswa sd, (5) Mempublikasikan
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
temuan-temuan ini melalui berbagai media, baik
secara nasionalmaupun internasional.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode Analisis deskriptif dengan
menampilkan data apa adanya secara rinci, objektif,
sistematis, akurat dan komprehensif, sehingga
menghasilkan pemerian data bahasa yang akurat
pula. Hasil pengamatan ini kemudian dideskripsikan, dipilah – pilah, dan dianalisis sesuai dengan
gejala – gejala yang ditemukan di lapangan; tanpa
perlu mempertimbangkan betul salahnya yang
ditulis oleh guru
Sumber data penelitian ini adalah ragam
bahasa tulisan. Data utamanya adalah penulisan kata
baku dan penulisan kalimat bahasa Indonesia guru
SDN Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa
Barat.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara
memberikan tes tertulis tentang kata baku dan
membuat kalimat efektif dalam bahasa Indonesia
yang diberikan kepada guru-gur u SDN
Sekecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat
sebanyak 90 orang, yang mewakili 20 sekolah SDN
yang ada di Kecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa
Barat.
1. Deskripsi Data
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan
Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat dengan
melibatkan responden sebanyak 90 orang.
Kesembilan puluh orang tersebut semua
berperdikat sebagai guru sekolah dasar, baik sebagai
guru bidang studi maupun sebagai guru kelas.
Mereka berasal dari sekolah dasar yang berada di
wilayah kecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa
Barat.
Guru-guru yang penulis jadikan responden
dalam penelitian ini, tersebar di 20 sekolah dasar
yang berada di wilayah Kecamatan Cikalong
Tasikmalaya Jawa Barat. Kepada mereka diberikan
tiga instrumen penelitian yang meliputi : 1) biodata
penelitian, 2) tes pilihan ganda, dan 3) tes tentang
kalimat efektif.
2. Analisis Data
Berikut adalah data yang penulis peroleh dari
hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 90
orang guru sekolah dasar yang tersebar di wilayah
Kecamatan Cikalong Tasikmalaya Jawa Barat.
Untuk tes pilihan ganda, penulis membuat 10 soal
dengan empat pilihan, sedangkan untuk tes esai
penulis juga memberikan 10 soal untuk diperbaiki
menjadi kalimat efektif.
Analisis Data untuk pertanyaan pilihan ganda
Penjelasan
1. Dari 90 guru yang menjawab a sebanyak 17,
menjawab b sebanyak 0, menjawab c sebanyak
58, menjawab d sebanyak 0, dan tidak
menjawab sebanyak 15.
2. Dari 90 guru yang menjawab a sebanyak 0,
menjawab b sebanyak 1, menjawab c sebanyak
73, menjawab d sebanyak 0, dan tidak
menjawab sebanyak 16.
3. Dari 90 guru yang menjawab a sebanyak 0,
menjawab b sebanyak 1, menjawab c sebanyak
73, menjawab d sebanyak 0, dan tidak
menjawab sebanyak 16.
4. Dari 90 guru yang menjawab a sebanyak 22,
menjawab b sebanyak 0, menjawab c sebanyak
51, menjawab d sebanyak 0, dan tidak
menjawab sebanyak 17.
5. Dari 90 guru yang menjawab a sebanyak 13,
menjawab b sebanyak 48, menjawab c
sebanyak 10, menjawab d sebanyak 3, dan
tidak menjawab sebanyak 16.
6. Dari 90 guru yang menjawab a sebanyak 39,
menjawab b sebanyak 0, menjawab c sebanyak
28, menjawab d sebanyak 2, dan tidak
menjawab sebanyak 21.
Dede Hasanudin: Kajian kata baku dan efektivitas kalimat Bahasa Indonesia Guru SDN sekecamatan Cikalong Tasikmalaya ...
139
7.
Dari 90 guru yang menjawab a sebanyak 44,
menjawab b sebanyak 14, menjawab c
sebanyak 10, menjawab d sebanyak 0, dan
tidak menjawab sebanyak 22.
8. Dari 90 guru yang menjawab a sebanyak 40,
menjawab b sebanyak 27, menjawab c
sebanyak 1, menjawab d sebanyak 2, dan tidak
menjawab sebanyak 20.
9. Dari 90 guru yang menjawab a sebanyak 15,
menjawab b sebanyak 48, menjawab c
sebanyak 9, menjawab d sebanyak 1, dan tidak
menjawab sebanyak 17.
10. Dari 90 guru yang menjawab a sebanyak 0,
menjawab b sebanyak 1, menjawab c sebanyak
40, menjawab d sebanyak 38, dan tidak
menjawab sebanyak 12.
Rumus
F
——————— x 100 %
N
F: jumlah guru yang menjawab
N: banyaknya guru
3. Interpretasi Data
a. Sebanyak 90 guru menjawab a (18,88%),
menjawab b (0%), menjawab c (64,44%),
menjawab d (0%), dan tidak menjawab
15 guru (16,7%). Ini berarti guru sudah
mengetahui tentang kata-kata baku dalam
EYD.
b. Sebanyak 90 guru menjawab c (81,11%),
menjawab a (0%), menjawab b (1,11%),
menjawab d (0%), dan tidak menjawab
16 guru (17,77%). Ini berarti guru sudah
mengetahui tentang kata-kata baku dalam
EYD.
c. Sebanyak 90 guru menjawab c (81,11%),
menjawab a (0%), menjawab b (1,11%),
menjawab d (0%), dan tidak menjawab
16 guru (17,77%). Ini berarti guru sudah
mengetahui tentang kata-kata baku dalam
EYD.
d. Sebanyak 90 guru menjawab a (24,44%),
menjawab b (0%), menjawab c (56,66%),
menjawab d (0%), dan tidak menjawab
16 guru (17,77%). Ini berarti guru sudah
140
e.
f.
g.
h.
i.
j.
mengetahui tentang kata-kata baku dalam
EYD.
Sebanyak 90 guru menjawab a (14,44%),
menjawab b (53,33%), menjawab c
(11,11%), menjawab d (11,11%), dan
tidak menjawab 16 guru (17,77%). Ini
berarti guru belum mengetahui tentang
kata-kata baku dalam EYD.
Sebanyak 90 guru menjawab a (43,33%),
menjawab b (0%), menjawab c (31,11%),
menjawab d (2,22%), dan tidak menjawab
21 guru (23,33%). Ini berarti guru sudah
mengetahui tentang kata-kata baku dalam
EYD.
Sebanyak 90 guru menjawab a (48,88%),
menjawab b (15,55%), menjawab c
(11,11%), menjawab d (0%), dan tidak
menjawab 22 guru (24,44%). Ini berarti
guru belum mengetahui tentang kata-kata
baku dalam EYD.
Sebanyak 90 guru menjawab a (44.44%),
menjawab b (30%), menjawab c (1,11%),
menjawab d (2,22%), dan tidak menjawab
20 guru (22,22%). Ini berarti guru belum
mengetahui tentang kata-kata baku dalam
EYD.
Sebanyak 90 guru menjawab a (16,66%),
menjawab b (53,33%), menjawab c
(10%), menjawab d (1,11%), dan tidak
menjawab 17 guru (18,88%). Ini berarti
guru sudah mengetahui tentang kata-kata
baku dalam EYD.
Sebanyak 90 guru menjawab c (44,44%),
menjawab d (42,22%), menjawab a (0%),
menjawab b (1,11%), dan tidak menjawab
12 guru (13,33%). Ini berarti guru sudah
mengetahui tentang kata-kata baku dalam
EYD.
4. Analisis Data untuk pertanyaan terbuka
(kalimat efektif)
a. Paman saya teman saya adik saya saya
belum menikah.
Kalimat 1 salah, karena kalimat itu tidak
mempunyai subjek yang jelas
(ambiguitas). Perbaikannya:
Paman, teman, adik, dan saya belum
menikah.
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Mobilnya Amir yang besar sendiri.
Kalimat 2 salah, karena tidak logis
sehingga kalimat menjadi tidak efektif.
Perbaikan kalimat: Mobil Amir paling
besar.
Perbaikan: Mobil Amir paling besar.
Ayah ke Surabaya hari ini terbang naik
pesawat Garuda.
Kalimat 3 salah, dari segi kehematan kata.
Penghematan kata dapat dilakukan
dengan cara menghilangkan kata yang
bermakna sama seperti kata terbang dan
naik, pesawat. Perbaikannya;
Hari ini, ayah ke Surabaya naik garuda.
Isteri pengusaha yang nakal itu
tertangkap sedang selingkuh di sebuah
hotel.
Kalimat 4 salah, karena bermakna
ganda(ambiguitas). Hal tersebut terjadi
karena tidak ada tanda koma.
Perbaikannya:
Istri pengusaha yang nakal itu, tertangkap
selingkuh di hotel.
Para hadirin dipersilakan untuk tidak
meninggalkan tempat duduknya masingmasing.
Kalimat 5 salah, karena terdapat kata
ganti kepemilikan “nya” (koherensi).
Perbaikannya:
Hadirin dipersilakan tidak meninggalkan
tempat duduk.
Kedua mahasiswa yang belum
mendapatkan kartu ujiannya harap
diambil di ketua program studinya.
Kalimat 6 salah, karena terdapat
kesalahan logika pada kata diambil.
Perbaikannya:
Mahasiswa yang belum mendapatkan
kartu ujian, harap mengambil ke ketua
prodi.
Pembangunan ini akan di awali dengan
pembebasan tanah warga dan berhitung
tentang keuntungan yang akan diperoleh
dari hasil penjualan rumah yang akan
dibangun.
Kalimat 7 salah, karena kepararelan dan
variasi bahasa. Perbaikannya:
h.
i.
j.
Pembangunan akan diawali dengan
membebaskan tanah dan menghitung
keuntungan yang diperoleh dari hasil
menjual rumah.
Surat itu sudah dikirimkan oleh saya
untuk paman.
Kalimat 8 salah, karena berkaitan dengan
pararelisme dan logika. Perbaikannya:
Saya sudah mengirimkan surat untuk
paman.
Burung itu terbang naik ke atas,
melayang-layang di udara lalu menukik
ke bawah dan masuk ke dalam
sangkarnya.
Kalimat 9 salah, karena dari segi
kehematan kata. Penghematan kata dapat
dilakukan dengan cara menghilangkan
kata yang bermakna sama seperti kata
terbang naik dan pesawat. Perbaikannya:
Burung itu terbang, melayang-layang di
udara lalu menukik ke sangkar.
Kepada bapak lurah dipersilakan untuk
menyampaikan amanahnya, waktu dan
tempat kami persilakan.
Kalimat 10 salah, karena kalimat tersebut
tidak dapat diterima oleh akal (kelogisan/
salah nalar), seperti kata waktu dan
tempat kami persilakan. Perbaikannya:
Bapak Lurah dipersilakan menyampaikan
amanah.
5. Format Penilaian
a. Soal Pilihan Ganda
b.
Soal Esai
Setiap soal esai diberi bobot, berikut
tabelnya:
Dede Hasanudin: Kajian kata baku dan efektivitas kalimat Bahasa Indonesia Guru SDN sekecamatan Cikalong Tasikmalaya ...
141
c.
Penilaian
1.
2.
3.
d.
142
Skor Maksimal Pilihan Ganda:
Jumlah soal PG adalah 10.
Jadi, skor maksimal PG adalah
1 x 10 = 10
Skor Maksimal Esai adalah
3 x 10 = 30
Jumlah soal esai adalah 10.
Jadi, skor maksimal esai adalah
3 x 10 = 30
Skor Maksimal Keseluruhan
Skor Maksimal PG + skor maksimal
esai = 10 + 30 = 40
Perolehan Nilai Tiap-Tiap Guru
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
tes esai diperoleh perempuan. Hal ini membuktikan
bahwa perempuan lebih teliti dalam menganalisis
kalimat.
Secara keseluruhan dapat dikatakan sebagian
besar responden belum memahami kata baku dan
tidak baku, serta memiliki pemahaman yang baik
dalam menganalisis kalimat efektif.
Dari hasil penelitian di atas, penulis
menyarankan sebaiknya guru mempelajari lagi
mengenai analisis kalimat dan mempunyai kamus
sendiri untuk mengetahui kalimat baku dan tidak
baku.
SIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini dilakukan terhadap 90 responden
yang terdiri dari 49 perempuan dan 41 laki-laki. Skor
tertinggi dalam pilihan ganda adalah 8 (3 laki-laki
dan 1 perempuan) dan skor terendah adalah 3 (1
perempuan dan 1 laki-laki). Skor tertinggi dalam
esai adalah 27 (perempuan) dan skor terendah
adalah 5 (perempuan). Nilai tertinggi adalah 8 (2
perempuan) dan 1,25 (laki-laki).
Dari hasil di atas didapati data yang sangat
akurat bahwa skor tertinggi untuk tes pilihan ganda
diperoleh laki-laki. Sedangkan skor tertinggi untuk
DAFTAR PUSTAKA
Chomsky, Noam. 1970. Aspects of the Theory of
Syntax. USA : The M.L.T. Press.
Clark. 1978. Universals of Human Language. Stanford:
Stanford University Press
Depdikbud. 1985. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa
Indonesia : Sintaksis. Jakarta : Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
——, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta.
Dittmar, N, 1976, Sosiolinguistics, A Critical Survey of
Theory and Aplication, Edward Arnol, London.
Djajasudarma, T. Fatimah. 1997. Analisis Bahasa
Sintaksis dan Semantis. Bandung : Humanora
Utama Press.
Greenberg, J.H. 1978. Universal of Human Language.
Stanford : Stanford University Press.
Gruber, Jeffrey S. 1976. Lexical Structures in Syntax
and Semantics. Amsterdam: North Holland.
Kridalaksana, H, 1981, “Bahasa Indonesia Baku”,
dalam Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia, Jilid
II, Tahun 1981, 17-24, Bhratera, Jakarta.
——, 2002. Struktur, Kategori, dan Fungsi dalam Teori
Sintaksis. Jakarta: UNIKA Atma Jaya.
Parera, Jos Daniel. 1983 Pengantar Linguistik Umum
Bidang Sintaksis Seri C. Flores : Nusa Indah.
——, 1988. Sintaksis. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
——, 1991. Sintaksis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Dede Hasanudin: Kajian kata baku dan efektivitas kalimat Bahasa Indonesia Guru SDN sekecamatan Cikalong Tasikmalaya ...
143
Pike, Knneth L. 1967. Language in Relation to a Unified
Theory of the Structure of Human Behavior. The
Hague: Mouton.
——, 1977. Grammatical Analysis. Arlington, Texas:
Summer Institute of Linguistics Press.
Ramlan. 1987. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis.
Yogyakarta: CV Karyono.
144
Samsuri. 1994. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Sugono, Dendy (penyunting). 1985. Tata Bahasa
Deskripif Bahasa Indonesia: Sintaksis. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Verhaar. 2001. Asas-Asas Linguistik Umum.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
STILISTIKA | Tahun 4, No. 2, Desember 2013
Download