tinjauan pustaka

advertisement
7
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Varietas Unggul Padi Sawah
Penggunaan padi varietas unggul berpengaruh terhadap produktivitas padi
sawah.
Varietas padi dengan potensi hasil tinggi terus dikembangkan untuk
meningkatkan rata-rata hasil di tingkat petani. Untuk meningkatkan potensi hasil
padi di daerah tropika diperlukan peningkatan indeks panen dan total biomas atau
responsivitas terhadap pemupukan (Khush 1999). Peningkatan potensi hasil padi
sawah telah mengalami 2 tahapan, pertama pengembangan dari varietas semidwarf yang menghasilkan IR8 oleh IRRI pada tahun 1966 (Peng et al. 2008).
Varietas padi ini mempunyai produktivitas dari 4 sampai 8 ton/ha pada daerah
tropika. Khush (1999) menyatakan IR8 memiliki sifat yang diinginkan seperti
pembentukan anakan banyak, daun tegak dan hijau gelap, dan batang kuat.
Kedua, dihasilkan dari pengembangan padi hibrida pada tahun 1976 di China.
Menurut Peng et al. (1999) bahwa padi hibrida indica/indica meningkatkan
potensi hasil 9% dibandingkan inbrida terbaik.
Pengembangan potensi hasil varietas inbrida indica semi-dwarf mengalami
stagnasi sejak pelepasan IR8. Perbaikan potensi hasil terus dilakukan melalui
persilangan padi japonica/indica sehingga menghasilkan padi varietas tipe-Tongil
yang dikembangkan di Korea pada tahun 1971, yang menunjukkan peningkatan
hasil 30% dibandingkan dengan varietas japonica (Peng et al. 2008). Varietas
Tongil memiliki karakteristik sifat daun sedang sampai panjang dan tegak,
pelepah daun tebal, tanaman pendek tetapi malai panjang, bentuk tanaman
terbuka, dan tahan rebah. IR72 yang dilepas pada tahun 1980 menghasilkan
biomasa sekitar 20 ton/ha dan indeks panen 0.5 dan menghasilkan 10 ton/ha
gabah pada pengelolaan yang tepat.
Upaya terobosan dilakukan untuk
membentuk arsitektur tanaman yang memungkinkan peningkatan potensi hasil.
Padi yang dihasilkan dikenal dengan padi tipe baru (PTB), dan IRRI
mengembangkannya pada tahun 1989 dan pada tahun 2000 hasilnya telah
didistribusikan ke berbagai negara untuk dikembangkan lebih lanjut.
Program pembentukan varietas unggul padi sawah sampai dengan tahun
1970-an lebih ditekankan pada perbaikan varietas lokal, terutama untuk
memperpendek umur tanaman, sehingga dalam satu tahun dapat dilakukan panen
8
dua sampai tiga kali (Susanto et al. 2003).
Pengembangan varietas banyak
diarahkan untuk meningkatkan daya adaptasi dan toleransi terhadap cekaman
biotik maupun abiotik pada agroekosistem yang dihadapi, sehingga mampu
menciptakan stabilitas hasil tanaman yang baik.
Varietas unggul yang paling populer kemudian adalah IR64 diintroduksi
dari IRRI dan dilepas sebagai varietas unggul di Indonesia pada tahun 1986.
Varietas tersebut sangat digemari oleh petani dan konsumen, terutama karena
rasa nasi yang enak, umur genjah, daya adaptasi luas, dan produktivitasnya
tinggi. Karakteristik dari varietas “tipe varietas IR64” menurut Daradjat et al.
(2001) antara lain adalah umur genjah (100 - 125 HSS), postur tanaman pendek –
sedang (95 - 115 cm), bentuk tanaman tegak, posisi daun tegak, jumlah
anakanbanyak sedang (20 - 25 anakan/rumpun dengan anakan produktif 15 - 16
anakan/rumpun), panjang malai sedang, responsif terhadap pemupukan, tahan
rebah, daya hasil agak tinggi (5 - 6 ton/ha), tahan hama dan penyakit utama, mutu
giling baik, dan rasa nasi enak. Varietas IR64 memiliki daya adaptasi yang sangat
luas dapat dibudidayakan sebagai padi gogo maupun padi rawa. Varietas IR64 ini
banyak dijadikan sebagai tetua dalam program pemuliaan dan banyak varietas
unggul baru yang merupakan keturunan dari IR64 tersebut (Susanto et al. 2003),
diantaranya adalah: Way Apo Buru, Widas, Ciherang, Tukad Unda, Code,
Angke, Konawe, Cigeulis, dan Cibogo. Potensi hasil varietas-varietas tersebut
tidak berbeda dengan IR64 yang dilepas lebih dahulu. Bersama Ciherang, IR64
kini masih mendominasi areal pertanaman padi, sehingga laju pertumbuhan
produktivitas padi nasional tidak mengalami peningkatan yang nyata dari tahun
ke tahun.
Upaya peningkatan produktivitas padi dengan pengembangan varietas padi
hibrida dan padi tipe baru telah dilakukan. Di Indonesia penelitian padi hibrida
telah dilakukan sejak tahun 1983 dan pada tahun 2001 dilepas varietas pertama
Intani 1 dan 2 dari PT BISI, sedangkan dari institusi pemerintah pertama kali
dilepas varietas Maro dan Rokan pada tahun 2002 (Badan Litbang 2007b; Satoto
dan Suprihatno 2008). Pembentukan PTB di Indonesia dimulai sejak tahun 1995
dengan mengintroduksi beberapa galur PTB IRRI generasi pertama, pada tahun
2001 telah dilepas varietas Cimelati semi PTB pertama (Abdullah 2008b).
9
Padi Tipe Baru
Pada
tahun
1989,
Lembaga
Internasional
Penelitian
Padi
atau
International Rice Research Institute (IRRI) telah merancang dan merakit padi
dengan arsitektur baru yang kemudian dikenal dengan new plant type of rice
(NPT) atau padi tipe baru (PTB). Ini diilhami oleh Donald pada tahun 1968
melalui pendekatan pemuliaan idiotipe (Yang et al. 2007).
Sasaran
pengembangan PTB adalah potensi hasil 20 – 25% lebih tinggi dibanding varietas
padi semidwarf mutakhir pada lingkungan tropik. Menurut Peng et al. (1994) dan
Khush (1999), untuk mencapai sasaran maka suatu tipe tanaman baru memiliki
sifat anakan sedikit, semua anakan produktif, malai lebat (200 − 250 gabah/malai)
dan bernas, tinggi tanaman sedang (90 − 100 cm), batang kokoh, daun tegak, tebal
dan berwarna hijau tua, perakaran lebat dan dalam, umur sedang (110 − 130 hari),
serta tahan terhadap hama dan penyakit utama dan kualitas biji dapat diterima.
Sifat-sifat tersebut untuk meningkatkan total biomas sekitar 23 ton dan indeks
panen sampai 0.55 sehingga suatu tanaman yang dapat menghasilkan hasil biji
sekitar 12.5 ton (Khush 1999).
Namun, PTB generasi pertama tersebut
memberikan hasil yang tidak sesuai dengan sasaran karena produksi biomas
rendah dan kurangnya pengisian biji. Peng et al. (2008) menyatakan untuk
meningkatkan potensi hasil maka PTB generasi kedua memiliki sifat-sifat: 330
malai per m2, 150 gabah/malai, pengisian biji 80%, bobot biji 25 mg, total biomas
22 ton/ha, dan indeks panen 50%.
Pembentukan PTB di Indonesia dimulai sejak tahun 1995 dengan
mengintroduksi beberapa galur PTB IRRI generasi pertama. Penelitian
diintensifkan pada tahun 2001 dengan mengintroduksi lebih banyak galur elit PTB
IRRI I dan generasi kedua (Abdullah et al. 2008b) dan telah dihasilkan varietas
dan sejumlah galur PTB dalam beberapa generasi. Melalui program perakitan
PTB telah dilepas varietas unggul semi-PTB yaitu Cimelati (2001), Gilirang
(2002), Ciapus (2003), dan
varietas unggul PTB Fatmawati (2003) dengan
potensi hasil berkisar antara 7.5 ton/ha sampai 9 ton/ha (Anonim 2009). Varietas
tersebut masih memiliki kekurangan, antara lain anakan sedikit dan persentase
kehampaan tinggi serta kurang tahan terhadap hama dan penyakit utama, sehingga
potensi hasilnya belum sesuai dengan sasaran pemuliaan (Abdullah et al. 2008a).
10
Padi Hibrida
Arah pemuliaan padi hibrida adalah untuk mendapatkan kombinasi hibrida
yang berdaya hasil tinggi dan untuk memperoleh hibrida yang memiliki sifat
ketahanan terhadap cekaman lingkungan biotik dan abiotik, adaptif terhadap
kondisi lingkungan tumbuh, serta memiliki mutu beras yang baik.
Padi hibrida
merupakan generasi pertama (F1) dari hasil persilangan antara dua tetua yang
secara genetik berbeda dan dikembangkan dengan memanfaatkan terjadinya
heterosis pada F1 (Virmani et al. 1997).
Fenomena heterosis merupakan
fenomena aksi gen yaitu gejala pertumbuhan dan kapasitas produksi yang lebih
tinggi dibandingkan kedua tetuanya. Fenomena heterosis tersebut menyebabkan
tanaman F1 lebih vigor, tumbuh lebih cepat, anakan lebih banyak, dan malai lebih
lebat, sehingga mampu berproduksi lebih tinggi dibanding varietas unggul biasa
(inbrida). Namun keunggulan tersebut tidak diperoleh pada populasi generasi
kedua (F2) dan berikutnya.
Pengembangan varietas hibrida perlu memperhatikan nilai heterosis yang
diperoleh dari
suatu hibrida. Menurut Nanda and Virmani (1999) tingkat
heterosis hibrida padi indica berkisar antara 15 - 20%. Padi hibrida akan memiliki
sifat unggul apabila kedua tetuanya membawa sifat atau jika salah satu tetuanya
membawa karakter yang diinginkan dan dikendalikan oleh gen dominan (Virmani
et al. 1997).
Tanaman padi secara alami memiliki kontruksi gen-gen homozigos
yang telah melakukan adaptasi, bahwa tanaman homozigos produktivitasnya
cukup tinggi, dan kontruksi heterozigos kurang dapat memacu timbulnya gejala
heterosis yang terlalu tinggi. Hal ini berarti bahwa padi hibrida hasilnya tidak
lebih banyak secara menyolok dibandingkan hasil padi non-hibrida.
Pada tanaman padi, karena bunganya sempurna maka organ jantan pada
bunga tetua betina harus dibuat mandul dengan memasukkan gen cms
(cytoplasmic-genetic male sterility) sehingga memudahkan untuk menghasilkan
benih F1 hibrida (Nanda and Virmani 1999).
Penggunaan gen cms ini
mengharuskan perakitan varietas padi hibrida menggunakan metode tiga galur.
Yaitu galur mandul jantan (GMJ) atau CMS (galur A), galur pelestari atau
maintainer (galur B), dan tetua jantan yang berfungsi sebagai pemulih kesuburan
atau restorer (galur R).
11
Keunggulan padi hibrida adalah hasil lebih tinggi dibanding padi unggul
inbrida dan vigor lebih baik sehingga lebih kompetitif terhadap gulma. Sasaran
utama program perakitan padi hibrida adalah merakit varietas padi hibrida yang
adaptif terhadap kondisi lingkungan tumbuh di Indonesia dengan nilai heterosis
daya hasil 20 - 25% dibandingkan dengan varietas unggul inbrida (Satoto dan
Suprihatno 2008). Potensi hasil yang tinggi dicapai melalui keunggulan aspek
fisiologis dan morfologis tanaman. Indonesia telah melepaskan beberapa varietas
padi hibrida sebagai varietas unggul nasional yang telah dirakit oleh Balai Besar
Penelitian Padi dan perusahaan benih swasta. Potensi hasil padi hibrida berkisar
dari 4.5 ton GKG/ha sampai dengan 15 ton/ha GKG pada varietas Miki1 dan SL11-SHS (Anonim 2009; Satoto dan Suprihatno 2008). Menurut Susanto et al.
(2003) padi hibrida yang dihasilkan banyak memiliki latar belakang genetik galurgalur yang berasal dari IRRI.
Cina yang merupakan pelopor padi hibrida pada tahun 1998 telah memulai
program pemuliaan padi hibrida super (Peng et al. 2008). Yuan (2001), dalam
program ini melakukan kombinasi pendekatan ideotipe dengan menggunakan
heterosis intersubspesies.
sebagai sasaran perakitan
Selanjutnya dinyatakan hasil gabah 100 kg/ha/hari
padi super berdaya hasil tinggi dalam program
pemuliaan padi hibrida super. Tahun 1999 - 2005 secara komersil telah dilepas
34 varietas padi hibrida super dan telah banyak ditanam di Cina, seperti varietas
Xieyou9308 dengan hasil 12.23 ton/ha dan varietas Liangyoupeijiu dengan hasil
12.11 ton/ha.
Salah satu masalah pengembangan padi hibrida adalah tingkat
ekspresi heterosis yang tidak stabil.
Hal ini ditunjukkan dengan tingkat
kehampaan gabah yang masih tinggi dan kerentanan terhadap hama penyakit
utama.
Karakter Morfologi dan Agronomi Padi Varietas Unggul
Morfologi suatu tanaman menggambarkan produktivitasnya. Berdasarkan
hubungan morfologi dan produktivitas tanaman, maka model arsitektur tanaman
digunakan untuk menciptakan suatu tanaman yang ideal. Karakter morfologi
menyangkut bentuk dan struktur tanaman yang merupakan dasar dalam klasifikasi
tanaman dan digunakan sebagai alat untuk mengenal adaptasi tanaman terhadap
12
lingkungan. Padi varietas unggul dengan potensi hasil tinggi memiliki kekhasan
karakter morfologi.
Program perakitan padi varietas unggul banyak menggunakan pendekatan
atau konsep idiotipe tanaman untuk mencapai sasaran potensi hasil tinggi.
Karakter morfologi yang banyak digunakan untuk perakitan varietas padi unggul
dengan kemampuan menghasilkan tinggi adalah batang pendek, daun tegak, dan
jumlah anakan banyak (Yoshida 1981), sedangkan karakter agronomi adalah
tinggi tanaman, kerebahan, umur tanaman, hasil, dan komponen hasil. Menurut
Makarim et al. (2009) pandangan morfologi dan fisiologi untuk mendukung
penanaman padi hasil tinggi masa depan, diperlukan perbaikan internal tanaman
antara lain perbaikan bentuk dan kualitas tajuk, peningkatan pemanfaatan radiasi
surya, perbaikan sifat partisi, penguatan batang tanaman, perbaikan aktivitas
perakaran, dan perbaikan ukuran sink.
Pada perakitan varietas padi hibrida
sistem perakaran, jumlah anakan, jumlah gabah per malai, dan bobot 1000 butir
merupakan karakter sebagai dasar peningkatan hasil (Badan Litbang 2007b).
Perakitan karakter morfologi varietas padi hibrida super dan PTB menggunakan
karakter sifat kanopi daun tegak tinggi, posisi malai lebih rendah, dan malai berat,
tinggi tanaman, posisi tiga daun bagian atas (Yuan 2001; Khush 1999).
Tinggi Tanaman dan Ketahanan terhadap Kerebahan
Hubungan antara tinggi tanaman dengan hasil telah banyak diteliti.
Ternyata varietas berumur pendek tidak selalu berbatang pendek. Varietas
berumur panjang tidak selalu disertai oleh tingginya hasil gabah, sebab hasil
gabah lebih terkait dengan agihan bahan kering atau efisiensi fotosintesis
(Manurung dan Ismunadji 1988).
Pemuliaan untuk potensi hasil melalui
pengembangan varietas semi-dwarf telah dilakukan di Cina pada tahun 1950 dan
oleh IRRI pada tahun 1960 menggunakan gen sd-1 dari Ai-zi-zhan (Huang 2001;
Peng et al. 2008).
Pemulia tanaman di IRRI membuat persilangan untuk
memasukkan gen dwarf dari varietas Taiwan seperti Dee-geo-woo-gen dan
Taichung Native 1, padi IR8 merupakan varietas padi modern semi-dwarf pertama
yang meningkatkan potensi hasil padi sawah dari 6 ton/ha menjadi 10 ton/ha di
daerah tropika (Peng et al. 2008). Dengan demikian tinggi tanaman yang pendek
13
merupakan penciri padi varietas unggul modern, hal ini berkaitan dengan
ketahanan terhadap rebah dan efisiensi partisi biomassa antara gabah dan jerami,
yaitu memiliki indeks panen yang tinggi (Peng et al. 1994).
Tanaman yang tinggi memiliki kelemahan tidak tahan rebah dan indeks
panen yang rendah. Tanaman yang tinggi dengan batang yang lemah akan mudah
rebah, ini menyebabkan pembuluh xylem dan floem menjadi rusak sehingga
menghambat pengangkutan hara dan fotosintat.
Tingginya hasil pada padi
varietas unggul terutama disebabkan oleh ketahanan terhadap kerebahan (Yoshida
1981).
Strategi untuk pendekatan tipe baru tanaman ideal (ideotipe) yang
memakai heterosis intersubspesifik dalam menghasilkan padi varietas hibrida
super dicerminkan dengan ciri secara morfologi untuk tinggi tanaman paling
sedikit 100 cm (Yuan 2001). Pada PTB tinggi tanaman 90 – 100 cm adalah ideal
untuk hasil maksimum, dimana peningkatan produksi biomas dapat dicapai pada
saat radiasi surya tinggi dan suplai N yang cukup (Khush 1999).
Anakan
Jumlah anakan merupakan salah satu sifat utama penting pada varietas
unggul, sistem anakan menjadi salah satu peubah potensi hasil.
Menurut
Abdullah et al. (2008b) jumlah anakan per rumpun yang terlalu banyak akan
mengakibatkan masa masak malai tidak serempak, sehingga menurunkan
produktivitas dan atau mutu beras. Selanjutnya dinyatakan jumlah anakan sedikit
diharapkan malai masak serempak, jika gabah per malai banyak maka masa
pemasakan akan lebih lama sehingga mutu beras menurun atau tingkat kehampaan
tinggi karena ketidakmampuan source mengisi sink. Tanaman bertipe anakan
banyak mampu mengkompensasi rumpun yang mati dan mencapai luas daun
dengan cepat (Yoshida 1981).
Padi inbrida dengan potensi hasil tinggi menghasilkan tipe tanaman
memiliki kapasitas anakan tinggi, jumlah anakan tidak produktif besar dan
mempunyai luas daun berlebihan yang menyebabkan saling menaungi dan
mengurangi kanopi fotosintesis dan ukuran sink dan ini menjadi pembatas utama
pada hasil (Peng et al. 1999). Menurut Yoshida (1981) kapasitas anakan sedang
diperlukan untuk varietas padi berpotensi hasil tinggi. Potensi hasil rendah dapat
14
disebabkan oleh cepatnya pertumbuhan dan indeks luas daun (ILD) melewati
optimum, sebaliknya berhubungan erat dengan kapasitas anakan tinggi.
Jumlah anakan yang lebih banyak merupakan keunggulan karakter
morfologi padi hibrida sehingga memiliki area fotosintesis yang lebih luas (Badan
litbang 2007a), sedangkan tipe tanaman untuk padi hibrida super berdaya hasil
tinggi adalah jumlah anakannya sedang (Yuan 2001). Menurut Khush (1999) padi
varietas modern menghasilkan 20 - 25 anakan pada lingkungan pertumbuhan yang
baik dari anakan tersebut hanya 14 - 15 menghasilkan malai dan sisanya menjadi
anakan tidak produktif. Anakan tidak produktif akan bersaing dengan anakan
produktif untuk menggunakan cahaya dan unsur hara terutama N.
Jumlah anakan PTB generasi pertama yang sedikit merupakan salah satu
penyebab rendahnya hasil. Menurut Peng et al. (2008) kurangnya jumlah anakan
menyebabkan rendahnya produksi biomas sehingga pengisian biji kurang.
Selanjutnya dinyatakan pada pemuliaan PTB generasi kedua kapasitas anakan
ditingkatkan untuk meningkatkan produksi biomas dan untuk memperbaiki
anakan terhadap pengaruh kerusakan dari hama atau lainnya selama tahap
vegetatif.
Khush (1999) menyatakan jumlah anakan untuk PTB adalah sedikit
yaitu 6 – 10, sedangkan yang sesuai untuk kondisi di Indonesia jumlah anakan
sedang tetapi semua produktif (12 - 18 batang) (Abdullah et al. 2008b).
Daun dan Kanopi
Karakter kanopi dan daun meliputi sudut daun, ketebalan daun, warna
daun, dan ILD. Sifat daun untuk padi varietas unggul adalah daun tumbuhnya
tegak, tebal, kecil, pendek dan ini merupakan konsep tipe tanaman untuk
pemuliaan varietas berdaya hasil tinggi (Yoshida 1981).
Daun tegak
memungkinkan penetrasi dan distribusi cahaya lebih besar sampai ke bagian
bawah dan merata, sehingga meningkatkan fotosintesis tanaman. Fotosintesis
tanaman dari kanopi daun tegak sekitar 20% lebih tinggi dibandingkan kanopi
daun terkulai pada kondisi ILD tinggi. Ishii (1995) menyatakan bahwa varietas
padi berdaya hasil tinggi mempunyai kanopi fotosintesis lebih besar, kanopi
fotosintesis ditentukan oleh tiga faktor yaitu kapasitas fotosintesis per unit luas
daun, ILD, dan penyerapan cahaya.
15
Varietas lokal terutama yang tergolong dalam padi jenis indica memiliki
daun yang panjang dan horisontal, sehingga memiliki kanopi daun yang terkulai.
Daun horisontal dan terkulai akan mengurangi penetrasi cahaya, meningkatkan
kelembaban di bawah kanopi daun, dan mengurangi pergerakan udara (Yoshida
1981; Khush 1999).
Hal ini akan menurunkan efisiensi fotosintesis dan
menguntungkan untuk pertumbuhan hama dan penyakit (Peng et al. 1994).
Yoshida (1981) juga menyatakan fotosintesis pada daun terkulai lebih rendah
dibandingkan kanopi daun tegak pada saat intensitas cahaya tinggi.
Karakteristik daun untuk PTB adalah tegak, tebal dan berwarna hijau tua
(Khush 1999).
Daun hijau dan tebal akan lebih lambat mengalami senesen,
sedangkan daun tegak lebih efisien dalam menggunakan cahaya sehingga aktivitas
fotosintesis tinggi. Menurut Abdullah (2008b) PTB harus mempunyai daun yang
tegak, tebal, sempit hingga sedang, berbentuk V, dan berwarna hijau tua.
Karakter ini diperlukan untuk meningkatkan produksi biomas pada PTB.
Varietas hibrida memiliki arsitektur daun yang memungkinkan penetrasi
cahaya tinggi. Varietas hibrida umumnya memiliki daun yang tegak sehingga
ILD-nya tinggi dan mampu menangkap cahaya yang lebih efisien, dan
fotosintesis akan lebih besar ketika daun terbuka untuk cahaya pada kedua sisinya.
Dengan demikian, tanaman akan memiliki sistem fotosintesis yang efisien dan
mampu memproduksi biomassa yang tinggi (Laza et al. 2001). Pada perakitan
varietas padi hibrida super untuk mencapai suatu source besar dari asimilat
esensial untuk hasil super tinggi maka karakter daun terletak pada 3 daun bagian
atas yaitu panjang, tegak, menyempit membentuk V, dan tebal (Yuan 2001).
Umur Tanaman
Tanaman padi biasanya memerlukan 3 – 6 bulan dari perkecambahan
sampai panen tergantung pada varietas dan lingkungan tumbuhnya. Menurut
Yoshida (1981) fase pertumbuhan vegetatif merupakan fase yang menyebabkan
terjadinya perbedaan umur panen, sebab lama fase reproduktif dan pemasakan
tidak dipengaruhi oleh varietas maupun lingkungan.
Umur pertumbuhan tanaman padi optimum untuk hasil maksimum di
tropika sekitar 120 hari dari semai (Khush 1999). Padi varietas tradisional tropika
16
di Asia baik beradaptasi pada musim panas dengan umur tanaman berkisar 160 –
200 hari. Padi unggul lokal di Indonesia seperti varietas Rojolele dan Pandan
Wangi memiliki umur panen panjang yaitu sekitar 155 hari. Varietas unggul baru
mempunyai umur panen yang lebih pendek atau genjah yaitu 105 - 125 hari.
Menurut Yoshida (1981) varietas dengan umur pertumbuhan terlalu pendek
mungkin tidak menghasilkan hasil tinggi oleh karena dibatasi pertumbuhan
vegetatif, dan varietas yang durasi pertumbuhan panjang tidak akan menghasilkan
tinggi oleh karena pertumbuhan vegetatif yang berlebihan.
Periode pertumbuhan padi dapat menjadi penentu hasil tinggi.
Pada
program perakitan padi hibrida super di Cina, untuk mencapai tujuan hasil super
tinggi digunakan kriteria hasil harian per luas. Menurut Yuan (2001) hasil biji
berhubungan erat dengan lamanya pertumbuhan dan hasil absolut varietas
berumur panjang lebih tinggi dibandingkan berumur pendek.
Varietas padi
hibrida super Xieyou9308 memiliki umur panen 150 hari dengan hasil 12.23
ton/ha, sedangkan Liangyoupeijiu dengan umur panen 135 hari hasil rata-rata
yang dicapai adalah 12.11 ton/ha (Peng et al. 2008).
Menurut Khush (1999) lama pertumbuhan PTB berkisar 100 - 130 hari,
sedangkan di Indonesia PTB dengan potensi hasil tinggi harus mempunyai sifat
umur genjah yaitu 110 – 120 hari (Abdullah 2008b). Varietas PTB yang telah
dihasilkan antara lain Fatmawati memiliki umur 105 – 115 hari dan semi PTB
Cimelati berumur 118 - 125 hari (Anonim 2009).
Varietas hibrida memiliki umur panen yang pendek yaitu sekitar 100 - 105
hari, dari pindah tanam hingga panen, atau sekitar 120 hari dari semai sampai
panen. Hasil varietas yang umurnya lebih panjang masih dapat meningkat secara
linear sampai umur 135 hari.
Umur pendek mempunyai keuntungan
membutuhkan air yang lebih sedikit, lebih cepat terhindar dari serangan hama dan
penyakit, serta memungkinkan penanaman dua kali atau pergiliran dengan
tanaman lain (Peng et al. 1994).
Malai
Hanada (1993) membagi varietas padi berdasarkan jumlah malai dan
bobot biji ke dalam tipe malai berat, malai sedang, dan malai ringan.
Varietas
17
padi modern berdaya hasil tinggi mempunyai jumlah malai lebih banyak
dibandingkan varietas padi tradisional (Khush 1999).
Karakteristik
varietas
malai berat memiliki sink besar, source cukup, dan translokasi bahan kering ke
malai dengan kecepatan fotosintesis, translokasi, dan akumulasi asimilat dari
bahan kering ke malai setelah pembungaan tinggi ( Jun et al. 2003).
Untuk mencapai sasaran potensi hasil tinggi pada PTB diperlukan karakter
jumlah malai 330 per m2 dan 150 gabah per malai, (Peng dan Khush 2003: Peng
et al. 2008). Menurut Abdullah et al. (2008b) varietas PTB yang diharapkan
mempunyai potensi hasil 9 - 13 ton/ha harus mempunyai sifat jumlah anakan
produktif 12 – 18, jumlah gabah per malai 150 - 250 butir, persentase gabah
bernas 85 - 95%, dan bobot 1000 gabah bernas 25 - 26 gram.
Model tipe malai yang berat pada padi hibrida menjadi salah satu ukuran
utama untuk pemuliaan padi hibrida super di Cina (Yuan 1998). Karakteristik
tipe tanaman ideal untuk varietas dengan malai berat adalah jumlah malai efektif
per rumpun tanaman adalah 12 – 15; jumlah gabah 180 – 240; tingkat pengisian
biji di atas 85%; bobot 1000 biji 28 – 30 g; bobot gabah per malai lebih dari 4.8 g
(Jun et al. 2006). Keunggulan potensi hasil padi hibrida karena memiliki jumlah
anakan banyak dan jumlah gabah per malai lebih banyak, sedangkan untuk padi
hibrida super berdaya hasil tinggi 15 ton/ha memiliki karakter malai berat yaitu
berat biji per malai 5 g dan jumlah malai 270 – 300 per m2 (Yuan 2001; Yuan et
al. 2003).
Hasil dan Potensi Hasil
Meningkatnya potensi hasil padi dihubungkan dengan meningkatnya
nisbah gabah terhadap jeraminya, karena hal ini mencerminkan agihan bahan
kering yang efisien (Yoshida 1981). Hasil adalah fungsi dari total bahan kering
atau biomas dan indeks panen, sehingga peningkatan potensi hasil padi di daerah
tropika harus diikuti dengan peningkatan produksi biomas total atau indeks panen
(Khush 1999). Peningkatkan biomas sekitar 23 ton dan indeks panen 0.55 akan
menghasilkan hasil biji sekitar 12.5 ton atau peningkatan 25% di atas hasil
varietas unggul modern. Selanjutnya Khush (1999) menyatakan indeks panen
dapat ditingkatkan melalui peningkatan proporsi penyimpanan energi dalam biji
18
atau melalui peningkatan ukuran sink, sedangkan biomasa dapat ditingkatkan
melalui manipulasi genetik dan praktek budidaya yang lebih baik.
Potensi hasil digambarkan sebagai hasil dari suatu varietas yang
beradaptasi pada lingkungan yang sesuai dan tidak terkendala cekaman biotik dan
abiotik (Peng et al. 2008). Potensi hasil padi mempunyai empat komponen yaitu
bobot 1000 biji, jumlah malai per rumpun, jumlah gabah per malai, dan rasio
gabah berisi (Ishimaru et al. 2005). Jumlah biji total, seperti dihitung melalui
jumlah gabah per malai dan jumlah malai per tanaman digunakan sebagai suatu
indeks ukuran sink.
Pada pemuliaan PTB perbaikan potensi hasil telah dicapai pada galur PTB
generasi kedua, peningkatan potensi hasil dilakukan dengan peningkatan jumlah
malai per m-2 dan persentase pengisian biji diperbaiki melalui introduksi gen elite
tetua indica.
Pencapaian peningkatan potensi hasil pada galur PTB generasi
kedua harus memiliki sifat-sifat : jumlah malai 330 per m2, jumlah gabah per
malai 150, pengisian biji 80%, bobot biji 25 mg, biomasa total bagian atas 22
ton/ha, dan indeks panen 50% (Peng dan Kush 2003).
Padi hibrida memiliki keunggulan hasil sekitar 15% di atas varietas inbrida
terbaik. Keunggulan hasil pada padi hibrida ini disebabkan oleh laju pertumbuhan
yang lebih tinggi selama awal stadia vegetatif karena cepatnya pertumbuhan luas
daun. Padi hibrida mempunyai bentuk sink lebih efisien sehubungan dengan
tingkat akumulasi bahan kering pada tahap pembungaan dibanding padi inbrida
(Yang et al. 2007).
Karakter Fisiologi dan Hubungannya dengan Hasil
Beberapa penelitian menggunakan karakter fisiologis untuk mengetahui
hubungannya dengan potensi hasil pada padi varietas unggul. Katsura et al.
(2007); Yang et al. (2007); Zhang et al. (2009) menggunakan karakter fisiologi
durasi luas daun, indeks luas daun (ILD), akumulasi biomas, laju pertumbuhan
tanaman (LPT), dan kandungan karbohidrat.
Fu et al. (2008) menggunakan
karakter fotosintesis seperti laju fotosintesis. konduktansi mesofil, kandungan
klorofil untuk mempelajari peranan fisiologi daun tetap hijau (stay green) pada
padi varietas unggul.
19
Perakitan padi hibrida menggunakan standar heterosis untuk hasil yang
tinggi adalah sifat pada peningkatan produksi bahan kering oleh meningkatnya
ILD dan LPT (Nanda dan Virmani 1999). Keunggulan secara fisiologis padi
hibrida ialah memiliki area fotosintesis lebih luas, intensitas respirasi
lebih
rendah serta translokasi asimilat lebih tinggi sehingga potensi hasilnya lebih tinggi
dibandingkan padi inbrida (Badan Litbang 2007b). Sink dan source yang lebih
besar adalah prasyarat untuk padi hibrida super (Yuan 2001).
Karakter Fotosintesis
Produksi tanaman tergantung pada ukuran dan efisiensi sistem fotosintesis.
Menurut Yoshida (1981) karakter fotosintesis yang dihubungkan dengan
komponen hasil merupakan persyaratan untuk potensi hasil tinggi.
Akita (1995)
menyatakan bahwa varietas padi berdaya hasil tinggi mempunyai kanopi
fotosintesis yang lebih besar yang dapat menyebabkan laju fotosintesis yang
tinggi menghasilkan produksi biomassa yang tinggi. Selanjutnya menurut Ishii
(1995) kanopi fotosintesis ditentukan oleh tiga faktor yaitu kapasitas fotosintesis
per luas daun, ILD, dan efisiensi penyerapan cahaya. Varietas padi berdaya hasil
tinggi mempunyai sistem asimilasi yang baik dengan terdapatnya tiga karakter
daun tebal berukuran kecil, posisi tegak, dan susunan daun terkumpul dalam
individu tanaman. Varietas lokal atau tradisional memiliki laju fotosintesis yang
rendah karena karakter morfologi daun terkulai, ILD rendah, kandungan N daun
rendah. Laju fotosintesis yang rendah menyebabkan produksi biomas rendah,
ukuran sink dan source rendah, sehingga padi lokal memiliki potensi hasil yang
rendah.
Kapasitas sink merupakan produk dari jumlah gabah per unit area (ukuran
sink) dan ukuran gabah tunggal, yang menunjukkan kapasitas potensial dari
tempat yang menerima asimilat selama fase pengisian biji.
Ishii (1995)
menyatakan kapasitas sink dipengaruhi oleh fotosintesis yang menyediakan
asimilat untuk diferensiasi dan pertumbuhannya. Fotosintesis pada tanaman padi
selama periode pengisian biji menyumbang 60 - 100% terhadap kandungan
senyawa karbon biji akhir.
Sisanya disusun dari remobilisasi cadangan
karbohidrat dalam daun dan batang yang diakumulasi sebelum pembungaan
20
(Yoshida 1981). Keterbatasan dan ketidakmampuan tanaman untuk translokasi
asimilat selama pengisian biji menyebabkan kegagalan dalam pengisian biji.
Untuk mencapai potensi hasil, maka aktivitas metabolik pengisian biji harus
bersamaan dengan aktivitas maksimum dari daun (source) dan daun dapat
memelihara fotosintesis dengan baik selama pengisian biji (Murchie et al. 2002) .
Menurut Yoshida (1981) konstribusi cadangan karbohidrat non struktural
(KNS) sebelum pembungaan terhadap hasil biji akhir sekitar 30%. Pada padi
ukuran biji akhir berhubungan erat dengan jumlah sel endosperm yang dikontrol
oleh suplai substrat selama pembentukannya, jumlah akhir sel endosperm
ditentukan sekitar 10 hari setelah pembungaan (Horie 2001).
Produksi
fotosintesis selama 10 hari awal pengisian biji biasanya tidak mencukupi untuk
mendukung kebutuhan karbohidrat untuk semua gabah dalam satu malai untuk
berkembang penuh, dan terlebih pada padi dengan kapasitas sink besar. Hal ini
menunjukkan laju pertumbuhan tanaman lebih tinggi selama setengah dari akhir
periode reproduktif sehingga
memungkinkan akumulasi karbohidrat non
struktural (KNS) lebih banyak yang akan berkonstribusi terhadap peningkatan
persentase pengisian biji.
Aktivitas sink gabah ditentukan sebelum berbunga oleh suplai karbohidrat
untuk perkembangan sekam dan butir tepung sari (pollen grain). Horie et al.
(2003) menyatakan dengan terbatasnya suplai karbohidrat untuk gabah selama
perkembangannya akan meningkatkan jumlah gabah cacat yang menjadi infertil
atau biji berisi setengah. Nitrogen tanaman yang berlebihan dan berkurangnya
kandungan karbohidrat sekitar meiosis menghasilkan perkembangan butir tepung
sari abnormal yang menyebabkan gabah steril. Ini mungkin salah satu penyebab
kurangnya pengisian biji pada galur padi tipe baru.
Padi hibrida dengan keunggulan hasil sekitar 15% dibanding inbrida
(Yuan 1998) mempunyai struktur kanopi ideal, batang besar, dan luas daun besar;
juga menyimpan sejumlah besar karbohidrat non struktural sebelum pembungaan
(Wang et al. 2002; Laza et al. 2001). Yang et al. (2007) melaporkan bahwa
varietas hibrida mempunyai daun tegak dan vigor akar terpelihara dan tingkat
fotosintesis netto tinggi sampai tahap pengisian biji.
21
Produksi Bahan Kering/ Biomas
Hasil tanaman adalah proses akumulasi dan distribusi bahan kering. Total
hasil bahan kering terutama ditentukan oleh kanopi fotosintesis, dimana kanopi
setiap tipe varietas padi berbeda.
Hasil penelitian menyatakan pentingnya
produksi bahan kering (biomas) setelah pembungaan untuk hasil tinggi (Murchie
et al. 2002), sedangkan penulis lain menyatakan pentingnya akumulasi biomassa
sebelum pembungaan (Horie et al. 2003; Takai et al. 2006). Menurut Horie
(2001) produksi biomassa selama setengah dari akhir periode reproduktif dari padi
nyata berpengaruh terhadap hasil akhir; terdapat hubungan yang nyata antara
LPT pada periode reproduktif lambat dan hasil biji pada padi. Wu et al. (2008)
menyatakan akumulasi bahan kering dari fase pemanjangan sampai pembungaan
secara positif berkorelasi dengan akumulasi selama tahap pengisian biji dan secara
nyata berpengaruh terhadap hasil biji.
Hasil penelitian Yang et al. (2007) yang membandingkan hasil dan sifat
komponen hasil antara tiga golongan padi yaitu indica inbrida, indica F1 hibrida
dan generasi kedua PTB menunjukkan bahwa hasil rata-rata padi hibrida lebih
tinggi 11 - 14% dibanding inbrida dan PTB pada musim kemarau. Hasil tinggi
pada hibrida disebabkan oleh indeks panen dan biomas total pada tahap
pemasakan lebih tinggi dibandingkan inbrida dan PTB. Padi hibrida mempunyai
laju pertumbuhan yang lebih tinggi selama tahap awal vegetatif yang
menghasilkan penambahan luas daun cepat dan mempunyai bentuk sink lebih
efisien
sehubungan dengan tingkat akumulasi bahan kering pada tahap
pembungaan (Yang et al. 2007). Menurut Laza et al. (2001) padi hibrida dapat
memelihara persentase pengisian biji secara relatif tinggi dari sejumlah besar
gabah yang terbentuk, meskipun persentase gabah isi masih rendah. PTB tidak
menunjukkan keunggulan hasil di atas hibrida dan indica inbrida karena PTB
tidak menunjukkan produksi biomassa yang lebih tinggi atau indeks panen
dibanding hibrida dan indica inbrida (Yang et al. 2007). Hal ini menunjukkan
secara fisiologis padi hibrida memiliki potensi hasil lebih tinggi karena
peningkatan dalam indeks panen dan mempunyai ukuran source lebih besar
dibandingkan PTB dan inbrida indica.
22
Upaya Peningkatan Produktivitas Padi Varietas Unggul
Optimalisasi produktivitas padi merupakan salah satu upaya untuk
mencapai potensi hasil padi varietas unggul. Potensi hasil dibatasi oleh faktor
lingkungan dan sifat genetik tanaman dan tercapai bila semua faktor berada pada
kondisi optimal. Senjang hasil yang tinggi antara potensi hasil dan hasil aktual
banyak disebabkan oleh berbagai kendala selain faktor iklim, yaitu faktor
teknologi budidaya. Optimalisasi produktivitas dapat dicapai melalui penerapan
teknologi budidaya yang sesuai dengan karakter morfologi dan fisiologi tanaman
serta agroekologinya. Menurut Yoshida (1981) adanya pengetahuan fotosintesis
tanaman, unsur hara, dan komponen hasil menunjukkan berbagai persyaratan
secara fisiologi untuk hasil padi yang lebih tinggi.
Untuk meningkatkan produktivitas padi varietas unggul dapat dilakukan
melalui teknologi budidaya yang tepat
seperti pengaturan jarak tanam dan
pengelolaan hara N. Jarak tanam dan aplikasi N adalah dua faktor utama yang
mempengaruhi pertumbuhan luas daun, sehingga tanaman mempunyai ILD
optimum yang memungkinkan fotosintesis maksimum. Jarak tanam menentukan
jumlah tanaman per unit luas lahan, aplikasi N dan jarak tanam mempengaruhi
rata-rata ukuran daun dan kemampuan pembentukan anakan (Yoshida 1981).
Jarak Tanam
Pengaturan jarak tanam pada dasarnya usaha untuk memberikan
kemungkinan bagi tanaman tumbuh dengan baik, tanpa banyak mengalami
persaingan dalam pengambilan air, unsur hara dan cahaya. Pengaturan jarak
tanam yang optimum bertujuan untuk meningkatkan hasil per satuan luas karena
berkaitan erat dengan kemampuan tanaman, terutama dalam pemanfaatan cahaya
matahari untuk aktivitas fotosintesis.
Menurut William dan Joseph (1976)
pengaturan jarak tanam akan berpengaruh terhadap populasi tanaman, persaingan
antara tanaman dalam memanfaatkan cahaya, ruangan, air, dan unsur hara.
Selanjutnya dinyatakan bahwa penentuan jarak tanam ditentukan antara lain oleh
kemampuan tanaman membentuk anakan, kedudukan daun, dan umur panen.
Berdasarkan konsep tipe tanaman, kapasitas anakan merupakan salah satu
karakter penting pada varietas padi berdaya hasil tinggi. Menurut Yoshida (1981)
23
pada kisaran jarak tanam dari 10 cm x 10 cm sampai 50 cm x 50 cm, kapasitas
pembentukan anakan mempengaruhi hasil biji suatu varietas. Selanjutnya
dinyatakan pada varietas dengan pembentukan anakan rendah, hasil biji
meningkat dengan menurunnya jarak tanam sampai 10 cm x 10 cm. Varietas
dengan pembentukan anakan tinggi hasil biji mencapai maksimum pada jarak
tanam 20 cm x 20 cm. Tanaman bertipe anakan banyak cocok untuk berbagai
keragaman jarak tanam dan mencapai luas daun dengan cepat (Yoshida 1981).
Kapasitas pembentukan anakan sedang dipertimbangkan untuk perakitan
varietas padi berdaya hasil tinggi (Kush 1999; Yoshida 1981; Peng et al. 1994).
Hal ini untuk pencapaian ILD optimal yang berhubungan dengan asimilasi,
respirasi, dan laju produksi bahan kering.
Menurut Yoshida (1981) dalam
keadaan populasi tetap ILD ditentukan oleh jumlah anakan sehingga ILD optimal
tergantung pada cara pengaturan dan posisi anakan. Padi memiliki ILD optimal
antara 4 - 7. Pada tingkat ILD tententu tanaman dapat mencapai kecepatan
pertumbuhan maksimum (hasil fotosintesis bersih mencapai maksimum) dan
keadaan ini tercapai apabila tidak ada daun yang pertumbuhannya tergantung dari
daun lainnya. Peningkatan ILD selanjutnya justru akan mengakibatkan
menurunnya hasil fotosintesis bersih yang disebabkan oleh peristiwa saling
menaungi antara daun satu dengan yang lainnya, dan pada klimaksnya akan
mencapai ILD maksimum yang menyebabkan nilai LPT menurun (Gardner et al.
1991).
Sejalan dengan proses pertumbuhan tanaman, jumlah daun akan terus
meningkat sehingga total luas daun akan terus meningkat. Welles dan Norman
(1991) menyatakan bahwa ILD, bentuk daun, sudut inklinasi daun, kerapatan dan
distribusi daun, serta bentuk batang mempengaruhi penyerapan sinar matahari
oleh kanopi tanaman. Peningkatan luas daun akan meningkatkan ILD sehingga
memungkinkan peningkatan kegiatan fotosintesis yang akan mempengaruhi
percepatan pertumbuhan tanaman (Gardner et al. 1991;
1995).
Salisbury dan Ross
Pada awal pertumbuhan peningkatan ILD akan diikuti oleh percepatan
pertumbuhan tanaman.
Hal ini terjadi karena kanopi belum terlalu rimbun.
dengan demikian masing-masing helai daun masih dapat menerima sinar matahari
secara penuh untuk melakukan fotosintesis. Welles dan Norman (1991)
24
menyatakan bahwa salah satu penentu efektifitas pemanfaatan sinar matahari oleh
tanaman adalah kanopi melalui pengaruhnya terhadap intersepsi sinar matahari.
Terdapat hubungan antara laju pertumbuhan tanaman dengan umur dan
jarak tanam. Semakin lebar jarak tanam semakin meningkat LPT sejalan dengan
bertambahnya umur tanaman.
Ini terjadi karena meningkatnya kanopi antar
tanaman sejalan dengan bertambahnya umur tanaman dan bertambahnya populasi
akibat jarak tanam yang dipersempit.
Yoshida (1981) menyatakan bahwa
terjadinya kompetisi kanopi karena saling menaungi (mutual shading)
menyebabkan penurunan fotosintesis akibat berkurangnya penerimaan sinar oleh
masing-masing permukaan daun.
Terdapat 2 model jarak tanam padi yaitu model tegel dan legowo. Jarak
tanam legowo dengan jarak tanam yang sama mempunyai populasi tanaman lebih
banyak 33% - 60% dibanding jarak tanam tegel sehingga hasil gabah diperkirakan
akan lebih banyak. Jarak tanam padi hibrida model tegel dapat menggunakan
jarak tanam 20 cm x 20 cm sampai 25 cm x 25 cm, model legowo 2:1. 3:1 dan 4:1
dengan jarak tanam 10 cm – 12.5 cm dalam baris dan 12.5 cm – 25 cm antar baris
(Badan Litbang 2007b). Jarak tanam yang diterapkan dalam pengelolaan tanaman
terpadu (PTT) untuk sistim tegel pada VUB atau PTB adalah 20 cm x 20 cm dan
padi hibrida 25 cm x 25 cm, sedangkan model legowo 4:1 dengan jarak tanam 10
cm x 20 cm atau legowo 2:1 dengan jarak tanam 10 cm x 20 cm (Badan Litbang
2007a).
Pengelolaan Hara Nitrogen
Karakter fisiologi dari padi varietas unggul adalah sangat responsif
terhadap pemupukan, terutama pemupukan N. Suatu tingkat hasil optimum dapat
tercapai hanya bila hara dalam jumlah yang sesuai diberikan pada waktu yang
tepat untuk memenuhi kebutuhan tanaman selama pertumbuhannya (Witt et al.
2007).
Kandungan hara tanaman padi
berbeda setiap tahap pertumbuhan.
Penyerapan unsur hara dipengaruhi oleh iklim, sifat tanah, jumlah dan tipe pupuk
yang diberikan, varietas, dan metode budidaya (Yoshida 1981). Berdasarkan
spesies tanaman, tahap perkembangan, dan organ maka kandungan N yang
diperlukan untuk pertumbuhan optimal berkisar antara 2 – 5 % dari bobot kering
25
tanaman (Marschner 1995). Pada tanaman padi untuk menghasilkan 1 ton bobot
padi di daerah tropika diperlukan sekitar 19 – 24 kg N dengan rata-rata 20.5 kg N
(Yoshida 1981). Untuk memenuhi kebutuhan pupuk N menurut Buresh et al.
(2006) dapat diperhitungkan dari pengaruh pupuk N terhadap hasil biji dan target
efisiensi penggunaan pupuk N.
Peranan Nitrogen
Nitrogen berfungsi meningkatkan tinggi tanaman, jumlah anakan, ukuran
daun, jumlah bulir per malai, persentase gabah isi pada malai, dan kandungan
protein gabah (Fairhurst et al. 2007).
Nitrogen merupakan bahan penting
penyusun asam amino, amida, nukleotida, nukleoprotein, serta esensial untuk
pembelahan dan pembesaran sel (Gardner et al. 1991). Defisiensi N membatasi
pembesaran dan pembelahan sel, sehingga mengganggu proses pertumbuhan dan
menyebabkan tanaman kerdil, menguning, dan berkurangnya hasil panen berat
kering (Marschner 1995).
Menurut Yoshida (1981) tanaman padi yang
mengalami defisiensi N menyebabkan resistensi stomata daun, terutama daun
yang lebih rendah, meningkat secara tajam ditunjukkan dengan penutupan
stomata. Hal ini dihubungkan dengan menurunnya kecepatan fotosintesis.
Kandungan N pada bagian vegetatif pada umumnya tinggi pada fase
pertumbuhan awal dan menurun menjelang pemasakan, dan kandungan N lebih
tinggi pada malai dibanding pada jerami (Yoshida 1981). Suplai N yang cukup
berkaitan dengan aktivitas fotosintesis yang tinggi, pertumbuhan vegetatif yang
pesat, dan warna daun hijau gelap.
Menurut Marschner (1995) suplai N
mempengaruhi penggunaan karbohidrat dalam tanaman, bila suplai N rendah
maka karbohidrat akan diakumulasikan dalam sel-sel vegetatif yang menyebabkan
sel-sel vegetatif menebal. Bila karbohidrat diakumulasi dalam bagian vegetatif
lebih sedikit akan lebih banyak protoplasma yang terbentuk dan karena
protoplasma ini sangat terhidrasi maka dihasilkan tanaman yang lebih sukulen.
Fase Pertumbuhan Tanaman Padi dan Kebutuhan Nitrogen
Pertumbuhan tanaman padi dari stadia berkecambah sampai panen
memerlukan waktu 3 - 6 bulan tergantung pada varietas dan lingkungan tempat
26
tumbuh.
Yoshida (1981) membagi pertumbuhan padi menjadi 3 bagian yakni
fase vegetatif, reproduktif, dan pemasakan. Murayama (1995) membagi proses
pertumbuhan padi ke dalam fase pertumbuhan vegetatif dan reproduktif, fase
pertumbuhan reproduktif dibagi dalam dua tahap yaitu sebelum dan sesudah
pembungaan. Fase vegetatif meliputi pertumbuhan tanaman tanaman dari mulai
berkecambah sampai dengan inisiasi primordia malai; fase reproduktif dimulai
dari inisiasi primordia malai sampai berbunga (heading) dan fase pemasakan
dimulai dari berbunga sampai masak panen.
Fase pertumbuhan vegetatif dicirikan oleh pembentukan akar dan anakan
aktif, anakan bertambah dengan cepat, peningkatan tinggi tanaman, dan daun
tumbuh secara regular (Yoshida 1981; Murayama 1995).
Anakan aktif ditandai
dengan pertambahan anakan yang cepat sampai tercapai anakan maksimal. Fase
tumbuh dari anakan maksimal sampai inisiasi malai disebut vegetatif-lag phase.
Setelah anakan maksimal tercapai sebagian anakan akan mati dan tidak
menghasilkan malai, anakan tersebut dinamakan anakan yang tidak efektif.
Menurut Yoshida (1981) status unsur hara dan suplai karbohidrat merupakan
faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan anakan. Selanjutnya Buresh et al.
(2006) menyatakan tanaman padi yang masih muda sebelum pembentukan anakan
aktif hanya memerlukan pupuk N dalam jumlah sedang. Pada fase pertumbuhan
vegetatif ini unsur hara N secara aktif diserap untuk memproduksi protein. Pada
fase ini fotosintat meningkat secara cepat, protein secara cepat disintesis yang
berperanan untuk mempercepat pembentukan anakan dan memperluas luas daun
(Murayama 1995).
Fase reproduktif ditandai dengan memanjangnya beberapa ruas teratas
pada batang, berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting, dan
pembungaan (Yoshida 1981).
Menurut Murayama (1995) fase pertumbuhan
reproduktif dimulai dengan diferensiasi primordia malai. Inisiasi primordia malai
biasanya dimulai 30 hari sebelum pembungaan. Stadia inisiasi hampir bersamaan
dengan memanjangnya ruas yang terus berlanjut sampai berbunga, sehingga fase
reproduktif disebut juga stadia pemanjangan ruas. Pada tahap pertumbuhan malai
muda akan terjadi kompetisi untuk fotosintat antara malai dan bagian lain secara
khusus batang dan pelepah daun. Menurut Yoshida (1981) untuk hasil tinggi
27
diperlukan tingkat N daun untuk aktivitas fotosintesis tinggi. Pemberian N saat
20 hari sebelum berbunga mempunyai efisiensi tinggi, karena periode ini
bertepatan dengan pertumbuhan aktif dari malai muda sebelum pembungaan.
Aplikasi pemupukan akhir N pada saat pembentukan malai menyebabkan
N yang diabsorbsi pada periode ini secara efisien digunakan untuk meningkatkan
jumlah gabah dan ukuran malai. Pengaruh lain pemupukan akhir N terhadap hasil
ialah fotosintesis akan terus aktif selama pemasakan (Yoshida 1981). Menurut
Tanaka et al. (1995) N yang diabsorbsi pada saat pembentukan malai
menyebabkan
daun tetap hijau setelah pembungaan dan dengan demikian
menambah aktif fotosintesis untuk produksi biji.
Fase pemasakan merupakan tahap pembentukan jaringan endosperm yang
diikuti pembentukan embrio dan akumulasi bahan cadangan dalam jaringan
(Tanaka et al. 1995). Fase ini dibagi dalam beberapa tahap yaitu masak susu,
masak tepung, masak kuning, dan tua (Yoshida 1981; Murayama 1995). Fase ini
dicirikan oleh terjadinya pengisian biji pada malai dan senesen daun, batang dan
akar, serta terjadi peningkatan pertumbuhan ukuran, bobot, dan perubahan warna
biji. Tanaka et al. (1995) menyatakan bahwa pada fase pemasakan membutuhkan
suatu jumlah N yang tepat. Ketersediaan N rendah dapat menurunkan bobot biji
karena menurunnya kapasitas fotosintesis. Penyerapan N setelah pembungaan
akan dianggap suatu peningkatan penting ketika hasil tinggi ditentukan oleh
peningkatan indeks panen (Yoshida 1981).
Yang et al. (1999) menyatakan bahwa jumlah total penyerapan N pada
padi hibrida lebih besar dibanding varietas lokal, sekitar 15 - 20% dari jumlah
total N diakumulasi setelah pembungaan. Padi hibrida merespon baik terhadap
aplikasi akhir N pada saat berbunga. Efisiensi N yang lebih besar pada padi
hibrida karena kemampuan yang lebih besar dalam absorbsi N akar, penggunaan
N tunas, dan efisiensi remobilisasi N.
Kebutuhan N yang terbesar adalah antara pembentukan anakan aktif dan
stadia pembentukan malai yang merupakan fase kritis. Pemberian pupuk N harus
dapat memenuhi kebutuhan pada fase tersebut. Untuk efektivitas dan efisiensi
penggunaan pupuk N dapat dibagi dalam beberapa dosis disesuaikan dengan
kebutuhan selama masa pertumbuhan tanaman dan ketersediaan hara dalam tanah
28
(Buresh et al. 2006; Witt et al. 2007).
Menurut Badan Litbang (2007a).
berdasarkan komponen teknik pengelolaan tanaman terpadu (PTT) pemupukan N
berdasarkan bagan warna daun (BWD) dapat dilakukan melalui dua cara yaitu
waktu tetap dan pemberian pupuk berdasarkan nilai pembacaan BWD yang
sebenarnya. Untuk kondisi di Indonesia disarankan untuk menggunakan waktu
tetap.
Witt et al. (2007) menyatakan bahwa
pemberian pupuk N dengan
pendekatan waktu tetap yaitu berdasarkan stadia pertumbuhan, kebutuhan pupuk
N total (kg/ha), frekuensi, dan waktu pemberian sesuai tahap pertumbuhan
tanaman, musim tanam, varietas yang digunakan, dan teknik budidaya.
Pembagian dosis pupuk N dengan kenaikan hasil di atas plot tanpa N adalah 4
ton/ha maka untuk padi inbrida dibutuhkan dosis N sebagai pupuk dasar 45 kg
N/ha, anakan aktif 25 - 60 kg N/ha, dan primordia 35 - 60 kg N/ha; padi hibrida
dosis N sebagai pupuk dasar 45 kg N/ha, anakan aktif 25 - 60 kg N/ha, primordia
35 - 60 kg N/ha, dan awal pembungaan 20 kg N/ha; padi tipe malai besar dosis N
sebagai pupuk dasar 50 kg N/ha, anakan aktif 25 - 45 kg N/ha, primordia 35 - 60
kg N/ha, dan awal pembungaan 25 kg N/ha.
Download