Press Release Diskusi Kebangsaan Volume 2_NET

advertisement
Press Release dan Catatan Notulensi
DISKUSI KEBANGSAAN AIPSSA VOLUME 2
“Mitigation and Adaptation of Catastrophe in Indonesia”
Perth, 1 Maret 2014
The Association of Indonesian Postgraduate Students and Scholars in Australia (AIPSSA) kembali
menggelar diskusi kebangsaan sebagai komitmen organisasi untuk dapat memberikan kontribusi kepada
bangsa dalam wujud pemikiran dalam upaya pemecahan masalah kebangsaan. Bertempat di Aula Konsulat
Jenderal RI di Perth dan didukung maskapai Garuda Indonesia, diskusi kebangsaan ke-2 tahun 2014 ini
mengambil tema manajemen kebencanaan berjudul “Mitigation and Adaptation of Catastrophe in
Indonesia”.
Diskusi hangat dan kaya gagasan ini mengalir dari lima pembicara utama, termasuk tema sistem manajemen
kebencanaan di Australia dari pakar Australia. Margaret Quirk, MLA (Member of Legislative Assembly of
Western Australia/ Shadow Minister for Emergency Services; Bushfire Preparedness; Citizenship and
Multicultural Interests; Seniors, Ageing and Volunteering; Heritage) dan Lloyd Bailey (Deputy
Commissioner Operations, Department of Fire & Emergency Services of Western Australia) memperkaya
khazanah dan kualitas solusi yang ditawarkan AIPSSA.
Diskusi yang dipandu oleh moderator Abid Halim (Curtin University/ Universitas Negeri Gorontalo) juga
menghadirkan pembicara dari kalangan akademisi dan professional Indonesia, terdiri dari Leni Maryouri
(Curtin University/ Direktur PT. Megapolitan Smart Services Jakarta), Dwiko Budi Permadi (The University
of Western Australia/ Universitas Gadjah Mada) dan Moch dan Moch. Abdul Khobir (Curtin University/
Departemen Keuangan RI). Merekalah bagian dari kaum intelektual muda Indonesia yang memiliki dedikasi
tinggi kepada bangsa dan negara melalui sumbangsih pemikiran-pemikiran yang luar biasa brilian.
Prayudhi Azwar, Presiden AIPPSA, dalam sambutannya, menjelaskan bahwa dialog kebangsaan ini wujud
kepedulian AIPSSA yang konkrit terhadap tanah air, sekaligus wadah pertukaran gagasan antara
cendikiawan Indonesia dan Australia. Dialog kebangsaan volume kedua ini dilandasi semangat kuat untuk
belajar dan berbagi pengalaman tentang mitigasi dan adaptasi bencana di Indonesia, terutama bencana yang
berdampak besar seperti tsunami, gempa bumi, banjir, dan erupsi gunung berapi.
Presiden AIPSSA memuji kebesaran jiwa bangsa Indonesia sebagai pribadi-pribadi luar biasa, terutama
dalam kemampuan bertahan saat terkena bencana. Namun demikian, Presiden AIPSSA menekankan pada
pentingnya membangun sistem ketahanan bencana yang komprehensif, sehingga Indonesia lebih sistematis
dalam mengantisipasi, cepat dalam merespon dan mampu memitigasi serta memulihkan kondisi masyarakat
pasca bencana.
Konsulat Jenderal RI, melalui wakil pemerintah Indonesia di Australia Barat, Bapak Rosihan Saragih
menyatakan apresiasi tinggi diskusi seperti ini dapat berlangsung di Australia. Beliau menekankan isu
bencana ini penting dan tepat menjadi bahasan di saat Ibu Pertiwi sedang dilanda bencana alam secara
bertubi-tubi. Dalam waktu yang hampir bersamaan, lima provinsi di Indonesia harus menangani lima
bencana dengan tipikal yang berbeda meliputi erupsi gunung berapi, banjir bandang dan kabut asap.
Bencana tersebut sebagian diluar kekuasaan manusia, namun sebagian lahi timbul akibat kelalaian manusia.
Karena itu, Bapak Rosihan Saragih mengharapkan terjadi peningkatan pemahaman mitigasi bencana dan
diskusi menawarkan solusinya. Disamping itu, pengalaman-pengalaman negara lainnya seperti Australia
dalam membangun postur kelembagaan, kesiapan masyarakat dan pemanfaatan teknologi untuk menghadapi
bencana dapat digali.
Margaret Quirk, MLA menjelaskan sistem kebencanaan di Australia Barat ditopang oleh kemauan politik
dari politisi di parlemen. Ruang dan saluran politik yang kuat menjadi factor yang memperkuat sistem
manajemen kebencanaan. Kemampuan menyelesaikan akar permasalahan menjadi kunci. Penanganan
bencana adalah tanggung jawab semua pihak. Pemerintah sebagai satu-otoritas dan masyarakat luas samasama bertanggung jawab atas antisipasi dan penanganan bencana.
Beliau menggaris bawahi bebeapa hal yang dipersiapkan dalam manjemen kebencanaan di Australia.
Pertama, rencana penanganan untuk setiap bencana. Hal ini dikarenakan setiap bencana memiliki tipikal,
masyarakat terdampak dan sebaran geografi yang berbeda. Identifikasi dari masyarakat paling rentan
merupakan suatu kewajiban, disamping menyiapkan badan penanggulangan bencana dan penyiapan sumber
daya. Kedua, pembangunan sistem komunikasi multilayer yang mampu saling menopang dalam keadaan
kritis. Karena itu, sistem komunikasi radio dan sistem komunikasi tradisional lain perlu dipersiapkan. Social
media semakin menjadi sarana diseminasi informasi yang vital saat situasi bencana. Ketiga, sistem
perencanaan finansial dalam manajemen bencana harus matang, meliputi pembiayaan publik dan
pembiayaan privat melalui asuransi. Keempat, penggunaan teknologi dalam pembangunan sistem peringatan
dini dan pembangunan model prediksi merupakan suatu keharusan untuk dapat mengurangi resiko bencana.
Kelima, pemerintah, swasta, NGO dan semua pihak yang terlibat harus terintegrasi berdasarkan fungsi dan
kewenangan yang dimiliki.
Sementara itu, Llyod Bailey membagikan pengalamannya menangani kebencanaan secara nasional dan
internasional. Beliau mengingatkan bahwa sistem layer dan sistem integrasi manajemen kebencanaan di
Australia. Sistem ini sebagiannya mirip dengan sistem di Indonesia, dimana sistem berjenjang diberlakukan
untuk setiap level dampak bencana. Yang berbeda adalah kecepatan transmisi instruksi dari pusat ke daerah
dan sistem integrasi antar negara bagian dalam hal pemerintah pusat dapat mengambil keputusan.
Lebih lanjut, Mr. Bailey menegaskan ketahanan masyarakat lokal merupakan hal yang terpenting.
Ketahanan ini ditentukan pemahaman dan pendidikan mengenai resiko bencana, termasuk apa yang perlu
dilakukan disaat kritis, pengembangan sistem jaringan komunitas lokal, pengurangan resiko bencana melalui
pengaturan lingkungan dan peningkatan kapasitas menghadapi bencana. Pengalaman bencana di masa lalu
adalah aset, sebagai guru terbaik dalam mempersiapkan manajemen bencana dan membangun komunitas
yang mempunyai kekuatan bertahan yang lebih baik.
Pembicara ketiga, Leni Maryouri, memaparkan solusi banjir dan konsepsi pencegahan banjir, khususnya di
wilayah Jakarta dan sekitarnya. Pembicara mengidentifikasikan beberapa hal yang menjadi akar
permasalahan dari banjir di Jakarta meliputi struktur jaringan drainase yang tidak terstruktur, manajemen
pengolahan sampah, ruang terbuka hijau, perumahan illegal, perubahan penggunaan lahan, sedimentasi dan
infrastruktur pengendalian banjir.
Pemerintah sebetulnya tidak tinggal diam dalam menangani banjir dan telah menjalankan program jangka
pendek dan membahas rencana penanganan jangka menengah dan panjang. Rencana jangka pendek
disiapkan sebagai langkah mitigasi strategis yang dapat dijalankan dengan cepat dan sederhana antara lain
pembangunan sumur resapan pada tiap satuan rumah, normalisasi sungai dan integrasi antar jaringan
drainase. Rencana jangka menengah meliputi relokasi permukiman illegal, deep tunnel, optimasi sistem
informasi yang memungkinkan interaksi dua arah dengan masyarakat, implementasi asuransi bencana,
peningkatan kesadaran masyarakat dalam hal manajemen persampahan dan kontrol penggunaan air tanah.
Untuk rencana jangka panjang, outer flood canals dengan jari-jari 30 kilometer dari pusat kota akan
dibangun dan didesain akan mampu menampung dua kali volume air limpahan di banjir kanal timur.
Pembicara juga mendorong kajian asuransi bencana skala nasional dan multiyear untuk mengatasi
keterbatasan anggaran bencana
Dwiko Budi Permadi memaparkan bagaimana alih fungsi lahan menjadi sebab terjadinya bencana kabut asap
yang juga berdampak kepada negara tetangga. Bencana ekologi terjadi akibat ketidakharmonisan sistem
lingkungan dengan proses dasar ekosistem. Fakta-fakta mengenai bencana kabut asap secara tidak langsung
memberikan sinyal bahwa kesalahan dan kelalaian manusia sebagai penyebab utama bencana ini.
Fakta menunjukkan bahwa 140 ribu hektar lahan terbakar yang sebagian besar merupakan perkebunan skala
besar. Jumlah titik api meningkat dari tahun ke tahun terutama pada lahan gambut. Dalam lima tahun
terakhir, perubahan pola titik api bergeser dari yang semula terkonsentrasi pada lahan HT, saat ini menyebar
pada lahan masyarakat skala kecil. Konversi lahan yang menurunkan kemampuan tanah menjadi akar
permasalahan dari kabut asap. Konflik tata ruang telah diidentifikasi menjadi akar permasalahan bencana,
terutama kabut asap. Konflik ini meliputi konflik masyarakat, kolusi dan korupsi peruntukan lahan,
ketiadaan database yang komprehensif, ekspolitasi sumber daya secara illegal, lemahnya pengawasan,
konflik pusat-daerah dan konflik sektoral. Dalam refleksinya, pembicara menutup bahwa bencana kabut
asap menjadi indikasi yang kasat mata bahwa pembangunan di Indonesia belum berkelanjutan.
Sesi terakhir dari diskusi kebangsaan ini menawarkan solusi pembiayaan dalam mitigasi bencana. Moch.
Abdul Khobir memaparkan pemikirannya melalui presentasi berjudul “Penanggulangan bencana dalam
APBN dan alternatif solusinya”. Pemikiran ini didasarkan pada postur APBN yang sangat kecil untuk
penanggulangan bencana. Alokasi dana yang hanya 7 triliun tiap tahun dirasakan masih belum mencukupi
kebutuhan yang ditaksir oleh BNPB mencapai 30 triliun.
Idealnya, penanggulangan bencana perlu dialokasikan dana senilai 18.4 triliun dan masuk dalam prioritas
penganggaran. Kelemahan lain struktur APBN dalam penanggulangan bencana saat ini adalah anggaran
kebencanaan dialokasikan kepada badan/kementerian/instansi terkait bukan secara khusus dialokasikan
melalui BNPB.
Berdasarkan tingginya pembiayaan penanggulangan bencana, maka timbul ide pembiayaan penanggulangan
bencana melalui asuransi bencana dimana pengelolaan oleh pemerintah dan dilakukan oleh perusahaan besar
asuransi. Dalam model ini, pemerintah akan membayar premi kepada perusahaan asuransi. Namun
demikian, masih terdapat permasalahan dalam pelaksanaan sistem ini menyangkut landasan hukum seperti
situasi ketika pemerintah harus tetap membayar premi dimana bencana tidak terjadi dalam tahun berjalan.
Dalam UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang lebih lanjut diatur pada PP. No.21
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana memang belum secara lugas mengatur
tentang asuransi bencana. Dalam solusinya, pembicara mengajukan beberapa alternatif solusi seperti revisi
UU dan peraturan turunan lainnya yang secara eksplisit mengatur asuransi bencana. Disamping itu,
pemerintah diharapkan untuk mendorong masyarakat untuk mengasuransikan properti yang dimiliki. Lebih
lanjut, pembicara mendorong pemerintah untuk menerbitkan obligasi khusus bencana dimana uang yang
diserap dapat digunakan untuk penanggulangan bencana.
Secara umum, dalam diskusi kebangsaan volume kedua ini, peserta sangat antusias mendiskusikan materi
yang dipaparkan. Hal ini tentunya merupakan pendekatan yang baik bagi AIPSSA untuk terus bertukar
gagasan dan berkontribusi dalam menyelesaikan masalah bangsa. Dalam sesi kesimpulan, Direktur the
AIPSSA Institute, Hendrix Setyawan, mengungkapkan bahwa apa yang telah didiskusikan hari ini akan
dituliskan dalam lembaran positioning paper AIPSSA yang secara formal akan disampaikan AIPSSA kepada
pemerintah sebagai alternatif pemecahan masalah bangsa.
Divisi Media, Dokumentasi dan Publikasi
Association of Indonesian Postgraduate Students and AIPSSA in Australia (AIPPSA)
www.aipssa.org
Download