Strategi Pengembangan wakaf tunai di indonesia-2013

advertisement
SAMBUTAN
DIREKTUR PEMBERDAYAAN WAKAF
Bismillahirrahmanirrahim
Terlebih dahulu kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT,
karena atas rahmat dan karuniaNya kita dapat melakukan berbagai upaya
untuk meningkatkan, memperdalam dan memperluas pelayanan
kehidupan beragama.
Sejak terjadinya krisis multi-dimensi dalam kehidupan bangsa kita
yang dipicu oleh krisis ekonomi, peran wakaf menjadi semakin penting
sebagai salah satu instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Pengelolaan wakaf tidak statis, melainkan selalu berkembang sejalan
dengan dinamika dan perubahan dalam masyarakat. Pemerintah akan
terus berupaya memfokuskan perhatian peningkatan pemberdayaan
wakaf secara produktif. Apalgi Undang-undang No. 41 Tahun 2004
tentang Wakaf telah mengakomodasi pelaksanaan wakaf benda bergerak
seperti uang, saham dan surat berharga lain yang menjadi variable
penting dalam pengembangan ekonomi.
Oleh karena itu, kehadiran buku “Strategi Pengembangan Wakaf
Tunai di Indonesia” ini diharapkan dapat merubah paradigma lama
menjadi paradigma baru wakaf, dari konsumtif menjadi produktif untuk
meningkatkan peran sosial wakaf di tanah air kita.
Semoga Allah SWT meridhai niat baik dan upaya yang kita lakukan
bersama. Amin
Wassalam,
Jakarta, Juli 2006
Direktur,
Dr. H. Sumuran Harahap, MH, MM
NIP. 150 192 389
i
SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAL BIMAS ISLAM
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan inayahNya kita dapat berupaya meningkatkan pelayanan kehidupan
beragama termasuk pelayanan di bidang perwakafan.
Salah satu upaya strategis yang dilakukan oleh Pemerintah untuk
mengembangkan lembaga wakaf dan memberdayakan potensinya
sehingga menimbulkan dampak yang positif terhadap kehidupan sosial
dan ekonomi umat Islam. Pemerintah terus berupaya agar pengelolaan
wakaf dapat berjalan dengan baik dan memberikan harapan bagi
perbaikan kesejahteraan social.
Sebagai langkah yang tepat, perlu dikembangkan suatu sistem
pengelolaan dan pengembangan wakaf yang sesuai dengan tuntutan dan
perkembangan yang terjadi serta garis kebijakan Pemerintah. Pengadaan
referensi wakaf yang disusun oleh Direktorat Pemberdayaan Wakaf tak
lain merupakan bagian dari upaya mendorong pemberdayaan wakaf
secara lebih professional.
Untuk itu, kami menyambut baik penerbitan buku “Strategi
Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia” ini karena memuat substansi
yang perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan lembaga-lembaga Islam
yang mengelola wakaf atau memiliki kepentingan terhadap wakaf.
Dengan kehadiran buku ini diharapkan perhatian terhadap
pemberdayaan wakaf lebih meningkat dan terarah sejalan dengan
harapan kita bersama.
Semoga Allah SWT memberkati niat baik dan upaya yang kita
lakukan. Amin.
Wassalam,
Jakarta, Juli 2006
Direktur Jenderal,
Prof. Dr. Nasaruddin Umar
NIP. 150 221 980
ii
DAFTAR ISI
Pengantar…………………………………………………….………………..i
Sambutan………………………………………………………………..…...ii
Daftar Isi……………………………………………………………………..iii
Bagian Pertama
PERIODESASI PENGELOLAA DAN SOSIALISASI
WAKAF TUNAI………………………………………………………….1
A. Periodesasi Pengelolaan Wakaf………..………………..………1
B. Sosialisasi Wakaf Tunai…………………………………………..17
B.1. Sosialisasi Konsep…………………………………………….18
B.2. Pendekatan Kepada Calon Wakif………………………27
B.3. Pendekaan Kepada Nazhir………………………..………31
Bagian Kedua
STRATEGI PENGELOLAAN DANA WAKAF……………41
A. Pembentukan Institusi Wakaf……………………….…………41
B. Sistem Pengelolaan Dana Wakaf………………………………46
B.1. Memberi Peran Perbankan Syariah…………………….46
B.2. Membentuk Lembaga Investasi Dana…………………53
B.3. Menjalin Kemitraan Usaha……………………………….61
B.4. Memberi Peran Lembaga Penjamin Syariah………..64
C. Membuka Jaringan dan Kerjasama Wakaf…………………68
D. Meningkatkan Political Will Pemerintah…………………….73
Bagian Ketiga
PEMANFAATAN HASIL PENGELOLAAN
WAKAF TUNAI………………………………………………………...77
A. Dalam Bidang Pendidikan……………………………………….78
B. Dalam Bidang Kesehatan dan Fasilitas RS…………………94
iii
C. Dalam Bidang Pelayanan Sosial………………………………101
D. Dalam Bidang Pengembangan UKM……………………….102
Bagian Keempat
PELAKSANAAN PROYEK PERCONTOHAN………….109
A. Studi Kelayakan Usaha…………………………………..……..109
B. Studi Kasus Pemberdayaan Tanah Wakaf Strategis…..119
C. Model-model Desain Usaha……………………………………130
Dafat Pustaka……………………………………………………………..133
Lampiran…………………………………………………………………..137
iv
Bagian Pertama
ERA PENGELOLAAN DAN SOSIALISASI
WAKAF TUNAI
A. Era Pengelolaan Wakaf
Berbicara mengenai pengelolaan wakaf di Indonesia,
khususnya pengembangan konsep wakaf tunai yang
terhitung masih sangat baru, tidak bisa lepas dari
periodesasi pengelolaan wakaf secara umum. Paling
tidak ada tiga periode besar pengelolaan wakaf di
Indonesia:
A.1. Periode tradisional
Dalam periode ini, wakaf masih ditempatkan
sebagai ajaran yang murni dimasukkan dalam kategori
ibadah mahdhah (pokok). Yaitu, dihampir semua bendabenda wakaf diperuntukkan untuk kepentingan
pembangunan fisik, sepeti masjid, musholla, pesantren,
kuburan, yayasan dan sebagainya. Sehingga keberadaan
wakaf belum memberikan kontribusi sosial yang lebih
luas karena hanya untuk kepentingan yang bersifat
konsumtif. Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa
aspek, diantaranya:

Kebekuan paham terhadap wakaf
Mayoritas paham umat Islam menganut Mazhab
Syafi’i yang lebih banyak menempatkan paham wakaf
pada konteks ajaran yang bersifat statis. Sehingga
wakaf pada masa itu cenderung tidak berkembang,
1
bahkan lebih banyak menjadi beban Nazhirnya atau
umat Islam yang lain. Paham-paham yang sangat
menonjol pada masa itu antara lain;
Pertama, ikrar wakaf. Kebisaaan masyarakat lebih
banyak menggunakan pernyataan lisan pada saat
ingin mewakafkan sebagian hartanya tanpa
menyertainya dengan bukti tertulis (sertifikat ikrar
wakaf), sehingga banyak harta wakaf yang hilang
karena tidak adanya bukti setelah dikelola oleh
beberapa generasi.
Kedua, harta yang boleh diwakafkan lebih banyak
pada benda-benda yang tidak bergerak, sehingga
peruntukannya tidak maksimal untuk kepentingan
kebajikan. Dan memang karena paham mereka
tentang wakaf lebih menempatkannya sebagai benda
yang tidak boleh diubah, termasuk untuk
diberdayakan.
Ketiga, boleh tidaknya tukar menukar harta
wakaf. Dalam masalah ini, mayoritas wakif dari umat
Islam Indonesia berpegang pada pandangan
konservatifnya Asy-Syafi’i sendiri yang menyatakan
bahwa harta wakaf tidak boleh ditukar dengan alasan
apapun. Dalam kasus masjid misalnya, Imam Syafi’i
menegaskan bahwa tidak boleh menjual masjid
wakaf secara mutlak, sekalipun masjid itu roboh.
Dan ini mudah kita temukan bangunan-bangunan
masjid tua di sekitar kita yang nyaris roboh dan
mengakibatkan orang malas pergi ke masjid tersebut
2
hanya karena para Nazhir wakaf mempertahankan
pendapatnya Imam Syafi’i.

Nazhir wakaf yang masih tradisional
Kebisaaan masyarakat
kita
yang
ingin
mewakafkan
sebagian
hartanya
dengan
mempercayakan penuh kepada seseorang yang
dianggap tokoh dalam masyarakat sekitar, seperti
kyai, ulama, ustadz, ajengan dan lain-lain untuk
mengelola harta wakaf sebagai Nazhir. Orang yang
ingin mewakafkan harta (wakif) tidak tahu persis
kemampuan yang dimiliki oleh Nazhir tersebut.
Dalam kenyataannya, banyak para Nazhir wakaf
tersebut tidak mempunyai kemampuan manajerial
dalam pengelolaan tanah atau bangunan sehingga
harta wakaf tidak banyak manfaat bagi masyarakat
sekitar. Pola pengelolaan hanya didasarkan pada
insting ketokohan, yang tidak didasarkan kepada
visi pemberdayaan yang memadai.
Karena itulah, keyakinan yang mendarah dan
mendaging bahwa wakaf harus diserahkan kepada
seorang ulama, kyai atau lainnya, sementara orang
yang diserahi belum tentu mampu mengurus,
menjadikan pengelolaan wakaf tergolong seadaadanya (tradisonal). Dan ini jelas tidak sesuai
dengan pesan Nabi terhadap Umar bin Khattab
terkait dengan wakaf

Peraturan perundangan yang belum memadai
3
Peraturan perundang-undangan tentang wakaf di
Indonesia memang masih menjadi persoalan yang
cukup lama belum terselesaikan secara baik. Karena
wakaf lebih banyak ditempatkan pada peroalanpersoalan yang terkait dengan tanah. Sehingga wakaf
belum memberikan kesejahteraan secara lebih luas
bagi kepentingan masyarakat banyak.
A.2. Periode semi-profesional
Periode
semi-profesional
merupakan
pola
pengelolaan wakaf yang kondisinya relatif sama dengan
periode tradisional, namun pada masa ini sudah mulai
dikembangkan pola pemberdayaan wakaf secara
produktif, meskipun belum maksimal. Sebagai contoh
adalah pembangunan masjid-masjid yang letaknya
strategis dengan menambah bangunan gedung untuk
pertemuan, pernikahan, seminar dan acara lainnya
seperti masjid Sunda Kelapa, masjid Pondok Indah,
masjid At-Taqwa Pasar Minggu, Masjid Ni’matul Ittihad
Pondok Pinang (semua terletak di Jakarta) dan lain-lain.
Selain
hal
tersebut
juga
sudah
mulai
dikembangkannya pemberdayaan tanah-tanah wakaf
untuk bidang pertanian, pendirian usaha-usaha kecil
seperti toko-toko ritel, koperasi, penggilingan padi,
usaha bengkel dan sebagainya yang hasilnya untuk
kepentingan pengembangan di bidang pendidikan
(pondok pesantren), meskipun pola pengelolaannya
masih dikatakan tradisonal. Pola pemberdayaan seperti
ini sudah dilakukan oleh Pondok Pesantren Modern As4
Salam Gontor, Ponorogo. Yang secara khusus
mengembangkan wakaf untuk kesehatan dan
pendidikan seperti yang dilakukan oleh Yayasan Wakaf
Sultan Agung, Semarang. Ada lagi yang memberdayakan
wakaf dengan pola pengkajian dan penelitian secara
intensif terhadap pengembangan wacana pemikiran
Islam modern seperti yang dilakukan oleh Yayasan
Wakaf Paramadina, dan seterusnya.
Namun, karena banyaknya kendala dalam
pemberdayaan wakaf secara lebih agresif, pada periode
ini, dimana kita sekarang masih berada dalam periode
ini, pemberdayaan wakaf terlihat belum dinamis.
A.3. Periode Profesional
Yaitu sebuah kondisi dimana daya tarik wakaf sudah
mulai dilirik untuk diberdayakan secara profesionalproduktif. Keprofesionalan yang dilakukan meliputi
aspek: manajemen, SDM keNazhiran, pola kemitraan
usaha, bentuk benda wakaf yang tidak hanya berupa
harta tidak bergerak seperti uang, saham dan surat
berharga lainnya, dukungan political will pemerintah
secara penuh, seperti lahirnya Undang-undang No. 41
Tahun 2004 tentang Wakaf.
Dalam periode ini, isu yang paling menonjol untuk
bisa mencapai pengelolaan wakaf secara profesional
adalah munculnya gagasan wakaf tunai yang digulirkan
oleh tokoh ekonomi asal Bangladesh, Prof. M.A.
Mannan. Kemudian muncul pula gagasan wakaf
investasi, yang di Indonesia sudah dimulai oleh Dompet
5
Dhuafa Republika bekerja sama dengan Batasa (BTS)
Capital beberapa waktu yang lalu.
Semangat pemberdayaan potensi wakaf secara
profesional produktif tersebut semata-mata untuk
kepentingan kesejahteraan umat manusia, khususnya
muslim Indonesia yang sampai saat ini masih dalam
keterpurukan ekonomi yang sangat menyedihkan, baik
di bidang pendidikan, kesehatan, teknologi maupun
bidang sosial lainnya. Pada masa ini, kita mulai
menapaki jenjang periodesasi pemberdayaan wakaf
secara total melibatkan seluruh potensi keummatan
dengan dukungan penuh, seperti lahirnya UU Wakaf
baru, peran UU Otonomi Daerah, peran Perda,
kebijakan moneter nasional, UU perpajakan dan lain
sebagainya.
Landasan yang digunakan untuk langkah-langkah
tersebut adalah bukti-bukti pemberdayaan wakaf yang
sudah dilakukan oleh negara-negara muslim, seperti
Mesir, Turki, Arab Saudi, Yordania, Qatar, Kuwait,
Marokko, Bangladesh, Pakistan, Malaysia dan lain
sebagainya. Bahkan di sekitar Masjidil Haram dan
Masjid Nabawi yang nota bene dulu adalah tanah wakaf
telah berdiri beberapa tempat-tempat usaha sebagai
mesin ekonomi yang maha dahsyat, seperti hotel,
restoran,
apartemen,
pusat-pusat
perniagaan,
perkantoran, Rumah Sakit, pusat pemerintahan dan lain
sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa tanah-tanah
wakaf harus diberdayakan untuk menggali potensi
ekonominya dalam rangka kesejahteraan masyarakat
6
banyak. Potret nyata tersebut sudah tidak bisa dibantah
lagi bahwa tanah-tanah wakaf yang memiliki posisi
strategis harus diberdayakan ekonominya secara
maksimal, kemudian hasilnya digunakan untuk
kepentingan kesejahteraan umum.
B. Sosialisasi Strategis Wakaf Tunai
Sebagai sebuah upaya mensosialisasikan wakaf
tunai untuk kesejahteraan sosial, maka harus
disosialisasikan secara intensif agar wakaf tunai dapat
diterima secara lebih cepat oleh masyarakat banyak
dan segera memberikan jawaban konkrit atas
permasalahan ekonomi selama ini. Harus diakui,
wacana wakaf tunai sampai saat ini memang masih
sebatas wacana dan belum banyak pihak atau lembaga
yang bisa menerima model wakaf seperti itu. Namun,
mengaca dari keberhasilan negara-negara muslim
lainnya, seperti Mesir, Maroko, Kuwait, Turki, Qatar
dan lain-lain yang memberdayakan wakaf tunai secara
maksimal, saatnya kita melangkah menuju ke arah
tersebut.
B.1. Sosialisasi Konsep
Di kalangan umat Islam, wakaf yang sangat popular
adalah masih terbatas pada persoalan tanah dan
bangunan yang diperuntukkan untuk tempat ibadah
dan pendidikan serta belakangan baru ada wakaf untuk
yang berbentuk tunai (cash) atau wakaf benda bergerak
yang manfaatnya untuk kepentingan pendidikan, riset,
7
Rumah Sakit, pemberdayaan ekonomi lemah dan lainlain.
Wakaf tunai bagi umat Islam Indonesia memang
masih relatif baru. Hal ini bisa dilihat dari peraturan
yang melandasinya. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
baru memberikan fatwanya pada pertengahan Mei 2002.
Sedangkan Undang-undang tentang Wakaf disahkan
pada tanggal 27 Oktober 2004 oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.
Di Qatar dan Kuwait, dana wakaf tunai sudah
berbentuk bangunan perkantoran. Areal tersebut
disewakan dan hasilnya digunakan untuk kegiatan umat
Islam.
Di Indonesia sudah ada beberapa lembaga yang telah
melaksanakan wakaf tunai, minimal dalam tataran
pelsakanaan wakaf dalam bentuk uang, seperti PB
Mathla’ul Anwar dengan “Dana Firdaus”, Tabung
Wakaf dari Dompet Dhuafa Republika, Bank Muamalat
Indonesia (BMI) dengan institusi barunya “Baitul Mal
Mu’amalat”, Pemerintah Kota Bekasi dan Universitas
Indonesia.
Walaupun
dalam
pelaksanaannya,
pengelolaan wakaf tunai masih belum maksimal,
sehingga sampai saat ini belum dirasakan secara nyata
oleh masyarakat banyak. Tapi, paling tidak upaya untuk
memberdayakan wakaf tunai sudah mulai digiatkan
dengan segala keterbatasannya.
Secara ekonomi, wakaf tunai sangat potensial untuk
dikembangkan di Indonesia, karena dengan model
wakaf ini daya jangkau mobilisasinya akan jauh lebih
8
merata
kepada
sebagian
anggota
masyarakat
dibandingkan dengan model wakaf-wakaf tradisionalkonvensional, yaitu dalam bentuk harta fisik yang
bisaanya dilakukan oleh keluarga yang terbilang relatif
mampu (kaya).
Salah satu model yang dapat dikembangkan dalam
mobilisasi wakaf tunai adalah model Dana Abadi, yaitu
dana yang dihimpun dari berbagai sumber dengan
berbagai cara yang sah dan halal, kemudian dana yang
terhimpun dengan volume besar, diinvestasikan dengan
tingkat keamanan yang tinggi melalui lembaga penjamin
Syariah. Keamanan investasi ini paling tidak mencakup
dua aspek. Aspek pertama, yaitu keamanan nilai pokok
dana abadi sehingga tidak terjadi penyusutan (jaminan
keutuhan). Aspek kedua, yaitu investasi dana abadi
tersebut harus produktif, yang mampu mendatangkan
hasil atau pendapatan (incoming generating allocation)
karena dari pendapatan inilah pembiayaan kegiatan
organisasi akan dilakukan dan sekaligus menjadi sumber
utama untuk pembiayaan.
Mengacu pada Model Dana Abadi tersebut, konsep
Wakaf Tunai dapat diberlakukan dengan beberapa
penyesuaian yang diperlukan. Penyesuaian harus
dilakukan karena adanya persoalan yang melekat dalam
model Wakaf Tunai, yaitu problem of perpetuity, persoalan
keabadian selamanya. Salah satu upaya preventifnya
adalah dengan menegaskan tujuan wakaf tunai itu secara
jelas. Disamping itu juga langkah-langkah yang harus
ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut harus
9
dinyatakan secara jelas dan mudah dipahami, sementara
itu instrumen yang akan digunakan dalam mencapai
tujuan wakaf tersebut juga tidak akan kalah pentingnya,
baik dari bentuk maupun nilainya.
Model Dana Abadi tersebut sangat layak dijadikan
model untuk pengembangan Wakaf Tunai. Beberapa
alasan dapat dikemukan antara lain:
 Dapat membantu menjaga keutuhan aset tunai dari
wakaf, sehingga dapat mengurangi perpetuitas yang
melekat pada wakaf tunai.
 Dapat menjadi sumber pendanaan (source of
financing) pada unit-unit usaha yang bersifat
komersial maupun sosial, sehingga dapat mendorong
aktifitas usaha secara lebih luas.Secara khusus,
ketersediaan dana dari sumber ini dapat mengisi
ruang kosong yang terjangkau oleh sistem
pembiayaan perbankan yang ada.
 Cakupan target wakaf menjadi lebih luas, terutama
dari aspek mobilisasi maupun aspek alokasi dana
wakaf.
Dalam pererapannya, Wakaf Tunai yang mengacu
pada Model Dana Abadi dapat menerbitkan Sertifikat
Wakaf Tunai dengan nominasi atau nominal yang
berbeda-beda disesuaikan dengan kemampuan target
atau sasaran yang akan dituju. Disinilah letak
keunggulannya wakaf tunai, yaitu dapat menjangkau
segmen masyarakat yang beragam.
10
Dalam catatan sejarah Islam, Wakaf Tunai ternyata
sudah dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az-Zuhri
(wafat 124 H) salah seorang terkemuka dan peletak
tadwin al-hadits memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar
dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial
dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah
dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha
kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.
Ada empat manfaat utama dari wakaf tunai. Pertama,
wakaf tunai jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang
yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai
memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu
menjadi tuan tanah terlebih dahulu. Kedua, melalui
wakaf tunai, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah
kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan
gedung atau diolah untuk lahan pertanian. Ketiga, dana
wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembagalembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya terkadang
kembang kempis dan menggaji civitas akademika ala
kadarnya. Keempat, umat Islam dapat lebih mandiri
dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus
terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara
yang memang semakin lama semakin terbatas.
Terdapat tiga filosofi dasar yang harus ditekankan
ketika kita hendak menerapkan prinsip wakaf tunai
dalam dunia pendidikan. Pertama, alokasi wakaf tunai
harus dilihat dalam bingkai “proyek terintegrasi” bukan
bagian-bagian dari biaya yang terpisah-pisah, Kedua, asas
11
kesejahteraan Nazhir, sudah saatnya menjadikan Nazhir
sebagai profesi untuk mendapaytkan kesejahteraan.
Sebagai contoh, di Turki dan Kantor Administrasi
Wakaf Bangladesh memberikan alokasi dana 5 %
kepada badan pengelola wakaf, sementara The Central
Waqf Council India mendapatkan 6 % dari net income
pengelolaan dana wakaf. Ketiga, asas transparansi dan
acountability dimana badan wakaf dan lembaga yang
dibantunya harus melaporkan setiap tahun akan
diproses pengelolaan dana kepada umat dalam bentuk
audited financial report termasuk kewajaran dari masingmasing pos biayanya.
Di era modern ini, wakaf tunai dipopulerkan oleh
Prof. Dr. M.A. Mannan dengan mendirikan suatu badan
yang bernama SIBL (Social Investment Bank Limited) di
Bangladesh. SIBL memperkenalkan produk Sertifikat
Wakaf Tunai (Cash Waqf Certificate) yang pertama kali
dalam sejarah perbankan. SIBL menggalang dana dari
orang kaya untuk dikelola dan keuntungan pengelolaan
disalurkan kepada rakyat miskin.
Tujuan dari produk Sertifikat Wakaf Tunai adalah
untuk:
 Penggalangan
tabungan
sosial
dan
mentransformasikan tabungan sosial menjadi modal
sosial serta membantu mengembangkan pasar modal
sosial;
 Meningkatkan investasi sosial;
12
 Menyisihkan sebagian keuntungan dari sumber daya
orang kaya (berkecukupan) mengenai tanggung
jawab sosial mereka terhadap masyarakat sekitarnya;
 Menciptakan integrasi antara keamanan sosial dan
kedamaian sosial serta meningkatkan kesejahteraan
umat;
Karena itu, Indonesia saatnya belajar dari Negara
Bangladesh,
tempat
kelahiran
instrumen
eksperimental melalui Sosial Investment Bank
Limited (SIBL) yang menggalang dana dari orangorang kaya untuk dikelola dan disalurkan kepada
rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan,
kesejahteraan sosial melalui mekanisme produk
funding baru berupa Sertifikat Wakaf Tunai (Cash
Waqf Certificate) yang akan dimiliki oleh pemberi
dana tersebut. Dalam instrumen keuangan baru ini
Sertifikat Wakaf Tunai merupakan alternatif
pembiayaan yang bersifat sosial dan bisnis serta
partisipasi aktif dari seluruh warga Negara yang kaya
untuk berbagi kebahagiaan dengan saudaranya
dalam menikmati pendidikan, kesehatan dan
kesejahteraan yang baik. Dengan tidak terlalu
menggantungkan diri dengan anggaran pemerintah
dan pinjaman asing, maka diharapkan dengan
penerapan instrument Sertifikat Wakaf Tunai ini
mampu menjadi salah satu alternative sumber
pendanaan sosial. Efek kemaslahatan dari Sertifikat
Wakaf Tunai tersebut yang sudah mulai terasa di
13
Bangladesh adalah meskipun Negara ini tergolong
miskin, namun dapat dilihat betapa fasilitas
pendidikan dan kesehatan jauh lebih baik dari
Indonesia.
Dari berbagai paparan di atas, keberadaan model
wakaf tunai dirasakan perlu sebagai instrumen
keuangan alternatif yang dapat mengisi kekurangankekurangan badan sosial yang telah ada. Dalam
ajaran Islam, ada yang dikenal dengan wakaf.
Penyaluran wakaf ini sudah berlangsung sangat lama
di Indonesia.
Pemberi bantuan wakaf yang disebut wakif adalah
orang atau orang-orang atau badan hukum yang
mewakafkan sebagian hartanya. Selama ini wakaf
yang ada dalam masyarakat kita adalah berupa tanah
dan bangunan seperti masjid, musholla, sekolah,
panti asuhan dan lain-lain. Sementara, kebutuhan
masyarakat saat ini sangat besar sehingga mereka
membutuhkan dana tunai untuk meningkatkan
kesejahteraannya. Berdasarkan prinsip wakaf
tersebut dibuatlah inovasi produk wakaf berupa
Wakaf Tunai, yaitu wakaf yang tidak hanya berupa
property, tapi wakaf dengan dana (uang) tunai.
Persoalannya sekarang bagaimana model dan
mekanisme penerapan Sertifikat Wakaf Tunai ini
dapat applicable dan feasible diterapkan di Indonesia
dengan melibatkan infrastruktur yang sudah ada
sebelumnya dan menyesuaikannya dengan struktur
masyarakat dan kebudayaan Indonesia itu sendiri.
14
Dengan menimbang dan mengakomodir keberatan
sebagian golongan terhadap status hukum wakaf
tunai,
seperti
kalangan
Syafi'iyah
yang
mengkhawatirkan habisnya pokok wakaf, maka
sangat
mendesak
untuk
dirumuskan
dan
diformulasikan model dan mekanisme semacam early
warning
sistem
untuk
menghindari
resiko
pengurangan modal wakaf dalam konteks risk
management meskipun dananya diputarkan dalam
investasi sektor riil.
Sebagai upaya konkrit agar wakaf tunai dapat diserap
dan dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat yang
perlu diperhatikan adalah:
 Metode penghimpunan dana (fund rising) yaitu
bagaimana wakaf tunai itu dimobilisasikan. Dalam
hal ini, setifikasi merupakan salah satu cara yang
paling
mudah,
yaitu
bagaimana
dengan
menerbitkan sertifikat dengan nilai nominal yang
berbeda-beda untuk kelompok sasaran yang
berbeda. Aspek inilah yang merupakan keunggulan
wakaf tunai dibandingkan wakaf harta tetap lainnya,
karena besarannya dapat menyesuaikan kemampuan
calon wakif (orang yang mewakafkan hartanya).
 Pengelelolaan dana yang berhasil dihimpun.
Orientasi dalam mengelola dana tersebut adalah
bagaimana
pengelolaan
tersebut
mampu
memberikan hasil yang semaksimal mungkin (income
generating orientation). Implikasinya adalah bahwa
dana-dana tersebut mesti diinvestasikan pada usaha15

16
usaha produktif. Dalam pemanfaatannya, terdapat
beberapa pilihan seperti investasi langsung pada
bidang-bidang produktif, investasi melalui deposito
pada bank Syariah, investasi penyertaan (equity
invesment) melalui perusahaan modal ventura, dan
investasi portofolio lainnya. Dalam memilih cara
investasi yang perlu diperhitungkan adalah potensi
hasil investasi dan resikonya. Tentu saja yang dipilih
adalah cara investasi yang memberikan hasil paling
besar dan menanggung resiko paling rendah.
Implikasinya adalah diperlukan pengelola (SDM)
yang cakap dalam bidang investasi.
Distribusi hasil yang dapat diciptakan kepada para
penerima
manfaat
(beneficiaries).
Dalam
mendistribusikan hasil ini yang perlu diperhatikan
adalah tujuan/orientasi dari distribusi tersebut, yang
dapat berupa penyantunan (charity), pemberdayaan
(empowerment), investasi sumber daya insani (human
investment), maupun investasi infrastruktur
(infrastructure investment). Disamping itu, hasil yang
diperoleh tersebut juga –sebagian porsi tertentu—
perlu dialokasikan untuk menambah besaran nilai
awal wakaf tunai, dengan pertimbangan pokok
untuk mengantisipasi penurunan nilai awal wakaf
tunai dan meningkatkan kapasitas modal awal
tersebut. Penyantunan berarti memberikan bantuan
yang sifatnya konsumtif, atau yang sekali pakai
habis, misalnya untuk kebutuhan pangan, kesehatan
dan lainnya. Pemberdayaan berarti memberikan
bantuan yang sifatnya produktif, misalnya dalam
bentuk bantuan modal usaha kepada kelompok
miskin yang memiliki keterampilan berusaha.
Sementara
investasi
sumber
daya
insani
dimaksudkan sebagai upaya pemberian beasiswa
pada berbagai jenjang pendidikan yang hasilnya
baru dapat dilihat dalam jangka panjang. Pilihanpilihan tersebut tentu saja tergantung kepada
ketersediaan atau besar kecilnya hasil yang dapat
diperoleh dalam pengelolaan dana wakaf tunai.
B.2. Pendekatan Kepada Calon Wakif
Sebagai salah satu pilar penting dalam dunia
perwakafan, wakif (orang yang mewakafkan harta) harus
terus diberikan stimulus agar pertambahan benda-benda
(kekayaan) wakaf terus bisa dicapai. Untuk konteks
Indonesia memang banyak benda-benda wakaf yang
belum dikelola secara profesional oleh Nazhir, namun
dalam mengembangkan dan memperluas jangkauan
benda-benda wakaf, seperti wakaf tunai (uang) dan
wakaf bergerak lainnya, maka harus ditetapkan sistem
rekruitmen wakif. Paling tidak, sistem rekruitmen wakif
dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan:
 Pendekatan keagamaan
Wakaf sebagai salah satu instrumen ibadah tabarru’,
harus diberikan porsi yang sama banyak sebagaimana
ibadah zakat. Apalagi wakaf (shadaqah jariyyah) dijanjikan
oleh Allah SWT memiliki bobot pahala yang terus
17
mengalir, walaupun para pelaku (wakif) sudah
meninggal dunia. Untuk itu pola pendekatan
keagamaan perlu digiatkan oleh para agamawan kepada
umat Islam yang memiliki kemampuan secara finansial
agar mau mewakafkan sebagian hartanya. Bagaimana
bentuk pendekatannya tentu saja dibutuhkan kearifan
dan metode yang tepat sehingga lebih menyentuh
kepada para calon wakif, seperti keteladanan dan
amanah.
 Pendekatan kesejahteraan sosial
Secara sosial, wakaf memiliki peran yang cukup
strategis di tengah-tengah kemiskinan yang menggurita
umat Islam Indonesia. Untuk itu pola penyadaran yang
terus menerus dilakukan agar para pemilik harta (orang
kaya) bisa meningkatkan volume beribadah yang
berdimensi sosial. Karena wakaf mempunyai kontribusi
solutif
terhadap
persoalan-persoalan
ekonomi
kemasyarakatan. Kalau dalam tataran pendekatan
keagamaan, wakaf berbicara tentang nilai-nilai pahala
yang akan didapatkan oleh umat Islam yang
menjalankannya,
sedangkan
pada
pendekatan
kesejahteraan sosial, wakaf menjadi jawaban konkrit
dalam realitas problematika kehidupan (sosial-ekonomi)
masyarakat. Karena secara ideologis, penguasaan harta
(kekayaan) oleh seseorang (lembaga) secara monopolistik
akan bisa melahirkan eksploitasi oleh kelompok
minoritas (kaya) terhadap mayoritas (miskin). Dan
eksploitasi sosial-ekonomis ini pada gilirannya nanti
18
akan menimbulkan dis-harmoni sosial yang bisa
mengakibatkan kesenjangan sosial yang tajam.
Pemahaman secara sosial harus ditanamkan secara
berkesinambungan, bahwa harta tidaklah cukup dimiliki
dan dikuasai sendiri, melainkan juga harus dinikmati
bersama.
Dengan pola pendekatan penyadaran akan problemproblem sosial seperti itu diharapakan para calon wakif
semakin tergerak hatinya menyumbangkan sebagian
harta menjadi wakaf (shadaqah jariyyah) untuk
kepentingan masyarakat umum.
 Pendekatan bukti keberhasilan pengelolaan
Menjadi salah satu kendala nyata bagi calon wakif
enggan mewakafkan hartanya karena dipengaruhi oleh
sebuah realitas bahwa mayoritas lembaga keNazhiran di
Indonesia terhitung belum profesional. Karena
ketidakprofesionalan itulah banyak harta wakaf yang
sama sekali tidak memberi manfaat kepada masyarakat
yang dimaksud wakif, bahkan banyak pula harta wakaf
yang dijadikan bahan warisan oleh para sanak
keturunan Nazhir, sampai persengketan dengan pihak
ketiga. Sehingga para calon wakif menjadi was-was (ragu)
akan mewakafkan sebagian hartanya.
Oleh karena itu dalam rangka menarik hati para
calon wakif, para Nazhir atau lembaga Nazhir harus
membuktikan terlebih dahulu kepada masyarakat bahwa
amanah untuk mengelola benda-benda wakaf bisa
berhasil dan dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang
19
membutuhkan, baik untuk ibadah seperti masjid,
musholla, madrasah, atau juga untuk kepentingan
pemberdayaan ekonomi, kesehatan, pendidikan
(beasiswa), penelitian dan sebagainya. Proses
pembuktian keberhasilan pengelolaan dibutuhkan
keseriusan, dedikasi, kehati-hatian dan keikhlasan yang
tinggi. Dengan cara seperti itu, maka secara tidak
langsung para Nazhir mempromosikan akan pentingnya
fungsi wakaf secara sosial maupun secara spiritual.
 Pendekatan efektifitas pemanfaatan hasil
Tidak sedikit pula Nazhir wakaf yang menggunakan
hasil pengelolaan wakaf dinilai kurang efektif untuk
kepentingan kesejahteraan umum. Penggunaan prioritas
pemanfaatan benda-benda wakaf begitu penting
sehingga sasaran wakaf dapat dicapai dengan baik.
Dengan demikian, pemanfaatan benda-benda wakaf bisa
dilakukan secara maksimal, dan sejauh mungkin
digunakan untuk kepentingan kesejahteraan umum.
Dengan pola pendekatan ini, maka diharapkan para
wakif dan calon wakif semakin tergerak hatinya untuk
menyumbangkan sebagian harta sebagai wakaf dalam
rangka membantu terhadap problem-problem sosial
yang ada di sekitar kita.
B.3. Pendekatan Kepada Nazhir Wakaf
Dalam kitab-kitab fikih, ulama tidak mencantumkan
Nazhir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf, karena
wakaf merupakan ibadah tabarru’ (pemberian yang
20
bersifat
sunnah).
Namun
demikian,
setelah
memperhatikan tujuan wakaf yang ingin melestarikan
manfaat dari hasil harta wakaf, maka keberadaan Nazhir
sangat dibutuhkan, bahkan menempati pada peran
sentral. Sebab, di pundak Nazhir lah tanggung jawab
dan
kewajiban
memelihara,
menjaga
dan
mengembangkan wakaf serta menyalurkan hasil atau
manfaat dari wakaf kepada sasaran wakaf.
Terlalu banyak contoh pengelolaan harta wakaf yang
dikelola oleh Nazhir yang sebenarnya tidak mempunyai
kemampuan memadai, sehingga harta wakaf tidak
berfungsi secara maksimal, bahkan tidak memberi
manfaat sama sekali kepada sasaran wakaf. Untuk itulah
profesionalisme Nazhir menjadi ukuran yang paling
penting dalam pengelolaan wakaf jenis apapun.
Kualifikasi profesionalisme Nazhir secara umum
dipersyaratkan menurut fikih sebagai berikut, yaitu :
beragama Islam, mukallaf (memiliki kecakapan dalam
melakukan perbuatan hukum), baligh (sudah dewasa)
dan ‘aqil (berakal sehat), memiliki kemampuan dalam
mengelola wakaf (professional) dan memiliki sifat
amanah, jujur dan adil.
Untuk itu, dalam rangka meningkatkan
kemampuan Nazhir diperlukan sistem manajemen
SDM yang handal. Sistem pengelolaan SDM ini
bertujuan untuk:
 Meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan,
kemampuan dan keterampilan para Nazhir wakaf
21
di semua tingkatan dalam rangka membangun
kemampuan manajerial yang tangguh, profesional
dan bertanggung jawab.
 Membentuk sikap dan perilaku Nazhir
sesuai dengan posisi yang seharusnya,
pemegang
amanat
umat
Islam
mempercayakan harta benda untuk dikelola
baik dan pertanggungjawaban di hadapan
kelak.
wakaf
yaitu
yang
secara
Allah
 Menciptakan pola pikir atau persepsi yang sama
dalam memahami dan menerapkan pola
pengelolaan wakaf, baik dari segi peraturan
perundang-undangan maupun teknis manajerial
sehingga lebih mudah diadakan control, baik di
daerah maupun pusat.
 Mengajak para Nazhir wakaf untuk memahami
tata cara dan pola pengelolaan yang lebih
berorientasi pada kepentingan pelaksanaan Syariat
Islam secara lebih luas dan dalam jangka panjang.
Sehingga wakaf bisa dijadikan sebagai salah satu
elemen penting dalam menunjang penerapan
sistem ekonomi Syariah secara terpadu.
Setelah diketahui persyaratan minimal seorang
Nazhir wakaf dan tujuan diperlukannya pengelolaan
SDM keNazhiran, maka diperlukan upaya pembinaan
agar mereka dapat menjalani tugas-tugas keNazhiran
secara produktif dan berkualitas. Upaya pembinaan
22
ini yang harus dilakukan berdasarkan standar pola
manajemen terkini adalah:
(a) Pendidikan formal. Melalui sekolah-sekolah
umum dan kejuruan dapat dicetak calon-calon
SDM keNazhiran yang siap pakai, dengan catatan
sekolah itu sendiri harus dibentuk secara
berkualitas
dengan
memberikan
format
kurikulum yang mantap dengan disiplin
pengajaran yang tinggi, terarah menurut bidang
yang dituju. Misalnya, sekolah menengah
petanian maupun tingkat perguruan tingginya
(fakultas pertanian) yang diharapkan dapat
mengelola tanah-tanah wakaf berupa persawahan,
perkebunan, ladang pembibitan dan lain-lain.
Atau sekolah-sekolah teknik menengah dan
perguruan tingginya yang meliputi berbagai
jurusan, seperti teknik industri, arsitektur,
metalurgi, pemasaran industri yang kelak bisa
mengelola berbagai potensi benda wakaf secara
produktif dan sebagainya. Atau bisa juga sekolah
dan perguruan tinggi yang membuka jurusan
sosial, seperti akuntansi, hukum dan lain-lain
yang bisa diarahkan untuk memback-up
pengembangan secara umum.
Melihat dari kondisi saat ini, secara kuantitatif,
sudah cukup banyak jumlah sekolah dan
perguruan tinggi yang membuka dan mengelola
23
arah pembinaan SDM seperti di atas, namun
lulusan
berbagai
bidang
keahlian
yang
berjumlahnya ribuan tersebut masih sedikit yang
memiliki kemampuan handal. Apalagi misalnya
ini dikaitkan dengan pola manajemen yang ingin
diterapkan dalam pengelolaan wakaf yang
menggunakan sistem Syari’ah. Janganlah mereka
bisa menguasai sistem Syariah, untuk kemampuan
minimal pun mereka banyak yang tidak
memenuhi standar. Oleh karena itu, sebagai salah
satu upaya menciptakan SDM keNazhiran yang
handal, pemerintah dan juga lembaga-lembaga
pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam
harus memulai pembenahan kembali sistem
pendidikan yang diterapkan selama ini, agar
alumni atau lulusannya menjadi tenaga kerja yang
siap pakai, mandiri, produktif dan berkualitas.
(b) Pendidikan non formal. Bentuk dari pendidikan
model ini adalah dengan mengadakan kursuskursus atau pelatihan-pelatihan SDM keNazhiran
baik yang terkair dengan manajerial organisasi,
atau meningkatkan ketampilan dalam bidang
profesi seperti administrasi, teknik pengelolaan
pertanian, teknik perbankan, pengelolaan
kepariwisataan, perdagangan, pemasaran dan lain
sebagainya.Pendidikan non formal ini perlu
digalakkan oleh beberapa pihak yang terkait
dengan dunia perwakafan, seperti Departemen
24
Agama, lembaga-lembaga Islam, lembaga-lembaga
bisnis, lembaga perbankan, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), perguruan tinggi dan
sebagainya dengan mutu pembelajaran yang lebih
ditingkatkan
sehingga
benar-benar
dapat
menghasilkan tenaga kerja yang terampil dan siap
pakai.
(c) Pendidikan informal. Berupa latihan-latihan dan
kaderisasi langsung di tempat-tempat pengelolaan
benda wakaf. Nazhir yang telah ada, ditingkatkan
kemampuannya melalui latihan-latihan yang
intensif dan bimbingan yang membuatnya kian
maju dan mampu dalam bidang tugas dan
tanggung jawabnya. Medan kerja itu sendiri
menjadi “sekolah” dan taman belajar yang lebih
praktis yang terkadang bobot dan mutunya lebih
mantap dibandingkan dengan sekolah atau
kursus. Misalnya Nazhir wakaf yang sedang
mengelola usaha perdagangan kebutuhan pokok
(ritel) akan lebih mudah meningkatkan
kemampuannya dalam mengelola usaha tersebut
jika dibina dan diarahkan dengan manajemen
modern yang praktis dan dicontohkan langsung.
Contoh lain, banyak montir yang ahli atau
memiliki kemampuan baik karena mereka bisa
praktek langsung, walaupun mereka bukan
lulusan sekolah teknik dan bukan pula dari
lembaga kursus montir. Keahlian ini diperoleh
25
dari pengalaman dan bimbingan supervisornya
yang menurunkan ilmunya.
(d) Pembinaan fisik. Faktor olah raga dan istirahat
para tenaga kerja, termasuk para Nazhir tidak
boleh diabaikan dalam rangka membangun fisik
yang prima. Demikian juga kelengkapan gizi
memerlukan perhatian khusus dengan makanan
yang mencukupi nilai gizinya. Karena tubuh kita
dibentuk, tumbuh dan berkembang disebabkan
adanya gizi makanan yang setiap hari dikonsumsi.
Kesehatan tubuh manusia tergantung pada apa
yang
diamakannya.
Sehingga
dengan
keseimbangan antara kerja, istirahat, olah raga
dan asupan makanan bergizi yang cukup akan
menjadikan tubuh lebih terlihat energik, dinamis
dalam mengemban tugas keNazhiran. Pola
pembinaan fisik ini barangkali dianggap terlalu
ideal dilakukan oleh sebuah lembaga keNazhiran,
akan tetapi bukan hal yang tidak mungkin dalam
sebuah lembaga pengelola wakaf yang cukup
profesional bisa melakukan ini. Atau paling tidak,
jika lembaga keNazhiran menganggap upaya
pembinaan fisik SDM nya terlalu jauh, paling
tidak sebagai salah satu prasyarat menjadi seorang
Nazhir harus dipastikan memiliki tubuh yang
sehat, sehingga dengan kondisi tersebut yang
bersangkutan dapat menjalankan tugas dengan
baik.
26
(e) Pembinaan mental. Spirit kerja harus terus
menerus dibina agar para pemegang amanah
perwakafan
senantiasa
bergairah
dalam
melaksanakan pekerjaannya. Demikian juga
pembinaan mental budi pekerti (akhlak) yang
luhur dibina melalui berbagai kesempatan seperti
ceramah-ceramah agama, out bond, simulasi
pengembangan diri dan organisasi untuk menjaga
dan meningkatakn ketahanan mental supaya SDM
keNazhiran bisa mengemban amanat untuk
kesejahteraan masyarakat banyak. Menjadi hal
yang sering terjadi, dalam sebuah lembagalembaga usaha sering diadakan pembinaanpembinaan
kualitas
kerjanya,
namun
mengesampingkan
pembinaan
mentalnya.
Sehingga, walaupun SDM nya sudah memiliki
kehandalan dalam pengelolaan usaha, tapi karena
mentalnya yang sangat lemah mengakibatkan
terjadinya tindakan-tindakan menyimpang, seperti
korupsi, mark up anggaran sampai penyimpangan
moral pribadinya. Jika kondisi mental para
pelaksana tugas keNazhiran lemah atau buruk,
maka pengelolaan wakaf tidak akan menghasilkan
secara maksimal
27
.
28
Bagian Kedua
STRATEGI PENGELOLAAN DANA WAKAF
A. Pembentukan Institusi Wakaf
Penerimaan wakaf berdasarkan literatur sejarah
dilakukan oleh institusi Baitul Mal. Baitul Mal merupakan
institusi dominan dalam sebuah pemerintahan Islam ketika
itu. Baitul Mal lah yang berperan secara konkrit
menjalankan program-program pembangunan melalui
devisi-devisi kerja yang ada dalam lembaga ini, disamping
tugas utamanya sebagai bendahara negara (treasury house).
Dengan karakteristiknya yang khas, wakaf memerlukan
manajemen tersendiri dalam lembaga Baitul Mal. Baitul
Mal harus menjaga eksistensi harta wakaf dan
keselarasannya dengan niat wakaf dari wakif. Sehingga
dalam konteks perekonomian kontemporer yang tidak
(belum) menjadikan Baitul Mal sebagai institusi negara,
diperlukan modifikasi institusi dalam pengelolaan wakaf
tunai ini.
Karena terdapat kebebasan memberikan jumlah wakaf
tunai, institusi wakaf dapat membatasi alternatif tujuan
wakaf dari masyarakat (pos penerimaan sekaligus
penggunaan uang wakaf), agar dapat optimal pemanfaatan
wakaf tunai tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari
kemungkinan terlalu sedikitnya wakaf tunai yang
terkumpul dalam rangka memenuhi niat akad dari para
wakif. Jadi pos wakaf tunai dibatasi sesuai dengan program
kebutuhan masyarakat luas seperti pos pendidikan
41
(misalnya peruntukan gedung sekolah, gedung dakwah dll.),
pos masjid dan pos fasilitas umum (misalnya peruntukan
jalan raya, jembatan dll.). Banyaknya pos tergantung pada
banyaknya keinginan masyarakat dalam mewakafkan
hartanya pada maksud tertentu.
Namun, pada wakaf yang mutlak, artinya tidak
ditentukan tujuan dari pemberian wakaf secara spesifik
oleh wakif, maka kebijakan institusi wakaflah yang berperan
dalam hal keputusan penggunaannya, tentu saja
mempertimbangkan skala prioritas kebutuhan masyarakat.
Pada wakaf tunai yang memiliki definisi dan aplikasi seperti
yang dilakukan oleh Prof. M.A. Mannan, sebaiknya
memang menjadi kesepakatan para ulama berikut
intelektual agar aplikasinya tidak menemui hambatanhambatan yang kemudian mengganggu jalannya
perekonomian secara keseluruhan.
Untuk konteks Indonesia, lembaga wakaf yang secara
khusus mengelola dana wakaf tunai dan beroperasi
secara nasional itu berupa Badan Wakaf Indonesia
(BWI). Tugas dari lembaga ini adalah mengkoordinir
Nazhir-Nazhir yang sudah ada dan atau mengelola secara
mandiri terhadap harta wakaf yang dipercayakan
kepadanya, khususnya wakaf tunai. Sedangkan, wakaf
yang ada dan sudah berjalan di tengah-tengah
masyarakat dalam bentuk wakaf benda tidak bergerak,
maka terhadap wakaf dalam bentuk itu perlu dilakukan
pengamanan dan dalam hal benda wakaf yang
mempunyai nilai produktif perlu di dorong untuk
dilakukan pengelolaan yang bersifat produktif. Hasil
dari pengembangan wakaf yang dikelola secara
42
profesional dan amanah oleh lembaga-lembaga
keNazhiran dan BWI sendiri kemudian dipergunakan
secara optimal untuk keperluan sosial, seperti untuk
meningkatkan pendidikan Islam, pengembangan rumah
sakit Islam, bantuan pemberdayaan ekonomi umat dan
bantuan atau pengembangan sarana prasarana ibadah.
Untuk itulah, Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang
mempunyai fungsi sangat strategis yang dibentuk
diharapkan dapat membantu, baik dalam pembinaan
maupun pengawasan terhadap para Nazhir untuk dapat
melakukan pengelolaan wakaf secara produktif.
Pembentukan BWI bertujuan untuk menyelenggarakan
administrasi pengelolaan secara nasional, mengelola
sendiri harta wakaf yang dipercayakan kepadanya,
khususnya yang berkaitan dengan tanah wakaf produktif
strategis dan promosi program yang diadakan oleh BWI
dalam rangka sosialisasi kepada umat Islam dan umat
lain pada umumnya. BWI ini seharusnya profesionalindependen dan pemerintah sebagai hanya regulator,
fasilitator, motivator dan public service.
Pola organisasi dan kelembagaan BWI harus
merespon terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi
oleh masyarakat pada umumnya dan umat Islam pada
khususnya. Di tingkat masyarakat, persoalan yang paling
mendasar adalah kemiskinan, baik dalam arti khusus,
yaitu seperti yang dicerminkan dengan tingkat
pendapatan masyarakat, maupun dalam arti luas, yang
mencakup
aspek
kesehatan,
pendidikan
atau
pemenuhan hak-hak asasi manusia pada umumnya.
Persoalan-persoalan tersebut juga bisa disebut sebagai
43
persoalan umat Islam juga. Tapi dari sudut organisasiorganisasi Islam, persoalan-persoalan itu menjadi
tanggung jawab gerakan Islam juga. Oleh sebab itu,
organisasi-organsasi Islam berkepentingan juga untuk
mengakses sumber daya wakaf.
Untuk mengatasi masalah-masalah sosial, wakaf
merupakan sumber dana yang cukup potensial. Selama
ini, program pengentasan masyarakat dari kemiskinan
bergantung dari bantuan kredit dari luar negeri,
terutama dari Bank Dunia. Tapi dana itu terbatas dari
segi jumlah maupun waktu. Dalam hal ini
pengembangan tanah wakaf produktif strategis dapat
menjadi
alternatif
sumber
pendanaan
dalam
pemberdayaan ekonomi umat secara umum. Di Qatar
dan Kuwait, dana yang dihasilkan dari wakaf, bersamasama dengan sumber lain, khususnya zakat, dana wakaf
yang di peroleh dari pengusahaan tanah wakaf, misalnya
di bidang real estate atau pendirian gedung-gedung
perkantoran yang disewakan atau dikelola sendiri,
dipakai untuk membiayai program kemiskinan, baik
langsung oleh pemerintah maupun disalurkan lewat
LSM.
Benda-benda wakaf produktif bisa dikerjakan secara
kolektif, tapi bisa pula dikerjasamakan dengan pihak
swasta profesional, baik dalam maupun luar negeri.
Proyek-proyek yang dikerjakan bisa berupa pertanian
padi sawah atau palawija, sehingga bisa menghasilkan
cadangan pangan dan lumbung bibit, pertenakan,
perikanan dan perkebunan. Model ini merupakan
analogi dari wakaf ahli, dimana wakif memberikan
44
wasiat agar hasil pengelolaan wakaf dapat dipakai untuk
menyantuni anggota keluarga yang kekurangan atau
membutuhkan dana. Dalam model ini anggota keluarga
besar seseorang diperluas menjadi warga desa, sehingga
setiap bagian warga desa yang mengalami kemiskinan
dan kesulitan lain seperti kesehatan dan pendidikan,
dapat disantuni dari dana hasil pengelolaan wakaf
tersebut. Model ini dapat diterapkan secara nasional.
Karena itu untuk merespon model ini, lembaga Nazhir
bisa didirikan di setiap desa.
Untuk menjalankan semua rencana praktis di atas,
sebagai lembaga pembina dan pengawas Nazhir secara
nasional, lembaga BWI diperlukan Sumber Daya
Manusia (SDM) yang benar-benar mempunyai
kemampuan dan kemauan dalam pemberdayaan wakaf,
berdedikasi tinggi dan memiliki komitmen dalam
pengembangan wakaf serta memahami masalah wakaf
serta hal-hal yang terkait dengan wakaf. Lembaga ini
diisi minimal 20, maksimal 30 orang yang diharapkan
lebih solid. Anggotanya terdiri dari para ahli bidang
disiplin ilmu yang ada kaitannya dengan pengembangan
wakaf produktif, seperti: ahli manajemen, ahli hukum
pidana dan perdata baik nasional maupun internasional,
ulama hukum Islam (fikih wakaf, ushul fikih), ulama
ahli tafsir, ekonom, praktisi bisnis, arsitektur,
penyandang dana, sosiolog, ahli perbankan Syari’ah dan
cendekiawan lain yang memiliki perhatian terhadap
perwakafan secara umum.
45
B. Sistem Pengelolaan Dana Wakaf
Untuk mengelola dana wakaf tunai, harus ada sistem
yang diterapkan. Paling tidak, ada pola (standar
pelaksanaan) yang dibakukan agar dana yang akan dan
sudah dikumpulkan dapat diberdayakan secara maksimal.
Standar atau pola tersebut terkait dengan hal-hal sebagai
berikut:
B.1. Memberi Peran Perbankan Syariah
Ada beberapa alternatif peran dan posisi perbankan
Syariah dalam pengelolaan wakaf tunai. Menurut Tim
Penyusun Makalah dari Biro Perbankan Syariah Bank
Indonesia (BI) yang berjudul: “Peranan perbankan Syariah
dalam Wakaf Tunai”, yaitu:
1. Bank Syariah sebagai Nazhir Penerima, Penyalur dan
Pengelola Dana Wakaf
Dalam alternatif 1 ini bank Syariah mendapat
kewenangan penuh untuk menjadi Nazhir, mulai dari
penerima, pengelola dan penyalur dana wakaf. Fungsi bank
Syariah dalam alternatif 1 ini dapat dikatakan sama dengan
yang dilakukan SIBL di Bangladesh. Wakif yang
menyetorkan dana wakaf ke bank Syariah akan menerima
Sertifikat Wakaf Tunai yang diterbitkan oleh bank Syariah,
sehingga tanggung jawab penggalangan dan pengelolaan
dana wakaf serta penyaluran hasil pengelolaan tersebut,
sepenuhnya ada pada bank Syariah.
Kedudukan bank sebagai pengelola dana wakaf (Nazhir)
merupakan manifestasi dari fungsi keharusan bank Syari’ah
yang mengelola 3 sektor pelanggan/ekonomi, yaitu
46
corporate, non-formal dan voluntary sector. Hal ini berbeda
dengan bank konvensional yang mengelola sektor
pelanggan/ ekonomi, yaitu corporate, non-formal dan
private sector. Pengelolaan 3 sektor pelanggan/ekonomi
tersebut, khususnya pada “voluntary sector”, akan memperluas stake holder yang akan menerima benefit atas usaha
perbankan. Stake holder baru yang akan mendapat benefit
yaitu para beneficiary dana wakaf.
Setidaknya ada 4 tujuan bank sebagai pengelola dana
wakaf tunai, yaitu :
 Menyediakan jasa layanan perbankan dengan
penerbitan sertifikat wakaf tunai dan melakukan
manajemen terhadap dana wakaf tersebut.
 Membantu melakukan mobilisasi tabungan sosial dan
melakukan transformasi dari tabungan sosial ke modal;
 Memberikan benefit kepada masyarakat khususnya,
masyarakat miskin melalui optimalisasi sumber daya
masyarakat kaya;
 Membantu perkembangan pasar modal sosial (sosial
capital market).
Adapun garis-garis besar opresionalisasi Sertifikat Wakaf
Tunai bisa dijabarkan sebagai berikut :

Wakaf tunai harus diterima sebagai sumbangan sesuai
Syari’ah. Bank harus mengelola wakaf tersebut atas
nama wakif.
47

Wakaf dilakukan dengan tanpa batas waktu dan
rekeningnya harus terbuka dengan nama yang
ditentukan wakif.

Wakif mempunyai kebebasan memilih tujuan-tujuan
sebagaimana tercantum pada daftar yang jumlahnya ada
32 sesuai dengan identifikasi yang telah dibuat atau
tujuan lain yang diperkenankan Syari’at.

Wakaf tunai selalu menerima pendapatan dengan
tingkat (rate) tertinggi yang ditawarkan bank dari waktu
ke waktu.

Kuantitas wakaf tetap utuh dan hanya keuntungannya
saja yang akan dibelanjakan untuk tujuan-tujuan yang
telah ditentukan oleh wakif. Bagian keuntungan yang
tidak dibelanjakan akan secara otomatis ditambahkan
pada wakaf dan profit yang diperoleh akan bertambah
terus.

Wakif dapat meminta bank mempergunakan
keseluruhan profit untuk tujuan-tujuan yang telah
ditentukan.

Wakif dapat memberikan wakaf tunai untuk sekali saja,
atau ia dapat juga menyatakan akan memberikan
sejumlah wakaf dengan cara melakukan deposit
pertama kalinya sebesar (ditentukan kemudian).
Deposit-deposit barikutnya juga dapat dilakukan
dengan pecahan masing-masing atau kelipatannya.

Wakif juga dapat meminta kepada bank untuk merealisasikan wakaf tunai pada jumlah tertentu untuk
48
dipindahkan dari rekening wakif pada pengelola harta
wakaf.

Atas setoran wakaf tunai harus diberikan tanda terima
dan setelah jumlah wakaf tersebut mencapai jumlah
yang ditentukan, barulah diterbitkan setifikat.
Prinsip dan dasar-dasar peraturan Sertifikat Wakaf
Tunai dapat ditinjau kembali dan dapat berubah.
Optimalisasi penggalangan dana akan dilakukan dengan
menggunakan seefektif mungkin keberadaan jaringan
kantor beserta divisi pemasarannya. Pengelolaan dana akan
disertai kerja sama dengan lembaga penjamin untuk
memastikan tidak berkurang dana pokok wakaf. Sedangkan
penyaluran dana akan dilakukan dengan mengefektifkan
keberadaan jaringan informasi serta peta distribusi.
2. Bank Syariah sebagai Nazhir Penerima dan Penyalur
Dana Wakaf
Dalam alternatif 2 ini bank Syariah hanya Nazhir
penerima dan penyalur. Sedangkan fungsi pengelola dana
akan dilakukan oleh lembaga lain, misalnya Badan Wakaf
Indonesia (BWI), yang dengan sendirinya tanggung jawab
pengelolaan dana, termasuk hubungan kerjasama dengan
lembaga penjamin berada pada BWI ini.
Dalam alternatif ini, keunggulan perbankan Syariah
berupa adanya jaringan kantor serta jaringan informasi dan
peta distribusi digunakan untuk menggalang dana wakaf
maupun untuk menyalurkan hasil pengelolaan dana wakaf
49
kepada yang berhak. Sedangkan kemampuan profesional
perbankan Syariah dalam pengelolaan dana, tidak
digunakan.
c.
Bank Syariah sebagai Pengelola (Fund Manager) Dana
Wakaf
Dalam alternatif ini keunggulan perbankan Syariah
berupa kemampuan profesional dalam pengelolaan dana
digunakan secara efektif. Tanggung jawab pengelolaan dana
serta hubungan kerjasama dengan lembaga penjamin
berada pada lembaga perbankan Syariah. Sedangkan
keunggulan lembaga perbankan Syariah berupa jaringan
kantor, jaringan informasi serta peta distribusi, tidak
dimanfaatkan untuk mengoptimalkan penggalangan dana
wakaf dan penyaluran hasil pengelolaan dana wakaf.
d. Bank Syariah sebagai Kustodi
Alternatif keempat dibuat untuk mengantisipasi jika
bank Syariah tidak diberikan kesempatan untuk berperan
secara optimal dalam pengelolaan wakaf tunai. Hal ini
disebabkan adanya rencana pemerintah untuk mendirikan
BWI yang bertugas membina dan mengawasi Nazhir. Jika
pemerintah menunjuk Nazhir yang memiliki wewenang
penuh sebagai penerima, pengelola dana sekaligus penyalur
dana wakaf tunai, maka bank Syariah masih bisa berperan
dalam hal menjadi kustodi (penitipan) Sertifikat Wakaf
Tunai yang diterbitkan oleh Badan Wakaf Indonesia
(BWI).
Berdasarkan Kamus perbankan terbitan Bank
Indonesia Tahun 1999, kustodian adalah kegiatan
50
penitipan harta untuk kepentingan pihak lain berdasarkan
suatu kontrak; dalam melakukan kegiatan penitipan, baik
menerima
titipan
harta
penitip
dengan
mengadministrasikannya secara terpisah dari kekayaan
bank; mutasi dari barang titipan dilaksanakan oleh bank
atas perintah penitip. Dalam UU RI No. 7 Tahun 1992
tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 10 tahun 1998 Pasal 6 huruf I disebutkan bahwa Bank
Umum dapat melakukan kegiatan penitipan untuk
kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak. Lebih
jauh sesuai dengan SK Dir. BI No. 32/34/KEP/DIR
tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah Pasal 28
ada beberapa aktifitas kustodi yang bisa dilakukan, yaitu:
 Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri
dan/atau nasabah berdasarkan prinsip wakalah
(huruf e);
 Melakukan
kegiatan
penitipan
termasuk
penatausahannya untuk kepentingan pihak lain
berdasarkan sutau kontrak dengan prinsip wakalah
(huruf e).
Wakif selaku orang yang berwakaf dapat menyetorkan
dananya ke bank Syariah atas nama rekening BWI yang ada
di bank Syariah tersebut dan akan mendapatkan Sertifikat
Wakaf Tunai. Sertifikat Wakaf Tunai tersebut diterbitkan
oleh BWI dan ditipkan di bank Syariah. Sertifikat Wakaf
Tunai tersebut akan diadministrasikan secara terpisah dari
kekayaan bank. Karena bank Syariah hanya berfungsi
sebagai kustodi maka tanggung jawab terhadap wakif
51
terletak pada BWI. Dana wakaf yang ada di rekening BWI
kemudian akan dikelola oleh badan itu sendiri dan hasil
pengelolaan dana untuk al-mauquf ‘alaih (sasaran) juga akan
disalurkan oleh BWI.
Dalam alternatif ini keunggulan lembaga perbankan
Syariah berupa kemampuan mengelola dana, jaringan
informasi dan data distribusi, tidak dimanfaatkan secara
efektif di dalam pengelolaan dana wakaf tunai maupun
penyalurannya. Sedangkan keunggulan berupa jaringan
kantor masih dimanfaatkan.
e. Bank Syariah sebagai Kasir Badan Wakaf Indonesia
Peran bank Syariah dalam alternatif ini sangat terbatas.
Alternatif 5 ini hampir sama dengan alternatif 4 dalam hal
wakif menyetorkan dana wakaf ke bank untuk dimasukkan
ke rekening Badan Wakaf Indonesia. Perbedaannya dalah
bank Syariah tidak mengadministrasikan Sertifikat Wakaf
Tunai yang diterbitkan oleh Badan Wakaf Indonesia.
Rekening Badan Wakaf Indonesia (BWI) akan dipelihara
oleh bank Syariah sebagaimana layaknya rekening-rekening
lainnya yang akan mendapatkan bonus atau bagi hasil
sesuai dengan jenis dan prinsip Syariah yang digunakan
(Giro, Wadi’ah, Tabungan Wadi’ah atau Tabungan
Mudharabah).
Tanggung jawab terhadap wakif, pengelola dana dan
penyaluran dana akan menjadi tanggung jawab Badan
Wakaf Indonesia. Oleh karena itu Badan wakaf-lah yang
akan berhubungan dengan Lembaga Penjamin untuk
menjamin dana wakaf agar tidak berkurang pokoknya.
52
B.2. Posisi LKS dalam Peraturan Perundangan Wakaf
Jika seseorang yang akan mewakafkan sebagian uangnya
dapat dilakukan melalui LKS yang ditunjuk oleh Menteri
sebagai LKS Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU). LKS yang
ditunjuk oleh Menteri berdasarkan saran dan pertimbangan
dari BWI. Saran dan pertimbangan yang dikeluarkan oleh
BWI tersebut setelah mempertimbangkan saran instansi
terkait.
Saran dan pertimbangan dapat diberikan kepada LKS
Penerima Wakaf Uang yang memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. menyampaikan permohonan secara tertulis kepada
menteri;
b. melampirkan anggaran dasar dan pengesahan sebagai
badan hukum;
c. memiliki kantor operasional di wilayah Republik
Indonesia;
d. bergerak di bidang keuangan syariah; dan
e. memiliki fungsi menerima titipan (wadi’ah).
Agar proses penunjukan LKS sebagai LKS-PWU lebih
cepat, maka BWI wajib memberikan pertimbangan kepada
Menteri paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
LKS memenuhi persyaratan. Setelah menerima saran dan
pertimbangan BWI, Menteri paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja menunjuk LKS atau menolak permohonan dimaksud.
Adapun tugas dari LKS Penerima Wakaf Uang (LKSPWU) bertugas:
53
a. mengumumkan kepada publik atas keberadaannya
sebagai LKS Penerima Wakaf Uang;
b. menyediakan blangko Sertifikat Wakaf Uang;
c.
menerima secara tunai wakaf uang dari Wakif atas
nama Nazhir;
d. menempatkan uang wakaf ke dalam rekening titipan
(wadi’ah) atas nama Nazhir yang ditunjuk Wakif;
e. menerima pernyataan kehendak Wakif yang
dituangkan secara tertulis dalam formulir pernyataan
kehendak Wakif;
f.
menerbitkan Sertifikat Wakaf Uang serta menyerahkan
sertifikat tersebut kepada Wakif dan menyerahkan
tembusan sertifikat kepada Nazhir yang ditunjuk oleh
Wakif; dan
g. mendaftarkan wakaf uang kepada Menteri atas nama
Nazhir.
Sedangkan Sertifikat Wakaf Uang yang dikeluarkan
oleh LKS tersebut sekurang-kurangnya memuat keterangan
mengenai:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
54
nama LKS Penerima Wakaf Uang;
nama Wakif;
alamat Wakif;
jumlah wakaf uang;
peruntukan wakaf;
jangka waktu wakaf;
nama Nazhir yang dipilih; dan
tempat dan tanggal penerbitan Sertifikat Wakaf Uang;
Untuk calon Wakif berkehendak melakukan
perbuatan hukum wakaf uang untuk jangka waktu tertentu,
maka pada saat jangka waktu tersebut berakhir, Nazhir
wajib mengembalikan jumlah pokok wakaf uang kepada
Wakif atau ahli waris/penerus haknya melalui LKS
Penerima Wakaf Uang.
B.3. Membentuk Lembaga Investasi Dana
Salah satu cara pemberdayaan dana wakaf tunai tersebut
adalah dengan mekanisme investasi. Adapun jenis investasi
yang harus digalang hanya dapat dilakukan pada instrumen
keuangan yang sesuai dengan Syariah Islam dan tidak
mangandung riba. Untuk sistem perekonomian Indonesia
saat ini, berdasarkan UU Pasar Modal hanya meliputi
beberapa hal, yaitu instrumen saham yang sudah melalui
penawaran umum dan pembagian dividen didasarkan pada
tingkat laba usaha; penempatan dalam deposito pada Bank
Umum Syariah; surat utang jangka panjang; baik berupa
obligasi maupun surat utang jangka pendek yang telah
lazim diperdagangkan di antara lembaga kauangan Syariah,
yaitu termasuk jual beli utang (ba’i ad-dain) dengan segala
kontroversinya.
Siapa yang paling tepat sebagai lembaga investasi dalam
pengelolaan dana wakaf tunai? Sebenarnya Lembaga
Investasi yang bergerak di bidang pasar modal dapat
menjalankan fungsi Nazhir. Namun di lihat dari kenyataan
yang ada bahwa pasar modal cenderung volatile, maka yang
lebih tepat adalah bank –khususnya bank Syari’ah—dengan
penjelasan sebagai berikut:
55
a) Kemampuan akses kepada calon wakif
Calon wakif tentunya mereka yang memiliki kelebihan
likuiditas, terlepas seberapa besar likuiditas tersebut.
Saat ini umumnya kelebihan likuiditas masyarakat
disimpan di bank. Potensial calon wakif tentunya dapat
dilihat oleh bank dengan mengamati jumlah deposito,
tabungan atau mutasi giro yang bersangkutan, sehingga
akses ke calon wakif lebih mudah dilakukan oleh bank
beserta dengan jaringannya.
b) Kemampuan melakukan investasi dana wakaf
Investasi wakaf tunai dapat dilakukan dengan berbagai
jenis investasi, yaitu:
56

Investasi Jangka Pendek: yaitu dalam bentuk mikro
kredit. Bank-bank telah mempunyai pengalaman
dalam bentuk kerjasama dengan pemerintah untuk
menyalurkan kredit mikro, seperti skim KPKM
(Kredit Pengusaha Kecil dan Mikro) dari Bank
Indonesia (BI).

Investasi Jangka Menengah: yaitu industri/usaha
kecil. Dalam hal ini Bank di Indonesia telah terbiasa
dengan adanya beberapa skim kredit program
KKPA, KKOP dan KUK (sesuai ketentuan BI).

Investasi Jangka Panjang: yaitu untuk industri
manufaktur, industri besar lainnya. Bank
mempunyai pengalaman dalam melakukan investasi
jangka panjang seperti investasi pabrik dan
perkebunan. Bank pun mempunyai kemampuan
untuk melakukan sindikasi dengan bank lain untuk
melakukan investasi besar.
Selain penentuan tipe investasi dilihat dari jangka waktu
investasi, dana wakaf harus diinvestasikan dengan
pertimbangan keamanan investasi dan tingkat
profitabilitas usaha. Hal ini dapat dilakukan dengan
kerjasama dalam melakukan :
 Analisis sektor investasi yang belum jenuh,
melakukan spreading risk dan risk management
terhadap investasi yang akan dilakukan;
 Market survey untuk memastikan jaminan pasar dari
output/produk investasi;
 Analisa kelayakan investasi;
 Pihak yang akan bekerjasama untuk mengelola investasi tersebut;
 Monitoring terhadap proses realisasi investasi, dan
 Monitoring terhadap tingkat profitabilitas investasi
tersebut.
Kemampuan tersebut dimiliki oleh bank, karena
memang sifat bisnis bank adalah menyalurkan dana
dalam bentuk pembiayaan, baik pembiayaan investasi
maupun modal kerja.
c) Kemampuan
beneficiary
melakukan
administrasi
rekening
Pihak yang menerima benefit atas investasi wakaf
ditentukan oleh wakif. Nazhir sebagai pihak yang
57
diberikan amanah oleh wakif untuk mengelola dana
wakaf sekaligus memberikan benefitnya kepada
beneficiary, harus melakukan administrasi yang cukup
memadai, yang menjamin bahwa setiap beneficiary
mendapatkan benefit atas dana wakaf tersebut.
Administrasi ini membutuhkan teknologi dan
kemampuan SDM yang handal. Kemampuan SDM dan
kecukupan teknologi tersebut dimiliki oleh bank, yang
memang “nature” bisnisnya adalah mengelola rekeningrekening nasabah. Teknologi bank juga cukup memadai
untuk menampung banyak data base beneficiary yang
akan mendapatkan benefit.
d) Kemampuan melakukan distribusi hasil investasi dana
wakaf
Benefit hasil investasi dana wakaf harus didistribusikan
kepada beneficiary. Pendistribusian ini mengacu kepada
persyaratan yang diberikan oleh wakif terhadap pihak
yang berhak menerima benefit. Pihak pengelola dana
wakaf harus memastikan berapa besar benefit yang
diterima. Hal ini menuntut kemampuan administrasi
dan teknologi, dan bank mempunyai kemampuan
tersebut.
Bank Syari’ah juga sudah mempunyai system profit
distribution, baik dengan konsep “pool of fund” maupun
“special invesment” (mudharabah muqayyadah) yang tidak
dimiliki oleh bank konvensional. Dimana system ini
akan mem-back up pengelolaan dana wakaf tunai dengan
menggunakan system “voluntary pool of fund”. Benefit
atas dana wakaf jika diijinkan oleh wakif dapat
58
digunakan sebagai dana bergulir untuk pemberdayaan
ekonomi lemah. Hal ini sudah pernah oleh Bank
Muamalat Indonesia bekerjasama dengan Depkop &
PKM dan bentuk program P2KER (Proyek
Pengembangan Kemandirian Ekonomi Rakyat) dengan
binaan berupa Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) dan
Koperasi Pondok Pesantren (KOPONTREN) di
berbagai propinsi. Pengusaha kecil yang dibina bank
suatu saat akan bankable sehingga mampu mendapatkan
akses permodalan dari bank.
e) Mempunyai kredibilitas di mata masyarakat, dan harus
dikontrol oleh hukum/regulasi yang ketat.
Nazhir haruslah mempunyai kredilitas di mata
masyarakat karena harus mampu menjalankan amanah
melakukan investasi dan mendistribusikan benefit atas
investasi dana wakaf. Lembaga investasi yang saat ini
secara luas dikenal masyarakat dan merupakan lembaga
kepercayaan adalah bank. Dalam hal regulasi jelas,
bahwa bank merupakan lembaga yang “high regulated”
yang diatur secara ketat oleh otoritas moneter (BI),
dimana otoritas moneter juga menjamin deposit
masyarakat di bank, termasuk deposit wakaf. Kelebihan
bank Syari’ah dibanding dengan bank konvensional
adalah bahwa bank Syari’ah merupakan lembaga yang
“Syari’ah high regulated”, dimana Dewan Syari’ah
Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS)
senantiasa memantau, apakah opersional dan produk
bank Syari’ah sudah sesuai dengan ketentuan Syariah
atau tidak.
59
Dengan penjelasan tersebut, maka Nazhir yang layak
untuk mengelola wakaf tunai adalah bank, khususnya
bank Syari’ah atau pembentukan bank khusus
pengelolaan wakaf (Bank Wakaf). Dalam hal “benefit
spending/distribution” atas investasi dana wakaf bank
Syari’ah dapat melakukan aliansi dengan lembagalembaga sosial atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) dalam
rangka melakukan sinergi perberdayaan lembagalembaga umat. Jaringan LAZ yang sudah terbangun
dapat dioptimalisasikan, dan di sisi lain diharapkan
dapat meningkatkan efesiensi biaya bank dalam hal
“product delivery channel”. Berdasarkan hasil penelitian
McKinsey & Company, tahun 2000, efesiensi biaya
bank Syari’ah dalam hal “product delivery channel” sedang
dibutuhkan oleh bank Syari’ah di Indonesia pada
khususnya dan Asia Tenggara pada umumnya.
Selain memberikan porsi yang cukup kepada perbankan
Syariah dalam pengelolaan dana wakaf tunai melalui jalan
investasi, lembaga-lembaga swasta lain yang memiliki
kredibelitas baik dalam pengelolaan investasi sesuai dengan
konsep Syariat Islam harus juga diberikan ruang
kesempatan mengelola dana wakaf tunai. Sebagai sebuah
contoh kerja sama antara Nazhir wakaf dengan pihak
pengelola investasi adalah Dompet Dhuafa Republika
dengan Batasa (BTS) Capital.
Bentuk kerjasama kedua lembaga tersebut adalah
menggunakan sistem penanaman investasi, sekaligus
berwakaf dengan porsi:
60
PILIHAN
Jumlah Investasi
Jumlah Wakaf
Reksa Dana
Uang Tunai
I
10%
90%
II
30%
70%
III
50%
50%
IV
70%
30%
V
90%
10%
Jumlah investasi yang dipotong jumlah wakaf (sesuai
pilihan yang disediakan), akan kembali menjadi 100%
dalam jangka waktu sekitar 1 hingga 5 tahun. Setelah masa
pengembalian jumlah investasi, pihak wakif akan
mendapatkan keuntungan bisnis murni sesuai dengan porsi
yang ditetapkan. Artinya, dengan menanam modal
(investasi) melalui lembaga tersebut, wakif akan
mendapatkan dua keuntungan: mendapatkan keuntungan
bisnis, sekaligus bisa beramal (berwakaf).
Kemana larinya prosentase dana yang dimasukkan
kategori wakaf? Dana wakaf yang didapatkan dari model
investasi melalui BTS Capital dan Batasa Syariah Dompet
Dhuafa Republika akan disalurkan kepada kebajikan
umum,
seperti
peningkatan
layanan
kesehatan,
peningkatan fasilitas sarana dan pra-saranan pendidikan,
peningkatan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Dengan demikian, wakaf dalam Syariah Islam
sebenarnya mirip dengan sebuah economic corporation di
mana terdapat modal untuk dikembangkan yang
keuntungannya digunakan bagi kepentingan umat. Yang
61
lebih menjamin keabadian wakaf itu adalah adanya
ketentuan tidak boleh menjual atau mengubah aset itu
menjadi barang konsumtif, tetapi tetap terus
menjadikannya sebagai aset produktif. Dengan kata lain,
paling tidak secara teoritis, wakaf harus selalu berkembang
dan bahkan bertambah menjadi wakaf-wakaf baru.
Sebagai sebuah perbandingan, pemerintah Arab Saudi
misalnya, belakangan mulai menerapkan pengelolaan harta
wakaf melalui sistem perusahaan atau corporation. Setelah
berhasil dengan investasi harta wakaf dalam bentuk saham
pada sebuah perusahaan pemborong dan bangunan yang
menghasilkan
keuntungan
jauh
berlipat
ganda,
Kementerian Wakaf Arab Saudi berencana akan
mengembangkan pengelolaan wakaf dengan sistem
perusahaan secara lebih luas.
Investasi harta melalui wakaf dalam tatanan Islam
sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat unik yang
berbeda dengan investasi di sektor pemerintah (public
sector) maupun sektor swasta (private sector). Begitu
uniknya, sektor wakaf ini bahkan kadang-kadang disebut
sebagai 'sektor ketiga' (third sector) yang berbeda dengan
sektor pemeritah dan sektor swasta.
Keunikan itu, tampak bahwa pengembangan harta
melalui wakaf tidak didasarkan pada target pencapaian
keuntungan bagi pemodal -- baik pemerintah maupun
swasta -- tetapi lebih didasarkan pada unsur kebajikan (birr),
kebaikan (ihsan) dan kerja sama. Oleh karenanya, agama
menjanjikan pahala yang abadi bagi pewakaf (waqif) selama
62
aset yang diwakafkannya
kepentingan orang banyak.
masih
bermanfaat
bagi
Selain itu, secara teoritis, aset yang diwakafkan
semestinya harus terus terpelihara dan berkembang. Hal itu
terlihat dari adanya larangan untuk mengurangi aset yang
telah diwakafkan (al-mal al-mawqif), atau membiarkannya
tanpa diolah atau dimanfaatkan, apalagi untuk menjualnya.
Artinya, harus ada upaya pemeliharaan, paling tidak
terhadap pokok atau substansi wakaf dan terhadap daya
produksinya, dan pengembangan yang terus menerus.
Berkaitan dengan hal ini, menarik sekali kasus investasi
wakaf masjid yang dikembangkan di beberapa kota di
Timur Tengah seperti Mekkah, Kairo dan Damaskus.
Kemajuan di bidang teknologi bangunan arsitektur yang
memungkinkan perluasan gedung secara vertikal semakin
menambah 'nilai tukar' tanah wakaf. Akhirnya muncul
pemikiran untuk meninjau ulang sejumlah wakaf tetap
seperti masjid yang pada waktu diwakafkan hanya terdiri
dari satu lantai.
Masjid-masjid seperti itu banyak yang dibongkar dan
dibangun kembali menjadi beberapa lantai di atas tanah
yang sama. Lantai satu digunakan untuk masjid, lantai dua
digunakan untuk ruang bimbingan belajar bagi anak-anak
sekolah, lantai tiga untuk balai pengobatan, lantai empat
untuk ruang pertemuan serba guna, dan begitu seterusnya.
Semua itu, diolah dengan sistem profit yang menjamin
pengembangan investasi wakaf. Dan dari situlah terlihat
jelas, bahwa luas tanah wakaf yang sama dapat diperoleh
pemasukan yang bermacam-macam -- dalam contoh di atas
63
adalah pemasukan dari pengelolaan dana wakaf dengan
sistem penanaman investasi yang dikembangkan melalui
sistem perusahaan profit.
B.4. Menjalin Kemitraan Usaha
Untuk mendukung keberhasilan pengembangan aspek
produktif dari dana wakaf tunai, perlu diarahkan model
pengelolaan dana tersebut kepada sektor usaha yang
produktif dengan lembaga usaha yang memiliki reputasi
yang baik. Salah satu caranya adalah dengan membentuk
dan menjalin kerjasama (networking) dengan perusahaan
modal ventura. Beberapa pertimbangan atas pemilihan
tersebut antara lain:

Bentuk dan mekanisme kerja Perusahaan Modal
Ventura sangat sesuai dengan model pembiayaan dalam
Sistem Keuangan Islami (untuk mengimplementasikan
pembiayaan mudharabah maupun musyarakah). Hal ini
untuk melengkapi metode pembiayaan yang dilakukan
oleh perbankan Syariah, yang pada umumnya lebih
menekankan pada model pembiayaan murabahah.

Dana yang berasal dari wakaf tunai (melalui penerbitan
Sertifikat Wakaf Tunai) dapat digunakan untuk jangka
waktu yang relatif panjang dalam bentuk penyertaan.

Dapat mebangun hubungan bisnis yang lebih intensif
dan berkesinambungan antara Lembaga Wakaf dan
Perusahaan Modal Ventura sehingga memungkinkan
terjaminnya perkembangan usaha bagi kedua belah
pihak. Utamanya bagi lembaga wakaf hal ini sangat
64
positif karena aspek income generating dari pemanfaatan
dana-dana wakaf tunai menjadi terjamin.

Aspek pengawasan penyertaan dana pada Perusahaan
Modal Ventura menjadi lebih mudah.
Selain bekerjasama dengan perusahaan modal
ventura dalam mengelola dan mengembangkan dana
wakaf, bisa juga bekerja sama dengan:
(1) Lembaga perbankan Syari’ah atau lembaga
keuangan Syari’ah lainnya sebagai pihak yang
memiliki dana pinjaman. Dana pinjaman yang akan
diberikan kepada pihak Nazhir wakaf berbentuk
kredit dengan sistem bagi hasil setelah melalui studi
kelayakan oleh pihak bank.
(2) Lembaga investasi usaha yang berbentuk badan
usaha non lembaga jasa keuangan. Lembaga ini bisa
berasal dari lembaga lain di luar wakaf, atau
lembaga wakaf lainnya yang tertarik terhadap
pengembangan benda wakaf yang dianggap strategis.
(3) Investasi perseorangan yang memiliki modal cukup.
Modal yang akan ditanamkan berbentuk saham
kepemilikan sesuai dengan kadar nilai yang ada.
Investasi perseorangan ini bisa dilakukan lebih dari
satu pihak dengan komposisi penyahaman sesuai
dengan kadar yang ditanamkan.
(4) Lembaga perbankan Internasional yang cukup
peduli dengan pengembangan tanah wakaf di
Indonesia, seperti Islamic Development Bank (IDB).
65
(5) Lembaga keuangan lainnya dengan
pembangunan BOT (Build of Transfer).
sistem
(6) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli
terhadap pemberdayaan ekonomi umat, baik dalam
atau luar negeri.
B.4. Memberi Peran Lembaga Penjamin Syariah
Sebagai sebuah konsep yang masih baru dalam Islam,
pengelolaan wakaf tunai harus betul-betul savety (aman)
karena terkait dengan keabadian benda wakaf yang tidak
boleh berkurang. Pertanyaan yang muncul kemudian
adalah, bagaimana caranya dalam menghindari resiko
kerugian seandainya dalam pengelolaannya kelak terjadi lost
(kerugian)? Karena bagaimanapun, setiap usaha yang
dilakukan sudah pasti memiliki resiko tersebut.
Di satu sisi, pengelolaan wakaf tunai bisa kita serahkan
kepada Bank Syariah melalui konsep Wadiah, dimana bank
Syariah yang mencari perusahan untuk investasi, karena
bank lah yang lebih mengetahui mana perusahaan yang
layak dan dana wakaf tidak akan hilang karena dijamin oleh
bank Syariah terebut. Namun di sisi lain jika dana wakaf
tunai dikelola oleh lembaga Nazhir independen dengan
pola pengembangan melalui sistem perusahaan, maka
resiko kerugian akan sangat mungkin terjadi.
Untuk itu, dalam upaya memayungi agar usaha-usaha
pemberdayaan dana wakaf tunai tidak berkurang, apalagi
hilang karena lost dalam usahanya, maka diperlukan
lembaga penjamin Syariah. Lembaga penjamin Syariah ini
harus menggunakan kejelasan kontrak atau akad dalam
66
praktik muamalahnya, karena prinsip kontrak akan
menentukan sah atau tidaknya secara Syariah. Demikian
pula dengan kontrak antara peserta dengan perusahaan
asuransi.
Kalau asuransi konvensional menerapkan kontrak yang
dalam Syariah disebut kontrak jual beli (tabaduli).
Dalam kontrak ini harus memenuhi syarat-syarat kontrak
jual-beli. Ketidakjelasaan persoalan besarnya premi yang
harus dibayarkan karena bergantung terhadap kondisi
usaha lembaga peserta. Ketidakjelasaan pada kontrak
sehingga mengakibatkan akad pertukaran harta benda
dalam asuransi konvensional dalam praktiknya cacat secara
hukum.
Oleh karena itu, asuransi Syariah (lembaga penjamin
Syariah) yang akan memayungi usaha pemberdayaan wakaf
tunai, dalam kontrak yang akan digunakan bukan kontrak
jual beli melainkan kontrak tolong menolong (takafuli). Jadi
asuransi Syariah menggunakan apa yang disebut sebagai
kontrak tabarru yang dapat diartikan sebagai derma atau
sumbangan. Kontrak ini adalah alternatif uang sah dan
dibenarkan dalam melepaskan diri dari praktik yang
diharamkan pada asuransi konvensional.
Tujuan dari dana tabarru’ ini adalah memberikan dana
kebajikan dengan niat ikhlas untuk tujuan saling
membantu satu dengan yang lain sesama peserta asuransi
Syariah apabila diantaranya ada yang terkena musibah
(lost). Oleh karenanya dana tabarru’ disimpan dalam satu
rekening khusus, dimana bila terjadi risiko, dana klaim
yang diberikan adalah dari rekening dana tabarru’ yang
67
sudah diniatkan oleh semua peserta untuk kepentingan
tolong menolong.
Kontrak Al-Mudharabah
Penjelasan di atas, mengenai kontrak tabarru’
merupakan hibah yang dialokasikan bila terjadi musibah
(lost). Sedangkan unsur di dalam asuransi bisa juga berupa
tabungan. Dalam asuransi Syariah, tabungan atau investasi
harus memenuhi Syariah.
Dalam hal ini, pola investasi bagi hasil adalah cirinya
dimana perusahaan asuransi hanyalah pengelola dana yang
terkumpul dari para peserta. Secara teknis, al-mudharabah
adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana
pihak pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan
apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola.
Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan
atau kelalaian si pengelola, maka pengelola harus
bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Kontrak bagi hasil disepkati didepan sehingga bila
terjadi keuntungan maka pembagiannya akan mengikuti
kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan kontrak bagi hasilnya
adalah 60:40, dimana peserta mendapatkan 60 persen dari
keuntungan sedang perusahaan asuransi mendapat 40
persen dari keuntungan.
68
Dalam kaitannya dengan investasi, yang merupakan
salah satu unsur dalam premi asuransi, harus memenuhi
Syariah Islam dimana tidak mengenal apa yang biasa
disebut
riba.
Semua
asuransi
konvensional
menginvestasikan dananya dengan mekanisme bunga.
Dengan demikian asuransi konvensional susah untuk
menghindari riba. Sedangkan asuransi Syariah dalam
berinvestasi harus menyimpan dananya ke berbagai
investasi berdasarkan Syariah Islam dengan sistem almudharabah.
Dana Hangus
Pada asuransi konvensional dikenal dana hangus,
dimana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi
dan ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo.
Begitu pula dengan asuransi jiwa konvensional non-saving
(tidak mengandung unsur tabungan) atau asuransi
kerugian, jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim,
maka premi asuransi yang sudah dibayarkan hangus atau
menjadi keuntungan perusahaan asuransi.
Dalam konsep asuransi Syariah, mekanismenya tidak
mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun
karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, maka
dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat
diambil kembali kecuali sebagian kecil saja yang sudah
diniatkan untuk dana tabarru’ yang tidak dapat diambil.
Begitu pula dengan asuransi Syariah umum, jika habis masa
kontrak dan tidak terjadi klaim, maka pihak perusahaan
mengembalikan sebagian dari premi tersebut dengan pola
bagi hasil, misalkan 60:40 atau 70:30 sesuai dengan
69
kesepakatan kontrak di muka. Dalam hal ini maka sangat
mungkin premi yang dibayarkan di awal tahun dapat
diambil kembali dan jumlahnya sangat bergantung dengan
tingkat investasi pada tahun tersebut.
Dengan demikian, pengelolaan dana wakaf tunai dapat
dijaga eksistensinya jika terjadi lost, dan penjaminan kepada
lembaga asuransi Syariah (lembaga penjamin Syariah)
melalui penyetoran premi sesuai kesepakatan akan menjadi
modal bagi pengembangan asuransi Syariah ke depan.
C. Membuka Jaringan dan Kerjasama Wakaf
Upaya pengembangan wakaf secara nasional, bahkan
internasional harus terus dilakukan. Secara internasional
sebenarnya sudah dilakukan, khususnya di lingkungan
negara-negara anggota OKI yang diprakarsai oleh IDB yang
berpusat di Jeddah. Secara khusus, pengembangan wakaf
ini dilakukan oleh sebuah devisi yang disebut Islamic
Economics Cooperation and Development Devision (IECD).
Devisi ini merupakan salah satu dari devisi teknis dari
Islamic research and Training Institute (IRTI). Lembaga ini
selain melakukan pengkajian dan pelatihan, juga
memberikan bantuan teknis dan finansial, termasuk untuk
pengembangan wakaf. Namun demikian, suatu jaringan
kerja sama yang lebih fleksibel dan efektif diperlukan untuk
tingkat nasional, regional maupun internasional.
Di tingkat nasional, keberadaan lembaga seperti IECD
dan IRTI di bawah naungan Badan Wakaf Indonesia harus
juga dibentuk dalam rangka memberikan support sistem,
70
manajerial dan finansial dalam pengelolaan wakaf di
seluruh penjuru tanah air.
Oleh karena itu, hal-hal yang bisa dilakukan dalam
rangka membangun jaringan dan kerja sama wakaf adalah
dengan membentuk:

Jaringan lembaga-lembaga wakaf
Lembaga-lembaga pengelola wakaf (Nazhir) di
Indonesia terhitung cukup banyak, mulai dari Nazhir
tradisional sampai Nazhir yang sudah mulai mengarah pada
pengelolaan profesional. Nazhir wakaf yang cukup
menonjol diperhitungkan dalam kancah pengelolaan wakaf
di Indoensia seperti Pesantren As-Salam, Gontor Ponorogo,
Yayasan Wakaf UII Yogyakarta, Universitas Sultan Agung
Semarang, UMI Makassar, UISU Medan dan lain-lain.
Belum lagi lembaga-lembaga wakaf di bawah naungan NU,
Muhammadiyah, Persis, Al-Washliyah, Al-Irsyad dan
seterusnya. Belakangan, ada beberapa lembaga wakaf yang
juga turut berkecimpung dalam pemberdayaan wakaf-wakaf
produktif, seperti Dompet Dhuafa Republika, Pos Keadilan
Peduli Umat (PKPU), Baitul Mal Muamalat yang sudah
mulai mengembangkan jenis wakaf tunai (termasuk wakaf
investasi).
Untuk itu, dalam rangka mengefektifkan peran dan
pemberdayaan secara lebih signifikan diperlukan jaringan
informasi dan komunikasi serta kerja sama yang efektif
antara lembaga-lembaga tersebut. Bentuk jaringan informasi
dan komunikasi ini bisa berupa tukar menukar informasi,
pengalaman manajerial, aspek teknis teknologis danlain
sebagainya. Bisa juga diperluas dengan membuka kerja
71
sama dengan negara-negara di wilayah ASEAN seperti AlAmanah alamah lil Awqaf, Majelis Ugama Islam Singaore
(MUIS), Majelis Ugama Islam Malaysia dan sebagainya.

Jaringan kepakaran wakaf
Selain kerja sama di bidang kelembagaan, juga harus
terus dikembangkan kerja sama kepakaran dalam bidang
wakaf. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan
kajian-kajian yang bersifat konseptual maupun teknik
pengembangan dan pengelolaan wakaf. Tokoh-tokoh
penting Indonesia dalam rangka mengembangkan wakaf
meliputi ahli di bidang fikih wakaf, seperti Dr. Anwar
Ibrahim, KH. Didin Hafidhuddin, KH. Ma’ruf Amien, di
bidang ekonomi Islam seperti Dr. Syafi’i Antonio, Dr.
Mustafa Edwin Nasution, Karnaen Parwaatmaja,
Adiwarman Karim, MA, di bidang manajemen usaha
seperti Ismail Yusanto, dibidang desain usaha seperti
arsitektur muslim dan lain sebagainya.
Untuk tingkat internasional seperti, Dr. Monzer Kahf
dari IRTI-IDB, Dr. Dahi al-Fathi dari Al-Amanah alamah lil
Awqaf, Dr. Zag Zug, Menteri Agama dan Awqaf Mesir, Dr.
Ibrahim al-Bayyumi dari Universitas Al-Azhar, Prof. Dr.
M.A. Mannan dari Bangladesh, Dr. Zaid Abul Hajj dari AlZarqa University, dll.
Jika jaringan kepakaran wakaf ini sudah terjalin,
diharapkan diskursus pengembangan wakaf terus berjalan
dan akan bisa ditemukan inovasi-inovasi baru dalam
pemberdayaan potensi ekonomi wakaf secara lebih
menyejehterakan.
72

Jaringan permodalan, investasi dan pengembangan
Dalam
bidang
permodalan,
investasi
dan
pengembangan wakaf harus pula dibentuk jaringan yang
kuat dimana antar satu lembaga dengan lembaga yang lain
saling mendukung. Di tingkat nasional, yang sangat
memungkinkan untuk dijadikan ujung tombak permodalan
dan investasi adalah perbankan Syariah, Sertifikat Wakaf
Tunai, Sertifikat Wakaf Investasi dan lembaga atau
perorangan yang memiliki modal cukup dalam
pengembangan pemberdayaan wakaf secara umum.
Di tingkat internasional, berbagai upaya pengembangan
permodalan dan investasi dan pengembangan wakaf sudah
dilakukan di lingkungan negara-negara OKI yang diprakarsi
oleh IDB yang berpusat di Jeddah. Secara khusus,
pengembangan wakaf ini dilakukan oleh sebuah devisi yang
disebut Islamic Economics Cooperation and Development
Devision (IECD). Devisi ini merupakan salah satu dari divisi
teknis dari Islamic research and Training Institute (IRTI).
Demikian pula, berbagai jaringan pengembangan bisnis
dan investasi di dunia Islam, baik yang berpusat di Jeddah,
Turki dan Pakistan maupun lembaga-lemabaga profesional
yang dikembangkan oleh masyarakat muslim di Amerika
Serikat, dapat juga dimanfaatkan untuk pengembangan
jaringan wakaf.

Jaringan informasi dan komunikasi
Sebagian problem yang dihadapi oleh berbagai lembaga
wakaf di Indonesia, antara lain adalah kurangnya informasi
tentang sumber-sumber, kerja sama maupun teknik
73
pengembangan wakaf secara umum. Meskipun sebenarnya
berbagai lembaga wakaf maupun kementerian wakaf di
Mesir, Oman, Qatar, Syria, Lebanon, kuwait dan lain-lain
telah mengembangkan situs-situs Website yang dapat
diakses. Demikian pula berbagai situs seperti:
www.islamonline.com, www.islamicity.com, www.iftihar.
org, www.isna.org dan www.iiit.org, dan masih banyak lagi,
dapat pula dimanfaatkan untuk pengembangan jaringan
kerja sama ini.
Namun demikian, perlu pula dipikirkan bersama untuk
pengembangan jaringan informasi dan kerja sama lembagalembaga wakaf yang lebih praktis dan mudah diakses oleh
semua lapisan masyarakat. Secara teknis hal ini dapat
dilakukan oleh net providers muslim yang sekarang sedang
berkembang dengan pesat.

Penerbitan media wakaf
Jika dilihat dari aspek kebutuhan dalam rangka
mensosialisasikan proyek pengembangan wakaf, sudah
saatnya didirikan media cetak dan multi media yang secara
khusus mengembangkan informasi tentang wakaf. Untuk
itu perlu dirintis pendirian Jurnal atau Majalah tentang
wakaf di dalam bahasa Indoensia atau bahasa Melayu yang
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Islam di Asia Tenggara
(ASEAN). Meskipun upaya tersebut sedikit sudah
dimasukkan dalam rubrikasi Majalah Modal dan beberapa
penerbitan ekonomi Islam lainnya.
74
D. Meningkatkan Political Will Pemerintah
Setelah regulasi perundangan wakaf sudah
tertangani secara baik dan pola kemitraan dengan beberapa
pihak yang terkait dengan pemberdayaan wakaf sudah
terjalin, maka satu hal lagi yang harus dilakukan dalam
rangka mengembangkan wakaf tunai adalah adanya political
will pemerintah dalam meregulasi peraturan perundangan
yang terkait, seperti UU moneter dan keuangan,
perpajakan, perdagangan, perindustrian dan lain-lain. Hal
ini dilakukan dalam rangka memback up secara utuh agar
wakaf dapat dikelola secara profesional.
Selain masalah peraturan perundangan yang terkait
dengan pemberdayaan wakaf, aspek anggaran juga harus
mendapat perhatian. Kalau selama ini anggaran untuk
pengembangan wakaf masih belum memadai, maka di masa
depan harus bisa dinaikkan secara signifikan. Hal ini terkait
dengan pembenahan secara menyuluruh terhadap infrastruktur maupun supra-struktur pasca diundangkannya UU
Wakaf.
Hal yang cukup penting selain hal-hal di atas adalah
pemberdayaan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah dan Perda yang mendukung pemberdayaan wakaf
produktif di setiap Propinsi dan Kabupaten secara
maksimal. Undang-undang yang mengatur tentang
Otonomi Daerah memberikan peluang atas peran
pemerintah daerah secara signifikan dalam upaya
pemberdayaan wakaf secara produktif.
Di daerah yang memiliki otonomi khusus seperti
dijalankannya Syariat Islam, pemerintah daerah bersama
75
DPRD setempat sangat mungkin membuat sebuah
peraturan atau Perda yang secara khusus mengatur
pemberdayaan wakaf secara produktif.
Sebagai langkah awal, perlu dimulainya proyekproyek percontohan dalam rangka memberdayakan tanahtanah strategis yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Sehingga wakaf dapat memberikan dampak secara nyata
bagi kesejahteraan masyarakat banyak
76
Bagian Ketiga
PERLUASAN PEMANFAATAN DANA
Hasil pengelolaan dana wakaf tunai dapat dimanfaatkan
secara lebih luas dalam rangka kesejahteraan masyarakat
banyak. Jika selama ini aspek kesejahteraan masyarakat
kurang atau bahkan tidak tertangani secara memadai oleh
pemerintah, dana-dana yang dihasilkan dari pengelolaan
wakaf tunai dapat membantu meringankan tugas-tugas
negara, minimal untuk kalangan umat Islam sendiri. Lebihlebih kondisi riil umat Islam Indonesia yang menduduki
jumlah mayoritas sampai saat ini masih jauh dari sejahtera.
Oleh karena itu, dana-dana segar yang didapatkan dari
hasil pemberdayaan wakaf tunai tersebut tidak hanya untuk
kepentingan yang selalu terkait dengan ibadah secara
sempit seperti bangunan masjid, mushalla, makam, pondok
pesantren dan lain-lain, tapi juga bisa dimanfaatkan untuk
kepentingan sosial yang lebih luas dan menyeluruh.
Pemahaman lama yang menempatkan pemanfaatan dari
benda wakaf hanya untuk ibadah yang bersifat formil harus
sudah ditinggalkan. Karena aspek kesejahteraan masyarakat
itu sendiri memiliki variable yang sangat luas. Variablevariable tersebut meliputi pendidikan, kesehatan, pelayanan
sosial dan pengembangan ekonomi melalui pemberdayaan
usaha kecil dan menengah. Berikut ini akan diuraikan
secara singkat, bidang-bidang apa saja yang dapat disupport
secara lebih memadai agar masyarakat dapat segera
merasakan betul arti sebuah kesejahteraan yang diinginkan
oleh ajaran wakaf itu sendiri. Dalam pengulasannya nanti
77
akan difokuskan pada dua aspek besar, yaitu pembangunan
yang bersifat fisik dan pemberdayaan dan pengembangan.
A. Dalam Bidang Pendidikan
Mencermati anggaran pendidikan yang disediakan oleh
APBN sampai saat ini masih sangat memprihatinkan. Hal
ini membuktikan pemerintah belum secara serius
menggarap sektor pendidikan. Ada banyak sebab yang
mengakibatkan hal tersebut, diantaranya karena rendahnya
kesadaran para pemegang otoritas negeri ini terhadap aspek
pendidikan atau karena minimnya ketersediaan anggaran.
Akibatnya, mutu pendidikan masyarakat Indenesia
terhitung masih rendah dan SDM yang dihasilkan memiliki
daya saing yang rendah.
Realitas ini menunjukkan betapa kapasitas dan wawasan
bangsa ini belum bisa berpikir jauh ke depan. Yakni
kapasitas dan wawasan kita masih berkutat pada kondisi
kekinian saja sehingga solusi dan pemecahan problem
melulu bersifat teknis pragmatis, tidak strategis jangka
panjang. Walaupun solusi teknis pragmatis tetap sangat
dibutuhkan, tetapi mestinya solusi tersebut tidak
mengorbankan program-program strategis jangka panjang.
Karena itu diperlukan keberanian untuk menempatkan
prioritas di bidang pendidikan sehingga sektor-sektor lain
harus ada pengurangan atau penghematan anggaran dan
konsentrasi. Kerja-kerja dan perbaikan serta peningkatan
bidang pendidikan tidak bisa dijalankan secara reaktif,
sambil lalu dan sekenanya, melainkan mesti dengan cara
pro-aktif, intensif, sistematis dan strategis.
78
Dari segi anggaran negara, pendidikan kita masih jauh
dari ideal. Jika dibandingkan dengan anggaran pendidikan
negara-negara maju yang mencapai 7 persen dari Gross
Domestic Product (GDP), negara-negara berkembang sangat
terpaut jauh, yaitu 2,5 persen. Yang lebih menyedihkan lagi
untuk kasus Indonesia hanya berkisar 1 persen dari GDP.
Melihat keterbatasan tersebut, adakah konsep fund for
education yang mampu ditawarkan Islam? Untuk menjawab
pertanyaan ini, ada baiknya, kita lihat bagaimana lembagalembaga pendidikan Islam klasik mampu berkiprah dan
survive.
Mencermati lembaga-lembaga Islam terkemuka seperti
Al-Azhar University Kairo, Universitas Zaituniyyah di Tunis,
dan ribuan Madaris Imam Lisesi di Turki. Terbetik dalam
pikiran kita bagaimana mereka bisa besar, mampu bertahan
berabad-abad lamanya, dan memberikan beasiswa kepada
jutaan mahasiswa selama lebih 1000 tahun dari seluruh
penjuru dunia? Pertanyaan ini mengemuka karena baik AlAzhar, Zaituniyyah, demikian juga Universitas Nizamiyah
(yang pernah dipimpin Imam Al-Ghazali) di Baghdad
bukanlah lembaga pendidikan yang fully profit oriented.
Mereka adalah lembaga pendidikan yang lebih bercorak
sosial.
Apakah
mungkin
pendanaannya
hanya
mengandalkan sedekah dan infak masyarakat setempat,
sementara mereka harus membiayai operasionalnya sendiri,
membangun sarana belajar-mengajar tambahan, dan
memberikan beasiswa kepada jutaan mahasiswa yang mana
Indonesia termasuk paling banyak menikmati fasilitas ini.
Salah satu jawabannya adalah mereka telah berhasil
79
mengembangkan cash waqf (wakaf tunai) sebagai sumber
dana untuk pengembangan dan operasional pendidikan.
Dalam catatan sejarah Islam, cash waqf (wakaf tunai)
ternyata sudah dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az-Zuhri
(wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak
dasar tadwin al-hadits memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar
dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial,
dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah
dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha
kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.
Ada tiga filosofi dasar yang harus ditekankan ketika kita
hendak menerapkan prinsip cash waqf (wakaf tunai) dalam
dunia pendidikan. Pertama, alokasi cash waqf (wakaf tunai)
harus dilihat dalam bingkai “proyek terintegrasi”, bukan
bagian-bagian dari biaya yang terpisah-pisah. Contohnya
adalah anggapan dana wakaf akan “habis” bila dipakai
untuk membayar gaji guru atau upah bangunan, sementara
wakaf harus “abadi”. Dengan bingkai proyek, sesungguhnya
dana wakaf akan dialokasikan untuk program-program
pendidikan dengan segala macam biaya yang terangkum di
dalamnya.
Kedua, asas kesejahteraan nazhir. Sudah terlalu lama
nazhir sering kali diposisikan kerja asal-asalan (dalam
pengertian sisa-sisa waktu dan bukan perhatian utama) dan
wajib “berpuasa”. Sebagai akibatnya, seringkali kinerja
nazhir asal-asalan juga. Sudah saatnya, kita menjadikan
nazhir sebagai profesi yang memberikan harapan kepada
lulusan terbaik umat dan profesi yang memberikan
80
kesejahteraan di akhirat, tetapi juga di dunia. Di Turki
misalnya, badan pengelola wakaf mendapatkan alokasi 5
persen dari net income wakaf. Angka yang sama juga
diterima Kantor Administrasi Wakaf Bangladesh.
Sementara itu, The Central Waqf Council India
mendapatkan 6 persen dari net income pengelolaan dana
wakaf. Sedangkan di Indonesia, sesuai dengan Undangundang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf sebesar 10%
dari net income.
Ketiga, asas transparansi dan accountability di mana
badan wakaf dan lembaga yang dibantunya harus
melaporkan setiap tahun akan proses pengelolaan dana
kepada umat dalam bentuk audited financial report termasuk
kewajaran dari masing-masing pos biayanya.
Kemudian, langkah-langkah apa yang bisa dilakukan
untuk memperbaiki bidang pendidikan umat Islam
Indonesia setelah tersedianya sumber dana dari wakaf
tunai? Berikut ini diuraikan sekala prioritas yang bisa
ditempuh:
Pembangunan
a. Pesantren
Sebagai sebuah lembaga pendidikan tertua di negeri
ini, pesantren telah ada dan berkembang khususnya di
tanah Jawa sejak abad ke-17. Keberadaan pesantren dalam
sejarah Indonesia telah melahirkan hipotesis yang
barangkali memang telah teruji, bahwa pesantren dalam
perubahan sosial bagaimanapun senantiasa berfungsi
sebagai “platform” penyebaran dan sosialisasi Islam.
81
Nurcholish Madjid, cendekiawan muslim yang pernah
mengenyam pendidikan di pesantren menyatakan bahwa
pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman,
tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia
(indigenous). Secara paedagogis pesantren merupakan
lembaga pendidikan tradisional Islam yang bertujuan untuk
memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam
dengan menekankan pentingnya moral Islam sebagai
pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
Dalam dinamika perkembangannya, pesantren tetap
kokoh dan konsisten mengikatkan dirinya sebagai lembaga
pendidikan yang mengajarkan dan mengembangkan nilainilai Islam. Realitas ini tidak saja dapat dilihat ketika
pesantren menghadapi banyak tekanan dari pemerintah
kolonial belanda, namun pada masa pasca-proklamasi
kemerdekaan pesantren justru dihadapkan pada suatu
tantangan yang cukup berat yaitu adanya ekspansi sistem
pendidikan umum dan madrasah modern.
Di tengah kondisi yang demikian, di mana masyarakat
semakin diperkenalkan dengan perubahan-perubahan baru,
eksistensi lembaga pendidikan pesantren tetap saja menjadi
alternatif bagi pelestarian ajaran agama Islam. Pesantren
justru tertantang untuk tetap survive dengan cara
menempatkan dirinya sebagai lembaga yang mampu bersifat
adaptatif menerima dinamika kehidupan.
Realitas di atas menunjukkan bahwa perkembangan
pesantren terus menapaki tangga kemajuan, bahkan ada
kecenderungan menunjukkan trend, di sebagian pesantren
telah mengembangkan kelembagaannya dengan membuka
82
sistem madrasah, sekolah umum, dan di antaranya ada yang
membuka semacam lembaga pendidikan kejuruan seperti
bidang pertanian, peternakan, teknik, perbengkelan dan
sebagainya.
Meskipun perjalanan pesantren terus mengalami
fluktuasi perubahan, pada dataran praktis pesantren tetap
memiliki fungsi-fungsi sebagai: (1) Lembaga pendidikan
yang melakukan transformasi imu-ilmu agama (tafaqquh fi
al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic values), (2) Lembaga
keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control),
dan (3) Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa
sosial (social engineering). Relevan dengan peran pesantren
pada zamannya, fungsi pesantren menjadi tiga; sebagai
lembaga pendidikan, lembaga sosial dan lembaga penyiaran
agama.
Meskipun pesantren telah diakui sebagai lembaga
pendidikan yang memiliki kontribusi yang cukup besar
dalam pembangunan bangsa ini, namun selama beberapa
periode pemerintahan bangsa ini, pesantren kurang
mendapat perhatian secara memadai, khususnya terkait
dengan anggaran APBN. Bahkan yang lebih ironis lagi,
pesantren sampai saat ini masih dianggap dan ditempatkan
sebagai lembaga informal yang tidak memiliki kesejajaran
kualitas dengan lembaga-lembaga sekolah di bawah
departemen pendidikan nasional. Pada puncak yang sangat
memprihatinkan, pesantren pernah dituduh sebagai tempat
atau sarang tumbuh-suburnya aksi-aksi terorisme sesaat
setelah terjadinya aksi bom Bali (12 Oktober 2001) yang
83
berdampak amat dahsyat bagi citra pesantren, Islam dan
bangsa Indonesia secara umum.
Berangkat dari pengalaman sosiologis itu, pesantren
harus didukung secara penuh agar eksistensi, idealisme dan
tanggung jawab pesantren tetap terjaga oleh seluruh
komponen masyarakat. Salah satu bentuk yang cukup
penting dalam meningkatkan kualitas dan peran pesantren
di tengah-tengah masyarakat adalah adanya penyediaan
sarana dan prasarana pesantren yang memadai, seperti
pembangunan gedung-gedung yang memadai dan lengkap
dengan fasilitas-fasilitas yang lebih modern dan
mencerdaskan bagi masyarakat pesantren seperti
laboratorium, perpustakaan, sarana olah raga, jaringan
komunikasi global, dll).
Upaya-upaya tersebut akan sulit terwujud jika hanya
mengandalkan perhatian pemerintah yang sampai saat ini
tak kunjung muncul secara proporsional. Jika toh
mendapat perhatian dari para penguasa atau calon
penguasa lebih karena adanya kepentingan yang bersifat
sesaat, seperti perlunya dukungan politik dari para kyai
dengan seluruh kekuatan massa dan kharisma yang
dimilikinya.
Untuk itu, sebagai salah satu upaya tersebut,
pemberdayaan dana-dana wakaf tunai yang sudah dikelola
secara proporsional menjadi hal yang sangat menjanjikan.
Wakaf tunai yang memiliki kekuatan ekonomi yang maha
dahsyat jika dikelola secara profesional dan amanah akan
menjadi sumber pendanaan yang cukup memadai untuk
mengembangkan dan meningkatkan sarana dan prasarana
84
pesantren di tanah air. Dengan demikian pesantren
memiliki kemandirian yang kokoh dan tidak mudah
dijadikan objek kepentingan oleh para penguasa dan calon
penguasa seperti yang terjadi selama ini.
b. Madrasah dan Perguruan Tinggi Islam
Dalam khazanah kehidupan manusia Indonesia,
madrasah merupakan fenomena budaya yang berusia lebih
dari satu abad. Bahkan bukan suatu hal yang berlebihan,
madrasah telah menjadi salah satu wujud entitas budaya
Indonesia yang dengan sendirinya menjalani proses
sosialisasi yang relatif intensif. Indikasinya adalah kenyataan
bahwa wujud entitas budaya ini telah diakui dan diterima
kehadirannya. Secara berangsur namun pasti, ia telah
memasuki arus utama pembangunan bangsa menjelang
akhir abad ke-20 ini.
Kata madrasah, yang secara harfiah identik dengan
sekolah agama, setelah mengarungi perjalanan peradaban
bangsa diakui telah mengalami perubahan dan penyesuaian
dengan dinamika sosial, walaupun tidak melepaskan diri
dari makna asal sesuai dengan ikatan ideologi dan
budayanya, yaitu Islam.
Madrasah dalam perjalanannya juga telah terbukti
mampu melahirkan tokoh-tokoh nasional dari masa ke
masa seperti : Agus Salim, Wahid Hasyim, Mukhtar Natsir,
Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Nurcholis Madjid,
Hasyim Muzadi, Syafi’i Ma’arif dan lain sebagainya. Ini
semua menegaskan keberhasilan madrasah dalam mencetak
anak bangsa yang unggul, meskipun diakui juga ada
sebagian produk madrasah yang mengekspresikan
85
perjuangannya dengan cara agak berlebihan, sehingga
memunculkan kecurigaan banyak kalangan terhadap citra
madrasah yang selama ini humanis dan moderat. Setigma
tidak sedap ini tidak hanya menyudutkan posisi madrasah
di kancah nasional, tetapi juga internasional, bahkan dalam
beberapa hal telah mengesampingkan konstribusi besar
madrasah dalam mengisi dinamika peradaban umat
manusia.
Sebagai sebuah lembaga yang memiliki komitmen tinggi
terhadap nilai-nilai agama, madrasah bermetamorfosa
menjadi sebuah lembaga yang terus mengikuti
perkembangan jaman. Dari persamaan konsep yang
mengedepankan nilai-nilai agama, madrasah yang dulu
hanya dikenal pada tingkat dasar (ibtidaiyyah), menengah
(Tsanawiyah) dan atas (Aliyah), kemudian dikembangkan
pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu perguruan-perguruan
tinggi Islam, seperti IAIN (sekarang UIN), UII, UMI, UMJ,
UISU dan lain-lain. Namun sayangnya, lembaga-lembaga
pendidikan formal yang dimiliki oleh umat Islam tersebut
masih banyak yang kurang terurus karena minimnya
anggaran, seperti gedung yang rusak, bangku sekolah yang
tidak layak, perpustakaan yang tidak lengkap, tidak ada
laboratorium dan sebagainya. Yang lebih tragis lagi, citra
madrasah dan perguruan tinggi Islam sampai saat ini masih
dianggap “miring” seperti kumuh, jorok, tidak profesional,
dan lulusannya pun dianggap kurang kompetitif.
Untuk itu, dalam rangka meningkatkan peran madrasah
dan Perguruan Tinggi Islam diperlukan sarana dan
prasarana yang memadai seperti gedung dan fasilitas
pendidikan lainnya. Dan sumber dana yang sangat
86
memungkinkan adalah diambilkan dari pemberdayaan
lembaga-lembaga keagamaan seperti wakaf tunai.
c.
Lembaga riset untuk masyarakat
Keberadaan lembaga riset untuk kepentingan
masyarakat banyak merupakan keniscayaan di tengah
kebutuhan respon yang cepat dalam dunia yang serba
modern. Lemahnya kemampuan umat Islam Indonesia
dalam menyikapi seluruh problematika yang muncul dan
berdampak negatif bagi mereka karena belum tersedianya
lembaga riset publik. Sebagai contoh yang sangat riil adalah
kasus pada tahun 1989 terkait dengan adanya isyu lemak
babi yang tercampur dalam produk-produk industri
modern seperti mi instan, susu kaleng, sabun mandi dan
sebagainya yang sempat mengguncang perekonomian
nasional. Dan secara berurutan kasus serupa terjadi lagi
seperti kasus Ajinomoto, daging illegal, coca-cola, permen
narkoba dan sebagainya.
Meskipun
persoalan
tersebut
lebih
banyak
berhubungan dengan political will pemerintah, namun jika
umat Islam memiliki lebaga riset (laboratorium halal) yang
diberikan otoritas untuk mengkaji dan mengawasi produkproduk konsumsi, maka hal tersebut tidak akan pernah
terjadi.
Memang, kasus tersebut menjadi awal yang cukup
penting bagi kesadaran umat Islam akan hak-haknya, yaitu
perlindungan konsumsi yang bebas dari barang haram
(najis). Dan Mejelis Ulama Indonesia (MUI) telah
87
meresponnya dengan mendirikan Lembaga Pengkajian
Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LP POM). Namun
sampai saat ini laboratorium yang digunakan masih
menggunakan fasilitas yang dimiliki oleh Institut Pertanian
Bogor (IPB). Sebuah upaya agar umat Islam memiliki
laboratorium halal memang telah dilakukan Departemen
Agama dengan membangun gedung tersebut dengan segala
perangkat yang ada, namun belum bisa berperan lebih
banyak. Tentu saja ini menjadi keprihatinan bersama, di
tengah tuntutan peran umat Islam yang lebih riil dalam
mengarahkan aspek keyakinan ajaran agamanya.
Selain itu, umat Islam juga masih memerlukan
lembaga-lembaga riset di bidang ekonomi dalam rangka
menegakkan sistem Syariah, bidang astronomi dalam
rangka menemukan format penentuan hari-hari besar
Islam, bidang hukum dalam rangka menyerap aspek-aspek
nilai hukum keislaman yang memungkinkan diterapkan
dalam sistem perundangan negara kita, bidang medis agar
hukum Islam dapat merespon secara lebih tepat dan
menyeluruh atas masalah-masalah medis yang muncul,
bidang telekomunikasi dalam rangka merespon secara lebih
cepat dan taktis untuk meng-counter terhadap isyu-isyu
miring yang sering ditimpakan kepada umat Islam, dan
sebagainya.
Sedangkan upaya pendirian lembaga-lembaga riset yang
memadai tersebut memerlukan pembiayaan yang tidak
sedikit. Untuk itu dana wakaf tunai yang sudah dikelola
bisa dijadikan salah satu sumber dana yang sangat potensial
dalam rangka membiayai proyek-proyek pembangunan fisik
lembaga-lembaga tersebut.
88
d. Perpustakaan
Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional adalah tersedianya berbagai sarana dan
pra-sarana pendidikan yang memadai seperti perpustakaan
yang lengkap dan sarana teknologi informasi (internet,
televisi, radio dll) yang bisa di akses setiap saat oleh
manajemen sekolah dan guru dalam rangka menunjang
penyelenggaraan proses pendidikan di sekolah maupun di
pesantren. Tentu saja ketersediaan perpustakaan dan sarana
teknologi informasi global tersebut harus dikelola secara
baik pula agar tidak menjadi benda mati yang tidak
berfungsi banyak, atau justru bisa menghambat proses
pendidikan.
Sedangkan selama ini lembaga-lembaga pendidikan
(khususnya madrasah dan Perguruan Tinggi Islam) banyak
yang tidak memiliki sarana dan prasarana perpustakaan
yang memadai. Banyak gedung-gedung perpustakaan yang
sudah tidak terurus, fasilitas yang kurang memadai, bukubuku yang tidak updated, jaringan informasi yang lemah dan
lain sebagainya.
Oleh karena itu, sudah saatnya peran perpustakaan
untuk meningkatkan mutu pendidikan harus segera di atasi
dengan memberikan support pembiayaan pembangunan
fisik dan sarana lainnya. Dan sumber dana yang bisa
dijadikan penopangnya adalah dengan memberdayakan
potensi-potensi ekonomi yang dimiliki oleh umat Islam,
khususnya wakaf tunai.
89
Pemberdayaan dan Pengembangan
a. Kurikulum
Selama tiga dasawarsa terakhir ini, sistem pendidikan
nasional kita belum mampu berbicara banyak terhadap
berbagai kebutuhan dan tantangan, baik pada level nasional
maupun global. Program peningkatan kualitas dan
pemerataan pendidikan yang selama ini menjadi fokus
pembinaan masih menjadi masalah paling menonjol dalam
dunia pendidikan kita. Peningkatan kualitas pendidikan
masih banyak harus diperbaiki dan disempurnakan di sana
sini, dan pemerataan pendidikan masih menjadi ‘pekerjaan
rumah’ yang membutuhkan keseriusan semua pihak,
khususnya political will pemerintah dalam merelokasi
anggaran pendidikan secara mendasar.
Pasa sisi lain, tantangan dan perkembangan lingkungan
strategis, baik nasional, regional maupun internasional
dalam berbagai bidang semakin berat. Cepatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya
di bidang informasi dan tranpostasi yang mempunyai
dampak sangat dahsyat dalam kehidupan, terbukanya pintu
pasar bebas yang memberikan peluang kesempatan
persaingan yang sangat ketat, derasnya arus demokratisasi,
HAM, isyu-isyu lingkungan dan lain-lain merupakan
tantangan yang harus segera dijawab oleh bangsa Indonesia
agar tetap hidup (survive), bahkan kalau bisa memenangkan
90
kompetisi dalam percaturan kehidupan antar bangsa di
dunia.
Tentu saja berbagai problematika dan tantangan
tersebut di atas akan kembali pada pembinaan dan
penerapan sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini.
Karena pendidikan adalah hal utama dalam penciptaan
SDM yang berkualitas. Maka dari itu, dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional masa depan,
perhatian perbaikan sistem pendidikan harus ditujukan
pada minimal pada aspek : perbaikan kurikulum dan
perbaikan kualitas manajemen pendidikan, selain
perbaikan sarana prasarana, tenaga kependidikan dan
partisipasi masyarakat dalam penyelenggraan pendidikan.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan, tidak bisa
terlepas dari upaya memperbaiki kualitas kurikulum yang
dianggap kurang memadai, bahkan sangat menjemukan.
Dengan demikian, perubahan paradigma kurikulum
menjadi hal yang sangat mendesak dilakukan dan
disosialisasikan dalam rangka meningkatkan mutu
pendidikan secara umum. Karena komponen pendidikan
tersebut sangat berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan
suatu proses pendidikan dan penciptaan sumber daya
manusia (SDM) untuk menjawab tantangan masa depan
Indonesia.
Dan upaya pembenahan kurikulum tersebut
memerlukan komitmen bersama, baik pihak penguasa yang
memiliki otoritas dalam regulasi kependidikan, maupun
masyarakat sebagai pihak yang harus kritis mensikapi
seluruh proses perjalanan pendidikan. Untuk itu, seluruh
91
komponen masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap
pendidikan harus memikirkan agar bagaimana kurikulum
yang akan diterapkan di sekolah-sekolah baik formal
maupun informal dapat meningkatkan kualitas SDM yang
tangguh, dengan cara mengfasilitasi seluruh proses
pengkajian dan penetapan kurikulum yang baik. Tentu saja,
keseluruhan proses tersebut membutuhkan pembiayaan
yang tidak sedikit. Untuk itu, adanya dana wakaf tunai
dapat dijadikan salah satu sumber yang menjanjikan dalam
rangka meningkatkan kualitas kurikulum pendidikan secara
lebih baik dan menjanjikan.
b. Sumber Daya Manusia (SDM)
Adapun bentuk-bentuk pemberdayaan hasil pengelolaan
wakaf tunai yang terkait dengan pengembangan sumber
daya manusia (SDM), yaitu dengan:
 Mensubsidi sekolah, madrasah, pesantren dan
Perguruan Tinggi Islam yang memiliki dana terbatas
dalam rangka penyelenggaraan pendidikan murah;
 Mengadakan pelatihan-pelatihan SDM pendidikan yang
mengarah aspek kualitas dan keunggulan wacana;
 Mengadakan pendidikan gratis bagi kaum lemah
(dhuafa) seperti: yatim piatu, anak-anak putus sekolah
dari kalangan fakir miskin.
 Penyediaan alat-lat tulis, buku-buku bacaan dan sarana
lainnya secara gratis bagi sekolah atau madrasah dan
Perguruan Tinggi;
92
 Perluasan dan pengembangan pendidikan yang sesuai
untuk pengembangan keterampilan;
 Fasilitas pendidikan informal untuk anak-anak di
rumah (seperti program pendidikan ibu, daftar bacaan
anak);
 Mendukung program riset (penelitian) yang melibatkan
banyak pihak;
 Mendukung kebudayaan lokal, tradisi dan promosi
kesenian;
 Mengadakan aktifitas-aktifitas dakwah;
 Mendukung pendidikan kejuruan secara umum;
 Mendukung pendidikan secara spesifik/area tertentu;
 Membiayai secara khusus madrasah/sekolah/kursus di
bidang tertentu;
 Mendidik anak cucu/keturunan secara layak;
 Mendukung proyek-proyek di bidang pendidikan,
penelitian, agama dan pelayanan sosial;
 Menetapkan pengawas pengajaran;
c.
Proyek-proyek riset teknologi tepat guna
Selain membangun lembaga-lembaga riset yang
memiliki fasilitas yang memadai, pemberdayaan hasil
pengelolaan wakaf tunai harus diarahkan kepada
pemberdayaan kerja-kerja (proyek) riset. Selama ini, dunia
pendidikan di Indonesia terlihat masih tertinggal
93
kualitasnya dibandingkan dengan negara-negara tetangga
seperti Malaysia, Singapore, Thailand dan lain-lain.
Disamping faktor sistem yang mempengaruhinya, dunia
pendidikan kita belum memberikan porsi yang baik bagi
tumbuhnya budaya riset, khususnya riset-riset teknologi
tepat guna.
Sebagai sebuah negara yang memiliki kemiripan budaya
dan kondisi sosial budaya, India, China, Korea bisa
dijadikan contoh sebagai negara-negara yang mampu
mengembangkan riset-riset teknologi tepat guna, seperti
teknologi yang digunakan untuk pengembangan pertanian,
perkebunan, perikanan dan sebagainya. Selama ini bangsa
kita masih memiliki ketergantungan yang cukup tinggi
kepada negara-negara dimaksud.
Oleh karena itu, tersedianya dana dari hasil
pengelolaan wakaf tunai dapat dijadikan sumber yang
cukup potensial bagi berkembangnya budaya dan iklim riset
bagi tumbuhnya teknologi tepat guna. Pemanfaatan
teknologi tepat guna menjadi hal yang sangat strategis di
tengah upaya bangsa Indonesia keluar dari bayang-bayang
negara lain agar segera keluar dari ketergantungan
ekonomi.
B. Dalam Bidang Kesehatan dan Fasilitas RS
Keberadaan wakaf juga terbukti telah banyak membantu
bagi pengembangan ilmu-ilmu medis melalui penyediaan
fasilitas-fasilitas publik di bidang kesehatan dan pendidikan.
Penghasilan wakaf bukan hanya digunakan untuk
94
penyediaan obat-obatan dan menjaga kesehatan manusia,
tetapi juga obat-obatan untuk hewan. Mahasiswa bisa
mempelajari obat-obatan serta penggunaannya dengan
mengunjungi rumah sakit-rumah sakit yang dibangun dari
dana hasil pengelolaan asset wakaf. Bahkan, pendidikan
medis kini tidak hanya diberikan oleh sekolah-sekolah
medis dan rumah sakit, tetapi juga telah diberikan oleh
masjid-masjid dan universitas-universitas seperti Universitas
Al Azhar di Kairo (Mesir) yang dibiayai dana hasil
pengelolaan asset wakaf. Bahkan pada abad ke-4 Hijriyah,
rumah sakit anak yang didirikan di Istambul (Turki)
dananya berasal hasil pengelolaan asset wakaf. Di Spanyol,
fasilitas rumah sakit yang melayani baik Muslim maupun
non Muslim, juga berasal hasil pengelolaan asset wakaf. Dan
pada periode Abbasyiah, dana hasil pengelolaan asset wakaf
juga digunakan untuk membantu pembangunan Pusat Seni
dan telah sangat berperan bagi perkembangan arsitektur
Islam terutama arsitektur dalam pembangunan masjid,
sekolah, dan rumah sakit.
Untuk itu, agar sektor kesehatan masyarakat lebih
mendapatkan perhatian lebih serius, perlu adanya upaya
dari semua pihak, khususnya lembaga-lembaga keagamaan
yang memiliki potensi ekonomi cukup tinggi untuk ikut
serta berperan dalam persoalan tersebut. Selain melalui
pemberdayaan ZIS (zakat, infak dan sedekah),
pemberdayaan dana wakaf tunai yang sudah dikembangkan
bisa menjadi alternatif yang sangat menjanjikan. Paling
tidak, dengan adanya dukungan riil dari dana wakaf tunai,
tugas-tugas pemerintah dalam sektor pendidikan dapat
terbantu.
95
Adapun agenda besar yang dapat dilakukan dalam
rangka penyediaan sarana-prasarana dan peningkatan
pelayanan kesehatan masyarakat meliputi:
Pembangunan
a.
Rumah Sakit dan Poliklinik
Keberadaan rumah sakit, poliklinik dan lembaga yang
peduli terhadap bidang kesehatan memiliki peran yang
sangat strategis di tengah-tengah masyarakat. Apalagi di saat
kondisi sosial ekonomi yang kurang menguntungkan.
Selama ini, rakyat Indonesia (umat Islam) merasakan betul
minimnya sarana kesehatan yang disediakan oleh
pemerintah.
Oleh karena itu, keberadaan lembaga-lembaga tersebut
harus terus dibangun dan dikembangkan dengan segala
fasilitas yang memadai dalam rangka memperbaiki bidang
kesehatan. Tentu saja, konsep pembangunannya harus
mempertimbangkan aspek sosial, yaitu dengan disertainya
konsep subsidi silang antara rumah sakit elit (untuk
kalangan ekonomi menengah dan atas) dengan rumah sakit
biasa (untuk kalangan ekonomi lemah). Dengan sistem
subsidi silang ini diharapkan adanya pemerataan bagi
terjaminnya pelayanan kesehatan untuk masyarakat umum.
Sistem subsidi silang yang diterapkan dipergunakan untuk
kepentingan:
(a) Pengobatan murah dan atau gratis bagi fakir miskin,
yatim piatu, janda dan lain-lain;
96
(b) Penjaminan kesehatan bagi para kaum cacat, jompo dan
anak-anak terlantar;
Disamping faktor fungsi sosial untuk eksternal, lembagalembaga
kesehatan
tersebut
harus
memberikan
kesejahteraan bagi para pengelola, dokter, perawat, tenaga
administrasi, ahli gizi, dan petugas teknis lainnya dengan
gaji yang layak. Hal ini dimaksudkan agar dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat berjalan
dan berfungsi secara optimal. Sehingga dengan demikian
keberadaan rumah sakit, poliklinik dan sarana kesehatan
lainnya tidak hanya dijadikan obyek bisnis, tapi juga
mempertimbangkan sebagai pusat pemberdayaan antar
sesama yang didasari oleh semangat sosial untuk terjalinnya
kehidupan yang lebih baik.
Upaya-upaya tersebut tentu saja memerlukan dukungan
penuh para pihak yang terkait dengan bidang kesehatan,
baik pemerintah, LSM maupun masyarakat pada
umumnya.
Keterlibatan masyarakat
yang
sangat
memungkinkan dalam fungsi tersebut adalah partisipasi
dalam gerakan pengumpulan dana wakaf tunai, dimana
hasil pengelolaannya bisa dijadikan sumber keuangan yang
sangat potensial dalam bidang kesehatan.
b. Apotik dan Alat-alat Medis
Tidak kalah pentingnya, keberadaan apotik dengan
penyediaan obat-obatan yang lengkap-berkualitas dan alatalat medis yang canggih dan lengkap menjadi hal yang
97
harus mendapat perhatian bersama. Berdirinya gedung
rumah sakit, poliklinik dan lembaga kesehatan lainnya
tidak akan bisa berfungsi secara maksimal jika di dalamnya
tidak dilengkapi dengan tersedianya obat-obatan dan alatalat medis yang mendukung. Kita sangat merasakan betul,
betapa rumah sakit, poliklinik yang ada di sekitar kita
masih memiliki ketersediaan obat-obatan dan alat-alat
medis yang belum lengkap. Bahkan ada sebuah rumah sakit
yang terhitung besar ternyata tidak memiliki obat-obatan
dan alat-alat medis yang layak, sehingga dalam penanganan
pasiennya sering memberikan rujukan ke rumah sakitrumah sakit luar negeri.
Untuk itu, dana wakaf tunai dapat dijadikan salah satu
sumber penyediaan apotik dan alat-alat medis untuk
kepentingan pelayanan kesehatan masyarakat banyak.
Bagi kalangan lemah, berdirinya apotik-apotik yang
dibangun oleh dana-dana wakaf tunai harus menyediakan
obat-obatan murah bahkan gratis untuk kalangan tidak
mampu. Selama ini kaum fakir miskin sangat merasakan
betul mahalnya obat-obatan. Akibatnya, banyak dari
kalangan mereka mengalami sakit atau bahkan kematian
yang cenderung meningkat disebabkan oleh faktor
ketidakmampuan mereka membeli obat-obatan yang dijual
di toko-toko obat.
Pemberdayaan dan Pengembangan
Sebagai sebuah pilar bagi maju tidaknya sebuah
bangsa, bidang kesehatan harus mendapat perhatian yang
98
cukup bagi semua elemen bangsa, baik pemerintah maupun
elemen bangsa lainnya. Selain pembangunan fisik yang
terkait dengan bidang kesehatan, pemberdayaan dan
pengembangan di bidang kesehatan juga patut manjadi
konsentrasi kita.
a. Pengembangan SDM Kesehatan
Kondisi kesehatan masyarakat Islam Indonesia dalam
posisi yang sangat memprihatinkan. Selain aspek
penyediaan sarana kesehatan yang masih jauh dari
memadai, kondisi sumber daya manusia (SDM) kesehatan
kita juga masih sangat rendah. Rendahnya kualitas SDM
kesehatan lebih karena belum adanya pola penyelesaian
yang sistematis melalui penyelenggaraan pendidikan dan
latihan (diklat) dengan metode yang lebih efektif.
Karena salah satu aspek yang sangat berperan terhadap
pengembangan dan peningkatan mutu tenaga/SDM
Kesehatan ialah melalui pendidikan dan pelatihan (diklat).
Ada dua hal pokok yang perlu segera diantisipasi dalam
upaya peningkatan mutu SDM Kesehatan melalui diklat,
yaitu:

Pertama, perubahan paradigma di bidang diklat yang
berkembang khususnya perubahan orientasi pelatihan,
dari trainer oriented menjadi learner oriented, hal ini
tentunya menuntut adanya perubahan kebijakan, pola
pikir dan pengembangan program serta pelayanan
pelatihan.
99

Kedua, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (Iptek) di bidang informasi dan komunikasi
berpengaruh langsung terhadap perkembangan
teknologi pembelajaran.
Namun, cepatnya perkembangan Iptek tersebut belum
semuanya dapat diikuti oleh setiap institusi pendidikan dan
pelatihan dalam upaya pengembangan dan pelaksanaan
proses pembelajaran. Hal ini karena keterbatasan sumber
daya untuk memenuhi sumber belajar (pengajar, bahan
belajar dan sarana belajar) yang sesuai dengan tuntutan
kebutuhan dan perkembangan Iptek di bidang kesehatan
serta metode dan teknologi pembelajaran.
Salah satu konsekuensi dari perubahan tersebut adalah
permasalahan sumber daya manusia khususnya SDM
kesehatan baik di tingkat pusat, propinsi, maupun
kabupaten/kota. Kebutuhan akan SDM kesehatan yang
handal dan profesiobnal di bidangnya merupakan tuntutan
yang tidak bisa dihindari lagi.
Namun perlu dipertimbangkan implikasi lain yaitu,
tersedianya sumber daya yang bervariasi di setiap propinsi
dan kabupaten/kota. Di satu sisi ada daerah yang
mempunyai sumber daya yang sangat minim, sehingga
alokasi dana untuk pengembangan sumber daya manusia
sangat terbatas. Di sisi lain ada propinsi yang mempunyai
sumber daya yang sangat berlebih, sehingga pemenuhan
kebutuhan materi (kesejahteraan) sudah tercukupi yang
akhirnya
terjadi
menurunnya
motivasi
untuk
mengembangkan dirinya.
100
Untuk itu, diperlukan upaya nyata yang efektif dan
efisien dalam menciptakan SDM-SDM kesehatan yang
handal dengan penyediaan anggaran yang memadai melalui
dana wakaf tunai. Upaya-upaya tersebut bertujuan:
1. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan masyarakat,
khususnya umat Islam yang sampai saat ini masih
menganggap jeleknya pelayanan dan tingginya biaya
kesehatan;
2. Pengembangan kesehatan masyarakat dengan selalu
mengadakan penyuluhan dan advokasi kesehatan agar
dapat terjaga dari berbagai penyakit;
3. Menciptakan lingkungan hidup sehat dan budaya sehat
antara lain : UKS, penyuluhan keluarga sehat,
peningkatan gizi balita dan sebagainya.
c.
Peningkatan Riset Bidang Kesehatan
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa ketersediaan
SDM kesehatan yang masih belum memadai, lebih karena
belum adanya budaya riset dalam bidang ini. Jika
dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti
Malaysia, Thailan, Singapura dan lain-lain, Indonesia masih
sangat ketinggalan dalam dunia riset dalam bidang
kesehatan.
Oleh karena itu, dengan adanya dana wakaf tunai
diharapkan dapat dialokasikan untuk kepentingan risetriset dalam bidang kesehatan yang dirasa sangat mendesak
dilakukan. Sehingga jika riset-riset kesehatan terus
101
dikembangkan akan memberikan wacana dan penanganan
kesehatan secara lebih baik di tengahtengah masyarakat
C. Dalam Bidang Pelayanan Sosial
Harus diakui, bahwa sarana pelayanan sosial di
Indonesia terkenal sangat buruk. Hal tersebut terkait
dengan sumber pendanaan pemerintah masih yang sangat
minim. Jika tersedia, sarana pelayanan sosial terlihat sangat
tidak terawat, atau bahkan tidak bisa digunakan untuk
kepentingan masyarakat banyak, seperti jembatan dan jalan
rusak, rumah sakit yang kotor dan sangat tidak memadai,
sarana angkutan umum yang sangat tidak layak, pasar yang
kotor dan tidak teratur, pembuangan sampah yang kacau
dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, dengan adanya dana wakaf tunai
diharapkan dapat menunjang hal-hal yang terkait dengan:

Pembangunan fasilitas umum yang lebih memadai dan
manusiawi.

Pembangunan tempat-tempat ibadah dan lembaga
keagamaan yang representatif
Sedangkan dalam rangka pemberdayaan dalam bidang
pelayanan sosial ini dapat diadakan berbagai aktifitas untuk
pengembangan antara lain:

102
Meningkatkan kemampuan kaum dhuafa melalui
berbagai pelatihan keterampilan kerja dan pembinaan
kesadaran akan pentingnya disiplin dan kerja keras;

Membuat sebuah pola manajemen pengelolaan
lembaga santunan untuk kaum lemah, cacat dan
terlantar lainnya;

Membuat berbagai macam proyek-proyek dakwah yang
mencakup di bidang yang luas, seperti penanggulangan
akidah umat Islam akibat tekanan ekonomi yang
menghimpit masyarakat pedalaman, proyek pembinaan
anak-anak korban Narkoba dan “broken home” dan
lain sebaginya.
Proyek peningkatan pelayanan sosial ini dapat kita
jalankan dengan baik melalui sumber dana yang jelas
seperti dana-dana wakaf tunai yang sudah dikelola secara
profesional. Sehingga pemerintah mendapatkan dukungan
yang nyata dalam rangka menciptakan kesejateraan yang
lebih luas.
D. Dalam Bidang Pengembagan Usaha Kecil dan
Menengah (UKM)
Krisis ekonomi yang masih melanda bangsa ini sangat
berdampak pada kondisi sosial masyarakat banyak.
Ambruknya bangunan dasar-dasar ekonomi bangsa menjadi
kunci persoalan untuk memperbaiki (recovery) ekonomi
masyarakat. Para pelaku ekonomi yang merasakan betul
dampak buruk dari kondisi tersebut adalah para pengusaha
kecil dan menengah.
Jumlah UKM di Indonesia selama ini menempati lebih
dari 95% pelaku bisnis di Indonesia. Akan tetapi, sektor ini
103
cenderung diabaikan. Banyak kelemahan UKM yang masih
belum ditangani dengan baik. Diantaranya, faktor modal
dan pengelolaan. Kalau persoalan permodalan ini dapat
diatasi dengan baik, maka secara otomatis mayoritas pelaku
bisnis UKM akan terhindar dari modal rentenir.
Masalahnya adalah, bagaimana solusinya agar pelaku bisnis
UKM dapat diatasi dan memungkinkan dapat menerapkan
prinsip syariah? Sedangkan di sisi lain ada beberapa
kelembagaan Islam yang memiliki potensi besar, seperti
zakat dan juga wakaf tunai?
Pengembangan dan Pemberdayaan
Usaha pengembangan dan pemberdayaan UKM dalam
rangka meningkatkan daya saing produknya banyak
mengalami kendala karena beberapa faktor antara lain
keterbatasan permodalan, terbatasnya sumber daya manusia
yang berkualitas, kurangnya pemahaman dan kemampuan
dalam sains dan teknologi, kurangnya kemampuan
manajemen terutama manajemen produksi dan pemasaran.
Untuk itu usaha-usaha peningkatan dan pemberdayaan
UKM selayaknya didasarkan pada tujuan untuk mengatasi
faktor-faktor yang selama ini menjadi kendala dalam
pengembangan dan pemberdayaan UKM antara lain:

104
Memprioritaskan pembinaan dan pengembangan UKM
yang menggunakan bahan baku berasal dari sumber
daya alam dan industri pendukungnya untuk pasar
dalam dan luar negeri seperti agro industri, kerajinan
keramik dan gerabah;

Memberi peluang lebih besar kepada lembaga
profesional perbankan, dan juga lembaga non
keuangan lainnya seperti lembaga nazhir wakaf tunai
untuk berpartisipasi aktif dalam pembinaan dan
pengembangan UKM seperti menyediakan fasilitas
permodalan bagi UKM;

Membantu UKM dalam hal kemampuan penguasaan
teknologi proses dan produksi antara lain melalui
pelatihan, rancang bangun dan perekayasaan serta
desain produk sehingga dapat meningkatkan mutu,
efisiensi, dan produktivitas;

Membantu pemasaran dan promosi UKM baik di
dalam maupun luar negeri;

Pembangunan
Infrastruktur
pemberdayaan ekonomi rakyat;
yang
mendukung
Selain faktor modal usaha kecil dan menengah secara
umum masih menghadapi berbagai kendala seperti tidak
punya kemampuan produksi, jaringan atau faktor lain.
Faktor eksternal seperti iklim usaha yang tidak kondusif.
Sebenarnya untuk iklim yang tidak kondusif biasanya
memicu UKM. Tapi biasanya pertumbuhan UKM ini
bukan karena bagus, tapi karena kurangnya peluang di
bidang lain.
Untuk memajukan UKM dengan sistem Syariah
merupakan hal yang sangat berpengaruh dalam perbaikan
ekonomi umat, terutama bagi pelaku bisnis UKM.
Bagaimana sistem Syariah menentukan jalan UKM?
105
Mekanisme pasar yang terbaik menurut Syariah adalah
mengikuti mekanisme pasar. Kuncinya masyarakat yang
bisa mengatur diri sendiri. Tetapi, pemerintah perlu
berperan memberikan proteksi dan perangkat hukum
untuk memajukan sistem UKM Syariah itu sendiri agar
mereka memiliki kepastian usaha.
Untuk itu, dalam rangka menerapkan sistem Islam
(Syariah) dalam masyarakat membutuhkan strategi dan
keseriusan untuk penggalangan kekuatan. Untuk
permodalan misalnya, dibutuhkan strategi untuk transfer
dana, dengan cara yang lebih Islami dan tidak
menggunakan sistem bunga. Sistem permodalan dengan
sistem Syariah dapat dilakukan melalui institusi perbankan
Syariah dan juga lembaga-lembaga keagamaan lain, seperti
Perbankan Syariah, Badan Amil Zakat, Lembaga Amil Zakat
dan Badan Wakaf Indonesia yang di dalamnya mengelola
wakaf tunai.
Persoalan UKM, memang terlihat menyeluruh. Padahal,
mayoritas pelaku ekonomi Indonesia berasal dari kalangan
UKM. Karena itu, sudah selayaknya menjadi perhatian
semua pihak secara sungguh-sungguh. Untuk membantu
para pelaku bisnis UKM harus ada transfer dari pemilik
modal ke pelaku bisnis UKM, tanpa beban bunga dan
sistem Syariah yang profesional. Pemilik modal yang dapat
dijadikan sandaran pengembangan UKM adalah adanya
lembaga atau seperti badan wakaf tunai
106
Bagian Keempat
PELAKSANAAN PROYEK PERCONTOHAN
A. Studi Kelayakan Usaha
Sebagai langkah riil yang bisa dilakukan dalam
mengelola benda-benda wakaf, baik yang tidak bergerak
(seperti tanah) maupun yang bergerak (seperti uang dan
lain-lain) adalah dengan membuat sebuah studi kelayakan
usaha terlebih dahulu. Karena studi kelayakan usaha
merupakan kegiatan usaha yang direncanakan, sesuai
dengan kondisi, potensi serta peluang yang tersedia dari
berbagai aspek. Dengan demikian, dalam menyusun studi
kelayakan usaha harus meliputi sekurang-kurangnya aspekaspek sebagai berikut: 1. Pendahuluan, 2. Aspek pasar dan
pemasaran, 3. Aspek teknis dan teknologis, 4. Aspek
ekonomi dan keuangan, 5. Kesimpulan dan rekomendasi
serta lampiran-lampiran yang diperlukan.
1. Penduhuluan
Yang perlu diuraikan dalam bab penduhuluan, antara
lain latar belakang masalah yang memberikan jawaban dari
beberapa pertanyaan, seperti jenis-jenis kegiatan atau
gagasan usaha pemberdayaan wakaf yang akan
direncanakan sebagai proyek percontohan, alasan-alasan
dalam pemilihan gagasan usaha, serta manfaat apa saja yang
dapat diperoleh dengan adanya gagasan usaha tersebut.
Gagasan usaha yang disajikan juga dijelaskan, apakah
dalam bentuk usaha baru atau merupakan perluasan dari
usaha yang telah ada serta jenis produk yang dihasilkan.
109
Dilihat dari segi manfaat/benefit dari gagasan usaha
yang akan direncanakan, perlu diuraikan benefit yang dapat
diterima akibat adanya gagasan usaha tersebut, baik yang
bersifat financial benefit maupun yang bersifat social benefit.
Secara umum harus diuraikan juga peranan keseluruhan di
samping manfaat finansial berupa return equity terhadap
penanaman modal. Selain faktor-faktor di atas, perlu juga
diuraikan tentang kerangka analisis dari penyusunan studi
kelayakan, baik yang berhubungan dengan kepentingan
usaha maupun yang berhubungan
dengan lembagalembaga yang membiayai gagasan usaha pemberdayaan
wakaf, seperti lembaga perbankan Syariah, para investor,
lembaga donor dan lain sebagainya.
2. Aspek Pasar dan Pemasaran
Aspek pasar dan pemasaran adalah inti dari penyusunan
studi kelayakan. Kendatipun secara teknis telah
menunjukkan hasil yang feasible untuk dilaksanakan, tetapi
tidak ada artinya apabila tidak dibarengi dengan adanya
pemasaran produk dari produk yang dihasilkan. Oleh
karenanya, dalam membicarakan aspek pemasaran harus
benar-benar diuraikan secara baik dan realistik baik
mengenai masa lalu mapun prospeknya di masa yang akan
datang, serta melihat bermacam-macam peluang dan
kendala yang mungkin akan dihadapi. Permintaan pasar
dari produk yang dihasilkan, merupakan dasar dalam
penyusunan jumlah produksi, jumlah produksi itu sendiri
merupakan dasar dalam rencana pembelian bahan baku,
jumlah tenaga kerja yang diperlukan, serta fasilitas lainnya
yang dibutuhkan.
110
Dalam uraian aspek pasar dan pemasaran, sekurangkurangnya harus melingkupi peluang pasar, perkembangan
pasar, penetapan pangsa pasar, dan langkah-langkah yang
perlu dilakukan di samping kebijaksanaan yang diperlukan.
Untuk pembahasan dalam peluang pasar perlu disajikan
angka-angka permintaan dan penawaran daerah pemasaran
dari produk yang dihasilkan pada masa lalu (trend
perkembangan permintaan) dan membuat perkiraan
perkembangan permintaan terhadap produk yang
direncanakan di masa yang akan datang. Bila produk yang
dihasilkan mempunyai pemasaran secara nasional, perlu
disajikan permintaan dan penawaran secara nasional, dan
bila produk yang dihasilan mempunyai pemasaran secara
daerah tertentu, juga perlu disajikan data penawaran dan
permintaan secara daerah tersebut. Demikian pula dalam
aspek pasar dan pemasaran harus diuraikan mengenai
kendala-kendala yang dihadapi dalam pemasaran, seperti
pesaing, kekuatan dan kelemahannya, serta menguraikan
keunggulan-keunggulan dari usaha yang direncanakan.
Peluang market space (peluang pasar) dan market share
(peluang yang dapat dimanfaatkan) merupakan penentuan
pangsa pasar yang didasarkan pada proyeksi permintaan
dan penawaran. Dalam kebijakan pemasaran, juga
ditentukan harga pokok dari produk yang dihasilkan yang
dihitung berdasarkan pada biaya bahan baku, biaya tenaga
kerja langsung dan biaya overhead pabrik. Berdasarkan pada
perhitungan ini, ditentukan pula harga jual dengan
menetapkan persentase keuntungan yang didasarkan pada
pertimbangan di atas, dalam aspek pasar dan pemasaran
perlu juga diuraikan mengenai program dan teknis
111
pemasaran, baik mengenai cara pendistribusian produk
yang dihasilkan, cara promosi, pengangkutan, penjualan,
pergudangan, sistem pembayaran dan lain-lain yang
dianggap perlu dalam aspek pasar dan pemasaran.
3. Aspek Teknis dan Teknologis
Aspek teknis dan teknologis dibahas setelah usaha
tersebut dinilai layak dari aspek pemasaran. Faktor-faktor
yang perlu diuraikan adalah yang menyangkut lokasi usaha
yang direncanakan, sumber bahan baku, jenis teknologi
yang digunakan di samping membuat rencana produksi
selama umur ekonomis proyek.
Apabila studi kelayakan yang disusun adalah bidang
usaha produksi atau kegiatan yang melakukan pengolahan,
faktor utama yang perlu dimuat dalam aspek teknis
produksi adalah lokasi usaha yang akan dikembangkan.
Faktor-faktor yang perlu dijelaskan, antara lain dilihat dari
segi bahan baku, keadaan pasar, penyediaan tenaga kerja,
transportasi dan fasilitas tenaga listrik, serta penanganan
limbah jika diperlukan.
Disamping itu juga perlu dijelaskan kemungkinan
untuk mengadakan ekspansi di masa yang akan datang,
baik dilihat dari kemungkinan tersedianya areal serta
lingkungan, maupun situasi dan kondisi dimana lokasi
usaha tersebut ditetapkan. Demikian pula dengan sumber
bahan baku yang diperlukan, apakah bersumber dari luar
negeri, dalam negeri atau sebagian dari luar sebagian dari
dalam. Jika bersumber dari dalam negeri, pada daerah
tertentu, juga perlu diketahui tertang persediaan bahan
tersebut dalam waktu yang relatif lama, baik jumlahnya
112
maupun
kualitasnya
sehingga
dapat
menjamin
keberlangsungan usaha yang direncanakan.
Pemilihan terhadap jenis teknologi yang digunakan juga
perlu dijelaskan, baik mengenai jenis, jumlah dan ukuran
bila diperlukan serta alasan-alasan dalam pemilihan,
dihubungkan dengan masalah yang dihadapi disamping
investasi lainnya.
Dalam aspek teknis produksi, perlu juga dibuat rencana
produksi pada setiap tahun selama umur ekonomis proyek
yang didasarkan pada peluang pasar, kapasitas produksi,
serta penyusunan keperluan kegiatan secara teknis.
4. Aspek Organisasi dan Manajemen
Dalam aspek organisasi dan manajemen, yang perlu
diuraikan adalah bentuk kegiatan dan cara pengelolaan dari
gagasan usaha yang direncanakan secara efisien. Apabila
bentuk dan sistem pengelolaan telah dapat ditentukan
secara teknis (jenis pekerjaan yang diperlukan) dan
berdasarkan kepada kegiatan usaha, disusun bentuk
struktur organisasi yang cocok dan sesuai untuk
menjalankan kegiatan tersebut. Berdasarkan pada struktur
organisasi yang ditetapkan, kemudian ditentukan jumlah
tenaga kerja serta keahlian yang diperlukan.
5. Aspek Ekonomi dan Keuangan
Aspek ekonomi dan keuangan yang perlu dibahas,
antara lain menyangkut dengan perkiraan biaya investasi,
perkiraan biaya operasi dan pemeliharaan, kebutuhan
modal kerja, sumber pembiayaan, perkiraan pendapatan,
perhitungan kriteria investasi. Selain perhitungan ini, juga
perlu ditampilkan perhitungan break even point (BEP)
113
beserta pay back period, proyeksi laba/rugi, proyeksi aliran
kas dan dampak usaha terhadap perekonomian masyarakat
secara keseluruhan.
a. Perkiraan Investasi
Jumlah dan jenis investasi apa saja yang diperlukan
dalam rencana kegiatan usaha yang akan dikerjakan harus
jelas, baik mengenai jumlah dan jenisnya maupun harga
dari masing-masing investasi dan dibentuk dalam sebuah
tabel. Harga dari masing-masing investasi sedapat mungkin
harus sesuai dengan harga pada saat pengadaan investasi
sehingga tidak terjadi penyimpangan dalam perhitungan.
b. Biaya Operasi dan Pemeliharaan
Biaya operasi dan pemeliharaan terdiri dari biaya tetap
(fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Perhitungan
biaya ini harus disusun dan dihitung sedemikian rupa
sehingga tidak ada unsur biaya yang tertinggal. Hal ini
sangat perlu karena keadaan ini akan mempengaruhi
perhitungan analisis kriteria investasi yang digunakan
sebagai indikator dalam menentukan feasible tidaknya
rencana usaha yang akan dikembangkan. Disamping
perhitungan tersebut, penentuan unsur biaya yang dihitung
dari semua unsur biaya berhubungan dengan perhitungan
harga pokok produksi yang akan digunakan dalam
menentukan harga jual dari produk yang dihasilkan.
Biaya tetap terdiri dari gaji karyawan tetap, bunga bank,
pengembalian pokok pinjaman, penyusutan, asuransi dan
biaya tetap lainnya yang harus dapat ditentukan besarnya
114
setiap tahun selama umur ekonomis dari usaha yang
direncanakan.
Demikian pula terhadap biaya tidak tetap (variable cost),
yaitu biaya yang diperlukan untuk membiayai proses
produksi, dimana besar kecilnya biaya tergantung pada
besar kecilnya jumlah produksi. Dalam hal ini harus
ditentukan biaya-biaya apa saja yang diperlukan dan jenis
serta jumlah biaya. Biaya varible terdiri dari biaya bahan
baku, biaya upah tenaga kerja langsung, biaya bahan bakar,
biaya pengangkutan, sewa gedung dan lain sebagainya.
Dalam membuat biaya ini hendaknya dibuat suatu
rekapitulasi biaya, baik biaya tetap maupun biaya tidak
tetap dalam sebuah tabel.
c. Sumber Pembiayaan
Sumber pembiayaan, baik biaya investasi maupun
modal kerja harus direncanakan secara jelas dan terperinci.
Dalam hal ini harus dapat ditentukan komposisi modal
secara jelas, berapa persen sumber modal yang berasal dari
investor maupun saham, dan beberapa persen pula yang
berasal dari pinjaman luar (kredit).
Bila pendanaan yang diharapkan sebagian dari
pinjaman (kredit), juga harus jelas berapa jumlahnya dan
syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, baik cara
pengembalian pinjaman, tingkat bunga, jangka waktu
pinjaman, dan syarat-syarat lainnya yang berhubungan
dengan pinjaman karena hal ini berhubungan erat dengan
kemampuan usaha yang direncanakan.
115
d. Perkiraan Pendapatan
Perkiraan pendapatan atau benefit yang diterima dari
usaha yang akan dikembangkan juga harus benar-benar
dapat diperkiraan secara benar sehingga keputusan yang
diambil benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.
Perkiraan benefit dalam bentuk finansial direncanakan
sesuai dengan rencana produksi dan rencana penjualan.
Bentuk penerimaan ini dapat digolongkan atas dua bagian,
yaitu penerimaan yang berasal dari hasil penjualan barangbarang yang diproses dan penerimaan yang berasal dari luar
barang-barang yang diproses.
Penerimaan yang berasal dari luar kegiatan usaha tapi
berhubungan dengan adanya kegiatan usaha, seperti
penerimaan dalam bentuk bonus karena pembelian barangbarang kebutuhan kegiatan usaha, penerimaan dari bagi
hasil bank Syariah, scrape value (nilai sisa aset), dan
penerimaan lainnya seperti sewa gedung, sewa kendaraan
dan lain sebagainya bila ada.
e. Analisis Kriteria Investasi
Analisis kriteria investasi yang dimaksudkan disini
adalah mengadakan perhitungan mengenai feasible atau
tidaknya usaha yang dikembangkan dilihat dari segi kriteria
investasi. Analisis ini sangat diperlukan apabila usaha yang
sedang direncanakan dalam bentuk jenis kegiatan produksi,
sekurang-kurangnya dilihat dari segi Net Present Value
(NPV), Internal Rate of Return (IRR), maupun Net Benefit
Cost Ratio (Net B/C). Faktor-faktor yang perlu diperhatikan
di sini adalah perkiraan investasi, modal kerja, biaya operasi
dan pemeliharaan, serta perkiraan pendapatan.
116
f. Break Even Point dan Pay Back Period
Break even point adalah suatu tingkat produksi dimana
total revenue sama dengan total cost (TR=TC). Tingkat BEP
ini dapat dilihat dari 3 bagian, antara lain dari segi jumlah
produksi, lamanya waktu pengembalian biaya, dan jumlah
biaya yang dikeluarkan. Tingkat BEP dilihat dari jumlah
produksi bertujuan untuk mengetahui jumlah produksi
yang dapat menghasilkan profit. Dalam analisis ini juga
perlu dihitung jumlah produksi yang dapat menghasilkan
maximum profit (MR=MC) sebagai indikator bagi pengusaha
dalam menjalankan produksi nantinya.
Tingkat BEP dilihat dari segi waktu, maksudnya untuk
mengetahui berapa lama usaha yang direncanakan baru
dapat menutupi segala biaya yang dikeluarkan. Ukuran ini
sangat penting untuk diketahui, karena terlalu lama waktu
mengembalikan total biaya belum tentu layak bagi semua
pengusaha (investor) kendatipun usaha ini feasible untuk
dikembangkan.
Dilihat dari segi jumlah biaya yang dikeluarkan,
maksudnya berapa jumlah biaya yang dikeluarkan baru
berada dalam keadaan BEP. Khusus untuk usaha yang
bergerak dalam produksi perlu dihitung pay back period,
yaitu suatu jangka waktu untuk mengembalikan jumlah
investasi dari usaha yang direncanakan.
Semakin cepat usaha tersebut dapat mengembalikan
investasi, semakin baik kegiatan usaha karena jumlah
investasi yang dikembalikan dapat digunakan pada usaha
lain yang dapat menghasilkan benefit baru. Demikian pula
dengan cepatnya pengembalian investasi, semakin mudah
117
dalam penggantian aset baru dengan menggunakan
teknologi yang lebih baru. Tidak jarang terjadi pada akhirakhir ini karena perubahan teknologi yang begitu cepat,
pemakaian aset lama kendatipun masih baik dilihat dari
segi teknis tapi tidak layak lagi dilihat dari segi ekonomis,
karena usaha sejenis telah menggunakan aset baru dengan
teknologi baru sehingga harga pokok dapat ditekan dan
kualitas produksi dapat ditingkatkan.
g. Proyeksi Laba Rugi dan Aliran Kas
Proyeksi laba rugi dan aliran kas dibentuk dalam jangka
waktu tertentu untuk melihat prospek keuangan dari usaha
yang direncanakan. Dengan adanya proyeksi laba rugi dan
aliran kas dapat diketahui posisi keuangan di masa yang
akan datang, di samping itu dapat digunakan sebagai
pedoman/indikator bagi pengusaha (nazhir) dalam
menjalankan usaha.
6. Kesimpulan dan Rekomendasi
6.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang perlu diuraikan dari hasil pembahasan
sebelumnya adalah apakah gagasan usaha yang
direncanakan ini feasible atau tidak dilihat dari berbagai
aspek, terutama dari segi aspek marketing dan aspek
keuangan. Dalam kesimpulan ini dicantumkan angka-angka
yang mendukung dari statmen yang dikemukakan.
6.2. Rekomendasi
Rekomendasi yang dimaksudkan di sini adalah suatu
rekom yang diberikan oleh penyusun studi kelayakan yang
118
dapat ditujukan pada siapa saja yang berhubungan dengan
penanganan usaha, baik pada lembaga perbankan Syariah
sebagai sumber dana maupun pada pemerintah yang
memberikan ijin usaha dari pendirian proyek, dan lain
sebagainya. Rekomendasi yang diberikan oleh penyusun
studi kelayakan adalah berdasarkan pada hasil perhitungan
dan penelitian.
B. Studi Kasus Pemberdayaan Tanah Wakaf Strategis
Studi kasus ini merupakan perumpamaan dalam
pemberdayaan tanah wakaf yang berada dalam wilayah yang
sangat strategis secara ekonomi. Sebagai sebuah kasus
perumpamaan yang akan dijadikan contoh dalam
pemberdayaan tanah-tanah wakaf strategis di seluruh
pelosok nusantara, sebelumnya kami mohon maaf terlebih
dahulu kepada pihak-pihak yang merasa kurang berkenan
terhadap beberapa aspek yang dijadikan ukuran dan
standar pengembangan tanah wakaf yang berada di sekitar
Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Ukuran dan standar
pengembangannya berdasarkan pengamatan yang bersifat
sekilas sehingga dimungkinkan adanya sebuah analisa atau
perkiraan yang kurang akurat (kurang pas), baik dari segi
sosial-ekonomi maupun alasan keagamaan yang terkait
dengan wakaf.
Di atas tanah wakaf tersebut berdiri sebuah Masjid Jami’
berlantai dua, dan sekitarnya ada bangunan lembaga
pendidikan yang dikelola oleh yayasan. Melihat dari lokasi
yang berada dalam wilayah yang sangat strategis secara
ekonomi, seharusnya tanah wakaf tersebut bisa
diberdayakan secara optimal, sehingga nazhir wakaf akan
119
memperoleh keuntungan yang berlipat ganda demi
kesejahteraan masyarakat banyak.
a. Latar Belakang
Tanah wakaf yang di atasnya berdiri sebuah masjid
berlantai dua dan bangunan lembaga pendidikan Islam
tersebut berada dalam wilayah yang sangat strategis secara
ekonomi. Potret lokasi tanah wakaf itu sangat dekat dengan
kawasan perkantoran dan pusat bisnis segitiga emas, yaitu
Kuningan, Sudirman dan Thamrin. Apalagi di sekitar
lokasi tanah tersebut berdiri beberapa bangunan bisnis
megah seperti Bank Global, Bank Subentra, Argo
Manunggal, Hotel Kartika Chandra, Plaza Kanindo, Saudi
Air Lines, Widya Chandra, Gedung Telkom dan lain-lain.
Melihat dari jenis gedung-gedung bisnis dengan
karakteristik usaha yang ada di sekitar tanah wakaf tersebut
merupakan mesin uang yang sangat besar dan merupakan
sumber pendapatan ekonomi yang luar biasa.
Oleh karena itu, pemberdayaan tanah wakaf tersebut
dengan membuat sebuah rancangan gedung bisnis Islami
(Wakaf Centre) berlantai 10+ yang memiliki level setara
dengan gedung-gedung yang berada di sekitarnya di bawah
naungan nazhir wakaf profesional menjadi sebuah
keniscayaan. Sebagai sebuah perbandingan kasar tanpa
bermaksud menilai atau memperkiraan kondisi yang
sesungguhnya, menurut hitung-hitungan ekonomi, yayasan
(nazhir wakaf) tentu mengalami kesulitan pendanaan, atau
minimal belum memiliki sumber finansial yang bisa
diandalkan dalam pengembangan yayasan dengan segala
program-program dakwah dan idealismenya.
120
Sebagai sebuah contoh: dengan kondisi tanah wakaf
yang hanya didirikan masjid dan lembaga pendidikan
Islam, nazhir wakaf diperkirakan mendapatkan pemasukan
dana
perawatan, pemeliharaan dan penyelenggaraan
pendidikan “hanya” 10% yang diperoleh dari peredaran
kotak amal setiap sholat Jum’at ditambah lagi dari sumber
dana lain yang tidak terikat seperti sumbangan donator,
penyewaan ruko milik yayasan (kalau ada) sebesar 30%.
Sehingga kalau dijumlah secara total, pendanaan yang akan
diterima oleh nazhir dari seluruh kebutuhan primer setiap
bulannya, seperti kebutuhan listrik, gaji marbot, gaji para
ustad (khatib), gaji guru di lembaga pendidikan tersebut,
gaji pengurus yayasan, perawatan alat-alat masjid, telepon,
PAM dan program dakwah lainnya “hanya” puas dengan
40%. Bagaimana dengan sisa kekurangan dana sebesar 60%
untuk menutupi devisit setiap bulannya? Biasanya nazhir
wakaf sering mengedarkan proposal bantuan dana kepada
para donatur yang peduli terhadap dakwah Islam, atau
bahkan nazhir wakaf yang seharusnya pantas mendapatkan
upah bulanan, terpaksa mengeluarkan dana dari kontong
sendiri.
Melihat dari kondisi obyektif di atas, pemberdayaan
tanah wakaf di atas dengan berbasis pada pertimbangan
ekonomi di sekitar lokasi menjadi keniscayaan. Bahkan jika
upaya pemberdayaan betul-betul dilaksanakan, maka
diperkiraan nazhir wakaf akan memperoleh keuntungan
yang sangat besar yang diperkirakan mencapai lebih 300 % 400% dari anggaran pembiayaan yang ditetapkan setiap
bulannya, dibandingkan dengan kondisi saat ini. Maka secara
ekonomi, nazhir wakaf tidak terkena beban sisa seperti
121
kekurangan biaya operasional. Uraian keuntungan ekonominya
dapat dijabarkan sebagai berikut :
 Nazhir wakaf yang professional tidak perlu bersusah
payah mencari dana dengan mengajukan berbagai
proposal bantuan dan mengedarkan kotak amal di jalanjalan yang sering memalukan Islam secara umum untuk
pembangunan masjid.
 Karena pendapatan dari hasil pengelolaan tanah wakaf
ini sangat menguntungkan dengan jumlah yang sangat
besar, maka biaya operasional setiap bulan seperti :
biaya listrik, air PAM, telpon, gaji marbot, maintenance
alat-alat dan bangunan masjid, perbaikan sarana dan
prasarana masjid dapat dipenuhi secara mudah, bahkan
sangat surplus.
 Dengan kondisi keuangan yang sangat bagus, maka
nazhir wakaf dapat mengembangkan sayap dakwah
melalui kakuatan dana yang cukup, seperti : santunan
musafir, yatim-piatu, fakir miskin dan kaum lemah
lainnya, beasiswa, pendidikan bermutu dengan biaya
murah, penyediaan modal pengusaha kecil dan
sebagainya.
 Dengan sendirinya, tanah wakaf yang dikelola secara
professional ini akan menciptakan lapangan kerja baru,
menyejahterakan para pengurus, ustad, kyai dan pihakpihak yang terkait dengan gaji yang layak.
Dengan demikian, perjalanan dakwah Islamiyah yang
diselenggarakan pengurus Yayasan akan dapat berlangsung
dengan baik, citra Islam semakin positif, mengurangi
122
pengangguran terampil, pemberdayaan masyarakat sekitar
tanah wakaf (masyarakat yang tinggal di sekitar Jl. Gatot
Subroto dan lainnya).
b. Aspek Pemasaran
Berdasarkan analisis yang tidak terlalu detail,
keberadaan gedung Wakaf Centre berlantai 10 dengan
tetap membangun masjid tanpa mengurangi luas masjid
sebelumnya sesuai dengan peruntukan yang diinginkan
oleh wakif di atas tanah wakaf yang berlokasi di sekitar Jl.
Gatot Subroto, Jakarta Selatan tersebut akan memiliki
peluang pasar (market space) yang tinggi. Bahkan jika gedung
tersebut sudah berdiri, maka aspek pemasaran untuk
disewakan kepada para enterpernuer dalam banyak bidang
usaha akan sangat cepat laku (mendapat respon pasar).
Pertimbangan para calon pengusaha yang ingin
menyewa tempat tersebut didasarkan pada beberapa alasan
strategis, yaitu:
 Dekat dengan pusat perkantoran bisnis segitiga emas
Kuningan-Sudirman-Thamrin yang memiliki potensi
ekonomi tinggi;
 Berada dalam kawasan lalu lintas yang mudah dijangkau
oleh semua arah jalan;
 Terbukanya aspek komunikasi nilai antara kepentingan
bisnis dengan aspek ajaran keagamaan (tanah wakaf)
yang berarti akan menjadi sebuah potensi pasar yang
mudah direspon secara positif oleh masyarakat muslim
Indonesia yang mayoritas.
123
Oleh karena itu, pembangunan gedung usaha lantai 10+
yang berwawasan Syariah yang bernilai setara dengan
gedung-gedung sekitar, secara peluang pasar (market space)
sangat menjanjikan.
c. Aspek Teknis
Didasarkan pada perkiraan makro yang mengacu pada
pertimbangan besarnya biaya pemberdayaan tanah wakaf
tersebut, pembangunan gedung usaha berwawasan Syariah
berlantai 10+ ini membutuhkan investasi jangka menengah
yang bisa diperoleh dari para investor, dana wakaf tunai
atau pinjaman dari perbankan Syariah. Langkah-langkah
yang harus dilakukan oleh nazhir wakaf adalah membuat
proposal pengembangan benda wakaf berdasarkan aspekaspek kepatutan Syariah, musyawarah dengan wakif,
menjalin kemitraan dengan lembaga-lembaga terkait
lainnya, agar proses pemberdayaan tanah wakaf tersebut
tidak mengalami hambatan, baik bersifat sosial-ekonomi,
paham keagamaan, maupun psiko-politis.
c.1. Kebutuhan investasi
Kebutuhan investasi yang akan digunakan dalam
pembangunan gedung berlantai 10+ berwawasan Syariah
ini hanya berupa bangunan (kontruksi) berdasarkan standar
perhitungan yang lazim digunakan dalam membangun
gedung-gedung serupa di sekitar wilayah-wilayah strategis.
Tanah wakaf yang akan dibangun diasumsikan seluas 550
M2. Yang dimaksud gedung berlantai 10+ adalah:
 Gedung 10 lantai disewakan kepada calon pengusaha
yang akan menempatinya;
124
 Yang dimaksud plus (+) disini adalah bangunan masjid
dan kantor pengelola wakaf (nazhir) yang memiliki
kualitas lebih baik dibandingkan dengan bangunan
masjid sebelumnya, baik dari segi arsitektur,
perlengkapan ibadah maupun fasilitas lainnya.
Namun, menurut perhitungan investasinya, masjid
tersebut dimasukkan ke dalam perhitungan harga secara
makro. Adapun perhitungannya sebagai berikut:
Kebutuhan investasi
Gedung 10 lantai
Masjid 2 lantai dan
kantor nazhir wakaf
Parkir luar
Basement parkir
Total Investasi
Luas dan harga/Mater
20 M x 20 M x 2 juta x 10
lantai
20 M x 20 M x 2 juta x 2
lantai
20 M x 7,5 M x 500 ribu
Jumlah
Rp. 8 Milyar
Rp. 1,6 Milyar
Rp. 75 Juta
Rp. 225 Juta
Rp. 9,9 Milyar
Dari total investasi yang berjumlah Rp. Rp. 9,9 Milyar,
maka perhitungan bisnis yang akan dijadikan patokan
adalah hitungan harga per-lantai yang didapatkan dari
pembagian seluruh pembiayaan dengan harga sepuluh
lantai yang diasumsikan harga sama rata, yaitu Rp. 9,9
Milyar dibagi 10 (lantai) = Rp. 990 juta per-lantai.
c.2. Sumber modal
Sumber modal untuk membiayai seluruh proses
pembangunan gedung tersebut didapatkan dari:
 Pengumpulan dana dari Sertifikat Wakaf Tunai (SWT)
sebesar 25% (Rp. 2,475 M)
 Investor dari lembaga lain sebesar 50% (Rp. 4,950 M)
125
 Pinjaman kredit dari perbankan Syariah sebesar 25%
(Rp. 2,475 M)
d. Perkiraan Benefit
Perkiraan benefit yang akan didapatkan dari usaha
pemberdayaan tanah wakaf ini dihitung dengan asumsi
sebagai berikut:
 Luas tanah
: 550 M2
 Bangunan gedung disewakan : 10 lantai
 Masjid dan kantor nazhir
: berada di lt. 2 dan 3
 Luas bangunan
: 20 M x 20 M x 10 =
4000 M2
 Area parkir
: 20 M x 7,5 M = 150
M2
 Biaya pembangunan per-lantai : Rp. 990 juta
 Harga sewa per-lantai/thn
: Rp. 1 jt x 400M = 400
jt
 Harga sewa seluruh lantai/thn : Rp. 400 Juta x 10
(lantai) = Rp. 4 Milyar
Untuk menghitung Break Even Point (BEP) bisa dilakukan
dengan:
Total investasi Rp 9,9 Milyar
 2,475 tahun
Sewa gedung per - tahunRp 4Milyar
Jadi, pengembalian modal (BEP) akan didapat dalam
jangka waktu 2,475 tahun (kira-kira 2,5 tahun). Pengelolaan
usaha selebihnya tergantung dari sistem kerja sama yang
akan disepakati.
e. Sistem Kerja sama
126
Sistem kerja sama yang akan digunakan dalam proyek
pemberdayaan tanah wakaf ini menggunakan sistem
musyarakah dalam jangka waktu tertentu. Yaitu, sistem
kongsi bisnis saling menguntungkan antara penanam
modal dengan pemilik tanah (nazhir wakaf) yang dibatasi
oleh jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan bersama.
Setelah para pemilik modal mendapatkan target
keuntungan sebagaimana disepakati dalam perjanjian
(MoU), maka kendali usaha (manajemen) dan segala
kekayaan gedung harus dikembalikan kepada pihak nazhir
wakaf sebagai pemilik asal.
Kemudian, berdasarkan perhitungan dimana target BEP
hanya diperoleh dalam jangka waktu 2,5 tahun, maka
untuk sistem musyarakah disepakati selama 5 tahun, dengan
asumsi keuntungan setelah tercapainya BEP dibagikan
secara rata kepada para pemilik modal sesuai dengan porsi
penyahaman yang ada, yaitu nazhir wakaf tunai sebesar
25%, investor dari lembaga lain sebesar 50% dan
perbankan Syariah sebesar 25%. Selama masa perjanjian
berlangsung (5 tahun), kendali usaha dipegang oleh
pemegang saham terbesar (investor lembaga usaha) dengan
menerapkan sistem manajemen terbuka (transparan) dan
bertanggung jawab. Setiap tahun, pihak pengelola usaha
memberikan laporan secara resmi kepada para pemilik
saham dan pengelola wakaf (nazhir). Biaya-biaya
pemeliharaan gedung selama masa perjanjian berjalan
menjadi tanggung jawab pengelola (pemegang saham
mayoritas), termasuk perawatan masjid dan fasilitas
pendukung.
127
Sebagai sebuah upaya antisipasi agar usaha
pemberdayaan tanah wakaf dapat diselamatkan jika terjadi
lost, maka pihak pengelola, baik pengelola sementara
(pemegang saham mayoritas dalam masa perjanjian) atau
pemilik asal (nazhir wakaf), harus mengasuransikan gedung
tersebut kepada pihak lembaga Asuransi Syariah.
Selain sistem kerja sama yang terkait dengan
manajemen usaha, yang harus juga disepakati oleh pihak
pengelola sementara adalah peruntukan usaha yang akan
disewakan kepada calon pengusaha. Tentu saja syarat usaha
yang bisa menempati gedung tersebut adalah usaha-usaha
yang jelas-jelas tidak bertentangan dengan semangat wakaf
(Syariat Islam), karena wakaf itu sendiri diperuntukkan
kepada wilayah-wilayah kebajikan. Contoh-contoh usaha
yang dapat memanfaatkan gedung tersebut antara lain
adalah:
 Restoran yang menyajikan makanan halal
 Usaha travel dan penjualan jasa tiket
 Biro haji dan umroh
 Perbankan dan Asuransi Syariah
 Kantor hukum (law office)
 Kantor Notaris
 Klinik dan Praktek dokter
 Jasa photo copy, penjilidan dan laminating
 Wartel dan warnet
 Salon kecantikan
 Butik dan galeri seni
 Mini market
 Usaha penitipan kilat
 Penerbit buku
128
 Kantor konsultan manajemen
 Dll.
f. Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil kajian dan perhitungan, baik
dari latar belakang, aspek pasar, aspek teknis, perkiraan
benefit dan sistem kerja sama yang diterapkan menunjukkan
bahwa upaya pemberdayaan tanah wakaf yang terletak di
sekitar Jl. Gatot Subroto tersebut sangat feasible untuk
dikerjakan. Bahkan kalau dilihat dari perkiraan benefit,
pencapaian modal kerja (BEP) relatif sangat singkat dan
dalam jangka waktu hanya 2,5 tahun, dan dalam perjanjian
5 tahun para pemilik modal sudah mendapatkan
keuntungan yang cukup besar.
Yang tidak kalah pentingnya, dalam kurun waktu sekitar
5 tahun, pihak nazhir wakaf sudah mendapatkan gedung
berlantai 10 plus masjid dengan segala fasilitas lebih baik
dibandingkan dengan masjid sebelumnya, dan pihak nazhir
wakaf memiliki kantor yang representatif di tengah-tengah
kota dan kawasan perkantoran bisnis. Tentu saja, dalam
waktu yang tidak terlalu lama setelah penyerahan gedung
oleh pemilik modal mayoritas, nazhir wakaf akan
mendapatkan keuntungan bisnis yang cukup besar untuk
kemudian dialokasikan kepada kepentingan-kepentingan
agama, seperti pendidikan gratis, santunan yatim piatu,
jaminan kesehatan bagi kaum dhuafa, pemberdayaa
ekonomi dan lain sebagainya. Disamping itu juga nazhir
wakaf dapat mengembangkan sayap bisnis yang lain,
sehingga harta wakaf akan terus berkembang dan menjadi
129
ujung tombak kesejahteraan masyarakat banyak, khususnya
umat Islam.
Studi kasus pemberdayaan tanah wakaf strategis di atas
merupakan hasil dari sinergi antara Sertifikat Wakaf Tunai
(SWT), lembaga permodalan dan perbankan Syariah.
Dilihat dari potensi tanah-tanah wakaf stategis,
diperkirakan ada sekitar 5 sampai 10 lokasi di setiap
propinsi di seluruh wilayah Indonesia. Demikian juga
diperkirakan tak kurang dari 10 lokasi strategis yang
dimiliki di setiap kabupaten. Jika tanah-tanah wakaf
strategis tersebut diberdayakan secara profesional dan
amanah sebagai proyek percontohan, maka kita bisa
memprediksikan akan memiliki dampak yang sangat positif
bagi kesejahteraan ekonomi bangsa.
C. Model-model Desain Usaha
Rencana desain usaha yang bisa dilakukan dalam
pemberdayaan tanah-tanah strategis adalah dengan
mempelajari seluruh aspek wilayah dimana tanah wakaf
berada, sehingga dapat direncanakan desain-desain usaha
yang relevan dengan misi perwakafan. Berikut ini diuraikan
beberapa model desain usaha:
1.
Pusat perdagangan : ada masjid di dalamnya terdapat
perkantoran, bank, ruang serbaguna, restoran, money
changer, swalayan, foto copy, wartel, parkir dan sarana
lain.
2.
Pinggir jalan raya/protokol : ada masjid, pertokoan,
pompa bensin, bank, perkantoran, ruang sebaguna,
foto copy, wartel, apartemen, hotel dll.
130
3.
Pusat Pemerintahan : ada masjid, bank, swalayan,
restoran, losmen, ruang serbaguna, foto copy,
penjilidan,money changer, dll.
4.
Rumah sakit : ada masjid, pertokoan, restoran, wartel,
losmen, bank, apotik, toko buku, foto copy, wartel
dan lain-lain.
5.
Kampus : ada masjid, pertokoan, bank, restoran,
asrama mahasiswa, wartel, perpustakaan, foto copy,
penjilidan dan rental computer, kantor beasiswa,
pusat arsitektur, ruang serbaguna, pusat olah raga dll.
6.
Pesantren: ada masjid, pertokoan, restoran, asrama
santri, perpustakaan, foto copy, toko buku & kitab
dan tempat belajar, ruang serbaguna, pusat olah raga,
wartel, poliklinik, dll.
7.
Airport/pelabuhan laut : ada masjid, super market,
bank, restoran, wartel/warnet, hotel, tempat parkir,
money changer, toko souvenir, art shop dan toko
buku dll.
8.
Pusat Pariwisata : ada masjid, restoran, fasilitas
rekreasi, hotel, wartel/warnet, mini market, toko
buku, toko sovenir/kerajinan tangan, pusat olah raga,
galery, production house, art shop dll.
9.
Pasar modern/tradisional : ada masjid, restoran, bank
perkreditan, gudang, ruko, losmen, expedisi,
peragenan, wartel dan lain-lain.
10. Stasiun Kereta Api, Terminal Bus : ada masjid,
penginapan, bank, restoran, wartel, agen tiket (travel),
toko buku, expedisi dan lain-lain.
131
11. Kawasan industri : ada masjid, restoran, bank,
losmen, wartel, poliklinik, toko buku, foto copy, toko
buah, expedisi, dll.
12. Mall/Swalayan : ada masjid, restoran, bank syari’ah, ,
wartel, money changer, foto copy/penjilidan, lapangan
parkir dll.
13. Pinggir jalan tol : ada masjid, pompa bensin,
peristirahatan, restoran, wartel, toko sovenir dan toko
buah, bengkel dll.
14. Real Estate (komplex perumahan): ada masjid,
swalayan, bank, restoran, madrasah, pendidikan
umum dari TK s.d. Perguruan Tinggi, perpustakaan,
ruang serbaguna, poliklinik, pertokoan, art shop, toko
buku, foto copy, pusat arsitektur, production house,
pusat olah raga, sanggar seni Islami, notaris, bengkel,
studio foto LBH dll
132
Daftar Pustaka
A. Karim, H. Adiwarman, Ir, SE, MBA, MAEP, Ekonomi
Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: GIP, 2001
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah Sebagai Pengelola
Wakaf,
(Makalah
Workshop
Internasioanl,
“Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf
Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002),
Tidak Diterbitkan.
Antonio, Muhammad Syafi’i, Cash Waqf dan Anggaran
Pendidikan Umat, Yogyakarta: Seminar Wakaf Tunai
PH Badan Wakaf UII, 13 September, 2003
Chirzin, M. Habib, Drs., Wakaf Sektor Ketiga sebagai
Sumber Pembangunan Umat: Jaringan dan Kerjasama,
(Makalah Workshop Internasional, “Pemberdayaan
Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma
Haji Batam, 7-8 Januari 2002), tidak diterbitkan.
Ibrahim, H.M. Yacob, Studi Kelayakan bisnis, Jakarta:
Penerbit Rineka Cipta, Juni, 2003
Kahf, Monzer, Finacing the Development of Aqaf Properti,
Kuala Lumpur: Irti, 1998.
Mannan, M. Abdul, Prof., M.A., Ph.D, Teori dan Praktik
Ekonomi Islam, (terjamahan), Yogyakarta: PT Dana
Bhakti Prima Yasa, 1997
133
Muhammad, Abu As-Su’ud, Risalatu fi Jawazi Waqfi AnNuqud, Beirut; Dar Ibn-Hazm, 1997
Nasution, Mustafa E., Wakaf Tunai: Strategi untuk
Menyejahterakan dan Melepaskan Ketergantungan
Ekonomi,
(Makalah
Workshop
Internasional,
“Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf
Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002),
tidak diterbitkan.
Pewawataatmadja, H. Karnaen A., Alternatif Investasi Dana
Wakaf,
(Makalah
Workshop
Internasioanl,
“Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf
Produktif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002),
Tidak Diterbitkan.
Thohirin, Achmad, Kontribusi Pengembangan Wakaf (Tunai)
di Indonesia, Yogyakarta: Simposium Nasional I Sistem
Ekonomi Islami, Mei, 2002
Thohirin, Achmad, Model Wakaf Tunai Sebagai Instrumen
Pendukung Pengembangan Pendidikan di UII, Yogyakarta:
Seminar Wakaf Tunai PH Badan Wakaf UII, 13
September, 2003
Tim Penyusun Buku, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan
Wakaf, Jakarta: Depag RI, 2003
______, Fiqih Wakaf, Jakarta: Depag RI, 2003
134
______, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif
Strategis di Indonesia, Jakarta: Depag RI, 2003
______, Perkembangan Penelolan Wakaf di Indonesia, Jakarta:
Depag RI, 2003
______, Sertifikat Wakaf Tunai, Sebuah Inovasi Keuangan
Islam (terjemahan), Jakarta: CIBER dan PKTTI UI,
2002.
Tim Penyusun Perbankan Syari’ah Bank Indonesia, Peranan
Bank Syari’ah dalam Wakaf Tunai, Makalah Seminar :
Wakaf Tunai – Inovesi Islam : Peluang dan Tantangan
dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial, (Jakarta :
Program Pasca Sarjana UI-PKTTI), November, 2001
.
135
.
136
Keputusan Fatwa
KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Tentang
WAKAF UANG
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia setelah
MENIMBANG :
A. Bahwa bagi mayoritas umat Islam Indonesia, pengertian
wakaf yang umum diketahul, antara lain, adalah
yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap
bendanya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum
terhadap benda tersebut disalurkan pada sesuatu yang mubah
(tidak haram) yang ada,” (al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila
Syarh aI-Minhaj, [Dar aI-Fikr, 1984], juz V, h. 357; al
Khathib a1-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, [ Dar al-Fikr,
t,th},juz 11, h.376
atau “Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau
kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari benda miliknya guna kepentingan ibadat
atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran
Islam” dan “Benda wakaf adalah segala benda, baik
bergerak atau tidak bergerak, yang memiliki daya tahan
yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut
137
ajaran Islam (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
Bukuk III, Bab I, Pasal 215, (1) dan (4)).
sehingga atas dasar pengertian tersebut, bagi mereka
hukum wakaf uang (waqf a1-nuqua cash wakaf) adalah
tidak sah
B. Bahwa wakaf uang memiliki fleksibilitas (keluwesan)
dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki oleh benda
lain
C. bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang
hukum wakaf uang untuk dijadikan pedoman oleh
masyarakat
MENGINGAT
1. Firman Allah SWT:
.
"Kamu sekalian tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.
Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya” (QS. All Imran [3]: 92).
2. Firman Allah SWT
138
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap -tiap
bulir: seratus biji Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa
yang Dia kehendaki Dan Allah Maha Luas (kurnia lagi Maha
Mengetahui).
Orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian
mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti
(perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati” (QS. al-Baqarah [ 261-262).
3. Hadis Nabi SAW:
4803
4924
4923
9323
"Diriwayatkan dari Abu Huralrah r.a. bahwa Rasulullah s.a.w.
bersabda; “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah
(pahala) amal perbuatannya kecuali tiga hal, yaitu shadaqah
jariyah (wakaf), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang
mendoakannya” (H.R. Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa`i, dan
Abu Daud.)
139
4. Hadis Nabi SAW:
4809
4934
9949
4921
"Diriwayatkan dan Ibnu Umar r. a. bahwa Umar bin al Khathab
r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada
Nabi s.a.w untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia
berkata, “Wahai Rasulullah Saya memperoleh tanah di Khaibãr;
yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku
melebihi tanah tersebut; apá perintah Engkau (kepadaku)
mengenainya?” Nabi s.a.w. menjawab: “Jika mau, kamu tahan
pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya.
Ibnu Umar berkata “Maka, Umar menyedekahkan tanah
tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual,
tidak di hibahkan dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan
(hasilnya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang
tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas
orang yang mengelolanya untuk memakan dari (basil) tanah itu
secara ma ‘ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain)
tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik
140
Rawi berkata “Saya menceritakan hadis tersebut kepada Ibnu
Sirin, lalu Ia berkata ‘ghaira mutaatstsilin malan' (tanpa
menyimpannya sebagai harta hak milik). (H.R. al-Bukhari,
Muslim, al-Tirmidzi dan al-Nasa’).
5. Hadis Nabi SAW:
4931
"Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.; Ia berkata Umar r.a. berkata
kepada Nabi SAW, “Saya mempunyai seratus saham (tanah,
kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang
lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud
menyedekahkannya.” Nabi s.aw. berkata “Tahanlah pokoknya
dan sedekahkan buahnya pada sabilillah. “(H.R. al-Nasa’ i).
6. Jabir r.a. berkata
497 0
471 9
"Tak ada seorang sahabat Rasulpun yang memiliki kemampuan
kecuali berwakaf” (lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami
wa Adillatuhu, [Damsyik: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h
157; al-Khathib a1-Syarbini Mughni al-Muhtaj, [Beirut: Dar
al-Fikr, t.th], juz II, h. 376
141
MEMPERHATIKAN :
1. Pendapat imam al-Zuhri (w. 124 H.) bahwa mewakafkan
dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar
tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya
disalurkan pada mauquf ‘alaih (Abu Su’ud Muhammad,
Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, [Beirut: Dar Ibn-Hazm,
1997], h. 20-21).
2. Mutaqaddimin dari ulama mazhab Hanafi (lihat
Wahbah al Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,
[Damsyik: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h. 162).
Membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai
pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi, berdasarkan
atsar Abdullah bin Mas’ud r.a
4340
Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam
pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk
oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun
buruk
3. Pendapat sebagian ulama mazhab al-Syafi’i
Abu Tsaur rneriwayatkan dari Imam al-Syafi’i tentang
kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)” (al-Mawardi alHawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, [Beirut:
Dar al Fikr, 1994], juz IX, h. 379.)
142
4. Pandangan dan pendapat rapat Komisi Fatwa MUI pada
hari Sabtu, tanggal 23 Maret 2002, antara lain tentang
perlunya dilakukan peninjauan dan penyempurnaan
(pengembangan) definisi wakaf yang telah umum
diketahui, dengan memperhatikan maksud hadis, antara
lain, riwayat dari Ibnu Umar (lihat konsideran
mengingat [nomor 4 dan 3 di atas:
5. Pendapat rapat Komisi Fatwa MUI pada Sabtu, tanggal
11 Mei 2002 tentang rumusan definisi wakaf sebagai
berikut
yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa
lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan
tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual,
memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan
(hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada"
6. Surat Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag,
(terakhir) nomor Dt.1. III/5/BA.03.2/2772/2002,
tanggal 26 April 2002
143
MEMUTUSKAN
Menetapkan
: FATWA TENTANG WAKAF UANG
Pertama
: 1. Wakaf Uang (Cash WakaflWaqf alNuqud) adalah wakaf yang dilakukan
seseorang, kelompok orang, lembaga
atau badan hukum dalam bentuk
uang tunai
2. Termasuk ke dalam pengertian uang
adalah surat-surat berharga
3. Wakaf Uang hukumnya jawaz
(boleh).
Kedua
4. Wakaf Uang hanya boleh disalurkan
dan digunakan untuk hal- hal yang
dibolehkan secara syar’iy.
5. Nilai pokok Wakaf Uang harus
dijamin kelestariannya, tidak boleh
dijual,
dihibahkan,
dan
atau
diwariskan.
: Fatwa ini berlaku sejak ditetapkan
dengan ketentuan jika di kemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan,
akan diperbaiki dan disempurnakan
sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di
Tanggal
144
Jakarta
:28 Shafar 1423 H
11 Mei 2002 M
KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
145
SURAT KEPUTUSAN
PENINGKATAN PEMBERDAYAAN WAKAF
NOMOR: 02/PPW/III/ 2004
TENTANG
PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN BUKU
“STRATEGI PENGEMBANGAN WAKAF TUNAI DI
INDONESIA”
Pengarah
: Drs. H. Tulus
Ketua
: Drs. H. Achmad Djunaidi
Sekretaris
: H. Asrory Abdul Karim, SH, MH.
Anggota
: 1. Hj. Budiarti, SH
2. Drs. H. Yumul Mayeswin
3. Thobieb Al-Asyhar, S. Ag.
4. HM. Cholil Nafis, Lc, MA
5. H. Achmad Mu’thi Shofieq, S. Ag.
6. H. Damiri, BA.
7. H. Mahmud Fauzi
Ditetapkan di Jakarta
Pada Tanggal 3 Maret 2004
PIMPINAN PROYEK
Drs. H. Ma’ruf
NIP. 150 182 847
146
Download