SAMBUTAN DIREKTUR PEMBERDAYAAN WAKAF Bismillahirrahmanirrahim Terlebih dahulu kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya kita dapat melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan, memperdalam dan memperluas pelayanan kehidupan beragama. Sejak terjadinya krisis multi-dimensi dalam kehidupan bangsa kita yang dipicu oleh krisis ekonomi, peran wakaf menjadi semakin penting sebagai salah satu instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan wakaf tidak statis, melainkan selalu berkembang sejalan dengan dinamika dan perubahan dalam masyarakat. Pemerintah akan terus berupaya memfokuskan perhatian peningkatan pemberdayaan wakaf secara produktif. Apalgi Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf telah mengakomodasi pelaksanaan wakaf benda bergerak seperti uang, saham dan surat berharga lain yang menjadi variable penting dalam pengembangan ekonomi. Oleh karena itu, kehadiran buku “Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia” ini diharapkan dapat merubah paradigma lama menjadi paradigma baru wakaf, dari konsumtif menjadi produktif untuk meningkatkan peran sosial wakaf di tanah air kita. Semoga Allah SWT meridhai niat baik dan upaya yang kita lakukan bersama. Amin Wassalam, Jakarta, Juli 2006 Direktur, Dr. H. Sumuran Harahap, MH, MM NIP. 150 192 389 i SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL BIMAS ISLAM Bismillahirrahmanirrahim Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan inayahNya kita dapat berupaya meningkatkan pelayanan kehidupan beragama termasuk pelayanan di bidang perwakafan. Salah satu upaya strategis yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mengembangkan lembaga wakaf dan memberdayakan potensinya sehingga menimbulkan dampak yang positif terhadap kehidupan sosial dan ekonomi umat Islam. Pemerintah terus berupaya agar pengelolaan wakaf dapat berjalan dengan baik dan memberikan harapan bagi perbaikan kesejahteraan social. Sebagai langkah yang tepat, perlu dikembangkan suatu sistem pengelolaan dan pengembangan wakaf yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan yang terjadi serta garis kebijakan Pemerintah. Pengadaan referensi wakaf yang disusun oleh Direktorat Pemberdayaan Wakaf tak lain merupakan bagian dari upaya mendorong pemberdayaan wakaf secara lebih professional. Untuk itu, kami menyambut baik penerbitan buku “Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia” ini karena memuat substansi yang perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan lembaga-lembaga Islam yang mengelola wakaf atau memiliki kepentingan terhadap wakaf. Dengan kehadiran buku ini diharapkan perhatian terhadap pemberdayaan wakaf lebih meningkat dan terarah sejalan dengan harapan kita bersama. Semoga Allah SWT memberkati niat baik dan upaya yang kita lakukan. Amin. Wassalam, Jakarta, Juli 2006 Direktur Jenderal, Prof. Dr. Nasaruddin Umar NIP. 150 221 980 ii DAFTAR ISI Pengantar…………………………………………………….………………..i Sambutan………………………………………………………………..…...ii Daftar Isi……………………………………………………………………..iii Bagian Pertama PERIODESASI PENGELOLAA DAN SOSIALISASI WAKAF TUNAI………………………………………………………….1 A. Periodesasi Pengelolaan Wakaf………..………………..………1 B. Sosialisasi Wakaf Tunai…………………………………………..17 B.1. Sosialisasi Konsep…………………………………………….18 B.2. Pendekatan Kepada Calon Wakif………………………27 B.3. Pendekaan Kepada Nazhir………………………..………31 Bagian Kedua STRATEGI PENGELOLAAN DANA WAKAF……………41 A. Pembentukan Institusi Wakaf……………………….…………41 B. Sistem Pengelolaan Dana Wakaf………………………………46 B.1. Memberi Peran Perbankan Syariah…………………….46 B.2. Membentuk Lembaga Investasi Dana…………………53 B.3. Menjalin Kemitraan Usaha……………………………….61 B.4. Memberi Peran Lembaga Penjamin Syariah………..64 C. Membuka Jaringan dan Kerjasama Wakaf…………………68 D. Meningkatkan Political Will Pemerintah…………………….73 Bagian Ketiga PEMANFAATAN HASIL PENGELOLAAN WAKAF TUNAI………………………………………………………...77 A. Dalam Bidang Pendidikan……………………………………….78 B. Dalam Bidang Kesehatan dan Fasilitas RS…………………94 iii C. Dalam Bidang Pelayanan Sosial………………………………101 D. Dalam Bidang Pengembangan UKM……………………….102 Bagian Keempat PELAKSANAAN PROYEK PERCONTOHAN………….109 A. Studi Kelayakan Usaha…………………………………..……..109 B. Studi Kasus Pemberdayaan Tanah Wakaf Strategis…..119 C. Model-model Desain Usaha……………………………………130 Dafat Pustaka……………………………………………………………..133 Lampiran…………………………………………………………………..137 iv Bagian Pertama ERA PENGELOLAAN DAN SOSIALISASI WAKAF TUNAI A. Era Pengelolaan Wakaf Berbicara mengenai pengelolaan wakaf di Indonesia, khususnya pengembangan konsep wakaf tunai yang terhitung masih sangat baru, tidak bisa lepas dari periodesasi pengelolaan wakaf secara umum. Paling tidak ada tiga periode besar pengelolaan wakaf di Indonesia: A.1. Periode tradisional Dalam periode ini, wakaf masih ditempatkan sebagai ajaran yang murni dimasukkan dalam kategori ibadah mahdhah (pokok). Yaitu, dihampir semua bendabenda wakaf diperuntukkan untuk kepentingan pembangunan fisik, sepeti masjid, musholla, pesantren, kuburan, yayasan dan sebagainya. Sehingga keberadaan wakaf belum memberikan kontribusi sosial yang lebih luas karena hanya untuk kepentingan yang bersifat konsumtif. Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa aspek, diantaranya: Kebekuan paham terhadap wakaf Mayoritas paham umat Islam menganut Mazhab Syafi’i yang lebih banyak menempatkan paham wakaf pada konteks ajaran yang bersifat statis. Sehingga wakaf pada masa itu cenderung tidak berkembang, 1 bahkan lebih banyak menjadi beban Nazhirnya atau umat Islam yang lain. Paham-paham yang sangat menonjol pada masa itu antara lain; Pertama, ikrar wakaf. Kebisaaan masyarakat lebih banyak menggunakan pernyataan lisan pada saat ingin mewakafkan sebagian hartanya tanpa menyertainya dengan bukti tertulis (sertifikat ikrar wakaf), sehingga banyak harta wakaf yang hilang karena tidak adanya bukti setelah dikelola oleh beberapa generasi. Kedua, harta yang boleh diwakafkan lebih banyak pada benda-benda yang tidak bergerak, sehingga peruntukannya tidak maksimal untuk kepentingan kebajikan. Dan memang karena paham mereka tentang wakaf lebih menempatkannya sebagai benda yang tidak boleh diubah, termasuk untuk diberdayakan. Ketiga, boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf. Dalam masalah ini, mayoritas wakif dari umat Islam Indonesia berpegang pada pandangan konservatifnya Asy-Syafi’i sendiri yang menyatakan bahwa harta wakaf tidak boleh ditukar dengan alasan apapun. Dalam kasus masjid misalnya, Imam Syafi’i menegaskan bahwa tidak boleh menjual masjid wakaf secara mutlak, sekalipun masjid itu roboh. Dan ini mudah kita temukan bangunan-bangunan masjid tua di sekitar kita yang nyaris roboh dan mengakibatkan orang malas pergi ke masjid tersebut 2 hanya karena para Nazhir wakaf mempertahankan pendapatnya Imam Syafi’i. Nazhir wakaf yang masih tradisional Kebisaaan masyarakat kita yang ingin mewakafkan sebagian hartanya dengan mempercayakan penuh kepada seseorang yang dianggap tokoh dalam masyarakat sekitar, seperti kyai, ulama, ustadz, ajengan dan lain-lain untuk mengelola harta wakaf sebagai Nazhir. Orang yang ingin mewakafkan harta (wakif) tidak tahu persis kemampuan yang dimiliki oleh Nazhir tersebut. Dalam kenyataannya, banyak para Nazhir wakaf tersebut tidak mempunyai kemampuan manajerial dalam pengelolaan tanah atau bangunan sehingga harta wakaf tidak banyak manfaat bagi masyarakat sekitar. Pola pengelolaan hanya didasarkan pada insting ketokohan, yang tidak didasarkan kepada visi pemberdayaan yang memadai. Karena itulah, keyakinan yang mendarah dan mendaging bahwa wakaf harus diserahkan kepada seorang ulama, kyai atau lainnya, sementara orang yang diserahi belum tentu mampu mengurus, menjadikan pengelolaan wakaf tergolong seadaadanya (tradisonal). Dan ini jelas tidak sesuai dengan pesan Nabi terhadap Umar bin Khattab terkait dengan wakaf Peraturan perundangan yang belum memadai 3 Peraturan perundang-undangan tentang wakaf di Indonesia memang masih menjadi persoalan yang cukup lama belum terselesaikan secara baik. Karena wakaf lebih banyak ditempatkan pada peroalanpersoalan yang terkait dengan tanah. Sehingga wakaf belum memberikan kesejahteraan secara lebih luas bagi kepentingan masyarakat banyak. A.2. Periode semi-profesional Periode semi-profesional merupakan pola pengelolaan wakaf yang kondisinya relatif sama dengan periode tradisional, namun pada masa ini sudah mulai dikembangkan pola pemberdayaan wakaf secara produktif, meskipun belum maksimal. Sebagai contoh adalah pembangunan masjid-masjid yang letaknya strategis dengan menambah bangunan gedung untuk pertemuan, pernikahan, seminar dan acara lainnya seperti masjid Sunda Kelapa, masjid Pondok Indah, masjid At-Taqwa Pasar Minggu, Masjid Ni’matul Ittihad Pondok Pinang (semua terletak di Jakarta) dan lain-lain. Selain hal tersebut juga sudah mulai dikembangkannya pemberdayaan tanah-tanah wakaf untuk bidang pertanian, pendirian usaha-usaha kecil seperti toko-toko ritel, koperasi, penggilingan padi, usaha bengkel dan sebagainya yang hasilnya untuk kepentingan pengembangan di bidang pendidikan (pondok pesantren), meskipun pola pengelolaannya masih dikatakan tradisonal. Pola pemberdayaan seperti ini sudah dilakukan oleh Pondok Pesantren Modern As4 Salam Gontor, Ponorogo. Yang secara khusus mengembangkan wakaf untuk kesehatan dan pendidikan seperti yang dilakukan oleh Yayasan Wakaf Sultan Agung, Semarang. Ada lagi yang memberdayakan wakaf dengan pola pengkajian dan penelitian secara intensif terhadap pengembangan wacana pemikiran Islam modern seperti yang dilakukan oleh Yayasan Wakaf Paramadina, dan seterusnya. Namun, karena banyaknya kendala dalam pemberdayaan wakaf secara lebih agresif, pada periode ini, dimana kita sekarang masih berada dalam periode ini, pemberdayaan wakaf terlihat belum dinamis. A.3. Periode Profesional Yaitu sebuah kondisi dimana daya tarik wakaf sudah mulai dilirik untuk diberdayakan secara profesionalproduktif. Keprofesionalan yang dilakukan meliputi aspek: manajemen, SDM keNazhiran, pola kemitraan usaha, bentuk benda wakaf yang tidak hanya berupa harta tidak bergerak seperti uang, saham dan surat berharga lainnya, dukungan political will pemerintah secara penuh, seperti lahirnya Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam periode ini, isu yang paling menonjol untuk bisa mencapai pengelolaan wakaf secara profesional adalah munculnya gagasan wakaf tunai yang digulirkan oleh tokoh ekonomi asal Bangladesh, Prof. M.A. Mannan. Kemudian muncul pula gagasan wakaf investasi, yang di Indonesia sudah dimulai oleh Dompet 5 Dhuafa Republika bekerja sama dengan Batasa (BTS) Capital beberapa waktu yang lalu. Semangat pemberdayaan potensi wakaf secara profesional produktif tersebut semata-mata untuk kepentingan kesejahteraan umat manusia, khususnya muslim Indonesia yang sampai saat ini masih dalam keterpurukan ekonomi yang sangat menyedihkan, baik di bidang pendidikan, kesehatan, teknologi maupun bidang sosial lainnya. Pada masa ini, kita mulai menapaki jenjang periodesasi pemberdayaan wakaf secara total melibatkan seluruh potensi keummatan dengan dukungan penuh, seperti lahirnya UU Wakaf baru, peran UU Otonomi Daerah, peran Perda, kebijakan moneter nasional, UU perpajakan dan lain sebagainya. Landasan yang digunakan untuk langkah-langkah tersebut adalah bukti-bukti pemberdayaan wakaf yang sudah dilakukan oleh negara-negara muslim, seperti Mesir, Turki, Arab Saudi, Yordania, Qatar, Kuwait, Marokko, Bangladesh, Pakistan, Malaysia dan lain sebagainya. Bahkan di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang nota bene dulu adalah tanah wakaf telah berdiri beberapa tempat-tempat usaha sebagai mesin ekonomi yang maha dahsyat, seperti hotel, restoran, apartemen, pusat-pusat perniagaan, perkantoran, Rumah Sakit, pusat pemerintahan dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa tanah-tanah wakaf harus diberdayakan untuk menggali potensi ekonominya dalam rangka kesejahteraan masyarakat 6 banyak. Potret nyata tersebut sudah tidak bisa dibantah lagi bahwa tanah-tanah wakaf yang memiliki posisi strategis harus diberdayakan ekonominya secara maksimal, kemudian hasilnya digunakan untuk kepentingan kesejahteraan umum. B. Sosialisasi Strategis Wakaf Tunai Sebagai sebuah upaya mensosialisasikan wakaf tunai untuk kesejahteraan sosial, maka harus disosialisasikan secara intensif agar wakaf tunai dapat diterima secara lebih cepat oleh masyarakat banyak dan segera memberikan jawaban konkrit atas permasalahan ekonomi selama ini. Harus diakui, wacana wakaf tunai sampai saat ini memang masih sebatas wacana dan belum banyak pihak atau lembaga yang bisa menerima model wakaf seperti itu. Namun, mengaca dari keberhasilan negara-negara muslim lainnya, seperti Mesir, Maroko, Kuwait, Turki, Qatar dan lain-lain yang memberdayakan wakaf tunai secara maksimal, saatnya kita melangkah menuju ke arah tersebut. B.1. Sosialisasi Konsep Di kalangan umat Islam, wakaf yang sangat popular adalah masih terbatas pada persoalan tanah dan bangunan yang diperuntukkan untuk tempat ibadah dan pendidikan serta belakangan baru ada wakaf untuk yang berbentuk tunai (cash) atau wakaf benda bergerak yang manfaatnya untuk kepentingan pendidikan, riset, 7 Rumah Sakit, pemberdayaan ekonomi lemah dan lainlain. Wakaf tunai bagi umat Islam Indonesia memang masih relatif baru. Hal ini bisa dilihat dari peraturan yang melandasinya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru memberikan fatwanya pada pertengahan Mei 2002. Sedangkan Undang-undang tentang Wakaf disahkan pada tanggal 27 Oktober 2004 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di Qatar dan Kuwait, dana wakaf tunai sudah berbentuk bangunan perkantoran. Areal tersebut disewakan dan hasilnya digunakan untuk kegiatan umat Islam. Di Indonesia sudah ada beberapa lembaga yang telah melaksanakan wakaf tunai, minimal dalam tataran pelsakanaan wakaf dalam bentuk uang, seperti PB Mathla’ul Anwar dengan “Dana Firdaus”, Tabung Wakaf dari Dompet Dhuafa Republika, Bank Muamalat Indonesia (BMI) dengan institusi barunya “Baitul Mal Mu’amalat”, Pemerintah Kota Bekasi dan Universitas Indonesia. Walaupun dalam pelaksanaannya, pengelolaan wakaf tunai masih belum maksimal, sehingga sampai saat ini belum dirasakan secara nyata oleh masyarakat banyak. Tapi, paling tidak upaya untuk memberdayakan wakaf tunai sudah mulai digiatkan dengan segala keterbatasannya. Secara ekonomi, wakaf tunai sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia, karena dengan model wakaf ini daya jangkau mobilisasinya akan jauh lebih 8 merata kepada sebagian anggota masyarakat dibandingkan dengan model wakaf-wakaf tradisionalkonvensional, yaitu dalam bentuk harta fisik yang bisaanya dilakukan oleh keluarga yang terbilang relatif mampu (kaya). Salah satu model yang dapat dikembangkan dalam mobilisasi wakaf tunai adalah model Dana Abadi, yaitu dana yang dihimpun dari berbagai sumber dengan berbagai cara yang sah dan halal, kemudian dana yang terhimpun dengan volume besar, diinvestasikan dengan tingkat keamanan yang tinggi melalui lembaga penjamin Syariah. Keamanan investasi ini paling tidak mencakup dua aspek. Aspek pertama, yaitu keamanan nilai pokok dana abadi sehingga tidak terjadi penyusutan (jaminan keutuhan). Aspek kedua, yaitu investasi dana abadi tersebut harus produktif, yang mampu mendatangkan hasil atau pendapatan (incoming generating allocation) karena dari pendapatan inilah pembiayaan kegiatan organisasi akan dilakukan dan sekaligus menjadi sumber utama untuk pembiayaan. Mengacu pada Model Dana Abadi tersebut, konsep Wakaf Tunai dapat diberlakukan dengan beberapa penyesuaian yang diperlukan. Penyesuaian harus dilakukan karena adanya persoalan yang melekat dalam model Wakaf Tunai, yaitu problem of perpetuity, persoalan keabadian selamanya. Salah satu upaya preventifnya adalah dengan menegaskan tujuan wakaf tunai itu secara jelas. Disamping itu juga langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut harus 9 dinyatakan secara jelas dan mudah dipahami, sementara itu instrumen yang akan digunakan dalam mencapai tujuan wakaf tersebut juga tidak akan kalah pentingnya, baik dari bentuk maupun nilainya. Model Dana Abadi tersebut sangat layak dijadikan model untuk pengembangan Wakaf Tunai. Beberapa alasan dapat dikemukan antara lain: Dapat membantu menjaga keutuhan aset tunai dari wakaf, sehingga dapat mengurangi perpetuitas yang melekat pada wakaf tunai. Dapat menjadi sumber pendanaan (source of financing) pada unit-unit usaha yang bersifat komersial maupun sosial, sehingga dapat mendorong aktifitas usaha secara lebih luas.Secara khusus, ketersediaan dana dari sumber ini dapat mengisi ruang kosong yang terjangkau oleh sistem pembiayaan perbankan yang ada. Cakupan target wakaf menjadi lebih luas, terutama dari aspek mobilisasi maupun aspek alokasi dana wakaf. Dalam pererapannya, Wakaf Tunai yang mengacu pada Model Dana Abadi dapat menerbitkan Sertifikat Wakaf Tunai dengan nominasi atau nominal yang berbeda-beda disesuaikan dengan kemampuan target atau sasaran yang akan dituju. Disinilah letak keunggulannya wakaf tunai, yaitu dapat menjangkau segmen masyarakat yang beragam. 10 Dalam catatan sejarah Islam, Wakaf Tunai ternyata sudah dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az-Zuhri (wafat 124 H) salah seorang terkemuka dan peletak tadwin al-hadits memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Ada empat manfaat utama dari wakaf tunai. Pertama, wakaf tunai jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah terlebih dahulu. Kedua, melalui wakaf tunai, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian. Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembagalembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya terkadang kembang kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya. Keempat, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas. Terdapat tiga filosofi dasar yang harus ditekankan ketika kita hendak menerapkan prinsip wakaf tunai dalam dunia pendidikan. Pertama, alokasi wakaf tunai harus dilihat dalam bingkai “proyek terintegrasi” bukan bagian-bagian dari biaya yang terpisah-pisah, Kedua, asas 11 kesejahteraan Nazhir, sudah saatnya menjadikan Nazhir sebagai profesi untuk mendapaytkan kesejahteraan. Sebagai contoh, di Turki dan Kantor Administrasi Wakaf Bangladesh memberikan alokasi dana 5 % kepada badan pengelola wakaf, sementara The Central Waqf Council India mendapatkan 6 % dari net income pengelolaan dana wakaf. Ketiga, asas transparansi dan acountability dimana badan wakaf dan lembaga yang dibantunya harus melaporkan setiap tahun akan diproses pengelolaan dana kepada umat dalam bentuk audited financial report termasuk kewajaran dari masingmasing pos biayanya. Di era modern ini, wakaf tunai dipopulerkan oleh Prof. Dr. M.A. Mannan dengan mendirikan suatu badan yang bernama SIBL (Social Investment Bank Limited) di Bangladesh. SIBL memperkenalkan produk Sertifikat Wakaf Tunai (Cash Waqf Certificate) yang pertama kali dalam sejarah perbankan. SIBL menggalang dana dari orang kaya untuk dikelola dan keuntungan pengelolaan disalurkan kepada rakyat miskin. Tujuan dari produk Sertifikat Wakaf Tunai adalah untuk: Penggalangan tabungan sosial dan mentransformasikan tabungan sosial menjadi modal sosial serta membantu mengembangkan pasar modal sosial; Meningkatkan investasi sosial; 12 Menyisihkan sebagian keuntungan dari sumber daya orang kaya (berkecukupan) mengenai tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat sekitarnya; Menciptakan integrasi antara keamanan sosial dan kedamaian sosial serta meningkatkan kesejahteraan umat; Karena itu, Indonesia saatnya belajar dari Negara Bangladesh, tempat kelahiran instrumen eksperimental melalui Sosial Investment Bank Limited (SIBL) yang menggalang dana dari orangorang kaya untuk dikelola dan disalurkan kepada rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial melalui mekanisme produk funding baru berupa Sertifikat Wakaf Tunai (Cash Waqf Certificate) yang akan dimiliki oleh pemberi dana tersebut. Dalam instrumen keuangan baru ini Sertifikat Wakaf Tunai merupakan alternatif pembiayaan yang bersifat sosial dan bisnis serta partisipasi aktif dari seluruh warga Negara yang kaya untuk berbagi kebahagiaan dengan saudaranya dalam menikmati pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan yang baik. Dengan tidak terlalu menggantungkan diri dengan anggaran pemerintah dan pinjaman asing, maka diharapkan dengan penerapan instrument Sertifikat Wakaf Tunai ini mampu menjadi salah satu alternative sumber pendanaan sosial. Efek kemaslahatan dari Sertifikat Wakaf Tunai tersebut yang sudah mulai terasa di 13 Bangladesh adalah meskipun Negara ini tergolong miskin, namun dapat dilihat betapa fasilitas pendidikan dan kesehatan jauh lebih baik dari Indonesia. Dari berbagai paparan di atas, keberadaan model wakaf tunai dirasakan perlu sebagai instrumen keuangan alternatif yang dapat mengisi kekurangankekurangan badan sosial yang telah ada. Dalam ajaran Islam, ada yang dikenal dengan wakaf. Penyaluran wakaf ini sudah berlangsung sangat lama di Indonesia. Pemberi bantuan wakaf yang disebut wakif adalah orang atau orang-orang atau badan hukum yang mewakafkan sebagian hartanya. Selama ini wakaf yang ada dalam masyarakat kita adalah berupa tanah dan bangunan seperti masjid, musholla, sekolah, panti asuhan dan lain-lain. Sementara, kebutuhan masyarakat saat ini sangat besar sehingga mereka membutuhkan dana tunai untuk meningkatkan kesejahteraannya. Berdasarkan prinsip wakaf tersebut dibuatlah inovasi produk wakaf berupa Wakaf Tunai, yaitu wakaf yang tidak hanya berupa property, tapi wakaf dengan dana (uang) tunai. Persoalannya sekarang bagaimana model dan mekanisme penerapan Sertifikat Wakaf Tunai ini dapat applicable dan feasible diterapkan di Indonesia dengan melibatkan infrastruktur yang sudah ada sebelumnya dan menyesuaikannya dengan struktur masyarakat dan kebudayaan Indonesia itu sendiri. 14 Dengan menimbang dan mengakomodir keberatan sebagian golongan terhadap status hukum wakaf tunai, seperti kalangan Syafi'iyah yang mengkhawatirkan habisnya pokok wakaf, maka sangat mendesak untuk dirumuskan dan diformulasikan model dan mekanisme semacam early warning sistem untuk menghindari resiko pengurangan modal wakaf dalam konteks risk management meskipun dananya diputarkan dalam investasi sektor riil. Sebagai upaya konkrit agar wakaf tunai dapat diserap dan dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat yang perlu diperhatikan adalah: Metode penghimpunan dana (fund rising) yaitu bagaimana wakaf tunai itu dimobilisasikan. Dalam hal ini, setifikasi merupakan salah satu cara yang paling mudah, yaitu bagaimana dengan menerbitkan sertifikat dengan nilai nominal yang berbeda-beda untuk kelompok sasaran yang berbeda. Aspek inilah yang merupakan keunggulan wakaf tunai dibandingkan wakaf harta tetap lainnya, karena besarannya dapat menyesuaikan kemampuan calon wakif (orang yang mewakafkan hartanya). Pengelelolaan dana yang berhasil dihimpun. Orientasi dalam mengelola dana tersebut adalah bagaimana pengelolaan tersebut mampu memberikan hasil yang semaksimal mungkin (income generating orientation). Implikasinya adalah bahwa dana-dana tersebut mesti diinvestasikan pada usaha15 16 usaha produktif. Dalam pemanfaatannya, terdapat beberapa pilihan seperti investasi langsung pada bidang-bidang produktif, investasi melalui deposito pada bank Syariah, investasi penyertaan (equity invesment) melalui perusahaan modal ventura, dan investasi portofolio lainnya. Dalam memilih cara investasi yang perlu diperhitungkan adalah potensi hasil investasi dan resikonya. Tentu saja yang dipilih adalah cara investasi yang memberikan hasil paling besar dan menanggung resiko paling rendah. Implikasinya adalah diperlukan pengelola (SDM) yang cakap dalam bidang investasi. Distribusi hasil yang dapat diciptakan kepada para penerima manfaat (beneficiaries). Dalam mendistribusikan hasil ini yang perlu diperhatikan adalah tujuan/orientasi dari distribusi tersebut, yang dapat berupa penyantunan (charity), pemberdayaan (empowerment), investasi sumber daya insani (human investment), maupun investasi infrastruktur (infrastructure investment). Disamping itu, hasil yang diperoleh tersebut juga –sebagian porsi tertentu— perlu dialokasikan untuk menambah besaran nilai awal wakaf tunai, dengan pertimbangan pokok untuk mengantisipasi penurunan nilai awal wakaf tunai dan meningkatkan kapasitas modal awal tersebut. Penyantunan berarti memberikan bantuan yang sifatnya konsumtif, atau yang sekali pakai habis, misalnya untuk kebutuhan pangan, kesehatan dan lainnya. Pemberdayaan berarti memberikan bantuan yang sifatnya produktif, misalnya dalam bentuk bantuan modal usaha kepada kelompok miskin yang memiliki keterampilan berusaha. Sementara investasi sumber daya insani dimaksudkan sebagai upaya pemberian beasiswa pada berbagai jenjang pendidikan yang hasilnya baru dapat dilihat dalam jangka panjang. Pilihanpilihan tersebut tentu saja tergantung kepada ketersediaan atau besar kecilnya hasil yang dapat diperoleh dalam pengelolaan dana wakaf tunai. B.2. Pendekatan Kepada Calon Wakif Sebagai salah satu pilar penting dalam dunia perwakafan, wakif (orang yang mewakafkan harta) harus terus diberikan stimulus agar pertambahan benda-benda (kekayaan) wakaf terus bisa dicapai. Untuk konteks Indonesia memang banyak benda-benda wakaf yang belum dikelola secara profesional oleh Nazhir, namun dalam mengembangkan dan memperluas jangkauan benda-benda wakaf, seperti wakaf tunai (uang) dan wakaf bergerak lainnya, maka harus ditetapkan sistem rekruitmen wakif. Paling tidak, sistem rekruitmen wakif dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan: Pendekatan keagamaan Wakaf sebagai salah satu instrumen ibadah tabarru’, harus diberikan porsi yang sama banyak sebagaimana ibadah zakat. Apalagi wakaf (shadaqah jariyyah) dijanjikan oleh Allah SWT memiliki bobot pahala yang terus 17 mengalir, walaupun para pelaku (wakif) sudah meninggal dunia. Untuk itu pola pendekatan keagamaan perlu digiatkan oleh para agamawan kepada umat Islam yang memiliki kemampuan secara finansial agar mau mewakafkan sebagian hartanya. Bagaimana bentuk pendekatannya tentu saja dibutuhkan kearifan dan metode yang tepat sehingga lebih menyentuh kepada para calon wakif, seperti keteladanan dan amanah. Pendekatan kesejahteraan sosial Secara sosial, wakaf memiliki peran yang cukup strategis di tengah-tengah kemiskinan yang menggurita umat Islam Indonesia. Untuk itu pola penyadaran yang terus menerus dilakukan agar para pemilik harta (orang kaya) bisa meningkatkan volume beribadah yang berdimensi sosial. Karena wakaf mempunyai kontribusi solutif terhadap persoalan-persoalan ekonomi kemasyarakatan. Kalau dalam tataran pendekatan keagamaan, wakaf berbicara tentang nilai-nilai pahala yang akan didapatkan oleh umat Islam yang menjalankannya, sedangkan pada pendekatan kesejahteraan sosial, wakaf menjadi jawaban konkrit dalam realitas problematika kehidupan (sosial-ekonomi) masyarakat. Karena secara ideologis, penguasaan harta (kekayaan) oleh seseorang (lembaga) secara monopolistik akan bisa melahirkan eksploitasi oleh kelompok minoritas (kaya) terhadap mayoritas (miskin). Dan eksploitasi sosial-ekonomis ini pada gilirannya nanti 18 akan menimbulkan dis-harmoni sosial yang bisa mengakibatkan kesenjangan sosial yang tajam. Pemahaman secara sosial harus ditanamkan secara berkesinambungan, bahwa harta tidaklah cukup dimiliki dan dikuasai sendiri, melainkan juga harus dinikmati bersama. Dengan pola pendekatan penyadaran akan problemproblem sosial seperti itu diharapakan para calon wakif semakin tergerak hatinya menyumbangkan sebagian harta menjadi wakaf (shadaqah jariyyah) untuk kepentingan masyarakat umum. Pendekatan bukti keberhasilan pengelolaan Menjadi salah satu kendala nyata bagi calon wakif enggan mewakafkan hartanya karena dipengaruhi oleh sebuah realitas bahwa mayoritas lembaga keNazhiran di Indonesia terhitung belum profesional. Karena ketidakprofesionalan itulah banyak harta wakaf yang sama sekali tidak memberi manfaat kepada masyarakat yang dimaksud wakif, bahkan banyak pula harta wakaf yang dijadikan bahan warisan oleh para sanak keturunan Nazhir, sampai persengketan dengan pihak ketiga. Sehingga para calon wakif menjadi was-was (ragu) akan mewakafkan sebagian hartanya. Oleh karena itu dalam rangka menarik hati para calon wakif, para Nazhir atau lembaga Nazhir harus membuktikan terlebih dahulu kepada masyarakat bahwa amanah untuk mengelola benda-benda wakaf bisa berhasil dan dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang 19 membutuhkan, baik untuk ibadah seperti masjid, musholla, madrasah, atau juga untuk kepentingan pemberdayaan ekonomi, kesehatan, pendidikan (beasiswa), penelitian dan sebagainya. Proses pembuktian keberhasilan pengelolaan dibutuhkan keseriusan, dedikasi, kehati-hatian dan keikhlasan yang tinggi. Dengan cara seperti itu, maka secara tidak langsung para Nazhir mempromosikan akan pentingnya fungsi wakaf secara sosial maupun secara spiritual. Pendekatan efektifitas pemanfaatan hasil Tidak sedikit pula Nazhir wakaf yang menggunakan hasil pengelolaan wakaf dinilai kurang efektif untuk kepentingan kesejahteraan umum. Penggunaan prioritas pemanfaatan benda-benda wakaf begitu penting sehingga sasaran wakaf dapat dicapai dengan baik. Dengan demikian, pemanfaatan benda-benda wakaf bisa dilakukan secara maksimal, dan sejauh mungkin digunakan untuk kepentingan kesejahteraan umum. Dengan pola pendekatan ini, maka diharapkan para wakif dan calon wakif semakin tergerak hatinya untuk menyumbangkan sebagian harta sebagai wakaf dalam rangka membantu terhadap problem-problem sosial yang ada di sekitar kita. B.3. Pendekatan Kepada Nazhir Wakaf Dalam kitab-kitab fikih, ulama tidak mencantumkan Nazhir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf, karena wakaf merupakan ibadah tabarru’ (pemberian yang 20 bersifat sunnah). Namun demikian, setelah memperhatikan tujuan wakaf yang ingin melestarikan manfaat dari hasil harta wakaf, maka keberadaan Nazhir sangat dibutuhkan, bahkan menempati pada peran sentral. Sebab, di pundak Nazhir lah tanggung jawab dan kewajiban memelihara, menjaga dan mengembangkan wakaf serta menyalurkan hasil atau manfaat dari wakaf kepada sasaran wakaf. Terlalu banyak contoh pengelolaan harta wakaf yang dikelola oleh Nazhir yang sebenarnya tidak mempunyai kemampuan memadai, sehingga harta wakaf tidak berfungsi secara maksimal, bahkan tidak memberi manfaat sama sekali kepada sasaran wakaf. Untuk itulah profesionalisme Nazhir menjadi ukuran yang paling penting dalam pengelolaan wakaf jenis apapun. Kualifikasi profesionalisme Nazhir secara umum dipersyaratkan menurut fikih sebagai berikut, yaitu : beragama Islam, mukallaf (memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum), baligh (sudah dewasa) dan ‘aqil (berakal sehat), memiliki kemampuan dalam mengelola wakaf (professional) dan memiliki sifat amanah, jujur dan adil. Untuk itu, dalam rangka meningkatkan kemampuan Nazhir diperlukan sistem manajemen SDM yang handal. Sistem pengelolaan SDM ini bertujuan untuk: Meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan para Nazhir wakaf 21 di semua tingkatan dalam rangka membangun kemampuan manajerial yang tangguh, profesional dan bertanggung jawab. Membentuk sikap dan perilaku Nazhir sesuai dengan posisi yang seharusnya, pemegang amanat umat Islam mempercayakan harta benda untuk dikelola baik dan pertanggungjawaban di hadapan kelak. wakaf yaitu yang secara Allah Menciptakan pola pikir atau persepsi yang sama dalam memahami dan menerapkan pola pengelolaan wakaf, baik dari segi peraturan perundang-undangan maupun teknis manajerial sehingga lebih mudah diadakan control, baik di daerah maupun pusat. Mengajak para Nazhir wakaf untuk memahami tata cara dan pola pengelolaan yang lebih berorientasi pada kepentingan pelaksanaan Syariat Islam secara lebih luas dan dalam jangka panjang. Sehingga wakaf bisa dijadikan sebagai salah satu elemen penting dalam menunjang penerapan sistem ekonomi Syariah secara terpadu. Setelah diketahui persyaratan minimal seorang Nazhir wakaf dan tujuan diperlukannya pengelolaan SDM keNazhiran, maka diperlukan upaya pembinaan agar mereka dapat menjalani tugas-tugas keNazhiran secara produktif dan berkualitas. Upaya pembinaan 22 ini yang harus dilakukan berdasarkan standar pola manajemen terkini adalah: (a) Pendidikan formal. Melalui sekolah-sekolah umum dan kejuruan dapat dicetak calon-calon SDM keNazhiran yang siap pakai, dengan catatan sekolah itu sendiri harus dibentuk secara berkualitas dengan memberikan format kurikulum yang mantap dengan disiplin pengajaran yang tinggi, terarah menurut bidang yang dituju. Misalnya, sekolah menengah petanian maupun tingkat perguruan tingginya (fakultas pertanian) yang diharapkan dapat mengelola tanah-tanah wakaf berupa persawahan, perkebunan, ladang pembibitan dan lain-lain. Atau sekolah-sekolah teknik menengah dan perguruan tingginya yang meliputi berbagai jurusan, seperti teknik industri, arsitektur, metalurgi, pemasaran industri yang kelak bisa mengelola berbagai potensi benda wakaf secara produktif dan sebagainya. Atau bisa juga sekolah dan perguruan tinggi yang membuka jurusan sosial, seperti akuntansi, hukum dan lain-lain yang bisa diarahkan untuk memback-up pengembangan secara umum. Melihat dari kondisi saat ini, secara kuantitatif, sudah cukup banyak jumlah sekolah dan perguruan tinggi yang membuka dan mengelola 23 arah pembinaan SDM seperti di atas, namun lulusan berbagai bidang keahlian yang berjumlahnya ribuan tersebut masih sedikit yang memiliki kemampuan handal. Apalagi misalnya ini dikaitkan dengan pola manajemen yang ingin diterapkan dalam pengelolaan wakaf yang menggunakan sistem Syari’ah. Janganlah mereka bisa menguasai sistem Syariah, untuk kemampuan minimal pun mereka banyak yang tidak memenuhi standar. Oleh karena itu, sebagai salah satu upaya menciptakan SDM keNazhiran yang handal, pemerintah dan juga lembaga-lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam harus memulai pembenahan kembali sistem pendidikan yang diterapkan selama ini, agar alumni atau lulusannya menjadi tenaga kerja yang siap pakai, mandiri, produktif dan berkualitas. (b) Pendidikan non formal. Bentuk dari pendidikan model ini adalah dengan mengadakan kursuskursus atau pelatihan-pelatihan SDM keNazhiran baik yang terkair dengan manajerial organisasi, atau meningkatkan ketampilan dalam bidang profesi seperti administrasi, teknik pengelolaan pertanian, teknik perbankan, pengelolaan kepariwisataan, perdagangan, pemasaran dan lain sebagainya.Pendidikan non formal ini perlu digalakkan oleh beberapa pihak yang terkait dengan dunia perwakafan, seperti Departemen 24 Agama, lembaga-lembaga Islam, lembaga-lembaga bisnis, lembaga perbankan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi dan sebagainya dengan mutu pembelajaran yang lebih ditingkatkan sehingga benar-benar dapat menghasilkan tenaga kerja yang terampil dan siap pakai. (c) Pendidikan informal. Berupa latihan-latihan dan kaderisasi langsung di tempat-tempat pengelolaan benda wakaf. Nazhir yang telah ada, ditingkatkan kemampuannya melalui latihan-latihan yang intensif dan bimbingan yang membuatnya kian maju dan mampu dalam bidang tugas dan tanggung jawabnya. Medan kerja itu sendiri menjadi “sekolah” dan taman belajar yang lebih praktis yang terkadang bobot dan mutunya lebih mantap dibandingkan dengan sekolah atau kursus. Misalnya Nazhir wakaf yang sedang mengelola usaha perdagangan kebutuhan pokok (ritel) akan lebih mudah meningkatkan kemampuannya dalam mengelola usaha tersebut jika dibina dan diarahkan dengan manajemen modern yang praktis dan dicontohkan langsung. Contoh lain, banyak montir yang ahli atau memiliki kemampuan baik karena mereka bisa praktek langsung, walaupun mereka bukan lulusan sekolah teknik dan bukan pula dari lembaga kursus montir. Keahlian ini diperoleh 25 dari pengalaman dan bimbingan supervisornya yang menurunkan ilmunya. (d) Pembinaan fisik. Faktor olah raga dan istirahat para tenaga kerja, termasuk para Nazhir tidak boleh diabaikan dalam rangka membangun fisik yang prima. Demikian juga kelengkapan gizi memerlukan perhatian khusus dengan makanan yang mencukupi nilai gizinya. Karena tubuh kita dibentuk, tumbuh dan berkembang disebabkan adanya gizi makanan yang setiap hari dikonsumsi. Kesehatan tubuh manusia tergantung pada apa yang diamakannya. Sehingga dengan keseimbangan antara kerja, istirahat, olah raga dan asupan makanan bergizi yang cukup akan menjadikan tubuh lebih terlihat energik, dinamis dalam mengemban tugas keNazhiran. Pola pembinaan fisik ini barangkali dianggap terlalu ideal dilakukan oleh sebuah lembaga keNazhiran, akan tetapi bukan hal yang tidak mungkin dalam sebuah lembaga pengelola wakaf yang cukup profesional bisa melakukan ini. Atau paling tidak, jika lembaga keNazhiran menganggap upaya pembinaan fisik SDM nya terlalu jauh, paling tidak sebagai salah satu prasyarat menjadi seorang Nazhir harus dipastikan memiliki tubuh yang sehat, sehingga dengan kondisi tersebut yang bersangkutan dapat menjalankan tugas dengan baik. 26 (e) Pembinaan mental. Spirit kerja harus terus menerus dibina agar para pemegang amanah perwakafan senantiasa bergairah dalam melaksanakan pekerjaannya. Demikian juga pembinaan mental budi pekerti (akhlak) yang luhur dibina melalui berbagai kesempatan seperti ceramah-ceramah agama, out bond, simulasi pengembangan diri dan organisasi untuk menjaga dan meningkatakn ketahanan mental supaya SDM keNazhiran bisa mengemban amanat untuk kesejahteraan masyarakat banyak. Menjadi hal yang sering terjadi, dalam sebuah lembagalembaga usaha sering diadakan pembinaanpembinaan kualitas kerjanya, namun mengesampingkan pembinaan mentalnya. Sehingga, walaupun SDM nya sudah memiliki kehandalan dalam pengelolaan usaha, tapi karena mentalnya yang sangat lemah mengakibatkan terjadinya tindakan-tindakan menyimpang, seperti korupsi, mark up anggaran sampai penyimpangan moral pribadinya. Jika kondisi mental para pelaksana tugas keNazhiran lemah atau buruk, maka pengelolaan wakaf tidak akan menghasilkan secara maksimal 27 . 28 Bagian Kedua STRATEGI PENGELOLAAN DANA WAKAF A. Pembentukan Institusi Wakaf Penerimaan wakaf berdasarkan literatur sejarah dilakukan oleh institusi Baitul Mal. Baitul Mal merupakan institusi dominan dalam sebuah pemerintahan Islam ketika itu. Baitul Mal lah yang berperan secara konkrit menjalankan program-program pembangunan melalui devisi-devisi kerja yang ada dalam lembaga ini, disamping tugas utamanya sebagai bendahara negara (treasury house). Dengan karakteristiknya yang khas, wakaf memerlukan manajemen tersendiri dalam lembaga Baitul Mal. Baitul Mal harus menjaga eksistensi harta wakaf dan keselarasannya dengan niat wakaf dari wakif. Sehingga dalam konteks perekonomian kontemporer yang tidak (belum) menjadikan Baitul Mal sebagai institusi negara, diperlukan modifikasi institusi dalam pengelolaan wakaf tunai ini. Karena terdapat kebebasan memberikan jumlah wakaf tunai, institusi wakaf dapat membatasi alternatif tujuan wakaf dari masyarakat (pos penerimaan sekaligus penggunaan uang wakaf), agar dapat optimal pemanfaatan wakaf tunai tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan terlalu sedikitnya wakaf tunai yang terkumpul dalam rangka memenuhi niat akad dari para wakif. Jadi pos wakaf tunai dibatasi sesuai dengan program kebutuhan masyarakat luas seperti pos pendidikan 41 (misalnya peruntukan gedung sekolah, gedung dakwah dll.), pos masjid dan pos fasilitas umum (misalnya peruntukan jalan raya, jembatan dll.). Banyaknya pos tergantung pada banyaknya keinginan masyarakat dalam mewakafkan hartanya pada maksud tertentu. Namun, pada wakaf yang mutlak, artinya tidak ditentukan tujuan dari pemberian wakaf secara spesifik oleh wakif, maka kebijakan institusi wakaflah yang berperan dalam hal keputusan penggunaannya, tentu saja mempertimbangkan skala prioritas kebutuhan masyarakat. Pada wakaf tunai yang memiliki definisi dan aplikasi seperti yang dilakukan oleh Prof. M.A. Mannan, sebaiknya memang menjadi kesepakatan para ulama berikut intelektual agar aplikasinya tidak menemui hambatanhambatan yang kemudian mengganggu jalannya perekonomian secara keseluruhan. Untuk konteks Indonesia, lembaga wakaf yang secara khusus mengelola dana wakaf tunai dan beroperasi secara nasional itu berupa Badan Wakaf Indonesia (BWI). Tugas dari lembaga ini adalah mengkoordinir Nazhir-Nazhir yang sudah ada dan atau mengelola secara mandiri terhadap harta wakaf yang dipercayakan kepadanya, khususnya wakaf tunai. Sedangkan, wakaf yang ada dan sudah berjalan di tengah-tengah masyarakat dalam bentuk wakaf benda tidak bergerak, maka terhadap wakaf dalam bentuk itu perlu dilakukan pengamanan dan dalam hal benda wakaf yang mempunyai nilai produktif perlu di dorong untuk dilakukan pengelolaan yang bersifat produktif. Hasil dari pengembangan wakaf yang dikelola secara 42 profesional dan amanah oleh lembaga-lembaga keNazhiran dan BWI sendiri kemudian dipergunakan secara optimal untuk keperluan sosial, seperti untuk meningkatkan pendidikan Islam, pengembangan rumah sakit Islam, bantuan pemberdayaan ekonomi umat dan bantuan atau pengembangan sarana prasarana ibadah. Untuk itulah, Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang mempunyai fungsi sangat strategis yang dibentuk diharapkan dapat membantu, baik dalam pembinaan maupun pengawasan terhadap para Nazhir untuk dapat melakukan pengelolaan wakaf secara produktif. Pembentukan BWI bertujuan untuk menyelenggarakan administrasi pengelolaan secara nasional, mengelola sendiri harta wakaf yang dipercayakan kepadanya, khususnya yang berkaitan dengan tanah wakaf produktif strategis dan promosi program yang diadakan oleh BWI dalam rangka sosialisasi kepada umat Islam dan umat lain pada umumnya. BWI ini seharusnya profesionalindependen dan pemerintah sebagai hanya regulator, fasilitator, motivator dan public service. Pola organisasi dan kelembagaan BWI harus merespon terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Di tingkat masyarakat, persoalan yang paling mendasar adalah kemiskinan, baik dalam arti khusus, yaitu seperti yang dicerminkan dengan tingkat pendapatan masyarakat, maupun dalam arti luas, yang mencakup aspek kesehatan, pendidikan atau pemenuhan hak-hak asasi manusia pada umumnya. Persoalan-persoalan tersebut juga bisa disebut sebagai 43 persoalan umat Islam juga. Tapi dari sudut organisasiorganisasi Islam, persoalan-persoalan itu menjadi tanggung jawab gerakan Islam juga. Oleh sebab itu, organisasi-organsasi Islam berkepentingan juga untuk mengakses sumber daya wakaf. Untuk mengatasi masalah-masalah sosial, wakaf merupakan sumber dana yang cukup potensial. Selama ini, program pengentasan masyarakat dari kemiskinan bergantung dari bantuan kredit dari luar negeri, terutama dari Bank Dunia. Tapi dana itu terbatas dari segi jumlah maupun waktu. Dalam hal ini pengembangan tanah wakaf produktif strategis dapat menjadi alternatif sumber pendanaan dalam pemberdayaan ekonomi umat secara umum. Di Qatar dan Kuwait, dana yang dihasilkan dari wakaf, bersamasama dengan sumber lain, khususnya zakat, dana wakaf yang di peroleh dari pengusahaan tanah wakaf, misalnya di bidang real estate atau pendirian gedung-gedung perkantoran yang disewakan atau dikelola sendiri, dipakai untuk membiayai program kemiskinan, baik langsung oleh pemerintah maupun disalurkan lewat LSM. Benda-benda wakaf produktif bisa dikerjakan secara kolektif, tapi bisa pula dikerjasamakan dengan pihak swasta profesional, baik dalam maupun luar negeri. Proyek-proyek yang dikerjakan bisa berupa pertanian padi sawah atau palawija, sehingga bisa menghasilkan cadangan pangan dan lumbung bibit, pertenakan, perikanan dan perkebunan. Model ini merupakan analogi dari wakaf ahli, dimana wakif memberikan 44 wasiat agar hasil pengelolaan wakaf dapat dipakai untuk menyantuni anggota keluarga yang kekurangan atau membutuhkan dana. Dalam model ini anggota keluarga besar seseorang diperluas menjadi warga desa, sehingga setiap bagian warga desa yang mengalami kemiskinan dan kesulitan lain seperti kesehatan dan pendidikan, dapat disantuni dari dana hasil pengelolaan wakaf tersebut. Model ini dapat diterapkan secara nasional. Karena itu untuk merespon model ini, lembaga Nazhir bisa didirikan di setiap desa. Untuk menjalankan semua rencana praktis di atas, sebagai lembaga pembina dan pengawas Nazhir secara nasional, lembaga BWI diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang benar-benar mempunyai kemampuan dan kemauan dalam pemberdayaan wakaf, berdedikasi tinggi dan memiliki komitmen dalam pengembangan wakaf serta memahami masalah wakaf serta hal-hal yang terkait dengan wakaf. Lembaga ini diisi minimal 20, maksimal 30 orang yang diharapkan lebih solid. Anggotanya terdiri dari para ahli bidang disiplin ilmu yang ada kaitannya dengan pengembangan wakaf produktif, seperti: ahli manajemen, ahli hukum pidana dan perdata baik nasional maupun internasional, ulama hukum Islam (fikih wakaf, ushul fikih), ulama ahli tafsir, ekonom, praktisi bisnis, arsitektur, penyandang dana, sosiolog, ahli perbankan Syari’ah dan cendekiawan lain yang memiliki perhatian terhadap perwakafan secara umum. 45 B. Sistem Pengelolaan Dana Wakaf Untuk mengelola dana wakaf tunai, harus ada sistem yang diterapkan. Paling tidak, ada pola (standar pelaksanaan) yang dibakukan agar dana yang akan dan sudah dikumpulkan dapat diberdayakan secara maksimal. Standar atau pola tersebut terkait dengan hal-hal sebagai berikut: B.1. Memberi Peran Perbankan Syariah Ada beberapa alternatif peran dan posisi perbankan Syariah dalam pengelolaan wakaf tunai. Menurut Tim Penyusun Makalah dari Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia (BI) yang berjudul: “Peranan perbankan Syariah dalam Wakaf Tunai”, yaitu: 1. Bank Syariah sebagai Nazhir Penerima, Penyalur dan Pengelola Dana Wakaf Dalam alternatif 1 ini bank Syariah mendapat kewenangan penuh untuk menjadi Nazhir, mulai dari penerima, pengelola dan penyalur dana wakaf. Fungsi bank Syariah dalam alternatif 1 ini dapat dikatakan sama dengan yang dilakukan SIBL di Bangladesh. Wakif yang menyetorkan dana wakaf ke bank Syariah akan menerima Sertifikat Wakaf Tunai yang diterbitkan oleh bank Syariah, sehingga tanggung jawab penggalangan dan pengelolaan dana wakaf serta penyaluran hasil pengelolaan tersebut, sepenuhnya ada pada bank Syariah. Kedudukan bank sebagai pengelola dana wakaf (Nazhir) merupakan manifestasi dari fungsi keharusan bank Syari’ah yang mengelola 3 sektor pelanggan/ekonomi, yaitu 46 corporate, non-formal dan voluntary sector. Hal ini berbeda dengan bank konvensional yang mengelola sektor pelanggan/ ekonomi, yaitu corporate, non-formal dan private sector. Pengelolaan 3 sektor pelanggan/ekonomi tersebut, khususnya pada “voluntary sector”, akan memperluas stake holder yang akan menerima benefit atas usaha perbankan. Stake holder baru yang akan mendapat benefit yaitu para beneficiary dana wakaf. Setidaknya ada 4 tujuan bank sebagai pengelola dana wakaf tunai, yaitu : Menyediakan jasa layanan perbankan dengan penerbitan sertifikat wakaf tunai dan melakukan manajemen terhadap dana wakaf tersebut. Membantu melakukan mobilisasi tabungan sosial dan melakukan transformasi dari tabungan sosial ke modal; Memberikan benefit kepada masyarakat khususnya, masyarakat miskin melalui optimalisasi sumber daya masyarakat kaya; Membantu perkembangan pasar modal sosial (sosial capital market). Adapun garis-garis besar opresionalisasi Sertifikat Wakaf Tunai bisa dijabarkan sebagai berikut : Wakaf tunai harus diterima sebagai sumbangan sesuai Syari’ah. Bank harus mengelola wakaf tersebut atas nama wakif. 47 Wakaf dilakukan dengan tanpa batas waktu dan rekeningnya harus terbuka dengan nama yang ditentukan wakif. Wakif mempunyai kebebasan memilih tujuan-tujuan sebagaimana tercantum pada daftar yang jumlahnya ada 32 sesuai dengan identifikasi yang telah dibuat atau tujuan lain yang diperkenankan Syari’at. Wakaf tunai selalu menerima pendapatan dengan tingkat (rate) tertinggi yang ditawarkan bank dari waktu ke waktu. Kuantitas wakaf tetap utuh dan hanya keuntungannya saja yang akan dibelanjakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan oleh wakif. Bagian keuntungan yang tidak dibelanjakan akan secara otomatis ditambahkan pada wakaf dan profit yang diperoleh akan bertambah terus. Wakif dapat meminta bank mempergunakan keseluruhan profit untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Wakif dapat memberikan wakaf tunai untuk sekali saja, atau ia dapat juga menyatakan akan memberikan sejumlah wakaf dengan cara melakukan deposit pertama kalinya sebesar (ditentukan kemudian). Deposit-deposit barikutnya juga dapat dilakukan dengan pecahan masing-masing atau kelipatannya. Wakif juga dapat meminta kepada bank untuk merealisasikan wakaf tunai pada jumlah tertentu untuk 48 dipindahkan dari rekening wakif pada pengelola harta wakaf. Atas setoran wakaf tunai harus diberikan tanda terima dan setelah jumlah wakaf tersebut mencapai jumlah yang ditentukan, barulah diterbitkan setifikat. Prinsip dan dasar-dasar peraturan Sertifikat Wakaf Tunai dapat ditinjau kembali dan dapat berubah. Optimalisasi penggalangan dana akan dilakukan dengan menggunakan seefektif mungkin keberadaan jaringan kantor beserta divisi pemasarannya. Pengelolaan dana akan disertai kerja sama dengan lembaga penjamin untuk memastikan tidak berkurang dana pokok wakaf. Sedangkan penyaluran dana akan dilakukan dengan mengefektifkan keberadaan jaringan informasi serta peta distribusi. 2. Bank Syariah sebagai Nazhir Penerima dan Penyalur Dana Wakaf Dalam alternatif 2 ini bank Syariah hanya Nazhir penerima dan penyalur. Sedangkan fungsi pengelola dana akan dilakukan oleh lembaga lain, misalnya Badan Wakaf Indonesia (BWI), yang dengan sendirinya tanggung jawab pengelolaan dana, termasuk hubungan kerjasama dengan lembaga penjamin berada pada BWI ini. Dalam alternatif ini, keunggulan perbankan Syariah berupa adanya jaringan kantor serta jaringan informasi dan peta distribusi digunakan untuk menggalang dana wakaf maupun untuk menyalurkan hasil pengelolaan dana wakaf 49 kepada yang berhak. Sedangkan kemampuan profesional perbankan Syariah dalam pengelolaan dana, tidak digunakan. c. Bank Syariah sebagai Pengelola (Fund Manager) Dana Wakaf Dalam alternatif ini keunggulan perbankan Syariah berupa kemampuan profesional dalam pengelolaan dana digunakan secara efektif. Tanggung jawab pengelolaan dana serta hubungan kerjasama dengan lembaga penjamin berada pada lembaga perbankan Syariah. Sedangkan keunggulan lembaga perbankan Syariah berupa jaringan kantor, jaringan informasi serta peta distribusi, tidak dimanfaatkan untuk mengoptimalkan penggalangan dana wakaf dan penyaluran hasil pengelolaan dana wakaf. d. Bank Syariah sebagai Kustodi Alternatif keempat dibuat untuk mengantisipasi jika bank Syariah tidak diberikan kesempatan untuk berperan secara optimal dalam pengelolaan wakaf tunai. Hal ini disebabkan adanya rencana pemerintah untuk mendirikan BWI yang bertugas membina dan mengawasi Nazhir. Jika pemerintah menunjuk Nazhir yang memiliki wewenang penuh sebagai penerima, pengelola dana sekaligus penyalur dana wakaf tunai, maka bank Syariah masih bisa berperan dalam hal menjadi kustodi (penitipan) Sertifikat Wakaf Tunai yang diterbitkan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI). Berdasarkan Kamus perbankan terbitan Bank Indonesia Tahun 1999, kustodian adalah kegiatan 50 penitipan harta untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak; dalam melakukan kegiatan penitipan, baik menerima titipan harta penitip dengan mengadministrasikannya secara terpisah dari kekayaan bank; mutasi dari barang titipan dilaksanakan oleh bank atas perintah penitip. Dalam UU RI No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 Pasal 6 huruf I disebutkan bahwa Bank Umum dapat melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak. Lebih jauh sesuai dengan SK Dir. BI No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah Pasal 28 ada beberapa aktifitas kustodi yang bisa dilakukan, yaitu: Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah berdasarkan prinsip wakalah (huruf e); Melakukan kegiatan penitipan termasuk penatausahannya untuk kepentingan pihak lain berdasarkan sutau kontrak dengan prinsip wakalah (huruf e). Wakif selaku orang yang berwakaf dapat menyetorkan dananya ke bank Syariah atas nama rekening BWI yang ada di bank Syariah tersebut dan akan mendapatkan Sertifikat Wakaf Tunai. Sertifikat Wakaf Tunai tersebut diterbitkan oleh BWI dan ditipkan di bank Syariah. Sertifikat Wakaf Tunai tersebut akan diadministrasikan secara terpisah dari kekayaan bank. Karena bank Syariah hanya berfungsi sebagai kustodi maka tanggung jawab terhadap wakif 51 terletak pada BWI. Dana wakaf yang ada di rekening BWI kemudian akan dikelola oleh badan itu sendiri dan hasil pengelolaan dana untuk al-mauquf ‘alaih (sasaran) juga akan disalurkan oleh BWI. Dalam alternatif ini keunggulan lembaga perbankan Syariah berupa kemampuan mengelola dana, jaringan informasi dan data distribusi, tidak dimanfaatkan secara efektif di dalam pengelolaan dana wakaf tunai maupun penyalurannya. Sedangkan keunggulan berupa jaringan kantor masih dimanfaatkan. e. Bank Syariah sebagai Kasir Badan Wakaf Indonesia Peran bank Syariah dalam alternatif ini sangat terbatas. Alternatif 5 ini hampir sama dengan alternatif 4 dalam hal wakif menyetorkan dana wakaf ke bank untuk dimasukkan ke rekening Badan Wakaf Indonesia. Perbedaannya dalah bank Syariah tidak mengadministrasikan Sertifikat Wakaf Tunai yang diterbitkan oleh Badan Wakaf Indonesia. Rekening Badan Wakaf Indonesia (BWI) akan dipelihara oleh bank Syariah sebagaimana layaknya rekening-rekening lainnya yang akan mendapatkan bonus atau bagi hasil sesuai dengan jenis dan prinsip Syariah yang digunakan (Giro, Wadi’ah, Tabungan Wadi’ah atau Tabungan Mudharabah). Tanggung jawab terhadap wakif, pengelola dana dan penyaluran dana akan menjadi tanggung jawab Badan Wakaf Indonesia. Oleh karena itu Badan wakaf-lah yang akan berhubungan dengan Lembaga Penjamin untuk menjamin dana wakaf agar tidak berkurang pokoknya. 52 B.2. Posisi LKS dalam Peraturan Perundangan Wakaf Jika seseorang yang akan mewakafkan sebagian uangnya dapat dilakukan melalui LKS yang ditunjuk oleh Menteri sebagai LKS Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU). LKS yang ditunjuk oleh Menteri berdasarkan saran dan pertimbangan dari BWI. Saran dan pertimbangan yang dikeluarkan oleh BWI tersebut setelah mempertimbangkan saran instansi terkait. Saran dan pertimbangan dapat diberikan kepada LKS Penerima Wakaf Uang yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. menyampaikan permohonan secara tertulis kepada menteri; b. melampirkan anggaran dasar dan pengesahan sebagai badan hukum; c. memiliki kantor operasional di wilayah Republik Indonesia; d. bergerak di bidang keuangan syariah; dan e. memiliki fungsi menerima titipan (wadi’ah). Agar proses penunjukan LKS sebagai LKS-PWU lebih cepat, maka BWI wajib memberikan pertimbangan kepada Menteri paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah LKS memenuhi persyaratan. Setelah menerima saran dan pertimbangan BWI, Menteri paling lambat 7 (tujuh) hari kerja menunjuk LKS atau menolak permohonan dimaksud. Adapun tugas dari LKS Penerima Wakaf Uang (LKSPWU) bertugas: 53 a. mengumumkan kepada publik atas keberadaannya sebagai LKS Penerima Wakaf Uang; b. menyediakan blangko Sertifikat Wakaf Uang; c. menerima secara tunai wakaf uang dari Wakif atas nama Nazhir; d. menempatkan uang wakaf ke dalam rekening titipan (wadi’ah) atas nama Nazhir yang ditunjuk Wakif; e. menerima pernyataan kehendak Wakif yang dituangkan secara tertulis dalam formulir pernyataan kehendak Wakif; f. menerbitkan Sertifikat Wakaf Uang serta menyerahkan sertifikat tersebut kepada Wakif dan menyerahkan tembusan sertifikat kepada Nazhir yang ditunjuk oleh Wakif; dan g. mendaftarkan wakaf uang kepada Menteri atas nama Nazhir. Sedangkan Sertifikat Wakaf Uang yang dikeluarkan oleh LKS tersebut sekurang-kurangnya memuat keterangan mengenai: a. b. c. d. e. f. g. h. 54 nama LKS Penerima Wakaf Uang; nama Wakif; alamat Wakif; jumlah wakaf uang; peruntukan wakaf; jangka waktu wakaf; nama Nazhir yang dipilih; dan tempat dan tanggal penerbitan Sertifikat Wakaf Uang; Untuk calon Wakif berkehendak melakukan perbuatan hukum wakaf uang untuk jangka waktu tertentu, maka pada saat jangka waktu tersebut berakhir, Nazhir wajib mengembalikan jumlah pokok wakaf uang kepada Wakif atau ahli waris/penerus haknya melalui LKS Penerima Wakaf Uang. B.3. Membentuk Lembaga Investasi Dana Salah satu cara pemberdayaan dana wakaf tunai tersebut adalah dengan mekanisme investasi. Adapun jenis investasi yang harus digalang hanya dapat dilakukan pada instrumen keuangan yang sesuai dengan Syariah Islam dan tidak mangandung riba. Untuk sistem perekonomian Indonesia saat ini, berdasarkan UU Pasar Modal hanya meliputi beberapa hal, yaitu instrumen saham yang sudah melalui penawaran umum dan pembagian dividen didasarkan pada tingkat laba usaha; penempatan dalam deposito pada Bank Umum Syariah; surat utang jangka panjang; baik berupa obligasi maupun surat utang jangka pendek yang telah lazim diperdagangkan di antara lembaga kauangan Syariah, yaitu termasuk jual beli utang (ba’i ad-dain) dengan segala kontroversinya. Siapa yang paling tepat sebagai lembaga investasi dalam pengelolaan dana wakaf tunai? Sebenarnya Lembaga Investasi yang bergerak di bidang pasar modal dapat menjalankan fungsi Nazhir. Namun di lihat dari kenyataan yang ada bahwa pasar modal cenderung volatile, maka yang lebih tepat adalah bank –khususnya bank Syari’ah—dengan penjelasan sebagai berikut: 55 a) Kemampuan akses kepada calon wakif Calon wakif tentunya mereka yang memiliki kelebihan likuiditas, terlepas seberapa besar likuiditas tersebut. Saat ini umumnya kelebihan likuiditas masyarakat disimpan di bank. Potensial calon wakif tentunya dapat dilihat oleh bank dengan mengamati jumlah deposito, tabungan atau mutasi giro yang bersangkutan, sehingga akses ke calon wakif lebih mudah dilakukan oleh bank beserta dengan jaringannya. b) Kemampuan melakukan investasi dana wakaf Investasi wakaf tunai dapat dilakukan dengan berbagai jenis investasi, yaitu: 56 Investasi Jangka Pendek: yaitu dalam bentuk mikro kredit. Bank-bank telah mempunyai pengalaman dalam bentuk kerjasama dengan pemerintah untuk menyalurkan kredit mikro, seperti skim KPKM (Kredit Pengusaha Kecil dan Mikro) dari Bank Indonesia (BI). Investasi Jangka Menengah: yaitu industri/usaha kecil. Dalam hal ini Bank di Indonesia telah terbiasa dengan adanya beberapa skim kredit program KKPA, KKOP dan KUK (sesuai ketentuan BI). Investasi Jangka Panjang: yaitu untuk industri manufaktur, industri besar lainnya. Bank mempunyai pengalaman dalam melakukan investasi jangka panjang seperti investasi pabrik dan perkebunan. Bank pun mempunyai kemampuan untuk melakukan sindikasi dengan bank lain untuk melakukan investasi besar. Selain penentuan tipe investasi dilihat dari jangka waktu investasi, dana wakaf harus diinvestasikan dengan pertimbangan keamanan investasi dan tingkat profitabilitas usaha. Hal ini dapat dilakukan dengan kerjasama dalam melakukan : Analisis sektor investasi yang belum jenuh, melakukan spreading risk dan risk management terhadap investasi yang akan dilakukan; Market survey untuk memastikan jaminan pasar dari output/produk investasi; Analisa kelayakan investasi; Pihak yang akan bekerjasama untuk mengelola investasi tersebut; Monitoring terhadap proses realisasi investasi, dan Monitoring terhadap tingkat profitabilitas investasi tersebut. Kemampuan tersebut dimiliki oleh bank, karena memang sifat bisnis bank adalah menyalurkan dana dalam bentuk pembiayaan, baik pembiayaan investasi maupun modal kerja. c) Kemampuan beneficiary melakukan administrasi rekening Pihak yang menerima benefit atas investasi wakaf ditentukan oleh wakif. Nazhir sebagai pihak yang 57 diberikan amanah oleh wakif untuk mengelola dana wakaf sekaligus memberikan benefitnya kepada beneficiary, harus melakukan administrasi yang cukup memadai, yang menjamin bahwa setiap beneficiary mendapatkan benefit atas dana wakaf tersebut. Administrasi ini membutuhkan teknologi dan kemampuan SDM yang handal. Kemampuan SDM dan kecukupan teknologi tersebut dimiliki oleh bank, yang memang “nature” bisnisnya adalah mengelola rekeningrekening nasabah. Teknologi bank juga cukup memadai untuk menampung banyak data base beneficiary yang akan mendapatkan benefit. d) Kemampuan melakukan distribusi hasil investasi dana wakaf Benefit hasil investasi dana wakaf harus didistribusikan kepada beneficiary. Pendistribusian ini mengacu kepada persyaratan yang diberikan oleh wakif terhadap pihak yang berhak menerima benefit. Pihak pengelola dana wakaf harus memastikan berapa besar benefit yang diterima. Hal ini menuntut kemampuan administrasi dan teknologi, dan bank mempunyai kemampuan tersebut. Bank Syari’ah juga sudah mempunyai system profit distribution, baik dengan konsep “pool of fund” maupun “special invesment” (mudharabah muqayyadah) yang tidak dimiliki oleh bank konvensional. Dimana system ini akan mem-back up pengelolaan dana wakaf tunai dengan menggunakan system “voluntary pool of fund”. Benefit atas dana wakaf jika diijinkan oleh wakif dapat 58 digunakan sebagai dana bergulir untuk pemberdayaan ekonomi lemah. Hal ini sudah pernah oleh Bank Muamalat Indonesia bekerjasama dengan Depkop & PKM dan bentuk program P2KER (Proyek Pengembangan Kemandirian Ekonomi Rakyat) dengan binaan berupa Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) dan Koperasi Pondok Pesantren (KOPONTREN) di berbagai propinsi. Pengusaha kecil yang dibina bank suatu saat akan bankable sehingga mampu mendapatkan akses permodalan dari bank. e) Mempunyai kredibilitas di mata masyarakat, dan harus dikontrol oleh hukum/regulasi yang ketat. Nazhir haruslah mempunyai kredilitas di mata masyarakat karena harus mampu menjalankan amanah melakukan investasi dan mendistribusikan benefit atas investasi dana wakaf. Lembaga investasi yang saat ini secara luas dikenal masyarakat dan merupakan lembaga kepercayaan adalah bank. Dalam hal regulasi jelas, bahwa bank merupakan lembaga yang “high regulated” yang diatur secara ketat oleh otoritas moneter (BI), dimana otoritas moneter juga menjamin deposit masyarakat di bank, termasuk deposit wakaf. Kelebihan bank Syari’ah dibanding dengan bank konvensional adalah bahwa bank Syari’ah merupakan lembaga yang “Syari’ah high regulated”, dimana Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) senantiasa memantau, apakah opersional dan produk bank Syari’ah sudah sesuai dengan ketentuan Syariah atau tidak. 59 Dengan penjelasan tersebut, maka Nazhir yang layak untuk mengelola wakaf tunai adalah bank, khususnya bank Syari’ah atau pembentukan bank khusus pengelolaan wakaf (Bank Wakaf). Dalam hal “benefit spending/distribution” atas investasi dana wakaf bank Syari’ah dapat melakukan aliansi dengan lembagalembaga sosial atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) dalam rangka melakukan sinergi perberdayaan lembagalembaga umat. Jaringan LAZ yang sudah terbangun dapat dioptimalisasikan, dan di sisi lain diharapkan dapat meningkatkan efesiensi biaya bank dalam hal “product delivery channel”. Berdasarkan hasil penelitian McKinsey & Company, tahun 2000, efesiensi biaya bank Syari’ah dalam hal “product delivery channel” sedang dibutuhkan oleh bank Syari’ah di Indonesia pada khususnya dan Asia Tenggara pada umumnya. Selain memberikan porsi yang cukup kepada perbankan Syariah dalam pengelolaan dana wakaf tunai melalui jalan investasi, lembaga-lembaga swasta lain yang memiliki kredibelitas baik dalam pengelolaan investasi sesuai dengan konsep Syariat Islam harus juga diberikan ruang kesempatan mengelola dana wakaf tunai. Sebagai sebuah contoh kerja sama antara Nazhir wakaf dengan pihak pengelola investasi adalah Dompet Dhuafa Republika dengan Batasa (BTS) Capital. Bentuk kerjasama kedua lembaga tersebut adalah menggunakan sistem penanaman investasi, sekaligus berwakaf dengan porsi: 60 PILIHAN Jumlah Investasi Jumlah Wakaf Reksa Dana Uang Tunai I 10% 90% II 30% 70% III 50% 50% IV 70% 30% V 90% 10% Jumlah investasi yang dipotong jumlah wakaf (sesuai pilihan yang disediakan), akan kembali menjadi 100% dalam jangka waktu sekitar 1 hingga 5 tahun. Setelah masa pengembalian jumlah investasi, pihak wakif akan mendapatkan keuntungan bisnis murni sesuai dengan porsi yang ditetapkan. Artinya, dengan menanam modal (investasi) melalui lembaga tersebut, wakif akan mendapatkan dua keuntungan: mendapatkan keuntungan bisnis, sekaligus bisa beramal (berwakaf). Kemana larinya prosentase dana yang dimasukkan kategori wakaf? Dana wakaf yang didapatkan dari model investasi melalui BTS Capital dan Batasa Syariah Dompet Dhuafa Republika akan disalurkan kepada kebajikan umum, seperti peningkatan layanan kesehatan, peningkatan fasilitas sarana dan pra-saranan pendidikan, peningkatan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, wakaf dalam Syariah Islam sebenarnya mirip dengan sebuah economic corporation di mana terdapat modal untuk dikembangkan yang keuntungannya digunakan bagi kepentingan umat. Yang 61 lebih menjamin keabadian wakaf itu adalah adanya ketentuan tidak boleh menjual atau mengubah aset itu menjadi barang konsumtif, tetapi tetap terus menjadikannya sebagai aset produktif. Dengan kata lain, paling tidak secara teoritis, wakaf harus selalu berkembang dan bahkan bertambah menjadi wakaf-wakaf baru. Sebagai sebuah perbandingan, pemerintah Arab Saudi misalnya, belakangan mulai menerapkan pengelolaan harta wakaf melalui sistem perusahaan atau corporation. Setelah berhasil dengan investasi harta wakaf dalam bentuk saham pada sebuah perusahaan pemborong dan bangunan yang menghasilkan keuntungan jauh berlipat ganda, Kementerian Wakaf Arab Saudi berencana akan mengembangkan pengelolaan wakaf dengan sistem perusahaan secara lebih luas. Investasi harta melalui wakaf dalam tatanan Islam sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat unik yang berbeda dengan investasi di sektor pemerintah (public sector) maupun sektor swasta (private sector). Begitu uniknya, sektor wakaf ini bahkan kadang-kadang disebut sebagai 'sektor ketiga' (third sector) yang berbeda dengan sektor pemeritah dan sektor swasta. Keunikan itu, tampak bahwa pengembangan harta melalui wakaf tidak didasarkan pada target pencapaian keuntungan bagi pemodal -- baik pemerintah maupun swasta -- tetapi lebih didasarkan pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan kerja sama. Oleh karenanya, agama menjanjikan pahala yang abadi bagi pewakaf (waqif) selama 62 aset yang diwakafkannya kepentingan orang banyak. masih bermanfaat bagi Selain itu, secara teoritis, aset yang diwakafkan semestinya harus terus terpelihara dan berkembang. Hal itu terlihat dari adanya larangan untuk mengurangi aset yang telah diwakafkan (al-mal al-mawqif), atau membiarkannya tanpa diolah atau dimanfaatkan, apalagi untuk menjualnya. Artinya, harus ada upaya pemeliharaan, paling tidak terhadap pokok atau substansi wakaf dan terhadap daya produksinya, dan pengembangan yang terus menerus. Berkaitan dengan hal ini, menarik sekali kasus investasi wakaf masjid yang dikembangkan di beberapa kota di Timur Tengah seperti Mekkah, Kairo dan Damaskus. Kemajuan di bidang teknologi bangunan arsitektur yang memungkinkan perluasan gedung secara vertikal semakin menambah 'nilai tukar' tanah wakaf. Akhirnya muncul pemikiran untuk meninjau ulang sejumlah wakaf tetap seperti masjid yang pada waktu diwakafkan hanya terdiri dari satu lantai. Masjid-masjid seperti itu banyak yang dibongkar dan dibangun kembali menjadi beberapa lantai di atas tanah yang sama. Lantai satu digunakan untuk masjid, lantai dua digunakan untuk ruang bimbingan belajar bagi anak-anak sekolah, lantai tiga untuk balai pengobatan, lantai empat untuk ruang pertemuan serba guna, dan begitu seterusnya. Semua itu, diolah dengan sistem profit yang menjamin pengembangan investasi wakaf. Dan dari situlah terlihat jelas, bahwa luas tanah wakaf yang sama dapat diperoleh pemasukan yang bermacam-macam -- dalam contoh di atas 63 adalah pemasukan dari pengelolaan dana wakaf dengan sistem penanaman investasi yang dikembangkan melalui sistem perusahaan profit. B.4. Menjalin Kemitraan Usaha Untuk mendukung keberhasilan pengembangan aspek produktif dari dana wakaf tunai, perlu diarahkan model pengelolaan dana tersebut kepada sektor usaha yang produktif dengan lembaga usaha yang memiliki reputasi yang baik. Salah satu caranya adalah dengan membentuk dan menjalin kerjasama (networking) dengan perusahaan modal ventura. Beberapa pertimbangan atas pemilihan tersebut antara lain: Bentuk dan mekanisme kerja Perusahaan Modal Ventura sangat sesuai dengan model pembiayaan dalam Sistem Keuangan Islami (untuk mengimplementasikan pembiayaan mudharabah maupun musyarakah). Hal ini untuk melengkapi metode pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan Syariah, yang pada umumnya lebih menekankan pada model pembiayaan murabahah. Dana yang berasal dari wakaf tunai (melalui penerbitan Sertifikat Wakaf Tunai) dapat digunakan untuk jangka waktu yang relatif panjang dalam bentuk penyertaan. Dapat mebangun hubungan bisnis yang lebih intensif dan berkesinambungan antara Lembaga Wakaf dan Perusahaan Modal Ventura sehingga memungkinkan terjaminnya perkembangan usaha bagi kedua belah pihak. Utamanya bagi lembaga wakaf hal ini sangat 64 positif karena aspek income generating dari pemanfaatan dana-dana wakaf tunai menjadi terjamin. Aspek pengawasan penyertaan dana pada Perusahaan Modal Ventura menjadi lebih mudah. Selain bekerjasama dengan perusahaan modal ventura dalam mengelola dan mengembangkan dana wakaf, bisa juga bekerja sama dengan: (1) Lembaga perbankan Syari’ah atau lembaga keuangan Syari’ah lainnya sebagai pihak yang memiliki dana pinjaman. Dana pinjaman yang akan diberikan kepada pihak Nazhir wakaf berbentuk kredit dengan sistem bagi hasil setelah melalui studi kelayakan oleh pihak bank. (2) Lembaga investasi usaha yang berbentuk badan usaha non lembaga jasa keuangan. Lembaga ini bisa berasal dari lembaga lain di luar wakaf, atau lembaga wakaf lainnya yang tertarik terhadap pengembangan benda wakaf yang dianggap strategis. (3) Investasi perseorangan yang memiliki modal cukup. Modal yang akan ditanamkan berbentuk saham kepemilikan sesuai dengan kadar nilai yang ada. Investasi perseorangan ini bisa dilakukan lebih dari satu pihak dengan komposisi penyahaman sesuai dengan kadar yang ditanamkan. (4) Lembaga perbankan Internasional yang cukup peduli dengan pengembangan tanah wakaf di Indonesia, seperti Islamic Development Bank (IDB). 65 (5) Lembaga keuangan lainnya dengan pembangunan BOT (Build of Transfer). sistem (6) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap pemberdayaan ekonomi umat, baik dalam atau luar negeri. B.4. Memberi Peran Lembaga Penjamin Syariah Sebagai sebuah konsep yang masih baru dalam Islam, pengelolaan wakaf tunai harus betul-betul savety (aman) karena terkait dengan keabadian benda wakaf yang tidak boleh berkurang. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana caranya dalam menghindari resiko kerugian seandainya dalam pengelolaannya kelak terjadi lost (kerugian)? Karena bagaimanapun, setiap usaha yang dilakukan sudah pasti memiliki resiko tersebut. Di satu sisi, pengelolaan wakaf tunai bisa kita serahkan kepada Bank Syariah melalui konsep Wadiah, dimana bank Syariah yang mencari perusahan untuk investasi, karena bank lah yang lebih mengetahui mana perusahaan yang layak dan dana wakaf tidak akan hilang karena dijamin oleh bank Syariah terebut. Namun di sisi lain jika dana wakaf tunai dikelola oleh lembaga Nazhir independen dengan pola pengembangan melalui sistem perusahaan, maka resiko kerugian akan sangat mungkin terjadi. Untuk itu, dalam upaya memayungi agar usaha-usaha pemberdayaan dana wakaf tunai tidak berkurang, apalagi hilang karena lost dalam usahanya, maka diperlukan lembaga penjamin Syariah. Lembaga penjamin Syariah ini harus menggunakan kejelasan kontrak atau akad dalam 66 praktik muamalahnya, karena prinsip kontrak akan menentukan sah atau tidaknya secara Syariah. Demikian pula dengan kontrak antara peserta dengan perusahaan asuransi. Kalau asuransi konvensional menerapkan kontrak yang dalam Syariah disebut kontrak jual beli (tabaduli). Dalam kontrak ini harus memenuhi syarat-syarat kontrak jual-beli. Ketidakjelasaan persoalan besarnya premi yang harus dibayarkan karena bergantung terhadap kondisi usaha lembaga peserta. Ketidakjelasaan pada kontrak sehingga mengakibatkan akad pertukaran harta benda dalam asuransi konvensional dalam praktiknya cacat secara hukum. Oleh karena itu, asuransi Syariah (lembaga penjamin Syariah) yang akan memayungi usaha pemberdayaan wakaf tunai, dalam kontrak yang akan digunakan bukan kontrak jual beli melainkan kontrak tolong menolong (takafuli). Jadi asuransi Syariah menggunakan apa yang disebut sebagai kontrak tabarru yang dapat diartikan sebagai derma atau sumbangan. Kontrak ini adalah alternatif uang sah dan dibenarkan dalam melepaskan diri dari praktik yang diharamkan pada asuransi konvensional. Tujuan dari dana tabarru’ ini adalah memberikan dana kebajikan dengan niat ikhlas untuk tujuan saling membantu satu dengan yang lain sesama peserta asuransi Syariah apabila diantaranya ada yang terkena musibah (lost). Oleh karenanya dana tabarru’ disimpan dalam satu rekening khusus, dimana bila terjadi risiko, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening dana tabarru’ yang 67 sudah diniatkan oleh semua peserta untuk kepentingan tolong menolong. Kontrak Al-Mudharabah Penjelasan di atas, mengenai kontrak tabarru’ merupakan hibah yang dialokasikan bila terjadi musibah (lost). Sedangkan unsur di dalam asuransi bisa juga berupa tabungan. Dalam asuransi Syariah, tabungan atau investasi harus memenuhi Syariah. Dalam hal ini, pola investasi bagi hasil adalah cirinya dimana perusahaan asuransi hanyalah pengelola dana yang terkumpul dari para peserta. Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Kontrak bagi hasil disepkati didepan sehingga bila terjadi keuntungan maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, dimana peserta mendapatkan 60 persen dari keuntungan sedang perusahaan asuransi mendapat 40 persen dari keuntungan. 68 Dalam kaitannya dengan investasi, yang merupakan salah satu unsur dalam premi asuransi, harus memenuhi Syariah Islam dimana tidak mengenal apa yang biasa disebut riba. Semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan mekanisme bunga. Dengan demikian asuransi konvensional susah untuk menghindari riba. Sedangkan asuransi Syariah dalam berinvestasi harus menyimpan dananya ke berbagai investasi berdasarkan Syariah Islam dengan sistem almudharabah. Dana Hangus Pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, dimana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Begitu pula dengan asuransi jiwa konvensional non-saving (tidak mengandung unsur tabungan) atau asuransi kerugian, jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi asuransi yang sudah dibayarkan hangus atau menjadi keuntungan perusahaan asuransi. Dalam konsep asuransi Syariah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, maka dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ yang tidak dapat diambil. Begitu pula dengan asuransi Syariah umum, jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka pihak perusahaan mengembalikan sebagian dari premi tersebut dengan pola bagi hasil, misalkan 60:40 atau 70:30 sesuai dengan 69 kesepakatan kontrak di muka. Dalam hal ini maka sangat mungkin premi yang dibayarkan di awal tahun dapat diambil kembali dan jumlahnya sangat bergantung dengan tingkat investasi pada tahun tersebut. Dengan demikian, pengelolaan dana wakaf tunai dapat dijaga eksistensinya jika terjadi lost, dan penjaminan kepada lembaga asuransi Syariah (lembaga penjamin Syariah) melalui penyetoran premi sesuai kesepakatan akan menjadi modal bagi pengembangan asuransi Syariah ke depan. C. Membuka Jaringan dan Kerjasama Wakaf Upaya pengembangan wakaf secara nasional, bahkan internasional harus terus dilakukan. Secara internasional sebenarnya sudah dilakukan, khususnya di lingkungan negara-negara anggota OKI yang diprakarsai oleh IDB yang berpusat di Jeddah. Secara khusus, pengembangan wakaf ini dilakukan oleh sebuah devisi yang disebut Islamic Economics Cooperation and Development Devision (IECD). Devisi ini merupakan salah satu dari devisi teknis dari Islamic research and Training Institute (IRTI). Lembaga ini selain melakukan pengkajian dan pelatihan, juga memberikan bantuan teknis dan finansial, termasuk untuk pengembangan wakaf. Namun demikian, suatu jaringan kerja sama yang lebih fleksibel dan efektif diperlukan untuk tingkat nasional, regional maupun internasional. Di tingkat nasional, keberadaan lembaga seperti IECD dan IRTI di bawah naungan Badan Wakaf Indonesia harus juga dibentuk dalam rangka memberikan support sistem, 70 manajerial dan finansial dalam pengelolaan wakaf di seluruh penjuru tanah air. Oleh karena itu, hal-hal yang bisa dilakukan dalam rangka membangun jaringan dan kerja sama wakaf adalah dengan membentuk: Jaringan lembaga-lembaga wakaf Lembaga-lembaga pengelola wakaf (Nazhir) di Indonesia terhitung cukup banyak, mulai dari Nazhir tradisional sampai Nazhir yang sudah mulai mengarah pada pengelolaan profesional. Nazhir wakaf yang cukup menonjol diperhitungkan dalam kancah pengelolaan wakaf di Indoensia seperti Pesantren As-Salam, Gontor Ponorogo, Yayasan Wakaf UII Yogyakarta, Universitas Sultan Agung Semarang, UMI Makassar, UISU Medan dan lain-lain. Belum lagi lembaga-lembaga wakaf di bawah naungan NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Washliyah, Al-Irsyad dan seterusnya. Belakangan, ada beberapa lembaga wakaf yang juga turut berkecimpung dalam pemberdayaan wakaf-wakaf produktif, seperti Dompet Dhuafa Republika, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), Baitul Mal Muamalat yang sudah mulai mengembangkan jenis wakaf tunai (termasuk wakaf investasi). Untuk itu, dalam rangka mengefektifkan peran dan pemberdayaan secara lebih signifikan diperlukan jaringan informasi dan komunikasi serta kerja sama yang efektif antara lembaga-lembaga tersebut. Bentuk jaringan informasi dan komunikasi ini bisa berupa tukar menukar informasi, pengalaman manajerial, aspek teknis teknologis danlain sebagainya. Bisa juga diperluas dengan membuka kerja 71 sama dengan negara-negara di wilayah ASEAN seperti AlAmanah alamah lil Awqaf, Majelis Ugama Islam Singaore (MUIS), Majelis Ugama Islam Malaysia dan sebagainya. Jaringan kepakaran wakaf Selain kerja sama di bidang kelembagaan, juga harus terus dikembangkan kerja sama kepakaran dalam bidang wakaf. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kajian-kajian yang bersifat konseptual maupun teknik pengembangan dan pengelolaan wakaf. Tokoh-tokoh penting Indonesia dalam rangka mengembangkan wakaf meliputi ahli di bidang fikih wakaf, seperti Dr. Anwar Ibrahim, KH. Didin Hafidhuddin, KH. Ma’ruf Amien, di bidang ekonomi Islam seperti Dr. Syafi’i Antonio, Dr. Mustafa Edwin Nasution, Karnaen Parwaatmaja, Adiwarman Karim, MA, di bidang manajemen usaha seperti Ismail Yusanto, dibidang desain usaha seperti arsitektur muslim dan lain sebagainya. Untuk tingkat internasional seperti, Dr. Monzer Kahf dari IRTI-IDB, Dr. Dahi al-Fathi dari Al-Amanah alamah lil Awqaf, Dr. Zag Zug, Menteri Agama dan Awqaf Mesir, Dr. Ibrahim al-Bayyumi dari Universitas Al-Azhar, Prof. Dr. M.A. Mannan dari Bangladesh, Dr. Zaid Abul Hajj dari AlZarqa University, dll. Jika jaringan kepakaran wakaf ini sudah terjalin, diharapkan diskursus pengembangan wakaf terus berjalan dan akan bisa ditemukan inovasi-inovasi baru dalam pemberdayaan potensi ekonomi wakaf secara lebih menyejehterakan. 72 Jaringan permodalan, investasi dan pengembangan Dalam bidang permodalan, investasi dan pengembangan wakaf harus pula dibentuk jaringan yang kuat dimana antar satu lembaga dengan lembaga yang lain saling mendukung. Di tingkat nasional, yang sangat memungkinkan untuk dijadikan ujung tombak permodalan dan investasi adalah perbankan Syariah, Sertifikat Wakaf Tunai, Sertifikat Wakaf Investasi dan lembaga atau perorangan yang memiliki modal cukup dalam pengembangan pemberdayaan wakaf secara umum. Di tingkat internasional, berbagai upaya pengembangan permodalan dan investasi dan pengembangan wakaf sudah dilakukan di lingkungan negara-negara OKI yang diprakarsi oleh IDB yang berpusat di Jeddah. Secara khusus, pengembangan wakaf ini dilakukan oleh sebuah devisi yang disebut Islamic Economics Cooperation and Development Devision (IECD). Devisi ini merupakan salah satu dari divisi teknis dari Islamic research and Training Institute (IRTI). Demikian pula, berbagai jaringan pengembangan bisnis dan investasi di dunia Islam, baik yang berpusat di Jeddah, Turki dan Pakistan maupun lembaga-lemabaga profesional yang dikembangkan oleh masyarakat muslim di Amerika Serikat, dapat juga dimanfaatkan untuk pengembangan jaringan wakaf. Jaringan informasi dan komunikasi Sebagian problem yang dihadapi oleh berbagai lembaga wakaf di Indonesia, antara lain adalah kurangnya informasi tentang sumber-sumber, kerja sama maupun teknik 73 pengembangan wakaf secara umum. Meskipun sebenarnya berbagai lembaga wakaf maupun kementerian wakaf di Mesir, Oman, Qatar, Syria, Lebanon, kuwait dan lain-lain telah mengembangkan situs-situs Website yang dapat diakses. Demikian pula berbagai situs seperti: www.islamonline.com, www.islamicity.com, www.iftihar. org, www.isna.org dan www.iiit.org, dan masih banyak lagi, dapat pula dimanfaatkan untuk pengembangan jaringan kerja sama ini. Namun demikian, perlu pula dipikirkan bersama untuk pengembangan jaringan informasi dan kerja sama lembagalembaga wakaf yang lebih praktis dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat. Secara teknis hal ini dapat dilakukan oleh net providers muslim yang sekarang sedang berkembang dengan pesat. Penerbitan media wakaf Jika dilihat dari aspek kebutuhan dalam rangka mensosialisasikan proyek pengembangan wakaf, sudah saatnya didirikan media cetak dan multi media yang secara khusus mengembangkan informasi tentang wakaf. Untuk itu perlu dirintis pendirian Jurnal atau Majalah tentang wakaf di dalam bahasa Indoensia atau bahasa Melayu yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Islam di Asia Tenggara (ASEAN). Meskipun upaya tersebut sedikit sudah dimasukkan dalam rubrikasi Majalah Modal dan beberapa penerbitan ekonomi Islam lainnya. 74 D. Meningkatkan Political Will Pemerintah Setelah regulasi perundangan wakaf sudah tertangani secara baik dan pola kemitraan dengan beberapa pihak yang terkait dengan pemberdayaan wakaf sudah terjalin, maka satu hal lagi yang harus dilakukan dalam rangka mengembangkan wakaf tunai adalah adanya political will pemerintah dalam meregulasi peraturan perundangan yang terkait, seperti UU moneter dan keuangan, perpajakan, perdagangan, perindustrian dan lain-lain. Hal ini dilakukan dalam rangka memback up secara utuh agar wakaf dapat dikelola secara profesional. Selain masalah peraturan perundangan yang terkait dengan pemberdayaan wakaf, aspek anggaran juga harus mendapat perhatian. Kalau selama ini anggaran untuk pengembangan wakaf masih belum memadai, maka di masa depan harus bisa dinaikkan secara signifikan. Hal ini terkait dengan pembenahan secara menyuluruh terhadap infrastruktur maupun supra-struktur pasca diundangkannya UU Wakaf. Hal yang cukup penting selain hal-hal di atas adalah pemberdayaan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Perda yang mendukung pemberdayaan wakaf produktif di setiap Propinsi dan Kabupaten secara maksimal. Undang-undang yang mengatur tentang Otonomi Daerah memberikan peluang atas peran pemerintah daerah secara signifikan dalam upaya pemberdayaan wakaf secara produktif. Di daerah yang memiliki otonomi khusus seperti dijalankannya Syariat Islam, pemerintah daerah bersama 75 DPRD setempat sangat mungkin membuat sebuah peraturan atau Perda yang secara khusus mengatur pemberdayaan wakaf secara produktif. Sebagai langkah awal, perlu dimulainya proyekproyek percontohan dalam rangka memberdayakan tanahtanah strategis yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Sehingga wakaf dapat memberikan dampak secara nyata bagi kesejahteraan masyarakat banyak 76 Bagian Ketiga PERLUASAN PEMANFAATAN DANA Hasil pengelolaan dana wakaf tunai dapat dimanfaatkan secara lebih luas dalam rangka kesejahteraan masyarakat banyak. Jika selama ini aspek kesejahteraan masyarakat kurang atau bahkan tidak tertangani secara memadai oleh pemerintah, dana-dana yang dihasilkan dari pengelolaan wakaf tunai dapat membantu meringankan tugas-tugas negara, minimal untuk kalangan umat Islam sendiri. Lebihlebih kondisi riil umat Islam Indonesia yang menduduki jumlah mayoritas sampai saat ini masih jauh dari sejahtera. Oleh karena itu, dana-dana segar yang didapatkan dari hasil pemberdayaan wakaf tunai tersebut tidak hanya untuk kepentingan yang selalu terkait dengan ibadah secara sempit seperti bangunan masjid, mushalla, makam, pondok pesantren dan lain-lain, tapi juga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sosial yang lebih luas dan menyeluruh. Pemahaman lama yang menempatkan pemanfaatan dari benda wakaf hanya untuk ibadah yang bersifat formil harus sudah ditinggalkan. Karena aspek kesejahteraan masyarakat itu sendiri memiliki variable yang sangat luas. Variablevariable tersebut meliputi pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial dan pengembangan ekonomi melalui pemberdayaan usaha kecil dan menengah. Berikut ini akan diuraikan secara singkat, bidang-bidang apa saja yang dapat disupport secara lebih memadai agar masyarakat dapat segera merasakan betul arti sebuah kesejahteraan yang diinginkan oleh ajaran wakaf itu sendiri. Dalam pengulasannya nanti 77 akan difokuskan pada dua aspek besar, yaitu pembangunan yang bersifat fisik dan pemberdayaan dan pengembangan. A. Dalam Bidang Pendidikan Mencermati anggaran pendidikan yang disediakan oleh APBN sampai saat ini masih sangat memprihatinkan. Hal ini membuktikan pemerintah belum secara serius menggarap sektor pendidikan. Ada banyak sebab yang mengakibatkan hal tersebut, diantaranya karena rendahnya kesadaran para pemegang otoritas negeri ini terhadap aspek pendidikan atau karena minimnya ketersediaan anggaran. Akibatnya, mutu pendidikan masyarakat Indenesia terhitung masih rendah dan SDM yang dihasilkan memiliki daya saing yang rendah. Realitas ini menunjukkan betapa kapasitas dan wawasan bangsa ini belum bisa berpikir jauh ke depan. Yakni kapasitas dan wawasan kita masih berkutat pada kondisi kekinian saja sehingga solusi dan pemecahan problem melulu bersifat teknis pragmatis, tidak strategis jangka panjang. Walaupun solusi teknis pragmatis tetap sangat dibutuhkan, tetapi mestinya solusi tersebut tidak mengorbankan program-program strategis jangka panjang. Karena itu diperlukan keberanian untuk menempatkan prioritas di bidang pendidikan sehingga sektor-sektor lain harus ada pengurangan atau penghematan anggaran dan konsentrasi. Kerja-kerja dan perbaikan serta peningkatan bidang pendidikan tidak bisa dijalankan secara reaktif, sambil lalu dan sekenanya, melainkan mesti dengan cara pro-aktif, intensif, sistematis dan strategis. 78 Dari segi anggaran negara, pendidikan kita masih jauh dari ideal. Jika dibandingkan dengan anggaran pendidikan negara-negara maju yang mencapai 7 persen dari Gross Domestic Product (GDP), negara-negara berkembang sangat terpaut jauh, yaitu 2,5 persen. Yang lebih menyedihkan lagi untuk kasus Indonesia hanya berkisar 1 persen dari GDP. Melihat keterbatasan tersebut, adakah konsep fund for education yang mampu ditawarkan Islam? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya, kita lihat bagaimana lembagalembaga pendidikan Islam klasik mampu berkiprah dan survive. Mencermati lembaga-lembaga Islam terkemuka seperti Al-Azhar University Kairo, Universitas Zaituniyyah di Tunis, dan ribuan Madaris Imam Lisesi di Turki. Terbetik dalam pikiran kita bagaimana mereka bisa besar, mampu bertahan berabad-abad lamanya, dan memberikan beasiswa kepada jutaan mahasiswa selama lebih 1000 tahun dari seluruh penjuru dunia? Pertanyaan ini mengemuka karena baik AlAzhar, Zaituniyyah, demikian juga Universitas Nizamiyah (yang pernah dipimpin Imam Al-Ghazali) di Baghdad bukanlah lembaga pendidikan yang fully profit oriented. Mereka adalah lembaga pendidikan yang lebih bercorak sosial. Apakah mungkin pendanaannya hanya mengandalkan sedekah dan infak masyarakat setempat, sementara mereka harus membiayai operasionalnya sendiri, membangun sarana belajar-mengajar tambahan, dan memberikan beasiswa kepada jutaan mahasiswa yang mana Indonesia termasuk paling banyak menikmati fasilitas ini. Salah satu jawabannya adalah mereka telah berhasil 79 mengembangkan cash waqf (wakaf tunai) sebagai sumber dana untuk pengembangan dan operasional pendidikan. Dalam catatan sejarah Islam, cash waqf (wakaf tunai) ternyata sudah dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az-Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al-hadits memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Ada tiga filosofi dasar yang harus ditekankan ketika kita hendak menerapkan prinsip cash waqf (wakaf tunai) dalam dunia pendidikan. Pertama, alokasi cash waqf (wakaf tunai) harus dilihat dalam bingkai “proyek terintegrasi”, bukan bagian-bagian dari biaya yang terpisah-pisah. Contohnya adalah anggapan dana wakaf akan “habis” bila dipakai untuk membayar gaji guru atau upah bangunan, sementara wakaf harus “abadi”. Dengan bingkai proyek, sesungguhnya dana wakaf akan dialokasikan untuk program-program pendidikan dengan segala macam biaya yang terangkum di dalamnya. Kedua, asas kesejahteraan nazhir. Sudah terlalu lama nazhir sering kali diposisikan kerja asal-asalan (dalam pengertian sisa-sisa waktu dan bukan perhatian utama) dan wajib “berpuasa”. Sebagai akibatnya, seringkali kinerja nazhir asal-asalan juga. Sudah saatnya, kita menjadikan nazhir sebagai profesi yang memberikan harapan kepada lulusan terbaik umat dan profesi yang memberikan 80 kesejahteraan di akhirat, tetapi juga di dunia. Di Turki misalnya, badan pengelola wakaf mendapatkan alokasi 5 persen dari net income wakaf. Angka yang sama juga diterima Kantor Administrasi Wakaf Bangladesh. Sementara itu, The Central Waqf Council India mendapatkan 6 persen dari net income pengelolaan dana wakaf. Sedangkan di Indonesia, sesuai dengan Undangundang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf sebesar 10% dari net income. Ketiga, asas transparansi dan accountability di mana badan wakaf dan lembaga yang dibantunya harus melaporkan setiap tahun akan proses pengelolaan dana kepada umat dalam bentuk audited financial report termasuk kewajaran dari masing-masing pos biayanya. Kemudian, langkah-langkah apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki bidang pendidikan umat Islam Indonesia setelah tersedianya sumber dana dari wakaf tunai? Berikut ini diuraikan sekala prioritas yang bisa ditempuh: Pembangunan a. Pesantren Sebagai sebuah lembaga pendidikan tertua di negeri ini, pesantren telah ada dan berkembang khususnya di tanah Jawa sejak abad ke-17. Keberadaan pesantren dalam sejarah Indonesia telah melahirkan hipotesis yang barangkali memang telah teruji, bahwa pesantren dalam perubahan sosial bagaimanapun senantiasa berfungsi sebagai “platform” penyebaran dan sosialisasi Islam. 81 Nurcholish Madjid, cendekiawan muslim yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren menyatakan bahwa pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Secara paedagogis pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam yang bertujuan untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. Dalam dinamika perkembangannya, pesantren tetap kokoh dan konsisten mengikatkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan dan mengembangkan nilainilai Islam. Realitas ini tidak saja dapat dilihat ketika pesantren menghadapi banyak tekanan dari pemerintah kolonial belanda, namun pada masa pasca-proklamasi kemerdekaan pesantren justru dihadapkan pada suatu tantangan yang cukup berat yaitu adanya ekspansi sistem pendidikan umum dan madrasah modern. Di tengah kondisi yang demikian, di mana masyarakat semakin diperkenalkan dengan perubahan-perubahan baru, eksistensi lembaga pendidikan pesantren tetap saja menjadi alternatif bagi pelestarian ajaran agama Islam. Pesantren justru tertantang untuk tetap survive dengan cara menempatkan dirinya sebagai lembaga yang mampu bersifat adaptatif menerima dinamika kehidupan. Realitas di atas menunjukkan bahwa perkembangan pesantren terus menapaki tangga kemajuan, bahkan ada kecenderungan menunjukkan trend, di sebagian pesantren telah mengembangkan kelembagaannya dengan membuka 82 sistem madrasah, sekolah umum, dan di antaranya ada yang membuka semacam lembaga pendidikan kejuruan seperti bidang pertanian, peternakan, teknik, perbengkelan dan sebagainya. Meskipun perjalanan pesantren terus mengalami fluktuasi perubahan, pada dataran praktis pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi sebagai: (1) Lembaga pendidikan yang melakukan transformasi imu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic values), (2) Lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control), dan (3) Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering). Relevan dengan peran pesantren pada zamannya, fungsi pesantren menjadi tiga; sebagai lembaga pendidikan, lembaga sosial dan lembaga penyiaran agama. Meskipun pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang memiliki kontribusi yang cukup besar dalam pembangunan bangsa ini, namun selama beberapa periode pemerintahan bangsa ini, pesantren kurang mendapat perhatian secara memadai, khususnya terkait dengan anggaran APBN. Bahkan yang lebih ironis lagi, pesantren sampai saat ini masih dianggap dan ditempatkan sebagai lembaga informal yang tidak memiliki kesejajaran kualitas dengan lembaga-lembaga sekolah di bawah departemen pendidikan nasional. Pada puncak yang sangat memprihatinkan, pesantren pernah dituduh sebagai tempat atau sarang tumbuh-suburnya aksi-aksi terorisme sesaat setelah terjadinya aksi bom Bali (12 Oktober 2001) yang 83 berdampak amat dahsyat bagi citra pesantren, Islam dan bangsa Indonesia secara umum. Berangkat dari pengalaman sosiologis itu, pesantren harus didukung secara penuh agar eksistensi, idealisme dan tanggung jawab pesantren tetap terjaga oleh seluruh komponen masyarakat. Salah satu bentuk yang cukup penting dalam meningkatkan kualitas dan peran pesantren di tengah-tengah masyarakat adalah adanya penyediaan sarana dan prasarana pesantren yang memadai, seperti pembangunan gedung-gedung yang memadai dan lengkap dengan fasilitas-fasilitas yang lebih modern dan mencerdaskan bagi masyarakat pesantren seperti laboratorium, perpustakaan, sarana olah raga, jaringan komunikasi global, dll). Upaya-upaya tersebut akan sulit terwujud jika hanya mengandalkan perhatian pemerintah yang sampai saat ini tak kunjung muncul secara proporsional. Jika toh mendapat perhatian dari para penguasa atau calon penguasa lebih karena adanya kepentingan yang bersifat sesaat, seperti perlunya dukungan politik dari para kyai dengan seluruh kekuatan massa dan kharisma yang dimilikinya. Untuk itu, sebagai salah satu upaya tersebut, pemberdayaan dana-dana wakaf tunai yang sudah dikelola secara proporsional menjadi hal yang sangat menjanjikan. Wakaf tunai yang memiliki kekuatan ekonomi yang maha dahsyat jika dikelola secara profesional dan amanah akan menjadi sumber pendanaan yang cukup memadai untuk mengembangkan dan meningkatkan sarana dan prasarana 84 pesantren di tanah air. Dengan demikian pesantren memiliki kemandirian yang kokoh dan tidak mudah dijadikan objek kepentingan oleh para penguasa dan calon penguasa seperti yang terjadi selama ini. b. Madrasah dan Perguruan Tinggi Islam Dalam khazanah kehidupan manusia Indonesia, madrasah merupakan fenomena budaya yang berusia lebih dari satu abad. Bahkan bukan suatu hal yang berlebihan, madrasah telah menjadi salah satu wujud entitas budaya Indonesia yang dengan sendirinya menjalani proses sosialisasi yang relatif intensif. Indikasinya adalah kenyataan bahwa wujud entitas budaya ini telah diakui dan diterima kehadirannya. Secara berangsur namun pasti, ia telah memasuki arus utama pembangunan bangsa menjelang akhir abad ke-20 ini. Kata madrasah, yang secara harfiah identik dengan sekolah agama, setelah mengarungi perjalanan peradaban bangsa diakui telah mengalami perubahan dan penyesuaian dengan dinamika sosial, walaupun tidak melepaskan diri dari makna asal sesuai dengan ikatan ideologi dan budayanya, yaitu Islam. Madrasah dalam perjalanannya juga telah terbukti mampu melahirkan tokoh-tokoh nasional dari masa ke masa seperti : Agus Salim, Wahid Hasyim, Mukhtar Natsir, Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Nurcholis Madjid, Hasyim Muzadi, Syafi’i Ma’arif dan lain sebagainya. Ini semua menegaskan keberhasilan madrasah dalam mencetak anak bangsa yang unggul, meskipun diakui juga ada sebagian produk madrasah yang mengekspresikan 85 perjuangannya dengan cara agak berlebihan, sehingga memunculkan kecurigaan banyak kalangan terhadap citra madrasah yang selama ini humanis dan moderat. Setigma tidak sedap ini tidak hanya menyudutkan posisi madrasah di kancah nasional, tetapi juga internasional, bahkan dalam beberapa hal telah mengesampingkan konstribusi besar madrasah dalam mengisi dinamika peradaban umat manusia. Sebagai sebuah lembaga yang memiliki komitmen tinggi terhadap nilai-nilai agama, madrasah bermetamorfosa menjadi sebuah lembaga yang terus mengikuti perkembangan jaman. Dari persamaan konsep yang mengedepankan nilai-nilai agama, madrasah yang dulu hanya dikenal pada tingkat dasar (ibtidaiyyah), menengah (Tsanawiyah) dan atas (Aliyah), kemudian dikembangkan pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu perguruan-perguruan tinggi Islam, seperti IAIN (sekarang UIN), UII, UMI, UMJ, UISU dan lain-lain. Namun sayangnya, lembaga-lembaga pendidikan formal yang dimiliki oleh umat Islam tersebut masih banyak yang kurang terurus karena minimnya anggaran, seperti gedung yang rusak, bangku sekolah yang tidak layak, perpustakaan yang tidak lengkap, tidak ada laboratorium dan sebagainya. Yang lebih tragis lagi, citra madrasah dan perguruan tinggi Islam sampai saat ini masih dianggap “miring” seperti kumuh, jorok, tidak profesional, dan lulusannya pun dianggap kurang kompetitif. Untuk itu, dalam rangka meningkatkan peran madrasah dan Perguruan Tinggi Islam diperlukan sarana dan prasarana yang memadai seperti gedung dan fasilitas pendidikan lainnya. Dan sumber dana yang sangat 86 memungkinkan adalah diambilkan dari pemberdayaan lembaga-lembaga keagamaan seperti wakaf tunai. c. Lembaga riset untuk masyarakat Keberadaan lembaga riset untuk kepentingan masyarakat banyak merupakan keniscayaan di tengah kebutuhan respon yang cepat dalam dunia yang serba modern. Lemahnya kemampuan umat Islam Indonesia dalam menyikapi seluruh problematika yang muncul dan berdampak negatif bagi mereka karena belum tersedianya lembaga riset publik. Sebagai contoh yang sangat riil adalah kasus pada tahun 1989 terkait dengan adanya isyu lemak babi yang tercampur dalam produk-produk industri modern seperti mi instan, susu kaleng, sabun mandi dan sebagainya yang sempat mengguncang perekonomian nasional. Dan secara berurutan kasus serupa terjadi lagi seperti kasus Ajinomoto, daging illegal, coca-cola, permen narkoba dan sebagainya. Meskipun persoalan tersebut lebih banyak berhubungan dengan political will pemerintah, namun jika umat Islam memiliki lebaga riset (laboratorium halal) yang diberikan otoritas untuk mengkaji dan mengawasi produkproduk konsumsi, maka hal tersebut tidak akan pernah terjadi. Memang, kasus tersebut menjadi awal yang cukup penting bagi kesadaran umat Islam akan hak-haknya, yaitu perlindungan konsumsi yang bebas dari barang haram (najis). Dan Mejelis Ulama Indonesia (MUI) telah 87 meresponnya dengan mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LP POM). Namun sampai saat ini laboratorium yang digunakan masih menggunakan fasilitas yang dimiliki oleh Institut Pertanian Bogor (IPB). Sebuah upaya agar umat Islam memiliki laboratorium halal memang telah dilakukan Departemen Agama dengan membangun gedung tersebut dengan segala perangkat yang ada, namun belum bisa berperan lebih banyak. Tentu saja ini menjadi keprihatinan bersama, di tengah tuntutan peran umat Islam yang lebih riil dalam mengarahkan aspek keyakinan ajaran agamanya. Selain itu, umat Islam juga masih memerlukan lembaga-lembaga riset di bidang ekonomi dalam rangka menegakkan sistem Syariah, bidang astronomi dalam rangka menemukan format penentuan hari-hari besar Islam, bidang hukum dalam rangka menyerap aspek-aspek nilai hukum keislaman yang memungkinkan diterapkan dalam sistem perundangan negara kita, bidang medis agar hukum Islam dapat merespon secara lebih tepat dan menyeluruh atas masalah-masalah medis yang muncul, bidang telekomunikasi dalam rangka merespon secara lebih cepat dan taktis untuk meng-counter terhadap isyu-isyu miring yang sering ditimpakan kepada umat Islam, dan sebagainya. Sedangkan upaya pendirian lembaga-lembaga riset yang memadai tersebut memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit. Untuk itu dana wakaf tunai yang sudah dikelola bisa dijadikan salah satu sumber dana yang sangat potensial dalam rangka membiayai proyek-proyek pembangunan fisik lembaga-lembaga tersebut. 88 d. Perpustakaan Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional adalah tersedianya berbagai sarana dan pra-sarana pendidikan yang memadai seperti perpustakaan yang lengkap dan sarana teknologi informasi (internet, televisi, radio dll) yang bisa di akses setiap saat oleh manajemen sekolah dan guru dalam rangka menunjang penyelenggaraan proses pendidikan di sekolah maupun di pesantren. Tentu saja ketersediaan perpustakaan dan sarana teknologi informasi global tersebut harus dikelola secara baik pula agar tidak menjadi benda mati yang tidak berfungsi banyak, atau justru bisa menghambat proses pendidikan. Sedangkan selama ini lembaga-lembaga pendidikan (khususnya madrasah dan Perguruan Tinggi Islam) banyak yang tidak memiliki sarana dan prasarana perpustakaan yang memadai. Banyak gedung-gedung perpustakaan yang sudah tidak terurus, fasilitas yang kurang memadai, bukubuku yang tidak updated, jaringan informasi yang lemah dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sudah saatnya peran perpustakaan untuk meningkatkan mutu pendidikan harus segera di atasi dengan memberikan support pembiayaan pembangunan fisik dan sarana lainnya. Dan sumber dana yang bisa dijadikan penopangnya adalah dengan memberdayakan potensi-potensi ekonomi yang dimiliki oleh umat Islam, khususnya wakaf tunai. 89 Pemberdayaan dan Pengembangan a. Kurikulum Selama tiga dasawarsa terakhir ini, sistem pendidikan nasional kita belum mampu berbicara banyak terhadap berbagai kebutuhan dan tantangan, baik pada level nasional maupun global. Program peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan yang selama ini menjadi fokus pembinaan masih menjadi masalah paling menonjol dalam dunia pendidikan kita. Peningkatan kualitas pendidikan masih banyak harus diperbaiki dan disempurnakan di sana sini, dan pemerataan pendidikan masih menjadi ‘pekerjaan rumah’ yang membutuhkan keseriusan semua pihak, khususnya political will pemerintah dalam merelokasi anggaran pendidikan secara mendasar. Pasa sisi lain, tantangan dan perkembangan lingkungan strategis, baik nasional, regional maupun internasional dalam berbagai bidang semakin berat. Cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang informasi dan tranpostasi yang mempunyai dampak sangat dahsyat dalam kehidupan, terbukanya pintu pasar bebas yang memberikan peluang kesempatan persaingan yang sangat ketat, derasnya arus demokratisasi, HAM, isyu-isyu lingkungan dan lain-lain merupakan tantangan yang harus segera dijawab oleh bangsa Indonesia agar tetap hidup (survive), bahkan kalau bisa memenangkan 90 kompetisi dalam percaturan kehidupan antar bangsa di dunia. Tentu saja berbagai problematika dan tantangan tersebut di atas akan kembali pada pembinaan dan penerapan sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini. Karena pendidikan adalah hal utama dalam penciptaan SDM yang berkualitas. Maka dari itu, dalam penyelenggaraan pendidikan nasional masa depan, perhatian perbaikan sistem pendidikan harus ditujukan pada minimal pada aspek : perbaikan kurikulum dan perbaikan kualitas manajemen pendidikan, selain perbaikan sarana prasarana, tenaga kependidikan dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggraan pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan, tidak bisa terlepas dari upaya memperbaiki kualitas kurikulum yang dianggap kurang memadai, bahkan sangat menjemukan. Dengan demikian, perubahan paradigma kurikulum menjadi hal yang sangat mendesak dilakukan dan disosialisasikan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan secara umum. Karena komponen pendidikan tersebut sangat berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan suatu proses pendidikan dan penciptaan sumber daya manusia (SDM) untuk menjawab tantangan masa depan Indonesia. Dan upaya pembenahan kurikulum tersebut memerlukan komitmen bersama, baik pihak penguasa yang memiliki otoritas dalam regulasi kependidikan, maupun masyarakat sebagai pihak yang harus kritis mensikapi seluruh proses perjalanan pendidikan. Untuk itu, seluruh 91 komponen masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan harus memikirkan agar bagaimana kurikulum yang akan diterapkan di sekolah-sekolah baik formal maupun informal dapat meningkatkan kualitas SDM yang tangguh, dengan cara mengfasilitasi seluruh proses pengkajian dan penetapan kurikulum yang baik. Tentu saja, keseluruhan proses tersebut membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit. Untuk itu, adanya dana wakaf tunai dapat dijadikan salah satu sumber yang menjanjikan dalam rangka meningkatkan kualitas kurikulum pendidikan secara lebih baik dan menjanjikan. b. Sumber Daya Manusia (SDM) Adapun bentuk-bentuk pemberdayaan hasil pengelolaan wakaf tunai yang terkait dengan pengembangan sumber daya manusia (SDM), yaitu dengan: Mensubsidi sekolah, madrasah, pesantren dan Perguruan Tinggi Islam yang memiliki dana terbatas dalam rangka penyelenggaraan pendidikan murah; Mengadakan pelatihan-pelatihan SDM pendidikan yang mengarah aspek kualitas dan keunggulan wacana; Mengadakan pendidikan gratis bagi kaum lemah (dhuafa) seperti: yatim piatu, anak-anak putus sekolah dari kalangan fakir miskin. Penyediaan alat-lat tulis, buku-buku bacaan dan sarana lainnya secara gratis bagi sekolah atau madrasah dan Perguruan Tinggi; 92 Perluasan dan pengembangan pendidikan yang sesuai untuk pengembangan keterampilan; Fasilitas pendidikan informal untuk anak-anak di rumah (seperti program pendidikan ibu, daftar bacaan anak); Mendukung program riset (penelitian) yang melibatkan banyak pihak; Mendukung kebudayaan lokal, tradisi dan promosi kesenian; Mengadakan aktifitas-aktifitas dakwah; Mendukung pendidikan kejuruan secara umum; Mendukung pendidikan secara spesifik/area tertentu; Membiayai secara khusus madrasah/sekolah/kursus di bidang tertentu; Mendidik anak cucu/keturunan secara layak; Mendukung proyek-proyek di bidang pendidikan, penelitian, agama dan pelayanan sosial; Menetapkan pengawas pengajaran; c. Proyek-proyek riset teknologi tepat guna Selain membangun lembaga-lembaga riset yang memiliki fasilitas yang memadai, pemberdayaan hasil pengelolaan wakaf tunai harus diarahkan kepada pemberdayaan kerja-kerja (proyek) riset. Selama ini, dunia pendidikan di Indonesia terlihat masih tertinggal 93 kualitasnya dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapore, Thailand dan lain-lain. Disamping faktor sistem yang mempengaruhinya, dunia pendidikan kita belum memberikan porsi yang baik bagi tumbuhnya budaya riset, khususnya riset-riset teknologi tepat guna. Sebagai sebuah negara yang memiliki kemiripan budaya dan kondisi sosial budaya, India, China, Korea bisa dijadikan contoh sebagai negara-negara yang mampu mengembangkan riset-riset teknologi tepat guna, seperti teknologi yang digunakan untuk pengembangan pertanian, perkebunan, perikanan dan sebagainya. Selama ini bangsa kita masih memiliki ketergantungan yang cukup tinggi kepada negara-negara dimaksud. Oleh karena itu, tersedianya dana dari hasil pengelolaan wakaf tunai dapat dijadikan sumber yang cukup potensial bagi berkembangnya budaya dan iklim riset bagi tumbuhnya teknologi tepat guna. Pemanfaatan teknologi tepat guna menjadi hal yang sangat strategis di tengah upaya bangsa Indonesia keluar dari bayang-bayang negara lain agar segera keluar dari ketergantungan ekonomi. B. Dalam Bidang Kesehatan dan Fasilitas RS Keberadaan wakaf juga terbukti telah banyak membantu bagi pengembangan ilmu-ilmu medis melalui penyediaan fasilitas-fasilitas publik di bidang kesehatan dan pendidikan. Penghasilan wakaf bukan hanya digunakan untuk 94 penyediaan obat-obatan dan menjaga kesehatan manusia, tetapi juga obat-obatan untuk hewan. Mahasiswa bisa mempelajari obat-obatan serta penggunaannya dengan mengunjungi rumah sakit-rumah sakit yang dibangun dari dana hasil pengelolaan asset wakaf. Bahkan, pendidikan medis kini tidak hanya diberikan oleh sekolah-sekolah medis dan rumah sakit, tetapi juga telah diberikan oleh masjid-masjid dan universitas-universitas seperti Universitas Al Azhar di Kairo (Mesir) yang dibiayai dana hasil pengelolaan asset wakaf. Bahkan pada abad ke-4 Hijriyah, rumah sakit anak yang didirikan di Istambul (Turki) dananya berasal hasil pengelolaan asset wakaf. Di Spanyol, fasilitas rumah sakit yang melayani baik Muslim maupun non Muslim, juga berasal hasil pengelolaan asset wakaf. Dan pada periode Abbasyiah, dana hasil pengelolaan asset wakaf juga digunakan untuk membantu pembangunan Pusat Seni dan telah sangat berperan bagi perkembangan arsitektur Islam terutama arsitektur dalam pembangunan masjid, sekolah, dan rumah sakit. Untuk itu, agar sektor kesehatan masyarakat lebih mendapatkan perhatian lebih serius, perlu adanya upaya dari semua pihak, khususnya lembaga-lembaga keagamaan yang memiliki potensi ekonomi cukup tinggi untuk ikut serta berperan dalam persoalan tersebut. Selain melalui pemberdayaan ZIS (zakat, infak dan sedekah), pemberdayaan dana wakaf tunai yang sudah dikembangkan bisa menjadi alternatif yang sangat menjanjikan. Paling tidak, dengan adanya dukungan riil dari dana wakaf tunai, tugas-tugas pemerintah dalam sektor pendidikan dapat terbantu. 95 Adapun agenda besar yang dapat dilakukan dalam rangka penyediaan sarana-prasarana dan peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat meliputi: Pembangunan a. Rumah Sakit dan Poliklinik Keberadaan rumah sakit, poliklinik dan lembaga yang peduli terhadap bidang kesehatan memiliki peran yang sangat strategis di tengah-tengah masyarakat. Apalagi di saat kondisi sosial ekonomi yang kurang menguntungkan. Selama ini, rakyat Indonesia (umat Islam) merasakan betul minimnya sarana kesehatan yang disediakan oleh pemerintah. Oleh karena itu, keberadaan lembaga-lembaga tersebut harus terus dibangun dan dikembangkan dengan segala fasilitas yang memadai dalam rangka memperbaiki bidang kesehatan. Tentu saja, konsep pembangunannya harus mempertimbangkan aspek sosial, yaitu dengan disertainya konsep subsidi silang antara rumah sakit elit (untuk kalangan ekonomi menengah dan atas) dengan rumah sakit biasa (untuk kalangan ekonomi lemah). Dengan sistem subsidi silang ini diharapkan adanya pemerataan bagi terjaminnya pelayanan kesehatan untuk masyarakat umum. Sistem subsidi silang yang diterapkan dipergunakan untuk kepentingan: (a) Pengobatan murah dan atau gratis bagi fakir miskin, yatim piatu, janda dan lain-lain; 96 (b) Penjaminan kesehatan bagi para kaum cacat, jompo dan anak-anak terlantar; Disamping faktor fungsi sosial untuk eksternal, lembagalembaga kesehatan tersebut harus memberikan kesejahteraan bagi para pengelola, dokter, perawat, tenaga administrasi, ahli gizi, dan petugas teknis lainnya dengan gaji yang layak. Hal ini dimaksudkan agar dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat berjalan dan berfungsi secara optimal. Sehingga dengan demikian keberadaan rumah sakit, poliklinik dan sarana kesehatan lainnya tidak hanya dijadikan obyek bisnis, tapi juga mempertimbangkan sebagai pusat pemberdayaan antar sesama yang didasari oleh semangat sosial untuk terjalinnya kehidupan yang lebih baik. Upaya-upaya tersebut tentu saja memerlukan dukungan penuh para pihak yang terkait dengan bidang kesehatan, baik pemerintah, LSM maupun masyarakat pada umumnya. Keterlibatan masyarakat yang sangat memungkinkan dalam fungsi tersebut adalah partisipasi dalam gerakan pengumpulan dana wakaf tunai, dimana hasil pengelolaannya bisa dijadikan sumber keuangan yang sangat potensial dalam bidang kesehatan. b. Apotik dan Alat-alat Medis Tidak kalah pentingnya, keberadaan apotik dengan penyediaan obat-obatan yang lengkap-berkualitas dan alatalat medis yang canggih dan lengkap menjadi hal yang 97 harus mendapat perhatian bersama. Berdirinya gedung rumah sakit, poliklinik dan lembaga kesehatan lainnya tidak akan bisa berfungsi secara maksimal jika di dalamnya tidak dilengkapi dengan tersedianya obat-obatan dan alatalat medis yang mendukung. Kita sangat merasakan betul, betapa rumah sakit, poliklinik yang ada di sekitar kita masih memiliki ketersediaan obat-obatan dan alat-alat medis yang belum lengkap. Bahkan ada sebuah rumah sakit yang terhitung besar ternyata tidak memiliki obat-obatan dan alat-alat medis yang layak, sehingga dalam penanganan pasiennya sering memberikan rujukan ke rumah sakitrumah sakit luar negeri. Untuk itu, dana wakaf tunai dapat dijadikan salah satu sumber penyediaan apotik dan alat-alat medis untuk kepentingan pelayanan kesehatan masyarakat banyak. Bagi kalangan lemah, berdirinya apotik-apotik yang dibangun oleh dana-dana wakaf tunai harus menyediakan obat-obatan murah bahkan gratis untuk kalangan tidak mampu. Selama ini kaum fakir miskin sangat merasakan betul mahalnya obat-obatan. Akibatnya, banyak dari kalangan mereka mengalami sakit atau bahkan kematian yang cenderung meningkat disebabkan oleh faktor ketidakmampuan mereka membeli obat-obatan yang dijual di toko-toko obat. Pemberdayaan dan Pengembangan Sebagai sebuah pilar bagi maju tidaknya sebuah bangsa, bidang kesehatan harus mendapat perhatian yang 98 cukup bagi semua elemen bangsa, baik pemerintah maupun elemen bangsa lainnya. Selain pembangunan fisik yang terkait dengan bidang kesehatan, pemberdayaan dan pengembangan di bidang kesehatan juga patut manjadi konsentrasi kita. a. Pengembangan SDM Kesehatan Kondisi kesehatan masyarakat Islam Indonesia dalam posisi yang sangat memprihatinkan. Selain aspek penyediaan sarana kesehatan yang masih jauh dari memadai, kondisi sumber daya manusia (SDM) kesehatan kita juga masih sangat rendah. Rendahnya kualitas SDM kesehatan lebih karena belum adanya pola penyelesaian yang sistematis melalui penyelenggaraan pendidikan dan latihan (diklat) dengan metode yang lebih efektif. Karena salah satu aspek yang sangat berperan terhadap pengembangan dan peningkatan mutu tenaga/SDM Kesehatan ialah melalui pendidikan dan pelatihan (diklat). Ada dua hal pokok yang perlu segera diantisipasi dalam upaya peningkatan mutu SDM Kesehatan melalui diklat, yaitu: Pertama, perubahan paradigma di bidang diklat yang berkembang khususnya perubahan orientasi pelatihan, dari trainer oriented menjadi learner oriented, hal ini tentunya menuntut adanya perubahan kebijakan, pola pikir dan pengembangan program serta pelayanan pelatihan. 99 Kedua, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di bidang informasi dan komunikasi berpengaruh langsung terhadap perkembangan teknologi pembelajaran. Namun, cepatnya perkembangan Iptek tersebut belum semuanya dapat diikuti oleh setiap institusi pendidikan dan pelatihan dalam upaya pengembangan dan pelaksanaan proses pembelajaran. Hal ini karena keterbatasan sumber daya untuk memenuhi sumber belajar (pengajar, bahan belajar dan sarana belajar) yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan Iptek di bidang kesehatan serta metode dan teknologi pembelajaran. Salah satu konsekuensi dari perubahan tersebut adalah permasalahan sumber daya manusia khususnya SDM kesehatan baik di tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota. Kebutuhan akan SDM kesehatan yang handal dan profesiobnal di bidangnya merupakan tuntutan yang tidak bisa dihindari lagi. Namun perlu dipertimbangkan implikasi lain yaitu, tersedianya sumber daya yang bervariasi di setiap propinsi dan kabupaten/kota. Di satu sisi ada daerah yang mempunyai sumber daya yang sangat minim, sehingga alokasi dana untuk pengembangan sumber daya manusia sangat terbatas. Di sisi lain ada propinsi yang mempunyai sumber daya yang sangat berlebih, sehingga pemenuhan kebutuhan materi (kesejahteraan) sudah tercukupi yang akhirnya terjadi menurunnya motivasi untuk mengembangkan dirinya. 100 Untuk itu, diperlukan upaya nyata yang efektif dan efisien dalam menciptakan SDM-SDM kesehatan yang handal dengan penyediaan anggaran yang memadai melalui dana wakaf tunai. Upaya-upaya tersebut bertujuan: 1. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan masyarakat, khususnya umat Islam yang sampai saat ini masih menganggap jeleknya pelayanan dan tingginya biaya kesehatan; 2. Pengembangan kesehatan masyarakat dengan selalu mengadakan penyuluhan dan advokasi kesehatan agar dapat terjaga dari berbagai penyakit; 3. Menciptakan lingkungan hidup sehat dan budaya sehat antara lain : UKS, penyuluhan keluarga sehat, peningkatan gizi balita dan sebagainya. c. Peningkatan Riset Bidang Kesehatan Sebagaimana disebutkan di atas bahwa ketersediaan SDM kesehatan yang masih belum memadai, lebih karena belum adanya budaya riset dalam bidang ini. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailan, Singapura dan lain-lain, Indonesia masih sangat ketinggalan dalam dunia riset dalam bidang kesehatan. Oleh karena itu, dengan adanya dana wakaf tunai diharapkan dapat dialokasikan untuk kepentingan risetriset dalam bidang kesehatan yang dirasa sangat mendesak dilakukan. Sehingga jika riset-riset kesehatan terus 101 dikembangkan akan memberikan wacana dan penanganan kesehatan secara lebih baik di tengahtengah masyarakat C. Dalam Bidang Pelayanan Sosial Harus diakui, bahwa sarana pelayanan sosial di Indonesia terkenal sangat buruk. Hal tersebut terkait dengan sumber pendanaan pemerintah masih yang sangat minim. Jika tersedia, sarana pelayanan sosial terlihat sangat tidak terawat, atau bahkan tidak bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat banyak, seperti jembatan dan jalan rusak, rumah sakit yang kotor dan sangat tidak memadai, sarana angkutan umum yang sangat tidak layak, pasar yang kotor dan tidak teratur, pembuangan sampah yang kacau dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dengan adanya dana wakaf tunai diharapkan dapat menunjang hal-hal yang terkait dengan: Pembangunan fasilitas umum yang lebih memadai dan manusiawi. Pembangunan tempat-tempat ibadah dan lembaga keagamaan yang representatif Sedangkan dalam rangka pemberdayaan dalam bidang pelayanan sosial ini dapat diadakan berbagai aktifitas untuk pengembangan antara lain: 102 Meningkatkan kemampuan kaum dhuafa melalui berbagai pelatihan keterampilan kerja dan pembinaan kesadaran akan pentingnya disiplin dan kerja keras; Membuat sebuah pola manajemen pengelolaan lembaga santunan untuk kaum lemah, cacat dan terlantar lainnya; Membuat berbagai macam proyek-proyek dakwah yang mencakup di bidang yang luas, seperti penanggulangan akidah umat Islam akibat tekanan ekonomi yang menghimpit masyarakat pedalaman, proyek pembinaan anak-anak korban Narkoba dan “broken home” dan lain sebaginya. Proyek peningkatan pelayanan sosial ini dapat kita jalankan dengan baik melalui sumber dana yang jelas seperti dana-dana wakaf tunai yang sudah dikelola secara profesional. Sehingga pemerintah mendapatkan dukungan yang nyata dalam rangka menciptakan kesejateraan yang lebih luas. D. Dalam Bidang Pengembagan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Krisis ekonomi yang masih melanda bangsa ini sangat berdampak pada kondisi sosial masyarakat banyak. Ambruknya bangunan dasar-dasar ekonomi bangsa menjadi kunci persoalan untuk memperbaiki (recovery) ekonomi masyarakat. Para pelaku ekonomi yang merasakan betul dampak buruk dari kondisi tersebut adalah para pengusaha kecil dan menengah. Jumlah UKM di Indonesia selama ini menempati lebih dari 95% pelaku bisnis di Indonesia. Akan tetapi, sektor ini 103 cenderung diabaikan. Banyak kelemahan UKM yang masih belum ditangani dengan baik. Diantaranya, faktor modal dan pengelolaan. Kalau persoalan permodalan ini dapat diatasi dengan baik, maka secara otomatis mayoritas pelaku bisnis UKM akan terhindar dari modal rentenir. Masalahnya adalah, bagaimana solusinya agar pelaku bisnis UKM dapat diatasi dan memungkinkan dapat menerapkan prinsip syariah? Sedangkan di sisi lain ada beberapa kelembagaan Islam yang memiliki potensi besar, seperti zakat dan juga wakaf tunai? Pengembangan dan Pemberdayaan Usaha pengembangan dan pemberdayaan UKM dalam rangka meningkatkan daya saing produknya banyak mengalami kendala karena beberapa faktor antara lain keterbatasan permodalan, terbatasnya sumber daya manusia yang berkualitas, kurangnya pemahaman dan kemampuan dalam sains dan teknologi, kurangnya kemampuan manajemen terutama manajemen produksi dan pemasaran. Untuk itu usaha-usaha peningkatan dan pemberdayaan UKM selayaknya didasarkan pada tujuan untuk mengatasi faktor-faktor yang selama ini menjadi kendala dalam pengembangan dan pemberdayaan UKM antara lain: 104 Memprioritaskan pembinaan dan pengembangan UKM yang menggunakan bahan baku berasal dari sumber daya alam dan industri pendukungnya untuk pasar dalam dan luar negeri seperti agro industri, kerajinan keramik dan gerabah; Memberi peluang lebih besar kepada lembaga profesional perbankan, dan juga lembaga non keuangan lainnya seperti lembaga nazhir wakaf tunai untuk berpartisipasi aktif dalam pembinaan dan pengembangan UKM seperti menyediakan fasilitas permodalan bagi UKM; Membantu UKM dalam hal kemampuan penguasaan teknologi proses dan produksi antara lain melalui pelatihan, rancang bangun dan perekayasaan serta desain produk sehingga dapat meningkatkan mutu, efisiensi, dan produktivitas; Membantu pemasaran dan promosi UKM baik di dalam maupun luar negeri; Pembangunan Infrastruktur pemberdayaan ekonomi rakyat; yang mendukung Selain faktor modal usaha kecil dan menengah secara umum masih menghadapi berbagai kendala seperti tidak punya kemampuan produksi, jaringan atau faktor lain. Faktor eksternal seperti iklim usaha yang tidak kondusif. Sebenarnya untuk iklim yang tidak kondusif biasanya memicu UKM. Tapi biasanya pertumbuhan UKM ini bukan karena bagus, tapi karena kurangnya peluang di bidang lain. Untuk memajukan UKM dengan sistem Syariah merupakan hal yang sangat berpengaruh dalam perbaikan ekonomi umat, terutama bagi pelaku bisnis UKM. Bagaimana sistem Syariah menentukan jalan UKM? 105 Mekanisme pasar yang terbaik menurut Syariah adalah mengikuti mekanisme pasar. Kuncinya masyarakat yang bisa mengatur diri sendiri. Tetapi, pemerintah perlu berperan memberikan proteksi dan perangkat hukum untuk memajukan sistem UKM Syariah itu sendiri agar mereka memiliki kepastian usaha. Untuk itu, dalam rangka menerapkan sistem Islam (Syariah) dalam masyarakat membutuhkan strategi dan keseriusan untuk penggalangan kekuatan. Untuk permodalan misalnya, dibutuhkan strategi untuk transfer dana, dengan cara yang lebih Islami dan tidak menggunakan sistem bunga. Sistem permodalan dengan sistem Syariah dapat dilakukan melalui institusi perbankan Syariah dan juga lembaga-lembaga keagamaan lain, seperti Perbankan Syariah, Badan Amil Zakat, Lembaga Amil Zakat dan Badan Wakaf Indonesia yang di dalamnya mengelola wakaf tunai. Persoalan UKM, memang terlihat menyeluruh. Padahal, mayoritas pelaku ekonomi Indonesia berasal dari kalangan UKM. Karena itu, sudah selayaknya menjadi perhatian semua pihak secara sungguh-sungguh. Untuk membantu para pelaku bisnis UKM harus ada transfer dari pemilik modal ke pelaku bisnis UKM, tanpa beban bunga dan sistem Syariah yang profesional. Pemilik modal yang dapat dijadikan sandaran pengembangan UKM adalah adanya lembaga atau seperti badan wakaf tunai 106 Bagian Keempat PELAKSANAAN PROYEK PERCONTOHAN A. Studi Kelayakan Usaha Sebagai langkah riil yang bisa dilakukan dalam mengelola benda-benda wakaf, baik yang tidak bergerak (seperti tanah) maupun yang bergerak (seperti uang dan lain-lain) adalah dengan membuat sebuah studi kelayakan usaha terlebih dahulu. Karena studi kelayakan usaha merupakan kegiatan usaha yang direncanakan, sesuai dengan kondisi, potensi serta peluang yang tersedia dari berbagai aspek. Dengan demikian, dalam menyusun studi kelayakan usaha harus meliputi sekurang-kurangnya aspekaspek sebagai berikut: 1. Pendahuluan, 2. Aspek pasar dan pemasaran, 3. Aspek teknis dan teknologis, 4. Aspek ekonomi dan keuangan, 5. Kesimpulan dan rekomendasi serta lampiran-lampiran yang diperlukan. 1. Penduhuluan Yang perlu diuraikan dalam bab penduhuluan, antara lain latar belakang masalah yang memberikan jawaban dari beberapa pertanyaan, seperti jenis-jenis kegiatan atau gagasan usaha pemberdayaan wakaf yang akan direncanakan sebagai proyek percontohan, alasan-alasan dalam pemilihan gagasan usaha, serta manfaat apa saja yang dapat diperoleh dengan adanya gagasan usaha tersebut. Gagasan usaha yang disajikan juga dijelaskan, apakah dalam bentuk usaha baru atau merupakan perluasan dari usaha yang telah ada serta jenis produk yang dihasilkan. 109 Dilihat dari segi manfaat/benefit dari gagasan usaha yang akan direncanakan, perlu diuraikan benefit yang dapat diterima akibat adanya gagasan usaha tersebut, baik yang bersifat financial benefit maupun yang bersifat social benefit. Secara umum harus diuraikan juga peranan keseluruhan di samping manfaat finansial berupa return equity terhadap penanaman modal. Selain faktor-faktor di atas, perlu juga diuraikan tentang kerangka analisis dari penyusunan studi kelayakan, baik yang berhubungan dengan kepentingan usaha maupun yang berhubungan dengan lembagalembaga yang membiayai gagasan usaha pemberdayaan wakaf, seperti lembaga perbankan Syariah, para investor, lembaga donor dan lain sebagainya. 2. Aspek Pasar dan Pemasaran Aspek pasar dan pemasaran adalah inti dari penyusunan studi kelayakan. Kendatipun secara teknis telah menunjukkan hasil yang feasible untuk dilaksanakan, tetapi tidak ada artinya apabila tidak dibarengi dengan adanya pemasaran produk dari produk yang dihasilkan. Oleh karenanya, dalam membicarakan aspek pemasaran harus benar-benar diuraikan secara baik dan realistik baik mengenai masa lalu mapun prospeknya di masa yang akan datang, serta melihat bermacam-macam peluang dan kendala yang mungkin akan dihadapi. Permintaan pasar dari produk yang dihasilkan, merupakan dasar dalam penyusunan jumlah produksi, jumlah produksi itu sendiri merupakan dasar dalam rencana pembelian bahan baku, jumlah tenaga kerja yang diperlukan, serta fasilitas lainnya yang dibutuhkan. 110 Dalam uraian aspek pasar dan pemasaran, sekurangkurangnya harus melingkupi peluang pasar, perkembangan pasar, penetapan pangsa pasar, dan langkah-langkah yang perlu dilakukan di samping kebijaksanaan yang diperlukan. Untuk pembahasan dalam peluang pasar perlu disajikan angka-angka permintaan dan penawaran daerah pemasaran dari produk yang dihasilkan pada masa lalu (trend perkembangan permintaan) dan membuat perkiraan perkembangan permintaan terhadap produk yang direncanakan di masa yang akan datang. Bila produk yang dihasilkan mempunyai pemasaran secara nasional, perlu disajikan permintaan dan penawaran secara nasional, dan bila produk yang dihasilan mempunyai pemasaran secara daerah tertentu, juga perlu disajikan data penawaran dan permintaan secara daerah tersebut. Demikian pula dalam aspek pasar dan pemasaran harus diuraikan mengenai kendala-kendala yang dihadapi dalam pemasaran, seperti pesaing, kekuatan dan kelemahannya, serta menguraikan keunggulan-keunggulan dari usaha yang direncanakan. Peluang market space (peluang pasar) dan market share (peluang yang dapat dimanfaatkan) merupakan penentuan pangsa pasar yang didasarkan pada proyeksi permintaan dan penawaran. Dalam kebijakan pemasaran, juga ditentukan harga pokok dari produk yang dihasilkan yang dihitung berdasarkan pada biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik. Berdasarkan pada perhitungan ini, ditentukan pula harga jual dengan menetapkan persentase keuntungan yang didasarkan pada pertimbangan di atas, dalam aspek pasar dan pemasaran perlu juga diuraikan mengenai program dan teknis 111 pemasaran, baik mengenai cara pendistribusian produk yang dihasilkan, cara promosi, pengangkutan, penjualan, pergudangan, sistem pembayaran dan lain-lain yang dianggap perlu dalam aspek pasar dan pemasaran. 3. Aspek Teknis dan Teknologis Aspek teknis dan teknologis dibahas setelah usaha tersebut dinilai layak dari aspek pemasaran. Faktor-faktor yang perlu diuraikan adalah yang menyangkut lokasi usaha yang direncanakan, sumber bahan baku, jenis teknologi yang digunakan di samping membuat rencana produksi selama umur ekonomis proyek. Apabila studi kelayakan yang disusun adalah bidang usaha produksi atau kegiatan yang melakukan pengolahan, faktor utama yang perlu dimuat dalam aspek teknis produksi adalah lokasi usaha yang akan dikembangkan. Faktor-faktor yang perlu dijelaskan, antara lain dilihat dari segi bahan baku, keadaan pasar, penyediaan tenaga kerja, transportasi dan fasilitas tenaga listrik, serta penanganan limbah jika diperlukan. Disamping itu juga perlu dijelaskan kemungkinan untuk mengadakan ekspansi di masa yang akan datang, baik dilihat dari kemungkinan tersedianya areal serta lingkungan, maupun situasi dan kondisi dimana lokasi usaha tersebut ditetapkan. Demikian pula dengan sumber bahan baku yang diperlukan, apakah bersumber dari luar negeri, dalam negeri atau sebagian dari luar sebagian dari dalam. Jika bersumber dari dalam negeri, pada daerah tertentu, juga perlu diketahui tertang persediaan bahan tersebut dalam waktu yang relatif lama, baik jumlahnya 112 maupun kualitasnya sehingga dapat menjamin keberlangsungan usaha yang direncanakan. Pemilihan terhadap jenis teknologi yang digunakan juga perlu dijelaskan, baik mengenai jenis, jumlah dan ukuran bila diperlukan serta alasan-alasan dalam pemilihan, dihubungkan dengan masalah yang dihadapi disamping investasi lainnya. Dalam aspek teknis produksi, perlu juga dibuat rencana produksi pada setiap tahun selama umur ekonomis proyek yang didasarkan pada peluang pasar, kapasitas produksi, serta penyusunan keperluan kegiatan secara teknis. 4. Aspek Organisasi dan Manajemen Dalam aspek organisasi dan manajemen, yang perlu diuraikan adalah bentuk kegiatan dan cara pengelolaan dari gagasan usaha yang direncanakan secara efisien. Apabila bentuk dan sistem pengelolaan telah dapat ditentukan secara teknis (jenis pekerjaan yang diperlukan) dan berdasarkan kepada kegiatan usaha, disusun bentuk struktur organisasi yang cocok dan sesuai untuk menjalankan kegiatan tersebut. Berdasarkan pada struktur organisasi yang ditetapkan, kemudian ditentukan jumlah tenaga kerja serta keahlian yang diperlukan. 5. Aspek Ekonomi dan Keuangan Aspek ekonomi dan keuangan yang perlu dibahas, antara lain menyangkut dengan perkiraan biaya investasi, perkiraan biaya operasi dan pemeliharaan, kebutuhan modal kerja, sumber pembiayaan, perkiraan pendapatan, perhitungan kriteria investasi. Selain perhitungan ini, juga perlu ditampilkan perhitungan break even point (BEP) 113 beserta pay back period, proyeksi laba/rugi, proyeksi aliran kas dan dampak usaha terhadap perekonomian masyarakat secara keseluruhan. a. Perkiraan Investasi Jumlah dan jenis investasi apa saja yang diperlukan dalam rencana kegiatan usaha yang akan dikerjakan harus jelas, baik mengenai jumlah dan jenisnya maupun harga dari masing-masing investasi dan dibentuk dalam sebuah tabel. Harga dari masing-masing investasi sedapat mungkin harus sesuai dengan harga pada saat pengadaan investasi sehingga tidak terjadi penyimpangan dalam perhitungan. b. Biaya Operasi dan Pemeliharaan Biaya operasi dan pemeliharaan terdiri dari biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Perhitungan biaya ini harus disusun dan dihitung sedemikian rupa sehingga tidak ada unsur biaya yang tertinggal. Hal ini sangat perlu karena keadaan ini akan mempengaruhi perhitungan analisis kriteria investasi yang digunakan sebagai indikator dalam menentukan feasible tidaknya rencana usaha yang akan dikembangkan. Disamping perhitungan tersebut, penentuan unsur biaya yang dihitung dari semua unsur biaya berhubungan dengan perhitungan harga pokok produksi yang akan digunakan dalam menentukan harga jual dari produk yang dihasilkan. Biaya tetap terdiri dari gaji karyawan tetap, bunga bank, pengembalian pokok pinjaman, penyusutan, asuransi dan biaya tetap lainnya yang harus dapat ditentukan besarnya 114 setiap tahun selama umur ekonomis dari usaha yang direncanakan. Demikian pula terhadap biaya tidak tetap (variable cost), yaitu biaya yang diperlukan untuk membiayai proses produksi, dimana besar kecilnya biaya tergantung pada besar kecilnya jumlah produksi. Dalam hal ini harus ditentukan biaya-biaya apa saja yang diperlukan dan jenis serta jumlah biaya. Biaya varible terdiri dari biaya bahan baku, biaya upah tenaga kerja langsung, biaya bahan bakar, biaya pengangkutan, sewa gedung dan lain sebagainya. Dalam membuat biaya ini hendaknya dibuat suatu rekapitulasi biaya, baik biaya tetap maupun biaya tidak tetap dalam sebuah tabel. c. Sumber Pembiayaan Sumber pembiayaan, baik biaya investasi maupun modal kerja harus direncanakan secara jelas dan terperinci. Dalam hal ini harus dapat ditentukan komposisi modal secara jelas, berapa persen sumber modal yang berasal dari investor maupun saham, dan beberapa persen pula yang berasal dari pinjaman luar (kredit). Bila pendanaan yang diharapkan sebagian dari pinjaman (kredit), juga harus jelas berapa jumlahnya dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, baik cara pengembalian pinjaman, tingkat bunga, jangka waktu pinjaman, dan syarat-syarat lainnya yang berhubungan dengan pinjaman karena hal ini berhubungan erat dengan kemampuan usaha yang direncanakan. 115 d. Perkiraan Pendapatan Perkiraan pendapatan atau benefit yang diterima dari usaha yang akan dikembangkan juga harus benar-benar dapat diperkiraan secara benar sehingga keputusan yang diambil benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Perkiraan benefit dalam bentuk finansial direncanakan sesuai dengan rencana produksi dan rencana penjualan. Bentuk penerimaan ini dapat digolongkan atas dua bagian, yaitu penerimaan yang berasal dari hasil penjualan barangbarang yang diproses dan penerimaan yang berasal dari luar barang-barang yang diproses. Penerimaan yang berasal dari luar kegiatan usaha tapi berhubungan dengan adanya kegiatan usaha, seperti penerimaan dalam bentuk bonus karena pembelian barangbarang kebutuhan kegiatan usaha, penerimaan dari bagi hasil bank Syariah, scrape value (nilai sisa aset), dan penerimaan lainnya seperti sewa gedung, sewa kendaraan dan lain sebagainya bila ada. e. Analisis Kriteria Investasi Analisis kriteria investasi yang dimaksudkan disini adalah mengadakan perhitungan mengenai feasible atau tidaknya usaha yang dikembangkan dilihat dari segi kriteria investasi. Analisis ini sangat diperlukan apabila usaha yang sedang direncanakan dalam bentuk jenis kegiatan produksi, sekurang-kurangnya dilihat dari segi Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), maupun Net Benefit Cost Ratio (Net B/C). Faktor-faktor yang perlu diperhatikan di sini adalah perkiraan investasi, modal kerja, biaya operasi dan pemeliharaan, serta perkiraan pendapatan. 116 f. Break Even Point dan Pay Back Period Break even point adalah suatu tingkat produksi dimana total revenue sama dengan total cost (TR=TC). Tingkat BEP ini dapat dilihat dari 3 bagian, antara lain dari segi jumlah produksi, lamanya waktu pengembalian biaya, dan jumlah biaya yang dikeluarkan. Tingkat BEP dilihat dari jumlah produksi bertujuan untuk mengetahui jumlah produksi yang dapat menghasilkan profit. Dalam analisis ini juga perlu dihitung jumlah produksi yang dapat menghasilkan maximum profit (MR=MC) sebagai indikator bagi pengusaha dalam menjalankan produksi nantinya. Tingkat BEP dilihat dari segi waktu, maksudnya untuk mengetahui berapa lama usaha yang direncanakan baru dapat menutupi segala biaya yang dikeluarkan. Ukuran ini sangat penting untuk diketahui, karena terlalu lama waktu mengembalikan total biaya belum tentu layak bagi semua pengusaha (investor) kendatipun usaha ini feasible untuk dikembangkan. Dilihat dari segi jumlah biaya yang dikeluarkan, maksudnya berapa jumlah biaya yang dikeluarkan baru berada dalam keadaan BEP. Khusus untuk usaha yang bergerak dalam produksi perlu dihitung pay back period, yaitu suatu jangka waktu untuk mengembalikan jumlah investasi dari usaha yang direncanakan. Semakin cepat usaha tersebut dapat mengembalikan investasi, semakin baik kegiatan usaha karena jumlah investasi yang dikembalikan dapat digunakan pada usaha lain yang dapat menghasilkan benefit baru. Demikian pula dengan cepatnya pengembalian investasi, semakin mudah 117 dalam penggantian aset baru dengan menggunakan teknologi yang lebih baru. Tidak jarang terjadi pada akhirakhir ini karena perubahan teknologi yang begitu cepat, pemakaian aset lama kendatipun masih baik dilihat dari segi teknis tapi tidak layak lagi dilihat dari segi ekonomis, karena usaha sejenis telah menggunakan aset baru dengan teknologi baru sehingga harga pokok dapat ditekan dan kualitas produksi dapat ditingkatkan. g. Proyeksi Laba Rugi dan Aliran Kas Proyeksi laba rugi dan aliran kas dibentuk dalam jangka waktu tertentu untuk melihat prospek keuangan dari usaha yang direncanakan. Dengan adanya proyeksi laba rugi dan aliran kas dapat diketahui posisi keuangan di masa yang akan datang, di samping itu dapat digunakan sebagai pedoman/indikator bagi pengusaha (nazhir) dalam menjalankan usaha. 6. Kesimpulan dan Rekomendasi 6.1. Kesimpulan Kesimpulan yang perlu diuraikan dari hasil pembahasan sebelumnya adalah apakah gagasan usaha yang direncanakan ini feasible atau tidak dilihat dari berbagai aspek, terutama dari segi aspek marketing dan aspek keuangan. Dalam kesimpulan ini dicantumkan angka-angka yang mendukung dari statmen yang dikemukakan. 6.2. Rekomendasi Rekomendasi yang dimaksudkan di sini adalah suatu rekom yang diberikan oleh penyusun studi kelayakan yang 118 dapat ditujukan pada siapa saja yang berhubungan dengan penanganan usaha, baik pada lembaga perbankan Syariah sebagai sumber dana maupun pada pemerintah yang memberikan ijin usaha dari pendirian proyek, dan lain sebagainya. Rekomendasi yang diberikan oleh penyusun studi kelayakan adalah berdasarkan pada hasil perhitungan dan penelitian. B. Studi Kasus Pemberdayaan Tanah Wakaf Strategis Studi kasus ini merupakan perumpamaan dalam pemberdayaan tanah wakaf yang berada dalam wilayah yang sangat strategis secara ekonomi. Sebagai sebuah kasus perumpamaan yang akan dijadikan contoh dalam pemberdayaan tanah-tanah wakaf strategis di seluruh pelosok nusantara, sebelumnya kami mohon maaf terlebih dahulu kepada pihak-pihak yang merasa kurang berkenan terhadap beberapa aspek yang dijadikan ukuran dan standar pengembangan tanah wakaf yang berada di sekitar Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Ukuran dan standar pengembangannya berdasarkan pengamatan yang bersifat sekilas sehingga dimungkinkan adanya sebuah analisa atau perkiraan yang kurang akurat (kurang pas), baik dari segi sosial-ekonomi maupun alasan keagamaan yang terkait dengan wakaf. Di atas tanah wakaf tersebut berdiri sebuah Masjid Jami’ berlantai dua, dan sekitarnya ada bangunan lembaga pendidikan yang dikelola oleh yayasan. Melihat dari lokasi yang berada dalam wilayah yang sangat strategis secara ekonomi, seharusnya tanah wakaf tersebut bisa diberdayakan secara optimal, sehingga nazhir wakaf akan 119 memperoleh keuntungan yang berlipat ganda demi kesejahteraan masyarakat banyak. a. Latar Belakang Tanah wakaf yang di atasnya berdiri sebuah masjid berlantai dua dan bangunan lembaga pendidikan Islam tersebut berada dalam wilayah yang sangat strategis secara ekonomi. Potret lokasi tanah wakaf itu sangat dekat dengan kawasan perkantoran dan pusat bisnis segitiga emas, yaitu Kuningan, Sudirman dan Thamrin. Apalagi di sekitar lokasi tanah tersebut berdiri beberapa bangunan bisnis megah seperti Bank Global, Bank Subentra, Argo Manunggal, Hotel Kartika Chandra, Plaza Kanindo, Saudi Air Lines, Widya Chandra, Gedung Telkom dan lain-lain. Melihat dari jenis gedung-gedung bisnis dengan karakteristik usaha yang ada di sekitar tanah wakaf tersebut merupakan mesin uang yang sangat besar dan merupakan sumber pendapatan ekonomi yang luar biasa. Oleh karena itu, pemberdayaan tanah wakaf tersebut dengan membuat sebuah rancangan gedung bisnis Islami (Wakaf Centre) berlantai 10+ yang memiliki level setara dengan gedung-gedung yang berada di sekitarnya di bawah naungan nazhir wakaf profesional menjadi sebuah keniscayaan. Sebagai sebuah perbandingan kasar tanpa bermaksud menilai atau memperkiraan kondisi yang sesungguhnya, menurut hitung-hitungan ekonomi, yayasan (nazhir wakaf) tentu mengalami kesulitan pendanaan, atau minimal belum memiliki sumber finansial yang bisa diandalkan dalam pengembangan yayasan dengan segala program-program dakwah dan idealismenya. 120 Sebagai sebuah contoh: dengan kondisi tanah wakaf yang hanya didirikan masjid dan lembaga pendidikan Islam, nazhir wakaf diperkirakan mendapatkan pemasukan dana perawatan, pemeliharaan dan penyelenggaraan pendidikan “hanya” 10% yang diperoleh dari peredaran kotak amal setiap sholat Jum’at ditambah lagi dari sumber dana lain yang tidak terikat seperti sumbangan donator, penyewaan ruko milik yayasan (kalau ada) sebesar 30%. Sehingga kalau dijumlah secara total, pendanaan yang akan diterima oleh nazhir dari seluruh kebutuhan primer setiap bulannya, seperti kebutuhan listrik, gaji marbot, gaji para ustad (khatib), gaji guru di lembaga pendidikan tersebut, gaji pengurus yayasan, perawatan alat-alat masjid, telepon, PAM dan program dakwah lainnya “hanya” puas dengan 40%. Bagaimana dengan sisa kekurangan dana sebesar 60% untuk menutupi devisit setiap bulannya? Biasanya nazhir wakaf sering mengedarkan proposal bantuan dana kepada para donatur yang peduli terhadap dakwah Islam, atau bahkan nazhir wakaf yang seharusnya pantas mendapatkan upah bulanan, terpaksa mengeluarkan dana dari kontong sendiri. Melihat dari kondisi obyektif di atas, pemberdayaan tanah wakaf di atas dengan berbasis pada pertimbangan ekonomi di sekitar lokasi menjadi keniscayaan. Bahkan jika upaya pemberdayaan betul-betul dilaksanakan, maka diperkiraan nazhir wakaf akan memperoleh keuntungan yang sangat besar yang diperkirakan mencapai lebih 300 % 400% dari anggaran pembiayaan yang ditetapkan setiap bulannya, dibandingkan dengan kondisi saat ini. Maka secara ekonomi, nazhir wakaf tidak terkena beban sisa seperti 121 kekurangan biaya operasional. Uraian keuntungan ekonominya dapat dijabarkan sebagai berikut : Nazhir wakaf yang professional tidak perlu bersusah payah mencari dana dengan mengajukan berbagai proposal bantuan dan mengedarkan kotak amal di jalanjalan yang sering memalukan Islam secara umum untuk pembangunan masjid. Karena pendapatan dari hasil pengelolaan tanah wakaf ini sangat menguntungkan dengan jumlah yang sangat besar, maka biaya operasional setiap bulan seperti : biaya listrik, air PAM, telpon, gaji marbot, maintenance alat-alat dan bangunan masjid, perbaikan sarana dan prasarana masjid dapat dipenuhi secara mudah, bahkan sangat surplus. Dengan kondisi keuangan yang sangat bagus, maka nazhir wakaf dapat mengembangkan sayap dakwah melalui kakuatan dana yang cukup, seperti : santunan musafir, yatim-piatu, fakir miskin dan kaum lemah lainnya, beasiswa, pendidikan bermutu dengan biaya murah, penyediaan modal pengusaha kecil dan sebagainya. Dengan sendirinya, tanah wakaf yang dikelola secara professional ini akan menciptakan lapangan kerja baru, menyejahterakan para pengurus, ustad, kyai dan pihakpihak yang terkait dengan gaji yang layak. Dengan demikian, perjalanan dakwah Islamiyah yang diselenggarakan pengurus Yayasan akan dapat berlangsung dengan baik, citra Islam semakin positif, mengurangi 122 pengangguran terampil, pemberdayaan masyarakat sekitar tanah wakaf (masyarakat yang tinggal di sekitar Jl. Gatot Subroto dan lainnya). b. Aspek Pemasaran Berdasarkan analisis yang tidak terlalu detail, keberadaan gedung Wakaf Centre berlantai 10 dengan tetap membangun masjid tanpa mengurangi luas masjid sebelumnya sesuai dengan peruntukan yang diinginkan oleh wakif di atas tanah wakaf yang berlokasi di sekitar Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan tersebut akan memiliki peluang pasar (market space) yang tinggi. Bahkan jika gedung tersebut sudah berdiri, maka aspek pemasaran untuk disewakan kepada para enterpernuer dalam banyak bidang usaha akan sangat cepat laku (mendapat respon pasar). Pertimbangan para calon pengusaha yang ingin menyewa tempat tersebut didasarkan pada beberapa alasan strategis, yaitu: Dekat dengan pusat perkantoran bisnis segitiga emas Kuningan-Sudirman-Thamrin yang memiliki potensi ekonomi tinggi; Berada dalam kawasan lalu lintas yang mudah dijangkau oleh semua arah jalan; Terbukanya aspek komunikasi nilai antara kepentingan bisnis dengan aspek ajaran keagamaan (tanah wakaf) yang berarti akan menjadi sebuah potensi pasar yang mudah direspon secara positif oleh masyarakat muslim Indonesia yang mayoritas. 123 Oleh karena itu, pembangunan gedung usaha lantai 10+ yang berwawasan Syariah yang bernilai setara dengan gedung-gedung sekitar, secara peluang pasar (market space) sangat menjanjikan. c. Aspek Teknis Didasarkan pada perkiraan makro yang mengacu pada pertimbangan besarnya biaya pemberdayaan tanah wakaf tersebut, pembangunan gedung usaha berwawasan Syariah berlantai 10+ ini membutuhkan investasi jangka menengah yang bisa diperoleh dari para investor, dana wakaf tunai atau pinjaman dari perbankan Syariah. Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh nazhir wakaf adalah membuat proposal pengembangan benda wakaf berdasarkan aspekaspek kepatutan Syariah, musyawarah dengan wakif, menjalin kemitraan dengan lembaga-lembaga terkait lainnya, agar proses pemberdayaan tanah wakaf tersebut tidak mengalami hambatan, baik bersifat sosial-ekonomi, paham keagamaan, maupun psiko-politis. c.1. Kebutuhan investasi Kebutuhan investasi yang akan digunakan dalam pembangunan gedung berlantai 10+ berwawasan Syariah ini hanya berupa bangunan (kontruksi) berdasarkan standar perhitungan yang lazim digunakan dalam membangun gedung-gedung serupa di sekitar wilayah-wilayah strategis. Tanah wakaf yang akan dibangun diasumsikan seluas 550 M2. Yang dimaksud gedung berlantai 10+ adalah: Gedung 10 lantai disewakan kepada calon pengusaha yang akan menempatinya; 124 Yang dimaksud plus (+) disini adalah bangunan masjid dan kantor pengelola wakaf (nazhir) yang memiliki kualitas lebih baik dibandingkan dengan bangunan masjid sebelumnya, baik dari segi arsitektur, perlengkapan ibadah maupun fasilitas lainnya. Namun, menurut perhitungan investasinya, masjid tersebut dimasukkan ke dalam perhitungan harga secara makro. Adapun perhitungannya sebagai berikut: Kebutuhan investasi Gedung 10 lantai Masjid 2 lantai dan kantor nazhir wakaf Parkir luar Basement parkir Total Investasi Luas dan harga/Mater 20 M x 20 M x 2 juta x 10 lantai 20 M x 20 M x 2 juta x 2 lantai 20 M x 7,5 M x 500 ribu Jumlah Rp. 8 Milyar Rp. 1,6 Milyar Rp. 75 Juta Rp. 225 Juta Rp. 9,9 Milyar Dari total investasi yang berjumlah Rp. Rp. 9,9 Milyar, maka perhitungan bisnis yang akan dijadikan patokan adalah hitungan harga per-lantai yang didapatkan dari pembagian seluruh pembiayaan dengan harga sepuluh lantai yang diasumsikan harga sama rata, yaitu Rp. 9,9 Milyar dibagi 10 (lantai) = Rp. 990 juta per-lantai. c.2. Sumber modal Sumber modal untuk membiayai seluruh proses pembangunan gedung tersebut didapatkan dari: Pengumpulan dana dari Sertifikat Wakaf Tunai (SWT) sebesar 25% (Rp. 2,475 M) Investor dari lembaga lain sebesar 50% (Rp. 4,950 M) 125 Pinjaman kredit dari perbankan Syariah sebesar 25% (Rp. 2,475 M) d. Perkiraan Benefit Perkiraan benefit yang akan didapatkan dari usaha pemberdayaan tanah wakaf ini dihitung dengan asumsi sebagai berikut: Luas tanah : 550 M2 Bangunan gedung disewakan : 10 lantai Masjid dan kantor nazhir : berada di lt. 2 dan 3 Luas bangunan : 20 M x 20 M x 10 = 4000 M2 Area parkir : 20 M x 7,5 M = 150 M2 Biaya pembangunan per-lantai : Rp. 990 juta Harga sewa per-lantai/thn : Rp. 1 jt x 400M = 400 jt Harga sewa seluruh lantai/thn : Rp. 400 Juta x 10 (lantai) = Rp. 4 Milyar Untuk menghitung Break Even Point (BEP) bisa dilakukan dengan: Total investasi Rp 9,9 Milyar 2,475 tahun Sewa gedung per - tahunRp 4Milyar Jadi, pengembalian modal (BEP) akan didapat dalam jangka waktu 2,475 tahun (kira-kira 2,5 tahun). Pengelolaan usaha selebihnya tergantung dari sistem kerja sama yang akan disepakati. e. Sistem Kerja sama 126 Sistem kerja sama yang akan digunakan dalam proyek pemberdayaan tanah wakaf ini menggunakan sistem musyarakah dalam jangka waktu tertentu. Yaitu, sistem kongsi bisnis saling menguntungkan antara penanam modal dengan pemilik tanah (nazhir wakaf) yang dibatasi oleh jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan bersama. Setelah para pemilik modal mendapatkan target keuntungan sebagaimana disepakati dalam perjanjian (MoU), maka kendali usaha (manajemen) dan segala kekayaan gedung harus dikembalikan kepada pihak nazhir wakaf sebagai pemilik asal. Kemudian, berdasarkan perhitungan dimana target BEP hanya diperoleh dalam jangka waktu 2,5 tahun, maka untuk sistem musyarakah disepakati selama 5 tahun, dengan asumsi keuntungan setelah tercapainya BEP dibagikan secara rata kepada para pemilik modal sesuai dengan porsi penyahaman yang ada, yaitu nazhir wakaf tunai sebesar 25%, investor dari lembaga lain sebesar 50% dan perbankan Syariah sebesar 25%. Selama masa perjanjian berlangsung (5 tahun), kendali usaha dipegang oleh pemegang saham terbesar (investor lembaga usaha) dengan menerapkan sistem manajemen terbuka (transparan) dan bertanggung jawab. Setiap tahun, pihak pengelola usaha memberikan laporan secara resmi kepada para pemilik saham dan pengelola wakaf (nazhir). Biaya-biaya pemeliharaan gedung selama masa perjanjian berjalan menjadi tanggung jawab pengelola (pemegang saham mayoritas), termasuk perawatan masjid dan fasilitas pendukung. 127 Sebagai sebuah upaya antisipasi agar usaha pemberdayaan tanah wakaf dapat diselamatkan jika terjadi lost, maka pihak pengelola, baik pengelola sementara (pemegang saham mayoritas dalam masa perjanjian) atau pemilik asal (nazhir wakaf), harus mengasuransikan gedung tersebut kepada pihak lembaga Asuransi Syariah. Selain sistem kerja sama yang terkait dengan manajemen usaha, yang harus juga disepakati oleh pihak pengelola sementara adalah peruntukan usaha yang akan disewakan kepada calon pengusaha. Tentu saja syarat usaha yang bisa menempati gedung tersebut adalah usaha-usaha yang jelas-jelas tidak bertentangan dengan semangat wakaf (Syariat Islam), karena wakaf itu sendiri diperuntukkan kepada wilayah-wilayah kebajikan. Contoh-contoh usaha yang dapat memanfaatkan gedung tersebut antara lain adalah: Restoran yang menyajikan makanan halal Usaha travel dan penjualan jasa tiket Biro haji dan umroh Perbankan dan Asuransi Syariah Kantor hukum (law office) Kantor Notaris Klinik dan Praktek dokter Jasa photo copy, penjilidan dan laminating Wartel dan warnet Salon kecantikan Butik dan galeri seni Mini market Usaha penitipan kilat Penerbit buku 128 Kantor konsultan manajemen Dll. f. Kesimpulan Berdasarkan pada hasil kajian dan perhitungan, baik dari latar belakang, aspek pasar, aspek teknis, perkiraan benefit dan sistem kerja sama yang diterapkan menunjukkan bahwa upaya pemberdayaan tanah wakaf yang terletak di sekitar Jl. Gatot Subroto tersebut sangat feasible untuk dikerjakan. Bahkan kalau dilihat dari perkiraan benefit, pencapaian modal kerja (BEP) relatif sangat singkat dan dalam jangka waktu hanya 2,5 tahun, dan dalam perjanjian 5 tahun para pemilik modal sudah mendapatkan keuntungan yang cukup besar. Yang tidak kalah pentingnya, dalam kurun waktu sekitar 5 tahun, pihak nazhir wakaf sudah mendapatkan gedung berlantai 10 plus masjid dengan segala fasilitas lebih baik dibandingkan dengan masjid sebelumnya, dan pihak nazhir wakaf memiliki kantor yang representatif di tengah-tengah kota dan kawasan perkantoran bisnis. Tentu saja, dalam waktu yang tidak terlalu lama setelah penyerahan gedung oleh pemilik modal mayoritas, nazhir wakaf akan mendapatkan keuntungan bisnis yang cukup besar untuk kemudian dialokasikan kepada kepentingan-kepentingan agama, seperti pendidikan gratis, santunan yatim piatu, jaminan kesehatan bagi kaum dhuafa, pemberdayaa ekonomi dan lain sebagainya. Disamping itu juga nazhir wakaf dapat mengembangkan sayap bisnis yang lain, sehingga harta wakaf akan terus berkembang dan menjadi 129 ujung tombak kesejahteraan masyarakat banyak, khususnya umat Islam. Studi kasus pemberdayaan tanah wakaf strategis di atas merupakan hasil dari sinergi antara Sertifikat Wakaf Tunai (SWT), lembaga permodalan dan perbankan Syariah. Dilihat dari potensi tanah-tanah wakaf stategis, diperkirakan ada sekitar 5 sampai 10 lokasi di setiap propinsi di seluruh wilayah Indonesia. Demikian juga diperkirakan tak kurang dari 10 lokasi strategis yang dimiliki di setiap kabupaten. Jika tanah-tanah wakaf strategis tersebut diberdayakan secara profesional dan amanah sebagai proyek percontohan, maka kita bisa memprediksikan akan memiliki dampak yang sangat positif bagi kesejahteraan ekonomi bangsa. C. Model-model Desain Usaha Rencana desain usaha yang bisa dilakukan dalam pemberdayaan tanah-tanah strategis adalah dengan mempelajari seluruh aspek wilayah dimana tanah wakaf berada, sehingga dapat direncanakan desain-desain usaha yang relevan dengan misi perwakafan. Berikut ini diuraikan beberapa model desain usaha: 1. Pusat perdagangan : ada masjid di dalamnya terdapat perkantoran, bank, ruang serbaguna, restoran, money changer, swalayan, foto copy, wartel, parkir dan sarana lain. 2. Pinggir jalan raya/protokol : ada masjid, pertokoan, pompa bensin, bank, perkantoran, ruang sebaguna, foto copy, wartel, apartemen, hotel dll. 130 3. Pusat Pemerintahan : ada masjid, bank, swalayan, restoran, losmen, ruang serbaguna, foto copy, penjilidan,money changer, dll. 4. Rumah sakit : ada masjid, pertokoan, restoran, wartel, losmen, bank, apotik, toko buku, foto copy, wartel dan lain-lain. 5. Kampus : ada masjid, pertokoan, bank, restoran, asrama mahasiswa, wartel, perpustakaan, foto copy, penjilidan dan rental computer, kantor beasiswa, pusat arsitektur, ruang serbaguna, pusat olah raga dll. 6. Pesantren: ada masjid, pertokoan, restoran, asrama santri, perpustakaan, foto copy, toko buku & kitab dan tempat belajar, ruang serbaguna, pusat olah raga, wartel, poliklinik, dll. 7. Airport/pelabuhan laut : ada masjid, super market, bank, restoran, wartel/warnet, hotel, tempat parkir, money changer, toko souvenir, art shop dan toko buku dll. 8. Pusat Pariwisata : ada masjid, restoran, fasilitas rekreasi, hotel, wartel/warnet, mini market, toko buku, toko sovenir/kerajinan tangan, pusat olah raga, galery, production house, art shop dll. 9. Pasar modern/tradisional : ada masjid, restoran, bank perkreditan, gudang, ruko, losmen, expedisi, peragenan, wartel dan lain-lain. 10. Stasiun Kereta Api, Terminal Bus : ada masjid, penginapan, bank, restoran, wartel, agen tiket (travel), toko buku, expedisi dan lain-lain. 131 11. Kawasan industri : ada masjid, restoran, bank, losmen, wartel, poliklinik, toko buku, foto copy, toko buah, expedisi, dll. 12. Mall/Swalayan : ada masjid, restoran, bank syari’ah, , wartel, money changer, foto copy/penjilidan, lapangan parkir dll. 13. Pinggir jalan tol : ada masjid, pompa bensin, peristirahatan, restoran, wartel, toko sovenir dan toko buah, bengkel dll. 14. Real Estate (komplex perumahan): ada masjid, swalayan, bank, restoran, madrasah, pendidikan umum dari TK s.d. Perguruan Tinggi, perpustakaan, ruang serbaguna, poliklinik, pertokoan, art shop, toko buku, foto copy, pusat arsitektur, production house, pusat olah raga, sanggar seni Islami, notaris, bengkel, studio foto LBH dll 132 Daftar Pustaka A. Karim, H. Adiwarman, Ir, SE, MBA, MAEP, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: GIP, 2001 Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah Sebagai Pengelola Wakaf, (Makalah Workshop Internasioanl, “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002), Tidak Diterbitkan. Antonio, Muhammad Syafi’i, Cash Waqf dan Anggaran Pendidikan Umat, Yogyakarta: Seminar Wakaf Tunai PH Badan Wakaf UII, 13 September, 2003 Chirzin, M. Habib, Drs., Wakaf Sektor Ketiga sebagai Sumber Pembangunan Umat: Jaringan dan Kerjasama, (Makalah Workshop Internasional, “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002), tidak diterbitkan. Ibrahim, H.M. Yacob, Studi Kelayakan bisnis, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, Juni, 2003 Kahf, Monzer, Finacing the Development of Aqaf Properti, Kuala Lumpur: Irti, 1998. Mannan, M. Abdul, Prof., M.A., Ph.D, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, (terjamahan), Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1997 133 Muhammad, Abu As-Su’ud, Risalatu fi Jawazi Waqfi AnNuqud, Beirut; Dar Ibn-Hazm, 1997 Nasution, Mustafa E., Wakaf Tunai: Strategi untuk Menyejahterakan dan Melepaskan Ketergantungan Ekonomi, (Makalah Workshop Internasional, “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002), tidak diterbitkan. Pewawataatmadja, H. Karnaen A., Alternatif Investasi Dana Wakaf, (Makalah Workshop Internasioanl, “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produktif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002), Tidak Diterbitkan. Thohirin, Achmad, Kontribusi Pengembangan Wakaf (Tunai) di Indonesia, Yogyakarta: Simposium Nasional I Sistem Ekonomi Islami, Mei, 2002 Thohirin, Achmad, Model Wakaf Tunai Sebagai Instrumen Pendukung Pengembangan Pendidikan di UII, Yogyakarta: Seminar Wakaf Tunai PH Badan Wakaf UII, 13 September, 2003 Tim Penyusun Buku, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, Jakarta: Depag RI, 2003 ______, Fiqih Wakaf, Jakarta: Depag RI, 2003 134 ______, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, Jakarta: Depag RI, 2003 ______, Perkembangan Penelolan Wakaf di Indonesia, Jakarta: Depag RI, 2003 ______, Sertifikat Wakaf Tunai, Sebuah Inovasi Keuangan Islam (terjemahan), Jakarta: CIBER dan PKTTI UI, 2002. Tim Penyusun Perbankan Syari’ah Bank Indonesia, Peranan Bank Syari’ah dalam Wakaf Tunai, Makalah Seminar : Wakaf Tunai – Inovesi Islam : Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial, (Jakarta : Program Pasca Sarjana UI-PKTTI), November, 2001 . 135 . 136 Keputusan Fatwa KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Tentang WAKAF UANG Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia setelah MENIMBANG : A. Bahwa bagi mayoritas umat Islam Indonesia, pengertian wakaf yang umum diketahul, antara lain, adalah yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut disalurkan pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada,” (al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh aI-Minhaj, [Dar aI-Fikr, 1984], juz V, h. 357; al Khathib a1-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, [ Dar al-Fikr, t,th},juz 11, h.376 atau “Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam” dan “Benda wakaf adalah segala benda, baik bergerak atau tidak bergerak, yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut 137 ajaran Islam (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bukuk III, Bab I, Pasal 215, (1) dan (4)). sehingga atas dasar pengertian tersebut, bagi mereka hukum wakaf uang (waqf a1-nuqua cash wakaf) adalah tidak sah B. Bahwa wakaf uang memiliki fleksibilitas (keluwesan) dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki oleh benda lain C. bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum wakaf uang untuk dijadikan pedoman oleh masyarakat MENGINGAT 1. Firman Allah SWT: . "Kamu sekalian tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS. All Imran [3]: 92). 2. Firman Allah SWT 138 “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap -tiap bulir: seratus biji Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki Dan Allah Maha Luas (kurnia lagi Maha Mengetahui). Orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. al-Baqarah [ 261-262). 3. Hadis Nabi SAW: 4803 4924 4923 9323 "Diriwayatkan dari Abu Huralrah r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda; “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah (wakaf), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya” (H.R. Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa`i, dan Abu Daud.) 139 4. Hadis Nabi SAW: 4809 4934 9949 4921 "Diriwayatkan dan Ibnu Umar r. a. bahwa Umar bin al Khathab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada Nabi s.a.w untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah Saya memperoleh tanah di Khaibãr; yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut; apá perintah Engkau (kepadaku) mengenainya?” Nabi s.a.w. menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya. Ibnu Umar berkata “Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasilnya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (basil) tanah itu secara ma ‘ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik 140 Rawi berkata “Saya menceritakan hadis tersebut kepada Ibnu Sirin, lalu Ia berkata ‘ghaira mutaatstsilin malan' (tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik). (H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi dan al-Nasa’). 5. Hadis Nabi SAW: 4931 "Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.; Ia berkata Umar r.a. berkata kepada Nabi SAW, “Saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.” Nabi s.aw. berkata “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan buahnya pada sabilillah. “(H.R. al-Nasa’ i). 6. Jabir r.a. berkata 497 0 471 9 "Tak ada seorang sahabat Rasulpun yang memiliki kemampuan kecuali berwakaf” (lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damsyik: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h 157; al-Khathib a1-Syarbini Mughni al-Muhtaj, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], juz II, h. 376 141 MEMPERHATIKAN : 1. Pendapat imam al-Zuhri (w. 124 H.) bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf ‘alaih (Abu Su’ud Muhammad, Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, [Beirut: Dar Ibn-Hazm, 1997], h. 20-21). 2. Mutaqaddimin dari ulama mazhab Hanafi (lihat Wahbah al Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damsyik: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h. 162). Membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi, berdasarkan atsar Abdullah bin Mas’ud r.a 4340 Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk 3. Pendapat sebagian ulama mazhab al-Syafi’i Abu Tsaur rneriwayatkan dari Imam al-Syafi’i tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)” (al-Mawardi alHawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, [Beirut: Dar al Fikr, 1994], juz IX, h. 379.) 142 4. Pandangan dan pendapat rapat Komisi Fatwa MUI pada hari Sabtu, tanggal 23 Maret 2002, antara lain tentang perlunya dilakukan peninjauan dan penyempurnaan (pengembangan) definisi wakaf yang telah umum diketahui, dengan memperhatikan maksud hadis, antara lain, riwayat dari Ibnu Umar (lihat konsideran mengingat [nomor 4 dan 3 di atas: 5. Pendapat rapat Komisi Fatwa MUI pada Sabtu, tanggal 11 Mei 2002 tentang rumusan definisi wakaf sebagai berikut yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada" 6. Surat Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag, (terakhir) nomor Dt.1. III/5/BA.03.2/2772/2002, tanggal 26 April 2002 143 MEMUTUSKAN Menetapkan : FATWA TENTANG WAKAF UANG Pertama : 1. Wakaf Uang (Cash WakaflWaqf alNuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai 2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga 3. Wakaf Uang hukumnya jawaz (boleh). Kedua 4. Wakaf Uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal- hal yang dibolehkan secara syar’iy. 5. Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan. : Fatwa ini berlaku sejak ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di Tanggal 144 Jakarta :28 Shafar 1423 H 11 Mei 2002 M KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA 145 SURAT KEPUTUSAN PENINGKATAN PEMBERDAYAAN WAKAF NOMOR: 02/PPW/III/ 2004 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN BUKU “STRATEGI PENGEMBANGAN WAKAF TUNAI DI INDONESIA” Pengarah : Drs. H. Tulus Ketua : Drs. H. Achmad Djunaidi Sekretaris : H. Asrory Abdul Karim, SH, MH. Anggota : 1. Hj. Budiarti, SH 2. Drs. H. Yumul Mayeswin 3. Thobieb Al-Asyhar, S. Ag. 4. HM. Cholil Nafis, Lc, MA 5. H. Achmad Mu’thi Shofieq, S. Ag. 6. H. Damiri, BA. 7. H. Mahmud Fauzi Ditetapkan di Jakarta Pada Tanggal 3 Maret 2004 PIMPINAN PROYEK Drs. H. Ma’ruf NIP. 150 182 847 146