bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perjanjian memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia.
Perjanjian merupakan suatu sarana manusia untuk menampung segala aktivitas
gerak dan bisnis di antara mereka dengan bentuk yang lebih menjamin akan hakhak dan kewajiban diantara mereka. Jaminan akan hak dan kewajiban diwujudkan
dalam suatu perjanjian dengan bentuk tertulis, memberikan ketegasan dan
kejelasan maksud masing-masing para pihak dan memberikan kepastian bahwa
para pihak yang membuat perjanjian itu memang harus tunduk untuk
melaksanakannya dengan itikad baik dan konsekuen. Perjanjian dalam hal ini
adalah suatu perjanjian yang memiliki akibat hukum, jika dilanggar akan
menimbulkan konsekuensi tertentu1.
Fungsi dari suatu perjanjian tertulis yang memegang peranan penting dalam
pemenuhan maksud tujuan dari para pihak diuraikan secara jelas oleh Atiyah.
Dilihat dari pentingnya fungsi tersebut, maka Atiyah memberikan penekanan atau
titik berat perhatiannya pada pelaksanaan dari sebuah perjanjian tertulis.
1
Di Indonesia terdapat beragam istilah untuk penyebutan perjanjian,
diantaranya persetujuan dan kontrak. Penggunaan istilah persetujuan timbul akibat
adanya beragam istilah terhadap perjanjian itu sendiri. Istilah perjanjian sering
disebut juga dengan persetujuan, yang berasal dari bahasa Belanda yakni
overeenkomst. Istilah kontrak juga digunakan di samping istilah persetujuan yang
memiliki arti yang mengacu pada perjanjian. Dalam penulisan ini
mempergunakan istilah perjanjian.
1
2
Menurut Atiyah bahwa pelaksanaan sebuah perjanjian merupakan tujuan dari
hukum perjanjian dengan alasan sebagai berikut2:
The purpose of contract law is to encourage people to pay their debts, keep the
promises, and generally be truthful in their dealings with each other. The
enforcement of contracts, like the protection of property and the punishment of
crime, is thus perceived as important primarily for its deterrent or hortatory
purpose.
(Tujuan hukum kontrak adalah untuk mendorong orang agar membayar hutang
mereka, menjaga janji, dan berlaku jujur dalam hubungan mereka satu sama
lain. Penegakan kontrak, sama seperti perlindungan terhadap hak milik dan
hukuman kejahatan, tujuan tersebut dianggap penting terutama untuk tujuan
pencegahan).
Atiyah menjelaskan bahwa fungsi dari hukum perjanjian adalah untuk
mendorong orang agar membayar hutangnya, menjaga agar janjinya dilaksanakan,
yang secara umum memaksa orang untuk berlaku jujur terhadap orang lain.
Pelaksanaan suatu perjanjian, sama pentingnya dengan perlindungan harta
kekayaan dan penetapan sanksi pidana bagi suatu kejahatan. Atiyah menyamakan
pentingnya fungsi dari suatu perjanjian dengan perlindungan terhadap harta
kekayaan dan pemberian sanksi pidana bagi suatu kejahatan.
Pendapat Atiyah mengenai pentingnya pelaksanaan suatu perjanjian juga
tersirat dalam definisi perjanjian yang diberikan oleh E.Allan Farnsworth.
Menurut E.Allan Farnsworth bahwa “The term of contract is used in a more
technical sense to mean a promise, or set a promises, that the law will enforce or
at least recognize in some way.”(suatu perjanjian dikatakan sebagai janji, atau
kumpulan janji-janji yang pelaksanaanya dapat dipaksakan oleh hukum atau
2
P.S.Atiyah, 2001, Essays On Contract, Clarendon Press, Oxford, hal.15.
3
setidaknya diakui oleh hukum)3. Dalam definisi tersebut terdapat dua kata kunci
yang penting yakni janji dan pelaksanaanya.
Fungsi suatu perjanjian yang begitu penting dalam pemenuhan maksud para
pihak, dalam perjalanannya bisa terhenti/gagal, salah satu penyebabnya adalah
karena batalnya perjanjian. Penyebab batalnya perjanjian bermacam-macam, salah
satunya adalah
karena telah terpenuhinya syarat batal yang diatur dalam
perjanjian itu sendiri. Perjanjian yang mencantumkan syarat batal merupakan
suatu jenis perikatan yang bersyarat.
Perikatan bersyarat adalah lawan dari perikatan murni, yaitu perikatan yang
tidak mengandung syarat. Pengertian dari syarat perjanjian itu sendiri menurut
Muhammad Syaifuddin adalah “Syarat yang menentukan daya kerja dari
perikatan, atau peristiwa itu sendiri atau tidak terjadinya suatu peristiwa yang
mengakibatkan menangguhkan atau membatalkan perikatan”.4 Adanya peristiwa
(syarat) dalam perikatan tidak memerlukan pernyataan tegas dari para pihak yang
membuat perjanjian.
Pendapat dari beberapa sarjana mengartikan atau menyamakan perikatan
bersyarat dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Menurut J.Satrio5 bahwa perikatan
bersyarat mengandung arti perikatannya yang bersyarat, bukan perjanjiannya,
sehingga jika ditemukan adanya perjanjian bersyarat maka harus ditafsirkan
3
E.Allan Farnsworth, 1999, United States Contract Law, Revised Edition,
Juris Publishing, United States of America, hal.1.
4
Muhammad Syaifuddin, 2012, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam
Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum
Perikatan), Mandar Maju, Bandung, hal.439.
5
J.Satrio, 1999, Hukum Perikatan Perikatan pada Umumnya, Alumni,
Bandung, (selanjutnya disebut J.Satrio I), hal.280.
4
sebagai perjanjian yang melahirkan perikatan-perikatan yang bersyarat. Pendapat
dari Munir Fuady,
yakni
suatu
perjanjian
yang pelaksanaannya
atau
pemberhentian pelaksanaannya bergantung pada suatu faktor tertentu yang belum
tentu akan terjadi di masa yang akan datang6.
Terdapat perbedaan antara penekanan para sarjana tersebut di atas yang
menekankan titik utama perikatan bersyarat pada prestasi atau pelaksanaannya,
dengan apa yang terdapat dalam Pasal 1253 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (selanjutnya disingkat KUHPer). Pasal 1253 KUHPer memberikan
pengertian kepada perikatan bersyarat sebagai suatu perikatan yang digantungkan
pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan belum tentu terjadi, baik secara
menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa yang disyaratkan, maupun
secara membatalkan perikatn jika terjadinya peristiwa yang disyaratkan tersebut.
Dengan demikian, KUHPer mengartikan perikatan bersyarat dalam arti yang
sempit, karena syarat yang dimaksudkan adalah suatu peristiwa yang mungkin
akan terjadi dan bersifat belum pasti.
Peristiwa yang pasti akan terjadi seperti kematian atau tibanya waktu
tertentu, yang sudah pasti akan terjadi, bukan merupakan syarat sebagaimana
dimaksudkan oleh KUHPer. KUHPer menganut perikatan bersyarat dalam paham
yang sempit, maka perikatan dengan ketetapan waktu tidak dianggap sebagai
perikatan bersyarat oleh pembentuk undang-undang7.
6
Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis)
Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung,(selanjutnya disebut Munir Fuady I),
hal.103.
7
Ibid.
5
Perikatan bersyarat dibagi dua yakni syarat tangguh/ tunda dan syarat batal.
Pembagian perikatan tersebut memiliki konsekuensi hukum yang berbeda pula.
Perikatan dengan syarat tangguh adalah peristiwa yang lahirnya tergantung pada
suatu peristiwa yang belum tentu terjadi, contohnya perjanjian jual beli rumah
antara pengembang dengan konsumen, artinya jika rumah belum selesai dibangun
oleh pihak pengembang, maka perjanjian itu belum terjadi walaupun harga dan
barang sudah disepakati, sebaliknya perikatan dengan syarat batal merupakan
suatu perikatan yang sudah ada dan berakhirnya digantungkan pada terjadinya
suatu peristiwa yang disebut sebagai suatu syarat batal.
Perikatan dengan syarat tangguh diberikan makna oleh kalimat pertama
Pasal 1263 KUHPer dengan karakteristik bahwa perikatan digantungkan kepada
peristiwa tertentu yang belum tentu terjadi, atau peristiwa tersebut sudah terjadi
tetapi belum diketahui oleh para pihak, dan perikatan tidak dapat dilaksanakan
sebelum peristiwa tersebut terjadi. Berdasarkan kalimat pertama Pasal 1264
KUHPer, dalam perikatan dengan syarat tunda maka penyerahan barang objek
perikatan baru dianggap terjadi pada saat terjadinya peristiwa yang menjadi syarat
tersebut, sehingga resiko kehilangan barang sebelum penyerahannya kepada pihak
lain menjadi tanggungan pihak debitur sendiri.
Perikatan dengan syarat batal dimaknai dalam Pasal 1265 KUHPer, dengan
menekankan pada arti dari syarat batal yakni apabila syarat batal dipenuhi maka
akan menghentikan perikatan dengan membawa kembali segala sesuatu pada
keadaan semula seolah-seolah tidak pernah ada perikatan. Dalam hal ini syarat
batal tidak menangguhkan pemenuhan perjanjian, akan tetapi hanya mewajibkan
6
si kreditur untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya jika syarat/peristiwa
yang dimaksudkan benar-benar terjadi.
Perikatan bersyarat, diatur dalam Buku Ketiga mengenai Perikatan, bagian 5
Tentang Perikatan Bersyarat, yakni dalam Pasal 1253-1267 KUHPer. Perikatan
dengan syarat batal diatur dalam Pasal 1265 sampai Pasal 1267 KUHPer. Syarat
batal yang dimaksud berdasarkan Pasal 1265 KUHPer hanya terdapat dalam
perjanjian timbal balik, yakni perjanjian yang melahirkan kewajiban di satu pihak
dan hak di pihak lainnya
Berdasarkan Pasal 1266 KUHPer yang mengatur mengenai syarat batal
bahwa;
Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang
bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, akan tetapi
pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak
dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam persetujuan.
Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka Hakim dengan
melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka
waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih
dari satu bulan.
Dari ketentuan Pasal 1266 KUHPer, dapat dilihat bahwa undang-undang
memberlakukan prestasi dari para pihak dalam suatu perjanjian timbal balik
sebagai syarat batal bagi pihak lainnya, yang artinya jika prestasi tidak
dilaksanakan maka perjanjian dianggap batal, sehingga pihak lain tidak perlu
berprestasi, atau jika pihak lain sudah berprestasi, prestasi tersebut dapat
dibatalkan, karena perjanjian sudah menjadi batal. Syarat batal ini tetap dianggap
ada walaupun para pihak tidak mencantumkan klausulanya secara tersendiri dalam
suatu perjanjian.
7
KUHPer menekankan pada prestasi dalam perjanjian yang timbal balik
disamakan dengan syarat batal, yang dalam hal ini merupakan syarat batal yang
konstruktif. Syarat konsktruktif adalah suatu syarat yang secara factual tidak
pernah disetujui oleh para pihak, tetapi oleh hukum dianggap dan diperlakukan
sebagai syarat yang seolah-olah telah disetujui untuk mencapai keadilan bagi para
pihak.8 Syarat konstruktif ditemukan pada Pasal 1266 KUHPer yang
mengasumsikan bahwa syarat batal selalu dianggap ada dalam perjanjian timbal
balik, walaupun para pihak tidak mencantumkannya.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Munir Fuady bahwa syarat batal
bukanlah prestasi dari para pihak, melainkan suatu keadaan di masa yang akan
datang yang mungkin akan terjadi, yang apabila terjadi keadaan tersebut, prestasi
tidak jadi dilakukan atau dibatalkan berlakunya9. Munir Fuady lebih menekankan
pada peristiwa atau keadaan yang belum tentu terjadi sebagai penentu syarat batal.
Terdapat kekaburan mengenai pengaturan syarat batal dalam KUHPer.
Kekaburan ditemukan pada kalimat pertama dalam Pasal 1266 KUHPer, yang
menentukan bahwa “Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuanpersetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya.” Dalam pasal ini tidak diuraikan lebih lanjut apa yang dimaksud
dengan persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik pada pasal-pasal berikutnya.
Kriteria untuk menentukan persetujuan yang memiliki karakteristik timbal balik
tidak diperinci, sehingga memungkinkan terjadi berbagai penafsiran.
8
9
Ibid, hal.126.
Ibid, hal.115.
8
Pada bagian lain, kekaburan juga dijumpai pada kalimat keempat Pasal 1266
KUHPer yang menentukan bahwa “Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam
persetujuan, maka Hakim dengan melihat keadaan (garis bawah dari penulis) atas
permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi
kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dari satu bulan”. Undangundang tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan keadaan dan
bagaimana kriteria suatu keadaan agar dapat diberikan penundaan pemenuhan
kewajiban.
Penundaan perjanjian yang dilakukan oleh hakim, dilakukan bila syarat batal
tidak dinyatakan secara tegas dalam perjanjian. Jika syarat batal dinyatakan secara
tegas dalam perjanjian, maka hakim tidak berwenang melakukan penundaan
pemenuhan kewajiban (prestasi). Untuk menentukan keadaan apa yang dapat
dijadikan alasan untuk penundaan pemenuhan kewajiban tidak disebutkan oleh
undang-undang, sehingga memberikan kekaburan.
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah tersebut, maka penulis
tertarik melakukan penelitian tentang kekaburan norma mengenai kriteria dari
perjanjian timbal balik dan syarat keadaan yang terdapat dalam Pasal 1266
KUHPer. Untuk selanjutnya penelitian dituangkan dalam tesis yang berjudul
“Syarat Batal Dalam Perjanjian Timbal Balik Berdasarkan Pasal 1266 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)”.
Dari penelusuran yang dilakukan belum dijumpai sebelumnya pembahasan
terkait dengan kriteria persetujuan timbal balik dan syarat keadaan dalam
perjanjian dengan syarat batal. Namun demikian, penelitian-penelitian yang
9
terkait dengan persoalan syarat batal dalam perjanjian dapat ditemukan dalam
tulisan-tulisan sebagai berikut:
1. Tesis Laila Hayati Aulia, Nim 097011120, mahasiswi program Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2012, dengan judul
“Akibat Hukum dari Wanprestasi dalam Perjanjian Konstruksi yang
Dilaksanakan Kontraktor”. Adapun permasalahan yang diangkat yakni:
a) Bagaimana prinsip perlindungan hukum kepada pihak yang
dirugikan dalam perjanjian konstruksi?
b) Bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak apabila di
dalam kontrak terdapat klausula pengenyampingan pasal 1266
KUH Perdata? 10
Kesimpulan:
a) Prinsip perlindungan hukum kepada pihak yang dirugikan dalam
perjanjian konstruksi bila terjadi wanprestasi yakni adanya prinsip
perlindungan yaitu prinsip exception non adimpleti contractus yang
artinya para pihak dapat menolak melakukan prestasi( Prinsip
Penolakan Prestasi) selanjutnya dari pihak lawan. Prinsip Menuntut
Restitusi yang artinya bila pihak yang melakukan prestasi tersebut
berhak untuk menuntut restitusi dari pihak lawan, yakni menuntut
10
Laila Hayati Aulia, 2012, “Akibat Hukum dari Wanprestasi dalam
Perjanjian Konstruksi yang Dilaksanakan Kontraktor”, Tesis, Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, Sumber http:// repository.
usu.ac.id/ bitstream/123456789/33028/6 diunduh pada tanggal 20 April 2013.
10
agar kepadanya diberikan kembali atau dibayar setiap prestasi yang
dilakukannya.
b) Upaya perlindungan hukum para pihak jika terdapat penyampingan
Pasal 1266 KUH Per yakni melakukan penyelesaian sengketa baik
melalui pengadilan maupun di luar pengadilan diantaranya
konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi,dan arbitrase.
2. Tesis Oki Andriansyah Kurniadi, NIM 087011090, mahasiswa Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, tahun 2011 dengan judul:
“Tinjauan Hukum Pembatalan Akta Perjanjian Kerjasama Pengadaan
Barang Atas Dasar Wanprestasi (Studi PT.Telemedia Network Cakrawala)”.
Adapun permasalahan yang diangkat yakni;
a) Bagaimanakah akibat hukum dari pembatalan akta perjanjian
kerjasama pengadaan barang atas dasar wanprestasi?
b) Bagaimanakah wanprestasi perjanjian kerjasama antara PT
Telemedia
Network Cakrawala (PT TNC) dengan PT. Moratel?
c) Bagaimanakah penyelesaian dalam sengketa pengadaan barang? 11.
Kesimpulan:
a) Akibat hukum dari pembatalan akta perjanjian pengadaan barang
atas dasar wanprestasi berdasarkan utang dan berakibat terhadap
barang dalam keadaan sewaktu sebelum perikatan dibuat, artinya
11
Oki Adriansyah Kurniadi, 2011, ”Tinjauan Hukum Pembatalan Akta
Perjanjian Kerjasama Pengadaan Barang Atas Dasar Wanprestasi ( Studi
PT.Telemedia Network Cakrawala), Tesis, Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara, Medan, Sumber http: repository.usu.ac.id/bitstream/
123456789/30812/6, diunduh pada tanggal 20 April 2013.
11
bahwa demi hukum dianggap tidak pernah ada perikatan diantara
para pihak (penghadap), oleh sebab itu demi hukum pula akta
perjanjian ada hanya tertulis melalui pesan email mengenai
kerjasama atau pembayaran tagihan.
b) Bentuk wanprestasi yakni berupa pemutusan link secara mendadak
di luar jadwal, sehingga menghilangkan keuntungan yang
diharapkan. Perseroan Terbatas Moratel ( PT.Moratel ) berhak
memperoleh ganti rugi seimbang dengan pekerjaan yang telah
dihasilkan dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan. PT.Moratel juga
akan diberikan kewajiban penggantian kerugian yang disebabkan
karena kurang tepatnya perencanaan proyek yang dibuat oleh
pengguna jasa tower provider internet.
c) Bentuk penyelesaian sengketa dalam pengadaan barang yakni
dengan mempergunakan firma hukum sebagai mediator, (non
litigasi) guna lebih menghemat waktu.
3. Tesis Iskandar, NIM 097011008, mahasiswa Magister Kenotariatan,
Universitas Sumatera Utara, Medan, tahun 2012, dengan judul” Pembatasan
Asas Kebebasan Berkontrak Melalui Campur Tangan Pemerintah dalam
Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung
No.255.K/PDT.SUS/2009) Adapun permasalah yang diangkat yakni;
a) Apa yang menjadi dasar kekuasaan pemerintah membatasi asas
kebebasan berkontrak terhadap perjanjian yang menimbulkan
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat?
12
b) Bagaimana bentuk pembatalan perjanjian yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap
perjanjian
yang menimbulkan praktik
monopoli atau persaingan usaha tidak sehat?
c) Siapa sajakah pihak yang dapat memohon pembatalan perjanjian
yang menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak
sehat? 12
Kesimpulan:
a) Dasar kekuasaan negara dalam hal membatasi asas kebebasan
berkontrak adalah berdasarkan keputusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia (MARI) yakni menghilangkan sifat negatif dari
sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi sosial.
b) Bentuk pembatalan perjanjian yang dilakukan pemerintah terhadap
perjanjian yang menimbulkan praktik monopoli atau persaingan
usaha tidak sehat adalah secara material batal absolut yang
mengandung batal relatif dari segi formilnya.
c) Pihak yang berhak melakukan permohonan pembatalan adalah
pihak ketiga atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
yang bertujuan mewujudkan posisi seimbang antara pihak-pihak
yang
12
membuat
perjanjian,
terutama
antara
pihak
yang
Iskandar, 2012, “Pembatasan Asas Kebebasan Berkontrak Melalui Campur
Tangan Pemerintah Dalam Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung No.255.K/PDT.SUS/2009)”, Tesis, Magister Kenotariatan
Unversitas Sumatera Utara, Medan, Sumber http:// repository.usu.ac.id/
handle/12345689/31342. Diunduh pada tanggal 20 April 2013
13
kedudukannya lemah dengan pihak yang memiliki kedudukan yang
kuat dalam perjanjian.
Dari penelusuran orisionalitas penelitian yang telah dilakukan, tidak
ditemukan adanya kesamaan dalam hal isi maupun substansi karya tulis yang telah
dimuat sebelumnya, oleh karena itu tingkat orisinalitas penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dikemukakan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kriteria perjanjian timbal balik yang di dalamnya
mengandung syarat batal berdasarkan Pasal 1266 KUHPer?
2. Bagaimanakah syarat keadaan yang dapat dijadikan alasan dalam
penundaan pemenuhan kewajiban oleh hakim apabila syarat batal tidak
disepakati dengan tegas dalam perjanjian berdasarkan Pasal 1266
KUHPer?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan menjadi tujuan umum dan tujuan
khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:
1.3.1. Tujuan umum.
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum
khusunya di bidang hukum perjanjian yang berkaitan dengan syarat batal dalam
perjanjian timbal balik berdasarkan Pasal 1266 KUHPer.
14
1.3.2. Tujuan khusus.
Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk
menjawab rumusan masalah yakni;
a. Untuk mengetahui dan menganalisis kriteria perjanjian-perjanjian yang
bertimbal balik yang di dalamnya mengandung syarat batal berdasarkan
Pasal 1266 KUHPer.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis syarat keadaan yang dipakai oleh
hakim sebagai dasar penundaan pemenuhan kewajiban apabila syarat batal
tidak disepakati secara tegas dalam perjanjian berdasarkan Pasal 1266
KUHPer.
1.4. Manfaat Penelitian
Penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada
khususnya sehingga penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis.
1.4.1. Manfaat teoritis.
Secara teoritis, hasil penelitian dapat memberikan sumbangan terhadap
pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum dalam kaitannya dengan syarat batal
dalan perjanjian timbal balik berdasarkan Pasal 1266 KUHPer.
1.4.2. Manfaat praktis.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi notaris dalam perancangan perjanjian timbal balik dan masyarakat
pada umumnya. Terhadap hakim dalam memberikan penundaan pemenuhan
kewajiban dalam perjanjian timbal balik, serta bagi peneliti sendiri, d samping
15
untuk kepentingan penyelesaian studi juga untuk menambah wawasan dan
pengetahuan di bidang hukum perjanjian khususnya mengenai syarat batal dalam
perjanjian timbal balik.
1.5. Landasan Teoritis
Dalam menjawab rumusan masalah dipergunakan landasan teori hukum.
Menurut Gijssels sebagaimana dikutip dalam bukunya Sudikno bahwa “Kata teori
dalam teori hukum dapat diartikan sebagai suatu kesatuan pandang, pendapat dan
pengertian-pengertian yang berhubungan dengan kenyataan yang dirumuskan
sedemikian, sehingga memungkinkan menjabarkan hipotesis-hipotesis yang
dikaji”.13 Teori-teori yang dipakai dalam penulisan ini yakni teori keadilan dar
Aristoteles, teori keadilan sebagai kelayakan (justice as fairness) dari John Rawls
teori kepastian hukum dari Gustav Radburch dan teori pelaksanaan dari kontrak
(the enforcement theory of contract) dari P.S.Atiyah.
1.5.1. Teori keadilan dari Aristoteles.
Teori keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles seorang filsuf Yunani
Kuno diuraikan dalam tulisan The Liang Gie14 bahwa keadilan adalah kelayakan
dalam tindakan manusia (fairness in human action). Kelayakan berada di tengahtengah antara titik yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Keadilan menurut
Aristoteles menitik beratkan pada perimbangan.
13
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pusaka,
Yogyakarta, hal.5.
14
The Liang Gie, 1982, Teori-Teori Keadilan, Supersukses, Yogyakarta,
hal.23-25
16
Aristoteles mengemukakan konsepsi mengenai keadilan yang dibagi menjadi
keadilan distributif, keadilan perbaikan (remedial justice) dan keadilan niaga
(commercial justice). Keadilan distributif (distributive justice) berwujud suatu
perimbangan (proportion) agar merupakan keadilan, yang merupakan suatu
persamaan dari dua perbandingan (equality of ratios). Ketidakadilan adalah apa
yang melanggar proporsi itu. Aristoteles mengilustrasikan bahwa bagian A yang
diterima sesuai dengan jasa A, dan bagian B yang diterima sesuai dengan jasa B.
Teori keadilan distributif dari Aristoteles ini mendasarkan pada prinsip persamaan
(equality).15
Keadilan perbaikan (remedial justice) dimaksud untuk mengembalikan
persamaan dengan menjatuhkan hukuman kepada pihak yang bersangkutan.
Keadilan niaga sebagai suatu perimbangan yang bercorak timbal balik dalam
usaha pertukaran benda atau jasa di antara para anggota masyarakat. Pertukaran
itu merupakan unsur timbal balik yang proporsional (proportionate reciprocity)16.
Keadilan ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dan yang lain
atau antara warganegara yang satu dengan warga negara lainnya. Keadilan
komutatif menyangkut hubungan horizontal antara warga yang satu dengan warga
yang lain. Keadilan niaga disebut juga dengan sebutan keadilan komutatif
(commutative justice).
Dalam bisnis, keadilan komutatif juga disebut atau berlaku sebagai keadilan
tukar. Dengan kata lain, keadilan komutatif menyangkut pertukaran yang adil
15
16
Ibid.
Ibid.
17
antara pihak-pihak yang terlibat. Prinsip keadilan komutatif menuntut agar semua
orang menepati apa yang telah dijanjikannya, mengembalikan pinjaman, memberi
ganti rugi yang seimbang, memberi imbalan atau gaji yang pantas, dan menjual
barang dengan mutu dan harga yang seimbang. Keadilan perbaikan dan keadilan
komutatif bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan
umum.
1.5.2. Teori keadilan sebagai kelayakan (justice as fairness) dari John Rawls.
Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya
institusi-institusi sosial (social institutions). Rawls menekankan pada “the
primary subject of the principles of social justice is the basic structure of society,
the arrangement of major social instituisions into one scheme of cooperation”.17
(subyek utama dari prinsip-prinsip keadilan sosial adalah struktur dasar
masyarakat, penataan institusi sosial yang besar ke dalam satu skema kerjasama).
Berdasarkan pendapat tersebut yang menjadi tujuan dari hadirnya institusi
sosial adalah keharmonisan dari seluruh institusi masyarakat. Akan tetapi,
menurutnya, kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan
atau menggangu rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa
keadilan yang menyatukan semua kepentingan-kepentingan yang berbeda dari
seluruh
warga
masyarakat,dengan
melalui
keseimbangan
kepentingan-
kepentingan tersebut, tanpa memberikan perhatian istimewa terhadap kepentingan
17
hal.47.
John Rawls, 1999, A Theory of Justice, Harvard University Press, USA,
18
itu sendiri disebut sebagai justice as fairness (keadilan sebagai kelayakan), jadi
yang pokok adalah prinsip keadilan mana yang paling fair.18
Secara spesifik, Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip
keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal
dengan posisi asali dan selubung ketidaktahuan19. Rawls berusaha untuk
memposisikan adanya situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam
masyarakat serta tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu
dengan yang lainnya, seperti misalnya kedudukan, status sosial, tingkat
kecerdasan, kemampuan, kekuatan, dan lain sebagainya. Tujuan dari kesamaan
tersebut adalah agar orang-orang tersebut dapat melakukan kesepakatan dengan
pihak lainnya secara seimbang.
Posisi asli yang dimaksud oleh Rawls, bertumpu pada pengertian ekulibrium
reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom),
dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic
structure of society).20Konsep selubung ketidaktahuan diterjemahkan oleh Rawls
bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan
tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu,
sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang
tengah berkembang.21
18
Ibid, hal.4-6.
Ibid, hal.15.
20
Ibid, hal.10.
21
Ibid.
19
19
Melalui dua teori tersebut, Rawls mencoba menggiring masyarakat untuk
memperoleh prinsip kesamaan yang adil.
Itulah sebabnya mengapa Rawls
menyebut teorinya tersebut sebagai justice as fairness (keadilan sebagai
kelayakan). Di dalam teorinya terdapat dua prinsip utama: Prinsip pertama bahwa
setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan kebebasan dasar yang paling
luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain, yang
dikenal dengan prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti
misalnya kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan
mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression), serta kebebasan
beragama (freedom of religion)22.
Prinsip kedua dari teori Rawls bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi
diatur sedemikian rupa, sehingga dapat diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi
anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan, disebut dengan prinsip
perbedaan. Jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang
dalam keadaan dimana adanya persamaan kesempatan yang adil. dinamakan
dengan prinsip persamaan kesempatan. Prinsip perbedaan dapat dibenarkan
sepanjang menguntungkan yang lemah, sehigga ketidaksamaan kesempatan akibat
adanya perbedaan kualitas kemampuan, kemauan dan kebutuhan dapat dipandang
sesuatu yang adil menurut Rawls, asalkan memberi manfaat pada orang yang
kurang beruntung atau lemah23.
22
23
Ibid.hal.52-53.
Ibid.
20
Rawls berusaha untuk memposisikan kebebasan akan hak-hak dasar sebagai
nilai yang tertinggi untuk mewujudkan masyarakat yang adil. Hal ini harus diikuti
dengan adanya jaminan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk
menduduki jabatan atau posisi tertentu. Adanya pembedaan tertentu juga dapat
diterima sepanjang meningkatkan atau membawa manfaat terbesar bagi orangorang yang paling tidak beruntung. Bagi teori Rawls ini, setiap orang mempunyai
hak yang sama untuk kaya, bukan hak untuk memiliki kekayaan yang sama.
Dari dua prinsip dasar dari keadilan yakni prinsip kebebasan bahwa setiap
orang berhak mempunyai prinsip kebebasan yang terbesar sepanjang tidak
menyakiti orang lain dan prinsip ketidaksamaan bahwa ketidaksamaan sosial dan
ekonomi, harus menolong seluruh masyarakat serta para pejabat tinggi harus
terbuka bagi semuanya atau dengan kata lain ketidaksamaan sosial dan ekonomi,
dianggap tidak ada kecuali jika ketidaksamaan ini menolong seluruh masyarakat.
Prinsip pertama lebih utama dari prinsip kedua, artinya prinsip kebebasan tidak
dapat diganti oleh tujuan-tujuan untuk kepentingan sosial ekonomi dari prinsip
kedua.
Menurut Achmad Ali,24teori keadilan dari John Rawls sebagai suatu teori
yang menggabungkan antara prinsip kebebasan dan prinsip persamaan yang
didasarkan pada kontrak sosial yang digagas oleh John Locke, Immanuel Kant.
Dari teori tersebut menunjukkan bahwa tidak mengharuskan bagian semua orang
24
Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori
Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Undang-Undang (Legisprudence)
Volume I Pemahaman Awal, Kencana Prenada Media Group, Jakarta (selanjutnya
disebut Achmad Ali I), hal.272-284.
21
adalah sama, seperti kekayaan, status, pekerjaan dan hal lainnya, karena itu hal
tidak mungkin, melainkan bagaimana ketidaksamaan diatur sedemikian rupa,
sehingga terjadi ikatan dan kerjasama yang saling menguntungkan diantara
mereka25
Pemakaian teori keadilan dari John Rawls, untuk menerangkan bahwa
keadilan itu tidak harus sama (keadilan sebagai kelayakan). Ukuran yang pokok
adalah prinsip keadilan mana yang paling layak, yakni prinsip kebebasan bahwa
setiap orang berhak mempunyai prinsip kebebasan yang terbesar dengan
pembatasan tidak menyakiti atau tidak merugikan kepentingan orang lain.
Teori keadilan dari John Rawls yang mengedapankan teori keadilan berbasis
kontrak dijiwai oleh asas keseimbangan dan asas proporsionalitas. Asas menurut
The Liang Gie merupakan “suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah
umum tanpa menyarankan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya yang
diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi
perbuatan itu.”
26
Asas keseimbangan menekankan pada kesetaraan para pihak,
sedangkan asas proporsionalitas lebih pada proses dan mekanisme pertukaran hak
dan kewajiban yang berlangsung secara adil.
a. Asas keseimbangan.
Kesetaraan para pihak dalam membuat sebuah perjanjian merupakan
landasan dari asas keseimbangan. Asas keseimbangan diterangkan oleh Mariam
Darus Badrulzaman yakni;
25
26
Ibid.
The Liang Gie, Op.Cit, hal.8.
22
Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian itu. Asas keseimbangan merupakan kelanjutan dari asas persamaan.
Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut pelaksanaan prestasi melalui
kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan
perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan
kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan
itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang27.
Menurut Agus Yudha Hernoko yang mengutip pendapat AB Massier dan
Marjanne Termorshuizen-Arts bahwa dalam hubungan perikatan, makna
seimbang adalah menurut imbangan, dengan memberi contoh pelunasan harus
dianggap berlaku untuk masing-masing utang menurut imbangan jumlah masingmasing.28Keseimbangan diartikan dengan kesamaan, sebanding dalam jumlah,
ukuran atau posisi. Dalam kaitan dengan perjanjian, maka asas keseimbangan
diartikan pada keseimbangan posisi para pihak.
Asas keseimbangan, menurut Herlien Budiono, dilandaskan pada upaya
mencapai suatu keadaan seimbang yang sebagai akibat darinya harus
memunculkan
pengalihan
kekayaan
secara
absah.
Tidak
terpenuhinya
keseimbangan berpengaruh terhadap kekuatan yuridikal suatu perjanjian. Dalam
terbentuknya perjanjian, ketidakseimbangan dapat muncul, karena perilaku para
pihak sendiri mapun sebagai konsekuensi dari substansi (muatan isi) perjanjian
27
Mariam Darus Badrulzaman, 2011, Aneka Hukum Bisnis, Alumni,
Bandung (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman I), hal.43
28
Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas
Dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.75
23
atau pelaksanaan perjanjian. Keadaan seimbang diharapkan dapat mencegah
kerugian di antara para pihak dalam suatu perjanjian.29
Penekanan pada asas keseimbangan pada keseimbangan posisi para pihak.
Dalam hal terjadi ketidaseimbangan posisi yang menimbulkan gangguan terhadap
isi perjanjian diperlukan campur tangan dari badan kekuasaan (hakim). Tujuan
dari asas keseimbangan adalah hasil akhir yang menempatkan posisi para pihak
seimbang (equal) dalam menentukan hak dan kewajibannya.
b.Asas proporsionalitas.
Asas proporsionalitas menekankan pada bagian masing-masing pihak yang
tidak harus selalu sama, namun pada proporsi pembagian kewajiban dan hak. Asas
ini menekankan pada pendekatan prosedural yang menitikberartkan pada
kebebasan berkehendak dan pendekatan substantif pada substansi perjanjian.30
Asas proporsionalitas bermakna sebagai asas yang mendasari pertukaran hak dan
kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya dalam seluruh proses
kontraktual.31
Menurut Agus Yudha Hernoko, terdapat beberapa faktor yang dapat
dijadikan ukuran proporsionalitas, diantaranya didasarkan pada nilai-nilai
kesetaraan, kebebasan, distribusi proporsional, terdapatnya asas kecermatan,
kelayakan dan kepatutuan.32 Faktor-faktor tersebut bukan merupakan diukur
29
Herlien Budiono, 2006, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian
Indonesia Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Herlien Budiono I),hal.317-318
30
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.87.
31
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.87.
32
Ibid, hal.89.
24
berdasarkan ilmu pasti atau angka-angka matematis (kesamaan hasil) melainkan
pada proporsi pembagian hak dan kewajiban diantara para pihak yang
berlangsung secara layak dan patut.
Asas proporsionalitas dalam hal terjadinya kegagalan pelaksaaan perjanjian
berfungsi sebagai alat penilai apakah kegagalan tersebut bersifat fundamental
sehingga menganggu pelaksanaan sebagian besar perjanjian atau hanyalah hal-hal
yang merupakan hal ringan/tidak mempengaruhi pelaksanaan perjanjian. Fungsi
tersebut mencegah terjadinya penyalahgunaan klausul pelaksanaan perjanjiaan,
demi keuntungan salah satu pihak. Hal ini terjadi dalam suatu perjanjian dimana
posisi para pihak tidak seimbang atau salah satu pihak memiliki kedudukan yang
kuat (dominan) dan di pihak yang lain memiliki kedudukan yang lemah.
1.5.3. Teori kepastian hukum dari Gustav Radburch.
Kepastian hukum merupakan ciri yang tak dapat dipisahkan dari hukum,
terutama untuk norma hukum tertulis. Kepastian hukum disebut sebagai salah satu
tujuan dari hukum. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam
hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri.
Ajaran kepastian hukum berasal dari ajaran yuridis dogmatik yang
didasarkan pada pemikiran positivis di dunia hukum, melihat hukum sebagai
sesuatu yang otonom, mandiri karena hukum bagi aliran ini hanya sekumpulan
aturan. Tujuan hukum yang utama adalah kepastian hukum. Kepastian hukum
25
diwujudkan dengan membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum yang
membuktikan bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk kepastian hukum33.
Gustav Radburch mengemukakan empat hal yang mendasar berhubungan
dengan kepastian hukum, yaitu:
Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundangundangan (gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum ini didasarkan pada fakta
(Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan
oleh hakim, seperti”kemauan baik”, “kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu
harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan
dalam pemaknaan, di samping juga mudah dijalankan. Keempat, hukum positif
itu tidak boleh sering diubah-ubah….”34.
Pendapat Gustav Radburch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa
kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum
merupakan produk dari hukum atau lebih khusus perundang-undangan.
Lon Fuller sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali, mengajukan delapan asas
yang harus dipenuhi oleh hukum dan apabila itu tidak dipenuhi, maka hukum
tidak dapat memenuhi tujuannya yakni:35
1) Suatu sistem hukum terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan
putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu (ad hoc);
2) Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;
3) Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;
4) Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
5) Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
6) Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa
dilakukan;
7) Tidak boleh sering diubah-ubah;
8) Harus ada kesesuaian antara peraturan-peraturan dan pelaksanaan seharihari.
33
Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis), Ghalia Indonesia, Bogor (selanjutnya disebut Achmad Ali II), hal.67
34
Achmad Ali I, Op.Cit, hal.293.
35
Ibid, hal.294.
26
Berdasarkan teori kepastian hukum, maka dalam kepastian hukum
terkandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan salah tafsir
atau multi tafsir, tidak menimbulkan kontradiktif dan dapat dilaksanakan.
Berdasarkan dari teori kepastian hukum ini maka kekaburan norma yang terdapat
dalam Pasal 1266 KUHPer dapat diuraikan dan ditemukan solusinya.
1.5.4.Teori pelaksanaan kontrak (the enforcement theory of contract) dari
P.S.Atiyah.
P.S.Atiyah menyebutkan bahwa “the law of contract is part of the law of
obligations, that is to say, it is concerned with the obligations that people owe to
others as a result of the relations and transactions in which they become
involved”.36(Hukum perjanjian adalah bagian dari hukum yang menyangkut
kewajiban, sehingga berfokus pada kewajiban yang dianggap hutang dan
dilaksanakan oleh seseorang sebagai akibat dari transaksi dan hubungan mereka).
Pelaksanaan pemenuhan kewajiban yang dianggap hutang itu, diperlukan
suatu mekanisme pelaksanaan melalui badan pengadilan. Teori ini ini menitik
beratkan pada pelaksanaan dari perjanjian yang dilaksanakan melalui suatu badan
pengadilan. P.S Atiyah beralasan;
The judicial process is designed to serve either or both of two important social
ends. The first is, by the threat of penalties or the promise of rewards, to
encourage the citizenry to comply with socially desired standards of behaviour.
And the second is to provide machinery for the settlement of disputes by
peacefull and fair means. Now the classical model of contract, with its
emphasis on intentional conduct and future planning, presupposes that the first
36
P.S Atiyah ,Stephen A Smith, 2009, Atiyah’s Introduction to the Law of
Contract, Clarendon Press, Oxford, hal.1
27
of these two goals is the primary function of the courts in dealing with
contractual litigation.37
(Proses peradilan ini dirancang untuk melayani salah satu atau kedua dua
tujuan sosial yang penting. Yang pertama adalah, dengan mempergunakan
ancaman hukuman atau janji imbalan, untuk mendorong warga negara untuk
memenuhi standar perilaku yang diinginkan secara sosial. Dan yang kedua
adalah untuk menyediakan alat penyelesaian sengketa secara damai dan adil.
Untuk saat ini, model klasik kontrak, dengan penekanan pada perilaku yang
disengaja dan perencanaan masa depan, mengasumsikan bahwa tujuan pertama
dari dua tujuan tersebut adalah fungsi utama dari pengadilan dalam menangani
perselisihan kontrak).
Dilihat dari pendapat di atas, bahwa tujuan dari proses pengadilan ada dua.
Pertama, memberikan sanksi atau dorongon bagi warga negara untuk mematuhi
nilai standar tingkah laku sosial, dan tujuan kedua menyediakan alat untuk
menyelesaikan perselisihan secara damai dan adil. Tujuan ini yang merupakan
tujuan utama dari pengadilan dalam menyelesaikan perselisihan mengenai
perjanjian.
Teori pelaksanaan kontrak mendasari lahirnya prinsip yang berkenaan
denganp pelaksanaan prestasi dari para pihak dalam hal salah satu pihak tidak
melaksanakan kewajibannya. Pihak yang dirugikan berhak menuntut pemenuhan
prestasi dari pihak lainnya, namun pihak lainnya berhak menolak melakukan
pemenuhan prestasi jika pihak yang satunya terlebih dahulu tidak melakuakn
prestasi. Prinsip yang berkaitan dengan penolakan prestasi jika salah satu pihak
tidak melakukan kewajiban sebagaimana yang diperjanjikan. Prinsip lainnya yang
berkaitan dengan perlindungan para pihak adalah prinsip pemenuhan prestasi
substansial. Prinsip ini untuk melindungi pihak yang telah melakukan kewajiban
37
P.S. Atiyah, Op.Cit, hal.14-15
28
dalam perjanjian yang sifatnya substansial walaupun tidak sempurna, tidak dapat
dikenai pembatlan perjanjian
a. Doktrin penolakan prestasi.
Menurut J.Satrio, doktrin penolakan prestasi (exceptio non adimpleti
contractus) adalah “suatu tangkisan yag intinya mau mengatakan kalau anda
sendiri belum berprestasi, anda tidak patut untuk menuntut saya berprestasi”38.
Berdasarkan hal ini maka pihak yang dirugikan akibat adanya suatu wanprestasi
dapat menolak melakukan prestasi selanjutnya manakala pihak lainnya telah
melakukan wanprestasi.39
Di dalam KUHPer tidak ada ketentuan umum yang mengatur mengenai
doktrin ini, namun penerapan doktrin ini secara tersirat tertuang dalam
persetujuan-persetujuan bernama diantaranya pada perjanjian jual beli Pasal 1478
KUHPer yang menyatakan bahwa “Penjual tidak wajib menyerahkan barang yang
bersangkutan, jika pembeli belum membayar harganya sedangkan penjual tidak
mengizinkan
penundaan
pembayaran
kepadanya.”
Penjual
mengizinkan
penundaan pembayaran kepadanya dimaksudkan artinya bahwa penjual telah
memberikan kesempatan untuk tidak segera membayar harga pembelianya dan
penundaan yang demikian tidak menghalangi pembeli melancarakan somasi
kepada penjual. Kesimpulannya pembeli baru bisa melancarkan somasi kepada
38
J.Satrio, 2012,
Wanprestasi menurut KUHPerdata, Doktrin, dan
Yurisprudensi, Citra Aditya Bakti, Bandung,(selanjutnya disebut J.Satrio II),
hal.49.
39
Ibid, hal.96.
29
penjual secara sah kalau ia telah membayar harga pembeliannya kepada penjual
dan tidak terdapat izin penundaan pembayaran.
Doktrin penolakan prestasi (exceptio non adimpleti contractus) adalah suatu
alat penangkis yang dapat diandalkan salah satu pihak, dalam hal ia ditegur agar
memenuhi perikatannya berdasarkan perjanjian atau jika pihak lawannya
menuntut pembatalan dan/atau ganti rugi, karena wanprestasi. Hal ini berkaitan
dengan penundaan pembatalan perjanjian. Pihak yang mempergunakan alasan ini
harus memberikan prestasi yang tak layak kepada pihak yang melakukan
wanprestasi tersebut. Penentuan prestasi yang tak layak tidak diatur dalam
undang-undang secara rinci, sehingga merupakan kewenangan bagi hakim jika
perkaranya diajukan ke pengadilan.
b. Doktrin pemenuhan prestasi substansial
Menurut Munir Fuady, pemenuhan prestasi substansial adalah suatu doktrin
yang mengajarkan bahwa jika satu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara
sempurna, tetapi ia telah melaksanakan prestasinya tersebut secara substansial,
maka pihak lain harus juga melaksanakan prestasinya secara sempurna. Apabila
suatu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara substansial, maka dia telah
tidak melaksanakan kontrak secara material (material breach).40
Pelaksanaan prestasi yang substansial oleh salah satu pihak menyebabkan
pihak yang lainnya dalam perjanjian wajib melaksanakan prestasinya secara
sempurna, sehingga tidak lagi berlaku tangkisan exceptio non adimpleti
40
Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis),
Citra Aditya Bakti, Bandung,(selanjutnya disebut Munir Fuady II), hal.90
30
contractus. Terhadap perjanjian jual beli yang berkaitan dengan tanah/benda tetap
tidak dapat diterapkan doktrin ini, namun berlaku doktrin pelaksanaan prestasi
yang sempurna.
1.5.5. Bagan kerangka berpikir.
Rumusan masalah pertama dijawab dengan mempergunakan teori keadilan
dari Aristoteles dan teori keadilan sebagai kelayakan dari John Rawls yang dijiwai
oleh asas keseimbangan dan asas proporsionalitas. Ukuran timbal balik dilihat dari
ada
tidaknya
pertukaran
prestasi
yang
didasarkan
atas
keseimbangan.
Keseimbagan para pihak dalam tahap awal perjanjian dan proporsionalitas hak
dan kewajiban masing-masing pihak. Teori kepastian hukum dari Gustav
Radburch juga dipakai dalam menjelaskan kekaburan norma dalam Pasal 1266
KUHPer.
Rumusan masalah yang kedua dijawab dengan teori pelaksanaan kontrak
dari P.S.Atiyah. Pelaksanaan perjanjian merupakan hal yang penting dan dapat
mempergunakan saranan pengadilan. Hakim namun dalam prakteknya dapat
melakukan penundaan pemenuhan perjanjian atas permintaan salah satu pihak
berdasarkan keadaan yang menghilangkan unsur kesalahan dan keadaan
pelaksaaan prestasi.
Berdasarkan hal tersebut, maka disusun kerangka berpikir agar dapat
memberikan gambaran yang sistematis terhadap masalah yang akan diteliti
31
Rumusan
Teori
Metode
Hasil
1.Bagaimanakah
kriteria
perjanjianperjanjian yang
bertimbal balik
berdasarkan
Pasal 1266
KUHPer?
Teori keadilan
Aristoteles dan John
Rawls yang dijiwai
oleh asas
keseimbangan dan
proporsionalitas
Teori kepastian
hukum
Penafsiran
gramatikal,
penafsiran
sistematik,
dan
pendekatan
konsep
timbal balik
2.Bagaimanakah
syarat keadaan
yang dapat
dijadikan alasan
dalam penundaan
pemenuhan
kewajiban oleh
hakim
berdasarkan Pasal
1266 KUHPer?
Teori pelaksanaan
kontrak dalam
kaitan dengan
pelaksanaan prestasi
diwujudkan dalam
doktrin penolakan
prestasi dan doktrin
pemenuhan prestasi
substansial.
Metode
pendekatan
konsep dari
keadaan, dan
interprestasi
sistematikal
antara pasalpasal yang
terkait
Teori keadilan digunakan
untuk menentukan ukuran
timbal balik. Di dalam teori
keadilan terdapat asas
keseimbangan dan asas
proporsionalitas.
Berdasarkan teori tersebut
didapatkan hasil yang
menjadi kriteria perjanjian
timbal balik berdasarkan
Pasal 1266 KUHPer itu yakni
adanya pertukaran prestasi
yang timbal balik dimana
kedua belah pihak samasama memiliki kewajiban
dan hak, namun ukuran
antara prestasi tidak harus
sama/seimbang namun bisa
proporsional, sedangkan
ukuran seimbang diperlukan
pada saat pembuatan
perjanjian timbal balik itu
sendiri.
Teori kepastian hukum untuk
menjelaskan kekaburan
norma dalam kriteria timbal
balik berdasarkan Pasal 1266
KUHPer
Syarat keadaan yang dipakai
oleh hakim dalam penundaan
pemenuhan kewajiban
berdasarkan Pasal 1266
KUHPer yakni keadaan yang
menghilangkan unsur
kesalahan yang bersifat
sementara dan keadaan
pelaksanaan prestasi.
Keadaan yang
menghilangkan unsur
kesalahan diantaranya
keadaan memaksa yang
relatif, keadaan sulit, sedang
keadaan pelaksanaan prestasi
dilihat dari berat ringannya
wanprestasi yang dilakukan.
Masalah
32
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Jenis penelitian.
Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif, yang didasarkan pada
kekaburan norma Pasal 1266 KUHPer. Kekaburan yang ditimbulkan terkait pada
kalimat pertama yakni persetujuan-persetujuan timbal balik dan kalimat keempat
yakni melihat keadaan.
Pasal 1266 KUHPer yang mengatur mengenai syarat batal dalam perjanjianperjanjian timbal balik menentukan bahwa:
Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang
bertimbal balik (garis bawah dari penulis) manakala salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya.
Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, akan tetapi
pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak
dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam persetujuan.
Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka Hakim dengan
melihat keadaan (garis bawah dari penulis), atas permintaan tergugat, leluasa
memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka
waktu itu tidak boleh lebih dari satu bulan.
1.6.2. Jenis pendekatan.
Dalam penelitian ini mempergunakan beberapa pendekatan untuk lebih
memahami permasalahan yang ada, diantaranya adalah;
a. Pendekatan perundang-undangan.
Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan metode pendekatan
perundang-undangan (statute approach). Johnny Ibrahim meminjam pendapat
Haryono, yang melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat
comprehensive (norma-norma hukum di dalamnya terkait antara yang satu dengan
yang lainnya), all inclusive (kumpulan norma hukum cukup mampu menampung
33
permasalah hukum yang ada sehingga tidak ada kekosongan hukum) dan
systematic (disamping bertautan antara satu dengan yang lainnya, norma-norma
hukum juga tersusun secara hirarkis) 41.
Metode yang dipergunakan adalah metode interprestasi, sesuai pendapat
F.C.Von Savigny yang dipakai oleh Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya
Penelitian Hukum42 menyatakan bahwa “betapapun jelasnya Maklumat/Perintah,
namun tidak mungkin menolak adanya interprestasi karena adanya kekurangan”.
Dalam penelitian hukum normatif dikenal berbagai jenis interprestasi, diantaranya
interprestasi berdasarkan kata undang-undang, interprestasi berdasarkan kehendak
pembentuk undang-undang, interprestasi
sistematis,
interprestasi
historis,
interprestasi teleologis, interprestasi antisipatoris, dan interprestasi modern.43
Penafsiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah penafsiran
gramatikal atau berdasarkan kata undang-undang. Interprestasi menurut kata-kata
dalam undang-undang ditarik dari makna kata-kata yang tertuang dalam undangundang, akan tetapi jika tidak ditemukan makna dalam undang-undang, karena
tidak semua undang-undang mengandung kata yang jelas, maka dilakukan
interprestasi sistematis.
Interprestasi sistematis dengan melihat kepada hubungan di antara aturan
dalam suatu undang-undang yang saling bergantung.44 Landasan pemikiran
41
Johnny Ibrahim, 2012, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif.
Bayu Media Publishing, Malang, hal.303.
42
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hal.11.
43
Ibid, hal.107.
44
Ibid.
34
interprestasi sistematis adalah undang-undang merupakan satu kesatuan dan tidak
satupun ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri
sendiri.
b. Pendekatan konsep.
Pendekatan konsep beranjak dari pendapat ahli (doktrin) yang terkait dengan
penulisan. Konsep hukum yang dipakai dalam penulisan konsep persetujuan
timbal balik menurut pendapat para sarjana dan konsep hukum keadaan yang
dipakai sebagai syarat penundaan pemenuhan kewjiban berdasarkan Pasal 1266
KUHPer.
1.6.3. Sumber bahan hukum.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang merupakan
pengkajian terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun
sekunder.45 Jenis bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini ada dua
yakni bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer berupa aturan
perundang-undangan yakni Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek) diundangkan pada lembar negara atau Staatsblad No. 23 tahun 1847 dan
dinyatakan berlaku pada tanggal 1 Mei 1848. Bahan hukum sekunder adalah
buku-buku, artikel, hasil penelitian yang ada kaitan dengan bahan yang diteliti.
Bahan hukum tersier berupa dokumen penunjang seperti Kamus Besar Bahasa
Indonesia dan Kamus Hukum
45
Bahder Johan Nasution., 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar
Maju, Bandung, hal.97.
35
1.6.4. Teknik pengumpulan bahan hukum.
Bahan hukum diperoleh dengan metode kepustakaan dengan teknik bola
salju (snow ball theory)46 dimana dalam suatu literatur/bahan bacaan menemukan
sumber lainnya yang terkait, dan dari sumber lainnya ini ditemukan pula sumber
yang terkait. Bahan hukum yang telah didapatkan kemudian ditulis, untuk
selanjutnya diiventarisasi dan diidentifikasi dalam menganalisis permasalahan
yang berhubungan dengan penelitian ini. Bahan yang didapat dikumpulkan dan
disistematisasikan berdasarkan rumusan masalah yang dibahas.
1.6.5. Teknik analisa bahan hukum.
Dalam penelitian ini, bahan hukum dianalisis dengan teknik deskripsi, teknik
evaluasi dan teknik argumentasi. Teknik deskripsi dilakukan berdasarkan atas
inventarisasi bahan hukum tersebut, diklasifikasikan dan disistemasikan,
kemudian dilakukan analisa dengan mendeskripsikan
atau menguraikan apa
adanya mengenai kekaburan norma yang termuat dalam Pasal 1266 KUHPer
dengan bahan hukum yang ada, sehingga dapat diberikan argumentasi untuk
mendapat kesimpulan atas pokok permasalahan yang ada yang akan diteliti dalam
penulisan tesis ini.
Teknik evaluasi dengan memberikan penilaian berupa tepat atau tidak tepat,
setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap norma dalam
Pasal 1266 KUHPer. Teknik argumentasi didasarkan atas penalaran hukum, yang
didapat dari penilaian yang telah dilakukan.
46
Ibid.
36
Download