bab ii dasar teori

advertisement
 D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
BAB II
DASAR TEORI
2.1
Umum
Dermaga adalah suatu bangunan pelabuhan yang digunakan untuk
menempatkan kapal, melakukan bongkar muat barang, dan untuk tempat keluar
masuknya
penumpang. Dermaga juga digunakan untuk kegiatan pengisian bahan
bakar untuk kapal, pengisian air minum, pengisian air bersih, pembuangan air
kotor, dan kegiatan lainnya yang akan diproses lebih lanjut di pelabuhan. Jenis
dermaga disesuaikan dengan ukuran dan jenis kapal yang merapat pada dermaga
tersebut. Di belakang dermaga terdapat halaman yang luas. Di halaman ini
terdapat apron, gudang transit, tempat bongkar muat barang dan jalan. Apron
adalah daerah yang terletak diantara sisi dermaga dan sisi depan gudang dimana
terdapat pengalihan kegiatan angkutan laut (kapal) ke kegiatan angkutan darat.
Gudang transit digunakan untuk menyimpan barang sebelum bisa diangkut oleh
kapal atau setelah dibongkar dari kapal dan menunggu pengangkutan ke daerah
yang dituju.
Dermaga dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu quay wall, dan dolphin
atau jetty.
Dermaga tipe dolphin adalah dermaga dengan tempat sandar kapal
berupa dolphin diatas tiang pancang. Dermaga ini biasa digunakan dilokasi
dengan keadaan pantai yang landai, diperlukan jembatan yang biasa disebut
trestel sampai dengan kedalaman yang dibutuhkan. Jembatan untuk penghubung
dermaga dan daratan ini dapat menggunakan jembatan yang ditopang
menggunakan sederet tiang pancang atau dapat menggunakan timbunan material
seperti batuan dan tanah yang biasa disebut causeway.
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-1
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.1 Tampak samping dan tampak atas contoh dermaga
2.1.1 Pemilihan Tipe Dermaga
Dermaga dibangun untuk melayani kebutuhan tertentu. Pemilihan tipe
dermaga sangat dipengaruhi oleh kebutuhan yang akan dilayani, ukuran kapal,
arah gelombang dan arah angin, kondisi topografi dan tanah dasar laut, dan paling
penting adalah tinjauan ekonomi untuk mendapatkan bangunan yang lebih
ekonomis. Pemilihan tipe di dasarkan pada tinjauan berikut:
1. Tinjauan topografi
Di perairan yang dangkal sehingga kedalaman yang cukup agak jauh
dari darat, penggunaan jetty akan lebih ekonomis karena tidak diperlukan
pengerukan yang besar. Sedangkan di lokasi dimana kemiringan dasar
cukup curam, pembuatan pier dengan menggunakan pemancangan tiang di
perairan yang dalam menjadi tidak praktis dan sangat mahal.
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-2
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2. Jenis kapal yang dilayani
Dermaga yang melayani kapal minyak dan kapal barang curah
mempunyai konstruksi yang ringan dibanding dengan dermaga barang
potongan (general cargo), karena dermaga tersebut tidak membutuhkan
peralatan bongkar muat barang yang besar (kran), jalan kereta api, gudang-
gudang dan yang lainnya. Untuk melayani kapal tersebut penggunaan pier
akan lebih ekonomis. Dermaga yang melayani barang potongan dan peti
kemas menerima beban yang besar di atasnya, seperti kran, barang yang
dibongkar-muat, dan peralatan transportasi (kereta api,truk) akan lebih baik
dengan menggunakan dermaga tipe wharf.
2.1.2 Jetty
Jetty adalah dermaga apung yang dibangun dengan membentuk sudut
terhadap garis pantai. Jetty dapat digunakan untuk merapat kapal pada satu sisi
atau kedua sisinya. Jetty berbentuk jari lebih efisien karena dapat digunakan untuk
kapal merapat pada kedua sisinya untuk panjang dermaga yang sama.
Gambar 2.2 Jetty berbentuk T
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-3
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.2 Jetty berbentuk L
Banyak macam penghubung jetty seperti trestle yang terbuat dari jajaran
tiang pancang, ataupun trestle yang terbuat dari kayu. Namun pada bahasan tugas
akhir ini, penghubung yang digunakan untuk mencapai jetty adalah timbunan
konstruksi causeway.
Gambar 2.3 Jetty berbentuk T menggunakan penghubung causeway
2.1.3 Causeway
Causeway adalah timbunan material yang melintang sepanjang badan air
atau lahan yang digunakan sebagai jalan penghubung untuk menuju dermaga.
Timbunan tersebut berguna untuk membuat permukaan berada pada elevasi yang
cukup tinggi agar terhindar dari limpasan air.
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-4
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.1.4 Penggunaan Konstruksi Causeway untuk Akses Dermaga
Dermaga dengan tipe jetty memerlukan penghubung untuk menuju darat
dikarenakan
dermaga ini bisa berada di perairan dangkal sehingga lokasi dermaga
bisa ditempatkan beredekatan dengan garis pantai. Akses penghubung yang
tidak
biasa digunakan ialah jembatan yang biasa dinamakan approach trestle.
Sumber : http://www.hsl.com.sg
Gambar 2.4 Dermaga tipe jetty dengan menggunakan akses penguhubung trestle.
Konstruksi trestle ini tidak ekonomis karena pekerjaan ini memerlukan
beberapa elemen yaitu terdiri dari tiang pancang, balok, plat dan elemen
pelengkap lainnya. Terlebih lagi lokasi yang berada di pulau obi sehingga sulit
dijangkau dan biaya mobilisasi bahan dan keperluan lainnya akan menambah
biaya kerja, sehingga pekerjaan ini memerlukan dana yang tidak sedikit.
Sumber : http://bywaysbyrailway.wordpress.com
Gambar 2.5 Reklamasi causeway
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-5
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Oleh karena itu, penggunaan konstruksi causeway akan lebih ekonomis dan
efisien, dikarenakan material untuk timbunan konstruksi causeway berada tidak
jauh dari tempat pelaksanaan konstruksi dan material tersebut tidak membutuhkan
banyak biaya selain biaya mobilisasi dari lokasi material tersebut sampai ke lokasi
pekerjaan konstruksi.
2.2
Perencanaan Causeway
Beberapa teori yang digunakan sebagai acuan dalam perhitungan
perencanaan causeway pada lapangan adalah sebagai berikut :

Parameter Tanah

Kekuatan geser tanah

Teori stabilitas lereng

Kriteria pembebanan dermaga
2.2.1 Parameter Tanah
Dari sudut pandang teknis, tanah dapat digolongkan kedalam beberapa
macam jenis berikut ini :
 Batu Kerikil (Gravel)
 Pasir (Sand)
 Lanau (Silt)
 Lempung (Clay) : - anorganik
- organik
Komposisi batu kerikil dan pasir sering kali dikenal sebagai kelas bahanbahan yang berbutir kasar atau bahan-bahan tidak kohesif, sedang golongan lanau
dan lempung dikenal sebagai kelas bahan-bahan yang berbutir halus atau bahanbahan kohesif.
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-6
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
a. Batu Kerikil dan Pasir
Golongan batu ini terdiri dari pecahan-pecahan batu dengan berbagai
ukuran
dan bentuk. Butir-butir kerikil biasanya terdiri dari pecahan-pecahan
batu,
namun ada pula yang terdiri dari satu macam zat mineral, terutama
kwarsa.
Dalam beberapa kasus, hanya terdapat satu ukuran atau seragam. Pada
kasus lainnya, terdapat susunan yang mencakup dari butir terkecil hingga yang
paling besar, butiran ini disebut komposisi bergradasi baik.
b. Lanau
Lanau adalah bahan peralihan antara lempung dan pasir halus, kurang
plastis dan lebih mudah untuk teraliri air.
c. Lempung
Lempung terdiri dari butir-butir kasar yang sangat kecil dan
menunjukkan sifat plastisitas dan kohesi. Adanya kohesi menunjukkan
komposisi lempung melekat satu sama lainnya, sedangkan plastisitas adalah
sifat yang memungkinkan bentuk komposisi tersebut tidak akan kembali
kebentuk aslinya apabila telah dirubah namun tidak terjadi retak pada
komposisi tanah tersebut.
2.2.1.2 Klasifikasi tanah berdasarkan data sondir
Data tekanan conus (qc) dan hambatan pelekat (fs) yang didapatkan dari
hasil pengujian sondir dapat digunakan untuk menentukan jenis tanah seperti yang
ditunjukkan dalam tabel 2.1 :
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-7
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.1 Klasifikasi tanah dari data sondir
Hasil Sondir
qc
fs
6.0
0.15-0.40
6.0-10.0
0.20
10.0-30.0
Humus, lempung sangat lunak
Pasir kelanauan lepas, sangat lepas
0.20-0.60
Klasifikasi
0.10
Lempung lembek, lempung kelanauan
Kerikil lepas
0.10-0.40
Pasir lepas
0.40-0.80
Lempung atau lempung kelanauan
0.80-2.00
Lempung
30-60
1.50
Pasir kelanauan, pasir agak padat
1.0-3.0
Lempung atau lempung kelanauan
60-150
1.0
1.0-3.0
Kerikil berpasir lepas
Pasir padat, pasir kelanauan atau lempung padat dan lempung
kelanauan
3.0
150-300
1.0-2.0
Lempung kekerikilan
Pasir padat, pasir kekerikilan, pasir kasar, pasir kelanauan,
padat
Sumber : Buku Mekanika Tanah, Braja M.das Jilid 1
Hubungan antara konsistensi terhadap tekanan conus dan undrained
cohesion adalah sebanding dimana semakin tinggi nilai c dan q c maka semakin
keras tanah tersebut. Seperti yang terlihat dalam tabel 2.2 :
Tabel 2.2 Hubungan antara konsistensi dengan tekanan conus
Konsistensi
Tekanan Konus qc
Undrained Cohesion c
Tanah
(kg/cm²)
(T/m²)
Very Soft
<2.50
<1.25
Soft
2.50-5.0
1.25-2.50
Medium Stiff
5.0-10.0
2.50-5.0
Stiff
10.0-20.0
5.0-10.0
Very Stiff
20.0-40.0
10.0-20.0
Hard
>40
>20.0
Sumber : Begeman 1965
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-8
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Begitu pula hubungan antara kepadatan dengan relative density, nilai N SPT,q
c dan
adalah seimbang. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.3
Tabel 2.3 Hubungan antara kepadatan,
(
Very Loose (sangat lepas)
Nilai NSPT
Tekanan
Sudut
Konus qc
Geser
(kg/cm²)
( )
<0.2
<4
<20
<30
Loose (lepas)
0.2-0.4
4-10
20-40
30-35
Medium Dense (sedang)
0.4-0.6
10-30
40-120
35-40
Dense (padat)
0.6-0.8
30-50
120-200
40-45
Very Dense (sangat padat)
0.8-1.0
>50
>200
>45
Hard
>40
>20.0
Relatif
Density
Kepadatan
, nilai N-SPT, qc, dan sudut geser tanah
Sumber : Mayerhof 1965
2.2.1.3 Sudut Geser Dalam
Kekuatan geser dalam mempunyai variabel kohesi dan sudut geser dalam.
Sudut geser dalam bersamaan dengan kohesi menentukan ketahanan tanah akibat
tegangan yang bekerja berupa tekanan lateral tanah. Nilai ini juga didapatkan dari
pengukuran engineering properties tanah dengan direct shear test. Hubungan
anatara sudut geser dalam dan jenis tanah ditunjukkan pada tabel 2.4 :
Tabel 2.4 Hubungan antara konsistensi dengan tekanan conus
Kepadatan
Sudut Geser Dalam( )
Kerikil Kepasiran
35°-40°
Kerikil Kerakal
35°-40°
Pasir Padat
35°-40°
Pasir Lepas
30°
Lempung Kelanauan
25°-30°
Lempung
20°-25°
Sumber : Buku Mekanika Tanah, Braja M.das Jilid 1
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-9
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.2.1.4 Kohesi
Kohesi merupakan gaya tarik menarik antar partikel tanah. Bersama dengan
sudut geser dalam, kohesi merupakan parameter kuat geser tanah yang
menentukan ketahanan tanah terhadap deformasi akibat tegangan yang bekerja
pada tanah dalam hal ini berupa gerakan lateral tanah. Deformasi ini terjadi akibat
kombinasi keadaan kritis pada tegangan normal dan tegangan geser yang tidak
sesuai
dengan faktor keaman dari yang direncanakan. Nilai ini didapat dari
pengujian
direct shear test.
2.2.2 Kekuatan Geser Tanah
Kekuatan geser suatu massa tanah merupakan perlawanan internal tanah
tersebut persatuan luas terhadap keruntuhan atau pergeseran sepanjang bidang
geser dalam tanah yang dimaksud. Untuk menganalisis masalah stabilitas tanah
seperti daya dukung, stabilitas lereng, harus diketahui terlebih dahulu sifat-sifat
ketahanan geser tanah tersebut. Kekuatan geser tanah diperlukan untuk
menghitung daya dukung tanah (bearing capacity), tegangan tanah terhadap
dinding penahan (earth pressure) dan kestabilan lereng.
2.2.2.1 Kriteria Keruntuhan Menurut Mohr-Coulomb
Menurut
Mohr (1980) keruntuhan terjadi pada suatu material akibat
kombinasi kritis antara tegangan normal dan geser, bukan hanya karena salah
satu tegangan normal maksimum atau tegangan geser maksimum saja. Hubungan
antara tegangan normal dan geser pada sebuah bidang keruntuhan dapat
dinyatakan dengan persamaan (2-1) seperti yang terlihat pada Gambar 2.6.
=f
(2-1)
dimana :
= kekuatan geser
= tegangan
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-10
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Namun garis keruntuhan yang dinyatakan oleh persamaan (2.1) di atas
sebenarnya berbentuk garis lengkung seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Garis
lengkung tersebut cukup didekati dengan sebuah garis lurus yang akan
menunjukkan
hubungan linear antara tegangan normal dan geser, dan hubungan
ini disebut sebagai kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb. Menurut Coulomb (1776)
persamaannya adalah :
= c + σ tan
(2-2)
dimana :
c
= kohesi
= sudut geser internal
= tegangan
Sumber : Braja M.Das 1985
Gambar 2.6 Bidang keruntuhan menurut Mohr
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-11
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Sumber : Braja M.Das 1985
Gambar 2.7 Garis Keruntuhan Mohr dan hokum keruntuhan dari Mohr-Coulumb
Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.7 apabila garis keruntuhan
berada dititik A, maka keruntuhan geser tidak akan terjadi pada bidang tersebut.
Tetapi apabila tegangan normal dan geser yang bekerja pada suatu bidang yang
lain berada di titik B yang tepat berada di garis keruntuhan, maka keruntuhan
geser akan terjadi. Namun apabila garis keruntuhan berada di titik C, sudah pasti
keruntuhan geser sudah terjadi sebelumnya.
2.2.2.2 Kemiringan Bidang Keruntuhan Akibat Geser
Untuk menentukan kemiringan bidang keruntuhan dengan bidang utama
besar (major principal plane), dengan bidang keruntuhan membentuk sudut
,
maka harga tegangan normal dan geser pada bidang tersebut dapat dinyatakan
dengan persamaan (2-3) dan (2-4).
(2-3)
dan
(2-4)
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-12
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dengan mensubstitusikan persamaan tersebut maka akan menghasilkan
persamaan :
(2-5)
dimana :
= tegangan utama besar
= tegangan utama kecil
Sumber : Braja M.Das 1985
Gambar 2.8 Kemiringan bidang keruntuhan dengan bidang utama besar didalam tanah
Garis keruntuhan yang dinyatakan oleh persamaan
= c + σ tan
menyinggung lingkaran Mohr pada titik X yang bisa dilihat pada gambar 2.5. Jadi
keruntuhan geser pada bidang tersebut dapat dinyatakan dengan jari-jari OX, dan
bidang tersebut akan membentuk kemiringan sudut dengan harga :
(2-6)
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-13
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Sumber : Braja M.Das 1985
Gambar 2.9 Lingkaran Mohr dan garis keruntuhan
dimasukkan kedalam persamaan (2-5) dan
Apabila harga
kemudian disederhanakan maka akan menghasilkan :
(
)
(
)
(2-7)
dimana :
= tegangan utama besar
= tegangan utama kecil
= sudut geser internal (kondisi drained)
2.2.2.3 Hukum Keruntuhan Geser Pada Tanah Jenuh Air
Pada tanah jenuh air, tegangan normal total adalah :
σ=
+u
(2-8)
jadi :
=c+
tan
(2-9)
Tanah yang memiliki nilai c nol hanya pasir dan lanau anorganik, Untuk
tanah lempung yang terkonsolidasi-normal, harga c juga dapat dianggap nol.
Namun untuk tanah lempung terkonsolidasi lebih, harga c yang dimiliki pasti > 0.
Lalu harga
yang umum dijumpai pada tanah dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-14
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.5 Harga-harga yang umum dari sudut geser internal dengan kondisi drained untuk pasir
dan lanau.
Tipe Tanah
Pasir : butiran bulat
(deg)
Renggang / Lepas
27-30
Menengah
30-35
Padat
35-38
Pasir : butiran bersudut
Renggang / Lepas
30-35
Menengah
35-40
Padat
40-45
Kerikil Bercampur Pasir
34-48
Lanau
26-35
Sumber : Braja M.Das 1985
2.2.3 Stabilitas Lereng
Suatu permukaan tanah yang miring dengan sudut tertentu terhadap bidang
horizontal dan tidak dilindungi disebut sebagai lereng tak tertahan. Lereng ini bisa
terbentuk alamiah atau dibuat untuk tujuan pembangunan tertentu. Bila
permukaan tanah tidak datar, maka komponen berat tanah yang sejajar dengan
kemiringan lereng akan menyebabkan tanah bergerak ke arah bawah seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.10 dan Gambar 2.11.
Zona Kelongsoran
Sumber : Braja M.Das 1985
Gambar 2.10 Kelongsoran pada lereng bertanah kohesif
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-15
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Zona Kelongsoran
Sumber : Braja M.Das 1985
2.11 Kelongsoran pada lereng bertanah non-kohesif
Gambar
Dalam menghitung stabilitas lereng khususnya yang dibahas disini adalah
stabilitas dari lereng timbunan, perlu memperhatikan faktor-faktor yang
menyebabkan kelongsoran lereng tersebut. Faktor yang perlu dilakukan tersebut
adalah menghitung dan membandingkan tegangan geser yang terbentuk sepanjang
permukaan retak yang paling mungkin dengan kekuatan geser dari tanah yang
bersangkutan, dan proses ini dinamakan analisis stabilitas lereng.
2.2.3.1 Jenis-jenis Kelongsoran
Akibat ketidakstabilan lereng menurut Giani (1992) dapat berupa
longsoran , runtuhan, guguran, aliran dan kombinasi dari berbagai gerak
tersebut. Jenis-jenis gerakan kelongsoran tanah yang biasanya terjadi selama
ini adalah :
 Kelongsoran translasi
Kelongsoran translasi merupakan peristiwa yang terjadi pada bidang
lemah. Umumnya terjadi pada tanah berbutir kasar.
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-16
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Sumber : Broms 1975
Gambar 2.12 Kelongsoran translasi
 Kelongsoran rotasi
Kelongsoran rotasi merupakan peristiwa kelongsoran yang terjadi
pada tanah berbutir halus dan mempunyai titik putaran pada sumbu
bidang yang paralel dengan lereng. Potongannya dapat berupa busur
lingkaran dan kurva bukan lingkaran. Pada umumnya, kelongsoran
berupa busur lingkaran berhubungan dengan kondisi tanah yang
homogen, dan kelongsoran bukan lingkaran berhubungan dengan
kondisi tanah yang tidak homogen.
Sumber : Broms 1975
Gambar 2.13 Kelongsoran rotasi
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-17
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Jenis-jenis kelongsoran rotasi yang sering terjadi :
 Kelongsoran
(base
slide),
kelongsoran
yang
bidang
kelongsorannya membentuk bidang busur lingkaran pada seluruh
bidang lereng. Pada umumnya disebabkan karena terdapatnya suatu
lapisan lunak pada lapisan atas tanah yang keras.
 Kelongsoran lereng (slope slide), kelongsoran yang permukaan
dasar
kelongsorannya sampai bidang lereng dan belum melewati ujung kaki
lereng.
 Kelongsoran ujung kaki lereng (toe slide), kelongsoran yang
permukaan bidang kelongsorannya melalui ujung kaki lereng.
Sumber : Broms 1975
Gambar 2.14 Jenis-jenis kelongsoran rotasi
 Kelongsoran kombinasi
Kelongsoran kombinasi merupakan kelongsoran yang terjadi akibat
kombinasi kelongsoran translasi dan kelongsoran rotasi, biasa terjadi
pada batuan yang sudah lapuk.
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-18
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
: Broms 1975
Sumber
Gambar 2.15 Kelongsoran kombinasi
 Jatuhan bebas
Jatuhan bebas atau rolling merupakan peristiwa jatuhnya massa tanah
atau batu yang disebabkan oleh hilangnya kontak dengan permukaan
tanah.
Sumber : Broms 1975
Gambar 2.16 Kelongsoran jatuhan bebas
 Jungkiran
Jungkiran atau topless merupakan peristiwa yang terjadi akibat adanya
momen guling yang bekerja pada suatu titik putar di bawah suatu
titik massa. Peristiwa jungkiran ini biasa terjadi pada batuan yang
mempunyai banyak kekar atau garis putus-putus.
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-19
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Sumber : Broms 1975
Gambar 2.17 Kelongsoran jungkiran
 Aliran
Aliran merupakan peristiwa dimana pola kelongsorannya terjadi seperti
perilaku air mengalir, dimana tanah yang jenuh air mengalir ketempat
yang lebih rendah bersama air.
Sumber : Broms 1975
Gambar 2.18 Kelongsoran aliran
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-20
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.2.3.2 Definisi Faktor Keamanan Terhadap Longsor
Faktor keamanan didefinisikan sebagai perbandingan antara kekuatan geser
tanah terhadap kekuatan geser yang diterima sepanjang bidang tanah. Hal ini bisa
dituliskan
:
(2-10)
Dimana
Fs = angka keamanan
τf = kekuatan geser tanah
τd = kekuatan geser yang diterima sepanjang bidang
Sedangkan untuk kekuatan geser tanah sendiri terdiri dari kohesi dan
geseran, hal ini bisa dituliskan seperti pada persamaan (2-2) :
τf = c + σ tan ϕ
dimana :
c = kohesi
σ = tegangan normal
ϕ =sudut geser tanah
Persamaan diatas juga berlaku untuk kekuatan geser yang diterima
sepanjang bidang,
τd = cd + σ tan ϕd
(2-11)
cd = kohesi
ϕd =sudut geser tanah yang bekerja sepanjang bidang
Dari perbandingan kedua persamaan diatas, bila ϕd bervariasi dan ϕ
konstan. Bisa diamati :
Sudut Geser
ϕd < ϕ
ϕd = ϕ
ϕd > ϕ
Faktor Keamanan
FS > 1
FS = 1
FS < 1
Kondisi Lereng
Stabil
Labil / kritis
Runtuh
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-21
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.2.3.3 Analisis Stabilitas Lereng Dengan Tinggi Terbatas dengan (Metode
Culman)
Analisis ini didasarkan pada anggapan bahwa kelongsoran suatu lereng
terjadi sepanjang bidang, bila tegangan geser rata-rata yang dapat menyebabkan
kelongsoran lebih besar dari kekutan geser tanah. Bidang yang paling kritis adalah
bidang yang dimana rasio antara tegangan geser rata-rata dengan kekuatan geser
rata-rata
yang menyebabkan kelongsoran adalah minimum.
Gambar 2.19 menunjukan suatu lereng dengan tinggi H. Kemiringan lereng
terhadap bidang horisontal adalah . Bidang longsor yang ditinjau adalah bidang
AC. Lalu berat bagian longsoran adalah ABC = W.
*
+
(2-12)
Komponen-komponen W yang tegak lurus dan sejajar terhadap bidang AC
adalah sebagai berikut :
= komponen yang tegak lurus bidang = W cos
*
+
(2-13)
Sumber : Braja M.das1985
Gambar 2.19 Analisis lereng dengan tinggi terbatas metoda Culman
= komponen yang sejajar bidang = W cos
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-22
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
*
+
(2-14)
Tegangan normal (tegangan yang tegak lurus bidang) rata-rata dan tegangan
geser
pada bidang AC diberikan sebagai berikut :
= tegangan normal rata-rata
=
=
(
)
*
+
(2-15)
dan
= tegangan normal rata-rata
=
=
(
)
*
+
(2-16)
Tegangan geser perlawanan rata-rata yang terbentuk sepanjang bidang
AC dapat dinyatakan dengan persamaan (2-11).
τd = cd + σ tan ϕd
Namun harga σ memakai persamaan (2-15) sehingga :
τd = cd +
*
+
. tan ϕd
(2-17)
Dari persamaan (2-16) dan persamaan (2-17) didapatkan :
cd =
*
+
(2-18)
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-23
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
dimana :
= Berat bagian ABC
= Tinggi
= Komponen yang tegak lurus bidang
= Komponen yang sejajar bidang
= Kemiringan lereng terhadap bidang horisontal
= Sudut
Persamaan (2-18) ini diturunkan dari bidang longsor percobaan AC.
Selanjutnya
dalam menentukan bidang longsor yang kritis bisa diterapkan prinsip
maksimal dan minimal (untuk harga Ød tertentu) untuk mendapatkan sudut
di
mana kohesi yang bekerja (cd) akan maksimum. Jadi, penurunan pertama dari
cd
terhadap
dibuat sama dengan nol atau :
=0
(2-19)
Mengingat
dalam persamaan (2-18) adalah tetap, maka :
=[
]
(2-20)
Penyelesaian persamaan (2-20) memberikan harga kritis dari
atau
(2-21)
Dengan memasukkan harga
ke dalam persamaan (2-18) maka
didapatkan :
cd =
*
+
(2-22)
Tinggi maksimum dari lereng di mana keseimbangan kritis terjadi dapat
ditentukan dengan memasukkan cd = c, dan
=
ke dalam persamaan (2-22).
Sehingga :
cr =
*
+
(2-23)
dimana :
cr
= Tinggi kritis lereng
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-24
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.2.3.4 Analisis Stabilitas Lereng Dengan Cara Prosedur Massa
Dengan tanah dianggap homogen pada Gambar 2.20. Kekuatan geser tanah
dianggap
dalam keadaan undrained (air pori dijaga agar tidak keluar) dari tanah
dianggap
tetap dengan kedalaman dan diberikan sebagai
τf
= Cu. Analisis
stabilitas lereng dapat dilakukan dengan memilih suatu potensi bidang longsor
yaitu AED yang merupakan busur lingkaran berjari-jari = r, dan pusat lingkaran
terletak pada O. Dengan memperhatikan satuan tebal yang tegak lurus pada
bagian yang akan ditinjau, maka berat tanah yang berada diatas lengkung (kurva)
AED dapat diketahui melalui W = W1 + W2, dengan :
W1 = (luasan FCDEF) x (
W2 = (luasan ABFEA) x (
Keruntuhan lereng mungkin terjadi karena massa tanah yang menggelincir.
Momen gaya yang mendatang terhadap titik O yang menyebabkan ketidak
setabilan lereng adalah :
M1 = W1 l1 + W2 l2
(2-24)
Dimana :
l1 dan l2 adalah lengan momen
Sumber : Braja M.das1985
Gambar 2.20 Analisis stabilitas lereng denga cara prosedur massa dalam tanah lempung yang
homogen (
)
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-25
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Perlawanan terhadap kelongsoran berasal dari kohesi yang bekerja
sepanjang
bidang gelincir. Bila Cd adalah kohesi yang dibutuhkan untuk
terbentuk,
maka momen gaya perlawanan terhadap titik O adalah :
(2-25)
dimana :
= Momen perlawanan
= Momen dorong
= Jari-jari lingkaran kelongsoran
Untuk keseimbangan,
; jadi,
= W1 l1 + W2 l2
atau
(2-26)
Angka keamanan terhadap kelongsoran didapatkan sebagai :
(2-27)
dimana :
= Angka keamanan terhadap kekuatan
= Tegangan geser
= Kohesi untuk kondisi undrained
= Kohesi yang dibutuhkan
Untuk kasus lingkaran kritis, besar kohesi yang dibutuhkan dapat
dinyatakan dengan hubungan menurut Fellenius (1927) dan Taylor (1937) berikut.
atau
(2-28)
dimana :
m
= Angka stabilitas
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-26
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Besaran m di sebelah kanan persamaan (2-28) adalah bilangan tak
berdimensi, dan mengacu sebagai angka stabilitas (stability number). Selanjutnya
=1) lereng ini dapat dievaluasi dengan menggantikan H=
pada persamaan (2-28) maka harga angka stabilitas m, untuk
tinggi kritis (yaitu,
dan
lereng dengan bermacam-macam sudut kemiringan
2.21. Terzaghi merupakan istilah
cr
diberikan dalam Gambar
, kebalikan dari m, dan disebut juga sebgai
faktor stabilitas (stability factor). Tetapi Gambar 2.21 hanya berlaku untuk lereng
dari tanah lempung yang jenuh dan hanya berlaku untuk keadaan undrained (air
pori dijaga agar tidak keluar), pada saat
Lingkaran ujung dasar lereng
Lingkaran titik tengah
Lingkaran lereng
(a)
(b)
Sumber : Braja M.das1985
Gambar 2.21 Definisi dari parameter-parameter untuk tipe keruntuhan lereng lingkaran titik
tengah (midpoint circle)(a), dan grafik hubungan antara angka stabilitas dengan sudut kemiringan
lereng (digambar lagi setelah terzaghi dan peck, 1976) (b).
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-27
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fellenius (1927) menyelidiki juga masalah lingkaran ujung dasar lereng
yang kritis dari lereng dengan
. Letak titik pusat lingkaran dengan ujung
dasar talud dapat ditentukan dengan menggunakan Gambar 2.22 dan tabel 2.6.
Tabel 2.6 Kohesi dari pusat lingkaran unjung dasar lereng (
(derajat)
(derajat)
(derajat)
1,0
45
28
37
1,5
33,68
26
35
2,0
26,57
25
35
3,0
18,43
25
35
5,0
11,32
25
37
Sumber : Braja M.das1985
Untuk notasi
,
,
bisa didapatkan dari Gambar 2.22.
Sumber : Braja M.das1985
Gambar 2.22 Kohesi dari pusat lingkaran kritis untuk
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-28
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.2.3.5 Analisis Stabilitas Lereng Dengan Cara Metoda Irisan Bishop yang
Disederhanakan
Dalam metode ini, pengaruh gaya-gaya pada sisi tepi tiap irisan
diperhitungkan. Cara ini dapat dikerjakan dengan memperhatikan analisis lereng
yang diberikan dalam Gambar 2.23. Gaya-gaya yang bekerja pada irisan nomor
n, yang ditunjukkan dalam Gambar 2.23 b, digambarkan dalam Gambar 2.25 a.
Apabila
:
(
)
(2-29)
Didalam Gambar 2.25 b menunjukkan polygon gaya untuk keseimbangan
dari irisan nomor n, Jumlahkan gaya dalam arah vertikal.
+ sin
*
(2-30)
atau :
(2-31)
Untuk kesetimbangan blok ABC Gambar 2.23 a, ambil momen terhadap O
∑
dengan :
∑
(2-32)
(2-33)
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-29
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dengan memasukkan persamaan (2-31) dan (2-33) ke dalam persamaan
(2-32), didapatkan :
∑
𝐹𝑠
(2-34)
∑
dengan :
(2-35)
Untuk penyederhanaan, maka
maka persamaan (2-34) berubah
menjadi :
∑
𝐹𝑠
(2-36)
∑
dimana :
= Angka keamanan terhadap kekuatan
= Berat
= Kohesi
b
= lebar potongan
n
= Perbandingan antara jarak perpotongan lingkaran titik tengah
kritis terhadap ujung dasar lereng dan tinggi lereng
= Sudut
= Gaya horisontal pada sisi irisan
Dikarenakan nilai
berada di kedua sisi persamaan (2-36), maka perlu
dilakukannya trial and error untuk mendapatkan nilai tersebut.
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-30
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
(a)
(b)
Sumber : Braja M.das 1985
Gambar 2.23 Analisa stabilitas dengan metoda irisan yang biasa : Permukaan bidang yang dicoba
(a) ; gaya yang bekerja pada irisan nomor n (b).
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-31
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Sumber : Braja M.das 1985
Gambar 2.24 Analisa stabilitas dengan metoda irisan yang biasa untuk lereng pada tanah berlapis
(a)
(b)
Sumber : Braja M.das 1985
Gambar 2.25 Metoda irisan menurut Bishop yang sudah disederhanakan: Gaya-gaya yang bekerja
pada irisan nomor n (a), polygon gaya untuk keseimbangan (b).
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-32
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Sumber : Braja M.das 1985
Gambar 2.26 Variasi
dengan (tan )/
dan
2.2.4 Kriteria Pembebanan Dermaga
Dalam mendesain suatu dermaga atau pelabuhan, diperlukannya desain
konstruksi causeway yang baik. Dalam proses mendesain konstruksi penghubung
dermaga tersebtu, diperlukannya menentukan beban yang terjadi pada konstruksi
tersebut. Pembebanan konstruksi causeway ini terbagi atas beban vertikal, beban
horizontal, dan beban gempa. Berikut ini penjelasan pembebanan tersebut.
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-33
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.2.4.1 Beban Vertikal
Beban vertikal pada konstruksi causeway terdiri dari :
 Beban mati (berat sendiri) (DL)
Beban mati merupakan beban-beban mati yang secara permanen
membebani konstruksi yaitu beban timbunan causeway itu sendiri dan
termasuk segala unsur tambahan yang merupakan satu kesatuan dengannya.
 Beban hidup merata akibat muatan (LL)
Adalah beban merata yang diakibatkan oleh beban semua muatan
tidak tetap yang berada di atas konstruksi causeway kecuali beban gempa,
beban angin dan pengaruh-pengaruh khusus seperti selisih suhu, susut, dan
lain-lain. Beban hidup ini merupakan beban pejalan kaki serta beban
kendaraan bermuatan barang yaitu truk. Truk yang melewati konstruksi ini
adalah truk pengangkut barang tambang yang akan keluar atau masuk ke
area causeway. Untuk beban pejalan kaki bisa diabaikan karena beban
terlalu kecil. Beban yang perlu diperhatikan adalah beban truk. Besar dan
letak konfigurasi roda truk tersebut dapat dilihat pada gambar 2.27
Sumber : RSNI T 02-2005
Gambar 2.27 Posisi beban pada roda truk
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-34
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 Beban khusus (
&
)
Beban khusus ini adalah beban tambahan yang diperlukan dalam
kombinasi pembeban pada konstruksi causeway. Beban ini adalah beban
perawatan lereng timbunan causeway yang dikerjakan oleh hydraulic
excavator seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.28.
Gambar 2.28 Lereng yang perlu dilakukan perawatan pada potongan melintang D timbunan
causeway
Timbunan konstruksi causeway telah direncakan untuk memiliki dua
trap pada keseleruhan lerengnya yang bertujuan untuk stabilisasi lereng
dikarenakan lereng yang tinggi maksimumnya mencapai 16.5 m sehingga
perawatan jangka panjang akan diperlukan.
Dikarenakan lereng memiliki dua trap, maka beban khusus ini terbagi
dua yaitu beban hydraulic excavator pada trap 1 atau trap atas
seperti
yang dapat dilihat pada gambar 2.29, dan beban hydraulic excavator pada
trap 2 atau trap bawah
seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.30.
karena tidak mungkin perawatan trap atas dan bawah dilakukan bersaman
pada garis lokasi yang sama.
Beban perawatan lereng ini diambil berdasarkan beban dari hydraulic
excavator yang memiliki dimensi serta beban terberat dikelasnya namun
tetap tidak melebihi lebar trap yang telah direncanankan, yaitu large
hydraulic excavator 345 C L. Beban kerja dari alat berat ini adalah 44970
kg. Namun kami membulatkannya menjadi 45000 kg dalam proses
perhitungan lereng timbunan konstruksi causeway ini.
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-35
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.29 Beban hydraulic excavator pada trap 1 atau atas
Gambar 2.30 Beban hydraulic excavator pada trap 2 atau bawah
2.2.4.2 Beban Horizontal
Beban horizontal dermaga terdiri dari :
 Tekanan Arus
Beban gelombang ombak atau tekanan arus merupakan beban
horizontal/lateral yang terjadi pada timbunan konstruksi causeway tersebut.
Besarnya tekanan ini tergantung dari kecepatan arus pada saat mengenai
timbunan konstruksi causeway dan luasan timbunan yang terkena ombak.
Namun tekanan arus ini diabaikan dalam perhitungan ditugas akhir ini,
dikarenakan tekanan arus berada diluar batasan masalah.
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-36
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 Tekanan angin
Pada umumnya tekanan tiup angin diambil minimum 25 kg/m², dan
tekanan tiup yang berada di laut dan tepi laut sampai sejauh 5 km dari pantai
harus diambil minimum 40 kg/m². Namun untuk daerah-daerah lain tertentu,
dimana terdapat kecepatan-kecepatan angin yang memungkinkan hasil
tekanan tiup yang lebih besar daripada ketentuan yang ada, maka tekanan
tiup angin (p) harus dihitung dengan rumus sebagai berikut :
(2-37)
dimana : V = kecepatan angin, (m/detik)
Namun tekanan angin ini diabaikan dalam perhitungan ditugas akhir
ini, dikarenakan tekanan angin yang kecil sehingga tidak mempengaruhi
timbunan konstruksi causeway.
2.2.4.3 Beban Gempa
Perhitungan beban gempa tidak dapat didasarkan pada SNI 03-1726-2002
dan SNI 2833-2008 dikarenakan standar tersebut hanya untuk perhitungan beban
gempa gedung dan jembatan . untuk beban gempa, perhitungan akan ditambahkan
pada program bantu analisa stabilitas lereng geo-slope dengan koefisian gempa
yang telah ditentukan.
Koefisien gempa bisa didapatkan dari peta gempa. Peta gempa adalah hasil
analisis pengamatan terakhir yang telah disusun peta zonasi gempa yang
didalamnya tercakup frekuensi kejadian dan skala besaran gempa. Koefisien
gempa didasarkan pada perhitungan seismic hazard analysis, yaitu perhitungan
intensitas gempa yang mengacu pada perhitungan teori probabilitas. Indonesia
dibagi menjadi 6 wilayah gempa, seperti yang terlihat pada gambar 3.31
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-37
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Sumber : SNI 03-1726-2002
Gambar 2.31 Wilayah gempa dengan percepatan puncak batuan dasar perioda ulang 500 tahun
2.2.4.4Kombinasi beban
Standar design criteria for port in Indonesia 1994 mengatur tentang
besarnya beban-beban yang bekerja, tetapi tidak mencantumkan adanya
kombinasi pembebanan. Serta dalam standar teknis untuk sarana-sarana pelabuhan
di Jepang 1995, disebutkan bahwa beban gempa, angin dan gaya tarik boulder
dianggap sebagai beban pada kondisi khusus, yaitu beban sementara.
Pada dasarnya pembebanan konstruksi causeway tidak ada di pedoman
manapun, namun pembebanan perlu dikombinasikan untuk memperkirakan
kemungkinan terjadinya beberapa beban. Kombinasi beban ini dilakukan untuk
memperoleh kondisi pembebanan maksimun pada konstruksi causeway. Dalam
perencanaan ini, dipergunakan kombinasi beban sebagai berikut :
 DL+LL
 DL+LL+
 DL+LL+
 DL+50%LL+SL
 DL+50%LL+
+SL
 DL+50%LL+
+SL
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-38
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dimana : DL = Beban mati
LL = Beban hidup
= Beban khusus pada trap 1
= Beban khusus pada trap 2
SL = Beban gempa
2.2.5 Unsur Pelengkap Timbunan Causeway
Bagian pada konstruksi causeway ini tidak hanya timbunan tanah granular
non-kohesif.
Konstruksi ini memerlukan unsur pelengkap lainnya sehingga dapat
menopang kebutuhan serta dapat bertahan sesuai dengan tujuan dibangunnya
konstruksi ini. Unsur pelengkap konstruksi causeway ini mencangkup perkerasan,
geotextile, armour layer, dan plat injak.
2.2.5.1 Lapisan Tanah Laterit
Konstruksi causeway ini adalah akses penghubung antara dermaga jetty dan
tepi pantai sehingga timbunan ini akan dilewati oleh truk pengangkut barang dan
hasil tambang keluar masuk dermaga. Oleh karena itu diperlukannya perkerasan
di atas timbunan ini sehingga mobilisasi di dermaga tersebut bisa dilakukan.
Sumber : http://arisudev.wordpress.com
Gambar 2.32 Contoh tanah laterit yang berada dilapangan
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-39
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Perkerasan di atas timbunan ini digantikan oleh tanah laterit. Tanah laterit
adalah sejenis lempung yang mengandung sejumlah kwarsa, kaya akan besi dan
alumunium.
Dikarenakan kandungannya, tanah laterit ini mudah mengeras karena
kelembaban
diantara partikel-partikel lempungnya menguap dan membentuk
struktur yang kaku.
Lokasi pelaksanaan konstruksi berada dipulau terpencil dan bagian dari
wilayah Indonesia Timur yang tertinggal, sehingga tidak mungkin timbunan
tersebut memakai perkerasan lentur ataupun perkerasan kaku. Hal inilah yang
menyebabkan
pemakaian tanah laterit sebagai perkerasan untuk kendaraan yang
berkebutuhan memobilisasi barang tambang yang ada dipulau obi tersebut,
ditambah lagi dengan karakteristik tanah laterit yang mendukung untuk
menggantikan fungsi perkerasan. Tanah laterit ini memiliki tebal rencana 1.5 m
seperti yang terlihat pada gambar 3.33, dan seluruh permukaan teratas dari
konstruksi causeway akan ditutupi oleh lapisan tanah laterit ini.
Gambar 2.33 Lapisan tanah laterit dengan tebal 1.5m
2.2.5.2 Geotextile Non Woven
Geotextile adalah sejenis geosintetik yang terbuat dari anyaman ataupun
rajutan yang menyerupai bahan textile yang memiliki banyak fungsi dan salah
satunya adalah sebagai separator. Geosintetik adalah bahan sintetis yang pada
umumnya terbuat dari bahan plastic yang digunakan untuk aplikasi teknik sipil
dalam lingkungan tanah. Bahan geosintetis mulai dikenal dan digunakan di dunia
pada awal tahun 1970-an, lalu mulai dipergunakan di Indonesia tahun 1990-an.
Bahan geosintetis sekarang ini telah banyak digunakan di Indonesia.
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-40
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tanah laterit yang digunakan untuk perkerasan berada langsung di atas
tanah timbunan granular non-kohesif yang seluruh gradasinya memiliki ukuran
butir > 2 mm, sedangkan tanah laterit sendiri adalah jenis tanah lempung yang
memiliki
ukuran butir < 0.002 mm. Kondisi tersebut sudah dapat dipastikan akan
menyebabkan tanah laterit akan terbawa aliran air ketika air ada di atasnya dan
masuk kedalam pori-pori dari tanah timbunan yang ada di bawahnya. Ditambah
lagi dengan kemungkinan terjadinya kerusakan oleh beban kendaraan di atas
tanah laterit yang akan menyebabkan tanah laterit tertekan dan mengisi celah yang
terdapat
pada tanah timbunan yang berada di bawahnya. Oleh karena itu
diperlukannya perlindungan atau pembatas tanah laterit tersebut, dan pembatas
yang akan digunakan adalah geotextile non woven.
Sumber : http://geotextile.web.id
Gambar 2.34 Geotextile non woven
Geotextile non woven adalah geotextile yang biasa dipergunakan untuk
separator atau pembatas antara lapisan tanah. Geotextile non woven diletakkan
diantara lapisan tanah laterit yang berada diatasnya dan lapisan tanah timbunan
yang berada dibawahnya seperti yang terlihat pada gambar 2.35. Peletakkan
tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya pengikisan tanah laterit oleh air
sehingga masuk ke dalam lapisan tanah timbunan, dan itu akan menyebabkan
perkerasan tidak dapat digunakan. Geotextil non woven ini akan diletakkan
diseluruh permukaan timbunan causeway sebagai pembatas tanah laterit.
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-41
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.35 Penempatan geotextil non woven pada causeway
2.2.5.3 Armour Layer (Rivertment)
Armour layer adalah lapisan batuan yang berfungsi sebagai pelindung
lereng timbunan yang bersentuhan langsung dengan tekanan dari gelombang air
laut. Batuan ini digunakan untuk melindungi timbunan konstruksi causeway
sehingga tidak lepas kelaut bebas akibat serangan gelombang dan arus. Lapisan
ini adalah lapisan yang dibentuk oleh batu armor, maupun material lain yang
dapat melindungi lereng seperti beton.
Sumber : http://www.panoramio.com
Gambar 2.36 Contoh lapisan pelindung yang dibuat dari beton precast
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-42
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Lapisan pelindung lereng yang digunakan untuk timbunan konstruksi
causeway dalam tugas akhir ini adalah lapisan dari batu armor. Lapisan ini di
desain
dengan tebal 50 cm serta tinggi +6 mLWS yang didasarkan pada muka air
pasang
yang berada di elevasi +1.6 mLWS sehingga permukaan lereng akan
aman. Lapisan pelindung ini berada diseluruh keliling dari timbunan causeway
seperti yang terlihat pada gambar 2.37 dan gambar 2.38.
Gambar 2.37 Batu armor melindungi keseluruhan lereng timbunan
Gambar 2.38 Batu armor yang berada pada potongan melintang dari timbunan causeway
Persamaan yang dapat digunakan untuk menghitung dari berat armour yang
akan digunakan adalah persamaan Hudson Formula :
W=
(2-38)
W = berat Armour (ton)
3
r = berat jenis Armour (1,50 ton/m )
Hs = tinggi gelombang significant (m)
Kd = koefisien kerusakan, kerusakan yang dapat diterima berkisar 0 - 5 %.
D = berat jenis relatif batu = (r-w)/w
w = berat jenis air laut (1.025 ton/ m3)
= sudut kemiringan tanggul
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-43
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.2.5.4 Plat Injak
Plat injak adalah plat yang digunakan sebagai penghubung anatara dermaga
apung
dan timbunan konstruksi causeway. Plat injak ini diaplikasikan dengan
maksud
untuk mengantisipasi apabila terjadi penurunan konstruksi yaitu
konstruksi timbunan causeway ataupun konstruksi jetty. Sehingga ketika
terjadinya penurunan pada salah satu elemen dermaga tersebut dan menyebabkan
terjadinya beda elevasi antara timbunan dan jetty, plat injak tetap dapat
menghubungkan konstruksi keduanya. Desain plat injak dalam tugas akhir ini
adalah
memiliki lebar B= 6 m dan panjang 12.4 m seperti dapat dilihat pada
gambar 2.39 dan 2.40. desain ini didasarkan dari dimensi kendaraan yang akan
melewati plat injak tersebut.
Gambar 2.39 Tampak samping plat injak
Gambar 2.40 Tampak atas plat injak
Dwi Arie A.P dan Mufti Z.R, Analisis Stabilitas Timbunan….. II-44
Download