BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Poligami menjadi isu kontroversial, tidak hanya di kalangan umat Islam
tetapi juga terjadi di umat agama lain yang tersebar di berbagai belahan dunia 1.
Legalitas praktik poligami di negara-negara Barat tidak diakui dan bahkan
dilarang, tetapi realitasnya bukan berarti tidak ada praktik poligami. Sementara,
perkawinan monogami menjadi tuntutan legal negara Barat, tetapi banyak yang
mempraktikkan hubungan intim di luar nikah
(mistress) di tempat-tempat yang berbeda,
atau dengan model gundik
atau disebut de-facto poligamy
(Nurmila, 2009). Hal ini dipraktikkan oleh ethnis tertentu dan komunitas
keagaamaan tertentu pula2. Seperti halnya, praktik poligami di persoalkan di
Barat, khususnya
oleh pemerintah British Columbia pada Januari 2009 yang
muncul di berbagai media, terkait praktik poligami dua tokoh komunitas
keagamaan, Winston Blackmore dan James Oler. Akhirnya pada Oktober 2009
pemerintah Columbia melarang praktik poligami melalui konstitusi code kriminal
pasal 29; sebab bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender (Quebec, 2010).
Sejalan dengan hal tersebut, isu poligami dalam dunia Islam kontemporer
selalu didasarkan pada hak-hak perempuan, seperti Undang-Undang tentang
Personal Status tahun 1957 di Tunisia, Undang-Undang Personal Status tahun
1
Poligami dipraktikkan lebih dari 850 kelompok –kelompok masyarakat, sebagian besar
berkembang di kawasan Sahara Afrika, Mesir, dan Asia. Jumlah 20-50% semua perempuan hidup
dalam poligami dalam beberapa budaya. Lihat Journal of Global Social Work Praktice, Volume 3,
Number 1, May/June 2010. File:///E:/poligamy/...htm.
2
Introduction
to
Sociology/family-wikibooks,
open
books
for
an
op…file://E:/poligamy%20in%20Sociology%20 perspectives.html. Diakses 31/10/2013.
1
2
1959 di Irak, the Polygamy Act 1958 di Moroco, Marriage and Divorce Act 1965,
the Laws of Cyprus di Turkey. Seperti praktik poligami masyarakat Iran harus
mendapat persetujuan tertulis dari peradilan Qadhi, di Tunisia poligami secara
tegas dilarang, sedangkan di Irak menikah lebih dari satu perempuan diijinkan
hanya dengan ijin peradilan (Mohammad, 2012). Sejumlah negara-negara Islam
ini memiliki ketentuan legal berbeda yang berhubungan dengan praktik poligami.
Kebolehan poligami ini merujuk berbagai mazhab fikih dan ahli tafsir
sebagaimana diungkapkan oleh Azzuhaili (1989) dan Ashabuni (1980). Kebolehan
berpoligami menjadi argumen atau legitimasi baik dalam konteks individual
maupun oleh Negara yang berpegang pada hukum Islam.
Menurut Abu Zayd (2003) kebolehan berpoligami dalam hukum Islam,
secara historis hanya untuk mengatasi problem yang muncul di masyarakat, yaitu
ketika umat Islam banyak yang wafat pada perang Uhud dan saat itu banyak janda
dan anak yatim yang terlantar. Meskipun demikian, praktik poligami tersebut
merupakan tradisi yang ada sebelum Islam yang tak terbatas dalam bilangan
isterinya tetapi dibatasi oleh Islam hanya sampai empat isteri dengan persyaratan
perlakuan adil. Teks al-Qur’an menegaskan bahwa perlakuan adil tidak akan
mampu diwujudkan oleh mereka yang berpoligami.
Secara faktual, praktik poligami yang berkembang saat ini tidak
mendasarkan pada argumen sosio-historis ketika poligami mendapat legitimasi
oleh Nabi Muhammad saw untuk memecahkan ”kelangsungan dan perlindungan
para janda dan anak yatim” (Wadud, 1999). Bahkan yang berkembang, adalah
pemahaman atau interpretasi hukum Islam (fiqh) yang keluar dari konteks
3
kesetaraan dan menanamkan kembali dominasi laki-laki dan menumbangkan
eksistensi perempuan (Abu Zayd, 2003).
Isu poligami dalam masyarakat muslim Indonesia juga tidak kalah
kontroversial, dan dipraktikkan oleh berbagai kalangan, baik kalangan kelas sosial
tinggi maupun kalangan menengah ke bawah dengan berbagai latar belakang dan
argumentasi yang berbeda-beda. Aktor poligami ada yang memiliki modal
ekonomi yang kuat, modal sosial, dan bahkan kalangan agamawan ataupun para
tokoh agama (Nurmila, 2009). Secara faktual, poligami berimplikasi kepada kaum
perempuan mengalami subordinasi, dan berefek negatif pada perkembangan
kepribadian anak.
Eksistensi perempuan menjadi subordinat disebabkan oleh struktur sosial
yang diorganisasi oleh kaum laki-laki melalui institusi rumah tangga, misalnya
terjadi kecemburuan baik di antara kedua istri ataupun anak-anaknya. Ketegangan
ini akan memunculkan ketegangan-ketegangan mental dan dapat menyebabkan
terjadinya kekerasan, persaingan, dan sabotase dalam keluarga (Panos, 2010).
Ketegangan ini berimplikasi pada relasi yang saling menindas sebagaimana
disebut oleh Collins (2001) intersectionality, yaitu bekerjanya relasi-relasi gender
dan kelas sosial bertemu pada satu titik potong dan berimplikasi pada
berlangsungnya praktik dominasi dan subordinasi dalam waktu simultan. Situasi
ini berlangsung dalam waktu yang panjang memenjarakan kaum perempuan, dan
bahkan sudah menjadi kesadaran dan aturan melalui legalitas keagamaan dan
budaya masyarakat. Selain perempuan tersubordinat oleh struktur sosial, dimensi
interaksi sosial juga memproduksi perempuan pada situasi subordinat, misalnya
4
adat kesopanan yang membatasi ruang aktifitas perempuan; perempuan selalu
dikendalikan oleh penilaian ketidakwajaran, sehingga perempuan tidak bebas
bertindak untuk menentukan opsi-opsi yang dimilikinya. Di samping kedua
dimensi struktur sosial dan interaksi sosial, dimensi ideologi dan institusi negara
melalui aturan-aturan atau regulasi formal yang mengikat dan tidak setara yang
mengakibatkan posisi perempuan dalam situasi subordinat. Situasi ini, menurut
Collins (2000) adanya manipulasi ideologi, budaya, dan domain hegemoni yang
bekerja sebagai suatu pertautan di antara institusi-institusi sosial, praktik-praktik
organisasi dan interaksi sosial yang terjadi pada level kehidupan sosial atau yang
dinamakan dengan konstruksi matrix of domination.
Persoalan dimensi kekuasaan dalam relasi laki-laki dan perempuan
khususnya perbedaan pemaknaan poligami menjadi bagian yang terpenting
sebagai wacana dan praktik sosial, karena kompleksitasnya yang tidak lepas dari
kondisi sosio-kulturalnya. Wacana poligami merupakan praktik sosial yang tidak
lepas dengan pengetahuan poligami itu sendiri dan relasi kekuasaan yang
berkembang di dunia sosial. Masyarakat dapat tunduk dan dikendalikan tidak
hanya dengan secara langsung, tetapi dapat juga melalui wacana dalam bentuk
aturan, undang-undang, berbagai karya, atau bentuk-bentuk lainnya. Sarana untuk
merealisasikan upaya tersebut, oleh Hammer dan Killner (2009) disebut sebagai
agen sosialisasi ideologi. Dalam konteks tersebut, hasil karya sastra merupakan
modal symbolic power atau kekuasaan simbolik (Bourdieu, 1991) Kekuasaan
dalam pengertian tersebut melahirkan intersectionality, terlihat melalui gagasangagasannya sebagai sarana pertarungan dalam ruang sosial. Dengan menggunakan
5
ragam identitas gender dan kelas yang diproduksi melalui keyakinan agama,
seksualitas, struktur patriarki, kebangsaan dan struktur sosial lainnya menjadi
basis dalam membangun wacana poligami. Sedangkan kelas sosial meliputi
kewarganegaraan asing dan pribumi, kekuatan modal ekonomi, sosial dan budaya
bekerja memproduksi ketimpangan dalam bentuk ”dominasi” dan ”subordinasi”.
Dalam konteks ini, upaya untuk menganalisis representasi intersectionality relasi
kuasa yang dibangun oleh pengarang Ayat-Ayat Cinta menjadi penting dalam
konteks yang lebih luas, dengan cara pengungkapan pemaknaan yang melampaui
realitas teks wacana novel tersebut.
Daya imajinatif dan kreativitas pengarang menjadi penting untuk berperan
dalam konstruksi wacana (Ratna, 2007). Berkaitan dengan gagasan yang
disampaikan kepada para pembaca atau masyarakat luas, karya sastra memiliki
posisi yang strategis berupa agenda melalui imajinasi para pengarang yang
berhubungan dengan masyarakat sekitar (Disher, 2001). Tentunya agenda antara
pengarang karya sastra berbeda satu sama lain, tergantung pada konteks realitas
yang ada (Nurgiyantoro, 2009). Selain memiliki posisi strategis kepada para
pembaca, karya sastra berperan sebagai transformasi gagasan pengarang (Ratna,
2009; Adi, 2011) pengarang merupakan wakil masyarakat, sebagai konstruksi
transindividual, bukan dirinya sendiri, serta terkondisikan secara sosial, atau
dipengaruhi oleh persoalan masyarakat sebagai sumber gagasannya. Novel
merupakan salah satu jenis karya yang dibangun dari relasi pengarang dan
lingkungan sosial sebagai sarana/instrumen pertarungan di ruang sosial.
6
Habiburrahman El Shirazy salah satu sastrawan Indonesia menawarkan gagasan
romantika novelnya, Ayat-Ayat Cinta dengan wacana poligami.
Ayat-Ayat Cinta merupakan modal simbolik dan sekaligus berpengaruh
pada capaian-capaian modal lain yang menjadi agenda atau kepentingan
pengarangnya. Novel Ayat-Ayat Cinta secara sosiologis telah menancapkan
dirinya sebagai novel paling laris dan luar biasa fenomenal3, dalam perjalanan
sastra Indonesia, baru kali ini dapat meraup penjualan fantastis, bahkan
memunculkan wacana sastra Islam. Problem rivalitas dari dua gelombang sastra
yaitu kejenuhan isu seksualitas dan moralitas justru terjadi pada tataran horison
harapan pembaca Ayat-Ayat Cinta yang dilatarbelakangi oleh hasrat melakukan
pertarungan pada tema-tema yang dianggap berseberangan. Pertarungan yang
sekian lama tak terucapkan tiba-tiba seperti memperoleh saluran selepas Ayat-Ayat
Cinta membawa gelombang kehebohan. Kemudian muncul kesadaran untuk
menciptakan label sebagai penanda identitas (Mahayana, 1998, 2011). Dengan
demikian, label sastra Islam yang dilekatkan pada novel Ayat-Ayat Cinta sebagai
salah satu ikonnya, sebenarnya sekadar klaim untuk menunjukkan panji identitas.
Dalam konteks pertarungan tersebut, ada dua hal yang penting, yaitu
Pertama, strategi dan perjuangan pengarang melalui karyanya, untuk mendapatkan
agenda yang diinginkan. Di satu sisi, diskursus poligami menjadi problematis
ketika berhadapan masyarakat muslim sendiri dan dunia Barat. Di sisi lain, isu
yang mengartikulasikan kebebasan seks sebagai bentuk trend novelis kaum
perempuan. Kedua, novel Ayat-Ayat Cinta hadir dalam momentum yang berbeda
3
Novel Ayat-Ayat Cinta terjual lebih dari 400.000 eksemplar, dan filemnya memikat hingga
3 juta penonton. http://groups.yahoo.com/oyr79/message/2365. Diakses 28 Maret 2013.
7
dan menjadi pertarungan ideologis terhadap isu seksualitas novel-novel
sebelumnya, seperti novel karya Ayu Utami, yaitu Saman (1998), novel ini
memberi pesan tidak sekadar menabrak bahkan menghancurkan pandangan
masyarakat tentang konsep virginitas atau kesucian seksualitas, hubungan
pranikah, perselingkuhan, dan perkawinan. Djenar Maesa Ayu dengan karyanya
Jangan Main-Main dengan Kelaminmu (2004). Atau dengan kata lain Ayat-Ayat
Cinta Hadir dengan ideologi yang berbeda dengan novel era 2000-an. Ketiga,
memposisikan
gagasan kebolehan poligami dalam perspektif yang berbeda
dengan arus utama umat Islam. Kepentingan poligami dikaji dalam formulasi
darurat dan bersifat makro.
Berangkat dari ilustrasi di atas, novel Ayat-Ayat Cinta menjadi penting
untuk dikaji sebagai produk budaya yang menjadi sarana ideologis dalam
pertarungan di arena sosial dari latar belakang pengarang yang berbeda satu sama
lainnya. Dalam konteks ini, representasi kuasa dalam wacana poligami menjadi
entry point yang dapat ditelusuri untuk mengungkap relasi kekuasaan yang
muncul
di
tengah-tengah
permainan
pemaknaan
konsep
ganda
yang
dipertentangkannya dalam memproduksi dan mereproduksi dominasi ideologinya.
Representasi ini pertama kali dapat dilacak pada jaringan ideologi yang didasarkan
pemikiran/mazhab dalam hukum Islam menjadi tahap penting untuk membaca
keterwakilan kelompok ideologis, baik yang dominan maupun yang subordinat,
dalam konteks sosio-historis. Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan yaitu
menelusuri wacana lain yang kemungkinan berperan memproduksi kompleksitas
8
poligami dalam konteks Indonesia, secara langsung ataupun tidak, merupakan
perwujudan ideologi-ideologi yang sedang bertarung.
1.2 Rumusan Masalah
Berangkat dari konteks kehidupan masyarakat, bahwa maksud dan tujuan
poligami seakan dilegalkan, tetapi sesungguhnya ada kontestasi-kontestasi terkait
dengan persimpangan kelas sosial dan gender. Oleh karena itu, penelitian ini
mempertanyakan beberapa hal, sebagai berikut:
a. Bagaimana representasi relasi-relasi intersectionality kelas sosial dan gender
dalam konteks poligami melalui novel Ayat-Ayat Cinta?
b. Kontestasi-kontestasi apa saja yang muncul di seputar persoalan poligami ?
c. Dalam konteks apa poligami didukung? Bagaimanakah interelasi sosiokultural
dan politik yang berpengaruh pada diskursus poligami
novel Ayat-Ayat
Cinta?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karya sastra tentang relasi
persimpangan atau intersectionality kelas sosial dan gender dalam diskursus
poligami di ruang sosial.
Pentingnya tujuan penelitian ini didasarkan pada
argumen, bahwa realitas kehidupan sosial, perempuan sering diperlakukan tidak
setara dengan laki-laki. Situasi yang timpang ini muncul karena masyarakat sudah
terlalu panjang terkungkung oleh nilai-nilai patriarki dan bias gender, baik dalam
memandang relasi kuasa dan kelas sosial antar laki-laki dan perempuan. Situasi ini
9
menempatkan perempuan selalu dirugikan dan ataupun subordinat. Relasi kuasa
keduanya, memproduksi dominasi laki-laki melalui berbagai institusi sosial, peran
negara dan berbagai birokrasi dalam bentuk perundang-undangan baik pada
domain publik maupun domestik, ideologi, budaya, kesadaran, dan hubungan
interpersonal dalam interaksi sosialnya (Collins, 2000). Beberapa dimensi tersebut
bekerja dalam konteks poligami, baik dalam dataran wacana maupun praktik
sosial.
Penelitian ini termasuk dalam kategori studi wacana kritis yang tujuan
pokoknya adalah merumuskan dan mensistematisasikan suatu gagasan menjadi
konsep utuh sebagai ikhtiar pencarian ideologi tertentu yang ditawarkan oleh
pengarang. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui dan menganalisis representasi dominasi dan subordinasi
relasi kelas sosial dan gender, serta memiliki efek multiplikatif sebagai suatu
proses sosial atau sebagai suatu persimpangan yang lain. Melalui
pengungkapan tersebut akan diperoleh pemahaman tentang implikasi dari
relasi antar kelas sosial dan gender dalam kompleksitas poligami.
b.
Untuk mengetahui dan menganalisis ideologi-ideologi yang terlibat dalam
pertarungan di seputar wacana poligami. Melalui pengungkapan tersebut akan
diperoleh pemahaman ideologi dominan yang dibangun oleh pengarang novel
Ayat-Ayat.
c. Untuk mengetahui dan menganalisis wacana-wacana lain yang ikut berpengaruh
munculnya wacana poligami
novel Ayat-Ayat
sosiokultural dan politik Indonesia.
Cinta
dalam konteks
10
1.4 Keaslian Penelitian
Penulis belum menemukan penelitian khusus tentang relasi-relasi
persimpangan (intersectionality) kelas sosial dan gender dalam poligami yang
objek kajiannya adalah peran novel dalam konteks sosial. Penelitian lain yang
pernah dilakukan antara lain:
Jackson (2008) melakukan penelitian tentang The Intersection of Race and
Gender in “Down These Mean streets” karya Piri Thomas. Subjek yang diteliti
tentang diskriminasi perempuan dalam wilayah domestik atau keadilan di rumah
tangga, marjinalisasi dalam ranah sosial, pelabelan negatif, inferioritas perempuan
kulit hitam, bahkan laki-laki kulit hitam, hierarki sosial yang menempatkan
perempuan laki-laki kulit hitam pada level yang sama dalam situasi tersubordinasi
dengan proses rasialisasi kulit putih, laki-laki sebagai agen kekerasan domestik
dan sosial terhadap perempuan. Perbedaan dengan penelitian ini, adalah Johanna
Jackson menekankan representasi politik seksual, gagasan pemikiran maskulinitas
dan wacana laki-laki berkarakter aktif tetapi perempuan dalam kehidupannya
menerima peran-peran pasif, sedangkan penelitian ini menempatkan peran karya
sastra sebagai modal simbolik dengan relasi-relasi intersectionality kelas sosial
dan gender menggunakan diskursus poligami dalam kehidupan masyarakat.
Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Nasution (1996) dan telah
diterbitkan dengan judul Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas pemikiran
Muhammad Abduh. Penelitian ini dilakukan dengan pemetaan pendapat ahli fiqh
yang dikategorisasikan dalam tiga pendapat. Pertama, ketidakbolehan melakukan
poligami, kecuali dalam kondisi tertentu atau darurat. Poligami hanya mungkin
11
dapat dilakukan suami dengan syarat-syarat tertentu, misalnya ketidakmampuan
isteri untuk mengandung atau melahirkan, tuntutan jaman, berbuat adil dalam hal
akomodasi dan tuntutan batin isteri. Kedua, kebolehan berpoligami dengan batas
maksimal empat. Beristeri lebih dari empat bertentangan dengan kasus seorang
shahabat yang dibolehkan wali maksimal empat, fakta sejarah mulanya Nabi
Muhammad saw monogami sampai 25 tahun lamanya, sedangkan praktik
poligami Nabi ketika berumur 50 tahun dan isterinya para janda yang memiliki
anak yatim dan hanya Aisyah yang masih perawan (berumur enam tahun). Ketiga,
menikahi perempuan lebih dari empat diperbolehkan. Penafsiran ayat Al-Nisa’/4:3
dipahami dalam bentuk penambahan menjadi sembilan dan didukung oleh
perbuatan Nabi pernah mempunyai isteri sembilan dalam waktu yang bersamaan.
Perbedaannya adalah penelitian Nasution lebih memperhatikan praktik poligami
dari segi persyaratan material dan non material, sedangkan penelitian ini
menekankan pada relasi-relasi kekuasaan dalam praktik poligami dalam konteks
sosio-kultural dan politik.
Penelitian lapangan yang dilakukan oleh Nurmila (2009) disertasi yang
diterbitkan tentang Women, Islam and Everyday Life: Renegotiating Polygamy in
Indonesia. Meneliti latar belakang sejarah dan politik Undang-Undang
Perkawinan tahun 1974 dan hubungannya dengan regulasi pemerintah seperti PP
10 dan Kompilasi Hukum Islam. Penyelidikan tentang kompleksitas dunia hukum
Islam dan interpretasinya para Ulama (Muslim Scholars), Pemuka agama,
masyarakat yang mempraktikkan poligami dan para lawyer. Salah satu hasilnya,
adalah praktik poligami tidak memperhatikan berbagai kepentingan perempuan
12
dan hanya didasarkan pada kepentingan satu pihak dan bahkan praktik poligami
secara sembunyi-sembunyi (illegal). Perbedaannya adalah penelitian Nurmila
menekankan pada dampak poligami terhadap keutuhan keluarga dan kepentingan
laki-laki tanpa memperhatikan pemahaman konsep keadilan bagi perempuan,
sedangkan penelitian ini menekankan gagasan representasi politik perempuan atas
kekuatan modal yang dimilikinya dalam pemaknaan poligami, dan bahkan
kepentingan-kepentingan perempuan dilihat dalam relasi intersubyektif atas
dominasi kekuasaan.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat untuk memberikan kritik atas
praktik poligami yang berkembang di masyarakat dewasa ini. Poligami
merupakan praktik sosial tidak hanya didasarkan pada kepentingan individual,
tetapi harus didasarkan pada argumentasi yang bersifat makro. Sehingga
diharapkan terbangun kesadaran untuk melakukan reinterpretasi teks-teks
keagamaan, khususnya ajaran yang berbicara tentang relasi gender dan kelas
sosial dalam poligami.
b. Secara teoritis, hasil penelitian ini bermanfaat dalam hal penerapan atas kajian
interseksionalitas berdasar anggapan, bahwa tidak ada perempuan atau laki-laki
yang generik, artinya keduanya memiliki keistimewaan, dan kelemahan tertentu
dalam relasi sosialnya. Dalam relasi sosial, baik laki-laki maupun perempuan
lebih banyak tertindas secara berlapis yang disebabkan oleh struktur sosial,
relasi interpersonal, dan perudang-undangan terutama dalam kompleksitas
praktik poligami.
13
c. Penerapan analisis wacana kritis dalam penelitian ini, bermanfaat dalam
memahami kontestasi-kontestasi intersektionalitas relasi gender dan kelas
sosial, serta interelasi sosiokultural dan politis di seputar praktik poligami.
Hasil penelitian ini juga dapat menjadi pijakan untuk melakukan penelitian
lanjutan, khususnya bagi peneliti budaya dan media yang berminat mengkaji
dari aspek lain.
1.6 Tinjauan Pustaka
Objek penelitian ini adalah menempatkan peran novel sebagai sarana
pertarungan di ruang sosial dengan diskursus poligami. Oleh karena itu, karyakarya yang pernah dikaji oleh banyak kalangan tentang relasi laki-laki dan
perempuan, antara lain sebagai berikut.
Penelitian yang dilakukan oleh Lukman Hakim (2010) dari Institut Agama
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya dengan judul Conservative Islam Turn or
Popular? An Analysis of Film Ayat-Ayat Cinta. Di dalam penelitiannya
diungkapkan bahwa filem Ayat-Ayat Cinta lebih dominan corak pemikiran Islam
fundamentalis dan modernis yang mendukung poligami, namun persoalan
pernikahan antar agama lebih bercorak pada Islam liberal.
Prima Gusti Yanti (2010) dari Program Pasca Sarjana Universitas Negeri
Jakarta dengan judul disertasi, Representasi Ras, Kelompok Etnik, Kelas Sosial,
dan Gender Studi Pascakolonialisme dalam Novel-novel Remy Sylado. Di dalam
penelitiannya diungkapkan perbedaan representasi ras, kelompok etnik, kelompok
sosial, dan gender pada masa kemerdekaan dan pasca kemerdekaan tetap
14
berlangsung meskipun dalam bentuk yang berbeda. Representasi perempuan
dalam novel masa penjajahan mengalami penindasan ganda, perempuan tidak
berpendidikan
mengalami
penindasan,
sedangkan
perempuan
bangsawan
mendapat tempat yang lebih tinggi. Pada masa pasca kemerdekaan perempuan
mampu mengaktualisasikan diri dan berprestasi dalam berkarier.
Penelitian yang dilakukan oleh Nazla Maharani Umaya (2006) dengan
judul Fenomenologi Eksistensial Seorang Nyai pada Novel Nyai Dasima versi G.
Francis dengan Kajian Fenomenologi Hussrel. Begitu pula Novel Nyai Dasima
versi Rahmat Ali, dikaji oleh Sugihastuti dan Isna Hadi Saptiawan (2007) tentang
"Gender dan Inferioritas Perempuan" dengan menggunakan kritik sastra feminis.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk ketertindasan yang
dialami perempuan. Demikian halnya, citra inferior yang disandang perempuan
dalam novel tersebut menyiratkan tertindasnya perempuan secara mental, yang
muncul sebagai bentuk kekalahan perempuan dalam hubungannya dengan dunia
patriarki.
Tulisan Muhamad Adji dalam Jurnal Yin Yang STAIN Purwokerto (2010)
tentang "Peran Perempuan Indonesia dalam Perjuangan Kebangsaan (Membaca
Tokoh Nyai Ontosoroh pada Novel Bumi Manusia). Kajian ini mengungkapkan
tentang tokoh perempuan Nyai Ontosoroh sebagai seorang pribumi yang menjadi
gundik (isteri tidak sah oleh orang Belanda), dan ia sebagai representasi pribumi
kelas menengah ke bawah yang tidak mendapatkan hak-haknya dalam bidang
pendidikan, sosial, dan hukum yang berkembang menjadi persoalan rasisme dan
juga menjadi representasi inferioritas perempuan terhadap struktur patriarki.
15
Berdasar penelusuran penulis, untuk sementara belum ditemukan
penelitian lain yang menempatkan peran novel dalam relasi-relasi intersectionality
kelas sosial dan gender dalam diskursus poligami serta penelitian yang
menggunakan pendekatan Pierre Bourdieu tentang relasi dialektika agen dan
struktur masyarakat. Kepentingannya adalah untuk menganalisis tindakantindakan agen dan formasi diskursif dan relasi sosial. Oleh karena itu, kajian
relasi-relasi persimpangan gender, kelas sosial melalui diskursus poligami dalam
novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy, akan memberikan
kontribusi baru dalam kajian budaya dan media.
1.7 Kerangka Teori
Acuan teoritis di bawah ini menjadi frame of work penelitian tentang
persimpangan (intersectionality) kelas sosial, gender dalam poligami. Acuan
teoritis ini dibangun berdasarkan konsep atau teori dari berbagai pendapat para
ahli yang kemudian dikonfirmasikan ditingkat empirik, yaitu teks novel sebagai
sebuah karya yang merupakan modal simbolik dan digunakan sebagai sarana
dalam pertarungan wacana di ruang sosial. Pada akhirnya diharapkan akan
memberikan kontribusi baru dalam bidang kultural dan media. Adapun konsepkonsep teoritik penelitian ini,
mencakup kajian tentang budaya, teori
Intersectionality, dialektika Agency dan strukturasi Bourdieu, konsep gender,
kelas sosial dan poligami, sebagai berikut:
16
a. Budaya merupakan Sarana Praktik Sosial
Penggunaan term ”budaya atau culture” merupakan istilah yang memiliki
ruang lingkup yang sangat luas dan kompleks, bahkan cenderung bertambah luas
dan beragam (Ratna, 2007). Kompleksitas istilah tersebut tidak merepresentasikan
suatu entitas dunia objek yang berdiri-sendiri, tetapi pada pemahaman penanda
yang selalu berubah-rubah. Akibatnya pemahaman sangat tergantung pada
kepentingan yang berbeda pula (Barker, 2004). Terkait dengan karya sastra atau
karya seni pada umumnya, kajian budaya berfungsi sebagai sarana untuk
menjembatani pemahaman antara fiksi dan fakta. Dengan demikian keseluruhan
gejala seni dan kehidupan, sebagai tanda, mempunyai acuan pengetahuan kultural
(Disher, 2001). Subjek bukan member of resources atau sumber pengetahuan,
tetapi wacana yang memposisikannnya, baik wacana lisan maupun tulisan sebagai
praktik sosial (Piliang, 2003; Ratna 2007). Konsep ini tidak jauh berbeda dengan
formulasi Bourdieu (1990), tentang keterkaitan praktik sosial dengan habitus dan
modalitas dalam arena sosial. Berarti wacana sekaligus membentuk objek dan
subjek. Praktik sosial dalam bingkai teoritik konsep budaya tersebut di atas,
memberikan pemahaman, bahwa poligami merupakan salah satu objek penerapan
dalam lingkup kultural.
Berangkat, dari pemahaman praktik sosial di atas, bahwa salah satu konsep
kultural kontemporer menekankan persimpangan kekuasaan (intersection of
power) dan pemaknaan dengan suatu pandangan untuk mempromosikan
perubahan sosial dan memperbaiki kondisi kehidupan manusia (Barker, 2004).
Senada dengan itu, beberapa ilmuwan memberikan definisi budaya atau kultur
17
beragam
sesuai
dengan kepentingannya.
Raymond
Williams,
misalnya,
memberikan lingkup batasan budaya menjadi tiga hal. Pertama, budaya dimaknai
sebagai proses general dari proses pengembangan intelektual, spiritual, dan
estetika. Alasan ini didasarkan pada observasinya kondisi perkembangan budaya
Eropa, seperti munculnya tokoh-tokoh besar yang berasal dari berbagai latar
belakang disiplin ilmu. Kedua, budaya dimaknai sebagai way of life, yang
berkaitan dengan individu atau kelompok pada waktu atau jaman tertentu, misal
pemaknaan suatu upacara keagamaan kelompok tertentu. Ketiga, budaya diartikan
dengan bentuk karya dan praktik dari aktivitas intelektual, khususnya artistik
(Storey, 1993). Berdasarkan pemaknaan budaya yang ketiga inilah, sebagai proses
elaborasi intelektualitas, berupa karya novel yang mewacanakan poligami
merupakan bentuk praktik sosial dan intelektual menjadi penting untuk dikaji
dengan pendekatan teori budaya.
Gans (1974) memandang budaya lebih pada penekanan pada eksistensi
produk-produk budaya yang tidak jauh dari kehidupan masyarakat, sebagai
pencipta dan konsumer, serta yang memaknainya. Lebih jauh Durham dan Kellner
(2006) menjelaskan pengertian budaya yang tidak jauh berbeda, yaitu masyarakat
dewasa ini membentuk serangkaian
wacana, cerita-cerita/stories, image,
tayangan-tayangan spectakuler, bentuk-bentuk budaya dan praktik-praktik sosial
yang mengeneralisasikan pemaknaan, identitas, dan efek-efek politis. Oleh karena
itu, Storey (2007: 4) menganggap, bahwa budaya bersifat politis dalam pengertian
yang sangat spesifik, yaitu sebagai ranah pergumulan dan konflik. Artinya adanya
proses pertarungan ideologis dengan menghadirkan makna ganda, makna selalu
18
merupakan akibat dari tindakan artikulasi, sebab makna harus diekspresikan dalam
konteks yang spesifik. Sejalan dengan beberapa pengertian budaya ini, novel
merupakan salah satu produk budaya yang tidak lepas dari pemaknaan-pemaknaan
ideologis terkait dengan wacananya.
Perbedaan definisi di atas, memberikan pemahaman tentang kompleksitas
budaya, dan melahirkan kontestasi pemaknaan berbeda, tergantung pada tujuan
dan subjek yang memaknainya. Dalam konteks itulah, istilah budaya cenderung
dipahami sebagai ranah pergumulan konflik yang bersifat politis dan ideologis,
serta bermain di dalam konstelasi kekuasaan seperti halnya pendapat Barker
(2000) dan Storey (2007) bahwa budaya adalah bersifat politis sebab menjelaskan
ekspresi dari relasi-relasi kekuasaan kelas sosial yang menaturalisasi tatanan sosial
sebagai fakta yang berhubungan dan adanya upaya pengaburan relasi-relasi
dominasi sehingga bersifat ideologis. Benang merah yang menghubungkan antara
novel dan budaya tampak dari pandangan Williams maupun Gans. Keduanya
menganggap budaya merupakan konsep yang membuka ruang pemahaman dengan
sarat muatan ideologis dan politis. Oleh karena itu, novel sebagai produk budaya
menjadi penting untuk dikaji dalam konsep budaya agar pemahaman peneliti
didasarkan pada kerangka kerja pada konteks praktik diskursif ”poligami” dalam
novel yang merupakan proses budaya yang potensial dengan sarat muatan isu
politis dan ideologis.
b. Intersectionality Kekuasaan: Ideologi Gender dan Kelas Sosial
Salah satu konsep kultural kontemporer menekankan persimpangan
kekuasaan (intersection of power) dan pemaknaan dengan suatu pandangan untuk
19
mempromosikan perubahan sosial dan memperbaiki kondisi kehidupan manusia
(Barker, 2004). Dalam konsep intersectionality ini, banyak ahli dan teoritisi
terlibat dalam upaya menafsirkan konsep tersebut. Crenshaw (1991) mengajukan
konsep interseksional dengan model process-centered atau kerangka kerja analisis
efek-efek interaksi dan multilevel, yaitu mengkaji efek-efek pokok yang berlapis
tentang ketimpangan-ketimpangan, misalnya, kelas dan gender yang bertemu
memiliki efek yang multiplikatif sebagai suatu proses sosial dan dapat dilihat
sebagai suatu persimpangan yang lain. Pusat perhatiannya menekankan pada
pemaknaan-pemaknaan kultural dan kategori-kategori konstruksi sosial atau
analisis yang lebih bersifat interkategori, untuk menjelaskan kekuatan-kekuatan
yang lebih dinamis dari pada hanya penjelasan tentang satu kategori.
Dalam memahami intersectionality tersebut, konsep itu dikembangkan
lebih luas oleh McCall (2001), bahwa intersectionality tidak dilihat hanya satu
level dalam satu aspek individual maupun satu organisasi. Intersectionality kelas
dan gender bukan suatu jumlah lokasi-lokasi yang spesifik ditempati oleh
individu-individu atau kelompok-kelompok tetapi dipahami sebagai suatu proses
melalui kelas sosial yang bekerja saling terjalin dengan pemaknaan-pemaknaan
gender dan kelas yang multiplikatif. Proses tersebut tergantung dengan apa saja
dan bagaimana kelas sosial dan gender dilihat sebagai sesuatu yang relevan karena
seksualitas, otoritas politik, dan reproduksi atau yang lainnya.
Berbeda dengan Prins (2006) menekankan strukturisasi sebagai proses
sejarah bukan mulai dari struktur dan agency yang dihilangkan. Pernyataan Prins,
tentang proses sejarah yang dapat dipahami sebagai proses dinamis dan aktif,
20
sebagaimana diperkuat oleh Walby (2007) gagasan intersectionality sebagai suatu
”sistem yang aktif” dengan efek-efek positif dan negatif, relasi-relasi non-linear,
dan bukan hierarki yang overlap di antara beberapa organisasi yang ada. Artinya
relasi-relasi bekerja secara dialektik antara satu dengan yang lain atau yang
disebut dengan ”co-constructed”. Oleh Collins (2000) dijelaskan dalam bentuk
matrixs of domination dan subordination, konsep ini menjelaskan kelompok atau
individu yang memiliki komposisi social markers yang tepat akan masuk dalam
kategori matrik dominasi, dan begitu sebaliknya.
Intersectionality, dalam berbagai pengertiannya, merupakan instrumen
untuk menjelaskan konstruksi relasi-relasi kekuasaan individu dan kelompok
merupakan landasan teoritik yang penting untuk dipakai dalam membaca interaksi
antar tokoh yang menampilkan praktik ideologis yang kemudian menempatkan
novel sebagai media atau produk budaya. Munculnya berbagai kepentingan oleh
berbagai individu dan kelompok dalam memaknai konsep poligami merupakan
indikasi hadirnya ruang negosiasi dan kontestasi antar aktor dalam wacana
utamanya. Pada konteks inilah, konsep intersectionality di atas membantu untuk
menjawab pertanyaan pertama dan kedua dalam wacana poligami.
Adapun beberapa dimensi kelas sosial, gender dan poligami dapat
dikonsepsikan sebagai berikut:
a) Konsep kelas sosial
Istilah kelas sosial dapat didasarkan pada pengertian penguasaan materi di
masyarakat dan pada waktu yang sama juga menguasai kekuatan intelektual
21
(Durham & Killner, 2006). Dengan kata lain, terjadi eksploitasi; penguasaan
materi dan intelektual akan lebih mudah melakukan kontrol gagasan-gagasan
produksi atau pada instrumen-instrumennya kepada pihak yang lemah, dan
kesempatan hidup (life chances) atas akses sumber-sumber daya yang ada.
Eksploitasi tersebut berpengaruh secara langsung atas kepemilikan material
melalui jenis-jenis aset ekonomi masyarakat sebagai pertukaran di pasar (market
exchanges). Hal ini diproduksi secara terus menerus oleh masyarakat kapitalis
berupa transformasi teknis dan ekonomi (Wright, 2003). Oleh karena situasi ini
secara empiris melahirkan konflik kepentingan yang pada akhirnya menyebabkan
ketidakseimbangan
atau
ketimpangan
sosial,
karena
terjadi
pola-pola
institusionalisasi pengendalian yang timpang dan distribusi nilai guna barangbarang dan sumberdaya-sumberdaya yang ada di masyarakat, sebagai contoh
dominasi penguasaan atas tanah, properti, uang, pekerjaan menjadi basis
terjadinya ketimpangan kelas-kelas yang ada di masyarakat (Dill & Zambrana,
2009).
Pendapat di atas, ketimpangan kelas sosial hanya dipahami dalam kerangka
struktur ekonomi sebagai basis utamanya, namun tidak dipahami bagaimana
ketimpangan kelas sosial dengan pendekatan konstruksi sosial masyarakat. Dalam
hal ini, konsep kelas dapat dipahami sebagai relasi sosial yang tersusun dalam
beberapa ranah, seperti ranah ekonomi, politik, dan ideologi yang masing-masing
kemudian menjadi dimensi-dimensi kelas yang saling berhubungan (Bourdieu,
1984). Praktik dominasi dan subordinasi dalam ketiga ranah tersebut terjadi,
ketika masing-masing aktor memiliki perbedaan modal yang dimilikinya. Dalam
22
konteks ini, bagi aktor sosial yang memiliki kekuatan modal ekonomi, politik,
sosial dan budaya yang lebih tinggi akan menunjukkan perbedaan perilaku sosial
dan konsepsi yang dimiliki masing-masing kelas (Bourdieu, 1977).
Perbedaan perilaku atau gaya hidup, misalnya selera makan antara kelas atas
dan kelas buruh akan berbeda. Biasanya perbedaan terletak pada orientasi pilihan
makanan yang disajinya. Begitu pula sejauhmana dua kelas sosial yang berbeda
dalam mengkonsepsikan pilihan makanan yang kaitannya dengan pemenuhan gizi
bagi kebutuhan tubuhnya dan juga perbedaan tindakan lain aktor kelas tertentu.
Perbedaan perilaku aktor kelas sosial dijelaskan oleh Bourdiue (1998) merupakan
pilihan-pilihan berdasarkan sistem konsepsi yang bekerja dalam aspek kognisinya
berimplikasi pada pilihan-pilihan sebagai perwujudan logika sosialnya. Perbedaan
konsepsi dan perilaku sosial atau gaya hidup individu kelas sosial yang lebih
tinggi atas modal yang dimilikinya sebagai wujud strategi kekuasaan. Sejauhmana
individu-individu mempertahankan kekuasaan melalui perbedaan pilihan dalam
tindakan-tindakannya
untuk
mempertahankan
eksistensi
dirinya.
Dengan
demikian, perbedaan kelas sosial dapat dianalisis dalam kerangka kerja konsep
habitus, modal dan ranah ekonomi, politik, dan doxa.
b) Konsep Gender
Perempuan dalam kehidupan sosial sering dinilai sebagai subjek ”Yang lain”
atau sering dianggap menjadi ”konco wingking” dalam budaya Jawanya. Penilaian
tersebut menjadi basis penentuan representasi sosial berkaitan dengan status dan
perannya, karena keduanya untuk meneguhkan identitasnya sebagai subjek dalam
23
representasinya. Memposisikan perempuan pada ranah domestik dalam kehidupan
sosial dan budaya di satu sisi sedangkan pada sisi yang lain, laki-laki diposisikan
dalam ranah publik sering melahirkan ketegangan atau ketimpangan. Peneguhan
identitas yang merujuk pada perbedaan peran dan status yang kemudian disebut
gender, diartikan sebagai sesuatu yang didapatkan dari konstruksi sosiokultural
untuk membedakan identitas maskulin dan feminin atau sesuatu yang ditampilkan.
Gender berbeda dengan jenis kelamin yang digunakan untuk mengidentifikasi
laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis (Kessler & McKenna, 1977).
Konsep kultural berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku,
mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang di masyarakat selalu dikaitan antara jenis kelamin yang berbeda,
namun keduanya mengalami perubahan sebagaimana menurut Tierney (2010)
berupa not fixed. Dikotomi konsep nature dan culture, contohnya, telah digunakan
sebagai pemisahan dan stratifikasi di antara dua jenis kelamin. Sebagaimana
pendapat Holmes (2009), sex merujuk secara fisik dan kromosom yang
memproduksi jenis kelamin laki-laki atau perempuan seseorang. Sedangkan
gender mendiskripsikan ekpektasi sosial, aturan-aturan dan norma-norma
berhubungan dengan feminitas dan maskulinitas.
Konstruksi sosial budaya yang berbeda atas relasi femimin dan maskulin
berimplikasi pada ketegangan, ketidakadilan atau ketimpangan sosial. Menurut
Swatos (2010) bahwa ketimpangan gender didasarkan pada suatu situasi yang
mana individu-individu dan kelompok memiliki pembagian yang tidak setara
dalam hal distribusi kekuasaan, hak-hak yang harus didapatkan dan martabat atau
24
penghargaan yang lebih tinggi di satu pihak dan merendahkan pihak lain dalam
kehidupan masyarakat.
Perubahan konsep maskulin dan feminin ini disebabkan oleh adanya
anggapan yang berbeda-beda di antara budaya masyarakat yang berbeda. Atau
sesuai dengan konteks budaya setempat dan waktu yang berbeda pula namun dari
aspek eksistensi identitas, hanya dapat dipahami melalui kategori perempuan
membentuk subjek dalam serangkaian representasi politiknya. Di mana subjek
sebagai aktor yang selalu berkorelasi dengan kekuasaannya. Sebagaimana
menurut Butler (1999) dan Foucault (1980) representasi bekerja dalam proses
politik yang membutuhkan perluasan visibilitas atau legitimasi subjek secara
politis, karena representasi juga dibentuk oleh sistem kekuasaan dari subjek
sendiri. Pendapat ini memberikan ruang bagi subjek secara politis dalam ruang
dan waktu yang berbeda bagi perempuan dan dapat pula sebagai aktor yang
berbeda tidak lagi pasif, tidak berperan di wilayah domestik, berperilaku lembut,
cara berpakaian dan lain-lain, tetapi subjek membentuk kesadaran diri dalam
diskripsi aktif dan memiliki daya tawar yang diperhitungkan dari pihak lain dalam
berbagai domain.
c) Konsep Poligami
Istilah poligami secara bahasa memberikan pengertian berkenaan dengan
praktik peristerian/suami lebih dari satu dalam waktu bersamaan (Hornby, 1990) 4.
4
Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri
sekaligus), poliandri (seorang perempuan memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan
kelompok (group marriage; kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk poligami ditemukan
dalam sejarah manusia, namun poligini merupakan bentuk paling umum terjadi (Ensiclopedi Islam
dan Umum, 2005)
25
Suatu pandangan hubungan perkawinan yang lebih mengikat tentang poligami,
yaitu pandangan Mulia (2004: 43-44) poligami merupakan ”ikatan perkawinan
dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang
bersama”. Selain poligami, praktik lain bagi ”istri yang memiliki suami lebih dari
satu disebut poliandri dalam waktu yang sama”. Walaupun praktik poliandri tidak
banyak dilakukan dan hanya terjadi di dalam tradisi suku-suku tertentu, dan
bahkan dalam agama Islam dilarang.
Berbeda dengan pembatasan pengertian yang diajukan oleh Muthahhari
(1981:9-17) memberikan penegasan dua istilah bentuk perkawinan yang
bertentangan, yaitu monogami versus poligami. Monogami merupakan bentuk
perkawinan yang menekankan pada semangat ekslusif yang khusus atau perasaan
secara khusus yang bersifat individual, sedangkan poligami kondisi pemilikan
bersama atas istri atau suami. Selanjutnya dijelaskan pula bentuk poligami, yang
mencakup seks komunal (perkawinan kelompok secara bersama-sama), poliandri,
dan poligini. Perkawinan seks komunal
merupakan bentuk perkawinan yang
dilakukan oleh beberapa pria bersaudara secara patungan mengawini beberapa
wanita bersaudara. Berbeda dengan bentuk poliandri, seorang wanita pada waktu
yang sama mempunyai lebih dari satu suami, sedangkan bentuk lain perkawinan
majemuk adalah poligini, seorang pria memiliki istri lebih dari satu secara
bersamaan dengan pembatasan dan persyaratan yang tegas secara syar’i.
Uraian bentuk perkawinan tersebut, menjelaskan, bahwa penggunaan istilah
poligami yang berkembang di berbagai kajian akademis dan masyarakat luas
merupakan bentuk yang kurang tepat, dan sudah menjadi istilah yang umum
26
dipakai dalam berbagai kajian perkawinan. Dengan demikian, penggunaan istilah
poligami dalam kajian ini merujuk pada konsep poligini.
Poligami dalam masyarakat Islam merupakan persoalan kontroversial di
kalangan ahli-ahli hukum Islam, sebagaimana dikemukakan oleh Ashabuni (1980)
dan Azzuhaili (1989) bahwa sebagian besar kalangan ahli hukum Islam (jumhur
’ulama) berpandangan atas kebolehan (al ibahah) beristeri lebih dari satu. Namun
praktik poligami secara historis sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab pra
Islam dengan jumlah tanpa batas. Kemudian Islam hadir melalui Nabi Muhammad
saw mereformasi dengan pembatasan hanya empat orang isteri, dengan
persyaratan dapat berbuat adil. Jika merasa tidak mampu berbuat adil di antara
para isterinya, maka diwajibkan beristeri hanya satu atau menikahi budak yang
dimilikinya. Praktik poligami ini merujuk al Qur’an (4: 2-3), para ulama (imam
Maliki, Hanafi, Hambali, dan as-Syafi’i) membaca ayat tersebut sebagai
kebolehan bagi laki-laki untuk menikahi perempuan lebih dari satu.
Berbeda pembacaan yang dilakukan oleh Asad (1980) bahwa poligami
dikaitkan dengan ”budak yang dimiliki” merujuk pada perempuan yang dimiliki
oleh laki-laki, yaitu pasangannnya sendiri. Artinya laki-laki untuk tetap
mepertahankan pernikahan dengan pasangannya sendiri. Pembacaan Asad ini
memberikan pemahaman poligami juga dikaitkan dengan persoalan anak yatim.
Lebih jauh, seperti pembacaan yang dilakukan oleh Wadud (1999) selain
perlakuan kepentingan anak-anak yatim, juga al Qur’an tidak menyodorkan
poligami merupakan solusi bagi pertimbangan ekonomi, kemandulan isteri, atau
kebutuhan seksual laki-laki. Sementara al Qur’an hanya mendasarkan pada
27
keharusan untuk menjamin keadilan sosial bagi perlakuan anak-anak yatim
perempuan. Pembacaan Barlas (2003) lebih spesifik bahwa poligami dalam al
Qur’an tidak merujuk keistimewaan laki-laki atas peluang berpoligami,
kebolehannya digantungkan dengan persyaratan-persyaratan yang ketat dan rinci,
dan tidak merujuk pada fungsi seksual.
Secara faktual, perkembangan masyarakat Islam dewasa ini, bahwa praktik
poligami banyak disalahgunakan tanpa melihat bagaimana sesungguhnya latar
belakang poligami sebagai solusi di mana kondisi sosial yang tidak normal atau
darurat. Dalam perkembangannya memberikan peluang distruktif atas latar
belakang praktik poligami di tengah-tengah kehidupan dewasa ini. Bahkan ada
anggapan bahwa Islam melegalkan bentuk diskriminasi dan marginalisasi kepada
kaum perempuan. Oleh karena itu, kajian tentang poligami harus dikritisi kembali
hakikat dibalik kebolehan tersebut, baik secara historis, sosiologis, dan
antropologis.
c. Kontestasi Kekuasaan
Konsep kekuasaan merupakan wacana menarik di kalangan ilmuwan
sosial. Foucault, misalnya, mengatakan bahwa kekuasaan tidak terbatas pada
pihak dominan atau sejenisnya (Eagleton, 1991:7) Berbeda dengan Barthes (1967)
yang lebih menekankan pada aspek makna atau bahasa murni yang didasarkan
pada elemen-elemen semiology. Sedangkan, bagi Foucault (1980) semua
pengetahuan mengoperasikan praktik sosial dalam situasi historisnya; artinya
semua pengetahuan adalah kekuasaan.
28
Sejalan dengan itu, pengetahuan tidak terpisahkan oleh relasi-relasi
kekuasaan (Foucault, 1980). Wacana menurut definisi ini tidak hanya
merefleksikan realitas, tetapi menuntut pembentukan dalam konteks yang spesifik
terhadap relasi-relasi kekuasaan secara spisifik pula atau adanya proses
pertarungan ideologis dengan menghadirkan makna ganda, sebab makna selalu
merupakan akibat dari tindakan artikulasi, makna harus diekspresikan dalam
konteks yang spesifik (Storey, 2007). Formulasi pemaknaan ganda yang secara
ideologis bertentangan dan bertarung, dalam relasi pengetahuan inilah sebagai
ruang lingkup kontestasi kekuasaan.
d. Kekuasaan sebagai Sarana Memperoleh Posisi Sosial
Orientasi Bourdieu tentang konsep struktural konstruktivisme, sebagaimana
yang diungkapkan oleh Ritzer dan Goodman (2010: 578-579), Jenkins (1992), dan
Faruk (1994) analisis struktural objektif yang berada pada arena berbeda, tidak
dapat dipisahkan dari analisis genesis,
dalam individu biologis, dari struktur
mental yang pada batas-batas tertentu adalah produk dari perpaduan struktur
sosial; yang juga tidak dapat dipisahkan dari analisis struktural ini: ruang sosial
dan kelompok yang menguasainya adalah prroduk dari perjuangan historis.
Gagasan Bourdieu dalam menjembatani persoalan dikotomi teori dan
praktik, agency dan struktur sosial dan lain-lain, diwujudkan dalam beberapa
konsep penting, antara lain habitus, arena (ranah/ruang/field), capital, kekuasaan
simbolik (symbolic power), dan kekerasaan simbolik (symbolic violence).
Penjelasan konsep-konsep tersebut digambarkan sebagai berikut:
29
(www.emiraldinsigh.com diakses 3 April 2013)
e. Mekanisme Habitus, Kapital, dan Strategi Kekuasaan
Habitus merupakan aspek yang kohesif dalam individu dan kelompok
berupa sistem disposisi atau skema persepsi, pemikiran dan tindakan yang
didasarkan oleh aturan formal dan aturan-aturan eksplisit dalam waktu yang
panjang dan berubah-ubah (Bourdieu, 1990). Disposisi ini didapat dari posisi
sosial yang beragam dalam ranah tertentu, dan beradaptasi secara subjektif
terhadap posisi tertentu. Perubahan relasi individu dan kelompok oleh Harker,
Mahar dan Wilkes (1990) dipandang sebagai tempat dan habitus seseorang yang
memproduksi relasi-relasi personal, misalnya dalam bentuk kerjasama, cinta,
persaingan, dan juga mengubah kelas-kelas konseptual menjadi kolektifitas nyata.
30
Konsep Habitus tidak dapat dipisahkan dengan konsep arena perjuangan.
Kedua konsep tersebut memiliki prinsip hubungan yang saling mengandaikan,
hubungan struktur-struktur objektif atau lingkungan (sosialnya) dan strukturstruktur yang terintegrasi dalam diri pelaku (agen individual) (Bourdieu, 1994;
Wallace & Wolf, 1995). Selanjutnya konsep arena
merupakan ruang untuk
memperjuangkan sumber-sumber yang dibutuhkan dan sangat menentukan, karena
dalam suatu masyarakat ada yang dikuasai dan menguasai. Dalam hal ini,
prinsipnya adalah dominasi sangat tergantung pada situasi, sumber daya, dan
strategi pelaku. Bourdieu (1984) mengilustrasikan ranah sebagai arena
perjuangan, atau permainan sebagai tempat berlangsungnya pertarungan dan
berbagai bentuk strategi untuk mendapatkan berbagai sumber. Dengan kata lain,
ranah merupakan suatu sistem posisi-posisi sosial, secara internal dibentuk oleh
relasi-relasi kuasa. Konsep habitus dan ranah merupakan konsep alamiah karena
saling mengandaikan, hubungan timbal balik antara struktur-struktur bidang sosial
dan
struktur-struktur yang telah terintegrasi pada individu (Bourdieu, 1998).
Konsep arena atau ranah yang diartikan sebagai arena pertarungan atau
perjuangan menjadi sangat diterministik karena dalam masyarakat ada yang
mendominasi dan didominasi. Praktik dominasi dan subordinasi tersebut oleh
Bourdieu dan Wacquant (1992) didiskusikan dalam beberapa bidang, misalnya
akademi, ekonomi, keagamaan dan kekuasaan, dan lain-lain.
Relasi-relasi kekuasaan dalam masyarakat didasarkan pada pemetaanpemetaan logika posisi sosial dan penguasaan sumberdaya. Artinya setiap kelas
sosial didefinisikan dalam hubungan dengan kelas-kelas lain. Dunia sosial oleh
31
Bourdieu (1984) digambarkan dengan bentuk ruang dengan beberapa dimensi
yang didasarkan prinsip diferensiasi dan distribusi.
f. Kapital sebagai Modalitas Kekuasaan
Modal atau capital merupakan logika yang mengendalikan bentuk-bentuk
perjuangan. Bagi Bourdieu (1990) modal mencakup sesuatu yang material dan
imaterial atau atribut invisibilitas yang mengandung aspek kultural, seperti status,
prestise, dan otoritas sebagaimana yang dinamakan dengan modal simbolik.
Sementara hal-hal yang bernilai budaya dan pola konsumsi disebut modal budaya,
sedangkan modal sosial berupa kekuatan jaringan yang berpengaruh dan
membantu individu untuk memperoleh posisi sosial. Setiap tindakan individu
adalah produk dari relasi habitus dan ranah, di samping itu, keduanya dibentuk
oleh kekuatan-kekuatan lain serta berbagai modal yang dimiliki individu dan
bahkan individu yang sedikit modal ataupun tidak memilikinya.
Dalam realitas masyarakat, selalu muncul yang menguasai dan dikuasai.
Relasi dominasi ini bergantung dengan situasi, sumberdaya dan strategi pelaku.
Pemetaan relasi kekuasaan didasarkan pada pemetaan atas kepemilikan dan
kompisisi kapital. Kapital simbolik menghasilkan kekuasaan simbolik. Oleh
karena itu, kekuasaan simbolik membutuhkan simbol-simbol kekuasaan. Dengan
demikian, modal simbolik membutuhkan pengakuan oleh kelompok baik secara
institusional maupun bukan institusional (Bourdieu, 1991). Karena setiap ranah
menurut Bourdieu (1990) menuntut individu memiliki kekuatan modal agar tetap
32
eksis, mampu bertarung untuk mendapatkan atau mengumpulkan sumber-sumber
yang diinginkannya.
g. Strategi Kekuasaan melalui Wacana
Setiap ranah memiliki struktur-struktur berbeda atau aturan-aturan yang
secara konvensional dan terselubung dalam aktivitas sehari-hari, oleh Bourdieu
(1991) disebut ”kekerasan simbolik” merupakan legitimasi modal budaya yang
memprioritaskan efektifitasnya sebagai sumber kekuasaan dan kesuksesan.
Dengan kata lain, bentuk kekerasan yang dipraktikkan pada agen-agen sosial
tanpa mengundang resistensi, meskipun ada proses-proses yang salah tetapi
diterima sebagai sesuatu kewajaran. Sesuatu yang menyakitkan, dalam upaya
mengilustrasikan kesuksesan, ketenaran, dan kebahagiaan dirinya, ”kaum
perempuan harus menoleh kepada laki-laki untuk bisa menemukan kata yang tepat
dan disetujui”(Haryatmoko, 2010:13)5. Dalam hal ini, penguasaan atas wacana
menjadi dominasi laki-laki seolah-olah menjadi sesuatu yang wajar atau alamiah
dan bahkan sering dianggap benar.
Misalnya,
Pengarang
novel
menggunakan wacana
poligami untuk
pertarungan dengan novel lain dengan isu-isu kebebasan seks di arena sosial,
wacana poligami diproduksi dengan berbagai pemaknaan dan latar belakang
pelaku yang berbeda. Di satu sisi, wacana menjadi kontroversi di ruang sosial. Di
sisi lain, ia bertarung dengan isu-isu seks bebas yang dibangun oleh pengarang
lain. Berangkat dari pertarungan wacana ini, sehingga wacana poligami lebih
5
Makalah pernah dipresentasikan di Pasca-Sarjana Sosiologi UI pada tanggal 26 Agustus 2010.
33
mendapatkan keuntungan karena ruang sosial didominasi oleh masyarakat
beragama yang cenderung mendukung poligami sebagai ajaran agama. Dengan
demikian, dukungan poligami lebih diterima sebagai sesuatu kewajaran dan oleh
masyarakat pada umumnya yang menolak wacana seks bebas, walaupun sebagian
mereka ada yang menolaknya.
Bourdieu (1991) membagi bentuk-bentuk simbolik, berupa bahasa, kodekode pakaian, dan bentuk tubuh. Bentuk simbolik merupakan fungsi kognitif
simbol dan fungsi sosial yang berfungsi sebagai instrumen pengetahuan dan
keberlangsungan reproduksi tatanan sosial. Dalam kehidupan sosial sering terjadi
pertarungan simbolik melalui kekerasan simbolik oleh pihak dominan atas yang
terdominasi. Selanjutnya, tindakan-tindakan pengetahuan yang mencakup
pengakuan, persetujuan atas doxa dan keyakinan yang merupakan kekerasan
simbolik yang dialami oleh perempuan atupun laki-laki. Instrumen-instrumen
pengetahuan itu, oleh Bourdieu (1998) dianggap sebagai wujud terbentuknya
relasi dominasi.
Oleh karena itu, ruang sosial dipahami sebagai medan
pertarungan kelompok-kelompok yang memiliki posisi-posisi sosial tertentu
dengan menampilkan atribut gaya hidup yang berbeda.
Bourdieu (1968) dan Harker, Mahar, dan Wikes (1990) dalam An
Introduction to the Work of Pierre Bourdieu: The Practice Theory,
mengemukakan bidang seni dan sastra yang bekerja dalam ranah estetika. Estetika
dimiliki oleh kompetensi artistik habitus sastrawan dalam membangun wacana
melalui karyanya, berupa modal simboliknya sebagai sarana untuk memperoleh
posisi di ruang sosial, atau fungsi-fungsi politis dari berbagai praktik simbolik.
34
Demikian halnya, karya seni merupakan produk budaya yang berkorespondensi
dengan kondisi ekonomi, sosial dan sejarah, serta kondisi tersebut selalu
beradaptasi.
Setiap karya merupakan suatu objek kultural yang diposisikan dalam suatu
ranah berbagai relasi kekuatan sosial yang membutuhkan strategi dan perjuangan
pengarangnya melalui pembeda (distinction) dalam hal makna dan nilai artistik
(Bourdieu, 1984). Pembedaan ini merupakan strategi pertentangan terhadap
representasi tradisi yang ada diciptakan sebagai keunikan karya, sebagai modal
simbolik dan ekonomi, yang diperjuangkan selalu menyertai aktivitas kreasi dan
apresiasinya untuk memperoleh posisi atau status tertentu. Dengan kata lain,
kehormatan/reputasi atau status merupakan prinsip dari sistem produksi dan
reproduksi yang digunakan sebagai instrumen pelestarian dan peningkatan modal
simbolik (Bourdieu, 1998: 69) Selanjutnya untuk memetakan kontradiksikontradiksi di ruang pertarungan atau perselisihan, oleh Baurdieu disebut
ranah/medan. Oleh karena konsep ini, dapat membantu mempertajam analisis dan
untuk menjawab pertanyaan yang terakhir.
35
h. Kerangka konsep
Modal Budaya, sosial,
ekonomi, & simbolik
Habitus
Orientasi normatif (Norma, nilai
& keyakinan)
Agen sosial
sarana
Proses perolehan
(ketrampilan &sumber
kreatifitas), dasar
kepribadian, & logika
sosial
Diskursus
PoligamiIntersectionality
Kelas sosial &
Gender
Keadaan situasional (lingkungan
sosial)
1.8 Metode Penelitian
Dalam sejarah filsafat, Francis Bacon (1561-1625) dan Augus Comte (17981857) meletakkan dasar pengetahuan empiris-analitis melalui rasionalisme dan
empiris, merupakan bentuk upaya pembersihan pengetahuan dari kepentingan atau
dengan kata lain fakta objektif sebagai pengetahuan yang sahih (Hardiman, 2009).
Dalam proses dialektika ilmu pengetahuan alam dan sosial, semangat positivisme
menjadi tuntutan bersikap positivistik. Sejalan dengan itu, positivistik memiliki
tiga pengandaian yang saling berkaitan. Pertama, prosedur metodologis ilmu alam
diimplementasikan dalam ruang lingkup ilmu sosial. Kedua, hasil penelitian
diformulasikan dalam bentuk hukum-hukum sebagaimana terjadi di ilmu alam.
Ketiga, adanya penyediaan pengetahuan yang bersifat teknis. Keduanya, yaitu
36
ilmu alam dan sosial merupakan ilmu yang bersifat netral atau bebas nilai
(Giddens, 1975).
Perkembangan selanjutnya, penerapan metode-metode alam pada kenyataan
sosial mengandung permasalahan. Hal ini disebabkan oleh pandangan tentang
aktifitas-aktifitas individu tidak dapat diposisikan ke dalam bingkai hukum-hukum
tetap. Kemudian lahirlah perdebatan tentang metode-metode (methodenstreit),
begitu juga ilmuwan ilmu-ilmu budaya para penganut Neo-Kantianisme
berpendirian, bahwa ilmu-ilmu budaya menghasilkan relevansi nilai (Hardiman,
2009). Artinya, gejala sosial memilki makna budaya yang hanya bisa dimengerti
oleh pemahaman konteks budaya dari objek yang diteliti (Nugroho, 2004).
Dalam konteks pemikiran mazhab Frankfurt yang sering dikenal sebagai
”Teori Kritis” lebih menekankan pada sifat dialektis, sebagaimana diungkapkan
oleh Geuss (1981) dengan cara dua macam kritik. Pertama, kritik transendental
dengan cara menemukan syarat-syarat pengetahuan dalam diri subjek. Kedua,
kritik imanen dengan menemukan kondisi sosiohistoris dalam konteks tertentu
yang mempengaruhi pengetahuan manusia (Hardiman, 2009). Atas dasar argumen
ini peneliti memililih wacana kritis Nourman Fairclough sebagai teknik analisis
novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.
Penelitian ini memusatkan kajian pada penelitian kepustakaan yang sifatnya
analitis wacana kritis berdasarkan kajian teks. Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah culture studies, yaitu suatu pendekatan yang menganggap
budaya bersifat politis dalam pengertian yang sangat spesifik, yaitu sebagai ranah
37
pergumulan dan konflik. Artinya adanya proses pertarungan ideologis dengan
menghadirkan makna ganda, makna selalu merupakan akibat dari tindakan
artikulasi, sebab makna harus diekspresikan dalam konteks yang spesifik (Storey,
2007).
Dalam hal ini, kajian dipusatkan pada teks sastra dan wacana poligami
sebagai produk dan praktik budaya dewasa ini.
a. Data dan Sumber Data
a) Sumber Primer
Sumber primernya, berupa naskah novel Ayat-Ayat Cinta sebagai modal
simbolik seorang sastrawan. Teks novel sebagai data primer berupa teks naratif
merupakan sebuah fakta semiotik yang dipandang sebagai suatu tanda jika
mewakili dan atau mengacu sesuatu yang lain. Secara garis besar teks naratif
dibedakan dalam dua unsur, yaitu cerita dan wacana. Unsur cerita merupakan isi,
tetapi wacana merupakan ekspresi. Oleh karena, dengan dua unsur ini belum
dianggap memadai untuk menangkap semua elemen situasi komunikasi. Dalam
hal ini, unsur cerita dirinci dengan subtansi isi atau inti masalah, bentuk isi
(peristiwa berupa aksi, kejadian dan eksistensi berupa aktor, serta latar), subtansi
ekspresi (keseluruhan semesta baik nyata maupun imajinasi) dan bentuk ekspresi,
sedangkan unsur wacana terdiri dari bentuk wacana yang mencakup struktur
transmisi naratif (susunan, modus, sudut pandang) dan subtansi wacana berupa
media, dan sarana untuk berkomunikasi atas gagasannya (Nurgiyantoro, 2009).
Selain data dari novel Ayat-Ayat Cinta di atas, pandangan para pelaku poligami
yang merepresentasikan kelas sosial atas dan bawah.
38
b) Sumber Sekunder
Sumber sekunder adalah berbagai dokumen yang berkaitan dengan masalah
penelitian ini. Misalnya pendapat tokoh tentang poligami yang dipublikasikan
melalui majalah, internet, ataupun tabloid.
b. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, adalah metode baca.
Metode baca digunakan untuk mengidentifikasi data yang berupa teks naratif.
a) Metode Baca
Teknik pengumpulan data dilakuan dengan menempatkan relasi laki-laki
dan perempuan dalam karya sebagai subjek dengan cara digali data pribadi dan
dari bentuk-bentuk ketidaksetaraan/kekerasan yang dialami oleh perempuan
beserta latar belakang kehidupannya. Data dikumpulkan dengan metode baca,
yaitu membaca secara cermat novel Ayat-Ayat Cinta. Hasil baca data kemudian
dipindahkan atau dicatat ke dalam kartu atau ke dalam tabel. Selanjutnya data
diklasifikasikan menurut aspek-aspek yang menjadi sarana pendukung wacana.
Kriteria yang dijadikan pedoman untuk merepresentasikan gender, adalah (1)
perilaku, kegiatan, pemikiran perempuan dan laki-laki, (2) subordinasi dan
dominasi yang dialami perempuan. Selanjutnya, untuk merepresentasikan kelas
sosial, adalah merujuk pada perilaku, kegiatan, pemikiran individu atau kelompok
kelas bawah dan kelas yang tinggi dalam suatu komunitas.
39
b) Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi ini digunakan untuk mencari dan mengidentifikasi
data pendukung atau sekunder, meliputi biografi pengarang, pendapat tokoh
tentang poligami yang dipublikasikan melalui, surat kabar majalah ataupun
tabloid, internet dan berbagai keputusan ormas keagamaan (seperti NU,
Muhammadiyah, MUI, dan Persis). Untuk memudahkan tugas itu, digunakan
search engine untuk pengumpulan data yang tersedia dalam alamat Website.
c. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis wacana kritis Norman
Fairclough (2001), analisis ini berusaha menghubungkan teks yang mikro dengan
konteks sosial yang makro. Fokus perhatiannya, adalah bahasa ditempatkan
sebagai praktik sosial. Untuk melihat ideologi pengarang digunakan analisis
bahasa secara menyeluruh, karena bahasa dalam konteks ini dipahami sebagai
bentuk tindakan dalam hubungannya dengan dialektika dengan struktur sosial.
Oleh karena, pusat perhatian analisis ini, adalah bagaimana bahasa diproduksi dan
direproduksi dari relasi sosial dan konteks sosial.
Model yang dibangun oleh Fairclough (1992) dalam analisisnya di
samping dimensi linguistik, adalah ia mengintegrasikan pemikiran sosial, politik
menjadi bagian integral dari perubahan sosial. Pemakaian bahasa dalam wacana
merupakan bentuk praktik sosial yang memiliki implikasi, antara lain wacana
merupakan suatu bentuk tindakan dan bentuk representasi dalam memandang
realitas sosial, dan hubungan interaksional antara wacana dan struktur sosial.
40
Wacana dibagi dengan struktur sosial, kelas, perjuangan sosial dan relasi sosial
berhubungan
relasi-relasi
tertentu
(Fairclough,
2001).
Kemudian
ia
memperkenalkan tiga tahap untuk melakukan penelitian dengan metode analisis
wacana kritis. Tiga tahap tersebut, adalah deskripsi, interpretasi, dan eksplanasi
dalam menghubungkan teks pada level mikro dengan konteks sosial yang lebih
besar, yakni socio-cultural practice.
Ada tiga dimensi yang dilakukan Fairclough dalam analisisnya, yaitu teks,
praktik wacana, dan praktik sosiokultural, sebagai berikut:
a) Teks
Level pertama berupa teks dianalisis secara linguistik, atau deskripsi
perhatiannya pada beberapa aspek struktur bahasa, yaitu aspek kosa kata dan
gramatika, dan struktur tekstual.
( a) Kosa kata
Kosa kata mencakup nilai-nilai eksperensial yang menjelaskan kata-kata
ideologis, kelebihan kata atau penyusunan kata kembali, hubungan makna yang
mencakup sinonim, hiponim dan antonim. Penekanan pada nilai-nilai relasional,
misalnya ungkapan-ungkapan eufemisme, ironi, formal atau informal, dan lainlain. Kosa kata ini, memberikan pilihan kata sebuah teks yang menciptakan
hubungan sosial antar partisipan, yaitu antara pembuat teks dengan pembacanya.
Kosa kata yang berhubungan nilai-nilai ekspresif. Kosa kata yang
menunjukkan pada evaluasi positif atau negatif sesuatu yang berhubungan dengan
ideologi pengarang dalam bentuk penggunaan metafora.
41
b) Gramatika
Aspek-aspek gramatika yang berhubungan dengan nilai-nilai eksperensial,
adalah tipe-tipe proses dan partisipan yang dominan, situasi agen tampak jelas
atau tidak, proses-proses situasi yang tampak, penggunaan kalimat aktif atau pasif,
dan kalimat positif atau negatif.
Aspek-aspek gramatika yang berkaitan dengan nilai-nilai relasional,
adalah model-model pertanyaan yang digunakan, relasi-relasi modalitas, dan
penggunaan kata ganti. Selanjutnya aspek-aspek gramatika yang berhubungan
dengan nilai ekspresif, misalnya aspek-aspek penting modalitas; memberikan
petunjuk tentang sebuah peristiwa.
Hubungan
antar
kalimat
sederhana
juga
diperhatikan,
misalnya
penggunaan jenis kata penghubung logis, penggunaan kalimat kompleks bersifat
koordinasi
atau
subordinasi,
arti atau
makna
yang
digunakan
dalam
menghubungkan teks ataupun luar teks.
c) Struktur teks
Struktur teks ini yang diakji tiga unsur adalah, pertama kaidah-kaidah
interaksional. Aspek yang diperhatikan dalam struktur teks berkaitan dengan
penggunaan kaidah-kaidah interaksional. Kedua, ukuran struktur yang dimiliki
teks. Teks dirumuskan atas dasar urutan kepentingannya, maka teks dapat
menunjukkan evaluasinya atas apa yang layak ditampilkan. Aspek kelayakan
tampilan tersebut harus mendapatkan perhatian dalam ranah deskripsi.
42
b) Praktik wacana
Level kedua berupa Praktik wacana, atau interpretasi (Fairclough, 2001)
berkaitan dengan proses produksi, distribusi dan konsumsi teks (Fairclough,
1995a). Menurut Fairclough, fitur level kedua ini mengekapulasi prinsip-prinsip
penting dalam wacana kritis, yang mana analisis teks tidak dapat dipisahkan
(ekslusi) dari praktik institusi dan wacana pada domain suatu teks. Atas dasar
kerangka kerja ini, interdiskursivitas atau tatanan wacana, mengkaji tentang
bagaimana teks novel diproduksi, direkontekstualisasi, dan berdialog dengan teks
lain atau intertekstual (Fairclough, 2003).
Pada level praktik wacana ini ada yang dihilangkan, yaitu aspek distribusi
dan konsumsi teks dengan lebih memfokuskan pada aspek bagaimana suatu teks
diproduksi, sebagaimana Fairclough (1995a) melakukan pengabaian tersebut.
Selanjutnya, Tahap ini, oleh Fairclough (2001) teks akan dilihat keterkaitannya
sebagai konteks situasional dan intertekstual yang mencakup enam dimensi yang
berhubungan secara paralel, yaitu seperti halnya diilustrasikan dalam skema di
bawah ini:
43
Prosedur interpretasi/MR
Sumber-sumber
Tatanan sosial
Penginterpretasian/interpreting
Konteks situasional
Sejarah interaksional
Konteks intertekstual
Fonologi gramatika, kosa kata
Bentuk luaran ujaran
Semantik,pragmatik
Pemaknaan ujaran
Kohesi, pragmatik
Koherensi lokal
Skemata
Struktur teks dan poin
Bagan di atas, dapat dijelaskan bahwa tahap pertama berhubungan dengan
konteks interpretasi berusaha
melihat
keterkaitan teks dengan konteks
intertekstualitasnya. Tahap kedua, berhubungan dengan empat tingkatan
interpretasi teks menunjukkan aspek-aspek yang harus diperhatikan untuk melihat
konteks situasional. Namun bentuk luaran ujaran tidak diperhatikan karena sudah
dilakukan dalam tahap analisis deskripsi teks. Sedangkan, pemaknaan (utterance)
bergantung pada pemaknaan ujaran (semantik dan pragmatik), sedangkan
koherensi lokal untuk memahami lokal dalam teks. Selanjutnya, struktur teks dan
poin tergantung pada schemata, yang ada kemiripan dengan deskripsi, tetapi pada
tahap struktur teks yang lebih besar, schemata yang dimaksud adalah tidak sebatas
44
melihat bagaimana suatu teks dieksplorasi dalam paragraf, namun bagaimana
suatu teks merumuskan suatu subjek tertentu.
c) Praktik sosiokultural
Level ketiga berupa praktik sosiokultural, atau eksplanasi (Fairclough,
2001). Tujuan tahap ini untuk mendiskripsikan diskursus sebagai proses sosial,
menjelaskan bagaimana diskursus menjadi diterminan bagi struktur sosial, dan
efek reproduksi diskursus berupa mempertahankan atau mengubahnya. Dengan
demikian, fokus pada level ini, adalah relasi kekuasaan, proses dan praktik sosial
yang difokuskan pada proses dan praktik usaha sosial. Artinya pengamatan
diskursus merupakan bagian dari proses usaha sosial yang berkaitan dengan relasi
kekuasaan.
Level yang harus mendapatkan penekanan tentang efek sosial diskursus
maupun penentu sosial diskursus dikaji melaui tiga level organisasi, yaitu level
masyarkat, level institusi, dan level situasi diilustrasikan dalam gambar dibawah
ini:
Kemasyarakatan
Kemasyarakatan
(societal)
Institusional
MR
Diskursus
MR
Institusional
Penentu
situasional
Efek-efek
situasional
(situational determination)
45
Diagram di atas, menentukan asumsi bahwa diskursus memiliki
ketentuan-ketentuan dan efek pada semua level di atas, meskipun level societal
dan institutional akan secara jelas lebih membedakan tipe-tipe institusi
diskursus, dan apapun diskursus dibentuk oleh relasi kekuasaan institusi dan
kekuasaan masyarakat, serta memberikan kontribusi pada usaha/perjuangan
institusi dan masyarakat.
1.9 Sistematika Pembahasan
Pembahasan penelitian disertasi ini mencakup beberapa bab sebagai
berikut.
Bab I: Pendahuluan meliputi; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II: Kelas Sosial, Gender, dan Poligami. Mengkaji kondisi perempuan Arab
pra Islam, reduksi praktik poligami di era permulaan sejarah Islam di
Arab, relasi gender dan kelas sosial masyarakat Arab; relasi gender di
masyarakat Arab, kelas sosial masyarakat Arab. Historis defacto poligami
atau pergundikan di Indonesia, wacana poligami di kalangan ulama fiqh,
pembacaan poligami di era kontemporer, konsep kesetaraan gender dalam
pandangan al-Qur’an; habitus,
agensi dan kesetaraan,
hubungan
keimanan, kelas sosial dan kesetaraan, dan pernikahan di dalam Islam.
Bab III: Analisis Tekstual. Mengkaji nilai-nilai eksperensial, relasional dan
ekspresif teks novel Ayat-Ayat Cinta dalam kekerasan rumah tangga,
46
pemukulan
kepada
pemerempuan,
kekerasan
di
bidang
hukum,
kesetaraan perempuan berlatar belakang German, gagasan patriarki, kelas
sosial dan modal ekonomi, kelas sosial dan modal budaya, dan
pemaknaan poligami.
Bab IV: Analisis Praktik Wacana: wacana poligami: kekerasan sosial, wacana
kesetaraan, wacana suami sebagai imam, wacana kelas sosial atas dan
modal budaya, dan pemaknaan poligami
Bab V: Analisis Praktik Sosio-kultural. Mengkaji persimpangan kelas sosial dan
gender dalam poligami, meliputi: kekerasan dalam ranah sosial,
pemukulan istri, hukum dan tuduhan pemerkosaan, peminangan,
kepemimpinan atas modalitas dan gaya hidup, reputasi dan status sosial,
darurat dan kebolehan berpoligami. Interelasi sosio-kultur poligami
dalam konteks masyarakat Indonesia, kontekstualisasi wacana poligami,
dan posisi sosial pengarang.
Bab VI Kesimpulan dan Saran
Daftar Pustaka
Glosarium
Download