PANDANGAN CEO PADA NILAI GENDER DAN KOMPETENSI KOMUNIKASI SDM PUBLIC RELATIONS DI PERUSAHAAN PT. FREEPORT INDONESIA JAKARTA Proposal ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana strata satu ( S1 ) Ilmu Komunikasi Disusun Oleh : Nama : Noorvita Indriani Nim : 44205010053 Jurusan : Public Relations FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2009 FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA BIDANG STUDI PUBLIC RELATIONS Noorvita Indriani (44205010053) Pandangan CEO Pada Nilai Gender dan Kompetensi Komunikasi SDM Public Relations di Perusahaan PT. Freeport Indonesia Jakarta 1x + 143 halaman Lampiran = 53 halaman ABSTRAKSI Citra diri profesi antara PR laki-laki dan perempuan telah memunculkan suatu implikasi dari nilai gender dalam stereotype yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut juga menimbulkan perspektif terkait dengan penempatan posisi dan kompetensi mereka di suatu perusahaan / organisasi yang bersangkutan. Sehingga nampaknya terdapat keterkaitan antara gender, kompetensi komunikasi dan jenis pekerjaan terhadap proporsi wanita dan laki-laki di dunia kerja. Gender disini tidak hanya terkait secara biologis tetapi juga secara peran lain diluar peran dan fungsinya di perusahaan sekaligus mencakup nilai yang dimiliki oleh masing-masing individunya, seperti yang dikemukakan oleh B.L. Sha dalam teorinya terkait dengan gender dan nilai antara laki-laki dan wanita. Sedangkan untuk kompetensi komunikasi dalam hal ini, menggambarkan karakteristik antara laki-laki dan perempuan dalam menerapkan pola komunikasinya yang bertolok ukur pada tiga dimensi communication competence PR, yakni : communication knowledge, communication skill, & communication motivation. Sehingga ada keterkaitan antara aspek-aspek tersebut (gender dan kompetensi komunikasi) terhadap proporsi bidang pekerjaan yang mereka hadapi. Sudut pandang CEO menjadi dasar pemikiran dalam mengungkap stereotype yang ada terhadap keterkaitan antara nilai gender dan kompetensi komunikasi SDM PR yang excellence, dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif kualitatif melalui metode penelitian studi kasus. KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Assalamu‟alaikum Wr. Wb. Struktur budaya, kondisi psikologi perempuan, dan interpretasi keagamaan merupakan faktor penentu yang membentuk nilai pola gender yang berkembang di masyarakat. Ketiga faktor tersebut secara dialektik saling tarik-menarik dalam membentuk pandangan, keyakinan dan kebiasaan dalam memposisikan laki-laki dan perempuan baik di masyarakat maupun organisasi / perusahaan. Dan nampaknya stereotype tersebut merupakan salah satu faktor yang juga mempengaruhi sudut pandang CEO dalam menilai sisi genderisasi dan kompetensi komunikasi terhadap proporsi antara SDM PR laki-laki dan perempuan di suatu organisasi / perusahaan. Seperti yang telah dituturkan oleh Payne mengenai dimensi yang digunakan untuk mengukur kompetensi komunikasi, antara lain : communication knowledge, communication skill, communication motivation. Serta beberapa pendapat lain dari para ahli tentang feminist dan masculine value yang memang saling mempengaruhi unsur yang satu dengan yang lain. Dalam hal ini, pandangan CEO yang terkait dengan gender, kompetensi dan jenis pekerjaan di suatu organisasi / perusahaan, berusaha dianalisis serta dideskripsikan oleh penulis yakni melalui penelitian yang dituangkan dalam penulisan skripsi mengenai “ Pandangan CEO Pada Nilai Gender dan Kompetensi Komunikasi SDM PR di Perusahaan PT. Freeport Indonesia Jakarta.” Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan Alhamdulillaahirobil‟aalamiin, segala puji bagi Allah SWT Sang Penguasa segalanya karena atas izin dan kehendaknya-lah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu (SI) dengan banyak menemui kemudahan selama menjalani penulisan ini. Tak lupa pula penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan support, bimbingan serta do‟a dalam penyusunan skripsi ini, terhitung awal Maret hingga Juli 2009. yang diperuntukkan kepada : 1. Bapak Juwono Tri Atmodjo S.Sos, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Public Relations Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana sekaligus Pembimbing I skripsi penulis. 2. Pembimbing II 3. Ibu Diah Wardhani, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana. 4. Bapak Drs. Hardyanto Jatmiko, M.Si selaku Wakil Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana. 5. Ibu Marhaeni S.Sos, M.Si selaku Kepala Ketua Program Studi Public Relations Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana. 6. Ibu Ida.A.Ananda, SS, M.Si, Ibu Irmulan Sati Tomohardjo, SH. M.Si, Bapak Farid Hamid Umarella S.Sos, M.Si, serta seluruh staf pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama di bangku kuliah yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 7. Para staf Tata Usaha Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana. 8. Bapak Budiman Moerdijat selaku Manager Corporate Communication PT. Freeport Indonesia. 9. Bapak Mindo Pangaribuan selaku Gen.Supt.Stakeholder Rel & Visitor Sp PT. Freeport Indonesia. 10. Ibu Sari Esayanti ( Santi ) selaku SR.Comm Officer Ext Outreach & Inst Rel PT. Freeport Indonesia. 11. Ibu. Siska, Pak Billy, Pak Lardo, Mba‟ Hesti, Mba‟ Heni, terima kasih atas masukan dan semangat yang diberikan kepada penulis di dalam menyelesaikan proposal ini. 12. Seluruh staf PT. Freeport Indonesia terima kasih atas kerjasama, keramah tamahan, serta kesediaan untuk membantu penulis didalam proses kelancaran penyusunan proposal ini, yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. 13. Ibuku tercinta, abangku Ridwan dan seluruh keluarga terima kasih atas doanya yang tiada henti “ I‟ll Always Love U “. 14. Seorang yang paling kusayangi Trada Lardiatama terima kasih atas cinta dan kasih sayang serta motivasi yang telah diberikan “I love you so much”. 15. Sahabat saya Ratna Tri Ardani, Anita Julia, terima kasih atas semangat dan bantuannya selama ini „we will still be friends forever‟. Penulis juga menyadari sebagai hamba allah, penulis tidak luput dari kekurangan oleh karenanya, penulis mohon maaf atas kekhilafan yang terjadi pada penulisan skripsi ini. Terakhir penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk menambah informasi serta pengetahuan baik bagi penulis sendiri maupun pihak lain yang membacanya, Amin. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat, hidayah dan keberkahannya kepada kita semua, Amin yaa rabbal alamin. Wassalammu‟alaikum Wr.Wb. Jakarta, Juli 2009 Noorvita Indriani DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI……………………………………..……..……….i TANDA LULUS SIDANG SKRIPSI…………………………………...……….………...ii PENGESAHAN PERBAIKAN SKRIPSI………………………………………………...iii MOTTO……………………………………………………………………………………..iv ABSTRAKSI………………………………………………………………………………..v KATA PENGANTAR……………………………………………………………………..vi DAFTAR ISI………………………………………………………………………………...x BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………1 1.1. Latar Belakang Masalah………………………………………….1 1.2. Perumusan Masalah…………………………………………......11 1.3. Tujuan Penelitian dan Signifikansi Penelitian………………......11 1.3.1. Tujuan Penelitian…………………………………..........11 1.3.2. Signifikansi Penelitian……………………………..........12 BAB II. 1.3.2.1. Signifikansi Teoritis…………………………….........12 1.3.2.2. Signifikansi Praktis…………………………………..12 TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………...14 2.1. Komunikasi Organisasi……………………………….………...14 2.1.1. Definisi Interpretif Komunikasi Organisasi……………14 2.2. Peran, Fungsi, Tugas dan Posisi Public Relations………..........16 BAB III. 2.3. Communication Competence Public Relations…………………22 2.4. Gender Public Relations dalam Organisasi……………………..28 METODOLOGI PENELITIAN……………………………………...37 3.1. Tipe Penelitian…………………………………………………..37 3.2. Metode Penelitian……………………………………………….38 3.3. Narasumber………………………………………………..........40 3.4. Teknik Pengumpulan Data……………………………………...42 3.4.1. Data Primer……………………………………………...42 3.4.2. Data Sekunder…………………………………………..42 3.5. Definisi Konsep………………………………………………....43 3.5.1. Pandangan……………………………………………....43 3.5.2. Nilai……………………………………….…………….43 3.5.3. Gender…………………………………………………..44 3.5.4. Communication Competence Public Relations………....44 BAB IV. 3.6. Fokus Penelitian…………………………………………...……45 3.7. Teknik Analisa Data……………………………………………48 3.8. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data………………………….48 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………...………51 4.1. Obyek Gambaran Umum Sejarah PT. Freeport Indonesia….....51 4.1.1. Visi dan Misi PT. Freeport Indonesia…………...……..54 4.1.1.1. Visi……………………………………..54 4.1.1.2. Misi…………………………………54 4.1.2. Good Corporate Governance……………………….55 4.1.3. Struktur Organisasi dan Tupoksi Humas PT. Freeport Indonesia…………………………………………...57 4.1.3.1. Struktur Organisasi PTFI…………..57 4.1.3.2. Pokok-pokok Reposisi Peran Fungsi-fungsi Korporat…………….58 4.2. Hasil Penelitian……………………………………………..73 4.2.1. Pandangan CEO Pada Nilai Gender SDM Public Relations……………………………...73 4.2.2. Pandangan CEO Pada Kompetensi Komunikasi SDM Public Relations…………………………….103 4.2.3. Pandangan CEO Pada Nilai Gender dan Kompetensi Komunikasi SDM Public Relations…126 4.3. BAB V. Pembahasan……………………………………………….129 PENUTUP…………………………………………………………….....149 5.1. Kesimpulan………………………………………………..149 5.2. Saran………………………………………………………152 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 1 BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang Masalah Sejarah konsep pembedaan gender yang muncul di lingkup masyarakat sosial, pada dasarnya terbentuk melalui proses sosialisasi yang kemudian diperkuat dan dilembagakan baik secara sosial, kultural, melalui ajaran keagamaan serta melalui peraturan – peraturan negara. Sehingga sering dianggap bahwa ketentuan gender tersebut merupakan suatu ketentuan yang tidak dapat dirubah karena dianggap sebagai ketentuan yang sudah sewajarnya. Keterbatasan seseorang dalam mempunyai akses dan kontrol terhadap sumber daya dan hasil – hasilnya merupakan salah satu implikasi dari genderisasi yang muncul dalam stereotype di masyarakat. Dalam sebagian besar masyarakat anggapan laki – laki sebagai pekerja produktif sangat dominan dan penentu segala keputusan meskipun kenyataannya kerja produktif perempuan sesungguhnya memeberikan penghasilan utama. Namun, adanya subordinasi terhadap perempuan sering menempatkan mereka pada situasi yang kurang menguntungkan, seperti kurangnya akses mereka dalam proses pengambilan keputusan. Pembagian tugas secara seksual juga merupakan salah satu implikasi ketentuan gender dalam masyarakat. Ada pekerjaan – pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan dan ada pekerjaan – pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan laki – laki. Umumnya, perempuan sering dikaitkan dengan pekerjaan yang bersifat domestik, sedangkan laki – laki lebih banyak diakaitkan dengan 2 pekerjaan yang bersifat publik sehingga dalam menjalankan aktifitas kemasyarakatanpun berbeda satu dengan yang lainnya1. Laki – laki lebih memiliki peran memimpin dan menentukan kebijakan sedangkan peran perempuan dalam komunitas lebih kepada perluasan dari kehidupan domestik mereka sehingga menjadi sangat tergantung dan ruang geraknya terbatas, ketentuan – ketentuan tersebut secara turun – temurun diwariskan dan dihayati serta menyatu dalam struktur kemasyarakatan. Keadaan tersebut sepertinya semakin diperkuat karena dalam perkembangan selanjutnya peran serta kedudukan laki – laki dan perempuan tersebut dilembagakan melalui proses sosialisasi baik melalui pendidikan formal, maupun nonformal. Struktur budaya, kondisi psikologi perempuan, dan interpretasi keagamaan merupakan faktor-faktor penentu yang membentuk pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Ketiga faktor tersebut secara dialektik saling tarik-menarik dalam membentuk pandangan, keyakinan dan kebiasaan dalam memposisiskan laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat. Pada masyarakat yang masih teguh memegang tradisi lokal, posisi laki-laki dan perempuan selalu tunduk pada norma-norma dan nilai-nilai kultural serta prinsip-prinsip doktrinal agama yang diwarisi secara turun-temurun. Kondisi psikologis kaum perempuan juga biasanya akan tertundukkan oleh kekuatan normatif budaya dan doktrin agama. Stereotype tentang feminitas dan maskulinitas disosialisasikan pada tataran yang hierarkis dan fungsional dengan nilai laki-laki berperan sebagai penentu keputusan baik di sektor domestik maupun di sektor publik. Dalam tataran seperti 1 Fakih Mansour. Merekonstruksi Realitas dengan Perspektif Gender. Yogyakarta : Solidaritas Bersama Perempuan, p:13 (1997). 3 ini, perempuan biasanya merupakan pihak yang melaksanakan keputusan dari lakilaki. Struktur kebudayaan, khususnya pendidikan bagi laki-laki maupun perempuan sejak kecil telah diarahkan pada satu pola dan ide tertentu, yaitu penonjolan maskulin bagi laki-laki serta feminis bagi perempuan. Konsekuensinya, laki-laki lebih banyak dididik untuk mampu melakukan pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik, pemikiran dan yang menantang. Sementara perempuan diarahkan pada bentuk pekerjaan yang memerlukan kesabaran, ketelatenan dan yang berhubungan dengan perasaan, yang pada umumnya dianggap tidak memerlukan kekuatan fisik2. Di satu sisi kaum laki-laki dipandang sebagai makhluk yang dalam banyak hal lebih unggul dari kaum perempuan, tetapi dalam pembagian pekerjaan menuntut lebih bagi kaum perempuan. Konsekuensi logis yang terjadi dari kondisi demikian adalah perempuan akan mendapat tambahan kerja selain pekerjaan domestik, sementara laki-laki tetap pada kerja publiknya. Di satu sisi laki-laki merasa memiliki hak yang lebih banyak dari perempuan, sementara disisi lain kaum perempuan diberi kewajiban yang melebihi kaum laki-laki3. Ketidakadilan pada dasarnya lebih mudah terjadi pada pihak yang lemah dalam struktur sosial dan kekuasaan. Dalam hal ini, berlaku apa yang dinamakan sebagai dehumanisasi sistematik, artinya pihak yang lebih lemah akan selalu rentan terhadap kekerasan4. Sedangkan berdasarkan stereotype terdahulu kebanyakan organisasi didirikan, dikembangkan, dan diatur oleh pria. Umumnya kaum pria telah terlebih 2 Andreas Ananto Kagawa. ( SWA Magazine, 2 Nov 2006, hal 29 ). Andreas Ananto Kagawa. Ibid., 2006 hal 29. 4 Putu Oka Sukanta. ( Kompas, 16 April 2001 hal 8). 3 4 dahulu memprakarsai berdirinya organisasi jauh sebelum para pejuang emansipasi perempuan berniat untuk memulainya. “Sehebat apapun mereka, karena mereka adalah perempuan”, kondisi seperti inilah yang menyebabkan dapat terjadinya penghalang yang serius bagi komunikasi antara pria dan perempuan di tempat kerja5. Perempuan yang bekerja di dalam organisasi yang didominasi kaum pria, jarang sekali dapat mencapai atau berharap bisa meraih jabatan yang lebih tinggi dari posisi manager junior. Mereka merasa senang dengan status quo ini. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan pria memiliki kekuasaan dalam organisasi sehingga wanita dalam suatu organisasi menjadi termarginalkan dalam struktur organisasi yang bersifat dinamis dan patriarki6. Sedangkan untuk persentase penduduk lima belas tahun keatas menurut lapangan pekerjaan utama terbukti bahwa untuk bidang pertanian, kehutanan, perburuan, perikanan dan industri pengolahan perempuan lebih mendominasi dibanding laki-laki, namun perbandingan diantara keduanya tidak terlalu besar. Lain halnya di sektor jasa masyarakat, perhotelan, rumah makan, pedagang besar & eceran. Dalam hal ini, peran perempuan lebih berkontribusi dibandingkan peran laki-laki7. Sehingga bagaimanakah sebenarnya proporsi wanita dan laki-laki dilihat dari segi gender dan kompetensinya, apakah citra diri mereka mempengaruhi penempatan posisi dalam struktur organisasi. Karena sepertinya terdapat keterkaitan antara gender, kompetensi dan jenis pekerjaan yang distandartkan oleh pihak perusahaan / organisasi yang bersangkutan. 5 Angela Heylin. Kiat Sukses Komunikasi : langkah-langkah praktis untuk berhasil dalam melakukan presentasi persuasi, alih bahasa : Sanudi Hendra,Penerbit:Mitr a Utama Jakarta, hal 67. 6 Catherine Miller. Organizational Communication : approaches and processes third edition, hal 121. 7 Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Februari 2006, BPS. 5 Terdapat gambaran bahwa laki-laki cenderung ditempatkan pada posisi yang bertanggungjawab atas bottom line organisasi. Mereka dominan pada tempat yang memiliki tanggungjawab yang berimplikasi profit dan revenue seperti finance, sales pada level corporate vice president, sedangkan wanita dalam level yang sama tetapi cenderung diberikan kesempatan memegang pekerjaan seperti HRD, komunikasi atau public affair yang dianggap tidak secara langsung berkaitan dengan profit atau revenue8. Lain halnya pada proporsi profesi PR di beberapa Negara, Rea Smith dalam bukunya “Women in Public Relations” : What they have achieved” pada tahun 1968, hanya satu dari sepuluh adalah anggota PRSA. Rasio ini menjadi satu banding tujuh pada tahun 1975 ketika Sondra Gorney menyimpulkan bahwa „dinding dunia laki-laki‟ tradisional belum roboh.‟ Jacobson (1990), “Namun tampaknya dinding itu sudah roboh pada tahun 1990-an, ketika sebagian besar anggota PRSA adalah wanita, dan merupakan anggota International Association of Business Communicators (IABC) adalah wanita”. Bahkan berdasarkan data yang disajikan bahwa PR adalah bidang diantara dua puluh enam bidang dimana wanita dengan bachelor‟s degree menerima upah / gaji lebih tinggi dibanding laki-laki. PR perempuan rata-rata ditawari gaji 31,441$ sedangkan laki-laki 30,682$. Meningkatkan jumlah wanita di sektor PR justru berpengaruh negatif bagi reputasi profesi ini karena dianggap adanya feminisasi profesi. Sehingga dimana sebenarnya sektor PR perempuan dan laki-laki berada serta apakah pada posisi manajerial ataukah teknis9. 8 9 Cutlip, Scott. M, Center, Allen. H, and Broom, Glen. M, 2006 hal 36-37, Effective Public Relations. Edisi kesembilan, Jakarta : Prentice Hall, Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta. Cutlip, Scott. M, Center, Allen. H, and Broom, Glen. M., Ibid 2006 hal 36-37. 6 Masalah laki-laki dan perempuan, mengapa ini menjadi penting ? beberapa orang mungkin mengatakan masalah tersebut tidak perlu dipersoalkan. Namun, pada kenyataannya masalah ini dipandang menjadi penting. Berdasarkan penelitian dari beberapa ahli dikatakan bahwa komunikasi yang excellence dianggap ideal dimana komunikator memiliki kemampuan yang memadai, dilibatkan untuk membantu seluruh proses manajemen stratejik organisasi, mencari bentuk hubungan simetris melalui manajemen komunikasi dengan publik kuncinya tepat dimana organisasi itu tumbuh dan berkembang10. Jika dikatakan PR adalah pengelola komunikasi yang excellence, dimana peran PR sendiri dalam hal membina hubungan dengan pihak lain adalah sebagai “fasilitator” komunikasi yang positif antara organisasi dan publiknya, dan mengharapkan excellence communication dalam organisasi ingin terbina, maka diperlukanlah11: 1. PR yang memiliki kemampuan 2. Keselarasan harapan dari PR dan organisasi 3. Kondisi organisasi yang menganut budaya yang partisipatif Jika ditelusuri dalam berbagai pustaka Public Relations adalah fungsi manajemen. PR memiliki fungsi menjembatani komunikasi antara organisasi dengan publiknya baik internal maupun eksternal. Grunig dan Hunt mengatakan bahwa fungsi untuk mengelola komunikasi dalam organisasi, berarti fungsi ini jauh lebih luas dari pada sekedar teknisi dan ketrampilan biasa, Public Relations disamping memerlukan skil ia juga merupakan sebuah ilmu yang harus dipelajari 10 James E. Grunig, David M. Dozier, William P. Ehling, Larissa A. Grunig, Fred C. Repper, and Jon White (eds), Excellence in Public Relations and Communication Management (Hillsdale, NJ : Lawrence Erlbaum Associates, 1992), p. 1-30. 11 James E. Grunig, David M. Dozier, William P. Ehling, Larissa A. Grunig, Fred C. Repper, and Jon White (eds). Ibid., 1992 p:10. 7 dan dipahami. Oleh sebab itu, PR memiliki tugas mulai dari mengelola secara keseluruhan aktifitas komunikasi dalam organisasi hingga melakukan evaluasinya12. Namun, tidak jarang PR di beberapa perusahaan masih berada pada posisi teknis jauh dari peran manajerial khususnya bagi kaum perempuan. Misalnya di industri manufaktur khususnya pertambangan PR perempuan cenderung dijadikan sebagai frontliner dalam menghadapi klien atau vendor dari perusahaan terkait terutama dalam hal negosiasi. Hal ini diakui CEO kalau fisikly dan pembawaan dari sosok perempuan sendiri yang memang sudah terlihat ramah, sehingga membawa kepada pola komunikasi yang cozy dan meyenangkan, berbeda dengan PR laki-laki yang cenderung terlibat dalam pengambilan keputusan13. Padahal feminist value sejatinya mampu membangun relationship dengan berbagai macam karakter individu baik didalam maupun diluar organisasi. Sehingga mengapa kemampuan tersebut masih diragukan antara menempatkan PR perempuan pada peran manajerial dan teknis Dalam buku “Invisible Management The Construction of Leadership”, Anna Wahl menggambarkan tentang hal ini. Ia menyatakan bahwa dalam beberapa kasus, wanita dianggap tidak mampu untuk memimpin. Wanita digambarkan kurang kemauan, kurang kompeten, kurang percaya diri dan kurang-kurang lainnyayang diperlukan pada kualitas seorang pemimpin, bahkan ada stereotype yang menyatakan bahwa wanita sering menggunakan manipulasi gender-nya sebagai power untuk memperoleh jabatan tertentu14. 12 James E. Grunig and Todd Hunt, Managing Public Relations (New York : Holt, Rinehart, and Winston 1984). 13 Hasil wawancara dengan CEO PT. Freeport Indonesia. 14 Ann Laura Janusik, 2004. The Relationship Between Conversational Listening Span and Perceive Communicative Competence, Dissertation, Faculty of the Graduate School of the University of Maryland, College Park. 8 Seharusnya eksistensi dari profesi PR ditentukan oleh kompetensi dari peran dan fungsi yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan hanya karena ia laki-laki atau perempuan baik dalam arti negatif maupun positif. Karena sejatinya seorang praktisi PR akan dapat berperan apabila memiliki kompetensi personal dan dapat menjalin relasi internal-eksternal organisasi serta dapat mencapai hasil optimal dari manajemen. Dari hasil riset sebelumnya terdapat beberapa fakta bahwa dalam struktur Department Corporate Communication PT. Freeport Indonesia, laki-laki cenderung mendominasi ketimbang perempuan namun, jumlah diantara keduanya masingmasing tidak berbeda jauh dengan perhitungan laki-laki sebanyak tujuh belas orang dan perempuan dua belas orang, tidak hanya itu peran manajerialnya-pun saat ini dipegang oleh laki-laki. Dalam hal ini, perempuan lebih mendominasi pada unit Internal Communication sedangkan laki-laki lebih dominan pada unit Exsternal Communication. Disamping itu, kecenderungan untuk masing-masing background pendidikannya-pun tidak didasari pada background PR sebagai salah satu syarat untuk dapat bekerja di departemen tersebut. Melihat kondisi yang seperti ini, tentunya CEO memiliki pandangan atau nilai-nilai tersendiri mengenai pola struktur dan posisi serta kompetensi komunikasi yang ada di masing-masing unit Department Corporate Communication. Sehingga seperti apa sebenarnya pandangan CEO mengenai proporsi dari masing-masing nilai gender dan kompetensi komunikasi SDM PR serta keterkaitan diantara keduanya terhadap peran dari masing-masing fungsi mereka di perusahaan, dan tentunya dalam konteks yang bagaimana. Apakah pandangan yang ada pada satu konteks tertentu lebih condong pada unsur gendernya sehingga mendukung 9 proses kompetensi komunikasi, ataukah memang karena kemampuan berkomunikasinya yang diperlukan. Apalagi PT. Freeport ini merupakan perusahaan tambang yang notabennya tergolong perusahaan berat dengan karakteristik medan operasional yang remote. Tentunya hal ini akan menjadi suatu tantangan tersendiri yang mereka jalani. Yang menjadi alasan bagi penulis terhadap konsep gender pada penelitian kali ini ialah adanya stereotype yang memang muncul dan terbentuk di masyarakat sosial. Stereotype tersebut berupa unsur sex difference yang merupakan implikasi dari gender, yang pada dasarnya banyak menimbulkan suatu problem di berbagai bidang tertentu. Salah satu faktor penyebab yang muncul dari implikasi tersebut ialah adanya pembedaan dalam hal distribusi kekuasaan antara laki – laki dan perempuan, yang selanjutnya terkait dengan distribusi kekuasaan dalam akses dan kontrol terhadap sumber daya yang ada. Hampir di berbagai strata sosial, perempuan mengontrol lebih sedikit aset produktif dibanding dengan laki – laki, meskipun sebenarnya perempuan menghasilkan lebih dominan baik dari aset produktif maupun reproduktif. Stereotype mengenai kurangnya kontrol perempuan terhadap sumber daya akan berpengaruh pada nilai atau sudut pandang sebagian besar CEO yang memang sengaja teradopsi baik dari stereotype yang muncul di masyarakat, perusahaan / organisasi maupun dari pengetahuan, pola pikir, dan pengalaman CEO itu sendiri. Oleh karennya penelitian ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana pandangan CEO pada nilai gender dan communication competence PR di perusahaan PT. Freeport Indonesia Jakarta. 10 I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan pokok permasalahan yang dijabarkan dalam latar belakang diatas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah : Bagaimana pandangan CEO pada nilai gender dan kompetensi komunikasi SDM Public Relations di perusahaan PT. Freeport Indonesia Jakarta ? I.3. Tujuan Penelitian dan Signifikansi Penelitian I.3.1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : Secara lebih spesifik penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan suatu pemahaman ( verstehen ) secara deskriptif mengenai pandangan CEO terhadap nilai gender dan kompetensi komunikasi SDM antara PR laki-laki dan perempuan di perusahaan tersebut. Faktor-faktor yang seperti apa yang mempengaruhi peran dan fungsinya mereka baik sebagai laki-laki dan perempuan di lingkungan kerja. Dan seperti apa karakter pola komunikasi masing-masing dari mereka yang pada akhirnya nanti ada keterkaitan antara kedua hal itu (gender dan kompetensi komunikasi) terhadap proporsi dari masing-masing jenis pekerjaan yang ada, dan siapa saja yang sering terlibat dalam melakukan pekerjaan tersebut. Sekaligus menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi terciptanya pembagian kerja dari masing-masing individu terkait. 11 I.3.2. Signifikansi Penelitian I.3.2.1. Signifikansi Teoritis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah pengetahuan tentang fenomena sosial empiris yang berkaitan dengan realitas gender terhadap nilainilai communication competence PR di suatu perusahaan. 2. Memberikan signifikansi yang cukup besar bagi pengembangan Ilmu Komunikasi khususnya dalam memperluas pengetahuan mengenai tema penelitian. 3. Memberikan batasan yang tegas tentang communication competence PR yang memungkinkan terjadinya bias gender serta diharapkan dapat memberikan referensi bagi penelitian selanjutnya. I.3.2.2. Signifikansi Praktis 1. Dapat dijadikan dasar bagi berbagai pihak ( LSM, pemerintah, individual, perusahaan, dsb ) dalam merumuskan program aksi dan kebijakan, yang berkaitan dengan kompetensi SDM PR yang lebih proporsional dan tidak bias gender serta dapat dipertanggung jawabkan. 2. Dapat memberi masukan kepada PT. Freeport Indonesia khususnya bagian divisi PR atau corporate communication-nya bagi pengembangan kompetensi SDM PR ke arah yang lebih baik pada periode berikutnya. 3. Penulis sendiri, karena mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam melakukan penelitian tentang realitas nilai gender terhadap kompetensi komunikasi SDM PR berdasarkan sudut pandang CEO di suatu perusahaan dan organisasi yang bersangkutan. 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi Organisasi 2.1.1. Definisi Interpretif Komunikasi Organisasi Komunikasi organisasi, dipandang dari suatu perspektif interpretif ( subjektif ) merupakan proses penciptaan makna atas interaksi dalam organisasi atau merupakan suatu ”perilaku pengorganisasian” yang terjadi, dan bagaimana mereka yang terlibat dalam proses itu bertransaksi serta memberi makna atas apa yang sedang terjadi, seperti yang terdapat pada asumsi berikut : ”Manusia Menciptakan Realitas” Manusia menciptakan realitas mereka dengan cara – cara yang paling mendasar, dalam usaha untuk membuat dunia mereka dapat dijelaskan kepada mereka sendiri dan kepada orang – orang lainnya. Mereka tidak sekedar aktor yang menafsirkan situasi mereka dengan cara – cara yang bermakna, karena tidak ada situasi – situasi yang diwujudkan oleh mereka lewat aktivitas kreatif mereka sendiri. Individu – individu dapat bekerja sama untuk menciptakan realitas bersama, namun realitas tersebut masih merupakan suatu konstruksi subjektif yang dapat lenyap pada saat anggota – anggotanya tidak menerimanya lagi sebagai demikian. Realitas tampak sebagai nyata bagi individu – individu karena tindakan manusia yang secara sengaja atau tanpa disengaja bersekongkol. Dalam hal ini realitas ( organisasi ) merupakan suatu konstruksi subjektif yang mampu lenyap saat anggota – anggotanya tidak lagi menganggapnya demikian. Lebih jelasnya, komunikasi organisasi dalam perspektif ini mengarah pada proses penciptaan makna atas interaksi yang menciptakan, memelihara, dan mengubah organisasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pandangan ”objektif” atas organisasi menekankan pada ”struktur”, sementara organisasi berdasarkan 13 pandangan ”subjektif” menekankan pada ”proses”, komunikasi disini lebih daripada sekedar alat, ia adalah cara berpikir. Konsep ”makna” adalah relevan dan penting untuk membedakan antara perspektif fungsionalis ( objektif ) dan perspektif interpretif ( subjektif ) mengenai komunikasi organisasi. Suatu citra komunikasi yang menempatkan ”makna” dalam pesan akan menimbulkan perilaku yang mengabaikan ”orang”. Hal ini ditunjukkan bahwa makna suatu pesan ada pada penerima dan dinegosiasikan antara para peserta. Makna muncul dan berkembang dalam interaksi yang berlangsung, hubungan antara para peserta juga konteksnya, akan menentukan apa makna kata – kata yang bersangkutan. Fokus perhatiannya adalah pada transaksi verbal dan nonverbal yang sedang terjadi, proses tersebut layaknya seperti ”memahat makna bersama”. Perspektif interpretif ( subjektif ) menekankan peranan ”orang – orang” dan ”proses” dalam menciptakan makna. Makna tersebut tidak hanya pada orang, namun juga dalam ”transaksi” itu sendiri15. 2.2. Peran, Fungsi, Tugas dan Posisi Public Relations International Public Relations Association ( IPRA ) menyatakan bahwa hubungan masyarakat merupakan suatu fungsi management ( management function ). Hal ini menunjukkan bahwa hubungan masyarakat bukan alat management yang dapat diadakan, dipindahkan, dan ditiadakan, melainkan fungsi yang melekat menjadi satu dengan management. Dimana ada management, 15 Putnam Linda. “The Interpretive Perspective: An Alternative to Functionalism, “Communication And Organizations: An Interpretive Approach, Linda L. Putnam dan Michael Pacanowsky, ed. Beverly Hills, Calif.: Sage, 1983, dalam Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaa, R. Wayne Pace and Don F. Faules, Editor : Deddy Mulyana. 14 di situ ada hubungan masyarakat dan gaya yang menggerakkan serta menjalankan hubungan masyarakat tersebut ialah komunikasi. PR adalah fungsi management, karena PR dalam melaksanakan kegiatannya yang terencana tersebut, tentu berhubungan dengan tujuan atau goal suatu organisasi. Intinya ialah untuk menciptakan dan memelihara saling pengertian, sehingga eksistensi perusahaan akan selalu didukung di tengah masyarakat16. Sedangkan pendapat lain Frank Jefkins mendefinisikan Public Relations adalah semua bentuk komunikasi yang terencana baik kedalam maupun keluar antara sebuah organisasi dengan semua khalayaknya atau publiknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan spesifik yang berlandaskan saling pengertian17. Sedangkan menurut Cutlip, Center, and Broom Public Relations adalah fungsi manajemen yang membangun dan mempertahankan hubungan yang baik dan bermanfaat antara organisasi dengan publik yang mempengaruhi kesuksesan atau kegagalan organisasi tersebut18. Beberapa ahli menyebutkan bahwa Public Relations merupakan suatu profesi yang dimana syarat akan keahlian dalam menjalankan peran dan tanggungjawabnya. Peran tersebut terbagi kedalam empat klasifikasi khusus antara lain : expert preciber, communication facilitator, problem solver, and communication technician. Dan dapat disimpulkan bahwa peran expert presciber, communication facilitator, dan problem solver merupakan keseluruhan peran yang dapat mewakili peran-peran stratejik dari kemampuan manajerial yang ada. Konsekuensinya, keempat peran tersebut akan tidak efektif jika dua kategori dari 16 Onong Uchjana Effendy. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1992), hal 135. 17 Frank Jefkins. Public Relations edisi kelima, 2003 hal 9 PT. Erlangga, Jakarta. 18 Cutlip, Scott. M, Center, Allen. H, and Broom, Glen. M, 2006 hal 6 Effective Public Relations. Edisi kesembilan, Jakarta : Prentice Hall, Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta. 15 aktivitas kerja seorang manajer dan tekhnisinya tidak berjalan dengan baik. Namun, penyelidikan sementara dari beberapa ahli menyarankan bahwa peran ketiga yaitu the agency role. Dimensi peran ketiga ini termasuk kedalam banyak jenis pekerjaan yang mengandalkan peran expert presciber, tetapi tidak untuk aktivitas pekerjaan yang ada dalam peran tekhnisi19. Menurut Edward L. Bernay, terdapat beberapa fungsi utama PR, yakni 20 : 1. Memberikan penerangan kepada masyarakat. 2. Melakukan persuasi untuk mengubah sikap dan perbuatan masyarakat secara langsung. 3. Berupaya untuk mengintegrasikan sikap dan perbuatan suatu badan atau Lembaga sesuai dengan sikap dan perbuatan masyarakat atau sebaliknya. 4. Menunjang kegiatan manajemen dan mencapai tujuan organisasi. 5. Menciptakan komunikasi dua arah secara timbale balik dengan menyebarkan informasi dari perusahaan kepada publik dan menyalurkan opini publik pada perusahaan. 6. Melayani publik dan memberikan nasihat kepada pimpinan perusahaan untuk kepentingan umum. 7. Membina hubungan secara harmonis antara organisasi dan publik baik internal maupun eksternal. 19 Eichhorn C.K. 2007, Cognitive Communication Competence Within Public Relations Practitioners : Examining Gender Differences BetweenTechnicians and Managers, Public Relations Review 33. P. 77-83. 20 Rosady Ruslan. Management Public Relations & Media Komunikasi Konsepsi dan Aplikasi Edisi Revisi. 16 Toth mengemukakan fungsi PR profesional bagi manajemen yaitu sebagai seorang manajer yang bertanggungjawab, berpengalaman, dan memiliki wawasan yang luas dalam keterampilannya berkomunikasi. Ketegasan dalam berkomunikasi, memiliki design program manajemen yang jelas, melakukan berbagai meeting baik dengan pers, eksekutif maupun dengan berbagai klien perusahaan. Memiliki keterampilan dalam bernegosiasi serta interpersonal relationship yang efektif. Karena keterampilan berkomunikasi yang baik amat sangat penting dan diperlukan sekalipun pada peran PR tekhnisi, baik dari mulai menyebarkan atau menyampaikan pesan, menulis, meng-edit, sampai pada memproduksi suatu pesan, menjalin hubungan dengan media serta mengimplementasikan beberapa keputusan stratejik yang dibuat bersama dengan tim. Akan tetapi yang tidak kalah pentingnya ialah PR disini harus bertindak sebagai seorang manajer, karena manajer dan tekhnisi merupakan bagian dari kategori praktisi PR yang seutuhnya. Perkembangan profesionalisme Public Relations yang berkaitan dengan pengembangan peranan PR, baik sebagai praktisi maupun profesional dalam suatu organisasi atau perusahaan menurut Dozier D.M merupakan salah satu kunci untuk memahami fungsi Public Relations dan komunikasi organisasi. Oleh karena itu, PR dituntut untuk dapat melaksanakan peran sebaik mungkin. Peranan Public Relations dalam suatu organisasi dapat dibagi dalam empat kategori yaitu21: 1. Penasehat Ahli ( Expert Prsciber ) Praktisi PR dalam hal ini, harus memiliki kemampuan untuk mencari, memecahkan, dan mengatasi solusi atau persoalan dalam penyelesaian 21 Cutlip, Center, and Broom op cit., 2006 hal 46-47. 17 masalah yang tengah dihadapi oleh organisasi, khususnya yang berhubungan dengan publik ( Public Relationship ). 2. Fasilitator Komunikasi ( Communication Fasilitator ) Dalam hal ini, praktisi PR bertindak sebagai komunikator atau mediator untuk membantu pihak management dalam hal mendengarkan apa yang diinginkan dan diharapkan oleh publiknya. 3. Fasilitator Proses Pemecahan Masalah ( Problem Solving Process Facilitator ) Proses pemecahan persoalan Public Relations ini merupakan bagian dari tim management. Maksudnya, PR diharapkan dapat membantu pimpinan organisasi baik sebagai penasihat ( adviser ), hingga mengambil tindakan eksekusi ( keputusan ) dalam mengatasi persoalan atau krisis yang tengah dihadapi secara rasional. 4. Teknis Komunikasi ( Communication Technician ) Peranan Communication Technician ini, menjadikan praktisi PR sebagai Journalist in Resident yang hanya menyediakan layanan teknis komunikasi atau dikenal dengan Methode of Communication in Organization. Untuk mendukung keprofesionalan PR dalam melaksanakan fungsi serta perananya sebagai pencipta image positif perusahaan, hendaklah didukung dengan pelaksanaan tugas yang profesional juga. Tugas yang dilaksanakan oleh PR 18 berhubungan erat dengan peran, serta fungsi PR. Adapun tugas-tugas tersebut meliputi22 : 1. Menginterpretasikan, menganalisis & mengevaluasi kecenderungan perilaku Publik. 2. Membina sikap mental karyawan, agar dalam diri mereka tumbuh ketaatan, kepatuhan dan dedikasi terhadap lembaga atau perusahaan dimana mereka bekerja. 3. Menumbuhkan semangat corp atau kelompok yang sehat dan dinamis. 4. Mendorong tumbuhnya kesadaran lembaga atau perusahaan. 5. Mengusahakan tumbuhnya sikap dan citra ( image ) publik yang positif terhadap segala kebijakan dan langkah-langkah organisasi atau perusahaan. Toth et al. identified the following as work activities in the managerial based roles of manager and agency : planning and managing public relations programs, implementing new programs, planning and managing budgets, evaluating program results, counseling management, and supervising the work of others. Technician activities included disseminating messages, writing, editing, and producing messages, making media contacts and implementing the decisions made by others23. Setelah melihat peran, fungsi dan tugas PR dapat disimpulkan bahwa PR yang ideal ialah PR yang memiliki fungsi sebagai fungsi komunikasi, memiliki peran manajerial, dalam hal ini PR harus ditempatkan di leher organisasi agar ia dapat diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, PR juga harus 22 23 Rhenald, Kasali. Management Public Relations. Penerbit Grafiti, Jakarta, 1999. James E. Grunig and Todd Hunt. op cit., 1984. 19 mampu memberikan advice dan mampu menjembatani komunikasi baik antar top management, low management, sesama level, maupun antar departemen. Dari hasil penelitian terlihat bahwa CEO sangat mengharapkan PR untuk dapat : (1) Menjadi mediator organisasi untuk membantu manajemen dan publik dalam menegosiasikan konflik. (2) Mengubah attitude dan behavior manajemen dan publik. (3) Membangun hubungan yang mutual antara organisasi dan publiknya. Sehingga kompetensi PR harus benar-benar mengacu pada semua hal diatas24. 2.3. Kompetensi Komunikasi (Communication Competence) Public Relations Dalam menyusun atau merekonstruksi sebuah departement PR di suatu perusahaan. Biasanya para CEO memulainya dengan menilai ukuran tim yang dibutuhkan, jumlah anggotanya, dan pada tingkatan apa. Hal tersebut guna mencapai keseimbangan antara perencanaan strategis, implementasi, dan keterampilan pendukungnya. Tidak hanya itu, jenis pengalaman dan spesialisasi yang diinginkan juga masuk dalam pertimbangan ini. Selain itu, perusahaan juga mempertimbangkan profil usia yang ideal untuk memberi keseimbangan yang memuaskan di dalam tim yang memperhitungkan kemungkinan pengembangan karir dan sukses di kemudian hari. Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan perusahaan, dalam penyusunan tim departement PR antara lain : 1. Ukuran dan cakupan tugas 2. Spesialisasi dan pengalaman 24 David M. Dozier, “The Organizational Roles of Communications and Public Relations Practitioners,” in James E. Grunig, David M. Dozier, William P. Ehling, Larissa A. Grunig, Fred C. Repper, and Jon White (eds), Excellence in Public Relations and Communication Management (Hillsdale, NJ : Lawrence Erlbaum Associates, 1992), pp. 327-355. 20 3. Keseimbangan sumber daya internal / eksternal 4. Tingkat input strategik lawan implementasi Semua faktor itu akan dipengaruhi oleh kondisi alamiah organisasi / perusahaan, dan digerakkan oleh tanggungjawab dan sasaran dari departement. Biasanya beberapa CEO di suatu perusahaan, lebih memperhitungkan pengalaman sektoral dan kontak dasar yang ada dalam merekrut staff, karena hal ini dapat memberikan sejumlah keuntungan. Namun demikian, biasanya perusahaan jauh lebih penting untuk memilih individu berkualitas paling tinggi dengan keseimbangan keahlian yang tepat. Biasanya CEO dalam suatu perusahaan cenderung merekrut dan membentuk tim departement PR berdasarkan kategorisasi tingkat keahlian dan pengalaman yang bersifat umum dan khusus, seperti : PR bagian investor relations, PR bagian government relations, PR bagian media relations dsb25. Spitzberg and Cupach‟s mengemukakan tentang kompetensi komunikasi yang merupakan gabungan dari tiga komponen penting yang terdiri dari pengetahuan, motivasi, keterampilan dan konteks komponen lain seperti pola interaksi, norma, beserta aktivitas dari jenis-jenis pola hubungan komunikasi yang ada. Komponen-komponen tersebut sangat penting untuk dipahami dan dimengerti dalam penerapan kompetensi PR disuatu organisasi dan perusahaan26. 25 26 Frank Jefkins. Kualifikasi Profesi PR, 1988 : 36-39. Ann Laura Janusik. op cit., 2004. 21 Lebih lanjut Ann Laura Janusik mengungkapkan mengenai hal tersebut, antara lain27 : a. Communication Knowledge The next major component of the competence model is knowledge…….Questions were generated addressing the three major dimensions of competence pinpointed in this research : emphaty, adaptability, and interaction management. Bentuk kualifikasi ini, menggambarkan bahwa PR memiliki pengetahuan untuk berkomunikasi, beradaptasi serta pengetahuan tentang bagaimana mengatur komunikasi dalam berinteraksi ( Management Interaction ). Dalam hal ini, PR dapat memahami bagaimana metode yang efektif pada saat ia melakukan proses komunikasi dengan pihak lain baik di suatu organisasi maupun dalam interaksi sosialnya sehari-hari. Mulai dari two way communication, one way communication, komunikasi organisasi dsb. Metode tersebut tentunya, disertai oleh kemampuan beradaptasi dan management interaction yang baik. Karena hal tersebut juga merupakan suatu jembatan bagi PR untuk dapat mewujudkan suatu kerangka pemikiran ( Frame of Reference & Field of Experience ) yang selaras dalam proses komunikasi yang berlangsung. b. Communication Skill Empirically grounded, a priori skills can serve as the building blocks for assessing employee competence. The skill scale has three dimensions: empathy, adaptability, and interaction management. The scale measures an employee‟s 27 Ann Laura Janusik. Ibid., 2004. 22 sactual communication skill level as judged by a supervisor because supervisors exert the most influence on evaluations of job performance. Dalam aspek keilmuan komunikasi merupakan induk ilmu dari bidang PR, sedangkan dalam dunia PR komunikasi merupakan tulang punggung ( backbone ) dalam melakukan berbagai programnya. Keterampilan berkomunikasi mencakup keterampilan untuk berempati ( Skill of Empathizing ), keterampilan untuk beradaptasi ( Knowledge to adaptability ), dan keterampilan untuk mengelola interaksi. Kesemua hal itu dapat dikatakan sebagai Communication is Practise or Communication is Art ( komunikasi praktis atau seni berkomunikasi ) yang mutlak dimiliki oleh seorang PRO. Sehingga mereka mampu berpikir jernnih dan bersikap positif dalam mengantisipasi masalah serta menciptakan networking ( jaringan ) dengan berbagai pihak yang berkaitan dengan penyusunan dan pelaksanaan rencana kegiatan organisasi / perusahaan yang bersangkutan. c. Communication motivation The motivation component is conceptualized as one‟s willingness to approach or avoid communicative interactions. The most salient skills to competence were narrowed to empathy, adaptability, and interaction management, so a motivation scale was designed to measure employees‟ willingness to extend empathy, manage interactions, and adapt communication within the organization. Motivasi berkomunikasi pada dasarnya mencakup motivasi untuk berempati ( Skill of Emphatizing ), motivasi untuk dapat beradaptasi ( Knowledge to Adaptability ), dan motivasi untuk membangun interaksi ( Interaction 23 Management ). Dalam hal ini, motivasi merupakan dorongan psikologis yang mengarahkan PR ke arah suatu tujuan yaitu efektifitas komunikasi. Motivasi inilah yang membuat keadaan dalam diri PR itu sendiri muncul secara terarah dan mempertahankan perilaku untuk tetap memiki dorongan ( driving force ) untuk melaksanakan sesuatu. Sehingga PR disini tidak hanya memiliki keterampilan dan pengetahuan saja, tetapi juga memiliki kemampuan teknik untuk menciptakan situasi yang berupa motivasi / dorongan untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan communication competence PR dalam menciptakan suatu pemahaman proses komunikasi yang efektif. Sedangkan dimensi yang digunakan untuk mengukur kompetensi komunikasi, antara lain : pengetahuan berkomunikasi, keterampilan berkomunikasi serta sikap atau perilaku berkomunikasi. Pengetahuan itu sendiri mencakup pengetahuan bagaimana dan apa yang harus ia lakukan dalam menghadapi satu kondisi dan situasi tertentu, bagaimana cara ia memulai suatu proses komunikasi yang efektif dalam apapun situasi dan kondisi yang ia hadapi. Sedangkan keterampilan mencakup bagaimana ia menerapkan atau mengimplementasikan pengetahuan yang ia miliki dalam berkomunikasi dengan teknik dan cara yang terampil. Sehingga dalam hal ini tidak hanya tercipta hubungan komunikasi yang efektif tetapi juga mengandung keunikan tersendiri. Untuk sikap dan perilaku berkomunikasi hal ini mencakup bagaimana sikap seseorang dalam berkomunikasi baik verbal terutama nonverbalnya. Namun, beberapa dari para ahli berpendapat bahwa memang aspek kognitif (pengetahuan) dan behavior merupakan kedua unsur yang penting dalam penerapan kompetensi seseorang. 24 Disisi lain Wolvin dan Cookley juga menambahkan bahwa terdapat komponen sikap yang terpenting dalam penerapan kompetensi komunikasi. Sikap yang dimaksud ialah sikap perilaku verbal dan nonverbal dalam menghadapi situasi komunikasi. Bagaimana perilaku verbal dan nonverbal dapat diterapkan dengan baik dalam melakukan serta menjalin komuniksi dengan partner yang kita hadapi28. Menurut Ann Laura terdapat lima dimensi kompetensi interpersonal yang sesungguhnya dari sosok PR, antara lain : kompetensi umum (pengetahuan, keterampilan & motivasi), empati, dukungan affiliasi, memiliki fleksibilitas dalam bersikap dan berperilaku serta memiliki jiwa sosialisasi yang tinggi29. Pada umumnya, setiap perusahaan mempunyai prinsip bahwa siapa pun yang bekerja dalam dunia PR, membutuhkan adaptasi yang cepat dengan organisasi. Karena keterlibatan mereka dalam penanganan permintaan. Banyak kecakapan utama dalam pekerjaan PR yang juga berlaku bagi staff pendukung lainnya. Akurasi hasil kerja merupakan hal yang terpenting, karena hasil-hasil tersebut seringkali menjadi sorotan publik. Kehandalan fleksibilitas dan minat nyata dalam organisasi serta peran mereka sendiri di dalamnya merupakan atribut lain yang vital. Secara umum dapat disimpulkan bahwa lingkup behavior seorang PR mencakup kemampuan untuk berperilaku secara etis, yaitu memiliki perilaku, sikap, etika moral dan tata krarma ( etiket ) yang baik ( Good Moral and Good Manner ) dalam bergaul atau berhubungan dengan pihak lain ( Social Contact ). 28 29 Ann Laura Janusik. Ibid., 2004. Ann Laura Janusik. Ibid., 2004. 25 Termasuk memperhatikan hak-hak pihak lain dan dengan menghormati pendapat atau menghargai martabat orang lain. Sebagai contoh : sikap kejujuran yang mutlak menjadi landasan profesi Public Relations, karena aspek ini dapat membentuk kredibilitas ( kepercayaan ) orang lain terhadap PRO maupun perusahaan tempat PRO itu bekerja. Sedangkan untuk aspek kognitif biasanya mencakup kemampuan PR untuk berpikir secara etis dan mempertimbangkan tindakan profesi atau dalam mengambil keputusan harus berdasarkan pertimbangan rasional, objektif, dan penuh dengan integritas pribadi serta tanggung jawab yang tinggi30. Sebagai contoh : profesi PR haruslah seseorang yang penuh dengan gagasan atau ide-ide, mampu memecahkan problem yang dihadapi, mampu menyusun rencana yang orisinil dan dapat mengembangkan imajinasi untuk melahirkan kreativitas kerjanya. Kreativitas ini, bisa mencakup berbagai kegiatan seperti mengelola berbagai special event PR ( pameran, workshop, seminar, press conference dan lainnya ), pembuatan House Jurnal ( media penerbitan PR ), krisis management dan lain sebagainya. Semua itu diperlukan pengamatan yang tajam, persepsi yang baik serta pemikiran yang orisinal dan perhatian yang penuh dalam mencari peluang, dimana kesemua hal tersebut harus dalam kaitan pola komunikasi31. 2.4. Gender Public Relations dalam Organisasi Gender dalam stereotype yang muncul pada umumnya merupakan sekumpulan nilai atau ketentuan yang membedakan identitas sosial laki-laki dan 30 31 Onong, Uchjana Effendy. op cit., 1992 hal 177. Frank Jefkins. op cit., 1988 hal 36-39. 26 perempuan, serta apa yang harus dilakukan oleh perempuan dan apa yang harus dilakukan oleh laki-laki baik dalam hal ekonomi, politik, sosial, dan budaya dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa32. Gender merupakan suatu cirri yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Nilai-nilai atau ketentuan gender tersebut dapat berbeda-beda pada konteks tertentu. Selain itu, ketentuan gender juga bisa berubah dari waktu ke waktu, tergantung pada perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, oleh karenanya gender bersifat relatif33. Sedangkan gender berdasarkan jenis kelamin merupakan kategori biologis perempuan atau laki-laki, dan ini menyangkut sejumlah kromosom, pola genetik dan struktur genital yang unik di masing-masing jenis. Jenis kelamin merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir, sering dikatakan sebagai ketentuan dari tuhan atau kodrat, sehingga hal ini tidak bisa dirubah atau dipertukarkan satu dengan yang lainnya34. Pada dasarnya gender sebagai implikasi dari sex difference memiliki beberapa kandungan nilai-nilai yang memang secara alamiah telah melekat pada diri seorang perempuan dan laki-laki, oleh karenanya pemahaman nilai secara umum dapat dikatakan sebagai : 32 Brett, A., 1991, Why Gender is a Development ?, dalam buku Changing Perceptions:Writing on Gender and Development, Tina Wallace ( ed ), London. 33 Faqih, M., 1996, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Peljar, Yogyakarta. 34 Ihromi, T., 1997, Wanita dan Perubahan Kebudayaan, Isu-isu Wanita dalam Pengkajian Antropologi Budaya ( Makalah dalam Widyakarya Nasional Antropologi dan Pembangunan ), Jakarta. 27 “Value is an enduring belief that a specific mode of conduct or end-state of existence is personally or socially preferable to an opposite or converse mode of conduct or end-state of existence.35” “Value is a general beliefs about desirable or undesireable ways of behaving and about desirable or undesireable goals or end-states.36” “Value as desireable transsituatioanal goal, varying in importance, that serve as guiding principles in the life of a person or other social entity.37” Dari ketiga definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai merupakan (1) suatu keyakinan, (2) berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu, (3) melampaui situasi spesifik, (4) mengarahkan seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku, individu, dan kejadian-kejadian, serta (5) tersusun berdasarkan derajat kepentingannya. Sehingga bisa disimpulkan bahwa nilai ialah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, serta digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya. Pemahaman tentang nilai tidak terlepas dari pemahaman tentang bagaimana nilai itu terbentuk, nilai disini merupakan representasi kognitif dari tiga tipe persyaratan hidup manusia yang universal, yaitu38 : 1. Kebutuhan individu sebagai organisme biologis. 2. Persyaratan interaksi sosial yang membutuhkan koordinasi interpersonal. 35 Rokeach, M. 1973. The Nature of Human Values. New York : The Free Press. Feather, N. T. 1994. Values and Culture. Dalam Lonner, Walter J.;Malpass, Roy S. ( ed ), Psychology and Culture ( hal : 183-189 ). Massachusetts : Allyn & Bacon. 37 Schwartz, S. H. 1994. Are There Universal Aspects in the Structure and Contents of Human Values ? Journal of Social Issues, 50, 19-46. 38 Schwartz & Bilsky Ibid., 1987, 1992, 1994 hal 19-46. 36 28 3. Tuntutan institusi sosial untuk mencapai kesejahteraan kelompok dan Kelangsungan hidup kelompok. Nilai berasal dari tuntutan manusia yang universal sifatnya yang direfleksikan juga dalam kebutuhan organisme, motif sosial ( interaksi ), dan tuntutan institusi sosial. Ketiga hal tersebut membawa implikasi terhadap nilai sebagai sesuatu yang diinginkan, dan sesuatu yang diinginkan itu dapat timbul dari minat kolektif atau berdasarkan prioritas pribadi atau individual bahkan mungkin kedua-duanya. Nilai individu biasanya mengacu pada kelompok sosial tertentu atau disosialisasikan oleh suatu kelompok dominan yang memiliki nilai tertentu atau melalui pengalaman pribadi yang unik39. Sebagaimana terbentuknya, nilai juga mempunyai karakteristik tertentu untuk berubah, hal itu disebabkan karena nilai diperoleh dengan cara terpisah yaitu dihasilkan oleh pengalaman budaya, masyarakat dan pribadi yang tertuang dalam struktur psikologis individu. Dalam kehidupan manusia, nilai berperan sebagai standar yang mengarahkan tingkah laku. Nilai membimbing individu untuk memasuki suatu situasi dan bagaimana individu bertingkah laku dalam situasi tersebut. Nilai menjadi kriteria yang dipegang oleh individu dalam memilih dan memutuskan sesuatu. Nilai memberi arah pada sikap, keyakinan dan tingkah laku seseorang serta memberi pedoman untuk memilih tingkah laku yang diinginkan pada setiap individu. Oleh karenanya nilai sangat berpengaruh pada tingkah laku sebagai dampak dari pembentukan sikap dan keyakinan, sehingga dapat dikatakan bahwa 39 Feather. op cit., 1994 hal 183-189. 29 nilai merupakan faktor penentu dalam berbagai tingkah laku sosial dan telah terbukti secara signifikan bahwa perubahan nilai menyebabkan perubahan pula pada sikap dan tingkah laku individu dalam memilih serta memutuskan suatu hal40. Makna nilai (value) lebih menyangkut pada aspek objektifitas ilmiah. Sedangkan nilai-nilai atau Cultural Value lebih banyak menyangkut kepada kepemilikan bersama anggota masyarakat pada baik buruknya tindakan sosial dan perilaku dalam melakukan relasi dan interaksi seseorang dengan orang lain41. Terdapat dua macam nilai dalam kaitannya dengan gender antara lain nilai yang dilekatkan pada perempuan atau yang disebut dengan feminist value dan nilai yang dilekatkan pada laki-laki atau yang disebut dengan maskulin value. Sha argued that feminization would make Public Relations more ethical in appearance and practice. Larissa Grunig, Dozier, and Rakow have suggested the prevalence of women would introduce characteristics such as collaboration, sensitivity towards audiences, and better two way communication. Grunig et al. argue that Public Relations is an industry founded on feminist values, such as honesty, justice, and sensitivity, which enhance the symmetrical communication patterns of Public Relations. Furthermore, the two way symmetrical model of Public Relations requires resolving conflict and building relationships, which they indicate are intrinsically „feminine‟ values. Aldoory argued that only four specialist industry areas were significantly more male than female-oriented, and those specialties entailed areas of expertise that were traditionally male-dominated: technology, finance, sports, and industry42. 40 Rokeach. op cit., 1973. Garna, K. Yudhistyra, 1999, Sosiologi, Teori & Konsep, PPS, UNPAD : Bandung. 42 B.L. Sha, (1999). Cultural Public Relations : identity, activism, globalization, and gender in the Democratic Progressive party on Taiwan. Unpublished doctoral dissertation, University of Maryland, College Park. 41 30 Berdasarkan stereotype yang ada dikatakan bahwa pemimpin perempuan bersifat multiperan serta mampu memperjuangkan nasib karyawan. Perempuan lebih memiliki passionate serta mampu memimpin dengan hati. Wanita biasanya mempunyai emosi yang lebih kuat daripada logika. Sehingga menyebabkan kesulitan dalam pengambilan keputusan, kalaupun mengambil keputusan kerap kali memakan waktu yang relatif lama. Biasanya perempuan kerap kali mencampurkan persoalan pekerjaan menjadi persoalan pribadi, perempuan juga lebih menggunakan manipulasi kewanitaan untuk mencapai sasaran Selain itu, mereka juga sangat identik dengan kehati-hatian, kerapian, mampu bersimpati terhadap orang lain, lebih detail terhadap suatu hal, bersedia mendengarkan, lebih sensitive (peka) terhadap lingkungan, serta lebih intensif dalam menjalin hubungan dengan relasinya. Sedangkan laki-laki lebih identik dengan logika yang lebih kuat daripada emosi sehingga lebih cepat dalam mengambil keputusan, laki-laki cenderung lebih tegas, agak tertutup, kurang mendetail terhadap hal-hal kecil. Tidak hanya itu, mereka juga cenderung memiliki sifat berani, recognition, advancement, challenge, & employment security. Masalah laki-laki dan perempuan menjadi penting disini karena berdasarkan penelitian dari para ahli, dapat dikatakan bahwa dimensi budaya diantara keduanya akan mempengaruhi proses komunikasi dan fungsi komunikator dalam organisasi / perusahaan. Berdasarkan hal diatas, Smith mengemukakan tentang partisipasi perempuan di perusahaan : One of the central issues Grunig (and others) raise in respect of industry feminization is what effect women‟s increased participation has or will have on the industry as a whole : If women become the majority in public 31 relations, the practice will be typecast as “women‟s work”. It will lose what clout it now has as a management function and become a second-class occupation. In the process, gains made over 50 years to build and sustain the value of public relations will disappear (Bates, 1983, cited in Grunig et al., 2001)43. Berdasarkan nilai-nilai yang ada, pasalnya perempuan lebih condong pada industri nonmanufaktur sedangkan laki-laki lebih kepada industri manufaktur. Padahal sudah tidak ada lagi batasan bagi perempuan dan laki-laki untuk dapat bekerja baik pada industri manufaktur maupun nonmanufaktur. Karena pada saat ini, masalah gender tidak lagi menjadi isu penting dalam kepemimpinan baik itu laki-laki maupun perempuan. Yang kini lebih mengemuka ialah bagaimana cara mereka dalam memimpin dan multiperannya. Namun tetap saja struktur budaya, kondisi psikologi perempuan, dan interpretasi keagamaan masih merupakan faktor-faktor penentu yang secara dialektik saling tarik-menarik dalam membentuk pandangan, keyakinan, dan kebiasaan dalam memposisikan laki-laki dan perempuan baik didalam organisasi maupun masyarakat. Sehingga kondisi tersebut menyebabkan timbulnya berbagai bentuk manifestasi dalam stereotype nilai genderisasi perempuan itu sendiri, antara lain : 1. Marjinalisasi Marjinalisasi merupakan proses pemiskinan bagi kaum perempuan yang disebabkan karena perbedaan gender. Proses marjinalisasi adalah proses pemiskinan bagi kaum perempuan, yang sesungguhnya terdapat dalam masyarakat dan Negara yang membuahkan kemiskinan yang pada akhirnya juga menimpa kaum laki-laki, 43 Greg Smith, 2005 p:5, Comentary : A Few Good Men : Gender Balance in The Western Australian Public Relations Industry. Prism 3, at http: // praxis.massey.ac.nz. 32 seperti proses eksploitasi. Ada beberapa macam perbedaan bentuk, tempat, dan waktu serta mekanisme proses marjinalisasi kaum perempuan akibat dari perbedaan gender tersebut. Marjinalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, namun pengaruhnya sampai di rumah tangga, di masyarakat dan bahkan negara. Fakta dalam masyarakat, pada sebuah rumah tangga perempuan sebagai pengelola keuangan, sementara laki-laki pencari nafkah. Di masyarakat, laki-laki tidak pantas membelanjakan kebutuhan domestik, karena laki-laki adalah sebagai penghasil44. 2. Subordinasi Subordinasi perempuan merupakan kondisi dimana perempuan menjadi bawahan dari kekuasaan laki-laki. Setiap keputusan yang dibuat senantiasa menjadi hak laki-laki. Pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Adanya anggapan bahwa perempuan itu irasional, emosional, sehingga ia tidak bisa memimpin dan oleh karena itu, harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Fakta dalam masyarakat, perempuan hanya sebagai pencari nafkah sampingan, pengambilan keputusan perempuan selalu dikalahkan. Penempatan perempuan dalam kehidupan sosial lebih rendah, dalam pendidikan-pun perempuan tidak begitu diperhatikan. 44 Sri Lestari Yuwono. “Konsep Gender”, dalam Sosialisasi Gender Bagi Praktisi Muda Film dan TV”, Hotel Menara Peninsula, 17 Oktober 2001. 33 3. Kekerasan ( Violence ) Kekerasan merupakan serangan atau invasi ( Assault ) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang terhadap semua manusia. Salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan oleh karena bias gender ini disebut “ Gender-Related Violence”. Kekerasan gender pada dasarnya disebabkan oleh ketidakselarasan kekuasaan yang ada di dalam masyarakat. 4. Beban Kerja ( Double Burden ) Ada anggapan bahwa kaum perempuan bersifat mengasuh, memelihara, dan rajin, sehingga hal tersebut membawa akibat kesemua pekerjaan domestik rumah tangga yang menjadi tanggungjawab kaum perempuan, belum lagi tanggungjawab pada lingkup pekerjaan dimana ia bekerja45. 45 Fakih Mansour. op cit., 1997 hal 13. 34 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Yang merupakan suatu bentuk penelitian untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya46. Penelitian ini, pada dasarnya dirancang untuk memperoleh informasi atau gambaran tentang status suatu gejala atau fenomena apa adanya dengan cara menelaah secara teratur, ketat dan dilakukan secara cermat saat penelitian dilakukan, sehingga tidak ada perlakuan yang diberikan atau dikendalikan terhadap objek penelitian yang bersangkutan47. Dari tipe penelitian deskriptif inilah maka, penulis akan mengeksplorasi dan mengklarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial dengan mendeskripsikan sesuatu yang berkenaan dengan masalah dan unit yang akan diteliti khususnya mengenai pandangan CEO pada nilai gender dan kompetensi komunikasi SDM PR di perusahaan PT. Freeport Indonesia Jakarta. Ada beberapa alasan utama mengapa pendekatan kualitatif dianggap lebih tepat digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini. Pertama, penelitian ini dimaksudkan untuk memahami permasalahan distribusi kerja dalam setting 46 47 Sukmadinata. (2006:72). Metode Penelitian dalam Pendidikan. Bandung : Rosdakarya. Furchan, A. (2004:447). Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 35 alamiahnya, dan menginterpretasikan fenomena tersebut berdasarkan pemaknaan yang diberikan informan. Kedua, realita bersifat multidimensi dan merupakan akibat dari kompleksitas situasi yang beragam. Oleh karena itu, kajian terhadap sebuah fenomena harus dilakukan dengan menganalisa konteks yang mengitarinya, dan ini hanya mungkin dilakukan dengan pendekatan kualitatif48. Penelitian ini dilaksanakan di kantor cabang PT.Freeport Indonesia yang berlokasi di Jakarta, dengan mengikutsertakan para CEO-nya sebagai narasumber atas penelitian yang akan diteliti. Subyek pada penelitian ini terdiri dari para CEO dan karyawan yang berada pada divisi PR ( Corporate Communication ) di perusahaan yang bersangkutan. 3.2. Metode Penelitian Penelitian ini pada dasarnya berangkat dari suatu peristiwa atau fenomena dengan analisis berspektif gender, serta mencoba melakukan pengujian terhadap suatu latar atau suatu peristiwa tertentu. Sehingga terfokus pada metode penelitian studi kasus yang didasarkan pada batasan-batasan tertentu seperti : sasaran penelitian yang berupa manusia / peristiwa / latar dll, sasaran-sasaran tersebut ditelaah secara mendalam sebagai suatu totalitas sesuai dengan latar atau konteksnya masing-masing49. Studi kasus merupakan suatu metode penelitian yang senantiasa dilekatkan pada pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mempertahankan keutuhan ( wholeness ) dari obyek, artinya data yang dikumpulkan dalam rangka studi kasus 48 Husein Umar. Metode Riset Perilaku Organisasi, Konsep & Etika Riset, Design, Metode dan Tahapan Riset, Teknik Sampling dan Instrumen, Aspek Analisa Data dan Statistika, Contoh Proposal Riset, Design dan Contoh Laporan Riset. ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003 ), hal 43. 49 Syamsuddin. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa, Bandung : Remaja Rosdakarya. 36 dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi, dimana tujuannya ialah untuk memperkembangkan pengetahuan yang mendalam mengenai obyek yang bersangkutan, yang berarti bahwa studi kasus harus disifatkan sebagai penelitian yang eksploratif dan deskriptif. Bagi penulis studi kasus merupakan strategi yang cocok, karena penelitian terhadap fenomena ini berkenaan dengan “how” atau “why”, dan memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki serta memfokuskan penelitian pada fenomena kontemporer ( masa kini ) di dalam konteks kehidupan nyata. Sebagai suatu upaya penelitian, studi kasus dapat memberi nilai tambah tentang fenomena individual dan organisasi. Studi kasus memungkinkan peneliti untuk mempertahankan karakteristik holistik dan makna dari peristiwa-peristiwa kehidupan nyata seperti proses-proses organisasional, managerial, perubahan lingkungan sosial dsb50. Studi kasus juga menghendaki suatu kajian yang rinci serta mendalam dan menyeluruh atas suatu objek tertentu yang biasanya relative kecil selama kurun waktu dan lingkungan tertentu. Dalam penelitian studi kasus ini, suatu lembaga atau sejumlah lembaga menjadi subyek penelitian untuk dianalisis secara mendalam, dengan melakukan studi pengamatan. Dimana, setiap kelompok akan diteliti dan dilaporkan, serta adanya permainan peran, yang mana para responden diminta memainkan peran yang berbeda satu sama lain51. Penelitian ini merupakan sebuah studi kasus untuk melihat bagaimana pandangan CEO pada nilai gender dan kompetensi komunikasi SDM PR di perusahaan PT. Freeport Indonesia Jakarta. 50 51 Robert K, Yin. Studi Kasus ( Design dan Metode ) Edisi Revisi, p:52. Nurhada Adinur dkk. Perhumas Dalam Warna : Menyusun Strategi Membangun Korporasi & Menjaga Reputasi. Jakarta : BPP Perhumas Bidang Komunikasi, 2004, hal 113. 37 3.3. Narasumber Adapun yang akan dijadikan penulis sebagai narasumber, antara lain : 1). Senior Communication External Outreach Institutional Relations PT. Freeport Indonesia Untuk posisi Senior Communication External Outreach Institutional Relations ditempati oleh Ibu. Santi Sariesayanti. Dalam hal ini, beliau setidaknya merasakan berbagai tantangan dan dilema yang beliau hadapi sebagai seorang karyawan wanita yang bekerja dibidang pertambangan. Sehingga penulis dapat melihat dan mengetahui bagaimana peran gender itu sendiri mempengaruhi perannya sebagai sosok wanita. Selain itu, beliau juga mempunyai wewenang dan tanggung jawab terkait dengan penempatan posisi dan pendelegasian yang ada dalam struktur organisasi / perusahaan yang bersangkutan sehingga sudut pandang dan interpretasinya dapat dijadikan sebagai suatu landasan yang valid untuk menjawab fenomena yang akan diteliti. 2). Manager Corporate Communication PT. Freeport Indonesia Untuk posisi Manager Corporate Communication ditempati oleh Bpk. Budiman Moerdijat. Dalam hal ini, pandangan beliau dapat dijadikan sebagai landasan mengenai bagaimana kompetensi komunikasi PR terkait dengan proporsi dari pengaruh genderisasi terhadap lingkup bidang pekerjaan yang didelegasikan. Hal ini dikarenakan beliau memiliki wewenang yang besar terhadap pendelegasian para karyawannya, beliau juga dapat menggambarkan mengenai bagaimana dan seperti apa pengaruh yang muncul dari kondisi seseorang terhadap konteks pekerjaan yang dihadapi. Sehingga dianggap bisa mewakili sudut pandang terhadap 38 nilai gender dan kompetensi komunikasi SDM PR di perusahaan yang bersangkutan. 3). Gen.Supt.Stakeholder Rel & Visitor Sp Corporate Communication PT. Freeport Indonesia Untuk posisi Gen.Supt.Stakeholder Rel & Visitor Sp Corporate Communication ditempati oleh Bpk. Mindo Pangaribuan. Dalam hal ini, sudut pandang beliau juga dapat dijadikan landasan terhadap nilai gender dan kompetensi SDM PR di perusahaan yang bersangkutan. Dikarenakan posisi dan kewenangan yang dimiliki masih terkait dengan lingkup external relation, sehingga sebagai seorang laki-laki dalam hal ini beliau bisa memberikan pernyataan mengenai bagaimana peran dan pengaruh gendernya terhadap proporsi laki-laki dalam menjalani fungsinya di perusahaan. 3.4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan dua teknik pengumpulan data yaitu melalui : 3.4.1. Data Primer 1). Wawancara Mendalam Dalam penelitian ini, penulis akan mendapatkan data primer melalui wawancara secara mendalam ( in depth interview ) kepada narasumber ( key informan ) yang berkompeten dan paham terhadap fenomena nilai gender tentang kompetensi SDM PR yakni dengan Bapak Armando Mahler selaku Direktur 39 PT. Freeport Indonesia untuk mendukung agar hasil penelitian ini menjadi lebih valid. 3.4.2. Data Sekunder 1). Studi Kepustakaan Dalam penelitian ini, penulis mendapatkan data sekunder melalui referensi buku- buku wajib, studi dokumentasi, artikel – artikel, internet dan sumber lainnya, yang berkaitan dengan penulisan skripsi. 3.5. Definisi Konsep 3.5.1. Pandangan Pandangan merupakan bagian dari pendapat yang didasarkan pada asumsi atau cara pikir seseorang terhadap suatu objek atau peristiwa tertentu. Dalam hal ini pandangan yang dimaksud ialah keseluruhan pendapat dari CEO tentang realisasi gender antara PR laki-laki dan perempuan. 3.5.2. Nilai Pada dasarnya terdapat kandungan nilai-nilai dalam pola genderisasi sebagai stereotype yang berkembang di masyarakat. Nilai disini lebih mengarah kepada sejumlah konseptual yang terbentuk dari tingkah laku manusia, disepakati dan dipahami bersama dalam mengatur pola interaksi dan perilaku masyarakatnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu. Biasanya nilai digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidup sosial di masyarakat. 40 Nilai dalam pola genderisasi terbagi menjadi dua macam, antara lain : feminist value (nilai-nilai keperempuanan) dan masculine value (nilai-nilai kelakilakian). Feminist value merupakan keseluruhan citra, identitas, karakteristik, dan sifat-sifat diri perempuan seperti : kejujuran, keadilan, sensitif (peka) terhadap lingkungan, meredakan konflik, better two way communication, dan lebih mampu membangun hubungan dengan orang lain. Kesemuanya merupakan unsur-unsur yang dimiliki oleh PR perempuan di suatu perusahaan. Sedangkan masculine value merupakan keseluruhan citra, identitas, karakteristik, dan sifat-sifat diri laki-laki seperti : berani, recognition, advancement, challenge, & employment security. 3.5.3. Gender Gender sebagai implikasi dari sex difference memiliki beberapa makna, berdasarkan stereotype yang berkembang gender merupakan sekumpulan nilai atau ketentuan yang membedakan identitas sosial laki-laki dan perempuan, serta apa yang harus dilakukan oleh perempuan dan apa yang harus dilakukan oleh laki-laki baik dalam hal ekonomi, politik, sosial, dan budaya dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa. Ketentuan tersebut pada dasarnya terbentuk dan dikonstruksikan secara sosial maupun kultural sehingga bersifat dinamis sesuai dengan konteks tertentu tergantung pada perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Sedangkan gender berdasarkan jenis kelamin merupakan kategori biologis perempuan dan laki-laki, hal ini menyangkut sejumlah kromosom, pola genetik dan struktur genital yang unik di masing-masing jenis. Dan merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir sebagai ketentuan dari tuhan atau kodrat. Sehingga hal ini tidak bisa dirubah dan dipertukarkan satu dengan yang lainnya. 41 3.5.4. Communication Competence Public Relations Dalam hal ini kompetensi komunikasi PR yang dimaksud ialah peran yang dimainkan oleh PR dalam rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan (perilaku komunikasi), motivasi untuk berkomunikasi, beradaptasi, serta membangun interaksi dengan orang lain. Termasuk jabatan dan aktifitas kerja pada kegiatan managerial atau technical (aktifitas kerja teknis), disamping keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. 3.6. Fokus Penelitian Adapun fokus dari penelitian ini adalah mengenai bagaimana pandangan CEO pada nilai gender dan kompetensi komunikasi SDM PR di perusahaan PT. Freeport Indonesia Jakarta yang terdiri dari : 1. Pandangan CEO pada nilai gender SDM PR Gender disini tidak hanya dilihat secara biologis saja (secara lakilaki dan perempuan), melainkan juga dilihat dari peran lain (peran yang membedakan identitas sosial antara laki-laki dan perempuan) yang mereka miliki diluar peran dan fungsinya diperusahaan beserta sekumpulan nilai atau value baik feminis maupun maskulin yang melekat baik dikubu lakilaki dan wanita, yang tanpa disadari mempengaruhi kondisi dari lingkup bidang pekerjaan yang mereka hadapi. Misalnya secara biologis, seperti apa proporsi laki-laki dan perempaun khususnya di departemen PR yang bekerja di industri 42 pertambangan Freeport. Apa saja kendala atau dilema yang mereka hadapi dalam bekerja di industri ini, seperti apa konteks laki-laki dan perempuan itu sendiri mempengaruhi cara mereka dalam menghadapi suatu cakupan tugas tertentu yang harus mereka jalani sebagai PR di perusahaan tersebut. Sedangkan gender secara peran yaitu bagaimana peran-peran lain yang individu miliki dapat mempengaruhi peran dan fungsinya di perusahaan. Misalnya peran sebagai wanita bekerja dan berumah tangga disamping ia memiliki tanggungjawab sebagai karyawan, ia juga memiliki tanggungjawab yang sama besarnya yaitu sebagai seorang ibu dari anakanak dan juga sebagai seorang isteri atau bagi yang laki-laki sebagai seorang kepala rumah tangga atau sebagai seorang yang masih single. Sehingga bagaimana peran-peran tersebut mewarnai peran dan fungsinya mereka sebagai karyawan perusahaan. Lalu bagaimana maskulin dan feminis value yang dimiliki masingmasing individu. Karena sejatinya masculine value tidak harus identik dengan laki-laki begitupun feminist value tidak harus identik dengan perempuan. Kedua hal tersebut dapat saling bertukar tempat dalam arti gender perempuan ada yang identik dengan masculine value, begitupun dengan gender laki-laki ada yang identik dengan feminist value tergantung dari pembawaan sifat dan konteks yang dihadapi. Sehingga seperti apa nilainilai tersebut dapat saling terkait dengan kondisi dari jenis pekerjaan yang ada. Dalam arti pada konteks yang seperti apa feminist value dan masculine value itu dibutuhkan serta siapa individu yang dominan memiliki nilai-nilai tersebut apakah dari pihak laki-laki atau perempuan. 43 2. Pandangan CEO pada kompetensi komunikasi SDM PR Dalam hal kompetensi komunikasi tentunya baik dari pihak laki-laki maupun perempuan mempunyai karakteristik tertentu dalam menerapkan pola komunikasinya. Sehingga bagaimana pandangan CEO terhadap kompetensi komunikasi dari masing-masing, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan dalam menghadapi situasi-situasi kerja. Karena bagaimanapun juga ada saat-saat dimana kompetensi berkomunikasi lakilakilah yang diperlukan atau kompetensi berkomunikasi perempuanlah yang diperlukan dalam konteks tertentu. Walaupun standardnya adalah communication competence PR, tentunya terdapat faktor-faktor lain baik dari internal maupun eksternal yang berpengaruh terhadap pola komunikasinya mereka terhadap situasi dan kondisi tertentu, sehingga bagaimana CEO dalam memandang faktor-faktor tersebut. 3. Pandangan CEO pada nilai gender dan kompetensi komunikasi SDM PR Mengenai pandangan CEO pada nilai gender dan kompetensi komunikasi, terdapat perpaduan antara kedua unsur tersebut. Dalam hal ini bagaimana antara gender dan kompetensi komunikasi saling terkait sehingga menghasilkan satu konsep pola tertentu yang mencoba menggambarkan bagaimana proporsi laki-laki dan perempuan dalam konteks jenis pekerjaan yang ada, apa kelebihan perempuan dalam konteks tertentu, apa kelebihan laki-laki dalam konteks tertentu, dalam situasi dan kondisi yang seperti apa yang kira-kira lebih kepada gendernya perempuan atau sebaliknya lebih kepada gendernya laki-laki serta mana yang unik diantara keduanya dalam hal ini. 44 3.7. Teknik Analisa Data Dalam penelitian ini proses teknik analisa data dilakukan secara induktif yaitu dari khusus ke umum kemudian data dikategorikan, dideskripsikan, dianalisis hubungan-hubungannya, dan dibandingkan. Sehingga dapat disusun konsep dan teori tentatifnya dengan menggunakan proposisi teoritis. sedangkan teknik pengambilan datanya dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari hasil wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dsb dengan menggunakan teknik triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu dari sumber yang lain. Analisa data ini pada dasarnya membantu dalam penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Analisa data kualitatif dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan dengan cara bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah – milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menentukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, serta memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. 3.8. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data Sehubungan dengan konsep permasalahan yang ingin diteliti, penulis dalam hal ini melakukan teknik metodologis melalui strategi penelitian yang sering disebut dengan ”Trianggulasi”. Spesifiknya melalui trianggulasi teknik pengumpulan data dan trianggulasi sumber data dengan menggunakan standar 45 kredibilitas atau tingkat kepercayaan yang tinggi yang diperoleh dari narasumber / subyek yang kompeten52. Trianggulasi lebih menggunakan metode dalam level mikro, seperti bagaimana menggunakan beberapa metode pengumpulan data dan analisis data sekaligus dalam sebuah penelitian, termasuk menggunakan informan sebagai alat uji keabsahan dan analisis hasil penelitian53. Selain itu, teknik trianggulasi juga lebih mengutamakan efektivitas proses dan hasil yang diinginkan. Oleh karenanya, penulis mencoba untuk menguji apakah proses dan hasil metode yang digunakan sudah berjalan dengan baik misalnya melalui pengujian terhadap hasil konfirmasi dengan informasi yang sebelumnya karena bisa jadi hasil konfirmasi itu bertentangan dengan informasi-informasi yang telah dihimpun sebelumnya dari infoman atau dari sumber-sumber lainnya54. Apabila terdapat suatu perbedaan, maka harus dilakukan penelusuran terhadap perbedaan-perbedaan tersebut sampai ditemukannya sumber perbedaan dan materi perbedaannya, kemudian dilakukan konfirmasi ulang dengan informan dan sumber-sumber lainnya. Trianggulasi juga dapat dilakukan dengan menguji pemahaman informan tentang hal-hal yang diinformasikan informan kepada peneliti. Hal ini perlu dilakukan mengingat dalam penelitian kualitatif, persoalan pemahaman makna 52 Brannen, Julia., Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1997 ) hlm. 20. Dalam Burhan, Bungin: Analisis Data Penelitian Kualitatatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. 53 Burhan, Bungin. Metodologi Penelitian Sosial, Format-format Kualitatif dan Kuantitatif, Surabaya : Universitas Airlangga Press, 2001. 54 Bodgan, Robert dan Taylor Steven J., Introduction to Qualitative Research Methods, Ohio, 1975. Dalam Burhan, Bungin. Analisis Data Penelitian Kualitataif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis kea rah Penguasaan Model Aplikasi. 46 suatu hal bisa jadi berbeda antara orang yang satu dengan yang lainnya, termasuk juga kemungkinan perbedaan pemahaman makna antara informan dan peneliti55. Proses trianggulasi tersebut diatas dilakukan terus-menerus sepanjang proses pengumpulan data dan analisis data, sampai suatu saat penulis / peneliti yakin bahwa sudah tidak ada lagi perbedaan-perbedaan serta tidak ada lagi yang perlu dikonfirmasikan kepada informan. 55 Mason, Jennifer., Qualitative Researching, London : Sage Publication, 2002. Dalam Burhan, Bungin. Analisis Data Penelitian Kualitataif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis kea rah Penguasaan Model Aplikasi. 47 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Obyek Gambaran Umum Sejarah PT. Freeport Indonesia PT. Freeport Indonesia merupakan suatu perusahaan di Indonesia yang dimiliki oleh Freeport McMoRan Copper & Gold dan pemerintah Indonesia, dengan kantor pusat berkedudukan di Jakarta dan lokasi tambang di propinsi Papua. Papua merupakan salah satu penghasil tembaga dan emas terbesar di dunia dan mengandung cadangan yang juga terbesar di dunia. Cadangan terbukti dan terduga di Grasberg dan cadangan bijih di sekitarnya berjumlah kira-kira 39,4 milyar pon tembaga, 48,5 juta ons emas dan 110,9 juta ons perak. Pada tahun 1936, seorang ahli geologi muda asal Belanda bernama Jean Jacques Dozy bergabung dalam ekspedisi yang tujuan utamanya mendaki bantaran salju yang ketika itu disebut Gunung Carstenz ( kini Puncak Jaya ), puncak tertinggi di Papua ( New Guinea ). Dalam petualangan ini, Dozy menjadi orang barat pertama yang melihat sebuah singkapan mineral yang sangat besar yang menonjol keluar dari dasar lembah Carstenz. Dozy mengambil beberapa contoh batuan, yang kemudian hari terbukti kaya dengan mineral yang megandung tembaga, yaitu kalkopirit. Akan tetapi karena terpencilnya lokasi cadangan, bermulanya Perang Dunia Kedua, serta kendala keterbatasan teknologi saat itu, Ertsberg dibiarkan begitu saja selama hamper 25 tahun. Pada tahun 1960, Forbes Wilson seorang ahli geologi asal Amerika Serikat yang mengepalai kegiatan eksplorasi bagi perusahaan Freeport Sulphur Company, menemukan catatan Dozy. Yang pada akhirnya Wilson bertindak atas dasar laporan 48 Dozy yang telah lama diabaikan tersebut, dan memimpin sendiri sebuah ekspedisi menuju dataran tinggi Papua. Alhasil, Ertsberg yang kemungkinan merupakan permukaan cadangan bijih terbesar di dunia, menjadi magnet yang menarik Freeport menuju Papua ( dahulu Irian Jaya ). Namun demikian, pada saat itu temuan Freeport yang kini merupakan temuan terpenting masih terpendam di dalam sebuah gunung lain, yaitu Grasberg yang ketika itu tak lebih merupakan bagian dari pemandangan alam sekitar, sampai akhirnya ditemukan pada tahun 1988. Akibat gejolak politik yang terjadi di Indonesia, penandatanganan Kontrak Karya ( KK ) antara Freeport dan Pemerintah Indonesia tertunda, hingga enam tahun kemudian ditandatangani pada tanggal 7 April 1967. Freeport Indonesia Inc. segera mulai bekerja. Hingga pertengahan tahun 1968, pengeboran eksplorasi berhasil memastikan adanya paling tidak 33 juta ton tembaga, dengan kadar tembaga rata-rata 2,5 persen yang terkandung pada cadangan bijih Ertsberg. Di masa antara kegiatan awal pada tahun 1972 dan penemuan daerah induk sumber bijih Grasberg di tahun 1988, kegiatan operasi dipusatkan pada tambang terbuka Ertsberg dan cadangan bawah tanah bernama Ertsberg East ( Gunung Bijih Timur ). Hingga tahun 1984, tiga kawasan bijih yang cukup berarti telah ditemukan di luar cadangan Ertsberg. Ketiga kawasan tersebut adalah Intermediate Ore Zone ( IOZ ), yang mengandung 26,4 juta ton cadangan yang dapat digali, Deep Ore Zone ( DOZ ) dengan 23 juta ton bijih, serta Dom ( katedral dalam bahasa Belanda ) dengan cadangan total sebesar 31 juta ton. Pada akhir masa tambangnya di tahun 1988, produksi tambang pada Ertsberg telah mencapai kapasitas sebesar 20.000 ton per hari. 49 Pada tahun 1986 dibawah pimpinan seorang Chief Executive baru yaitu James Robert Moffet, perusahaan induk di AS Freeport McMoRan Inc mulai mengkhawatirkan semakin menipisnya cadangan bijih dari berbagai anak perusahaannya, terutama Freeport Indonesia Inc. Ditambah dengan kian meningkatnya minat para investor terhadap potensi emas, serta tekad sebuah tim ahli geologi pimpinan David Potter, maka ditemukanlah Grasberg. Menjelang akhir 1991, KK kedua ditandatangani dan PT. Freeport Indonesia Company ( PTFI ) yang baru terbentuk memperoleh izin dari Pemerintah Indonesia untuk meneruskan kegiatan operasinya dalam jangka waktu tambahan selama 30 tahun. Hingga akhir tahun 2003, seluruh cadangan Grasberg berikut cadangan bijih bawah tanah telah mencapai lebih dari 2,6 milyar ton bijih, yang mengandung lebih dari 39,7 milyar pon tembaga dan 46,6 juta ons emas. Dengan ditemukannya Grasberg, Freeport memiliki cadangan tembaga dan emas terbesar disbanding tambang manapun di dunia. Kini, PTFI mengolah rata-rata lebih dari 240.000 ton metrik bijih per hari, serta memindahkan lebih dari 750.000 ton volume total materi berupa bijih dan batuan limbah per hari. Saat ini, dalam kegiatan operasinya PTFI menghasilkan konsentrat dengan cara-cara yang kian efisien dan efektif. Dengan jumlah produksi sebesar ini, kegiatan operasi PTFI menghasilkan sekitar 5-8 % dari jumlah tembaga yang ditambang setiap tahunnya. PTFI merupakan penghasil konsentrat terbesar di dunia, selain itu produknya sangat diminati di kalangan pabrik peleburan dan pemurnian di seluruh dunia56. 56 Profil Perusahaan PT. Freeport Indonesia. 50 4.1.1. Visi & Misi PT. Freeport Indonesia 4.1.1.1. Visi Sebagai perusahaan tambang yang beroperasi di salah satu daerah paling terpencil di dunia, berlokasi di suatu lingkungan sosial yang unik, dan mempekerjakan ribuan orang dengan latar belakang yang berbeda, PTFI harus memastikan bahwa setiap individu memiliki kesadaran yang tinggi terhadap keselamatan kerja, lingkungan, dan perbedaan budaya. PTFI telah menetapkan visinya untuk menjadi perusahaan produsen tembaga kelas dunia, yang terbesar dan dengan biaya yang terendah di dunia. Dengan demikian sangatlah penting bagi PTFI untuk mempekerjakan perorangan yang memiliki motivasi untuk mencapai hasil yang terbaik bagi perusahaan dan mereka yang berkepentingan dengan perusahaan. 4.1.1.2. Misi Kami adalah perusahaan pertambangan pertama di Indonesia, yang menambang tembaga dan emas kelas dunia dan berupaya keras untuk menjadi penghasil tambang yang terbesar dengan biaya terendah dalam industri ini. Sebagai tim yang tergabung dari berbagai budaya dan bertumpu pada sasaran serta tujuan usaha, kami bangga pada perusahaan kami dengan keagresifan, kecepatan pekerjaan, dan kebaikan dari pelaksanaan dalam pendekatan pada perkembangan dan pencarian kumpulan bijih yang baru. Kami memaksimalkan keuntungan dan nilai pemegang saham tanpa melupakan pandangan pada perjanjian kami dalam penerusan peningkatan keselamatan kerja, lingkungan, dan hubungan kami dengan pemerintah dan masyarakat sekitar, 51 perorangan, tim bekerja, komunikasi yang terbuka, dan yang paling penting karyawan kami. “Bagi kami tidak ada yang mustahil” 4.1.2. Good Corporate Governance Prinsip Dasar a. Fairness Menjamin hak-hak pemilik modal dan terlaksananya komitmen dengan investor. b. Transparansi Menjamin adanya informasi yang terbuka, tepat waktu, jelas dan diperbandingkan berupa keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan dan kepemilikan perusahaan kepada semua stakeholder. c. Akuntabilitas Peran dan tanggung jawab yang mendukung usaha untuk kepentingan manajemen dan pemilik modal dengan pengawasan melekat. d. Bertanggung Jawab Memastikan dipatuhinya peraturan, ketentuan dan nilai-nilai sosial yang berlaku. 52 4.1.3. Struktur Organisasi PTFI dan Tupoksi Humas PT. Freeport Indonesia 4.1.3.1. Struktur Organisasi PTFI PTFI Corporate Organization Chart by Function President Director & CEO Operations OFO CAO Gov Rel Coord Exctv Relations Surface Mine Corp Plann & Cost Study UG Mine HRM Concertrat Contract & Municipal Admin Geo & Technical Services Supply Chain Mngmnt Central Services Corp Plann & Integration Enviro Safety & Industrial Health HR Servce & IR Domestic Purchase Jkta, Logistic & Export Import Finance & Accounting QMS Papuan Affairs Central Shop & Transportatio n GovRel Jobsite jta GovRel Jayapura Relations jta PHMC C Relations Corpcomm Relations Business Develpmnt & Spcial Project Legal, Tax & External Affairs Legal Tax Mngmnt Information System GovRel-Jkta External Relations Human Rights jta Social & Local Develpmnt Community Relations jta Corporate Relations Social jta Responsibility Relations jta Relations SRM 53 4.1.3.2. Pokok-pokok Reposisi Peran Fungsi-fungsi Korporat Struktur Organisasi Bidang Humas PT. Freeport Indonesia Jakarta Corpcomm Department Head Jakarta Corporate Comm External Internal Communication Communication Support Services News Services Guest Relations Internal Outreach Production & Publication Services Media Relations Mining Industry Relations Mining Industry Relations Contribution & Promotion Other Publics Media Management 54 Jobsite Corpcomm Department Head Jobsite Corporate Comm External Internal Communication Communication Guest Relations Internal Outreach Media Relations Media Management Support Services Production & Publication Services Guest House Services Department‟s Administration & Secretarial Support Contribution & Promotion Jayapura Corpcomm Department Head Jayapura Corporate Comm External Communication 55 A. Susunan Pejabat Bidang Humas PT. Freeport Indonesia Dalam menjalankan tugas-tugasnya, Bidang Humas PT. Freeport Indonesia memiliki berbagai tingkatan jabatan yang terdiri dari : 1. Gen.Supt.Internal Communication & Projects : Scott Hanna 2. Manager Corporate Communication : Budiman Moerdijat 3. Gen.Supt.Stakeholder Rel & Visitor Sp : Mindo Pangaribuan 4. Comm.Officer.Stakeholder Relations Sp : Menuel John Magal 5. Gen.Supt.Media Rel.Freeport Peduli : Ramdani Sirait 6. Comm.Officer Event & Log – JKTA : Maliki Ibrahim Arif 7. SR.Comm Officer Ext Outreach & Inst Rel : Sari Esayanti 8. Comm.Supp Production & Project : Sri Morisonya Mauludiana 9. Comm.Officer Production & Publication : Hilman Anshori 10. Secretary Corporate Communication : Emi Kusmilia 11. Officer Contribution & Sponsorship : Faradilla Hanim 12. Support Admin Officer Database : Trian Purnamasari 13. Comm.Officer Web Design Support : Erwin Hilmy 14. Freeport Peduli Coord Comm Officer : Andre Sebastian 15. Comm.Officer Inst Relations Sp : Andy Muhammad Saladin 16. Comm.Officer Graphic Design : Susilowati Suryadarma 17. SR.Comm Video Production : Zul Adhan 56 B. Fungsi dan Tugas Bidang Humas PT. Freeport Indonesia Humas pada umumnya merupakan fungsi manajeman ( management function ) yang menunjukan bahwa Humas bukan saja merupakan alat manajemen yang dapat diadakan, dipindahkan, dan ditiadakan, melainkan sebagai fungsi yang melekat menjadi satu dengan manajemen. Dimana ada manajemen, disitu ada hubungan masyarakat dan gaya yang menggerakan serta menjalankan hubungan tersebut, yang biasa disebut dengan komunikasi. PR ialah fungsi manajemen, karena PR dalam melaksanakan kegiatannya, tentu berhubungan dengan tujuan organisasi / perusahaan yang diwakilinya dalam menciptakan dan memelihara saling pengertian, sehingga eksistensi perusahaan akan selalu didukung di tengah masyarakat. Adapun fungsi Humas dalam hal ini diantaranya : 1. Memberikan penerangan kepada masyarakat mengenai arti penting keberadaan perusahaan dalam menyampaikan visi - Misinya. 2. Melakukan persuasi dalam mengubah sikap dan perbuatan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. 3. Berupaya untuk mengintegrasikan sikap dan perbuatan suatu organisasi atau perusahaan sesuai dengan sikap dan perbuatan masyarakat atau sebaliknya. Untuk mendukung keprofesionalan PR dalam melaksanakan fungsi serta perannya dalam pencipta image positif perusahaan, hendaklah didukung dengan pelaksanaan tugas yang juga profesional. Tugas tersebut tentunya berhubungan erat dengan tujuan, Visi dan Misi perusahaan : 1. Menginterpretasikan, menganalisis, & mengevaluasi kecenderungan perilaku target publik. 57 2. Membina sikap mental karyawan agar dalam diri mereka tumbuh ketaatan, kepatuhan dan dedikasi yang tinggi terhadap perusahaan. 3. Menumbuhkan semangat corp atau kelompok yang sehat dan dinamis. 4. Mendorong tumbuhnya kesadaran perusahaan terhadap pentingnya tanggung jawab dan komitmen dalam menumbuhkan good corporate image yang unggul. 5. Menumbuhkan sikap dan citra positif terhadap segala kebijakan dan langkahlangkah perusahaan. C. Deskripsi Pekerjaan Bidang Humas PT. Freeport Indonesia • Komunikasi Eksternal Dalam hal ini, Humas berperan untuk me-manage dan menjalin hubungan komunikasi dengan khalayak eksternal terutama media massa dalam menyampaikan fakta-fakta ( visi & misi ) perusahaan, serta mengantisipasi dampak dan issue, baik yang bersifat positif maupun negatif. Hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan niat baik perusahaan di mata masyarakat serta melindunginya dari berbagai macam serangan issue baik dari eksternal maupun internal. Komunikasi eksternal terdiri dari : 1. Guest Relations Humas bertugas menjalin hubungan komunikasi dengan para visitor / pengunjung yang berasal dari berbagai macam khalayak eksternal perusahaan. Misalnya melalui pertimbangan penerimaan proposal yang diajukan oleh para vendor, memberikan kesempatan pihak luar terutama media atau kelompok lain dalam memperoleh data perusahaan bisa melalui wawancara, magang dsb. 58 2. Media Relations Humas menjalin hubungan baik dengan media melalui penyelenggaraan berbagai program dalam rangka membangun mutual trust dan rasa saling menghormati antara perusahaan dengan para professional PR serta komunitas media lainnya. Beberapa program tersebut antara lain bisa melalui : - Proactive Journalist Outreach Program Menjalin hubungan baik dengan para wartawan baik yang berada di Jakarta, Jayapura, dan Timika melalui face-to-face informal meeting. - International Journalist Briefings Mengadakan informal meeting dengan beberapa jurnalis internasional baik yang berada di Indonesia maupun di negara lain yang setidaknya bertanggung jawab dan mengetahui issue-issue terkait dengan industri pertambangan. - Communications with Media re-Coverage Dalam hal ini, departemen CorpComm bertanggungjawab untuk merespon atau menjawab berbagai pertanyaan dari media. Perusahaan juga wajib berpartisipasi dalam media interviews. Hal ini dilakukan sebagai wujud tanggungjawab perusahaan kepda media yang telah ikut serta dalam mempublikasikan perusahaan kepada publik baik internal maupun eksternal. 59 - Letters-to-Editor Memfasilitasi komunikasi dua arah ( feedback ) antara perusahaan dengan khalayak eksternal melalui opini dari surat pembaca. - Journalist / Media Organization Site Visits Menyelenggarakan gathering visits dengan mengundang para jurnalis atau media sebagai bagian dari program pembinaan relationship yang ditujukan untuk memperkenalkan background perusahaan. - Journalist Sponsorships & Events Mensponsori berbagai event baik nasional, regional, dan lokal yang dihadiri oleh para jurnalis profesional. Tidak hanya itu, program ini juga dimaksudkan untuk memberikan dukungan bagi persatuan organisasi jurnalis Indonesia. Misalnya melalui workshop, seminar dan kegiatan pelatihan lainnya yang ditujukan untuk memperbaiki keterampilan dan pengetahuan mereka. - Timika Post & Radar Timika Support Berpartisipasi dalam penerbitan surat kabar Timika sebagai salah satu media pendukung perusahaan. - Press Conference Menyelenggarakan konferensi pers untuk kebutuhan klarifikasi beberapa issue, apabila terjadi risis yang hendak melanda perusahaan. 60 - Media Database Development Membuat database dari beberapa profil media terkait dengan background dari masing-masing jurnalis atau bisa melalui analisis isi berita yang pernah mereka tulis. 3. Mining Industry Relations Humas menjalin hubungan komunikasi dengan institusi / asosiasi yang bergerak di bidang industri pertambangan untuk memonitor informasi atau issue-issue yang sedang berkembang serta menjalin perjanjian kerjasama diantara mereka. 4. Contribution & Promotion Humas melakukan identifikasi dalam memanfaatkan peluang-peluang yang ada, dimana peluang tersebut nantinya dapat memberikan manfaat berupa citra positif serta dukungan atau partisipasi besar dari khalayak bagi keberlangsungan program sesuai dengan visi, misi, & tujuan perusahaan. Bisa melalui sponsorship, donation, exhibition, special events, dsb. 5. Other Public Humas menjalin hubungan baik dengan para pressure group (LSM, parpol, dll). Dalam rangka menumbuhkan semangat korporasi bagi pertumbuhan organisasi yang sehat. • Komunikasi Internal Dalam hal ini, Humas berperan untuk memastikan bahwa pesan yang disampaikan dapat berlangsung secara efektif dan konsisten, artinya pesan tersebut dapat sampai pada khalayak yang dituju sesuai dengan tujuan perusahaan. Yang diwujudkan melalui pemeliharaan hubungan komunikasi yang konstan antar 61 departemen CorpComm baik yang berada di Papua, Jakarta, maupun dengan departemen lainnya. Komunikasi internal terdiri dari : 1. Internal Outreach • Intra Departemen : 1. Weekly Communication Team Conference Calls Mendiskusikan issue dan program setiap minggunya serta membuat forum komunikasi melalui conference call, untuk disebarluaskan ke seluruh anggota dalam management CorpComm. Biasanya untuk cabang kantor yang terletak di luar kota Jakarta, mereka akan memberikan media komunikasi berupa agenda yang berisi informasi atau issue yang sedang terjadi untuk segera di up date oleh para tim anggota management. 2. Communication Forum Membuat bulletin board yang dicantumkan melalui website internal perusahaan mengenai issue dan program yang dijalankan oleh perusahaan dan mendiskusikannya melalui e-mail. 3. Tracking Charts Memuat database mengenai advertorial placement yang dalam hal ini aktifitas media relations-nya dibina oleh kantor pusat New Orleans untuk memperoleh informasi yang nantinya disebarluaskan pada forumforum komunikasi yang ada di setiap cabang perusahaan. 62 • Inter Departemen, terdiri dari : 1. Regular Meeting Melakukan pertemuan harian oleh departemen lain untuk mendiskusikan berbagai rencana kegiatan yang akan dijalankan oleh perusahaan. 2. Inter-Departmental Coordination & Cooperation - Internal Forum Menjalin kordinasi dengan departemen lain untuk mewujudkan komunikasi dua arah dalam penyediaan strategi-strategi pesan dan program komunikasi sebagai alat atau media penyampaian pesan ke seluruh kelompok stakeholder internal perusahaan. 2. Media Management • Electronic Media - PTFI News : diterbitkan dalam jangka waktu satu kali dalam sebulan, produksinya dilakukan di Jobsite ( kantor pusat yang berada di Papua Nugini ) didistribusikan melalui cable television dan videotape copies. - GNN Message Board : pesan yang berisi announcements, community calendars dan informasi umum yang dicantumkan melalui internal television network atau News Network Channel, yang memang didedikasikan bagi penggunaan komunikasi antar departemen. - Internal Web Page : berisi informasi internal perusahaan yang di produksi di Jobsite dan Jakarta hanya untuk kepentingan karyawan internal perusahaan ( PTFI dan kontraktor ). 63 - GNN Announcement Page : pengumuman-pengumuman penting yang dikirimkan oleh departemen CorpComm melalui news programming. - Management Announcements : management yang membantu dalam memperkembangkan pengumuman dan informasi penting untuk dikirimkan kepada karyawan atau internal stakeholders lain melalui communication platforms. - Online External Events and Presentation Calendar : menyediakan secara online informasi mengenai events-events eksternal perusahaan kepada para karyawan. • Presentation Support - Speeches & Presentation Menyiapkan informasi dalam bentuk teks, grafik, photographic, dan video support untuk keperluan karyawan yang ingin melakukan presentasi mengenai perusahaan seperti aktifitas pengoperasian dan issue perusahaan kepada para kelompok stakeholder internal perusahaan. • Support Services Dalam hal ini, Humas bertugas mengidentifikasi dan memanfaatkan peluang yang dapat mendatangkan manfaat bagi citra perusahaan melalui berbagai macam pelayanan berupa dukungan atau partisipasi terhadap beberapa kegiatan sosial kemasyarakatan seperti : 1. General Contribution & Sponsorship - Sponsorship : Papua Related ( Sport, Education / Academics, Art & Culture, Communities ), committed sponsorship for Kejurda Atletik in Jayapura, Environmental Related, Mining Related, Government Related and others. 64 2. Donation - Bencana Alam - Forum Peduli Pendidikan ( PTFI Timika ) - Peduli Kasih - Pelestarian Lingkungan 3. Exhibition 4. Special Events - Kamoro Festival - Asmat Festival Support Services terdiri dari : 1. News Services Dalam hal ini, Humas bertugas untuk memberikan pelayanan terhadap penyajian berbagai informasi / berita baik yang menyangkut keperluan internal dan eksternal perusahaan, misalnya melalui : - Media Monitoring & Clipping Services a. Jakarta Office Daily News Review Dalam hal ini, Departemen CorpComm menyiapakan beberapa berita harian yang didistribusikan untuk departemen eksekutif di Jakarta Office. 65 b. New Orleans Daily News Update Dalam hal ini, Departemen CorpComm yang berkantor di New Orleans menyiapkan berita harian untuk didistribusikan / di-up date ke beberapa departemen lain. c. Kuala Kencana Clippings of Local Papers Departemen CorpComm yang berada di Kuala Kencana ( Papua Nugini ) mendistribusikan beberapa artikel dari Timika Pos dan Radar Timika yang biasa digunakan untuk berita keseharian mereka. - Info & Documentation Semacam perpustakaan yang mencakup beberapa info atau dokumen perusahaan untuk dijadikan sebagai referensi baik bagi perusahaan sendiri ataupun pihak lainnya. 2. Production & Publications Services Dalam hal ini, Humas bertanggungjawab untuk menangani berbagai macam produksi serta melakukan publikasi terhadap beberapa news program perusahaan baik berupa dokumen-dokumen penting yang mencakup peristiwa penting perusahaan, maupun laporan-laporan tahunan baik yang ditujukan untuk khalayak internal dan eksternal perusahaan. Hal ini dapat mencakup : 1. Communication Support - Audio Visual Services : Kuala Kencana Studio, Jakarta Office, & New Orleans Office. 66 - Eksternal Website : PTFI Website, FCX Website - Internal Website - External Publications : Annual Report, Working Toward Sustainable Development ( WTSD ) Report ( mencakup penjelasan mengenai komitmen perusahaan terhadap lingkungan dan tanggungjawab sosial ). Biasanya CorpComm-lah yang bertanggungjawab dalam hal pengumpulan data baik dalam bentuk tertulis, grafik, design, foto, sampai pada proses publikasi dan pendistribusian. - Internal Publications : Berita Kita - Corporate Promotion Materials : Annual Corporate Promotion Materials ( kalender, kartu ucapan, & diary ). - Corporate Image Survey : melakukan survei menyangkut citra perusahaan untuk mengukur seberapa besar tingkat awareness masyarakat terhadap keberadaan perusahaan. 67 4.2. Hasil Penelitian 4.2.1. Pandangan CEO Pada Nilai Gender SDM Public Relations A. Narasumber 1 (Santi Sariesayanti : Senior Communication Exsternal Outreach Institutional Relations) Sebagai sosok wanita di bagian external communication, kira-kira seperti apa situasi yang mewarnai posisi ibu tersebut ? “Memang ada satu faktor yang terpenting yaitu fisik…..karena menjadi PR di sebuah perusahaan tambang tidak hanya membutuhkan keterampilan dan kemampuan saja tetapi juga fisik yang kuat…..karena apa ? daerah operasional perusahaannya sangat luas meliputi dataran tinggi dan dataran rendah serta menuntut kita untuk bekerja secara mobile atau traveling….terutama di site yah….apalagi pada saat kita sedang membawa tamu dalam jumlah besar, menjelaskan dalam perjalanan….ketika sampai diatas oksigen semakin tipis disitulah fisik kita sebagai wanita sangat diuji. Ditambah disana merupakan daerah remote area atau daerah terpencil yang juga didominasi oleh pekerja lakilaki…yang menuntut kita sebagai wanita untuk bisa lebih menjaga diri karena segala kemungkinan bisa terjadi…. tapi memang yang terpenting itu tadi……fisik harus kuat”. Kondisi operasional perusahaan di site, selain sangat beresiko buat wanita juga mengharuskan wanita untuk bisa bertahan dalam kondisi fisik yang lemah. Hal ini secara tidak langsung menjadi suatu kendala yang dialami sebagai PR untuk exsternal communication, terutama disaat menjalani fungsinya sebagai reasoners untuk para visitor yang berasal dari khalayak eksternal perusahaan. 68 Melihat kondisi disana kira-kira seperti apa yang biasanya terjadi ? “Yang kita tahu disana itu sexual harensment sering terjadi antar karyawan pria di Freeport dalam komunitas yang laki-lakinya lebih dominan daripada perempuan……jadi sebagai wanita di posisi PR….apalagi pekerjaannya cenderung ke eksternal…..saya harus lebih menjaga penampilan, berpakaiannya lebih sopan, agar nanti tidak menimbulkan tindakan yang aneh-aneh”. Pada dasarnya Performance dan penampilannya wanita sangat mempengaruhi kenyamanan mereka dalam berkomunikasi. Visualisasi yang ditimbulkan merefleksikan keefektifan praktek komunikasi yang mereka terapkan pada keberlangsungan proses komunikasi. Selain fisik, adakah peran lain dari sosok perempuan terhadap profesi PR khususnya untuk posisi ibu saat ini ? “Bagaimanapun kita harus menyadari juga kodrat wanita apalagi bagi wanita yang bekerja dan punya anak seperti saya…..kalau yang masih single saya rasa tantangannya tidak terlalu berat, konsentrasinya-pun tidak terlalu terpecahpecah…..dibanding dengan yang sudah berkeluarga apalagi yang anaknya masih kecil…..tapi mau tidak mau kita harus professional…..namun disini kita punya tantangan yang lebih berat aja untuk membagi waktu dan konsentrasi yang bisa dibilang tidak ringan……apalagi dengan perusahaan yang issue-nya besar seperti Freeport ini. Ditambah dengan lokasi dan medan yang berat juga, sehingga buat kita ibu-ibu yang sudah berkeluarga khususnya dalam membagi waktu, tenaga dan pikiran harus benar-benar ekstra…….karena pada saat kita sudah memutuskan untuk bekerja disini berarti kita sudah mempunyai komitmen terhadap perusahaan. Namun, alhamdullillah pihak perusahaan juga memberikan pengertian khususnya bagi pekerja wanita yang sudah berkeluarga terutama dari para supervisor kita, 69 seperti hak cuti……cuma biasanya hak cuti itu kan kita pakai buat senangsenang…….ini sebaliknya malah kalau nggak penting-penting banget yah terpaksa kita tidak boleh ambil cuti dulu , apalagi kalau kondisi perusahaan sedang sibuksibuknya”. Hal penting seperti apa yang membuat ibu harus ambil cuti ? “Misalnya kalau anak lagi ada ulangan atau ujian atau lagi ada piknik di sekolahnya”. Bagaimana pihak perusahaan dalam menyikapi hal ini ? “Bagaimanapun pengertian untuk hal-hal semacam ini tetap diberikan oleh mereka…karena cuti itu kan haknya karyawan….apalagi sudah menyangkut keluarga…..memang hal kecil sihh……tapi kita sebagai seorang ibu kadang kepikiran juga…..tidak bisa dipungkiri…sehingga mau tidak mau kita harus punya asisten yang bisa mengimbangi peran kita di rumah……jadi bagaimana kita memanage waktu yang terbatas itu buat mereka dan mereka juga bisa mengerti keadaan kita”. Tapi keluarga pernah complain nggak bu ? “Terkadang suka protes juga terutama anak saya….. ketika saya harus traveling banyak ke sana dan mengantar tamu dalam jumlah besar……tapi sekarang tinggal bagaimana mereka bisa memberikan pengertian itu……..jadi kalau dibilang harus ada professional dan kompetensi…..iya….semua bisa dilakukan….tapi tantangan yang paling berat buat wanita ialah bagi mereka yang sudah berkeluarga dan yang sudah punya anak……..mungkin itu yang terasa sekali…….jadi kalau dibilang ada keterbatasan perempuan disini…semua tergantung kembali ke komitmen masingmasing, pilihannya dikembalikan kepada kita……dimana ketika kita sudah 70 putuskan untuk bekerja disini, maka kita harus menerima segala konsekuensinya ! apalagi PR itu kerjanya…..kadang krisis nggak bisa kita tebak….., mungkin dalam hal ini laki-laki lebih cocok….cocok dalam arti kata dengan situasi dan kondisi pertambangan…..pertambangan sendiri dari setiap perusahaan memiliki karakter yang berbeda-beda……ada yang lokasinya tidak terlalu remote sehingga memudahkan akses dengan keluarga, ada yang lokasinya menuntut kita untuk traveling sehingga akses dengan keluarga sangat kurang….dan fisikpun kadang menghambat kita dalam berkomunikasi…..berbeda dengan laki-laki mungkin mereka tidak masalah dengan kondisi pertambangan yang seperti ini, fisiknya-pun juga tidak terlalu menjadi hambatan…..sehingga pada saat ia membawa tamu menjelaskan dalam perjalanan dengan medan yang tinggi…..komunikasinya akan lebih lancar……..seperti itulah kendalanya…..bukan tidak bisa dilakukan oleh wanita tapi tergantung dari komitmen masing-masing, ini adalah tantangan yang paling berat dan dilemma yang wanita hadapi…….yang paling utama harus ada pengertian dari keluarga….kalau dari keluarga sudah complain, suami keberatan untuk ditinggal…..kalau seperti itu berarti tergantung kita mau pilih mana” ! Secara fisik proporsi laki-laki di industri pertambangan seperti Freeport, cenderung lebih bisa menyesuaikan diri baik dari segi medan operasionalnya maupun dari sisi gendernya sebagai sosok laki-laki. Kendala yang dialami tidak terlalu riskan dan masih bisa tercover dengan baik, hal ini nampak dari kemampuan dalam menjalani fungsinya sebagai komunikator untuk eksternal perusahaan dalam kondisi medan yang rumit dan dalam situasi-situasi yang bisa dibilang urgent atau krisis. 71 Kalau melihat adanya peran lain yang ibu rasakan terhadap posisi ibu saat ini, kira-kira kecenderungan apa yang biasanya terjadi ? “Kecenderungan yang kemungkinan terjadi biasanya tidak fokus yah……misalnya anak ulangan atau anak tiba-tiba sakit, sedangkan kondisi disini lagi hebohhebohnya…..bisa terjadi….ya nggak bisa dihindari juga….pada saat kita harus memilih, itu merupakan suatu pilihan yang sulit ! tentunya berat di anak….dan biasanya titik temu yang paling baik ialah dengan tim….bagaimana caranya dalam kondisi yang seperti ini diharapkan tim dapat membantu atau memback-up kita ! kalaupun hal itu terjadi pada saya….yaa saya akan panik….terutama pada saat krisis yah……mungkin kalau kita sudah mengetahui sebelumnya kalau anak kita sakit, kita bisa ambil cuti ! tapi kalau dalam situasi yang serba mendadak membuat kita susah juga………malah kadang kalau lagi nganter anak sekolah saya suka ngaret masuk kantor……mau nggak mau harus izin…..dan syukur dari mereka bisa mengerti untuk hal ini…..apalagi kalau sudah sore, saya sudah harus pulang, anak saya kan kadang suka main ke kantor…..suka ditungguin……pengennya cepetcepet pulang…..kalau kaya gitu kerjaan di cancel besok…….belum lagi….kalau dia sekolah atau lagi makan, sampai dia berantem sama temennya pasti telpon saya…….kadang bisa menghibur…..ngilangin stress, kadang kalau lagi banyak deadline, lagi banyak meeting…..repot juga……sibuknya bertambah.……kalau lagi repot trus anak telpon……waaahhh bawaannya bingung…….nggak mungkin kalau tiba-tiba kitanya jadi marah-marah….…makannya penting mengontrol mood, mengontrol perasaan”. Kepanikan wanita dalam menghadapi dua situasi secara tak diduga dan dalam waktu yang bersamaan, membuat kecenderungan arah fokus mereka kurang maksimal. Hal ini tentunya dapat menyulitkan aktifitas mereka untuk menjalankan 72 fungsinya baik sebagai problem solver maupun sebagai fungsi komunikator dalam organisasi. Selain peran, kira-kira seperti apa nilai tambah yang juga menghiasi self personal dari laki-laki dan perempuan ? “Nilai tambah yah…..nilai tambah perempuan dan laki-laki…..kalau laki-laki dia lebih…secara fisik oke ya…biasanya mereka lebih kuat secara fisik….secara tadi hhhmmm….laki-laki yang sudah berkeluarga biasanya kan urusan rumah tangga diserahkan oleh perempuan jadi dia lebih tenang selama ada ibu di rumah…jadi dia lebih bisa konsentrasi….kalau perempuan tadi…ada kecenderungan kurang tenang dan kurang konsentrasi…….hal itu tidak bisa dipungkiri…walaupun saya nggak bicara bahwa perempuan nggak bisa mengerjakan pekerjaan laki….bisa…..tapi itu tadi kalau ada perempuan yang menghadapi satu masalah keluarga yang cukup serius dia akan berat menjalaninya…tantangannya berat…jadi ya itu kadangkadang dilemma seorang wanita bekerja….wanita bekerja dan berkeluarga….jadi Opie sudah harus ambil ancang-ancang nih kalau mau pilih PR…..PR itu bukan pekerjaan yang gampang……pokoknya jangan pernah berharap….maksudnya jangan pernah bermimpi…bahwa pekerjaan PR itu yang….”ya sudah lah senang dan menyenangkan”…..misalnya di hotel ketemu orang…..seneng yah memang…..bagaimanapun juga kita harus enjoy, tetapi….tanggungjawabnya berat karena apa yang kita ucapkan itu mewakili perusahaan, merefleksikan perusahaan….kadang-kadang lingkungan sekitar kita aja menilai kita loh…” Kembali ditegaskan oleh narasumber terkait nilai tambah dari masingmasing individu yang dalam hal ini kembali disinggung mengenai physicly dan tingkat konsentrasi laki-laki yang menjadi salah satu aspek kelancaran mereka dalam menjalankan fungsinya dengan baik. 73 Misalnya bu ? “Jadi misalkan….”itu orang PR ko‟ begitu ngomongnya”…..iya kan….”orang PR penampilannya kaya begitu”…kadang-kadang kita suka digituin kan…jadi ekspektasi orang sama kita itu tinggi sekali….jadi kita….waahhh orang kalau kita ngomongnya salah sedikit ngomongnya “iihh nih orang PR ko‟ ngomongnya kaya begitu sih…trus gimana dia nanti di perusahaan”…..selain itu orang PR biasanya dianggap tahu segalanya…tahu informasi….kalau kita nggak baca dan nggak ngikutin issu dan nggak baca koran….dalam arti bisa aja sih kitanya cuma biasabiasa aja sebagai PR tapi pada akhirnya nanti kita cuma disuruh-suruh aja gitu kerjaannya…..tapi berbeda pada saat kita punya pengetahuan lebih…kita lebih tahu sesuatu hal…paling tidak kita bisa satu langkah di depan mereka….misalnya : biasanya orang akan tanya ke kita informasi…kaya pusat informasi lahh…misalkan ada orang tanya “eh tahu nggak sih kita berapa ton produksi sehari”…kadangkadang kalau kita nggak tahu orang bisa aja ngomong “ah loe kan orang PR harus tahu”…gitu kan…atau “eh sekarang lagi ada issu apa sih” ?…..kalau sampai kita nggak tahu kan gawat sekali…..karena ekspektasi orang banyak nggak gampang jadi PR, tantangannya banyak apalagi ibu-ibu….pokoknya harus siap-siap….trus kalau kita bikin press release atau kita bikin artikel lah untuk majalah internal, paling tidak bahasa kita kan harus baik karena nantinya akan dibaca orang…….dalam hal ini kita harus diatas terus gitu…..lalu bagaimana kita berkomunikasi….yang empati itu….kalau kita main perintah-perintah, orang mana mau respect sama kita…iya kan….kita juga harus kordinasi dengan departemen lain…..intinya kita harus kerja sama juga…..kalau kitanya cuma bisa perintahperintah aja….orang juga pastinya sebel….sekarang bagaimana kita ngomongnya yang baik-baik dengan mereka….bagaimana kita membangun komunikasi dan hubungan baik gitu yah…..belum lagi kerja PR itu kan selalu penuh dengan 74 deadline…..makannya kadang-kadang jangan kaget Opie mohon maaf saya kalau sudah dikasih deadline kadang-kadang…beteee…….suka nggak sadar……karena pada saat seperti itu kan kadang emosi kita diuji…..makannya kita harus sabar dan dewasa kalau menghadapi suatu masalah….kadang-kadang kalau sudah nggak sanggup bawaannya pengen marah-marah aja, tapi kan kita nggak bisa dan nggak boleh melakukan itu gitu kan…..tapi terkadang namanya manusia penuh dengan keterbatasan……kaya tadi misalnya saya lagi banyaknya deadline sampai Opie juga lama nunggunya….belum lagi banyaknya permintaan yang muncul….terkadang sayanya juga suka emosi sendiri…..tapi kan orang lain juga nggak mau tahu kondisi kita kaya gimana…..itulah makannya kenapa diawal saya katakan bahwa kita harus mampu belajar menjaga emosi….itu semua kan pengalaman kita…..kita banyak belajar dari orang lain, banyak berempati juga sama orang, mau mendengarkan orang lain, apa yang menurut kita benar belum tentu orang lain juga meng-iyakan, jangan suka menyela kalau orang lain berbicara sehingga membuat kita menjadi lebih dewasa…..karena bagaimanapun kita membutuhkan mereka kan…..membutuhkan feedback baik yang positif dari mereka…..jadi kalau kita membuat orang lain menjadi antipati sama kita, kita nggak akan pernah bisa masuk ke mereka….jadi inti komunikasi itu nantinya bagaimana membangun hubungan baik yang kemudian memudahkan kita untuk berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dan pemahaman dari para stakeholder kita…..sehingga ketika kita mendapatkan masalah….dan pada saat kita mengkomunikasikan masalah itu….mereka bisa dengan mudah memahami kondisi kita secara tulus…..nah membangun hubungan yang tulus itulah yang susah…..makannya kenapa komunikasi dan membangun hubungan yang baik itu penting…..karena komunikasi bukan sekedar basa-basi….ketika kamu berhubungan dengan seseorang bukan hanya berkomunikasi saja, tetapi harus terus di maintain”. 75 Terdapat suatu statement yang menggambarkan dimana wanita pada saat dihadapkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya deadline dan memiliki intensitas kesibukan yang tinggi, emosionalnya mereka cenderung akan terbawa pada situasi dan kondisi yang saat itu ia alami. Sehingga secara otomatis akan tercermin dari sikap baik verbal maupun nonverbalnya mereka. Dan kalau diperhatikan memang terlihat agak sedikit kurang professional khususnya dalam menghadapi konteks-konteks yang seperti ini. Tidak hanya itu, dari pernyataan narasumber dapat disimpulkan juga bahwa seorang PR sejatinya dituntut untuk memiliki kompetensi komunikasi yang tidak hanya terpusat pada pengetahuan, skill dan motivasi. Tetapi juga attitude dan penguasaan serta pemilihan bahasa yang baik, wawasan yang luas, team work, dan yang paling terpenting ialah seorang PR harus memiliki dasar berupa fakta yang bisa dipertanggungjawabkan terhadap segala informasi yang ia sampaikan, mengapa ? karena ekspektasi masyarakat terhadap PR sangat besar sekali sehingga ia harus benar-benar menyampaikan informasi yang akurat serta jujur dan apa adanya. Lalu untuk perempuan sendiri seperti apa bu nilai tambahnya ? “Oh iya nilai tambah yang untuk perempuan yah….maaf nih saya lupa….karena tadi kita ngomong baru nilai tambahnya laki-laki ya……..kalau dari perempuan saya rasa tadi yaitu keluwesannya….kalau dalam menghadapi suatu masalah perempuan lebih emosional sedangkan kalau laki-laki sepertinya lebih cool yah ! selain itu kelebihannya saya pikir perempuan dalam hal ini lebih teliti, lebih fair biasanya kan kalau perempuan suka nggak tegaan tuh……sehingga dia pasti mencoba memposisikan dirinya netral…jadi dalam posisi netral itu dia bisa membuat judgement yang lebih baik….kalau menurut saya yah seperti itu ! 76 perempuan lebih detail…makannya kenapa perempuan lebih suka cerewet ketimbang laki-laki, mereka lebih cerewet dalam hal-hal kecil misalnya saja kalau di kantor kan ada yang namanya departemen OS (Office Service) jadi mereka itu yang biasanya ngurusin snack box yang setiap pagi dibagikan ke karyawan…yang intinya job-descnya mereka itu menyangkut masalah kenyamanan kantor….jadi kadang kalau ada comment….yang paling banyak permintaannya yaa perempuan yang ibu-ibu ini…entah itu coment masalah snack box-nya, masalah fasilitas dan kenyamanan kantor….sampai masalah kalau ada tikus atau kecoa di cubical itu langsung dilaporin……….perempuan juga dalam hal tertentu segala sesuatunya lebih diantisipasi terlebih dahulu……karena yaaa dia terbiasa melakukan itu di rumah gitu yah…” ! keluwesan wanita tanpa disadari memudahkan mereka untuk bisa lebih friendly dan lebih akrab dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang terbilang baru dikenal, sehingga secara tidak langsung hal ini menjadi point plus yang wanita miliki. Tetapi cenderung emosional dalam menghadapi suatu permasalahan tertentu, berbeda dengan laki-laki yang cenderung maskulin dalam menyikapi segala sesuatunya. Ketelitian dan sikap detailnya wanita membuat apa yang ingin ia sampaikan dapat terprediksikan dan teridentifikasi dengan baik. Serta menjadikan ia better two way communication khususnya dalam hal-hal yang feedbacknya dominan mengomentari sehingga apa yang diinginkan mudah tersampaikan dengan baik. Sikap antisipatif yang wanita miliki menjadikan dirinya lebih siap dalam menghadapi situasi yang tak direncanakan. Sedangkan sikap adil-nya wanita dapat memposisikan dirinya untuk bertindak netral, sehingga membawa kepada suatu penyampaian atau judgement yang lebih baik. 77 Kalau menurut ibu ada nggak batasan dari gender itu sendiri terhadap kondisi dan bidang pekerjaan tertentu ? “Oh ada….kaya disini kita ada yang namanya visitor group….kenapa dalam hal ini banyaknya laki-laki…karena dia naik-turun, bolak-balik kesana-kesini…fisik yang diperlukan…makannya banyak yang dipilih laki-laki…walaupun terkadang perempuan juga diperlukan disana….tapi intensitasnya nggak sekuat laki-laki…..” Untuk posisi visitor group perusahaan dominan menempatkan karyawan laki-laki sebagai seorang yang bertugas menjelaskan profil perusahaan secara mobile untuk wilayah operasional yang berada di Papua (Grasberg). Seperti yang telah dijelaskan diawal bahwa untuk posisi yang sifatnya menuntut fisik memang intensitasnya lebih cenderung ke laki-laki. Apalagi orientasinya juga menentukan kemampuan mereka untuk bisa menyampaikan atau mengkomunikasikan pesan dengan baik. Sehingga secara tidak langsung faktor fisik khususnya bagi laki-laki memberikan kemudahan mereka untuk bisa berinteraksi dengan lancar. Bagaimana dengan ibu sendiri yang juga menangani lingkup eksternal perusahaan ? “Yaaa….saya juga memang hubungannya keluar…tapi masih bisa ter-cover lahh…dalam artian nggak terlalu berat-berat amat….makannya kenapa disini staf PR-nya banyak…karena areal pekerjaannya cukup luas yah…nggak bisa dalam satu fungsi kita sendiri yang meng-handle…kaya saya misalkan external outreach untuk hubungan university lalu digabung dengan visitor, sementara saya harus konsentrasi dengan yang external outreach…karena kan stakeholder-nya banyak….tentunya pasti ada prioritas gitu kan….ekspektasinya juga macem-macem kan….nah itu harus kita samakan dulu pemikirannya, persepsi kita…kita samakan dulu….maunya management seperti apa….yang ada di kepala kita sama nggak dengan yang ada di 78 kepala management agar mempunyai tujuan yang sama……dan nggak mungkin bagi kita untuk mengerjakan dua fungsi secara bersamaan, misalnya eksternal dan internal digabung jadi satu….yahh nggak bisa karena Freeport sudah terlalu luas, karyawannya lebih dari dua puluh ribu…..kalau untuk internal communication harus ditangani saya juga yaa nggak bisa….sementara antara komunikasi keluar dan kedalam kan beda, fokusnya juga beda….nah makannya ini harus dibagibagi….dalam arti ketika kita bicara internal maka ada alat komunikasinya sendiri yaitu media internal entah itu newsletter kah atau apa….itu kan harus dimanage….mereka juga harus konsentrasi nyari berita….trus belum lagi ada tamu yang datang….yah kalau sudah seperti itu nggak bisa ditangani oleh satu orang…..oleh karenanya harus dibagi-bagi….makannya kenapa kita orangnya / pasukannya banyak hampir tiga puluh orang…yaa biar lebih konsentrasi aja…..apalagi seperti saya perempuan yang sudah ibu-ibu”. Tapi keliatannya ibu tenang-tenang saja ? “Kalau lagi nggak banyak deadline sihh tenang-tenang aja keliatannya, tapi kalau kaya tadi….begitu ada acara yang beruntun misalnya pagi-pagi saya harus ke depnaker untuk meeting, lalu conference call…..ini semua kan harus dikomunikasikan….ketika kita ingin berpartisipasi dengan pihak luar…kita juga harus mengkomunikasikannya kedalam juga untuk persiapan didalam….disamping itu juga harus ada yang memback-up saya nih…saya bagian ngomong diluar yang dalem yang follow up nih…makannya kenapa ada bagian communication support…..ada pa‟ Maliki, ada mba Lulu yang membantu saya dalam hubungannya dengan eksternal….kalau saya semua yang ngerjain dari A-Z yaa nggak mungkin…lalu bagaimana saya mengkomunikasikan keluar…..nahh itu ada lagi bagian yang bertanggungjawab”. 79 Lalu kenapa di eksternal cenderung didominasi oleh laki-laki dan internal oleh perempuan ? “Yaa itu tadi yang telah saya katakan sebelumnya….dipengaruhi oleh fisik tadi….karena dia harus mobile kemana-mana apalagi pada saat menghadapi management conflict….tapi bukan berarti wanita nggak ada….saya juga termasuk di eksternal…..Namun, memang dibutuhkan orang yang punya komitmen kuat”. Kembali dijelaskan mengenai komitmen dan kondisi fisik laki-laki yang sangat menentukan peran dan fungsinya di perusahaan. Oleh karena itu untuk posisi eksternal communication perannya laki-laki dominan dibanding perannya wanita. Hal ini kembali diungkapkan karena fisiknya laki-laki yang prima, sehingga kemampuan dalam berkomunikasi bisa lebih maksimal untuk menjalani posisi tersebut. Berarti kalau untuk penugasan jobsite memang dominan laki-laki ya bu ? karena itu kan sebagian besar lingkup pekerjaannya menuntut fisik….. “Nggak juga sih menurut saya….karena nggak terlalu dilihat dari gendernya juga….walaupun memang ada pengaruhnya….tapi secara umum dilihat dari kepentingan pekerjaan dan kesiapan dari si tenaga kerjanya itu……untuk Opie ketahui yah di Papua itu sekarang supir-supir truk yang besar-besar itu yang bannya segede rumah….itu udah ada perempuannya loh…udah ada sekitar enam puluh orangan lah….memang sih itu pekerjaan yang nggak mungkin dilakukan oleh perempuan….dikatakan demikian……tapi akhirnya diambil keputusan untuk dilakukan oleh perempuan….karena itu tadi kemampuannya….tapi uniknya perempuan itu handle mesinnya seperti mesin itu bernyawa….diajak ngomong….seperti “mau ya di starter yah” atau nggak “aduh sorry ya jalannya agak nanjak sedikit” seperti itulah kira-kira…..jadi kalau orang laki bilang emosionalnya 80 perempuan itu yang menghalangi dia maju….mungkin…..tapi justru itu yang membuat kita tuh balance”. Hal-hal kecil seperti apa yang kadang menjadi unsur penting dalam kordinasi yang ibu jalani dengan tim kerja ? “Ya memang komunikasi itu kan sangat mempengaruhi pada bagaimana saya berkomunikasi….baik itu dengan relasi……terutama dengan tim ya…atau anak buah….itu sangat mempengaruhi sekali….karena ini kan dilihatnya memang gender yah…jadi mau nggak mau saya bilangnya harus laki atau perempuan…..kalau lakilaki kan melibatkan logika terhadap suatu permasalahan……kalau kita sebagai perempuan bisa melibatkan emosi dulu…..nah perempuan itu kadang sebenarnya hambatannya itu adalah dalam emosi…nah emosinya ini kita pecahkan dulu supaya kita bisa tahu apa yang sesungguhnya harus dilakukan selanjutnya…..contohnya begini kita sama-sama tahu kan bahwa kalau buat perempuan tuh rambut adalah masalah….yang namanya bad hair day itu sudah menjadi salah satu faktor hambatan yang penting bagi wanita…..dari pada saya melihat anak buah saya atau tim atau member saya nggak nyaman dalam bekerja….karena kalau udah nggak nyaman pasti kan ganggu pekerjaan…….lebih baik saya berikan waktu ke mereka sekitar satu jam atau setengah jam untuk bisa dandan atau merapihkan penampilannya terlebih dahulu setelah itu mereka bisa kembali dalam keadaan fresh….dan saya rasa hal ini tidak selalu bisa dilakukan oleh supervisor yang lakilaki……tapi itulah keluwesannya perempuan….mereka lebih fleksibel lah….ada toleransinya disitu…..maksudnya kalau ada satu masalah tuh nggak cuma dilihat dari sudut logika saja tapi dia begitu memikirkan hal-hal apa yang mempengaruhi sampe orang tersebut melakukan hal itu….jadi istilahnya tuh kalau perempuan itu mau want to see the story behind sesuatu, reason atau alasan itu masih ada space 81 buat wanita tapi kalau laki enggak gitu loh…………jadi kembali kalau ibu yang bekerja itu….saya bilangnya ibu yah karena saya sendiri nggak tahu kalau yang sudah pada nikah itu bagaimana nanti handlenya…..tapi buat saya pribadi kalau ibu yang bekerja itu dia akan cenderung untuk memperlakukan….bagaimana dia memperlakukan lingkungan keluarga sama seperti di lingkungan kantor itu akan saling mempengaruhi”. Apa sih yang ibu rasakan sebagai pimpinan sekaligus sebagai ibu rumah tangga…..kira-kira keterkaitan antara kedua konteks ini seperti apa ? “Saya kebetulan seseorang yang bisa membagi…..dalam artian begini….itu semuanya ditunjang dengan sikap profesionalisme yang baik dan yang terutama adalah komunikasi….buat saya dua hal itu yang paling utama….karena sikap profesionalisme itu kan kita harus tahu diri…..maksudnya saya sebagai pegawai yang digaji oleh suatu perusahaan….atau saya menjadi owner di perusahaan tersebut berarti saya harus memberikan atau memiliki etos kerja yang baik…..bagaimana saya bisa menuntut orang lain untuk bisa memiliki etos kerja yang baik kalau sayanya sendiri tidak memiliki…..yang kedua adalah bagaimana saya mengkomunikasikan itu dengan lingkaran posisi saya dirumah dengan lingkaran posisi saya dikantor….bahwa betul ada saat-saat kondisi tertentu dimana saya harus memilih nah saya lihat prioritasnya….katakanlah pada saat saya ngambil rapot anak saya….saya tidak akan izin tetapi saya akan ambil cuti apapun kondisinya….karena saya nggak mau diganggu pada waktu saya ambil cuti untuk datang ke sekolah anak saya buat ngambil rapot….karena disitu saya berperan sebagai seorang ibu bukan sebagai pegawai….berarti secara professional saya tidak akan merugikan kantor dan secara diri saya pribadi saya juga tidak akan merugikan anak saya….jadi kalau nanti tiba-tiba dia mau langsung pergi jalan-jalan kemana 82 atau gurunya mau discuss sesuatu yang penting sama saya…jadinya kan saya nggak harus setengah-setengah menjalaninya……nah itu kalau urusan yang izinizin….tapi kalau untuk urusan yang emergency….of course kita harus melihat seberapa dalam emergencynya…..kalau ada kecelakaan atau ada apalah….itu jelas disitu gunanya komunikasi….dan bagaimana saya bisa mendapatkan dispensasi….tentunya saya harus punya hubungan baik dengan tim saya baik atasan maupun bawahan, rekan sekerja maupun anak buah…..lalu yang berikutnya adalah saya harus selalu memenuhi target yang diberikan dengan sebaik-baiknya sehingga saya menjadi asset buat perusahaan….dan saya harus punya etos kerja yang baik…..kembali ke etos kerja….karena kita nggak akan pernah tahu kapan kita perlu minta izin iya kan….jadi bekerjalah dengan baik sesuai aturannya, sehingga pada waktu kita minta izin kita nggak akan dibilang aji mumpung…….itu yang saya lakukan seperti itu”. Bu’ untuk beradaptasi dengan baik dalam pergaulan disana apa yang harus diperhatikan baik dari pihak wanita maupun laki-laki ? “Pada prinsipnya kalau saya melihatnya kita dalam pergaulan itu harus positive thinking itu yang paling utama dan kita tetap menjaga sikap kita…..karena temen di kantor itu pasti nanti jadi temen dirumah….kita nggak punya pilihan…..kalau di Jakarta katakanlah kalau punya teman kantor…..ya udah temennya dikantor aja dan dirumah lain lagi kan biasanya……jadi nggak bosen lah….tapi ini beda bisa-bisa dikantor dan dirumah ketemu orang yang sama….bisa dalam satu kost-kostan atau boarding yang sama atau mungkin juga bisa berada di dalam satu apartemen dalam building yang sama……jadi kembali itu…..yang bahaya adalah itu kalau kemudian terjadi misconception terhadap diri kita…..jadi orang itu menyalahartikan persepsi terhadap diri kita…..nah kalau udah kaya gitu pasti susah untuk ngerubahnya 83 lagi…..karena kamu tahu kan kalau udah cerita dari si A ke B trus ditambahin bumbunya apa…nanti ditambahin lagi bumbunya apa…..dibalikin ke kita….tentunya ceritanya udah berkembang sampe nggak tahu kemana berapa kuadrat gitu lohh….demikian juga dengan laki-laki……mungkin dalam hal ini mereka akan lebih bisa terlihat survive….karena mereka kesana kemari sendiri nggak masalah…..tapi kalau perempuan kan orang lebih menyorot….karena apa….karena disana jarang perempuan….seperti itu lah………..jadi kalau kamu menjaga sikap profesionalisme kamu dengan baik…..dalam arti tidak membuka personal kamu menjadi bahan untuk pembicaraan umum…..pasti aman ko”. B. Narasumber 2 (Budiman Moerdijat : Manager Corporate Communication) Bagaimana pandangan bapak dalam menyikapi eksistensi dari nilai gender terhadap profesi PR di perusahaan ini ? “Yaaa…kalau menyangkut masalah gender secara umum saya pribadi, saya bukan tipe seorang yang memilih laki-laki atau perempuan karena sebenarnya kurang relevan juga. Perlu digaris bawahi juga memang profesi-profesi seperti tambang secara tradisional memang laki-laki tapi bukan berarti perempuan nggak ada….perempuan banyak sekarang Opie di Freeport…mungkin memang kalau referensinya tahun 70-an dan 80-an di Freeport mungkin masih…perempuan masih jarang….tapi sekarang lima sampai enam tahun belakangan ini saya yakin perempuan sudah banyak di industri ini ….tapi sekarang secara tradisional Apalagi di zaman modern sekarang pemimpin perempuan, menteri perempuan, CEO perempuan juga sudah banyak. Bahkan CEO di disini-pun ialah perempuan, mungkin memang secara tradisional dulu Freeport kebanyakan laki-laki tapi itu kan dulu ya, sekarang perempuan juga sudah lumayan banyak ko‟. Dan dalam hal ini saya lebih mengutamakan keterampilan serta kemampuan yang dimiliki oleh setiap 84 masing-masing individunya….sebagai contoh yah bu Sinta Sirait sebagai Site Administrasi Officer dan Executive Vice President Freeport itu mengepalai CorpComm, HRD, AER, QMS, Public Health, dan Areal Control. Beliau banyak sekali melaksanakan fungsi eksternal….banyak sekali….beliau kompetensinya memang bagus….karena beliau dulu sebagai pemimpin jabatan juga…apalagi beliau sekarang juga sebagai Vice President Government Relations yang fungsinya seratus persen eksternal…namanya aja Government Relations iya kan…Jadi sekali lagi karena kompetensinya”. Tapi bukankah beliau (sinta sirait) masih dalam status single untuk posisi tersebut, sehingga jika kondisi itu terjadi pada PR apakah berpengaruh terhadap peran dan fungsi yang dia pegang di perusahaan ? “Memang untuk seorang yang masih single mungkin ada sedikit perbedaan……..dalam arti tidak terlalu banyak problem yang ia alami baik itu wanita apalagi laki-laki……mau bolak-balik Papua-Jakarta maupun Jakarta-Papua nggak masalah juga…..yaa bisa leluasa…..jadi kalau pengaruh mungkin memang ada”. Misalnya pa’ dalam konteks yang seperti apa ? “Biasanya mereka itu kan bisa lembur kapan saja ya……bisa lima kali seminggu bahkan kadang sabtu minggu juga bisa masuk….sehingga intensitas waktunya bisa lebih banyak di pekerjaan. Kalau yang berkeluarga….mungkin ada…cuma paling selambat-lambatnya sore lah sekitar jam setengah enaman atau jam enam….kalau yang lemburnya sampe malem mungkin intensitasnya agak berkurang….jarang saya lihat apalagi yang ibu-ibunya…..makannya kenapa mereka kesibukannya lebih dominan karena keterbatasan tadi…..dalam hal intensitas waktu yang mereka miliki”. 85 pernah nggak pa’ mereka memiliki masalah keterlambatan penyerahan deadline ? “Bagaimanapun mereka harus professional dan konsekuen terhadap apa yang telah mereka putuskan, sehingga sampai saat ini saya belum pernah mengalami kasus tersebut”. Kalau misalkan terjadi, apa yang bapak lakukan ? “Saya lebih melihat latar belakangnya, penyebabnya apa……kalau hanya masalah teknis, saya pikir tidak bisa dijadikan alasan”. Kasus yang bagaimana yang dalam hal ini bapak memberikan kompensasi atau pengertian ? “Misalnya ada masalah keluarga…..kalau wanita itu kan sangat rentan yah terhadap hal-hal tersebut….mereka berat untuk menjalani satu masalah tertentu, apalagi kalau menyangkut keluarga…..sulit mungkin bagi mereka untuk bisa concern antara dua problem dalam satu waktu secara bersamaan…….sehingga bisa saja terjadi hal-hal diluar perkiraan dia…..yah nggak masalah….hal yang wajar menurut saya….asalkan ada alternative lain yang dapat mengcover masalah ini”. Dari yang telah saya ketahui di Freeport ini ada suatu penugasan kerja yang biasa disebut dengan job site (penugasan kerja ke daerah Papua), kira-kira seperti apa kendala yang dialami baik dari pihak PR perempuan maupun lakilaki ? “Kalau saya pribadi……pernah…..pada saat membawa tamu dalam rangka company visit ke daerah operasional tambang Freeport di Grasberg. Saya mengalami kesulitan untuk bernafas mungkin karena puncaknya yang tinggi. 86 Sehingga oksigen semakin menipis dan tubuh-pun rasanya linu. Kebetulan saya termasuk orang yang kadang fisiknya tidak bisa bertahan dalam kondisi yang seperti itu. Terpaksa harus ada pihak yang menghandle untuk sementara……kalau dari pihak perempuan saya juga kurang mengetahui sepenuhnya yah kendalanya apa…..tapi setahu saya bahayanya lebih dominan”. Dari pernyataan narasumber, ternyata kondisi fisik yang kurang maksimal tidak hanya dirasakan oleh pekerja wanita tetapi juga oleh pekerja laki-laki yang juga berperan sebagai external communication perusahaan. Sehingga secara tidak langsung memberikan keterbatasan juga bagi laki-laki dalam kemampuannya untuk berkomunikasi. Bahaya yang seperti apa pa’ ? “Bahayanya….betis gede….karena turun naik gunung terus (sambil tertawa)…..tapi sekarang ini sih baru saja terjadi wanita hampir diperkosa karyawan laki-laki yang lagi mabok……karena memang kalau jam sembilan keatas disana sudah sepi sekali…..terus kan gelap banget…..tapi kayanya bahaya lainnya belum kedengeran……….disana laki-laki jadi pada birahi tinggi, nggak bisa ngapangapain….karena peraturan perusahaan kan juga ketat sekali……..makannya di Timika ada satu tempat prostitusi yang memang sudah terkenal banget…….dan kamu tahu kan kalau jumlah penderita HIV itu tinggi banget di Papua………jadi yaa untuk PR perempuan yang bekerja dalam industri ini dan dengan medan yang rumit seperti Freeport, mereka bisa dikatakan lebih rentan terhadap bahaya-bahaya yang muncul…..dan yang pasti lebih ribet lah”. Kalau diperhatikan banyak sekali dinamika yang terjadi di Timika yang harus dihadapi oleh perusahaan, misalnya demo atau ada perundingan mengenai karyawan minta kenaikan gaji, sehingga memunculkan aksi protes bagi warga 87 atau karyawan, yang berujung kerusuhan dan bentrokan dengan pihak perusahaan. Kalau melihat situasi yang seperti ini, biasanya cenderung ditangani oleh PR laki-laki atau perempuan ? “Tergantung situasi……..kalau misalkan aksi demonstrasinya ekstrim misalnya dengan pelemparan batu, menggunakan senjata, atau pemukulan, terpaksa harus ditangani oleh laki-laki. Tapi kalau hanya aksi protes saja…..dalam arti tidak ada tindak kekerasan, tidak masalah jika ditangani oleh perempuan…......namun, kadang-kadang dalam situasi-situasi tertentu kalau perempuan yang maju bisa lebih tenang….itu betul…kalau itu ada…..jadi misalnya begini ada situasi demonstrasi, kalau yang maju laki-laki demonstrannya cenderung lebih keras kan….tapi kalau dalam situasi yang sedang emosi, sedang tegang, perempuan bisa lebih menenangkan para demonstran yang kebanyakan laki-laki”. Pada saat demonstrasi kehadiran wanita dirasa bisa lebih berperan khususnya ditengah-tengah para demonstran yang dominan laki-laki. Hal ini tidak hanya karena nilai-nilai dari perempuan itu sendiri yang dikatakan lebih dihormati dan lebih disegani secara tradisional. Tidak hanya itu, emosionalnya wanita dalam hal ini dapat terkontrol dengan baik ditambah kemampuan berkomunikasinya dalam menyesuaikan diri untuk bisa masuk dan berinteraksi dengan mudah. Kenapa pa’ bisa seperti itu ? “Mungkin secara tradisional karena adanya faktor ketidakenakan dari laki-laki apabila kasar terhadap perempuan selain itu, yaa mungkin secara kultur tidak sopan aja ya kalau laki-laki kurang ajar atau terlalu berani dengan wanita, dalam hal ini sosok perempuan juga lebih dihormati…..dan perempuan secara emosional bisa lebih mengena dalam merasakan dan memahami situasi serta kondisi yang seperti ini”. 88 Kalau begitu kenapa tidak perempuan saja pa’ yang menangani situasi yang ekstrim itu agar bisa lebih tenang ? “Kalau dalam situasi yang kronis seperti itu ya kami juga tidak berani untuk mendelegasikan perempuan menjadi jubir disana…..karena khawatir kalau nantinya terjadi tindak kekerasan yang dapat membahayakan dirinya……..yaa mungkin perempuan dalam hal ini hanya mendampingi saja…..tapi yang maju sebagai perwakilan biasanya laki-laki”. Lalu, seperti apa kira-kira nilai tambah dari laki-laki dan perempuan dalam hal ini ? “Pada dasarnya saya tidak ingin menjadi sexis, dalam arti tidak ingin memilah dan membandingkan keunggulan masing-masing. Bagi seorang manager seperti saya sebenarnya sensitive sekali jika membicarakan hal ini. Sehingga saya pribadi menilai pada dasarnya masing-masing memiliki nilai tambah, namun dengan intensitas dan konteks tertentu yang tentunya berbeda satu sama lain”. Misalnya seperti apa pa’ ? “Misalnya kalau di perusahaan tambang yang sifatnya berat seperti Freeport lakilaki tentunya lebih kuat dalam hal fisik dan mental……biasanya kan perempuan lemah yah fisik dan mentalnya, dia mudah lelah, mudah capek, cenderung perasaan……..namun, ia memiliki daya tarik tersendiri…….misalnya kalau saya disuruh memilih lebih senang ngobrol dengan PR laki-laki atau perempuan…..saya akan memilih PR perempuan apalagi dia cantik……ketimbang PR laki-laki yang ganteng……ngerti kan maksud saya (sambil tersenyum)….seperti itu lah kira-kira”. 89 Nuansa daya tarik dalam self personal wanita membuka akses mereka untuk bisa dengan mudah memulai suatu hubungan interaksi dengan berbagai relasi dalam konteks komunikasi khususnya yang bersifat interpersonal relationship. Kira-kira ada pertimbangan-pertimbangan khusus nggak sih pa’ bagi seseorang untuk penugasan ke jobsite ? “Ya….memang kita harus ada koridor-koridornya yah…..ada dasarnya…..dasarnya apa…..yaa itu tadi keselamatan kerja….itu harus dinomor satukan……jadi apabila seorang wanita hamil dengan usia kandungan yang sebenarnya ok…..yaa dia bisa untuk terbang…..tapi kalau misalkan usia kandungannya lemah yaa nggak bisa dia terbang….tapi memang walaupun demikian yang namanya orang hamil pastinya ada lah ya kelemahan-kelemahan tertentu seperti tidak akan lagi bisa terlalu cepat berjalan…cuma semuanya itu bukannya berubah total itu hanya ada penyesuaianpenyesuaian sedikit……nah itu kembali patokannya adalah kesehatan….jadi mau laki mau perempuan harus ada dasar sehatnya……sama seperti misalnya seseorang dengan mata yang sinus….dia nggak akan bisa naik dan nggak akan diterima kerja disana…takut ketinggian, phobia atau ketakutan didalam lift..….ya nggak bisa juga….karena liftnya itu kan masuk kedalam lorong diantara belahan dua gunung…itu jalannya sempit sekali lho….dan dinding-dindingnya itu air ngalir….trus lagi pas ada mobil jalan….yaa itu liftnya berhenti…..diem ditempat dia…..dan itu super gelap nggak keliatan apa-apa….nah kalau kaya gitu kan nggak cuma untuk laki-laki atau perempuan aja….tapi kalau dia punya ketakutanketakutan seperti itu…dia tidak eligible….dia tidak layak untuk melakukan tugas itu…makannya kita sebagai CEO…sebagai owner perusahaan….kita harus punya koridor-koridor yang baku yang bisa diterapkan oleh laki dan perempuan”. 90 C. Narasumber 3 (Mindo Pangaribuan : Stakeholder External Relations Manager) Lalu kalau untuk shift malam bagaimana pa’ ? “Oke……kalau kondisinya seperti itu memang mungkin bisa terlihat laki-laki yang lebih kuat….dan bahayanya juga lebih kecil….tapi apakah kamu bisa bilang seperti itu mengenai perawat-perawat di rumah sakit….enggak kan……padahal perawatperawat di rumah sakit perempuan rata-rata…..karena kembali ke tuntutan pekerjaannya apa”. Bahayanya kalau untuk perempuan seperti apa pa’ ? “Yaa kalau nggak kuat mental….mental…..yaa karena kan itu dunianya lakilaki….waktu pertama kali saya kesana aja….itu sekitar tahun 1996…itu banyak teman-teman saya yang pulang nangis…terutama yang wanitanya…..karena sebenarnya orang-orang disana itu nggak bermaksud sexual harensment….tapi memang dari enam ribu karyawan itu perempuannya itu cuma ratusan…dan itu terbagi kedalam lahan yang sedemikian luasnya……mereka jarang sekali liat perempuan….jadi kalau melihat wanita sesekalinya mereka pasti akan berteriak “susu…susu….susu” gitu….dan itu sebenarnya nggak bisa dianggap sexual harensment…..karena apa….mereka itu kan hanya dimulut aja…..hanya diucapan aja….mereka nggak akan nyerang….karena kan ada standardnya yang K3 itu…..sehingga memang yang nggak kuat mental yaa mental jadinya…..jadi maksudnya begini pekerjaan itu sebenarnya lebih dilihat dari sikap, etos kerja, dan mental bekerja….kalau kamu sudah masuk ke dunia kerjanya laki-laki…..bukannya kamu harus menjadi laki-laki…..tapi yaa kamu harus seperti mereka….tidak ada yang namanya sakit perut disaat menstruasi….contohnya seperti itu…..sehingga kalau kita enter suatu field yaa itu kita nggak bisa menuntut supaya field itu 91 memahami kita…kalau kita ketemu dengan orang-orang yang bisa diajak komunikasi dengan baik dan kita mempunyai sikap profesionalisme yang baik….itu a good bland……tapi paling tidak kamu harus siap mental…….berhubung disana dominan laki-laki…..mereka harus lebih berhati-hati dalam menyesuaikan diri, harus bisa menjaga nama baik dan kehormatannya, kalau misalkan si perempuannya centil…..nggak bisa diem……tentunya banyak menjadi buah bibir sama banyak orang, dan itu sangat mengganggu sekali….ditambah corpcomm juga kerjanya lebih sering di masyarakat…….sehingga jangankan yang masih single……yang sudah ibu-ibu juga banyak yang mau disana…….dan terkadang kalau wanita apalagi masih dengan seumuran kamu…..terus posisinya masih sebagai orang baru yang ditugaskan di site…..perannya itu agak kurang diperhatikan…..maksudnya begini…….secara nggak sadar seperti di-anak bawangkan istilahnya……karena menurut saya peran karyawan laki-laki disana lebih dominan daripada peran karyawan yang perempuan…...intinya untuk yang perempuan……secara psikologis, bekerja di area site yang terpencil bisa membuat mereka mudah tertekan…..mungkin karena situasi dan kondisi disana yang dimana tempat hiburan seperti mall, café…..itu sangat minim…..ditambah jumlah relationship atau teman sebaya dan seumuran mereka yang terbatas…..sehingga bisa menjadi salah satu faktor yang monoton dalam aktifitas mereka sehari-hari”. Kendala dari bapak pribadi sebagai laki-laki dalam posisi ini seperti apa ? “Kalau fisik masih bisa ditangani……Namun, berhubung saya jarang di Jakarta….jadi agak mempengaruhi beberapa tugas yang ada disini……kadang saya kan juga punya kerjasama dengan institusi atau lembaga lain diluar perusahaan……sehingga kalau ada beberapa keperluan terkait dengan hal itu tak jarang sulit untuk me-managenya”. 92 Hal-hal lainnya kira-kira ada nggak pa’….yang kadang mempengaruhi peran dan fungsinya bapak sebagai karyawan ? “Pernah pada waktu itu saya izin setengah hari untuk nganter calaon istri ke jobsite tapi ya itu tadi untungnya dia itu di bagian yang sama….jadi pengertian dari perusahaan bisa lebih mudah…..tapi memang yang sulit pada saat-saat sekarang ini..….terutama pada saat merencanakan pernikahan….apalagi kita harus menyesuaikan dengan jam kerjanya Freeport….berhubung posisi disini menuntut saya untuk stay lama sampai malem…kira-kira sampai jam enam sorelah…sehingga waktu yang digunakan untuk persiapan pernikahan sedikit…giliran udah selesai kantor trus mau liat-liat souvenir atau mau hunting liat-liat undangan…..itu udah nggak ada waktu lagi….mengganggu pekerjaan juga….karena untuk membutuhkan waktu pernikahan itu yaa mau nggak mau harus pulang cepat….sehingga ada beberapa pekerjaan yang harus di cancel dan dikerjakan besok”. Lalu pengertian dari pihak perusahaan bagaimana pa’ ? “Dari kantor sih ada pengertiannya tapi kan nggak bisa terus-terusan…karena ada tanggungjawabnya juga disini yang harus dipenuhi……..trus ditambah sebagai anak pertama juga yang sejak lulus kuliah sudah nggak mempuyai bapak…….secara otomatis saya ditunjuk….jadi udah nggak bisa milih kan…..jadi ditunjuk sebagai kepala keluarga….hal itu biasanya mempengaruhi pekerjaan dari beberapa hal….pertama yaa selain saya harus fokus dipekerjaan….saya juga harus memperhatikan kondisi keluarga saya dalam arti ibu dan adik-adik saya….karena kan disini posisinya saya sebagai kepala keluarga juga…..dimana sebagai kepala keluarga dan tulang punggung keluarga….artinya apa yang saya hasilkan disini yaa buat keluarga saya dirumah juga…karena di rumah juga nggak ada lagi yang 93 bekerja…otomatis saya harus berbuat yang sebaik mungkin supaya saya bisa memberikan yang lebih buat keluarga….baik dari gaji, bonus….dan lain-lain…tapi tetap aja dengan posisi saya yang sebagai kepala keluarga pastinya saya harus tahu masalah yang ada dalam keluarga…sekecil apapun itu…dan harus bisa mengambil keputusan untuk menyelesaikannya…dan masalah-masalah di rumah itu terkadang juga mengganggu ke pekerjaan di kantor”. Misalnya pa’? “Misalnya di rumah ada dua AC yang tiba-tiba rusak….dulu waktu ayah saya masih ada biasanya yang di telepon ibu saya itu beliau…tapi sekarang saya yang harus tahu…mungkin kalau untuk seseorang yang sudah menikah itu hal biasa yah….tapi kan sekarang kondisinya….saya baru lulus kuliah…baru mulai kerja….dan harus menjadi kepala keluarga pula…itu hal yang baru sekaligus hal yang mengagetkan buat saya pribadi….”ko‟ kaya begini aja ribet sih…ya udah telepon aja tukangnya”….nah kenapa dalam hal ini ia memberitahu ke saya terlebih dahulu…karena kalau tukangnya datang kan yang bayar harus saya…itu dia….kadang hal-hal yang seperti itu yang bikin nggak fokus juga….entah itu saya lagi meeting, lagi kedatangan tamu atau mungkin sedang presentasi atau sedang menghadapi media….banyak hal lah…….sebenarnya kalau dipikir-pikir kan dengan umur saya yang masih muda saya juga perlu bersenang-senang kan”. Kalau kendala dari pihak laki-laki yang ditugaskan ke jobsite kira-kira resikonya seperti apa sih pa’ ? “Berhubung disana kebanyakan laki-laki dibanding perempuan….jadi yaa resikonya gampang stress….karena tidak ada pelampiasan….kalau kaya gitu kan lebih mudah stress…memang secara psikologis seperti itu…sehingga sangat mempengaruhi pekerjaan…..karena dimana-mana orang bekerja itu perlu cuti, perlu 94 hiburan, perlu relaksasi….makannya kenapa orang yang kena penyakit lever itu rata-rata para pekerja kantoran…..orang yang kerjanya sampe malem….jarang kan kamu dengar kuli kena lever…..padahal mereka kerjanya lama trus mengorbankan fisik yang luar biasa…..tapi berbeda dengan kerja didepan komputer terus-terusan sampe malem lalu nggak ada perempuan, hiburan lain juga nggak ada….seperti bioskop, club-club juga nggak ada….nah itu yang bikin stress dan yang bikin penyakit”. Apa yang bapak rasakan sebagai seorang anak dari mantan karyawan perusahaan yang kadang memberikan dampak pada kondisi lingkungan kerjanya bapak ? “Pertama yang bisa saya katakan adalah karena berhubung almarhum ayah saya itu adalah orang yang baik sekaligus pekerja dan karyawan yang baik….saya disini selalu merasa dibayang-bayangi oleh predikatnya beliau….seperti misalnya “bapaknya ketua majelis ta‟lim anaknya jarang banget masuk musholah”…gitu loh….atau begini “ini ko‟ kerjanya nggak sebagus bapaknya”….selalu seperti itu….selalu jadinya itu dibanding-bandingkan….kalau misalkan perusahaan selalu ingin mendapatkan kualitas hasil kerja yang seperti almarhum ayah saya……ya udah panggil aja kembali ayah saya buat kerja….cari nomor teleponnya yang di surga kalau ada….saya juga mau ko‟…seneng malah….(sambil tersenyum)…..tapi kan saat ini kondisinya beda…..dimana mereka mau nggak mau harus menerima saya dengan hasil kerja yang versinya saya…..itu sudah konsekuensi…..namun dalam arti bukan berarti saya tenang-tenang aja….saya tetap melakukan yang terbaik…tapi yang terbaiknya saya…bukan yang terbaiknya ayah saya”. 95 Lalu dengan adanya relationship bapak dengan calon istri yang notabennya sesama karyawan Freeport, seperti apa hal-hal yang kadang mewarnai kondisi tersebut khususnya di lingkungan kerja ? “Pertama…teleponnya gratis (sambil tertawa)….karena teleponnya gratis kadang jadi omongan juga sama temen-temen kantor….sekarang saya tanya sama kamu kalau kamu punya kesempatan untuk telpon-telponan gratis apalagi sama pacar….apa yang kamu lakuin”? Nelpon setiap hari pa’…. “Nah kalau kamu di tempat kerja nelpon terus….kira-kira gimana”? Diomelin pa’… “Nggak pernah diomelin sihh…..tapi kadang orang suka salah sangka sama saya….kalau saya lagi online misalkan…..padahal itu klien saya bukan pacar saya…tapi tetep aja orang ngomongnya “lagi online ya” dalam tanda kutip….sehingga terkesan agak menyindir…..selalu seperti itu….padahal kalaupun saya emang benar-benar lagi online sama dia….tetep topiknya nggak akan jauh dari pekerjaan juga…..yaa memang mereka-mereka juga nggak mau mengganggu saya pacaran….tapi ya tetep aja saya punya pekerjaan dalam hal ini”. 4.2.2. Pandangan CEO Pada Kompetensi Komunikasi SDM Public Relations A. Narasumber 1 (Santi Sariesayanti : Senior Communication Exsternal Outreach Institutional Relations) Kalau menyangkut masalah kompetensi komunikasi, bagaimana pandangan ibu terhadap hal tersebut….karena dari yang saya ketahui kompetensi komunikasi itu kan ada tiga macam : communication knowledge, 96 communication skill & communication motivation, kira-kira seperti apa implementasinya ? “Iya…..motivation juga termasuk….memang kalau kita nggak punya motivasi rasanya kerja tanpa arah yah dan nggak jelas gitu….kita kerjain aja apa yang disuruh….ibaratnya seperti mesin lah…..kalau kita mempunyai motivasi, misalnya : motivasi saya untuk menjalin dan membangun komunikasi dengan para stakeholder perusahaan ialah agar dapat menumbuhkan sikap positif mereka terhadap perusahaan dan agar perusahaan juga dalam hal ini merasa satisfy dengan fungsi saya disini….sehingga kita mempunyai dorongan untuk mencapai sesuatu yang baik, ingin mencapai yang lebih…..semua yang kita lakukan pasti ada alasannya….pasti ada atau mempunyai latar belakang yang membuat kita menjadi terdorong untuk melakukan sesuatu hal….itu tadi karena adanya motivasi….itu sangat penting yah……..lalu untuk communication skill hal ini juga termasuk penting……dalam arti bukan nggak bisa dipelajari…..tetapi begini loh ada orang yang punya karakter-karakter tertentu dalam komunikasi….seperti saya contohnya…ketika saya disuruh presentasi….saya punya satu kelemahan yaitu pada suara….nggak tahu bagaimana orang lain menilai karena saya sendiri ngerasanya seperti itu……setiap orang punya keinginan untuk berkomunikasi tapi dia mungkin ada kelebihan dan kekurangan……tetapi yang terpenting ialah dia mempunyai out going personality artinya dia mudah bergaul….kalau orang yang susah bergaul yah sulit….karena kita pekerjaannya intinya satu yaitu pergaulan……karena dengan membina hubungan baik itu…..yah tentunya melalui pergaulan tadi yang diharuskan dengan skill yang dia punya…..selain itu, juga bahasa….dimana pada saat kita bekerja di sebuah perusahaan asing seperti Freeport stakeholder kita bukan cuma orang Indonesia tapi kita juga punya klien company kita yang orang asing sehingga kalau kita nggak menguasai bahasa, pada saat kita punya masalah pasti itu 97 akan menjadi kendala tersendiri….apalagi pada saat kita melakukan presentasi dengan mereka…..saya sendiri belum sampai kesitu juga maksudnya kita harus mengasah dari awal apa modal yang harus kita miliki….lalu kita juga harus memiliki keberanian untuk mengungkapkan sesuatu dengan cara yang baik, trus wawasan yang luas maksudnya ia mempunyai suatu kemauan untuk mencari ilmu, untuk terus belajar dan bertanya apapun itu…..misalnya kalau kita sebagai PR di pertambangan kan berarti kita nggak hanya belajar tentang komunikasi aja….maksudnya ilmunya nggak hanya di komunikasi aja, tetapi kita juga harus mengetahui dan memahami paling tidak dasar dari seluk beluk pertambangan itu sendiri….begitupun juga sebaliknya ketika kita masuknya di advertising yaa kita harus tahu advertising itu seperti apa dunianya atau ketika kita masuknya di perbankan juga begitu……jadi benar-benar harus membuka wawasan yang luas…..sehingga kalau ada orang lain yang bertanya mengenai lingkungan misalnya “itu Freeport beracun yah limbahnya….emang pake apa sih ???”….seperti itu misalkan….berarti mau nggak mau kan kita harus mengetahui dan harus bisa dengan baik menjelaskan ke mereka…….yahh nggak harus secara mendalam lah yaa….paling tidak yang inti-intinya saja yang harus kita pelajari”. Dalam hal ini narasumber mengungkapkan bahwa communication skill seseorang bukan hanya sesuatu yang bisa dipelajari, tetapi kadang hal ini dapat menjadi satu keterbatasan tertentu yang dipengaruhi oleh karakter dari masingmasing individu. Terlihat dari pernyataan narasumber yang menjelaskan bahwa karakter suara yang ia miliki dirasa sangat efektif pada proses komunikasi yang sifatnya interpersonal. 98 Untuk yang di site daerahnya kan terpencil sekali bu……lalu bagaimana pihak perempuan dalam melakukan adaptasi terhadap kondisi tersebut agar hubungan komunikasi yang terjalin berjalan lancar ? “Sekarang sih sudah terbuka tapi maksudnya masih dalam kategori sudah nggak seperti dulu di awal-awal, tapi sekarang kotanya sudah terbuka…perempuan juga sudah lumayan banyak tidak seperti di awal-awal pada saat kita baru beroperasi. Mereka kerja professional dalam arti mereka harus tahu batas-batasnya karena yang bisa menjaga diri mereka adalah mereka sendiri…yaa dengan cara misalnya kalau untuk disana kadang-kadang kan sex sesama jenis sering terjadi diantara karyawan pria khususnya dalam komunitas yang laki-lakinya lebih dominan dibanding perempuan…berarti cara mereka untuk adaptasi ya harus menjaga diri misalnya dengan berpakaian dan berpenampilan yang sopan yang memang tidak mengundang orang untuk berbuat yang aneh-aneh…dan mereka juga harus tegas….mereka harus tahu kondisi daerah-daerah tertentu bagaimana….dalam arti mereka harus membaca situasinya….dan harus siap dengan itu…kalau misalkan masuk ke areal yang bisa dibilang itu rawan buat perempuan yaaa jangan pergi kesitu sendirian gitu…sehingga kalau tahu batasan-batasan dalam beradaptasi…..tentunya kegiatan komunikasi dapat berjalan lancar……kalau misalkan lawan bicaranya laki-laki, trus penampilannya nggak sopan dan mengundang……kan bahaya….selain dapat menghambat untuk berkomunikasi juga dapat membahayakan diri mereka sendiri”. Batasan-batasan dalam beradaptasi dari pengetahuan yang seseorang miliki menentukan keberlangsungan dari kelancaran proses komunikasi yang terjalin. Dalam hal ini pengetahuan beradaptasinya wanita khususnya untuk daerah site diimplementasikan melalui penampilan yang ia pancarkan dalam berkomunikasi. 99 Hal ini menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan khususnya bagi wanita dalam kenyamanan suatu hubungan komunikasi dengan orang lain. Bagaimana cara ibu untuk berempati dalam situasi dan kondisi tertentu ? “Artinya empati ini kan rasa sepenanggungan….bagaimana kita berempati dengan para stakeholder yang kita ajak berkomunikasi…ya kita harus tahu situasinya terlebih dahulu….kita harus bisa mempelajari target stakeholder kita seperti apa…karakter mereka seperti apa…lalu kondisinya…ketika kita menghadapi suatu masalah dengan stakeholder yang kita ajak komunikasi ini kita harus tahu awal permasalahannya atau awal perkaranya seperti apa dan posisi perusahaan ada dimana…e‟eee…untuk bisa masuk kedalam satu suasana yang mungkin agak sulit buat perusahaan….yaaa tentunya kita harus menunjukkan rasa empati dulu ke mereka jadi bahwa iya kita bisa mengerti perasaan mereka…misalnya dalam keadaan demo yang menuntut Freeport untuk bisa menyelesaikan masalah HAM di Papua terutama di daerah operasi Freeport karena terkait dengan masalah perang suku…nahh kalau situasinya seperti ini kita harus tahu yang dipermasalahkan mereka sebenarnya apa…misalkan masalah perang suku bahwa mereka nggak mau ada korban lagi dan mereka merasa bahwa ketika diambil tindakan tegas oleh petugas bahwa itu melanggar HAM, dan melanggar HAM-nya itu ada keterlibatan Freeport karena itu ada di daerah Freeport….nah kita harus tahu dulu nih masalahnya masalah apa sebenarnya ketika ada warga yang terbunuh pada waktu insiden itu….itu karena apa dan ini masalahnya siapa…kalau sudah masalah kriminal kan tentunya sudah menjadi masalah antar oknum keamanan disana…bukannya kita ingin melepas tanggungjawab tapi kita ingin menudukkan inti permasalahan itu pada porsinya masing-masing. Dalam arti perang suku itu apakah yang menyebabkan Freeport…ini perang suku sebenarnya masalah 100 siapa…ternyata masalah ketidaksepahaman antara warga yang berseteru…nah tentunya ada masalah pemicunya yahh…….nah ini masalahnya masalah kekeluargaan….lalu ada orang terbunuh….orang terbunuh tersebut apakah karena Freeport atau karena perusahaan……setelah diselidiki ternyata bukan…..dan masalah itu dalam investigasi dan tentunya aparat keamanan kan sedang melakukan investigasi dan Freeport nggak bisa juga untuk interupsi…nah ini masalahnya sebenarnya ada dimana….nah itulah yang kita ungkapkan sebenarnya kepada mereka bahwa kita mengerti perasaan mereka bahwa mereka ini sebagai warga masyarakat Papua yang korbannya menyangkut saudara-saudara mereka terkait masalah safety, masalah mereka khawatir dengan keluarga mereka….itu bayangkan kalau kita dalam posisinya mereka juga, jadi kita bisa memberikan empati kalau kita menudukkan terlebih dahulu permasalahan ini…sehingga diharapkan kita bisa mengerti dan memahami kekhawatiran mereka….tetapi kita juga harus memberitahu dalam masalah ini kita juga ingin mencari solusi yang terbaik sebagai perusahaan dan tetangga yang terdekat tentunya kita ingin masalah ini dapat diselesaikan dengan damai, tentunya kita nggak ingin ada keributan….namun dalam hal ini Freeport juga nggak bisa ikut campur karena kewenangannya sudah ada di pihak yang berwajib dan sekarang masih di investigasi, kita mendorong sama-sama agar investigasi ini dapat menemukan inti permasalahan dan memberikan solusi terhadap penyelesaian masalah perang suku disana…..intinya empati itu kita mencoba memahami-lah kondisi mereka tapi kita juga tidak begitu berempati terus kita sepakat dengan mereka….tetapi kita mencoba memahami dahulu…apa sebenarnya masalah yang terjadi…kalau mereka salah ya kita sampaikan tetapi tidak begitu ceritanya….kita harus mengklarifikasi terlebih dahulu dengan cara-cara yang baik”. 101 Lalu, seperti apa kompetensi yang seharusnya ibu miliki sebagai seorang PR dalam menjalin komunikasi di lingkungan perusahaan yang sebagaian besar terdiri dari orang Papua dengan karakter dan budaya yang ada ? “Prinsipnya sama yah…dimana prinsipnya dalam berkomunikasi itu harus saling menghargai dulu…..membiasakan untuk mempunyai pikiran yang positif dalam mencari sesuatu yang baik….jadi ketika ingin memulai sesuatu yang baik tentu masuknya akan lebih mudah dalam berkomunikasi….lalu apa tujuan dan apa yang saya harapkan saya sampaikan atau saya komunikasikan, tetapi artinya saya mencoba menyesuaikan komunikasi saya dengan karakter stakeholder yang ada karena masing-masing stakeholder kan punya karakter sendiri. Misalnya ketika saya bicara dengan para stakeholder masyarakat Papua mungkin akan berbeda dengan ketika saya menghadapi mahasiswa disini atau dengan masyarakat yang ada di kota Jawa gitu yah ….dimana saya harus berbicara dengan cara mereka, dengan budaya mereka, dengan bahasa mereka…misalnya kalau orang Papua mungkin dengan bahasa Papua, orang jawa dengan bahasa jawanya begitupun dengan mahasiswa….berbicara dengan bahasanya mereka, gayanya mereka……hal-hal itu harus benar-benar kita pelajari dan sesuaikan…..walaupun kita nggak terlalu bisa bahasa Papua, tapi sedikit-sedikit kita tahu logatnya mereka atau bahasa-bahasa sederhananya mereka-lah….otomatis komunikasinya jadi lebih enak…….coba kamu perhatikan, kalau ada orang jawa bertemu dengan orang jawa lalu berbicara dengan bahasanya mereka…tentunya komunikasinya jadi lebih akrab…….nah ini yang kita coba sesuaikan….jadi mencoba memahami karakter mereka, budaya mereka…..itu tadi belajar menyampaikan bahwa apa yang kita sampaikan ini untuk maksud yang baik terutama ketika kita mengkomunikasikan sesuatu issue ya atau sesuatu masalah yang harus kita selesaikan atau konflik gitu yah……tentunya kita harus berangkat dari sesuatu yang baik”. 102 Sebagai seorang PR bagaimana cara ibu melakukan pendekatan komunikasi terhadap lingkungan perusahaan baik internal maupun eksternal ? “Kita mencoba bukan hanya untuk bisa kita masuk saja dalam suatu lingkungan tertentu…….tentunya kita nggak bisa hanya formal-formalan aja ya…bergaul seperti biasa, melakukan pertemanan, ngobrol, interpersonal relationship ya…..e‟ee hal itu kita harus bangun dan kita bina. Ketika kita sedang mengenal seseorang, kita mengenal mereka….itu yah kita bangun…..bagaimana kita membangun hubungan yang tadi saya katakan”. Apa yang ibu lakukan untuk membina suatu hubungan relasi yang efektif ? “Building relationship artinya kita memulai komunikasi untuk membangun satu hubungan komunikasi…..misalnya untuk saya bisa berhubungan dengan Opie kan tentunya harus ada komunikasi dulu iya kan…..saya pikir prinsipnya membangun hubungan itu berarti tidak jauh dari menjalin komunikasi terlebih dahulu dengan seseorang……kalau kita membangun hubungan hanya cukup dengan komunikasi saja, tetapi kalau membangun hubungan relationship artinya ada kelanjutan dari komunikasi itu sendiri, ada kontinuitas…..sehingga kontinuitas inilah yang harus saya maintain”. Berikutnya, bagaimana dengan interaction management yang ibu terapkan untuk posisi saat ini ? “Management disini kan bagaimana mengatur hubungan saya dengan pihak eksternal….yaa memang dalam hal ini kita harus punya target….kembali keawal bahwa ini sebenarnya kita mau kemana yang diarahkan ketika kita ingin berinteraksi….kita harus punya prioritas target dulu, nggak bisa semuanya harus kita raih atau harus kita capai….misalnya dengan maping atau pemetaan…..dari sekian banyak target yang sudah kita petakan, kira-kira mana yang paling 103 penting….mana yang paling menjadi prioritas…itu yang kita dahulukan untuk dikomunikasikan ke mereka….tapi bukan berarti yang lainnya diabaikan dalam arti apa yang bisa kita lakukan dengan hal ini, sehingga hal ini sama sekali nggak boleh dilupakan………lalu menyangkut hubungan komunikasi dengan asosiasi atau institusi terkait kita bagaimana dan ada dimana…..dalam arti disini kita harus mengikuti kegiatan mereka dan harus mempunyai up date atau database issue dari setiap stakeholder kita…..misalnya kalau stakeholdernya media tentunya kan kita memonitor berita-berita yang ada di media terkait dengan issue perusahaan atau terkait dengan tema yang sedang diangkat oleh media itu apa, media lagi membahas apa atau lagi ngomongin apa sih……..kira-kira keterkaitannya yang harus kita antisipasi dari perusahaan apa…..kan harus seperti itu yah….nah kalau kita sudah bisa mengantisipasi bagaimana kita mengkomunikasikan ini ke mereka dengan cara yang baik…kalau misalkan akan menjadi boomerang bagi Freeport berarti kita harus bersiap-siap untuk itu…..jadi kalau ada krisis kita harus tahu dengan siapa kita harus kordinasi…..itulah kenapa perlunya dibentuk management crisis di setiap perusahaan….melalui planning atau perencanaan….karena planning itu paling penting dalam management komunikasi…….apa itu sebutannya” ??? POAC…… “Nah itu POAC…..itu sudah jadi standar yang mutlak deh bagi perusahaan….sudah harus dikuasai oleh PR…..dimana kita harus rencanakan terlebih dahulu, mengorganize dalam arti bagaimana cara kita mengkomunikasikan, implementasinya bagaimana dan seperti apa, setelah itu cara mengukurnya bagaimana untuk mendapatkan feedback yang diharapkan……sebenarnya menjadi PR itu dibilang gampang…yahh gampang-gampang susah….biasanya ketika kita kembali ke reporting….kita harus bicara diluar, melakukan meeting….meeting 104 seperti itu kan bukan berarti kita nggak ada kerjaan…..yang namanya meeting kan harus ada feedback-nya juga….nah itu harus dikordinasikan kedalam…..bentuknya apa ??? yaa bentuknya report itu tadi…untuk bisa orang-orang terkait tahu semua kan report harus dikirim ke mereka….jadi yang idealnya PR bukan hanya ngomong-ngomong aja, tetapi selalu membiasakan juga segala sesuatunya secara tertulis sehingga komunikasi yang kita lakukan itu terecord……karena apa ???...hal ini penting…..kita orang PR kalau kita berbicara tidak punya dasar , nggak punya basis, ketika kita mendapat masalah misalnya dikerjain orang atau gimana….karena posisi PR itu sensitive ketika kita salah ngomong dan kita nggak punya bukti…..ya udah akan buruk reputasinya….berbeda kalau kita punya bukti…kita akan aman……makannya kenapa saya selalu membiasakan kepada stakeholder saya untuk mengirimkan email terkait dengan urusan pekerjaan baik itu dengan wartawan, mahasiswa atau lainnya….agar kita bisa mengantisipasi pertanyaanpertanyaannya, bahasa dan cara penyampaiannya juga harus baik serta konsistensi dari komunikasilah yang sangat penting…..makannya mengontrol emosi itu penting…ketika kita lagi sedih, susah, kecewa dengan perusahaan cara berbicaranya juga harus dijaga”. Lalu bagaimana mengkomunikasikan sikap suatu dan tindakan permasalahan ibu sebagai PR dengan baik kepada dalam para stakeholder perusahaan ? “Terlebih dahulu saya harus melakukan pemetaan masalah…..masalahnya ada dimana dan posisi perusahaan bagaimana….ketika ada masalah terjadi….masalah itu coba dipetakan terlebih dahulu….sebenarnya ini masalahnya apa dan masalahnya siapa….kalau memang masalahnya perusahaan, apa yang menjadi masalah iya kan…..lalu apa tindakan perusahaan untuk menyelesaikan masalah ini, 105 apa upaya-upaya yang dilakukan oleh perusahaan…..itu kita harus tahu dulu……selain itu harus adanya juga kordinasi dengan departemen terkait terhadap issue dari masalah tersebut. Karena kordinasi itu penting….kita sebagai humas nggak bisa kerja sendiri kita harus kordinasi dengan departemen-departemen terkait yang ada hubungannya dengan issue yang sedang terjadi….setelah itu agar kita dapat menyampaikan masalahnya dengan baik kita harus mengetahui kondisi audience kita seperti apa……sehingga diharapkan kita bisa memberikan pengertian terlebih dahulu kepada mereka, kita harus belajar untuk bisa menyesuaikan diri dengan mereka, apa yang mereka harapkan atau inginkan dari kita……..barulah kita dapat menyampaikan maksudnya kita kepada mereka, menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi dan memberikan conflict resolution yang baik bagi mereka”. Kalau menurut ibu bagaimana kompetensi komunikasinya wanita itu sendiri ? “Saya rasa perempuan selalu punya pengaruh yang lebih besar yah untuk berkomunikasi baik kepada sesama perempuan apalagi sama laki-laki….jadi seandainya kita ada tamu perusahaan laki-laki……ya serahkan sama yang perempuan aja….karena dari sosok perempuannya sendiri juga sudah menjual….kalau laki-laki kan tidak terlalu…..makannya kenapa SPG kebanyakan wanita”. Dalam hal ini wujud sosok wanita itu sendiri sangat berpengaruh besar dalam proses komunikasi. Baik dilihat dari segi nilai-nilainya, keterampilannya maupun dari sikap dan tindakannya dalam berinteraksi. Sehingga secara tidak langsung dapat dijadikan sebagai salah satu faktor atau syarat dari keberlangsungan interpersonal communication yang menguntungkan. 106 Kelebihan dari masing-masingnya seperti apa sih bu ? “Secara gambaran global….perbedaannya adalah laki-laki bisa lebih berani ya biasanya…..maksudnya dia itu lebih berani dalam memulai suatu percakapan….tapi sekarang-sekarang ini saya lihat banyak orang perempuan juga berani memulai suatu komunikasi…..cuma saya rasa mungkin masyarakat lebih akan menerima bahwa laki-laki tuh lebih siap mental untuk memulai suatu komunikasi atau percakapan….secara kalau perempuan itu lebih banyak nahan untuk dia bicara….makannya kadang-kadang dalam bidang pekerjaan itu biasanya yang dipromosiin laki-laki terus….yaa karena menurut saya dia berani datang jika ada posisi kosong dan bilang ke bosnya “itu posisi kosong ya ??? kalau saya mau kesana gimana caranya” seperti itulah contohnya kira-kira….sementara mungkin diposisi itu maksudnya dibawahnya posisi itu udah ada perempuan yang udah lama meniti karir cuma dia nggak berani ngomong sehingga bosnya merasa dia cukup puas untuk posisi itu”. B. Narasumber 2 (Budiman Moerdijat : Manager Corporate Communication) Secara umum seperti apa pa’ kualifikasi kompetensi yang menjadi aturan dari perusahaan ? “Secara umum memang perusahaan membutuhkan beberapa tenaga kerja dari berbagai disiplin ilmu yang ada….karena untuk di corpcomm ini mencakup banyak bagian….mulai dari external communication, internal communication, support services dll. Yang dimana kesemuanya itu terbagi lagi menjadi beberapa sub, sehingga dengan adanya keberagaman bidang tersebut tentunya perusahaan banyak membutuhkan para spesialis dengan latar belakang ilmu, kemampuan dan pengalaman kerja yang relevan dengan bidang yang ditangani sehingga diharapkan dapat menghasilkan kinerja yang baik. Namun, memang yang paling utama ialah 107 keterampilan dalam berkomunikasi yang harus benar-benar dijadikan modal awal…..karena departemennya saja departemen komunikasi yang syarat akan dinamika komunikasi”. Menurut bapak pribadi kompetensi komunikasi seperti apa yang harus bapak miliki untuk posisi saat ini ? “Saya harus mampu mengerti dan memahami setiap karakter dari audience lawan bicara saya serta menghargai setiap kekurangan dan kelebihannya”. Seberapa penting-kah kita harus mengerti, memahami dan menghargai setiap karakter audience yang kita hadapi ? “Sangat penting…..karena dengan kita mengerti dan memahami kita dapat tahu apa yang mereka inginkan dan apa yang mereka tidak inginkan sehingga kita dapat menentukan pembicaraan kearah yang kita tuju”. Lalu fungsi menghargai itu sendiri untuk apa ? “Yaa….agar tidak terjadi ketersinggungan dan kesalahpahaman dalam berkomunikasi”. Misalnya pa’ ? “Misalnya…….mohon maaf sebelumnya……kalau Opie pernah berjumpa dengan orang Papua…..karakter yang dirasakan biasanya mereka kan agak sedikit.....e‟ee….maksudnya logatnya agak kurang sopan kalau menurut versi kita yah…..lalu mohon maaf…..biasanya mereka itu kan smell-nya agak kurang enak….maaf sebelumnya kalau saya berbicara seperti ini…..Opie sendiri merasakan nggak” ? Yaa seperti itu pa’ ! 108 “Nah….itu berarti karakter mereka kan….nggak mungkin kita bisa langsung protes begitu saja….karena mereka memang seperti itu dan nggak mungkin kita merubahnya…..itu tadi fungsinya mengapa harus adanya rasa saling menghargai….untuk bisa komunikasi kita lancar, untuk bisa mereka paham dengan apa yang kita maksud…..paling tidak kita harus menerima dan menghargai baik kekurangan maupun kelebihan mereka…..kita harus tahu itu…..kita harus tahu siapa lawan bicara kita…..sehingga kita bisa beradaptasi dan berinteraksi dengan baik…..kalau misalkan kita langsung protes……nggak mau kalah…..yah susah……kalau misalkan dia memang logatnya seperti itu….trus kitanya juga marah-marah…..bicaranya sambil tutup hidung……..waahhhh kita nggak pantes untuk jadi PR kalau begitu caranya, karena sikap yang seperti itu akan membuat kita nggak pernah bisa masuk ke mereka apalagi berinteraksi……..sehingga bisa menyebabkan bukan hanya penolakan terhadap diri kita, tetapi juga terhadap perusahaan”. Jika bapak dihadapkan dengan seseorang atau beberapa audience yang sama sekali belum bapak kenal, apa yang bapak lakukan sebagai seorang PR untuk bisa berkomunikasi dengan baik ? “Pertama, untuk bisa berkomunikasi saya harus tahu terlebih dahulu siapa mereka…..untuk bisa beradaptasi…..saya harus mengenal mereka, mengetahui karakter dan latar belakangnya, memahami budaya atau kebiasaan mereka…..budaya yang seperti apa dan topik yang bagaimana yang dapat saya sesuaikan agar saya bisa masuk ke mereka……sehingga jika kita sudah identifikasi semua hal tersebut…kita dapat memulai komunikasi atau membuka percakapan dengan mereka…..apa yang ingin kita sampaikan dan apa tujuan kita, prioritaskan apa yang ingin kita tuju…….kalau misalkan kita berhadapan dengan audience yang 109 belum kita kenal….kan nggak mungkin kita menyapa mereka semua…..paling tidak kita harus memprioritaskan siapa-siapa saja yang harus kita ajak untuk berinteraksi……tidak hanya cukup disitu…..bahasa yang kita utarakan, sikap verbal dan nonverbal kita, attitude kita dalam berkomunikasi…..semuanya harus termanage dengan baik….sehingga nantinya yang kita harapkan bukan hanya penerimaan kita di tengah-tengah mereka tetapi juga image posistif yang kita peroleh serta pemahaman terhadap apa yang kita sampaikan. Misalnya pada saat saya sedang melakukan sosialisasi kesehatan untuk mencegah penyakit malaria di tengah-tengah masyarakat Papua……..mereka ini masyarakat Papua yang budayanya masih sangat kental, budaya yang seperti apa yang bisa kita sesuaikan. Baik-buruknya budaya ataupun karakter mereka harus benar-benar kita terima……karena syarat untuk bisa kita diterima, kita harus menerima orang lain terlebih dahulu…..lalu mereka ini kan masih sangat tradisional, kualitas pendidikannya-pun masih sangat rendah…..nggak mungkin kita menyampaikan sesuatu dengan cara-cara yang nggak mereka ngerti…..apa yang bisa membuat mereka bisa dengan mudah mengerti dan memahami maksud komunikasi kita….misalkan dengan langsung memberikan praktek melalui pemberian vitamin atau obat-obatan atau menyediakan puskesmas untuk pertolongan pertama bagi mereka……..bahasa yang kita utarakan….biasanya orang-orang Papua penerimaannya bisa lebih mudah kalau kitanya bisa berbahasa Papua juga”. Oh gitu pa’ (sambil tersenyum)… “Yah kadang diperlukan juga keterampilan untuk hal-hal seperti itu……apalagi kalau sekarang Opie perhatikan…..karyawan disini logat bicaranya juga mengikuti budaya disana…..”toh…” atau “Pace…” seperti itulah kira-kira”. 110 Seperti apa motivasi yang seharusnya dimiliki PR dalam berkomunikasi ? “Motivasinya adalah satu…..audience bisa memahami dan mengerti maksud komunikasi yang disampaikan….selain itu, ia juga harus mempunyai motivasi untuk dapat memperoleh first impression yang baik, image yang baik dari audiencenya….sehingga kalau ia punya motivasi itu….paling tidak ia akan terdorong untuk terus melakukan dan membangun hubungan atau jalinan komunikasi seefektif mungkin”. Kalau dari bapak pribadi, selain untuk memperoleh pemahaman dan pengertian dari pihak audience, ada nggak bentuk motivasi lainnya yang juga menjadi landasan bapak dalam berkomunikasi ? “Pada dasarnya setiap individu yang berkomunikasi itu kan tidak hanya memiliki motivasi agar lawan bicaranya bisa paham dan mengerti saja…..tetapi ada faktorfaktor lain yang juga ikut mendukung…..misalnya ingin adanya pujian dari orang lain baik dari penampilannya, cara berpakaian, atau mungkin kalau dari pihak wanita aksesoris yang ia pakai….dan berbagai macam….sehingga biasanya dengan adanya motivasi-motivasi yang seperti itu kan secara tidak langsung juga dapat mendukung berjalannya proses komunikasi dengan baik”. Kalau dalam organisasi kira-kira seperti apa pa’ pola komunikasinya ? “Saya selalu mengusahakan untuk membiasakan melalui tahapan-tahapan komunikasi dengan baik terutama dalam organisasi…..seperti biasa kalau ada anak buah saya yang salah…yaa saya akan lebih menegur kepada siapa orang yang bertanggungjawab atasnya…jadi nggak bisa langsung ke individunya….nanti yang ada kita akan dianggap sebagai seorang yang tidak paham akan arti sebuah organisasi itu seperti apa…dia itu kan merupakan suatu sistem kerjasama melalui 111 suatu pola hubungan yang terstruktur….jadi nggak bisa saya main ngomelin orang….saya omelin dulu supervisornya baru nanti urusannya sama dia”. C. Narasumber 3 (Mindo Pangaribuan : Stakeholder External Relations Manager) Kalau menyangkut masalah kompetensi komunikasi, apa yang harus bapak terapkan untuk perusahaan ? “Sebagai seorang komunikator yang baik yang mewakili perusahaan…saya harus punya yang namanya good interpersonal relationship, communication skill, kemampuan membina dengan baik hubungan komunikasi yang sifatnya horizontal maupun juga vertikal, kemudian juga pemahaman tentang perusahaan….dimana kemampuan untuk pemahaman itu sendiri bukan hanya untuk satu atau dua issue saja tapi semua issue…..karena kita sebagai representasi perusahaan….jadi kita harus memahami betul perusahaan ini apa dan masalahnya seperti apa….bukan juga berarti kita harus bisa menjawab semua yah….kita tahu masalahnya…kalaupun kita nggak bisa jawab…..itu ada teknik-tekniknya….bagaimana kita menyampaikan hal itu dengan baik….sehingga kita harus memahami teknik-teknik didalam berinteraksi…..kalau memang kita tidak tahu…yaa katakan dengan cara yang baik, jangan nantinya kita menyampaikan sesuatu yang belum jelas kebenarannya….misalnya masalah mengenai program efisiensi yang dilakukan oleh perusahaan dalam arti ada pengurangan pegawai termasuk posisinya…..saya telah mengetahui masalah itu sebelumnya dan kita harus siap dengan beberapa pertanyaan yang akan muncul…kalau misalkan ada pertanyaan lain yang mungkin saya tidak tahu saya tidak akan mengatakan bahwa saya tahu dan memberikan jawaban saat itu juga…saya akan mengatakan “maaf mungkin hanya itu yang saya tahu nanti pertanyaan ini akan saya cari tahu lebih lanjut lagi” walaupun dalam hal 112 ini saya mengetahui, tetap saja saya tidak bisa menyampaikan ke mereka karena dalam hal ini saya harus mengerti kondisi mereka sebagai karyawan yang khawatir akan adanya PHK…..sehingga dengan begitu diharapkan saya dapat memiliki kemampuan dalam mengkomunikasikan segala sesuatu tentang perusahaan dengan cara yang baik dan benar. Disamping itu, juga harus adanya kemampuan untuk bisa memposisikan bagaimana supaya para stakeholder dapat memahami saya, bisa menerima saya di tengah-tengah mereka….karena prosesnya nanti adalah proses komunikasi dimana saya harus mengerti audience dan sebaliknya audience mau mengerti saya. Untuk itu, apa yang disebut adaptasi, berempati, honest, kemudian juga apa adanya…..itu semua harus saya terapkan dan communication skill-nya pun harus juga benar-benar saya pahami”. Misalnya melalui apa pa’ ? “Melalui……….ada banyak hal yang kita bisa lakukan….misalnya kalau mahasiswa yah saya harus berbicara dengan cara mahasiswa, dengan bahasanya mahasiswa atau istilah-istilah mereka, saya harus merasakan hidup dengan cara mahasiswa…..persepsi mahasiswa itu bagaimana….tergantung dari karakter masing-masing stakeholder yang saya hadapi……kalau misalkan mahasiswa….mahasiswa itu interest-nya apa dan selama ini bagaimana sudut pandang mereka terhadap perusahaan, dan itu harus saya pahami dulu……apakah itu dari keinginan ownership-nya atau kepemilikan dan apakah itu dari nasionalismenya…..hal ini harus dipahami….berbeda ketika saya berhadapan dengan para pejabat-pejabat tinggi Negara….bahasa yang saya gunakan harus formil dan tidak ada istilah joke atau candaan gitu yah…….tapi pada akhirnya nanti apapun itu yang mereka pahami saya harus bertanggungjawab, role saya itu harus memberikan kepada mereka informasi mengenai apa ini perusahaan dan bagaimana 113 role perusahaan terhadap kelompok-kelompok atau stakeholder yang terlibat dengan perusahaan ini”. Kalau untuk membangun relasi bagaimana pa’ ? “Pertama yang kita harus tahu adalah siapa kita, siapa perusahaan atau siapa Freeport, apa itu Freeport….hal ini harus dijelaskan ke mereka….itu kita harus tahu, berikutnya adalah kita harus pelajari siapa calon relasi kita…apakah dia mahasiswa….dan selalu berharap bahwa tidak semuanya akan bisa menerima, tidak akan bisa memuaskan semua orang hal itu harus kita sadari, sehingga dengan adanya pemahaman seperti itu yaa kita bisa berbicara apa adanya kepada mereka dengan tidak kehilangan konteks jadi upayanya itu adalah memahami siapa itu relasi”. Misalnya Ketika bapak dituntut untuk bisa menghadapi beberapa mahasiswa, dimana bapak harus melakukan presentasi atau pengenalan perusahaan kepada mereka….apa yang harus bapak lakukan agar mereka tidak jenuh, agar mereka semangat mendengarkan sehingga mereka memahami dan mengerti apa yang bapak sampaikan ? “Yang telah saya katakan diawal….pertama saya harus tahu karakter dari mahasiswa itu sendiri……mahasiswa ini dari fakultas apa…karena dari situ kita bisa tahu karakter mereka dan kita bisa sesuaikan…misalnya dari Fakultas Ilmu Komunikasi…biasanya kalau mahasiswa fikom itu kan well informed…gaul istilahnya gitu (sambil tertawa)….bagaimana agar kita bisa menyesuaikan…..misalnya kita menjelaskan dengan gaya bahasanya mahasiswa, penampilan kita….jangan terlalu dibuat formal-formal banget lah…..kita harus mengetahui kondisinya mereka seperti apa….kalau misalkan mereka baru aja selesai ujian…trus kita datang, langsung dengan penjelasan perusahaan……wahhh 114 nggak bisa seperti itu, nantinya mereka sulit untuk menerima dan memahami….kita refresh dulu, greetings dengan mereka agar mereka bisa siap ketika menghadapi materi yang saya berikan….kita kasih mereka merchandise bagi yang aktif bertanya….agar mereka semangat….dalam hal ini kita juga harus lihat kira-kira merchandise yang sesuai apa….jangan nanti kita kasihnya kalender, mug, atau notebook yang buat orang kantoran misalnya……..itu salah…..kita harus tahu apa sih yang identik dari mahasiswa…misalnya kaos….berarti merchandisenya bisa polo shirt, topi, payung dsb…materi yang kita sampaikan juga harus menarik baik itu dari designnya, topiknya, cara penyampaiannya…..intonasinya juga harus jelas…..sikap verbal dan nonverbalnya juga harus kita terapkan dengan baik….biasanya mereka interest dengan apa yang nyata didepan mereka, yang bisa langsung mereka lihat, bisa langsung mereka mengetahui……kalau dari Freeport kan yang utamanya tembaga, emas, trus ada perak juga, atau konsentrat yang merupakan campuran antara tembaga dan emas tadi…….nahh itu semua kita bawa kita kasih lihat ke mereka bahwa ini loh produksinya Freeport…..sehingga mereka bisa langsung melihat dan mengetahui seperti apa wujudnya serta kandungan zat yang ada didalamnya….sehingga jika itu semua terlaksana dengan baik diharapkan akan muncul feedback yang baik pula dari mereka berupa pengertian dan pemahaman”. Lalu seperti apa cara pandang bapak terhadap kompetensi komunikasi baik dari pihak laki-laki maupun perempuan ? “Kalau saya perhatikan dari pihak perempuannya itu dia memiliki gaya berbicara yang lebih kepada seorang instruktur…..mungkin karena secara pengalamannya dia sebelumnya sebagai seorang instruktur….jadi kalau buat memberikan penjelasan bagus…..cuma kalau untuk beberapa orang mungkin dia akan dianggap menggurui 115 karena dia cenderung menggunakan kata-kata yang selalu bersayap dan melebar…..tapi dia ini terstruktur dengan baik dan penjabarannya sangat mendetail tapi kalau untuk memberikan satu solusi jangka pendek mungkin informasi yang dia berikan menjadi terlalu banyak sehingga waktunya yang diperlukan lebih banyak….misalnya dalam keadaan darurat…..biasanya kan kalau dalam keadaan seperti itu orang nggak mau menjawab terlalu banyak dan dengan waktu yang lama juga gitu…..sekarang casenya kalau lagi ada peristiwa kebakaran atau bom yang beberapa tahun lalu terjadi di kedubes Australia….itu kan gedung Freeport kena sampe karyawan-karyawannya juga…..nah kalau dalam kondisi yang seperti itu….orang-orang yang panik kan otomatis membutuhkan penjelasan yang praktis, sistematis dan cepat….nah kalau penjelasannya dia terlalu panjang kan yang ada keburu meledak duluan”. Kalau dari pihak laki-lakinya seperti apa pa’ ? “Yang saya lihat laki-lakinya kalau di corpcomm itu….terutama dari tim saya yah…..secara professional dia memiliki modal komunikasi yang bagus, skill yang bagus dan bahasa inggris yang bagus….yang hanya perlu dia tingkatkan adalah penggunaan dan juga pemilihan bahasa indonesianya….membiasakan diri untuk berbahasa Indonesia aja lah….mungkin ini dipengaruhi karena dia dulu sekolahnya diluar negeri ya…jadinya kadang-kadang lebih mudah buat dia untuk berkomunikasi dengan bahasa inggris…..tapi kadang kala kan kita nggak bisa cuma dapetin tamu yang asing aja….kita harus siap dengan apa yang ada disitu baik tamu local maupun tamu asing…..tapi memang kalau menurut saya diantara laki-laki yang lain dia memiliki kemampuan yang baik diatas rata-rata…kemampuan dia untuk berkomunikasi lumayan baik….dia tipe-tipe orang yang marketing, dia tidak kaku dan dia bisa lebih luwes lah ya untuk mengkomunikasikan ide-idenya dia 116 maupun kemauan-kemauannya dia serta menjawab atau menjabarkan suatu masalah kepada lawan bicaranya”. Misalnya pa’ ? “Contohnya kaya kalau ada request baik dari email, tulisan maupun verbal itu dia bisa menjawab dengan baik, terstruktur dengan baik sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman dari pihak lawan bicaranya”. Ada nggak sih pa’ keterbatasan-keterbatasan lainnya yang kadang menghambat PR itu sendiri dalam berkomunikasi….dan dalam konteks yang seperti apa ? Memang setiap orang punya kekurangan dan kelebihan yah dalam berkomunikasi, kalau saya perhatikan khususnya bagi karyawan PR yang perempuan itu agak minus dalam hal suara…makannya kenapa untuk konteks-konteks yang berhadapan dengan audience yang jumlahnya besar dia agak kurang maksimal dan harus didampingi sama yang laki……karena karakter suaranya memang nggak bisa keras…..tetapi kalau untuk interpersonal dia bisa lebih baik lah…..apalagi saat berjumpa dengan orang-orang yang baru…entah itu tamu dari luar perusahaan atau klien…..biasanya luwesnya wanita itu kan memudahkan ia untuk bisa masuk kedalam situasi yang seperti itu….situasi dimana lingkungan dan audiencenya nih baru dia kenal………sehingga bisa dengan mudah berinteraksi…..bisa gampang memulai komunikasinya…….makannya kenapa kalau kita lagi kedatangan tamu biasanya yang menyambut wanita…..yah mungkin karena faktor itu tadi….bisa lebih akrab lah”. 117 4.2.3. Pandangan CEO Pada Nilai Gender dan Kompetensi Komunikasi SDM Public Relations A. Narasumber 1 (Santi Sariesayanti : Senior Communication Exsternal Outreach Institutional Relations) Untuk konteks-konteks tertentu kira-kira seperti apa bu proporsi kompetensi komunikasi baik dari pihak laki maupun perempuan ? “Kalau untuk pekerjaan-pekerjaan yang berhadapan dengan orang banyak sebagai frontliner….saya akan taruh perempuan tapi akan didampingi dengan lakilaki…..kenapa…..supaya kalau si perempuannya ini lagi dalam keadaan emosi yang tinggi dan audiencenya itu lagi perlu menerima jawaban yang berlogika tinggi….dan kalau perempuannya itu lagi nggak siap untuk menjadi orang yang lebih berlogika….saya akan majukan orang yang lebih berlogika yaa si laki ini….dan memang biasanya sebagai frontliner orang akan lebih friendly atau akan lebih gampang berinteraksi dengan pribadi yang ramah……dan wanita secara fisicly aja udah keliatan lebih ramah daripada laki-laki….sedangkan laki-laki nggak mungkin pakai eyeshadow kan….nggak mungkin pakai dandanan untuk menambah dia lebih bagaimana…walaupun yang dilihat adalah skill, tapi perempuan masih gampang lah dibikin cantik daripada laki-laki yang dibikin ganteng”. B. Narasumber 2 (Budiman Moerdijat : Manager Corporate Communication) Dalam situasi-situasi yang bagaimana perbedaan kompetensi komunikasi perempuan dan laki-laki itu sangat terlihat jelas ? “Seperti diawal yang telah saya katakan bahwa perempuan itu bisa lebih mudah masuk dalam komunitas yang dominan laki-laki…tapi tidak bagi laki-laki....dimana pada saat terjadi demonstrasi yang audiencenya dominan perempuan bisa saja 118 jadinya malah tambah beramarah gitu…..malah tambah pengen maki-maki lah istilahnya…..tapi memang kadang dalam kondisi-kondisi yang seperti ini, komunikasinya wanita cenderung pada teknik persuasifnya…..tapi kalau untuk penjelasan-penjelasan yang konstruktif misalnya pada saat melaporkan perubahan planning atau progress tertentu….mereka agak sedikit kurang tegas yah….yaa setegas-tegasnya wanita masih tegas laki-laki….tapi dia bisa dengan baik memaintain interaksinya dia dengan relasi….dengan partner….biasanya kan pola komunikasi yang ada bentuknya tuh kaya gunung…kalau dia nggak….dia bisa seperti bentuk angka delapan…sampe tanggal ulang tahunnya para klien…vendor…dia tuh punya….kalau saya biasanya nggak bisa seperti itu…maksudnya kalau ada klien atau apa….ya udah hanya sekedar kenal aja….udahan itu saya tinggal….itu mungkin satu kekurangan saya yah…tapi saya juga sedang mencoba untuk itu”. C. Narasumber 3 (Mindo Pangaribuan : Stakeholder External Relations Manager) Menurut bapak ada tidak pengaruh peran laki-laki dan perempuan dalam kondisi-kondisi tertentu ? “Tergantung medannya dan tuntutan pekerjaannya sih….karena saya nggak bisa bilang bahwa laki-laki lebih leluasa yahh….misalnya begini untuk handle ibu-ibu itu belum tentu harus perempuan lohh….karena kalau perempuan berantem mulu nanti yang ada….jadi disana kan ada dua belas ribu karyawan…taruhlah enam puluh persen, berarti enam ribu karyawan punya enam ribu istri kan disana……dan disana nggak ada mall, paling shopping mall cuma satu….itu juga paling isinya cuma toko, hero, bank, kantor pos, sama coffee shop…..itu kalau nggak di manage dengan baik maka bisa berantakan….sehingga yang harus menangani bukannya 119 perempuan tapi laki-laki…kenapa ? karena perempuan biasanya kalau ngadepin perempuan itu akan lebih nyinyir….tapi kalau yang ngadepin laki….yaa ibu-ibu itu akan lebih senang….jadi saya nggak bisa bilang bahwa ternyata pekerjaan yang di handle perempuan audiencenya harus perempuan juga bahkan opposite attract itu yang menjadikan suatu kinerja yang bagus…….jadi kalau lebih leluasa kalau menurut saya pribadi dilihat dari tuntutan pekerjaannya apa…..kalau mau dibilang bahaya atau apa segala macam….itu tergantung lagi pie….kenapa ? karena kita kan punya standard K3….keselamatan kerja karyawan…..jadi K3 itu adalah standard safety yang dipakai di Freeport…nah kalau perusahaan memenuhi itu….yaa kita nggak perduli dibalik helm itu laki-laki atau perempuan…..of course kalau dibilang tenaganya ya akan dibilang…..katakan umurnya sama yah….akan lebih kuat lakilaki….tapi belum tentu lebih cerdik laki-laki kan….jadi kembali dimana fieldnya itu sama ada standard kerja dan keselamatan kerja yang sama serta tujuannya jelas….itu kita bisa taruh siapa saja”. 4.3. Pembahasan Dari ketiga fokus penelitian yang telah penulis jabarkan sebelumnya, dapat ditarik suatu pernyataan bahwa terdapat nilai gender dari peran lain yang mewarnai peran PR di perusahaan, yang juga berkaitan dengan proporsi dari masing-masing kompetensi komunikasi yang mereka miliki, khususnya dalam konteks-konteks tertentu. Misalnya Untuk fokus Pandangan CEO Pada Nilai Gender SDM PR, terlihat bahwa adanya suatu kecenderungan yang muncul akan hal tersebut. Seperti pada narasumber pertama (perempuan), beliau mengungkapkan suatu dilemma yang harus ia jalani sebagai PR untuk External Communication. 120 Dimana, seperti yang telah diketahui untuk posisi eksternal khususnya pada background perusahaan seperti Freeport sangat menuntut fisik yang stabil. Karena jobdesc yang dijalani berhadapan langsung dengan lingkup daerah operasional perusahaan yang sangat luas baik itu meliputi dataran tinggi dan dataran rendah dalam kondisi wilayah yang remote, sehingga menuntut sistem kerja yang bersifat mobile. Selain itu, juga memunculkan resiko dan batasan-batasan gender terhadap lingkup bidang pekerjaan yang dijalani. Selain fisik, peran wanita diluar lingkup perusahaan juga memberikan gambaran tersendiri terhadap peran dan fungsinya sebagai PR, khususnya bagi mereka yang berkeluarga. Kecenderungannya dominan terjadi pada menurunnya pola tingkat konsentrasi atau arah fokus mereka dalam menghadapi dua situasi dalam waktu yang bersamaan. Hal ini juga bisa berdampak pada ketidakefektifan mereka dalam menghadapi dan menangani issue atau crisis yang sifatnya spontan, apalagi intensitas issue yang muncul cenderung besar. Belum lagi kemungkinan yang muncul dari peran ganda wanita sebagai PR yang terpaksa harus bekerja paruh waktu (under employment), sehingga membuat beban waktu, tenaga dan pikiran yang dialami wanita berkeluarga memunculkan dinamika emosional dan aturanaturan tersendiri diluar role perusahaan. Berbeda dengan laki-laki, peran tunggal yang mereka miliki secara tidak langsung memberikan akses atau kemudahan bagi mereka dalam memfokuskan satu masalah tertentu. Mereka juga lebih leluasa dalam menghadapi dinamika problem di lingkup perusahaan. Sehingga ketika dihadapkan pada issue perusahaan yang sifatnya spontan (issue yang tidak bisa ditebak kapan terjadinya), mereka bisa lebih efektif dalam menangani masalah tersebut. 121 Narasumber menyatakan pada dasarnya karakter dari industri pertambangan seperti Freeport, lebih sesuai dengan gender laki-laki yang bekerja didalamnya. Karakter disini dalam arti, bisa dilihat dari sisi kondisi dan situasi daerah operasional serta komitmen yang dimiliki oleh laki-laki itu sendiri. Tetapi tidak bagi wanita, background perusahaan yang ada secara tidak langsung dapat memunculkan keterbatasan wanita di industri pertambangan. Namun, dalam hal ini masing-masing dari mereka memiliki value yang tanpa disadari memberikan warna tersendiri dalam kondisi dan situasi tertentu. Misalnya : karakter keluwesan wanita yang secara tidak langsung memudahkan dirinya dalam berinteraksi baik keluar maupun kedalam, cirikhas perempuan dengan sebutan „talk active‟ menjadikan perempuan better two way communication, tingkatan emosional atau perasaan yang cenderung menghiasi jiwa perempuan dalam menghadapi suatu permasalahan membuat perempuan lebih fair atau tidak tega-an, berbeda dengan laki-laki yang lebih cool dalam menghadapi permasalahan, wanita cenderung memposisikan dirinya untuk bersifat netral sehingga mereka mampu menghasilkan judgement yang lebih baik, dan segala yang dilakukan penuh dengan ketelitian serta lebih diantisipasi terlebih dahulu. Beliau juga sedikit membahas mengenai keluh kesah menjadi seorang PR terutama bagi wanita bekerja dan berkeluarga. Disamping PR itu sendiri tanggungjawabnya berat mencakup ekspektasi orang lain terhadap mereka serta merefleksikan perusahaan, PR juga harus banyak memiliki keterampilan baik dalam hal lisan maupun tertulis. Serta kordinasi kerjasama yang cukup baik dan cakupan wawasan yang luas yang tidak hanya terpusat pada satu bidang tertentu saja, melainkan beberapa bidang lain yang ada kaitannya dengan seluk-beluk atau latar belakang perusahaan yang diwakilinya. 122 Lalu pengetahuan empati dalam berkomunikasi yang sifatnya semata-mata karena ketulusan, hal ini sangatlah penting mengingat kebutuhan akan dampak positif dari respect atau respons seseorang terhadap PR untuk bisa masuk dan menyampaikan komunikasi dengan baik. Sehingga diharapkan muncul pengertian dan pemahaman dari stakeholder terhadap apapun kondisi yang dialami perusahaan. Tidak hanya itu, beliau juga mengungkapkan bahwa adanya keterkaitan antara kondisi perusahaan dengan struktur management organisasi. Dalam arti, berhubung areal pekerjaan dari department corpcomm itu cukup luas maka dibutuhkan berbagai macam spesifikasi atau pembagian tugas kerja kedalam beberapa bagian atau sub yang lebih kecil lagi sehingga pekerjaan dapat tercover dengan mudah dan fokus pada arah tujuan yang ingin dicapai. Untuk narasumber kedua (laki-laki), secara umum ia mendasari semua unsur yang ada (baik laki-laki maupun perempuan) berdasarkan tingkatan kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing individu. Namun, disisi lain terlihat adanya kecenderungan peran dari nilai-nilai perempuan terhadap posisi PR dalam variasi situasi, kondisi dan konteks komunikasi terkait dengan kompetensi yang dimiliki. Hal ini digambarkan dari kemampuan berkomunikasi wanita saat menghadapi demonstran yang audience-nya dominan laki-laki, dalam hal ini sosok wanita juga membawa kemudahan untuk bisa masuk dan berinteraksi didalamnya. Tidak hanya itu, peran wanita dalam hal ini juga merefleksikan keterbatasan ruang gerak mereka dalam menjalani tugas dan fungsinya sebagai karyawan perusahaan, sehingga terkadang dapat membentuk batasan genderisasi tersendiri terhadap aturan-aturan yang muncul khususnya untuk konteks-konteks tertentu. Nuansa daya tarik personal wanita juga memunculkan suatu efek pola komunikasi yang cozy, tetapi narasumber tetap mengangkat kondisi fisik dan mental yang 123 kadang menjadi kendala utama dari masing-masing individu dalam melatar belakangi nilai gender di industri ini. Untuk narasumber ketiga (laki-laki), terdapat suatu gambaran mengenai aspek dari faktor ketidakleluasaan wanita dalam kaitannya terhadap ragam situasi dan kondisi perusahaan. Kembali beliau membahas mengenai peran lain serta self personal sosok wanita yang dalam hal ini menjadi salah satu penyebab dari faktor tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya peran laki-laki sangat dominan dibandingkan peran wanita khususnya untuk daerah site. Seperti yang telah dijelaskan diawal, hal ini terjadi mungkin karena adanya faktor situasi dari medan daerah operasional perusahaan. Dalam hal ini, feedback dari genderisasi itu sendiri memberikan beragam dimensi dari kondisi yang terjadi. Sedangkan mengenai Pandangan CEO Pada Kompetensi Komunikasi SDM PR, banyak versi yang memang menuntut PR untuk bisa memiliki kemampuan dan keterampilan yang bertolok ukur pada communication competence dalam penerapan bidang pekerjaan tertentu sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Misalnya untuk pandangan narasumber pertama, beliau mengawali pada pentingnya motivasi dalam memulai suatu jalinan hubungan komunikasi yang efektif dengan para stakeholder, motivasi tersebut bisa berupa feedback positif serta wujud kepuasan perusahaan terhadap kontribusi yang telah diberikan tentunya melalui keterampilan berkomunikasi dalam proses penerapannya. Keterampilan itu sendiri mempunyai batasan-batasan tertentu tergantung dari karakter masing-masing individu. Dalam hal ini, beliau mengakui memiliki batasan tersebut terkait dengan karakter kapasitas suara yang ia miliki. Ia juga menyadari kalau hal itu secara tidak langsung menghambat prakteknya dalam proses komunikasi, sehingga keberlangsungan proses tersebut dirasa kurang 124 maksimal untuk situasi tertentu. Disisi lain narasumber juga mengutarakan beberapa pondasi khusus yang mampu menopang lingkup communication skill, antara lain ; adanya out going personality yang baik (kemudahan dalam bergaul) karena hubungan baik hanya dapat dibina melalui pergaulan, penguasaan bahasa, keberanian untuk mampu mengungkapkan dan mengutarakan sesuatu dengan cara yang baik, memiliki wawasan yang luas, serta kemauan untuk mendalami beberapa bidang lain sesuai dengan latar belakang perusahaan tempat ia bekerja. Untuk pengetahuan beradaptasi dalam menjalin komunikasi terutama di daerah site, narasumber dituntut untuk bisa memahami batasan-batasan tersebut. Sebagai sosok perempuan ia cenderung memperhatikan penampilan sebagai salah satu faktor utama dalam keberlangsungan jalinan komunikasi yang efektif, baik dari caranya berpakaian maupun dalam bersikap dan bertingkah laku. Hal ini sangat menjadi prioritas sehubungan dengan dominasi pekerja laki-laki yang bekerja di daerah tersebut. Tidak hanya itu, ia juga mengungkapkan prinsip utama yang perlu diperhatikan dalam memulai komunikasi, yaitu dengan rasa saling menghargai, berpositive thinking, dan mencoba menyesuaikan dengan karakter budaya audience. Sehingga tujuan dan harapan yang ingin disampaikan dapat dengan mudah dikomunikasikan melalui maksud dan cara yang sebaik-baiknya. Sedangkan untuk pengetahuan berempati khususnya di saat posisi perusahaan sedang bermasalah, hal pertama yang narasumber terapkan ialah mengetahui dan memahami situasi serta masalah yang terjadi. Langkah kedua yaitu mempelajari target stakeholder yang terlibat baik dari segi karakter maupun kondisi yang dialami, memahami perasaan dan kekhawatiran yang mereka rasakan, mencoba memisahkan inti permasalahan yang muncul, lalu bagaimana posisi perusahaan dalam hal ini. Untuk bisa masuk kedalam satu suasana yang mungkin 125 agak sulit buat perusahaan, narasumber menjadikan beberapa aspek tersebut sebagai pedoman bagi dirinya dalam memulai proses empati sebelum masuk kepada tahapan komunikasi yang lebih lanjut. Dalam melakukan pendekatan komunikasi, narasumber tidak hanya mencoba untuk bisa masuk ke dalam satu lingkungan tertentu saja. Melainkan, berusaha untuk dapat masuk ke dalam perspektif dan pergaulan mereka sehari-hari melalui pembinaan hubungan interpersonal relationship yang maksimal. Seperti yang telah dijelaskan di awal, hubungan tersebut cenderung diimplementasikan dengan penyesuaian karakter dan budaya komunikan, memberikan rasa pengertian, serta berusaha untuk menyambungkan frame of reference antara kedua belah pihak. Dan tentunya ada keberlanjutan dari kesemua unsur tersebut, sehingga tidak hanya jalinan komunikasi yang sifatnya sementara tetapi ada suatu continuitas dari building relationship yang terbina. Keseluruhan aktifitas komunikasi tersebut tentunya harus bisa terukur dengan baik dalam suatu cara yang efektif melalui suatu pola yang disebut dengan interaction management. Dalam hal ini, bagaimana narasumber mengatur hubungan komunikasi secara berkesinambungan dengan pihak-pihak yang memiliki keterkaitan terhadap kepentingan perusahaan. Adapun tahapannya antara lain : perincian prioritas atau target yang diarahkan pada saat memulai suatu interaksi, membuat suatu maping atau pemetaan terhadap inti pesan yang ingin disampaikan. Sekiranya pesan-pesan mana saja yang harus didahulukan serta yang harus dijadikan daftar untuk prioritas selanjutnya. Kemudian membina hubungan komunikasi dengan asosiasi dan institusi terkait dengan perkembangan issue perusahaan, serta meng-up date informasi-informasi penting yang terjadi di sekitar lingkup institusi tersebut sehingga langkah antisipasi dapat ditempuh dengan mudah 126 pada saat perusahaan mengalami masa-masa krisis. Sama halnya dalam mengkomunikasikan suatu masalah, dimana dasarnya ialah pemetaan atau maping. Kalau diawal pemetaan ini menyangkut prioritas atau target pesan dalam memanage interaksi dengan stakeholder perusahaan, kali ini menyangkut pemetaan terhadap sumber masalah yang muncul melalui identifikasi masalah terhadap posisi perusahaan serta tindakan atau upaya-upaya yang harus dilakukan dari mulai kordinasi, empati dan adaptasi. Metode inilah yang juga menjadi tolak ukur bagi narasumber untuk penerapan conflict resolution dalam proses komunikasi. Secara umum kualifikasi kompetensi yang perusahaan butuhkan mencakup dari berbagai macam latar belakang disiplin ilmu yang ada, hal ini sehubungan dengan kondisi perusahaan yang terbagi kedalam berbagai sub atau bagian bidang tugas dan fungsi yang beragam. Gambaran inilah yang diungkapkan narasumber kedua dalam pandangannya terhadap kompetensi komunikasi SDM PR. Selain itu, beliau juga menyatakan bahwa pentingnya rasa saling menghargai, mengerti dan memahami dalam penerapan kompetensi komunikasi PR terhadap kelebihan dan kekurangan dari audience atau lawan bicara yang terlibat dalam proses komunikasi, sehingga dapat dengan mudah menentukan arah komunikasi yang ingin dituju. Untuk bisa masuk kedalam satu kondisi komunikasi yang belum terprediksikan, narasumber mencoba untuk mengawali proses adaptasinya melalui pengenalan dan penyesuaian terhadap apapun situasi yang mencerminkan baik itu budaya maupun konteks yang saat itu ia hadapi. Memprioritaskan tujuan komunikasi serta target komunikan yang ingin dicapai dan didukung dengan keterampilan komunikasi dalam proses implementasinya. Dalam hal ini, beliau cenderung menyesuaikan pada pola kultur bahasa yang diterapkan bagi keberlangsungan proses komunikasi yang bersahabat. Disamping itu, motivasi 127 untuk memperoleh pemahaman dan pengertian dari target khalayak juga menjadi salah satu unsur yang dijadikan pedoman oleh narasumber dalam membina proses keberlangsungan komunikasi yang baik. Seperti adanya motivasi untuk memperoleh first impression atau image yang positif di mata khalayak, motivasi untuk bisa dihargai, sampai kepada motivasi untuk mendapatkan pujian atau sanjungan dari pihak lain. Hal ini ternyata juga menjadi salah satu faktor penting yang narasumber jadikan sebagai motivasi dalam melancarkan proses hubungan komunikasi yang excellence. Sebagai komunikator yang baik narasumber ketiga menyatakan bahwa sudah seharusnya seorang PR mempunyai good interpersonal relationship, communication skill, kemampuan membina dengan baik hubungan komunikasi yang sifatnya vertikal maupun horizontal, kemampuan memahami dan mengerti posisi lawan bicara, pemahaman terhadap keseluruhan latar belakang perusahaan yang diwakili, serta pemahaman pada teknik-teknik dalam berinteraksi baik melalui proses adaptasi, empati, honest, dan apa adanya. Sedangkan untuk Pandangan CEO Pada Nilai Gender dan Kompetensi Komunikasi SDM PR, narasumber pertama mengungkapkan bahwa terdapat situasi dan kondisi-kondisi tertentu yang dimana terdapat perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Seperti untuk front liner, biasanya perusahaan akan mendelegasikan wanita untuk posisi ini. Hal ini dikarenakan secara fisicly wanita lebih ramah, lebih bersahabat, dan lebih mudah berinteraksi terhadap lawan bicaranya. Namun, narasumber juga mengatakan bahwa dalam hal ini wanita akan didampingi laki-laki apabila dalam casenya wanita sedang dalam keadaan emosional yang tinggi, sedangkan kliennya memerlukan penerimaan jawaban yang 128 berlogika tinggi dan jika si perempuan ini sedang tidak siap untuk menjadi orang yang lebih berlogika, maka narasumber akan memajukan yang laki-laki sebagai sosok yang lebih berlogika sehingga diharapkan menghasilkan suatu proses komunikasi yang efektif dan balance. Berbeda dengan narasumber kedua, beliau mengatakan bahwa pola komunikasi wanita yang bersifat persuasif sangat cocok dalam menangani situasi demonstrasi yang demonstrannya cenderung laki-laki, dalam hal ini wanita bisa lebih menenangkan. Namun, untuk penjelasan-penjelasan yang sifatnya konstruktif seperti pada saat melaporkan perubahan planning atau progress tertentu wanita kurang memiliki ketegasan. Oleh karenanya untuk kondisi yang seperti ini penjelasan yang sifatnya konstruktif itu lebih kepada laki-laki, dalam arti laki-laki bisa lebih tegas. Tidak hanya itu, narasumber juga mengungkapkan bahwa sikap wanita yang sangat care dan perhatian terhadap segala sesuatu hal membuat ia bisa dengan efektif membina dan memelihara hubungan interaksinya dengan pihak-pihak stakeholder perusahaan. Pola komunikasi yang terjalin tidak hanya bersifat sementara tetapi ada kelanjutan dari hubungan komunikasi yang terjalin sehingga membuat ia lebih dikenal di masyarakat. Sedangkan narasumber ketiga, mengakui kalau pengaruh peran laki-laki dan perempuan terhadap situasi dan kondisi tertentu lebih tergantung kepada bagaimana medan dan tuntutan pekerjaan seseorang. Jadi misalkan untuk audience yang dominan wanita terutama ibu-ibu, komunikasi akan sangat efektif jika ditangani oleh laki-laki sebagai komunikatornya. Sehingga opposite attrack inilah yang memudahkan proses adaptasi serta menjadikan suatu konteks hubungan komunikasi yang sangat baik. 129 Secara umum terdapat berbagai macam kondisi dan situasi yang mewarnai pandangan CEO pada nilai gender dan kompetensi komunikasi SDM PR. Keberagaman tersebut pada dasarnya muncul dari pengalaman serta kognisi narasumber terhadap ideologi gender yang mencakup segala aturan, nilai dan stereotype mengenai hubungan antara perempuan dan laki-laki melalui pembentukan identitas feminin dan maskulin. Tidak bisa dipungkiri bahwa memang terdapat keterkaitan baik antara faktor genderisasinya maupun kompetensi komunikasi seseorang terhadap latar belakang perusahaan serta lingkup bidang pekerjaan yang dijalani. Seperti pada gambaran di fokus pertama (Pandangan CEO Pada Nilai Gender SDM PR) ; dalam hal ini wanita memiliki fisik yang kurang maksimal sehingga kurang efektif dalam menjalani fungsinya terutama didaerah operasional tambang perusahaan (Papua), berbeda dengan laki-laki yang fisiknya lebih kuat sehingga bisa lebih maksimal dalam menjalani peran dan fungsinya dengan baik. Pertama, secara biologis faktor fisik menjadi kendala yang dominan baik dari pihak laki-laki terutama wanita. Daerah operasional perusahaan dan segala unsur-unsur yang mencakup didalamnya menuntut mereka untuk bisa bekerja mobile dan travelling. Hal ini secara tidak langsung menjadi tantangan tersendiri bagi peran dan fungsi yang mereka jalani di perusahaan. Tantangan itulah yang kadang menimbulkan batasan-batasan gender tersendiri dan bahkan memunculkan opposite attract yang efektif antara laki-laki dan perempuan terhadap lingkup bidang pekerjaan tertentu. Dari opposite attract inilah kita dapat melihat bahwa ternyata ada suatu nilai-nilai tertentu yang dimiliki masing-masing kubu. Nilai-nilai tersebut salah satunya bisa dilihat dari keluwesan perempuan dalam menghadapi suatu permasalahan. Keluwesan ini pada dasarnya muncul dari tingkat emosionalnya wanita yang tanpa disadari membuat ia menjadi balance. Maksudnya ialah dalam 130 melihat suatu masalah ia cenderung melibatkan emosi terlebih dahulu sehingga mau tidak mau emosi itu harus dipecahkan sebelum melibatkan logika dengan begitu ia bisa tahu apa yang selanjutnya harus dilakukan. Keluwesannya perempuan diakui dapat menimbulkan suatu pengertian dan bisa fleksibel dalam memahami situasi dan kondisi tertentu. Kedua, adanya peran lain diluar peran dan fungsi mereka di perusahaan khususnya bagi para wanita yang bekerja dan berumah tangga. Dalam hal ini peran mereka sebagai seorang ibu memberikan suatu dilema yang mewarnai kondisi pekerjaan mereka di kantor, apalagi industri yang mereka masuki ini tergolong industri manufaktur yang sifatnya berat sehingga mempengaruhi aspek waktu, tenaga dan pikiran mereka di lingkungan kerja. Yang pada akhirnya muncul aturan gender tersendiri dari pihak perusahaan misalnya untuk wanita hamil mereka terpaksa untuk tidak ditugaskan keluar daerah operasional sehingga ada beberapa peran dan fungsi yang sedikit terhambat akibat peran tersebut. Sedangkan peran lain dari laki-laki lebih kepada adanya jalinan kerjasama dengan institusi lain diluar perusahaan sehingga mempengaruhi kinerja peran dan fungsi mereka di perusahaan tempat ia bekerja. Ketiga, Adanya nilai yang melekat dari sosok laki-laki dan perempuan itu sendiri. Dimana salah satu dari beberapa nilai tersebut menggambarkan kalau perempuan identik dengan keluwesan, ramah dan emosional sedangkan laki-laki lebih kepada logika dan ketegasan. Sehingga nilai tersebut tanpa disadari juga memberikan efek terhadap jenis pekerjaan yang dihadapi. Sha argued that feminization would make Public Relations more ethical in appearance and practice. Larissa Grunig, Dozier, and rakow have suggested the prevalence of women would introduce characteristic : such as collaboration, 131 sensitivity towards audiences, and better two way communication. Grunig et al. argue that Public Relations is an industry founded on feminist values, such as honesty, justice, and sensitivity, which enhance the symmetrical communication patterns of Public Relations furthermore, the two way symmetrical model of Public Relations requires resolving conflict and building relationships, which they indicate are intrinsically „feminine‟ values. Dalam teori ini dikatakan bahwa feminis value dapat membuat PR menjadi lebih efektif dalam prakteknya. Beberapa peneliti lain menyatakan bahwa ada empat karakteristik nilai dari sosok wanita antara lain kepekaan terhadap lawan bicara dan two way communication yang baik. Mereka juga menambahkan bahwa PR dibeberapa industri sering ditemukan dengan karakter feminis valuenya seperti kejujuran, keadilan, dan kepekaan dimana itu semua didukung dengan pola komunikasi simetrik dan two way symmetrical model dalam pemecahan konflik dan pembangunan relasi yang efektif. Dari pernyataan diatas dapat dianalisis bahwa memang ada suatu bentuk kepekaan yang sangat kuat yang dimiliki wanita khususnya dalam konteks komunikasi yang sifatnya interpersonal. Tanpa disadari kepekaan tersebut memunculkan keluwesan dalam diri wanita yang tidak hanya terlihat dari cara dia berkomunikasi tetapi juga terlihat dari cara mereka dalam memahami suatu kondisi yang terjadi. Sedangkan untuk two way communication yang ada dalam feminis value sebenarnya tidak hanya melekat pada diri wanita saja, tetapi juga ada pada sosok laki-laki namun dalam satu konteks yang berbeda. Kalau dalam hal justice perempuan lebih dilihat dari sudut pandang emosionalnya sehingga ia dapat memposisikan dirinya netral dalam membuat suatu judgement yang lebih baik. 132 Keempat, kondisi lingkungan daerah operasional perusahaan di Papua yang sangat riskan khususnya bagi PR wanita sehingga membatasi gerak ruang mereka dalam bekerja, mereka kurang memiliki keleluasaan dan fleksibilitas dalam menjalankan fungsinya dalam arti mereka dituntut untuk lebih berhati-hati dan menjaga dirinya serta keprofesionalannya dengan baik. Kelima, pengaruh dari status individu seperti : biasanya untuk penugasan kerja didaerah jobsite khusus untuk karyawan yang baru ditugaskan disana apalagi wanita yang masih muda dan single, peran dan fungsinya agak kurang diperhatikan karena pada dasarnya peran laki-lakilah yang lebih dominan ketimbang wanita. Tidak hanya itu, untuk penugasan daerah biasanya cenderung ke pihak laki-laki baik single maupun yang sudah berkeluarga. Kalau wanita mungkin ada beberapa yang ditugaskan, namun jenjang waktunya tidak lama seperti laki-laki apalagi bagi mereka yang sudah berumah tangga karena memang ada dispensasi dan pengertian dari pihak perusahaan khususnya bagi wanita bekerja dan berumah tangga. Keenam, pemilihan jam kerja (shift) secara tidak langsung juga mempengaruhi, dimana untuk shift malam biasanya cenderung ke laki-laki. Hal ini terjadi karena kondisi dan lingkungan di site yang sangat riskan bagi wanita khususnya dimalam hari. Dan Ketujuh, kondisi mental dan psikologi wanita yang lemah menyebabkan ia mudah tertekan dan stres dalam menghadapi kondisi kerja di daerah site (Papua), sehingga sangat berdampak pada keefektifan cara mereka dalam bekerja. Aldoory argued that only four specialist industry areas were significantly more male than female-oriented, and those specialties entailed areas of expertise that were traditionally male-dominated : technology, finance, sports, and industry. Tidak dipungkiri bahwa memang untuk industi-industri tertentu peran laki-laki bisa 133 lebih dominan dari pada wanita. Khususnya untuk industri-industri manufaktur yang sifatnya berat seperti pertambangan. Pertambangan itu sendiri secara garis besar memiliki karakteristik yang berbeda-beda, dalam hal ini jika ditelaah dari situasi dan kondisi medan operasional perusahaan, Freeport termasuk kedalam karakter industri pertambangan yang sangat menuntut maskulinitas. Sehingga menjadi suatu dilemma tersendiri yang menghiasi peran wanita dalam menjalani fungsinya, mengapa ? karena pada saat ia masuk kedalam satu field yang notabennya field itu merupakan dunia kerjanya laki-laki maka secara otomatis mereka dituntut untuk bisa seperti laki-laki, dalam artian dituntut untuk mampu memahami fieldnya. Sedangkan Self personal wanita baik dari segi fisik maupun mental terhadap situasi kerja perusahaan khususnya didaerah site membawa berbagai macam resiko yang lebih besar. Terutama pada masalah sexual harensment yang sering sekali terjadi didaerah tersebut. Hal ini dikarenakan dominasi pekerja laki-laki, sehingga menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi keleluasaan wanita dalam menjalani tugasnya dengan baik. Keadaan tersebut kadang membawa efek psikologis bagi laki-laki, mereka mudah “stress” hal ini bukan hanya karena faktor pekerjaan tetapi juga karena adanya carnal of sexual desire yang tidak tersalurkan dalam diri lakilaki sehingga dapat berdampak juga pada pekerjaan mereka. Pada dasarnya wanita juga turut mengalami hal itu, namun penyebabnya bukan karena carnal of sexual desire tetapi lebih kepada karakter daerah operasional perusahaan yang sangat remote. Biasanya gejala tersebut sering sekali muncul pada wanita dengan usia muda yang terbilang baru mendapatkan penugasan di wilayah site. Tanpa disadari peran mereka juga kurang begitu diperhatikan sebagai seorang karyawan, sebaliknya peran laki-lakilah yang sangat dominan. Hal ini mungkin dikarenakan 134 baik fisik maupun mental laki-laki bisa lebih menyesuaikan dengan karakteristik pertambangan Freeport yang sifatnya berat. Bagi wanita bekerja dan berkeluarga hal tersebut akan menjadi suatu dilemma tersendiri yang harus dilalui khususnya dalam hal waktu, tenaga dan pikiran. Hal ini dikarenakan adanya peran ganda wanita yang justru menempatkannya pada posisi yang semakin membelenggu. Kebelengguan tersebut sangat terlihat jelas dari tingkat konsentrasi dan arah fokus yang kadang menjadi satu masalah bagi wanita dalam menghadapi dua konteks (keluarga dan lingkungan kerja) yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Berbeda dengan lakilaki, peran tunggal yang mereka miliki membawa kedalam sebuah posisi yang tidak terlalu rumit seperti apa yang dialami wanita. Tidak hanya itu, intensitas waktu bekerja bagi wanita berkeluarga tidak terlalu banyak mempunyai space seperti pada jam-jam lembur kerja. Kalau untuk laki-laki hal ini mungkin masih bisa dilakukan apalagi bagi mereka yang single. Sehingga pekerjaan yang sebelumnya belum sempat dikerjakan masih bisa terhandle dengan baik melalui kefleksibelan waktu yang mereka miliki. Tetapi hal ini tidak berlaku bagi wanita, bekerja paruh waktu membuat mereka sulit untuk menghandle pekerjaan mereka dikantor ditambah perannya sebagai seorang ibu, sehingga intensitas kesibukan yang mereka miliki lebih besar sedangkan waktu yang dimiliki sangat terbatas. Pada dasarnya terdapat Peran-peran lain yang juga muncul dan tidak hanya dirasakan dari kubu wanita saja, secara tak langsung faktor tersebut memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap kondisi kerja, namun konteksnya mungkin agak sedikit berbeda. Dampaknya-pun tidak terlalu riskan seperti apa yang dialami 135 wanita. Dan kadang peran-peran tersebut bisa memunculkan beberapa aturan-aturan gender tersendiri diluar rule perusahaan. Lain halnya pada fokus kedua dan ketiga : pada dasarnya pihak perusahaan mempunyai kualifikasi khusus terkait perekrutan tenaga kerja yang diperlukan. Biasanya terdiri dari berbagai disiplin ilmu sesuai dengan luasnya karakter bidang lingkup departemen PR yang perusahaan butuhkan dan mencakup beberapa faktor seperti : ukuran dan cakupan tugas, spesialisasi dan pengalaman, keseimbangan sumber daya internal / eksternal, serta tingkat input strategik lawan implementasi. Dan tentunya bertolok ukur pada beberapa dimensi khusus terkait communication competence PR yang antara lain terdiri dari : communication knowledge, communication skill & communication motivation. Dimensi pertama intinya diawali dengan pemahaman terhadap situasi dan kondisi yang dihadapi melalui suatu proses pemetaan target atau prioritas yang ingin dicapai, sehingga tahapan adaptasi, empati, dan manajemen interaksi dapat dengan sendirinya berjalan mengikuti proses tersebut secara efektif. Dimensi kedua “communication skill”, ada banyak cara yang diterapkan oleh masing-masing PR. Namun, landasan utamanya tetap pada positive thinking, saling menghargai dalam melakukan pendekatan komunikasi yang tidak hanya melalui proses formal saja tetapi juga melalui pembinaan interpersonal relationship seperti : bergaul, melakukan pertemanan, melakukan perbincangan layaknya seperti seorang yang memiliki kedekatan dengan lawan bicara serta adanya keberlanjutan dari pemeliharaan suatu hubungan komunikasi tersebut. Sedangkan “communication motivation” dalam arti ada satu dorongan yang membuat PR untuk melakukan sesuatu sehingga dalam hal ini ia punya target tujuan yang ingin diraih. 136 Ketiga aspek itulah yang dijadikan PR sebagai pedoman dalam praktek kesehariannya, namun bagi setiap individu mungkin beberapa hal tersebut dapat menjadi hambatan personal terkait keterbatasan yang mereka miliki. Misalnya saja dalam hal kapasitas suara yang dirasakan wanita sebagai satu kendala tersendiri saat menerapkan pola komunikasi yang sifatnya public speaking, tetapi tidak untuk interpersonal communication. Dalam hal ini, mereka bisa masuk dan membawa diri mereka dengan mudah untuk terlibat dalam proses komunikasi. Khusus di daerah site pengetahuan adaptasinya wanita dalam berkomunikasi lebih kepada penyesuaian terhadap sikap dan penampilannya mereka serta bahasa yang mereka sesuaikan dengan budaya disana. Dalam kancah komunikasi diakui kalau wanita pada dasarnya selalu mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan laki-laki dalam berkomunikasi. Namun, mentalnya laki-laki dikatakan bisa lebih siap dibandingkan wanita dalam memulai suatu komunikasi yang bersifat struktural. Contohnya pada saat kenaikan posisi atau jabatan dalam struktur organisasi perusahaan, narasumber mengakui bahwa dalam hal ini laki-laki lebih cenderung dipromosikan ketimbang wanita hal ini ia katakan karena keberanian dari mentalnya laki-laki sendiri untuk berbicara kepada atasan terkait hal tersebut. Berbeda dengan wanita yang cenderung untuk diam sehingga pihak atasan akan berpersepsi kalau dia telah merasa puas dengan posisi yang dia jalani saat ini, padahal dia memiliki loyalitas bekerja yang lebih lama dibandingkan laki-laki. Karena ketidaksiapan mental inilah yang mungkin membuat perempuan tersubordinat dalam organisasi. Sikap komunikasinya wanita cenderung persuasif dengan gaya bicara yang lebih bersifat instruktif, namun disisi lain dia bisa dengan baik memaintain pola komunikasinya baik dalam organisasi maupun dengan pihak eksternal organisasi. Berbeda dengan laki-laki yang lebih konstruktif sehingga dirasa lebih tegas dalam memberikan suatu 137 penjelasan yang sifatnya formal. Tidak hanya itu, jika dilihat lebih mendalam ternyata laki-laki juga dalam hal ini memiliki satu keluwesan tersendiri misalnya dalam hal mengkomunikasikan ide-ide serta menjawab dan menjabarkan satu masalah tertentu kepada lawan bicaranya. Kecenderungan emosional yang wanita miliki membuat dia dalam mengkomunikasikan sesuatu atau dalam menyampaikan maksud dan tujuannya menjadi lebih menyenangkan, cara berkomunikasinya yang bersifat persuasive membuat dia selalu memiliki pengaruh yang cukup besar dalam berkomunikasi baik sebagai frontliner maupun sebagai penengah, karena secara fisicly saja wanita lebih dihormati, lebih disegani, ramah, dan lebih bersahabat. Sehingga kalau dikatakan yang terpenting adalah kompetensi komunikasi, memang diperlukan tetapi tanpa disadari faktor-faktor tersebut juga memberikan sumbangan yang besar terhadap efek dari lancarnya keberlangsungan komunikasinya wanita. 138 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Proporsi nilai gender antara laki-laki dan perempuan sebenarnya memiliki perbedaan karakteristik tertentu. Dan tanpa disadari nilai-nilai tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap situasi dan kondisi bahkan suatu profesi yang dijalani. Disisi lain terlihat adanya suatu gambaran dari masing-masing kubu baik dari pihak laki-laki maupun wanita terkait kompetensi komunikasi yang dimiliki. Cara pandang CEO terhadap hal tersebut pada dasarnya muncul dari berbagai karakteristik dan nilai-nilai individu sebagai objek gambaran peneliti serta diadopsi dari sudut pandang kognisi dan pengalaman CEO sendiri terhadap stereotype yang berkembang dilingkungan sosial. Sehingga menimbulkan suatu keterkaitan antara kedua unsur gender dan kompetensi komunikasi pada proporsi dari masing-masing peran dan fungsi mereka di perusahaan. Sehingga kesimpulan yang dapat diambil penulis dalam riset mengenai Pandangan CEO Pada Nilai Gender dan Kompetensi Komunikasi SDM Public Relations di Perusahaan PT. Freeport Indonesia Jakarta, adalah : 1. Secara garis besar, Pandangan CEO Pada Nilai Gender SDM PR antara lain mencakup faktor fisik, peran, rule dan value yang menghiasi masing-masing individu baik laki-laki maupun perempuan. Beberapa faktor tersebut secara tidak langsung memberikan suatu nuansa yang berpengaruh terhadap peran dan fungsinya di perusahaan. 139 2. Untuk kompetensi komunikasi dalam hal ini, terdapat gambaran dari masing-masing kompetensi komunikasi baik yang dimiliki wanita maupun laki-laki. Secara garis besar dalam berkomunikasi wanita selalu mempunyai pengaruh atau tingkat persuasif yang lebih dominan terhadap lawan bicaranya dibanding laki-laki. Physicly, emosional serta nilai yang wanita miliki membuat kemampuan adaptasi, dan empatinya wanita lebih efektif. Tidak hanya itu, ketiga unsur tersebut juga membuat interpersonal communication dan hubungan relasi yang terjalin menjadi lebih mudah. Namun, terkadang kondisi emosionalnya wanita bisa membuat ia menjadi terhambat khususnya dalam pola komunikasi yang sifatnya logika. Sehingga sering memunculkan kebimbangan tersendiri dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, dalam menjelaskan sesuatu hal khususnya yang bersifat formal, penjabarannya wanita kurang konstruktif. Dalam menjelaskan dan menyampaikan pesan ia cenderung menggunakan kalimat atau kata-kata yang bersayap dan maknanya luas sehingga membutuhkan waktu yang panjang dalam menjelaskan sesuatu, gaya bicaranya lebih seperti seorang instruktur sehingga akan dianggap orang lain seperti menggurui. Sedangkan laki-laki lebih bersifat konstruktif atau lebih tegas dalam menjelaskan sesuatu hal yang sifatnya formal, laki-laki memiliki strong mental endurance yang menjadi kelebihan dalam memulai suatu proses komunikasi keatas dan dalam menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan sehingga membuat ia tidak tersubordinasi dalam organisasi. Berbeda dengan wanita yang mentalnya cenderung kurang memiliki keberanian dalam memulai suatu komunikasi keatas sehingga membuat mereka tersubordinasi dalam organisasi. 140 Secara profesional laki-laki memiliki modal komunikasi yang baik dalam arti penggunaan dan pemilihan bahasa yang digunakan tepat dalam menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan. Walaupun ia seorang laki-laki tetapi ia bisa luwes dan tidak kaku khususnya dalam menyampaikan ide, keinginan, serta dalam menjawab dan menjabarkan suatu masalah kepada lawan bicaranya, skill yang ia miliki lebih cenderung kepada tipe-tipe seorang marketing. 3. Berdasarkan Pandangan CEO Pada Nilai Gender dan Kompetensi Komunikasi SDM PR dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa untuk posisi visitor group (exsternal relation) perusahaan cenderung menempatkan peran laki-laki dibanding wanita. Cara berkomunikasinya wanita yang bersifat persuasif cocok untuk situasi demonstrasi khususnya dalam menangani demonstran yang dominan laki-laki. Untuk di wilayah site (Papua), opposite attract dalam arti lakilaki><wanita menjadikan kinerja pola komunikasi yang baik dan efektif. Sedangkan keluwesan yang laki-laki miliki lebih kepada kemudahan dalam menyampaikan ide dan keinginan yang ingin ia sampaikan. Terutama dalam hal menjawab dan menjabarkan suatu masalah kepada lawan bicaranya sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Misalnya dalam hal membalas dan menjawab email, memberikan penjelasan kepada klien atau dari antar sesama karyawan dsb. Bahasa dan penggunaan kata-kata yang ia terapkan bisa diplomatis sehingga dianggap efektif dalam hal ini. Gaya bicaranya wanita yang cenderung menggunakan kata-kata yang bersayap dan melebar layaknya seperti instruktur, dianggap kurang efektif dalam memberikan satu solusi jangka pendek dalam konteks atau keadaan yang sifatnya darurat dan urgent. Ketelitian, kedetailan serta keramahan wanita cenderung diposisikan sebagai front liner khususnya untuk hubungan keluar (external 141 relations). Namun, dalam hal ini akan didampingi laki-laki khususnya untuk penjelasan yang sifatnya membutuhkan logika tinggi. Wanita lebih fair terhadap apa yang ia hadapi, dan hal ini membuat mereka selalu mencoba untuk memposisikan diri mereka netral dan dalam posisi netral inilah mereka dapat membuat judgement yang lebih baik. Untuk penjelasanpenjelasan yang sifatnya tegas dan upward communication, dibutuhkan sosok lakilaki yang dalam hal ini pola komunikasi mereka lebih konstruktif dibanding wanita. 5.2. Saran Adapun saran yang dapat penulis berikan terkait dengan permasalahan penelitian ini, yang nantinya diharapkan dapat bermanfaat pada waktu berikutnya, antara lain : 1. Untuk konsep genderisasi penulis menyarankan agar CEO khususnya laki-laki memiliki pandangan yang tidak hanya didasarkan pada fungsi management , tetapi juga pada fungsi terhadap gender itu sendiri (peran lain diluar peran dan fungsi mereka di perusahaan) baik laki-laki maupun perempuan. Karena biar bagaimanapun juga tentunya terdapat keterkaitan yang dapat digali untuk dianalisis secara mendalam antara peran mereka sebagai karyawan dengan peran mereka diluar perusahaan dengan nilai-nilai yang muncul baik itu masculine maupun feminist value serta kompetensi komunikasi yang mereka miliki terhadap konteks bidang pekerjaan tertentu. 2. Untuk kompetensi komunikasi penulis menyarankan agar CEO dapat memberikan kualifikasi kompetensi komunikasi yang lebih spesifik lagi. Sehingga dapat diketahui dan dipahami dengan jelas seperti apa penerapan 142 communication competence PR dalam kaitannya dengan nilai gender dari masing-masing individu dalam menjalankan peran dan fungsinya di perusahaan. 3. Dapat menciptakan suatu keluwesan tersendiri khususnya untuk para CEO lakilaki agar kemudahan adaptasi dalam proses komunikasi dapat berjalan dengan baik. 4. Saran akademis penulis, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan masukkan bagi penelitian selanjutnya yakni mengenai nilai gender dan kompetensi komunikasi untuk dapat digali lebih dalam lagi dengan menggunakan metode penelitian yang berbeda. Seperti pada bagaimana sesungguhnya citra diri perempuan dan laki-laki terhadap profesi PR di Indonesia serta bagaimana proporsi dari perbandingan diantara keduanya di dunia kerja terkait dengan penempatan posisi mereka pada organisasi. Sehingga diharapkan dapat mengungkap suatu pemahaman secara mendalam lagi mengenai warna gender terhadap lingkup organisasi. Walaupun isu gender mungkin bagi sebagian orang bukan menjadi suatu hal yang patut diperbincangkan lagi, tetapi apabila kita teliti secara seksama masih ada hal-hal kecil yang memang berpengaruh terhadap keberadaan dan eksistensi gender itu sendiri di dunia kerja. Dan penulis meyakini bahwa sebenarnya konsep gender PR ini dapat menjadi suatu fenomena penelitian yang unik dan menarik untuk kita pahami bersama.