PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI STUDI KASUS : LESBIAN DALAM MIXED ORIENTATION MARRIAGE Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Disusun Oleh : Tiara Dewantari 129114004 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI STUDI KASUS : LESBIAN DALAM MIXED ORIENTATION MARRIAGE Disusun Oleh : Tiara Dewantari NIM : 129114004 Telah disetujui oleh : Dosen Pembimbing, Dr. Tjipto Susana, M. Si. Tanggal : ii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI STUDI KASUS : LESBIAN DALAM MIXED ORIENTATION MARRIAGE Dipersiapkan dan ditulis oleh : Tiara Dewantari NIM : 129114004 Telah dipertanggungjawabkan di depan Panitia Penguji pada tanggal 12 Januari 2017 dan dinyatakan telah memenuhi syarat Susunan Panitia Penguji Nama Penguji Tanda Tangan Penguji 1 : Dr. Tjipto Susana, M. Si. ____________ Penguji 2 : C. Siswa Widyatmoko, M. Psi., Psi. ____________ Penguji 3 : M. L. Anantasari, M. Si. ____________ Yogyakarta, Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Dekan, Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. iii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Ia menyanyikan sajak tentang hidup yang adalah toples sejuta rasa. Maka ujarnya, tidak mungkin mengartikan bahagia sebagai sekedar senang dan terbang saja. Tuhan menciptakan semarak hidup gono gini gitu, sejatinya agar dunia menjadi tidak semembosankan itu. Untuk papa dan mamaku.. Untuk kakak dan adikku.. Untuk kamu.. iv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah. Yogyakarta, 12 Januari 2017 Peneliti, Tiara Dewantari v PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI STUDI KASUS : LESBIAN DALAM MIXED ORIENTATION MARRIAGE Tiara Dewantari ABSTRAK Heteroseksisme menyebabkan banyak homoseksual, termasuk lesbian, memilih menikah dengan lawan jenis dan menjalani mixed orientation marriage untuk terhindar dari stigma negatif dan diskriminasi. Meskipun demikian, kebanyakan pernikahan tersebut ternyata mengalami kegagalan dan tidak bertahan lebih dari tiga tahun lamanya. Ketika ditemukan adanya lesbian yang mampu membina pernikahan sampai memasuki fase stabil dengan lawan jenis, hal tersebut menjadi suatu kasus yang unik karena sangat jarang terjadi. Studi kasus eksploratif dilakukan terhadap dua orang lesbian yang sedang menjalani pernikahan dengan lawan jenis dengan usia pernikahan lebih dari tiga tahun. Penilitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran dasar yang menyeluruh mengenai kehidupan individu lesbian yang terlibat dalam mixed orientation marriage. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara semi terstruktur, kemudian data dianalisis menggunakan metode analisis isi kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mixed orientation marriage membawa individu lesbian dalam situasi yang sangat kompleks dan problematik. Selain banyak mengalami emosi negatif, individu terus menerus dihadapkan pada konflik di dalam diri maupun konflik dengan suami dan lingkungan sekitar. Meskipun pernikahan telah berlangsung cukup lama, individu lesbian di dalam penilitian ini tetap memiliki keinginan untuk bercerai dan sedang memikirkan cara untuk berpisah dari pasangan tanpa memunculkan kecurigaan terkait orientasi homoseksual yang mereka miliki. Kata kunci : heteroseksisme, lesbian, mixed orientation marriage vi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI CASE STUDY : LESBIAN IN MIXED ORIENTATION MARRIAGE Tiara Dewantari ABSTRACT Heterosexism causes many homosexuals, including lesbian, chose to marry the opposite sex and undergo mixed orientation marriage to avoid the negative stigma and discrimination. However, most of the marriage turned out to be a failure and do not last more than three years. It becomes a unique case when there is lesbian who’ve been able to foster a long term marriage with the opposite sex. Explorative case study conducted on two lesbians who are undergoing more than three years marriage with the opposite sex. This research aims to get a thorough basic overview about the lives of lesbians who are involved in mixed orientation marriage. Qualitative data collection is done by using a semistructured interview method, then analyzed using content analysis method. The results showed that the mixed orientation marriage takes lesbian to a very complex and problematic situation. Besides experiencing a lot of negative emotions, lesbian constantly faced with the conflict within herself or conflict with their husbands. Although the marriage has been aged more than three years and lasts long enough, lesbians in this research still has the will to divorce. Both individuals were figuring out how to separate from their partner without raises suspicions related to their homosexual orientation. Keywords : heterosexism, lesbian, mixed orientation marriage vii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Tiara Dewantari NIM : 129114004 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : “STUDI KASUS : LESBIAN DALAM MIXED ORIENTATION MARRIAGE” beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lainnya untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Dibuat di : Yogyakarta Pada tanggal : 12 Januari 2017 Yang menyatakan, Tiara Dewantari viii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis diberi kesempatan untuk menyelesaikan skripsi berjudul “Studi Kasus : Lesbian dalam Mixed Orientation Marriage” sebagai syarat untuk memperolah gelar Sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa dukungan, bimbingan dan bantuan dalam bentuk apapun dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada : 1. Ibu Dr. Tjipto Susana selaku dosen pembimbing, terimakasih atas kesabaran ibu dalam membimbing serta memberi saran, nasihat dan semangat kepada saya. 2. Dosen dan karyawan Fakultas Psikologi, terimakasih karena sudah memberikan pengetahuan, pelajaran dan pengalaman berharga selama saya menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma. 3. Kedua narasumber yang dengan sangat terbuka mau berbagi cerita hidup dan pelajaran yang berharga kepada saya. 4. Mama, papa, Mbak Nicki dan Rhaka yang tidak pernah lelah memperhatikan, mendoakan dan mendukung dengan caranya masingmasing. 5. David, teman menulis cerita. Terima kasih karena selalu sabar menghadapi hujan dan matahari. Terimakasih karena selalu percaya dan tak pernah lelah mengingatkan bahwa saya bisa. ix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6. Dara, Rien, Rikjan, PP, Shela, Radit, Cuki, Narissa, Cia, Tiffa, Raras, Mbak Tata, Rezky, Milo, Lava dan semua teman-teman lain yang menemani perjalanan kuliah, mulai dari semester awal hingga saat-saat akhir berjuang menyelesaikan skripsi. Terimakasih karena telah memberi warna dan menjadi tawa dan semangat. 7. Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, terimakasih atas bantuan dan dukungannya selama ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak keterbatasan, kekurangan dan kesalahan yang peneliti lakukan dalam menyusun tulisan ini. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan skripsi ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan membantu orang lain. Terimakasih. Yogyakarta, 12 Januari 2017 Tiara Dewantari x PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL............................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ...................................... ii HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... iii HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN................................................... iv HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................... v ABSTRAK ............................................................................................................ vi ABSTRACT ........................................................................................................... vii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .......................... viii KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ................................................................................................ xv DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................ 10 C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 11 D. Manfaat Penelitian................................................................................. 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Lesbian .................................................................................................. 13 1. Definisi dan Label Gender ............................................................... 13 2. Relasi Lesbian .................................................................................. 15 xi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3. Ibu Lesbian ....................................................................................... 18 4. Lesbian di dalam Masyarakat........................................................... 23 B. Relasi Interpersonal ............................................................................... 26 1. Bentuk Relasi Interpersonal ............................................................. 26 2. Komunikasi dalam Relasi Interpersonal .......................................... 26 3. Konflik dalam Relasi Interpersonal ................................................. 28 C. Mixed Orientation Marriage ................................................................. 30 1. Kontinum Mixed Orientation Marriage .......................................... 31 2. Alasan Individu Homoseksual Menikah Secara Heteroseksual ....... 34 3. Bentuk Mixed Orientation Marriage ............................................... 36 4. Penyesuaian Pernikahan dalam Mixed Orientation Marriage ......... 38 5. Individu Heteroseksual dalam Mixed Orientation Marriage ........... 42 D. Lesbian dalam Mixed Orientation Marriage ........................................ 44 E. Kerangka Penelitian ............................................................................... 46 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ...................................................................................... 49 B. Fokus Penelitian .................................................................................... 50 C. Subjek Penelitian ................................................................................... 51 D. Prosedur Penelitian................................................................................ 51 E. Metode Pengumpulan Data.................................................................... 52 F. Analisis Data .......................................................................................... 56 G. Reliabilitas dan Validitas Data .............................................................. 57 xii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Persiapan Penelitian .............................................................................. 59 B. Pelaksanaan Penelitian .......................................................................... 60 C. Hasil Penelitian ...................................................................................... 62 1. Kesadaran Akan Orientasi Homoseksual ......................................... 62 2. Menyembunyikan Orientasi Homoseksual ...................................... 65 3. Motif Menikah ................................................................................. 67 4. Relasi Dengan Suami ....................................................................... 69 a. Relasi Emosional ......................................................................... 69 b. Relasi Seksual .............................................................................. 71 5. Konflik Dengan Suami ..................................................................... 73 6. Kehadiran Anak ............................................................................... 77 7. Dampak Pernikahan ......................................................................... 80 a. Perasaan dan Pikiran Negatif Diri .............................................. 80 b. Perasaan Terhadap Orang Lain.................................................... 82 c. Konflik Intrapersonal ................................................................... 83 d. Relasi Sosial ................................................................................ 85 e. Relasi Homoseksual ..................................................................... 87 8. Strategi Coping ................................................................................ 89 9. Persiapan / Visi Masa Depan .......................................................... 90 D. Pembahasan ........................................................................................... 93 E. Learning Point ....................................................................................... 106 xiii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ........................................................................................... 109 B. Kontribusi Penelitian ............................................................................. 110 C. Keterbatasan Penelitian ......................................................................... 111 D. Saran ...................................................................................................... 112 1. Bagi Penelitian Selanjutnya ............................................................. 112 2. Bagi Individu Lesbian ...................................................................... 113 3. Bagi Psikolog dan Konselor ............................................................. 114 4. Bagi Orangtua dan Calon Orangtua ................................................. 114 5. Bagi Komunitas LGBT ..................................................................... 115 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................xvii LAMPIRAN ........................................................................................................xxii xiv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR TABEL Tabel 1. Guideline Pertanyaan Wawancara ........................................................ 53 Tabel 2. Ringkasan Kegiatan Pengambilan Data Penelitian ............................... 61 Tabel 3. Data Demografis Subjek ....................................................................... 62 xv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Informed Consent ........................................................................... xxii Lampiran 2 Koding Subjek I .............................................................................. xxiii Lampiran 3 Koding Subjek II .......................................................................... xxiv Lampiran 4 Member Checking ........................................................................... xxv xvi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ciri dan tugas perkembangan makhluk hidup adalah melakukan reproduksi. Makhluk hidup, termasuk manusia, harus melakukan prokreasi untuk melanjutkan keturunan dan mempertahankan spesies (Guntur, 2015). Reproduksi hanya dapat terjadi apabila dilakukan oleh manusia yang berlainan jenis kelamin. Pelaku seks sesama jenis tidak akan dapat memiliki keturunan biologis sehingga tidak dapat melanjutkan keturunan spesies. Oleh sebab itu, kehadiran homoseksualitas membawa sebuah dilema tersendiri. Fakta bahwa homoseksual tidak dapat melakukan prokreasi membawa masyarakat pada sebuah anggapan bahwa homoseksualitas merupakan penyimpangan yang merugikan. Stigma bahwa homoseksual merupakan hal yang tidak normal ini diperkuat oleh pandangan yang dikemukakan oleh bidang kesehatan mental Freudian, dimana dikatakan bahwa homoseksual terbentuk oleh terhambatnya perkembangan psikoseksual yang normal (Ben-Ari, 2001). Apalagi, tiga agama terbesar di dunia, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam, memandang homoseksual sebagai sebuah dosa (Ben-Ari, 2001). Alasan-alasan tersebut menyebabkan terbentuknya ideologi heteroseksisme. Heteroseksisme merupakan sebuah sistem ideologi yang menyangkal, menilai buruk dan menstigmatisasi segala bentuk non-heteroseksual, baik dalam perilaku, identitas, relasi mupun komunitas (Herek dalam Ben-Ari, 1 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2 2001). Dalam masyarakat global, termasuk Indonesia, homoseksual dianggap menyalahi aturan perkawinan, karena berlaku hukum bahwa seseorang harus berpasangan dengan lawan jenisnya, bukan dengan sesama jenis. Heteroseksisme menyebabkan homoseksual berada pada kondisi yang sulit dan seringkali menjadi objek diskriminasi. Penolakan masyarakat terhadap keberadaan homoseksual tersebar di seluruh dunia (Rahardjo, 2007). Menurut Kitzinger (dalam Rahardjo, 2007), sekitar 92% kaum gay dan lesbian di Amerika melaporkan bahwa dirinya menjadi target ancaman dan kekerasan dari kaum anti gay. Selain itu, studi yang dilakukan oleh Tomsen (dalam Rahardjo, 2007) menunjukkan bahwa pembunuhan oleh banyak orang tak dikenal yang terjadi di New South Wales, Australia, biasanya dilatarbelakangi oleh adanya homophobia. Kondisi seperti tersebut di atas tidak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia. Fakta penelitian tahun 2013 yang dilakukan oleh Arus Pelangi terhadap komunitas Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) menunjukkan bahwa 89.3% LGBT di Indonesia pernah mengalami kekerasan karena orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi gendernya (Arus Pelangi, 2015). Selain diskriminasi dan marginalisasi di lingkungan sosial, di beberapa daerah seperti Aceh dan Sumatera Selatan, aktivitas homoseksual dianggap sebagai sebuah tindakan kriminal dan pelakunya bisa dikenakan denda dan dihukum penjara. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan mengeluarkan fatwa yang menyerukan berbagai hukuman, dari cambuk hingga hukuman mati, untuk kaum homoseksual pada 3 Maret 2015 (Wibowo, 2015). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3 Oleh karena begitu banyaknya penolakan dan konsekuensi negatif yang harus ditanggung, maka, di banyak negara, tidak sedikit homoseksual yang ragu mengungkapkan identitas seksualnya. Banyak sekali pertimbangan yang dipikirkan untuk mengungkapkan orientasi homoseksual pada masyarakat, khususnya lingkungan sekitar. Pada beberapa kasus, pengungkapan identitas LGBT yang dimiliki oleh individu kepada orang lain dapat memberikan banyak keuntungan kesehatan mental (Ragins dalam Legate, Ryan & Weinstein, 2012). Beberapa hal baik tersebut adalah terbentuknya self-esteem karena dikenal dan dicintai apa adanya, berkurangnya stres karena menyembunyikan bagian penting dari identitas diri, membangun relasi yang lebih akrab dan tulus dan lain sebagainya (National Sexual Violence Resource Center & Pennsylvania Coalition Against Rape, 2012b). Namun pada kasus lain, di budaya yang tidak ramah homoseksual seperti Indonesia, pengungkapan identitas bisa menjadi sebuah bencana dengan berbagai risiko. Individu LGBT harus siap dengan berbagai macam bentuk stigmatisasi, penilaian negatif serta perasaan ditolak yang mengikuti pengungkapan atas orientasi seksual mereka (Legate et al, 2012). US Department of Health and Human Services (dalam National Sexual Violence Resource Center & Pennsylvania Coalition Against Rape, 2012a) menemukan bahwa isu terkait lingkungan personal, keluarga dan penerimaan sosial akan orientasi seksual memberikan beban tersendiri terhadap kesehatan mental dan keamanan personal dari individu yang diidentifikasi sebagai lesbian, gay dan biseksual. Penelitian Banks (dalam National Sexual Violence Resource Center & Pennsylvania Coalition Against Rape, 2012a) juga menemukan bahwa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 4 homophobia yang harus dihadapi individu-individu tersebut cenderung membuat mereka memiliki usia harapan hidup yang lebih rendah serta harus berhadapan dengan masalah kesehatan dan masalah sosial yang lebih tinggi daripada populasi umum. Situasi yang kompleks semacam ini membuat kebanyakan homoseksual mengembangkan bicultural identity (Santrock, 1999). Secara lebih jauh dikatakan oleh Santrock (1999) bahwa bicultural identity adalah identitas dua dunia di mana kaum homoseksual tidak mengubah orientasi seksualnya dan tetap menjadi gay dan lesbian, terkadang menjalani kehidupan sebagai gay dan lesbian secara sembunyi-sembunyi namun juga hidup dan bersosialisasi seperti orang biasa tanpa masyarakat mengetahui bahwa sesungguhnya mereka adalah homoseksual. Salah satu cara yang digunakan oleh homoseksual untuk menyamarkan identitas homoseksual yang mereka miliki adalah dengan menikah. Menikah membuat mereka tampak seperti orang kebanyakan. Banyak homoseksual menikah secara heteroseksual untuk menyembunyikan identitas orientasi seks mereka. Bagi gay dan lesbian yang sudah terbuka pada keluarganyapun tekanan untuk menikah masih ada, karena homoseksualitas dianggap sebagai penyakit yang diharapkan “sembuh” dengan menikah (Oetomo, 2003). Tidak ada literatur yang memberikan estimasi akurat mengenai prevalensi homoseksual yang menikah secara heteroseksual. Menurut Buxton (dalam Alessi, 2008), ada setidaknya satu hingga dua juta pria gay, wanita lesbian, pria dan wanita biseksual di Amerika Serikat yang menikah dengan lawan jenisnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Wyers (1987) menyimpulkan bahwa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 5 20% gay kulit putih dan 13% gay kulit hitam memutuskan menikah dengan perempuan. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan lesbian yang menikah, dimana didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa 35% lesbian kulit putih dan 47% lesbian kulit hitam terlibat dalam mixed orientation marriage (Wyers, 1987). Mixed orientation marriage merupakan hubungan dimana satu partner mengalami ketertarikan sesama jenis dan diidentifikasi sebagai gay, lesbian atau biseksual, sedangkan satu partner yang lain diidentifikasi sebagai heterosekual tanpa ketertarikan sesama jenis (Buxton dalam Tornello & Patterson, 2011). Mixed orientation marriage memberikan banyak sekali dampak negatif bagi individu-individu yang terlibat di dalamnya. Homoseksual akan merasakan cemas dan bersalah sepanjang hidup mereka apabila mereka menyembunyikan homoseksualitas yang mereka miliki dari orang-orang terdekatnya, terutama dari pasangan hidup dan anak-anak mereka (Binger dalam Ben-Ari & Adler, 2010). Kecenderungan memendam kebenaran membuat konflik ekspresi emosi dan hal ini bisa menimbulkan penyakit yang berhubungan dengan stres serta bisa membangkitkan gangguan mental (Pennebaker dalam Ben-Ari & Adler, 2010). Meskipun demikian, coming out atau mengungkapkan identitas orientasi seksual yang mereka milikipun bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan dan merupakan hal yang penuh tekanan. Setelah orientasi homoseksual terungkap, keberlanjutan pernikahan menjadi terancam. Beberapa pasangan yang memilih untuk bertahan akan mengalami banyak masalah dan cenderung pesimis terhadap masa depan mereka (Coleman dalam Ben-Ari & Adler, 2010). Parents, Families and Friends PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6 of Lesbians and Gays (PFLAG, 1994) menjelaskan beberapa masalah tersebut misalnya adalah kesulitan individu heteroseksual dalam membangun kembali kepercayaan, kurangnya hubungan seksual, serta munculnya negativitas dari orang-orang di sekitar mereka. Perasaan sakit dan terluka serta pergolakan emosi secara konstan dan terus menerus akan dialami oleh individu homoseksual maupun individu heteroseksual dan anak-anak mereka setelah mengetahui bahwa salah satu orangtua dan pasangan mereka merupakan seorang homoseksual (Wyers, 1987). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80% mixed orientation marriage berakhir dengan perceraian (Kort, 2006). Selain itu, Buxton (dalam Hernandez, Schwenke & Wilson, 2011) mengatakan bahwa hanya ada 15% mixed orientation marriage yang mampu bertahan dalam durasi lebih dari tiga tahun. Jika dilakukan perbandingan, usia pernikahan perempuan lesbian dengan laki-laki cenderung jauh lebih singkat daripada laki-laki gay dengan perempuan. Selain itu, prevalensi perempuan lesbian yang bercerai dari suaminya jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki gay yang bercerai dari istrinya (Wyers, 1987). Laki-laki gay yang menikah dengan perempuan cenderung lebih mampu mempertahankan pernikahan mereka dan memiliki tingkat kebahagiaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan lesbian yang menikah dengan laki-laki (Bell & Weinberg dalam Nichols, 2004). Hal ini barangkali disebabkan ketidaksetaraan gender yang masih sering diterapkan dalam pernikahan-pernikahan tradisional. Kebanyakan perempuan dalam relasi heteroseksual memiliki power yang sangat sedikit daripada yang dimiliki suami atau kekasihnya. Ketidaksetaraan power ini PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7 termanifestasi pada saat satu individu memiliki lebih banyak suara dalam relasi atau dalam sebuah keputusan tertentu yang harus dibuat sebagai pasangan (Caldwell & Peplau, 1984). Hal ini tentu sangat berkebalikan dengan ketika perempuan menjalani relasi dengan sesama perempuan. Pasangan lesbian benarbenar menghargai kesetaraan dalam relasi personal yang mereka bangun (Peplau dalam Peplau & Amaro, 1982). Alasan lain yang mempengaruhi perbedaan nuansa mixed orientation marriage pada gay dan lesbian adalah kecenderungan lesbian untuk menikah karena terpaksa. Dalam budaya patriarkal, perempuan cenderung kurang memiliki kebebasan personal dalam menjalani hidup sesuai dengan yang mereka inginkan. Perempuan memiliki lebih sedikit pilihan dalam menjalankan hidup dibandingkan laki-laki, termasuk dalam hal membuka diri sebagai seorang homoseksual (Nichols, 2004). Berdasarkan pemaparan sebelumnya, peneliti mengambil kesimpulan bahwa adalah hal yang jarang terjadi ketika individu lesbian mampu membina pernikahan sampai memasuki fase stabil dengan suaminya. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk melakukan studi eksploratif terhadap individu tersebut dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Penelitian studi kasus melibatkan studi terhadap sebuah isu yang dieksplorasi melalui satu atau lebih kasus dalam sebuah sistem yang saling berkaitan (Creswell, 2007). Peneliti mengumpulkan data yang detail dan mendalam serta melibatkan banyak sumber informasi, baik melalui observasi, wawancara maupun materi audiovisual, dokumen dan laporan (Creswell, 2007). Peneliti secara spesifik menggunakan studi kasus intrinsik, dimana peneliti fokus pada kasus yang telah dipilih karena kasus tersebut PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8 merepresentasikan sebuah situasi yang unik dan tidak biasa. Dalam hal ini, peneliti memfokuskan penelitian pada individu lesbian yang terlibat dalam mixed orientation marriage yang mencakup beberapa dimensi, yaitu motif yang mendasari pernikahan, relasi dengan suami, konflik interpersonal dan intrapersonal yang dialami beserta penyelesaiannya, dampak psikologis dan rencana serta harapan individu terhadap pernikahannya. Peneliti tidak menjadikan suami sebagai fokus penelitian karena dalam hal ini suami tidak mengetahui orientasi homoseksual yang dimiliki istrinya. Berdasarkan penelitian, kebanyakan individu memang tidak menyadari bahwa pasangannya memiliki orientasi homoseksual atau biseksual ketika mereka pertama kali menikah (Buxton & Schwartz, 2004). Meskipun suami mengetahui mengenai hal inipun, tidak banyak informasi yang bisa didapatkan sebab laki-laki cenderung tidak mau membahas mixed orientation marriage yang mereka jalani. Mereka cenderung merasa direndahkan dan jatuh harga dirinya ketika pasangannya lebih memilih relasi seksual dengan sesama jenis (Kort, 2006). Konsep mixed orientation marriage merupakan sebuah konsep yang masih belum banyak dikenal sehingga penelitian mengenai hal inipun masih sangat jarang dilakukan. Sejauh ini, kebanyakan penelitian yang sudah ada cenderung menyoroti dinamika psikologis pada individu heteroseksual di dalam mixed orientation marriage. Berdasarkan penelitian, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa seorang istri akan mengalami ambiguous loss saat mengetahui bahwa suaminya adalah seorang homoseksual, sehingga akan mengalami tahap-tahap kesadaran, kebingungan, pre-okupasi, keputus-asaan, merasa bertanggungjawab PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 9 atas kesejahteraan anak dan pasangan, disorientasi dan keyakinan spiritual menjadi semakin kuat namun juga saling tumpang tindih satu sama lain, kemudian masuk ke tahap yang terakhir yaitu bangkit dari keterpurukan (Hernandez & Wilson, 2007). Penelitian lain mengenai mixed orientation marriage berfokus pada alasan seorang homoseksual memilih untuk terlibat dalam pernikahan heteroseksual. Higgins (dalam Wolkomir, 2009) menemukan bahwa ada beberapa hal yang membuat homoseksual memilih untuk menikah dengan lawan jenis, yaitu usaha untuk menjadi normal, keinginan untuk memiliki keluarga, penolakan diri atas identitas homoseksual yang dimiliki, pencarian akan penerimaan serta karena percaya bahwa menikah merupakan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Kelebihan penelitian “Studi Kasus : Lesbian dalam Mixed Orientation Marriage” dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah bahwa penelitian ini mampu memberikan gambaran dasar yang lebih menyeluruh mengenai kehidupan individu lesbian yang menikah secara heteroseksual. Dengan hal ini, masalah-masalah terkait individu lesbian dalam mixed orientation marriage diharapkan bisa diselesaikan secara lebih kontekstual sehingga dampak negatif yang telah dipaparkan sebelumnya bisa lebih diminimalisir. Selain itu, hasil penelitian bisa menjadi referensi dan pembelajaran bagi banyak individu lesbian yang menikah secara heteroseksual maupun bagi terapis-terapis pernikahan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 10 B. Rumusan Masalah Sebagian besar mixed orientation marriage, khususnya lesbian yang menikah dengan laki-laki, cenderung berujung pada perceraian. Meskipun begitu, terdapat sebuah kasus dimana individu lesbian mampu membina pernikahan sampai memasuki fase stabil dengan suaminya. Kasus ini merupakan sebuah kasus yang unik dan menarik untuk dibahas sehingga peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : “Bagaimanakah kehidupan pernikahan yang dijalani oleh lesbian yang terlibat mixed orientation marriage?”. Dari pertanyaan tersebut, peneliti mengembangkan beberapa sub-pertanyaan penelitian, yaitu : 1. Apa yang menjadi motif yang mendasari individu lesbian untuk menikah dengan lawan jenis? 2. Bagaimanakah relasi individu dengan suaminya dalam kehidupan seharihari? 3. Apa saja konflik intrapersonal dan interpersonal yang harus dihadapi individu lesbian selama menjalani mixed orientation marriage? Bagaimana cara yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik-konflik tersebut? 4. Apa dampak yang dialami individu lesbian selama menjalani mixed orientation marriage? 5. Bagaimana relasi individu dengan anak-anaknya? Apakah dampak kehadiran anak bagi relasi dengan suami dan bagi diri individu? 6. Apa rencana dan harapan individu lesbian terhadap pernikahannya? PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 11 C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran dasar yang menyeluruh mengenai individu lesbian yang terlibat dalam mixed orientation marriage, yang dijelaskan dalam beberapa dimensi, yaitu motif yang mendasari pernikahan, relasi dengan suami, konflik interpersonal dan intrapersonal yang dialami beserta penyelesaiannya, dampak psikologis dan rencana serta harapan individu terhadap pernikahannya. D. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini, manfaat yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut : 1. Bagi Peneliti Lain Penelitian ini diharapkan menjadi sumber literatur terkait individu lesbian yang terlibat dalam mixed orientation marriage dan bisa menjadi informasi tambahan bagi peneliti lain yang ingin mengembangkan topik serupa. 2. Bagi Individu Lesbian Penelitian ini diharapkan mampu menjadi sebuah pembelajaran dan media dalam mengevaluasi kehidupan bagi individu-individu lesbian yang terlibat dalam mixed orientation marriage. 3. Bagi Psikolog dan Konselor Penelitian ini diharapkan mampu menjadi referensi bagi psikolog dan konselor dalam memberikan terapi dan konseling pernikahan ketika dihadapkan pada klien dengan kondisi serupa. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 12 4. Bagi Masyarakat Luas Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai kehidupan pernikahan heteroseksual yang dijalani oleh individu lesbian. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Lesbian 1. Definisi dan Label Gender Lesbian merupakan perempuan yang mencintai perempuan, baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual. Lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya secara homoseksual (Agustina dalam Yuwono, 2013). Homoseksual yaitu ketertarikan seseorang secara seksual terhadap individu dengan jenis kelamin yang sama (Supratiknya dalam Mastuti, Winarno & Hastuti, 2012). Pada kelompok lesbian, terdapat label gender yang dibedakan berdasarkan pola sikap, perilaku dan gaya berpakaian, misalnya butch, femme dan butch/femme (Tan dalam Setya, 2013). a. Butch yaitu lesbian yang merepresentasikan gender maskulin, bertingkahlaku dan berpenampilan seperti seorang laki-laki. b. Femme yaitu lesbian yang berpenampilan dan berpakaian feminim, bertingkahlaku lembut layaknya perempuan pada umumnya. c. Andro atau androgyne atau butch/femme adalah perpaduan penampilan antara butch dan femme. Mereka menghadirkan sifat maskulin dan feminin secara bersamaan dalam kadar yang relatif sama, atau menghadirkan dua hal tersebut secara bergantian. 13 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 14 Seiring dengan label ini, ada gradasi label gender lesbian dalam komunitas lesbian, misalnya adalah "soft butch" dan "stone butch" (Agustine dalam Setya, 2013). a. "Soft butch" adalah lesbian yang merepresentasikan spektrum maskulin, namun tetap memiliki beberapa kualitas feminim. b. “Stone butch” digambarkan lebih maskulin dalam cara berpakaian maupun potongan rambutnya. Mereka mengenakan pakaian laki-laki, terkadang membebat dadanya agar terlihat lebih rata dan menggunakan sesuatu di dalam pakaian dalamnya sehingga menciptakan kesan berpenis. Studi kualitatif yang dilakukan oleh Levitt dan Hiestand (dalam Walker, Golub, Bimbi & Parsons, 2012) mengeksplorasi pengalaman lesbian butch. Levitt dan Hiestand (dalam Walker et al, 2012) menemukan bahwa lesbian butch merasa orang lain mengharapkan mereka "menjadi tangguh, menjadi pemimpin, mengurus dan melindungi orang lain, tidak menangis, tidak berkencan dengan sesama butch, menjadi dominan secara seksual, dan mengurus tugas-tugas yang sebenarnya merupakan tanggung jawab laki-laki”. Beberapa butch merasa bahwa stereotipe tersebut akurat, namun beberapa merasa bahwa ada stereotipe yang tidak mewakili identitas butch mereka (Levitt & Hiestand dalam Walker et al, 2012). Dalam sebuah penelitian yang saling melengkapi, Levitt, Gerrish, dan Hiestand (dalam Walker et al, 2012) mengeksplorasi pengalaman lesbian femme. Lesbian femme menjelaskan bahwa stereotipe yang mengatakan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 15 lesbian femme hanya memiliki relasi romantis dengan butch dan hanya terlibat dalam "kegiatan feminin" cenderung tidak akurat dan membatasi identitas mereka. Femme memang cenderung tertarik dengan butch, akan tetapi mereka tetap terbuka pada jenis kencan lainnya, misalnya femme-femme. Mereka merasa bahwa relasi romantik didasarkan pada daya tarik kepribadian dan perilaku, bukan label gender lesbian (Levitt et al dalam Walker et al, 2012). 2. Relasi Lesbian Para peneliti berpendapat bahwa orientasi seksual perempuan dan relasi lesbian memiliki mekanisme dan manifestasi yang unik (Chiver, Rieger, Latty & Bailey dalam Diamond, 2013). Kurdek (dalam O’Neill, Hamer & Dixon, 2012) mendeskripsikan relasi lesbian sebagai relasi yang lebih empatik, egaliter dan memuaskan dibandingkan dengan relasi heteroseksual. Pasangan lesbian cenderung membagi tugas rumah tangga dan tugas bayar-membayar secara adil dan setara (Patterson, Suffin & Fulcher dalam O’Neill et al, 2012). Chafetz (dalam Caldwell & Peplau, 1984) mengemukakan bahwa relasi lesbian menolak peran seks tradisional dan kesetaraan lebih mudah diterapkan pada pasangan sesama perempuan dibandingkan pada pasangan laki-laki-perempuan maupun pada pasangan sesama laki-laki. Hal ini hampir sama dengan pendapat Kelly (dalam Caldwell & Peplau, 1984) bahwa relasi percintaan antara sesama wanita cenderung lebih bebas dari faktor ketidaksetaraan. Barnhart (dalam Caldwell & Peplau, 1984) menemukan bahwa pasangan lesbian cenderung menilai tinggi kesetaraan dalam relasi personal mereka. Perempuan dalam relasi dengan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 16 kesetaraan power melaporkan memiliki kepuasan personal dan kedekatan yang lebih tinggi, serta mampu mengantisipasi lebih banyak masalah di dalam relasi mereka. Relasi di antara perempuan lesbian cenderung eksklusif secara seksual. Hal ini cenderung berbeda jauh jika dibandingkan dengan relasi di antara lakilaki gay. Data American Couples yang didapatkan oleh Philip Blumstein dan Pepper Schwartz (dalam Peplau dan Ghavami, 2009) membuktikan hal ini. Hanya ada 36% laki-laki gay yang berpendapat bahwa relasi seksual monogami merupakan sesuatu yang penting. Jumlah ini sangat sedikit bila dibandingkan dengan presentase pada lesbian (71%), suami heteroseksual (75%) dan istri heteroseksual (84%). Dalam perilaku aktualpun hanya sedikit lesbian (28%), suami heteroseksual (26%) dan istri heteroseksual (21%) yang terlibat dalam seks di luar relasi terikat, dibandingkan dengan 82% gay yang melakukan hal serupa. Kesetiaan seksual berelasi positif dengan kepuasan relasi bagi lesbian dan pasangan heteroseksual, namun tidak bagi gay. Meskipun beberapa peneliti menemukan bahwa relasi lesbian cenderung lebih memuaskan dibandingkan dengan jenis relasi lain, terdapat penelitian yang menemukan hal yang sebaliknya. Kepuasan pada relasi lesbian tidak berbeda dengan kepuasan pada relasi gay dan relasi heteroseksual. Akan tetapi, ada beberapa faktor yang jauh lebih mempermudah pasangan lesbian mencapai kepuasan dibandingkan dengan pasangan lain, yaitu : PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 17 a. Kesetaraan keterlibatan Individu lesbian yang terlibat dalam relasi sesama jenis cenderung memiliki afeksi dan komitmen yang sama besar satu sama lain. Hal ini memperkuat cinta di antara mereka dan membuat kepuasan relasi cenderung meningkat (Blau dalam Peplau, Padesky & Hamilton, 1982). b. Kesetaraan power Studi etnografis pada komunitas lesbian di California (Wolf dalam Peplau et al, 1982) dan Oregon (Barnhart dalam Peplau et al, 1982) menemukan bahwa banyak pasangan lesbian menerapkan kesetaraan power di dalam relasi mereka dan menolak dominasi salah satu partner saja. c. Kesamaan karakteristik individu Orang cenderung sangat tertarik satu sama lain jika mereka memiliki kesamaan sikap dan karakteristik demografi (Berscheid & Walster dalam Peplau et al, 1982). Meskipun demikian, beberapa peneliti menemukan bahwa "kesamaan" merupakan hal yang kurang diperhatikan dalam relasi lesbian karena "identitas lesbian" menjadi pertimbangan yang paling penting. Cotton (dalam Peplau et al, 1982) bahkan berspekulasi bahwa lesbian cenderung memilih pasangan yang berbeda dari diri mereka dalam hal karakteristik sosial dan ekonomi. Kurdek (1994) menemukan bahwa secara umum, terdapat enam kelompok area konflik yang sering muncul dalam relasi romantik, yaitu power, isu sosial, kekurangan personal, ketidakpercayaan, intimasi dan jarak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 18 personal. Pada pasangan heteroseksual, konflik mengenai isu sosial cenderung lebih sering muncul dibandingkan pada pasangan homoseksual. Sebagai kelompok yang sering mendapatkan stigma negatif dari lingkungan sosial, pasangan homoseksual biasanya memiliki sudut pandang yang sama dan cocok satu sama lain mengenai isu-isu kontroversial. Oleh sebab itu, konflik di antara pasangan ini jarang terjadi. Sedangkan, pada pasangan homoseksual, baik lesbian maupun gay, konflik ketidakpercayaan cenderung lebih sering muncul dibandingkan pada pasangan heteroseksual. Konflik ketidakpercayaan ini muncul karena mantan pasangan cenderung menetap pada jaringan pertemanan atau komunitas pada homoseksual. Hal ini tentu rentan menimbulkan kecemburuan dan kemarahan. Terlepas dari kedua konflik yang telah disebutkan sebelumnya, pasangan heteroseksual dan homoseksual cenderung tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam empat konflik lainnya, yaitu power, kekurangan personal, intimasi dan jarak personal. 3. Ibu Lesbian Survei skala besar pada komunitas lesbian di Amerika Serikat menemukan bahwa sekitar satu dari lima lesbian merupakan seorang ibu (Bryant dalam Tasker, 2005). Hasil penelitian Patterson (dalam Morris, Balsam, Rothblum, 2002) menunjukkan bahwa ibu lesbian yang memiliki anak sebelum coming-out berbeda dari ibu lesbian yang memiliki anak setelah coming-out. Wanita yang memiliki anak setelah coming-out biasanya memiliki anak dari hasil inseminasi dan donor sperma, adopsi atau sebagai akibat dari relasi dengan pasangan wanita yang memiliki anak. Ibu lesbian yang memiliki PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 19 anak setelah coming-out cenderung mulai mempertanyakan orientasi seksual mereka saat masih bersekolah. Di awal usia 20-an tahun, mereka cenderung telah memiliki pengalaman seksual dengan wanita lain dan mulai mengidentifikasi diri sebagai seorang lesbian. Dibutuhkan beberapa tahun lagi untuk memberitahu orang lain, termasuk anggota keluarga, bahwa mereka adalah lesbian. Sebagai orang dewasa, kelompok ini telah coming-out bertahun-tahun lebih lama dan telah memiliki proporsi pengalaman seksual dengan sesama jenis yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok ibu lesbian yang memiliki anak sebelum coming-out (Patterson dalam Morris, Balsam, Rothblum, 2002). Sebagian besar (lebih dari 90%) dari wanita yang memiliki anak sebelum coming-out telah resmi menikah dengan seorang pria dan memiliki anak dalam konteks perkawinan atau relasi dengan seorang pria. Mereka berada di awal 20-an ketika mereka pertama kali mempertanyakan orientasi seksual mereka dan di akhir 20-an, mereka memiliki pengalaman seksual pertama mereka dengan wanita lain. Mereka berada di awal 30-an ketika pertama kali menganggap diri mereka sebagai lesbian dan mengungkapkannya ke orang lain, termasuk anggota keluarga. Ibu yang memiliki anak sebelum coming-out memulai proses coming-out sekitar 7-12 tahun lebih lama dibandingkan wanita yang memiliki anak setelah coming-out dan sekitar 6 - 8 tahun lebih lama daripada wanita yang tidak memiliki anak. Memiliki anakanak mungkin telah menunda proses coming-out. Wanita yang memiliki anak sebelum coming-out lebih berkonflik atau memiliki lebih banyak kesulitan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 20 dalam coming-out, terkait peran sebagai seorang ibu yang melekat pada diri mereka, dibandingkan dengan wanita lesbian yang tidak memiliki anak (Patterson dalam Morris, Balsam, Rothblum, 2002). Meskipun demikian, ibu-ibu yang memiliki anak sebelum coming-out melaporkan mengalami serangan verbal dan fisik dalam tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak setelah coming-out. Pernikahan sebelumnya atau hubungan dengan laki-laki akan melindungi ibu lesbian dari kelompok anti lesbian karena mereka cenderung tampak konvesional sehingga menjadi kurang diperhatikan. Akan tetapi, di sisi lain, wanita lesbian yang masih menikah dengan laki-laki, atau mereka yang masih kontak dengan mantan pasangan pria karena hak asuh bersama, sering dibuat merasa tak diinginkan di komunitas lesbian (Patterson dalam Morris, Balsam, Rothblum, 2002). Sebuah studi longitudinal keluarga homoparental di Amerika (Gartrell dalam Greenbaum, 2014) menunjukkan bahwa mayoritas ibu lesbian tidak ragu-ragu untuk mengungkapkan seksualitas mereka di tempat kerja dan dengan pekerja di tempat penitipan anak ketika anak-anak mereka masih kecil. Akan tetapi, mereka cenderung kurang bersedia untuk coming-out ketika anak-anak telah berusia 10 tahun ke atas. Perubahan ini menunjukkan meningkatnya kekhawatiran ibu apabila anak mereka harus berhadapan dengan homophobia. Orangtua sangat memperhatikan kesejahteraan psikologis anak-anak mereka. Untuk melindungi anak-anak mereka dari penolakan dunia yang berpotensi homophobic, orangtua kadang-kadang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 21 memilih menyembunyikan orientasi seksual mereka (Weeks dalam Greenbaum, 2014). Hal lain yang membuat perempuan-perempuan lesbian menyembunyikan status orientasi seksual mereka adalah karena 30% dari perempuan tersebut melaporkan terancam kehilangan hak asuh anak setelah bercerai dengan suami (Morris et al, 2002). Hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa dibesarkan oleh ibu lesbian akan meningkatkan permasalahan psikologis anak karena anak akan harus berhadapan dengan diskriminasi dan intimidasi dari teman sebaya terkait orientasi seksual ibu mereka (Golombok, Perry, Burston, et al, 2003). Selain itu, pengadilan kebanyakan berfokus pada ketidakstabilan mental lesbian yang dirasa membuat lesbian kurang cocok menjadi ibu (Allen & Burrell dalam Morris et al, 2002). Pengadilan juga menganggap bahwa ibu lesbian akan mempengaruhi pengembangan peran gender dan orientasi seksual anak-anak mereka. Anak-anak cenderung akan terlibat dalam perilaku gender yang tidak pantas dan tumbuh menjadi gay atau lesbian sendiri (Falk dalam Morris et al, 2002). Anggapan pengadilan itu sendiri didukung oleh hasil penelitian Buxton dan Schwartz (2004) yang mengemukakan bahwa anak akan mengalami proses yang panjang dan mengalami kebingungan dalam memahami perubahan orientasi seksual orang tua mereka (apakah mereka masih orang yang sama atau tidak), perubahan kehidupan sosial serta kecenderungan coming-out yang harus mereka lakukan sebagai anak dari seorang gay, lesbian PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 22 atau biseksual. Selain itu, mayoritas anak hasil mixed orientation marriage harus berhadapan dengan isu perceraian, termasuk di dalamnya separation anxiety, ketakutan diabaikan, dan terbaginya rasa kesetiaan. Ketika anak tersebut berusia remaja ketika orangtua melakukan coming-out, hal ini akan sangat membingungkan bagi mereka karena orangtua sedang berhadapan dengan isu seksualitas, identitas dan integritas yang saat itu juga sedang dihadapi oleh mereka. Keharusan menyimpan rahasia keluarga, merasa malu dan tertekan, serta ketidakinginan menjadi berbeda juga dapat menghambat anak dalam mengembangkan relasi yang sehat. Meskipun demikian, menemukan hasil berbeda. terdapat penelitian-penelitian lain yang Hasil penelitian Golombok et al (2003) menunjukkan bahwa anak dengan ibu lesbian tidak menunjukkan kelainan psikologis yang lebih tinggi dan tidak mengalami lebih banyak kesulitan dalam membangun relasi sebaya apabila dibandingkan dengan anak dari orangtua heteroseksual. Selain itu, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan oleh ibu lesbian mengalami kebingungan identitas dan peran gender. Bahkan, anak-anak tersebut malah cenderung mampu untuk berfungsi dengan baik sebagai seorang individu dewasa dan tetap mampu menjaga relasi yang positif dengan orangtua (Tasker & Golombok dalam Golombok et al, 2003). Hasil penelitian ini menjadi sebuah senjata bagi lesbian dan gay untuk memperjuangkan hak asuh anak mereka. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 23 4. Lesbian di dalam Masyarakat Sampai pada tahun 1973, homoseksualitas masih ada di DSM dan terdaftar sebagai sebuah kelainan seksual. Namun, di tahun yang sama, Nomenclature Committee dari American Psychiatric Association, di bawah tekanan dari para professional dan kelompok aktivis, merekomendasikan dieliminasinya kategori “homoseksualitas” dan substitusi dari “gangguan orientasi seksual”. Perubahan ini akhirnya disepakati, meskipun dengan diiringi protes dari beberapa psikiatris yang masih beranggapan bahwa homoseksualitas merefleksikan fiksasi dari tahapan awal perkembangan psikoseksual (Kring, Johnson, Davidson & Neale, 2012). Meskipun secara ilmiah homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai sebuah abnormalitas, homoseksual, termasuk lesbian di dalamnya, masih sering mendapatkan prasangka dan diskriminasi. Prasangka dan diskriminasi yang diterima oleh homoseksual ini disebabkan oleh adanya ideologi heteroseksisme yang telah ditanamkan sejak dini dan dibentuk dalam beberapa tingkatan. Heteroseksisme merupakan sebuah sistem ideologi yang menyangkal, menilai buruk dan menstigmatisasi segala bentuk nonheteroseksual, baik dalam perilaku, identitas, relasi maupun komunitas (Herek dalam Ben-Ari, 2001). Penolakan masyarakat terhadap keberadaan homoseksual, termasuk lesbian, tersebar di seluruh dunia (Rahardjo, 2007). Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Pew Research Center (2013b), empat dari sepuluh orang (39%) mengaku pernah ditolak oleh keluarga atau teman terdekat mereka PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 24 dikarenakan orientasi seksual yang dimiliki. 29% mengatakan bahwa mereka pernah merasa tidak diterima di beberapa tempat dan 21% mengungkapkan bahwa mereka pernah diperlakukan tidak adil oleh orang lain. Enam dari sepuluh orang (58%) bahkan mengaku sering diejek dan menjadi bahan olokan. Menurut Kitzinger (dalam Rahardjo, 2007), sekitar 92% kaum gay dan lesbian di Amerika melaporkan bahwa dirinya menjadi target ancaman dan kekerasan dari kaum anti gay. Selain itu, studi yang dilakukan oleh Tomsen (dalam Rahardjo, 2007) menunjukkan bahwa pembunuhan oleh banyak orang tak dikenal yang terjadi di New South Wales, Australia, biasanya dilatarbelakangi oleh adanya homophobia. Kondisi seperti tersebut di atas tidak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia. Fakta penelitian tahun 2013 yang dilakukan oleh Arus Pelangi terhadap komunitas Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) menunjukkan bahwa 89.3% LGBT di Indonesia pernah mengalami kekerasan karena orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi gendernya (Arus Pelangi, 2015). Selain diskriminasi dan marginalisasi di lingkungan sosial, di beberapa daerah seperti Aceh dan Sumatera Selatan, aktivitas homoseksual dianggap sebagai sebuah tindakan kriminal dan pelakunya bisa dikenakan denda dan dihukum penjara. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan mengeluarkan fatwa yang menyerukan berbagai hukuman, dari cambuk hingga hukuman mati, untuk kaum homoseksual pada 3 Maret 2015 (Wibowo, 2015). Penelitian menemukan bahwa sikap masyarakat terhadap laki-laki gay secara signifikan lebih negatif dibandingkan terhadap lesbian (Berkman & PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 25 Zinberg dalam Ellis, Kitzinger & Wilkinson, 2003). Temuan ini menunjukkan bahwa penolakan terhadap homoseksualitas laki-laki mungkin menjadi komponen yang lebih pokok daripada penolakan terhadap homoseksualitas secara umum (Herek dalam Kerns & Fine, 1994). Homoseksualitas laki-laki dirasa sangat tidak menyenangkan untuk laki-laki heteroseksual karena mengancam hak sosial dan superioritas yang dimiliki laki-laki. Dalam konteks sikap terhadap individu homoseksual, laki-laki heteroseksual menganggap laki-laki gay lebih menyimpang dari peran gender tradisional jika dibandingkan dengan lesbian. Hasil penelitian serupa didapatkan oleh Pinel (dalam Gottschalk, 2008). Perempuan lesbian cenderung lebih jarang mendapatkan stigma apabila dibandingkan dengan laki-laki gay. Mereka cenderung lebih sering didiskriminasi atas statusnya sebagai seorang “wanita” daripada sebagai seorang “lesbian”. Prasangka dan diskriminasi memberikan dampak terhadap individu, baik secara sosial maupun personal (American Psychological Association, diakses 31 Mei 2016). Pada derajat sosial, prasangka dan diskriminasi terhadap gay, lesbian dan biseksual terefleksikan pada stereotipe yang muncul setiap hari. Stereotipe ini muncul tanpa bukti yang nyata dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk memperlakukan gay, lesbian dan biseksual secara tidak setara, misalnya diskriminasi dalam pekerjaan dan pelayanan sosial. Pada derajat individual, prasangka dan diskriminasi tersebut juga memberikan konsekuensi negatif, terutama ketika individu tersebut menolak orientasi seksual yang mereka miliki. Walaupun individu lesbian, gay dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 26 biseksual belajar untuk menghadapi stigma sosial terhadap orientasi seksual mereka, pola dari prasangka dan diskriminasi memberikan efek negatif yang sangat serius terhadap kesehatan dan kesejahteraan psikologis. B. Relasi Interpersonal 1. Bentuk Relasi Interpersonal Relasi interpersonal adalah hubungan saling mempengaruhi antara satu orang dengan orang yang lain. Relasi interpersonal dapat dibagi menjadi dua kategori apabila didasarkan pada tingkat kedalaman atau keintiman, yaitu hubungan biasa dan hubungan akrab atau intim. Hubungan biasa merupakan hubungan yang sama sekali tidak dalam atau impersonal atau ritual, sedangkan hubungan akrab atau intim ditandai dengan pengungkapan diri (selfdisclosure). Selain itu, pada relasi akrab, pola interaksi berlangsung dalam jangka waktu yang lama, di mana salah satu partner memberikan pengaruh yang sangat kuat dan berkala bagi partner yang lain (Gross, 2015). 2. Komunikasi dalam Relasi Interpersonal Dalam sebuah relasi, terjadi komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) yaitu komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain atau pasangan secara langsung, baik verbal atau nonverbal. Bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi adalah komunikasi diadik (dyadic communication) yang melibatkan hanya dua orang, seperti suami-istri, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru-murid dan sebagainya (Mulyana dalam Indahyani, 2013). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 27 Komunikasi antar pribadi tidak hanya digunakan untuk memulai suatu hubungan baru dengan orang lain, tapi juga untuk mempertahankan hubungan baik yang telah terjalin (Indahyani, 2013). Peneliti relasi telah sepakat bahwa komunikasi merupakan faktor tunggal yang paling mempengaruhi kesuksesan dan kepuasan pernikahan (Stuart dalam Nartey, 2014), kestabilan relasi (Sarwatay & Divatia, 2016), serta meningkatkan keharmonisan, kohesi dan perkembangan menyeluruh di keluarga (Britten & Britten dalam Nartey, 2013). Sistem relasi dapat berfungsi dengan sukses ketika informasi penting secara regular dibicarakan bersama (Olson & Defrain dalam Nartey, 2013). Dalam sebuah relasi, kurangnya komunikasi antar individu membuat mereka tidak dapat bertukar pikiran, serta tidak akan dapat memahami dan mengerti perasaan masing-masing. Kesalahpahaman akan terjadi bila komunikasi tidak berjalan dengan baik dan lancar sehingga dapat menimbulkan konflik dan ketidaknyamanan di dalam rumah tangga yang muncul akibat berbagai macam masalah (Rachmadani, 2013). Padahal, dua individu tidak akan bisa berjalan bersama tanpa disertai adanya persetujuan dan penyelesaian konflik yang efektif di antara keduanya. Menurut Odukoya (dalam Nartey, 2013) salah satu cara untuk membangun persetujuan di relasi adalah melalui komunikasi yang aktif yang melibatkan tiga aspek, yaitu apa yang akan diungkapkan (pilihan kata), bagaimana cara mengungkapkan (sikap, bahasa tubuh dan nada) dan kapan mengungkapkannya. Ketiga faktor itu harus dipertimbangkan secara matang dalam melakukan komunikasi (Nartey, 2013). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 28 3. Konflik dalam Relasi Interpersonal Segal dan Jaffe (dalam Brandenberger, 2007) mengungkapkan bahwa ketidaksetujuan pasti muncul dalam relasi intim. Dua orang tidak mungkin akan selalu memiliki kebutuhan, opini dan harapan yang sama. Lebih jauh, Guerrero, Andersen dan Afifi (dalam Brandenberger, 2007) mengungkapkan bahwa relasi dekat yang tanpa disertai konflik sangat jarang ditemui, bahkan bisa dikatakan sebagai sesuatu yang tidak mungkin ada. Pada kenyataannya, relasi yang memuaskan biasanya didapatkan sebagai hasil dari diskusi dan kompromi atas ketidaksetujuan yang terjadi. Secara sukses menyesuaikan perbedaan-perbedaan yang ada akan membuat relasi semakin tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, pasangan yang mengaku tidak puas akan relasinya cenderung meminimalisir atau menghindari konflik. Guerrero et al. (dalam Brandenberger, 2007) mendefinisikan konflik sebagai bentuk ketidaksetujuan dan ketidakcocokan antara dua individu yang saling tergantung satu sama lain. Konflik memainkan peranan yang cukup penting dalam sebuah relasi, tidak hanya mempengaruhi durasi, namun juga mempengaruhi kualitas dan kepuasan relasi. Wood (dalam Brandenberger, 2007) berpendapat bahwa konflik juga berdampak pada dinamika di antara pasangan dengan cara memaksa mereka untuk saling bernegosiasi dan berkompromi satu sama lain. Pada hampir semua jenis relasi, konflik selalu muncul secara berkala sebanyak 1-2 konflik per bulan hingga 1-3 konflik per minggu (Brandenberger, 2007). Guerrero et al. (dalam Brandenberger, 2007) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 29 mengatakan bahwa konflik ini biasa terjadi berkaitan dengan pembagian tugas rumah tangga, kecemberuan, keposesifan, uang, relasi sosial dan anak. Pekerjaan bisa pula menjadi konflik ketika hal itu menyebabkan berkurangnya dukungan pasangan dan sedikitnya waktu untuk keluarga (Cinamon dalam Brandenberger, 2007). Sebagai tambahan, individu yang mengeluh pasangannya tidak memiliki cukup banyak waktu untuknya kemungkinan besar akan terlibat pada kegiatan yang menunjukkan ketidaksetiaan emosi dan seksual (Guerrero et al. dalam Brandenberger, 2007). Selain masalah-masalah tersebut di atas, seks juga merupakan salah satu hal yang menyebabkan munculnya konflik di relasi. Gallagher (2013) mengungkapkan bahwa hal ini bisa terjadi ketika : a. Salah satu partner merasa tidak puas akan frekuensi hubungan seksual. b. Salah satu partner menjadikan ketiadaan seks sebagai senjata untuk menghukum pasangannya. c. Tidak ada hubungan seksual dalam relasi dikarenakan tidak adanya kepercayaan, kenyamanan dan intimasi serta adanya kebencian dan kemarahan. Hal ini juga bisa terjadi karena isu medis atau penuaan. d. Salah satu partner terlalu sibuk atau terlalu lelah untuk melakukan seks. e. Salah satu partner kecanduan menonton porno sehingga pasangannya merasa tergantikan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 30 f. Salah satu partner tidak menyukai seks dengan pasangannya karena hal yang diinginkan tidak didapatkan serta tidak adanya variasi gaya dan konten dalam hubungan seksual. g. Salah satu partner melakukan perselingkuhan. C. Mixed Orientation Marriage Nugroho (2007) berpendapat bahwa ideologi heteroseksisme berpengaruh sangat besar terhadap keputusan gay untuk menikah secara heteroseksual. Banyak homoseks menikah secara heteroseks untuk menyembunyikan identitas orientasi seks mereka. Cara ini ditempuh karena menjadi satu-satunya cara bagi gay dan lesbian agar bisa diterima dan menjadi bagian masyarakat Indonesia yang utuh. Bagi gay yang sudah terbuka pada keluarganya pun tekanan untuk menikah masih ada, karena homoseksualitas dianggap sebagai penyakit yang diharapkan “sembuh” dengan menikah (Oetomo, 2003). Tidak ada literatur yang memberikan estimasi akurat mengenai prevelansi homoseksual yang menikah secara heteroseksual. Peplau dan Amaro (1982) mengungkapkan bahwa 25% lesbian menikah secara heteroseksual. Ross (dalam Tornello & Patterson, 2011) mengestimasikan ada sekitar 10% hingga 20% lakilaki gay yang pernah menikah dalam satu waktu di hidup mereka. Menurut Buxton (dalam Alessi, 2008), ada setidaknya satu hingga dua juta pria gay, wanita lesbian, pria dan wanita biseksual di Amerika Serikat yang terlibat dalam mixed orientation marriage. Mixed orientation marriage merupakan hubungan dimana satu partner mengalami ketertarikan sesama jenis dan diidentifikasi sebagai gay, lesbian atau PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 31 biseksual, sedangkan satu partner yang lain diidentifikasi sebagai heteroseksual tanpa ketertarikan sesama jenis (Buxton dalam Tornello & Patterson, 2011). 1. Kontinum Mixed Orientation Marriage Penelitian Ben-Ari dan Adler (2010) terhadap 13 laki-laki homoseksual yang menikah secara heteroseksual menunjukkan bahwa mixed orientation marriage dapat dijelaskan dalam sebuah kontinum yang bergerak antara dua kutub, splitting dan integrating. a. Splitting Dalam splitting, partisipan membagi kehidupan mereka menjadi dua bagian yang sangat terpisah satu sama lain. Mereka menganggap bahwa pernikahan heteroseksual dan hubungan homoseksual adalah dua hal yang tidak bisa berjalan berdampingan. Memisahkan keduanya adalah satusatunya cara supaya kedua hubungan bisa terus berlanjut. Dengan menjadikan homoseksualitas sebagai sesuatu yang terpinggirkan dan terbatas, mereka mampu menyelamatkan hubungan pernikahan mereka. Splitting terjadi dalam tiga level, yaitu : 1) Emotional splitting Semua partisipan mempersepsikan bahwa hubungan mereka dengan istri sangat berbeda dengan hubungan mereka dengan sesama laki-laki. Hubungan dengan laki-laki hanyalah bentuk rangsangan dan pemenuhan fantasi, sedangkan hubungan dengan istri melibatkan emosi, cinta dan apresiasi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 32 2) Cognitive splitting Bentuk keterpisahan ini termanifestasi dalam berbagai cara, termasuk meminimalisasi homoseksualitas dan artinya, melihat homoseksualitas sebagai fase yang temporer atau sementara, serta hanya merupakan objektifikasi dari orientasi seksual. 3) Behavioral splitting Beberapa indikasi dari behavioral splitting adalah membatasi hubungan seksual hanya pada tempat tertentu saja, mendefinisikan hubungan hanya sebatas seksual saja serta membersihkan tubuh dengan seksama dan hati-hati setelah hubungan seksual sesama jenis, sebelum kembali pernikahan heteroseksual yang normal. Hal-hal ini berkontribusi dalam persepsi bahwa hubungan homoseksual adalah hal yang tidak berkaitan dengan apapun di dunia familiar. b. Integrating Selain orang-orang yang memilih menjalani hidup dengan cara di atas, ada beberapa orang lain yang memutuskan untuk mengintegrasikan pernikahan heteroseksual dan hubungan homoseksual. Integrasi ini adalah bentuk ideal yang diinginkan, dimana seseorang tidak harus melepaskan atau menomorduakan salah satu di antaranya. Proses integrasi ini menantang konsep normatif yang mengatakan bahwa homoseksual tidak bisa terlibat dalam pernikahan heteroseksual. Ada potensi keharmonisan dan kemungkinan berdampingan dari dua dunia ini. Realisasi dari satu sistem hubungan tidak selalu menghalangi kelanjutan hubungan yang lain. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 33 Menurut individu homoseksual di dalam mixed orientation marriage, pengenalan terhadap orientasi homoseksual tidak mengganggu kebenaran dari keseluruhan pernikahan. Mereka masih menganggap pernikahan mereka berharga, ingin menjaga hubungan emosional mendalam yang selama ini sudah terbangun dan menghargai masa lalu mereka bersama (Wolkomir, 2009). Meskipun begitu, karena kebanyakan individu straight merasa bahwa homoseksualitas merupakan bawaan sejak lahir, sifat yang abadi dan orangorang menjadi gay atau lesbian secara eksklusif, mereka merasa bahwa seks heteroseksual adalah hal yang tidak mungkin dan tidak bisa menjadi bagian dari pernikahan mereka sama sekali (Wolkomir, 2009). Wolkomir (2009) mengungkapkan bahwa untuk memperbaiki bagian dari pernikahan mereka yang “rusak”, mereka mencoba untuk menjaga bagian baik dari pernikahan tersebut, yaitu dengan memisahkan antara cinta dan seks. Mereka percaya bahwa seks tidak berhubungan sama sekali dengan cinta. Hasilnya, mereka tidak lagi memasukkan seks ke dalam bagian keintiman emosi di pernikahan mereka dan melanjutkan hubungan mereka sebagai orangtua bagi anak-anak mereka dan teman bagi satu sama lain. Keintiman fisik dilakukan dengan orang lain di luar relasi. Dengan menjalin hubungan seksual yang terpisah, pasangan-pasangan menjadi mampu mengakomodasikan homoseksualitas yang mereka miliki sembari tetap merasa bahwa pernikahan mereka baik-baik saja. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 34 2. Alasan Individu Homoseksual Menikah Secara Heteroseksual Ross (dalam Tornello & Patterson, 2011) menemukan bahwa alasan yang paling sering muncul mengenai kenapa seorang laki-laki gay memutuskan untuk memasuki pernikahan heteroseksual adalah keinginan mereka akan penerimaan sosial, tekanan dari keluarga dan teman, rasa cinta dan afeksi terhadap pasangan serta keinginan untuk memiliki anak. Hasil yang ditemukan ini sama dengan hasil penelitian Saghair dan Robins (dalam Tornello & Patterson, 2011). Pearcey (dalam Tornello & Patterson, 2011) melaporkan bahwa alasan utama seorang homoseksual menikah secara heteroseksual adalah tekanan dari sosial dan keluarga serta keinginan mereka untuk menjadi “normal”. Isay (dalam Alessi, 2008) menyatakan bahwa kebanyakan pria gay memutuskan menikah karena mereka tidak mampu menerima orientasi seksual yang mereka miliki. Alasan lain yang membuat seorang homoseksual menikah secara heteroseksual adalah karena individu tersebut tidak menyadari status orientasi seksual mereka sampai setelah mereka menikah. Scott dan Ortiz (dalam Alessi, 2008) mengungkapkan bahwa terdapat dua kelompok motivasi pria homoseksual menikah dengan wanita, yaitu : a. Menikah sebagai solusi Berkaitan dengan keinginan menyembunyikan, menolak, menyembuhkan dan berkompensasi dengan orientasi seksual yang mereka miliki (Scott & Ortiz dalam Alessi, 2008). Masyarakat menganggap homoseksual (termasuk lesbian) berlaku tidak sesuai dengan norma – norma yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 35 berlaku sehingga masyarakat selalu menyisihkan mereka dengan tidak sebagaimana mestinya. Dengan perlakuan masyarakat yang selalu menyisihkan para homoseksual, para pelaku homoseksual sering melakukan tindakan - tindakan untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Contohnya, mereka sering melakukan sandiwara untuk mendapatkan pengakuan yang baik di tengah – tengah masyarakat, sehingga masyarakat akan tetap mengganggap mereka sebagaimana semestinya, walaupun sebenarnya, jauh di dalam diri mereka, mereka adalah seorang homoseksual (Optistasari, 2013). b. Peran seks yang konservatif Berkaitan dengan keyakinan yang dipelajari individu sejak kecil, bahwa menikah dengan perempuan adalah hal yang memang seharusnya dilakukan. Biasanya saat menikah, individu belum menyadari orientasi homoseksual yang mereka miliki (Scott & Ortiz dalam Alessi, 2008). Pada penelitian Bozzett (dalam Tornello & Patterson, 2011) yang terdiri dari sampel 18 partisipan, hanya satu orang yang sudah mengidentifikasi diri mereka sebagai gay sebelum pernikahan. 15 sisanya tidak menyadari ketertarikan sesama jenis yang mereka miliki sebelum pernikahan. Selain itu, Wyers (dalam Tornello & Patterson, 2011) menemukan bahwa hampir 70% partisipan melaporkan bahwa mereka baru menyadari diri mereka gay saat mereka sudah menikah, namun hanya 12% di antaranya yang mengungkapkan informasi ini kepada istri mereka. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 36 3. Bentuk Mixed Orientation Marriage Coleman (dalam Ben-Ari & Adler, 2010) mengatakan bahwa pada prinsipnya, ada dua bentuk mixed-orientation marriage, yaitu pernikahan di mana pasangan straight menyadari orientasi seksual suami/istrinya, atau sebaliknya, tidak mengetahui sama sekali. Sangat penting untuk dicatat bahwa kesadaran ini bentuknya sangat dinamis dan bisa berubah seiring dengan waktu. Pernikahan yang sukses sangat jarang terjadi pada pasangan di mana seseorang tidak mengetahui orientasi seksual suami atau istrinya. Meskipun begitu, Berger (dalam Ben-Ari & Adler, 2010) menemukan bahwa ada beberapa laki-laki yang melaporkan bahwa ia memiliki relasi pernikahan yang memuaskan. Kurangnya kesadaran pasangan dan anak adalah variabel mediator yang berkontribusi besar bagi persepsi akan kesuksesan pernikahan. Penyembunyian yang dimainkan oleh homoseksual memegang peranan yang sangat penting. Akan tetapi, Binger (dalam Ben-Ari & Adler, 2010) mengindikasikan bahwa banyak dari individu-individu ini yang merasa bersalah dan cemas. Perasaan bersalah berasal dari gaya hidup mereka yang tidak “asli” dan dari penyembunyian itu sendiri. Kecemasan yang dirasakan berasosiasi dengan ketakutan antara penemuan atau pengetahuan yang tidak direncanakan mengenai orientasi homoseksual mereka. Kecenderungan memendam kebenaran ini membuat konflik ekspresi emosi dan hal ini bisa menimbulkan penyakit yang berhubungan dengan stres. Berdasarkan teori inhibisi, ekspresi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 37 emosi dan berbagi aspek personal dengan orang lain melalui keterbukaan adalah hal yang penting untuk menjaga kesehatan mental dan fisik. Kombinasi antara proses yang menyebabkan stres ini (penyembunyian identitas orientasi seksual) mampu membangkitkan masalah kesehatan mental (Pennebaker dalam Ben-Ari &Adler, 2010). Pada istri yang mengetahui tentang orientasi seksual suaminya, keterbukaan homoseksualitas bisa terjadi pada tahap hubungan pernikahan yang berbeda-beda (Ben-Ari & Adler, 2010). Beberapa pria memilih untuk terbuka sebelum pernikahan terjalin, namun beberapa yang lain membuka diri di tengah-tengah pernikahan. Semua partisipan dalam sebuah survey di Amerika melaporkan depresi yang lebih dari satu bulan lamanya sebelum mereka akhirnya memutuskan coming out kepada istri mereka. Mereka juga melaporkan bahwa mereka segan setelah menyaksikan kemarahan dan luka yang dialami oleh istri mereka. Laki-laki merasa takut kehilangan hubungan dengan keluarga dan teman-teman mereka setelah mereka coming out. Hal ini dipersulit dengan ketidakpastian tentang bagaimana mereka harus beradaptasi dengan identitas baru mereka. Coleman (dalam Ben-Ari & Adler, 2010) mengatakan bahwa bagi mereka yang memutuskan untuk mempertahankan pernikahan, homoseksualitas bisa menjadi sumber tekanan dan konflik, serta memunculkan perasaan pesimis mengenai masa depan pernikahan tersebut. Masalah lain yang muncul dalam pernikahan ini, yaitu penolakan terhadap kontak seksual dan hubungan penuh PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 38 afeksi yang dibangun oleh individu homoseksual dengan orang lain di luar pernikahan. 4. Penyesuaian Pernikahan dalam Mixed Orientation Marriage Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam mixed orientation marriage, terdapat beberapa penyesuaian yang bisa dilakukan (Ross, 1971), yaitu : a. Perpisahan Wolkomir (2009) menemukan bahwa coming out kepada suami / istri membuat beberapa pasangan merasa kebingungan mengenai cara menjalankan pernikahan ketika salah satu di antara mereka adalah homoseksual. Untuk membuat keputusan, individu biasanya memberatkan pada kekuatan pernikahan yang telah mereka jalani sebelumnya dan cinta bagi pasangan. Kebanyakan dari mereka merasa bahwa pernikahan mereka sangat kuat sebab mereka telah membesarkan anak bersama-sama, berbagi dukungan emosi dan selalu hidup penuh dengan kesenangan, pertemanan dan cinta. Akan tetapi, setelah mengetahui bahwa pasangan mereka homoseksual, mereka tidak mampu menyesuaikan kondisi mereka dengan bagaimana kondisi pernikahan seharusnya. Bagi mereka, hasrat seksual adalah satu aspek penting dalam pernikahan. Tanpa identitas gender yang benar, pernikahan tidak bisa menjadi sempurna. Dengan kata lain, kebanyakan individu merasa bahwa pernikahan mereka tidak dapat dipertahankan karena mereka tidak bisa menyesuaikan diri dengan model PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 39 dasar heteroseksualitas dan gender. Sebagai hasilnya, perceraian adalah satu-satunya resolusi yang terpikirkan. b. Platonic marriage Konflik seksual barangkali akan terselesaikan dengan sendirinya karena individu-individu yang terlibat tidak terlalu peduli dengan aktivitas seksual mereka di dalam pernikahan. Hal ini mungkin terjadi karena mereka memiliki kesibukan dan ketertarikan lain (anak, pekerjaan, dll). Pernikahan jenis ini biasanya terjadi pada pasangan heteroseksual yang cenderung ignorant, dan mereka yang hanya bertemu sesekali saja, misalnya satu kali dalam satu bulan. c. The double standard Pada beberapa kasus, individu homoseksual berhasil menjalin hubungan di luar pernikahan tanpa sepengetahuan pasangannya, sambil tetap menjaga dan mempertahankan pernikahan heteroseksual yang ia miliki. d. Innovative marriage Dalam hal ini, pasangan homoseksual berhasil membujuk suami atau istri mereka untuk ikut dalam hubungan di luar pernikahan. Untuk melakukannya, suami dan istri membangun dua kategori yang berbeda dari cinta (heteroseksual dan homoseksual) yang dilakukan secara berdampingan. Wolkomir (2009) mengutarakan bahwa beberapa pasangan tidak melihat hasrat homoseksual mampu menghapuskan kemungkinan keintiman fisik heteroseksual. Saat mereka melihat dorongan homoseksual sebagai bagian tetap dari diri seseorang yang harus diakomodasi, mereka PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 40 juga percaya bahwa hal tersebut bisa tetap berdampingan dengan dorongan heteroseksual, tanpa menomorduakan salah satu di antaranya. Sebagai hasilnya, pernikahan yang bernilai dan kehidupan seksual mampu dijalankan bersamaan dengan urusan homoseksual. Penyesuaian-penyesuaian seperti tersebut di atas, berdasarkan hasil penelitian, merupakan solusi yang buruk untuk mengatasi konflik homoseksualitas dalam pernikahan heteroseksual. Dampak dari perpisahan dan perceraian sangatlah buruk, tidak hanya bagi pasangan suami istri, tetapi juga bagi anak-anak mereka. Bahkan, anak-anak seringkali merasa bahwa perceraian orangtua jauh lebih sulit dialami daripada saat mereka menemukan bahwa orangtua mereka adalah seorang gay atau lesbian (Kort, 2006). Platonic marriage cenderung diikuti oleh adanya ketidakpuasan pada pernikahan. The double standard memberikan kerugian yang besar terhadap pasangan heteroseksual. Kecemburuan, agresi dan kemarahan individu tersebut ketika mengetahui bahwa pasangannya berselingkuh akan menjadi bumerang bagi orang-orang yang mulanya menikmati relasi di luar pernikahan. Innovative marriage merupakan cara yang paling tidak merugikan. Akan tetapi, cara tersebut hanya berhasil pada kondisi tertentu saja, yaitu ketika pihak homoseksual memiliki sexual versatility (keanekaragaman kepandaian seksual) dan ketika pasangan heteroseksualnya memiliki pikiran yang terbuka. Selain itu, Ben-Ari dan Adler (2010) memberikan beberapa syarat lain pula, yaitu : a. Membangun kejujuran dan keterbukaan satu sama lain. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 41 b. Menyusun kontrak dan peraturan yang jelas dan dinamis bagi kedua belah pihak. Kontrak dan peraturan ini terutama adalah mengenai praktik dan aktivitas homoseksual pasangan yang dilakukan di luar pernikahan. c. Kedua belah pihak menerima orientasi homoseksual yang berdiri di tengah-tengah pernikahan mereka. d. Memenuhi hasrat seksual pasangan. Hal ini disebabkan sebuah penelitian menemukan bahwa rasa pemenuhan ini dapat terproyeksi secara positif pada hubungannya dengan istri/suami. Selain itu, penelitian lain menjelaskan bahwa rasa pemenuhan dan kepuasan hubungan homoseksual berkontribusi besar bagi kepuasan pernikahan. e. Cinta sebagai motif paling kuat untuk mempertahankan pernikahan adalah dasar yang penting dalam sebuah keintegrasian. f. Persepsi bahwa mixed-orientation marriage adalah suatu hal yang unik, bukan hal yang “tidak normal” karena tidak sesuai dengan susunan pernikahan yang konservatif. Pernikahan heteroseksual bagi pria gay merupakan situasi yang penuh dengan konflik. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh Buxton (dalam Alessi, 2008), 59% pria gay yang menikah secara heteroseksual memutuskan untuk mengikuti konseling dan terapi untuk membantu mereka menghadapi konflik pernikahan. Alessi (2008) mengatakan bahwa tidak semua pria homoseksual yang menikah datang mengikuti terapi karena mereka ingin keluar dari pernikahan. Ada alasan lain yang mendorong mereka untuk ikut menjalani terapi. Dalam dua kasus klinis yang diteliti olehnya, dua pasien gay PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 42 memutuskan untuk mengikuti terapi karena mereka perlu menghadapi duka dan kehilangan yang cukup besar akibat tidak mampu menjalani tipikal hidup yang umum dimimpikan semua orang. Meskipun begitu, dua pria ini memutuskan untuk mempertahankan pernikahan mereka. Ada beberapa faktor yang membuat homoseksual memilih bertahan dalam pernikahan heteroseksual, misalnya cinta dan afeksi terhadap pasangan satu sama lain. Pernikahan tersebut memuaskan kebutuhan mereka akan relasi, kesetaraan dan kepemilikan, serta membuat mereka merasa “normal” (Blass & Blatt dalam Alessi, 2008). Selain itu, ketakutan akan kesepian dan ketergantungan mereka selama ini juga membuat mereka tetap tinggal pada pernikahan. Bagaimanapun juga, istrilah yang selama ini telah memberi cinta tak bersyarat dan dukungan penuh (Kort, 2006). 5. Individu Heteroseksual dalam Mixed Orientation Marriage Individu heteroseksual mengalami banyak tekanan dan stress ketika terlibat dalam mixed orientation marriage. Mereka merasakan suatu bentuk kehilangan yang berupa gelombang naik turun (maju mundur) yang disebut dengan ambiguous loss (Hernandez & Wilson, 2007). Hernandez dan Wilson (2007) menemukan bahwa individu-individu yang mengalami ambiguous loss akan melewati tahap-tahap berikut : (a) kesadaran akan adanya ketidaksesuaian emosi dan seksual dengan pasangan, (b) kebingungan dan merasa gagal karena berpikir bahwa perilaku merekalah yang menyebabkan ketidakcocokan ini, (c) secara bersamaan merasakan kelegaan dan ketakutan akan implikasi dari coming out yang dilakukan oleh pasangan mereka, (d) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 43 keputusasaan saat mereka tidak mampu menemukan solusi lain selain perceraian dan perpisahan, (e) mempertimbangkan kesejahteraan anak mereka setelah mengetahui bahwa orangtua mereka adalah homoseksual, (f) disorientasi saat mereka menilai dampak pengalaman ini pada diri mereka sendiri, (g) kekacauan spiritual saat mereka menguji ulang keyakinan religius yang selama ini mereka miliki, dan (h) mendefinisikan ulang diri mereka dan menegosiasikan kembali rencana hidup ke depan setelah mengalami dan menyelesaiakan isu kehilangan ini. Auerback dan Moser (1987) menemukan bahwa ada kebutuhan yang sama yang dimiliki oleh perempuan-perempuan yang memiliki suami gay. Mereka memiliki kebutuhan yang cukup besar untuk bertemu dengan teman dan rekan yang memiliki kondisi yang sama dengan mereka. Hal ini membuat mereka tidak lagi merasa sendirian. Mereka juga memiliki kebutuhan untuk membangun model konstruktif dalam menghadapi situasi mereka saat ini. Mereka butuh membicarakan pengalaman mereka, mencari informasi dan memahami homoseksualitas. Hal tersebut kemungkinan besar dapat dipenuh dalam support group. Kelompok ini ternyata juga cukup membantu partisipanpartisipannya dalam menyelesaikan isu-isu pernikahan dan membuat perubahan positif dalam hidup mereka. Kelompok untuk istri dari pria gay atau biseksual merupakan terapi intervensi yang efektif bagi masalah yang muncul akibat proses coming out yang dilakukan suami. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 44 D. Lesbian dalam Mixed Orientation Marriage Perempuan lesbian, ketika dibandingkan dengan laki-laki gay, cenderung menyadari dan berperilaku sesuai orientasi seksual yang mereka miliki pada usia yang lebih tua. Dibandingkan dengan laki-laki gay, ada lebih banyak perempuan lesbian yang pernah melakukan seks dengan lawan jenis, bahkan menikah secara heteroseksual (Bell & Weinberg dalam Nichols, 2004). Peplau dan Amaro (1982) mengungkapkan bahwa 25% lesbian menikah secara heteroseksual. Studi yang dilakukan oleh Gottschalk (2008) menemukan bahwa 40,5% lesbian pernah menikah dengan laki-laki. Penelitian lain menemukan bahwa 35% lesbian kulit putih dan 47% lesbian kulit hitam sedang dalam relasi pernikahan dengan lawan jenis (Wyers, 1987). 80% mixed orientation marriage berakhir dengan perceraian (Kort, 2006). Selain itu, Buxton (dalam Hernandez et al, 2011) mengatakan bahwa hanya ada 15% mixed orientation marriage yang mampu bertahan dalam durasi lebih dari tiga tahun. Jika dilakukan perbandingan, usia pernikahan perempuan lesbian dengan laki-laki cenderung jauh lebih singkat daripada laki-laki gay dengan perempuan. Selain itu, prevalensi perempuan lesbian yang bercerai dari suaminya jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki gay yang bercerai dari istrinya. Hal ini disebabkan karena perempuan lesbian yang menikah dengan lawan jenis cenderung tidak bahagia di dalam pernikahan mereka (Wyers, 1987). Ada banyak faktor yang mempengaruhi ketidakbahagiaan tersebut, yaitu : 1. Lesbian cenderung keterpaksaan. Dalam menikah budaya dengan laki-laki patriarkal, karena perempuan suatu memiliki PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 45 keterbatasan untuk menjalani hidup sesuai dengan yang mereka inginkan. Perempuan memiliki lebih sedikit pilihan hidup dibandingkan dengan laki-laki, termasuk pilihan untuk hidup secara terbuka sebagai seorang homoseksual (Nichols, 2004). 2. Caldwell dan Peplau (1984) mengungkapkan bahwa ketidaksetaraan gender masih sering diterapkan pada pernikahan heteroseksual yang tradisional. Dalam relasi heteroseksual, perempuan seringkali memiliki power atau kekuatan yang jauh lebih sedikit apabila dibandingkan dengan kekasih atau suami mereka. Power didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi perilaku pasangannya. Ketidaksetaraan power ini termanifestasi ketika seseorang memiliki lebih banyak suara dibandingkan pasangannya mengenai relasi mereka maupun mengenai pengambilan keputusan tertentu. 3. Lesbian cenderung tidak mampu memenuhi kebutuhan seksual mereka ketika harus menikah dengan lawan jenis. Beberapa lesbian mengaku tidak mampu mencapai orgasme saat berhubungan seksual dengan suaminya (Jay & Young dalam Peplau & Amaro, 1982). Hal ini barangkali disebabkan oleh perbedaan nilai emosional yang diterapkan perempuan dalam hubungan seksual mereka. Lesbian mengemukakan, dibandingkan dengan laki-laki, seks dengan sesama perempuan cenderung lebih lembut, lebih intim, lebih perhatian, lebih menyenangkan, lebih bervariasi dan lebih tidak agresif (Schaefer dalam Peplau & Amaro, 1982). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 46 Hasil-hasil penelitian yang menunjukkan kecilnya tingkat kesuksesan pernikahan dan banyaknya faktor yang mempengaruhi ketidakbahagiaan lesbian dalam mixed orientation marriage membuat lesbian yang mampu menjalin pernikahan heteroseksual selama lebih dari tiga tahun menjadi sebuah kasus yang sangat unik dan jarang terjadi. Oleh sebab itu, peneliti merasa tertarik untuk melakukan studi eksploratif terhadap individu tersebut dengan menggunakan pendekatan studi kasus. E. Kerangka Penelitian Heteroseksisme dan penolakan terhadap homoseksualitas memaksa homoseksual, termasuk lesbian, untuk menyembunyikan identitas orientasi seksualnya. Salah satu cara yang banyak dilakukan adalah dengan menikahi lawan jenisnya. Meskipun demikian, memutuskan untuk menikah bukan berarti terlepas dari masalah. Banyaknya konflik-konflik di dalam diri maupun konflik-konflik dengan pasangan membuat pernikahan tersebut seringkali didominasi dengan ketidakbahagiaan, ketidakpuasan dan akhirnya berakhir dengan perceraian. 80% mixed orientation marriage berakhir dengan perceraian dan hanya ada 15% mixed orientation marriage yang mampu bertahan dalam durasi lebih dari tiga tahun. Jika dilakukan perbandingan, usia pernikahan perempuan lesbian dengan laki-laki cenderung jauh lebih singkat daripada laki-laki gay dengan perempuan. Selain itu, prevalensi perempuan lesbian yang bercerai dari suaminya jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki gay yang bercerai dari istrinya. Hal ini dikarenakan perempuan lesbian yang menikah dengan lawan jenis cenderung tidak bahagia dalam pernikahan mereka. Maka, dapat terlihat bahwa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 47 lesbian yang mampu menjalin pernikahan heteroseksual selama lebih dari tiga tahun adalah sebuah kasus yang sangat jarang terjadi sehingga peneliti tertarik untuk melakukan studi eksploratif terhadap individu tersebut dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mendapatkan data yang menyeluruh, detail dan mendalam. Peneliti akan mengungkap kehidupan pernikahan yang dijalani oleh lesbian yang terlibat mixed orientation marriage. Gambaran yang utuh atas kehidupan pernikahan yang dijalani oleh lesbian yang terlibat mixed orientation marriage tidak dapat dicapai hanya dengan melihat fase hidup saat ini, tetapi juga perlu dipahami mengenai latar belakang dan motif yang mendasari pernikahan, hingga rencana dan harapan individu lesbian terhadap pernikahannya. Peneliti akan melihat perjalanan hidup sebelum menikah serta gambaran kondisi keluarga, komunitas dan masyarakat. Pemahaman akan hal-hal tersebut akan membawa kita pada kajian penelitian pertama, yaitu alasan yang mendasari subjek untuk menikah. Setelah hal tersebut didapatkan, peneliti kemudian berpindah pada kajian selanjutnya, yaitu kehidupan sehari-hari subjek saat ini. Hal ini akan terbagi menjadi beberapa subtopik, yaitu relasi individu lesbian dengan suaminya, konflik intrapersonal dan interpersonal, cara menyelesaikan konflikkonflik tersebut, serta dampak psikologis yang dirasakan setelah menikah dengan lawan jenis. Terakhir, studi akan ditutup dengan pengungkapan atas pandangan individu lesbian terhadap pernikahannya di masa yang akan datang. Hal tersebut akan dituangkan dalam pemaparan atas tujuan, rencana dan harapan yang individu lesbian lekatkan pada pernikahannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 48 Peneliti berharap bahwa hasil penelitian mampu menjadi sebuah referensi dan pembelajaran, baik bagi individu-individu yang terlibat dalam masalah serupa, maupun bagi terapis-terapis pernikahan. Selain itu, dengan mengetahui gambaran secara menyeluruh kehidupan lesbian dalam mixed orientation marriage, diharapkan masalah-masalah terkait hal ini bisa diselesaikan secara lebih konteksual. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Creswell (2009) mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif adalah sarana untuk mengeksplor dan memahami makna yang dilekatkan oleh individu atau kelompok terhadap masalah sosial atau manusia. Bogdan dan Taylor (dalam Barsrowi & Suwandi, 2008) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif karena data yang ingin ditemukan tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur statistik atau dengan cara kuantifikasi lainnya. Selain itu, penelitian kualitatif sangat berguna ketika peneliti tidak mengetahui variabel apa yang paling penting untuk diteliti. Hal ini dikarenakan topik yang akan diteliti merupakan topik yang tergolong baru dan topik tersebut tidak pernah diteliti melalui sudut pandang orang tertentu (dalam penelitian ini adalah lesbian) (Morse dalam Creswell, 2009). Penelitian mengenai lesbian yang terlibat dalam mixed orientation marriage ini secara khusus menggunakan metode kualitatif studi kasus. Creswell (2009) mengatakan bahwa studi kasus adalah strategi penelitian di mana peneliti mengeksplorasi secara mendalam program, acara, kegiatan, proses, atau satu atau lebih individu. Kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti 49 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 50 mengumpulkan informasi secara terperinci menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data selama periode waktu yang berkelanjutan (Stake dalam Creswell, 2009). Dalam hal ini, peneliti menggunakan studi kasus intrinsik, dimana peneliti fokus pada kasus yang telah dipilih karena kasus tersebut merepresentasikan sebuah situasi yang unik dan tidak biasa (Creswell, 2007). Peneliti merasa perlu menerapkan pendekatan studi kasus intrinsik karena 80% mixed orientation marriage berakhir dengan perceraian dan hanya ada 15% mixed orientation marriage yang mampu bertahan dalam durasi lebih dari tiga tahun. Jika dilakukan perbandingan, usia pernikahan perempuan lesbian dengan laki-laki cenderung jauh lebih singkat daripada laki-laki gay dengan perempuan. Selain itu, prevalensi perempuan lesbian yang bercerai dari suaminya jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki gay yang bercerai dari istrinya. Hal ini dikarenakan perempuan lesbian yang menikah dengan lawan jenis cenderung tidak bahagia di dalam pernikahan mereka. Maka, dapat terlihat bahwa lesbian yang mampu menjalin pernikahan heteroseksual selama lebih dari tiga tahun adalah sebuah kasus yang sangat jarang terjadi sehingga peneliti tertarik untuk melakukan studi eksploratif terhadap individu tersebut dengan menggunakan pendekatan studi kasus. B. Fokus Penelitian Fokus penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran dasar yang menyeluruh mengenai individu lesbian yang terlibat dalam mixed orientation marriage, yang dijelaskan dalam beberapa dimensi, yaitu motif yang mendasari pernikahan, relasi dengan suami, konflik interpersonal dan intrapersonal yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 51 dialami beserta penyelesainnya, dampak psikologis, dan rencana serta harapan individu terhadap pernikahannya. C. Subjek Penelitian Dalam memilih subjek, peneliti menggunakan purposive sampling. Peneliti memilih individu tertentu yang dapat memberikan informasi dan pemahaman yang dibutuhkan mengenai masalah penelitian dan fenomena utama yang ingin diteliti (Creswell, 2007). Peneliti menyusun kriteria-kriteria terrentu yang dijadikan dasar untuk memilih subjek. Kriteria tersebut adalah : 1. Mengidentifikasi diri memiliki orientasi seksual lesbian. 2. Memiliki hubungan pernikahan dengan lawan jenis lebih dari tiga tahun. D. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian merupakan tahap-tahap yang dilakukan oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini. Tahapan tersebut adalah : 1. Peneliti menentukan topik penelitian dan menyusun rancangan penelitian. Peneliti juga mengumpulkan data yang berkaitan dengan topik penelitian, yaitu lesbian dan mixed orientation marriage. Data dikumpulkan dari buku, jurnal, artikel serta informasi-informasi terkait yang bisa ditemukan di internet. 2. Peneliti menentukan karakteristik subjek penelitian dan menentukan individu yang akan menjadi subjek di dalam penelitian ini. 3. Peneliti menyusun panduan pertanyaan yang akan digunakan sebagai dasar dalam melakukan wawancara. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 52 4. Peneliti bertemu dengan subjek dan membangun rapport kepada subjek. Di dalam tahap ini, peneliti juga menanyakan kesediaan subjek untuk menjadi subjek dalam penelitian ini. Selanjutnya, peneliti dan subjek menentukan waktu dan tempat pengambilan data dan wawancara. 5. Sebelum melakukan wawancara, peneliti menanyakan kembali kesediaan subjek untuk menjadi subjek dalam penelitian ini dengan menandatangani lembar Informed Consent yang berisi proses pengambilan data, efek yang akan didapatkan oleh subjek dan hak-hak yang bisa didapatkan oleh subjek ketika melakukan proses wawancara ini. 6. Peneliti melakukan wawancara semi-terstruktur dengan informan. 7. Setelah melakukan wawancara, peneliti menyusun verbatim dari hasil wawancara yang diperoleh dengan bantuan tape recorder. Peneliti juga membuat kode-kode dan keterangan kode pada hasil verbatim tersebut untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan metode yang sudah ditentukan. 8. Peneliti menarik kesimpulan dari hasil olah data yang sudah dikonsultasikan pada dosen pembimbing. Dari hasil olah data tersebut juga didapatkan saran bagi masyarakat dan peneliti lain. E. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan teknik wawancara. Wawancara merupakan percakapan yang dilakukan oleh dua PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 53 pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan, dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Basrowi & Suwandi, 2008). Peneliti melakukan wawancara langsung, yaitu wawancara yang ditujukan langsung kepada orang yang diperlukan keterangan atau datanya dalam penelitian (Sunyono, 2011). Peneliti melakukan teknik wawancara yang bersifat semi terstruktur dengan panduan pertanyaan yang bersifat terbuka sehingga data yang didapatkan mendalam dan tidak terbatas. Hal ini juga dilakukan agar informan tidak merasa ditekan ketika dilakukan wawancara. Sebelum melakukan wawancara, peneliti menyusun panduan wawancara yang akan digunakan untuk membantu mengumpulkan data. Berikut adalah guideline pertanyaan yang akan dijadikan panduan : Tabel 1. Guideline Pertanyaan Wawancara Latar Belakang 1. Kapan dan peristiwa apa yang membuat anda pertama kali menyadari orientasi seksual yang anda miliki? 2. Apa yang anda pikirkan, rasakan dan lakukan saat itu? 3. Bagaimana ceritanya sampai anda akhirnya benar-benar mengidentifikasi diri sebagai seorang lesbian? 4. Ceritakan pengalaman anda ketika menjalin relasi romantis dengan sesama perempuan maupun dengan lawan jenis. 5. Siapa saja yang mengetahui mengenai orientasi seksual yang anda miliki dan bagaimana reaksi mereka terhadap hal ini? PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 54 6. Bagaimana penilaian orang-orang di sekitar anda (keluarga dan teman) terkait isu LGBT? 7. Hal apa yang membuat anda akhirnya menikah dengan suami anda saat ini? 8. Sudah berapa lama anda menikah dengan suami anda tersebut? Kehidupan Saat Ini 9. Bagaimana relasi anda dengan suami anda selama ini? 10. Bagaimana interaksi anda dan suami anda ketika sedang di rumah? 11. Seberapa sering anda berhubungan seksual dengan suami anda? Apakah anda menikmatinya? Kalau anda tidak menikmatinya, apa yang mendorong anda untuk tetap melakukannya? 12. Apa pengaruh orientasi lesbian yang anda miliki terhadap pernikahan anda? 13. Bagaimana relasi anda dengan anak anda selama ini? 14. Bagaimana interaksi anda dengan anak anda ketika sedang di rumah? 15. Apa dampak kehadiran anak terhadap diri anda maupun terhadap pernikahan anda dengan suami? 16. Apakah saat ini suami dan anak anda mengetahui mengenai orientasi seksual yang anda miliki? Bagaimana mereka mengetahuinya? 17. Konflik-konflik apa saja yang biasanya muncul di antara anda dan suami anda? 18. Bagaimana cara anda menyelesaikan konflik-konflik tersebut? 19. Konflik-konflik apa yang biasanya muncul di dalam diri anda setelah menikah dengan suami, baik kaitannya dengan relasi bersama suami, anak, keluarga maupun masyarakat secara umum? PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 55 20. Ketika sedang berada dalam situasi yang menekan dan penuh dengan stress, bagaimana cara anda meregulasi diri supaya tidak mengganggu aktivitas sehari-hari anda? 21. Perubahan apa yang anda rasakan setelah anda menikah dengan suami anda sekarang? 22. Apa dampak pernikahan ini terhadap diri anda sebagai seorang lesbian? 23. Hal apa atau siapa yang menjadi kekuatan terbesar yang membuat anda memilih untuk bertahan dalam pernikahan ini? 24. Hal positif apa yang anda dapatkan dari pernikahan ini? Orientasi Masa Depan 25. Apa rencana anda ke depannya terkait pernikahan ini? 26. Apa harapan anda ke depannya terkait pernikahan ini? Dalam wawancara ini, peneliti menggunakan dua teknik pencatatan data. Yang pertama, peneliti akan merekam seluruh proses wawancara menggunakan tape recorder. Alat perekam digunakan agar tidak ada hasil wawancara yang terlewatkan atau hilang sehingga terjaga keutuhan hasil data. Dalam penggunaannya, alat perekam akan digunakan ketika sudah mendapatkan persetujuan dari informan. Yang kedua, peneliti akan membuat catatan-catatan untuk membantu mencari pokok-pokok penting sehingga akan mempermudah proses analisis. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 56 F. Analisis Data Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan urutan dasar sehingga dapat dirumuskan kesimpulan seperti yang disampaikan oleh data (Basrowi & Suwandi, 2008). Peneliti menggunakan prosedur umum dan langkah-langkah khusus dalam analisis data (Creswell, 2008), yaitu sebagai berikut : 1. Mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis. Langkah ini melibatkan transkripsi wawancara, men-scanning materi, mengetik data lapangan atau memilah-milah dan menyusun data tersebut ke dalam jenisjenis yang berbeda tergantung pada sumber informasi. 2. Membaca keseluruhan data untuk membangun general sense atau informasi yang diperoleh dan merefleksikan maknanya secara keseluruhan. 3. Menganalisis lebih detail dengan meng-coding data. Coding merupakan proses mengolah materi atau informasi menjadi segmen-segmen tulisan sebelum memaknainya. Langkah ini melibatkan beberapa tahap, yaitu : mengambil data tulisan atau gambar yang telah dikumpulkan selama proses pengumpulan, mensegmentasikan kalimat-kalimat (atau paragrafparagraf) atau gambar-gambar tersebut ke dalam kategori-kategori, kemudian melabeli kategori-kategori ini dengan istilah-istilah khusus. 4. Peneliti menerapkan proses coding untuk mendeskripsikan setting, orangorang, kategori-kategori dan tema-tema yang akan dianalisis. Deskripsi ini melibatkan usaha penyampaian informasi secara detail mengenai orang- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 57 orang, lokasi-lokasi atau peristiwa-peristiwa dalam setting tertentu. Setelah itu, peneliti menerapkan proses coding untuk membuat sejumlah kecil tema atau kategori. Setalah mengidentifikasi tema-tema selama proses coding, peneliti akan memanfaatkan lebih jauh tema-tema ini untuk membuat analisis yang lebih kompleks. 5. Peneliti menyajikan kembali deskripsi dan tema-tema dalam bentuk narasi atau laporan kualitatif. 6. Peneliti menginterpretasi atau memaknai data. G. Reliabilitas dan Validitas Data Reliabilitas pada penelitian kualitatif dimaknai sebagai sejauh mana pendekatan yang diterapkan peneliti konsisten dengan yang diterapkan oleh peneliti-peneliti lain dan dalam proyek-proyek penelitian lain (Supratiknya, 2015). Peneliti menggunakan dua prosedur pengujian reliabilitas yang dinyatakan oleh Creswell (2007), yaitu : 1. Memeriksa transkrip-transkip rekaman wawancara dan observasi untuk memastikan tidak ada kesalahan-kesalahan serius yang terjadi selama proses transkripsi. 2. Memastikan tidak ada pergeseran pada definisi kode-kode, yaitu perubahan makna kode-kode yang terjadi selama proses pengodean. Pergeseran kode semacam ini bisa dihindari dengan cara selalu membandingkan data dengan kode-kode yang berhasil dirumuskan serta rajin membuat catatan tentang kode-kode beserta definisi masingmasing. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 58 Selain menguji reliabilitas, peneliti juga akan melakukan uji validitas. Validitas dalam penelitian kualitatif dimaknai sebagai sejauh mana peneliti memeriksa keakuratan temuan-temuannya dengan menerapkan sejumlah prosedur tertentu. Istilah lain adalah trustworthiness atau taraf kepercayaan, authenticity atau otentisitas, dan credibility atau kredibilitas (Supratiknya, 2015). Peneliti menggunakan prosedur member checking atau pengecekan kembali pada partisipan untuk menguji validitas hasil penelitian dan untuk memastikan keakuratan temuan-temuan berupa tema-tema. Rumusan tema-tema akan dibawa kembali dan ditunjukkan kepada partisipan untuk mengetahui apakah mereka merasa bahwa rumusan tema-tema itu sudah akurat (Creswell, 2007). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Persiapan Penelitian Hal yang dilakukan peneliti setelah menentukan topik, mengumpulkan literatur terkait dan menyusun rancangan penelitian adalah mencari individu yang memenuhi karakteristik informan penelitian. Peneliti meminta bantuan pada teman-teman yang sedang atau pernah terlibat dalam komunitas atau organisasi yang concern di bidang LGBT untuk mendapatkan informan sebagai sumber data. Peneliti menjelaskan maksud, tujuan dan gambaran penelitian yang akan peneliti lakukan, serta karakteristik individu yang bisa dijadikan informan penelitian. Sayangnya, tidak ada satupun dari mereka mengenal seseorang yang memenuhi karakteristik informan yang dibutuhkan. Kebanyakan dari mereka hanya mengenal biseksual yang menikah, bukan lesbian. Peneliti akhinya mendapatkan informasi mengenai subjek I melalui seorang teman lama. Beliau menyarankan untuk bertemu dengan salah seorang kenalannya yang merupakan lesbian yang menikah dengan laki-laki. Setelah bertemu dan menjelaskan mengenai penelitian yang akan dilaksanakan, peneliti mendapatkan izin untuk melakukan penelitian pada subjek I. Peneliti mendapatkan rekomendasi subjek II melalui subjek I. Peneliti langsung berusaha menemui, kemudian kembali memberikan gambaran penelitian yang akan dilakukan. Setelah penjelasan singkat, subjek II menyatakan kesediaannya untuk menjadi informan penelitian. 59 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 60 Peneliti memutuskan untuk hanya menggunakan dua subjek sebagai informan penelitian. Hal ini berkaitan dengan sulitnya mendapatkan subjek lain yang memenuhi karakteristik informan. Seorang lesbian cenderung menutup atau menyembunyikan dirinya yang sebenarnya dari lingkungan luar, kecuali dari komunitas atau organisasi LGBT yang mereka ikuti. Sayangnya, lesbian yang menikah sangat jarang bergabung karena mereka cenderung mendapatkan penolakan dan stigma negatif dari kelompok tersebut. B. Pelaksanaan Penelitian Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam atau in-depth interview yang dilaksanakan dalam kurun waktu Juli hingga Oktober 2016. Sebelum wawancara dilakukan, peneliti menemui subjek penelitian beberapa kali untuk melakukan rapport atau pendekatan. Hal ini dilakukan agar kedua subjek penelitian merasa aman dan nyaman untuk mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan pada saat wawancara penelitian dilaksanakan. Dalam proses ini, peneliti juga membuat kesepakatan dengan kedua subjek mengenai waktu dan tempat wawancara akan diadakan. Peneliti merasa sedikit kesulitan dalam menentukan waktu dan tempat wawancara. Hal ini dikarenakan kedua subjek tidak menginginkan keluarganya mengetahui bahwa ia sedang menjadi subjek penelitian. Mereka juga menghindari kecurigaan keluarga yang mungkin muncul ketika subjek menghabiskan waktu berdua dengan sesama perempuan. Dengan subjek I, peneliti terpaksa melaksanakan penelitian di sebuah café sedangkan dengan subjek II, peneliti berhasil menemukan waktu dimana suami subjek sedang tidak berada di rumah. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 61 Sesaat sebelum wawancara dimulai, peneliti sekali lagi menanyakan kesediaan subjek untuk menjadi informan penelitian. Sesuai dengan pasal 49 dalam Kode Etik Psikologi Indonesia (Himpunan Psikologi Indonesia, 2010), peneliti juga memberikan lembar informed consent yang di dalamnya menjelaskan tujuan penelitian, prosedur penelitian, kerahasiaan data penelitian, efek yang akan didapatkan, dan hak informan. Setelah membaca dan memahami informed consent, subjek menandatangani lembar persetujuan untuk terlibat di dalam penelitian. Kemudian, proses pengambilan data melalui wawancara segera dimulai. Berikut adalah tabel ringkasan kegiatan pengambilan data penelitian pada dua informan : Tabel 2. Ringkasan Kegiatan Pengambilan Data Penelitian Waktu 1 Juli 2016 Kegiatan Perizinan penelitian dengan Tempat Rumah subjek I subjek I 10 Juli 2016 Rapport dengan subjek I Café 14 Juli 2016 Wawancara pertama subjek I Café 30 Juli 2016 Perizinan penelitian dengan Rumah subjek II subjek II 2 Agustus 2016 Rapport dengan subjek II Rumah subjek II 9 Agustus 2016 Wawancara pertama subjek II Rumah subjek II 7 Oktober 2016 Wawancara kedua subjek II Rumah subjek II Catatan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 62 C. Hasil Penelitian Tabel 3. Data Demografis Subjek Keterangan Subjek I Subjek II Nama (Inisial) N D Usia 32 tahun 31 tahun Suku Bangsa Minang Jawa Pendidikan Terakhir SMA S1 Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Ibu Rumah Tangga Usia Suami 40 tahun 35 tahun Suku Bangsa Suami Minang Melayu Pendidikan Terakhir Suami S1 S1 Pekerjaan Suami Wiraswasta PNS Usia Pernikahan 13 tahun 8 tahun Jumlah Anak 2 2 Usia Anak 12 tahun dan 8 tahun 7 tahun dan 2 tahun 1. Kesadaran Akan Orientasi Homoseksual Kedua subjek penelitian sama-sama menyadari orientasi homoseksualnya pertama kali pada saat berusia remaja. Hal tersebut dimulai dari ketertarikan mereka terhadap perempuan tertentu. Meskipun demikian, respons kedua subjek akan kesadaran orientasi seksual mereka cenderung berbeda. Setelah menyadari akan orientasi seksualnya, subjek I merasa senang karena akhirnya bisa menemukan sesuatu yang benar-benar membuatnya nyaman dan berkesan. Hal ini tampak pada pernyataan subjek sebagai berikut: “Seneng sih. Kayaknya mulai menemukan oh ini yang.. ternyata yang memang buat aku tuh nyaman, yang bener-bener apa ya.. ngerasa berkesan kayak gitu di hati ya kayak gitu.” (Subjek I, Line 30-31) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 63 Berbeda dengan subjek I, subjek II tidak merasa demikian. Subjek II mengatakan bahwa ia tidak bisa secara langsung menerima dirinya sebagai seorang lesbian. Hal ini dikarenakan ia masih belum yakin bahwa orang lain juga sama sepertinya dan bahwa menjadi seorang lesbian bukanlah suatu kesalahan (dosa). Namun, dengan semakin banyak informasi yang didapatkan mengenai orientasi seksual, subjek II semakin bisa menerima dirinya dan hal ini membuatnya merasa nyaman dan santai dalam melakukan segala hal. Hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai berikut: “Awalnya sih penolakan.. penolakan diri tuh ada.. maksudnya kayak.. kayak ngerasa .. ini tuh salah.. kok aku kayak gini ya.. kok aku beda.. ngrasa kayak ini dosa nggak ya.. gitu gitu.. karena kan kalau menurutku sih itu karena aku belum tau banyak informasi apapun gitu.. aku cuman kayak e ya nggak ada.. nggak ada temen cerita nggak ada yang bisa ditanyain jadi aku ngerasa kayak gitu sih awalnya. Tapi semakin lama mm aku bisa baca buku.. aku cari informasi banyak hal akhirnya ya aku bisa nerima sih..” (Subjek II, Line 24-34) Subjek I pernah menjalin relasi romantis dengan lawan jenis. Meskipun merasa nyaman dan dilindungi, subjek I mengakui bahwa perasaan saat berpacaran dengan perempuan serba berbeda dengan saat berpacaran dengan laki-laki. Relasi dengan laki-laki terasa biasa saja ketika ia mulai mencoba berpacaran dengan perempuan. Berbeda dengan subjek I, subjek II belum pernah sekalipun berpacaran dengan laki-laki. Ia mengatakan bahwa ia PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 64 tidak pernah memiliki ketertarikan sama sekali dengan lawan jenis dan hanya merasa memiliki ikatan emosi yang dalam dengan perempuan saja. Subjek I mendeskripsikan relasi romantis dengan sesama jenis sebagai relasi yang lebih nyaman, lebih santai, lebih dilindungi, lebih spesial serta lebih bahagia jika dibandingkan dengan saat bersama laki-laki. Subjek I juga mengaku lebih stres dan lebih mau mengalah saat sedang berkonflik dengan pacar perempuan. Hal ini tampak pada pernyataan subjek sebagai berikut : “Trus aku sekarang sama cewek kok kayaknya lebih nyamannya sama cewek..” (Subjek I, Line 551-552) “..cuman ya emang lebih spesial, kalau kita jalan sama cewek gitu kayak ngerasa.. ngerasanya lebih.. lebih seneng aja dibandingin sama cowok.” (Subjek I, Line 66-68) “Kalau aku misalnya aku berantem.. jaman aku masih sama.. e apa.. pacar cewekku dulu.. itu pasti aku yang yaudah aku minta maaf deh gitu gitu..” (Subjek I, Line 154-157) “Stres kalau misalnya aku lagi berantem sama pacarku yang cewek itu.. bisa yang stress banget banget bisa.” (Subjek I, Line 269-271) Tidak jauh berbeda dengan subjek I, subjek II juga menilai relasi dengan perempuan sebagai relasi yang membuatnya merasa nyaman dan senang. Meskipun ada duka yang harus dilalui selama berpacaran dengan perempuan, subjek II tetap menilai relasi tersebut menyenangkan. Hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai berikut : PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 65 “Ya kayak orang-orang pacaran biasa sih menurutku. Kamu dengan pacarmu merasa nyaman.. senang.. Tapi ya emang kalau ada suka, ada dukanya juga. Berantem gitu ada pasti. Tapi kalau secara keseluruhan ya menyenangkan sih.” (Subjek II, Line 817-821) 2. Menyembunyikan Orientasi Homoseksual Orang-orang di sekitar kedua subjek, khususnya orangtua, cenderung memiliki pandangan yang negatif terhadap LGBT. Lingkungan menilai LGBT sebagai sebuah hal yang salah, hina, memalukan, dosa, aib, tidak benar, terbuang dan tidak bisa diterima. Hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai berikut : “Negative thinking yaa. Emang negatif.. Semua itu bilang.. oh kayak gitu.. Pokoknya negatifnya lah. Negatifnya..”(Subjek I, Line 82-84) “Kalau.. e bagi mereka itu tuh bener-bener kayak terhina banget gitu lho.. Kalau seorang L itu emang bener-bener terbuang dari keluarga gitu kan.”(Subjek I, Line 96-99). “Kalau dari orangtua ku sih kayaknya pikirannya itu masih mainstream sih.. Maksudnya masih yang LGBT itu dosa salah nggak bener gitu.. Jadi kayak.. ya masih nggak bisa terima.. Masih nggak bisa terima dan menganggap LGBT itu negatif.” (Subjek II, Line 100105) Stigma negatif yang didapatkan dari lingkungan membuat kedua subjek memilih untuk menutup diri dan menyembunyikan orientasi homoseksualnya kecuali pada orang-orang tertentu. Yang mengetahui PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 66 mengenai orientasi seksual subjek I hanyalah mantan kekasih dan teman jauh. Subjek I memilih bercerita dengan teman jauh karena menurutnya jarak membuat penyampaian ke keluarga menjadi tidak mungkin terjadi. Hal ini terbukti dari jawaban subjek saat diwawancara yaitu sebagai berikut : “Mm orang-orang terdekat aja sih.. em.. yaaa rata-rata mantan sih hehe. Mantan dia tau.. Trus ada temen.. temen yang nggak tau ama lingkungan keluarga ya.. Temen yang jauh.. Misal kayak temen di Jakarta itu kan nggak tau sama sekali ama keluargaku, nah yang kayak gitu aku berani ngasih tau karena kan nggak mungkin mereka ngasi tau keluarga kan.. Nggak mungkin ada penyampaian.”(Subjek I, Line 518-525) Di sisi lain, subjek II memilih mengungkapkan orientasi seksualnya pada teman dekat yang sekiranya bisa dipercaya saja. “Ya cuman temen-temen deket sih.. Maksudnya temen-temen yang.. yang bisa dipercaya aja..” (Subjek II, Line 73-75) Meskipun berusaha sebisa mungkin untuk menyembunyikan, lama kelamaan orangtua kedua subjek merasa curiga akan orientasi homoseksual anak mereka. Orangtua subjek I menjadi curiga setelah mendengar rumor di antara teman-teman sekolah yang mengatakan bahwa subjek I adalah seorang lesbian, sedangkan orangtua subjek II menjadi curiga setelah menyadari bahwa subjek II banyak memiliki buku atau novel yang terkait dengan homoseksualitas. Selain itu, pada saat yang sama, orangtua pacar subjek II yang baru mengetahui bahwa anaknya lesbian juga datang menemui keluarga PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 67 subjek II untuk memberitahukan mengenai relasi subjek II dengan pacar perempuannya. Kecurigaan tersebut membuat kedua subjek sering ditanyai orangtuanya. Subjek I selalu berusaha menghindar dan mengalihkan pembicaraan, namun subjek II cenderung tidak tahan dan merasa tertekan sehingga memilih mengungkapkan orientasi seksualnya ke kedua orangtuanya. Hal ini membuat orangtua subjek II sangat marah, kemudian memantau berlebihan dan melarangnya melakukan banyak hal sehingga ia menjadi tidak bebas lagi membangun relasi dengan perempuan. “Setelah ketahuan gitu kan jadi kayak apa.. dipantau terus.. nggak boleh ini.. nggak boleh itu.. trus apa-apa dipantau.. Jadi kayak.. bener-bener nggak bisa bergerak gitu..” (Subjek II, Line 111-115) Setelah menikah, kedua subjek juga menyembunyikan orientasi seksual dari suami. Selain itu, keduanya tidak memiliki rencana untuk mengungkapkan hal tersebut sampai kapanpun. Hal ini dikarenakan subjek I memiliki ketakutan jika orientasi seksualnya hanya akan diumbar-umbar saja, sedangkan subjek II tidak merasa memiliki tanggungjawab untuk memberitahu suami. 3. Motif Menikah Untuk mengantisipasi berkembangnya orientasi homoseksual yang tidak diinginkan, orangtua kedua subjek menjodohkan anaknya dengan lakilaki pilihan mereka. Tekanan dan paksaan yang sangat besar dari lingkungan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 68 serta tidak adanya bantuan dari teman-teman membuat subjek II merasa bahwa memang tidak ada jalan lain selain menuruti keinginan orangtua. “Ya awalnya sih nggak terima.. Cuman.. nggak tau ya.. Saat itu tuh bener-bener tekanannya tuh besar banget kayak gitu. Belum juga yang dari.. mereka tuh kayak maksa banget kayak gitu yang.. kayak ngi.. kita tuh bener-bener ngerasa kayak yang.. duh bikin malu keluarga banget gitu.. Gitu gitu.. Jadi kayak tertekan secara psikologis gitu lah ngerasanya dan e.. ya temen-temen juga nggak bisa bantu kan paling juga.. mereka juga paling cuma dengerin kayak gitu.. Jadi kayak udah nggak ada jalan keluar lain lagi gitu.” (Subjek II, Line 128-141) Berbeda dengan subjek II, subjek I mampu menemukan alasan lain yang membuatnya tidak menolak dijodohkan. Subjek I merasa bahwa pernikahannya dengan laki-laki bisa menjadi suatu cara untuk memanasmanasi pacar perempuan yang saat itu sedang berkonflik dengannya. “Karena kemarin pas aku lagi ada masalah juga sih ya sama.. pacarku itu gitu.. Jadi pas ada masalah gitu emang niatku udah kayaknya aku mesti kayak gini.. biar dia marah juga sama aku.. Niat awalnya sih gitu.. Yaudahlah mungkin dengan kayak gini dia bisa ngerasain.. duh kamu jangan donggg.. Berharapnya sih gitu.. Tapi ternyata dia nggak tau waktu aku nikah gitu..” (Subjek I, Line 452458) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 69 4. Relasi Dengan Suami a. Relasi Emosional Subjek I telah menikah selama 13 tahun, sedangkan subjek II telah menikah selama 7 tahun. Selain usia pernikahan, nuansa relasi kedua subjek dengan suami juga cenderung berbeda. Subjek I mengatakan bahwa pada saat tertentu, ia dan suami bisa jadi cukup dekat, bahkan seperti berteman. Ia juga cenderung terbuka terhadap suaminya, kecuali mengenai orientasi seksual. Sebaliknya, subjek II menceritakan bahwa ia dan suami cenderung dingin dan hanya tampak baik di luar saja. Kedua subjek mengakui bahwa sebenarnya suami menyayangi dan memperhatikan mereka. Akan tetapi, perlakuan baik tersebut tetap membuat kedua subjek merasa tidak nyaman, bahkan cenderung merasa risih. Subjek I menceritakan bahwa meskipun suami menyayanginya dan memperlakukannya dengan cukup baik, suami seringkali mendominasi dan posesif. Hal ini membuat subjek I harus pintar-pintar mencari alasan dan membohongi suami demi bisa pergi menemui pacar perempuannya. Kondisi ini jauh berbeda dengan kondisi subjek II. Subjek II mengatakan bahwa suami tidak dominan di dalam relasi. Hal ini dikarenakan subjek II cenderung keras sehingga tidak gampang menerima perlakuan atau permintaan dari suami. Ketidaknyamanan kedua subjek disadari oleh masing-masing suami karena mereka pernah mengungkapkan ketidaknyamanannya secara PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 70 langsung. Subjek II juga yakin bahwa ketidaknyamanan tersebut terlihat secara tidak langsung melalui perilakunya sehari-hari. Walaupun begitu, hal tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan karena kedua suami seringkali ketidaknyamanan tidak mau peduli dan hanya pasangannya. Suami cenderung mengabaikan mengalah dan membiarkan saja. Hal ini dikarenakan suami tidak menginginkan pernikahan mereka berakhir. “Dia senyum senyum aja sih.. Nggak terlalu ditanggepin.. karena dia tau emang aku tuh emang emang pengen keluar dari kehidupan dia gitu.. Jadi dia berusaha untuk netral aja .. Ya udah ya udah gitu.. Dia berusaha ngalah.. Dia berusaha ngalah karena kayaknya dia juga nggak.. nggak mau sampai bubaran.. gitu gitu.. Kayaknya dia masih ngejaga yang kayak gitu.” (Subjek I, Line 414-420) Meskipun demikian, terkadang subjek II juga harus berhadapan dengan kemarahan suaminya karena suaminya tersebut menganggap subjek II tidak berusaha menyesuaikan dirinya dan tidak berkorban untuk mempertahankan pernikahan ini. “Ya dia tergantung mood-nya juga sih. Maksudnya kadang dia ngerasin aku balik. Bilang aku ini nggak ada usaha buat menyesuaikan diri, berkorban sedikit blablabla.. Tapi seringnya ya dia ngediemin aku sih. Mungkin karena udah keseringan kayak gini kali kan.” (Subjek II, Line 783-789) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 71 b. Relasi Seksual Kedua subjek mengaku tidak dapat menikmati hubungan seksualnya dengan suami dan merasa tidak nyaman akan kontak fisik tersebut. Bahkan subjek II mengatakan bahwa hubungan seksual membuatnya merasa tertekan, sedih dan sakit hati. “Jadi.. emm nggak bisa menikmati lah. Nggak nggak bisa menikmati yang kayak gitu.” (Subjek I, Line 188-190) “Tertekan banget sih.. tapi.. ya gimana ya.. Yang namanya nggak nyaman ngelakuin kayak gitu tuh.. rasanya kayak.. antara sedih dan.. sakit dan.. ya gimana nggak nyaman banget rasanya..” (Subjek II, Line 209-213) Meskipun kedua subjek sama-sama menilai hubungan seksual dengan suami sebagai sesuatu yang negatif, keduanya cenderung menyikapinya secara berbeda. Perasaan negatif membuat subjek II selalu berusaha untuk menolak dan menghindari hubungan seksual dengan suami. Akan tetapi, terkadang, suami benar-benar memaksa sehingga ia pun tidak bisa mengelak. Hal ini membuat subjek II seringkali merasa bahwa ia “diperkosa” oleh suami. Apalagi, suami pernah melakukan hubungan seks terhadap subjek II saat subjek II sedang tidur. Subjek merasa sangat tidak terima karena suami memperlakukannya seperti barang. Meskipun merasa sangat tersiksa karena hubungan seksual yang dilakukan dengan suami, subjek merasa tidak dapat meminta perlindungan atau dukungan darimanapun. Hal ini dikarenakan budaya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 72 Indonesia mengatakan bahwa memang sudah menjadi tugas seorang istri untuk menuruti perkataan dan melayani permintaan suami. “Ya namanya di Indonesia lah ya.. Yang namanya istri ya cuman.. yaudah kamu harus nurut apapun yang suamimu bilang.. yaudah ngangkang tinggal ngangkang aja.” (Subjek II, Line 204-207) Sikap subjek II ini sangat berbeda dengan sikap subjek I. Subjek I tetap mau berhubungan seksual dengan suami karena merasa bahwa hal tersebut merupakan kewajibannya sebagai istri dan sebuah risiko yang harus ditanggungnya karena memilih menikah. “Aku tetep ngejalanin yang.. apa.. kewajiban aku yang kayak gitu.. tetep.. walaupun nggak sesuai sama hatiku.. hatiku menentang.. aku tetep jalanin.. karena aku udah mengambil keputusan untuk menikah kan.. dan aku terima resiko itu.” (Subjek I, Line 181-186) Saat berhubungan seksual, kedua subjek cenderung pasif, cuek dan tidak merespons suaminya sama sekali. Subjek I juga mengatakan bahwa suami juga menilainya tidak excited dan cenderung berekspresi kosong saat sedang berhubungan seksual. “Katanya tuh aku nih.. apa ya.. kayak nggak excited gitu.. Pasif lah istilahnya. Nggak banyak ngapa-ngapain. Ya aku sadar sih kalau aku emang sering gak ngerespons dia.. Bahkan ekspresipun katanya kayak kosong banget gitu.” (Subjek I, Line 199-203) “Saat aku sama suami have sex gitu kan.. kita nggak.. aku benerbener masa bodoh gitu loh.. nggak.. bener-bener cuek.. cuek PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 73 banget kayak gitu tuh yang bener-bener nggak bisa ngerasain apaapa.. nggak ngerespon gitu tuh.” (Subjek II, Line 233-237) 5. Konflik Dengan Suami Hal-hal kecil dan sepele bisa memicu konflik di antara kedua subjek dan suami. Ketidaknyamanan dan perasaan malas yang terbaca juga sering menjadi penyebab pertengkaran. “Berantem itu ya karena hal-hal kecil sih.” (Subjek I, Line 160) “Kadang ya karena kita nggak nyaman itu kebaca ama dia. Trus kadang ya omongan kita kurang berkenan di hati di ya kayak kayak gitu itu masih.” (Subjek I, Line 142-145) “Ya banyak sih.. Kadang.. apa ya.. hal-hal kecil yang nggak penting kayak gitu tuh yang bisa bikin berantem.. adu mulut.. trus bantahbantahan gitu.. karena aku juga.. apa ya.. mungkin karena aku nggak nyaman.. nggak nyaman sendiri sih di relasi itu jadi kayak.. aku tuh males gitu untuk ngalah.. Jadi ya.. kadang hal kecil aja gitu bisa.. suka bisa bikin berantem..” (Subjek II, Line 156-163) Selain itu, subjek I sering bertengkar dengan suami karena keinginan bercerai yang ditolak dan karena perbedaan cara mendidik (mengasuh) anak. Suami yang suka bertengkar di depan anak-anak juga menjadi konflik tersendiri. Subjek I dan suami yang seharusnya sudah akur bisa menjadi bertengkar kembali karena hal ini. Subjek I sudah berusaha memperingatkan untuk tidak lagi melakukan hal tersebut, akan tetap suami masih terus mengulanginya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 74 “Kadang karena masalah anak-anak yang e maunya aku tuh anakanak kayak gitu.. dia nggak kayak gitu.. Trus juga kalau.. e ngomel dia suka depan anak, aku suka marah.. ya pokoknya kayak kayak gitu.” (Subjek I, Line 160-164) Di sisi lain, subjek II pernah bertengkar dengan suami karena suami melakukan hubungan seksual terhadap subjek II saat dirinya tidak sadarkan diri (tidur). Hal ini membuat subjek merasa sangat marah, tidak terima dan sakit hati karena suami memperlakukannya seperti barang. Apalagi hal tersebut membuatnya hamil dan hal ini berarti telah melanggar kesepakatan yang telah dibuat bersama, yaitu tidak memiliki anak kedua sampai subjek II dan suami sama-sama siap. Karena belum merasa siap dan merasa tidak terima akan kenyataan sepengetahuannya, subjek bahwa II-pun dirinya hamil melakukan anak kedua tanpa banyak cara untuk menggugurkan kandungannya, misalnya dengan meloncat-loncat dan makan sembarangan. Keinginannya tersebut tercapai karena tak lama kemudian ia mengalami pendarahan. Hal ini membuat suami marah besar terhadap subjek II dan konflik barupun muncul di antara mereka. Saat sedang bertengkar dengan suami, kedua subjek hanya akan adu mulut dan saling membantah satu sama lain, kemudian diam-diaman. Tidak ada kekerasan fisik yang muncul saat kedua subjek berkonflik dengan suami. “Iya.. saling ngomel gitu trus nanti kalau capek akhirnya ya diemdieman, jutek-jutekan satu sama lain (Subjek I, Line 166-167). Alhamdulillah nggak pernah main tangan sih dia nya. Jadi ya cuma PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 75 sebatas marah-marahan.. bentak-bentakan gitu..(Subjek I, Line 169171)” “Kita sama-sama keras trus biasanya yang apa.. nggak ada yang mau ngalah trus bantah-bantahan kayak gitu.. tapi yaudah diemdieman..(Subjek II, Line 174-176) kalau main fisik gitu sih dia nggak.. dia nggak pernah ngelakuin itu sih sampe detik ini..” (Subjek II, Line 167-169) Meskipun demikian, subjek I mengatakan bahwa saat sedang bertengkar dengan suami, subjek dan suami akan saling memperebutkan anak. Subjek berusaha membawa anak-anak bersembunyi di kamar karena jika tidak suami akan menggunakan anak-anak sebagai “senjata” untuk membuat subjek mengalah. Salah satu contohnya adalah ketika suami membawa salah satu anak mereka ke luar kota saat mereka sedang bertengkar. Subjek I mengatakan bahwa suami seringkali akhirnya mengalah. Biasanya, subjek I cenderung tidak mau mengalah dan tetap kekuh pada pendapatnya sendiri saat sedang berkonflik dengan suami. Akan tetapi, pada saat tertentu, ia harus melakukannya demi anak-anak. “Aku kalau berantem ama suami itu nggak pernah yang namanya aku negur duluan nggak pernah. Aku masih kekeuh sama hati aku sendiri. Nggak bakal aku negur duluan. (Subjek I, Line 151-154) Tapi kadang aku terpaksa buat ngalah dari suami ku. Soalnya suami tuh seringkali kalau berantem pakai senjatanya itu anak-anak.. Dia tau kalau aku lekat banget sama anakku.. Gampang luluh.. (Subjek I, Line 585-588) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 76 Jadi kan terpaksa aku yang ngalah, walaupun aku ngerasa nggak salah, sekeras-kerasnya aku kalau sudah soal anak aku pasti nurunin ego.” (Subjek I, Line 595-597) Berbeda dengan subjek I, saat terjadi konflik di antara subjek II dan suaminya, tidak ada satupun di antara mereka yang mau mengalah dan meminta maaf duluan. Meskipun demikian lama kelamaan keadaan akan membaik dengan sendirinya, dimulai dari suami yang berpura-pura tidak terjadi apa-apa (pertengkaran) di antara mereka. “Mau berantem-berantem kayak gimanapun, dia duluan yang lamalama berusaha kayak.. nggak ngalah minta maaf gitu tapi pura-pura baik-baik aja lah.. pura-pura nggak habis berantem, nggak ada apaapa.. (Subjek II, Line 808-813) Lama-lama baik sendiri sih kayak gitu” (Subjek II, Line 176-177) Meskipun ada cukup banyak konflik di pernikahan, kedua suami samasama berusaha mempertahanakan pernikahan mereka dan tidak ingin pernikahan tersebut berakhir. Subjek II mengatakan bahwa suami tidak ingin bercerai karena tidak mau dipandang sebagai lelaki yang gagal mempertahankan rumah tangganya sendiri. Selain itu, hal ini juga dikarenakan suami menyadari bahwa perceraian akan berdampak bagi banyak orang, terutama anak-anak. “Dia pernah bilang sama aku kalau dia nggak mau sampai kita cerai, mau usahain gimanapun caranya kita bisa bertahan gitu. Dia nggak mau dibilang cowok gagal yang nggak bisa jagain rumah tangganya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 77 sendiri.. Ya kek-kek gitu lah.. Mungkin itu sih yang bikin dia bertahan.. Lebih ke ego nya dia, takut dipandang jelek. (Subjek II, Line 793-799) Karena anak-anak juga sih menurutku. Karena kan dia juga sadar kalau perceraian tuh pasti berdampak pada banyak orang. Nggak cuma antara aku dan dia doang. Ya anak-anak terutama karena kan mereka yang paling dekat dari kita berdua.” (Subjek II, Line 801-805) 6. Kehadiran Anak Kedua subjek mengungkapkan bahwa relasi mereka dengan anak-anak cenderung biasa saja dan tidak ada yang aneh. Bahkan, mereka berdua samasama lebih dekat dengan anak-anak dibandingkan dengan suami. Kedua subjek selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka. Subjek II mengatakan bahwa ia mencintai anaknya sepenuh hati dan hal tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan orientasi seksualnya. Kehadiran anak di dalam pernikahan memberikan dampak yang positif bagi diri kedua subjek. Menurut subjek I, anak memberikan motivasi dan semangat untuk menjadi kuat dan bertahan. “Tapi semenjak ada anak-anak ya udah e.. udah.. udah ngerasa.. ah ini motivasiku.. aku.. aku bertahan demi anak-anak itu mulai.. itu mulai memunculkan semangat.” (Subjek I, Line 360-363) Subjek II juga merasakan hal yang sama dengan subjek I. Selain itu, subjek II juga mengatakan bahwa anak merupakan pelarian agar tidak terlalu berfokus pada masalah dan merupakan penghibur saat sedang marah, capek dan down. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 78 “E.. ya aku ngerasa lebih kuat aja sih.. maksudnya jadi kayak aku punya alasan gitu untuk bertahan.. aku punya alasan untuk e.. bisa kuat gitu loh.. Maksudnya kayak kalau misalnya e.. apa ya.. ya aku ngerasa mereka jadi kekuatan sih buat aku gitu.. yang saat aku lagi marah.. saat aku lagi down gitu mereka ada. Paling nggak mereka bisa menghibur apa namanya menghibur aku gitu loh.. meskipun apa namanya ya dengan situasi kayak gini ya aku masih bersyukur punya mereka kayak gitu. (Subjek II, Line 365-374) Ada anak gitu juga jadi kayak semacem aku punya pelarian gitu.. nggak.. nggak terlalu fokus ke masalahku gitu” (Subjek II, Line 327-329) Bagi kedua subjek, kehadiran anak juga berpengaruh pada pola konflik dengan suami. Semenjak anak hadir di pernikahan mereka, subjek I dan II harus menutupi pertengkarannya dengan suami dan berusaha menunjukkan bahwa ia dan suami memiliki hubungan yang baik-baik saja. Hal ini dikarenakan anak-anak subjek semakin lama semakin dewasa, sehingga semakin mengerti emosi dan hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Subjek II takut pertengkarannya dengan suami memberikan dampak buruk bagi anak-anak. Ketakutan tersebut juga membuat subjek II menjadi harus lebih pintar mengontrol emosi dan harus sembunyi-sembunyi jika ingin menangis. Subjek II menyadari bahwa anaknya akan langsung sedih apabila melihat dirinya sedang menangis dan ia tidak ingin hal ini terjadi. Hal ini dapat dibuktikan dari pernyataan subjek sebagai berikut : PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 79 “Setelah ada anak sih.. lebih harus bisa mengontrol emosi sih.. Jadi kayak.. e ya iya sih aku emang sering berantem gitu sama suami sering ini.. tapi karena udah ada anak.. ud udah gede.. apalagi yang satu udah gede lah udah tujuh tahun gitu.. dia udah ngerti. Maksudnya.. sedih.. seneng.. marah.. gitu dia udah gitu emosi-emosi kayak gitu.. Jadi kayak saat aku marah.. saat aku berantem ya sebisa mungkin aku nutupin di depan mereka gitu.. Aku nggak berani untuk memperlihatkan kalau kita.. aku sama suami tuh nggak baik-baik aja gitu. Itu yang masih ditutupin sih kalau di depan mereka gitu. (Subjek II, Line 340-351) Kan sekarang udah ada anak jadi kan mesti sembunyi-sembunyi gitu.. Nggak bisa juga kamu mau nangis ya nangis aja itu nggak bisa juga. Kayak gitu.. Aku juga nggak mau gitu terus mereka ngeliat aku nangis terus mereka juga ikutan jadi sedih gitu..” (Subjek II, Line 423-427) Berbeda dengan suami subjek II yang cenderung mau bekerja sama dalam hal menyembunyikan konflik dari anak, suami subjek I cenderung tidak kooperatif. Subjek I sudah memperingatkan suami untuk tidak bertengkar di depan anak-anak, akan tetapi suami terus mengulanginya. Hal ini membuat keinginan subjek I untuk bercerai dari suaminya semakin kuat. Mulanya, subjek I masih mau mempertahankan pernikahannya karena menyadari bahwa perceraian akan berdampak besar bagi banyak orang. Akan tetapi, situasi berubah setelah kedua anaknya bertambah usia. Berdasarkan penuturan subjek I, semakin lama, anak semakin paham akan apa yang terjadi di antara subjek PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 80 dan suaminya. Hal ini membuat subjek I merasa bahwa pernikahan yang tidak sehat akan lebih mengganggu psikologis anak dan ia tidak mau hal ini terjadi. Saat ini, subjek I memiliki alasan yang lebih kuat untuk bercerai daripada bertahan. Hal ini terlihat dari perkataan subjek sebagai berikut : “Sekarang akhirnya lebih mikirin ke anak-anak ya. Mikirin anakanak.. Trus e.. karena anak-anak sudah besar, trus sudah ngerti kita nggak mungkin berantem terus kan.. Disitu aku mulai.. kayaknya nggak bisa dipertahanin lagi ini.. Yang awalnya aku berusaha ya udah aku pertahanin.. aku pertahanin gitu.. Nah sekarang ini aku udah.. aku udah berusaha untuk e.. bilang ke dia kalau emang sama-sama nggak nyaman ya udah maunya apa.. Kalau aku sih maunya kayak gini.. Nah dia ternyata nggak mau yang kayak gitu kan.. Yaudah.. Cuman.. e.. aku masih berusaha untuk.. e.. lepas aja dari dia daripada psikolog anak kena kan.. Kita berantem terus.. berantem terus.. Otomatis kan ke.. ke ini anak kena. Akhirnya ke situ sih sekarang.” (Subjek I, Line 334-347) 7. Dampak Pernikahan a. Perasaan dan Pikiran Negatif Diri Jika dilihat secara menyeluruh, pernikahan memberikan banyak dampak negatif bagi diri kedua subjek di dalam pernikahan ini. Subjek I mengaku merasa terpaksa, tidak bahagia, putus asa dan terkekang. Selain itu, pernikahan ini membuat subjek I berpikir bahwa dirinya tidak berarti dan hubungannya dengan suami adalah sesuatu yang sia-sia. Ia sudah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 81 berusaha untuk bertahan, akan tetapi masih selalu ada konflik yang muncul di antara subjek I dan suaminya yang membuat segalanya menjadi semakin berat. “Aku kayaknya semakin ngerasa.. aduh kayaknya hubungan ini kayak sia-sia gitu lho. Kayak sia-siaaa banget. Aku udah berusaha untuk mencoba bisa bersama gitu, tapi ternyata ada aja konflikkonflik apa.” (Subjek I, Line 236-239) Pernikahan dengan suami juga membuat subjek I mengalami banyak ketakutan, misalnya ketakutan bahwa jati dirinya terbongkar, perselingkuhannya ketahuan dan kehilangan anak-anaknya. “Karena dia selalu pakai anak-anak sebagai senjata ini juga makanya aku lebih hati-hatiiii banget biar rahasiaku nggak kebongkar. Takutnya nanti gara-gara ini anak-anakku malah diambil, jadi pisah aku sama anak-anak. Takut aku. Kalau mau cerai gitu juga aku harus pintar-pintar cari celah, jangan sampai bikin orang lain curiga.” (Subjek I, Line 603-611) Tidak berbeda jauh dari subjek I, pernikahan membuat subjek II merasa tertekan, lelah, muak, dan jenuh karena ia harus berpura-pura bahagia dan baik-baik saja berhadapan setiap hari dengan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. “Karena apa.. ya aku emang aku nggak nyaman kan.. Pada dasarnya nggak nyaman.. Jadi ya gimana sih kalau nggak nyaman melakukan sesuatu tapi kamu harus melakukan itu gitu.. Dan itu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 82 setiap hari.. Dan kita harus serumah segala macem.. Jadi benerbener tertekan banget gitu..” (Subjek II, Line 317-322) Kalau.. sebenernya ngerasanya capek sih.. capek banget gitu.. Maksudnya kayak.. di depan.. di depan semua orang.. di depan keluarga terutama kamu harus.. kayak berusaha untuk nunjukin kalau aku bahagia.. aku baik-baik aja.. aku nggak ada masalah kayak gitu.. capek.. capek untuk bersikap kayak gitu tuh capek banget.. .. Apalagi kalau emang kamu bener-bener nggak nyaman gitu.. Rasanya tuh bener-bener jenuh.. muak.. pengen pergi gitu..“ (Subjek II, Line 378-387) b. Perasaan Terhadap Orang Lain Bagi kedua subjek, pernikahan memunculkan perasaan kasihan terhadap orang lain. Pada subjek I, perasaan tersebut ditujukan pada kedua anaknya dan suami. Ia merasa kasihan dengan anak-anak karena terusterusan bertengkar dengan suami. Pertengkaran tersebut seringkali membuat anak menjadi bertanya-tanya. Di sisi lain, subjek I juga merasa kasihan dengan suami karena terus-terusan ia bohongi. “Aku yang nggak senang itu kalau dia mau berantem depan anakanak enjoy masih. Nah aku nggak suka. Kalau berantem jangan depan anak-anak kan kasian anak-anaknya.” (Subjek I, Line 797800) “… kita juga nutupin dia juga dibohongin kan kasian ya.” (Subjek I, Line 245-246) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 83 Berbeda dengan subjek I, subjek II merasa kasihan dan tidak tega pada orang-orang yang pernah atau akan menjadi pacar perempuannya. Ia mengatakan bahwa orang-orang tersebut pasti merasa sangat cemburu, sakit hati dan tertekan. Kondisinya yang telah menikah tentu terasa sangat tidak adil bagi pacar subjek II. “Aku juga merasa nggak adil gitu. Kasian juga kan dia nya. Mungkin kalau aku ada di posisi dia juga pasti bakal sakit hati banget gitu. Aku sama suamiku tiap hari.. ya meskipun aku juga tertekan tapi tiap hari gitu kan ya siapa sih yang nggak cemburu kayak gitu.” (Subjek II, Line 503-509) c. Konflik Intrapersonal Kedua subjek memiliki konflik intrapersonal yang berbeda satu sama lain. Subjek I memiliki beberapa konflik di dalam dirinya. Yang pertama, subjek I cenderung mengalami konflik diri terkait hubungan seksual yang dijalani dengan suaminya. Ia merasa harus melakukan hubungan seksual dengan suaminya karena hal tersebut merupakan kewajibannya sebagai seorang istri. Akan tetapi, di sisi lain, hubungan seksual tersebut memunculkan perasaan bersalah terhadap pacar perempuannya. “Makanya kadang.. kan kita udah ngejalanin hubungan sama cewek gitu.. trus pas.. berhubungan intim sama suami mikirnya ngerasa bersalah.. aduh aku kok malah kayak gini. Aku ngecewain PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 84 dia nih.. kadang ada perasaan kayak gitu.” (Subjek I, Line 910914) Konflik yang kedua adalah subjek I merasa bahwa ia tidak bisa mengatakan hal yang sejujurnya pada suaminya karena kejujuran itu akan berdampak buruk padanya, misalnya mengenai orientasi seksual dan perselingkuhannya. Meskipun demikian, ia merasa kasihan karena suami terus menerus ia bohongi. Subjek I juga merasakan konflik batin ketika ia menjauhkan anak-anak dari ayah mereka saat sedang bertengkar. Hal ini dikarenakan ia merasa bersalah pada anak-anaknya tersebut. “Pas pergi awal-awal Reynan masuk TK itu iya nangis. Kadang “ayah.. ayah..” Kalau sudah ayah..ayah.. gini kadang ngerasa bersalah sih.” (Subjek I, Line 716-718) Hal yang berbeda dirasakan oleh subjek II. Konflik yang dirasakan subjek II muncul karena adanya keinginan meninggalkan kehidupan saat ini dan bercerai dari suami supaya bisa bebas menjadi diri sendiri dan mulai membahagiakan diri sendiri. Sayangnya, keinginan tersebut bertentangan dengan rasa tanggung jawabnya terhadap kedua anaknya. “Rasanya tuh pengen.. bener-bener pengen.. pergi gitu.. ninggalin semua-semuanya terus pengen ngebahagiain diri sendiri.. gitugitu.. pengennya sih gitu.. cuman ya gimana nggak bisa gitu juga karena sekarang aku sudah punya anak.. aku punya tanggung jawab di situ..” (Subjek II, Line 388-393) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 85 Selain itu, keinginan itu juga diikuti oleh perasaan tidak yakin bahwa setelahnya ia bisa bebas dari paksaan orangtua. Menurut subjek II, di usianya yang sudah dewasa, orangtua memang seharusnya tidak lagi ikut campur dalam kehidupan anaknya. Akan tetapi, ia tidak yakin bahwa hal itu bisa dilakukan oleh kedua orangtuanya. “Misal aku cerai sekarang gitu.. e.. apa iya aku terus bisa bebas dari orangtua gitu. Ya emang harusnya sih dengan umur aku kayak gini tuh harusnya orangtua tuh nggak ik.. nggak seharusnya ikut campur gitu dengan.. dengan.. e apa namanya.. dengan apa yang aku jalanin gitu. Aku udah dewasa.. aku udah punya hak untuk menjalankan apapun yang aku mau.. seharusnya kayak gitu.. nggak ada ikut campur. Tapi kan ya namanya orangtua ya teteplah orangtua gitu. Kita nggak tau mes.. misalnya pun aku bisa cerai sekarang.. lah entar trus dinikahin gitu sama yang lain dengan alasan macem-macem ya sama aja bohong kan.” (Subjek II, Line 624-637) d. Relasi Sosial Kedua subjek mengatakan bahwa pernikahan membuat mereka memiliki beberapa sikap negatif terhadap orang di sekitar. Subjek I mengaku menjadi pribadi yang lebih egois setelah menikah. “Kadang kelihatan lebih egoisnya.. karena kan memang semua itu nggak sesuai sama hati ya.. Itu kan kayak keterpaksaan.. Jadi ada aja di mata itu yang salah..” (Subjek I, Line 208-210) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 86 Sementara itu, subjek II merasa menjadi pribadi yang lebih cuek, jutek dan tidak peduli pada orang lain selain orang-orang yang dia sayang. Subjek II mengatakan bahwa dirinya yang sekarang sangat berbeda dengan dirinya yang dulu. Pernikahan dan perlakuan yang tidak adil dari orangorang sekitar membuatnya merasa tidak perlu berbaik hati pada mereka. “Aku ngerasa kayak aku lebih cuek aja sih.. lebih jutek kali ya ke orang-orang gitu. Kayak ke orangtua.. ke suami apalagi gitu.. ya ke banyak orang lah. Rasanya tuh lebih cuek aja. Padahal aku sih ngerasanya sebelumnya aku nggak kayak gini gitu, cuman.. kayak aku jadi ngerasa.. kok orang-orang dan keadaan tuh nggak adil tuh loh ke aku. Ya ngapain juga aku harus peduli sama orang kan. Kecuali ya sama orang-orang yang emang aku sayang. Misalnya kayak mantanku yang terakhir itu.. trus ama anak-anak. Jelas beda lah jadinya.” (Subjek II, Line 583-594) Dalam hal relasi sosial, pernikahan juga membuat subjek II menjadi tidak memiliki teman bercerita seperti sebelumnya. Sebelum menikah, subjek II bisa selalu berlari ke komunitas LGBT untuk meminta bantuan atau sekedar berkeluh kesah mengenai orientasi homoseksualnya. Akan tetapi, sekarang ia tidak lagi dekat dengan teman-teman komunitas karena merasa takut, tidak diterima, selalu dijudge dan tidak dimengerti ketika bercerita kepada mereka. Bagi teman-teman komunitas, menuruti paksaan orangtua untuk menikah adalah pilihannya sendiri. Oleh sebab itu, ia harus menanggung semua risiko yang menyertainya. Hal ini bertolak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 87 belakang dengan keyakinan subjek II. Menurut subjek II, situasi yang ia hadapi tidak sesederhana yang dibayangkan teman-temannya. “Sebelum aku nikah kayak gitu tuh aku masih.. aku punya masalah apapun gitu aku bisa lari ke temen-temen komunitas gitu.. temen komu.. temen komunitas tuh yang tau gitu tau posisiku gimana.. tau aku tuh siapa.. gitu gitu.. aku at least aku punya tempat untuk cerita dan punya dukungan kayak gitu. Tapi kalau dengan posisi sekarang gitu aku masih jadi rad.. jadi.. takut gitu loh kalau mau cerita ke orang.. Soalnya aku udah nggak.. aku udah merasa nggak diterima gitu dari awal. Pasti mereka tuh yang bilang.. kayak.. aku udah dijudge duluan gitu loh dari awal. Maksudnya kadang bilang aku menikah terpaksa kayak gitu dan bukan pe.. bukan itu keinginan ku kayak gitu tuh mereka malah yang, lah apa namanya kalau memang bukan keinginanmu kenapa akhirnya nrima untuk mau menikah. Kenapa kamu nggak menolak.. Gitu gitu.. padahal kan itu nggak sesimple itu gitu loh masalahnya. Dan.. makanya aku ngerasa.. wah aku udah dijudge duluan nih sebelum aku ini.. jadi agak males sih.” (Subjek II, Line 560-580) e. Relasi Homoseksual Kedua subjek mengatakan bahwa pernikahan membuat relasi homoseksual menjadi terhalang. Subjek I bercerita bahwa ia harus sembunyi-sembunyi dan pintar-pintar mencari alasan supaya bisa menemui pacar perempuannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 88 “..kayak terganggu aja sih hubungan kita dengan sesama cewek e pas.. karena adanya suami. Lebih nggak bebas.. lebih terkekang.. Kalau mau kemana-mana kan mesti harus laporan dulu..” (Subjek I, Line 444-449) Hal yang sedikit berbeda diutarakan subjek II. Subjek II mengatakan bahwa pernikahan membuatnya terpaksa putus dengan pacar perempuannya. Hal ini dikarenakan pacarnya tersebut merasa cemburu dan tidak tahan dengan kondisinya yang sudah menikah apalagi memiliki anak yang masih kecil. “Awal-awal tuh sempet sih punya pacar gitu tapi akhirnya ya putus karena ya dia cemburu.. nggak tahan gitu dengan kondisi ku yang istilahnya udah menikah dan emang nggak adil kan posisinya gitu..” (Subjek II, Line 497-500) Setelah putus dengan pacarnya, subjek II merasa harus mempertimbangkan banyak hal apabila ingin menjalin relasi baru dengan orang di luar pernikahan. Relasi ini akan sangat sulit bagi baik subjek II maupun kekasihnya. Selain itu, apabila relasi di luar pernikahan ketahuan, ia akan diceraikan dan berisiko kehilangan anak-anaknya, mengingat LGBT belum begitu diterima di Indonesia. “Misalnya sempet ketahuan gitu aku lesbian terus diceraiin gitu.. bisa-bisa juga hak as.. hak asuh anak juga jatuh ke apa namanya ke suami aku jadinya kan.. karena posisi di Indonesia kan LGBT tau sendiri belum bisa diterima kan.” (Subjek II, Line 525-529) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 89 8. Strategi Coping Kedua subjek memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi stress dan tekanan dari luar maupun dari dalam diri. Subjek I cenderung menyiksa dirinya sendiri. Ia akan mengurung diri, banyak menangis, tidak mau makan dan tidak mau melakukan banyak hal. “Lebih banyak nangis, trus ngurung diri. Trus.. ya lebih ke nyiksa diri ya.. Nggak mau makan.. Nggak mau apa gitu.. Memang bener-bener di.. nyiksa diri lah..” (Subjek I, Line 275-277) Saat sedang dalam masalah, subjek I membutuhkan bantuan orang lain, yaitu pacar perempuannya, untuk bisa merasa lebih baik. Subjek I biasa bercerita dengan pacar perempuannya tersebut karena pacarnya tersebut selalu mendukung dan menyemangatinya. Selain itu ia juga merasa nyaman bercerita dengan pacarnya karena pacarnya merupakan orang yang bijaksana, bisa menjadi penengah dan bisa memberi solusi. “Selama ini sih kalau baik-baikin sendiri itu belum bisa sih.. Tapi ya paling yang.. apa.. e.. paling ya pacarku ada yang ngasih support ku lah.. nggak usah kayak gitu. Kamu kenapa kayak gini.. kayak gini.. gitu jadi support juga. Dia lebih mensupport sih.. Kamu nggak boleh kayak gitu.. Ngasih semangatlah intinya.” (Subjek I, Line 510-515) Berbeda dengan subjek I yang sering bercerita pada pacar, subjek II merasa bahwa ia tidak dapat melakukan apapun dan tidak akan mendapat dukungan darimanapun sehingga subjek II memilih menangis sendiri saat sedang merasa capek, muak dan jenuh. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 90 “Ya paling nangis sih.. Paling cuman bisanya nangis senangisnangisnya kayak gitu..” (Subjek II, Line 418-419) Pada saat tertentu, subjek II akan berusaha menyibukkan diri dengan membaca, bekerja dan fokus pada anak-anak untuk mengalihkan perhatian dari emosi negatif yang dirasakan. Hal tersebut dibuktikan dari pernyataan subjek sebagai berikut : “Ya nyibukin diri sendiri aja sih.. maksudnya aku juga orangnya suka baca.. ya aku baca.. Apapun sih.. Apapun yang bisa menyibukkan diri aku atau kerja.. ya apapun sih.. yang penting e.. yang penting itu bisa ngalihin perhatian aku gitu.. Atau ya aku juga sekarang punya anakanak aku bisa fokus juga mikirin mereka gitu.” (Subjek II, Line 457463) 9. Orientasi Masa Depan Kedua subjek memiliki angan-angan untuk bercerai dari suaminya dan telah mempersiapkannya sejak saat ini. Meskipun tetap berusaha menjalani hidup apa adanya dan berdamai dengan keadaan, kedua subjek diam-diam memikirkan cara (alasan) untuk meminta cerai tanpa menimbulkan kecurigaan. Subjek I berusaha membuat keluarganya mendukung perceraian dengan cara menceritakan hal-hal buruk tentang suami, misalnya dengan mengungkapkan bahwa suami melarangnya pulang ke rumah ibunya. Setelah bercerai dari suami, subjek berharap bisa hidup bertiga saja dengan kedua anaknya. Ia merasa bahwa hal tersebut bisa membuatnya lebih menikmati PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 91 hidup. Untuk mencapai keinginannya tersebut, subjek I mempersiapkan modal untuk hidup mandiri tanpa suami. Ia mengumpulkan uang gajinya secara diam-diam dan uang tersebut ia gunakan untuk membeli sebidang tanah. Ia juga menjaga agar tidak terikat dengan suami dan keluarganya dengan cara menolak seluruh harta kekayaan yang ditawarkan. Meskipun bercerai dari suaminya, subjek I berharap bahwa hubungannya dengan suami akan tetap baik-baik saja dan tetap seperti keluarga. Subjek I mengatakan bahwa suami dan anak-anak bisa tetap saling bertemu kapanpun mereka mau. Ia sangat tidak ingin anak-anak menjadi korban akibat perceraiannya dengan suami. Subjek II tidak melakukan hal yang dilakukan oleh subjek I. Subjek II cenderung lebih berusaha untuk mempersiapkan anak-anaknya untuk kuat menghadapi perceraian yang mungkin terjadi. Ia juga berusaha memberi pengertian kepada anak-anak tentang keadaan yang sebenarnya. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi munculnya dampak negatif perceraian terhadap anak-anaknya. Kedua subjek berencana mengungkapkan orientasi seksual kepada anak-anaknya saat mereka sudah lebih dewasa. Saat ini, kedua subjek merasa bahwa anak-anak masih terlalu kecil dan belum paham jika diberitahu. “Sewaktu-waktu ada keinginan gitu biar anak-anak biar tau ya.. Tapi untuk saat ini belum.. karena umurnya belum.. belum mencukupi. Belum bisa diajakin ngomong kayak gitu.. Susah nanti jelasinnya. Tapi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 92 mungkin dengan berjalannya waktu aku bakal ngasih tau ke anakanak biar dia tau oh kayak gini ibunya.” (Subjek I, Line 395-400) “Kalau ke anak mungkin saat dia sudah besar.. saat dia sudah mengerti aku pengen sih.. aku pengen cerita ke dia..” (Subjek II, Line 481-483) Meskipun demikian, alasan yang mendorong kedua subjek untuk memberitahu anaknya berbeda satu sama lain. Subjek I ingin bisa menjadi diri sendiri di hadapan anak-anaknya dan tidak ada yang ditutupi. Ia ingin anakanaknya bisa menerimanya apa adanya. Hal ini tampak pada pernyataan sebagai berikut : “Karena.. kalau anak.. Jadi kalau seandainya.. e apa ya.. Aku pengennya anak-anakku nerima aku apa adanya tanpa aku harus menutupi kayak gitu. Cukup yang lain nggak tau tapi aku pengen orang terdekat aku itu tau..” (Subjek I, Line 466-470) Berbeda dengan subjek I, subjek II merasa bahwa pengungkapan ini bisa menjadi sebuah sarana yang membuat anak-anaknya memiliki wawasan yang lebih luas, berpikiran terbuka, bisa toleransi dan tidak diskriminasi. “Aku pengen mereka punya wawasan yang luas. Aku pengen mereka punya pemikiran yang luas. Open mind.. dan mereka bisa menghargai dan belajar toleransi gitu kalau.. ini loh di dunia tuh nggak cuma apa.. semuanya tuh cuman bisa dilihat dari satu sisi. Tapi banyak hal lain gitu loh. Aku pengen mengajarkan. Aku pengen banget bisa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 93 mengajarkan mereka untuk toleransi dan nggak diskriminasi.” (Subjek II, Line 481-491) D. Pembahasan Kedua subjek menyadari orientasi seksualnya sejak masih duduk di bangku sekolah. Hal ini sejalan dengan penemuan Savin-Williams (dalam Dechaananwong, Tuicomepee & Kotrajaras, 2013) yang menunjukkan bahwa kebanyakan individu LGBT mulai menyadari orientasi seksual mereka saat berusia remaja. Kedua subjek pertama kali menyadari bahwa mereka lesbian saat mereka merasa tertarik secara emosi terhadap perempuan tertentu. Saat ini, kedua subjek bisa menerima, bahkan cenderung merasa nyaman dan senang dengan identitas orientasi seksualnya. Meskipun demikian, pada mulanya, subjek II mengalami penolakan di dalam diri. Hal ini dikarenakan ia masih belum yakin bahwa orang lain juga sama sepertinya dan bahwa menjadi seorang lesbian bukanlah suatu kesalahan (dosa). Yang dialami oleh subjek II ini sesuai dengan model pembentukan identitas yang diutarakan oleh Cass (1979). Menurut Cass (1979), tahap pertama yang dilalui seseorang dalam pembentukan identitas adalah identity confusion. Pada tahap ini, individu mulai bertanya-tanya siapa dirinya yang sebenarnya dan apakah ia berbeda dari orang-orang di sekitarnya. Individu berusaha melihat dirinya sama dengan lingkungan di sekitarnya sehingga terus menolak perasaan yang ia rasakan. Subjek II melalui tahapan ini. Ia menceritakan bahwa hal tersebut terjadi karena saat itu dia belum banyak mengenal tentang konsep LGBT. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 94 Kedua subjek sama-sama pernah menjalin relasi sesama jenis dan menilai positif relasi tersebut. Akan tetapi, relasi tersebut tidak dapat berjalan dengan mulus mengingat budaya Indonesia masih sangat mendiskriminasi homoseksual. Lingkungan menilai LGBT sebagai sebuah hal yang salah, hina, memalukan, dosa, aib, tidak benar, terbuang dan tidak bisa diterima. Hal ini sesuai dengan laporan Global Attitudes Project oleh Pew Research (2013a) mengenai sikap terhadap homoseksual di Indonesia yang menunjukkan adanya penolakan terhadap homoseksualitas oleh 93% responden survei dan hanya ada 3% yang bersikap menerima. Stigma negatif dan penolakan membuat kedua subjek memilih untuk menyembunyikan orientasi seksualnya yang sebenarnya. Sayangnya, keluarga merasa curiga setelah memperhatikan perkembangan anaknya di lingkungan sosial. Keluarga kemudian menjodohkan dan memaksa kedua subjek untuk menikah dengan laki-laki pilihan mereka. Hal ini sesuai dengan penemuan Ross (dalam Tornello & Patterson, 2011) yang menyebutkan bahwa salah satu alasan yang paling sering muncul yang membuat seorang homoseksual menikah dengan lawan jenis adalah karena adanya tekanan dari lingkungan luar, misalnya keluarga dan teman. Selain itu hal ini juga barangkali berkaitan dengan harapan keluarga bahwa menikah bisa “menyembuhkan” homoseksualitas yang dimiliki kedua subjek. Subjek II merasa bahwa memang tidak ada jalan lain selain menuruti orangtua, akan tetapi di sisi lain, subjek I memiliki alasan lain yang membuatnya tidak menolak dijodohkan, yaitu untuk memanas-manasi pacar perempuan yang saat itu sedang berkonflik dengannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 95 Secara garis besar, kedua subjek merasa tidak nyaman di dalam pernikahan mereka. Hal tersebut terlihat jelas melalui interaksi sehari-hari maupun melalui hubungan seksual dengan suami. Dalam hal seksual, kedua subjek sama-sama tidak dapat menikmati hubungan seksual dengan suami dan merasa tidak nyaman akan kontak fisik tersebut. Bahkan subjek II mengatakan bahwa hubungan seksual membuatnya merasa tertekan, sedih dan sakit hati. Sebagai seorang lesbian, hal ini sudah pasti terjadi pada diri kedua subjek. Hal ini dikarenakan ketertarikan seksual lesbian diarahkan pada sesama jenis, bukan pada lawan jenis. Saat menikah dengan laki-laki, lesbian tidak akan mampu memenuhi kebutuhan seksual mereka. Mereka juga tidak mampu mencapai orgasme saat berhubungan seksual dengan suami (Jay & Young dalam Peplau & Amaro, 1982). Hal ini disebabkan oleh perbedaan nilai emosional yang diterapkan perempuan dalam hubungan seksual mereka. Lesbian mengemukakan, dibandingkan dengan laki-laki, seks dengan sesama perempuan cenderung lebih lembut, lebih intim, lebih perhatian, lebih menyenangkan, lebih bervariasi dan lebih tidak agresif (Schaefer dalam Peplau & Amaro, 1982). Meskipun kedua subjek sama-sama menilai hubungan seksual dengan suami sebagai sesuatu yang negatif, keduanya cenderung menyikapinya secara berbeda. Hal ini berkaitan dengan alasan subjek menikahi suaminya. Subjek II yang menikah secara terpaksa sebisa mungkin menolak dan menghindari kontak seksual. Berdasarkan hasil penelitian Ross (1971), salah satu masalah yang sering muncul dalam mixed orientation marriage memang adalah penolakan terhadap kontak seksual. Meskipun demikian, pada pernikahan subjek II, suami terkadang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 96 benar-benar memaksa sehingga ia pun tidak bisa mengelak. Hal ini membuat subjek II seringkali merasa bahwa ia “diperkosa” oleh suami. Subjek I yang memilih mau dijodohkan cenderung dengan sukarela mau berhubungan seksual dengan suami, meskipun relasi intim itu dirasakan secara negatif. Subjek I merasa bahwa hal tersebut merupakan kewajibannya sebagai istri dan sebuah risiko yang harus ditanggungnya karena memilih menikah. Tidak hanya dalam hal seksual, ketidaknyamanan juga memunculkan banyak konflik di antara kedua subjek dengan suami. Relasi cenderung didominasi oleh pertengkaran-pertengkaran kecil yang berakar dari sikap kedua subjek, misalnya subjek yang cenderung malas-malasan ketika berinteraksi dengan suami. Selain itu, konflik-konflik lain yang cukup besar juga muncul di antara kedua subjek dengan suami masing-masing, contohnya perbedaan cara mengasuh anak pada subjek I dan pemaksaan dalam hubungan seksual pada subjek II. Pada dasarnya, munculnya konflik di dalam kehidupan pernikahan merupakan sesuatu yang tidak mungkin dapat dihindari (Kazmierczak & Plopa dalam Borchet & Lewandowska-Walter). Konflik bisa terjadi karena perbedaan sikap, motif, tujuan dan gaya berperilaku pada situasi tertentu. Meskipun demikian, jika dilihat secara menyeluruh, konflik yang paling dominan dan paling merusak relasi kedua subjek dengan suami adalah yang disebut dengan silent conflict. Konflik ini merupakan konflik tersembunyi, non-verbal dan non-fisik. Silent conflict berbentuk pergulatan batin yang implisit, perlawanan pasif, dan perasaan terganggu yang tidak terungkap (Rostowska dalam Borchet & Lewandowska-Walter). Di dalam kasus kedua subjek, silent conflict PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 97 memunculkan konflik-konflik baru dan hal ini sebenarnya berakar dari ketidaknyamanan kedua subjek dalam berelasi dengan suami. Walaupun kedua suami sudah mengetahui perihal ketidaknyamanan pasangannya, mereka tidak menyadari bahwa hal tersebut sebenarnya berasal dari orientasi homoseksual yang dimiliki istri. Saat sedang berkonflik, subjek I mengatakan bahwa suami seringkali akhirnya mengalah. Biasanya, subjek I cenderung tidak mau mengalah dan tetap kekeuh pada pendapatnya sendiri saat sedang bertengkar dengan suami. Akan tetapi, pada saat tertentu, ia harus melakukannya demi anak-anak. Berbeda dengan subjek I, saat terjadi konflik di antara subjek II dan suaminya, tidak ada satupun di antara mereka yang mau mengalah dan meminta maaf duluan. Meskipun demikian lama kelamaan keadaan akan membaik dengan sendirinya, dimulai dari suami yang berpura-pura tidak terjadi apa-apa (pertengkaran) di antara mereka. Berdasarkan hasil wawancara, tidak tampak adanya strategi komunikasi yang baik dan efektif antara kedua subjek dengan masing-masing suami, terutama dalam penyelesaian konflik. Kedua subjek cenderung lari dari masalah. Mereka berbaikan dengan suami tanpa benar-benar mendiskusikan dan menyelesaikan apa yang sebelumnya membuat mereka bertengkar. Hal semacam ini memberikan efek yang sangat berbahaya dan mengarahkan pada berakhirnya sebuah relasi (Kuncewicz dalam Borchet & Lewandowska-Walter). Kehadiran anak membawa perubahan bagi relasi kedua subjek dengan suami, terutama dalam hal konflik. Berdasarkan hasil penelitian, bertambahnya anggota ketiga di antara pasangan suami-istri memang akan membawa perubahan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 98 dalam sistem organisasi keluarga (Mattessich & Hill dalam Crohan, 1996). Memiliki anak akan berpengaruh pada pembagian kerja domestik, kekuasaan, komunikasi dan konflik dalam sistem perkawinan (Cowan & Cowan dalam Crohan, 1996). Semenjak anak hadir di pernikahan mereka, subjek I dan II harus menutupi pertengkarannya dengan suami dan berusaha menunjukkan bahwa ia dan suami memiliki hubungan yang baik-baik saja. Hal ini dikarenakan keduanya merasa takut pertengkaran dengan suami memberikan dampak buruk bagi anakanak. Data yang didapatkan melalui penelitian ini cenderung sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa orangtua cenderung menyembunyikan konflik dari anak mereka. Bagi orangtua, anak harus dilindungi dari apapun yang sekiranya bisa menyakiti. Oleh sebab itu, konflik suami-istri tidak boleh diungkap dihadapan anak karena hal tersebut bisa membuat anak terluka. Meskipun keadaan sebenarnya tidak baik-baik saja, orangtua harus membuat anak merasa bahwa semuanya baik-baik saja (Waibale, 2013). Pernikahan memberikan banyak dampak negatif bagi kedua subjek di dalam pernikahan ini. Dampak tersebut dapat dibagi menjadi dua kategori : 1. Dampak di Dalam Diri Kedua subjek banyak merasakan emosi-emosi negatif setelah menikah dengan suami. Subjek I mengaku merasa terpaksa, tidak bahagia, putus asa, terkekang dan tidak berarti. Selain itu, subjek I merasa bahwa pernikahan ini adalah sesuatu yang sia-sia. Tidak berbeda jauh dari subjek I, pernikahan membuat subjek II merasa tertekan, lelah, muak, dan jenuh karena ia harus berpura-pura bahagia dan baik-baik saja berhadapan setiap PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 99 hari dengan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Secara garis besar, hasil penelitian ini cenderung sesuai dengan penemuan Wyers (1987). Wyers (1987) mengatakan bahwa sebagian besar perempuan lesbian yang menikah dengan lawan jenis cenderung tidak bahagia di dalam pernikahan mereka. Pernikahan dengan suami membuat subjek I mengalami banyak ketakutan, misalnya ketakutan bahwa jati dirinya terbongkar, perselingkuhannya ketahuan dan kehilangan anak-anaknya. Hal ini sesuai dengan penemuan Binger (dalam Ben-Ari & Adler, 2010) yang menunjukkan bahwa banyak homoseksual dalam mixed orientation marriage cenderung merasa cemas. Kecemasan yang dirasakan berasosiasi dengan ketakutan antara penemuan atau pengetahuan yang tidak direncanakan mengenai orientasi homoseksual mereka. Kecenderungan memendam kebenaran ini membuat konflik ekspresi emosi dan hal ini bisa menimbulkan penyakit yang berhubungan dengan stress. Bagi kedua subjek, pernikahan memunculkan perasaan kasihan dan perasaan bersalah terhadap orang lain. Pada subjek I, perasaan tersebut ditujukan pada kedua anaknya, pacar perempuannya dan suaminya, sedangkan pada subjek II, perasaan tersebut ditujukan hanya pada orangorang yang pernah atau akan menjadi pacar perempuannya. Berdasarkan hasil penelitian Binger (dalam Ben-Ari & Adler, 2010), perasaan bersalah berasal dari gaya hidup mereka yang tidak asli dan dari penyembunyian itu sendiri. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 100 2. Dampak di Luar Diri Kedua subjek mengatakan bahwa pernikahan membuat mereka memiliki beberapa sikap negatif terhadap orang di sekitar. Subjek I mengaku menjadi pribadi yang lebih egois setelah menikah. Sementara itu, subjek II merasa menjadi pribadi yang lebih cuek, jutek dan tidak peduli pada orang lain selain orang-orang yang dia sayang. Subjek II mengatakan bahwa dirinya yang sekarang sangat berbeda dengan dirinya yang dulu. Pernikahan dan perlakuan yang tidak adil dari orang-orang sekitar membuatnya merasa tidak perlu berbaik hati pada mereka. Berdasarkan pemahaman peneliti, perubahan sikap kedua subjek penelitian terhadap lingkungan sosial terjadi sebagai akibat perubahan pola pikir atau persepsi terhadap dunia luar. Janoff-Bulman (dalam Updegraff & Taylor, 2000) menjelaskan bahwa individu yang tidak mengalami pengalaman hidup negatif mampu mengembangkan persepsi positif mengenai dirinya dan orang lain, serta memegang keyakinan bahwa dunia merupakan tempat yang adil, pantas, bermakna dan tidak berbahaya. Ketika pengalaman hidup negatif terjadi, hal tersebut tidak dapat dipertahankan lagi dan menjadi hancur berantakan. Untuk bisa pulih, individu mengemban tugas yang cukup berat untuk membangun keyakinan baru yang mempermudahnya memahami diri dan orang lain. Berhasil ataupun tidak, persepsi seseorang terhadap diri dan orang lain tentu akan mempengaruhi sikap dan perilakunya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 101 Dalam hal relasi sosial, pernikahan juga membuat subjek II menjadi tidak memiliki teman bercerita seperti sebelumnya. Sebelum menikah, subjek II bisa selalu berlari ke komunitas LGBT untuk meminta bantuan atau sekedar berkeluh kesah mengenai orientasi homoseksualnya. Akan tetapi, sekarang ia tidak lagi dekat dengan teman-teman komunitas karena merasa takut, tidak diterima, selalu dijudge dan tidak dimengerti ketika bercerita kepada mereka. Hal ini sesuai dengan penemuan Patterson (dalam Morris et al, 2002) yang mengatakan bahwa wanita lesbian yang masih menikah dengan laki-laki atau mereka yang masih kontak dengan mantan pasangan laki-laki karena hak asuh bersama, sering dibuat merasa tidak diinginkan di komunitas lesbian. Kedua subjek memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi stress dan tekanan dari luar maupun dari dalam diri. Subjek I cenderung menyiksa dirinya sendiri. Ia akan mengurung diri, banyak menangis, tidak mau makan dan tidak mau melakukan banyak hal. Saat sedang dalam masalah, subjek I membutuhkan bantuan orang lain, yaitu pacarnya, untuk bisa merasa lebih baik. Berbeda dengan subjek I yang sering bercerita pada pacar, subjek II merasa bahwa ia tidak dapat melakukan apapun dan tidak akan mendapat dukungan darimanapun sehingga subjek II memilih menangis sendiri saat sedang merasa capek, muak dan jenuh. Pada saat tertentu, subjek II akan berusaha menyibukkan diri dengan membaca, bekerja dan fokus pada anak-anak untuk mengalihkan perhatian dari emosi negatif yang dirasakan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 102 Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Agustiningsih, 2010), mekanisme coping dapat digolongkan menjadi dua, yaitu mekanisme coping adaptif dan mekanisme coping maladaptif. Mekanisme coping adaptif merupakan mekanisme yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif (kecemasan dianggap sebagai sinyal peringatan dan individu menerima kecemasan itu sebagai tantangan untuk diselesaikan). Mekanisme coping maladaptif adalah mekanisme yang menghambat fungsi integrasi, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan / tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar dan aktivitas destruktif (mencegah suatu konflik dengan melakukan pengelakan terhadap solusi). Subjek I pada saat tertentu menggunakan strategi coping yang adaptif. Subjek I berusaha mengurangi kecemasan serta mencari jalan keluar dari permasalahannya dengan cara meminta bantuan kepada pacar perempuannya. Meskipun demikian, tak jarang subjek I juga menggunakan mekanisme coping yang tidak adaptif, dimana subjek I cenderung menyiksa dirinya sendiri saat sedang memiliki masalah yang cukup berat. Jika mengacu pada teori, subjek II juga cenderung menggunakan strategi coping maladaptif. Subjek II banyak menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan sehari-hari ketika saat sedang memiliki masalah. Hal ini dilakukan supaya ia bisa menghindari berpikir tentang masalah tersebut sehingga bisa sedikit lebih tenang. Cara seperti ini cenderung tidak baik dikarenakan masalah yang dihadapi hanya seolah-olah selesai, padahal PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 103 sebenarnya tidak. Akibatnya, masalah yang ada malah semakin bertumpuktumpuk dan pada suatu waktu akan meledak karena tidak tertahankan lagi. Selain mempengaruhi pola konflik dengan suami, hadirnya anak sebenarnya juga membuat kedua subjek cenderung lebih kuat menghadapi segala masalah. Anak menjadi motivasi dan semangat. Selain itu, subjek II juga mengatakan bahwa anak merupakan pelarian agar tidak terlalu berfokus pada masalah dan merupakan penghibur saat sedang marah, capek dan down. Meskipun demikian, anak bukanlah alasan yang cukup untuk membuat kedua subjek memilih mempertahankan pernikahan mereka. Dengan banyaknya konflik internal maupun eksternal yang harus dihadapi, kedua subjek di dalam penelitian ini memiliki angan-angan untuk bercerai dari suaminya dan telah mempersiapkannya sejak saat ini. Walaupun tetap berusaha menjalani hidup apa-adanya dan berdamai dengan keadaan, kedua subjek diam-diam memikirkan cara (alasan) untuk meminta cerai tanpa menimbulkan kecurigaan mengenai status orientasi seksual mereka. Hal ini akan menjadi suatu kesulitan tersendiri karena di sisi lain, kedua suami melakukan segala upaya untuk mempertahankan pernikahan mereka karena tidak ingin pernikahan tersebut berakhir. Selain rencana untuk bercerai, kedua subjek berencana mengungkapkan orientasi seksual kepada anak-anaknya saat mereka sudah lebih dewasa. Saat ini, kedua subjek merasa bahwa anak-anak masih terlalu kecil dan belum paham jika diberitahu. Meskipun demikian, penelitian yang dilakukan oleh American Academy of Pediatrics (2005) menemukan bahwa anak-anak yang diberitahu bahwa orangtua mereka gay, lesbian, atau biseksual pada awal masa kanak-kanak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 104 cenderung lebih mudah dan lebih mampu menerima berita tersebut daripada mereka yang pertama kali diberitahu pada saat remaja. Walaupun kedua subjek sama-sama berencana untuk memberitahu anaknya, alasan yang mendorong kedua subjek cenderung berbeda satu sama lain. Subjek I ingin agar anak-anaknya bisa menerimanya apa adanya, sedangkan subjek II merasa bahwa pengungkapan ini bisa menjadi sebuah sarana yang membuat anak-anaknya memiliki wawasan yang lebih luas, berpikiran terbuka, bisa toleransi dan tidak diskriminasi. Jika dilihat secara menyeluruh, situasi kompleks dan problematik yang terjadi di antara kedua subjek dan suami bukan disebabkan oleh relasi yang tidak harmonis, melainkan karena orientasi seksual subjek yang tidak pas dengan pernikahan heteroseksual yang dijalani. Meskipun terkadang subjek merasa tidak nyaman, pada saat-saat tertentu, subjek bisa bersikap biasa-biasa saja dan berinteraksi dengan suami layaknya teman. Hal ini didukung oleh perlakuan suami yang cenderung baik, di luar hal-hal terkait isu seksual. Suami menyayangi, memperhatikan, memahami dan sering mau mengalah sehingga konflik-konflik yang munculpun hanya konflik-konflik ringan. Konflik-konflik kecil tersebut merupakan sesuatu yang wajar karena dua orang yang berelasi intim tidak mungkin akan selalu memiliki kebutuhan, opini dan harapan yang sama (Guerrero et al. dalam Brandenberger, 2007). Penelitian menunjukkan bahwa hubungan seksual bisa menjadi terhambat karena adanya kemarahan dan kebencian serta tidak adanya kepercayaan, kenyamanan dan intimasi (Gallagher, 2013). Meskipun demikian, pada pernikahan kedua subjek, tidak adanya hasrat seksual subjek terhadap suami PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 105 bukan hanya disebabkan oleh tidak adanya rasa nyaman, tapi juga disebabkan oleh orientasi lesbian yang dimiliki subjek. Hal ini bisa dipastikan mengingat ketiadaan hasrat seksual tidak ditujukan pada suami saja, melainkan pada laki-laki manapun. Sejak SMA, subjek tidak pernah merasakan ketertarikan fisik maupun emosi dengan individu-individu yang berbeda jenis kelamin dengannya. Subjek yang tidak memiliki hasrat terhadap suami selalu berusaha menghindari hubungan seksual. Akan tetapi, di sisi lain, suami yang tidak tahu perihal orientasi lesbian yang dimiliki istrinya tentu tidak memiliki alasan untuk tidak menuntut hubungan seksual, mengingat hubungan seksual merupakan sesuatu yang wajar dalam sebuah relasi pernikahan. Hal inilah yang seringkali membuat subjek merasa tertekan dan muak. Perasaan tersebut kemudian mempengaruhi sikap subjek terhadap suami. Di relasi pada umumnya, kesalahpahaman dan ketidaksetujuan selalu bisa diselesaikan melalui komunikasi aktif (Odukoya dalam Nartey, 2013). Sistem relasi dapat berfungsi dengan sukses ketika informasi penting secara reguler dibicarakan bersama (Olson & Defrain dalam Nartey, 2013). Salah satu informasi penting yang ada di dalam relasi kedua subjek dan suaminya adalah mengenai orientasi seksual, mengingat isu tersebut berpengaruh besar pada pola relasi di pernikahan. Akan tetapi, mengkomunikasikan masalah tersebut dengan suami bukanlah perkara mudah karena orientasi homoseksual merupakan sesuatu yang masih dianggap tabu dan kontroversional oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Penolakan, diskriminasi dan dampak negatif lain yang mungkin akan diterima menghambat kedua subjek mengungkapkan hal yang mendasari ketidakcocokan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 106 antara suami-istri. Akibatnya, masalah yang sama akan terus berulang karena tidak adanya penyesuaian yang diperlukan dari kedua belah pihak terhadap kondisi yang sebenarnya. E. Learning Point Berdasarkan penelitian, terlihat cukup jelas bahwa mixed orientation marriage membawa lesbian dalam situasi yang sangat kompleks. Selain banyak mengalami emosi negatif, individu terus menerus dihadapkan pada konflik di dalam diri maupun konflik dengan suami. Kedua subjek yang menikah secara terpaksa pada akhirnya berusaha untuk keluar dari relasi dengan suami dengan segala cara, bahkan dengan mengkambinghitamkan suami. Tidak hanya terbatas pada suami-istri, pernikahan juga mejadikan anak sebagai korban. Anak terus menerus menjadi saksi pertikaian kedua orangtuanya, belum lagi apabila kedua orangtua memutuskan untuk bercerai. Meskipun menimbulkan banyak korban, menurut peneliti, kedua subjek dalam penelitian ini tidak dapat disalahkan, mengingat pernikahan terjadi bukan karena kehendak mereka. Keterpaksaan membuat mereka tidak merasa bertanggungjawab untuk mempertahankan pernikahan sehingga cenderung seenaknya. Dari sini, peneliti mengambil kesimpulan bahwa apapun yang dipaksakan itu tidak baik hasilnya. Apabila seorang lesbian menikah dengan lawan jenis, hal tersebut harus terjadi atas kehendaknya sendiri. Apapun alasan yang mendasari, individu harus terlebih dahulu menyadari apa yang akan ia hadapi kemudian. Hal ini diperlukan agar individu mempersiapkan diri dan mempertimbangkan matang-matang apakah ia mampu berkomitmen dalam menjalani pernikahan yang sudah pasti akan berat. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 107 Ketika pernikahan terjadi karena pilihannya sendiri, individu akan lebih mau berusaha menyesuaikan diri dengan suami sehingga korban-korban dalam mixed orientation marriage lebih bisa diminimalisir. Jika dilihat secara lebih luas, pemaksaan untuk menikah ini terjadi karena adanya stigma negatif terhadap homoseksualitas. Homoseksual dianggap memalukan, sehingga harus ditutupi dengan cara menikah. Homoseksual adalah hal yang abnormal, sehingga harus disembuhkan dengan cara menikah. Selain itu, masih banyak lagi hal-hal negatif dan salah tentang homoseksual yang berkembang di masyarakat yang mengakibatkan homoseksual terjebak dalam kehidupan sulit demi mendapatkan penerimaan. Peneliti merasa bahwa masyarakat harus lebih sadar akan hasil perbuatan diskriminasi yang dilakukan dan berapa banyak orang yang menjadi korban karena sikap demikian. Harapannya, budaya Indonesia bisa menjadi lebih terbuka sehingga hal-hal yang tidak diinginkan bisa dihindari. Sampai sejauh ini, meskipun masyarakat belum bisa menerima homoseksualitas, ada banyak kelompok, komunitas atau organisasi yang concern di bidang LGBT yang sangat mudah ditemui. Kebanyakan kelompok tersebut menawarkan pengetahuan, dukungan, pendampingan bahkan perlindungan yang cukup membantu individu-individu LGBT melewati masa-masa sulit. Sayangnya, ketika seorang lesbian menikah dengan laki-laki, semua support tersebut terhenti seketika. Kelompok LGBT cenderung tidak dapat melihat situasi yang dihadapi lesbian dalam mixed orientation marriage secara objektif. Bagi mereka, dijodohkan maupun tidak dijodohkan, menikah adalah pilihan sendiri sehingga PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 108 individu tidak boleh mengeluh dalam menjalani konsekuensi yang ada. Hal ini tentu membuat individu lesbian merasa tidak nyaman dan merasa tidak dimengerti karena situasi yang dijalani tidak segampang yang dibayangkan. Ketika dukungan dan pendampingan tersebut tidak didapatkan, individu bergantung pada dirinya sendiri dalam mempertahankan persepsi positif mengenai diri dan lingkungan. Jika gagal, hal ini bisa jadi mengarahkan individu dalam mengembangkan strategi coping maladaptif. Melihat kondisi saat ini dan menelaah pentingnya kelompok LGBT sebagai sebuah bentuk dukungan bagi individu membuat peneliti merasa bahwa kelompok tersebut harus belajar lebih banyak mengenai mixed orientation marriage. Pengetahuan dan pemahaman tersebut akan membuat komunitas menjadi jauh lebih terbuka, sehingga bisa menerima secara lebih objektif dan membantu secara lebih baik. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Mixed orientation marriage membawa individu lesbian dalam situasi yang sangat kompleks dan problematik. Individu harus berhadapan dengan ketidaknyamanan karena harus berelasi intim, fisik maupun emosional, dengan seorang lawan jenis. Hal ini tentu mempengaruhi relasi suami-istri di dalam pernikahan. Relasi individu dengan suaminya cenderung dingin dan banyak diwarnai konflik, sehingga memunculkan berbagai emosi negatif di diri individu lesbian, misalnya perasaan tidak bahagia, putus asa, tertekan, lelah, takut dan lain sebagainya. Pernikahan di sisi lain juga berdampak pada relasi individu di dalam lingkungan sosialnya. Terhadap lingkungan secara umum, individu cenderung bersikap negatif sebagai balasan atas perlakuan yang diterimanya. Dengan komunitas LGBT, individu cenderung menghindar dan menjauh karena merasa tidak lagi diterima. Jika berfokus pada konflik interpersonal, konflik individu lesbian dengan suami cenderung bervariasi, mulai dari konflik kecil hingga konflik besar dan berlarut-larut. Bentuk pengungkapan maupun penyelesaiannya pun juga berbeda satu sama lain. Meskipun demikian, salah satu konflik yang pasti terjadi dalam mixed orientation marriage adalah adanya ketidakpuasan dan ketidaknyamanan dalam hubungan seksual. 109 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 110 Individu di dalam penelitian ini belum menemukan cara yang efektif untuk meregulasi diri dalam menghadapi situasi sulit di pernikahan. Kedua individu hanya berusaha berdamai dengan keadaan dan menjalani hidup apa adanya. Anak memang membuat kedua individu merasa lebih kuat, namun besarnya tekanan yang dihadapi membuat kedua subjek yang menikah secara terpaksa pada akhirnya berusaha untuk keluar dari relasi dengan segala cara, bahkan dengan mengkambinghitamkan suami. Hal ini juga dikarenakan munculnya kesadaran dalam diri individu bahwa pernikahan yang tidak sehat akan memberikan dampak buruk bagi perkembangan psikologis anak. B. Kontribusi Penelitian 1. Penelitian ini memaparkan salah satu dampak jangka panjang yang disebabkan oleh pelekatan stigma negatif terhadap homoseksual. 2. Penelitian ini memberikan gambaran yang menyeluruh dan mendasar akan kehidupan pernikahan heteroseksual yang harus dihadapi oleh individu lesbian. Penemuan tersebut cukup berguna mengingat penelitian mengenai mixed orientation marriage cenderung berfokus pada motif individu homoseksual untuk menikah dengan lawan jenis. 3. Penelitian ini menyuguhkan fakta bahwa lesbian yang menikah perlu menghadapi banyak penyesuaian (baik emosional maupun seksual) dengan suami. Untuk berhasil dalam penyesuaian tersebut, komitmen pernikahan harus ada di dalam diri individu sehingga kemungkinan perceraian bisa dihindari. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 111 4. Penelitian ini menunjukkan bahwa individu lesbian yang terlibat dalam mixed orientation marriage tidak mendapatkan dukungan dan perlindungan darimanapun. Satu-satunya hal yang mereka percayai, yaitu komunitas LGBT, kurang bisa menerima mereka tanpa penilaian subjektif. C. Keterbatasan Penelitian 1. Kedua subjek penelitian ini merasa keberatan apabila peneliti bertemu dengan keluarga mereka. Hal ini menyebabkan ruang lingkup penelitian menjadi terbatas karena peneliti hanya bisa mewawancarai subjek penelitian untuk mengumpulkan data. Peneliti tidak dapat mengambil data wawancara melalui significant others seperti suami dan anak, serta tidak bisa melakukan observasi kehidupan sehari-hari subjek. Akibatnya, peneliti tidak dapat melakukan triangulasi untuk proses pengecekan validitas penelitian sehingga hasil penelitian bergantung sepenuhnya pada komitmen subjek dalam mengikuti penelitian dan objektivitas peneliti. Hal ini juga mengakibatkan peneliti tidak mampu memenuhi prinsip dasar penelitian studi kasus, yaitu pengumpulan data yang komprehensif. 2. Peneliti hanya mampu menemukan dua individu yang memenuhi karakteristik subjek penelitian. Hal ini menyebabkan generalisasi menjadi tidak mungkin dilakukan karena subjek-subjek tersebut tidak dapat mewakili populasi. Selain dikarenakan oleh uniknya kasus yang dialami oleh subjek, sedikitnya subjek dalam penelitian ini diakibatkan oleh kesalahan metode pencarian subjek yang dipilih oleh peneliti, yaitu metode snowball. Kebanyakan individu lesbian yang menikah dengan lawan jenis cenderung menyembunyikan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 112 orientasi homoseksual yang dimilikinya dari lingkungan sekitar, sehingga sangat kecil kemungkinan ditemukannya individu yang mengenal kerabat dengan karakteristik demikian. Situasi seperti ini membuat metode snowball menjadi tidak cocok untuk diterapkan. D. Saran Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka didapatkan beberapa saran sebagai berikut : 1. Bagi Penelitian Selanjutnya Penelitian “Studi Kasus : Lesbian dalam Mixed Orientation Marriage” memiliki ruang lingkup yang terbatas karena peneliti hanya bisa mewawancarai individu lesbian untuk mengumpulkan data. Oleh sebab itu, menurut peneliti, penelitian selanjutnya akan lebih mendalam apabila mencari informan yang bersedia memberi akses peneliti untuk menemui keluarga informan. Peneliti bisa mengambil data melalui wawancara tanpa harus mengungkapkan perihal orientasi seksual informan. Di samping itu, peneliti bisa melakukan observasi kehidupan sehari-hari informan. Selain memperkaya data, hal ini juga bisa dilakukan untuk triangulasi validitas penelitan. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti juga perlu menerapkan metode lain selain snowball dalam mencari informan. Peneliti bisa melakukan broadcasting via internet untuk menjangkau lingkup yang lebih luas. Dengan metode ini, peneliti juga bisa secara langsung meyakinkan calon-calon informan bahwa data personal mereka akan dijamin kerahasiaannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 113 Penelitian selanjutnya juga perlu mengambil informan lesbian yang terlibat dalam mixed orientation marriage dalam jumlah yang lebih banyak sehingga pola-pola yang khas dapat digeneralisir dan dijadikan teori. Dalam hal topik penelitian, penelitian selanjutnya bisa membahas mengenai masing-masing tema secara khusus satu per satu sehingga data yang didapatkan bisa lebih fokus dan mendalam. 2. Bagi Individu Lesbian Melihat beratnya pernikahan heteroseksual yang harus dijalani individu lesbian, peneliti menyarankan individu-individu lesbian lain supaya jangan memutuskan menikah untuk sekedar memenuhi tuntutan orang lain. Walaupun terhindar dari tekanan dari luar dan stigma publik, pernikahan yang dipaksakan hanya membawa individu pada kesulitan baru. Pernikahan harus didasari oleh keinginan pribadi dari dalam diri dan setelah dilakukan pertimbangan secara matang. Apabila individu mengetahui kemungkinan situasi yang akan dihadapinya saat menikah, individu akan lebih berkomitmen dan lebih mau berusaha mencari solusi konflik tanpa mengorbankan banyak orang. Apabila individu telah terlanjur telibat dalam pernikahan heteroseksual, sebaiknya individu mencari pendampingan psikologis. Selain mendapatkan dukungan emosional, individu juga bisa terbantu dalam menghadapi segala konflik di dalam maupun di luar dirinya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 114 3. Bagi Psikolog dan Konselor Kedua subjek di dalam penelitian ini cenderung berjuang sendiri. Mereka kurang memiliki rekan yang bisa menjadi teman sharing sebebas-bebasnya. Hal ini disebabkan oleh ketakutan jika mereka bercerita pada orang yang salah. Melihat kondisi ini, peneliti merasa bahwa psikolog dan konselor perlu mempromosikan diri supaya individu lesbian yang terlibat dalam mixed orientation marriage tidak takut untuk datang dan berkonsultasi. Saat sesi konseling dilakukan, peneliti juga menyarankan psikolog dan konselor untuk melihat permasalahan yang dihadapi klien dalam konteks yang lebih luas. Hal ini perlu dilakukan mengingat kompleksnya situasi yang harus dihadapi oleh individu lesbian yang menikah dengan laki-laki. 4. Bagi Orangtua dan Calon Orangtua Kedua subjek di dalam penelitian ini menikah dikarenakan oleh paksaan dan tekanan dari lingkungan luar, khususnya orangtua. Melihat besarnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh mixed orientation marriage, baik terhadap individu homoseksual maupun suami dan anak, orangtua harus mempertimbangkan lebih matang keputusan untuk menikahkan anaknya yang lesbian dengan laki-laki pilihan mereka. Selain itu, orangtua perlu mempelajari secara mendalam situasi yang sedang dan akan dihadapi anak mereka. Hal ini diharapkan mampu membangkitkan kesadaran akan pentingnya penerimaan orangtua bagi perkembangan anak. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 115 5. Bagi Komunitas LGBT Komunitas LGBT merupakan salah satu wadah penting yang memberikan pengetahuan, dukungan dan perlindungan bagi individu-individu LGBT. Mengingat komunitas cukup berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan individu, peneliti merasa bahwa komunitas perlu membuka diri terhadap individu lesbian yang menikah dengan laki-laki. Individu lesbian dalam mixed orientation marriage memerlukan dukungan emosional dan hal ini bisa didapatkan dari komunitas LGBT apabila komunitas tersebut memberikan perhatian penuh dan tidak menghakimi, serta mendukung dan membantu saat individu mengalami interpersonal terkait pernikahannya. konflik intrapersonal maupun PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR PUSTAKA Agustiningsih, N. (2010). Fenomena masyarakat mengatasi masalah dan daya tahan dalam menghadapi stress. Skripsi tidak diterbitkan, Universitas Brawijaya Surabaya, Indonesia. Alessi, E. J. (2008). Staying put in the closet : Examining clinical practice and countertransference issues in work with gay men married to heterosexual women. Clin Soc Work J, 36, 195-201. American Academy of Pediatrics. (2005). Gay, lesbian or bisexual parents : Information for children and parents. New York : Pengarang. American Psychological Association. (2008). Answers to your questions: For a better understanding of sexual orientation and homosexuality. Diakses pada 19 Oktober 2015 melalui http://www.apa.org/topics/sorientation.pdf. Arus Pelangi (org.). (2015, Februari 14). Pres rilis: LGBTI dan kekerasan terhadap perempuan one billion rising indonesia. Diakses pada 19 Oktober 2015 melalui http://aruspelangi.org/pres-rilis-lgbti-dan-kekerasan-terhadapperempuan-one-billion-rising-indonesia-14-februari-2015/. Auerback, S., & Moser, C. (1987). Groups of the wives of gay and bisexual men. Social Work, 32(4), 321-325. Basrowi & Suwandi. (2008). Memahami penelitian kualitatif. Jakarta : Rineka Cipta. Ben-Ari, A. (2001, February). Homosexuality and heterosexism : Views from academics in the helping professions. The British Journal of Social Work, 31(1), 119-131. Ben-Ari, A., & Adler, A. (2010). Dialectics between splitting and integrating in the lives of heterosexually married gay men. Psychology, 1, 106-112. Borchet, J., & Lewandowska-Walter, A. (tanpa tahun). The Intensity of Parental Conflict in Balanced and Unvbalanced Family Systems. Naskah yang tidak diterbitkan, University of Gdansk, Poland. Brandenberger, A. J. (2007). Relationship conflict : The good, the bad and the ugly. Advances in Communication Theory & Research, 1 (1), 1-22. Buxton, A.P., & Schwartz, L.B. (2004). Straight spouses speak out : Implications for gay and lesbian marriage. Californian Journal of Health Promotion, 2, 24-31. Caldwell, M. A., & Peplau, L. A. (1984). The balance of power in lesbian relationships. Sex Roles, 10(7), 587-599. Cass, V. C. (1979). Homosexual identity formation: A theoretical model. Journal of Homosexuality, 4, 219-235. Creswell, J. W. (2007). Qualitative inquiry and research design : Choosing among five approaches. California : Sage Publications, Inc. Creswell, J. W. (2008). Research design : Qualiative, quantitative, and mixed methods approaches. California : Sage Publications Inc. Creswell, J. W. (2009). Research design : Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. xvii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Crohan, S. E. (1996). Marital quality and conflict across the transition to parenthood in african american and white couples. Journal of Marriage and the Family, 58. Decha-ananwong, P., Tuicomepee, A., & Kotrajaras, S. (2013). Self-acceptance of sexual orientation in gay men: A consensual qualitative research. The Asian Conference on Psychology & the Behavioral Sciences 2013 (pp. 349-365). Osaka : Iafor. Diamond, L. (2013). Concept of female sexual orientation. In C. J. Patterson & A. R. D’Augelli (Eds.), Handbook of psychology and sexual orientation. New York : Oxford University Press. Ellis, S. J., Kitzinger, C., & Wilkinson, S. (2003). Attitudes towards lesbians and gay men and support for lesbian and gay human rights among psychology students. Journal of Homosexuality, 44(1), 121-138. Gallagher, C. (2013.) 7 ways sex can kill a marriage. Diakses 24 Januari 2017 melalui http://www.huffingtonpost.com/christine-gallagher/7-ways-sex-cankill-a-mar_b_2506541.html. Golombok, S., Perry, B., Burston, A., Murray, C., Mooney-Somers, J., et al. (2003). Children with lesbian parents : A community study. Developmental Psychology, 39(1), 20-33. Gottschalk, L. (2008). Coming out and living as lesbians and gay men in regional and rural areas. Disertasi doktor yang tidak diterbitkan, School of Business, University of Ballarat. Greenbaum, M. (2013). Homoparental families : Dealing with homophobia and heterosexism. Paris : Coalition des Families Homoparentales. Gross, R. (2015). Psychology : The science of mind and behavior. UK : Harchette. Guntur, S. (2015). Perlindungan hukum hak asasi peserta didik dalam sistem pendidikan nasional. Jabal Hikmah, 4(2), 223-234. Hernandez, B. C., Schwenke, N. J., & Wilson, C. M. (2011). Spouses in mixed orientation marriage : A 20-year review of empirical studies. Journal of Marital and Family Therapy, 37 (3), 307-318. Hernandez, B. C., & Wilson, C. M. (2007). Another kind of ambiguous loss : Seventh-day adventist women in mixed-orientation marriages. Family Relations, 56 (2), 184-195. Himpunan Psikologi Indonesia. (2010). Kode etik psikologi. Jakarta : Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia. Indahyani. (2013, Juli). Memahami komunikasi antar pribadi dalam pernikahan beda agama dalam upaya mempertahankan hubungan yang harmonis. The Messenger, 5 (2), 47-54 Kerns, J. G., & Fine, M. (1994). The relation between gender and negative attitudes towards gay men and lesbians : Do gender role attitudes mediate this relation. Sex Roles, 31(5), 297-307. Kort, J. (2006). Mixed orientation marriages. Diakses pada 14 Maret 2016 melalui http://www.glbtq.com. Kring, A. M., Johnson, S. L., Davidson, G., & Neale, J. (2012). Abnormal psychology. Washington, DC : John Wiley & Sons, Inc. xviii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kurdek, L. A. (1994, November). Areas of conflicts for gay, lesbian and heterosexual couples: What couples argue about influences relationship satisfaction. Journal of Marriage and the Family, 56(4), 923-934. Legate, N., Ryan, R. M., & Weinstein, N. (2012). Is coming out always a “good thing”? Exploring the relations of autonomy, support, outness and wellness for lesbian, gay, and bisexual individuals. Social Psychological and Personality Science, 3(2), 145-152. Mastuti, R. E., Winarno, R. D., & Hastuti, L. W. (2012, Desember). Pembentukan identitas orientasi seksual pada remaja gay. Prediksi, Kajian Ilmah Psikologi, 1(2), 194-197. Morris, J. F., Balsam, K. F., & Rothblum, E. D. (2002). Lesbian and bisexual mothers and nonmothers : Demographic and the coming out process. Journal of Family Psychology, 16(2), 144-156. Nartey, J. (2014, October). Effective communication in a christian marriage : The category and role of pentecostal and charismatic counselors in cape coast metropolis of ghana. International Journal of Research in Social Sciences, 4 (6), 14-23. National Sexual Violence Resource Center and Pennsylvania Coalition Against Rape. (2012a). The impact of discrimination : Sexual violence and individuals who identify as LGBTQ. Enola, PA : Pengarang. National Sexual Violence Resource Center and Pennsylvania Coalition Against Rape. (2012b). The process of coming out : Sexual violence and individuals who identify as lgbtq. Enola, PA : Pengarang. Nichols, M. (2004). Lesbian relationships : Implications for the study of sexuality and gender. New Jersey : Institute For Personal Growth. Nugroho, A. (2007). Dimas : Gay yang pernah nikah secara heteroseksual (sebuah life history). Anima, Indonesian Psychological Journal, 23 (1), 5062. Oetomo, D. (2003). Memberi suara pada yang bisu. Yogyakarta : Pusaka Marwa. O’Neill, K. R., Hamer, H. P., & Dixon, R. (2012, December). A lesbian family in a straight world : The impact of the transition to parenthood on couple relationships in planned lesbian families. Women’s Studies Journal, 26(2), 39-53. Optistasari, D. D. (2013). Dualisme peran lesban (studi deskriptif tentang peran lesbian dalam rumah tangga dan lingkungan lesbi di surabaya). Skripi tidak diterbitkan, Universitas Airlangga Surabaya, Indonesia. Parents, Families and Friends of Lesbians and Gays. (1994). Opening the straight spouse's closet. Washington, DC : Pengarang. Peplau, L. A., & Amaro, H. (1982). Understanding lesbian relationships : Homosexuality, social, psychological and biological issues. Beverly Hills, California : Sage Publications, Inc. Peplau, L. A., & Ghavami, N. (2009, September). Gay, lesbian and bisexual relationships. Encyclopedia Of Human Relationships. California : Sage Publications, Inc. Peplau, L. A., Padesky, C., & Hamilton, M. (1982). Satisfaction in lesbian relationships. Journal of Homosexuality, 8(2), 23-35. xix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Pew Research center. (2013a, June). The global divide on homosexuality : Greater acceptance in more secular and affluent countries. Diakses pada 19 Oktober 2015 melalui http://www.pewglobal.org/2013/06/04/the-global-divide-onhomosexuality/. Pew Research center. (2013b, June). A survey of LGBT americans: Attitudes, experiences and values in changing time. Diakses pada 19 Oktober 2015 melalui http://www.pewsocialtrends.org/2013/06/13/a-survey-of-lgbtamericans/. Rahardjo, W. (2007). Homophobia dan penolakan masyarakat serta hubungannya dengan bicultural identity pada covert homoseksual. Jurnal Penelitian Psikologi, 12(2), 194-203. Rachmadani, C. (2013). Strategi komunikasi dalam mengatasi konflik rumah tangga mengenai perbedaan tingkat penghasilan di RT.29 samarinda seberang. eJournal Ilmu Komunikasi, 1(1), 212-227. Ross, H. L. (1971). Modes of adjustment of married homosexuals. Social Problems, 18 (3), 385-393. Sarwatay, D., Divatia, A. (2016, Janury). A study on interpersonal communication between married couples on planned parenthood. International Journal of Social Scienceand Humanity. 6 (1), 1-8 Setya, S. A. (2013). Fenomena komunitas kaum lesbi di kota klaten. Skripsi tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia. Sunyono. (2011). Teknik wawancara (interview) dalam penelitian kualitatif. Skripsi tidak diterbitkan, Universitas Negeri Surabaya, Indonesia. Supratiknya, A. (2015). Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif dalam psikologi. Yogyakarta : Penerbit Universitas Sanata Dharma. Tasker, F. (2005). Lesbian mothers, gay fathers and their children : A review. Developmental and Behavioral Pediatrics, 26(3), 224-240. Tasker, F., & Golombok, S. (1995). Adults raised as children in lesbian families. American Journal of Orthopsychiatry, 65(2), 203-215. Tornello, S. L., & Patterson, C. J. (2011). Gay fathers in mixed-orientation relationship : Experiences of those who stay in their marriages and of those who leave. Journal of GLBT Family Studies, 8, 1-14. Updegraff, J. A., & Taylor, S. E. (2000). From vulnerability to growth : Positive and negative effects of stressful life events. In J. Harvey & E. Miller (Eds). Loss and Trauma : General and Close Relationship Perspectives (pp. 3-28). Philadephia, PA : Brunner – Routledge. Waibale, A. (2013). Should you hide your marital woes from your children? Diakses pada 27 Oktober 2016 melalui http://www.newvision.co.ug/new_ vision/news/1328789/hide-marital-woes-children Walker, J. J., Golub, S. A., Bimbi, D. S., & Parsons, J. T. (2012, January). Butch bottom – femme top? An exploration of lesbian stereotypes. Journal of Lesbian Studies, 16(1), 90-107. Wibowo, S. (2015). MUI keluarkan fatwa hukum mati kaum homoseksual. Diakses pada 19 Oktober 2015 melalui https://m.tempo.co/read/news/2015/ 03/17/078650564/mui-keluarkan-fatwa-hukum-mati-kaum-homoseksual xx PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Wolkomir, M. (2009). Making heteronomative reconciliations : The story of romantic love, sexuality and gender in mixed-orientation marriage. Gender and Society, 23 (4), 494-519. Wyers, N. L. (1987). Homosexuality in the family : Lesbian and gay spouses. Social Work, 32(2), 143-148. Yuwono, W. (2013). Relationships development dalam konteks persahabatan yang dibangun antara perempuan lesbian dengan perempuan heteroseksual. Jurnal E-Komunikasi, 1(3), 210-221. xxi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI LAMPIRAN 1 (Informed Consent) xxii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI INFORMED CONSENT Saya, Tiara Dewantari, adalah mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Saat ini, saya sedang melakukan penelitian mengenai lesbian yang sedang menjalani pernikahan heteroseksual. Penelitian ini bertujuan untuk memahami kehidupan individu lesbian yang menikah dengan lawan jenisnya. Proses pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara yang akan dilakukan secara personal. Bila anda berkenan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, berarti anda memberikan informasi yang sejelas-jelasnya terkait kehidupan anda sebelum dan setelah menikah. Saya meminta kesediaan anda untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Wawancara akan dilaksanakan beberapa kali, mengikuti dengan waktu yang kita sepakati bersama. Selama wawancara berlangsung, anda bebas mengemukakan apapun yang anda mau dan anda juga berhak untuk memberhentikan proses wawancara jika mengganggu kenyamanan anda. Anda juga berhak untuk tidak mengemukakan yang tidak ingin anda ungkapkan. Wawancara akan dilaksanakan secara personal atau pribadi. Selama wawancara berlangsung, seluruh pembicaraan akan direkam. Identitas anda dan keseluruhan data atau informasi yang saya dapatkan dari penelitian ini, akan saya jamin kerahasiaannya, sehingga tidak ada yang mengetahuinya. Penelitian ini akan diawasi dan dipastikan berjalan secara etis oleh Dr. Tjipto Susana, M. Si. Bila anda mempunyai pertanyaan terkait penelitian ini, anda dapat menghubungi saya di nomor telepon [email protected]. Terimakasih. 1 085727778041 atau email PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI LEMBAR PERSETUJUAN Dengan ini saya menyatakan persetujuan saya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Saya menyatakan bahwa keikutsertaan saya dalam penelitian ini saya lakukan dengan sukarela atau tanpa paksaan dari pihak manapun dan dengan kesadaran penuh. Saya memperkenankan peneliti untuk menggunakan informasi yang saya berikan untuk dipergunakan sesuai dengan kepentingan dan tujuan penelitian. Dalam berpartisipasi dalam penelitian ini, saya menyetujui untuk bertemu dan melakukan wawancara pada waktu dan tempat yang akan kami sepakati bersama. Dalam melakukan wawancara, saya juga memperkenankan peneliti untuk menggunakan alat perekam untuk menghindari kesalahan dan adanya informasi yang kurang lengkap mengenai diri saya yang akan digunakan sebagai data penelitian. Yogyakarta, 2016 Mengetahui, Peneliti Informan Tiara Dewantari ( 2 ) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI LAMPIRAN 2 (Koding Subjek I) xxiii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kode 16 30 534 547 7, 37 55 64 155 270 19 68 69 84 73 518 123 467 260, 322 81 90 99 452 104 901 146 112, 128 Subkategori Menyadari diri lesbian saat SMA Senang saat menyadari diri lesbian Pernah pacaran dengan laki-laki maupun perempuan sehingga bisa membandingkan Relasi dengan laki-laki terasa biasa saja ketika ia mulai mencoba berpacaran dengan perempuan Lebih nyaman dekat / pacaran dengan perempuan Lebih merasa santai dan dilindungi saat bersama perempuan Lebih merasa spesial dan bahagia saat bersama perempuan Lebih mau mengalah saatkonflik dengan pacar perempuan Lebih stress saat ada masalah dengan pacar perempuan Tidak bercerita ke orang lain Menutup diri Tidak senang berteman dengan banyak orang Merasa minder mengungkapkan orientasi seksual Tidak berani mengakui orientasi seksual ke orangtua dan suami Hanya mantan kekasih dan teman jauh yang tahu tentang orientasi homoseksual Menyembunyikan orientasi seksual dari suami Tidak ingin suami tau karena takut diumbar-umbar Merasa takut dikucilkan, dibuang dan dijauhi jika ketahuan Pandangan negatif dari orang sekitar mengenai LGBT LGBT dianggap hina dan terbuang Dijodohkan oleh keluarga Ingin memanas-manasi / membuat cemburu pacar perempuan Kategori Kesadaran akan orientasi homoseksual Orientasi homoseksual Menyembunyikan orientasi homoseksual Stigma negatif Dijodohkan Membuatcemburu pacar Belum mengenal saat awal pernikahansehingga canggung satu sama lain Suami menyayangi dan memperhatikan Terbuka kecuali tentang orientasi homoseksual Merasa tidak nyaman berelasi intim dengan suami dan suami menyadarinya 1 Relasi emosional Motif menikah Relasi dengan suami PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 139, 149 286 294 378 870 414 383 143 179 181 200 191 141 160 241 800 166 169 220 586 791 268 172 152 591, 785 218 229 Dekat dengan suami seperti seorang teman Sering membohongi suami demi bertemu pacar Suami curiga N selingkuh Suami cenderung mendominasi sehingga membuat tidak nyaman Suami cenderung posesif karena banyak curiga Diabaikan suami saat jujur tentang perasaannya Dianggap berdosa karena sering menentang suami Lebih banyak bertengkar dengan suami Tidak sering berhubungan seks dengan suami Tidak dapat menikmati hubungan seks dengan suami Tidak excited, pasif, tidak banyak merespons dan berekspresi kosong saat sedang berhubungan seks Suami mampu merasakan ketidaknyamanan N saat berhubungan seks Ketidaknyamanan memicu konflik dengan suami Hal-hal kecil dan perbedaan cara mendidik anak bisa picu pertengkaran dengan suami Keinginan bercerai ditolak suami Suami yang suka bertengkar di depan anak-anak menjadi konflik tersendiri Saling mengomel, membentak, lalu diam-diaman saat bertengkar Tidak ada kekerasan fisik saat bertengkar Anak sering bertanya-tanya kenapa sering terjadi pertengkaran antara N dan suami Suami sering menggunakan anak sebagai “senjata” saat sedang bertengkar Membawa anak-anak bersembunyi di kamar saat bertengkar dengan suami Tidak stress saat ada masalah dengan suami Suami mengalah saat konflik Sering tidak mau mengalah saat konflik Kadang terpaksa mengalah demi anak-anak Relasi dengan anak biasa saja Lebih dekat dengan anak daripada dengan suami Relasi fisik / seksual Sebab konflik Akibat konflik Penyelesaian konflik Relasi dengan anak 2 Konflik interpersonal dengan suami Kehadiran anak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 759 334 358, 435 436 207 403 355 307 963 608 720 235 355 797 184 911 250 715 209 444 301 274 274 510, 558 Selalu memperlakukan anak dengan baik Ingin bercerai karena tidak mau psikologis anak terpengaruh oleh pernikahan yang tidak sehat Anak memberi motivasi dan semangat Anak tidak berdampak apa-apa bagi relasi dengan suami Merasa terpaksa dalam menjalani pernikahan Merasa tidak bahagia Merasa putus asa Merasa tidak bebas dan lebih terkekang Merasa takut perselingkuhannya terbongkar Merasa takut kehilangan anak-anak Merasa takut anak-anak lebih memilih bersama ayah mereka Merasa pernikahannya sia-sia Merasa tidak berarti Merasa kasihan dengan anak-anak karena terus-terusan bertengkar dengan suami Menganggap hubungan seks sebagai kewajiban Hubungan seks memunculkan perasaan bersalah terhadap pacar perempuan Merasa kasihan karena suami terus dibohongi (tidak bisa mengatakan hal yang sejujurnya, tapi di sisi lain merasa kasihan karena suami terus dibohongi) Merasa bersalah saat menjauhkan anak-anak dari ayah mereka saat sedang bertengkar Menjadi pribadi yang lebih egois Relasi homoseksual (dengan pacar perempuan) menjadi terhalang Pernikahan tetap tidak mengubah orientasi seksual Menutup diri sendiri Menyiksa diri sendiri Bercerita ke pacar perempuan Dampak kehadiran anak Perasaan negatif diri Pikiran negatif diri Perasaan terhadap orang lain Konflik intrapersonal Relasi sosial Orientasi seksual Strategi coping 3 Dampak pernikahan Strategi coping PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 354 477 817 565 369 394 838 465 495 496, 578 754 Menjalani hidup apa adanya. Membuat keluarga mendukung perceraian Menolak harta kekayaan dari suami supaya tidak terikat Mempersiapkan modal untuk hidup setelah bercerai Hidup bertiga saja dengan anak-anak Mengungkapkan orientasi seksual ke anak-anak Anak diasuh pacar (bukan suami) saat N meninggal Diterima apa adanya (sebagai lesbian) oleh anak Berpisah baik-baik dengan suami Menjaga hubungan baik dengan suami setelah bercerai supaya anak tidak menjadi korban Kasih sayang menjadi pengikat selamanya antara N dan anak-anak 4 Usaha Rencana Harapan Orientasi masa depan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI LAMPIRAN 3 (Koding Subjek II) xxiv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 14 730 19 24 34 39 45 53 818 71 78 408 466 477 89 100 134 472 Kode Subkategori Tertarik secara emosi dengan perempuan, namun dengan laki-laki malah sebaliknya Merasa biasa saja dan tidak ada ikatan emosi apa-apa saat berteman dengan laki-laki, namun hal ini akan sangat berbeda saat ia sedang menyukai perempuan. Menyadari diri lesbian setelah mengerti tentang orientasi seksual Awalnya tidak terima bahwa ia lesbian karena masih belum yakin hal tersebut Kesadaran akan orientasi bukanlah suatu kesalahan (dosa) homoseksual Semakin banyak informasi yang didapatkan, semakin bisa menerima diri sendiri. Merasa nyaman dan santai dalam melakukan segala hal setelah mulai bisa menerima diri. Belum pernah berpacaran dengan laki-laki. Pertama kali berpacaran dengan perempuan saat SMP. Merasa nyaman dan senang saat berpacaran dengan perempuan Hanya teman dekat yang mengetahui bahwa D lesbian D langsung mengaku saat orangtua curiga dan bertanya-tanya tentang orientasi seksual D. Menyembunyikan orientasi homoseksual Anak-anak masih terlalu kecil untuk diberitahu tentang orientasi seksualnya. Suami mungkin tidak tau tentang orientasi seksual D Tidak merasa harus mengakui orientasi seksual ke suami Fakta bahwa D lesbian membuat orangtua sangat marah Bagi orangtua, LGBT adalah salah, dosa, tidak benar, negatif dan tidak bisa diterima. Orangtua sering menilai D membuat malu keluarga. Bagi orangtua, D yang lesbian merupakan aib keluarga. 1 Stigma negatif orangtua Kategori Orientasi homoseksual Motif menikah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 122 129 138 606 120 Menikah karena tekanan dari lingkungan (keluarga) sangat besar. Lingkungan (keluarga) benar-benar menekan dan memaksa. Tidak ada yang dapat membantu memberi jalan keluar lain selain menikah Terpaksa menikah karena tidak ada pilihan lain Menikah karena dijodohkan orangtua. 145 Relasi dengan suami tampak baik-baik saja, namun sebenarnya tidak dan malah cenderung dingin. Merasa tidak nyaman akan relasi dengan suami dan suami menyadarinya Suami tidak dominan Keras dan tidak gampang menerima perlakuan suami Lebih banyak bertengkar daripada akur Suami baik, perhatian dan sayang Suami kadang memarahi D, namun kadang juga mengabaikan saat D mengungkapkan ketidaknyamanannya Tidak dapat menikmati hubungan seksual Tidak merasakan apa-apa saat berhubungan seksual. Berusaha menghindar dan menolak hubungan seksual. Terkadang terpaksa berhubungan seksual. Merasa “diperkosa” saat berhubungan seksual dengan suami. Merasa tertekan, tidak nyaman, sedih dan sakit hati setiap berhubungan seksual Suami pernah melakukan hubungan seks terhadap D saat D sedang tidur Suami memberitahu keesokan paginya bahwa semalam mereka berhubungan seksual Sakit hati dan tidak terima karena suami memperlakukan D seperti barang Cuek dan tidak merespons sama sekali saat berhubungan seksual. 155, 778 306 307 763 766 785 188 236 193 195 201 210 224 244 254 234 2 Tekanan dari luar Tidak ada pilihan lain Dijodohkan Relasi emosional Relasi dengan suami Relasi fisik / seksual PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 157 179 259 266 748 281 291 436 792 160 167 173 174 172 809 325 334 404 411 444 328 331, 370 365, 373 Malas mengalah sehingga hal-hal kecil saja bisa membuat bertengkar. Saat suami mengajak bicara sedangkan D masih merasa malas, D cenderung akan menjawab sinis dan hal ini memicu konflik kembali. Bertengkar karena suami melakukan hubungan seksual saat D tidak sadar Semakin marah karena hubungan seksual tersebut membuatnya hamil ketika ia tidak siap memiliki anak kedua. Suami melanggar kesepakatan yang telah dibuat bersama. Menggugurkan kandungannya karena tidak bisa menerima keadaan Suami marah saat D menggugurkan kandungan Tidak memiliki alasan apa-apa untuk menggugat cerai suami Suami tidak mau bercerai karena tidak mau dianggap laki-laki gagal dan karena menyadari adanya dampak tertentu ke anak-anak Adu mulut dan saling membantah satu sama lain saat bertengkar Tidak ada kekerasan fisik saat bertengkar Saling diam saat sedang bertengkar Baik dengan sendirinya tanpa ada yang meminta maaf duluan Tidak ada yang mau mengalah duluan Setelah bertengkar, suami lama kelamaan akan berpura-pura tidak terjadi apaapa (pertengkaran) di antara mereka Relasi dengan anak biasa saja dan tidak ada yang aneh Dekat dengan anak-anak Selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Orientasi seksual tidak mempengaruhi cintanya terhadap anak-anak. Suami memperlakukan anak dengan baik Anak merupakan pelarian agar tidak terlalu fokus pada masalah Anak merupakan penghibur saat sedang marah, capek dan down Anak-anak memberi alasan untuk menjadi kuat dan bertahan dalam pernikahan 3 Sebab konflik Konflik interpersonal dengan suami Akibat konflik Penyelesaian konflik Relasi dengan anak Kehadiran anak Dampak kehadiran anak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 339 347 357 420 263 316 379 503 545 387 617 428 557 562 582 492 Semenjak ada anak harus pintar mengontrol emosi Menutupi pertengkarannya dengan suami dari anak-anak. Tidak mau pertengkaran dengan suami membawa dampak buruk bagi anakanak Harus menangis sembunyi-sembunyi karena tidak ingin anak menjadi sedih setelah melihatnya menangis Merasa bahwa perlakuan suami sangatlah tidak adil. Pernikahan membuat tertekan karena harus melakukan dan berhadapan dengan sesuatu yang membuat tidak nyaman Merasa lelah, muak dan jenuh harus berpura-pura baik-baik saja di hadapan keluarga. Kasihan dengan mantan pacarnya karena ia pasti merasa sangat sakit hati dan tertekan. Kasihan dan tidak tega dengan orang yang menjadi pasangannya. Ingin meninggalkan kehidupan saat ini dan mulai membahagiakan diri sendiri, tapi merasa harus bertanggungjawab akan anak-anak. Ingin bercerai dari suami supaya bebas dan bisa membahagiakan diri sendiri, tapi ragu karena memikirkan masa depan anaknya dan juga tidak yakin bahwa setelahnya ia bisa bebas dari paksaan orangtua. Tidak memiliki teman bercerita semenjak menikah Jauh dari teman-teman komunitas. Merasa takut, tidak diterima, selalu dijudge dan tidak dimengerti ketika bercerita ke teman-teman komunitas mengenai pernikahannya. Menjadi pribadi yang cuek, jutek dan tidak peduli pada orang lain selain orangorang yang dia sayang Tidak bebas menjalani relasi sesama jenis. 4 Perasaan negatif diri Perasaan terhadap orang lain Konflik intrapersonal Relasi sosial Relasi homoseksual Dampak pernikahan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 496 534 542 515 696 417 456 203 636 646 654 656 480 483 666 Putus dengan pacar karena pacar merasa cemburu dan tidak tahan dengan kondisi D yang sudah menikah. Harus mempertimbangkan banyak hal apabila ingin menjalin relasi baru dengan orang di luar pernikahan. Pernikahan dan anak yang masih kecil membuat sulit membangun relasi di luar pernikahan. Relasi sesama jenis menjadi sangat berisiko karena D bisa diceraikan dan kehilangan anak-anaknya apabila sampai ketahuan. Pernikahan membuatnya menjadi pribadi yang lebih kuat dan tangguh Menangis saat sedang merasa capek, muak dan jenuh. Menyibukkan diri dengan membaca, bekerja dan fokus pada anak-anak untuk mengalihkan perhatian dari emosi negatif yang dirasakan Tidak dapat melakukan apapun dan tidak mendapat dukungan darimanapun karena budaya mengatakan istri harus menurut dan melayani suami. Menjalani hidup apa adanya sembari memikirkan cara (alasan) untuk meminta cerai Berusaha berdamai dengan keadaan Mempersiapkan anak menjadi kuat menghadapi perceraian. Memberi pengertian kepada anak tentang keadaan yang sebenarnya. Ingin memberitahu anak-anak mengenai orientasi seksualnya saat mereka sudah besar. Ingin anak-anak memiliki wawasan yang luas, berpikiran terbuka, bisa toleransi dan tidak diskriminasi. Berharap LGBT diterima, tidak didiskriminasi dan tidak dibedakan dari orang pada umumnya sehingga tidak ada lagi paksaan untuk menikah yang akan mengorbankan banyak orang. 5 Sifat personal Strategi coping Strategi coping Usaha Rencana Harapan Orientasi masa depan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI LAMPIRAN 4 (Member Checking) xxv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI LEMBAR PERNYATAAN TELAH MELAKSANAKAN MEMBER CHECKING Dengan ini, saya, Tiara Dewantari selaku peneliti yang melakukan penelitian terkait lesbian yang terlibat dalam mixed orientation marriage telah mendapatkan informasi seputar kehidupan dan pengalaman dari informan yang bersangkutan. Saya telah mengkomunikasikan kembali hasil yang saya dapatkan dari penelitian ini kepada informan. Hal ini dilakukan agar saya selaku peneliti benar-benar memuat hasil penelitian yang sebenarnya tanpa adanya tambahan dan pengurangan atau manipulasi data. Dengan demikian, peneliti telah memuat hasil penelitian berdasarkan informasi yang diberikan oleh informan. Yogyakarta, 2016 Mengetahui, Informan ( Peneliti ) Tiara Dewantari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI