STUDI KASUS : LESBIAN DALAM MIXED

advertisement
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
STUDI KASUS : LESBIAN DALAM MIXED ORIENTATION MARRIAGE
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Tiara Dewantari
129114004
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
SKRIPSI
STUDI KASUS : LESBIAN DALAM MIXED ORIENTATION MARRIAGE
Disusun Oleh :
Tiara Dewantari
NIM : 129114004
Telah disetujui oleh :
Dosen Pembimbing,
Dr. Tjipto Susana, M. Si.
Tanggal :
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PENGESAHAN
SKRIPSI
STUDI KASUS : LESBIAN DALAM MIXED ORIENTATION MARRIAGE
Dipersiapkan dan ditulis oleh :
Tiara Dewantari
NIM : 129114004
Telah dipertanggungjawabkan di depan Panitia Penguji
pada tanggal 12 Januari 2017
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Penguji
Tanda Tangan
Penguji 1 : Dr. Tjipto Susana, M. Si.
____________
Penguji 2 : C. Siswa Widyatmoko, M. Psi., Psi.
____________
Penguji 3 : M. L. Anantasari, M. Si.
____________
Yogyakarta,
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
Dekan,
Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si.
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ia menyanyikan sajak tentang hidup yang adalah
toples sejuta rasa.
Maka ujarnya,
tidak mungkin mengartikan bahagia sebagai sekedar
senang dan terbang saja.
Tuhan menciptakan semarak hidup gono gini gitu,
sejatinya agar dunia menjadi tidak semembosankan itu.
Untuk papa dan mamaku..
Untuk kakak dan adikku..
Untuk kamu..
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 12 Januari 2017
Peneliti,
Tiara Dewantari
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
STUDI KASUS : LESBIAN DALAM MIXED ORIENTATION MARRIAGE
Tiara Dewantari
ABSTRAK
Heteroseksisme menyebabkan banyak homoseksual, termasuk lesbian,
memilih menikah dengan lawan jenis dan menjalani mixed orientation marriage
untuk terhindar dari stigma negatif dan diskriminasi. Meskipun demikian,
kebanyakan pernikahan tersebut ternyata mengalami kegagalan dan tidak bertahan
lebih dari tiga tahun lamanya. Ketika ditemukan adanya lesbian yang mampu
membina pernikahan sampai memasuki fase stabil dengan lawan jenis, hal
tersebut menjadi suatu kasus yang unik karena sangat jarang terjadi. Studi kasus
eksploratif dilakukan terhadap dua orang lesbian yang sedang menjalani
pernikahan dengan lawan jenis dengan usia pernikahan lebih dari tiga tahun.
Penilitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran dasar yang menyeluruh
mengenai kehidupan individu lesbian yang terlibat dalam mixed orientation
marriage. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara
semi terstruktur, kemudian data dianalisis menggunakan metode analisis isi
kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mixed orientation marriage
membawa individu lesbian dalam situasi yang sangat kompleks dan problematik.
Selain banyak mengalami emosi negatif, individu terus menerus dihadapkan pada
konflik di dalam diri maupun konflik dengan suami dan lingkungan sekitar.
Meskipun pernikahan telah berlangsung cukup lama, individu lesbian di dalam
penilitian ini tetap memiliki keinginan untuk bercerai dan sedang memikirkan cara
untuk berpisah dari pasangan tanpa memunculkan kecurigaan terkait orientasi
homoseksual yang mereka miliki.
Kata kunci : heteroseksisme, lesbian, mixed orientation marriage
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
CASE STUDY : LESBIAN IN MIXED ORIENTATION MARRIAGE
Tiara Dewantari
ABSTRACT
Heterosexism causes many homosexuals, including lesbian, chose to
marry the opposite sex and undergo mixed orientation marriage to avoid the
negative stigma and discrimination. However, most of the marriage turned out to
be a failure and do not last more than three years. It becomes a unique case when
there is lesbian who’ve been able to foster a long term marriage with the opposite
sex. Explorative case study conducted on two lesbians who are undergoing more
than three years marriage with the opposite sex. This research aims to get a
thorough basic overview about the lives of lesbians who are involved in mixed
orientation marriage. Qualitative data collection is done by using a semistructured interview method, then analyzed using content analysis method. The
results showed that the mixed orientation marriage takes lesbian to a very
complex and problematic situation. Besides experiencing a lot of negative
emotions, lesbian constantly faced with the conflict within herself or conflict with
their husbands. Although the marriage has been aged more than three years and
lasts long enough, lesbians in this research still has the will to divorce. Both
individuals were figuring out how to separate from their partner without raises
suspicions related to their homosexual orientation.
Keywords : heterosexism, lesbian, mixed orientation marriage
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Tiara Dewantari
NIM
: 129114004
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
“STUDI KASUS : LESBIAN DALAM MIXED ORIENTATION
MARRIAGE”
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media
lainnya untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Dibuat di
: Yogyakarta
Pada tanggal : 12 Januari 2017
Yang menyatakan,
Tiara Dewantari
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis diberi kesempatan untuk menyelesaikan skripsi
berjudul “Studi Kasus : Lesbian dalam Mixed Orientation Marriage” sebagai
syarat untuk memperolah gelar Sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta. Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa dukungan, bimbingan
dan bantuan dalam bentuk apapun dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis
ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Dr. Tjipto Susana selaku dosen pembimbing, terimakasih atas
kesabaran ibu dalam membimbing serta memberi saran, nasihat dan
semangat kepada saya.
2. Dosen dan karyawan Fakultas Psikologi, terimakasih karena sudah
memberikan pengetahuan, pelajaran dan pengalaman berharga selama saya
menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma.
3. Kedua narasumber yang dengan sangat terbuka mau berbagi cerita hidup
dan pelajaran yang berharga kepada saya.
4. Mama, papa, Mbak Nicki dan Rhaka yang tidak pernah lelah
memperhatikan, mendoakan dan mendukung dengan caranya masingmasing.
5. David, teman menulis cerita. Terima kasih karena selalu sabar menghadapi
hujan dan matahari. Terimakasih karena selalu percaya dan tak pernah
lelah mengingatkan bahwa saya bisa.
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6. Dara, Rien, Rikjan, PP, Shela, Radit, Cuki, Narissa, Cia, Tiffa, Raras,
Mbak Tata, Rezky, Milo, Lava dan semua teman-teman lain yang
menemani perjalanan kuliah, mulai dari semester awal hingga saat-saat
akhir berjuang menyelesaikan skripsi. Terimakasih karena telah memberi
warna dan menjadi tawa dan semangat.
7. Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, terimakasih atas
bantuan dan dukungannya selama ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak keterbatasan, kekurangan dan
kesalahan yang peneliti lakukan dalam menyusun tulisan ini. Maka dari itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan
skripsi ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan membantu orang lain.
Terimakasih.
Yogyakarta, 12 Januari 2017
Tiara Dewantari
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ...................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................... v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
ABSTRACT ........................................................................................................... vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .......................... viii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................................
1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 10
C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 11
D. Manfaat Penelitian................................................................................. 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Lesbian .................................................................................................. 13
1. Definisi dan Label Gender ............................................................... 13
2. Relasi Lesbian .................................................................................. 15
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. Ibu Lesbian ....................................................................................... 18
4. Lesbian di dalam Masyarakat........................................................... 23
B. Relasi Interpersonal ............................................................................... 26
1. Bentuk Relasi Interpersonal ............................................................. 26
2. Komunikasi dalam Relasi Interpersonal .......................................... 26
3. Konflik dalam Relasi Interpersonal ................................................. 28
C. Mixed Orientation Marriage ................................................................. 30
1. Kontinum Mixed Orientation Marriage .......................................... 31
2. Alasan Individu Homoseksual Menikah Secara Heteroseksual ....... 34
3. Bentuk Mixed Orientation Marriage ............................................... 36
4. Penyesuaian Pernikahan dalam Mixed Orientation Marriage ......... 38
5. Individu Heteroseksual dalam Mixed Orientation Marriage ........... 42
D. Lesbian dalam Mixed Orientation Marriage ........................................ 44
E. Kerangka Penelitian ............................................................................... 46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ...................................................................................... 49
B. Fokus Penelitian .................................................................................... 50
C. Subjek Penelitian ................................................................................... 51
D. Prosedur Penelitian................................................................................ 51
E. Metode Pengumpulan Data.................................................................... 52
F. Analisis Data .......................................................................................... 56
G. Reliabilitas dan Validitas Data .............................................................. 57
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian .............................................................................. 59
B. Pelaksanaan Penelitian .......................................................................... 60
C. Hasil Penelitian ...................................................................................... 62
1. Kesadaran Akan Orientasi Homoseksual ......................................... 62
2. Menyembunyikan Orientasi Homoseksual ...................................... 65
3. Motif Menikah ................................................................................. 67
4. Relasi Dengan Suami ....................................................................... 69
a. Relasi Emosional ......................................................................... 69
b. Relasi Seksual .............................................................................. 71
5. Konflik Dengan Suami ..................................................................... 73
6. Kehadiran Anak ............................................................................... 77
7. Dampak Pernikahan ......................................................................... 80
a. Perasaan dan Pikiran Negatif Diri .............................................. 80
b. Perasaan Terhadap Orang Lain.................................................... 82
c. Konflik Intrapersonal ................................................................... 83
d. Relasi Sosial ................................................................................ 85
e. Relasi Homoseksual ..................................................................... 87
8. Strategi Coping ................................................................................ 89
9. Persiapan / Visi Masa Depan .......................................................... 90
D. Pembahasan ........................................................................................... 93
E. Learning Point ....................................................................................... 106
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ........................................................................................... 109
B. Kontribusi Penelitian ............................................................................. 110
C. Keterbatasan Penelitian ......................................................................... 111
D. Saran ...................................................................................................... 112
1. Bagi Penelitian Selanjutnya ............................................................. 112
2. Bagi Individu Lesbian ...................................................................... 113
3. Bagi Psikolog dan Konselor ............................................................. 114
4. Bagi Orangtua dan Calon Orangtua ................................................. 114
5. Bagi Komunitas LGBT ..................................................................... 115
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................xvii
LAMPIRAN ........................................................................................................xxii
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Guideline Pertanyaan Wawancara ........................................................ 53
Tabel 2. Ringkasan Kegiatan Pengambilan Data Penelitian ............................... 61
Tabel 3. Data Demografis Subjek ....................................................................... 62
xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Informed Consent ........................................................................... xxii
Lampiran 2 Koding Subjek I .............................................................................. xxiii
Lampiran 3 Koding Subjek II .......................................................................... xxiv
Lampiran 4 Member Checking ........................................................................... xxv
xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu ciri dan tugas perkembangan makhluk hidup adalah melakukan
reproduksi. Makhluk hidup, termasuk manusia, harus melakukan prokreasi untuk
melanjutkan keturunan dan mempertahankan spesies (Guntur, 2015). Reproduksi
hanya dapat terjadi apabila dilakukan oleh manusia yang berlainan jenis kelamin.
Pelaku seks sesama jenis tidak akan dapat memiliki keturunan biologis sehingga
tidak dapat melanjutkan keturunan spesies. Oleh sebab itu, kehadiran
homoseksualitas membawa sebuah dilema tersendiri. Fakta bahwa homoseksual
tidak dapat melakukan prokreasi membawa masyarakat pada sebuah anggapan
bahwa homoseksualitas merupakan penyimpangan yang merugikan. Stigma
bahwa homoseksual merupakan hal yang tidak normal ini diperkuat oleh
pandangan yang dikemukakan oleh bidang kesehatan mental Freudian, dimana
dikatakan bahwa homoseksual terbentuk oleh terhambatnya perkembangan
psikoseksual yang normal (Ben-Ari, 2001). Apalagi, tiga agama terbesar di dunia,
yaitu Yahudi, Kristen dan Islam, memandang homoseksual sebagai sebuah dosa
(Ben-Ari, 2001).
Alasan-alasan
tersebut
menyebabkan
terbentuknya
ideologi
heteroseksisme. Heteroseksisme merupakan sebuah sistem ideologi yang
menyangkal, menilai buruk dan menstigmatisasi segala bentuk non-heteroseksual,
baik dalam perilaku, identitas, relasi mupun komunitas (Herek dalam Ben-Ari,
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
2001). Dalam masyarakat global, termasuk Indonesia, homoseksual dianggap
menyalahi aturan perkawinan, karena berlaku hukum bahwa seseorang harus
berpasangan dengan lawan jenisnya, bukan dengan sesama jenis. Heteroseksisme
menyebabkan homoseksual berada pada kondisi yang sulit dan seringkali menjadi
objek diskriminasi. Penolakan masyarakat terhadap keberadaan homoseksual
tersebar di seluruh dunia (Rahardjo, 2007). Menurut Kitzinger (dalam Rahardjo,
2007), sekitar 92% kaum gay dan lesbian di Amerika melaporkan bahwa dirinya
menjadi target ancaman dan kekerasan dari kaum anti gay. Selain itu, studi yang
dilakukan
oleh
Tomsen
(dalam
Rahardjo,
2007)
menunjukkan
bahwa
pembunuhan oleh banyak orang tak dikenal yang terjadi di New South Wales,
Australia, biasanya dilatarbelakangi oleh adanya homophobia. Kondisi seperti
tersebut di atas tidak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia. Fakta penelitian
tahun 2013 yang dilakukan oleh Arus Pelangi terhadap komunitas Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender (LGBT) menunjukkan bahwa 89.3% LGBT di
Indonesia pernah mengalami kekerasan karena orientasi seksual, identitas gender
dan ekspresi gendernya (Arus Pelangi, 2015).
Selain diskriminasi dan
marginalisasi di lingkungan sosial, di beberapa daerah seperti Aceh dan Sumatera
Selatan, aktivitas homoseksual dianggap sebagai sebuah tindakan kriminal dan
pelakunya bisa dikenakan denda dan dihukum penjara. Majelis Ulama Indonesia
(MUI) bahkan mengeluarkan fatwa yang menyerukan berbagai hukuman, dari
cambuk hingga hukuman mati, untuk kaum homoseksual pada 3 Maret 2015
(Wibowo, 2015).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Oleh karena begitu banyaknya penolakan dan konsekuensi negatif yang
harus ditanggung, maka, di banyak negara, tidak sedikit homoseksual yang ragu
mengungkapkan identitas seksualnya. Banyak sekali pertimbangan yang
dipikirkan untuk mengungkapkan orientasi homoseksual pada masyarakat,
khususnya lingkungan sekitar. Pada beberapa kasus,
pengungkapan identitas
LGBT yang dimiliki oleh individu kepada orang lain dapat memberikan banyak
keuntungan kesehatan mental (Ragins dalam Legate, Ryan & Weinstein, 2012).
Beberapa hal baik tersebut adalah terbentuknya self-esteem karena dikenal dan
dicintai apa adanya, berkurangnya stres karena menyembunyikan bagian penting
dari identitas diri, membangun relasi yang lebih akrab dan tulus dan lain
sebagainya (National Sexual Violence Resource Center & Pennsylvania Coalition
Against Rape, 2012b). Namun pada kasus lain, di budaya yang tidak ramah
homoseksual seperti Indonesia, pengungkapan identitas bisa menjadi sebuah
bencana dengan berbagai risiko. Individu LGBT harus siap dengan berbagai
macam bentuk stigmatisasi, penilaian negatif serta perasaan ditolak yang
mengikuti pengungkapan atas orientasi seksual mereka (Legate et al, 2012). US
Department of Health and Human Services (dalam National Sexual Violence
Resource Center & Pennsylvania Coalition Against Rape, 2012a) menemukan
bahwa isu terkait lingkungan personal, keluarga dan penerimaan sosial akan
orientasi seksual memberikan beban tersendiri terhadap kesehatan mental dan
keamanan personal dari individu yang diidentifikasi sebagai lesbian, gay dan
biseksual. Penelitian Banks (dalam National Sexual Violence Resource Center &
Pennsylvania Coalition Against Rape, 2012a) juga menemukan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
homophobia yang harus dihadapi individu-individu tersebut cenderung membuat
mereka memiliki usia harapan hidup yang lebih rendah serta harus berhadapan
dengan masalah kesehatan dan masalah sosial yang lebih tinggi daripada populasi
umum.
Situasi yang kompleks semacam ini membuat kebanyakan homoseksual
mengembangkan bicultural identity (Santrock, 1999). Secara lebih jauh dikatakan
oleh Santrock (1999) bahwa bicultural identity adalah identitas dua dunia di
mana kaum homoseksual tidak mengubah orientasi seksualnya dan tetap menjadi
gay dan lesbian, terkadang menjalani kehidupan sebagai gay dan lesbian secara
sembunyi-sembunyi namun juga hidup dan bersosialisasi seperti orang biasa tanpa
masyarakat mengetahui bahwa sesungguhnya mereka adalah homoseksual. Salah
satu cara yang digunakan oleh homoseksual untuk menyamarkan identitas
homoseksual yang mereka miliki adalah dengan menikah. Menikah membuat
mereka tampak seperti orang kebanyakan.
Banyak
homoseksual
menikah
secara
heteroseksual
untuk
menyembunyikan identitas orientasi seks mereka. Bagi gay dan lesbian yang
sudah terbuka pada keluarganyapun tekanan untuk menikah masih ada, karena
homoseksualitas dianggap sebagai penyakit yang diharapkan “sembuh” dengan
menikah (Oetomo, 2003). Tidak ada literatur yang memberikan estimasi akurat
mengenai prevalensi homoseksual yang menikah secara heteroseksual. Menurut
Buxton (dalam Alessi, 2008), ada setidaknya satu hingga dua juta pria gay, wanita
lesbian, pria dan wanita biseksual di Amerika Serikat yang menikah dengan lawan
jenisnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Wyers (1987) menyimpulkan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
20% gay kulit putih dan 13% gay kulit hitam memutuskan menikah dengan
perempuan. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan lesbian yang
menikah, dimana didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa 35% lesbian kulit
putih dan 47% lesbian kulit hitam terlibat dalam mixed orientation marriage
(Wyers, 1987). Mixed orientation marriage merupakan hubungan dimana satu
partner mengalami ketertarikan sesama jenis dan diidentifikasi sebagai gay,
lesbian atau biseksual, sedangkan satu partner yang lain diidentifikasi sebagai
heterosekual tanpa ketertarikan sesama jenis (Buxton dalam Tornello & Patterson,
2011).
Mixed orientation marriage memberikan banyak sekali dampak negatif
bagi individu-individu yang terlibat di dalamnya. Homoseksual akan merasakan
cemas dan bersalah sepanjang hidup mereka apabila mereka menyembunyikan
homoseksualitas yang mereka miliki dari orang-orang terdekatnya, terutama dari
pasangan hidup dan anak-anak mereka (Binger dalam Ben-Ari & Adler, 2010).
Kecenderungan memendam kebenaran membuat konflik ekspresi emosi dan hal
ini bisa menimbulkan penyakit yang berhubungan dengan stres serta bisa
membangkitkan gangguan mental (Pennebaker dalam Ben-Ari & Adler, 2010).
Meskipun demikian, coming out atau mengungkapkan identitas orientasi seksual
yang mereka milikipun bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan dan merupakan
hal yang penuh tekanan. Setelah orientasi homoseksual terungkap, keberlanjutan
pernikahan menjadi terancam. Beberapa pasangan yang memilih untuk bertahan
akan mengalami banyak masalah dan cenderung pesimis terhadap masa depan
mereka (Coleman dalam Ben-Ari & Adler, 2010). Parents, Families and Friends
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
of Lesbians and Gays (PFLAG, 1994) menjelaskan beberapa masalah tersebut
misalnya adalah kesulitan individu heteroseksual dalam membangun kembali
kepercayaan, kurangnya hubungan seksual, serta munculnya negativitas dari
orang-orang di sekitar mereka. Perasaan sakit dan terluka serta pergolakan emosi
secara konstan dan terus menerus akan dialami oleh individu homoseksual
maupun individu heteroseksual dan anak-anak mereka setelah mengetahui bahwa
salah satu orangtua dan pasangan mereka merupakan seorang homoseksual
(Wyers, 1987).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80% mixed orientation marriage
berakhir dengan perceraian (Kort, 2006). Selain itu, Buxton (dalam Hernandez,
Schwenke & Wilson, 2011) mengatakan bahwa hanya ada 15% mixed orientation
marriage yang mampu bertahan dalam durasi lebih dari tiga tahun. Jika dilakukan
perbandingan, usia pernikahan perempuan lesbian dengan laki-laki cenderung
jauh lebih singkat daripada laki-laki gay dengan perempuan. Selain itu, prevalensi
perempuan lesbian yang bercerai dari suaminya jauh lebih banyak dibandingkan
dengan laki-laki gay yang bercerai dari istrinya (Wyers, 1987). Laki-laki gay yang
menikah dengan perempuan cenderung lebih mampu mempertahankan pernikahan
mereka dan memiliki tingkat kebahagiaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan
perempuan lesbian yang menikah dengan laki-laki (Bell & Weinberg dalam
Nichols, 2004). Hal ini barangkali disebabkan ketidaksetaraan gender yang masih
sering
diterapkan
dalam
pernikahan-pernikahan
tradisional.
Kebanyakan
perempuan dalam relasi heteroseksual memiliki power yang sangat sedikit
daripada yang dimiliki suami atau kekasihnya. Ketidaksetaraan power ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
termanifestasi pada saat satu individu memiliki lebih banyak suara dalam relasi
atau dalam sebuah keputusan tertentu yang harus dibuat sebagai pasangan
(Caldwell & Peplau, 1984). Hal ini tentu sangat berkebalikan dengan ketika
perempuan menjalani relasi dengan sesama perempuan. Pasangan lesbian benarbenar menghargai kesetaraan dalam relasi personal yang mereka bangun (Peplau
dalam Peplau & Amaro, 1982). Alasan lain yang mempengaruhi perbedaan
nuansa mixed orientation marriage pada gay dan lesbian adalah kecenderungan
lesbian untuk menikah karena terpaksa. Dalam budaya patriarkal, perempuan
cenderung kurang memiliki kebebasan personal dalam menjalani hidup sesuai
dengan yang mereka inginkan. Perempuan memiliki lebih sedikit pilihan dalam
menjalankan hidup dibandingkan laki-laki, termasuk dalam hal membuka diri
sebagai seorang homoseksual (Nichols, 2004).
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, peneliti mengambil kesimpulan
bahwa adalah hal yang jarang terjadi ketika individu lesbian mampu membina
pernikahan sampai memasuki fase stabil dengan suaminya. Oleh sebab itu,
peneliti tertarik untuk melakukan studi eksploratif terhadap individu tersebut
dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Penelitian studi kasus melibatkan
studi terhadap sebuah isu yang dieksplorasi melalui satu atau lebih kasus dalam
sebuah sistem yang saling berkaitan (Creswell, 2007). Peneliti mengumpulkan
data yang detail dan mendalam serta melibatkan banyak sumber informasi, baik
melalui observasi, wawancara maupun materi audiovisual, dokumen dan laporan
(Creswell, 2007). Peneliti secara spesifik menggunakan studi kasus intrinsik,
dimana peneliti fokus pada kasus yang telah dipilih karena kasus tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
merepresentasikan sebuah situasi yang unik dan tidak biasa. Dalam hal ini,
peneliti memfokuskan penelitian pada individu lesbian yang terlibat dalam mixed
orientation marriage yang mencakup beberapa dimensi, yaitu motif yang
mendasari
pernikahan,
relasi dengan
suami,
konflik
interpersonal dan
intrapersonal yang dialami beserta penyelesaiannya, dampak psikologis dan
rencana serta harapan individu terhadap pernikahannya. Peneliti tidak menjadikan
suami sebagai fokus penelitian karena dalam hal ini suami tidak mengetahui
orientasi homoseksual yang dimiliki istrinya. Berdasarkan penelitian, kebanyakan
individu memang tidak menyadari bahwa pasangannya memiliki orientasi
homoseksual atau biseksual ketika mereka pertama kali menikah (Buxton &
Schwartz, 2004). Meskipun suami mengetahui mengenai hal inipun, tidak banyak
informasi yang bisa didapatkan sebab laki-laki cenderung tidak mau membahas
mixed orientation marriage yang mereka jalani. Mereka cenderung merasa
direndahkan dan jatuh harga dirinya ketika pasangannya lebih memilih relasi
seksual dengan sesama jenis (Kort, 2006).
Konsep mixed orientation marriage merupakan sebuah konsep yang masih
belum banyak dikenal sehingga penelitian mengenai hal inipun masih sangat
jarang dilakukan. Sejauh ini, kebanyakan penelitian yang sudah ada cenderung
menyoroti dinamika psikologis pada individu heteroseksual di dalam mixed
orientation marriage. Berdasarkan penelitian, didapatkan hasil yang menunjukkan
bahwa seorang istri akan mengalami ambiguous loss saat mengetahui bahwa
suaminya adalah seorang homoseksual, sehingga akan mengalami tahap-tahap
kesadaran, kebingungan, pre-okupasi, keputus-asaan, merasa bertanggungjawab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
atas kesejahteraan anak dan pasangan, disorientasi dan keyakinan spiritual
menjadi semakin kuat namun juga saling tumpang tindih satu sama lain, kemudian
masuk ke tahap yang terakhir yaitu bangkit dari keterpurukan (Hernandez &
Wilson, 2007). Penelitian lain mengenai mixed orientation marriage berfokus
pada alasan seorang homoseksual memilih untuk terlibat dalam pernikahan
heteroseksual. Higgins (dalam Wolkomir, 2009) menemukan bahwa ada beberapa
hal yang membuat homoseksual memilih untuk menikah dengan lawan jenis,
yaitu usaha untuk menjadi normal, keinginan untuk memiliki keluarga, penolakan
diri atas identitas homoseksual yang dimiliki, pencarian akan penerimaan serta
karena percaya bahwa menikah merupakan sesuatu yang seharusnya dilakukan.
Kelebihan penelitian “Studi Kasus : Lesbian dalam Mixed Orientation
Marriage” dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah bahwa
penelitian ini mampu memberikan gambaran dasar yang lebih menyeluruh
mengenai kehidupan individu lesbian yang menikah secara heteroseksual. Dengan
hal ini, masalah-masalah terkait individu lesbian dalam mixed orientation
marriage diharapkan bisa diselesaikan secara lebih kontekstual sehingga dampak
negatif yang telah dipaparkan sebelumnya bisa lebih diminimalisir. Selain itu,
hasil penelitian bisa menjadi referensi dan pembelajaran bagi banyak individu
lesbian yang menikah secara heteroseksual maupun bagi terapis-terapis
pernikahan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
B. Rumusan Masalah
Sebagian besar mixed orientation marriage, khususnya lesbian yang
menikah dengan laki-laki, cenderung berujung pada perceraian. Meskipun begitu,
terdapat sebuah kasus dimana individu lesbian mampu membina pernikahan
sampai memasuki fase stabil dengan suaminya. Kasus ini merupakan sebuah
kasus yang unik dan menarik untuk dibahas sehingga peneliti merumuskan
masalah sebagai berikut : “Bagaimanakah kehidupan pernikahan yang dijalani
oleh lesbian yang terlibat mixed orientation marriage?”. Dari pertanyaan tersebut,
peneliti mengembangkan beberapa sub-pertanyaan penelitian, yaitu :
1. Apa yang menjadi motif yang mendasari individu lesbian untuk menikah
dengan lawan jenis?
2. Bagaimanakah relasi individu dengan suaminya dalam kehidupan seharihari?
3. Apa saja konflik intrapersonal dan interpersonal yang harus dihadapi
individu
lesbian
selama
menjalani
mixed
orientation
marriage?
Bagaimana cara yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik-konflik
tersebut?
4. Apa dampak yang dialami individu lesbian selama menjalani mixed
orientation marriage?
5. Bagaimana relasi individu dengan anak-anaknya? Apakah dampak
kehadiran anak bagi relasi dengan suami dan bagi diri individu?
6. Apa rencana dan harapan individu lesbian terhadap pernikahannya?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran dasar yang
menyeluruh mengenai individu lesbian yang terlibat dalam mixed orientation
marriage, yang dijelaskan dalam beberapa dimensi, yaitu motif yang mendasari
pernikahan, relasi dengan suami, konflik interpersonal dan intrapersonal yang
dialami beserta penyelesaiannya, dampak psikologis dan rencana serta harapan
individu terhadap pernikahannya.
D. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini, manfaat yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut :
1. Bagi Peneliti Lain
Penelitian ini diharapkan menjadi sumber literatur terkait individu lesbian
yang terlibat dalam mixed orientation marriage dan bisa menjadi informasi
tambahan bagi peneliti lain yang ingin mengembangkan topik serupa.
2. Bagi Individu Lesbian
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi sebuah pembelajaran dan media
dalam mengevaluasi kehidupan bagi individu-individu lesbian yang terlibat
dalam mixed orientation marriage.
3. Bagi Psikolog dan Konselor
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi referensi bagi psikolog dan konselor
dalam memberikan terapi dan konseling pernikahan ketika dihadapkan pada
klien dengan kondisi serupa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
4. Bagi Masyarakat Luas
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai kehidupan
pernikahan heteroseksual yang dijalani oleh individu lesbian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Lesbian
1. Definisi dan Label Gender
Lesbian merupakan perempuan yang mencintai perempuan, baik
secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual. Lesbian adalah istilah
bagi perempuan yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya secara
homoseksual
(Agustina
dalam
Yuwono,
2013).
Homoseksual
yaitu
ketertarikan seseorang secara seksual terhadap individu dengan jenis kelamin
yang sama (Supratiknya dalam Mastuti, Winarno & Hastuti, 2012).
Pada kelompok lesbian, terdapat label gender yang dibedakan
berdasarkan pola sikap, perilaku dan gaya berpakaian, misalnya butch, femme
dan butch/femme (Tan dalam Setya, 2013).
a. Butch yaitu lesbian yang merepresentasikan gender maskulin,
bertingkahlaku dan berpenampilan seperti seorang laki-laki.
b. Femme yaitu lesbian yang berpenampilan dan berpakaian feminim,
bertingkahlaku lembut layaknya perempuan pada umumnya.
c. Andro atau androgyne atau butch/femme adalah perpaduan penampilan
antara butch dan femme. Mereka menghadirkan sifat maskulin dan
feminin secara bersamaan dalam kadar yang relatif sama, atau
menghadirkan dua hal tersebut secara bergantian.
13
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Seiring dengan label ini, ada gradasi label gender lesbian dalam
komunitas lesbian, misalnya adalah "soft butch" dan "stone butch" (Agustine
dalam Setya, 2013).
a. "Soft butch" adalah lesbian yang merepresentasikan spektrum maskulin,
namun tetap memiliki beberapa kualitas feminim.
b. “Stone butch” digambarkan lebih maskulin dalam cara berpakaian
maupun potongan rambutnya. Mereka mengenakan pakaian laki-laki,
terkadang membebat dadanya agar terlihat lebih rata dan menggunakan
sesuatu di dalam pakaian dalamnya sehingga menciptakan kesan
berpenis.
Studi kualitatif yang dilakukan oleh Levitt dan Hiestand (dalam Walker,
Golub, Bimbi & Parsons, 2012) mengeksplorasi pengalaman lesbian butch.
Levitt dan Hiestand (dalam Walker et al, 2012) menemukan bahwa lesbian
butch merasa orang lain mengharapkan mereka "menjadi tangguh, menjadi
pemimpin, mengurus dan melindungi orang lain, tidak menangis, tidak
berkencan dengan sesama butch, menjadi dominan secara seksual, dan
mengurus tugas-tugas yang sebenarnya merupakan tanggung jawab laki-laki”.
Beberapa butch merasa bahwa stereotipe tersebut akurat, namun beberapa
merasa bahwa ada stereotipe yang tidak mewakili identitas butch mereka
(Levitt & Hiestand dalam Walker et al, 2012).
Dalam sebuah penelitian yang saling melengkapi, Levitt, Gerrish, dan
Hiestand (dalam Walker et al, 2012) mengeksplorasi pengalaman lesbian
femme. Lesbian femme menjelaskan bahwa stereotipe yang mengatakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
lesbian femme hanya memiliki relasi romantis dengan butch dan hanya terlibat
dalam "kegiatan feminin" cenderung tidak akurat dan membatasi identitas
mereka. Femme memang cenderung tertarik dengan butch, akan tetapi mereka
tetap terbuka pada jenis kencan lainnya, misalnya femme-femme. Mereka
merasa bahwa relasi romantik didasarkan pada daya tarik kepribadian dan
perilaku, bukan label gender lesbian (Levitt et al dalam Walker et al, 2012).
2. Relasi Lesbian
Para peneliti berpendapat bahwa orientasi seksual perempuan dan relasi
lesbian memiliki mekanisme dan manifestasi yang unik (Chiver, Rieger, Latty
& Bailey dalam Diamond, 2013). Kurdek (dalam O’Neill, Hamer & Dixon,
2012) mendeskripsikan relasi lesbian sebagai relasi yang lebih empatik,
egaliter dan memuaskan dibandingkan dengan relasi heteroseksual.
Pasangan lesbian cenderung membagi tugas rumah tangga dan tugas
bayar-membayar secara adil dan setara (Patterson, Suffin & Fulcher dalam
O’Neill et al, 2012). Chafetz (dalam Caldwell & Peplau, 1984)
mengemukakan bahwa relasi lesbian menolak peran seks tradisional dan
kesetaraan lebih mudah diterapkan pada pasangan sesama perempuan
dibandingkan pada pasangan laki-laki-perempuan maupun pada pasangan
sesama laki-laki. Hal ini hampir sama dengan pendapat Kelly (dalam Caldwell
& Peplau, 1984) bahwa relasi percintaan antara sesama wanita cenderung
lebih bebas dari faktor ketidaksetaraan. Barnhart (dalam Caldwell & Peplau,
1984) menemukan bahwa pasangan lesbian cenderung menilai tinggi
kesetaraan dalam relasi personal mereka. Perempuan dalam relasi dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
kesetaraan power melaporkan memiliki kepuasan personal dan kedekatan
yang lebih tinggi, serta mampu mengantisipasi lebih banyak masalah di dalam
relasi mereka.
Relasi di antara perempuan lesbian cenderung eksklusif secara seksual.
Hal ini cenderung berbeda jauh jika dibandingkan dengan relasi di antara lakilaki gay. Data American Couples yang didapatkan oleh Philip Blumstein dan
Pepper Schwartz (dalam Peplau dan Ghavami, 2009) membuktikan hal ini.
Hanya ada 36% laki-laki gay yang berpendapat bahwa relasi seksual
monogami merupakan sesuatu yang penting. Jumlah ini sangat sedikit bila
dibandingkan dengan presentase pada lesbian (71%), suami heteroseksual
(75%) dan istri heteroseksual (84%). Dalam perilaku aktualpun hanya sedikit
lesbian (28%), suami heteroseksual (26%) dan istri heteroseksual (21%) yang
terlibat dalam seks di luar relasi terikat, dibandingkan dengan 82% gay yang
melakukan hal serupa. Kesetiaan seksual berelasi positif dengan kepuasan
relasi bagi lesbian dan pasangan heteroseksual, namun tidak bagi gay.
Meskipun beberapa peneliti menemukan bahwa relasi lesbian
cenderung lebih memuaskan dibandingkan dengan jenis relasi lain, terdapat
penelitian yang menemukan hal yang sebaliknya. Kepuasan pada relasi lesbian
tidak berbeda dengan kepuasan pada relasi gay dan relasi heteroseksual. Akan
tetapi, ada beberapa faktor yang jauh lebih mempermudah pasangan lesbian
mencapai kepuasan dibandingkan dengan pasangan lain, yaitu :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
a. Kesetaraan keterlibatan
Individu lesbian yang terlibat dalam relasi sesama jenis cenderung
memiliki afeksi dan komitmen yang sama besar satu sama lain. Hal ini
memperkuat cinta di antara mereka dan membuat kepuasan relasi
cenderung meningkat (Blau dalam Peplau, Padesky & Hamilton, 1982).
b. Kesetaraan power
Studi etnografis pada komunitas lesbian di California (Wolf dalam
Peplau et al, 1982) dan Oregon (Barnhart dalam Peplau et al, 1982)
menemukan bahwa banyak pasangan lesbian menerapkan kesetaraan
power di dalam relasi mereka dan menolak dominasi salah satu partner
saja.
c. Kesamaan karakteristik individu
Orang cenderung sangat tertarik satu sama lain jika mereka memiliki
kesamaan sikap dan karakteristik demografi (Berscheid & Walster
dalam Peplau et al, 1982). Meskipun demikian, beberapa peneliti
menemukan
bahwa
"kesamaan"
merupakan
hal
yang
kurang
diperhatikan dalam relasi lesbian karena "identitas lesbian" menjadi
pertimbangan yang paling penting. Cotton (dalam Peplau et al, 1982)
bahkan berspekulasi bahwa lesbian cenderung memilih pasangan yang
berbeda dari diri mereka dalam hal karakteristik sosial dan ekonomi.
Kurdek (1994) menemukan bahwa secara umum, terdapat enam
kelompok area konflik yang sering muncul dalam relasi romantik, yaitu
power, isu sosial, kekurangan personal, ketidakpercayaan, intimasi dan jarak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
personal. Pada pasangan heteroseksual, konflik mengenai isu sosial cenderung
lebih sering muncul dibandingkan pada pasangan homoseksual. Sebagai
kelompok yang sering mendapatkan stigma negatif dari lingkungan sosial,
pasangan homoseksual biasanya memiliki sudut pandang yang sama dan
cocok satu sama lain mengenai isu-isu kontroversial. Oleh sebab itu, konflik
di antara pasangan ini jarang terjadi. Sedangkan, pada pasangan homoseksual,
baik lesbian maupun gay, konflik ketidakpercayaan cenderung lebih sering
muncul dibandingkan pada pasangan heteroseksual. Konflik ketidakpercayaan
ini muncul karena mantan pasangan cenderung menetap pada jaringan
pertemanan atau komunitas pada homoseksual. Hal ini tentu rentan
menimbulkan kecemburuan dan kemarahan. Terlepas dari kedua konflik yang
telah disebutkan sebelumnya, pasangan heteroseksual dan homoseksual
cenderung tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam empat konflik
lainnya, yaitu power, kekurangan personal, intimasi dan jarak personal.
3. Ibu Lesbian
Survei skala besar pada komunitas lesbian di Amerika Serikat
menemukan bahwa sekitar satu dari lima lesbian merupakan seorang ibu
(Bryant dalam Tasker, 2005). Hasil penelitian Patterson (dalam Morris,
Balsam, Rothblum, 2002) menunjukkan bahwa ibu lesbian yang memiliki
anak sebelum coming-out berbeda dari ibu lesbian yang memiliki anak setelah
coming-out. Wanita yang memiliki anak setelah coming-out biasanya memiliki
anak dari hasil inseminasi dan donor sperma, adopsi atau sebagai akibat dari
relasi dengan pasangan wanita yang memiliki anak. Ibu lesbian yang memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
anak setelah coming-out cenderung mulai mempertanyakan orientasi seksual
mereka saat masih bersekolah. Di awal usia 20-an tahun, mereka cenderung
telah memiliki pengalaman seksual dengan wanita lain dan mulai
mengidentifikasi diri sebagai seorang lesbian. Dibutuhkan beberapa tahun lagi
untuk memberitahu orang lain, termasuk anggota keluarga, bahwa mereka
adalah lesbian. Sebagai orang dewasa, kelompok ini telah coming-out
bertahun-tahun lebih lama dan telah memiliki proporsi pengalaman seksual
dengan sesama jenis yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok ibu
lesbian yang memiliki anak sebelum coming-out (Patterson dalam Morris,
Balsam, Rothblum, 2002).
Sebagian besar (lebih dari 90%) dari wanita yang memiliki anak
sebelum coming-out telah resmi menikah dengan seorang pria dan memiliki
anak dalam konteks perkawinan atau relasi dengan seorang pria. Mereka
berada di awal 20-an ketika mereka pertama kali mempertanyakan orientasi
seksual mereka dan di akhir 20-an, mereka memiliki pengalaman seksual
pertama mereka dengan wanita lain. Mereka berada di awal 30-an ketika
pertama kali menganggap diri mereka sebagai lesbian dan mengungkapkannya
ke orang lain, termasuk anggota keluarga. Ibu yang memiliki anak sebelum
coming-out memulai proses coming-out sekitar 7-12 tahun lebih lama
dibandingkan wanita yang memiliki anak setelah coming-out dan sekitar 6 - 8
tahun lebih lama daripada wanita yang tidak memiliki anak. Memiliki anakanak mungkin telah menunda proses coming-out. Wanita yang memiliki anak
sebelum coming-out lebih berkonflik atau memiliki lebih banyak kesulitan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
dalam coming-out, terkait peran sebagai seorang ibu yang melekat pada diri
mereka, dibandingkan dengan wanita lesbian yang tidak memiliki anak
(Patterson dalam Morris, Balsam, Rothblum, 2002).
Meskipun demikian, ibu-ibu yang memiliki anak sebelum coming-out
melaporkan mengalami serangan verbal dan fisik dalam tingkat yang lebih
rendah dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak setelah coming-out.
Pernikahan sebelumnya atau hubungan dengan laki-laki akan melindungi ibu
lesbian dari kelompok anti lesbian karena mereka cenderung tampak
konvesional sehingga menjadi kurang diperhatikan. Akan tetapi, di sisi lain,
wanita lesbian yang masih menikah dengan laki-laki, atau mereka yang masih
kontak dengan mantan pasangan pria karena hak asuh bersama, sering dibuat
merasa tak diinginkan di komunitas lesbian (Patterson dalam Morris, Balsam,
Rothblum, 2002).
Sebuah studi longitudinal keluarga homoparental di Amerika (Gartrell
dalam Greenbaum, 2014) menunjukkan bahwa mayoritas ibu lesbian tidak
ragu-ragu untuk mengungkapkan seksualitas mereka di tempat kerja dan
dengan pekerja di tempat penitipan anak ketika anak-anak mereka masih kecil.
Akan tetapi, mereka cenderung kurang bersedia untuk coming-out ketika
anak-anak telah berusia 10 tahun ke atas. Perubahan ini menunjukkan
meningkatnya kekhawatiran ibu apabila anak mereka harus berhadapan
dengan
homophobia.
Orangtua
sangat
memperhatikan
kesejahteraan
psikologis anak-anak mereka. Untuk melindungi anak-anak mereka dari
penolakan dunia yang berpotensi homophobic, orangtua kadang-kadang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
memilih
menyembunyikan
orientasi
seksual
mereka
(Weeks
dalam
Greenbaum, 2014).
Hal
lain
yang
membuat
perempuan-perempuan
lesbian
menyembunyikan status orientasi seksual mereka adalah karena 30% dari
perempuan tersebut melaporkan terancam kehilangan hak asuh anak setelah
bercerai dengan suami (Morris et al, 2002). Hal ini dikarenakan adanya
anggapan
bahwa
dibesarkan
oleh
ibu
lesbian
akan
meningkatkan
permasalahan psikologis anak karena anak akan harus berhadapan dengan
diskriminasi dan intimidasi dari teman sebaya terkait orientasi seksual ibu
mereka (Golombok, Perry, Burston, et al, 2003). Selain itu, pengadilan
kebanyakan berfokus pada ketidakstabilan mental lesbian yang dirasa
membuat lesbian kurang cocok menjadi ibu (Allen & Burrell dalam Morris et
al,
2002).
Pengadilan
juga
menganggap
bahwa
ibu
lesbian
akan
mempengaruhi pengembangan peran gender dan orientasi seksual anak-anak
mereka. Anak-anak cenderung akan terlibat dalam perilaku gender yang tidak
pantas dan tumbuh menjadi gay atau lesbian sendiri (Falk dalam Morris et al,
2002).
Anggapan pengadilan itu sendiri didukung oleh hasil penelitian Buxton
dan Schwartz (2004) yang mengemukakan bahwa anak akan mengalami
proses yang panjang dan mengalami kebingungan dalam
memahami
perubahan orientasi seksual orang tua mereka (apakah mereka masih orang
yang sama atau tidak), perubahan kehidupan sosial serta kecenderungan
coming-out yang harus mereka lakukan sebagai anak dari seorang gay, lesbian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
atau biseksual. Selain itu, mayoritas anak hasil mixed orientation marriage
harus berhadapan dengan isu perceraian, termasuk di dalamnya separation
anxiety, ketakutan diabaikan, dan terbaginya rasa kesetiaan. Ketika anak
tersebut berusia remaja ketika orangtua melakukan coming-out, hal ini akan
sangat membingungkan bagi mereka karena orangtua sedang berhadapan
dengan isu seksualitas, identitas dan integritas yang saat itu juga sedang
dihadapi oleh mereka. Keharusan menyimpan rahasia keluarga, merasa malu
dan tertekan, serta ketidakinginan menjadi berbeda juga dapat menghambat
anak dalam mengembangkan relasi yang sehat.
Meskipun
demikian,
menemukan hasil berbeda.
terdapat
penelitian-penelitian
lain
yang
Hasil penelitian Golombok et al (2003)
menunjukkan bahwa anak dengan ibu lesbian tidak menunjukkan kelainan
psikologis yang lebih tinggi dan tidak mengalami lebih banyak kesulitan
dalam membangun relasi sebaya apabila dibandingkan dengan anak dari
orangtua heteroseksual. Selain itu, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa
anak yang dibesarkan oleh ibu lesbian mengalami kebingungan identitas dan
peran gender. Bahkan, anak-anak tersebut malah cenderung mampu untuk
berfungsi dengan baik sebagai seorang individu dewasa dan tetap mampu
menjaga relasi yang positif dengan orangtua (Tasker & Golombok dalam
Golombok et al, 2003). Hasil penelitian ini menjadi sebuah senjata bagi
lesbian dan gay untuk memperjuangkan hak asuh anak mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
4. Lesbian di dalam Masyarakat
Sampai pada tahun 1973, homoseksualitas masih ada di DSM dan
terdaftar sebagai sebuah kelainan seksual. Namun, di tahun yang sama,
Nomenclature Committee dari American Psychiatric Association, di bawah
tekanan dari para professional dan kelompok aktivis, merekomendasikan
dieliminasinya kategori “homoseksualitas” dan substitusi dari “gangguan
orientasi seksual”.
Perubahan ini akhirnya disepakati, meskipun dengan
diiringi protes dari beberapa psikiatris yang masih beranggapan bahwa
homoseksualitas merefleksikan fiksasi dari tahapan awal perkembangan
psikoseksual (Kring, Johnson, Davidson & Neale, 2012).
Meskipun secara ilmiah homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai
sebuah abnormalitas, homoseksual, termasuk lesbian di dalamnya, masih
sering mendapatkan prasangka dan diskriminasi. Prasangka dan diskriminasi
yang diterima oleh homoseksual ini disebabkan oleh adanya ideologi
heteroseksisme yang telah ditanamkan sejak dini dan dibentuk dalam beberapa
tingkatan.
Heteroseksisme
merupakan
sebuah
sistem
ideologi
yang
menyangkal, menilai buruk dan menstigmatisasi segala bentuk nonheteroseksual, baik dalam perilaku, identitas, relasi maupun komunitas (Herek
dalam Ben-Ari, 2001).
Penolakan masyarakat terhadap keberadaan homoseksual, termasuk
lesbian, tersebar di seluruh dunia (Rahardjo, 2007). Berdasarkan survei yang
dilakukan oleh Pew Research Center (2013b), empat dari sepuluh orang
(39%) mengaku pernah ditolak oleh keluarga atau teman terdekat mereka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
dikarenakan orientasi seksual yang dimiliki. 29% mengatakan bahwa mereka
pernah merasa tidak diterima di beberapa tempat dan 21% mengungkapkan
bahwa mereka pernah diperlakukan tidak adil oleh orang lain. Enam dari
sepuluh orang (58%) bahkan mengaku sering diejek dan menjadi bahan
olokan. Menurut Kitzinger (dalam Rahardjo, 2007), sekitar 92% kaum gay dan
lesbian di Amerika melaporkan bahwa dirinya menjadi target ancaman dan
kekerasan dari kaum anti gay. Selain itu, studi yang dilakukan oleh Tomsen
(dalam Rahardjo, 2007) menunjukkan bahwa pembunuhan oleh banyak orang
tak dikenal yang terjadi di New South Wales, Australia, biasanya
dilatarbelakangi oleh adanya homophobia. Kondisi seperti tersebut di atas
tidak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia. Fakta penelitian tahun 2013
yang dilakukan oleh Arus Pelangi terhadap komunitas Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender (LGBT) menunjukkan bahwa 89.3% LGBT di
Indonesia pernah mengalami kekerasan karena orientasi seksual, identitas
gender dan ekspresi gendernya (Arus Pelangi, 2015). Selain diskriminasi dan
marginalisasi di lingkungan sosial, di beberapa daerah seperti Aceh dan
Sumatera Selatan, aktivitas homoseksual dianggap sebagai sebuah tindakan
kriminal dan pelakunya bisa dikenakan denda dan dihukum penjara. Majelis
Ulama Indonesia (MUI) bahkan mengeluarkan fatwa yang menyerukan
berbagai hukuman, dari cambuk hingga hukuman mati, untuk kaum
homoseksual pada 3 Maret 2015 (Wibowo, 2015).
Penelitian menemukan bahwa sikap masyarakat terhadap laki-laki gay
secara signifikan lebih negatif dibandingkan terhadap lesbian (Berkman &
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Zinberg dalam Ellis, Kitzinger & Wilkinson, 2003). Temuan ini menunjukkan
bahwa penolakan terhadap homoseksualitas laki-laki mungkin menjadi
komponen yang lebih pokok daripada penolakan terhadap homoseksualitas
secara umum (Herek dalam Kerns & Fine, 1994). Homoseksualitas laki-laki
dirasa sangat tidak menyenangkan untuk laki-laki heteroseksual karena
mengancam hak sosial dan superioritas yang dimiliki laki-laki. Dalam konteks
sikap terhadap individu homoseksual, laki-laki heteroseksual menganggap
laki-laki gay lebih menyimpang dari peran gender tradisional jika
dibandingkan dengan lesbian. Hasil penelitian serupa didapatkan oleh Pinel
(dalam Gottschalk, 2008). Perempuan lesbian cenderung lebih jarang
mendapatkan stigma apabila dibandingkan dengan laki-laki gay. Mereka
cenderung lebih sering didiskriminasi atas statusnya sebagai seorang “wanita”
daripada sebagai seorang “lesbian”.
Prasangka dan diskriminasi memberikan dampak terhadap individu,
baik secara sosial maupun personal (American Psychological Association,
diakses 31 Mei 2016). Pada derajat sosial, prasangka dan diskriminasi
terhadap gay, lesbian dan biseksual terefleksikan pada stereotipe yang muncul
setiap hari. Stereotipe ini muncul tanpa bukti yang nyata dan seringkali
digunakan sebagai alasan untuk memperlakukan gay, lesbian dan biseksual
secara tidak setara, misalnya diskriminasi dalam pekerjaan dan pelayanan
sosial. Pada derajat individual, prasangka dan diskriminasi tersebut juga
memberikan konsekuensi negatif, terutama ketika individu tersebut menolak
orientasi seksual yang mereka miliki. Walaupun individu lesbian, gay dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
biseksual belajar untuk menghadapi stigma sosial terhadap orientasi seksual
mereka, pola dari prasangka dan diskriminasi memberikan efek negatif yang
sangat serius terhadap kesehatan dan kesejahteraan psikologis.
B. Relasi Interpersonal
1. Bentuk Relasi Interpersonal
Relasi interpersonal adalah hubungan saling mempengaruhi antara satu
orang dengan orang yang lain. Relasi interpersonal dapat dibagi menjadi dua
kategori apabila didasarkan pada tingkat kedalaman atau keintiman, yaitu
hubungan biasa dan hubungan akrab atau intim. Hubungan biasa merupakan
hubungan yang sama sekali tidak dalam atau impersonal atau ritual, sedangkan
hubungan akrab atau intim ditandai dengan pengungkapan diri (selfdisclosure). Selain itu, pada relasi akrab, pola interaksi berlangsung dalam
jangka waktu yang lama, di mana salah satu partner memberikan pengaruh
yang sangat kuat dan berkala bagi partner yang lain (Gross, 2015).
2. Komunikasi dalam Relasi Interpersonal
Dalam sebuah relasi, terjadi komunikasi antarpribadi (interpersonal
communication) yaitu komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang
memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain atau pasangan
secara langsung, baik verbal atau nonverbal. Bentuk khusus dari komunikasi
antarpribadi adalah komunikasi diadik (dyadic communication) yang
melibatkan hanya dua orang, seperti suami-istri, dua sejawat, dua sahabat
dekat, guru-murid dan sebagainya (Mulyana dalam Indahyani, 2013).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Komunikasi antar pribadi tidak hanya digunakan untuk memulai suatu
hubungan baru dengan orang lain, tapi juga untuk mempertahankan hubungan
baik yang telah terjalin (Indahyani, 2013). Peneliti relasi telah sepakat bahwa
komunikasi merupakan faktor tunggal yang paling mempengaruhi kesuksesan
dan kepuasan pernikahan (Stuart dalam Nartey, 2014), kestabilan relasi
(Sarwatay & Divatia, 2016), serta meningkatkan keharmonisan, kohesi dan
perkembangan menyeluruh di keluarga (Britten & Britten dalam Nartey,
2013). Sistem relasi dapat berfungsi dengan sukses ketika informasi penting
secara regular dibicarakan bersama (Olson & Defrain dalam Nartey, 2013).
Dalam sebuah relasi, kurangnya komunikasi antar individu membuat
mereka tidak dapat bertukar pikiran, serta tidak akan dapat memahami dan
mengerti perasaan masing-masing. Kesalahpahaman akan terjadi bila
komunikasi tidak berjalan dengan baik dan lancar sehingga dapat
menimbulkan konflik dan ketidaknyamanan di dalam rumah tangga yang
muncul akibat berbagai macam masalah (Rachmadani, 2013). Padahal, dua
individu tidak akan bisa berjalan bersama tanpa disertai adanya persetujuan
dan penyelesaian konflik yang efektif di antara keduanya. Menurut Odukoya
(dalam Nartey, 2013) salah satu cara untuk membangun persetujuan di relasi
adalah melalui komunikasi yang aktif yang melibatkan tiga aspek, yaitu apa
yang akan diungkapkan (pilihan kata), bagaimana cara mengungkapkan
(sikap, bahasa tubuh dan nada) dan kapan mengungkapkannya. Ketiga faktor
itu harus dipertimbangkan secara matang dalam melakukan komunikasi
(Nartey, 2013).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
3. Konflik dalam Relasi Interpersonal
Segal dan Jaffe (dalam Brandenberger, 2007) mengungkapkan bahwa
ketidaksetujuan pasti muncul dalam relasi intim. Dua orang tidak mungkin
akan selalu memiliki kebutuhan, opini dan harapan yang sama. Lebih jauh,
Guerrero, Andersen dan Afifi (dalam Brandenberger, 2007) mengungkapkan
bahwa relasi dekat yang tanpa disertai konflik sangat jarang ditemui, bahkan
bisa dikatakan sebagai sesuatu yang tidak mungkin ada. Pada kenyataannya,
relasi yang memuaskan biasanya didapatkan sebagai hasil dari diskusi dan
kompromi atas ketidaksetujuan yang terjadi. Secara sukses menyesuaikan
perbedaan-perbedaan yang ada akan membuat relasi semakin tumbuh dan
berkembang. Sebaliknya, pasangan yang mengaku tidak puas akan relasinya
cenderung meminimalisir atau menghindari konflik.
Guerrero et al. (dalam Brandenberger, 2007) mendefinisikan konflik
sebagai bentuk ketidaksetujuan dan ketidakcocokan antara dua individu yang
saling tergantung satu sama lain. Konflik memainkan peranan yang cukup
penting dalam sebuah relasi, tidak hanya mempengaruhi durasi, namun juga
mempengaruhi kualitas dan kepuasan relasi. Wood (dalam Brandenberger,
2007) berpendapat bahwa konflik juga berdampak pada dinamika di antara
pasangan dengan cara memaksa mereka untuk saling bernegosiasi dan
berkompromi satu sama lain.
Pada hampir semua jenis relasi, konflik selalu muncul secara berkala
sebanyak 1-2 konflik per bulan hingga 1-3 konflik per minggu
(Brandenberger, 2007). Guerrero et al. (dalam Brandenberger, 2007)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
mengatakan bahwa konflik ini biasa terjadi berkaitan dengan pembagian tugas
rumah tangga, kecemberuan, keposesifan, uang, relasi sosial dan anak.
Pekerjaan bisa pula menjadi konflik ketika hal itu menyebabkan berkurangnya
dukungan pasangan dan sedikitnya waktu untuk keluarga (Cinamon dalam
Brandenberger,
2007).
Sebagai
tambahan,
individu
yang
mengeluh
pasangannya tidak memiliki cukup banyak waktu untuknya kemungkinan
besar akan terlibat pada kegiatan yang menunjukkan ketidaksetiaan emosi dan
seksual (Guerrero et al. dalam Brandenberger, 2007). Selain masalah-masalah
tersebut di atas, seks juga merupakan salah satu hal yang menyebabkan
munculnya konflik di relasi. Gallagher (2013) mengungkapkan bahwa hal ini
bisa terjadi ketika :
a. Salah satu partner merasa tidak puas akan frekuensi hubungan seksual.
b. Salah satu partner menjadikan ketiadaan seks sebagai senjata untuk
menghukum pasangannya.
c. Tidak ada hubungan seksual dalam relasi dikarenakan tidak adanya
kepercayaan, kenyamanan dan intimasi serta adanya kebencian dan
kemarahan. Hal ini juga bisa terjadi karena isu medis atau penuaan.
d. Salah satu partner terlalu sibuk atau terlalu lelah untuk melakukan
seks.
e. Salah satu partner kecanduan menonton porno sehingga pasangannya
merasa tergantikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
f. Salah satu partner tidak menyukai seks dengan pasangannya karena
hal yang diinginkan tidak didapatkan serta tidak adanya variasi gaya
dan konten dalam hubungan seksual.
g. Salah satu partner melakukan perselingkuhan.
C. Mixed Orientation Marriage
Nugroho (2007) berpendapat bahwa ideologi heteroseksisme berpengaruh
sangat besar terhadap keputusan gay untuk menikah secara heteroseksual. Banyak
homoseks menikah secara heteroseks untuk menyembunyikan identitas orientasi
seks mereka. Cara ini ditempuh karena menjadi satu-satunya cara bagi gay dan
lesbian agar bisa diterima dan menjadi bagian masyarakat Indonesia yang utuh.
Bagi gay yang sudah terbuka pada keluarganya pun tekanan untuk menikah masih
ada, karena homoseksualitas dianggap sebagai penyakit yang diharapkan
“sembuh” dengan menikah (Oetomo, 2003).
Tidak ada literatur yang memberikan estimasi akurat mengenai prevelansi
homoseksual yang menikah secara heteroseksual. Peplau dan Amaro (1982)
mengungkapkan bahwa 25% lesbian menikah secara heteroseksual. Ross (dalam
Tornello & Patterson, 2011) mengestimasikan ada sekitar 10% hingga 20% lakilaki gay yang pernah menikah dalam satu waktu di hidup mereka. Menurut
Buxton (dalam Alessi, 2008), ada setidaknya satu hingga dua juta pria gay, wanita
lesbian, pria dan wanita biseksual di Amerika Serikat yang terlibat dalam mixed
orientation marriage.
Mixed orientation marriage merupakan hubungan dimana satu partner
mengalami ketertarikan sesama jenis dan diidentifikasi sebagai gay, lesbian atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
biseksual, sedangkan satu partner yang lain diidentifikasi sebagai heteroseksual
tanpa ketertarikan sesama jenis (Buxton dalam Tornello & Patterson, 2011).
1. Kontinum Mixed Orientation Marriage
Penelitian Ben-Ari dan Adler (2010) terhadap 13 laki-laki homoseksual
yang menikah secara heteroseksual menunjukkan bahwa mixed orientation
marriage dapat dijelaskan dalam sebuah kontinum yang bergerak antara dua
kutub, splitting dan integrating.
a. Splitting
Dalam splitting, partisipan membagi kehidupan mereka menjadi dua
bagian yang sangat terpisah satu sama lain. Mereka menganggap bahwa
pernikahan heteroseksual dan hubungan homoseksual adalah dua hal yang
tidak bisa berjalan berdampingan. Memisahkan keduanya adalah satusatunya cara supaya kedua hubungan bisa terus berlanjut. Dengan
menjadikan homoseksualitas sebagai sesuatu yang terpinggirkan dan
terbatas, mereka mampu menyelamatkan hubungan pernikahan mereka.
Splitting terjadi dalam tiga level, yaitu :
1) Emotional splitting
Semua partisipan mempersepsikan bahwa hubungan mereka dengan
istri sangat berbeda dengan hubungan mereka dengan sesama laki-laki.
Hubungan dengan laki-laki hanyalah bentuk rangsangan dan
pemenuhan fantasi, sedangkan hubungan dengan istri melibatkan
emosi, cinta dan apresiasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
2) Cognitive splitting
Bentuk keterpisahan ini termanifestasi dalam berbagai cara, termasuk
meminimalisasi homoseksualitas dan artinya, melihat homoseksualitas
sebagai fase yang temporer atau sementara, serta hanya merupakan
objektifikasi dari orientasi seksual.
3) Behavioral splitting
Beberapa indikasi dari behavioral splitting adalah membatasi
hubungan seksual hanya pada tempat tertentu saja, mendefinisikan
hubungan hanya sebatas seksual saja serta membersihkan tubuh
dengan seksama dan hati-hati setelah hubungan seksual sesama jenis,
sebelum kembali pernikahan heteroseksual yang normal. Hal-hal ini
berkontribusi dalam persepsi bahwa hubungan homoseksual adalah hal
yang tidak berkaitan dengan apapun di dunia familiar.
b. Integrating
Selain orang-orang yang memilih menjalani hidup dengan cara di atas,
ada beberapa orang lain yang memutuskan untuk mengintegrasikan
pernikahan heteroseksual dan hubungan homoseksual. Integrasi ini adalah
bentuk ideal yang diinginkan, dimana seseorang tidak harus melepaskan
atau menomorduakan salah satu di antaranya. Proses integrasi ini
menantang konsep normatif yang mengatakan bahwa homoseksual tidak
bisa terlibat dalam pernikahan heteroseksual. Ada potensi keharmonisan
dan kemungkinan berdampingan dari dua dunia ini. Realisasi dari satu
sistem hubungan tidak selalu menghalangi kelanjutan hubungan yang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Menurut individu homoseksual di dalam mixed orientation marriage,
pengenalan terhadap orientasi homoseksual tidak mengganggu kebenaran dari
keseluruhan pernikahan. Mereka masih menganggap pernikahan mereka
berharga, ingin menjaga hubungan emosional mendalam yang selama ini
sudah terbangun dan menghargai masa lalu mereka bersama (Wolkomir,
2009).
Meskipun begitu, karena kebanyakan individu straight merasa bahwa
homoseksualitas merupakan bawaan sejak lahir, sifat yang abadi dan orangorang menjadi gay atau lesbian secara eksklusif, mereka merasa bahwa seks
heteroseksual adalah hal yang tidak mungkin dan tidak bisa menjadi bagian
dari pernikahan mereka sama sekali (Wolkomir, 2009). Wolkomir (2009)
mengungkapkan bahwa untuk memperbaiki bagian dari pernikahan mereka
yang “rusak”, mereka mencoba untuk menjaga bagian baik dari pernikahan
tersebut, yaitu dengan memisahkan antara cinta dan seks. Mereka percaya
bahwa seks tidak berhubungan sama sekali dengan cinta. Hasilnya, mereka
tidak lagi memasukkan seks ke dalam bagian keintiman emosi di pernikahan
mereka dan melanjutkan hubungan mereka sebagai orangtua bagi anak-anak
mereka dan teman bagi satu sama lain. Keintiman fisik dilakukan dengan
orang lain di luar relasi. Dengan menjalin hubungan seksual yang terpisah,
pasangan-pasangan menjadi mampu mengakomodasikan homoseksualitas
yang mereka miliki sembari tetap merasa bahwa pernikahan mereka baik-baik
saja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
2. Alasan Individu Homoseksual Menikah Secara Heteroseksual
Ross (dalam Tornello & Patterson, 2011) menemukan bahwa alasan yang
paling sering muncul mengenai kenapa seorang laki-laki gay memutuskan
untuk memasuki pernikahan heteroseksual adalah keinginan mereka akan
penerimaan sosial, tekanan dari keluarga dan teman, rasa cinta dan afeksi
terhadap pasangan serta keinginan untuk memiliki anak. Hasil yang ditemukan
ini sama dengan hasil penelitian Saghair dan Robins (dalam Tornello &
Patterson, 2011).
Pearcey (dalam Tornello & Patterson, 2011) melaporkan bahwa alasan
utama seorang homoseksual menikah secara heteroseksual adalah tekanan dari
sosial dan keluarga serta keinginan mereka untuk menjadi “normal”. Isay
(dalam Alessi, 2008) menyatakan bahwa kebanyakan pria gay memutuskan
menikah karena mereka tidak mampu menerima orientasi seksual yang mereka
miliki. Alasan lain yang membuat seorang homoseksual menikah secara
heteroseksual adalah karena individu tersebut tidak menyadari status orientasi
seksual mereka sampai setelah mereka menikah. Scott dan Ortiz (dalam
Alessi, 2008) mengungkapkan bahwa terdapat dua kelompok motivasi pria
homoseksual menikah dengan wanita, yaitu :
a. Menikah sebagai solusi
Berkaitan dengan keinginan menyembunyikan, menolak, menyembuhkan
dan berkompensasi dengan orientasi seksual yang mereka miliki (Scott &
Ortiz dalam Alessi, 2008). Masyarakat menganggap homoseksual
(termasuk lesbian) berlaku tidak sesuai dengan norma – norma yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
berlaku sehingga masyarakat selalu menyisihkan mereka dengan tidak
sebagaimana mestinya. Dengan perlakuan masyarakat yang selalu
menyisihkan para homoseksual, para pelaku homoseksual sering
melakukan tindakan - tindakan untuk menyelamatkan diri mereka sendiri.
Contohnya, mereka sering melakukan sandiwara untuk mendapatkan
pengakuan yang baik di tengah – tengah masyarakat, sehingga masyarakat
akan tetap mengganggap mereka sebagaimana semestinya, walaupun
sebenarnya, jauh di
dalam diri mereka, mereka adalah seorang
homoseksual (Optistasari, 2013).
b. Peran seks yang konservatif
Berkaitan dengan keyakinan yang dipelajari individu sejak kecil, bahwa
menikah dengan perempuan adalah hal yang memang seharusnya
dilakukan. Biasanya saat menikah, individu belum menyadari orientasi
homoseksual yang mereka miliki (Scott & Ortiz dalam Alessi, 2008). Pada
penelitian Bozzett (dalam Tornello & Patterson, 2011) yang terdiri dari
sampel 18 partisipan, hanya satu orang yang sudah mengidentifikasi diri
mereka sebagai gay sebelum pernikahan. 15 sisanya tidak menyadari
ketertarikan sesama jenis yang mereka miliki sebelum pernikahan. Selain
itu, Wyers (dalam Tornello & Patterson, 2011) menemukan bahwa hampir
70% partisipan melaporkan bahwa mereka baru menyadari diri mereka gay
saat mereka sudah menikah, namun hanya 12% di antaranya yang
mengungkapkan informasi ini kepada istri mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
3. Bentuk Mixed Orientation Marriage
Coleman (dalam Ben-Ari & Adler, 2010) mengatakan bahwa pada
prinsipnya, ada dua bentuk mixed-orientation marriage, yaitu pernikahan di
mana pasangan straight menyadari orientasi seksual suami/istrinya, atau
sebaliknya, tidak mengetahui sama sekali. Sangat penting untuk dicatat bahwa
kesadaran ini bentuknya sangat dinamis dan bisa berubah seiring dengan
waktu.
Pernikahan yang sukses sangat jarang terjadi pada pasangan di mana
seseorang tidak mengetahui orientasi seksual suami atau istrinya. Meskipun
begitu, Berger (dalam Ben-Ari & Adler, 2010) menemukan bahwa ada
beberapa laki-laki yang melaporkan bahwa ia memiliki relasi pernikahan yang
memuaskan. Kurangnya kesadaran pasangan dan anak adalah variabel
mediator yang berkontribusi besar bagi persepsi akan kesuksesan pernikahan.
Penyembunyian yang dimainkan oleh homoseksual memegang peranan yang
sangat penting.
Akan tetapi, Binger (dalam Ben-Ari & Adler, 2010) mengindikasikan
bahwa banyak dari individu-individu ini yang merasa bersalah dan cemas.
Perasaan bersalah berasal dari gaya hidup mereka yang tidak “asli” dan dari
penyembunyian itu sendiri. Kecemasan yang dirasakan berasosiasi dengan
ketakutan antara penemuan atau pengetahuan yang tidak direncanakan
mengenai orientasi homoseksual mereka. Kecenderungan memendam
kebenaran ini membuat konflik ekspresi emosi dan hal ini bisa menimbulkan
penyakit yang berhubungan dengan stres. Berdasarkan teori inhibisi, ekspresi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
emosi dan berbagi aspek personal dengan orang lain melalui keterbukaan
adalah hal yang penting untuk menjaga kesehatan mental dan fisik. Kombinasi
antara proses yang menyebabkan stres ini (penyembunyian identitas orientasi
seksual) mampu membangkitkan masalah kesehatan mental (Pennebaker
dalam Ben-Ari &Adler, 2010).
Pada istri yang mengetahui tentang orientasi seksual suaminya,
keterbukaan homoseksualitas bisa terjadi pada tahap hubungan pernikahan
yang berbeda-beda (Ben-Ari & Adler, 2010). Beberapa pria memilih untuk
terbuka sebelum pernikahan terjalin, namun beberapa yang lain membuka diri
di tengah-tengah pernikahan. Semua partisipan dalam sebuah survey di
Amerika melaporkan depresi yang lebih dari satu bulan lamanya sebelum
mereka akhirnya memutuskan coming out kepada istri mereka. Mereka juga
melaporkan bahwa mereka segan setelah menyaksikan kemarahan dan luka
yang dialami oleh istri mereka. Laki-laki merasa takut kehilangan hubungan
dengan keluarga dan teman-teman mereka setelah mereka coming out. Hal ini
dipersulit dengan ketidakpastian tentang bagaimana mereka harus beradaptasi
dengan identitas baru mereka.
Coleman (dalam Ben-Ari & Adler, 2010) mengatakan bahwa bagi mereka
yang memutuskan untuk mempertahankan pernikahan, homoseksualitas bisa
menjadi sumber tekanan dan konflik, serta memunculkan perasaan pesimis
mengenai masa depan pernikahan tersebut. Masalah lain yang muncul dalam
pernikahan ini, yaitu penolakan terhadap kontak seksual dan hubungan penuh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
afeksi yang dibangun oleh individu homoseksual dengan orang lain di luar
pernikahan.
4. Penyesuaian Pernikahan dalam Mixed Orientation Marriage
Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam
mixed orientation marriage, terdapat beberapa penyesuaian yang bisa
dilakukan (Ross, 1971), yaitu :
a. Perpisahan
Wolkomir (2009) menemukan bahwa coming out kepada suami / istri
membuat beberapa pasangan merasa kebingungan mengenai cara
menjalankan pernikahan ketika salah satu di antara mereka adalah
homoseksual. Untuk membuat keputusan, individu biasanya memberatkan
pada kekuatan pernikahan yang telah mereka jalani sebelumnya dan cinta
bagi pasangan. Kebanyakan dari mereka merasa bahwa pernikahan mereka
sangat kuat sebab mereka telah membesarkan anak bersama-sama, berbagi
dukungan emosi dan selalu hidup penuh dengan kesenangan, pertemanan
dan cinta. Akan tetapi, setelah mengetahui bahwa pasangan mereka
homoseksual, mereka tidak mampu menyesuaikan kondisi mereka dengan
bagaimana kondisi pernikahan seharusnya. Bagi mereka, hasrat seksual
adalah satu aspek penting dalam pernikahan. Tanpa identitas gender yang
benar, pernikahan tidak bisa menjadi sempurna. Dengan kata lain,
kebanyakan individu merasa bahwa pernikahan mereka tidak dapat
dipertahankan karena mereka tidak bisa menyesuaikan diri dengan model
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
dasar heteroseksualitas dan gender. Sebagai hasilnya, perceraian adalah
satu-satunya resolusi yang terpikirkan.
b. Platonic marriage
Konflik seksual barangkali akan terselesaikan dengan sendirinya karena
individu-individu yang terlibat tidak terlalu peduli dengan aktivitas seksual
mereka di dalam pernikahan. Hal ini mungkin terjadi karena mereka
memiliki kesibukan dan ketertarikan lain (anak, pekerjaan, dll).
Pernikahan jenis ini biasanya terjadi pada pasangan heteroseksual yang
cenderung ignorant, dan mereka yang hanya bertemu sesekali saja,
misalnya satu kali dalam satu bulan.
c. The double standard
Pada beberapa kasus, individu homoseksual berhasil menjalin hubungan di
luar pernikahan tanpa sepengetahuan pasangannya, sambil tetap menjaga
dan mempertahankan pernikahan heteroseksual yang ia miliki.
d. Innovative marriage
Dalam hal ini, pasangan homoseksual berhasil membujuk suami atau istri
mereka untuk ikut dalam hubungan di luar pernikahan. Untuk
melakukannya, suami dan istri membangun dua kategori yang berbeda dari
cinta
(heteroseksual
dan
homoseksual)
yang
dilakukan
secara
berdampingan. Wolkomir (2009) mengutarakan bahwa beberapa pasangan
tidak melihat hasrat homoseksual mampu menghapuskan kemungkinan
keintiman fisik heteroseksual. Saat mereka melihat dorongan homoseksual
sebagai bagian tetap dari diri seseorang yang harus diakomodasi, mereka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
juga percaya bahwa hal tersebut bisa tetap berdampingan dengan dorongan
heteroseksual, tanpa menomorduakan salah satu di antaranya. Sebagai
hasilnya, pernikahan yang bernilai dan kehidupan seksual mampu
dijalankan bersamaan dengan urusan homoseksual.
Penyesuaian-penyesuaian seperti tersebut di atas, berdasarkan hasil
penelitian,
merupakan
solusi
yang
buruk
untuk
mengatasi
konflik
homoseksualitas dalam pernikahan heteroseksual. Dampak dari perpisahan
dan perceraian sangatlah buruk, tidak hanya bagi pasangan suami istri, tetapi
juga bagi anak-anak mereka. Bahkan, anak-anak seringkali merasa bahwa
perceraian orangtua jauh lebih sulit dialami daripada saat mereka menemukan
bahwa orangtua mereka adalah seorang gay atau lesbian (Kort, 2006).
Platonic marriage cenderung diikuti oleh adanya ketidakpuasan pada
pernikahan. The double standard memberikan kerugian yang besar terhadap
pasangan heteroseksual. Kecemburuan, agresi dan kemarahan individu
tersebut ketika mengetahui bahwa pasangannya berselingkuh akan menjadi
bumerang bagi orang-orang yang mulanya menikmati relasi di luar
pernikahan. Innovative marriage merupakan cara yang paling tidak
merugikan. Akan tetapi, cara tersebut hanya berhasil pada kondisi tertentu
saja,
yaitu
ketika
pihak
homoseksual
memiliki
sexual
versatility
(keanekaragaman kepandaian seksual) dan ketika pasangan heteroseksualnya
memiliki pikiran yang terbuka. Selain itu, Ben-Ari dan Adler (2010)
memberikan beberapa syarat lain pula, yaitu :
a. Membangun kejujuran dan keterbukaan satu sama lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
b. Menyusun kontrak dan peraturan yang jelas dan dinamis bagi kedua belah
pihak. Kontrak dan peraturan ini terutama adalah mengenai praktik dan
aktivitas homoseksual pasangan yang dilakukan di luar pernikahan.
c. Kedua belah pihak menerima orientasi homoseksual yang berdiri di
tengah-tengah pernikahan mereka.
d. Memenuhi hasrat seksual pasangan. Hal ini disebabkan sebuah penelitian
menemukan bahwa rasa pemenuhan ini dapat terproyeksi secara positif
pada hubungannya dengan istri/suami. Selain itu, penelitian lain
menjelaskan bahwa rasa pemenuhan dan kepuasan hubungan homoseksual
berkontribusi besar bagi kepuasan pernikahan.
e. Cinta sebagai motif paling kuat untuk mempertahankan pernikahan adalah
dasar yang penting dalam sebuah keintegrasian.
f. Persepsi bahwa mixed-orientation marriage adalah suatu hal yang unik,
bukan hal yang “tidak normal” karena tidak sesuai dengan susunan
pernikahan yang konservatif.
Pernikahan heteroseksual bagi pria gay merupakan situasi yang penuh
dengan konflik. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh Buxton (dalam Alessi,
2008), 59% pria gay yang menikah secara heteroseksual memutuskan untuk
mengikuti konseling dan terapi untuk membantu mereka menghadapi konflik
pernikahan. Alessi (2008) mengatakan bahwa tidak semua pria homoseksual
yang menikah datang
mengikuti terapi karena mereka ingin keluar dari
pernikahan. Ada alasan lain yang mendorong mereka untuk ikut menjalani
terapi. Dalam dua kasus klinis yang diteliti olehnya, dua pasien gay
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
memutuskan untuk mengikuti terapi karena mereka perlu menghadapi duka
dan kehilangan yang cukup besar akibat tidak mampu menjalani tipikal hidup
yang umum dimimpikan semua orang.
Meskipun begitu, dua pria ini
memutuskan untuk mempertahankan pernikahan mereka.
Ada beberapa faktor yang membuat homoseksual memilih bertahan dalam
pernikahan heteroseksual, misalnya cinta dan afeksi terhadap pasangan satu
sama lain. Pernikahan tersebut memuaskan kebutuhan mereka akan relasi,
kesetaraan dan kepemilikan, serta membuat mereka merasa “normal” (Blass &
Blatt dalam Alessi, 2008). Selain itu, ketakutan akan kesepian dan
ketergantungan mereka selama ini juga membuat mereka tetap tinggal pada
pernikahan. Bagaimanapun juga, istrilah yang selama ini telah memberi cinta
tak bersyarat dan dukungan penuh (Kort, 2006).
5. Individu Heteroseksual dalam Mixed Orientation Marriage
Individu heteroseksual mengalami banyak tekanan dan stress ketika
terlibat dalam mixed orientation marriage. Mereka merasakan suatu bentuk
kehilangan yang berupa gelombang naik turun (maju mundur) yang disebut
dengan ambiguous loss (Hernandez & Wilson, 2007). Hernandez dan Wilson
(2007) menemukan bahwa individu-individu yang mengalami ambiguous loss
akan
melewati
tahap-tahap
berikut
:
(a)
kesadaran
akan
adanya
ketidaksesuaian emosi dan seksual dengan pasangan, (b) kebingungan dan
merasa gagal karena berpikir bahwa perilaku merekalah yang menyebabkan
ketidakcocokan ini, (c) secara bersamaan merasakan kelegaan dan ketakutan
akan implikasi dari coming out yang dilakukan oleh pasangan mereka, (d)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
keputusasaan saat mereka tidak mampu menemukan solusi lain selain
perceraian dan perpisahan, (e) mempertimbangkan kesejahteraan anak mereka
setelah mengetahui bahwa orangtua mereka adalah homoseksual, (f)
disorientasi saat mereka menilai dampak pengalaman ini pada diri mereka
sendiri, (g) kekacauan spiritual saat mereka menguji ulang keyakinan religius
yang selama ini mereka miliki, dan (h) mendefinisikan ulang diri mereka dan
menegosiasikan kembali rencana hidup ke depan setelah mengalami dan
menyelesaiakan isu kehilangan ini.
Auerback dan Moser (1987) menemukan bahwa ada kebutuhan yang sama
yang dimiliki oleh perempuan-perempuan yang memiliki suami gay. Mereka
memiliki kebutuhan yang cukup besar untuk bertemu dengan teman dan rekan
yang memiliki kondisi yang sama dengan mereka. Hal ini membuat mereka
tidak lagi merasa sendirian. Mereka juga memiliki kebutuhan untuk
membangun model konstruktif dalam menghadapi situasi mereka saat ini.
Mereka butuh membicarakan pengalaman mereka, mencari informasi dan
memahami homoseksualitas. Hal tersebut kemungkinan besar dapat dipenuh
dalam support group. Kelompok ini ternyata juga cukup membantu partisipanpartisipannya dalam menyelesaikan isu-isu pernikahan dan membuat
perubahan positif dalam hidup mereka. Kelompok untuk istri dari pria gay
atau biseksual merupakan terapi intervensi yang efektif bagi masalah yang
muncul akibat proses coming out yang dilakukan suami.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
D. Lesbian dalam Mixed Orientation Marriage
Perempuan lesbian, ketika dibandingkan dengan laki-laki gay, cenderung
menyadari dan berperilaku sesuai orientasi seksual yang mereka miliki pada usia
yang lebih tua. Dibandingkan dengan laki-laki gay, ada lebih banyak perempuan
lesbian yang pernah melakukan seks dengan lawan jenis, bahkan menikah secara
heteroseksual (Bell & Weinberg dalam Nichols, 2004). Peplau dan Amaro (1982)
mengungkapkan bahwa 25% lesbian menikah secara heteroseksual. Studi yang
dilakukan oleh Gottschalk (2008) menemukan bahwa 40,5% lesbian pernah
menikah dengan laki-laki. Penelitian lain menemukan bahwa 35% lesbian kulit
putih dan 47% lesbian kulit hitam sedang dalam relasi pernikahan dengan lawan
jenis (Wyers, 1987).
80% mixed orientation marriage berakhir dengan perceraian (Kort, 2006).
Selain itu, Buxton (dalam Hernandez et al, 2011) mengatakan bahwa hanya ada
15% mixed orientation marriage yang mampu bertahan dalam durasi lebih dari
tiga tahun. Jika dilakukan perbandingan, usia pernikahan perempuan lesbian
dengan laki-laki cenderung jauh lebih singkat daripada laki-laki gay dengan
perempuan. Selain itu, prevalensi perempuan lesbian yang bercerai dari suaminya
jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki gay yang bercerai dari istrinya.
Hal ini disebabkan karena perempuan lesbian yang menikah dengan lawan jenis
cenderung tidak bahagia di dalam pernikahan mereka (Wyers, 1987).
Ada banyak faktor yang mempengaruhi ketidakbahagiaan tersebut, yaitu :
1. Lesbian
cenderung
keterpaksaan.
Dalam
menikah
budaya
dengan
laki-laki
patriarkal,
karena
perempuan
suatu
memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
keterbatasan untuk menjalani hidup sesuai dengan yang mereka
inginkan.
Perempuan
memiliki
lebih
sedikit
pilihan
hidup
dibandingkan dengan laki-laki, termasuk pilihan untuk hidup secara
terbuka sebagai seorang homoseksual (Nichols, 2004).
2. Caldwell dan Peplau (1984) mengungkapkan bahwa ketidaksetaraan
gender masih sering diterapkan pada pernikahan heteroseksual yang
tradisional. Dalam relasi heteroseksual, perempuan seringkali memiliki
power atau kekuatan yang jauh lebih sedikit apabila dibandingkan
dengan kekasih atau suami mereka. Power didefinisikan sebagai
kemampuan seseorang untuk mempengaruhi perilaku pasangannya.
Ketidaksetaraan power ini termanifestasi ketika seseorang memiliki
lebih banyak suara dibandingkan pasangannya mengenai relasi mereka
maupun mengenai pengambilan keputusan tertentu.
3. Lesbian cenderung tidak mampu memenuhi kebutuhan seksual mereka
ketika harus menikah dengan lawan jenis. Beberapa lesbian mengaku
tidak mampu mencapai orgasme saat berhubungan seksual dengan
suaminya (Jay & Young dalam Peplau & Amaro, 1982). Hal ini
barangkali disebabkan oleh perbedaan nilai emosional yang diterapkan
perempuan dalam hubungan seksual mereka. Lesbian mengemukakan,
dibandingkan dengan laki-laki, seks dengan sesama perempuan
cenderung
lebih
lembut,
lebih
intim,
lebih
perhatian,
lebih
menyenangkan, lebih bervariasi dan lebih tidak agresif (Schaefer
dalam Peplau & Amaro, 1982).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Hasil-hasil penelitian yang menunjukkan kecilnya tingkat kesuksesan
pernikahan dan banyaknya faktor yang mempengaruhi ketidakbahagiaan lesbian
dalam mixed orientation marriage membuat lesbian yang mampu menjalin
pernikahan heteroseksual selama lebih dari tiga tahun menjadi sebuah kasus yang
sangat unik dan jarang terjadi. Oleh sebab itu, peneliti merasa tertarik untuk
melakukan studi eksploratif terhadap individu tersebut dengan menggunakan
pendekatan studi kasus.
E. Kerangka Penelitian
Heteroseksisme dan penolakan terhadap homoseksualitas memaksa
homoseksual, termasuk lesbian, untuk menyembunyikan identitas orientasi
seksualnya. Salah satu cara yang banyak dilakukan adalah dengan menikahi lawan
jenisnya. Meskipun demikian, memutuskan untuk menikah bukan berarti terlepas
dari masalah. Banyaknya konflik-konflik di dalam diri maupun konflik-konflik
dengan pasangan membuat pernikahan tersebut seringkali didominasi dengan
ketidakbahagiaan, ketidakpuasan dan akhirnya berakhir dengan perceraian.
80% mixed orientation marriage berakhir dengan perceraian dan hanya
ada 15% mixed orientation marriage yang mampu bertahan dalam durasi lebih
dari tiga tahun. Jika dilakukan perbandingan, usia pernikahan perempuan lesbian
dengan laki-laki cenderung jauh lebih singkat daripada laki-laki gay dengan
perempuan. Selain itu, prevalensi perempuan lesbian yang bercerai dari suaminya
jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki gay yang bercerai dari istrinya.
Hal ini dikarenakan perempuan lesbian yang menikah dengan lawan jenis
cenderung tidak bahagia dalam pernikahan mereka. Maka, dapat terlihat bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
lesbian yang mampu menjalin pernikahan heteroseksual selama lebih dari tiga
tahun adalah sebuah kasus yang sangat jarang terjadi sehingga peneliti tertarik
untuk
melakukan
studi
eksploratif
terhadap
individu
tersebut
dengan
menggunakan pendekatan studi kasus.
Dalam penelitian ini, peneliti ingin mendapatkan data yang menyeluruh,
detail dan mendalam. Peneliti akan mengungkap kehidupan pernikahan yang
dijalani oleh lesbian yang terlibat mixed orientation marriage. Gambaran yang
utuh atas kehidupan pernikahan yang dijalani oleh lesbian yang terlibat mixed
orientation marriage tidak dapat dicapai hanya dengan melihat fase hidup saat ini,
tetapi juga perlu dipahami mengenai latar belakang dan motif yang mendasari
pernikahan, hingga rencana dan harapan individu lesbian terhadap pernikahannya.
Peneliti akan melihat perjalanan hidup sebelum menikah serta gambaran
kondisi keluarga, komunitas dan masyarakat. Pemahaman akan hal-hal tersebut
akan membawa kita pada kajian penelitian pertama, yaitu alasan yang mendasari
subjek untuk menikah. Setelah hal tersebut didapatkan, peneliti kemudian
berpindah pada kajian selanjutnya, yaitu kehidupan sehari-hari subjek saat ini. Hal
ini akan terbagi menjadi beberapa subtopik, yaitu relasi individu lesbian dengan
suaminya, konflik intrapersonal dan interpersonal, cara menyelesaikan konflikkonflik tersebut, serta dampak psikologis yang dirasakan setelah menikah dengan
lawan jenis. Terakhir, studi akan ditutup dengan pengungkapan atas pandangan
individu lesbian terhadap pernikahannya di masa yang akan datang. Hal tersebut
akan dituangkan dalam pemaparan atas
tujuan, rencana dan harapan yang
individu lesbian lekatkan pada pernikahannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Peneliti berharap bahwa hasil penelitian mampu menjadi sebuah referensi
dan pembelajaran, baik bagi individu-individu yang terlibat dalam masalah
serupa, maupun bagi terapis-terapis pernikahan. Selain itu, dengan mengetahui
gambaran secara menyeluruh kehidupan lesbian dalam mixed orientation
marriage, diharapkan masalah-masalah terkait hal ini bisa diselesaikan secara
lebih konteksual.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Creswell (2009) mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif adalah
sarana untuk mengeksplor dan memahami makna yang dilekatkan oleh individu
atau kelompok terhadap masalah sosial atau manusia. Bogdan dan Taylor (dalam
Barsrowi & Suwandi, 2008) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian ini
menggunakan metodologi kualitatif karena data yang ingin ditemukan tidak dapat
dicapai dengan menggunakan prosedur statistik atau dengan cara kuantifikasi
lainnya. Selain itu, penelitian kualitatif sangat berguna ketika peneliti tidak
mengetahui variabel apa yang paling penting untuk diteliti. Hal ini dikarenakan
topik yang akan diteliti merupakan topik yang tergolong baru dan topik tersebut
tidak pernah diteliti melalui sudut pandang orang tertentu (dalam penelitian ini
adalah lesbian) (Morse dalam Creswell, 2009).
Penelitian mengenai lesbian yang terlibat dalam mixed orientation
marriage ini secara khusus menggunakan metode kualitatif studi kasus. Creswell
(2009) mengatakan bahwa studi kasus adalah strategi penelitian di mana peneliti
mengeksplorasi secara mendalam program, acara, kegiatan, proses, atau satu atau
lebih individu. Kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti
49
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
mengumpulkan informasi secara terperinci menggunakan berbagai prosedur
pengumpulan data selama periode waktu yang berkelanjutan (Stake dalam
Creswell, 2009). Dalam hal ini, peneliti menggunakan studi kasus intrinsik,
dimana peneliti fokus pada kasus yang telah dipilih karena kasus tersebut
merepresentasikan sebuah situasi yang unik dan tidak biasa (Creswell, 2007).
Peneliti merasa perlu menerapkan pendekatan studi kasus intrinsik karena 80%
mixed orientation marriage berakhir dengan perceraian dan hanya ada 15% mixed
orientation marriage yang mampu bertahan dalam durasi lebih dari tiga tahun.
Jika dilakukan perbandingan, usia pernikahan perempuan lesbian dengan laki-laki
cenderung jauh lebih singkat daripada laki-laki gay dengan perempuan. Selain itu,
prevalensi perempuan lesbian yang bercerai dari suaminya jauh lebih banyak
dibandingkan dengan laki-laki gay yang bercerai dari istrinya. Hal ini dikarenakan
perempuan lesbian yang menikah dengan lawan jenis cenderung tidak bahagia di
dalam pernikahan mereka. Maka, dapat terlihat bahwa lesbian yang mampu
menjalin pernikahan heteroseksual selama lebih dari tiga tahun adalah sebuah
kasus yang sangat jarang terjadi sehingga peneliti tertarik untuk melakukan studi
eksploratif terhadap individu tersebut dengan menggunakan pendekatan studi
kasus.
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran dasar yang
menyeluruh mengenai individu lesbian yang terlibat dalam mixed orientation
marriage, yang dijelaskan dalam beberapa dimensi, yaitu motif yang mendasari
pernikahan, relasi dengan suami, konflik interpersonal dan intrapersonal yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
dialami beserta penyelesainnya, dampak psikologis, dan rencana serta harapan
individu terhadap pernikahannya.
C. Subjek Penelitian
Dalam memilih subjek, peneliti menggunakan purposive sampling.
Peneliti memilih individu tertentu yang dapat memberikan informasi dan
pemahaman yang dibutuhkan mengenai masalah penelitian dan fenomena utama
yang ingin diteliti (Creswell, 2007). Peneliti menyusun kriteria-kriteria terrentu
yang dijadikan dasar untuk memilih subjek. Kriteria tersebut adalah :
1. Mengidentifikasi diri memiliki orientasi seksual lesbian.
2. Memiliki hubungan pernikahan dengan lawan jenis lebih dari tiga tahun.
D. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian merupakan tahap-tahap yang dilakukan oleh peneliti
dalam melakukan penelitian ini. Tahapan tersebut adalah :
1. Peneliti menentukan topik penelitian dan menyusun rancangan
penelitian. Peneliti juga mengumpulkan data yang berkaitan dengan
topik penelitian, yaitu lesbian dan mixed orientation marriage. Data
dikumpulkan dari buku, jurnal, artikel serta informasi-informasi terkait
yang bisa ditemukan di internet.
2. Peneliti menentukan karakteristik subjek penelitian dan menentukan
individu yang akan menjadi subjek di dalam penelitian ini.
3. Peneliti menyusun panduan pertanyaan yang akan digunakan sebagai
dasar dalam melakukan wawancara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
4. Peneliti bertemu dengan subjek dan membangun rapport kepada
subjek. Di dalam tahap ini, peneliti juga menanyakan kesediaan subjek
untuk menjadi subjek dalam penelitian ini. Selanjutnya, peneliti dan
subjek menentukan waktu dan tempat pengambilan data dan
wawancara.
5. Sebelum
melakukan
wawancara,
peneliti
menanyakan
kembali
kesediaan subjek untuk menjadi subjek dalam penelitian ini dengan
menandatangani lembar Informed Consent yang berisi proses
pengambilan data, efek yang akan didapatkan oleh subjek dan hak-hak
yang bisa didapatkan oleh subjek ketika melakukan proses wawancara
ini.
6. Peneliti melakukan wawancara semi-terstruktur dengan informan.
7. Setelah melakukan wawancara, peneliti menyusun verbatim dari hasil
wawancara yang diperoleh dengan bantuan tape recorder. Peneliti juga
membuat kode-kode dan keterangan kode pada hasil verbatim tersebut
untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan metode yang sudah
ditentukan.
8. Peneliti menarik kesimpulan dari hasil olah data yang sudah
dikonsultasikan pada dosen pembimbing. Dari hasil olah data tersebut
juga didapatkan saran bagi masyarakat dan peneliti lain.
E. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan
teknik wawancara. Wawancara merupakan percakapan yang dilakukan oleh dua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan, dan
terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu
(Basrowi & Suwandi, 2008). Peneliti melakukan wawancara langsung, yaitu
wawancara yang ditujukan langsung kepada orang yang diperlukan keterangan
atau datanya dalam penelitian (Sunyono, 2011). Peneliti melakukan teknik
wawancara yang bersifat semi terstruktur dengan panduan pertanyaan yang
bersifat terbuka sehingga data yang didapatkan mendalam dan tidak terbatas. Hal
ini juga dilakukan agar informan tidak merasa ditekan ketika dilakukan
wawancara. Sebelum melakukan wawancara, peneliti menyusun panduan
wawancara yang akan digunakan untuk membantu mengumpulkan data. Berikut
adalah guideline pertanyaan yang akan dijadikan panduan :
Tabel 1. Guideline Pertanyaan Wawancara
Latar Belakang
1. Kapan dan peristiwa apa yang membuat anda pertama kali menyadari
orientasi seksual yang anda miliki?
2. Apa yang anda pikirkan, rasakan dan lakukan saat itu?
3. Bagaimana ceritanya sampai anda akhirnya benar-benar mengidentifikasi
diri sebagai seorang lesbian?
4. Ceritakan pengalaman anda ketika menjalin relasi romantis dengan sesama
perempuan maupun dengan lawan jenis.
5. Siapa saja yang mengetahui mengenai orientasi seksual yang anda miliki
dan bagaimana reaksi mereka terhadap hal ini?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
6. Bagaimana penilaian orang-orang di sekitar anda (keluarga dan teman)
terkait isu LGBT?
7. Hal apa yang membuat anda akhirnya menikah dengan suami anda saat ini?
8. Sudah berapa lama anda menikah dengan suami anda tersebut?
Kehidupan Saat Ini
9. Bagaimana relasi anda dengan suami anda selama ini?
10. Bagaimana interaksi anda dan suami anda ketika sedang di rumah?
11. Seberapa sering anda berhubungan seksual dengan suami anda? Apakah
anda menikmatinya? Kalau anda tidak menikmatinya, apa yang mendorong
anda untuk tetap melakukannya?
12. Apa pengaruh orientasi lesbian yang anda miliki terhadap pernikahan anda?
13. Bagaimana relasi anda dengan anak anda selama ini?
14. Bagaimana interaksi anda dengan anak anda ketika sedang di rumah?
15. Apa dampak kehadiran anak terhadap diri anda maupun terhadap
pernikahan anda dengan suami?
16. Apakah saat ini suami dan anak anda mengetahui mengenai orientasi
seksual yang anda miliki? Bagaimana mereka mengetahuinya?
17. Konflik-konflik apa saja yang biasanya muncul di antara anda dan suami
anda?
18. Bagaimana cara anda menyelesaikan konflik-konflik tersebut?
19. Konflik-konflik apa yang biasanya muncul di dalam diri anda setelah
menikah dengan suami, baik kaitannya dengan relasi bersama suami, anak,
keluarga maupun masyarakat secara umum?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
20. Ketika sedang berada dalam situasi yang menekan dan penuh dengan stress,
bagaimana cara anda meregulasi diri supaya tidak mengganggu aktivitas
sehari-hari anda?
21. Perubahan apa yang anda rasakan setelah anda menikah dengan suami anda
sekarang?
22. Apa dampak pernikahan ini terhadap diri anda sebagai seorang lesbian?
23. Hal apa atau siapa yang menjadi kekuatan terbesar yang membuat anda
memilih untuk bertahan dalam pernikahan ini?
24. Hal positif apa yang anda dapatkan dari pernikahan ini?
Orientasi Masa Depan
25. Apa rencana anda ke depannya terkait pernikahan ini?
26. Apa harapan anda ke depannya terkait pernikahan ini?
Dalam wawancara ini, peneliti menggunakan dua teknik pencatatan data.
Yang pertama, peneliti akan merekam seluruh proses wawancara menggunakan
tape recorder. Alat perekam digunakan agar tidak ada hasil wawancara yang
terlewatkan atau hilang sehingga terjaga keutuhan hasil data. Dalam
penggunaannya, alat perekam akan digunakan ketika sudah mendapatkan
persetujuan dari informan. Yang kedua, peneliti akan membuat catatan-catatan
untuk membantu mencari pokok-pokok penting sehingga akan mempermudah
proses analisis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
F. Analisis Data
Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya
ke dalam suatu pola, kategori dan satuan urutan dasar sehingga dapat dirumuskan
kesimpulan seperti yang disampaikan oleh data (Basrowi & Suwandi, 2008).
Peneliti menggunakan prosedur umum dan langkah-langkah khusus dalam analisis
data (Creswell, 2008), yaitu sebagai berikut :
1. Mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis. Langkah ini
melibatkan transkripsi wawancara, men-scanning materi, mengetik data
lapangan atau memilah-milah dan menyusun data tersebut ke dalam jenisjenis yang berbeda tergantung pada sumber informasi.
2. Membaca keseluruhan data untuk membangun general sense atau
informasi
yang
diperoleh
dan
merefleksikan
maknanya
secara
keseluruhan.
3. Menganalisis lebih detail dengan meng-coding data. Coding merupakan
proses mengolah materi atau informasi menjadi segmen-segmen tulisan
sebelum memaknainya. Langkah ini melibatkan beberapa tahap, yaitu :
mengambil data tulisan atau gambar yang telah dikumpulkan selama
proses pengumpulan, mensegmentasikan kalimat-kalimat (atau paragrafparagraf) atau gambar-gambar tersebut ke dalam kategori-kategori,
kemudian melabeli kategori-kategori ini dengan istilah-istilah khusus.
4. Peneliti menerapkan proses coding untuk mendeskripsikan setting, orangorang, kategori-kategori dan tema-tema yang akan dianalisis. Deskripsi ini
melibatkan usaha penyampaian informasi secara detail mengenai orang-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
orang, lokasi-lokasi atau peristiwa-peristiwa dalam setting tertentu. Setelah
itu, peneliti menerapkan proses coding untuk membuat sejumlah kecil
tema atau kategori. Setalah mengidentifikasi tema-tema selama proses
coding, peneliti akan memanfaatkan lebih jauh tema-tema ini untuk
membuat analisis yang lebih kompleks.
5. Peneliti menyajikan kembali deskripsi dan tema-tema dalam bentuk narasi
atau laporan kualitatif.
6. Peneliti menginterpretasi atau memaknai data.
G. Reliabilitas dan Validitas Data
Reliabilitas pada penelitian kualitatif dimaknai sebagai sejauh mana
pendekatan yang diterapkan peneliti konsisten dengan yang diterapkan oleh
peneliti-peneliti lain dan dalam proyek-proyek penelitian lain (Supratiknya, 2015).
Peneliti menggunakan dua prosedur pengujian reliabilitas yang dinyatakan oleh
Creswell (2007), yaitu :
1. Memeriksa transkrip-transkip rekaman wawancara dan observasi untuk
memastikan tidak ada kesalahan-kesalahan serius yang terjadi selama
proses transkripsi.
2. Memastikan tidak ada pergeseran pada definisi kode-kode, yaitu
perubahan makna kode-kode yang terjadi selama proses pengodean.
Pergeseran kode semacam ini bisa dihindari dengan cara selalu
membandingkan data dengan kode-kode yang berhasil dirumuskan
serta rajin membuat catatan tentang kode-kode beserta definisi masingmasing.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Selain menguji reliabilitas, peneliti juga akan melakukan uji validitas.
Validitas dalam penelitian kualitatif dimaknai sebagai sejauh mana peneliti
memeriksa keakuratan temuan-temuannya dengan menerapkan sejumlah prosedur
tertentu. Istilah lain adalah trustworthiness atau taraf kepercayaan, authenticity
atau otentisitas, dan credibility atau kredibilitas (Supratiknya, 2015).
Peneliti menggunakan prosedur member checking atau pengecekan
kembali pada partisipan untuk menguji validitas hasil penelitian dan untuk
memastikan keakuratan temuan-temuan berupa tema-tema. Rumusan tema-tema
akan dibawa kembali dan ditunjukkan kepada partisipan untuk mengetahui apakah
mereka merasa bahwa rumusan tema-tema itu sudah akurat (Creswell, 2007).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian
Hal yang dilakukan peneliti setelah menentukan topik, mengumpulkan
literatur terkait dan menyusun rancangan penelitian adalah mencari individu yang
memenuhi karakteristik informan penelitian. Peneliti meminta bantuan pada
teman-teman yang sedang atau pernah terlibat dalam komunitas atau organisasi
yang concern di bidang LGBT untuk mendapatkan informan sebagai sumber data.
Peneliti menjelaskan maksud, tujuan dan gambaran penelitian yang akan peneliti
lakukan, serta karakteristik individu yang bisa dijadikan informan penelitian.
Sayangnya, tidak ada satupun dari mereka mengenal seseorang yang memenuhi
karakteristik informan yang dibutuhkan. Kebanyakan dari mereka hanya
mengenal biseksual yang menikah, bukan lesbian.
Peneliti akhinya mendapatkan informasi mengenai subjek I melalui
seorang teman lama. Beliau menyarankan untuk bertemu dengan salah seorang
kenalannya yang merupakan lesbian yang menikah dengan laki-laki. Setelah
bertemu dan menjelaskan mengenai penelitian yang akan dilaksanakan, peneliti
mendapatkan izin untuk melakukan penelitian pada subjek I.
Peneliti mendapatkan rekomendasi subjek II melalui subjek I. Peneliti
langsung berusaha menemui, kemudian kembali memberikan gambaran penelitian
yang akan dilakukan. Setelah penjelasan singkat, subjek II menyatakan
kesediaannya untuk menjadi informan penelitian.
59
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Peneliti memutuskan untuk hanya menggunakan dua subjek sebagai
informan penelitian. Hal ini berkaitan dengan sulitnya mendapatkan subjek lain
yang memenuhi karakteristik informan. Seorang lesbian cenderung menutup atau
menyembunyikan dirinya yang sebenarnya dari lingkungan luar, kecuali dari
komunitas atau organisasi LGBT yang mereka ikuti. Sayangnya, lesbian yang
menikah sangat jarang bergabung karena mereka cenderung mendapatkan
penolakan dan stigma negatif dari kelompok tersebut.
B. Pelaksanaan Penelitian
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode wawancara
mendalam atau in-depth interview yang dilaksanakan dalam kurun waktu Juli
hingga Oktober 2016. Sebelum wawancara dilakukan, peneliti menemui subjek
penelitian beberapa kali untuk melakukan rapport atau pendekatan. Hal ini
dilakukan agar kedua subjek penelitian merasa aman dan nyaman untuk
mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan pada saat wawancara penelitian
dilaksanakan. Dalam proses ini, peneliti juga membuat kesepakatan dengan kedua
subjek mengenai waktu dan tempat wawancara akan diadakan.
Peneliti merasa sedikit kesulitan dalam menentukan waktu dan tempat
wawancara. Hal ini dikarenakan kedua subjek tidak menginginkan keluarganya
mengetahui bahwa ia sedang menjadi subjek penelitian. Mereka juga menghindari
kecurigaan keluarga yang mungkin muncul ketika subjek menghabiskan waktu
berdua dengan sesama perempuan. Dengan subjek I, peneliti terpaksa
melaksanakan penelitian di sebuah café sedangkan dengan subjek II, peneliti
berhasil menemukan waktu dimana suami subjek sedang tidak berada di rumah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Sesaat sebelum wawancara dimulai, peneliti sekali lagi menanyakan
kesediaan subjek untuk menjadi informan penelitian. Sesuai dengan pasal 49
dalam Kode Etik Psikologi Indonesia (Himpunan Psikologi Indonesia, 2010),
peneliti juga memberikan lembar informed consent yang di dalamnya menjelaskan
tujuan penelitian, prosedur penelitian, kerahasiaan data penelitian, efek yang akan
didapatkan, dan hak informan. Setelah membaca dan memahami informed
consent, subjek menandatangani lembar persetujuan untuk terlibat di dalam
penelitian. Kemudian, proses pengambilan data melalui wawancara segera
dimulai. Berikut adalah tabel ringkasan kegiatan pengambilan data penelitian pada
dua informan :
Tabel 2. Ringkasan Kegiatan Pengambilan Data Penelitian
Waktu
1 Juli 2016
Kegiatan
Perizinan penelitian dengan
Tempat
Rumah subjek I
subjek I
10 Juli 2016
Rapport dengan subjek I
Café
14 Juli 2016
Wawancara pertama subjek I
Café
30 Juli 2016
Perizinan penelitian dengan
Rumah subjek II
subjek II
2 Agustus 2016
Rapport dengan subjek II
Rumah subjek II
9 Agustus 2016
Wawancara pertama subjek II
Rumah subjek II
7 Oktober 2016
Wawancara kedua subjek II
Rumah subjek II
Catatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
C. Hasil Penelitian
Tabel 3. Data Demografis Subjek
Keterangan
Subjek I
Subjek II
Nama (Inisial)
N
D
Usia
32 tahun
31 tahun
Suku Bangsa
Minang
Jawa
Pendidikan Terakhir
SMA
S1
Pekerjaan
Ibu Rumah Tangga
Ibu Rumah Tangga
Usia Suami
40 tahun
35 tahun
Suku Bangsa Suami
Minang
Melayu
Pendidikan Terakhir Suami S1
S1
Pekerjaan Suami
Wiraswasta
PNS
Usia Pernikahan
13 tahun
8 tahun
Jumlah Anak
2
2
Usia Anak
12 tahun dan 8 tahun
7 tahun dan 2 tahun
1. Kesadaran Akan Orientasi Homoseksual
Kedua
subjek
penelitian
sama-sama
menyadari
orientasi
homoseksualnya pertama kali pada saat berusia remaja. Hal tersebut dimulai
dari ketertarikan mereka terhadap perempuan tertentu. Meskipun demikian,
respons kedua subjek akan kesadaran orientasi seksual mereka cenderung
berbeda. Setelah menyadari akan orientasi seksualnya, subjek I merasa senang
karena akhirnya bisa menemukan sesuatu yang benar-benar membuatnya
nyaman dan berkesan. Hal ini tampak pada pernyataan subjek sebagai berikut:
“Seneng sih. Kayaknya mulai menemukan oh ini yang.. ternyata yang
memang buat aku tuh nyaman, yang bener-bener apa ya.. ngerasa
berkesan kayak gitu di hati ya kayak gitu.” (Subjek I, Line 30-31)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Berbeda dengan subjek I, subjek II tidak merasa demikian. Subjek II
mengatakan bahwa ia tidak bisa secara langsung menerima dirinya sebagai
seorang lesbian. Hal ini dikarenakan ia masih belum yakin bahwa orang lain
juga sama sepertinya dan bahwa menjadi seorang lesbian bukanlah suatu
kesalahan (dosa). Namun, dengan semakin banyak informasi yang didapatkan
mengenai orientasi seksual, subjek II semakin bisa menerima dirinya dan hal
ini membuatnya merasa nyaman dan santai dalam melakukan segala hal. Hal
tersebut dapat dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai berikut:
“Awalnya sih penolakan.. penolakan diri tuh ada.. maksudnya kayak..
kayak ngerasa .. ini tuh salah.. kok aku kayak gini ya.. kok aku beda..
ngrasa kayak ini dosa nggak ya.. gitu gitu.. karena kan kalau
menurutku sih itu karena aku belum tau banyak informasi apapun
gitu.. aku cuman kayak e ya nggak ada.. nggak ada temen cerita nggak
ada yang bisa ditanyain jadi aku ngerasa kayak gitu sih awalnya. Tapi
semakin lama mm aku bisa baca buku.. aku cari informasi banyak hal
akhirnya ya aku bisa nerima sih..” (Subjek II, Line 24-34)
Subjek I pernah menjalin relasi romantis dengan lawan jenis.
Meskipun merasa nyaman dan dilindungi, subjek I mengakui bahwa perasaan
saat berpacaran dengan perempuan serba berbeda dengan saat berpacaran
dengan laki-laki. Relasi dengan laki-laki terasa biasa saja ketika ia mulai
mencoba berpacaran dengan perempuan. Berbeda dengan subjek I, subjek II
belum pernah sekalipun berpacaran dengan laki-laki. Ia mengatakan bahwa ia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
tidak pernah memiliki ketertarikan sama sekali dengan lawan jenis dan hanya
merasa memiliki ikatan emosi yang dalam dengan perempuan saja.
Subjek I mendeskripsikan relasi romantis dengan sesama jenis sebagai
relasi yang lebih nyaman, lebih santai, lebih dilindungi, lebih spesial serta
lebih bahagia jika dibandingkan dengan saat bersama laki-laki. Subjek I juga
mengaku lebih stres dan lebih mau mengalah saat sedang berkonflik dengan
pacar perempuan. Hal ini tampak pada pernyataan subjek sebagai berikut :
“Trus aku sekarang sama cewek kok kayaknya lebih nyamannya sama
cewek..” (Subjek I, Line 551-552)
“..cuman ya emang lebih spesial, kalau kita jalan sama cewek gitu
kayak ngerasa.. ngerasanya lebih.. lebih seneng aja dibandingin sama
cowok.” (Subjek I, Line 66-68)
“Kalau aku misalnya aku berantem.. jaman aku masih sama.. e apa..
pacar cewekku dulu.. itu pasti aku yang yaudah aku minta maaf deh
gitu gitu..” (Subjek I, Line 154-157)
“Stres kalau misalnya aku lagi berantem sama pacarku yang cewek
itu.. bisa yang stress banget banget bisa.” (Subjek I, Line 269-271)
Tidak jauh berbeda dengan subjek I, subjek II juga menilai relasi
dengan perempuan sebagai relasi yang membuatnya merasa nyaman dan
senang. Meskipun ada duka yang harus dilalui selama berpacaran dengan
perempuan, subjek II tetap menilai relasi tersebut menyenangkan. Hal tersebut
dapat dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai berikut :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
“Ya kayak orang-orang pacaran biasa sih menurutku. Kamu dengan
pacarmu merasa nyaman.. senang.. Tapi ya emang kalau ada suka,
ada dukanya juga. Berantem gitu ada pasti. Tapi kalau secara
keseluruhan ya menyenangkan sih.” (Subjek II, Line 817-821)
2. Menyembunyikan Orientasi Homoseksual
Orang-orang di sekitar kedua subjek, khususnya orangtua, cenderung
memiliki pandangan yang negatif terhadap LGBT. Lingkungan menilai LGBT
sebagai sebuah hal yang salah, hina, memalukan, dosa, aib, tidak benar,
terbuang dan tidak bisa diterima. Hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan
wawancara sebagai berikut :
“Negative thinking yaa. Emang negatif.. Semua itu bilang.. oh kayak
gitu.. Pokoknya negatifnya lah. Negatifnya..”(Subjek I, Line 82-84)
“Kalau.. e bagi mereka itu tuh bener-bener kayak terhina banget gitu
lho.. Kalau seorang L itu emang bener-bener terbuang dari keluarga
gitu kan.”(Subjek I, Line 96-99).
“Kalau dari orangtua ku sih kayaknya pikirannya itu masih
mainstream sih.. Maksudnya masih yang LGBT itu dosa salah nggak
bener gitu.. Jadi kayak.. ya masih nggak bisa terima.. Masih nggak
bisa terima dan menganggap LGBT itu negatif.” (Subjek II, Line 100105)
Stigma negatif yang didapatkan dari lingkungan membuat kedua
subjek memilih untuk menutup diri dan menyembunyikan orientasi
homoseksualnya kecuali pada orang-orang tertentu. Yang mengetahui
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
mengenai orientasi seksual subjek I hanyalah mantan kekasih dan teman jauh.
Subjek I memilih bercerita dengan teman jauh karena menurutnya jarak
membuat penyampaian ke keluarga menjadi tidak mungkin terjadi. Hal ini
terbukti dari jawaban subjek saat diwawancara yaitu sebagai berikut :
“Mm orang-orang terdekat aja sih.. em.. yaaa rata-rata mantan sih
hehe. Mantan dia tau.. Trus ada temen.. temen yang nggak tau ama
lingkungan keluarga ya.. Temen yang jauh.. Misal kayak temen di
Jakarta itu kan nggak tau sama sekali ama keluargaku, nah yang
kayak gitu aku berani ngasih tau karena kan nggak mungkin mereka
ngasi tau keluarga kan.. Nggak mungkin ada penyampaian.”(Subjek I,
Line 518-525)
Di sisi lain, subjek II memilih mengungkapkan orientasi seksualnya
pada teman dekat yang sekiranya bisa dipercaya saja.
“Ya cuman temen-temen deket sih.. Maksudnya temen-temen yang..
yang bisa dipercaya aja..” (Subjek II, Line 73-75)
Meskipun berusaha sebisa mungkin untuk menyembunyikan, lama
kelamaan orangtua kedua subjek merasa curiga akan orientasi homoseksual
anak mereka. Orangtua subjek I menjadi curiga setelah mendengar rumor di
antara teman-teman sekolah yang mengatakan bahwa subjek I adalah seorang
lesbian, sedangkan orangtua subjek II menjadi curiga setelah menyadari
bahwa subjek II banyak memiliki buku atau novel yang terkait dengan
homoseksualitas. Selain itu, pada saat yang sama, orangtua pacar subjek II
yang baru mengetahui bahwa anaknya lesbian juga datang menemui keluarga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
subjek II untuk memberitahukan mengenai relasi subjek II dengan pacar
perempuannya.
Kecurigaan
tersebut
membuat
kedua
subjek
sering
ditanyai
orangtuanya. Subjek I selalu berusaha menghindar dan mengalihkan
pembicaraan, namun subjek II cenderung tidak tahan dan merasa tertekan
sehingga
memilih
mengungkapkan
orientasi
seksualnya
ke
kedua
orangtuanya. Hal ini membuat orangtua subjek II sangat marah, kemudian
memantau berlebihan dan melarangnya melakukan banyak hal sehingga ia
menjadi tidak bebas lagi membangun relasi dengan perempuan.
“Setelah ketahuan gitu kan jadi kayak apa.. dipantau terus.. nggak
boleh ini.. nggak boleh itu.. trus apa-apa dipantau.. Jadi kayak..
bener-bener nggak bisa bergerak gitu..” (Subjek II, Line 111-115)
Setelah menikah, kedua subjek juga menyembunyikan orientasi
seksual dari suami. Selain itu, keduanya tidak memiliki rencana untuk
mengungkapkan hal tersebut sampai kapanpun. Hal ini dikarenakan subjek I
memiliki ketakutan jika orientasi seksualnya hanya akan diumbar-umbar saja,
sedangkan
subjek
II
tidak
merasa
memiliki
tanggungjawab
untuk
memberitahu suami.
3. Motif Menikah
Untuk mengantisipasi berkembangnya orientasi homoseksual yang
tidak diinginkan, orangtua kedua subjek menjodohkan anaknya dengan lakilaki pilihan mereka. Tekanan dan paksaan yang sangat besar dari lingkungan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
serta tidak adanya bantuan dari teman-teman membuat subjek II merasa
bahwa memang tidak ada jalan lain selain menuruti keinginan orangtua.
“Ya awalnya sih nggak terima.. Cuman.. nggak tau ya.. Saat itu tuh
bener-bener tekanannya tuh besar banget kayak gitu. Belum juga yang
dari.. mereka tuh kayak maksa banget kayak gitu yang.. kayak ngi..
kita tuh bener-bener ngerasa kayak yang.. duh bikin malu keluarga
banget gitu.. Gitu gitu.. Jadi kayak tertekan secara psikologis gitu lah
ngerasanya dan e.. ya temen-temen juga nggak bisa bantu kan paling
juga.. mereka juga paling cuma dengerin kayak gitu.. Jadi kayak udah
nggak ada jalan keluar lain lagi gitu.” (Subjek II, Line 128-141)
Berbeda dengan subjek II, subjek I mampu menemukan alasan lain
yang membuatnya tidak menolak dijodohkan. Subjek I merasa bahwa
pernikahannya dengan laki-laki bisa menjadi suatu cara untuk memanasmanasi pacar perempuan yang saat itu sedang berkonflik dengannya.
“Karena kemarin pas aku lagi ada masalah juga sih ya sama..
pacarku itu gitu.. Jadi pas ada masalah gitu emang niatku udah
kayaknya aku mesti kayak gini.. biar dia marah juga sama aku.. Niat
awalnya sih gitu.. Yaudahlah mungkin dengan kayak gini dia bisa
ngerasain.. duh kamu jangan donggg.. Berharapnya sih gitu.. Tapi
ternyata dia nggak tau waktu aku nikah gitu..” (Subjek I, Line 452458)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
4. Relasi Dengan Suami
a. Relasi Emosional
Subjek I telah menikah selama 13 tahun, sedangkan subjek II telah
menikah selama 7 tahun. Selain usia pernikahan, nuansa relasi kedua
subjek dengan suami juga cenderung berbeda. Subjek I mengatakan bahwa
pada saat tertentu, ia dan suami bisa jadi cukup dekat, bahkan seperti
berteman. Ia juga cenderung terbuka terhadap suaminya, kecuali mengenai
orientasi seksual. Sebaliknya, subjek II menceritakan bahwa ia dan suami
cenderung dingin dan hanya tampak baik di luar saja.
Kedua subjek mengakui bahwa sebenarnya suami menyayangi dan
memperhatikan mereka. Akan tetapi, perlakuan baik tersebut tetap
membuat kedua subjek merasa tidak nyaman, bahkan cenderung merasa
risih.
Subjek I menceritakan bahwa meskipun suami menyayanginya dan
memperlakukannya dengan cukup baik, suami seringkali mendominasi
dan posesif. Hal ini membuat subjek I harus pintar-pintar mencari alasan
dan membohongi suami demi bisa pergi menemui pacar perempuannya.
Kondisi ini jauh berbeda dengan kondisi subjek II. Subjek II mengatakan
bahwa suami tidak dominan di dalam relasi. Hal ini dikarenakan subjek II
cenderung keras sehingga tidak gampang menerima perlakuan atau
permintaan dari suami.
Ketidaknyamanan kedua subjek disadari oleh masing-masing
suami karena mereka pernah mengungkapkan ketidaknyamanannya secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
langsung. Subjek II juga yakin bahwa ketidaknyamanan tersebut terlihat
secara tidak langsung melalui perilakunya sehari-hari. Walaupun begitu,
hal tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan karena kedua
suami
seringkali
ketidaknyamanan
tidak
mau
peduli
dan
hanya
pasangannya.
Suami
cenderung
mengabaikan
mengalah
dan
membiarkan saja. Hal ini dikarenakan suami tidak menginginkan
pernikahan mereka berakhir.
“Dia senyum senyum aja sih.. Nggak terlalu ditanggepin.. karena
dia tau emang aku tuh emang emang pengen keluar dari kehidupan
dia gitu.. Jadi dia berusaha untuk netral aja .. Ya udah ya udah
gitu.. Dia berusaha ngalah.. Dia berusaha ngalah karena
kayaknya dia juga nggak.. nggak mau sampai bubaran.. gitu gitu..
Kayaknya dia masih ngejaga yang kayak gitu.” (Subjek I, Line
414-420)
Meskipun demikian, terkadang subjek II juga harus berhadapan
dengan kemarahan suaminya karena suaminya tersebut menganggap
subjek II tidak berusaha menyesuaikan dirinya dan tidak berkorban untuk
mempertahankan pernikahan ini.
“Ya dia tergantung mood-nya juga sih. Maksudnya kadang dia
ngerasin aku balik. Bilang aku ini nggak ada usaha buat
menyesuaikan diri, berkorban sedikit blablabla.. Tapi seringnya ya
dia ngediemin aku sih. Mungkin karena udah keseringan kayak
gini kali kan.” (Subjek II, Line 783-789)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
b. Relasi Seksual
Kedua subjek mengaku tidak dapat menikmati hubungan
seksualnya dengan suami dan merasa tidak nyaman akan kontak fisik
tersebut. Bahkan subjek II mengatakan bahwa hubungan seksual
membuatnya merasa tertekan, sedih dan sakit hati.
“Jadi.. emm nggak bisa menikmati lah. Nggak nggak bisa
menikmati yang kayak gitu.” (Subjek I, Line 188-190)
“Tertekan banget sih.. tapi.. ya gimana ya.. Yang namanya nggak
nyaman ngelakuin kayak gitu tuh.. rasanya kayak.. antara sedih
dan.. sakit dan.. ya gimana nggak nyaman banget rasanya..”
(Subjek II, Line 209-213)
Meskipun kedua subjek sama-sama menilai hubungan seksual
dengan suami sebagai sesuatu yang negatif, keduanya cenderung
menyikapinya secara berbeda. Perasaan negatif membuat subjek II selalu
berusaha untuk menolak dan menghindari hubungan seksual dengan
suami. Akan tetapi, terkadang, suami benar-benar memaksa sehingga ia
pun tidak bisa mengelak. Hal ini membuat subjek II seringkali merasa
bahwa ia “diperkosa” oleh suami.
Apalagi, suami pernah melakukan
hubungan seks terhadap subjek II saat subjek II sedang tidur. Subjek
merasa sangat tidak terima karena suami memperlakukannya seperti
barang. Meskipun merasa sangat tersiksa karena hubungan seksual yang
dilakukan dengan suami,
subjek merasa tidak dapat meminta
perlindungan atau dukungan darimanapun. Hal ini dikarenakan budaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Indonesia mengatakan bahwa memang sudah menjadi tugas seorang istri
untuk menuruti perkataan dan melayani permintaan suami.
“Ya namanya di Indonesia lah ya.. Yang namanya istri ya cuman..
yaudah kamu harus nurut apapun yang suamimu bilang.. yaudah
ngangkang tinggal ngangkang aja.” (Subjek II, Line 204-207)
Sikap subjek II ini sangat berbeda dengan sikap subjek I. Subjek I
tetap mau berhubungan seksual dengan suami karena merasa bahwa hal
tersebut merupakan kewajibannya sebagai istri dan sebuah risiko yang
harus ditanggungnya karena memilih menikah.
“Aku tetep ngejalanin yang.. apa.. kewajiban aku yang kayak gitu..
tetep.. walaupun nggak sesuai sama hatiku.. hatiku menentang..
aku tetep jalanin.. karena aku udah mengambil keputusan untuk
menikah kan.. dan aku terima resiko itu.” (Subjek I, Line 181-186)
Saat berhubungan seksual, kedua subjek cenderung pasif, cuek dan
tidak merespons suaminya sama sekali. Subjek I juga mengatakan bahwa
suami juga menilainya tidak excited dan cenderung berekspresi kosong
saat sedang berhubungan seksual.
“Katanya tuh aku nih.. apa ya.. kayak nggak excited gitu.. Pasif
lah istilahnya. Nggak banyak ngapa-ngapain. Ya aku sadar sih
kalau aku emang sering gak ngerespons dia.. Bahkan ekspresipun
katanya kayak kosong banget gitu.” (Subjek I, Line 199-203)
“Saat aku sama suami have sex gitu kan.. kita nggak.. aku benerbener masa bodoh gitu loh.. nggak.. bener-bener cuek.. cuek
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
banget kayak gitu tuh yang bener-bener nggak bisa ngerasain apaapa.. nggak ngerespon gitu tuh.” (Subjek II, Line 233-237)
5. Konflik Dengan Suami
Hal-hal kecil dan sepele bisa memicu konflik di antara kedua subjek
dan suami. Ketidaknyamanan dan perasaan malas yang terbaca juga sering
menjadi penyebab pertengkaran.
“Berantem itu ya karena hal-hal kecil sih.” (Subjek I, Line 160)
“Kadang ya karena kita nggak nyaman itu kebaca ama dia. Trus
kadang ya omongan kita kurang berkenan di hati di ya kayak kayak
gitu itu masih.” (Subjek I, Line 142-145)
“Ya banyak sih.. Kadang.. apa ya.. hal-hal kecil yang nggak penting
kayak gitu tuh yang bisa bikin berantem.. adu mulut.. trus bantahbantahan gitu.. karena aku juga.. apa ya.. mungkin karena aku nggak
nyaman.. nggak nyaman sendiri sih di relasi itu jadi kayak.. aku tuh
males gitu untuk ngalah.. Jadi ya.. kadang hal kecil aja gitu bisa.. suka
bisa bikin berantem..” (Subjek II, Line 156-163)
Selain itu, subjek I sering bertengkar dengan suami karena keinginan
bercerai yang ditolak dan karena perbedaan cara mendidik (mengasuh) anak.
Suami yang suka bertengkar di depan anak-anak juga menjadi konflik
tersendiri. Subjek I dan suami yang seharusnya sudah akur bisa menjadi
bertengkar kembali karena hal ini. Subjek I sudah berusaha memperingatkan
untuk tidak lagi melakukan hal tersebut, akan tetap suami masih terus
mengulanginya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
“Kadang karena masalah anak-anak yang e maunya aku tuh anakanak kayak gitu.. dia nggak kayak gitu.. Trus juga kalau.. e ngomel dia
suka depan anak, aku suka marah.. ya pokoknya kayak kayak gitu.”
(Subjek I, Line 160-164)
Di sisi lain, subjek II pernah bertengkar dengan suami karena suami
melakukan hubungan seksual terhadap subjek II saat dirinya tidak sadarkan
diri (tidur). Hal ini membuat subjek merasa sangat marah, tidak terima dan
sakit hati karena suami memperlakukannya seperti barang. Apalagi hal
tersebut membuatnya hamil dan hal ini berarti telah melanggar kesepakatan
yang telah dibuat bersama, yaitu tidak memiliki anak kedua sampai subjek II
dan suami sama-sama siap. Karena belum merasa siap dan merasa tidak
terima
akan
kenyataan
sepengetahuannya,
subjek
bahwa
II-pun
dirinya
hamil
melakukan
anak
kedua
tanpa
banyak
cara
untuk
menggugurkan kandungannya, misalnya dengan meloncat-loncat dan makan
sembarangan. Keinginannya tersebut tercapai karena tak lama kemudian ia
mengalami pendarahan. Hal ini membuat suami marah besar terhadap subjek
II dan konflik barupun muncul di antara mereka.
Saat sedang bertengkar dengan suami, kedua subjek hanya akan adu
mulut dan saling membantah satu sama lain, kemudian diam-diaman. Tidak
ada kekerasan fisik yang muncul saat kedua subjek berkonflik dengan suami.
“Iya.. saling ngomel gitu trus nanti kalau capek akhirnya ya diemdieman, jutek-jutekan satu sama lain (Subjek I, Line 166-167).
Alhamdulillah nggak pernah main tangan sih dia nya. Jadi ya cuma
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
sebatas marah-marahan.. bentak-bentakan gitu..(Subjek I, Line 169171)”
“Kita sama-sama keras trus biasanya yang apa.. nggak ada yang mau
ngalah trus bantah-bantahan kayak gitu.. tapi yaudah diemdieman..(Subjek II, Line 174-176) kalau main fisik gitu sih dia nggak..
dia nggak pernah ngelakuin itu sih sampe detik ini..” (Subjek II, Line
167-169)
Meskipun demikian, subjek I mengatakan bahwa saat sedang
bertengkar dengan suami, subjek dan suami akan saling memperebutkan anak.
Subjek berusaha membawa anak-anak bersembunyi di kamar karena jika tidak
suami akan menggunakan anak-anak sebagai “senjata” untuk membuat subjek
mengalah. Salah satu contohnya adalah ketika suami membawa salah satu
anak mereka ke luar kota saat mereka sedang bertengkar.
Subjek I mengatakan bahwa suami seringkali akhirnya mengalah.
Biasanya, subjek I cenderung tidak mau mengalah dan tetap kekuh pada
pendapatnya sendiri saat sedang berkonflik dengan suami. Akan tetapi, pada
saat tertentu, ia harus melakukannya demi anak-anak.
“Aku kalau berantem ama suami itu nggak pernah yang namanya aku
negur duluan nggak pernah. Aku masih kekeuh sama hati aku sendiri.
Nggak bakal aku negur duluan. (Subjek I, Line 151-154) Tapi kadang
aku terpaksa buat ngalah dari suami ku. Soalnya suami tuh seringkali
kalau berantem pakai senjatanya itu anak-anak.. Dia tau kalau aku
lekat banget sama anakku.. Gampang luluh.. (Subjek I, Line 585-588)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Jadi kan terpaksa aku yang ngalah, walaupun aku ngerasa nggak
salah, sekeras-kerasnya aku kalau sudah soal anak aku pasti nurunin
ego.” (Subjek I, Line 595-597)
Berbeda dengan subjek I, saat terjadi konflik di antara subjek II dan
suaminya, tidak ada satupun di antara mereka yang mau mengalah dan
meminta maaf duluan. Meskipun demikian lama kelamaan keadaan akan
membaik dengan sendirinya, dimulai dari suami yang berpura-pura tidak
terjadi apa-apa (pertengkaran) di antara mereka.
“Mau berantem-berantem kayak gimanapun, dia duluan yang lamalama berusaha kayak.. nggak ngalah minta maaf gitu tapi pura-pura
baik-baik aja lah.. pura-pura nggak habis berantem, nggak ada apaapa.. (Subjek II, Line 808-813) Lama-lama baik sendiri sih kayak
gitu” (Subjek II, Line 176-177)
Meskipun ada cukup banyak konflik di pernikahan, kedua suami samasama berusaha mempertahanakan pernikahan mereka dan
tidak ingin
pernikahan tersebut berakhir. Subjek II mengatakan bahwa suami tidak ingin
bercerai
karena
tidak
mau
dipandang
sebagai
lelaki
yang
gagal
mempertahankan rumah tangganya sendiri. Selain itu, hal ini juga dikarenakan
suami menyadari bahwa perceraian akan berdampak bagi banyak orang,
terutama anak-anak.
“Dia pernah bilang sama aku kalau dia nggak mau sampai kita cerai,
mau usahain gimanapun caranya kita bisa bertahan gitu. Dia nggak
mau dibilang cowok gagal yang nggak bisa jagain rumah tangganya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
sendiri.. Ya kek-kek gitu lah.. Mungkin itu sih yang bikin dia bertahan..
Lebih ke ego nya dia, takut dipandang jelek. (Subjek II, Line 793-799)
Karena anak-anak juga sih menurutku. Karena kan dia juga sadar
kalau perceraian tuh pasti berdampak pada banyak orang. Nggak
cuma antara aku dan dia doang. Ya anak-anak terutama karena kan
mereka yang paling dekat dari kita berdua.” (Subjek II, Line 801-805)
6. Kehadiran Anak
Kedua subjek mengungkapkan bahwa relasi mereka dengan anak-anak
cenderung biasa saja dan tidak ada yang aneh. Bahkan, mereka berdua samasama lebih dekat dengan anak-anak dibandingkan dengan suami. Kedua
subjek selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka.
Subjek II mengatakan bahwa ia mencintai anaknya sepenuh hati dan hal
tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan orientasi seksualnya.
Kehadiran anak di dalam pernikahan memberikan dampak yang positif
bagi diri kedua subjek. Menurut subjek I, anak memberikan motivasi dan
semangat untuk menjadi kuat dan bertahan.
“Tapi semenjak ada anak-anak ya udah e.. udah.. udah ngerasa.. ah
ini motivasiku.. aku.. aku bertahan demi anak-anak itu mulai.. itu
mulai memunculkan semangat.” (Subjek I, Line 360-363)
Subjek II juga merasakan hal yang sama dengan subjek I. Selain itu,
subjek II juga mengatakan bahwa anak merupakan pelarian agar tidak terlalu
berfokus pada masalah dan merupakan penghibur saat sedang marah, capek
dan down.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
“E.. ya aku ngerasa lebih kuat aja sih.. maksudnya jadi kayak aku
punya alasan gitu untuk bertahan.. aku punya alasan untuk e.. bisa
kuat gitu loh.. Maksudnya kayak kalau misalnya e.. apa ya.. ya aku
ngerasa mereka jadi kekuatan sih buat aku gitu.. yang saat aku lagi
marah.. saat aku lagi down gitu mereka ada. Paling nggak mereka
bisa menghibur apa namanya menghibur aku gitu loh.. meskipun apa
namanya ya dengan situasi kayak gini ya aku masih bersyukur punya
mereka kayak gitu. (Subjek II, Line 365-374) Ada anak gitu juga jadi
kayak semacem aku punya pelarian gitu.. nggak.. nggak terlalu fokus
ke masalahku gitu” (Subjek II, Line 327-329)
Bagi kedua subjek, kehadiran anak juga berpengaruh pada pola konflik
dengan suami. Semenjak anak hadir di pernikahan mereka, subjek I dan II
harus menutupi pertengkarannya dengan suami dan berusaha menunjukkan
bahwa ia dan suami memiliki hubungan yang baik-baik saja. Hal ini
dikarenakan anak-anak subjek semakin lama semakin dewasa, sehingga
semakin mengerti emosi dan hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Subjek II takut
pertengkarannya dengan suami memberikan dampak buruk bagi anak-anak.
Ketakutan tersebut juga membuat
subjek II menjadi harus lebih pintar
mengontrol emosi dan harus sembunyi-sembunyi jika ingin menangis. Subjek
II menyadari bahwa anaknya akan langsung sedih apabila melihat dirinya
sedang menangis dan ia tidak ingin hal ini terjadi. Hal ini dapat dibuktikan
dari pernyataan subjek sebagai berikut :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
“Setelah ada anak sih.. lebih harus bisa mengontrol emosi sih.. Jadi
kayak.. e ya iya sih aku emang sering berantem gitu sama suami sering
ini.. tapi karena udah ada anak.. ud udah gede.. apalagi yang satu
udah gede lah udah tujuh tahun gitu.. dia udah ngerti. Maksudnya..
sedih.. seneng.. marah.. gitu dia udah gitu emosi-emosi kayak gitu..
Jadi kayak saat aku marah.. saat aku berantem ya sebisa mungkin aku
nutupin
di
depan
mereka
gitu..
Aku
nggak
berani
untuk
memperlihatkan kalau kita.. aku sama suami tuh nggak baik-baik aja
gitu. Itu yang masih ditutupin sih kalau di depan mereka gitu. (Subjek
II, Line 340-351) Kan sekarang udah ada anak jadi kan mesti
sembunyi-sembunyi gitu.. Nggak bisa juga kamu mau nangis ya nangis
aja itu nggak bisa juga. Kayak gitu.. Aku juga nggak mau gitu terus
mereka ngeliat aku nangis terus mereka juga ikutan jadi sedih gitu..”
(Subjek II, Line 423-427)
Berbeda dengan suami subjek II yang cenderung mau bekerja sama
dalam hal menyembunyikan konflik dari anak, suami subjek I cenderung tidak
kooperatif. Subjek I sudah memperingatkan suami untuk tidak bertengkar di
depan anak-anak, akan tetapi suami terus mengulanginya. Hal ini membuat
keinginan subjek I untuk bercerai dari suaminya semakin kuat. Mulanya,
subjek I masih mau mempertahankan pernikahannya karena menyadari bahwa
perceraian akan berdampak besar bagi banyak orang. Akan tetapi, situasi
berubah setelah kedua anaknya bertambah usia. Berdasarkan penuturan subjek
I, semakin lama, anak semakin paham akan apa yang terjadi di antara subjek
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
dan suaminya. Hal ini membuat subjek I merasa bahwa pernikahan yang tidak
sehat akan lebih mengganggu psikologis anak dan ia tidak mau hal ini terjadi.
Saat ini, subjek I memiliki alasan yang lebih kuat untuk bercerai daripada
bertahan. Hal ini terlihat dari perkataan subjek sebagai berikut :
“Sekarang akhirnya lebih mikirin ke anak-anak ya. Mikirin anakanak.. Trus e.. karena anak-anak sudah besar, trus sudah ngerti kita
nggak mungkin berantem terus kan.. Disitu aku mulai.. kayaknya
nggak bisa dipertahanin lagi ini.. Yang awalnya aku berusaha ya udah
aku pertahanin.. aku pertahanin gitu.. Nah sekarang ini aku udah.. aku
udah berusaha untuk e.. bilang ke dia kalau emang sama-sama nggak
nyaman ya udah maunya apa.. Kalau aku sih maunya kayak gini.. Nah
dia ternyata nggak mau yang kayak gitu kan.. Yaudah.. Cuman.. e..
aku masih berusaha untuk.. e.. lepas aja dari dia daripada psikolog
anak kena kan.. Kita berantem terus.. berantem terus.. Otomatis kan
ke.. ke ini anak kena. Akhirnya ke situ sih sekarang.” (Subjek I, Line
334-347)
7. Dampak Pernikahan
a. Perasaan dan Pikiran Negatif Diri
Jika dilihat secara menyeluruh, pernikahan memberikan banyak
dampak negatif bagi diri kedua subjek di dalam pernikahan ini. Subjek I
mengaku merasa terpaksa, tidak bahagia, putus asa dan terkekang. Selain
itu, pernikahan ini membuat subjek I berpikir bahwa dirinya tidak berarti
dan hubungannya dengan suami adalah sesuatu yang sia-sia. Ia sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
berusaha untuk bertahan, akan tetapi masih selalu ada konflik yang muncul
di antara subjek I dan suaminya yang membuat segalanya menjadi
semakin berat.
“Aku kayaknya semakin ngerasa.. aduh kayaknya hubungan ini
kayak sia-sia gitu lho. Kayak sia-siaaa banget. Aku udah berusaha
untuk mencoba bisa bersama gitu, tapi ternyata ada aja konflikkonflik apa.” (Subjek I, Line 236-239)
Pernikahan dengan suami juga membuat subjek I mengalami
banyak ketakutan, misalnya ketakutan bahwa jati dirinya terbongkar,
perselingkuhannya ketahuan dan kehilangan anak-anaknya.
“Karena dia selalu pakai anak-anak sebagai senjata ini juga
makanya aku lebih hati-hatiiii banget biar rahasiaku nggak
kebongkar. Takutnya nanti gara-gara ini anak-anakku malah
diambil, jadi pisah aku sama anak-anak. Takut aku. Kalau mau
cerai gitu juga aku harus pintar-pintar cari celah, jangan sampai
bikin orang lain curiga.” (Subjek I, Line 603-611)
Tidak berbeda jauh dari subjek I, pernikahan membuat subjek II
merasa tertekan, lelah, muak, dan jenuh karena ia harus berpura-pura
bahagia dan baik-baik saja berhadapan setiap hari dengan sesuatu yang
membuatnya tidak nyaman.
“Karena apa.. ya aku emang aku nggak nyaman kan.. Pada
dasarnya nggak nyaman.. Jadi ya gimana sih kalau nggak nyaman
melakukan sesuatu tapi kamu harus melakukan itu gitu.. Dan itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
setiap hari.. Dan kita harus serumah segala macem.. Jadi benerbener tertekan banget gitu..” (Subjek II, Line 317-322) Kalau..
sebenernya ngerasanya capek sih.. capek banget gitu.. Maksudnya
kayak.. di depan.. di depan semua orang.. di depan keluarga
terutama kamu harus.. kayak berusaha untuk nunjukin kalau aku
bahagia.. aku baik-baik aja.. aku nggak ada masalah kayak gitu..
capek.. capek untuk bersikap kayak gitu tuh capek banget.. ..
Apalagi kalau emang kamu bener-bener nggak nyaman gitu..
Rasanya tuh bener-bener jenuh.. muak.. pengen pergi gitu..“
(Subjek II, Line 378-387)
b. Perasaan Terhadap Orang Lain
Bagi kedua subjek, pernikahan memunculkan perasaan kasihan
terhadap orang lain. Pada subjek I, perasaan tersebut ditujukan pada kedua
anaknya dan suami. Ia merasa kasihan dengan anak-anak karena terusterusan bertengkar dengan suami. Pertengkaran tersebut seringkali
membuat anak menjadi bertanya-tanya. Di sisi lain, subjek I juga merasa
kasihan dengan suami karena terus-terusan ia bohongi.
“Aku yang nggak senang itu kalau dia mau berantem depan anakanak enjoy masih. Nah aku nggak suka. Kalau berantem jangan
depan anak-anak kan kasian anak-anaknya.” (Subjek I, Line 797800)
“… kita juga nutupin dia juga dibohongin kan kasian ya.” (Subjek
I, Line 245-246)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Berbeda dengan subjek I, subjek II merasa kasihan dan tidak tega
pada orang-orang yang pernah atau akan menjadi pacar perempuannya. Ia
mengatakan bahwa orang-orang tersebut pasti merasa sangat cemburu,
sakit hati dan tertekan. Kondisinya yang telah menikah tentu terasa sangat
tidak adil bagi pacar subjek II.
“Aku juga merasa nggak adil gitu. Kasian juga kan dia nya.
Mungkin kalau aku ada di posisi dia juga pasti bakal sakit hati
banget gitu. Aku sama suamiku tiap hari.. ya meskipun aku juga
tertekan tapi tiap hari gitu kan ya siapa sih yang nggak cemburu
kayak gitu.” (Subjek II, Line 503-509)
c. Konflik Intrapersonal
Kedua subjek memiliki konflik intrapersonal yang berbeda satu
sama lain. Subjek I memiliki beberapa konflik di dalam dirinya. Yang
pertama, subjek I cenderung mengalami konflik diri terkait hubungan
seksual yang dijalani dengan suaminya. Ia merasa harus melakukan
hubungan seksual dengan suaminya karena hal tersebut merupakan
kewajibannya sebagai seorang istri. Akan tetapi, di sisi lain, hubungan
seksual tersebut memunculkan perasaan bersalah terhadap pacar
perempuannya.
“Makanya kadang.. kan kita udah ngejalanin hubungan sama
cewek gitu.. trus pas.. berhubungan intim sama suami mikirnya
ngerasa bersalah.. aduh aku kok malah kayak gini. Aku ngecewain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
dia nih.. kadang ada perasaan kayak gitu.” (Subjek I, Line 910914)
Konflik yang kedua adalah subjek I merasa bahwa ia tidak bisa
mengatakan hal yang sejujurnya pada suaminya karena kejujuran itu akan
berdampak buruk padanya, misalnya mengenai orientasi seksual dan
perselingkuhannya. Meskipun demikian, ia merasa kasihan karena suami
terus menerus ia bohongi. Subjek I juga merasakan konflik batin ketika ia
menjauhkan anak-anak dari ayah mereka saat sedang bertengkar. Hal ini
dikarenakan ia merasa bersalah pada anak-anaknya tersebut.
“Pas pergi awal-awal Reynan masuk TK itu iya nangis. Kadang
“ayah.. ayah..” Kalau sudah ayah..ayah.. gini kadang ngerasa
bersalah sih.” (Subjek I, Line 716-718)
Hal yang berbeda dirasakan oleh subjek II. Konflik yang dirasakan
subjek II muncul karena adanya keinginan meninggalkan kehidupan saat
ini dan bercerai dari suami supaya bisa bebas menjadi diri sendiri dan
mulai membahagiakan diri sendiri. Sayangnya, keinginan tersebut
bertentangan dengan rasa tanggung jawabnya terhadap kedua anaknya.
“Rasanya tuh pengen.. bener-bener pengen.. pergi gitu.. ninggalin
semua-semuanya terus pengen ngebahagiain diri sendiri.. gitugitu.. pengennya sih gitu.. cuman ya gimana nggak bisa gitu juga
karena sekarang aku sudah punya anak.. aku punya tanggung
jawab di situ..” (Subjek II, Line 388-393)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
Selain itu, keinginan itu juga diikuti oleh perasaan tidak yakin
bahwa setelahnya ia bisa bebas dari paksaan orangtua. Menurut subjek II,
di usianya yang sudah dewasa, orangtua memang seharusnya tidak lagi
ikut campur dalam kehidupan anaknya. Akan tetapi, ia tidak yakin bahwa
hal itu bisa dilakukan oleh kedua orangtuanya.
“Misal aku cerai sekarang gitu.. e.. apa iya aku terus bisa bebas
dari orangtua gitu. Ya emang harusnya sih dengan umur aku
kayak gini tuh harusnya orangtua tuh nggak ik.. nggak seharusnya
ikut campur gitu dengan.. dengan.. e apa namanya.. dengan apa
yang aku jalanin gitu. Aku udah dewasa.. aku udah punya hak
untuk menjalankan apapun yang aku mau.. seharusnya kayak gitu..
nggak ada ikut campur. Tapi kan ya namanya orangtua ya teteplah
orangtua gitu. Kita nggak tau mes.. misalnya pun aku bisa cerai
sekarang.. lah entar trus dinikahin gitu sama yang lain dengan
alasan macem-macem ya sama aja bohong kan.” (Subjek II, Line
624-637)
d. Relasi Sosial
Kedua subjek mengatakan bahwa pernikahan membuat mereka
memiliki beberapa sikap negatif terhadap orang di sekitar. Subjek I
mengaku menjadi pribadi yang lebih egois setelah menikah.
“Kadang kelihatan lebih egoisnya.. karena kan memang semua itu
nggak sesuai sama hati ya.. Itu kan kayak keterpaksaan.. Jadi ada
aja di mata itu yang salah..” (Subjek I, Line 208-210)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Sementara itu, subjek II merasa menjadi pribadi yang lebih cuek,
jutek dan tidak peduli pada orang lain selain orang-orang yang dia sayang.
Subjek II mengatakan bahwa dirinya yang sekarang sangat berbeda dengan
dirinya yang dulu. Pernikahan dan perlakuan yang tidak adil dari orangorang sekitar membuatnya merasa tidak perlu berbaik hati pada mereka.
“Aku ngerasa kayak aku lebih cuek aja sih.. lebih jutek kali ya ke
orang-orang gitu. Kayak ke orangtua.. ke suami apalagi gitu.. ya
ke banyak orang lah. Rasanya tuh lebih cuek aja. Padahal aku sih
ngerasanya sebelumnya aku nggak kayak gini gitu, cuman.. kayak
aku jadi ngerasa.. kok orang-orang dan keadaan tuh nggak adil
tuh loh ke aku. Ya ngapain juga aku harus peduli sama orang kan.
Kecuali ya sama orang-orang yang emang aku sayang. Misalnya
kayak mantanku yang terakhir itu.. trus ama anak-anak. Jelas beda
lah jadinya.” (Subjek II, Line 583-594)
Dalam hal relasi sosial, pernikahan juga membuat subjek II
menjadi tidak memiliki teman bercerita seperti sebelumnya. Sebelum
menikah, subjek II bisa selalu berlari ke komunitas LGBT untuk meminta
bantuan atau sekedar berkeluh kesah mengenai orientasi homoseksualnya.
Akan tetapi, sekarang ia tidak lagi dekat dengan teman-teman komunitas
karena merasa takut, tidak diterima, selalu dijudge dan tidak dimengerti
ketika bercerita kepada mereka. Bagi teman-teman komunitas, menuruti
paksaan orangtua untuk menikah adalah pilihannya sendiri. Oleh sebab itu,
ia harus menanggung semua risiko yang menyertainya. Hal ini bertolak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
belakang dengan keyakinan subjek II. Menurut subjek II, situasi yang ia
hadapi tidak sesederhana yang dibayangkan teman-temannya.
“Sebelum aku nikah kayak gitu tuh aku masih.. aku punya masalah
apapun gitu aku bisa lari ke temen-temen komunitas gitu.. temen
komu.. temen komunitas tuh yang tau gitu tau posisiku gimana.. tau
aku tuh siapa.. gitu gitu.. aku at least aku punya tempat untuk
cerita dan punya dukungan kayak gitu. Tapi kalau dengan posisi
sekarang gitu aku masih jadi rad.. jadi.. takut gitu loh kalau mau
cerita ke orang.. Soalnya aku udah nggak.. aku udah merasa nggak
diterima gitu dari awal. Pasti mereka tuh yang bilang.. kayak.. aku
udah dijudge duluan gitu loh dari awal. Maksudnya kadang bilang
aku menikah terpaksa kayak gitu dan bukan pe.. bukan itu
keinginan ku kayak gitu tuh mereka malah yang, lah apa namanya
kalau memang bukan keinginanmu kenapa akhirnya nrima untuk
mau menikah. Kenapa kamu nggak menolak.. Gitu gitu.. padahal
kan itu nggak sesimple itu gitu loh masalahnya. Dan.. makanya
aku ngerasa.. wah aku udah dijudge duluan nih sebelum aku ini..
jadi agak males sih.” (Subjek II, Line 560-580)
e. Relasi Homoseksual
Kedua subjek mengatakan bahwa pernikahan membuat relasi
homoseksual menjadi terhalang. Subjek I bercerita bahwa ia harus
sembunyi-sembunyi dan pintar-pintar mencari alasan supaya bisa
menemui pacar perempuannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
“..kayak terganggu aja sih hubungan kita dengan sesama cewek e
pas.. karena adanya suami. Lebih nggak bebas.. lebih terkekang..
Kalau mau kemana-mana kan mesti harus laporan dulu..” (Subjek
I, Line 444-449)
Hal yang sedikit berbeda diutarakan subjek II. Subjek II
mengatakan bahwa pernikahan membuatnya terpaksa putus dengan pacar
perempuannya. Hal ini dikarenakan pacarnya tersebut merasa cemburu dan
tidak tahan dengan kondisinya yang sudah menikah apalagi memiliki anak
yang masih kecil.
“Awal-awal tuh sempet sih punya pacar gitu tapi akhirnya ya
putus karena ya dia cemburu.. nggak tahan gitu dengan kondisi ku
yang istilahnya udah menikah dan emang nggak adil kan posisinya
gitu..” (Subjek II, Line 497-500)
Setelah putus dengan pacarnya, subjek II merasa harus
mempertimbangkan banyak hal apabila ingin menjalin relasi baru dengan
orang di luar pernikahan. Relasi ini akan sangat sulit bagi baik subjek II
maupun kekasihnya. Selain itu, apabila relasi di luar pernikahan ketahuan,
ia akan diceraikan dan berisiko kehilangan anak-anaknya, mengingat
LGBT belum begitu diterima di Indonesia.
“Misalnya sempet ketahuan gitu aku lesbian terus diceraiin gitu..
bisa-bisa juga hak as.. hak asuh anak juga jatuh ke apa namanya
ke suami aku jadinya kan.. karena posisi di Indonesia kan LGBT
tau sendiri belum bisa diterima kan.” (Subjek II, Line 525-529)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
8. Strategi Coping
Kedua subjek memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi stress
dan tekanan dari luar maupun dari dalam diri. Subjek I cenderung menyiksa
dirinya sendiri. Ia akan mengurung diri, banyak menangis, tidak mau makan
dan tidak mau melakukan banyak hal.
“Lebih banyak nangis, trus ngurung diri. Trus.. ya lebih ke nyiksa diri
ya.. Nggak mau makan.. Nggak mau apa gitu.. Memang bener-bener
di.. nyiksa diri lah..” (Subjek I, Line 275-277)
Saat sedang dalam masalah, subjek I membutuhkan bantuan orang
lain, yaitu pacar perempuannya, untuk bisa merasa lebih baik. Subjek I biasa
bercerita dengan pacar perempuannya tersebut karena pacarnya tersebut selalu
mendukung dan menyemangatinya. Selain itu ia juga merasa nyaman bercerita
dengan pacarnya karena pacarnya merupakan orang yang bijaksana, bisa
menjadi penengah dan bisa memberi solusi.
“Selama ini sih kalau baik-baikin sendiri itu belum bisa sih.. Tapi ya
paling yang.. apa.. e.. paling ya pacarku ada yang ngasih support ku
lah.. nggak usah kayak gitu. Kamu kenapa kayak gini.. kayak gini..
gitu jadi support juga. Dia lebih mensupport sih.. Kamu nggak boleh
kayak gitu.. Ngasih semangatlah intinya.” (Subjek I, Line 510-515)
Berbeda dengan subjek I yang sering bercerita pada pacar, subjek II
merasa bahwa ia tidak dapat melakukan apapun dan tidak akan mendapat
dukungan darimanapun sehingga subjek II memilih menangis sendiri saat
sedang merasa capek, muak dan jenuh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
“Ya paling nangis sih.. Paling cuman bisanya nangis senangisnangisnya kayak gitu..” (Subjek II, Line 418-419)
Pada saat tertentu, subjek II akan berusaha menyibukkan diri dengan
membaca, bekerja dan fokus pada anak-anak untuk mengalihkan perhatian
dari emosi negatif yang dirasakan. Hal tersebut dibuktikan dari pernyataan
subjek sebagai berikut :
“Ya nyibukin diri sendiri aja sih.. maksudnya aku juga orangnya suka
baca.. ya aku baca.. Apapun sih.. Apapun yang bisa menyibukkan diri
aku atau kerja.. ya apapun sih.. yang penting e.. yang penting itu bisa
ngalihin perhatian aku gitu.. Atau ya aku juga sekarang punya anakanak aku bisa fokus juga mikirin mereka gitu.” (Subjek II, Line 457463)
9. Orientasi Masa Depan
Kedua subjek memiliki angan-angan untuk bercerai dari suaminya dan
telah mempersiapkannya sejak saat ini. Meskipun tetap berusaha menjalani
hidup apa adanya dan berdamai dengan keadaan, kedua subjek diam-diam
memikirkan cara (alasan) untuk meminta cerai tanpa menimbulkan
kecurigaan.
Subjek I berusaha membuat keluarganya mendukung perceraian
dengan cara menceritakan hal-hal buruk tentang suami, misalnya dengan
mengungkapkan bahwa suami melarangnya pulang ke rumah ibunya. Setelah
bercerai dari suami, subjek berharap bisa hidup bertiga saja dengan kedua
anaknya. Ia merasa bahwa hal tersebut bisa membuatnya lebih menikmati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
hidup. Untuk mencapai keinginannya tersebut,
subjek I mempersiapkan
modal untuk hidup mandiri tanpa suami. Ia mengumpulkan uang gajinya
secara diam-diam dan uang tersebut ia gunakan untuk membeli sebidang
tanah. Ia juga menjaga agar tidak terikat dengan suami dan keluarganya
dengan cara menolak seluruh harta kekayaan yang ditawarkan. Meskipun
bercerai dari suaminya, subjek I berharap bahwa hubungannya dengan suami
akan tetap baik-baik saja dan tetap seperti keluarga. Subjek I mengatakan
bahwa suami dan anak-anak bisa tetap saling bertemu kapanpun mereka mau.
Ia sangat tidak ingin anak-anak menjadi korban akibat perceraiannya dengan
suami.
Subjek II tidak melakukan hal yang dilakukan oleh subjek I. Subjek II
cenderung lebih berusaha untuk mempersiapkan anak-anaknya untuk kuat
menghadapi perceraian yang mungkin terjadi. Ia juga berusaha memberi
pengertian kepada anak-anak tentang keadaan yang sebenarnya. Hal ini
dilakukan untuk mengantisipasi munculnya dampak negatif perceraian
terhadap anak-anaknya.
Kedua subjek berencana mengungkapkan orientasi seksual kepada
anak-anaknya saat mereka sudah lebih dewasa. Saat ini, kedua subjek merasa
bahwa anak-anak masih terlalu kecil dan belum paham jika diberitahu.
“Sewaktu-waktu ada keinginan gitu biar anak-anak biar tau ya.. Tapi
untuk saat ini belum.. karena umurnya belum.. belum mencukupi.
Belum bisa diajakin ngomong kayak gitu.. Susah nanti jelasinnya. Tapi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
mungkin dengan berjalannya waktu aku bakal ngasih tau ke anakanak biar dia tau oh kayak gini ibunya.” (Subjek I, Line 395-400)
“Kalau ke anak mungkin saat dia sudah besar.. saat dia sudah
mengerti aku pengen sih.. aku pengen cerita ke dia..” (Subjek II, Line
481-483)
Meskipun demikian, alasan yang mendorong kedua subjek untuk
memberitahu anaknya berbeda satu sama lain. Subjek I ingin bisa menjadi diri
sendiri di hadapan anak-anaknya dan tidak ada yang ditutupi. Ia ingin anakanaknya bisa menerimanya apa adanya. Hal ini tampak pada pernyataan
sebagai berikut :
“Karena.. kalau anak.. Jadi kalau seandainya.. e apa ya.. Aku
pengennya anak-anakku nerima aku apa adanya tanpa aku harus
menutupi kayak gitu. Cukup yang lain nggak tau tapi aku pengen
orang terdekat aku itu tau..” (Subjek I, Line 466-470)
Berbeda dengan subjek I, subjek II merasa bahwa pengungkapan ini
bisa menjadi sebuah sarana yang membuat anak-anaknya memiliki wawasan
yang lebih luas, berpikiran terbuka, bisa toleransi dan tidak diskriminasi.
“Aku pengen mereka punya wawasan yang luas. Aku pengen mereka
punya pemikiran yang luas. Open mind.. dan mereka bisa menghargai
dan belajar toleransi gitu kalau.. ini loh di dunia tuh nggak cuma apa..
semuanya tuh cuman bisa dilihat dari satu sisi. Tapi banyak hal lain
gitu loh. Aku pengen mengajarkan. Aku pengen banget bisa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
mengajarkan mereka untuk toleransi dan nggak diskriminasi.” (Subjek
II, Line 481-491)
D. Pembahasan
Kedua subjek menyadari orientasi seksualnya sejak masih duduk di
bangku sekolah. Hal ini sejalan dengan penemuan Savin-Williams (dalam Dechaananwong, Tuicomepee & Kotrajaras, 2013) yang menunjukkan bahwa
kebanyakan individu LGBT mulai menyadari orientasi seksual mereka saat berusia
remaja. Kedua subjek pertama kali menyadari bahwa mereka lesbian saat mereka
merasa tertarik secara emosi terhadap perempuan tertentu. Saat ini, kedua subjek
bisa menerima, bahkan cenderung merasa nyaman dan senang dengan identitas
orientasi seksualnya. Meskipun demikian, pada mulanya, subjek II mengalami
penolakan di dalam diri. Hal ini dikarenakan ia masih belum yakin bahwa orang
lain juga sama sepertinya dan bahwa menjadi seorang lesbian bukanlah suatu
kesalahan (dosa). Yang dialami oleh subjek II ini sesuai dengan model
pembentukan identitas yang diutarakan oleh Cass (1979). Menurut Cass (1979),
tahap pertama yang dilalui seseorang dalam pembentukan identitas adalah identity
confusion. Pada tahap ini, individu mulai bertanya-tanya siapa dirinya yang
sebenarnya dan apakah ia berbeda dari orang-orang di sekitarnya. Individu
berusaha melihat dirinya sama dengan lingkungan di sekitarnya sehingga terus
menolak perasaan yang ia rasakan. Subjek II melalui tahapan ini. Ia menceritakan
bahwa hal tersebut terjadi karena saat itu dia belum banyak mengenal tentang
konsep LGBT.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Kedua subjek sama-sama pernah menjalin relasi sesama jenis dan menilai
positif relasi tersebut. Akan tetapi, relasi tersebut tidak dapat berjalan dengan
mulus mengingat budaya Indonesia masih sangat mendiskriminasi homoseksual.
Lingkungan menilai LGBT sebagai sebuah hal yang salah, hina, memalukan, dosa,
aib, tidak benar, terbuang dan tidak bisa diterima. Hal ini sesuai dengan laporan
Global Attitudes Project oleh Pew Research (2013a) mengenai sikap terhadap
homoseksual di Indonesia yang menunjukkan adanya penolakan terhadap
homoseksualitas oleh 93% responden survei dan hanya ada 3% yang bersikap
menerima.
Stigma negatif dan penolakan
membuat kedua subjek memilih untuk
menyembunyikan orientasi seksualnya yang sebenarnya. Sayangnya, keluarga
merasa curiga setelah memperhatikan perkembangan anaknya di lingkungan
sosial. Keluarga kemudian menjodohkan dan memaksa kedua subjek untuk
menikah dengan laki-laki pilihan mereka. Hal ini sesuai dengan penemuan Ross
(dalam Tornello & Patterson, 2011) yang menyebutkan bahwa salah satu alasan
yang paling sering muncul yang membuat seorang homoseksual menikah dengan
lawan jenis adalah karena adanya tekanan dari lingkungan luar, misalnya keluarga
dan teman. Selain itu hal ini juga barangkali berkaitan dengan harapan keluarga
bahwa menikah bisa “menyembuhkan” homoseksualitas yang dimiliki kedua
subjek. Subjek II merasa bahwa memang tidak ada jalan lain selain menuruti
orangtua, akan tetapi di sisi lain, subjek I memiliki alasan lain yang membuatnya
tidak menolak dijodohkan, yaitu untuk memanas-manasi pacar perempuan yang
saat itu sedang berkonflik dengannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Secara garis besar, kedua subjek merasa tidak nyaman di dalam
pernikahan mereka. Hal tersebut terlihat jelas melalui interaksi sehari-hari
maupun melalui hubungan seksual dengan suami. Dalam hal seksual, kedua
subjek sama-sama tidak dapat menikmati hubungan seksual dengan suami dan
merasa tidak nyaman akan kontak fisik tersebut. Bahkan subjek II mengatakan
bahwa hubungan seksual membuatnya merasa tertekan, sedih dan sakit hati.
Sebagai seorang lesbian, hal ini sudah pasti terjadi pada diri kedua subjek. Hal ini
dikarenakan ketertarikan seksual lesbian diarahkan pada sesama jenis, bukan pada
lawan jenis. Saat menikah dengan laki-laki, lesbian tidak akan mampu memenuhi
kebutuhan seksual mereka. Mereka juga tidak mampu mencapai orgasme saat
berhubungan seksual dengan suami (Jay & Young dalam Peplau & Amaro, 1982).
Hal ini disebabkan oleh perbedaan nilai emosional yang diterapkan perempuan
dalam hubungan seksual mereka. Lesbian mengemukakan, dibandingkan dengan
laki-laki, seks dengan sesama perempuan cenderung lebih lembut, lebih intim,
lebih perhatian, lebih menyenangkan, lebih bervariasi dan lebih tidak agresif
(Schaefer dalam Peplau & Amaro, 1982).
Meskipun kedua subjek sama-sama menilai hubungan seksual dengan
suami sebagai sesuatu yang negatif, keduanya cenderung menyikapinya secara
berbeda. Hal ini berkaitan dengan alasan subjek menikahi suaminya. Subjek II
yang menikah secara terpaksa sebisa mungkin menolak dan menghindari kontak
seksual. Berdasarkan hasil penelitian Ross (1971), salah satu masalah yang sering
muncul dalam mixed orientation marriage memang adalah penolakan terhadap
kontak seksual. Meskipun demikian, pada pernikahan subjek II, suami terkadang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
benar-benar memaksa sehingga ia pun tidak bisa mengelak. Hal ini membuat
subjek II seringkali merasa bahwa ia “diperkosa” oleh suami. Subjek I yang
memilih mau dijodohkan cenderung dengan sukarela mau berhubungan seksual
dengan suami, meskipun relasi intim itu dirasakan secara negatif. Subjek I merasa
bahwa hal tersebut merupakan kewajibannya sebagai istri dan sebuah risiko yang
harus ditanggungnya karena memilih menikah.
Tidak hanya dalam hal seksual, ketidaknyamanan juga memunculkan
banyak konflik di antara kedua subjek dengan suami. Relasi cenderung
didominasi oleh pertengkaran-pertengkaran kecil yang berakar dari sikap kedua
subjek, misalnya subjek yang cenderung malas-malasan ketika berinteraksi
dengan suami. Selain itu, konflik-konflik lain yang cukup besar juga muncul di
antara kedua subjek dengan suami masing-masing, contohnya perbedaan cara
mengasuh anak pada subjek I dan pemaksaan dalam hubungan seksual pada
subjek II. Pada dasarnya, munculnya konflik di dalam kehidupan pernikahan
merupakan sesuatu yang tidak mungkin dapat dihindari (Kazmierczak & Plopa
dalam Borchet & Lewandowska-Walter). Konflik bisa terjadi karena perbedaan
sikap, motif, tujuan dan gaya berperilaku pada situasi tertentu. Meskipun
demikian, jika dilihat secara menyeluruh, konflik yang paling dominan dan paling
merusak relasi kedua subjek dengan suami adalah yang disebut dengan silent
conflict. Konflik ini merupakan konflik tersembunyi, non-verbal dan non-fisik.
Silent conflict berbentuk pergulatan batin yang implisit, perlawanan pasif, dan
perasaan terganggu yang tidak terungkap (Rostowska dalam Borchet &
Lewandowska-Walter).
Di
dalam
kasus
kedua
subjek,
silent
conflict
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
memunculkan konflik-konflik baru dan hal ini sebenarnya berakar dari
ketidaknyamanan kedua subjek dalam berelasi dengan suami. Walaupun kedua
suami sudah mengetahui perihal ketidaknyamanan pasangannya, mereka tidak
menyadari bahwa hal tersebut sebenarnya berasal dari orientasi homoseksual yang
dimiliki istri.
Saat sedang berkonflik, subjek I mengatakan bahwa suami seringkali
akhirnya mengalah. Biasanya, subjek I cenderung tidak mau mengalah dan tetap
kekeuh pada pendapatnya sendiri saat sedang bertengkar dengan suami. Akan
tetapi, pada saat tertentu, ia harus melakukannya demi anak-anak. Berbeda dengan
subjek I, saat terjadi konflik di antara subjek II dan suaminya, tidak ada satupun di
antara mereka yang mau mengalah dan meminta maaf duluan. Meskipun demikian
lama kelamaan keadaan akan membaik dengan sendirinya, dimulai dari suami
yang berpura-pura tidak terjadi apa-apa (pertengkaran) di antara mereka.
Berdasarkan hasil wawancara, tidak tampak adanya strategi komunikasi yang baik
dan efektif antara kedua subjek dengan masing-masing suami, terutama dalam
penyelesaian konflik. Kedua subjek cenderung lari dari masalah. Mereka
berbaikan dengan suami tanpa benar-benar mendiskusikan dan menyelesaikan apa
yang sebelumnya membuat mereka bertengkar. Hal semacam ini memberikan
efek yang sangat berbahaya dan mengarahkan pada berakhirnya sebuah relasi
(Kuncewicz dalam Borchet & Lewandowska-Walter).
Kehadiran anak membawa perubahan bagi relasi kedua subjek dengan
suami, terutama dalam hal konflik. Berdasarkan hasil penelitian, bertambahnya
anggota ketiga di antara pasangan suami-istri memang akan membawa perubahan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
dalam sistem organisasi keluarga (Mattessich & Hill dalam Crohan, 1996).
Memiliki anak akan berpengaruh pada pembagian kerja domestik, kekuasaan,
komunikasi dan konflik dalam sistem perkawinan (Cowan & Cowan dalam
Crohan, 1996). Semenjak anak hadir di pernikahan mereka, subjek I dan II harus
menutupi pertengkarannya dengan suami dan berusaha menunjukkan bahwa ia
dan suami memiliki hubungan yang baik-baik saja. Hal ini dikarenakan keduanya
merasa takut pertengkaran dengan suami memberikan dampak buruk bagi anakanak. Data yang didapatkan melalui penelitian ini cenderung sesuai dengan teori
yang menyebutkan bahwa orangtua cenderung menyembunyikan konflik dari
anak mereka. Bagi orangtua, anak harus dilindungi dari apapun yang sekiranya
bisa menyakiti. Oleh sebab itu, konflik suami-istri tidak boleh diungkap
dihadapan anak karena hal tersebut bisa membuat anak terluka. Meskipun keadaan
sebenarnya tidak baik-baik saja, orangtua harus membuat anak merasa bahwa
semuanya baik-baik saja (Waibale, 2013).
Pernikahan memberikan banyak dampak negatif bagi kedua subjek di
dalam pernikahan ini. Dampak tersebut dapat dibagi menjadi dua kategori :
1. Dampak di Dalam Diri
Kedua subjek banyak merasakan emosi-emosi negatif setelah
menikah dengan suami. Subjek I mengaku merasa terpaksa, tidak bahagia,
putus asa, terkekang dan tidak berarti. Selain itu, subjek I merasa bahwa
pernikahan ini adalah sesuatu yang sia-sia. Tidak berbeda jauh dari subjek
I, pernikahan membuat subjek II merasa tertekan, lelah, muak, dan jenuh
karena ia harus berpura-pura bahagia dan baik-baik saja berhadapan setiap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
hari dengan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Secara garis besar,
hasil penelitian ini cenderung sesuai dengan penemuan Wyers (1987).
Wyers (1987) mengatakan bahwa sebagian besar perempuan lesbian yang
menikah dengan lawan jenis cenderung tidak bahagia di dalam pernikahan
mereka.
Pernikahan dengan suami membuat subjek I mengalami banyak
ketakutan,
misalnya
ketakutan
bahwa
jati
dirinya
terbongkar,
perselingkuhannya ketahuan dan kehilangan anak-anaknya. Hal ini sesuai
dengan penemuan Binger (dalam Ben-Ari & Adler, 2010) yang
menunjukkan bahwa banyak homoseksual dalam mixed orientation
marriage cenderung merasa cemas. Kecemasan yang dirasakan berasosiasi
dengan ketakutan antara penemuan atau pengetahuan yang tidak
direncanakan mengenai orientasi homoseksual mereka. Kecenderungan
memendam kebenaran ini membuat konflik ekspresi emosi dan hal ini bisa
menimbulkan penyakit yang berhubungan dengan stress.
Bagi kedua subjek, pernikahan memunculkan perasaan kasihan dan
perasaan bersalah terhadap orang lain. Pada subjek I, perasaan tersebut
ditujukan pada kedua anaknya, pacar perempuannya dan suaminya,
sedangkan pada subjek II, perasaan tersebut ditujukan hanya pada orangorang yang pernah atau akan menjadi pacar perempuannya. Berdasarkan
hasil penelitian Binger (dalam Ben-Ari & Adler, 2010), perasaan bersalah
berasal dari gaya hidup mereka yang tidak asli dan dari penyembunyian itu
sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
2. Dampak di Luar Diri
Kedua subjek mengatakan bahwa pernikahan membuat mereka
memiliki beberapa sikap negatif terhadap orang di sekitar. Subjek I
mengaku menjadi pribadi yang lebih egois setelah menikah. Sementara itu,
subjek II merasa menjadi pribadi yang lebih cuek, jutek dan tidak peduli
pada orang lain selain orang-orang yang dia sayang. Subjek II mengatakan
bahwa dirinya yang sekarang sangat berbeda dengan dirinya yang dulu.
Pernikahan dan perlakuan yang tidak adil dari orang-orang sekitar
membuatnya merasa tidak perlu berbaik hati pada mereka.
Berdasarkan pemahaman peneliti, perubahan sikap kedua subjek
penelitian terhadap lingkungan sosial terjadi sebagai akibat perubahan pola
pikir atau persepsi terhadap dunia luar. Janoff-Bulman (dalam Updegraff
& Taylor, 2000) menjelaskan bahwa individu yang tidak mengalami
pengalaman hidup negatif mampu mengembangkan persepsi positif
mengenai dirinya dan orang lain, serta memegang keyakinan bahwa dunia
merupakan tempat yang adil, pantas, bermakna dan tidak berbahaya.
Ketika pengalaman hidup negatif terjadi, hal tersebut tidak dapat
dipertahankan lagi dan menjadi hancur berantakan. Untuk bisa pulih,
individu mengemban tugas yang cukup berat untuk membangun keyakinan
baru yang mempermudahnya memahami diri dan orang lain. Berhasil
ataupun tidak, persepsi seseorang terhadap diri dan orang lain tentu akan
mempengaruhi sikap dan perilakunya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
Dalam hal relasi sosial, pernikahan juga membuat subjek II
menjadi tidak memiliki teman bercerita seperti sebelumnya. Sebelum
menikah, subjek II bisa selalu berlari ke komunitas LGBT untuk meminta
bantuan atau sekedar berkeluh kesah mengenai orientasi homoseksualnya.
Akan tetapi, sekarang ia tidak lagi dekat dengan teman-teman komunitas
karena merasa takut, tidak diterima, selalu dijudge dan tidak dimengerti
ketika bercerita kepada mereka. Hal ini sesuai dengan penemuan Patterson
(dalam Morris et al, 2002) yang mengatakan bahwa wanita lesbian yang
masih menikah dengan laki-laki atau mereka yang masih kontak dengan
mantan pasangan laki-laki karena hak asuh bersama, sering dibuat merasa
tidak diinginkan di komunitas lesbian.
Kedua subjek memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi stress dan
tekanan dari luar maupun dari dalam diri. Subjek I cenderung menyiksa dirinya
sendiri. Ia akan mengurung diri, banyak menangis, tidak mau makan dan tidak
mau melakukan banyak hal. Saat sedang dalam masalah, subjek I membutuhkan
bantuan orang lain, yaitu pacarnya, untuk bisa merasa lebih baik. Berbeda dengan
subjek I yang sering bercerita pada pacar, subjek II merasa bahwa ia tidak dapat
melakukan apapun dan tidak akan mendapat dukungan darimanapun sehingga
subjek II memilih menangis sendiri saat sedang merasa capek, muak dan jenuh.
Pada saat tertentu, subjek II akan berusaha menyibukkan diri dengan membaca,
bekerja dan fokus pada anak-anak untuk mengalihkan perhatian dari emosi negatif
yang dirasakan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Agustiningsih, 2010), mekanisme
coping dapat digolongkan menjadi dua, yaitu mekanisme coping adaptif dan
mekanisme coping maladaptif. Mekanisme coping adaptif merupakan mekanisme
yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan.
Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara
efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif (kecemasan
dianggap sebagai sinyal peringatan dan individu menerima kecemasan itu sebagai
tantangan untuk diselesaikan). Mekanisme coping maladaptif adalah mekanisme
yang menghambat fungsi integrasi, menurunkan otonomi dan cenderung
menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan / tidak makan,
bekerja berlebihan, menghindar dan aktivitas destruktif (mencegah suatu konflik
dengan melakukan pengelakan terhadap solusi).
Subjek I pada saat tertentu menggunakan strategi coping yang adaptif.
Subjek I berusaha mengurangi kecemasan serta mencari jalan keluar dari
permasalahannya dengan cara meminta bantuan kepada pacar perempuannya.
Meskipun demikian, tak jarang subjek I juga menggunakan mekanisme coping
yang tidak adaptif, dimana subjek I cenderung menyiksa dirinya sendiri saat
sedang memiliki masalah yang cukup berat. Jika mengacu pada teori, subjek II
juga cenderung menggunakan strategi coping maladaptif. Subjek II banyak
menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan sehari-hari ketika saat sedang
memiliki masalah. Hal ini dilakukan supaya ia bisa menghindari berpikir tentang
masalah tersebut sehingga bisa sedikit lebih tenang. Cara seperti ini cenderung
tidak baik dikarenakan masalah yang dihadapi hanya seolah-olah selesai, padahal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
sebenarnya tidak. Akibatnya, masalah yang ada malah semakin bertumpuktumpuk dan pada suatu waktu akan meledak karena tidak tertahankan lagi.
Selain mempengaruhi pola konflik dengan suami, hadirnya anak
sebenarnya juga membuat kedua subjek cenderung lebih kuat menghadapi segala
masalah. Anak menjadi motivasi dan semangat. Selain itu, subjek II juga
mengatakan bahwa anak merupakan pelarian agar tidak terlalu berfokus pada
masalah dan merupakan penghibur saat sedang marah, capek dan down. Meskipun
demikian, anak bukanlah alasan yang cukup untuk membuat kedua subjek
memilih mempertahankan pernikahan mereka. Dengan banyaknya konflik internal
maupun eksternal yang harus dihadapi, kedua subjek di dalam penelitian ini
memiliki angan-angan untuk bercerai dari suaminya dan telah mempersiapkannya
sejak saat ini. Walaupun tetap berusaha menjalani hidup apa-adanya dan berdamai
dengan keadaan, kedua subjek diam-diam memikirkan cara (alasan) untuk
meminta cerai tanpa menimbulkan kecurigaan mengenai status orientasi seksual
mereka. Hal ini akan menjadi suatu kesulitan tersendiri karena di sisi lain, kedua
suami melakukan segala upaya untuk mempertahankan pernikahan mereka karena
tidak ingin pernikahan tersebut berakhir.
Selain rencana untuk bercerai, kedua subjek berencana mengungkapkan
orientasi seksual kepada anak-anaknya saat mereka sudah lebih dewasa. Saat ini,
kedua subjek merasa bahwa anak-anak masih terlalu kecil dan belum paham jika
diberitahu. Meskipun demikian, penelitian yang dilakukan oleh American
Academy of Pediatrics (2005) menemukan bahwa anak-anak yang diberitahu
bahwa orangtua mereka gay, lesbian, atau biseksual pada awal masa kanak-kanak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
cenderung lebih mudah dan lebih mampu menerima berita tersebut daripada
mereka yang pertama kali diberitahu pada saat remaja. Walaupun kedua subjek
sama-sama berencana untuk memberitahu anaknya, alasan yang mendorong kedua
subjek cenderung berbeda satu sama lain. Subjek I ingin agar anak-anaknya bisa
menerimanya apa adanya, sedangkan subjek II merasa bahwa pengungkapan ini
bisa menjadi sebuah sarana yang membuat anak-anaknya memiliki wawasan yang
lebih luas, berpikiran terbuka, bisa toleransi dan tidak diskriminasi.
Jika dilihat secara menyeluruh, situasi kompleks dan problematik yang
terjadi di antara kedua subjek dan suami bukan disebabkan oleh relasi yang tidak
harmonis, melainkan karena orientasi seksual subjek yang tidak pas dengan
pernikahan heteroseksual yang dijalani. Meskipun terkadang subjek merasa tidak
nyaman, pada saat-saat tertentu, subjek bisa bersikap biasa-biasa saja dan
berinteraksi dengan suami layaknya teman. Hal ini didukung oleh perlakuan
suami yang cenderung baik, di luar hal-hal terkait isu seksual. Suami menyayangi,
memperhatikan, memahami dan sering mau mengalah sehingga konflik-konflik
yang munculpun hanya konflik-konflik ringan. Konflik-konflik kecil tersebut
merupakan sesuatu yang wajar karena dua orang yang berelasi intim tidak
mungkin akan selalu memiliki kebutuhan, opini dan harapan yang sama (Guerrero
et al. dalam Brandenberger, 2007).
Penelitian menunjukkan bahwa hubungan seksual bisa menjadi terhambat
karena adanya kemarahan dan kebencian serta tidak adanya kepercayaan,
kenyamanan dan intimasi (Gallagher, 2013). Meskipun demikian, pada
pernikahan kedua subjek, tidak adanya hasrat seksual subjek terhadap suami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
bukan hanya disebabkan oleh tidak adanya rasa nyaman, tapi juga disebabkan
oleh orientasi lesbian yang dimiliki subjek. Hal ini bisa dipastikan mengingat
ketiadaan hasrat seksual tidak ditujukan pada suami saja, melainkan pada laki-laki
manapun. Sejak SMA, subjek tidak pernah merasakan ketertarikan fisik maupun
emosi dengan individu-individu yang berbeda jenis kelamin dengannya.
Subjek yang tidak memiliki hasrat terhadap suami selalu berusaha
menghindari hubungan seksual. Akan tetapi, di sisi lain, suami yang tidak tahu
perihal orientasi lesbian yang dimiliki istrinya tentu tidak memiliki alasan untuk
tidak menuntut hubungan seksual, mengingat hubungan seksual merupakan
sesuatu yang wajar dalam sebuah relasi pernikahan. Hal inilah yang seringkali
membuat subjek merasa tertekan dan muak. Perasaan tersebut kemudian
mempengaruhi sikap subjek terhadap suami.
Di relasi pada umumnya, kesalahpahaman dan ketidaksetujuan selalu bisa
diselesaikan melalui komunikasi aktif (Odukoya dalam Nartey, 2013). Sistem
relasi dapat berfungsi dengan sukses ketika informasi penting secara reguler
dibicarakan bersama (Olson & Defrain dalam Nartey, 2013). Salah satu informasi
penting yang ada di dalam relasi kedua subjek dan suaminya adalah mengenai
orientasi seksual, mengingat isu tersebut berpengaruh besar pada pola relasi di
pernikahan. Akan tetapi, mengkomunikasikan masalah tersebut dengan suami
bukanlah perkara mudah karena orientasi homoseksual merupakan sesuatu yang
masih dianggap tabu dan kontroversional oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
Penolakan, diskriminasi dan dampak negatif lain yang mungkin akan diterima
menghambat kedua subjek mengungkapkan hal yang mendasari ketidakcocokan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
antara suami-istri. Akibatnya, masalah yang sama akan terus berulang karena
tidak adanya penyesuaian yang diperlukan dari kedua belah pihak terhadap
kondisi yang sebenarnya.
E. Learning Point
Berdasarkan penelitian, terlihat cukup jelas bahwa mixed orientation
marriage membawa lesbian dalam situasi yang sangat kompleks. Selain banyak
mengalami emosi negatif, individu terus menerus dihadapkan pada konflik di
dalam diri maupun konflik dengan suami. Kedua subjek yang menikah secara
terpaksa pada akhirnya berusaha untuk keluar dari relasi dengan suami dengan
segala cara, bahkan dengan mengkambinghitamkan suami. Tidak hanya terbatas
pada suami-istri, pernikahan juga mejadikan anak sebagai korban. Anak terus
menerus menjadi saksi pertikaian kedua orangtuanya, belum lagi apabila kedua
orangtua memutuskan untuk bercerai. Meskipun menimbulkan banyak korban,
menurut peneliti, kedua subjek dalam penelitian ini tidak dapat disalahkan,
mengingat pernikahan terjadi bukan karena kehendak mereka. Keterpaksaan
membuat mereka tidak merasa bertanggungjawab untuk mempertahankan
pernikahan sehingga cenderung seenaknya. Dari sini, peneliti mengambil
kesimpulan bahwa apapun yang dipaksakan itu tidak baik hasilnya.
Apabila seorang lesbian menikah dengan lawan jenis, hal tersebut harus
terjadi atas kehendaknya sendiri. Apapun alasan yang mendasari, individu harus
terlebih dahulu menyadari apa yang akan ia hadapi kemudian. Hal ini diperlukan
agar individu mempersiapkan diri dan mempertimbangkan matang-matang apakah
ia mampu berkomitmen dalam menjalani pernikahan yang sudah pasti akan berat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Ketika pernikahan terjadi karena pilihannya sendiri, individu akan lebih mau
berusaha menyesuaikan diri dengan suami sehingga korban-korban dalam mixed
orientation marriage lebih bisa diminimalisir.
Jika dilihat secara lebih luas, pemaksaan untuk menikah ini terjadi karena
adanya stigma negatif terhadap homoseksualitas. Homoseksual dianggap
memalukan, sehingga harus ditutupi dengan cara menikah. Homoseksual adalah
hal yang abnormal, sehingga harus disembuhkan dengan cara menikah. Selain itu,
masih banyak lagi hal-hal negatif dan salah tentang homoseksual yang
berkembang di masyarakat yang mengakibatkan homoseksual terjebak dalam
kehidupan sulit demi mendapatkan penerimaan. Peneliti merasa bahwa
masyarakat harus lebih sadar akan hasil perbuatan diskriminasi yang dilakukan
dan berapa banyak orang yang menjadi korban karena sikap demikian.
Harapannya, budaya Indonesia bisa menjadi lebih terbuka sehingga hal-hal yang
tidak diinginkan bisa dihindari.
Sampai sejauh ini, meskipun masyarakat belum bisa menerima
homoseksualitas, ada banyak kelompok, komunitas atau organisasi yang concern
di bidang LGBT yang sangat mudah ditemui. Kebanyakan kelompok tersebut
menawarkan pengetahuan, dukungan, pendampingan bahkan perlindungan yang
cukup membantu individu-individu LGBT melewati masa-masa sulit. Sayangnya,
ketika seorang lesbian menikah dengan laki-laki, semua support tersebut terhenti
seketika. Kelompok LGBT cenderung tidak dapat melihat situasi yang dihadapi
lesbian dalam mixed orientation marriage secara objektif. Bagi mereka,
dijodohkan maupun tidak dijodohkan, menikah adalah pilihan sendiri sehingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
individu tidak boleh mengeluh dalam menjalani konsekuensi yang ada. Hal ini
tentu membuat individu lesbian merasa tidak nyaman dan merasa tidak dimengerti
karena situasi yang dijalani tidak segampang yang dibayangkan. Ketika dukungan
dan pendampingan tersebut tidak didapatkan, individu bergantung pada dirinya
sendiri dalam mempertahankan persepsi positif mengenai diri dan lingkungan.
Jika gagal, hal ini bisa jadi mengarahkan individu dalam mengembangkan strategi
coping maladaptif. Melihat kondisi saat ini dan menelaah pentingnya kelompok
LGBT sebagai sebuah bentuk dukungan bagi individu membuat peneliti merasa
bahwa kelompok tersebut harus belajar lebih banyak mengenai mixed orientation
marriage. Pengetahuan dan pemahaman tersebut akan membuat komunitas
menjadi jauh lebih terbuka, sehingga bisa menerima secara lebih objektif dan
membantu secara lebih baik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Mixed orientation marriage membawa individu lesbian dalam situasi yang
sangat
kompleks
dan
problematik.
Individu
harus
berhadapan
dengan
ketidaknyamanan karena harus berelasi intim, fisik maupun emosional, dengan
seorang lawan jenis. Hal ini tentu mempengaruhi relasi suami-istri di dalam
pernikahan. Relasi individu dengan suaminya cenderung dingin dan banyak
diwarnai konflik, sehingga memunculkan berbagai emosi negatif di diri individu
lesbian, misalnya perasaan tidak bahagia, putus asa, tertekan, lelah, takut dan lain
sebagainya. Pernikahan di sisi lain juga berdampak pada relasi individu di dalam
lingkungan sosialnya. Terhadap lingkungan secara umum, individu cenderung
bersikap negatif sebagai balasan atas perlakuan yang diterimanya. Dengan
komunitas LGBT, individu cenderung menghindar dan menjauh karena merasa
tidak lagi diterima.
Jika berfokus pada konflik interpersonal, konflik individu lesbian dengan
suami cenderung bervariasi, mulai dari konflik kecil hingga konflik besar dan
berlarut-larut. Bentuk pengungkapan maupun penyelesaiannya pun juga berbeda
satu sama lain. Meskipun demikian, salah satu konflik yang pasti terjadi dalam
mixed orientation marriage adalah adanya ketidakpuasan dan ketidaknyamanan
dalam hubungan seksual.
109
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Individu di dalam penelitian ini belum menemukan cara yang efektif untuk
meregulasi diri dalam menghadapi situasi sulit di pernikahan. Kedua individu
hanya berusaha berdamai dengan keadaan dan menjalani hidup apa adanya. Anak
memang membuat kedua individu merasa lebih kuat, namun besarnya tekanan
yang dihadapi membuat kedua subjek yang menikah secara terpaksa pada
akhirnya berusaha untuk keluar dari relasi dengan segala cara, bahkan dengan
mengkambinghitamkan suami. Hal ini juga dikarenakan munculnya kesadaran
dalam diri individu bahwa pernikahan yang tidak sehat akan memberikan dampak
buruk bagi perkembangan psikologis anak.
B. Kontribusi Penelitian
1. Penelitian ini memaparkan salah satu dampak jangka panjang yang disebabkan
oleh pelekatan stigma negatif terhadap homoseksual.
2. Penelitian ini memberikan gambaran yang menyeluruh dan mendasar akan
kehidupan pernikahan heteroseksual yang harus dihadapi oleh individu
lesbian. Penemuan tersebut cukup berguna mengingat penelitian mengenai
mixed orientation marriage cenderung berfokus pada motif individu
homoseksual untuk menikah dengan lawan jenis.
3. Penelitian ini menyuguhkan fakta bahwa lesbian yang menikah perlu
menghadapi banyak penyesuaian (baik emosional maupun seksual) dengan
suami. Untuk berhasil dalam penyesuaian tersebut, komitmen pernikahan
harus ada di dalam diri individu sehingga kemungkinan perceraian bisa
dihindari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
4. Penelitian ini menunjukkan bahwa individu lesbian yang terlibat dalam mixed
orientation marriage tidak mendapatkan dukungan dan perlindungan
darimanapun. Satu-satunya hal yang mereka percayai, yaitu komunitas LGBT,
kurang bisa menerima mereka tanpa penilaian subjektif.
C. Keterbatasan Penelitian
1. Kedua subjek penelitian ini merasa keberatan apabila peneliti bertemu dengan
keluarga mereka. Hal ini menyebabkan ruang lingkup penelitian menjadi
terbatas karena peneliti hanya bisa mewawancarai subjek penelitian untuk
mengumpulkan data. Peneliti tidak dapat mengambil data wawancara melalui
significant others seperti suami dan anak, serta tidak bisa melakukan observasi
kehidupan sehari-hari subjek.
Akibatnya, peneliti tidak dapat melakukan
triangulasi untuk proses pengecekan validitas penelitian sehingga hasil
penelitian bergantung sepenuhnya pada komitmen subjek dalam mengikuti
penelitian dan objektivitas peneliti. Hal ini juga mengakibatkan peneliti tidak
mampu memenuhi prinsip dasar penelitian studi kasus, yaitu pengumpulan
data yang komprehensif.
2. Peneliti hanya mampu menemukan dua individu yang memenuhi karakteristik
subjek penelitian. Hal ini menyebabkan generalisasi menjadi tidak mungkin
dilakukan karena subjek-subjek tersebut tidak dapat mewakili populasi.
Selain dikarenakan oleh uniknya kasus yang dialami oleh subjek, sedikitnya
subjek dalam penelitian ini diakibatkan oleh kesalahan metode pencarian
subjek yang dipilih oleh peneliti, yaitu metode snowball. Kebanyakan individu
lesbian yang menikah dengan lawan jenis cenderung menyembunyikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
orientasi homoseksual yang dimilikinya dari lingkungan sekitar, sehingga
sangat kecil kemungkinan ditemukannya individu yang mengenal kerabat
dengan karakteristik demikian. Situasi seperti ini membuat metode snowball
menjadi tidak cocok untuk diterapkan.
D. Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka didapatkan beberapa saran sebagai
berikut :
1. Bagi Penelitian Selanjutnya
Penelitian “Studi Kasus : Lesbian dalam Mixed Orientation Marriage”
memiliki ruang lingkup
yang terbatas karena peneliti hanya bisa
mewawancarai individu lesbian untuk mengumpulkan data. Oleh sebab itu,
menurut peneliti, penelitian selanjutnya akan lebih mendalam apabila mencari
informan yang bersedia memberi akses peneliti untuk menemui keluarga
informan. Peneliti bisa mengambil data melalui wawancara tanpa harus
mengungkapkan perihal orientasi seksual informan. Di samping itu, peneliti
bisa melakukan observasi kehidupan sehari-hari informan. Selain memperkaya
data, hal ini juga bisa dilakukan untuk triangulasi validitas penelitan.
Untuk penelitian selanjutnya, peneliti juga perlu menerapkan metode lain
selain snowball dalam mencari informan.
Peneliti bisa
melakukan
broadcasting via internet untuk menjangkau lingkup yang lebih luas. Dengan
metode ini, peneliti juga bisa secara langsung meyakinkan calon-calon
informan bahwa data personal mereka akan dijamin kerahasiaannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
Penelitian selanjutnya juga perlu mengambil informan lesbian yang
terlibat dalam mixed orientation marriage dalam jumlah yang lebih banyak
sehingga pola-pola yang khas dapat digeneralisir dan dijadikan teori.
Dalam hal topik penelitian, penelitian selanjutnya bisa membahas
mengenai masing-masing tema secara khusus satu per satu sehingga data yang
didapatkan bisa lebih fokus dan mendalam.
2. Bagi Individu Lesbian
Melihat beratnya pernikahan heteroseksual yang harus dijalani individu
lesbian, peneliti menyarankan individu-individu lesbian lain supaya jangan
memutuskan menikah untuk sekedar
memenuhi tuntutan orang lain.
Walaupun terhindar dari tekanan dari luar dan stigma publik, pernikahan yang
dipaksakan hanya membawa individu pada kesulitan baru. Pernikahan harus
didasari oleh keinginan pribadi dari dalam diri dan setelah dilakukan
pertimbangan secara matang. Apabila individu mengetahui kemungkinan
situasi yang akan dihadapinya saat menikah, individu akan lebih berkomitmen
dan lebih mau berusaha mencari solusi konflik tanpa mengorbankan banyak
orang.
Apabila individu telah terlanjur telibat dalam pernikahan heteroseksual,
sebaiknya individu mencari pendampingan psikologis. Selain mendapatkan
dukungan emosional, individu juga bisa terbantu dalam menghadapi segala
konflik di dalam maupun di luar dirinya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
3. Bagi Psikolog dan Konselor
Kedua subjek di dalam penelitian ini cenderung berjuang sendiri. Mereka
kurang memiliki rekan yang bisa menjadi teman sharing sebebas-bebasnya.
Hal ini disebabkan oleh ketakutan jika mereka bercerita pada orang yang
salah. Melihat kondisi ini, peneliti merasa bahwa psikolog dan konselor perlu
mempromosikan diri supaya individu lesbian yang terlibat dalam mixed
orientation marriage tidak takut untuk datang dan berkonsultasi. Saat sesi
konseling dilakukan, peneliti juga menyarankan psikolog dan konselor untuk
melihat permasalahan yang dihadapi klien dalam konteks yang lebih luas. Hal
ini perlu dilakukan mengingat kompleksnya situasi yang harus dihadapi oleh
individu lesbian yang menikah dengan laki-laki.
4. Bagi Orangtua dan Calon Orangtua
Kedua subjek di dalam penelitian ini menikah dikarenakan oleh paksaan
dan tekanan dari lingkungan luar, khususnya orangtua. Melihat besarnya
dampak negatif yang ditimbulkan oleh mixed orientation marriage, baik
terhadap individu homoseksual maupun suami dan anak, orangtua harus
mempertimbangkan lebih matang keputusan untuk menikahkan anaknya yang
lesbian dengan laki-laki pilihan mereka.
Selain itu, orangtua perlu
mempelajari secara mendalam situasi yang sedang dan akan dihadapi anak
mereka. Hal ini diharapkan mampu membangkitkan kesadaran akan
pentingnya penerimaan orangtua bagi perkembangan anak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
5. Bagi Komunitas LGBT
Komunitas LGBT merupakan salah satu wadah penting yang memberikan
pengetahuan, dukungan dan perlindungan bagi individu-individu LGBT.
Mengingat komunitas cukup berpengaruh secara signifikan terhadap
perkembangan individu, peneliti merasa bahwa komunitas perlu membuka diri
terhadap individu lesbian yang menikah dengan laki-laki. Individu lesbian
dalam mixed orientation marriage memerlukan dukungan emosional dan hal
ini bisa didapatkan dari komunitas LGBT apabila komunitas tersebut
memberikan perhatian penuh dan tidak menghakimi, serta mendukung dan
membantu
saat
individu
mengalami
interpersonal terkait pernikahannya.
konflik
intrapersonal
maupun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Agustiningsih, N. (2010). Fenomena masyarakat mengatasi masalah dan daya
tahan dalam menghadapi stress. Skripsi tidak diterbitkan, Universitas
Brawijaya Surabaya, Indonesia.
Alessi, E. J. (2008). Staying put in the closet : Examining clinical practice and
countertransference issues in work with gay men married to heterosexual
women. Clin Soc Work J, 36, 195-201.
American Academy of Pediatrics. (2005). Gay, lesbian or bisexual parents :
Information for children and parents. New York : Pengarang.
American Psychological Association. (2008). Answers to your questions: For a
better understanding of sexual orientation and homosexuality. Diakses pada
19 Oktober 2015 melalui http://www.apa.org/topics/sorientation.pdf.
Arus Pelangi (org.). (2015, Februari 14). Pres rilis: LGBTI dan kekerasan
terhadap perempuan one billion rising indonesia. Diakses pada 19 Oktober
2015 melalui http://aruspelangi.org/pres-rilis-lgbti-dan-kekerasan-terhadapperempuan-one-billion-rising-indonesia-14-februari-2015/.
Auerback, S., & Moser, C. (1987). Groups of the wives of gay and bisexual men.
Social Work, 32(4), 321-325.
Basrowi & Suwandi. (2008). Memahami penelitian kualitatif. Jakarta : Rineka
Cipta.
Ben-Ari, A. (2001, February). Homosexuality and heterosexism : Views from
academics in the helping professions. The British Journal of Social Work,
31(1), 119-131.
Ben-Ari, A., & Adler, A. (2010). Dialectics between splitting and integrating in
the lives of heterosexually married gay men. Psychology, 1, 106-112.
Borchet, J., & Lewandowska-Walter, A. (tanpa tahun). The Intensity of Parental
Conflict in Balanced and Unvbalanced Family Systems. Naskah yang tidak
diterbitkan, University of Gdansk, Poland.
Brandenberger, A. J. (2007). Relationship conflict : The good, the bad and the
ugly. Advances in Communication Theory & Research, 1 (1), 1-22.
Buxton, A.P., & Schwartz, L.B. (2004). Straight spouses speak out : Implications
for gay and lesbian marriage. Californian Journal of Health Promotion, 2,
24-31.
Caldwell, M. A., & Peplau, L. A. (1984). The balance of power in lesbian
relationships. Sex Roles, 10(7), 587-599.
Cass, V. C. (1979). Homosexual identity formation: A theoretical model. Journal
of Homosexuality, 4, 219-235.
Creswell, J. W. (2007). Qualitative inquiry and research design : Choosing
among five approaches. California : Sage Publications, Inc.
Creswell, J. W. (2008). Research design : Qualiative, quantitative, and mixed
methods approaches. California : Sage Publications Inc.
Creswell, J. W. (2009). Research design : Qualitative, quantitative, and mixed
methods approaches. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
xvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Crohan, S. E. (1996). Marital quality and conflict across the transition to
parenthood in african american and white couples. Journal of Marriage and
the Family, 58.
Decha-ananwong, P., Tuicomepee, A., & Kotrajaras, S. (2013). Self-acceptance of
sexual orientation in gay men: A consensual qualitative research. The Asian
Conference on Psychology & the Behavioral Sciences 2013 (pp. 349-365).
Osaka : Iafor.
Diamond, L. (2013). Concept of female sexual orientation. In C. J. Patterson & A.
R. D’Augelli (Eds.), Handbook of psychology and sexual orientation. New
York : Oxford University Press.
Ellis, S. J., Kitzinger, C., & Wilkinson, S. (2003). Attitudes towards lesbians and
gay men and support for lesbian and gay human rights among psychology
students. Journal of Homosexuality, 44(1), 121-138.
Gallagher, C. (2013.) 7 ways sex can kill a marriage. Diakses 24 Januari 2017
melalui http://www.huffingtonpost.com/christine-gallagher/7-ways-sex-cankill-a-mar_b_2506541.html.
Golombok, S., Perry, B., Burston, A., Murray, C., Mooney-Somers, J., et al.
(2003). Children with lesbian parents : A community study. Developmental
Psychology, 39(1), 20-33.
Gottschalk, L. (2008). Coming out and living as lesbians and gay men in regional
and rural areas. Disertasi doktor yang tidak diterbitkan, School of Business,
University of Ballarat.
Greenbaum, M. (2013). Homoparental families : Dealing with homophobia and
heterosexism. Paris : Coalition des Families Homoparentales.
Gross, R. (2015). Psychology : The science of mind and behavior. UK : Harchette.
Guntur, S. (2015). Perlindungan hukum hak asasi peserta didik dalam sistem
pendidikan nasional. Jabal Hikmah, 4(2), 223-234.
Hernandez, B. C., Schwenke, N. J., & Wilson, C. M. (2011). Spouses in mixed
orientation marriage : A 20-year review of empirical studies. Journal of
Marital and Family Therapy, 37 (3), 307-318.
Hernandez, B. C., & Wilson, C. M. (2007). Another kind of ambiguous loss :
Seventh-day adventist women in mixed-orientation marriages. Family
Relations, 56 (2), 184-195.
Himpunan Psikologi Indonesia. (2010). Kode etik psikologi. Jakarta : Pengurus
Pusat Himpunan Psikologi Indonesia.
Indahyani. (2013, Juli). Memahami komunikasi antar pribadi dalam pernikahan
beda agama dalam upaya mempertahankan hubungan yang harmonis. The
Messenger, 5 (2), 47-54
Kerns, J. G., & Fine, M. (1994). The relation between gender and negative
attitudes towards gay men and lesbians : Do gender role attitudes mediate this
relation. Sex Roles, 31(5), 297-307.
Kort, J. (2006). Mixed orientation marriages. Diakses pada 14 Maret 2016
melalui http://www.glbtq.com.
Kring, A. M., Johnson, S. L., Davidson, G., & Neale, J. (2012). Abnormal
psychology. Washington, DC : John Wiley & Sons, Inc.
xviii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kurdek, L. A. (1994, November). Areas of conflicts for gay, lesbian and
heterosexual couples: What couples argue about influences relationship
satisfaction. Journal of Marriage and the Family, 56(4), 923-934.
Legate, N., Ryan, R. M., & Weinstein, N. (2012). Is coming out always a “good
thing”? Exploring the relations of autonomy, support, outness and wellness
for lesbian, gay, and bisexual individuals. Social Psychological and
Personality Science, 3(2), 145-152.
Mastuti, R. E., Winarno, R. D., & Hastuti, L. W. (2012, Desember). Pembentukan
identitas orientasi seksual pada remaja gay. Prediksi, Kajian Ilmah
Psikologi, 1(2), 194-197.
Morris, J. F., Balsam, K. F., & Rothblum, E. D. (2002). Lesbian and bisexual
mothers and nonmothers : Demographic and the coming out process. Journal
of Family Psychology, 16(2), 144-156.
Nartey, J. (2014, October). Effective communication in a christian marriage : The
category and role of pentecostal and charismatic counselors in cape coast
metropolis of ghana. International Journal of Research in Social Sciences, 4
(6), 14-23.
National Sexual Violence Resource Center and Pennsylvania Coalition Against
Rape. (2012a). The impact of discrimination : Sexual violence and
individuals who identify as LGBTQ. Enola, PA : Pengarang.
National Sexual Violence Resource Center and Pennsylvania Coalition Against
Rape. (2012b). The process of coming out : Sexual violence and individuals
who identify as lgbtq. Enola, PA : Pengarang.
Nichols, M. (2004). Lesbian relationships : Implications for the study of sexuality
and gender. New Jersey : Institute For Personal Growth.
Nugroho, A. (2007). Dimas : Gay yang pernah nikah secara heteroseksual
(sebuah life history). Anima, Indonesian Psychological Journal, 23 (1), 5062.
Oetomo, D. (2003). Memberi suara pada yang bisu. Yogyakarta : Pusaka Marwa.
O’Neill, K. R., Hamer, H. P., & Dixon, R. (2012, December). A lesbian family in
a straight world : The impact of the transition to parenthood on couple
relationships in planned lesbian families. Women’s Studies Journal, 26(2),
39-53.
Optistasari, D. D. (2013). Dualisme peran lesban (studi deskriptif tentang peran
lesbian dalam rumah tangga dan lingkungan lesbi di surabaya). Skripi tidak
diterbitkan, Universitas Airlangga Surabaya, Indonesia.
Parents, Families and Friends of Lesbians and Gays. (1994). Opening the straight
spouse's closet. Washington, DC : Pengarang.
Peplau, L. A., & Amaro, H. (1982). Understanding lesbian relationships :
Homosexuality, social, psychological and biological issues. Beverly Hills,
California : Sage Publications, Inc.
Peplau, L. A., & Ghavami, N. (2009, September). Gay, lesbian and bisexual
relationships. Encyclopedia Of Human Relationships. California : Sage
Publications, Inc.
Peplau, L. A., Padesky, C., & Hamilton, M. (1982). Satisfaction in lesbian
relationships. Journal of Homosexuality, 8(2), 23-35.
xix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pew Research center. (2013a, June). The global divide on homosexuality : Greater
acceptance in more secular and affluent countries. Diakses pada 19 Oktober
2015 melalui http://www.pewglobal.org/2013/06/04/the-global-divide-onhomosexuality/.
Pew Research center. (2013b, June). A survey of LGBT americans: Attitudes,
experiences and values in changing time. Diakses pada 19 Oktober 2015
melalui
http://www.pewsocialtrends.org/2013/06/13/a-survey-of-lgbtamericans/.
Rahardjo, W. (2007). Homophobia dan penolakan masyarakat serta hubungannya
dengan bicultural identity pada covert homoseksual. Jurnal Penelitian
Psikologi, 12(2), 194-203.
Rachmadani, C. (2013). Strategi komunikasi dalam mengatasi konflik rumah
tangga mengenai perbedaan tingkat penghasilan di RT.29 samarinda
seberang. eJournal Ilmu Komunikasi, 1(1), 212-227.
Ross, H. L. (1971). Modes of adjustment of married homosexuals. Social
Problems, 18 (3), 385-393.
Sarwatay, D., Divatia, A. (2016, Janury). A study on interpersonal communication
between married couples on planned parenthood. International Journal of
Social Scienceand Humanity. 6 (1), 1-8
Setya, S. A. (2013). Fenomena komunitas kaum lesbi di kota klaten. Skripsi tidak
diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia.
Sunyono. (2011). Teknik wawancara (interview) dalam penelitian kualitatif.
Skripsi tidak diterbitkan, Universitas Negeri Surabaya, Indonesia.
Supratiknya, A. (2015). Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif dalam
psikologi. Yogyakarta : Penerbit Universitas Sanata Dharma.
Tasker, F. (2005). Lesbian mothers, gay fathers and their children : A review.
Developmental and Behavioral Pediatrics, 26(3), 224-240.
Tasker, F., & Golombok, S. (1995). Adults raised as children in lesbian families.
American Journal of Orthopsychiatry, 65(2), 203-215.
Tornello, S. L., & Patterson, C. J. (2011). Gay fathers in mixed-orientation
relationship : Experiences of those who stay in their marriages and of those
who leave. Journal of GLBT Family Studies, 8, 1-14.
Updegraff, J. A., & Taylor, S. E. (2000). From vulnerability to growth : Positive
and negative effects of stressful life events. In J. Harvey & E. Miller (Eds).
Loss and Trauma : General and Close Relationship Perspectives (pp. 3-28).
Philadephia, PA : Brunner – Routledge.
Waibale, A. (2013). Should you hide your marital woes from your children?
Diakses pada 27 Oktober 2016 melalui http://www.newvision.co.ug/new_
vision/news/1328789/hide-marital-woes-children
Walker, J. J., Golub, S. A., Bimbi, D. S., & Parsons, J. T. (2012, January). Butch
bottom – femme top? An exploration of lesbian stereotypes. Journal of
Lesbian Studies, 16(1), 90-107.
Wibowo, S. (2015). MUI keluarkan fatwa hukum mati kaum homoseksual.
Diakses pada 19 Oktober 2015 melalui https://m.tempo.co/read/news/2015/
03/17/078650564/mui-keluarkan-fatwa-hukum-mati-kaum-homoseksual
xx
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Wolkomir, M. (2009). Making heteronomative reconciliations : The story of
romantic love, sexuality and gender in mixed-orientation marriage. Gender
and Society, 23 (4), 494-519.
Wyers, N. L. (1987). Homosexuality in the family : Lesbian and gay spouses.
Social Work, 32(2), 143-148.
Yuwono, W. (2013). Relationships development dalam konteks persahabatan
yang dibangun antara perempuan lesbian dengan perempuan heteroseksual.
Jurnal E-Komunikasi, 1(3), 210-221.
xxi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN 1
(Informed Consent)
xxii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
INFORMED CONSENT
Saya, Tiara Dewantari, adalah mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta. Saat ini, saya sedang melakukan penelitian mengenai
lesbian yang sedang menjalani pernikahan heteroseksual.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami kehidupan individu lesbian yang
menikah dengan lawan jenisnya. Proses pengambilan data dalam penelitian ini
menggunakan wawancara yang akan dilakukan secara personal. Bila anda
berkenan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, berarti anda memberikan
informasi yang sejelas-jelasnya terkait kehidupan anda sebelum dan setelah
menikah.
Saya meminta kesediaan anda untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
Wawancara akan dilaksanakan beberapa kali, mengikuti dengan waktu yang kita
sepakati bersama. Selama wawancara berlangsung, anda bebas mengemukakan
apapun yang anda mau dan anda juga berhak untuk memberhentikan proses
wawancara jika mengganggu kenyamanan anda. Anda juga berhak untuk tidak
mengemukakan yang tidak ingin anda ungkapkan.
Wawancara akan dilaksanakan secara personal atau pribadi. Selama
wawancara berlangsung, seluruh pembicaraan akan direkam. Identitas anda dan
keseluruhan data atau informasi yang saya dapatkan dari penelitian ini, akan saya
jamin kerahasiaannya, sehingga tidak ada yang mengetahuinya. Penelitian ini
akan diawasi dan dipastikan berjalan secara etis oleh Dr. Tjipto Susana, M. Si.
Bila anda mempunyai pertanyaan terkait penelitian ini, anda dapat
menghubungi
saya
di
nomor
telepon
[email protected]. Terimakasih.
1
085727778041
atau
email
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LEMBAR PERSETUJUAN
Dengan ini saya menyatakan persetujuan saya untuk berpartisipasi dalam
penelitian ini. Saya menyatakan bahwa keikutsertaan saya dalam penelitian ini
saya lakukan dengan sukarela atau tanpa paksaan dari pihak manapun dan dengan
kesadaran penuh.
Saya memperkenankan peneliti untuk menggunakan informasi yang saya
berikan untuk dipergunakan sesuai dengan kepentingan dan tujuan penelitian.
Dalam berpartisipasi dalam penelitian ini, saya menyetujui untuk bertemu dan
melakukan wawancara pada waktu dan tempat yang akan kami sepakati bersama.
Dalam melakukan wawancara, saya juga memperkenankan peneliti untuk
menggunakan alat perekam untuk menghindari kesalahan dan adanya informasi
yang kurang lengkap mengenai diri saya yang akan digunakan sebagai data
penelitian.
Yogyakarta,
2016
Mengetahui,
Peneliti
Informan
Tiara Dewantari
(
2
)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN 2
(Koding Subjek I)
xxiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kode
16
30
534
547
7, 37
55
64
155
270
19
68
69
84
73
518
123
467
260, 322
81
90
99
452
104
901
146
112, 128
Subkategori
Menyadari diri lesbian saat SMA
Senang saat menyadari diri lesbian
Pernah pacaran dengan laki-laki maupun perempuan sehingga bisa
membandingkan
Relasi dengan laki-laki terasa biasa saja ketika ia mulai mencoba berpacaran
dengan perempuan
Lebih nyaman dekat / pacaran dengan perempuan
Lebih merasa santai dan dilindungi saat bersama perempuan
Lebih merasa spesial dan bahagia saat bersama perempuan
Lebih mau mengalah saatkonflik dengan pacar perempuan
Lebih stress saat ada masalah dengan pacar perempuan
Tidak bercerita ke orang lain
Menutup diri
Tidak senang berteman dengan banyak orang
Merasa minder mengungkapkan orientasi seksual
Tidak berani mengakui orientasi seksual ke orangtua dan suami
Hanya mantan kekasih dan teman jauh yang tahu tentang orientasi
homoseksual
Menyembunyikan orientasi seksual dari suami
Tidak ingin suami tau karena takut diumbar-umbar
Merasa takut dikucilkan, dibuang dan dijauhi jika ketahuan
Pandangan negatif dari orang sekitar mengenai LGBT
LGBT dianggap hina dan terbuang
Dijodohkan oleh keluarga
Ingin memanas-manasi / membuat cemburu pacar perempuan
Kategori
Kesadaran akan orientasi
homoseksual
Orientasi homoseksual
Menyembunyikan orientasi
homoseksual
Stigma negatif
Dijodohkan
Membuatcemburu pacar
Belum mengenal saat awal pernikahansehingga canggung satu sama lain
Suami menyayangi dan memperhatikan
Terbuka kecuali tentang orientasi homoseksual
Merasa tidak nyaman berelasi intim dengan suami dan suami menyadarinya
1
Relasi emosional
Motif menikah
Relasi dengan suami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139, 149
286
294
378
870
414
383
143
179
181
200
191
141
160
241
800
166
169
220
586
791
268
172
152
591, 785
218
229
Dekat dengan suami seperti seorang teman
Sering membohongi suami demi bertemu pacar
Suami curiga N selingkuh
Suami cenderung mendominasi sehingga membuat tidak nyaman
Suami cenderung posesif karena banyak curiga
Diabaikan suami saat jujur tentang perasaannya
Dianggap berdosa karena sering menentang suami
Lebih banyak bertengkar dengan suami
Tidak sering berhubungan seks dengan suami
Tidak dapat menikmati hubungan seks dengan suami
Tidak excited, pasif, tidak banyak merespons dan berekspresi kosong saat
sedang berhubungan seks
Suami mampu merasakan ketidaknyamanan N saat berhubungan seks
Ketidaknyamanan memicu konflik dengan suami
Hal-hal kecil dan perbedaan cara mendidik anak bisa picu pertengkaran dengan
suami
Keinginan bercerai ditolak suami
Suami yang suka bertengkar di depan anak-anak menjadi konflik tersendiri
Saling mengomel, membentak, lalu diam-diaman saat bertengkar
Tidak ada kekerasan fisik saat bertengkar
Anak sering bertanya-tanya kenapa sering terjadi pertengkaran antara N dan
suami
Suami sering menggunakan anak sebagai “senjata” saat sedang bertengkar
Membawa anak-anak bersembunyi di kamar saat bertengkar dengan suami
Tidak stress saat ada masalah dengan suami
Suami mengalah saat konflik
Sering tidak mau mengalah saat konflik
Kadang terpaksa mengalah demi anak-anak
Relasi dengan anak biasa saja
Lebih dekat dengan anak daripada dengan suami
Relasi fisik / seksual
Sebab konflik
Akibat konflik
Penyelesaian konflik
Relasi dengan anak
2
Konflik interpersonal
dengan suami
Kehadiran anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
759
334
358, 435
436
207
403
355
307
963
608
720
235
355
797
184
911
250
715
209
444
301
274
274
510, 558
Selalu memperlakukan anak dengan baik
Ingin bercerai karena tidak mau psikologis anak terpengaruh oleh pernikahan
yang tidak sehat
Anak memberi motivasi dan semangat
Anak tidak berdampak apa-apa bagi relasi dengan suami
Merasa terpaksa dalam menjalani pernikahan
Merasa tidak bahagia
Merasa putus asa
Merasa tidak bebas dan lebih terkekang
Merasa takut perselingkuhannya terbongkar
Merasa takut kehilangan anak-anak
Merasa takut anak-anak lebih memilih bersama ayah mereka
Merasa pernikahannya sia-sia
Merasa tidak berarti
Merasa kasihan dengan anak-anak karena terus-terusan bertengkar dengan
suami
Menganggap hubungan seks sebagai kewajiban
Hubungan seks memunculkan perasaan bersalah terhadap pacar perempuan
Merasa kasihan karena suami terus dibohongi (tidak bisa mengatakan hal yang
sejujurnya, tapi di sisi lain merasa kasihan karena suami terus dibohongi)
Merasa bersalah saat menjauhkan anak-anak dari ayah mereka saat sedang
bertengkar
Menjadi pribadi yang lebih egois
Relasi homoseksual (dengan pacar perempuan) menjadi terhalang
Pernikahan tetap tidak mengubah orientasi seksual
Menutup diri sendiri
Menyiksa diri sendiri
Bercerita ke pacar perempuan
Dampak kehadiran anak
Perasaan negatif diri
Pikiran negatif diri
Perasaan terhadap orang lain
Konflik intrapersonal
Relasi sosial
Orientasi seksual
Strategi coping
3
Dampak pernikahan
Strategi coping
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
354
477
817
565
369
394
838
465
495
496, 578
754
Menjalani hidup apa adanya.
Membuat keluarga mendukung perceraian
Menolak harta kekayaan dari suami supaya tidak terikat
Mempersiapkan modal untuk hidup setelah bercerai
Hidup bertiga saja dengan anak-anak
Mengungkapkan orientasi seksual ke anak-anak
Anak diasuh pacar (bukan suami) saat N meninggal
Diterima apa adanya (sebagai lesbian) oleh anak
Berpisah baik-baik dengan suami
Menjaga hubungan baik dengan suami setelah bercerai supaya anak tidak
menjadi korban
Kasih sayang menjadi pengikat selamanya antara N dan anak-anak
4
Usaha
Rencana
Harapan
Orientasi masa depan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN 3
(Koding Subjek II)
xxiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
730
19
24
34
39
45
53
818
71
78
408
466
477
89
100
134
472
Kode
Subkategori
Tertarik secara emosi dengan perempuan, namun dengan laki-laki malah
sebaliknya
Merasa biasa saja dan tidak ada ikatan emosi apa-apa saat berteman dengan
laki-laki, namun hal ini akan sangat berbeda saat ia sedang menyukai
perempuan.
Menyadari diri lesbian setelah mengerti tentang orientasi seksual
Awalnya tidak terima bahwa ia lesbian karena masih belum yakin hal tersebut
Kesadaran akan orientasi
bukanlah suatu kesalahan (dosa)
homoseksual
Semakin banyak informasi yang didapatkan, semakin bisa menerima diri
sendiri.
Merasa nyaman dan santai dalam melakukan segala hal setelah mulai bisa
menerima diri.
Belum pernah berpacaran dengan laki-laki.
Pertama kali berpacaran dengan perempuan saat SMP.
Merasa nyaman dan senang saat berpacaran dengan perempuan
Hanya teman dekat yang mengetahui bahwa D lesbian
D langsung mengaku saat orangtua curiga dan bertanya-tanya tentang orientasi
seksual D.
Menyembunyikan orientasi
homoseksual
Anak-anak masih terlalu kecil untuk diberitahu tentang orientasi seksualnya.
Suami mungkin tidak tau tentang orientasi seksual D
Tidak merasa harus mengakui orientasi seksual ke suami
Fakta bahwa D lesbian membuat orangtua sangat marah
Bagi orangtua, LGBT adalah salah, dosa, tidak benar, negatif dan tidak bisa
diterima.
Orangtua sering menilai D membuat malu keluarga.
Bagi orangtua, D yang lesbian merupakan aib keluarga.
1
Stigma negatif orangtua
Kategori
Orientasi homoseksual
Motif menikah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
129
138
606
120
Menikah karena tekanan dari lingkungan (keluarga) sangat besar.
Lingkungan (keluarga) benar-benar menekan dan memaksa.
Tidak ada yang dapat membantu memberi jalan keluar lain selain menikah
Terpaksa menikah karena tidak ada pilihan lain
Menikah karena dijodohkan orangtua.
145
Relasi dengan suami tampak baik-baik saja, namun sebenarnya tidak dan
malah cenderung dingin.
Merasa tidak nyaman akan relasi dengan suami dan suami menyadarinya
Suami tidak dominan
Keras dan tidak gampang menerima perlakuan suami
Lebih banyak bertengkar daripada akur
Suami baik, perhatian dan sayang
Suami kadang memarahi D, namun kadang juga mengabaikan saat D
mengungkapkan ketidaknyamanannya
Tidak dapat menikmati hubungan seksual
Tidak merasakan apa-apa saat berhubungan seksual.
Berusaha menghindar dan menolak hubungan seksual.
Terkadang terpaksa berhubungan seksual.
Merasa “diperkosa” saat berhubungan seksual dengan suami.
Merasa tertekan, tidak nyaman, sedih dan sakit hati setiap berhubungan seksual
Suami pernah melakukan hubungan seks terhadap D saat D sedang tidur
Suami memberitahu keesokan paginya bahwa semalam mereka berhubungan
seksual
Sakit hati dan tidak terima karena suami memperlakukan D seperti barang
Cuek dan tidak merespons sama sekali saat berhubungan seksual.
155, 778
306
307
763
766
785
188
236
193
195
201
210
224
244
254
234
2
Tekanan dari luar
Tidak ada pilihan lain
Dijodohkan
Relasi emosional
Relasi dengan suami
Relasi fisik / seksual
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
179
259
266
748
281
291
436
792
160
167
173
174
172
809
325
334
404
411
444
328
331, 370
365, 373
Malas mengalah sehingga hal-hal kecil saja bisa membuat bertengkar.
Saat suami mengajak bicara sedangkan D masih merasa malas, D cenderung
akan menjawab sinis dan hal ini memicu konflik kembali.
Bertengkar karena suami melakukan hubungan seksual saat D tidak sadar
Semakin marah karena hubungan seksual tersebut membuatnya hamil ketika ia
tidak siap memiliki anak kedua.
Suami melanggar kesepakatan yang telah dibuat bersama.
Menggugurkan kandungannya karena tidak bisa menerima keadaan
Suami marah saat D menggugurkan kandungan
Tidak memiliki alasan apa-apa untuk menggugat cerai suami
Suami tidak mau bercerai karena tidak mau dianggap laki-laki gagal dan
karena menyadari adanya dampak tertentu ke anak-anak
Adu mulut dan saling membantah satu sama lain saat bertengkar
Tidak ada kekerasan fisik saat bertengkar
Saling diam saat sedang bertengkar
Baik dengan sendirinya tanpa ada yang meminta maaf duluan
Tidak ada yang mau mengalah duluan
Setelah bertengkar, suami lama kelamaan akan berpura-pura tidak terjadi apaapa (pertengkaran) di antara mereka
Relasi dengan anak biasa saja dan tidak ada yang aneh
Dekat dengan anak-anak
Selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Orientasi seksual tidak mempengaruhi cintanya terhadap anak-anak.
Suami memperlakukan anak dengan baik
Anak merupakan pelarian agar tidak terlalu fokus pada masalah
Anak merupakan penghibur saat sedang marah, capek dan down
Anak-anak memberi alasan untuk menjadi kuat dan bertahan dalam pernikahan
3
Sebab konflik
Konflik interpersonal
dengan suami
Akibat konflik
Penyelesaian konflik
Relasi dengan anak
Kehadiran anak
Dampak kehadiran anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
339
347
357
420
263
316
379
503
545
387
617
428
557
562
582
492
Semenjak ada anak harus pintar mengontrol emosi
Menutupi pertengkarannya dengan suami dari anak-anak.
Tidak mau pertengkaran dengan suami membawa dampak buruk bagi anakanak
Harus menangis sembunyi-sembunyi karena tidak ingin anak menjadi sedih
setelah melihatnya menangis
Merasa bahwa perlakuan suami sangatlah tidak adil.
Pernikahan membuat tertekan karena harus melakukan dan berhadapan dengan
sesuatu yang membuat tidak nyaman
Merasa lelah, muak dan jenuh harus berpura-pura baik-baik saja di hadapan
keluarga.
Kasihan dengan mantan pacarnya karena ia pasti merasa sangat sakit hati dan
tertekan.
Kasihan dan tidak tega dengan orang yang menjadi pasangannya.
Ingin meninggalkan kehidupan saat ini dan mulai membahagiakan diri sendiri,
tapi merasa harus bertanggungjawab akan anak-anak.
Ingin bercerai dari suami supaya bebas dan bisa membahagiakan diri sendiri,
tapi ragu karena memikirkan masa depan anaknya dan juga tidak yakin bahwa
setelahnya ia bisa bebas dari paksaan orangtua.
Tidak memiliki teman bercerita semenjak menikah
Jauh dari teman-teman komunitas.
Merasa takut, tidak diterima, selalu dijudge dan tidak dimengerti ketika
bercerita ke teman-teman komunitas mengenai pernikahannya.
Menjadi pribadi yang cuek, jutek dan tidak peduli pada orang lain selain orangorang yang dia sayang
Tidak bebas menjalani relasi sesama jenis.
4
Perasaan negatif diri
Perasaan terhadap orang
lain
Konflik intrapersonal
Relasi sosial
Relasi homoseksual
Dampak pernikahan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
496
534
542
515
696
417
456
203
636
646
654
656
480
483
666
Putus dengan pacar karena pacar merasa cemburu dan tidak tahan dengan
kondisi D yang sudah menikah.
Harus mempertimbangkan banyak hal apabila ingin menjalin relasi baru
dengan orang di luar pernikahan.
Pernikahan dan anak yang masih kecil membuat sulit membangun relasi di luar
pernikahan.
Relasi sesama jenis menjadi sangat berisiko karena D bisa diceraikan dan
kehilangan anak-anaknya apabila sampai ketahuan.
Pernikahan membuatnya menjadi pribadi yang lebih kuat dan tangguh
Menangis saat sedang merasa capek, muak dan jenuh.
Menyibukkan diri dengan membaca, bekerja dan fokus pada anak-anak untuk
mengalihkan perhatian dari emosi negatif yang dirasakan
Tidak dapat melakukan apapun dan tidak mendapat dukungan darimanapun
karena budaya mengatakan istri harus menurut dan melayani suami.
Menjalani hidup apa adanya sembari memikirkan cara (alasan) untuk meminta
cerai
Berusaha berdamai dengan keadaan
Mempersiapkan anak menjadi kuat menghadapi perceraian.
Memberi pengertian kepada anak tentang keadaan yang sebenarnya.
Ingin memberitahu anak-anak mengenai orientasi seksualnya saat mereka
sudah besar.
Ingin anak-anak memiliki wawasan yang luas, berpikiran terbuka, bisa
toleransi dan tidak diskriminasi.
Berharap LGBT diterima, tidak didiskriminasi dan tidak dibedakan dari orang
pada umumnya sehingga tidak ada lagi paksaan untuk menikah yang akan
mengorbankan banyak orang.
5
Sifat personal
Strategi coping
Strategi coping
Usaha
Rencana
Harapan
Orientasi masa depan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN 4
(Member Checking)
xxv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN TELAH MELAKSANAKAN
MEMBER CHECKING
Dengan ini, saya, Tiara Dewantari selaku peneliti yang melakukan
penelitian terkait lesbian yang terlibat dalam mixed orientation marriage telah
mendapatkan informasi seputar kehidupan dan pengalaman dari informan yang
bersangkutan. Saya telah mengkomunikasikan kembali hasil yang saya dapatkan
dari penelitian ini kepada informan. Hal ini dilakukan agar saya selaku peneliti
benar-benar memuat hasil penelitian yang sebenarnya tanpa adanya tambahan dan
pengurangan atau manipulasi data.
Dengan demikian, peneliti telah memuat hasil penelitian berdasarkan
informasi yang diberikan oleh informan.
Yogyakarta,
2016
Mengetahui,
Informan
(
Peneliti
)
Tiara Dewantari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Download