2.1 Data dan Literatur

advertisement
3
BAB 2
DATA DAN ANALISA
2.1 Data dan Literatur
Data yang mendukung proses penyusunan dapat diperoleh dari berbagai
sumber seperti kajian pustaka berupa buku-buku yang berkaitan dengan bangunan
arsitektur peninggalan Belanda di Bandung, literatur lainnya seperti social media dan
internet. Survei lapangan dan wawancara langsung dengan pihak anggota dari
organisasi relawan pelestarian cagar budaya Bandung yang dikenal sebagai Bandung
Heritage. Data lainnya berupa brosur, poster campaign, booklet map dari Bandung
Heritage, dan perbincangan dengan narasumber yakni Bapak Dibyo selaku dosen
arsitektur ITB Bandung. Penulis juga melakukan pengamatan pada lokasi bangunanbangunan arsitektur peninggalan Belanda yang dilestarikan hingga sekarang.
2.1.1 Kolonialisme Belanda
Kolonialisme di Indonesia dan bangsa Belanda dimulai ketika ekspedisi
Cornelis de Houtman berlabuh di pantai utara Jawa guna mencari rempah-rempah.
Pada perkembangan selanjutnya terjadi hubungan dagang antara bangsa Indonesia
dengan orang-orang Belanda. Hubungan perdagangan tersebut lambat laun berubah
drastis menjadi hubungan antara penjajah dan terjajah, terutama setelah didirikannya
VOC. Penjajahan Belanda berlangsung sampai tahun 1942, meskipun sempat
diselingi oleh Inggris selama lima tahun yaitu antara 1811-1816. Selama kurang
lebih 350 tahun bangsa Belanda telah memberi pengaruh yang cukup besar terhadap
kebudayaan Indonesia.
Kolonialisme Belanda di Indonesia depat dibagi menjadi beberapa tahapan
yaitu:
1.
2.
3.
4.
Fase antara 1602-1800 : yaitu fase ketika Belanda dengan VOC
menggalakkan handels kapitalisme.
Fase antara 1800-1850 : fase ini diselingi oleh penjajahan Inggris, pada
masa ini Belanda menciptakan dan melaksanakan cultuurstelsel.
Fase antara 1850-1870 : cultuurstelsel dihapus diganti oleh politik liberal
kolonial.
Fase setelah 1900 : makin bertambah perusahaan asing yang ada di Indonesia
akibat politik open door negeri Belanda.
Selain melakukan imperialisme di bidang ekonomi Belanda juga melakukan
imperialisme di bidang kebudayaan. Hal ini terbukti dengan adanya politik etis Van
Deventer. Van Deventer dalam Tweede Kamer 1912 menyatakan bahwa Humanisme
Barat (maksudnya politik etisnya) telah memberi keuntungan besar, ialah dapat
memungkinkan adanya asosiasi kebudayaan antar timur dan barat. Dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa dalam politik etis Van Deventer terutama program
edukasinya merupakan pelaksaanan dari politik asosiasi. Politik asosiasi berarti
bangsa penjajah berupaya menghilangkan jurang pemisah antara penjajah dengan
bangsa terjajah dengan melenyapkan kebudayaan bangsa terjajah diganti dengan
4
kebudayan penjajah. Politik asosiasi memungkinkan Belanda untuk memasukkan
nilai-nilai kolonialismenya pada kebudayaan Indonesia, baik yang bersifat rohani,
maupun yang terkait dengan produk fisik kebudayaan.
Prawidyarto (2004), mengunkapkan kolonialisme Belanda memiliki ciri-ciri
pokok sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
Membeda-bedakan warna kulit (color line).
Menjadikan tempat jajahan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi negara induk.
Perbaikan sosial sedikit.
Jarak sosial yang jauh antara bangsa terjajah dengan penjajah.
2.1.2 Arsitektur Kolonial Belanda
Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mengalami pengaruh Occidental
(Barat) dalam berbagai segi kehidupan termasuk dalam tata kota dan bangunan. Para
pengelola kota dan arsitek Belanda banyak menerapkan konsep lokal atau tradisional
dalam perencanaan dan pengembangan kota, permukiman dan bangunan-bangunan,
Wardani (2009).
Wardani (2009). Adanya pencampuran budaya, membuat arsitektur kolonial
di Indonesia menjadi fenomena budaya yang unik. Arsitektur kolonial di berbagai
tempat di Indonesia apabila diteliti lebih jauh, mempunyai perbedaan-perbedaan dan
ciri tersendiri antara tempat yang satu dengan yang lain.
Arsitektur kolonial lebih banyak mengadopsi gaya neo-klasik, yakni gaya
yang berorientasi pada gaya arsitektur klasik Yunani dan Romawi. Ciri menonjol
terletak pada bentuk dasar bangunan dengan trap-trap tangga naik (cripedoma).
Kolom-kolom dorik, ionik dan corinthian dengan berbagai bentuk ornamen pada
kapitalnya. Bentuk pedimen, yakni bentuk segi tiga berisi relife mitos Yunani atau
Romawi di atas deretan kolom. Bentuk-bentuk tympanum (konstruksi dinding
berbentuk segi tiga atau setengah lingkaran) diletakkan di atas pintu dan jendela
berfungsi sebagai hiasan.
Arsitektur kolonial merupakan arsitektur yang memadukan antara budaya
Barat dan Timur. Arsitektur ini hadir melalui karya arsitek Belanda dan
diperuntukkan bagi bangsa Belanda yang tinggal di Indonesia, pada masa sebelum
kemerdekaan. Arsitektur yang hadir pada awal masa setelah kemerdekaan sedikit
banyak dipengaruhi oleh arsitektur kolonial disamping itu juga adanya pengaruh dari
keinginan para arsitek untuk berbeda dari arsitektur kolonial yang sudah ada.
Safeyah ( 2006).
Arsitektur klonial Belanda adalah gaya desain yang cukup popular di
Netherland tahun 1624-1820. Ciri-cirinya yakni (1) facade simetris, (2) material dari
batu bata atau kayu tanpa pelapis, (3) entrance mempunyai dua daun pintu, (4) pintu
masuk terletak di samping bangunan, (5) denah simetris, (6) jendela besar berbingkai
kayu, (7) terdapat dormer (bukaan pada atap) Wardani, (2009).
5
Arsitektur kolonial adalah arsitektur cangkokan dari negeri induknya
Eropa kedaerah jajahannya, Arsitektur kolonial Belanda adalah arsitektur Belanda
yang dikembangkan di Indonesia, selama Indonesia masih dalam kekuasaan
Belanda sekitar awal abad 17 sampai tahun 1942 (Soekiman,2011).
Eko Budihardjo (1919), menjelaskan arsitektur kolonial Belanda
adalah bangunan peninggalan pemerintah kolonial Belanda seperti benteng
Vastenburg, Bank Indonesia di Surakarta dan masih banyak lagi termasuk bangunan yang
ada di Karaton Surakarta dan Puri Mangkunegaran.
Kartono (2004) mengatakan bahwa sistem budaya, sistem sosial, dan sistem
teknologi dapat mempengaruhi wujud arsitektur. Perubahan wujud arsitektur
dipengaruhi oleh banyak aspek, akan tetapi perubahan salah satu aspek saja dalam
kehidupan masyarakat dapat mempengaruhi wujud arsitektur.
Arsitektur kolonial Belanda merupakan bangunan peninggalan pemerintah
Belada dan bagian kebudayaan bangsa Indonesia yang merupakan aset besar dalam
perjalanan sejarah bangsa.
2.1.2.1 Karakteristik Arsitektur
Istilah karakteristik diambil dari bahasa Inggris yakni characteristic, yang
artinya mengandung sifat khas. Ia mengungkapkan sifat-sifat yang khas dari sesuatu.
Dalam kamus psikologi, dijelaskan bahwa karakteristik merupakan sinonim dari kata
karakter, watak, dan sifat yang memiliki pengertian di antaranya:
1. Suatu kualitas atau sifat yang tetap terus-menerus dan kekal yang dapat
dijadikan ciri untuk mengidentifikasikan seorang pribadi, suatu objek, suatu
kejadian.
2. Intergrasi atau sintesis dari sifat-sifat individual dalam bentuk suatu kesatuan.
3. Kepribadian seeorang, dipertimbangkan dari titik pandangan etis atau moral.
Arsitektur adalah adalah ruang tempat hidup manusia dengan berbahagia.
Sebagai wadah manusia untuk hidup dan beraktivitas, arsitektur juga memiliki
kemampuan untuk berinteraksi dengan manusia. Maka dengan demikian arsitektur
juga berkemampuan untuk berkomunikasi dengan manusia dan lingkungannya.
Mangunwijaya (2009) mengungkapkan bahwa arsitektur punya guna dan citra. Citra
itu disampaikan dalam bahasa pesan dan kesan arsitektur pada lingkungannya.
Jadi diantara pengertian-pengertian di atas sebagaimana yang telah
dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa karakteristik itu adalah suatu sifat yang
khas, yang melekat pada seseorang atau suatu objek.
2.1.2.2 Aspek Arsitektur
Widyati (2004) mengklasifikasikan arsitektur bangunan bersejarah yang tidak
akan terlepas dari fungsi, material dan style atau gaya. Hal ini diperkuat oleh teori
Barry dalam Widayati (2004) yang menekankan pada empat komponen utama yang
perlu analisis atau diteliti studi terhadap fasade bangunan yaitu: pattern, alligment,
size dan shape dalam melakukan klasifikasi arsitektur bersejarah.
6
Dalam bahasan selanjutnya komponen yang dapat digunakan untuk
membandingkan arsitektur bangunan kolonial Belanda di Makassar dengan dasardasar teori yang ada, dengan mengambil pendapat beberapa pakar, atau arsitektur
kolonial Belanda dapat diperoleh melalui studi pustaka.
Handinoto menyebutkan bahwa hal-hal pokok yang perlu dibahas dalam
arsitektur kolonial Belanda adalah sebagai berikut:
a.
Periodesasi
Handinoto (1996) membagi periodisasi perkembangan arsitektur
kolonial Belanda di Indonesia dari abad ke 16 sampai tahun 1940-an menjadi
empat bagian, yaitu:
1) Abad 16 sampai tahun 1800-an
Pada waktu ini Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische
(Hindia Belanda) di bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda
yang bernama VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Selama
periode ini arsitektur kolonial Belanda kehilangan orientasinya pada
bangunan tradisional di Belanda serta tidak mempunyai suatu
orientasi bentuk yang jelas. Yang lebih buruk lagi, bangunanbangunan tersebut tidak diusahakan untuk beradaptasi dengan iklim
dan lingkungan setempat.
2) Tahun 1800-an sampai tahun 1902
Pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari perusahaan
dagang VOC. Setelah pemerintahan Inggris yang singkat pada tahun
1811-1815. Hindia Belanda kemudian sepenuhnya dikuasai oleh
Belanda. Indonesia waktu itu diperintah dengan tujuan untuk
memperkuat kedudukan ekonomi negeri Belanda. Oleh sebab itu,
Belanda pada abad ke-19 harus memperkuat statusnya sebagai kaum
kolonialis dengan membangun gedung–gedung yang berkesan grandeur (megah). Bangunan gedung dengan gaya megah ini dipinjam
dari gaya arsitektur neo-klasik yang sebenarnya berlainan dengan
gaya arsitektur nasional Belanda waktu itu.
3) Tahun 1902-1920-an
Antara tahun 1902 kaum liberal di negeri Belanda mendesak apa
yang dinamakan politik etis untuk diterapkan di tanah jajahan. Sejak
itu, pemukiman orang Belanda tumbuh dengan cepat. Dengan
adanya suasana tersebut, maka “indische architectuur” menjadi
terdesak dan hilang. Sebagai gantinya, muncul standar arsitektur
yang berorientasi ke Belanda. Pada 20 tahun pertama inilah terlihat
gaya arsitektur modern yang berorientasi ke negeri Belanda.
7
4) Tahun 1920 sampai tahun 1940-an
Pada tahun ini muncul gerakan pembaruan dalam arsitektur, baik
nasional maupun internasional di Belanda yang kemudian
mempengaruhi arsitektur kolonial di Indonesia. Hanya saja arsitektur
baru tersebut kadang-kadang diikuti secara langsung, tetapi kadangkadang juga muncul gaya yang disebut sebagai ekletisisme (gaya
campuran). Pada masa tersebut muncul arsitek Belanda yang
memandang perlu untuk memberi ciri khas pada arsitektur Hindia
Belanda. Mereka ini menggunakan kebudayaan arsitektur tradisional
Indonesia sebagai sumber pengembangannya.
b. Gaya bangunan
Gaya berasal dari bahasa Latin stilus yang artinya alat bantu tulis,
yang maksudnya tulisan tangan menunjukan dan mengekspresikan karakter
individu. Dengan melihat tulisan tangan seseorang, dapat diketahui siapa
penulisnya. Gaya bisa dipelajari karena sifatnya yang publik dan sosial
(Wardani, 2009).
Gaya desain ini timbul dari keinginan dan usaha orang Eropa untuk
menciptakan negara jajahan seperti negara asal mereka. Pada kenyataannya,
desain tidak sesuai dengan bentuk aslinya karena iklim berbeda, material
kurang tersedia, teknik di negara jajahan, dan kekurangan lainnya. Akhirnya,
diperoleh bentuk modifikasi yang menyerupai desain di negara mereka,
kemudian gaya ini disebut gaya kolonial (wardani, 2009)
Gaya atau langgam adalah suatu hal yang tampak dan mudah dikenali
dalam desain arsitektur, seperti bentuk (wujud), tampak, elemen-elemen dan
ornamen yang biasa menyertainya.
1)
Bentuk
Arti kata bentuk secara umum, menunjukkan suatu kenyataan jumlah,
tetapi tetap merupakan suatu konsep yang berhubungan. Juga disebutkan
sebagai dasar pengertian kita mengenai realita dan seni.dalam arsitektur, arti
kata bentuk mempunyai pengertian berbeda-beda, sesuai dengan pandangan
dan pemikiran pengamatnya, (Suwondo, 1982).
Bentuk adalah wujud dari organisasi ruang yang merupakan hasil dari
suatu proses pemikiran. Proses didasarkan atas pertimbangan fungsi dan
usaha pernyataan diri (ekspresi). Menurut Mies van der Rohe dalam Sutedjo
(1982) bentuk adalah wujud dari penyelesaian akhir dari konstruksi yang
pengertiannya sama. Benjemin Handler mengatakan, bentuk adalah wujud
keseluruahan dari fungsi-fungsi yang bekerja secara bersamaan, yang
hasilnya merupakan susunan suatu bentuk.
8
Bentuk merupakan ekspresi fisik yang berupa wujud dapat diukur dan
berkarakter karena memiliki tekstur berupa tampak baik berupa tampak tiga
dimensi maupun tampak dua dimensi.
2)
Fasade/Tampak bangunan
Fasade bangunan merupakan elemen arsitektur terpenting yang
mampu menyuarakan fungsi dan makna sebuah bangunan. Akar kata
fasade (façade) diambil dari kata latin facies yang merupakan sinonim dari
face (wajah) dan appearance (penampilan). Oleh karena itu, membicarakan
wajah sebuah bangunan, yaitu fasade, yang kita maksudkan adalah bagian
depan yang menghadap jalan, Juanda (2011).
Krier dalam Juanda (2011) Fasade adalah representasi atau ekspresi
dari berbagai aspek yang muncul dan dapat diamati secara visual. Dalam
konteks arsitektur kota, fasade bangunan tidak hanya bersifat dua dimensi
saja akan tetapi bersifat tiga dimensi yang dapat merepresentasikan masingmasing bangunan tersebut dalam kepentingan publik kota atau sebaliknya.
Untuk itu komponen fasade bangunan yang diamati meliputi
Selanjutnya menurut Krier (2001), wajah bangunan juga
menceritakan dan mencerminkan kepribadian penghuni bangunannya,
memberikan semacam identits kolektif sebagai suatu komunitas bagi mereka,
dan pada puncaknya merupakan representasi komunitas tersebut dalam
publik. Aspek penting dalam wajah bangunan adalah pembuatan semacam
pembedaan antara elemen horizontal dan vertikal, dimana proporsi elemen
tersebut harus sesuai terhadap keseluruhannya.
3)
Elemen arsitektur
Pengaruh budaya barat terlihat pada pilar-pilar besar, mengingatkan
kita pada bentuk arsitektur klasik Yunani dan Romawi. Pintu termasuk
terletak tepat ditengah, diapit dengan jendela-jendela besar pada kedua
sisinya. Bangunan bergaya kolonial adalah manifestasi dari nilai-nilai budaya
yang ditampilkan bentuk atap, dinding, pintu, dan jendela serta bentuk
ornamen dengan kualitas tinggi sebagai elemen penghias gedung.
Elemen-elemen pendukung wajah bangunan menurut Krier (2001),
antara lain adalah sebagai berikut:
a) Atap
Jenis atap ada bermacam-macam. Jenis yang sering dijumpai saat
ini adalah atap datar yang terbuat dari beton cor dan atap miring
berbentuk perisai ataupun pelana. Secara umum, atap adalah ruang yang
tidak jelas, yang paling sering dikorbankan untuk tujuan eksploitasi
volume bangunan. Atap merupakan mahkota bagi bangunan yang
disangga oleh kaki dan tubuh bangunan, bukti dan fungsinya sebagai
perwujudan kebanggaan dan martabat dari bangunan itu sendiri.
9
Secara visual, atap merupakan sebuah akhiran dari wajah
bangunan, yang seringkali disisipi dengan loteng, sehingga atap bergerak
mundur dari pandangan mata manusia. Perlunya bagian ini diperlakukan
dari segi fungsi dan bentuk, berasal dari kenyataan bangunan memiliki
bagian bawah (alas) yang menyuarakan hubungan dengan bumi, dan
bagian atas yang memberitahu batas bangunan berakhir dalam konteks
vertikal.
b) Pintu
Pintu memainkan peranan penting dan sangat menentukan dalam
menghasilkan arah dan makna yang tepat pada suatu ruang. Ukuran
umum pintu yang biasa digunakan adalah perbandingan proporsi 1:2 atau
1:3. ukuran pintu selalu memiliki makna yang berbeda, misalnya pintu
berukuran pendek, digunakan sebagai entrance ke dalam ruangan yang
lebih privat. Skala manusia tidak selalu menjadi patokan untuk
menentukan ukuran sebuah pintu. Contohnya pada sebuah bangunan
monumental, biasanya ukuran dari pintu dan bukaan lainnya disesuaikan
dengan proporsi kawasan sekitarnya.
Posisi pintu ditentukan oleh fungsi ruangan atau bangunan,
bahkan pada batasan-batasan fungsional yang rumit, yang memiliki
keharmonisan geometris dengan ruang tersebut. Proporsi tinggi pintu dan
ambang datar pintu terhadap bidang-bidang sisa pada sisi-sisi lubang
pintu adalah hal yang penting untuk diperhatikan. Sebagai suatu aturan,
pengaplikasian sistem proporsi yang menentukan denah lantai dasar dan
tinggi sebuah bangunan, juga terhadap elemen-elemen pintu dan jendela.
Alternatif lainnya adalah dengan membuat relung-relung pada dinding
atau konsentrasi suatu kelompok bukaan seperti pintu dan jendela.
c) Jendela
Jendela dapat membuat orang yang berada di luar bangunan
dapat membayangkan keindahan ruangan-ruangan dibaliknya, begitu
pula sebaliknya. Krier (2001), mengungkapkannya sebagai berikut:
“...dari sisi manapun kita memasukkan cahaya, kita wajib membuat
bukaan untuknya, yang selalu memberikan kita pandangan ke langit yang
bebas, dan puncak bukaan tersebut tidak boleh terlalu rendah, karena kita
harus melihat cahaya dengan mata kita, dan bukanlah dengan tumit kita:
selain ketidaknyamanan, yaitu jika seseorang berada di antara sesuatu
dan jendela, cahaya akan terperangkap, dan seluruh bagian dari sisa
ruangan akan gelap...” Pada beberapa masa, evaluasi dan makna dari
tingkat-tingkat tertentu diaplikasikan pada rancangan jendelanya.
Susunan pada bangunan-bangunan ini mewakili kondisi-kondisi sosial,
karena masing-masing tingkat dihuni oleh anggota dari kelas sosial yang
berbeda.
10
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan jendela pada
wajah bangunan, antara lain adalah sebagai berikut, proporsi geometris
wajah bangunan:
· Penataan komposisi, yaitu dengan pembuatan zona wajah
bangunan yang terencana.
· Memperhatikan keharmonisan proporsi geometri, jendela
memberikan distribusi pada wajah bangunan, oleh karena
itu, salah satu efek atau elemen tertentu tidak dapat
dihilangkan atau bahkan dihilangkan.
· Jendela dapat bergabung dalam kelompok-kelompok kecil
atau membagi wajah bangunan dengan elemen-elemen
yang hampir terpisah dan membentuk simbol atau makna
tertentu.
d) Dinding
Keberadaan jendela memang menjadi salah satu unsur penting
dalam pembentukan wajah bangunan bangunan, akan tetapi dinding juga
memiliki peranan yang tidak kalah pentingnya dengan jendela, dalam
pembentukan wajah bangunan. Penataan dinding juga dapat diperlakukan
sebagai bagian dari seni pahat sebuah bangunan, bagian khusus dari
bangunan dapat ditonjolkan dengan pengolahan dinding yang unik, yang
bisa didapatkan dari pemilihan bahan, ataupun cara finishing dari dinding
itu sendiri, seperti warna cat, tekstur, dan juga tekniknya. Permainan
kedalaman dinding juga dapat digunakan sebagai alat untuk menonjolkan
wajah bangunan.
2.1.2.3 Aspek non fisik Arsitektur
Tempat dalam arsitektur merupakan wadah yang berfungsi sebagai
pendukung aktifitas penghuninya. Dalam wujud dan bentuk arsitektur tercipta
dimensi, ruang dengan skala dan proporsi yang harmonis akibat dari kekuatan non
fisik yang dihasilkan dari hubungan antara manusia dengan manusia, manusia
dengan alam semesta, dan manusia dengan sang pencipta-Nya. Oleh karena wujud
arsitektur dalam masyarakat tertentu merupakan cerminan yang dipengaruhi oleh
aspek sosial budaya masyarakatnya, Rapoport dalam Asniawati (2000).
Wujud dalam arsitektur bila dihayati terlihat memiliki bentuk berbeda-beda
sesuai dengan kekuatan non fisik yang tumbuh dalam masyarakat tersebut, yang
menciptakan sistem sosial budaya, pemerintahan, tingkat pendidikan serta teknologi
terapannya yang semuanya membawa perubahan pada wujud fisik arsitektur. Salah
satu faktor yang sangat berpengaruh adalah sistem sosial budaya, Asniawati (2000).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa aspek non fisik tersebut menciptakan
berbagai bentuk, wujud dan fungsi arsitektur akibat nilai sosial, budaya, religi dan
pemerintahan yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
11
a.
Kebudayaan dalam Arsitektur
Kebudayaan selalu senafas dengan jamannya. Ekspresi budaya berupa
ilmu pengetahuan dan seni akan ditentukan oleh patron utama, yaitu
penguasa, Soekiman (2005). Kebudayaan akan mempengaruhi segala sistem
kehidupan. Rapoport (1963), menegaskan pendapatnya bahwa kebudayaan
akan mempengaruhi artefak, namun artefak tidak akan dapat mempengaruhi
kebudayaan itu sendiri.
Pendapat lain diutarakan oleh Mangunwijaya (1992), bahwa
kebudayaan berkaitan erat dengan pemikiran dan falsafah hidup. Kebudayaan
menyangkut segala aspek kehidupan, baik itu religi, sistem dan fungsi sosial
dan kesemuanya akan berpengaruh terhadap perkembangan arsitektur.
b. Kebudayaan kolonial Belanda
Elemen-elemen penyusun bangunan merupakan sebuah simbol yang
memiliki makna tersendiri, dan dapat dipahami dan dipelajari melalui kajian
arsitektural. Soekiman (2011) memperjelas bahwa, orang-orang Belanda,
pemilik perkebunan, golongan priyayi, dan penduduk pribumi yang telah
mencapai pendidikan tinggi merupakan masyarakat papan atas pada saat itu.
Mereka ikut serta dalam penyebaran kebudayaan Belanda, lewat gaya hidup
yang serba mewah. Kebijakan pemerintah Belanda menjadikan bentuk
arsitektur Hindia Belanda sebagai standar dalam pembangunan gedunggedung, baik milik pemerintah maupun swasta. Bentuk tersebut ditiru oleh
mereka yang bersatus sosial cukup baik, terutama para pedagang dari etnis
tertentu, dengan harapan agar memperoleh kesan pada status sosial yang
sama dengan para penguasa dan priyayi.
Bangunan kolonial Belanda juga merupakan bangunan yang tercipta
dari kebudayaan bangsa Belanda, baik secara murni, maupun yang sudah
dipadukan dengan budaya tradisional, dan kondisi lingkungan sekitar.
Bangunan kolonial memiliki makna dan simbol-simbol yang dapat dilihat
dari fungsi, bentuk, maupun gaya arsitekturnya.
c. Kebijakan pemerintah Hindia Belanda
Revolusi Industri di Eropa. Hal ini secara tidak langsung memberikan
dua pengaruh penting. Pertama, peningkatan kebutuhan bahan mentah,
menyebabkan timbulnya kota-kota adiministratur di Indonesia. Kedua,
berkembangnya konsep-konsep perencaan kota modern yang tercetus sebagai
tanggapan atas revolusi industri Misalnya konsep Garden City oleh Ebeneser
Howard. Kesemuanya ini juga mempengaruhi para arsitek asing dalam
berkarya Indonesia.
Politik cultuurstelsel menyebabkan berkembangnya sistem
perkebunan dengan komoditi tanaman keras, dan pula dianggap sebagal awal
berkembangnya wilayah pertanian dan kota-kota administratur perkebunan
Politik Etis (Etische Politiek). Politik mempunyai dampak bagi
12
perkembangan perencanaan kota di Indonesia, dengan dikembangkannya
perbaikan kampung kota (1934) Pengembangan Pranata dan Konstitusi Baru.
Terbitnya UU Desentralisasi, Decentralisatie Besluit Indisehe Staatblad tahun
1905/137, yang mendasari terbentuknya sistem kotapraja (Staadgemeente)
yang bersifat otonom. Hal ini memacu perkembangan konsepsi perencanaan
kota kolonial. Pada pelaksanaan poin 4 (empat) yaitu politik desentralisasi
yang memberikan otoritas kepada daerah dalam pengembangannya, kota-kota
mulai berkembang pesat, salah satu penyebabnya adalah tumbuh dan
berkembangnya perkebunan dan industrialisasi. Akibatnya, penduduk terlalu
padat, keadaan kota semakin buruk, terutama dalam hal sanitasi dan
pengadaan air minum.
2.1.3 Langgam (gaya) Arsitektur Belanda di Bandung
Kota Bandung sempat dijuluki sebagai kota yang menjadi laboratorium
arsitektur dunia. Hal tersebut, dilandasi dengan banyaknya aliran arsitektur dunia
yang diaplikasikan pada bangunan-bangunan yang ada di kota ini. Beberapa
aliran yang ada seperti Romantik Klasik, Indische Empire Stijl hingga aliran Art
Deco masih bisa dilihat di Bandung hingga saat ini.
Berikut 5 langgam arsitektur peninggalan Belanda di Bandung berikut
contoh bangunan-bangunannya.
2.1.3.1 Indo-Europeeschen Architectuur Stijl (Gaya Arsitektur Indonesia
Eropa)
Membicarakan langgam arsitektur di Kota Bandung seolah tak pernah
ada habisnya. Salah satunya adalah langgam “Indo-Europeeschen
Architeectuur Stijl” yang dicetuskan begawan arsitektur Belanda Dr. Hendrik
Petrus Berlage. Aliran ini memadukan gaya arsitektur modern dengan bentuk
arsitektur tradisional Indonesia. Diantara sekian banyak gedung peninggalan
Belanda yang masih berdiri kokoh sampai sekarang, beberapa diantaranya
menganut aliran ini. Bahkan status bangunan monumental disematkan pada
salah satunya yakni Gedung Sate. Bangunan lainnya yang menganut aliran
serupa antara lain; Gedung Utama ITB, Gedung Kantor BI, Gedung
Landmark (van Dorp) dan Gedung New Majestic.
“Indo-Europeeschen Architectuur Stijl” dicetuskan begawan
arsitektur Belanda Dr. Hendrik Petrus Berlage. Aliran ini memadukan gaya
arsitektur modern dengan bentuk arsitektur tradisional Indonesia. Diantara
sekian banyak gedung peninggalan Belanda yang masih berdiri kokoh sampai
sekarang, beberapa diantaranya menganut aliran ini. Bahkan status bangunan
monumental disematkan pada salah satunya. Berikut paparannya:
13
1. Gedung Sate (Kantor Gubernur Jawa Barat)
2.1.3.1a Gedung Sate dahulu
(sumber : bandoenglover.wordpress.com)
2.1.3.1b Gedung Sate dari atas
(sumber : flickr.com)
Gedung Sate yang pada masa Hindia Belanda itu disebut Gouvernements
Bedrijven (GB), peletakan batu pertama dilakukan oleh Johanna Catherina Coops,
puteri sulung Walikota Bandung, B. Coops dan Petronella Roelofsen, mewakili
Gubernur Jenderal di Batavia, J.P. Graaf van Limburg Stirum pada tanggal 27 Juli
1920. Arsitektur Gedung Sate merupakan hasil karya arsitek Ir. J. Gerber dan
kelompoknya yang tidak terlepas dari masukan maestro arsitek Belanda Dr. Hendrik
Petrus Berlage, yang bernuansakan wajah arsitektur tradisional Nusantara. Banyak
kalangan arsitek dan ahli bangunan menyatakan Gedung Sate adalah bangunan
monumental yang anggun mempesona dengan gaya arsitektur unik mengarah kepada
bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa, (Indo Europeeschen architectuur stijl), sehingga
tidak mustahil bila keanggunan Candi Borobudur ikut mewarnai Gedung Sate.
14
2.1.3.1c Gedung Sate sekarang
Bangunan gedung ini dirancang arsitek Ir J. Berger dari Landsgeboundienst,
dinas pembangunan gedung-gedung pemerintah Negeri Belanda. Dibutuhkan tenaga
hingga 2.000 orang pekerja. Di antara ribuan pekerja itu, terdapat lebih kurang 150
Cina Konghu atau Kanton, tukang kayu dan pemahat batu yang trampil di negerinya.
Arsitek Belanda, Dr.Hendrik Petrus Berlage, menyebut bahwa Gedung Sate beserta
rancangan kompleks Pusat Perkantoran Instansi Pemerintahan Sipil Hindia Belanda
di Bandung merupakan sebuah karya besar. Sementara Coor Passchier dan Jan
Wittenberg, dua arsitek Belanda yang meng-inventarisir bangunan kolonial di
Bandung, menyebut Gedung Sate sebagai sebagai bangunan monumental yang
anggun mempesona, serta memiliki gaya arsitektur yang unik, dan gigantik.
Gedung Sate sendiri sebenarnya hanya bagian kecil atau sekira 5% dari
“Kompleks Pusat Perkantoran Insatansi Pemerintah Sipil” Hindia Belanda yang
menempati lahan Bandung Utara seluas 27.000 meter persegi. Oleh penduduk tempo
dulu “Gedong Sate” dinamai “Gedong Bebe” yang kemudian lebih populer dengan
“Gedung Sate” karena di puncak menara gedung tersebut terdapat “tusuk sate”
dengan 6 buah ornamen berbentuk jambu air.
2. Gedung Utama ITB
Gambar 2.1.3.1d Gedung ITB dahulu
(Sumber: photos-b.ak.fbcdn.net)
15
Gambar 2.1.3.1e ITB Tampak Atas
(Sumber : flickr.com)
Bangunan utama ini dirancang oleh Ir. Macline Pont, seorang arsitek dari
mashab “Indo-Europeeschen Architectuur Stijl” yang berhasil memadukan gaya seni
arsitektur bangunan tradisional Nusantara dengan keterampilan teknik konstruksi
barat. ITB didirikan pada 3 Juli 1920 dengan nama “Technische Hooge School
(THS)” te Bandoeng dengan satu fakultas de Faculteit van Technische
Wetenschap yang hanya mempunyai satu jurusan de afdeeling der Weg en
Waterbouw.
3. Gedung BI
Gambar 2.1.3.1f Bank Indonesia
(Sumber: disparbud.jabarprov.go.id)
Di utara Jalan Braga tepat berhadapan dengan balai kota Bandung, terdapat
sebuah gedung yang indah yang ditempati oleh Bank Indonesia Cabang Bandung.
Gedung ini dahulunya digunakan oleh De Javasche Bank. Berdiri sejak 1917,
bangunan tua yang tampak cukup megah dan masih berdiri kokoh tersebut dirancang
oleh arsitek Edward Cuypers.
16
4. Gedung Van Dorp
Gambar 2.1.3.1g Gedung Van Dorp atau Landmark sekarang
(Sumber: a8.sphotos.ak.fbcdn.net)
Gedung bekas Toko Buku Van Dorp terletak di penggalan bagian utara Jl.
Braga, sekarang digunakan oleh Gedung Land Mark Convention Center. Gedung ini
merupakan salah satu dari deretan bangunan pertokoan di Braga yang menggunakan
arcade, yaitu suatu konsep perencanaan bangunan pertokoan yang bertujuan untuk
memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki di sepanjang trotoar di depannya.
Gedung Van Dorp dibangun pada tahun 1922 berdasarkan rancangan arsitek Ir.C.P.
Wolff Schoemaker. Ornamen kepala Batara Kala pada bagian depan bangunan di sisi
kanan dan kirinya merupakan upaya untuk menyerap unsur budaya lokal. Meskipun
demikian, bangunan ini secara keseluruhan masih berkarakteristik Eropa.
5. Gedung Majestic
Gambar 2.1.3.1h Gedung Majestic
(Sumber: bandungsae)
Masih di Jalan Braga, terdapat sebuah gedung seni pertunjukan yang
dahulunya berfungsi sebagai gedung bioskop atau teater. Nama gedung tersebut
dikenal dengan gedung Majestic yang dibangun pada 1925. Gedung itu dirancang
oleh arsitek kenamaan C.P. Wolff Schoemaker, yang merupakan salah satu guru Ir.
Sukarno ketika kuliah di Technische Hooge School, ITB. Ciri khas dari gedung ini
17
sama seperti Gedung Van Dorp, yakni terdapatnya ornamen batara kala dibagian
muka bangunan.
6. Museum Pos Indonesia
Gambar 2.1.3.1i Museum Pos Indonesia
Museum POS Indonesia merupakan salah satu jenis museum yang ada di
Kota Bandung. Meseun POS indonesia berada di sebelah timur Gedung Sate dan
besampingan dengan Kantor Pusat PT. POS Indonesia. Tepatnya Jalan Cilaki No. 73
Bandung – 40115, Jawa Barat, Indonesia. Museum buka setiap hari ( dari Hari Senin
sampai Hari Minggu ) dari jam 09.00 sampai 16.00 WIB, museum tutup pada hari
libur nasional.
Pada tahun 1920 Museum POS Indonesia dibangun, orang yang merancang
gedung bernama J. Berger dan Leutdsgeboulwdienst, dengan gaya arsitektur Italia.
Tahun 1933 Museum POS Indonesia bernama Museum POS Telegrap dan Telepon
atau disebut juga PTT. Dan waktu Perang Dunia Ke II hingga masa Jepang ada di
Indonesia tahun 1942 museum tidak terurus. Bahkan pada saat revolusi kemerdekaan
hingga akhir tahun 1979 masih tidak terawat. Di awal tahun 1980 membuat panitia
untuk merevitalisasi museum agar berfungsi kembali untuk memamerkan koleksi
benda-benda pos dan telekomunikasi.
Koleksi Museum Pos Indonesia tidak semata-mata hanya di benda-benda
pos dan telekomunikasi saja, melaikan memamerkan buku-buku, peralatan pos,
visualisasi dan diorama kegiatan pengeposan. Keistimewaan dari Museum Pos
Indonesia yaitu sekitar 50 ribu lembar pernagko dari 178 negara dari tahun 1933
sampai sekarang. Perangko pun diletakkan di dalam lemari kaca yang disebut vitrin.
Lemari kaca yang dilengkapi dengan sistem keamaan betupa palang besi dan kunci.
Mengapa dilakukan demikian? Karena koleksi perangako yang ada di museum ini
sangat berharga, jika dirupiahkan bisa mencapai milyaran rupiah.
Pada saat kita berkunjung ke Museum Pos Indonesia kita disambut dengan
perlengakapan baju zaman kolonial Belanda, selain itu yang paling menarik
perhatian adalah adanya patung tokoh POS Indonesia yaitu Mas Soeharto merupakan
tokoh yang diculik oleh Belanda. Di Museum Pos Indonesia terdapat juga lukisan
perangko yang bernama The Penny Black, yang dgambar oleh Ratu Victoria dan
diterbitkan pada tahun 1840. Di sini juga di pajang gambar orang yang membuat
18
perangko Sir Rowland dari Dinas Perpajakan Inggris.
Fasilitas yang tersedia di gedung Museum POS Indonesia. Ada ruang pamer
tetap, ruang perpustakaan, gudang koleksi, bengkel atau tempat reparasi benda-benda
yang ada di museum yang rusak. Dengan berkunjung ke Museum POS Indonesia kita
bisa mengetahui sejarah dan mengenal kembali peralatan POS yang ada, dan
mungkin pada zaman sekarang jarang digunakan oleh orang banyak bahkan telah
dilupakan.
Tak jauh dari sini kita juga bisa mengunjungi Gedung Sate Bandung, Monumen
Perju- angan Jawa Barat, Museum Geologi Bandung dan masih bnyak lagi
yang bisa anda kunjungi saat ke Bandung.
2.1.3.2 De Indische Empire Stijl (Gaya Kekaisaran Hindia)
Gaya arsitektur Hindia Belanda abad ke-19 yang dipopulerkan Gubernur
Jendral Herman William Daendels adalah De Indische Empire Stijl. Gaya arsitektur
yang dikenal juga The Empire Style ini adalah suatu gaya arsitektur neo-klasik yang
melanda Eropa (terutama Prancis, bukan Belanda) yang diterjemahkan secara bebas.
Hasilnya berbentuk gaya Hindia Belanda (Indonesia) yang bergaya kolonial, yang
disesuaikan dengan lingkungan lokal dengan iklim dan tersedianya material pada
waktu itu. Ciri-cirinya antara lain: denah yang simetris, satu lantai dan ditutup
dengan atap perisai. Karakteristik lain dari gaya ini diantaranya: terbuka, terdapat
pilar di serambi depan dan belakang, terdapat serambi tengah yang menuju ke ruang
lain. Ciri khas dari gaya arsitektur ini yaitu adanya barisan pilar atau kolom (bergaya
Yunani) yang menjulang ke atas serta terdapat gevel dan mahkota di atas serambi
depan dan belakang. Serambi belakang seringkali digunakan sebagai ruang makan
dan pada bagian belakangnya dihubungkan dengan daerah servis. Contoh bangunan
yang mewakili gaya ini, Gedung Pakuan dan Kantor Polres Tabes.
Gambar 2.1.3.2 Gedung Pakuan
19
2.1.3.3 Art Deco
Art Deco adalah gaya hias yang lahir setelah Perang Dunia I dan berakhir
sebelum Perang Dunia II yang banyak diterapkan dalam berbagai bidang, misalnya
eksterior, interior, mebel, patung, poster, pakaian, perhiasan dan lain-lain dari 1920
hingga 1939, yang memengaruhi seni dekoratif seperti arsitektur, desain interior, dan
desain industri, maupun seni visual seperti misalnya fesyen, lukisan, seni grafis, dan
film. Gerakan ini, dalam pengertian tertentu, adalah gabungan dari berbagai gaya dan
gerakan pada awal abad ke-20, termasuk Konstruksionisme, Kubisme, Modernisme,
Bauhaus, Art Nouveau, dan Futurisme. Popularitasnya memuncak pada 1920-an.
Meskipun banyak gerakan desain mempunyai akar atau maksud politik atau filsafati,
Art Deco murni bersifat dekoratif. Pada masa itu, gaya ini dianggap anggun,
fungsional, dan ultra modern. Contoh bangunan yang menerapakan gaya ini, antara
lain: Hotel Savoy Homann, Arsitek Albert Aalbers. Grand Hotel Preanger, Gedung
Merdeka, dan Villa Isola, Arsitek Wolff Schoemaker, Gedung Jaarbeurs.
1.
Konservasi Arsitektur Villa Isola, Bandung
Villa Isola, Bandung adalah bangunan villa yang terletak di kawasan
pinggiran utara Kota Bandung. Berlokasi pada tanah tinggi, di sisi kiri jalan menuju
Lembang (Jln. Setiabudhi). Villa Isola adalah salah satu bangunan yang dibangun
pada tahun 1932 bergaya Arsitektur Art Deco yang banyak dijumpai di Bandung,
yang merupakan salah satu dari karya arsitek terkenal dari Belanda C.P Schoemaker.
Sejarah
Di awal tahun 30 an seluruh dunia mengalami krisis global, termasuk
indonesia yang pada saat itu perekonomian indonesia di bawah kendali belanda. tapi
krisis tersebut tidak berpengaruh bagi seseorang yang bernama : Dominique Willem
Berretty ((20 Nov 1890 - hindia belanda) yang merupakan keturunan campuran jawaitali.
Saat Berretty masih muda dia pernah bekerja di surat kabar java bode, sampai
akhirnya pada tahun 1907 mendirikan usaha jasa telegraf yang konon katanya
merupakan perusahaan jasa telegraf pertama di Indonesia. Karir Berretty makin
menanjak pada saat dia mendirikan agen pers ANETA (Algemeen Nieuws en
Telegraaf Agentschap) di Batavia. Dengan karir ini Berretty mampu memonopoli
pengadaan barang tentang Hindia Belanda.
Kesukesean Berretty menjadikannya seseorang yang kaya raya dan selebriti
pada masa itu, namun banyak sekali orang tidak senang dengan kesuksesan dan
ketenarannya. Setelah Berretty kaya raya, dia mulai mambangun Villa Isola dengan
biaya yang sangat fantastik yaitu : 500.000 gulden ( sekitar 250 Milyar rupiah).
Dari jaman dahulu sampai sekarang Bandung terkenal dengan udaranya yang
sangat sejuk, terlebih daerah Bandung utara atau Lembang sekitarnya, dari situlah
Berretty memilih tempat yang tepat untuk membangun sebuah vila.
20
Gambar 2.1.3.3a Villa Isola, Bandung
Villa Isola dibangun di atas tanah seluas ± 1 hektar yang mencakup:
bangunan, taman, kolam, dan kebun anggur, tepat nya di Jl. Setia Budi No.229 atau
Lembang Wegh (orang belanda biasa menyebutnya).
Villa Isola di desain oleh seorang arsitek ternama pada masa itu, yaitu : C.P
Wolf Schoemaker, gedung ini di bangun dengan waktu yang sangat singkat Oktober
1932 sampai Maret 1933. Schoemaker dikenal sebagai Arsitek Art Deco yang mahir
menyelaraskan arsitektur eropa dengan lingkungan tropis dan keahliannya dalam
memadukan elemen dekoratif kuno dengan arsitektur modern, sehingga dia dikenal
sebagai arsitek terbaik pada masa itu.
Villa Isola selesai dibangun 1933, namun tragis bagi pemiliknya, pada 20
Desember 1934, Pesawat Uiver (pesawat milik KLM, yang menjadi simbol
kebanggaan Belanda karena berhasil memenangkan perlombaan udara London –
Melbourne pada Oktober 1934) yang mengangkut 350 kg surat, 4 orang awak dan 3
penumpang, termasuk Berrety, jatuh di Siria, perbatasan Irak dalam penerbangan
reguler dari Amsterdam menuju Batavia. Penyebab kecelakaan menurut versi resmi
pemerintah Belanda adalah, mesin pesawat lumpuh akibat diterjang kilat yang
menewaskan semua awak dan penumpangnya, namun pesawat masih bisa terbang
tanpa pilot dan jatuh kemudian terbakar di Siria, perbatasan Irak.
Setelah Beretty meninggal, Villa ini dibeli oleh Savoy Homann untuk menjadi
bagian dari hotel tersebut. Pada masa kemerdekaan, bangunan ini menjadi markas
tentara Jepang dan pernah menjadi markas tentara pejuang kemerdekaan. Pada
tanggal 20 Oktober 1954, gedung ini diserahkan oleh Perdana Menteri Ali
Sastroamidjodjo kepada Menteri Pendidikan Muhammad Yamin sebagai gedung
utama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG), dan peristiwa ini menandai
berdirinya PTPG. PTPG kemudian berangsur-angsur berkembang dan berubah
menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dari Universitas Padjadjaran
(1958), kemudian menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung (IKIP
Bandung, 1963) sampai akhirnya sekarang menjadi Universitas Pendidikan Indonesia
(UPI, 1999).Pada masa pendudukan Jepang, Gedung ini sempat digunakan sebagai
kediaman sementara Jenderal Hitoshi Imamura saat menjelang Perjanjian Kalijati dengan Pemerintah terakhir Hindia Belanda di Kalijati, Subang, Maret 1942.
21
Tentara Indonesia kemudian berhasil merebut Villa Isola. Semenjak itulah
nama Vila Isola berubah menjadi Bumi Siliwangi yang mengandung arti rumah
pribumi. Saat itu keadaan Villa Isola atau Bumi Siliwangi berupa puing-puing
bangunan yang telah hancur di beberapa bagian.
Pada tahun 1954 Villa Isola pun dibeli pemerintah Indonesia seharga Rp
1.500.000. Vila Isola atau Bumi Siliwangi itu pun kemudian dijadikan gedung
Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG). PTPG ini merupakan cikal bakal dari
IKIP atau UPI Bandung saat ini.
Semenjak tahun 1954 Villa Isola menjadi kantor rektorat dan juga ruang kelas
sekaligus. Tahun 1963 PTPG pun berubah menjadi IKIP Bandung. Sampai saat ini
Rektor, Pembantu Rektor dan Sekretariat Universitas masih menempati Villa Isola.
Arsitektur Bangunan
Gedung ini berarsitektur modern dengan memasukkan konsep tradisional
dengan filsafat arsitektur Jawa bersumbu kosmik utara-selatan seperti halnya Gedung
Utama ITB dan Gedung Sate. Orientasi kosmik ini diperkuat dengan taman
memanjang di depan gedung ini yang tegak lurus dengan sumbu melintang bangunan
ke arah Gunung Tangkuban Perahu. Bangunan berlantai tiga, dengan lantai terbawah
lebih rendah dari permukaan jalan raya, disebabkan karena topografinya tidak rata.
Ranah sekeliling luas terbuka, dibuat taman yang berteras-teras melengkung
mengikuti permukaan tanahnya. Sudut bangunan melengkung-lengkung membentuk
seperempat lingkaran. Secara keseluruhan bangunan dan taman bagaikan air
bergelombang yang timbul karena benda jatuh dari atasnya, sehingga gedung ini
merupakan penyesuaian arsitektural antara bangunan terhadap lingkungan.
Gambar 2.1.3.3b Tampak Atas Villa Isola
22
Gambar 2.1.3.3c Belakang Villa Isola
Peletakkan Massa
Dalam meletakkan massa Villa Isola, Schoemaker menggunakan sumbu
imajiner utara-selatan dengan arah utara menghadap Gunung Tangkuban Perahu dan
arah selatan menghadap Kota Bandung. Penggunaan sumbu utara-selatan dengan
berorientasi pada sesuatu yang sakral (gunung atau laut) merupakan orientasi kosmis
masyarakat di Pulau Jawa. Hal yang sama diterapkan dalam pengolahan tapak
Technische Hoogheschool te Bandoeng (Institut Teknologi Bandung/ITB) yang
berorientasi pada Gunung Tangkuban Perahu dan Kota Yogyakarta pada Gunung
Merapi.
Villa Isola terletak di antara dua taman yang memiliki ketinggian berbeda.
Taman di bagian selatan lebih rendah daripada taman di bagian utara. Taman di utara
didesain dengan menghadirkan nuansa Eropa di dalamnya. Hal ini diperkuat dengan
kolam berbentuk persegi dengan patung marmer di tengahnya. Pada taman ini
terdapat jalur yang merupakan as yang membagi taman menjadi dua bagian simetris.
Mendekati bagian utara bangunan, akan terlihat tangga berbentuk setengah lingkaran
yang titik pusatnya berada pada bangunan.
Hal serupa juga diterapkan pada taman bagian selatan. Pengolahan bentuk
anak tangga setengah lingkaran berpusat pada bangunan Villa Isola. Kedua taman
yang memiliki perbedaan ketinggian dihubungkan dengan dua tangga melingkar
pada sisi barat dan timur bangunan. Pengolahan taman dengan menggunakan bentuk
melingkar yang berpusat pada bangunan yang juga memiliki bentuk melingkar,
menjadikan bangunan menyatu dengan lahan di sekitarnya.
23
Gambar 2.1.3.3d Peletakkan Massa
Gambar 2.1.3.3e Taman Villa Isola
Gambar 2.1.3.3f Taman Villa Isola
Fasad dan Interior
Fasad bangunan Villa Isola diperkaya dengan garis-garis lengkung horizontal.
Hal ini merupakan ciri arsitektur Timur yang banyak terdapat pada candi di Jawa dan
India. Pada saat-saat tertentu, garis dan bidang memberi efek bayangan dramatis
pada bangunan.
Seperti kebanyakan karya Schoemaker, Villa Isola memiliki bentuk simetris.
Suatu bentuk berkesan formal dan berwibawa. Pintu utama terdapat pada bagian
24
tengah bangunan, menghadap ke utara. Pintu ini dilindungi sebuah kanopi berupa
dak beton berbentuk melengkung yang ditopang satu tiang pada ujungnya.
Bangunan berlantai tiga, dengan lantai terbawah lebih rendah dari permukaan
jalan raya, disebabkan karena topografinya tidak rata. Ranah sekeliling luas terbuka,
dibuat taman yang berteras-teras melengkung mengikuti permukaan tanahnya. Sudut
bangunan melengkung-lengkung membentuk seperempat lingkaran. Secara
keseluruhan bangunan dan taman bagaikan air bergelombang yang timbul karena
benda jatuh dari atasnya, sehingga gedung ini merupakan penyesuaian arsitektural
antara bangunan terhadap lingkungan.
Bagian villa yang menghadap utara dan selatan digunakan untuk ruang tidur,
ruang keluarga, dan ruang makan; masing-masing dilengkapi jendela dan pintu
berkaca lebar, sehingga penghuni dapat menikmati pemandangan indah di sekitarnya.
Pemandangan indah ini juga dapat diamati dari teras yang memanfaatkan atap datar
dari beton bertulang di atas lantai tiga.
Pada taman belakang terdapat kolam dengan pergola untuk bungadan
dilengkapi dengan lapangan tenis. Di depan sebelah utara jauh terpisah dari
bangunan utama ditempatkan unit pelayanan terdiri dari garasi untuk beberapa mobil,
rumah sopir, pelayan, gudang dan lain-lain.
Pintu gerbang masuk ke komplek villa ini terbuat dari batu yang
dikombinasikan dengan besi membentuk bidang horisontal dan vertikal. Setelah
melalui gapura dan jalan aspal yang cukup lebar, terdapat pintu masuk utama yang
dilindungi dari panas dan hujan dengan portal datar dari beton bertulang. Mengikuti
lengkungan-lengkungan pada dinding, denah portal juga melengkung berupa bagian
dari lingkaran pada sisi kanannya. Ujung perpotongan kedua lengkungan disangga
oleh kolom tunggal yang mirip dengan bagian rumah Toraja (tongkonan). Setelah
melalui pintu utama terdapat vestibulae sebagaimana rumah-rumah di Eropa
umumnya.
Ruang penerima ini terdapat di balik pintu masuk utama selain berfungsi
untuk tempat mantel, payung tongkat dan lain lain juga sebagai ruang peralihan
antara ruang luar dengan ruang di dalam. Dari vestibulae ke kiri dan ke kanan
terdapat tangga yang melingkar mengikuti bentuk gedung secara keseluruhan.
Tangga ini terus-menerus sampai ke atap.
Ruang-ruang seperti diekspresikan pada wajah gedung bagian utara (depan)
maupun selatan (belakang) juga simetris. Ruang-ruang yang terletak di sudut,
dindingnya berbentuk 1/4 lingkaran. Lantai paling bawah digunakan untuk rekreasi,
bermain anak-anak dilengkapi dengan mini bar langsung menghadap ke teras taman
belakang. Selain itu pada bagian ini, terdapat juga ruang untuk kantor, dapur, kamar
mandi dan toilet.
Di atasnya adalah lantai satu yang langsung dicapai dari pintu masuk utama.
Pada lantai ini, di belakang vestibule terdapat hall cukup besar, permukaannya sedikit
lebih rendah, karena itu dibuat tangga menurun. Kemudian setelah tangga langsung
ke salon atau ruang keluarga yang sangat luas. Antara hall dan salon dipisahkan oleh
pintu dorong sehingga bila diperlukan, kedua ruangan ini dapat dijadikan satu ruang
25
yang cukup luas. Jendela pada ruangan ini juga mengikuti dinding yang berbentuk
lingkaran sehingga dapat leluasa memandang kota Bandung. Ruang makan terletak
di sebelah kiri (barat) salon. Di sebelah kanan (timur) ruang makan terdapat ruang
kerja lengkap dengan perpustakaan dan ruang ketik di belakangannya (utara). Semua
ruang berjendela lebar kecuali untuk menikmati pemandangan luar, juga sebagai
ventilasi dan saluran sinar matahari. Pembukaan jendela, pintu yang lebar merupakan
penerapan konsepsi tradisional yang menyatu dengan alam.
Semua ruang tidur ditempatkan pada lantai dua berjejer dan berhadapan satu
dengan lainnya yang masing masing dihubungkan dengan gang di tengah. Pembagian
ruang tidur dilakukan secara simetris. Di sebelah selatan terdapat ruang tidur utama,
tengah utara untuk ruang keluarga dan di sebelah barat dan timur terdapat lagi kamar
tidur. Masing-masing kamar mempunyai teras atau balkon. Kamar tidur utama sangat
luas dengan ruang pakaian dan toilet di kiri kanannya. Antara ruang tidur utama dan
teras terdapat pintu dorong selebar dinding sehingga apabila dibuka teras menyatu
dengan kamar tidur, menghadap ke arah kota Bandung. Untuk melindungi teras dan
ruang tidur dari air hujan, dibuat tritisan dari kaca disangga dengan rangka baja.
Bentuk ruang keluarga identik dengan ruang tidur utama, dengan latar
belakang ke arah utara, sehingga Gunung Tangkuban Parahu menjadi vistanya. Di
atas ruang-rung tidur terdapat lantai tiga yang terdiri atas sebuah ruang cukup luas
untuk pertemuan atau pesta, kamar tidur untuk tamu, sebuah bar, dan kamar mandi
serta toilet tersendiri. Sama dengan ruang lainnya. ruang ini memiliki teras, jendela
dan pintu dorong lebar.
Bangunan ini ada tendensi horisontal dan vertikal yang ada pada arsitektur
India yang banyak berpengaruh pada candi-candi di Jawa. Dikatakannya dalam
arsitektur candi maupun bangunan tradisional, keindahan ornamen berupa garis
garis molding akan lebih terlihat dengan adanya efek bayangan matahari yang
merupakan kecerdikan arsitek masa lampau dalam mengeksploitasi sinar matahari
tropis.
Schoemaker banyak memadukan falsafah arsitektur tradisional dengan
modern dalam bangunan ini. Secara konsisten, ia menerapkannya mulai dari
kesatuan dengan lingkungan, orientasi kosmik utara selatan, bentuk dan pemanfaatan
sinar matahari untuk mendapat efek bayangan yang memperindah bangunan.
Seperti pintu masuk utara, pintu masuk selatan berhadapan langsung dengan
taman. Pengolahan lahan, taman, dan elemen-elemennya turut mendukung keunikan
Villa Isola terutama dari segi bentuk. Semuanya itu menyuarakan satu bentuk yaitu
bundar.
26
Gambar 2.1.3.3g Pintu Masuk Villa Isola
Gambar 2.1.3.3h Pintu Masuk Villa Isola
Gambar 2.1.3.3i Tangga Villa Isola
27
Gambar 2.1.3.3j Kantor Beretty
Gambar 2.1.3.3k Ruang Makan
Gambar 2.1.3.3l Ruang Keluarga
28
29
Gambar 2.1.3.3m Interior Villa Isola
Tahap Pemugaran
Kawasan Isola Heritage ini memiliki konsep eduturisme karena
menggabungkan hutan kota sekaligus sebagai areal penelitian. Didukung dengan
30
botanical garden, diharapkan Isola Heritage pun dapat berfungsi sebagai paru-paru
kota.
Proses revitalisasi Gedung Isola diantaranya dengan pemugaran taman dan
kolam serta penambahan monumen pendidikan dan gedung informasi di sekitarnya.
Isola Heritage akan jadi kawasan cagar budaya yang dapat dinikmati seluruh
kalangan sebagai bagian dari wisata pendidikan.
2. Hotel Savoy Homan
Gambar 2.1.3.3n Streamline Hotel Savoy Homann dan Bank BJB
Ingat Bandung tentu ingat pula bangunan bersejarahnya. Kota Bandung
memang cukup terkenal dengan bangunan-bangunan bersejarah berarsitektur
kolonial Belanda, mulai dari gedung pemerintahan, rumah pejabat, hingga
perhotelan. Tak heran kota tersebut memiliki julukan Parijs Van Java, melihat begitu
banyaknya bangunan yang dipengaruhi arsitektur di Eropa.
Di tengah megahnya hotel-hotel yang dibangun pengembang saat ini, masih
saja ada pemilik yang mempertahankan keaslian arsitektur bangunannya. Sebut saja
Grand Hotel Preanger dan Savoy Homann Bidakara Hotel. Mari kita urai satu persatu
hotel yang menjadi landmark Kota Kembang ini.
Grand Hotel Preanger, hotel bintang lima karya perancang Prof Wolf P.
Schoemaker ini didirikan pertama kali pada 1897 oleh seorang Belanda, W.H.C. Van
31
Deertekom. Dengan mengusung gaya Indische Empire, hotel ini menjadi tempat
berlibur favorit para pemilik perkebunan di Priangan.
Oleh Schoemaker sendiri, hotel yang berlokasi di Jalan Asia Afrika No.81
Bandung ini terus mengalami perombakan, tepatnya pada 1928 dan berganti nama
dari Hotel Preanger menjadi Grand Hotel Preanger.
Schoemaker yang juga adalah guru besar arsitektur di Technische
Hogeschool, kini Institut Teknologi Bandung (ITB), menerapkan gaya arsitektur
modern fungsional stream line dengan Art Deco Geometrik.
Karena keindahan arsitekturnya tersebut pula, hotel ini pernah menjadi
tempat menginap tamu-tamu besar dari berbagai negara peserta Konferensi Asia
Afrika yang berlangsung pada 1955.
Pada tahun 1980-an, hotel yang kini dikelola oleh PT Aerowisata ini kembali
mengalami perluasan, terutama pada bagian timur. Pada 1998 pihak Aerowisata juga
menambah daya tampung dengan membangun tower setinggi 10 lantai. Dengan
adanya tower tersebut maka Grand Hotel Preanger memiliki 189 kamar. Terdiri dari
137 kamar superior, 46 kamar eksekutif, 5 kamar suite dan 1 kamar presidential
suite.
Hotel lainnya yang tidak kalah menarik adalah Savoy Homann Bidakara
Hotel, hotel bintang lima yang juga berdiri di kawasan Jalan Asia Afrika No 112
Bandung. Hotel yang semula bernama Hotel Homann tersebut merupakan
penginapan yang dijalankan oleh keluarga Homann asal Jerman pada 1880-an.
Hotel ini bermula dari bangunan bambu kemudian direkontruksi ke gaya
neogothik romantik yang sedang populer pada saat itu. Pada 1939, A.F. Aalbers
ditugaskan Direktur Hotel Homann kala itu, Fr. JA. Van Es, untuk mendesain ulang
bangunan hotel ke gaya gelombang samudra atau streamline art deco.
3. Museum Konfrensi Asia Afrika Bandung dan Gedung Merdeka
Gedung yang terletak di jalan Asia Afrika ini didirikan oleh seorang arsitek
Belanda yang bernama Van Galenlast dan C.O. Wolf Shoomaker. Gedung ini
menjadi sangat terkenal sejak diadakannya Konferensi Asia Afrika tahun 1955,
kemudian Konferensi Mahasiswa Asia Afrika tahun 1956 dan Konferensi Islam Asia
Afrika yang menyimpan naskah-naskah dan peniggalan-peniggalan Asia Afrika yang
terkenal. Gedung ini dibuka untuk umum setiap harikerja dan mudah dicapai dengan
menggunakan bus kota jurusan Cicaheum-Cibeureum, Museum yang menampilkan
koleksi foto-foto dan barang-barang tiga dimensi yang berhubungan dengan
Konferensi Asia Afrika 1955.
Arsitektur Bangunan
Bangunan ini dirancang oleh Van Gallen Last dan C.P. Wolff Schoemaker.
Keduanya adalah Guru Besar pada Technische Hogeschool (Sekolah Teknik Tinggi),
yaitu ITB sekarang, dua arsitektur Belanda yang terkenal pada masa itu, Gedung ini
32
kental sekali dengan nuansa art deco dan gedung megah ini terlihat dari lantainya
yang terbuat dari marmer buatan Italia yang mengkilap, ruangan-ruangan tempat
minum-minum dan bersantai terbuat dari kayu cikenhout, sedangkan untuk
penerangannya dipakai lampu-lampu bias kristal yang tergantung gemerlapan.
Gedung ini menempati areal seluas 7.500 m2.
Sejarah Gedung
Pada saat itu bangunan ini bernama SOCITEIT CONCORDIA dipergunakan
sebagai tempat rekreasi oleh sekelompok masyarakat Belanda yang berdomisili di
kota Bandung dan sekitarnya. Mereka adalah para pegawai perkebunan, perwira,
pembesar, pengusaha, dan kalangan lain yang cukup kaya. Pada hari libur, terutama
malam hari, gedung ini dipenuhi oleh mereka untuk menonton pertunjukan kesenian,
makan malam.
Pada masa pendudukan Jepang gedung ini dinamakan Dai Toa Kaman
dengan fungsinya sebagai pusat kebudayaan.
Pada masa proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17
agustus 1945 gedung ini digunakan sebagai markas pemuda Indonesia guna
menghadapi tentara Jepang yang pada waktu itu enggan menyerahkan kekuasaannya
kepada Indonesia.
Setelah pemerintahan Indonesia mulai terbentuk (1946 - 1950) yang ditandai
oleh adanya pemerintahan Haminte Bandung, Negara Pasundan, dan Recomba Jawa
Barat, Gedung Concordia dipergunakan lagi sebagai gedung pertemuan umum. disini
biasa diselenggarakan pertunjukan kesenian, pesta, restoran, dan pertemuan umum
lainnya.
Dengan keputusan pemerintah Republik Indonesia (1954) yang menetapkan
Kota Bandung sebagai tempat Konferensi Asia Afrika, maka Gedung Concordia
terpilih sebagai tempat konferensi tersebut. Pada saat itu Gedung Concordia adalah
gedung tempat pertemuan yang paling besar dan paling megah di Kota Bandung .
Dan lokasi nya pun sangat strategis di tengah-tengah Kota Bandung serta dan dekat
dengan hotel terbaik di kota ini, yaitu Hotel Savoy Homann dan Hotel Preanger.
Dan mulai awal tahun 1955 Gedung ini dipugar dan disesuaikan
kebutuhannya sebagai tempat konferensi bertaraf International, dan
pembangunannya ditangani oleh Jawatan Pekerjaan Umum Propinsi Jawa Barat yang
dimpimpin oleh Ir. R. Srigati Santoso, dan pelaksana pemugarannya adalah : 1) Biro
Ksatria, di bawah pimpinan R. Machdar Prawiradilaga 2) PT. Alico, di bawah
pimpinan M.J. Ali 3) PT. AIA, di bawah pimpinan R.M. Madyono.
Setelah terbentuk Konstituante Republik Indonesia sebagai hasil pemilihan
umum tahun 1955, Gedung Merdeka dijadikan sebagai Gedung Konstituante. Karena
Konstituante dipandang gagal dalam melaksanakan tugas utamanya, yaitu
menetapkan dasar negara dan undang-undang dasar negara, maka Konstituante itu
dibubarkan oleh Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Selanjutnya, Gedung Merdeka
dijadikan tempat kegiatan Badan Perancang Nasional dan kemudian menjadi Gedung
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang terbentuk tahun 1960.
33
Meskipun fungsi Gedung Merdeka berubah-ubah dari waktu ke waktu sejalan
dengan perubahan yang dialami dalam perjuangan mempertahankan, menata, dan
mengisi kemerdekaan Republik Indonesia , nama Gedung Merdeka tetap terpancang
pada bagian muka gedung tersebut.
Pada tahun 1965 di Gedung Merdeka dilangsungkan Konferensi Islam Asia
Afrika. Pada tahun 1971 kegiatan MPRS di Gedung Merdeka seluruhnya dialihkan
ke Jakarta . Setelah meletus pemberontakan G30S/ PKI, Gedung Merdeka dikuasai
oleh instansi militer dan sebagian dari gedung tersebut dijadikan sebagai tempat
tahanan politik G30S/ PKI. Pada bulan Juli 1966, pemeliharaan Gedung Merdeka
diserahkan oleh pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa
Barat, yang selanjutnya oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat
diserahkan lagi pelaksanaannya kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya
Bandung. Tiga tahun kemudian, tanggal 6 Juli 1968, pimpinan MPRS di Jakarta
mengubah surat keputusan mengenai Gedung Merdeka (bekas Gedung MPRS)
dengan ketentuan bahwa yang diserahkan adalah bangunan induknya, sedangkan
bangunan-bangunan lainnya yang terletak di bagian belakang Gedung Merdeka
masih tetap menjadi tanggung jawab MPRS.
Pada Maret 1980 Gedung ini kembali dipercayakan menjadi tempat
peringatan Konferensi Asia Afrika yang ke-25 dan pada Puncak peringatannya
diresmikan Museum Konferensi Asia Afrika oleh Soeharto Presiden Republik
Indonesia – 2.
1. Pameran Tetap
Museum Konperensi Asia Afrika memiliki ruang pameran tetap yang
memamerkan sejumlah koleksi berupa benda-benda tiga dimensi dan fotofoto dokumenter peristiwa Pertemuan Tugu, Konferensi Kolombo,
Konferensi Bogor, dan Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Selain itu
dipamerkan juga foto-foto mengenai :
 Peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya Konferensi Asia Afrika;
 Dampak Konferensi Asia Afrika bagi dunia internasional;
 Gedung Merdeka dari masa ke masa;
 Profil negara-negara peserta Konferensi Asia Afrika yang dimuat
dalam multimedia.
Dalam rangka menyambut kunjungan Delegasi Konferensi Tingkat Tinggi
X Gerakan Nonblok tahun 1992 di mana Indonesia terpilih sebagai tempat
konferensi tersebut dan menjadi Ketua Gerakan Nonblok, dibuatlah
diorama yang menggambarkan situasi pembukaan Konferensi Asia Afrika
tahun 1955.
Penataan kembali Ruang Pameran Tetap “Sejarah Konperensi Asia
Afrika 1955”
Dalam rangka Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika 2005 dan Peringatan
50 Tahun Konferensi Asia Afrika 1955 pada 22 – 24 April 2005, tata
pameran Museum Konperensi Asia Afrika direnovasi atas prakarsa
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Dr. N. Hassan Wirajuda.
34
Penataan kembali Museum tersebut dilaksanakan atas kerja sama
Departemen Luar Negeri dengan Sekretariat Negara dan Pemerintah
Provinsi Jawa Barat. Perencanaan dan pelaksanaan teknisnya dikerjakan
oleh Vico Design dan Wika Realty.
Rencana Pembuatan Ruang Pameran Tetap “Sejarah Perjuangan
Asia Afrika” dan Ruang Identitas Nasional Negara-negara Asia
Afrika (2008)
Departemen Luar Negeri RI mempunyai rencana untuk mengembangkan
Museum Konperensi Asia Afrika sebagai simbol kerja sama dua kawasan
dan menjadikannya sebagai pusat kajian, pusat arsip, dan pusat
dokumentasi. Salah satu upayanya adalah dengan menambah beberapa
ruang pameran tetap, yang memamerkan sejumlah foto dan benda tiga
dimensi mengenai Kemitraan Strategis Baru Asia Afrika (New Asian
African Strategic Partnership/NAASP) serta berbagai materi yang
menggambarkan budaya dari masing-masing negara di kedua kawasan
tersebut.
Pengembangan museum ini direncanakan terwujud pada April 2008,
bertepatan dengan Peringatan tiga tahun Konferensi Tingkat Tinggi Asia
Afrika.
2.
Perpustakaan
Untuk menunjang kegiatan Museum Konperensi Asia Afrika, pada 1985
Abdullah Kamil (pada waktu itu Kepala Perwakilan Kedutaan Besar
Republik Indonesia di London) memprakarsai dibuatnya sebuah
perpustakaan.
Perpustakaan ini memiliki sejumlah buku mengenai sejarah, sosial, politik,
dan budaya Negara-negara Asia Afrika, dan negara-negara lainnya;
dokumen-dokumen mengenai Konferensi Asia Afrika dan konferensikonferensi lanjutannya; serta majalah dan surat kabar yang bersumber dari
sumbangan/hibah dan pembelian.
Bersamaan dengan akan diperluasnya ruang pameran tetap Museum
Konperensi Asia Afrika pada April 2008, perpustakaan pun akan
dikembangkan sebagai pusat perpustakaan Asia Afrika yang proses
pengerjaannya dimulai pada 2007.
Perpustakaan ini diharapkan akan menjadi sumber informasi utama
mengenai dua kawasan tersebut, yang menyediakan berbagai fasilitas
seperti zona wifi, bookshop café, digital library, dan audio visual library.
3.
Audio Visual
Seperti juga perpustakaan, ruang audio visual dibuat pada 1985.
Keberadaan ruang ini juga diprakarsai oleh Abdullah Kamil.
35
Ruangan ini menjadi sarana untuk penayangan film-film dokumenter
mengenai kondisi dunia hingga tahun 1950-an, Konferensi Asia Afrika dan
konferensi-konferensi lanjutannya, serta film-film mengenai kondisi sosial,
politik, dan budaya dari negara-negara di kedua kawasan tersebut.
Gambar 2.1.3.3o Gedung Merdeka sekarang
Gambar 2.1.3.3p Gedung Merdeka bersebelahan dengan Gedung KAA
36
Gambar 2.1.3.3q Gedung KAA dahulu
4. Grand Hotel Preanger
Gambar 2.1.3.3r Grand Hotel Preanger ditahun 1920-an
Gambar 2.1.3.3s Grand Hotel Preanger tahun 1936
( Sumber: tyawar.multiply)
37
Gambar 2.1.3.3t Grand Hotel Preanger sekarang
Pada tahun 1884, ketika para Priangan planters (pemilik perkebunan di
Priangan ) mulai berhasil dalam usaha pertanian dan perkebunan di sekitar kota
Bandung - dahulu bernama Priangan - mereka mulai sering datang untuk menginap
dan berlibur ke Bandung. Kebutuhan mereka disediakan oleh sebuah toko di Jalan
Groote Postweg (sekarang Jalan Asia Afrika). Tetapi kemudian toko itu bangkrut,
sehingga pada tahun 1897 oleh seorang Belanda bernama W.H.C. Van Deeterkom
toko itu diubah menjadi sebuah hotel dan diberi nama Hotel Preanger Kemudian
pada tahun 1920 berubah menjadi Grand Hotel Preanger .
Selama seperempat abad Grand Hotel Preanger yang berarsitektur gaya
Indische Empire menjadi kebanggaan orang-orang Belanda di Kota Bandung yang
kemudian pada akhirnya direnovasi dan didesain ulang pada tahun 1929 oleh C.P.
Wolff Schoemaker dibantu oleh muridnya, Ir. Soekarno (mantan Presiden RI
pertama). Namanya kemudian menjadi lebih terkenal, baik di dalam maupun di luar
negeri dan menjadi suatu kebanggaan bagi masyarakat pada saat itu bila mereka
menginap di hotel tersebut. Grand Preanger mengalami banyak pergantian pengelola,
antara lain oleh N.V. Saut, C.V. Haruman, P.D. Kertawisata dan akhirnya pada tahun
1987 hingga kini dikelola oleh PT.Aerowisata.
5. Gedung Jaarbeurs
Gambar 2.1.3.3u Gedung Jaarbeurs
38
Jaarbeurs Bandung, mungkin tidak banyak yang tahu dan kenal dengan nama
tersebut. Atas prakarsa Walikota bandung B. Coops dan Bandoeng Vooruit, pada
tahun 1920-1941, jaabeurs dibangun dan menjadi objek wisata berupa pameran
dagang tahunan. Pameran yang biasa diselenggarakan sekitar bulan Juni hingga Juli
ini, dikunjungi wisatawan dari Hindia Belanda dan mancanegara.
Gedung utama Jaarbeurs yang sekarang bertempat di jalan Aceh ini merupakan hasil
karya arsitek bersaudara C.P Wolff Schomaker dan R.L.A Schomaker. Uniknya
gedung ini terletak di tiga patung torso, yang ditempatkan pada bangunan utama
jaarbeurs, yang masih bertahan hingga sekarang. Ketiga patung polos ini, dicat
airbrush berwarna tembaga yang tampak hidup.
Tidak seperti gedung-gedung bersejarah di bandung yang tidak terawat dan bahkan
ada yang di hilangkan.Gedung jaarbeurs masih terawat dengan tidak menghilangkan
bentuk aslinya dari jama dahulu, walaupun sekarang sudah tidak menjadi pameran
dagang tahunan, tetapi gedung menjadi kantor Kodam siliwangi. (T-2/Sawitri)
2.1.3.4 De Stijl (Gaya Belanda)
Gaya De Stijl dikenal sebagai neoplasticism, adalah gerakan artistik Belanda
yang didirikan pada 1917. Secara umum, De Stijl mengusulkan kesederhanaan dan
abstraksi pokok, baik dalam arsitektur dan lukisan dengan hanya menggunakan garis
lurus horisontal dan vertikal dan bentuk-bentuk persegi panjang. Selanjutnya, dari
segi warna adalah terbatas pada warna utama, merah, kuning, dan biru, dan tiga nilai
utama, hitam, putih, dan abu-abu. Gaya ini menghindari keseimbangan simetri dan
mencapai keseimbangan estetis dengan menggunakan oposisi. Contoh bangunan
pada gaya ini Gedung Markas Kodam III Siliwangi, karya Schoemaker bersaudara.
2.1.3.4 Markas Kodam III Siliwangi
(sumber: photobucket)
39
2.1.3.5 Nieuwe Bouwen (Bangunan Baru)
Gaya bangunan sesudah tahun 1920-an adalah Niuwe Bouwen yang
merupakan penganut dari aliran International Style. Seperti halnya arsitektur barat
lain yang diimpor, maka penerapannya disini selalu disesuaikan dengan iklim serta
tingkat teknologi setempat. Wujud umum dari dari penampilan arsitektur Nieuwe
Bouwen ini menurut formalnya berwarna putih, atap datar, menggunakan gevel
horizontal dan volume bangunan yang berbentuk kubus. Gaya ini (Niuwe Bouwen/
New Building) adalah sebuah istilah untuk beberapa arsitektur internasional dan
perencanaan inovasi radikal dari periode 1915 hingga sekitar tahun 1960. Gaya ini
dianggap sebagai pelopor dari International Style. Istilah “Nieuwe Bouwen” ini
diciptakan pada tahun dua puluhan dan digunakan untuk arsitektur modern pada
periode ini di Jerman, Belanda dan Perancis. Contoh: Gedung Drie Kleur (BTPN) di
pertigaan Jl. Dago dan Jl. Sultan Agung, dibangun pada tahun 1938 berdasarkan
rancangan arsitek A.F. Aalbers.
Gambar 2.1.3.5 Gedung Drie Kleur
(Sumber: blogspot)
Oleh: Jalaksana Winangoen
Secara garis besar kota-kota kolonial mempunyai ciri-ciri :
(1) permukiman sudah stabil;
(2) terdapat garnisun yang dibentuk oleh penguasa kolonial;
(3) adanya permukiman pedagang; dan
(4) adanya tempat penguasa kolonial menyelenggarakan aktivitasnya (Mc Gee,
1967: 62).
40
Data Pelengkap
Gereja Bethel Bandung
FOTOGRAFER : Riko Okta Mawardi.
Gereja ini dirancang oleh arsitek C.P Wolff Schoemaker, pada tahun 1925.
Fungsi awalnya sebagai tempat beribadah masyarakat Belanda yang beragama
Protestan. Sampai saat inipun gereja tersebut masih dipergunakan, bahkan
dikembangkan menjadi lebih luas dengan penambahan bangunan tambahan di
halaman belakangnya. Lokasi di persimpangan jalan Wastukencana dengan jalan
Perintis Kemerdekaan. Bangunan merupakan bangunan sudut dengan sebuah menara
pada sudut bangunan depannya. Keunikan bangunan ini adalah adanya mahkota pilar
yang unik dan sangat langka yang merupakan awal perkembangan arsitektur Art
Deco. Jika dirunut ke belakang, mahkota kolom seperti ini terdapat pada kolom
bangunan zaman Byzantin di Eropa. Bangunan ini dapat meningkatkan kualitas
lingkungan sekitar dan merupakan landmark.
Gereja Santo Petrus Katedral
FOTOGRAFER : Karina Sofian
LOKASI
Jalan : Merdeka No.14 Bandung
41
Kelurahan : Babakan Ciamis
Kecamatan : Sumur Bandung
Gereja Santo Petrus Katedral yang terleta k di Jalan Merdeka dari dulu
hingga sekarang sama sebagai tempat ibadat umat Katolik yang dibangun tahun 1922
oleh M. KUNST, di atas tanah seluas 2.385 m2 dengan luas bangunan 785 m2 dan
diresmikan pada tanggal 19 Februari 1922 oleh Mgr. E. Luypen. Gereja ini dirancang
oleh arsitek C.P. WOLFF SCHOEMAKER dengan gaya arsitektur Lale Neo-Gothic
dan denah bangunan berupa salib simetris. Tampak luar (eksterior) dari gereja ini
elemen penunjang struktur berupa tiang beton dan elemen penunjang dekorasi berupa
stained-glass Window, Enameled-glass Window, dinding berprofil dan menara genta.
Sedangkan tampak dalam (interior) dari gereja ini elemen penunjang struktur berupa
dua tiang beton tumpuan balkon dan elemen penunjang dekorasinya berupa patung.
Tata ruang gereja berdasarkan fungsi ruang dibagi dalam dua zona, yaitu :
- Zona Publik : Serambi air suci, ruang devosi, ruang pemandian anak, ruang
doa dan ruang pengampunan.
- Zona Privat : ruang persiapan pembantu iman, ruang persiapan iman
(Sakristi) dan ruang panti iman.
Gedung D’Vries
FOTOGRAFER : Anita Pusporini
Bangunan ini terletak di persimpangan Jalan Asia Afrika dan Jalan Homann
memiliki menara yang berfungsi sebagai penangkap perhatian dan ciri keberadaan
bangunan di kavling sudut. Bangunan ini dibangun pada tahun 1920, dengan gaya
arsitektur Klasik Romantik sampai sekarang perancangnya belum diketahui.
Bangunan ini menghadap ke utara/barat, yaitu ke utara Jalan Asia Afrika dan ke
barat Jalan Homann. Semula berfungsi sebagai toko sekarang sudah tidak berfungsi
lagi dengan kondisi bangunan yang tidak terawat.
Bangunan ini penting untuk dilestarikan karena:
1. Merupakan karya arsitek ternama, pada masanya (namun belum diketahui
namanya dengan pasti)
2. Bernilai sejarah pembangunan kota, karena keberadaannya dapat
meningkatkan kualitas lingkungan Kota Bandung pada masa perjalanan
sejarah pembangunan “Sarana Perdagangan Bersejarah”
3. Mewakili gaya arsitektur Klasik (Electicism dengan banyak dekorasi)
4. Secara visual merupakan elemen penting bagi kawasan dan lingkungannya
42
5. Bentuknya langka dan unik
6. Terletak di kawasan Pusat Kota bersejarah yang dilindungi
Penting untuk ilmu pengetahuan sebagai objek penelitian dan sumber
inspirasi bagi ilmu arsitektur, struktur dan desain.
2.2 Data Penyelenggara
Gambar 2.3 Logo Bandung Heritage
Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung didirikan pada tahun 1987 oleh
sekelompok orang yang bertekad melestarikan gedung-gedung di Bandung,
Lingkungan serta Budayanya.
Telah bergabung lebih dari 500 anggota yang berasal dari berbagai latar
belakang dan profesi sebagai partisipan dan simpatisan Paguyuban dan sebagian
besar dananya diperoleh dari sumbangan sukarela.
Paguyuban percaya bahwa identitas Bandung, yang diperoleh dari budayanya
yang khas, adalah milik yang paling berharga kota ini dan karena itu perlu
diperkokoh keberadaannya.
I.Profil
Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung atau Bandung Heritage adalah
sebuah lembaga Swadaya Masyarakat bersifatnon-profit yang didirikan sejumlah
orang dalam bidang tertentu dalam rangka melestarikan budaya Kota Bandung
khususnya bangunan-bangunan bersejarah, yang kemudian mulai membentuk
paguyuban ini atas dasar kecintaannya pada Kota Bandung.
II. Maksud

Meningkatkan usaha-usaha atau program-program pelestarian warisan
budaya pada tingkat nasional pada umumnya. Hal ini disesuaikan dengan
peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah mengenai
perlindungan cagar budaya nasional.
 Mencegah kemusnahan atau hilangnya warisan budaya sebagai, suatu
usaha pencagaran keberadaannya warisan budaya dari jaman ke jaman di
bumi Indonesia ini.
43

Menciptakan pelestarian dan pencagaran warisan budaya yang memiliki
nilai-nilai kepribadian nasional serta menjadikan budaya daerah lebih
berkepribadian nasional serta menjadikan budaya daerah lebih
berkepribadian.
 Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengolah, memelihara dam
melestarikan lingkungan alam sebagai nilai-nilai luhur warisan bagi penerus
bangsa.
III. Tujuan

Membantu untuk meningkatkan apresiasi dan kesadaran masyarakat
mengenai pentingnya pelestarian warisan budaya, budaya dan lingkungan
alamnya.
 Menciptakan lingkungan yang serasi, seimbang dan sejahtera, dengan ikut
aktif dalam mencapai sasaran terciptanya pembangunan manusia Indonesia
yang berkualitas sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
 Mengadakan kegiatan professional untuk mengisi tujuan paguyuban yang
erat kaitannya dengan pelestarian budaya dan lingkungan alam untuk
tujuan pendidikan, penelitian dan inspirasi pembangunan.
 Menciptakan kerjasama yang erat antar anggota yang terhimpun dalam
wadah Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung.
Relawan dan Keanggotaan
Untuk menjadi relawan/volunteer atau anggota di Paguyuban Pelestarian
Budaya Bandung (Bandung Heritage), anda harus sanggup meluangkan waktu,
pemikiran, dan tenaga tanpa dibayar bahkan terkadang harus sanggup
menggeluarkan dari biaya kantong sendiri.
Selama menjadi anggota Bandung Heritage anda harus memiliki komitmen
untuk memberikan keahlian yang anda miliki, dapat bekerja dalam team. Mempunyai
visi yang sama yaitu melestarikan Benda Cagar Budaya.
Bandung Heritage percaya bahwa identitas Bandung, yang diperoleh dari
budayanya yang khas, adalah milik yang paling beharga kota ini dan karena itu perlu
diperkokoh keberadaannya. Untuk itu Bandung Heritage Society mengajak semua
orang untuk dapat berperan serta dalam upaya-upaya pelestarian bangunan dan atau
kawasan bersejarah khususnya di Kota Bandung dan Indonesia pada umumnya
dengan bergabung menjadi anggota. Anggota Bandung Heritage berasal dari segala
umur dan dari berbagai latar belakang.
Cara Menjadi Anggota:
Adapun persyaratannya adalah anda harus mengisi formulir keanggotaan,
formulir dapat di ambil di sekretariat atau di pertemuan bulanan Bandung Heritage.
formulir tersebut dapat diantar langsung atau dikirim melalui pos, fax ke Sekretariat
Bandung Heritage, atau e-mail ke bandungheritageg[at]gmail.com, selain itu anda
44
wajib membayar iuran tahunan sebesar Rp.75.000 untuk pelajar atau mahasiswa, dan
Rp. 120.000 untuk umum dengan cara pembayaran tunai dengan datang langsung ke
sekretariat Bandung Heritage.
Iuran tersebut akan digunakan untuk operasional sekretariat Bandung
Heritage dan untuk kegiatan-kegiatan Bandung Heritage Society.
Yang didapat dengan menjadi anggota:

Kartu Anggota
 Akses pada perpustakaan Bandung Heritage
 Buletin Bulanan
 Informasi kegiatan Bandung Heritage.
2.3
Spesifikasi Buku
Dibawah ini merupakan perencanaan desain ilustrasi buku peninggalan
bangunan Belanda di Bandung:
2.3.3
Informasi Buku
Penyusun
Ilustrasi
Kertas
Percetakan
Spesifikasi
Ketebalan
Harga
2.3.4
: Agnes Monica
: Agnes Monica
: Peperina
: PT Pentamapan Cemerlang
: 30 x 26 cm (hard cover)
: 140 halaman
: Rp. 459.000,-
Kerangka Buku
a. Kolofon
b. Cover Dalam
c. Daftar Isi
d. Ucapan Terima Kasih
e. Prakata
f. Reflection of History
g. Arsitektur Kolonial Belanda
h. Map Bandung
i. Pembagian 5 Gaya Arsitektur Belanda di Bandung
1. Indo-Europeeschen Architeectuur Stijl
2. De Indische Empire Stijl
3. Art Deco
4. De Stijl
5. Nieuwe Bouwen
j. Perlindungan Cagar Budaya
k. Daftar Pustaka
l. Glosarium
45
2.4 Buku Pembanding
2.4.1 100 Bangunan Cagar Budaya di Bandung
Gambar 2.4.1 Buku Pembanding 1
Informasi bibliografi
Judul
Penulis
Penerbit
Cetakan
Tebal
: 100 Bangunan Cagar Budaya di Bandung
: Harastoeti DH
: CSS Publishing
: 2011
: 267 halaman
Dalam buku karangan Ibu Harastoti ini kita akan diajak mengenal wajah
Bandung tempo dulu yang dibangun dengan cita rasa arsitek-arsitek Eropa di paruh
pertama abad ke dua puluh dengan atap sirap, streamline (garis lengkung) yang
merupakan ciri khas gaya Art Deco, penggunaan kolom kembar, dan berbagai
ornamen unik di tiap bangunannya. Kesemuanya itu tergambar jelas lewat foto-foto
bewarnanya. Sebagai pelengkap buku ini juga menyajikan peta kawasan 100
bangunan Perda. Buku ini sangat menarik untuk dipelajari dan dikoleksi, namun akan
lebih baik apabila ada unsur ilustrasi di dalamnya dan dicetak dalam ukuran yang
lebih besar supaya lebih menyenangkan dalam membacanya.
2.4.2 Masa Lalu dalam Masa Kini
Gambar 2.4.2 Buku Pembanding 2
46
Informasi bibliografi
Judul
Penulis
Penerbit
ISBN
Tebal
Masa lalu dalam masa kini: arsitektur di Indonesia
P. Nas, Martien de Vletter
PT Gramedia Pustaka Utama, 2009
9792243828, 9789792243826
326 halaman
Di buku ini kita bisa merasakan dan mengenal wajah Bandung tempo dulu
yang sebagian besar masih terjaga keutuhannya hingga saat ini. Keautentikan
bangunan arsitektur peninggalan sejarah dan berbagai ornamen khas pada setiap
bangunannya masih terlihat meskipun usianya sudah mencapai puluhan bahkan
ratusan tahun. Namun secara keseluruhan, buku ini masih membahas seluruh
keadaannya tidak terfokus pada bangunan peninggalannya saja.
2.5 Target Market
 Demografi
- Pria dan wanita
- 19-25thn
- SES B,B+,A
 Geografi
Tinggal di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung dan
Surabaya.
 Psikografi
Personality:
- Memiliki jiwa seni
- Cinta tanah air
- Rasa ingin tahu yang tinggi
Lifestyle:
- Travelling
- Hang out/nongkrong
- Urban style
2.5 Analisa SWOT
Strenghts

Merupakan pengetahuan arsitektur bersejarah untuk masa kini dan nanti
47



Kelestarian gedung dan nilai autentiknya yang masih terjaga sampai
sekarang sehingga masyarakat bisa merasakan kehidupan kota Bandung
tempo dulu
Bangunan peninggalan Belanda di Bandung merupakan cerminan dari
sejarah masa lampau yang tak ternilai harganya
Merealisasikan sejarah kedalam kehidupan sekarang
Weaknesses


Bangunan tua akan mengalami kerusakan karena perubahan iklim
sehingga diperlukan renovasi yang mengubah keaslian bangunan
Bangunan bukan cerminan dari kekayaan asli Indonesia
Oportunities



Masyarakat yang datang ke Bandung masih bisa membayangkan keadaan
sejarahnya sampai akhir hayat
Masyarakat muda di Indonesia menjadi cinta pada budaya bangsa.
Adanya kepedulian dari masyarakat Indonesia untuk turut melestarikan
peninggalan sejarah budaya
Threats




Pemikiran bahwa bangunan arsitektur Belanda di Bandung merupakan
hasil karya bangsa penjajah
Adanya pengaruh pemikiran mistik dari bangunan tua
Adanya pemanfaatan bangunan peninggalan sebagai tempat komersil
akan mengurangi kelestarian peninggalan sejarah budaya
Adanya pemahaman gaya bangunan modern yang mengabaikan keaslian
arsitektural yang menjadi sejarah
48
Download