27 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak jintan hitam terhadap fungsi pernafasan dapat dipelajari dari gambaran histopatologi organ paru-paru dengan adanya perubahanperubahan yang terjadi pada jaringan organ tersebut. Perubahan pada paru-paru dilihat dengan mengamati sistem saluran pernafasan, bronkhus, bronkhiolus dan jaringan parenkhim paru-paru yaitu alveol. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap bronkhus dan bronkhiolus meliputi adanya eksudat pada saluran nafas, dan jumlah sel goblet pada bronkhiolus. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap ketebalan otot polos di sekitar bronkhus. Pengamatan terhadap Bronchial Associated Lymphoid Tissue (BALT) meliputi luas fokus BALT pada bronkhus serta kepadatan sel BALT tersebut. Pengamatan terhadap jaringan parenkhim paru-paru meliputi pengamatan terhadap keadaan kongesti dan hemoragi serta pengamatan terhadap fokus-fokus radang. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap emfisema. 4.1 Eksudat pada bronkhus dan bronkhiolus Pengamatan terhadap adanya eksudat di saluran nafas yaitu bronkhus dan bronkhiolus dilakukan pada perbesaran 10x10. Pengamatan dilakukan pada semua bronkhus dan bronkhiolus pada jaringan paru di seluruh sediaan. Perhitungan dilakukan dengan membagi jumlah bronkhus dan bronkhiolus yang lumennya berisi eksudat dengan jumlah bronkhus dan bronkhiolus yang ditemukan secara keseluruhan pada semua bidang sayatan sediaan. Hasil pengamatan terhadap bronkhus dan bronkhiolus disajikan pada tabel 8. Tabel 8 Persentase bronkhus dan bronkhiolus yang bereksudat pada mencit yang diberi perlakuan Jintan Hitam Kelompok Perlakuan Persentase bronkhus yang Persentase bronkhiolus bereksudat (%) yang bereksudat (%) a Kontrol 4.77±0.29 4.68±0.00a HS 0.1 4.74±0.23a 4.60±0.10a a HS 0.2 4.93±0.07 4.67± 0.00a HS-Madu 4.74±0.14a 4.60±0.13a Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan pada taraf p<0.05 28 Pengamatan terhadap saluran nafas baik bronkhus dan bronkhiolus menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan tidak ditemukan adanya tanda-tanda udema pulmonum serta peradangan pada bronkhus maupun bronkhiolus. Adanya eksudat atau cairan dalam saluran pernafasan merupakan indikasi adanya udema pulmonum, aktivasi sel goblet pada epitel penutup saluran pernafasan akibat bronkhitis dan bronkhiolitis (Mc Gavin 2007). Secara umum eksudat yang ditemukan pada bronkhus dan bronkhiolus hanya dalam jumlah yang kecil (terlihat pada gambar 8). Eksudat dalam jumlah yang kecil bisa disebabkan karena proses fisiologis seperti adanya regenerasi epitel permukaan lumen saluran nafas atau mukus pada saluran nafas (Akers 2008). Permukaan saluran nafas adalah salah satu pintu masuk patogen ke dalam sistem pernafasan. Permukaan saluran pernafasan mempunyai sistem pertahanan yang terdiri dari mukus, lysozim, immunoglobulin dan mukosiliari. Mukus adalah campuran kompleks dari air, glikoprotein, imunoglobulin, lipid dan elektrolit. Mukus dihasilkan oleh sel goblet, sel serous, kelenjar submukosa dan cairan dari proses transport air dan ion. Mukus pada saluran nafas berfungsi sebagai pertahanan pada permukaan saluran nafas. Mukus akan mengikat partikel-partikel yang terbawa oleh udara pernafasan. Mukus juga mempunyai kemampuan untuk menetralkan gas-gas yang terdapat pada udara pernafasan (Mc Gavin 2007). Selain mukus, pada saluran nafas juga terdapat liozim dan antibodi. Lisozim merupakan bahan anti mikrobial yang berfungsi untuk membunuh mikroorganisme yang terbawa oleh udara pernafasan. Lisozim berupa enzim yang dapat membunuh mikroba. Immunoglobulin (Ig) merupakan protein yang mempunyai aktifitas sebagai antibodi. Immunoglobulin yang terdapat pada mukosa saluran nafas bagian atas adalah immunoglobulin A (IgA). IgA tidak bersifat bakterisidal walaupun IgA mempunyai kemampuan untuk menetralkan beberapa virus dan enzim bakteri tertentu. IgA diproduksi pada sel plasma pada saluran intestinal, kemudian didistribusikan ke saluran respirasi dan kelenjar mamae. IgA berperan untuk menghambat perlekatan pada mukosa (Tizard 1982). Mukosiliari berfungsi untuk membuang gas dan partikel yang menempel pada mukus saluran nafas. Mukosiliari berperan sebagai pertahanan utama pada 29 permukaan saluran nafas. Sistem pertahanan mukosiliari berupa selimut mukosiliari yang akan bergerak secara cepat dan bergelombang untuk mengeluarkan partikel keluar dari saluran pernafasan. Mukosiliari juga mencegah masuknya gas berbahaya kedalam paru-paru dengan cara mengencerkannya (McGavin 2007). Peningkatan produksi mukus pada saluran pernafasan dapat dipicu oleh adanya proses peradangan. Jintan hitam diketahui memiliki khasiat sebagai anti radang. Bahan aktif yang terkandung dalam jintan hitam yaitu thymoquinone dapat menghambat terbentuknya mediator inflamasi yaitu asam arachidonat. Thymoquinone terbukti dapat menghambat pembentukan cyclooxigenase dan 5cyclooxigenase dalam proses sintesa asam arachidonat (Houghton et al. 1995). Adanya aktivitas anti radang ini diduga berpengaruh terhadap eksudat yang terdapat pada saluran nafas mencit. Selain aktivitas anti radang, jintan hitam dan madu juga mempunyai aktivitas anti bakteri yang bisa menurunkan resiko terjadinya peradangan oleh bakteri (Estevinho 2008 dan Chaieb et al. 2011). Gambaran histopatologi eksudat pada saluran nafas dapat dilihat pada gambar 8. Gambar 8 Gambaran histopatologi bronkhus yang bereksudat sedikit (tanda panah). Pewarnaan HE perbesaran 4x10. Gambar histopatologi diambil dari kelompok mencit kelompok kontrol 30 4.2 Sel Goblet pada Bronkhiolus Sel goblet merupakan sel yang menghasilkan mukus pada saluran pernafasan. Sel goblet mempunyai inti yang terletak di bagian dasar sel. Tekanan dari mukus yang dihasilkan oleh sel goblet membuat inti sel ini terletak di bagian dasar sel. Organel sel pada sel goblet seperti organel sel pada umumnya, terdapat badan golgi, rER dan mitokondria. Pada umumnya, sel goblet mensekresikan yang berupa glikoprotein sulfat sebagai komponen utama dari mukus (Dellmann 1998). Keadaan sel goblet diamati pada perbesaran 40x10, pengamatan dilakukan pada deretan epitel bronkhiolus. Sel goblet dibedakan dengan sel epitel menggunakan pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS). Pewarnaan PAS akan mewarnai mukus yang dihasilkan oleh sel goblet (Aughey 2001). Penghitungan sel goblet dilakukan pada deretan epitel sekeliling lumen bronkhiolus, kemudian ukuran keliling lumen bronkhiolus diukur menggunakan perangkat lunak image J. Sediaan histopatolgi dihitung dihitung pada 5 lapang pandang pengamatan dengan menggunakan perbesaran 40x 10. Hasil penghitungan terhadap sel goblet dapat dilihat pada tabel 9. Data disajikan dalam satuan sel goblet per 1000 m. Tabel 9 Jumlah Sel Goblet Pada Bronkhiolus Mencit yang Diberi Perlakuan Jintan Hitam Kelompok Perlakuan Jumlah Sel Goblet (/1000 µm) Kontrol 19.47 ± 17.33a HS 0.1 39.47 ± 29.81b HS 0.2 15.60 ± 16.04a HS-Madu 13.40 ± 9.88a Keterangan: Huruf superscript pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf p<0.05 Kelompok HS 0.1 menunjukkan rata-rata jumlah sel goblet tertinggi. Tingginya jumlah sel goblet pada kelompok HS 0.1 dapat disebabkan karena dosis jintan hitam yang diberikan (0.1 ml/ekor/hari) belum cukup untuk memberikan efek perlindungan terhadap saluran nafas. Hal ini dibuktikan dengan hasil yang ditunjukkan oleh kelompok dengan dosis yang lebih tinggi (kelompok HS 0.2 dengan dosis 0.2 ml/ekor/hari) yang menunjukkan jumlah sel goblet yang lebih rendah. Tingginya jumlah sel goblet pada kelompok HS 0.1 bisa juga disebabkan karena adanya kejadian infeksi. Mencit yang digunakan dalam penelitian ini sudah diberikan masa adaptasi terlebih dahulu namun tidak menutup 31 kemungkinan terjadi infeksi atau iritasi yang disebabkan oleh agen-agen yang terbawa udara pernafasan karena udara yang masuk adalah udara bebas. Adanya perbedaan respon individu juga menyebabkan kelompok HS 0.1 menunjukkan hasil jumlah sel goblet yang lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Aktivasi sel goblet mempunyai hubungan dengan kejadian peradangan yang terjadi pada saluran nafas dan paru-paru. Penelitian yang dilakukan oleh Saetta dan Turato (2000) menunjukkan bahwa jumlah sel goblet dan sel radang meningkat berbanding lurus pada individu perokok. Infiltrasi sel radang akan menyebabkan peningkatan aktivasi sel goblet dan produksi mukus yang menyebabkan terjadinya gangguan seperti obstruksi saluran nafas. Jumlah sel goblet akan meningkat apabila terjadi peradangan. Perbedaan jumlah sel goblet pada kelompok yang diberi perlakuan dipengaruhi oleh aktifitas antiinflamasi bahan aktif yang terkandung dalam jintan hitam yaitu thymoquinon. Aktifitas anti inflamasi jintan hitam berasal dari kemampuan thymoquinone dalam menghambat pembentukan eicosanoid. Thymoquinone bekerja dengan cara menghambat cyclooxigenase dan 5-lipooxygenase dari metabolisme asam arachidonat (Houghton et al. 1995). Penelitian yang dilakukan oleh Rostika (2012) pada saluran pencernaan mencit yang diberi perlakuan jintan hitam dan kombinasi jintan hitam dan madu juga menunjukkan penurunan jumlah sel goblet yang berarti dapat memberikan efek yang baik bagi saluran pernafasan. El Gazzar et al. (2006) meneliti efek pemberian thymoquinone dari jintan hitam pada tikus yang menderita peradangan saluran nafas. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa thymoquinone secara signifikan dapat menghambat radang paru-paru yang dinduksi alergen eosinofilik serta penurunan sel goblet. Gambaran histopatologi sel goblet saluran pernafasan mencit dari masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada gambar 9. 32 Kontrol HS 0.2 HS 0.1 HS Madu Gambar 9. Gambaran histopatologi sel goblet dengan pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS) perbesaran 40X10. Sel Goblet ditandai dengan tanda panah. 4.3 Bronchial-Associated Lymphoid Tissue (BALT) Bronchial-associated lymphoid tissue (BALT) termasuk ke dalam kelompok organ limfoid sekunder. Selain BALT ada juga GALT yaitu Gutassociated lymphoid tissue. BALT berisi sel-sel limfoid yang bertugas yang bertanggung jawab terhadap respon imun yang diperantarai sel (McGavin 2007). Mencit memiliki BALT yang lebih sedikit jika dibandingkan kelinci dan marmut (Cesta 2006). Pengamatan keberadaan BALT dilakukan dengan menghitung rata-rata luas fokus BALT yang terlihat di sekitar bronkhus dan bronkhiolus pada setiap lapang pandang. Selain keberadaan fokus BALT juga dihitung rataan kepadatan sel limfoid pada BALT. Penghitungan luas fokus BALT dilakukan pada pembesaran 4x10. Pengamatan terhadap kepadatan sel BALT dilakukan pada pembesaran 100 X 10. Hasil pengamatan terhadap keberadaan fokus BALT dan kepadatan sel BALT dapat dilihat pada tabel 10. 33 Tabel 10 Hasil Pengamatan BALT pada Mencit yang Diberi Perlakuan Jintan Hitam Kelompok Perlakuan Kontrol HS 0.1 HS 0.2 HS-Madu Rata-rata luas fokus BALT (µm2) 2.76 ± 0.53a 2.69 ± 0.49a 3.08 ± 0.08a 2.49 ± 0.59a Kepadatan sel limfoid pada fokus BALT (luas lapang pandang 1000 µm2) 4.68 ± 0.07ab 4.68 ± 0.06ab 4.76 ± 0.03b 4.64 ± 0.06a Keterangan: Huruf superscript pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf p<0.05 Gambaran histopatologi BALT pada mencit kelompok kontrol dapat dilihat pada gambar 10. Gambar 10. Gambaran histopatologi keberadaan fokus BALT (tanda panah) disekitar bronkhioli dengan pewarnaan HE, perbesaran 4x10 Hasil pengamatan luas fokus BALT tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan namun kelompok kontrol menunjukkan kecenderungan hasil yang lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan. Pengamatan terhadap kepadatan sel limfoid BALT menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok. Kelompok HS 0.2 menunjukkan rata-rata paling tinggi dibandingkan dengan kelompok yang lainnya. Tingginya kepadatan sel limfoid BALT pada kelompok HS 0.2 bisa disebabkan karena dosis yang diberikan sudah melewati dosis efektif untuk memberikan efek sebagai immunomodulator. 34 Kelompok yang diberi perlakuan jintan hitam dengan dosis jintan hitam 0,1 ml/ekor/hari (kelompok HS 0.1) dan kelompok yang diberi perlakuan kombinasi jintan hitam dan madu (HS Madu) menunjukkan kepadatan sel limfoid BALT yang lebih rendah. Gambar histopatologi yang menunjukkan kepadatan sel limfoid pada fokus BALT pada masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada gambar 11. Kontrol HS 0.1 HS 0.2 HS Madu Gambar 11. Gambaran mikroskopi kepadatan sel limfoid pada BALT dengan pewarnaan HE, perbesaran 100×10 dari masing-masing kelompok perlakuan. BALT akan membesar dan meningkat jumlah sel limfoidnya jika terjadi reaksi imun atau peradangan. Jintan hitam diketahui mempunyai efek sebagai immunomodulator. Pemberian jintan hitam dapat meningkatkan rasio antara sel Thelper (T4) dan sel T-supressor (T8). Selain itu pemberian jintan hitam juga meningkatkan aktivitas sel natural killer (Omar et al. 1999). Selain itu jintan hitam juga diketahui dapat meningkatkan jumlah dan toksisitas dari sel natural killer (Salem 2005). Tingginya kepadatan sel pada kelompok HS 0.2 disebabkan karena pada kelompok tersebut memiliki kecenderungan peradangan yang lebih 35 tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya (HS 0.1 dan HS Madu). Peningkatan juga terjadi pada kelompok kontrol yang mempunyai jumlah fokus radang paling banyak, namun peningkatannya tidak sebanyak pada kelompok HS 0.2 karena pada kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan apapun. Meningkatnya kepadatan sel limfoid pada BALT berarti menigkatkan sistem pertahanan pada saluran nafas. Jintan hitam dapat meningkatkan sistem imun pada saluran nafas. 4.4 Kongesti dan Hemoragi Kongesti merupakan penumpukan darah di dalam pembuluh darah. Hal ini bisa disebabkan karena aliran darah tidak lancar. Darah yang masuk melalui arteri terlalu banyak dan darah yang keluar melalui vena terlalu sedikit (Jones et al. 1997). Kongesti dapat berjalan secara aktif maupun pasif. Kongesti secara aktif terjadi karena pembuluh darah mengalami dilatasi dan diisi oleh darah sedangkan proses kongesti secara pasif terjadi karena adanya kelainan jantung (Cheville 2006). Hemoragi adalah ekstravasasi darah akibat rupturnya pembuluh darah. Secara mikroskopis, hemoragi yang terjadi di dalam jaringan terlihat dengan adanya sel darah merah di dalam jaringan di luar pembuluh darah (Cheville 2006). Pengamatan terhadap kongesti dan hemoragi dilakukan dengan perbesaran 20x10. Pengamatan dilakukan pada 10 lapang pandang dengan luas lapang pandang 0,24 mm2. Pengamatan terhadap kongesti dilakukan dengan menghitung jumlah pembuluh darah yang mengalami kongesti (terdapat sel darah di dalamnya). Pengamatan dilakukan baik pada pembuluh darah arteri maupun vena. Pengamatan terhadap hemoragi dilakukan dengan menghitung titik-titik pusat hemoragi. Pengamatan pada perubahan kongesti yang tidak disertai adanya adanya udema, menunjukkan bahwa kejadian kongesti adalah akut. pengamatan terhadap kongesti dan hemoragi dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil 36 Tabel 11 Hasil Pengamatan Jumlah Kongesti dan Hemoragi Pada Paru-Paru Mencit yang Diberi Perlakuan Jintan Hitam Kelompok Perlakuan Kontrol HS 0.1 HS 0.2 HS-Madu Kongesti 5.13 ± 4.32b 5.00 ± 1.36b 5.20 ± 2.93b 1.73 ± 1.53a Hemoragi 2.87 ± 1.8a 2.53 ± 1.77a 2.80 ± 2.24a 1.47 ± 1.19a Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan pada taraf p<0.05 Hasil pengamatan kongesti pada sediaan menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan. Kelompok HS Madu menunjukkan jumlah kongesti yang paling rendah dibandingkan kelompok yang lainnya. Kongesti dan hemoragi pada sediaan histopatologi bisa juga disebabkan karena trauma yang terjadi saat penanganan hewan coba. Euthanasi dengan cara pemisahan sendi atlanto occipitalis diduga dapat menyebabkan terjadinya kongesti maupun hemoragi pada paru-paru. Hal ini dapat dilihat dengan tidak adanya peningkatan sel-sel radang yang menunjukkan adanya peradangan. Gambaran histopatologi kongesti dan hemoragi dapat dilihat pada gambar 12 dan 13. Gambar 12. Gambaran histopatologi kongesti (tanda panah) pembuluh darah vena pada organ paru-paru. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x10 37 Gambar 13. Gambaran histopatologi hemoragi (tanda panah) pada organ paruparu. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x10 4.5 Fokus Radang Pengamatan terhadap fokus radang pada paru-paru dilakukan dengan menghitung rata-rata jumlah fokus radang pada sepuluh lapang pandang dengan luas 6.16 x 104 µm2 secara acak menggunakan perbesaran 40x10. Hasil penghitungan masing-masing kelompok dapat dilihat pada tabel 12. Tabel 12. Rataan Jumlah Fokus Radang pada Paru-Paru Mencit yang Diberi Perlakuan Jintan Hitam (luas lapang pandang 6.16 x 104 µm2) Kelompok Perlakuan Kontrol HS 0.1 HS 0.2 HS-Madu Jumlah Fokus Radang 2.00 ± 1.25b 0.67 ± 0.72a 1.20 ± 1.01a 1.00 ± 1.00a Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf p<0.05 Pemberian habattussauda menurunkan jumlah fokus radang di paru-paru secara signifikan. Proses peradangan dapat dipicu oleh beberapa hal seperti trauma mekanis, sel kanker, reaksi alergi atau mikroba infeksius. Proses peradangan merupakan respon dari tubuh untuk mempertahankan diri. Pada dasarnya proses peradangan akan mengisolasi, mengencerkan dan mengeliminasi 38 agen yang menyebabkan peradangan terjadi. Pada organ paru-paru juga bisa terjadi peradangan. Peradangan pada paru-paru disebut dengan pneumonia (McGavin 2007). Fungsi dan struktur organ paru-paru memungkinkan untuk masuknya agen infeksius atau non-infeksius yang menyebabkan radang melalui rute aerogenous dan hematogenous. Fungsi organ paru-paru sebagai organ pernafasan membuat paru-paru terpapar udara setiap saat. Struktur paru-paru sebagai organ dengan pembuluh darah kapiler terbanyak juga membuat paru-paru mudah terserang agen infeksius atau non-infeksius yang menyebar secara hematogenous (Aughey 2001). Selain rute aerogenous dan hematogenous peradangan pada paru-paru juga bisa masuk secara langsung melalui luka pada organ paru-paru misalnya pada peristiwa tertusuknya paru-paru oleh benda asing. Pengamatan yang dilakukan pada gambaran histopatologi fokus radang pada paruparu menunjukkan bahwa radang menyebar melalui rute hematogenous. Fokusfokus radang terletak tersebar pada jaringan interstisial paru-paru, disekitar pembuluh darah dan tidak berada di dekat saluran pernafasan (bronkhus atau bronkhiolus). Penyebaran agen infeksius dan non-infeksius melalui rute hematogenous biasanya terjadi pada keadaan septisemia, paparan toksin, infeksi protozoa dan infeksi virus yang mempunyai target sel endotel. Selain itu penyebaran agen infeksi melalui rute hematogenous juga bisa disebabkan karena agen infeksius yang dibawa limfosit saat bersirkulasi (Mc Gavin 2007). Adanya fokus radang pada paru-paru mencit diduga akibat mencit terinfeksi oleh bakteri yang berasal dari lingkungan kandang. Gambaran histopatologi fokus-fokus radang dapat dilihat pada gambar 14. 39 Kontrol HS 0.1 HS 0.2 HS Madu Gambar 14. Gambaran histopatologi fokus-fokus radang (tanda panah) pada organ paru-paru. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x10. Penurunan jumlah fokus radang pada kelompok yang diberi perlakuan jintan hitam ataupun kombinasi jintan hitam dan madu diduga akibat aktivitas anti bakteri dan anti inflamasi dari jintan hitam dan dan aktivitas anti bakteri dari madu. Baik jintan hitam dan madu keduanya memiliki khasiat sebagai anti bakteri (Estevinho 2008 dan Chaieb et al. 2011). Bourgou et al. (2010) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa aktivitas antimikroba jintan hitam berasal dari kandungan zat aktifnya yaitu thymoquinone dan longifolene. Thymoquinone dan longifolene mempunyai efek antibakteri terhadap S. aureus dengn nilai IC50 1,8µM (0,3µg/ml) dan 3,0 µM (0,6 µg/ml). Thymoquinone mempunyai aktivitas antibakteri yang tinggi terhadap bakteri gram positif. Thymoquinone juga dilaporkan mempunyai efek sinergi dengan streptomisin dan gentamisin (Salama 2010). Selain memiliki khasiat sebagai antibakteri, jintan hitam juga memiliki khasiat sebagai anti inflamasi. Dalam penelitian yang sama Bourgou et al. (2010) menguji efek antiinflamasi jintan hitam dengan mengukur kemampuan jintan 40 hitam dalam menghambat pembentukan NO (nitrat oksida). NO merupakan radikal bebas yang dihasilkan oleh jaringan tubuh. NO bisa dijadikan indikator keadaan patologis beberapa jenis inflamasi. Thymoquinone terbukti sebagai bahan aktif jintan hitam yang mampu menghambat pembentukan NO. 4.6 Ketebalan Otot Polos Pengamatan terhadap ketebalan otot polos dilakukan dengan mengukur otot polos yang berada pada bronkhus. Pengukuran otot polos dimaksudkan untuk melihat hipertrofi pada otot polos. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak image J. Pengamatan terhadap ketebalan otot polos dilakukan pada perbesaran 40x10. Pewarnaan yang digunakan untuk mengamati keadaan ketebalan otot adalah pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE). Pengamatan dilakukan pada sepuluh lapang pandang. Hasil pengamatan terhadap ketebalan otot polos disajikan pada tabel 13. Tabel 13 Hasil Pengamatan Terhadap Ketebalan Otot Polos Pada Bronkhus Mencit Yang Diberi Perlakuan Jintan Hitam Kelompok Perlakuan Kontrol HS 0.1 HS 0.2 HS-Madu Ketebalan Otot Polos (µm) 0.029 ± 0.023a 0.024 ± 0.012a 0.023 ± 0.008a 0.019 ± 0.006a Keterangan: Huruf superscript pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf p<0.05 Hasil pengamatan terhadap ketebalan otot polos tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan, akan tetapi kelompok kontrol menujukkan kecenderungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang diberi perlakuan jintan hitam HS 0.1, HS 0.2 dan HS Madu). Gambaran histopatologi otot polos dapat dilihat pada gambar 16. 41 Gambar 16. Gambaran histopatologi otot polos (tanda panah) di sekitar bronkhus pada organ paru-paru. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x10 Tidak lancarnya aliran udara dapat mempengaruhi ketebalan otot polos pada bronkhus dan bronkhiolus. Hal ini disebabkan otot polos bekerja lebih keras untuk menahan tekanan udara dalam bronkhus akibat terhambatnya aliran udara pernafasan. Peningkatan ketebalan otot polos pada paru-paru bisa merupakan indikasi adanya penyakit asma (Olmez et al. 2009). Perubahan yang dapat diamati pada preparat histopatologi organ paru-paru yang menderita asma menurut Yamauchi (2006) terdapat pada beberapa bagian. Bagian yang pertama adalah bagian lumen saluran pernafasan. Pada penderita asma, saluran pernafasan akan berisi eksudat. Bagian yang kedua yang dapat diamati pada penderita asma adalah lapisan mukus pada bronkhus. Pada mukosa bronkhus juga terdapat eksudat. Selain eksudat juga terlihat kelainan sel-sel epitel pada mukosa bronkhus. Bagian terakhir adalah dinding bronkhus. Pada penderita asma, dinding bronkhus akan mengalami kelainan berupa hipertrofi otot polos. Jintan hitam diketahui memiliki efek preventif terhadap penyakit asma. Boskabady et al. (2007) melakukan penelitian dengan memberikan ekstrak jintan hitam sebanyak 15 mL/kg dari 0.1 g% ekstrak kepada pasien yang menderita 42 asma selama 45 hari. Hasil yang didapat dari penelitian tersebut ekstrak jintan hitam menurunkan gejala asma. Penurunan ini disebabkan karena khasiat jintan hitam sebagai anti radang. Minyak esensial dari jintan hitam mampu mengurangi efek inflamasi yang terjadi pada saluran pernafasan. Efek anti inflamasi jintan hitam berasal dari kemampuan ekstrak jintan hitam menghambat pembentukan asam arachidonat (Houghton et al. 1995). Kemampuan ekstrak jintan hitam dalam menghambat histamin juga mendukung kemampuan jintan hitam dalam mencegah asma (Boskabady et al. 2007). 4.7 Emfisema Pengamatan daerah emfisema dilakukan dengan mengukur daerah yang mengalami emfisema. Daerah yang mengalami emfisema diukur dengan menggunakan perangkat lunak image J kemudian dibagi dengan luas lapang pandang secara keseluruhan. Hasil pengukuran daerah emfisema disajikan dalam bentuk presentasi dapat dilhat pada tabel 14. Tabel 14 Pengamatan Persentase Daerah Emfisema Pada Mencit yang Diberi Perlakuan Jintan Hitam Kelompok Perlakuan Kontrol HS 0.1 HS 0.2 HS-Madu Persentase Daerah yang Mengalami Emfisema (%) 19.07 ± 9.81b 15.53 ± 11.28ab 10.13 ± 4.31a 22.67 ± 11.97b Keterangan: Huruf superscript pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf p<0.05 Pengamatan terhadap persentase daerah yang mengalami emfisema menunjukkan hasil yang berbeda secara statistik antar kelompok perlakuan. Ratarata luas daerah yang mengalami emfisema tertinggi terdapat pada kelompok kontrol dan kelompok HS Madu. Tingginya persentase daerah yang mengalami emfisema pada kelompok HS Madu diduga disebabkan karena pada kelompok HS Madu kandungan jintan hitamnya lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya (HS 0.1 dan HS 0.2). 43 Gambar 15. Gambaran histopatologi emfisema (tanda panah) pada organ paruparu. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x10 Emfisema merupakan perluasan ruangan alveol yang terjadi akibat kerusakan dinding alveol tetapi tanpa diikuti fibrosis. Pada manusia emfisema merupakan penyakit yang disebabkan karena reaksi yang kompleks akibat proses peradangan. Pada hewan emfisema hampir selalu merupakan kejadian sekunder atau dipicu oleh keadaan lain (McGavin 2007). Biasanya emfisema pada hewan dipicu oleh terhalangnya aliran udara pada saluran nafas. Meningkatnya mukus pada saluran nafas dapat menyebabkan terganggunya aliran udara pernafasan. Peningkatan jumlah sel goblet pada saluran nafas dapat menyebabkan peningkatan mukus pada saluran nafas. Peningkatan sel goblet bisa dipicu akibat adanya antigen yang berhasil masuk kedalam saluran nafas. Peningkatan sel goblet merupakan respon tubuh terhadap masuknya antigen. 4.8 Pembahasan Umum Jintan hitam atau habbatussauda dikenal mempunyai banyak khasiat, salah satu khasiatnya adalah sebagai anti radang. Bahan aktif yang terkandung pada jintan hitam yaitu thymoquinone memiliki aktivitas anti radang karena dapat menghambat pembentukan NO (Bourgou et al. 2010) dan menghambat 44 pembentukan mediator inflamasi asam arachidonat dengan cara menghambat cyclooxigenase serta 5-lipooxygenase (Houghton et al. 1995). Aktifitas anti radang jintan hitam dibuktikan dengan menurunnya eksudat pada saluran nafas (bronkhus dan bronkhiolus) yang diberi perlakuan jintan hitam. Eksudat pada saluran nafas berhubungan dengan perisitiwa peradangan yang terjadi pada saluran nafas. Penurunan eksudat pada saluran nafas ini juga diikuti dengan penurunan jumlah sel goblet pada saluran nafas. Saetta dan Turato (2000) menyatakan bahwa pada kondisi terjadi peradangan akan terjadi peningkatan jumlah sel goblet. Sel goblet merupakan sel yang bertugas untuk menghasilkan mukus yang berfungsi sebagai sistem pertahanan pada saluran pernafasan. Meningkatnya jumlah sel goblet juga akan bepengaruh terhadap eksudat pada saluran nafas. Selain anti radang, thymoquinone juga memiliki khasiat sebagai anti bakteri. Bahan aktif yang terkandung dalam jintan hitam diketahui efektif dalam melawan bakteri yang sudah resisten terhadap antibiotik (Salman et al. 2008). Secara khusus Hannan (2008) melaporkan bahwa jintan hitam mempunyai kemampuan sebagai antibakteri terhadap Staphylococcus aureus yang sudah resisten terhadap methilcillin. Penurunan jumlah fokus radang juga diikuti dengan penurunan jumlah sel goblet pada saluran nafas. Penurunan jumlah fokus radang berpengaruh terhadap menurunnya jumlah sel goblet. Dengan demikian eksudat pada pada saluran nafas juga ikut berkurang. Berkurangnya eksudat pada saluran nafas diikuti dengan ketebalan otot pada kelompok perlakuan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Eksudat pada saluran nafas membuat aliran udara pernafasan menjadi tidak lancar, hal ini akan membuat otot polos pada sekitar bronkhus bekerja lebih keras sehingga menjadi lebih tebal. Aliran udara yang tidak lancar akan mempengaruhi kejadian emfisema pada paru-paru. Hasil pengamatan terhadap deerah yang mengalami emfisema menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan, namun walaupun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata kelompok yang diberi perlakuan menunjukkan kecenderungan yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Jintan 45 hitam memberikan pengaruh yang baik terhadap gambaran histopatologi paruparu mencit. Dosis yang efektif memberikan efek baik pada masing masing perubahan histopatologi yang diamati dapat dilihat pada tabel 15. Tabel 15. Dosis Efektif Jintan Hitam Berdasarkan Faktor Yang Diamati Faktor yang diamati Dosis yang paling efektif Hasil Analisis Statistik Eskudat pada bronkhus dan bronkhiolus HS 0.1 Jumlah Sel Goblet HS Madu Berbeda Nyata Luas BALT HS Madu Tidak Berbeda Nyata Tidak Berbeda Nyata Kepadatan Sel Limfoid HS Madu pada BALT Kongesti dan Hemoragi HS-Madu Berbeda Nyata Jumlah Fokus Radang HS Madu Berbeda Nyata Ketebalan Otot Polos HS Madu Tidak Berbeda Nyata Emfisema HS 0.2 Berbeda Nyata Berbeda Nyata Kelompok perlakuan HS Madu menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang lainnya pada beberapa parameter pengamatan (Jumlah sel goblet, Luas dan kepadatan sel limfoid pada BALT, kongesti dan hemoragi, Jumlah fokus radang, dan ketebalan otot polos). Pada parameter pengamatan lainnya (emfisema) kelompok perlakuan HS 0.2 menunjukkan hasil yang baik. Secara umum dosis pada kelompok perlakuan HS Madu lebih baik dibandingkan kelompok perlakuan yang lainnya, namun masih perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan dosis yang lebih akurat.