Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi Nur Mauliddar, Mohd. Din, Yanis Rinaldi Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 155-173. GRATIFIKASI SEBAGAI TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT ADANYA LAPORAN PENERIMA GRATIFIKASI THE GRATIFICATION AS CORRUPTION IN REGARD WITH A REPORT FROM A GRATIFICATION RECEIVER Nur Mauliddar Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh, 23111 E-mail: [email protected] Mohd. Din Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh, 23111 Yanis Rinaldi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh, 23111 Diterima: 07/03/2017; Revisi: 30/03/2017; Disetujui: 07/04/2017 ABSTRAK Tindak pidana gratifikasi diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun ketentuan ini hanya berlaku bagi penerima gratifikasi, sedangkan pemberi gratifikasi diatur dengan ketentuan Pasal 5. Sementara itu Pasal 12C menyatakan jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi tersebut kepada KPK terhitung paling lambat 30 hari sejak gratifikasi tersebut diterima, maka ketentuan Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi pemberi gratifikasi dalam tindak pidana korupsi dan hilangnya sifat melawan hukum pemberi gratifikasi jika penerima gratifikasi melaporkan kepada KPK. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan pemberi gratifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UndangUndang Pemberantasan Korupsi, setiap pemberian yang dilakukan kepada pegawai negeri/penyelenggara negara dengan harapan agar penerima gratifikasi melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan tugasnya, dan sematamata untuk memenuhi keinginan pemberi gratifikasi. Hilangnya sifat melawan hukum pemberi gratifikasi dalam tindak pidana korupsi terkait adanya laporan penerima gratifikasi yaitu si pemberi tetap memiliki sifat melawan hukum atas perbuatan memberkan gratifikasi, sedangkan adanya laporan penerima gratifikasi bukan merupakan sebuah alasan peniadaan pidana. Akan tetapi alasan peniadaan pidana itu ditujukan terhadap penerima gratifikasi. Disarankan kepada pembentuk undang-undang agar memberikan pembatasan tentang makna dari gratifikasi dan merevisi ketentuan Pasal 12C sehingga terciptanya suatu keseimbangan antara penerima dan pemberi gratifikasi. Kata Kunci: Pemberi Gratifikasi, Tindak Pidana Korupsi, Penerima Gratifikasi. Kanun: Jurnal Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 23111. ISSN: 0854-5499 │e-ISSN: 2527-8482. Open access: http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/kanun Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 155-173. Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi Nur Mauliddar, Mohd. Din, Yanis Rinaldi ABSTRACT A crime of gratification has been legislated in Article 12B of the Act Number 20, 2001 in regards with the Alteration of the Act Number 31, 1999 regarding the Corruption Suppression Act. However, it only applies for a gratification receiver, while a gratifier is ruled in Article 5. Article 12C has provided a possibility that if the receiver may report the KPK (Corruption Suppression Commission) within 30 days sine the acceptance, and Article 12B (1) is not applicable. It means that the act which is against the law of accepting it becoming void; nevertheless the gratifier violates the law. This research aims to explore the existence of gratifier in a corruption case and the absence of a breaching law element of the gratifier if the receiver of gratification reports the KPK (Corruption Suppression Commission). This is juridical normative research. The research shows that the existence of the gratifier of corruption is worded in Article 5 of the Corruption Suppression Act that every gift for a civil servant/official aiming at the gratification receiver commits a thing or omit to do a thing violating his/her duty in order to fulfill the need of the gratifier. The absence of an act violating the law of the gratifier in a corruption case in regard with the report from the gratification receiver is that the gratifier does still violate the law due to the commission, while by the report from the receiver, the act against the law is not avoid. However, the reason for abolishing the punishment is only for the gratification receiver. This recommended that the lawmakers should provide a limit on the meaning of gratification and should be revised hence of Article 12C there is a balance between the receiver and the gratifier. Keywords: Gratifier, Corruption, Gratification Receiver. PENDAHULUAN Tindak pidana korupsi merupakan suatu sifat tercela dan sudah menjadi fenomena sosial yang tidak hanya merugikan negara tetapi juga merupakan suatu pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh korupsi. Korupsi merupakan kejahatan sistemik yang berkaitan dengan kekuasaan yang terbentuk secara struktural dan terorganisir. Korupsi dapat merusak sendi-sendi kepribadian bangsa terutama yang diakibatkan oleh intellectual corruption.1 Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi yaitu dampak dari kejahatan ini, maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai extra ordinary crime, sehingga diperlukan sifat yang luar biasa pula 1 74. 156 Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Cetakan Pertama, Kompas, Jakarta, 2000, hlm. Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi Nur Mauliddar, Mohd. Din, Yanis Rinaldi Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 155-173. (extra ordinary enforcement) dan tindakan yang luar biasa pula untuk memberantasnya (extra ordinary measures).2 Tindak pidana gratifikasi merupakan bagian dari tindak pidana korupsi yang terdiri dari pemberi dan penerima gratifikasi. Adapun ketentuan hukum positif yang mengatur tentang pemberi gratifikasi terdapat pada Pasal 5, yaitu: (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan denda paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), setiap orang yang: a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban, atau: b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan. (2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b dipidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Sedangkan ketentuan hukum terhadap penerima gratifikasi terdapat pada Pasal 12B UndangUndang No. 20 Tahun 2001 yaitu: (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. b. Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa 2 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2007, hlm. 8. 157 Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 155-173. Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi Nur Mauliddar, Mohd. Din, Yanis Rinaldi gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. (2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Keberadaan Pasal 5 dan Pasal 12B ini masih membingungkan dan dalam penerapannya akan terjadi tumpang tindih dengan ketentuan hukum yang lain. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 12C Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan: (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B, ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. (3) Komisi pemberantasan tindak pidana korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara (4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam UndangUndang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana korupsi berasal dari dua kata yaitu tindak pidana dan korupsi. Istilah tindak pidana berasal dari istilah hukum Belanda yaitu strafbaar feit. Pada dasarnya istilah strafbaar feit ini berasal dari tiga kata yaitu straf, baar, feit. Straf diartikan dengan pidana atau hukum, baar diartikan dengan dapat atau boleh, dan feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa atau perbuatan. Dengan demikian strafbaar feit diartikan sebagai suatu tindakan yang menurut rumusan Undang- 158 Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi Nur Mauliddar, Mohd. Din, Yanis Rinaldi Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 155-173. Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum, artinya perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu perbuatan yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum). 3 Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruption atau corruptus, dan dalam bahasa Inggris yaitu corruption atau corrupt, serta dalam bahasa Indonesia menjadi korupsi yang berarti penyuapan, perbuatan korup. Menurut Andi Hamzah korupsi diartikan sebagai kebusukan, kejahatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian serta kata-kata yang menghina atau fitnah.4 Sedangkan pengertian tindak pidana korupsi menurut Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 ayat (1) atau setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3). Ketentuan mengenai gratifikasi diatur dalam Pasal 12B. Dalam penjelasan Pasal 12B disebutkan bahwa gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas meliputi pemberian uang, barang, komisi, rabat (discount), pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Dengan demikian gratifikasi merupakan uang atau hadiah kepada pegawai negeri 3 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Edisi 1, Cetakan Ketiga, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm. 50. Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia (Masalah dan Pemecahannya), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm. 7. 4 159 Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 155-173. Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi Nur Mauliddar, Mohd. Din, Yanis Rinaldi di luar gaji yang telah ditentukan atau dapat dikatakan gratifikasi yaitu servis yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara.5 Dalam tindak pidana gratifikasi ada dua pihak yang sama–sama berperan aktif untuk mewujudkan tindak pidana gratifikasi tersebut secara sempurna, yaitu pemberi dan penerima gratifikasi. Pemberi gratifikasi diatur dalam ketentuan Pasal 5 dan penerima diatur dalam Pasal 12B. Namun dengan adanya ketentuan Pasal 12C, yaitu ketika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi kepada KPK dalam waktu paling telat 30 hari, maka ketentuan hukum Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku. Hal ini jika dilihat secara cermat akan menimbulkan ketidakadilan bagi penerima dan pemberi gratifikasi. Aristoteles menyatakan keadilan harus berdasarkan hukum, yaitu seseorang mendapatkan hak atau jatah secara proporsional mengingat akan pendidikan, kedudukan dan kemampuan. Keadilan dalam konteks korupsi yang dituntut bukan kesamaan tetapi perimbangan. Begitu juga jika dilihat dari pertanggungjawaban tindak pidana gratifikasi.6 METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk dalam penelitian yuridis normatif. Dalam penelitian yuridis normatif, hukum dikonsepsikan sebagai norma, kaedah, asas, atau dogma-dogma. Objek penelitian ini adalah norma perundang-undangan yang berkaitan dengan gratifikasi.7 Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan memberi gambaran tentang pengaturan tentang permasalahan pokok yang sedang diteliti. Sedangkan pendekatan konsep akan diperoleh gambaran tentang kesesuaian pokok permasalahan yang telah diatur dalam 5 M. Nurul Irfan, Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati, Jurnal Hukum Madania, Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014, hlm. 131. 6 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 8. 7 Sulistyowati dan Sidharta, Metode Penelitian Hukum (Konstelasi dan Refleksi), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2013, hlm. 42. 160 Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi Nur Mauliddar, Mohd. Din, Yanis Rinaldi Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 155-173. peraturan membahas perundang-undangan dengan konsep-konsep yang tentang pokok permasalahan itu sendiri.8 Data utama dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi dokumentasi. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1) Pemberi Gratifikasi dalam Tindak Pidana Korupsi Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi, perbuatan gratifikasi muncul dalam berbagai bentuk. Gratifikasi bisa dilakukan di dalam maupun di luar negeri, baik melalui media elektronik, pos wesel dan media lainnya. Bahkan perbuatan gratifikasi tersebut dilakukan pada saat yang kurang tepat, misalnya pada hari raya Idul Fitri, pesta perkawinan, ulang tahun, perjalanan wisata. Perbuatan gratifikasi mempunyai kaitan/hubungan dengan jabatan si pemberi dan si penerima gratifikasi. Artinya akan terjadi suatu pemikiran yang ambigu apakah pemberian itu didasarkan atas ucapan terimakasih atas suatu persahabatan, ataupun pemberian tersebut murni sebagai sadar niat dari si pemberi gratifikasi agar keinginannya dapat tercapai. Secara normatif, perbuatan gratifikasi ini termasuk dalam delik pidana yang tidak hanya memiliki sifat melawan hukum formil, namun juga melawan hukum materiil. Hal ini ditimbulkan atas dampak dari perbuatan gratifikasi yang telah memasuki ranah moral dan etika pejabat, sehingga memerlukan pembenahan sistem. Secara umum akibat dari perbuatan ini disadari atau tidak, dapat membentuk masyarakat yang tidak harmonis dan kesenjangan sosial. Bahkan secara politis dapat menciptakan disintegrasi bangsa karena hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Realitas saat ini menunjukkan bahwa 8 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Ketiga, Bayumedia Publishing, 2010, hlm. 295. 161 Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 155-173. Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi Nur Mauliddar, Mohd. Din, Yanis Rinaldi materialisme telah tumbuh dan merasuk dalam struktur sosial masyarakat. Nilai-nilai agama yang mengajarkan moralitas bagi manusia hampir punah dan diabadikan begitu saja oleh sebagian dari mereka. Ini membuktikan bahwa gratifikasi dalam tindak pidana korupsi merupakan suatu penyakit sosial yang dapat merusak tidak hanya per individu manusia namun seluruh lapisan yang menopang kehidupan manusia, sehingga dalam hal ini keberadaan gratifikasi ini harus benar-benar dimaknai secara jelas yaitu kriteria gratifikasi apa saja yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi.9 Terinspirasi dari hal di atas, maka tidak semua jalur prosedural yang tunduk pada aturan-aturan normatif bisa membawa ke arah yang bermanfaat pada kesejahteraan manusia. Para pejabat/penyelenggara negara tidak akan menerima pemberian dalam bentuk apapun sebagaimana tertuang dalam Pasal 12B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan bersikap tegas untuk menolaknya karena akan melanggar ketentuan Pasal 12B serta dianggap telah melampaui batas-batas moral sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang harus menjalankan kewajibannya sebagai bentuk amanah dari pemberantasan tindak pidana korupsi. Demikian juga dengan pemberi gratifikasi, mereka telah menyad ari ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga mereka tidak akan memberikan hadiah kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara ketika hadiah tersebut berpotensi sebagai tindak pidana gratifikasi atau wujud dari keingi nan pemberi yang hendak dicapai. Pemberian hadiah sebagai suatu perbuatan atau tindak seseorang yang memberikan sesuatu (uang atau benda) kepada orang lain tentu saja hal itu diperbolehkan, namun jika pemberian tersebut dengan harapan untuk dapat mempengaruhi keputusan atau kebijakan dari 9 Syamsul Bahri, Korupsi dalam Kajian Hukum Islam, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 67 Tahun XVII, Desember 2015, hlm. 608. 162 Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi Nur Mauliddar, Mohd. Din, Yanis Rinaldi Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 155-173. pejabat yang diberikan hadiah, maka pemberian tersebut tidak hanya sekadar ucapan selamat atau tanda terima kasih, akan tetapi sebagai upaya untuk memperoleh keuntungan dari pejabat atau pemeriksa yang akan mempengaruhi integritas, independensi, serta objektivitasnya. Hal inilah yang termasuk dalam lingkup pengertian gratifikasi, sebagaimana yang terdapat dalam penjelasan Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 10 Pada dasarnya gratifikasi dapat diartikan secara positif dan negatif. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah yang dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih, artinya pemberian dalam bentuk tanda kasih tanpa mengharapkan balasan apapun. Sedangkan gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah dengan tujuan pamrih, pemberian ini telah membudaya di kalangan aparatur sipil negara maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan. Kepentingan ini meliputi agar penerima gratifikasi mau melakukan sesuat u atau tidak melakukan sesuatu, sehingga dalam hal ini keuntungan berpihak pada pemberi gratifikasi, karena dengan adanya pemberian hadiah tersebut setidaknya penerima gratifikasi akan terpengaruh baik itu dalam mengambil keputusan maupun menentukan suatu kebijakan. Atas dasar itu tidak setiap pemberian gratifikasi harus dianggap sebagai suap (korupsi), tetapi harus dilihat siapa yang memberi dan dilihat pula apakah si penerima mempunyai jabatan tertentu. 11 Tindak pidana gratifikasi merupakan tindak pidana baru yang terdapat dalam UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengaturannya terdapat pada Pasal 12B, yaitu: (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap penerima suap apabila berhubungan dengan jabatannya yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan sebagai berikut: 10 Andri Winjaya Laksana, Tinjauan Mengenai Gratifikasi Pelayanan Seks, Jurnal Hukum, Vol. XXX. No. 2, Desember 2014, hlm. 1. 11 Chaerudin, Strategi Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 5. 163 Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 155-173. Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi Nur Mauliddar, Mohd. Din, Yanis Rinaldi a. Yang nilainya Rp. 10.000.000;00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. b. Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000;00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. (2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000;00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000;00 (satu milyar rupiah). Ketentuan di atas hanya berlaku kepada penerima gratifikasi dan tidak berlaku bagi pemberi gratifikasi. Sebaliknya pemberi gratifikasi dikenakan ketentuan Pasal 5 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu: (1) Dipidana dengan pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000;00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000;00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. Memberi atau penyelenggara menjanjikan negara dengan sesuatu maksud kepada supaya pegawai pegawai negeri atau negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. 164 Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi Nur Mauliddar, Mohd. Din, Yanis Rinaldi Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 155-173. (2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Adapun contoh pemberian yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi, antara lain: (a) pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu; (b) hadiah atau sumbangan rekanan yang diterima pejabat pada saat perkawinan anaknya; (c) pemberian tiket perjalanan kepada pejabat/pegawai negeri atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma; (d) pemberian potongan harga khusus bagi pejabat/pegawai negeri untuk pembelian barang atau jasa dari rekanan; (e) pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan pejabat atau pegawai negeri; (f) pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan; (g) pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat/pegawai negeri pada saat kunjungan kerja; (h) pemberian hadiah atau parcel kepada pejabat/pegawai negeri pada saat hari raya keagamaan oleh rekanan atau bawahannya. 12 Tindak pidana gratifikasi sebagaimana yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 12B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa objek gratifikasi adalah pemberian uang, barang, rabat (discount) komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.13 Selain itu terdapat juga kasuskasus yang dapat digolongkan gratifikasi yaitu: (a) pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif karena hal ini dapat mempengaruhi legislasi dan implementasinya oleh eksekutif; (b) 12 David Daniel Paruntu, Tolok Ukur Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Gratifikasi, Jurnal Hukum Lex Crimen, Vol. 3, No. 2, April 2014, hlm. 47. 13 Hafrida, Analisis Terhadap Gratifikasi dan Suap Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Hukum, Vol. 6. No. 7, Maret 2013, hlm. 5. 165 Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 155-173. Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi Nur Mauliddar, Mohd. Din, Yanis Rinaldi cedera mata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor kelulusan; (c) pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan tidak jelas, oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas kepolisian (polisi lalu lintas), retribusi (Dinas Pendapatan Daerah), LLAJR, dan masyarakat (preman). Apabila kasus ini terjadi KPK menyarankan pelaporan yang dipublikasikan ke media massa dan penindakan tegas pada pelaku; (d) uang retribusi masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh instansi pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pendapatan Daerah; (e) parcel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha kepada pejabat: (f) perjalanan wisata bupati menjelang akhir jabatan. 14 Sementara itu berdasarkan ketentuan Pasal 12C, gratifikasi tidak dianggap suap jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK paling lambat 30 hari terhitung sejak gratifikasi diterima. Hal ini berarti penerima gratifikasi tidak dapat dipidana. Penerima baru dapat dipidana apabila tidak melapor pada KPK. Perumusan Pasal ini terkesan sebagai alasan penghapus pidana. Sementara itu perumusan gratifikasi sendiri dalam formulasinya masih belum jelas, karena dalam pasal gratifikasi tersebut tidak disebutkan batasan minimal seseorang dapat dikatakan telah melakukan gratifikasi, dan beban pembuktian terhadap penerimaan suap gratifikasi dengan nominal Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau lebih maka beban pembuktiannya), maka yang harus membuktikan adalah jaksa penuntut umum (pembuktian biasa). Demikian juga apabila pegawai negeri atau penyelenggara negara segera melaporkan terjadinya gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya gratifikasi, maka pidananya menjadi hapus.15 14 Muh Yusuf Natsir, “Contoh Gratifikasi”, http://www.standar.org/2013/01/contoh-contoh-gratifikasi.html di akses pada tanggal 12 Januari 2017 pukul 12.45 WIB. 15 Nadya Syafira, Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Menerima Gratifikasi Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Hukum, Vol. II. No. 2, Maret 2015, hlm. 9. 166 Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi Nur Mauliddar, Mohd. Din, Yanis Rinaldi Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 155-173. Perumusan gratifikasi secara limitative sebagaimana terdapat dalam Pasal 12B mengandung kelemahan yakni terhadap timbulnya penafsiran terhadap bentuk dari pemberian yang tidak secara tegas disebutkan oleh undang-undang berarti diperbolehkan. Memang dalam penjelasan Pasal tersebut terdapat kalimat “dan fasilitas lainnya”, di mana perumusan tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi atau menampung kemungkinan terjadinya perbedaan penafsiran terhadap maksud dari “pemberian”. 16 2) Hilangnya Sifat Melawan Hukum Pemberi Gratifikasi dalam Tindak Pidana Korupsi Sifat melawan hukum merupakan hal pokok yang harus ada dalam setiap rumusan tindak pidana. Artinya suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana apabila terhadap perbuatan itu mengandung sifat melawan hukum sehingga si pelaku d apat dipidana. Kata melawan hukum berasal bahasa Belanda wedderechtelijk atau onrechmatige atau dalam bahasa Inggris unlawful yang diartikan dengan sifat melawan hukum. Terminologi wedderrecthtelijk sering digunakan dalam bidang hukum pidana dan onrechmatige digunakan dalam hukum perdata 17. Kata melawan hukum dapat diartikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan larangan atau keharusan yang ditentukan dalam undang-undang atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh undang-undang. Bersifat melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan larangan atau keharusan hukum, atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Dalam hal ini yang dimaksud dengan hukum adalah hukum positif (hukum yang berlaku). 16 Ilman Hadi, “Ancaman Pidana bagi pemberi dan penerima gratifikasi”, http:/www.hukumonline.com/klinik/detail/lt03edf703889a/ancaman-pidana-bagi-pemberi-dan penerima-gratifikasi, di akses tanggal 20 Desember 2016 pukul 20.23 WIB. 17 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana di Indonesia (Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangan dalam Yurisprudensi), Cetakan Pertama, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 90. 167 Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 155-173. Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi Nur Mauliddar, Mohd. Din, Yanis Rinaldi Sifat melawan hukum merupakan salah satu unsur dari tindak pidana selain dari unsur perbuatan dan akibat serta unsur ancaman pidana. Kedudukan sifat melawan hukum sangat penting, sehingga dikatakan perhatian utama hukum pidana yaitu perb uatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja.18 Untuk dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara dan atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit maka sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi yang terdapat pada Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mencakup sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil. 19 Melawan hukum formil yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, dengan kata lain sudah ada aturan yang mengatur tentang perbuatan tersebut. Sedangkan melawan hukum materiil yaitu jika perbuatan yang dilakukan menimbulkan ketidakadilan atau keresahan di dalam masyarakat. 20 Hal ini didasarkan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 pada tanggal 24 Juli 2006 mengenai pengujian Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum yaitu meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial masyarakat. Maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Sementara itu dalam Pasal 12C ditentukan apabila penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya maka si penerima gratifikasi tidak pidana dengan alasan sifat 18 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 2008, hlm. 130. Ridwan, Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 60 Tahun XV, Agustus 2013, hlm. 202. 19 20 Fransiska Novita Eleanora, Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Penyuapan, Jurnal Hukum, Vol. 9. No. 2, April 2012, hlm. 5. 168 Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi Nur Mauliddar, Mohd. Din, Yanis Rinaldi Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 155-173. melawan hukumnya hilang 21. Dilihat dari segi substansial, hal ini dirasakan janggal, karena seolah-olah sifat melawan hukumnya perbuatan atau sifat patut dipidananya si penerima tergantung pada ada tidaknya laporan yang bersifat administratif prosedural. Sehingga keberadaan Pasal 12C ini dianggap sebagai alasan penghapus pidana 22 . Apabila unsur melawan hukum itu tidak ada/ tidak terbukti, maka si pelaku tidak dapat dipidan a . ini berarti ketentuan ini mengandung asas tiada pidana tanpa sifat melawan hukum ( no liability without unlawfulness).23 Namun demikian dalam praktik peradilan, khususnya melalui yurisprudensi Mahkamah Agung RI juga telah memberikan nuansa baru perbuatan melawan hukum materiil bukan hanya dibatasi dari fungsi negatif sebagai alasan peniadaan pidana guna menghindari pelanggaran asas legalitas maupun penggunaan analogi yang dilarang oleh hukum pidana. Mahkamah Agung melalui yurisprudensi juga melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materiil ke arah fungsi positif melalui kriteria limitative dan kasuistik berupa perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibandingkan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut. Sementara itu, penerapan sifat melawan hukum materiil ini juga terdapat dalam salah satu putusan Mahkamah Agung yaitu melalui putusan Mahkamah Agung RI No. 758 K/Pid/2004 atas nama terdakwa Drs. Naek Lumbantobing yang diputus pada hari Rabu tanggal 26 April 2006, Mahkamah Agung berpendapat bahwa adanya 3 (tiga) sifat hilangnya unsur (bestandellen) melawan hukum materiil sebagai alasan penghapus pidana (yang tidak 21 Nur Laeli Fauziah, Penghapusan Pidana Bagi Pejabat Negara atau Penerima Gratifikasi, Jurnal Hukum Islam, Vol. 1, N0 1, Juni 2015. hlm. 27. 22 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 8. 23 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Edisi 1, Cetakan Ketiga, Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 86. 169 Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 155-173. Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi Nur Mauliddar, Mohd. Din, Yanis Rinaldi tertulis) berupa faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak mendapat untung. 24 Dalam hal ini, walaupun tindakan pelaporan penerimaan gratifikasi kepada KPK ini dapat dianggap sebagai dasar penghapus sifat melawan hukum perbuatan, namun perbuatan menerima gratifikasi tetap merupakan korupsi, karena jelas melanggar ketentuan Pasal 12B ayat (1) Jo (2). Oleh karena itu, andai kata si penerima diajukan juga ke sidang pengadilan sebagai terdakwa dan apabila dapat dibuktikan dan dipenuhinya ketentuan Pasal 12C ayat (1) dan (2), maka kepada pegawai negeri tersebut tidak diputus bebaskan (vrijspraak) tetapi lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging), karena perbuatan menerima gratifikasi telah terbukti. 25 Ketentuan mengenai pelaporan penerimaan gratifikasi ini hendaknya tidak diperlakukan secara umum, mengingat gratifikasi ini sangat luas pengertiannya. Maksudnya adalah agar setiap pelaporan oleh pegawai negeri yang menerima gratifikasi ke KPK, tidak dijadikan alasan oleh pejabat penyidik untuk tidak melakukan penyidikan, atau tidak memproses tentang kasus penerimanya itu. KPK dalam hal ini menetapkan gratifikasi sebagai milik penerima atau milik negara tidak dapat dianggap sebagai putusan hakim. Memang dari segi yuridis, penyidikan tidak terhenti atau hak penyidikan tidak terhapus karena si pembuat telah melaporkan kepada KPK. Dengan demikian rumusan mengenai gratifikasi ini hendaknya dirumuskan secara komprehensif mengenai masalah pemberi dan penerima gratifikasi sebagai aturan yang bersifat utuh, sehingga dalam hal penerapan sanksi dapat mengacu pada satu Pasal yang mengaturnya. Ini berdampak pada prinsip keseimbangan dan keadilan, di mana para pelaku 24 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publising, Malang, 2014, hlm. 288. 25 Sulistia Teguh dan Zurnetti Aria, Sistem Pembuktian Gratifikasi dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi, Kanun Jurnal Hukum, Nomor 42 Tahun XIV, Agustus 2005, hlm. 323. 170 Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi Nur Mauliddar, Mohd. Din, Yanis Rinaldi Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 155-173. baik pemberi maupun penerima gratifikasi memperoleh sanksi yang sesuai dan setimpal, sehingga penegakan hukum mengenai tindak pidana gratifikasi sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu keadilan dan kepastian hukum. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan. Pertama, keberadaan pemberi gratifikasi dalam tindak pidana korupsi terkait adanya laporan penerima gratifikasi, berdasarkan kedudukan pemberi gratifikasi, diatur sebagaimana Pasal 5 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ini, gratifikasi adalah setiap pemberian kepada pegawai negeri/penyelenggara negara agar penerima gratifikasi melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan tugasnya, semata-mata untuk memenuhi keinginan si pemberi gratifikasi. Kedua, hilangnya sifat melawan hukum pemberi gratifikasi dalam tindak pidana korupsi terkait adanya laporan penerima gratifikasi yaitu si pemberi tetap memiliki sifat melawan hukum atas perbuatan memberikan gratifikasi, sedangkan adanya laporan penerima gratifikasi bukan merupakan sebuah alasan peniadaan pidana. Akan tetapi alasan peniadaan pidana itu ditujukan terhadap penerima gratifikasi. Disarankan kepada pembentuk undang-undang agar memberikan pembatasan tentang makna dari gratifikasi sehingga multi tafsir dari gratifikasi tersebut dapat dihilangkan. Diharapkan kepada pembentuk undang-undang untuk merevisi Pasal 12C supaya terciptanya keseimbangan antara penerima dan pemberi gratifikasi. DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi, 2014, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang. 171 Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 155-173. Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi Nur Mauliddar, Mohd. Din, Yanis Rinaldi Andi Hamzah, 1997, Korupsi di Indonesia (Masalah dan Pemecahannya), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Andri Winjaya Laksana, 2014, Tinjauan Mengenai Gratifikasi Pelayanan Seks, Jurnal Kanun, Vol XXX No 2, Desember. Baharuddin Lopa, 2000, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Cetakan Pertama, Kompas, Jakarta. Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Ed.1, Cet. 3, Kencana, Jakarta. Chaerudin, 2008, Strategi Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, PT. Refika Aditama, Bandung. David Daniel Paruntu, 2014, Tolok Ukur Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Gratifikasi, Jurnal Hukum Lex Crimen, Vol. III, Nomor 2, April. Evi Hartanti, 2008, Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Fransiska Novita Eleanora, 2012, Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Penyuapan, Jurnal Hukum, Vol. 9. No. 2, April. Hafrida, 2013, Analisis Terhadap Gratifikasi dan Suap Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Hukum, Vol. 6. No. 7, Maret. Ilman Hadi, 2016, “Ancaman Pidana bagi Pemberi dan Penerima Gratifikasi”, http:/www.hukumonline.com/klinik/detail/lt03edf703889a/ancaman-pidana-bagi-pemberi-dan penerima-gratifikasi, di akses tanggal 20 Desember, pukul 20.23 WIB. Ishaq, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Johny Ibrahim, 2010, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Ketiga, Bayumedia Publishing. Komariah Emong Sapardjaja, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana di Indonesia (Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangan dalam Yurisprudensi), Cetakan Pertama, Alumni, Bandung. 172 Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi Nur Mauliddar, Mohd. Din, Yanis Rinaldi Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 155-173. Lilik Mulyadi, 2007, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, PT. Alumni, Bandung. M Nurul Irfan, 2014, Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati, Jurnal Hukum Madania, Vol. XVIII. Nomor 2, Desember. Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. Muh Yusuf Natsir, 2017, “Contoh Gratifikasi”, http://www.standar.org/2013/01/contoh-contohgratifikasi.html di akses pada tanggal 12 Januari, pukul 12.45 WIB. Nadya Syafira, 2015, Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Menerima Gratifikasi Berdasarkan UndangUndang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Hukum, Vol. II. No. 2, Maret. Nur Laeli Fauziah, 2015. Penghapusan Pidana Bagi Pejabat Negara atau Penerima Gratifikasi, Jurnal Hukum Islam, Vol. 1, No 1, Juni. Ridwan, 2013, Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 60 Tahun XV, Agustus. Syamsul Bahri, 2015, Korupsi dalam Kajian Hukum Islam, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 67 tahun XVII, Desember. Sulistia Teguh dan Zurnetti Aria, 2005, Sistem Pembuktian Gratifikasi dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 42 Tahun XIIV, Agustus. Sulistyowati dan Sidharta, 2013, Metode Penelitian Hukum (Konstelasi dan Refleksi), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Teguh Prasetyo, 2014, Hukum Pidana, Edisi 1, Cetakan Ketiga, Rajawali Pers, Jakarta. 173