perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id HUBUNGAN ANTARA TUBERKULOSIS PARU DENGAN DIABETES MELITUS SEBAGAI FAKTOR RISIKO SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Yohana Endrasari G0008186 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2011 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRAK Yohana Endrasari. G0008186, 2011, Hubungan antara Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus sebagai Faktor Risiko. Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Tujuan Penelitian : Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko. Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan case control. Subjek penelitian yang diambil adalah pasien yang berobat ke BBKPM Surakarta dan berusia lebih dari 30 tahun. Pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan data primer dari kuesioner yang dilakukan mulai dari bulan Juli sampai dengan Agustus 2011. Pasien berjumlah 122 pasien yang dibagi dalam dua kelompok, terdiri dari 61 pasien tuberkulosis paru sebagai kelompok kasus dan 61 pasien paru noninfeksi kronis sebagai kelompok kontrol. Pasien yang berobat dilihat apakah menderita diabetes melitus apa tidak. Kemudian data dianalisis menggunakan uji statistik Chi Square dilanjutkan dengan penghitungan Odds Ratio. Hasil Penelitian : Pada penelitian ini diperoleh data dari kelompok kasus, 14 pasien memiliki diabetes melitus dan 47 pasien tidak memiliki diabetes melitus. Sedangkan pada kelompok kontrol, 5 pasien memiliki diabetes melitus dan 56 pasien tidak memiliki diabetes melitus. Kemudian analisis statistik dengan Chi Square dengan taraf signifikansi p < 0,05 didapatkan hasil p = 0,025 dan Odds Ratio (OR) = 3,3. Simpulan Penelitian : Penderita diabetes melitus beresiko menderita tuberkulosis paru 3,3 kali lebih besar dibanding yang tidak menderita diabetes melitus. Kata Kunci : Tuberkulosis Paru, Diabetes Melitus, Faktor Risiko commitivto user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRACT Yohana Endrasari. G0008186, 2011. The Correlation between Lung Tuberculosis and Diabetes Mellitus as a Risk Factor. Script, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University. Objective : The purpose of this study was to analyze the correlation between lung tuberculosis and diabetes mellitus as a risk factor. Method : This research was an observational analytic study with case control approach. Research subject taken was patient came to BBKPM Surakarta and aged more than 30 years old. Sampling technique used in this research was purposive sampling. Data were collected by using primary data from questionnaires from July to August 2011. Total patients were 122 patients who were divided into two groups, consisted of 61 patients of lung tuberculosis as the case group, and 61 patients of noninfectious chronic disease as the control group. Patients who came to clinic were examined, whether suffered from diabetes mellitus or not. Data were analyzed using Chi Square test , and then continued with calculation of Odds Ratio. Result : In this study the data obtained from the cases group, 14 patients had a history of diabetes mellitus and 47 patients did not have a history of diabetes mellitus. Whereas in the control group, 5 patients had a history of diabetes mellitus and 56 patients did not have history of diabetes mellitus. Based on statistical analysis by Chi Square test with a significance level p < 0.05, p = 0.025 is obtained and from the Odds Ratio table obtained OR = 3.3. Conclusion : People who suffer from diabetes mellitus have risk for lung tuberculosis 3, 3 times higher compared to people who do not suffer from diabetes mellitus. Key Words : Lung Tuberculosis, Diabetes Mellitus, Risk Factor. commitvto user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PRAKATA Alhamdulillahirabbil`alamin, segala puji syukur peneliti panjatkan ke haridat Allah SWT atas segala karunia-Nya dalam menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan antara Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus sebagai Faktor Risiko”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan program pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Muthmainah, dr., M.Kes., selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Ana Rima Setijadi, dr., Sp.P., selaku pembimbing utama yang telah berkenan meluangkan waktu memberikan bimbingan, saran, dan motivasi. 4. Balgis, dr., Sp.Ak., M.Sc., CM-FM., AIFM., selaku pembimbing pendamping atas bimbingan dan masukan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Dr. Reviono, dr., Sp.P(K)., selaku penguji utama yang telah berkenan menguji dan memberikan kritik serta saran dalam penulisan skripsi ini. 6. Dr. Kiyatno, dr., M.Or., PFK., AIFO., selaku anggota penguji yang telah memperbaiki kekurangan dalam penulisan skripsi ini. 7. Balai Besar Kesehatan Paru Masyarkat Surakarta yang telah banyak membantu penulis selama pengambilan data. 8. Seluruh Staf SMF Paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta atas segala bantuan yang telah diberikan. 9. Imam Suyoso, S.Pd. dan Jajuk Jurijatmi, S.Pd, M.Pd., selaku orang tua serta saudara-saudara saya yang telah memberikan doa, motivasi, dukungan, dan semangat bagi penulis dengan penuh kasih sayang. 10. Sahabat-sahabat saya di Pondok Asri, Agatha, Erika, Maya, dan Ucil, serta teman-teman keluarga besar Pendidikan Dokter 2008 yang telah memberikan semangat dan bantuan kepada penulis. 11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang turut membantu penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca. Surakarta, Desember 2011 commit to user vi Yohana Endrasari perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI PRAKATA ......................................................................................................... vi DAFTAR ISI ..................................................................................................... vii DAFTAR TABEL ............................................................................................... x DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi DAFTRA LAMPIRAN ...................................................................................... xii BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................................ 2 C. Tujuan Penelitian................................................................................ 2 D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 3 BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 4 1. Tuberkulosis Paru........................................................................... 4 a. Definisi .................................................................................... 4 b. Patogenesis ............................................................................... 5 1) Tuberkulosis Paru Primer…………………………………5 2) Tuberkulosis Paru Post Primer……………………………6 c. Klasifikasi ................................................................................ 7 d. Diagnosis................................................................................ 10 1) Gambaran Klinis…………. ............................................. 10 2) Pemeriksaan Fisik. .......................................................... 11 commit to user vii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3) Pemeriksaan Bakteriologik. ............................................. 11 4) Pemeriksaan Radiologi. ................................................... 13 5) Pemeriksaan Penunjang Lain. .......................................... 14 e. Penatalaksanaan ..................................................................... 14 2. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ..................................... 17 a. Definisi .................................................................................. 17 b. Patofisiologi ........................................................................... 17 c. Gambaran Klinis .................................................................... 19 3. Asma ....................................................................................... ….20 a. Definisi… ............................................................................... 20 b. Patofisiologi… ....................................................................... 21 c. Faktor Risiko. ......................................................................... 22 4. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). ...................................... 23 a. Definisi. ................................................................................. 23 b. Patofisiologi. .......................................................................... 23 c. Gambaran Klinis .................................................................... 24 5. Diabetes Melitus .......................................................................... 26 a. Definisi. ................................................................................. 26 b. Epidemiologi dan Prevalensi. ................................................. 26 c. Klasifikasi . ............................................................................ 27 d. Gambaran Klinis..................................................................... 28 e. Diagnosis ............................................................................... 28 6. Hubungan antara Diabetes Melitus dengan Tuberkulosis Paru ...... 28 commit to user viii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id B. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 32 C. Hipotesis .......................................................................................... 33 BAB III. METODELOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ............................................................................ 34 B. Lokasi Penelitian .......................................................................... 34 C. Subjek Penelitian.......................................................................... 34 D. Teknik Sampling .......................................................................... 35 E. Besar Sampel ............................................................................... 35 F. Rancangan Penelitian ................................................................... 36 G. Identifikasi Variabel Penelitian..................................................... 37 H. Definisi Operasional Variabel Penelitian ...................................... 37 I. Instrumen Penelitian..................................................................... 41 J. Cara Kerja .................................................................................... 41 K. Teknik Analisis Data .................................................................... 41 BAB IV. HASIL PENELITIAN......................................................................... 44 A. Karakteristik Sampel Penelitian.................................................... 44 B. Analisis Statistik .......................................................................... 48 BAB V. PEMBAHASAN .................................................................................. 49 BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 55 A. Simpulan ...................................................................................... 55 B. Saran ............................................................................................ 55 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 56 LAMPIRAN commit to user ix perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel Kontangensi 2x2. Tabel 2. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin. Tabel 3. Distribusi Berdasarkan Umur. Tabel 4. Distribusi Berdasarkan Pekerjaan. Tabel 5. Hubungan antara Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus sebagai Faktor Risiko. commit to user x perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Konsep Patogenesis PPOK. Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran. Gambar 3. Skema Rancangan Penelitian. commit to user xi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian dan Pengambilan Sampel dari Pihak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Lampiran 2. Surat Ijin Telah Selesai Melakukan Penelitian di BBKPM Surakarta. Lampiran 3. Data Pasien yang Berobat di BBKPM Surakarta. Lampiran 4. Hasil Uji Statistik Chi Square. Lampiran 5. Lembar Persetujuan. Lampiran 6. Formulir Persetujuan. Lampiran 7. Kuesioner. Lampiran 8. Ethical Clearance. commit to user xii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit menular pada saluran pernapasan bagian bawah yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis (Alsagaff dan Mukty, 2009). Penyakit ini menjadi problem kesehatan dunia sebab sepertiga penduduk dunia saat ini terinfeksi dengan basil tuberkulosis (Amin dan Bahar, 2006). WHO memperkirakan bahwa jumlah terbesar kasus tuberkulosis paru baru di tahun 2009 terjadi di daerah Asia sebesar 50 %, dimana Indonesia menempati urutan ke-5 setelah India, China, Afrika Selatan, dan Nigeria (WHO, 2010). Pada tahun 2007, prevalensi semua tipe tuberkulosis paru di Indonesia sekitar 565.614 kasus. Insidensi kasus baru tuberkulosis paru BTA positif sekitar 236.029 kasus. Pada tahun 2009 prevalensi kasus tuberkulosis paru BTA positif sebesar 61 % dari seluruh kasus tuberkulosis paru yang ada. Sedangkan kematian tuberkulosis paru 39 per 100.000 penduduk atau 250 orang per hari (WHO, 2009). Tingginya kasus tuberkulosis paru ini dipengaruhi oleh sistem imunitas tubuh, seperti HIV, gizi buruk, kemiskinan, dan kepadatan penduduk (Crofton, 2002). Selain faktor-faktor tersebut, beberapa penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa diabetes melitus juga dapat meningkatkan risiko tuberkulosis paru (Sen, 2009). Diabetes melitus adalah suatu kondisi yang ditandai dengan meningkatnyanya kadar gula darah dan memiliki komplikasi commit to user 1 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2 jangka panjang yang melibatkan pembuluh darah, mata, dan ginjal. Penyakit ini banyak diderita oleh orang-orang yang memiliki gaya hidup yang kurang sehat, yaitu dengan asupan gizi yang tinggi namun aktifitas fisiknya rendah. Sama halnya dengan prevalensi tuberkulosis paru, prevalensi diabetes melitus setiap tahunnya juga tinggi. Berdasarkan data organisasi kesehatan dunia (WHO), Indonesia kini menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes melitus di dunia. Secara teori diabetes melitus mempunyai pengaruh terhadap penyakit infeksi. Sehingga diduga diabetes melitus juga mepengaruhi kondisi kesehatan pasien tuberkulosis paru. Beberapa penelitian menunjukan bahwa diabetes melitus dapat menimbulkan perbedaan manifestasi klinis dan respon terhadap pengobatan tuberkulosis paru, terutama bila kadar gula darah pada pasien tinggi (Dooley dan Chaisson, 2009). Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka peneliti tertarik mengadakan penelitian untuk mengetahui hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko. B. Rumusan Masalah Adakah hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko? C. Tujuan Penelitian Penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3 D. Manfaat Penelitian 1. Aspek teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko. b. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan acuan penelitian lebih lanjut, misalnya penelitian dengan faktor-faktor risiko lain yang tidak diteliti. 2. Aspek praktis Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat untuk meningkatkan upaya pencegahan penyakit tuberkulosis paru terutama pada pasien yang telah menderita penyakit diabetes melitus. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Tuberkulosis Paru a. Definisi Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis yang menyerang saluran pernapasan bagian bawah (Alsagaff dan Mukty, 2009). Basil yang bersifat aerobik dan tahan asam ini dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Ukuran basil tuberkulosis ini 0,3 x 2 sampai 4 mm, di mana ukuran ini lebih kecil daripada sel darah merah (Price dan Wilson, 2008). Lebih dari 60 % struktur dinding sel dari Mycobacterium tuberculosis mengandung lipid. Tingginya konsentrasi lipid tersebut dapat dihubungkan dengan sifat bakteri yang tahan asam (Todar, 2011). Mycobacterium tuberculosis tidak dapat diklasifikasikan menjadi grampositif ataupun gram-negatif. Jika sudah diwarnai dengan bahan celup dasar, organisme ini tidak dapat diwarnai dengan alkohol tanpa menghiraukan pengobatan iodin. Basil tuberkulosis sejati ditandai dengan “tahan asam” yaitu 95 % etil alkohol. Sifat tahan asam ini tergantung pada integritas selubung yang terbuat dari lilin. Teknik pewarnaan Ziehl-Neelsen digunakan untuk mengidentifikasi bakteri tahan asam (Brooks, et al., 2008). commit to user 4 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 5 b. Patogenesis Pada tuberkulosis paru, tempat masuknya kuman Mycobacterium tuberculosis adalah saluran pernapasan. Infeksi ini terjadi melalui udara, yaitu inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkulosis berasal dari orang yang terinfeksi (Price dan Wilson, 2008). Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru (Amin dan Bahar, 2007). Basil tuberkulosis yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi lalu membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear yang tampak pada tempat tersebut memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Berhari-hari kemudian, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul pneumonia akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal atau proses dapat berjalan terus. Proses yang berjalan terus-menerus ini menyebabkan bakteri terus difagosit dan berkembang biak di dalam makrofag (Price dan Wilson, 2008). 1) Tuberkulosis Paru Primer Tuberkulosis paru primer adalah bentuk penyakit pada orang yang belum pernah terpajan, sehingga tidak pernah tersensitisasi (Kumar, et al., 2007). Basil yang menetap dalam jaringan paru, akan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Kuman yang bersarang di jaringan paru ini akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 6 kecil dan disebut sarang primer atau sarang ghon (focus) (Amin dan Bahar, 2007). perkembangan Kemudian penyakit manifestasi dapat berupa yang muncul konsolidasi pada parenkim, atelektasis, limfadenopati, efusi pleura ataupun miliar. Konsolidasi biasanya bersifat unifokal dengan melibatkan multilobar (25 %). Konsolidasi dapat terjadi pada lobus manapun, tetapi paling sering dilaporkan bahwa pada orang dewasa, lobus bawah lebih sering terkena (Djojodibroto, 2009). Dampak utama tuberkulosis paru primer adalah memicu timbulnya hipersensitivitas dan resistensi. Basil yang terdapat pada fokus jaringan parut yang dapat hidup bertahun-tahun bahkan seumur hidup, dapat reaktivasi ketika pertahanan pejamu melemah. Penyakit dapat berkembang menjadi tuberkulosis primer progresif. Hal ini banyak terjadi pada orang yang mengalami gangguan kekebalan tubuh, seperti AIDS, malnutrisi, atau usia lanjut (Kumar, et al., 2007). 2) Tuberkulosis Paru Post Primer Tuberkulosis paru post primer atau tuberkulosis paru sekunder (reinfection) merupakan pola penyakit yang terjadi pada pejamu yang telah tersensitasi. Secara umum, tuberkulosis paru sekunder terjadi karena reaktivasi bakteri yang dorman terutama saat resistensi pejamu melemah. Namun, dapat juga terjadi segera setelah infeksi primer. Selain itu, penyakit ini dapat terjadi akibat reinfeksi eksogen karena berkurangnya proteksi yang dihasilkan penyakit primer atau besarnya commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 7 inokulum basil hidup. Pada daerah dengan prevalensi tinggi, reinfeksi eksogen lebih sering terjadi. Dari mana pun sumber organismenya, kurang dari 5 % pasien dengan penyakit primer kemudian mengalami tuberkulosis sekunder. Tuberkulosis paru sekunder umumnya terbatas di apeks satu atau kedua lobus atas yang kemungkinan besar berkaitan dengan tingginya tegangan oksigen di sana. Respon jaringan terjadi segera dan nyata yang cenderung membatasi fokus karena memang sudah terdapat hipersensitivitas. Dengan begitu, kelenjar getah bening regional kurang begitu terlibat. Namun, kavitasi hampir selalu terjadi pada tuberkulosis paru sekunder yang tidak diobati, dan erosi yang mengenai saluran napas menjadi sumber penularan melalui sputum yang dikeluarkan (Kumar, et al., 2007). c. Klasifikasi Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum Basil Tahan Asam (BTA) tuberkulosis paru dibagi menjadi: 1) Tuberkulosis Paru BTA Positif Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan tiga batang kuman BTA pada satu sediaan dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml sputum (Amin dan Bahar, 2007). Cara pengumpulan sputum tiga kali, yaitu Sewaktu, Pagi, dan Sewaktu (SPS) atau setiap pagi tiga kali berturut-turut (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8 Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD): a) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif. b) Ditemukan 1 - 9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan. c) Ditemukan 10 - 99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+). d) Ditemukan 1 - 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+). e) Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+). Dikatakan tuberkulosis paru BTA positif jika: a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen sputum menunjukkan hasil BTA positif. b) Hasil pemeriksaan satu spesimen sputum menunjukkan BTA positif dan menunjukkan gambaran radiologi tuberkulosis aktif. c) Hasil pemeriksaan satu spesimen sputum menunjukkan positif dan biakan kuman positif. 2) Tuberkulosis Paru BTA Negatif Dikatakan tuberkulosis paru BTA negatif jika: a) Hasil pemeriksaan sputum menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif. b) Hasil pemeriksaan sputum menunjukkan BTA negatif dan biakan Mycobacterium tuberculosis positif. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 9 Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya: 1) Kasus Baru Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. 2) Kasus Kambuh Adalah pasien tuberkulosis paru yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan OAT dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan sputum BTA positif atau biakan positif. 3) Kasus Default atau Drop Out Adalah pasien tuberkulosis paru yang telah menjalani pengobatan OAT lebih dari satu bulan dan tidak mengambil obat selama dua bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. 4) Kasus Gagal Adalah pasien tuberkulosis paru BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan. 5) Kasus Kronis Adalah pasien tuberkulosis paru dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori dua dan dengan pengawasan yang baik. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 10 6) Kasus Bekas TB a) Hasil pemeriksaan sputum BTA dan biakannya negatif, serta gambaran radiologi paru menunjukkan lesi tuberkulosis yang tidak aktif atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung. b) Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT dua bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006). d. Diagnosis 1) Gambaran Klinis a) Gejala Respiratori (1) Batuk lebih dari 2 minggu. (2) Sputum awalnya bersifat mukoid, kemudian berubah menjadi mukopurulen sampai purulen. (3) Batuk darah merupakan tanda telah terjadinya ekskavasasi dan ulserasi pembuluh darah pada dinding kavitas. Batuk darah massif terjadi bila ada robekan dari aneurisma Rasmussen. (4) Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik ringan. Bila nyeri bertambah berat telah terjadi pleuritis luas. (5) Wheezing terjadi karena penyempitan lumen endobronkus. (6) Dispneu merupakan late tuberkulosis paru. commit to user symptom dari proses lanjut perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 11 b) Gejala Sistemik (1) Panas badan sedikit meningkat pada siang atau sore hari. (2) Menggigil dapat terjadi bila panas badan meningkat dengan cepat tetapi tidak diikuti pengeluaran panas dengan kecepatan yang sama. (3) Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah lanjut. (4) Anoreksia dan penurunan berat badan. (5) Malaise. (Alsagaff dan Mukty, 2009). 2) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, demam (subfebris), badan kurus, dan berat badan menurun. Tempat keadaan lesi tuberkulosis paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru. Perkusi yang redup dan auskultasi suara bronkial akan didapatkan bila dicurigai ada infiltrat yang agak luas. Selain itu, akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring (Amin dan Bahar, 2007). 3) Pemeriksaan Bakteriologis Pemeriksaan bakteriologis yang paling penting untuk diagnosis tuberkulosis paru adalah pemeriksaan sputum. Pada tuberkulosis paru, sputum yang mengandung BTA merupakan satu-satunya penegakan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12 diagnosis yang dipakai dalam program pemberantasan penyakit tuberkulosis paru (Alsagaff dan Mukty, 2009). Sputum berasal dari mukus (sekret kelenjar) paru, bronkus, dan trakea yang dikeluarkan melalui mulut. Pada orang dewasa normal, bisa diproduksi sejumlah 100 ml mukus dalam saluran napas setiap hari. Mukus ini dibawa menuju ke faring dengan gerakan pembersihan normal silia. Jika terbentuk mukus berlebihan, proses normal pembersihan tidak efektif lagi, sehingga mukus tertimbun. Bila hal ini terjadi, membran mukosa akan terangsang, mukus akan dikeluarkan dengan tekanan intratorakal dan intraabdominal yang tinggi, lalu dibatukkan sebagai sputum. Pembentukan mukus yang berlebihan mungkin disebabkan gangguan fisik, kimiawi, atau infeksi. Sputum yang terbentuk perlu dievaluasi sumber, warna, volum, dan konsistensinya. Sputum dapat dihasilkan dari sinus (saluran hidung) dan saluran napas bagian bawah. Warna sputum juga penting untuk dievaluasi sebab warna kekuning-kuningan menunjukkan infeksi dan warna hijau menunjukkan adanya penimbunan pus yang timbul karena verdoperoksidase yang dihasilkan oleh Leukosit Polimorfonuklear (PMN) dalam sputum. Sifat dan konsistensi sputum juga dapat memberikan informasi yang berguna. Sputum yang berwarna merah muda dan berbusa merupakan tanda edema paru akut. Sputum yang berlendir, lekat, dan berwarna abu-abu atau putih merupakan tanda bronkitis kronis. Sedangkan sputum yang banyak commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13 sekali dan purulen menyatakan adanya proses supuratif, seperti abses paru. Perlu diketahui waktu terbaik pengumpulan sputum adalah segera sesudah bangun karena sekresi bronkus yang abnormal cenderung tertimbun saat tidur (Price dan Wilson, 2008). 4) Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan standar ialah foto toraks (PA). Gambaran radiologis akan tampak bercak-bercak seperti awan dengan batas yang tidak tegas saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumoni. Bayangan akan terlihat seperti bulatan dengan batas tegas yang dikenal sebagai lesi tuberkuloma bila lesi masih diliputi jaringan ikat. Lesi yang berupa kavitas, bayangannya seperti cincin yang mula-mula berdinding tipis kemudian lama-lama menjadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang bergaris-garis. Lesi yang terbentuk kalsifikasi dan bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi (Amin dan Bahar, 2007). Menurut American Thoracic Society dan National Tuberculosis Association, berdasarkan luasnya, tuberkulosis paru dinyatakan sebagai berikut: a) Minimal lesion Luas sarang-sarang yang terlihat tidak melebihi daerah yang dibatasi oleh garis media, apeks, dan iga-iga depan. Sarang-sarang soliter dapat berada di mana saja tidak harus berada dalam daerah tersebut. Tidak ditemukan adanya kavitas. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14 b) Moderately advanced tuberculosis Luas sarang yang bersifat bercak-bercak tidak melebihi luas satu paru, sedangkan bila ada kavitas tidak melebihi 4 cm. Jika sifat bayangan sarang-sarang berupa awan-awan yang menjelma menjadi daerah konsolidasi yang homogen, luasnya tidak boleh melebihi luas satu lobus. c) Far advanced tuberculosis Luas daerah yang dihinggapi oleh sarang-sarang lebih daripada kalsifikasi kedua di atas atau bila ada kavitas, maka diameter keseluruhan semua lubang lebih dari 4 cm. 5) Pemeriksaan Penunjang Lain a) Analisis cairan pleura. b) Pemeriksaan histopatologi jaringan. c) Pemeriksaan darah. d) Uji tuberkulin. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006). e. Penatalaksanaan Prinsip pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif yang berlangsung selama 2 - 3 bulan dan dilanjutkan dengan fase lanjutan selama 4 - 6 bulan. Obat lini pertama yang biasa digunakan adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15 Dosis harian isoniazid ialah 4 - 6 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 300 mg. Efek samping ringan dapat berupa gejala pada saraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki, dan nyeri otot. Keadaan ini terkait dengan terjadinya defisiensi piridoksin (Vit B6) sehingga dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 10 mg/hari atau dengan vitamin B kompleks. Kelainan akibat defisiensi piridoksin dapat berupa sindrom pellagra. Efek samping berat yang dapat terjadi berupa hepatitis imbas obat yang timbul pada kurang lebih 0,5 % pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, OAT yang bersifat hepatotoksik (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid) dihentikan dan pengobatan tuberkulosis paru dilanjutkan sesuai pedoman pengobatan tuberkulosis paru pada keadaan khusus. Obat lini pertama selanjutnya adalah rifampisin dengan dosis harian 8 - 12 mg/kgBB/hari dan dosis maksimal 600 mg. Efek samping ringan berupa sindrom flu (demam, menggigil, nyeri tulang), sindrom perut (sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah, diare), dan sindrom kulit (gatal-gatal). Efek samping berat rifampisin dapat berupa hepatitis imbas obat, sesak napas, dan bila terjadi salah satu gejala, seperti purpura, anemia hemolitik, syok, gagal ginjal, maka pengobatan dengan rifampisin harus segera dihentikan dan tidak diberikan lagi walaupun gejala telah menghilang. Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada urin, keringat, air mata, dan air liur. Hal itu terjadi karena metabolisme obat dan hal ini tidak berbahaya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16 Sementara itu, pirazinamid sebagai antituberkulosis dapat diberikan dengan dosis harian 20 - 30 mg/kgBB/hari. Efek samping utama obat ini hepatitis imbas obat. Dapat pula terjadi nyeri akibat serangan artritis gout yang disebabkan oleh penimbunan asam urat. Bila kadar asam urat terlalu tinggi mungkin obat perlu diganti. Dapat juga terjadi demam, mual, kemerahan, dan reaksi kulit yang lain. Etambutol diberikan pada pasien tuberkulosis paru dengan dosis harian 15 - 20 mg/kgBB/hari. OAT ini dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman serta buta warna hijau dan merah. Gangguan penglihatan akan kembali normal beberapa minggu setelah obat dihentikan. Streptomisin sebagai OAT diberikan pada dosis harian 15 - 18 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 1000 mg. Efek samping utama adalah kerusakan nervus VIII yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Gejalanya adalah telinga mendenging, vertigo, dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi. Jika pengobatan streptomisin diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Efek samping ringan lainnya yang dapat terjadi adalah demam, sakit kepala, muntah, eritema pada kulit, dan kesemutan sekitar mulut. Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak saraf pendengaran janin (Cahyadi dan Venty, 2011). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17 2. Penyakit Paru Obstruktif Kronis a. Definisi PPOK adalah penyakit paru kronis yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonirreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronis dan emfisema atau gabungan keduanya. 1) Bronkitis Kronis Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronis berdahak minimal tiga bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut–turut dan tidak disebabkan oleh penyakit lainnya. 2) Emfisema Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal disertai kerusakan dinding alveoli. Pada prakteknya, cukup banyak penderita bronkitis kronis juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh dan memenuhi kriteria PPOK. b. Patofisiologi Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat irreversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas kecil, yaitu inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet, dan hipertrofi otot polos yang menyebabkan obstruksi jalan napas. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18 Pada bronkitis kronis, terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel goblet, infiltrasi sel-sel radang, hipertrofi otot polos pernapasan, serta distorsi akibat fibrosis. Pembentukan mukus yang meningkat mengakibatkan gejala khas yaitu batuk produktif. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomis dibedakan menjadi tiga jenis emfisema, yaitu: 1) Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer, terutama mengenai bagian atas paru. Jenis ini sering disebabkan oleh kebiasaan merokok yang lama. 2) Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan terbanyak pada paru bagian bawah. 3) Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura. Gambar 1. Konsep Patogenesis PPOK commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19 c. Gambaran Klinis 1) Anamnesis a) Keluhan (1) Sesak napas yang bertambah berat bila beraktivitas. (2) Kadang-kadang disertai mengi. (3) Batuk kering atau dengan dahak yang produktif. (4) Rasa berat di dada. b) Riwayat penyakit Keluhan klinis bertambah berat dari waktu ke waktu. c) Faktor predisposisi (1) Usia > 45 tahun. (2) Riwayat merokok aktif atau pasif. (3) Terpajan zat beracun (polusi udara, debu pekerjaan). (4) Batuk berulang pada masa kanak-kanak. (5) Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). 2) Pemeriksaan Fisik a) Secara umum (1) Penampilan pink puffer atau blue bloater. (2) Pernapasan pursed-lips. (3) Tampak denyut vena jugularis dan edema tungkai bila telah terjadi gagal jantung kanan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20 b) Toraks (1) Inspeksi: barrel chest, penggunaan otot bantu napas, dan peleburan sela iga. (2) Palpasi: fremitus melemah dan sela iga melebar. (3) Perkusi: hipersonor, batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, dan hepar terdorong ke bawah. (4) Auskultasi: suara napas vesikuler normal atau melemah, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, dan bunyi jantung terdengar jauh. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). 3. Asma a. Definisi Asma adalah penyakit inflamasi (radang) kronis saluran napas yang menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas sehingga menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi (napas berbunyi ngik-ngik), sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama malam menjelang dini hari. Gejala tersebut terjadi berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi, dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (Yayasan Asma Indonesia, 2004). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21 b. Patogenesis Semua bentuk asma didasari oleh respon bronkokonstriksi yang berlebihan (hiperresponsivitas jalan napas) terhadap berbagai rangsangan. Hiperresponsivitas ini dibuktikan dengan meningkatnya sensitivitas terhadap zat bronkokonstriktif, seperti histamin atau prostaglandin. Mediator-mediator inflamasi tersebut akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus, dan fibrosis subepitel, sehingga menimbulkan hiperreaktivitas saluran napas. Sel dan elemen seluler yang banyak berperan pada gangguan asma adalah sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, dan sel epitel. Episode berulang pada individu yang rentan berhubungan dengan adanya obstruksi aliran udara yang luas tetapi sering bersifat reversibel baik secara spontan atau dengan pengobatan. Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis, saluran napas menyempit pada fase tersebut. Inflamasi juga disebabkan oleh adanya peningkatan sensitivitas akibat berbagai rangsangan (Morris, 2010). Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang, maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi (Sundaru dan Sukamto, 2006). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22 c. Faktor Risiko Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2008) membedakan faktor risiko asma secara umum menjadi 2 kelompok, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. 1) Faktor Genetik a) Hiperreaktivitas. b) Atopi/alergi bronkus. c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik. d) Jenis kelamin. e) Ras/etnik. 2) Faktor Lingkungan a) Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, jamur). b) Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari). c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut, susu sapi, telur). d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID) e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray). f) Stres emosional. g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif. h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan. i) Exercise induced asthma, aktifitas menyebabkan kambuhnya asma. j) Perubahan cuaca. commit to user tertentu yang dapat perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23 4. ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) a. Definisi ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, maupun virus, tanpa atau disertai radang parenkim paru. b. Patogenesis Saluran pernapasan selalu terpapar oleh dunia luar, sehingga guna mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efesien. Ketahanan saluran pernapasan terhadap infeksi maupun partikel dan gas yang ada di udara amat tergantung pada tiga unsur alami yang selalu terdapat pada orang sehat, yaitu keutuhan epitel mukosa, gerak mukosilia, makrofag alveoli, dan antibodi setempat, dapat menjadi sistem pertahanan terhadap infeksi, maupun partikel dan gas yang ada di udara. Infeksi bakteri mudah terjadi pada saluran napas yang sel-sel epitel mukosanya telah rusak, akibat infeksi yang terdahulu. Selain itu, hal-hal yang dapat mengganggu keutuhan lapisan mukosa dan gerak silia adalah asap rokok dan gas SO2, polutan utama dalam pencemaran udara, sindroma imotil, pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25 % atau lebih). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24 c. Macam-Macam ISPA 1) ISPA yang Disebabkan Virus Virus pernapasan merupakan penyebab terbesar ISPA. Hingga kini telah dikenal lebih dari 100 jenis virus penyebab ISPA. Infeksi virus memberikan gambaran klinis yang khas akan tetapi sebaliknya beberapa jenis virus bersama-sama dapat pula memberikan gambaran yang hampir sama. Dalam klinis dikenal enam kelompok besar virus pernapasan sebagai penyebab ISPA, yaitu Orthomyxovirus, Paramyxovirus, Metamyxovirus, Adenovirus, Piconarvirus, dan Coronavirus. Gambaran klinis secara umum yang sering didapat adalah: rinitis, nyeri tenggorokan, batuk-batuk dengan dahak kuning/putih kental, nyeri retrosternal, dan konjungtivitis. Suhu badan meningkat antara 4 - 7 hari, disertai malaise, mialgia, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah-muntah, dan insomnia. Kadang dapat juga terjadi diare. Bila peningkatan suhu berlangsung lama biasanya menunjukkan adanya penyulit. Di klinis dikenal enam gambaran sindroma ISPA yang disebabkan virus, yaitu: a) Sindroma Koriza. b) Sindroma Faring. c) Sindroma Faringkonjungtiva. d) Sindroma Influenza. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25 e) Sindroma Herpangina. f) Sindroma Laringotrakeobronkitis Obstruktif Akut. 2) ISPA yang Disebabkan oleh Micoplasma pneumonia Penularan banyak terjadi melalui kontak yang erat seperti yang terjadi dalam keluarga maupun di asrama. Gejala klinis berupa nasofaringitis, bronkitis, bronkopneumonia, atau pleuritis. Sering pula dilaporkan ada infeksi sekunder oleh Diplococcus pneumonia, Neiseria kataralis, dan Haemophilus influenza. 3) Psitakosis-Ornitosis Psitakosis-Ornitosis menyebabkan epizoonosis pada beberapa burung. Agen psitakosis didapatkan pada burung parkit atau nuri, sedang ornitosis banyak terdapat pada burung merpati. Cara infeksi terjadi melalui pernapasan, juga dari benda-benda yang tercemar atau melalui gigitan. Gejala klinis bervariasi, dari gejala ringan pada saluran napas sampai pada keadaan yang lebih berat berupa pneumonia. 4) Demam Q (Demam Queensland) Disebabkan oleh riketsia golongan Coxiella bunetti gejala klinis yang menonjol ialah infeksi saluran pernapasan dengan atau tanpa penyulit radang paru. (Alsagaff dan Mukty, 2009). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26 5. Diabetes Melitus a. Definisi Diabetes melitus (DM) merupakan suatu sindrom dengan terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin (Guyton dan Hall, 2008). Insulin adalah hormon yang mengatur gula darah. Hiperglikemia, atau gula darah yang meningkat, adalah efek umum diabetes yang tidak terkontrol dan dari waktu ke waktu, menyebabkan kerusakan yang serius pada banyak sistem tubuh, terutama saraf, dan pembuluh darah (WHO, 2011). b. Epidemiologi dan Prevalensi Setiap tahun, jumlah penderita diabetes melitus kian meningkat. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), Indonesia kini menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes melitus di dunia. Data WHO mengungkapkan, beban global diabetes melitus pada 2000 adalah 135 juta, di mana beban ini diperkirakan akan meningkat terus menjadi 366 juta orang setelah 25 tahun (tahun 2025). Kecenderungan kenaikan kejadian diabetes melitus secara global, dipicu oleh peningkatan kesejahteraan suatu populasi, sehingga dimungkinkan dalam kurun waktu 1 – 2 dekade silam, kekerapan diabetes melitus di Indonesia telah meningkat secara signifikan (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, 2008). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 27 c. Klasifikasi Klasifikasi etiologis diabetes melitus: 1) Diabetes Melitus Tipe I Adalah diabetes mellitus tipe dependen insulin, yaitu defisiensi insulin akibat berkurangnya produksi hormon insulin, yang kemudian dibagi menjadi dua sub tipe: a) Autoimun, akibat disfungsi kerusakan autoimun dengan kerusakan sel-sel beta sehingga sekresi insulin berkurang. b) Idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui penyebabnya. 2) Diabetes Melitus Tipe II Adalah diabetes melitus tipe nondependen insulin, diakibatkan oleh karena sekresi hormon insulin yang berkurang atau karena penurunan sensitivitas reseptor pada membran sel terhadap insulin. Onsetnya dimulai saat dewasa. 3) Diabetes Gestasional Adalah diabetes melitus yang terjadi pada masa kehamilan, hal ini karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa. 4) Diabetes Melitus Tipe Lain. (American Diabetes Association, 2005). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28 d. Gambaran Klinis Diagnosis klinis diabetes melitus umumnya akan dipikirkan bila: 1) Keluhan khas diabetes melitus, berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan. 2) Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. (Gustaviani, 2007). e. Diagnosis 1) Kadar gula darah sewaktu (plasma vena) khas diabetes melitus. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl. 2) Kadar glukosa plasma 75 gram pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) (Gustaviani, 2007). 6. Hubungan antara Diabetes Melitus dengan Tuberkulosis Paru. Dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan prevalensi diabetes melitus, terutama diabetes melitus tipe II. Hal ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup, meningkatnya obesitas, dan berkurangnya aktivitas fisik yang umumnya terjadi pada negara-negara yang mulai mengalami industrialisasi. Peningkatan prevalensi diabetes melitus juga disertai dengan peningkatan prevalensi tuberkulosis paru, banyak terjadi terutama pada negara-negara berpenghasilan rendah-menengah. Seperti Cina dan India, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 29 negara yang mengalami peningkatan prevalensi diabetes melitus tercepat dan memiliki beban tuberkulosis paru tertinggi di dunia (Kant, 2003). Diabetes melitus menggambarkan suatu kelainan metabolik dengan berbagai etiologi yang ditandai oleh hiperglikemia kronis dengan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak, sebagai akibat defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Diabetes melitus dapat mempengaruhi suatu penyakit infeksi, baik dengan meningkatkan frekuensi kejadiannya maupun manifestasi klinisnya. Hal tersebut disebabkan adanya hiperglikemia dapat menimbulkan gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel dan fungsi fagosit (Jeon dan Murray, 2008). Pertahanan tubuh melawan infeksi Mycobacterium tuberculosis sebagian besar di mediasi oleh respon imun seluler. Limfosit T CD4 merupakan sel yang memainkan peran paling penting dalam respon imun adaptif terhadap Mycobacterium tuberculosis. Apoptosis atau lisis sel-sel yang terinfeksi oleh sel T CD4 juga dapat memainkan peranan dalam mengontrol infeksi. Limfosit T CD4 ini akan berdiferensiasi menjadi sel Th1 dan Th2, yang memproduksi sitokin. Sel Th1 yang dipengaruhi oleh IL-12 dalam perkembangannya dari naïve cells memiliki peranan dalam pertahanan tubuh yaitu dengan menginduksi produksi sitokin yatiu IFNdan IL-2. IFN- ofag untuk membunuh Mycobacterium tuberculosis yaitu dengan dengan cara endositosis. Endosistosis Mycobacterium tuberculosis ke dalam makrofag ini menyebabkan terjadinya sekresi sitokin dan kemokin. IFN- commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 30 menstimulasi makrofag menyebabkan makrofag teraktivasi memproduksi TNF- merekrut monosit. IFN- antigen sehingga merekrut lebih banyak limfosit T CD-4 dan atau limfosit sitotoksik. Selain itu, IFN- ekspresi dari inducible nitric oxide synthase (iNOS) yang menghasikan nitric oxide (NO). NO yang dibantu dengan TNF- menyebabkan timbulnya reactive nitrogen intermediates dan radikal bebas lainnya yang mampu menyebabkan destruksi oksidatif mulai dari dinding sel hingga DNA Mycobacterium tuberculosis. Sedangkan Th2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-10, IL-13, dan berperan pada timbulnya imunitas humoral (Raviglione, et al., 2008; Bhatt, 2007; Raja, 2004; Stalenhoef, et al., 2008). IFNmensitesis TNF- - untuk mensekresi IL-1. IL-1 merupakan mediator inflamasi yang berperan pada imunitas nonspesifik. IL-1 menginduksi makrofag untuk memproduksi sitokin IL-6 yang mengakibatkan hiperglobulinemia yang merupakan karakteristik pada Tuberkulosis paru. IL-6 juga merangsang sumsum tulang untuk memproduksi neutrofil. Disamping untuk menginduksi makrofag untuk memproduksi sitokin IL-6, IL-1 juga menginduksi makrofag untuk memproduksi TNFpada imunopatologi pada tuberkulosis paru dan meningkatkan ekspresi reseptor IL-2 untuk merangsang proliferasi sel T. Proliferasi sel T commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 31 meningkatkan produksi sitokin, seperti IFN- dan IL-4 (Baratawidjaja, 2006; Bukhary, 2008). Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden tuberkulosis paru pada penderita diabetes melitus dapat berupa defek pada fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan pejamu. Mekanisme yang mendasari terjadinya hal tersebut masih belum dapat dipahami hingga saat ini, meskipun telah terdapat sejumlah hipotesis mengenai peran sitokin sebagai suatu molekul yang penting dalam mekanisme pertahanan manusia terhadap tuberkulosis paru. Selain itu, ditemukan juga aktivitas bakterisidal leukosit yang berkurang pada pasien diabetes melitus, terutama pada mereka yang memiliki kontrol gula darah yang kurang baik (Jeon dan Murray, 2008). Tingginya kadar gula darah pada pasien diabetes melitus merupakan media yang baik bagi Mycobacterium tuberculosis untuk tumbuh, hidup, dan berkembang biak. Terdapat juga peningkatan kadar gliserol dan nitrogen pada pasien diabetes melitus Keadaan ini akan membantu pertumbuhan dari basil tuberkulosis, di mana hal ini dianggap ikut berperan sebagai penyebab terjadinya penyakit. Akibat gangguan imunologi tersebut menyebabkan daya tahan tubuh dan kemampuan dalam memperbaiki jaringan yang terinfeksi menurun. Sehingga pasien diabetes melitus rentan terserang Mycobacterium tuberculosis (Ezung, et al., 2002; Goswami, et al., 2001; Mboussa, et al., 2003; Sen, et al., 2009). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32 B. Kerangka Pemikiran Faktor risiko : Faktor keturunan Kegemukan Pola makan salah Diabetes Melitus Obat-obatan Proses menua Stress Hiperglikemia Produksi IL-12, Th1, IFN- IL-1 dan TNF- . Respon imun seluler Paru rentan infeksi Infeksi Mycobacterium tuberculosis Tuberkulosis paru Keterangan: : Menyebabkan. : Menyebabkan, mempengaruhi. Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 33 C. Hipotesis Terdapat hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 34 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan case control, dimana bentuk rancangan penelitian ini mengikuti proses perjalanan penyakit ke arah belakang berdasarkan urutan waktu. B. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta pada bulan Juli-Agustus 2011. C. Subjek Penelitian Pasien yang sedang berobat di BBKPM, dengan kriteria sebagai berikut: 1. Inklusi a. Kasus 1) Pasien dengan Tuberkulosis Paru. 2) Usia > 30 tahun. 3) Bersedia ikut penelitian yang dinyatakan dengan informed consent. b. Kontrol 1) Pasien penyakit paru noninfeksi kronis. 2) Usia > 30 tahun 3) Bersedia ikut penelitian yang dinyatakan dengan informed consent. commit to user 34 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 35 2. Eksklusi a. Pasien yang menderita HIV/AIDS. b. Merokok. c. Pasien yang mengkonsumsi alkohol. d. Pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid/oral. D. Teknik Sampling Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Metode ini merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2005). E. Besar Sampling n Z pq Z p1 1, 96 p1 q1 p0 p0 q0 2 0,11 0,89 0,84 0,1682 0, 8318 0,1682 0, 043 0, 043 0, 957 2 61,14 Keterangan: n :jumlah sampel. :nilai simpangan dari rata-rata pada distribusi normal standar yang dibatasi oleh = 0,05. Sehingga = 1,96. :nilai simpangan rata-rata distribusi alternatif yang dibatasi ol po :proporsi terpajan pada kelompok kontrol = 4,3%. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 36 p1 :proporsi terpajan yang diharapkan terjadi pada kelompok kasus sesuai dengan peningkatan atau penurunan besarnya Odds Ratio.(R). p1 : po R/ [1+ po (R-1)] = 16,82 %. p : (po + p1 )/2. q : 1 – p. R : besarnya peningkatan atau penurunan Odds Ratio yang diinginkan. (Budiarto, 2002). Dari perhitungan diatas maka besar sampel dari tiap-tiap kelompok (kasus dan kontrol) masing-masing sampel adalah sebesar 61 orang. F. Rancangan Penelitian Gambar 3. Skema Rancangan Penelitian commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 37 G. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas : diabetes melitus. 2. Variabel Terikat : tuberkulosis paru. 3. Variabel luar a. Terkendali : usia, merokok, alkohol, dan kortokosteroid oral. b. Tidak terkendali : kemiskinan, tempat tinggal, dan status gizi. H. Definisi Operasional Variabel 1. Variabel Bebas Diabetes Melitus a. Definisi Gangguan metabolisme berupa hilangnya toleransi karbohidrat yang ditandai dengan kadar gula darah sewaktu (plasma vena) mg/dl atau kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ditambah gejala khas diabetes melitus (Gustaviani, 2007). Dalam penelitian ini, diagnosis diabetes melitus ditegakkan oleh dokter. b. Skala pengukuran: nominal. c. Alat ukur: hasil diagnosis dokter dan ditanyakan oleh peneliti melalui kuesioner. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 38 2. Kasus Tuberkulosis Paru a. Definisi Penyakit yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura, disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis (Alsagaff dan Mukty, 2008). Dalam penelitian ini penegakan diagnosis tuberkulosis paru dilakukan oleh dokter spesialis paru. b. Skala pengukuran: nominal. c. Alat ukur: hasil diagnosis dokter dan ditanyakan oleh peneliti melalui kuesioner. 3. Kontrol a. PPOK 1) Definisi PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya (Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2003). 2) Skala pengukuran: nominal 3) Alat ukur: hasil diagnosis dokter dan ditanyakan oleh peneliti melalui kuesioner. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 39 b. Asma 1) Definisi Asma adalah penyakit inflamasi (radang) kronik saluran napas yang menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan nafas sehingga menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama malam menjelang dini hari. Gejala tersebut terjadi berhubungan dengan obstruksi jalan nafas yang luas, bervariasi, dan seringkali bersifat reversible dengan atau tanpa pengobatan (Yayasan Asma Indonesia, 2004). 2) Skala pengukuran: nominal. 3) Alat ukur: hasil diagnosis dokter dan ditanyakan oleh peneliti melalui kuesioner. c. ISPA 1) Definisi ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, maupun virus, tanpa atau disertai radang parenkim paru (Alsagaff dan Mukty, 2009). 2) Skala pengukuran: nominal. 3) Alat ukur: hasil diagnosis dokter dan ditanyakan oleh peneliti melalui kuesioner. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 40 4. Variabel Luar a. Usia 1) Definisi Adalah usia dalam tahun yang dihitung berdasarkan selisih tahun wawancara dengan tahun kelahiran (Mulyono dkk., 2003). Sampel yang digunakan pada penelitian adalah pasien yang berusia lebih dari 30 tahun. 2) Skala pengukuran: rasio. 3) Alat ukur: kuesioner. b. Merokok 1) Definisi Orang yang merokok lebih dari 100 sigaret sepanjang hidupnya dan pada saat ini masih merokok atau telah berhenti merokok kurang dari satu tahun (Kang dkk., 2003). Pada penelitian ini digunakan sampel yang tidak merokok. 2) Skala pengukuran: nominal. 3) Alat ukur: kuesioner. c. Mengkonsumsi alkohol/ kortikostetoid oral. 1) Definisi Orang yang mengkonsumsi alkohol/kortikosteroid dalam jangka waktu kurang dari satu tahun. 2) Skala pengukuran: nominal. 3) Alat ukur: kuesioner. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 41 I. Instrumentasi Penelitian Alat yang dipakai untuk mendapatkan data dalam penelitian ini meliputi: 1. Informed consent. 2. Kuesioner. J. Cara Kerja 1. Mendatangi pasien yang telah didiagnosis tuberkulosis paru oleh dokter spesialis paru. 2. Menjelaskan maksud, tujuan, prosedur, serta manfaat penelitian kepada pasien. 3. Meminta persetujuan pasien untuk mengikuti penelitian dengan menandatangani informed consent. 4. Meminta pasien untuk mengisi identitas diri dan kuesioner, yang digunakan untuk mendapatkan data yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. 5. Mencatat data-data yang dibutuhkan dalam penelitian. K. Teknik dan Analisis Data Statistik Data yang diperoleh pada penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel kemudian dianalisis dengan uji Chi Square. Batas kemaknaan yang dipakai Kemudian dilakukan perhitungan Odds Ratio untuk mengetahui kekuatan hubungan. Setelah didapatkan data dari penelitian commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 42 yang dilakukan, maka data akan diolah dengan bantuan perangkat lunak Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17 for Windows. Tabel 1. Tabel Kontangensi 2x2. TB Paru (+) TB Paru (-) TOTAL DM a b a+b Tanpa DM c d c+d a+c b+d N TOTAL 1. Uji Chi Square ( X2 ) Derajat kebebasan = 1 N ( ad-bc )2 2 X = (a+b) (c+d) (a+c) (b+d) Keterangan: N : jumlah sampel X2 : nilai Chi Square 2. Odds Ratio Untuk mengetahui tingkat kekuatan hubungan antara diabetes mellitus dengan tuberkulosis paru. ad OR = bc Keterangan: OR : Nilai Odds Ratio a, b, c, d : frekuensi kebebasan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 43 Merumuskan hipotesis: Ho: Tidak ada hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko. H1: Ada hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko. Pengambilan keputusan didasarkan pada uji Chi Square , yaitu : 1. Jika p 1 ditolak. 2. Jika p < 0,05, maka H1 diterima. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 44 BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian telah dilakukan di Poli TB dan Poli non TB Balai Besar Paru Kesehatan Masyarakat Surakarta sejak tanggal 26 Juli 2011 sampai dengan 13 Agustus 2011. Dari penelitian tersebut mengambil dua kelompok, yaitu kelompok kasus (pasien tuberkulosis paru) dan kelompok kontrol (pasien paru noninfeksi kronis). Jumlah keseluruhan sampel pada penelitian ini adalah 122 orang. Masingmasing kelompok terdiri dari 61 orang. Penelitian dilakukan terhadap pasien yang telah memenuhi syarat untuk diikutsertakan dalam penelititan. Berikut ini adalah hasil penelitian yang ditampilkan dalam bentuk tabel yang terdiri atas beberapa karakteristik dari sampel. A. Karakteristik Sampel Penelitian Tabel 2. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin. Pasien Tuberkulosis Paru Pasien Paru Noninfeksi (kasus) Kronis (kontrol) Jenis Kelamin Frekuensi % Frekuensi % Laki-Laki 40 65.57 46 75.41 Perempuan 21 34.43 15 24.59 Jumlah 61 100.0 61 100.0 Sumber : Data Primer 2011 commit to user 44 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 45 Dari tabel 2 dapat diketahui bahwa pada kelompok kasus, pasien yang banyak memeriksakan diri ke BBKPM Surakarta adalah laki-laki, yaitu sebesar 65,57 %, sedangkan untuk kelompok kontrol, pasien yang terbanyak juga laki-laki, yaitu sebesar 75,41 %. Tabel 3. Distribusi Berdasarkan Umur. Pasien Tuberkulosis Pasien Paru Noninfeksi Paru (kasus) Kronis (kontrol) Jumlah Umur Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi % 31 - 40 12 19,7 6 9,8 18 14,8 41 - 50 10 16,4 15 24,6 25 20,5 51 - 60 25 41,0 23 37,7 48 39,3 61 - 70 7 11,5 10 16,4 17 13,9 71 - 80 6 9,8 6 9,8 12 9,8 81 - 90 1 1,6 1 1,6 2 1,6 Sumber : Data Primer 2011 Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pasien tuberkulosis paru yang memeriksakan diri ke BBKPM Surakarta selama penelitian baik laki-laki maupun perempuan terbanyak pada usia 51 - 60 tahun yaitu sebesar 41,0 %. Kemudian presentasi terkecilnya dengan rentang usia sekitar 81 - 90 tahun yaitu sebesar 1,6 %. Sementara pada pasien paru noninfeksi kronis yang memeriksakan diri ke BBKPM Surakarta, presentasi terbesar pada pasien dengan rentang usia 51 - 60 tahun yaitu sebesar 37,7 %. Kemudian presentasi trekecilnya pada pasien dengan rentang usia 81 - 90 tahun sebesar 1,6 %. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 46 Tabel 4. Distribusi Berdasarkan Pekerjaan. Pasien Tuberkulosis Pasien Paru Noninfeksi Paru (kasus) Kronis (kontrol) Jumlah Pekerjaan Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi % Swasta 24 39,3 23 37,7 47 38,5 Petani 18 29,5 17 27,9 35 28,7 IRT 9 14,8 10 16,4 19 15,6 Pensiunan 9 14,8 7 11,5 16 13,1 PNS 1 1,6 4 6,6 5 4,1 Sumber : Data Primer 2011 Dari tabel di atas diketahui bahwa pasien tuberkulosis paru yang memeriksakan diri ke BBKPM Surakarta selama penelitian banyak yang bekerja sebagai swasta sebesar 39,3 %. Pekerjaan swasta dari pasien dalam penelitian ini dapat meliputi pengemudi becak, pedagang kaki lima, pedagang keliling, serta buruh, seperti buruh pabrik, bangunan, dan bengkel. Kemudian presentasi terkecil adalah pasien yang bekerja sebagai PNS sebesar 1,6 %. Sementara pada pasien paru noninfeksi kronis yang memeriksakan diri ke BBKPM Surakarta, presentasi pekerjaan yang terbanyak juga swasta, yaitu sebesar 37.7 %, sedangkan presentasi terkecil pekerjaan pasien sebesar 6,6 % yaitu sebagai PNS. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 47 B. Analisis Statistik Tabel 5. Hubungan antara Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus sebagai Faktor Risiko. Tuberkulosis Paru (+) Tuberkulosis Paru (-) Diabetes Melitus (+) 14 22,95% 5 8,20% Diabetes Melitus (-) 47 77,05% 56 91,80% Total 61 100,00% 61 100,00% Sumber : Data Primer 2011 Dari tabel 5, dapat diketahui bahwa dari 61 pasien tuberkulosis paru, 14 diantaranya memiliki diabetes melitus (22,95 %). Sedangkan dari 61 pasien paru noninfeksi kronik, 5 diantaranya memiliki diabetes melitus (8,2 %). Selanjutnya untuk menganalisis data dalam penelitian ini digunakan uji Chi Square dengan taraf signifikansi 0,05 yang sebelum perlu dilakukan syarat uji Chi Square, yaitu sel yang mempunyai nilai expected kurang dari lima, maksimal 20 % dari jumlah sel. Dari hasil Crosstabulation didapatkan nilai 9,5 dan 51,5, yang artinya tidak ada nilai yang kurang dari lima. Dengan terpenuhinya syarat uji tersebut maka dapat dilakukan uji Chi Square. Interpretasi hipotesis dalam uji statistik sebagai berikut: H0: Tidak ada hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko. H1: Ada hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 48 Dasar pengambilan keputusan dengan analisis statistik: 1. Jika probabilitas > 0,05 maka H0 diterima. 2. Jika probabilitas < 0,05 maka H0 ditolak. Dari hasil analisis uji Chi Square diketahui bahwa nilai probabilitas = 0,025, yang artinya nilai ini lebih kecil dari pada 0,05, dengan demikian H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan diterimanya H1 maka terdapat hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko. Setelah mengetahui bahwa terdapat hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko kemudian untuk mengetahui kekuatan hubungan dilakukan perhitungan Odds Ratio. Hasil yang diperoleh dari perhitungan OR tersebut adalah 3,3, artinya orang yang memiliki diabetes melitus berpeluang 3,3 kali lebih besar untuk terkena penyakit tuberkulosis paru dibandingkan dengan orang tanpa diabetes melitus (hasil uji Crosstabulation, Chi Square, Odds Ratio dapat dilihat pada lampiran 2). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 49 BAB V PEMBAHASAN Penelitian hubungan antara diabetes melitus dan tuberkulosis paru sebagai faktor risiko menggunakan subjek pasien tuberkulosis paru sebagai kasus dan pasien paru noninfeksi kronis sebagai kontrol. Pasien paru noninfeksi kronis yang dipilih, meliputi pasien asma, bronkitis akut, dan ISPA. Dipilihnya pasien ini dikarenakan penyakit diabetes melitus kurang berkaitan dengan penyakit yang noninfeksius atau penyakit infeksi dengan serangan akut. Selain itu subjek yang diplih adalah pasien yang mulai berusia 30 tahun. Hal ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nasution, E. (2007). Menurut American Diabetes Association, 90-95 % penderita diabetes melitus merupakan diabetes melitus tipe II yang biasanya mulai terdeteksi pada usia sekitar 30 tahun. Peningkatan kadar gula darah pada diabetes tipe ini terjadi karena faktor gaya hidup, seperti pola makan, overweight, dan juga jarang melakukan olahraga. Peneliti mengeliminasi pasien yang menderita HIV/AIDS, merokok, mengkonsumsi alkohol atau kortikosteroid oral dalam jangka waktu lama. Menurut Departemen Kesehatan Repuplik Indonesia (2008) HIV/AIDS merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk sakit tuberkulosis paru, jika pasien yang menderita penyakit ini terinfeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebab infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas terhadap sistem daya tahan tubuh seluler. Kemudian berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan commit to user 49 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 50 Rusnoto (2008) kebiasaan merokok memiliki hubungan terhadap angka kejadian tuberkulosis paru, hal ini dapat dilihat dari hasil OR = 2,559. Lalu untuk kebiasaan minum-minuman beralkohol, Lönnroth (2008 ) menjelaskan bahwa angka kejadian untuk tuberkulosis paru pada seseorang yang memiliki kebiasaan ini sebesar tiga kali lipat dari seseorang yang tidak memiliki kebiasaan minumminuman beralkohol. Kedua kebiasaan ini dapat menjadi faktor risiko terhadap angka kejadian tuberkulosis paru sebab keadaan ini dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh pasien, sehingga mudah menjadi tepat berkembangbiak bagi kuman Mycobacterium tuberculosis. Sedangkan dalam penelitian cohort yang telah dilakukan oleh Carmona, et al. (2003) selama 10 tahun, pemberiaan obat kortokosteroid dalam jangka panjang pada penderita artritis reumatoid dapat meningkatkan risiko terkena tuberkulosis paru sebesar empat kali dari seseorang yang tidak menjalani pengobatan dengan kortikosteroid oral. Kemiskinan, tempat tinggal, dan status gizi merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi angka kejadian tuberkulosis paru. Akan tetapi peneliti memasukkan ketiga hal tersebut sebagai variabel luar tidak terkendali, sebab pengendalian faktor tersebut sangat membatasi jumlah sampel sehingga diperlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak bagi peneliti. Pada tabel 2 didapatkan bahwa jumlah pasien laki-laki tuberkulosis paru sebanyak 40 orang atau sebesar 65,57 %. Jika dibandingkan dengan jumlah pasien tuberkulosis paru yang perempuan angka ini lebih besar. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Suradi, dkk. (2004) bahwa menurut distribusi jenis kelamin pada pasien tuberkulosis paru, jumlah laki-laki lebih banyak daripada commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 51 perempuan, baik yang memiliki diabetes melitus maupun tidak. Menurut Azwar (1999) kondisi perbedaan jenis kelamin terjadi akibat perbedaan kebiasaan hidup antara laki-laki dan perempuan. Perempuan memiliki kesadaran yang baik untuk berobat daripada laki-laki. Selain itu, diduga laki-laki lebih banyak terpapar dengan lingkungan di luar rumah dibanding perempuan karena memang laki-laki lebih banyak yang bekerja. Sehingga kemungkinan tertular kuman tuberkulosis lebih besar daripada perempuan (Amril, dkk. 2002). Dari tabel 3 didapatkan kelompok terbesar pasien tuberkulosis paru berada dalam usia 51 - 60 tahun, yaitu sebanyak 25 orang atau sebesar 41 %. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan Perez-Guzman, et al. (2000) terdahulu yang menyebutkan distribusi umur terbanyak penderita tuberkulosis paru pada umur 51-60 tahun (Gilfem Y, 2004). Hal ini dikarenakan pertambahan umur akan menyebabkan perubahan sistem barrier imun tubuh akibat perubahan anatomis dan fungsi organ. Meningkatnya usia mengakibatkan penurunan jaringan elastik, menurunnya jumlah alveoli yang berfungsi dalam pertukaran gas, sekresi mukus lambat, angka klirens, dan jumlah mukus total di paru berkurang. Keadaan ini menyebabkan interaksi antara pejamu dengan agen, yang mengakibatkan penyakit infeksi lebih mudah terjadi (Hadisaputro dan Wibisono, 2000). Dari tabel 4 didapatkan bahwa penderita tubuerkulosis paru terbanyak memiliki pekerjaan swasta. Notoatmodjo (1997) menyatakan bahwa jenis pekerjaan dapat berperan di dalam timbulnya penyakit melalui beberapa jalan, meliputi faktor lingkungan pekerjaan, stress kerja, aktivitas pekerjaan, dan kerumunan dalam suatu tempat pekerjaan akan dapat terjadi proses penularan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 52 penyakit dengan masyarakat yang heterogen. Sebagaimana tuberkulosis paru ini dapat ditularkan melalui percikan sputum berukuran ± 5 mikron yang mengandung basil tuberkulosis. Pada tabel 5 memperlihatkan presentasi pasien diabetes melitus pada dua kelompok, pasien tuberkulosis paru dan pasien paru noninfeksi kronis. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa diabetes melitus lebih banyak terjadi pada pasien tuberkulosis paru dari pada pasien paru noninfeksi kronis. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan tersebut dilakukan analisis data Chi Square . Dari analisis data didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara diabetes melitus dengan tuberkulosis paru sebagai faktor risiko. Hal ini dapat dilihat dari nilai p = 0,025, yang artinya nilai p < 0,05. Dengan demikian H0 ditolak dan H1 diterima. Dalam studi terbaru yang dilakukan oleh Dooley (2009) di Taiwan disebutkan bahwa diabetes melitus merupakan faktor risiko tersering pada pasien tuberkulosis paru, yang terjadi pada sekitar 21,5 % pasien. Menurut Jeon dan Murray (2008) pada pasien diabetes melitus terdapat gangguan imunitas yang berupa defek pada fungsi sel-sel imun, mekanisme pertahanan pejamu, dan peran sitokin. Aktivitas bakterisidal leukosit dan makrofag yang berkurang serta proliferasi limfosit yang rendah juga ikut berperan penting dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman tuberkulosis paru pada pasien diabetes melitus. Mekanisme yang mendasari terjadinya hal tersebut masih belum dapat dipahami hingga saat ini. Namun beberapa penelitian menjelaskan bahwa IL-12, sel Th1, dan produksi IFN- commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 53 dengan diabetes melitus. Dengan menurunnya produksi IFN- , dapat menurunkan aktivasi makrofag dalam mengendositosis Mycobacterium tuberculosis. Pada pasien diabetes melitus juga terjadi penurunan produksi IL-1 dan TNF- . Penurunan IL-1 dapat mempengaruhi produksi IL-6 yang pada akhirnya dapat menurunkan produksi neutrofil. Menurunnya produksi neutrofil ini dapat menurunkan kemotaksis dan kemampuan membunuh secara oksidasi jika dibandingkan dengan orang yang tidak menderita diabetes melitus. Sedangkan jika terjadi penurunan produksi TNF- mengakibatkan penurunan IL-2 yang selanjutnya mengakibatkan proliferasi dan diferensiasi sel T berkurang. Berkurangnya proliferasi dan diferensiasi sel T mengakibatkan menurunnya aktivitas dalam membunuh bakteri (Bukhary, 2008; Sen, 2009). Gangguan imunitas pada penderita diabetes melitus akibat hiperglikemia, mengakibatkan terganggunya fungsi kemotaksis, granulosit, fagositosis, komplemen, dan aktifitas membunuh mikroorganisme dalam leukosit. Fagositosis ini terjadi akibat menurunnya monosit perifer. Terganggunya fungsi-fungsi tersebut berkorelasi dengan penurunan produksi limfosit. Ganguan imunologi diatas menyebabkan fungsi fisiologi paru pada penderita diabetes melitus terganggu, yaitu menurunnya reaktifitas bronkus, penurunan elastitas dan volum paru-paru, penurunan kapasitas difusi di alveolus, terbentuknya mukus yang dapat menyumbat saluran pernapasan, dan mengurangi ventilasi (Hadisaputro dan Wibisono, 2000). Dari analisis data yang telah dilakukan hasil dari perhitungan Odds Ratio sebesar OR = 3,3, yang artinya menunjukkan kekuatan hubungan antara pasien commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 54 tuberkulosis paru dengan pasien diabetes melitus. Di mana tiap pasien diabetes melitus memiliki peluang 3,3 kali lebih besar untuk menderita tuberkulosis paru dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes melitus. Penelitian ini mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya adalah jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini hanya sebatas jumlah minimal. Sehingga jika ingin mendapatkan hasil penelitian dengan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi, perlu penambahan jumlah sampel. Selanjutnya jenis penelitian yang digunakan adalah case control, yaitu mengikuti proses perjalanan penyakit ke arah belakang. Oleh sebab itu penelitian ini memiliki tingkat kekuatan analisis yang lebih lemah jika dibandingkan dengan penelitian cohort. Kemudian adanya faktor-faktor lain yang tidak diteliti, seperti status gizi, kemiskinan, lingkungan tempat tinggal, dan kerja pasien yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Kelemahan penelitian ini disebabkan peneliti memiliki keterbatasan dari segi waktu, tenaga, dan materi. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Terdapat hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko, di mana penderita diabetes melitus berisiko menderita tuberkulosis paru 3,3 kali lebih besar dibanding dengan yang tidak menderita diabetes melitus. B. Saran Setelah dilakukan penelitian tentang hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko di BBKPM Surakarta maka peneliti memberikan beberapa saran, antara lain: 1. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat untuk meningkatkan upaya pencegahan penyakit tuberkulosis paru terutama pada pasien yang telah menderita penyakit diabetes melitus. 2. Perlunya penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan hasil penelitian dengan tingkat kepercayaan dan kekuatan analisis yang lebih tinggi yaitu dengan menambah jumlah sampel dan menggunakan jenis penelitian cohort. Serta perlunya penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang belum diteliti, seperti status gizi, kemiskinan, lingkungan tempat tinggal, dan kerja pasien. commit to user 55