Yohana Endrasari G0008186

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HUBUNGAN ANTARA TUBERKULOSIS PARU DENGAN
DIABETES MELITUS SEBAGAI FAKTOR RISIKO
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Yohana Endrasari
G0008186
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Yohana Endrasari. G0008186, 2011, Hubungan antara Tuberkulosis Paru
dengan Diabetes Melitus sebagai Faktor Risiko. Skripsi, Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret.
Tujuan Penelitian : Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko.
Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik
dengan pendekatan case control. Subjek penelitian yang diambil adalah pasien
yang berobat ke BBKPM Surakarta dan berusia lebih dari 30 tahun. Pengambilan
sampel menggunakan metode purposive sampling. Pengumpulan data
menggunakan data primer dari kuesioner yang dilakukan mulai dari bulan Juli
sampai dengan Agustus 2011. Pasien berjumlah 122 pasien yang dibagi dalam dua
kelompok, terdiri dari 61 pasien tuberkulosis paru sebagai kelompok kasus dan 61
pasien paru noninfeksi kronis sebagai kelompok kontrol. Pasien yang berobat
dilihat apakah menderita diabetes melitus apa tidak. Kemudian data dianalisis
menggunakan uji statistik Chi Square
dilanjutkan dengan penghitungan
Odds Ratio.
Hasil Penelitian : Pada penelitian ini diperoleh data dari kelompok kasus, 14
pasien memiliki diabetes melitus dan 47 pasien tidak memiliki diabetes melitus.
Sedangkan pada kelompok kontrol, 5 pasien memiliki diabetes melitus dan 56
pasien tidak memiliki diabetes melitus. Kemudian analisis statistik dengan Chi
Square dengan taraf signifikansi p < 0,05 didapatkan hasil p = 0,025 dan Odds
Ratio (OR) = 3,3.
Simpulan Penelitian : Penderita diabetes melitus beresiko menderita tuberkulosis
paru 3,3 kali lebih besar dibanding yang tidak menderita diabetes melitus.
Kata Kunci : Tuberkulosis Paru, Diabetes Melitus, Faktor Risiko
commitivto user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Yohana Endrasari. G0008186, 2011. The Correlation between Lung
Tuberculosis and Diabetes Mellitus as a Risk Factor. Script, Faculty of Medicine,
Sebelas Maret University.
Objective : The purpose of this study was to analyze the correlation between lung
tuberculosis and diabetes mellitus as a risk factor.
Method : This research was an observational analytic study with case control
approach. Research subject taken was patient came to BBKPM Surakarta and
aged more than 30 years old. Sampling technique used in this research was
purposive sampling. Data were collected by using primary data from
questionnaires from July to August 2011. Total patients were 122 patients who
were divided into two groups, consisted of 61 patients of lung tuberculosis as the
case group, and 61 patients of noninfectious chronic disease as the control group.
Patients who came to clinic were examined, whether suffered from diabetes
mellitus or not. Data were analyzed using Chi Square test
, and then
continued with calculation of Odds Ratio.
Result : In this study the data obtained from the cases group, 14 patients had a
history of diabetes mellitus and 47 patients did not have a history of diabetes
mellitus. Whereas in the control group, 5 patients had a history of diabetes
mellitus and 56 patients did not have history of diabetes mellitus. Based on
statistical analysis by Chi Square test with a significance level p < 0.05, p = 0.025
is obtained and from the Odds Ratio table obtained OR = 3.3.
Conclusion : People who suffer from diabetes mellitus have risk for lung
tuberculosis 3, 3 times higher compared to people who do not suffer from diabetes
mellitus.
Key Words : Lung Tuberculosis, Diabetes Mellitus, Risk Factor.
commitvto user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil`alamin, segala puji syukur peneliti panjatkan ke haridat
Allah SWT atas segala karunia-Nya dalam menyelesaikan skripsi dengan judul
“Hubungan antara Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus sebagai
Faktor Risiko”.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan program
pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih
kepada :
1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM., selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Muthmainah, dr., M.Kes., selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Ana Rima Setijadi, dr., Sp.P., selaku pembimbing utama yang telah
berkenan meluangkan waktu memberikan bimbingan, saran, dan motivasi.
4. Balgis, dr., Sp.Ak., M.Sc., CM-FM., AIFM., selaku pembimbing
pendamping atas bimbingan dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Dr. Reviono, dr., Sp.P(K)., selaku penguji utama yang telah berkenan
menguji dan memberikan kritik serta saran dalam penulisan skripsi ini.
6. Dr. Kiyatno, dr., M.Or., PFK., AIFO., selaku anggota penguji yang telah
memperbaiki kekurangan dalam penulisan skripsi ini.
7. Balai Besar Kesehatan Paru Masyarkat Surakarta yang telah banyak
membantu penulis selama pengambilan data.
8. Seluruh Staf SMF Paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta atas segala bantuan
yang telah diberikan.
9. Imam Suyoso, S.Pd. dan Jajuk Jurijatmi, S.Pd, M.Pd., selaku orang tua serta
saudara-saudara saya yang telah memberikan doa, motivasi, dukungan, dan
semangat bagi penulis dengan penuh kasih sayang.
10. Sahabat-sahabat saya di Pondok Asri, Agatha, Erika, Maya, dan Ucil, serta
teman-teman keluarga besar Pendidikan Dokter 2008 yang telah
memberikan semangat dan bantuan kepada penulis.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang turut membantu
penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini.
Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Surakarta, Desember 2011
commit to user
vi
Yohana Endrasari
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
PRAKATA ......................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi
DAFTRA LAMPIRAN ...................................................................................... xii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................ 2
C. Tujuan Penelitian................................................................................ 2
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 3
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 4
1. Tuberkulosis Paru........................................................................... 4
a. Definisi .................................................................................... 4
b. Patogenesis ............................................................................... 5
1) Tuberkulosis Paru Primer…………………………………5
2) Tuberkulosis Paru Post Primer……………………………6
c. Klasifikasi ................................................................................ 7
d. Diagnosis................................................................................ 10
1) Gambaran Klinis…………. ............................................. 10
2) Pemeriksaan Fisik. .......................................................... 11
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Pemeriksaan Bakteriologik. ............................................. 11
4) Pemeriksaan Radiologi. ................................................... 13
5) Pemeriksaan Penunjang Lain. .......................................... 14
e. Penatalaksanaan ..................................................................... 14
2. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ..................................... 17
a. Definisi .................................................................................. 17
b. Patofisiologi ........................................................................... 17
c. Gambaran Klinis .................................................................... 19
3. Asma ....................................................................................... ….20
a. Definisi… ............................................................................... 20
b. Patofisiologi… ....................................................................... 21
c. Faktor Risiko. ......................................................................... 22
4. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). ...................................... 23
a. Definisi. ................................................................................. 23
b. Patofisiologi. .......................................................................... 23
c. Gambaran Klinis .................................................................... 24
5. Diabetes Melitus .......................................................................... 26
a. Definisi. ................................................................................. 26
b. Epidemiologi dan Prevalensi. ................................................. 26
c. Klasifikasi . ............................................................................ 27
d. Gambaran Klinis..................................................................... 28
e. Diagnosis ............................................................................... 28
6. Hubungan antara Diabetes Melitus dengan Tuberkulosis Paru ...... 28
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 32
C. Hipotesis .......................................................................................... 33
BAB III. METODELOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ............................................................................ 34
B. Lokasi Penelitian .......................................................................... 34
C. Subjek Penelitian.......................................................................... 34
D. Teknik Sampling .......................................................................... 35
E. Besar Sampel ............................................................................... 35
F. Rancangan Penelitian ................................................................... 36
G. Identifikasi Variabel Penelitian..................................................... 37
H. Definisi Operasional Variabel Penelitian ...................................... 37
I. Instrumen Penelitian..................................................................... 41
J. Cara Kerja .................................................................................... 41
K. Teknik Analisis Data .................................................................... 41
BAB IV. HASIL PENELITIAN......................................................................... 44
A. Karakteristik Sampel Penelitian.................................................... 44
B. Analisis Statistik .......................................................................... 48
BAB V. PEMBAHASAN .................................................................................. 49
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 55
A. Simpulan ...................................................................................... 55
B. Saran ............................................................................................ 55
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 56
LAMPIRAN
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel Kontangensi 2x2.
Tabel 2. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin.
Tabel 3. Distribusi Berdasarkan Umur.
Tabel 4. Distribusi Berdasarkan Pekerjaan.
Tabel 5. Hubungan antara Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus sebagai
Faktor Risiko.
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Konsep Patogenesis PPOK.
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran.
Gambar 3. Skema Rancangan Penelitian.
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian dan Pengambilan Sampel dari Pihak Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Lampiran 2. Surat Ijin Telah Selesai Melakukan Penelitian di BBKPM Surakarta.
Lampiran 3. Data Pasien yang Berobat di BBKPM Surakarta.
Lampiran 4. Hasil Uji Statistik Chi Square.
Lampiran 5. Lembar Persetujuan.
Lampiran 6. Formulir Persetujuan.
Lampiran 7. Kuesioner.
Lampiran 8. Ethical Clearance.
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit menular pada saluran
pernapasan bagian bawah yang disebabkan oleh basil Mycobacterium
tuberculosis (Alsagaff dan Mukty, 2009). Penyakit ini menjadi problem
kesehatan dunia sebab sepertiga penduduk dunia saat ini terinfeksi dengan
basil tuberkulosis (Amin dan Bahar, 2006). WHO memperkirakan bahwa
jumlah terbesar kasus tuberkulosis paru baru di tahun 2009 terjadi di daerah
Asia sebesar 50 %, dimana Indonesia menempati urutan ke-5 setelah India,
China, Afrika Selatan, dan Nigeria (WHO, 2010). Pada tahun 2007, prevalensi
semua tipe tuberkulosis paru di Indonesia sekitar 565.614 kasus. Insidensi
kasus baru tuberkulosis paru BTA positif sekitar 236.029 kasus. Pada tahun
2009 prevalensi kasus tuberkulosis paru BTA positif sebesar 61 % dari seluruh
kasus tuberkulosis paru yang ada. Sedangkan kematian tuberkulosis paru 39
per 100.000 penduduk atau 250 orang per hari (WHO, 2009).
Tingginya kasus tuberkulosis paru ini dipengaruhi oleh sistem imunitas
tubuh, seperti HIV, gizi buruk,
kemiskinan, dan kepadatan penduduk
(Crofton, 2002). Selain faktor-faktor tersebut, beberapa penelitian selanjutnya
menunjukkan bahwa diabetes melitus juga dapat meningkatkan risiko
tuberkulosis paru (Sen, 2009). Diabetes melitus adalah suatu kondisi yang
ditandai dengan meningkatnyanya kadar gula darah dan memiliki komplikasi
commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2
jangka panjang yang melibatkan pembuluh darah, mata, dan ginjal. Penyakit
ini banyak diderita oleh orang-orang yang memiliki gaya hidup yang kurang
sehat, yaitu dengan asupan gizi yang tinggi namun aktifitas fisiknya rendah.
Sama halnya dengan prevalensi tuberkulosis paru, prevalensi diabetes
melitus setiap tahunnya juga tinggi. Berdasarkan data organisasi kesehatan
dunia (WHO), Indonesia kini menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah
penderita diabetes melitus di dunia. Secara teori diabetes melitus mempunyai
pengaruh terhadap penyakit infeksi. Sehingga diduga diabetes melitus juga
mepengaruhi kondisi kesehatan pasien tuberkulosis paru. Beberapa penelitian
menunjukan bahwa diabetes
melitus
dapat
menimbulkan perbedaan
manifestasi klinis dan respon terhadap pengobatan tuberkulosis paru, terutama
bila kadar gula darah pada pasien tinggi (Dooley dan Chaisson, 2009).
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka peneliti tertarik
mengadakan penelitian untuk mengetahui hubungan antara tuberkulosis paru
dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko.
B. Rumusan Masalah
Adakah hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus
sebagai faktor risiko?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tuberkulosis paru
dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3
D. Manfaat Penelitian
1. Aspek teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai
faktor risiko.
b. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan acuan penelitian
lebih lanjut, misalnya penelitian dengan faktor-faktor risiko lain yang
tidak diteliti.
2. Aspek praktis
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi
masyarakat untuk meningkatkan upaya pencegahan penyakit tuberkulosis
paru terutama pada pasien yang telah menderita penyakit diabetes melitus.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Tuberkulosis Paru
a. Definisi
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan
oleh basil Mycobacterium tuberculosis yang menyerang saluran
pernapasan bagian bawah (Alsagaff dan Mukty, 2009). Basil yang
bersifat aerobik dan tahan asam ini dapat merupakan organisme patogen
maupun saprofit. Ukuran basil tuberkulosis ini 0,3 x 2 sampai 4 mm, di
mana ukuran ini lebih kecil daripada sel darah merah (Price dan Wilson,
2008). Lebih dari 60 %
struktur dinding sel dari Mycobacterium
tuberculosis mengandung lipid. Tingginya konsentrasi lipid tersebut
dapat dihubungkan dengan sifat bakteri yang tahan asam (Todar, 2011).
Mycobacterium tuberculosis tidak dapat diklasifikasikan menjadi grampositif ataupun gram-negatif. Jika sudah diwarnai dengan bahan celup
dasar, organisme ini tidak dapat diwarnai dengan alkohol tanpa
menghiraukan pengobatan iodin. Basil tuberkulosis sejati ditandai
dengan “tahan asam” yaitu 95 % etil alkohol. Sifat tahan asam ini
tergantung pada integritas selubung yang terbuat dari lilin. Teknik
pewarnaan Ziehl-Neelsen digunakan untuk mengidentifikasi bakteri
tahan asam (Brooks, et al., 2008).
commit to user
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5
b. Patogenesis
Pada tuberkulosis paru, tempat masuknya kuman Mycobacterium
tuberculosis adalah saluran pernapasan. Infeksi ini terjadi melalui udara,
yaitu
inhalasi
droplet
yang
mengandung
kuman-kuman
basil
tuberkulosis berasal dari orang yang terinfeksi (Price dan Wilson, 2008).
Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel
pada saluran napas atau jaringan paru (Amin dan Bahar, 2007). Basil
tuberkulosis yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi lalu
membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear yang
tampak pada tempat tersebut memfagosit bakteri namun tidak
membunuh organisme tersebut. Berhari-hari kemudian, leukosit diganti
oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan
timbul pneumonia akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan
sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal atau proses dapat
berjalan terus. Proses yang berjalan terus-menerus ini menyebabkan
bakteri terus difagosit dan berkembang biak di dalam makrofag (Price
dan Wilson, 2008).
1) Tuberkulosis Paru Primer
Tuberkulosis paru primer adalah bentuk penyakit pada orang
yang belum pernah terpajan, sehingga tidak pernah tersensitisasi
(Kumar, et al., 2007). Basil yang menetap dalam jaringan paru, akan
berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Kuman yang bersarang
di jaringan paru ini akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
kecil dan disebut sarang primer atau sarang ghon (focus) (Amin dan
Bahar,
2007).
perkembangan
Kemudian
penyakit
manifestasi
dapat
berupa
yang
muncul
konsolidasi
pada
parenkim,
atelektasis, limfadenopati, efusi pleura ataupun miliar. Konsolidasi
biasanya bersifat unifokal dengan melibatkan multilobar (25 %).
Konsolidasi dapat terjadi pada lobus manapun, tetapi paling sering
dilaporkan bahwa pada orang dewasa, lobus bawah lebih sering
terkena (Djojodibroto, 2009).
Dampak utama tuberkulosis paru primer adalah memicu
timbulnya hipersensitivitas dan resistensi. Basil yang terdapat pada
fokus jaringan parut yang dapat hidup bertahun-tahun bahkan seumur
hidup, dapat reaktivasi ketika pertahanan pejamu melemah. Penyakit
dapat berkembang menjadi tuberkulosis primer progresif. Hal ini
banyak terjadi pada orang yang mengalami gangguan kekebalan
tubuh, seperti AIDS, malnutrisi, atau usia lanjut (Kumar, et al., 2007).
2) Tuberkulosis Paru Post Primer
Tuberkulosis paru post primer atau tuberkulosis paru sekunder
(reinfection) merupakan pola penyakit yang terjadi pada pejamu yang
telah tersensitasi. Secara umum, tuberkulosis paru sekunder terjadi
karena reaktivasi bakteri yang dorman terutama saat resistensi pejamu
melemah. Namun, dapat juga terjadi segera setelah infeksi primer.
Selain itu, penyakit ini dapat terjadi akibat reinfeksi eksogen karena
berkurangnya proteksi yang dihasilkan penyakit primer atau besarnya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
inokulum basil hidup. Pada daerah dengan prevalensi tinggi, reinfeksi
eksogen lebih sering terjadi. Dari mana pun sumber organismenya,
kurang dari 5 % pasien dengan penyakit primer kemudian mengalami
tuberkulosis sekunder.
Tuberkulosis paru sekunder umumnya terbatas di apeks satu atau
kedua lobus atas yang kemungkinan besar berkaitan dengan tingginya
tegangan oksigen di sana. Respon jaringan terjadi segera dan nyata
yang cenderung membatasi fokus karena memang sudah terdapat
hipersensitivitas. Dengan begitu, kelenjar getah bening regional
kurang begitu terlibat. Namun, kavitasi hampir selalu terjadi pada
tuberkulosis paru sekunder yang tidak diobati, dan erosi yang
mengenai saluran napas menjadi sumber penularan melalui sputum
yang dikeluarkan (Kumar, et al., 2007).
c. Klasifikasi
Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum Basil Tahan Asam (BTA)
tuberkulosis paru dibagi menjadi:
1) Tuberkulosis Paru BTA Positif
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya
ditemukan tiga batang kuman BTA pada satu sediaan dengan kata lain
diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml sputum (Amin dan Bahar, 2007).
Cara pengumpulan sputum tiga kali, yaitu Sewaktu, Pagi, dan
Sewaktu (SPS) atau setiap pagi tiga kali berturut-turut (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2006).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
(IUATLD):
a) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.
b) Ditemukan 1 - 9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan.
c) Ditemukan 10 - 99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
d) Ditemukan 1 - 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
e) Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
Dikatakan tuberkulosis paru BTA positif jika:
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen sputum menunjukkan hasil
BTA positif.
b) Hasil pemeriksaan satu spesimen sputum menunjukkan BTA
positif dan menunjukkan gambaran radiologi tuberkulosis aktif.
c) Hasil pemeriksaan satu spesimen sputum menunjukkan positif dan
biakan kuman positif.
2) Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Dikatakan tuberkulosis paru BTA negatif jika:
a) Hasil pemeriksaan sputum menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.
b) Hasil pemeriksaan sputum menunjukkan BTA negatif dan biakan
Mycobacterium tuberculosis positif.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
1) Kasus Baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan.
2) Kasus Kambuh
Adalah pasien tuberkulosis paru yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan OAT dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan sputum BTA positif atau biakan positif.
3) Kasus Default atau Drop Out
Adalah pasien tuberkulosis
paru
yang
telah
menjalani
pengobatan OAT lebih dari satu bulan dan tidak mengambil obat
selama
dua
bulan
berturut-turut
atau
lebih
sebelum
masa
pengobatannya selesai.
4) Kasus Gagal
Adalah pasien tuberkulosis paru BTA positif yang masih tetap
positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan
sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.
5) Kasus Kronis
Adalah pasien tuberkulosis paru dengan hasil pemeriksaan BTA
masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan
kategori dua dan dengan pengawasan yang baik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
6) Kasus Bekas TB
a) Hasil pemeriksaan sputum BTA dan biakannya negatif, serta
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi tuberkulosis yang tidak
aktif atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap.
Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung.
b) Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah
mendapat pengobatan OAT dua bulan serta pada foto toraks ulang
tidak ada perubahan gambaran radiologi.
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
d. Diagnosis
1) Gambaran Klinis
a) Gejala Respiratori
(1) Batuk lebih dari 2 minggu.
(2) Sputum awalnya bersifat mukoid, kemudian berubah menjadi
mukopurulen sampai purulen.
(3) Batuk darah merupakan tanda telah terjadinya ekskavasasi dan
ulserasi pembuluh darah pada dinding kavitas. Batuk darah
massif terjadi bila ada robekan dari aneurisma Rasmussen.
(4) Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik
ringan. Bila nyeri bertambah berat telah terjadi pleuritis luas.
(5) Wheezing terjadi karena penyempitan lumen endobronkus.
(6) Dispneu
merupakan
late
tuberkulosis paru.
commit to user
symptom
dari
proses
lanjut
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
b) Gejala Sistemik
(1) Panas badan sedikit meningkat pada siang atau sore hari.
(2) Menggigil dapat terjadi bila panas badan meningkat dengan
cepat tetapi tidak diikuti pengeluaran panas dengan kecepatan
yang sama.
(3) Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah lanjut.
(4) Anoreksia dan penurunan berat badan.
(5) Malaise.
(Alsagaff dan Mukty, 2009).
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin
ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia,
demam (subfebris), badan kurus, dan berat badan menurun. Tempat
keadaan lesi tuberkulosis paru yang paling dicurigai adalah bagian
apeks (puncak) paru. Perkusi yang redup dan auskultasi suara
bronkial akan didapatkan bila dicurigai ada infiltrat yang agak luas.
Selain itu, akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki
basah, kasar, dan nyaring (Amin dan Bahar, 2007).
3) Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis yang paling penting untuk diagnosis
tuberkulosis paru adalah pemeriksaan sputum. Pada tuberkulosis paru,
sputum yang mengandung BTA merupakan satu-satunya penegakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
diagnosis yang dipakai dalam program pemberantasan penyakit
tuberkulosis paru (Alsagaff dan Mukty, 2009).
Sputum berasal dari mukus (sekret kelenjar) paru, bronkus, dan
trakea yang dikeluarkan melalui mulut. Pada orang dewasa normal,
bisa diproduksi sejumlah 100 ml mukus dalam saluran napas setiap
hari. Mukus ini dibawa menuju ke faring dengan gerakan
pembersihan normal silia. Jika terbentuk mukus berlebihan, proses
normal pembersihan tidak efektif lagi, sehingga mukus tertimbun.
Bila hal ini terjadi, membran mukosa akan terangsang, mukus akan
dikeluarkan dengan tekanan intratorakal dan intraabdominal yang
tinggi, lalu dibatukkan sebagai sputum. Pembentukan mukus yang
berlebihan mungkin disebabkan gangguan fisik, kimiawi, atau infeksi.
Sputum yang terbentuk perlu dievaluasi sumber, warna, volum,
dan konsistensinya. Sputum dapat dihasilkan dari sinus (saluran
hidung) dan saluran napas bagian bawah. Warna sputum juga penting
untuk dievaluasi sebab warna kekuning-kuningan menunjukkan
infeksi dan warna hijau menunjukkan adanya penimbunan pus yang
timbul karena verdoperoksidase yang dihasilkan oleh Leukosit
Polimorfonuklear (PMN) dalam sputum. Sifat dan konsistensi sputum
juga dapat memberikan informasi yang berguna. Sputum yang
berwarna merah muda dan berbusa merupakan tanda edema paru
akut. Sputum yang berlendir, lekat, dan berwarna abu-abu atau putih
merupakan tanda bronkitis kronis. Sedangkan sputum yang banyak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
sekali dan purulen menyatakan adanya proses supuratif, seperti abses
paru. Perlu diketahui waktu terbaik pengumpulan sputum adalah
segera sesudah bangun karena sekresi bronkus yang abnormal
cenderung tertimbun saat tidur (Price dan Wilson, 2008).
4) Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar
ialah
foto toraks (PA).
Gambaran
radiologis akan tampak bercak-bercak seperti awan dengan batas yang
tidak tegas saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumoni.
Bayangan akan terlihat seperti bulatan dengan batas tegas yang
dikenal sebagai lesi tuberkuloma bila lesi masih diliputi jaringan ikat.
Lesi yang berupa kavitas, bayangannya seperti cincin yang mula-mula
berdinding tipis kemudian lama-lama menjadi sklerotik dan terlihat
menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang bergaris-garis.
Lesi yang terbentuk kalsifikasi dan bayangannya tampak sebagai
bercak-bercak padat dengan densitas tinggi (Amin dan Bahar, 2007).
Menurut American Thoracic Society dan National Tuberculosis
Association, berdasarkan luasnya, tuberkulosis paru dinyatakan
sebagai berikut:
a) Minimal lesion
Luas sarang-sarang yang terlihat tidak melebihi daerah yang
dibatasi oleh garis media, apeks, dan iga-iga depan. Sarang-sarang
soliter dapat berada di mana saja tidak harus berada dalam daerah
tersebut. Tidak ditemukan adanya kavitas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
b) Moderately advanced tuberculosis
Luas sarang yang bersifat bercak-bercak tidak melebihi luas
satu paru, sedangkan bila ada kavitas tidak melebihi 4 cm. Jika
sifat bayangan sarang-sarang berupa awan-awan yang menjelma
menjadi daerah konsolidasi yang homogen, luasnya tidak boleh
melebihi luas satu lobus.
c) Far advanced tuberculosis
Luas daerah yang dihinggapi oleh sarang-sarang lebih
daripada kalsifikasi kedua di atas atau bila ada kavitas, maka
diameter keseluruhan semua lubang lebih dari 4 cm.
5) Pemeriksaan Penunjang Lain
a) Analisis cairan pleura.
b) Pemeriksaan histopatologi jaringan.
c) Pemeriksaan darah.
d) Uji tuberkulin.
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
e. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dibagi
menjadi dua fase, yaitu fase intensif yang berlangsung selama 2 - 3 bulan
dan dilanjutkan dengan fase lanjutan selama 4 - 6 bulan. Obat lini
pertama yang biasa digunakan adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid,
etambutol, dan streptomisin.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
Dosis harian isoniazid ialah 4 - 6 mg/kgBB/hari dengan dosis
maksimal 300 mg. Efek samping ringan dapat berupa gejala pada saraf
tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki, dan nyeri otot. Keadaan ini terkait
dengan terjadinya defisiensi piridoksin (Vit B6) sehingga dapat
dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 10 mg/hari atau
dengan vitamin B kompleks. Kelainan akibat defisiensi piridoksin dapat
berupa sindrom pellagra. Efek samping berat yang dapat terjadi berupa
hepatitis imbas obat yang timbul pada kurang lebih 0,5 % pasien. Bila
terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, OAT yang bersifat hepatotoksik
(isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid) dihentikan dan pengobatan
tuberkulosis paru dilanjutkan sesuai pedoman pengobatan tuberkulosis
paru pada keadaan khusus.
Obat lini pertama selanjutnya adalah rifampisin dengan dosis harian
8 - 12 mg/kgBB/hari dan dosis maksimal 600 mg. Efek samping ringan
berupa sindrom flu (demam, menggigil, nyeri tulang), sindrom perut
(sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah, diare), dan sindrom kulit
(gatal-gatal). Efek samping berat rifampisin dapat berupa hepatitis imbas
obat, sesak napas, dan bila terjadi salah satu gejala, seperti purpura,
anemia hemolitik, syok, gagal ginjal, maka pengobatan dengan
rifampisin harus segera dihentikan dan tidak diberikan lagi walaupun
gejala telah menghilang. Rifampisin dapat menyebabkan warna merah
pada urin, keringat, air mata, dan air liur. Hal itu terjadi karena
metabolisme obat dan hal ini tidak berbahaya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
Sementara itu, pirazinamid sebagai antituberkulosis dapat diberikan
dengan dosis harian 20 - 30 mg/kgBB/hari. Efek samping utama obat ini
hepatitis imbas obat. Dapat pula terjadi nyeri akibat serangan artritis
gout yang disebabkan oleh penimbunan asam urat. Bila kadar asam urat
terlalu tinggi mungkin obat perlu diganti. Dapat juga terjadi demam,
mual, kemerahan, dan reaksi kulit yang lain.
Etambutol diberikan pada pasien tuberkulosis paru dengan dosis
harian 15 - 20 mg/kgBB/hari. OAT ini dapat menyebabkan gangguan
penglihatan berupa berkurangnya ketajaman serta buta warna hijau dan
merah. Gangguan penglihatan akan kembali normal beberapa minggu
setelah obat dihentikan.
Streptomisin sebagai OAT diberikan pada dosis harian 15 - 18
mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 1000 mg. Efek samping utama
adalah kerusakan nervus VIII yang berkaitan dengan keseimbangan dan
pendengaran. Gejalanya adalah telinga mendenging, vertigo, dan
kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera
dihentikan atau dosisnya dikurangi. Jika pengobatan streptomisin
diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap
(kehilangan keseimbangan dan tuli). Efek samping ringan lainnya yang
dapat terjadi adalah demam, sakit kepala, muntah, eritema pada kulit,
dan kesemutan sekitar mulut. Streptomisin dapat menembus sawar
plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat
merusak saraf pendengaran janin (Cahyadi dan Venty, 2011).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
2. Penyakit Paru Obstruktif Kronis
a. Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronis yang ditandai oleh hambatan
aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonirreversibel atau
reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronis dan emfisema atau
gabungan keduanya.
1) Bronkitis Kronis
Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronis
berdahak minimal tiga bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya
dua tahun berturut–turut dan tidak disebabkan oleh penyakit lainnya.
2) Emfisema
Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran
rongga udara distal bronkiolus terminal disertai kerusakan dinding
alveoli.
Pada prakteknya, cukup banyak penderita bronkitis kronis juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma
persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh
dan memenuhi kriteria PPOK.
b. Patofisiologi
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat irreversibel dan terjadi
karena perubahan struktural pada saluran napas kecil, yaitu inflamasi,
fibrosis, metaplasi sel goblet, dan hipertrofi otot polos yang
menyebabkan obstruksi jalan napas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
Pada bronkitis kronis, terdapat pembesaran kelenjar mukosa
bronkus, peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel goblet, infiltrasi sel-sel
radang, hipertrofi otot polos pernapasan, serta distorsi akibat fibrosis.
Pembentukan mukus yang meningkat mengakibatkan gejala khas yaitu
batuk produktif.
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomis dibedakan
menjadi tiga jenis emfisema, yaitu:
1) Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan
meluas ke perifer, terutama mengenai bagian atas paru. Jenis ini
sering disebabkan oleh kebiasaan merokok yang lama.
2) Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli
secara merata dan terbanyak pada paru bagian bawah.
3) Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai
saluran napas distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di
septa atau dekat pleura.
Gambar 1. Konsep Patogenesis PPOK
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
c. Gambaran Klinis
1) Anamnesis
a) Keluhan
(1) Sesak napas yang bertambah berat bila beraktivitas.
(2) Kadang-kadang disertai mengi.
(3) Batuk kering atau dengan dahak yang produktif.
(4) Rasa berat di dada.
b) Riwayat penyakit
Keluhan klinis bertambah berat dari waktu ke waktu.
c) Faktor predisposisi
(1) Usia > 45 tahun.
(2) Riwayat merokok aktif atau pasif.
(3) Terpajan zat beracun (polusi udara, debu pekerjaan).
(4) Batuk berulang pada masa kanak-kanak.
(5) Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
2) Pemeriksaan Fisik
a) Secara umum
(1) Penampilan pink puffer atau blue bloater.
(2) Pernapasan pursed-lips.
(3) Tampak denyut vena jugularis dan edema tungkai bila telah
terjadi gagal jantung kanan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
b) Toraks
(1) Inspeksi: barrel chest, penggunaan otot bantu napas, dan
peleburan sela iga.
(2) Palpasi: fremitus melemah dan sela iga melebar.
(3) Perkusi: hipersonor, batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, dan hepar terdorong ke bawah.
(4) Auskultasi: suara napas vesikuler normal atau melemah,
terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, dan bunyi jantung
terdengar jauh.
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).
3. Asma
a. Definisi
Asma adalah penyakit inflamasi (radang) kronis saluran napas yang
menyebabkan
peningkatan
hiperresponsif
jalan
napas
sehingga
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi (napas berbunyi
ngik-ngik), sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama
malam menjelang dini hari. Gejala tersebut terjadi berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi, dan seringkali bersifat
reversibel dengan atau tanpa pengobatan (Yayasan Asma Indonesia,
2004).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
b. Patogenesis
Semua bentuk asma didasari oleh respon bronkokonstriksi yang
berlebihan
(hiperresponsivitas
jalan
napas)
terhadap
berbagai
rangsangan. Hiperresponsivitas ini dibuktikan dengan meningkatnya
sensitivitas terhadap zat bronkokonstriktif, seperti histamin atau
prostaglandin. Mediator-mediator inflamasi tersebut akan mempengaruhi
organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus,
dan fibrosis subepitel, sehingga menimbulkan hiperreaktivitas saluran
napas.
Sel dan elemen seluler yang banyak berperan pada gangguan asma
adalah sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, dan sel
epitel. Episode berulang pada individu yang rentan berhubungan dengan
adanya obstruksi aliran udara yang luas tetapi sering bersifat reversibel
baik secara spontan atau dengan pengobatan. Obstruksi bertambah berat
selama ekspirasi karena secara fisiologis, saluran napas menyempit pada
fase tersebut. Inflamasi juga disebabkan oleh adanya peningkatan
sensitivitas akibat berbagai rangsangan (Morris, 2010). Penyempitan
saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang,
maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran
napas besar, sedangkan pada saluran napas kecil gejala batuk dan sesak
lebih dominan dibanding mengi (Sundaru dan Sukamto, 2006).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
c. Faktor Risiko
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2008) membedakan
faktor risiko asma secara umum menjadi 2 kelompok, yaitu faktor
genetik dan faktor lingkungan.
1) Faktor Genetik
a) Hiperreaktivitas.
b) Atopi/alergi bronkus.
c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik.
d) Jenis kelamin.
e) Ras/etnik.
2) Faktor Lingkungan
a) Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, jamur).
b) Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari).
c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur).
d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID)
e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray).
f) Stres emosional.
g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif.
h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan.
i) Exercise
induced
asthma,
aktifitas
menyebabkan kambuhnya asma.
j) Perubahan cuaca.
commit to user
tertentu
yang
dapat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
4. ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)
a. Definisi
ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah
yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, maupun virus,
tanpa atau disertai radang parenkim paru.
b. Patogenesis
Saluran pernapasan selalu terpapar oleh dunia luar, sehingga guna
mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan
efesien. Ketahanan saluran pernapasan terhadap infeksi maupun partikel
dan gas yang ada di udara amat tergantung pada tiga unsur alami yang
selalu terdapat pada orang sehat, yaitu keutuhan epitel mukosa, gerak
mukosilia, makrofag alveoli, dan antibodi setempat, dapat menjadi
sistem pertahanan terhadap infeksi, maupun partikel dan gas yang ada di
udara.
Infeksi bakteri mudah terjadi pada saluran napas yang sel-sel epitel
mukosanya telah rusak, akibat infeksi yang terdahulu. Selain itu, hal-hal
yang dapat mengganggu keutuhan lapisan mukosa dan gerak silia adalah
asap rokok dan gas SO2, polutan utama dalam pencemaran udara,
sindroma imotil, pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25 % atau
lebih).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
c. Macam-Macam ISPA
1) ISPA yang Disebabkan Virus
Virus pernapasan merupakan penyebab terbesar ISPA. Hingga
kini telah dikenal lebih dari 100 jenis virus penyebab ISPA. Infeksi
virus memberikan gambaran klinis yang khas akan tetapi sebaliknya
beberapa jenis virus bersama-sama dapat pula memberikan gambaran
yang hampir sama. Dalam klinis dikenal enam kelompok besar virus
pernapasan
sebagai
penyebab
ISPA,
yaitu
Orthomyxovirus,
Paramyxovirus, Metamyxovirus, Adenovirus, Piconarvirus, dan
Coronavirus.
Gambaran klinis secara umum yang sering didapat adalah: rinitis,
nyeri tenggorokan, batuk-batuk dengan dahak kuning/putih kental,
nyeri retrosternal, dan konjungtivitis. Suhu badan meningkat antara 4
- 7 hari, disertai malaise, mialgia, nyeri kepala, anoreksia, mual,
muntah-muntah, dan insomnia. Kadang dapat juga terjadi diare. Bila
peningkatan suhu berlangsung lama biasanya menunjukkan adanya
penyulit.
Di klinis dikenal enam gambaran sindroma ISPA yang
disebabkan virus, yaitu:
a) Sindroma Koriza.
b) Sindroma Faring.
c) Sindroma Faringkonjungtiva.
d) Sindroma Influenza.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
e) Sindroma Herpangina.
f) Sindroma Laringotrakeobronkitis Obstruktif Akut.
2) ISPA yang Disebabkan oleh Micoplasma pneumonia
Penularan banyak terjadi melalui kontak yang erat seperti yang
terjadi dalam keluarga maupun di asrama. Gejala klinis berupa
nasofaringitis, bronkitis, bronkopneumonia, atau pleuritis. Sering pula
dilaporkan ada infeksi sekunder oleh Diplococcus pneumonia,
Neiseria kataralis, dan Haemophilus influenza.
3) Psitakosis-Ornitosis
Psitakosis-Ornitosis menyebabkan epizoonosis pada beberapa
burung. Agen psitakosis didapatkan pada burung parkit atau nuri,
sedang ornitosis banyak terdapat pada burung merpati. Cara infeksi
terjadi melalui pernapasan, juga dari benda-benda yang tercemar atau
melalui gigitan. Gejala klinis bervariasi, dari gejala ringan pada
saluran napas sampai pada keadaan yang lebih berat berupa
pneumonia.
4) Demam Q (Demam Queensland)
Disebabkan oleh riketsia golongan Coxiella bunetti gejala klinis
yang menonjol ialah infeksi saluran pernapasan dengan atau tanpa
penyulit radang paru.
(Alsagaff dan Mukty, 2009).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
5. Diabetes Melitus
a. Definisi
Diabetes
melitus (DM)
merupakan suatu sindrom dengan
terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang
disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas
jaringan terhadap insulin (Guyton dan Hall, 2008).
Insulin adalah
hormon yang mengatur gula darah. Hiperglikemia, atau gula darah yang
meningkat, adalah efek umum diabetes yang tidak terkontrol dan dari
waktu ke waktu, menyebabkan kerusakan yang serius pada banyak
sistem tubuh, terutama saraf, dan pembuluh darah (WHO, 2011).
b. Epidemiologi dan Prevalensi
Setiap tahun, jumlah penderita diabetes melitus kian meningkat.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO), Indonesia kini
menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes melitus
di dunia. Data WHO mengungkapkan, beban global diabetes melitus
pada 2000 adalah 135 juta, di mana beban ini diperkirakan akan
meningkat terus menjadi 366 juta orang setelah 25 tahun (tahun 2025).
Kecenderungan kenaikan kejadian diabetes melitus secara global, dipicu
oleh peningkatan kesejahteraan suatu populasi, sehingga dimungkinkan
dalam kurun waktu 1 – 2 dekade silam, kekerapan diabetes melitus di
Indonesia telah meningkat secara signifikan (Perhimpunan Rumah Sakit
Seluruh Indonesia, 2008).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
c. Klasifikasi
Klasifikasi etiologis diabetes melitus:
1) Diabetes Melitus Tipe I
Adalah diabetes mellitus tipe dependen insulin, yaitu defisiensi
insulin akibat berkurangnya produksi hormon insulin, yang kemudian
dibagi menjadi dua sub tipe:
a) Autoimun, akibat disfungsi kerusakan autoimun dengan kerusakan
sel-sel beta sehingga sekresi insulin berkurang.
b) Idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui
penyebabnya.
2) Diabetes Melitus Tipe II
Adalah diabetes melitus tipe nondependen insulin, diakibatkan
oleh karena sekresi hormon insulin yang berkurang atau karena
penurunan sensitivitas reseptor pada membran sel terhadap insulin.
Onsetnya dimulai saat dewasa.
3) Diabetes Gestasional
Adalah diabetes melitus yang terjadi pada masa kehamilan, hal
ini karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang
mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa.
4) Diabetes Melitus Tipe Lain.
(American Diabetes Association, 2005).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
d. Gambaran Klinis
Diagnosis klinis diabetes melitus umumnya akan dipikirkan bila:
1) Keluhan khas diabetes melitus, berupa poliuria, polidipsia, polifagia,
dan penurunan berat badan.
2) Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah,
kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta
pruritus vulvae pada pasien wanita.
(Gustaviani, 2007).
e. Diagnosis
1) Kadar gula darah sewaktu (plasma vena)
khas diabetes melitus. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena)
126 mg/dl.
2) Kadar glukosa plasma
75 gram pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) (Gustaviani, 2007).
6. Hubungan antara Diabetes Melitus dengan Tuberkulosis Paru.
Dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan prevalensi diabetes
melitus, terutama diabetes melitus tipe II. Hal ini disebabkan oleh
perubahan gaya hidup, meningkatnya obesitas, dan berkurangnya aktivitas
fisik yang umumnya terjadi pada negara-negara yang mulai mengalami
industrialisasi. Peningkatan prevalensi diabetes melitus juga disertai dengan
peningkatan prevalensi tuberkulosis paru, banyak terjadi terutama pada
negara-negara berpenghasilan rendah-menengah. Seperti Cina dan India,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
negara yang mengalami peningkatan prevalensi diabetes melitus tercepat
dan memiliki beban tuberkulosis paru tertinggi di dunia (Kant, 2003).
Diabetes melitus menggambarkan suatu kelainan metabolik dengan
berbagai etiologi yang ditandai oleh hiperglikemia kronis dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak, sebagai akibat defek pada
sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Diabetes melitus dapat
mempengaruhi suatu penyakit infeksi, baik dengan meningkatkan frekuensi
kejadiannya maupun manifestasi klinisnya. Hal tersebut disebabkan adanya
hiperglikemia dapat menimbulkan gangguan imunitas yang diperantarai
oleh sel dan fungsi fagosit (Jeon dan Murray, 2008).
Pertahanan tubuh melawan infeksi Mycobacterium tuberculosis
sebagian besar di mediasi oleh respon imun seluler. Limfosit T CD4
merupakan sel yang memainkan peran paling penting dalam respon imun
adaptif terhadap Mycobacterium tuberculosis. Apoptosis atau lisis sel-sel
yang terinfeksi oleh sel T CD4 juga dapat memainkan peranan dalam
mengontrol infeksi. Limfosit T CD4 ini akan berdiferensiasi menjadi sel
Th1 dan Th2, yang memproduksi sitokin. Sel Th1 yang dipengaruhi oleh
IL-12 dalam perkembangannya dari naïve cells memiliki peranan dalam
pertahanan tubuh yaitu dengan menginduksi produksi sitokin yatiu IFNdan IL-2. IFN-
ofag untuk
membunuh Mycobacterium tuberculosis yaitu dengan dengan cara
endositosis. Endosistosis Mycobacterium tuberculosis ke dalam makrofag
ini menyebabkan terjadinya sekresi sitokin dan kemokin. IFN-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
menstimulasi makrofag menyebabkan makrofag teraktivasi memproduksi
TNF-
merekrut monosit. IFN-
antigen sehingga merekrut lebih banyak limfosit T CD-4 dan atau limfosit
sitotoksik. Selain itu, IFN-
ekspresi dari inducible nitric
oxide synthase (iNOS) yang menghasikan nitric oxide (NO). NO yang
dibantu dengan TNF-
menyebabkan timbulnya reactive nitrogen
intermediates dan radikal bebas lainnya yang mampu menyebabkan
destruksi oksidatif mulai dari dinding sel hingga DNA Mycobacterium
tuberculosis. Sedangkan Th2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-10, IL-13, dan
berperan pada timbulnya imunitas humoral (Raviglione, et al., 2008; Bhatt,
2007; Raja, 2004; Stalenhoef, et al., 2008).
IFNmensitesis TNF-
-
untuk mensekresi IL-1. IL-1 merupakan mediator inflamasi yang berperan
pada
imunitas
nonspesifik.
IL-1
menginduksi
makrofag
untuk
memproduksi sitokin IL-6 yang mengakibatkan hiperglobulinemia yang
merupakan karakteristik pada Tuberkulosis paru. IL-6 juga merangsang
sumsum
tulang
untuk
memproduksi
neutrofil.
Disamping
untuk
menginduksi makrofag untuk memproduksi sitokin IL-6, IL-1 juga
menginduksi makrofag untuk memproduksi TNFpada imunopatologi pada tuberkulosis paru dan meningkatkan ekspresi
reseptor IL-2 untuk merangsang proliferasi sel T. Proliferasi sel T
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
meningkatkan produksi sitokin, seperti IFN-
dan IL-4 (Baratawidjaja,
2006; Bukhary, 2008).
Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden tuberkulosis paru pada
penderita diabetes melitus dapat berupa defek pada fungsi sel-sel imun dan
mekanisme pertahanan pejamu. Mekanisme yang mendasari terjadinya hal
tersebut masih belum dapat dipahami hingga saat ini, meskipun telah
terdapat sejumlah hipotesis mengenai peran sitokin sebagai suatu molekul
yang penting dalam mekanisme pertahanan manusia terhadap tuberkulosis
paru. Selain itu, ditemukan juga aktivitas bakterisidal leukosit yang
berkurang pada pasien diabetes melitus, terutama pada mereka yang
memiliki kontrol gula darah yang kurang baik (Jeon dan Murray, 2008).
Tingginya kadar gula darah pada pasien diabetes melitus merupakan
media yang baik bagi Mycobacterium tuberculosis untuk tumbuh, hidup,
dan berkembang biak. Terdapat juga peningkatan kadar gliserol dan
nitrogen pada pasien diabetes melitus Keadaan ini akan membantu
pertumbuhan dari basil tuberkulosis, di mana hal ini dianggap ikut berperan
sebagai penyebab terjadinya penyakit. Akibat gangguan imunologi tersebut
menyebabkan daya tahan tubuh dan kemampuan dalam memperbaiki
jaringan yang terinfeksi menurun. Sehingga pasien diabetes melitus rentan
terserang Mycobacterium tuberculosis (Ezung, et al., 2002; Goswami, et
al., 2001; Mboussa, et al., 2003; Sen, et al., 2009).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
B. Kerangka Pemikiran
Faktor risiko :
Faktor keturunan
Kegemukan
Pola makan salah
Diabetes Melitus
Obat-obatan
Proses menua
Stress
Hiperglikemia
Produksi IL-12, Th1, IFN- IL-1 dan TNF- .
Respon imun seluler
Paru rentan infeksi
Infeksi Mycobacterium tuberculosis
Tuberkulosis paru
Keterangan:
: Menyebabkan.
: Menyebabkan, mempengaruhi.
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33
C. Hipotesis
Terdapat hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus
sebagai faktor risiko.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan
pendekatan case control, dimana bentuk rancangan penelitian ini mengikuti
proses perjalanan penyakit ke arah belakang berdasarkan urutan waktu.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
Surakarta pada bulan Juli-Agustus 2011.
C. Subjek Penelitian
Pasien yang sedang berobat di BBKPM, dengan kriteria sebagai berikut:
1. Inklusi
a. Kasus
1) Pasien dengan Tuberkulosis Paru.
2) Usia > 30 tahun.
3) Bersedia ikut penelitian yang dinyatakan dengan informed consent.
b. Kontrol
1) Pasien penyakit paru noninfeksi kronis.
2) Usia > 30 tahun
3) Bersedia ikut penelitian yang dinyatakan dengan informed consent.
commit to user
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35
2. Eksklusi
a. Pasien yang menderita HIV/AIDS.
b. Merokok.
c. Pasien yang mengkonsumsi alkohol.
d. Pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid/oral.
D. Teknik Sampling
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling.
Metode ini merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu
(Sugiyono, 2005).
E. Besar Sampling
n
Z
pq
Z
p1
1, 96
p1 q1
p0
p0 q0
2
0,11 0,89
0,84
0,1682 0, 8318
0,1682 0, 043
0, 043 0, 957
2
61,14
Keterangan:
n :jumlah sampel.
:nilai simpangan dari rata-rata pada distribusi normal standar yang dibatasi
oleh = 0,05. Sehingga
= 1,96.
:nilai simpangan rata-rata distribusi alternatif yang dibatasi ol
po :proporsi terpajan pada kelompok kontrol = 4,3%.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36
p1 :proporsi terpajan yang diharapkan terjadi pada kelompok kasus sesuai
dengan peningkatan atau penurunan besarnya Odds Ratio.(R).
p1
: po R/
[1+ po (R-1)] = 16,82 %.
p : (po + p1 )/2.
q : 1 – p.
R : besarnya peningkatan atau penurunan Odds Ratio yang diinginkan.
(Budiarto, 2002).
Dari perhitungan diatas maka besar sampel dari tiap-tiap kelompok
(kasus dan kontrol) masing-masing sampel adalah sebesar 61 orang.
F. Rancangan Penelitian
Gambar 3. Skema Rancangan Penelitian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37
G. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
: diabetes melitus.
2. Variabel Terikat
: tuberkulosis paru.
3. Variabel luar
a. Terkendali
: usia, merokok, alkohol, dan kortokosteroid oral.
b. Tidak terkendali
: kemiskinan, tempat tinggal, dan status gizi.
H. Definisi Operasional Variabel
1. Variabel Bebas
Diabetes Melitus
a. Definisi
Gangguan metabolisme berupa hilangnya toleransi karbohidrat
yang ditandai dengan kadar gula darah sewaktu (plasma vena)
mg/dl atau kadar glukosa darah puasa (plasma vena)
ditambah gejala khas diabetes melitus (Gustaviani, 2007). Dalam
penelitian ini, diagnosis diabetes melitus ditegakkan oleh dokter.
b. Skala pengukuran: nominal.
c. Alat ukur: hasil diagnosis dokter dan ditanyakan oleh peneliti melalui
kuesioner.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38
2. Kasus
Tuberkulosis Paru
a. Definisi
Penyakit yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura,
disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis (Alsagaff dan
Mukty, 2008). Dalam penelitian ini penegakan diagnosis tuberkulosis
paru dilakukan oleh dokter spesialis paru.
b. Skala pengukuran: nominal.
c. Alat ukur: hasil diagnosis dokter dan ditanyakan oleh peneliti melalui
kuesioner.
3. Kontrol
a. PPOK
1) Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis
kronik dan emfisema atau gabungan keduanya (Persatuan Dokter
Paru Indonesia, 2003).
2) Skala pengukuran: nominal
3) Alat ukur: hasil diagnosis dokter dan ditanyakan oleh peneliti
melalui kuesioner.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
b. Asma
1) Definisi
Asma adalah penyakit inflamasi (radang) kronik saluran napas
yang menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan nafas sehingga
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak nafas,
dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama malam menjelang dini
hari. Gejala tersebut terjadi berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas yang luas, bervariasi, dan seringkali bersifat reversible dengan
atau tanpa pengobatan (Yayasan Asma Indonesia, 2004).
2) Skala pengukuran: nominal.
3) Alat ukur: hasil diagnosis dokter dan ditanyakan oleh peneliti
melalui kuesioner.
c. ISPA
1) Definisi
ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun
bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri,
maupun virus, tanpa atau disertai radang parenkim paru (Alsagaff
dan Mukty, 2009).
2) Skala pengukuran: nominal.
3) Alat ukur: hasil diagnosis dokter dan ditanyakan oleh peneliti
melalui kuesioner.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
4. Variabel Luar
a. Usia
1) Definisi
Adalah usia dalam tahun yang dihitung berdasarkan selisih
tahun wawancara dengan tahun kelahiran (Mulyono dkk., 2003).
Sampel yang digunakan pada penelitian adalah pasien yang berusia
lebih dari 30 tahun.
2) Skala pengukuran: rasio.
3) Alat ukur: kuesioner.
b. Merokok
1) Definisi
Orang yang merokok lebih dari 100 sigaret sepanjang
hidupnya dan pada saat ini masih merokok atau telah berhenti
merokok kurang dari satu tahun (Kang dkk., 2003). Pada penelitian
ini digunakan sampel yang tidak merokok.
2) Skala pengukuran: nominal.
3) Alat ukur: kuesioner.
c. Mengkonsumsi alkohol/ kortikostetoid oral.
1) Definisi
Orang yang mengkonsumsi alkohol/kortikosteroid dalam
jangka waktu kurang dari satu tahun.
2) Skala pengukuran: nominal.
3) Alat ukur: kuesioner.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
I. Instrumentasi Penelitian
Alat yang dipakai untuk mendapatkan data dalam penelitian ini meliputi:
1. Informed consent.
2. Kuesioner.
J. Cara Kerja
1. Mendatangi pasien yang telah didiagnosis tuberkulosis paru oleh dokter
spesialis paru.
2. Menjelaskan maksud, tujuan, prosedur, serta manfaat penelitian kepada
pasien.
3. Meminta
persetujuan pasien
untuk
mengikuti penelitian dengan
menandatangani informed consent.
4. Meminta pasien untuk mengisi identitas diri dan kuesioner, yang
digunakan untuk mendapatkan data yang sesuai dengan kriteria inklusi dan
eksklusi.
5. Mencatat data-data yang dibutuhkan dalam penelitian.
K. Teknik dan Analisis Data Statistik
Data yang diperoleh pada penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel
kemudian dianalisis dengan uji Chi Square. Batas kemaknaan yang dipakai
Kemudian dilakukan perhitungan Odds Ratio
untuk mengetahui kekuatan hubungan. Setelah didapatkan data dari penelitian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42
yang dilakukan, maka data akan diolah dengan bantuan perangkat lunak
Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17 for Windows.
Tabel 1. Tabel Kontangensi 2x2.
TB Paru (+)
TB Paru (-)
TOTAL
DM
a
b
a+b
Tanpa DM
c
d
c+d
a+c
b+d
N
TOTAL
1. Uji Chi Square ( X2 )
Derajat kebebasan = 1
N ( ad-bc )2
2
X =
(a+b) (c+d) (a+c) (b+d)
Keterangan:
N
: jumlah sampel
X2
: nilai Chi Square
2. Odds Ratio
Untuk mengetahui tingkat kekuatan hubungan antara diabetes
mellitus dengan tuberkulosis paru.
ad
OR =
bc
Keterangan:
OR
: Nilai Odds Ratio
a, b, c, d
: frekuensi kebebasan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43
Merumuskan hipotesis:
Ho: Tidak ada hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus
sebagai faktor risiko.
H1: Ada hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai
faktor risiko.
Pengambilan keputusan didasarkan pada uji Chi Square , yaitu :
1. Jika p
1
ditolak.
2. Jika p < 0,05, maka H1 diterima.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian telah dilakukan di Poli TB dan Poli non TB Balai Besar Paru
Kesehatan Masyarakat Surakarta sejak tanggal 26 Juli 2011 sampai dengan 13
Agustus 2011. Dari penelitian tersebut mengambil dua kelompok, yaitu kelompok
kasus (pasien tuberkulosis paru) dan kelompok kontrol (pasien paru noninfeksi
kronis). Jumlah keseluruhan sampel pada penelitian ini adalah 122 orang. Masingmasing kelompok terdiri dari 61 orang. Penelitian dilakukan terhadap pasien yang
telah memenuhi syarat untuk diikutsertakan dalam penelititan.
Berikut ini adalah hasil penelitian yang ditampilkan dalam bentuk tabel yang
terdiri atas beberapa karakteristik dari sampel.
A. Karakteristik Sampel Penelitian
Tabel 2. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin.
Pasien Tuberkulosis Paru
Pasien Paru Noninfeksi
(kasus)
Kronis (kontrol)
Jenis
Kelamin
Frekuensi
%
Frekuensi
%
Laki-Laki
40
65.57
46
75.41
Perempuan
21
34.43
15
24.59
Jumlah
61
100.0
61
100.0
Sumber : Data Primer 2011
commit to user
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45
Dari tabel 2 dapat diketahui bahwa pada kelompok kasus, pasien yang
banyak memeriksakan diri ke BBKPM Surakarta adalah laki-laki, yaitu
sebesar 65,57 %, sedangkan untuk kelompok kontrol, pasien yang terbanyak
juga laki-laki, yaitu sebesar 75,41 %.
Tabel 3. Distribusi Berdasarkan Umur.
Pasien Tuberkulosis
Pasien Paru Noninfeksi
Paru (kasus)
Kronis (kontrol)
Jumlah
Umur
Frekuensi
%
Frekuensi
%
Frekuensi
%
31 - 40
12
19,7
6
9,8
18
14,8
41 - 50
10
16,4
15
24,6
25
20,5
51 - 60
25
41,0
23
37,7
48
39,3
61 - 70
7
11,5
10
16,4
17
13,9
71 - 80
6
9,8
6
9,8
12
9,8
81 - 90
1
1,6
1
1,6
2
1,6
Sumber : Data Primer 2011
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pasien tuberkulosis paru yang
memeriksakan diri ke BBKPM Surakarta selama penelitian baik laki-laki
maupun perempuan terbanyak pada usia 51 - 60 tahun yaitu sebesar 41,0 %.
Kemudian presentasi terkecilnya dengan rentang usia sekitar 81 - 90 tahun
yaitu sebesar 1,6 %. Sementara pada pasien paru noninfeksi kronis yang
memeriksakan diri ke BBKPM Surakarta, presentasi terbesar pada pasien
dengan rentang usia 51 - 60 tahun yaitu sebesar 37,7 %. Kemudian presentasi
trekecilnya pada pasien dengan rentang usia 81 - 90 tahun sebesar 1,6 %.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46
Tabel 4. Distribusi Berdasarkan Pekerjaan.
Pasien Tuberkulosis
Pasien Paru Noninfeksi
Paru (kasus)
Kronis (kontrol)
Jumlah
Pekerjaan
Frekuensi
%
Frekuensi
%
Frekuensi
%
Swasta
24
39,3
23
37,7
47
38,5
Petani
18
29,5
17
27,9
35
28,7
IRT
9
14,8
10
16,4
19
15,6
Pensiunan
9
14,8
7
11,5
16
13,1
PNS
1
1,6
4
6,6
5
4,1
Sumber : Data Primer 2011
Dari tabel di atas diketahui bahwa pasien tuberkulosis paru yang
memeriksakan diri ke BBKPM Surakarta selama penelitian banyak yang
bekerja sebagai swasta sebesar 39,3 %. Pekerjaan swasta dari pasien dalam
penelitian ini dapat meliputi pengemudi becak, pedagang kaki lima, pedagang
keliling, serta buruh, seperti buruh pabrik, bangunan, dan bengkel. Kemudian
presentasi terkecil adalah pasien yang bekerja sebagai PNS sebesar 1,6 %.
Sementara pada pasien paru noninfeksi kronis yang memeriksakan diri ke
BBKPM Surakarta, presentasi pekerjaan yang terbanyak juga swasta, yaitu
sebesar 37.7 %, sedangkan presentasi terkecil pekerjaan pasien sebesar 6,6 %
yaitu sebagai PNS.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47
B. Analisis Statistik
Tabel 5. Hubungan antara Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus
sebagai Faktor Risiko.
Tuberkulosis Paru (+)
Tuberkulosis Paru (-)
Diabetes Melitus (+)
14
22,95%
5
8,20%
Diabetes Melitus (-)
47
77,05%
56
91,80%
Total
61
100,00%
61
100,00%
Sumber : Data Primer 2011
Dari tabel 5, dapat diketahui bahwa dari 61 pasien tuberkulosis paru, 14
diantaranya memiliki diabetes melitus (22,95 %). Sedangkan dari 61 pasien
paru noninfeksi kronik, 5 diantaranya memiliki diabetes melitus (8,2 %).
Selanjutnya untuk menganalisis data dalam penelitian ini digunakan uji
Chi Square dengan taraf signifikansi 0,05 yang sebelum perlu dilakukan
syarat uji Chi Square, yaitu sel yang mempunyai nilai expected kurang dari
lima, maksimal 20 % dari jumlah sel. Dari hasil Crosstabulation didapatkan
nilai 9,5 dan 51,5, yang artinya tidak ada nilai yang kurang dari lima. Dengan
terpenuhinya syarat uji tersebut maka dapat dilakukan uji Chi Square.
Interpretasi hipotesis dalam uji statistik sebagai berikut:
H0: Tidak ada hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus
sebagai faktor risiko.
H1: Ada hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai
faktor risiko.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48
Dasar pengambilan keputusan dengan analisis statistik:
1. Jika probabilitas > 0,05 maka H0 diterima.
2. Jika probabilitas < 0,05 maka H0 ditolak.
Dari hasil analisis uji Chi Square diketahui bahwa nilai probabilitas =
0,025, yang artinya nilai ini lebih kecil dari pada 0,05, dengan demikian H0
ditolak dan H1 diterima. Dengan diterimanya H1 maka terdapat hubungan
antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko.
Setelah mengetahui bahwa terdapat hubungan antara tuberkulosis paru
dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko kemudian untuk mengetahui
kekuatan hubungan dilakukan perhitungan Odds Ratio. Hasil yang diperoleh
dari perhitungan OR tersebut adalah 3,3, artinya orang yang memiliki diabetes
melitus berpeluang 3,3 kali lebih besar untuk terkena penyakit tuberkulosis
paru dibandingkan dengan orang tanpa diabetes melitus (hasil uji
Crosstabulation, Chi Square, Odds Ratio dapat dilihat pada lampiran 2).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian hubungan antara diabetes melitus dan tuberkulosis paru sebagai
faktor risiko menggunakan subjek pasien tuberkulosis paru sebagai kasus dan
pasien paru noninfeksi kronis sebagai kontrol. Pasien paru noninfeksi kronis yang
dipilih, meliputi pasien asma, bronkitis akut, dan ISPA. Dipilihnya pasien ini
dikarenakan penyakit diabetes melitus kurang berkaitan dengan penyakit yang
noninfeksius atau penyakit infeksi dengan serangan akut.
Selain itu subjek yang diplih adalah pasien yang mulai berusia 30 tahun. Hal
ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nasution, E. (2007).
Menurut American Diabetes Association, 90-95 % penderita diabetes melitus
merupakan diabetes melitus tipe II yang biasanya mulai terdeteksi pada usia
sekitar 30 tahun. Peningkatan kadar gula darah pada diabetes tipe ini terjadi
karena faktor gaya hidup, seperti pola makan, overweight, dan juga jarang
melakukan olahraga.
Peneliti mengeliminasi pasien yang menderita HIV/AIDS, merokok,
mengkonsumsi alkohol atau kortikosteroid oral dalam jangka waktu lama.
Menurut
Departemen Kesehatan Repuplik
Indonesia (2008)
HIV/AIDS
merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk sakit tuberkulosis paru, jika
pasien yang menderita penyakit ini terinfeksi kuman Mycobacterium tuberculosis.
Sebab infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas terhadap sistem daya tahan
tubuh seluler. Kemudian berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan
commit to user
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50
Rusnoto (2008) kebiasaan merokok memiliki hubungan terhadap angka kejadian
tuberkulosis paru, hal ini dapat dilihat dari hasil OR = 2,559. Lalu untuk
kebiasaan minum-minuman beralkohol, Lönnroth (2008 ) menjelaskan bahwa
angka kejadian untuk tuberkulosis paru pada seseorang yang memiliki kebiasaan
ini sebesar tiga kali lipat dari seseorang yang tidak memiliki kebiasaan minumminuman beralkohol. Kedua kebiasaan ini dapat menjadi faktor risiko terhadap
angka kejadian tuberkulosis paru sebab keadaan ini dapat menurunkan sistem
kekebalan tubuh pasien, sehingga mudah menjadi tepat berkembangbiak bagi
kuman Mycobacterium tuberculosis. Sedangkan dalam penelitian cohort yang
telah dilakukan oleh Carmona, et al. (2003) selama 10 tahun, pemberiaan obat
kortokosteroid dalam jangka panjang pada penderita artritis reumatoid dapat
meningkatkan risiko terkena tuberkulosis paru sebesar empat kali dari seseorang
yang tidak menjalani pengobatan dengan kortikosteroid oral.
Kemiskinan, tempat tinggal, dan status gizi merupakan faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi angka kejadian tuberkulosis paru. Akan tetapi peneliti
memasukkan ketiga hal tersebut sebagai variabel luar tidak terkendali, sebab
pengendalian faktor tersebut sangat membatasi jumlah sampel sehingga
diperlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak bagi peneliti.
Pada tabel 2 didapatkan bahwa jumlah pasien laki-laki tuberkulosis paru
sebanyak 40 orang atau sebesar 65,57 %. Jika dibandingkan dengan jumlah pasien
tuberkulosis paru yang perempuan angka ini lebih besar. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Suradi, dkk. (2004) bahwa menurut distribusi jenis
kelamin pada pasien tuberkulosis paru, jumlah laki-laki lebih banyak daripada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51
perempuan, baik yang memiliki diabetes melitus maupun tidak. Menurut Azwar
(1999) kondisi perbedaan jenis kelamin terjadi akibat perbedaan kebiasaan hidup
antara laki-laki dan perempuan. Perempuan memiliki kesadaran yang baik untuk
berobat daripada laki-laki. Selain itu, diduga laki-laki lebih banyak terpapar
dengan lingkungan di luar rumah dibanding perempuan karena memang laki-laki
lebih banyak yang bekerja. Sehingga kemungkinan tertular kuman tuberkulosis
lebih besar daripada perempuan (Amril, dkk. 2002).
Dari tabel 3 didapatkan kelompok terbesar pasien tuberkulosis paru berada
dalam usia 51 - 60 tahun, yaitu sebanyak 25 orang atau sebesar 41 %. Hal ini
sesuai dengan yang dilaporkan Perez-Guzman, et al. (2000) terdahulu yang
menyebutkan distribusi umur terbanyak penderita tuberkulosis paru pada umur
51-60 tahun (Gilfem Y, 2004). Hal ini dikarenakan pertambahan umur akan
menyebabkan perubahan sistem barrier imun tubuh akibat perubahan anatomis
dan fungsi organ. Meningkatnya usia mengakibatkan penurunan jaringan elastik,
menurunnya jumlah alveoli yang berfungsi dalam pertukaran gas, sekresi mukus
lambat, angka klirens, dan jumlah mukus total di paru berkurang. Keadaan ini
menyebabkan interaksi antara pejamu dengan agen, yang mengakibatkan penyakit
infeksi lebih mudah terjadi (Hadisaputro dan Wibisono, 2000).
Dari tabel 4 didapatkan bahwa penderita tubuerkulosis paru terbanyak
memiliki pekerjaan swasta. Notoatmodjo (1997) menyatakan bahwa jenis
pekerjaan dapat berperan di dalam timbulnya penyakit melalui beberapa jalan,
meliputi faktor lingkungan pekerjaan, stress kerja, aktivitas pekerjaan, dan
kerumunan dalam suatu tempat pekerjaan akan dapat terjadi proses penularan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52
penyakit dengan masyarakat yang heterogen. Sebagaimana tuberkulosis paru ini
dapat ditularkan melalui percikan sputum berukuran ± 5 mikron yang
mengandung basil tuberkulosis.
Pada tabel 5 memperlihatkan presentasi pasien diabetes melitus pada dua
kelompok, pasien tuberkulosis paru dan pasien paru noninfeksi kronis. Dari grafik
tersebut dapat dilihat bahwa diabetes melitus lebih banyak terjadi pada pasien
tuberkulosis paru dari pada pasien paru noninfeksi kronis.
Selanjutnya untuk mengetahui hubungan tersebut dilakukan analisis data Chi
Square . Dari analisis data didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara diabetes melitus dengan tuberkulosis paru sebagai faktor risiko. Hal ini
dapat dilihat dari nilai p = 0,025, yang artinya nilai p < 0,05. Dengan demikian H0
ditolak dan H1 diterima.
Dalam studi terbaru yang dilakukan oleh Dooley (2009) di Taiwan
disebutkan bahwa diabetes melitus merupakan faktor risiko tersering pada pasien
tuberkulosis paru, yang terjadi pada sekitar 21,5 % pasien. Menurut Jeon dan
Murray (2008) pada pasien diabetes melitus terdapat gangguan imunitas yang
berupa defek pada fungsi sel-sel imun, mekanisme pertahanan pejamu, dan peran
sitokin. Aktivitas bakterisidal leukosit dan makrofag yang berkurang serta
proliferasi limfosit yang rendah juga ikut berperan penting dalam mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman tuberkulosis paru pada pasien diabetes melitus.
Mekanisme yang mendasari terjadinya hal tersebut masih belum dapat
dipahami hingga saat ini. Namun beberapa penelitian menjelaskan bahwa IL-12,
sel Th1, dan produksi IFN-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53
dengan diabetes melitus. Dengan menurunnya produksi IFN- , dapat menurunkan
aktivasi makrofag dalam mengendositosis Mycobacterium tuberculosis. Pada
pasien diabetes melitus juga terjadi penurunan produksi IL-1 dan TNF- .
Penurunan IL-1 dapat mempengaruhi produksi IL-6 yang pada akhirnya dapat
menurunkan produksi neutrofil. Menurunnya produksi neutrofil ini dapat
menurunkan kemotaksis dan kemampuan membunuh secara oksidasi jika
dibandingkan dengan orang yang tidak menderita diabetes melitus. Sedangkan
jika terjadi penurunan produksi TNF-
mengakibatkan penurunan IL-2 yang
selanjutnya mengakibatkan proliferasi dan diferensiasi sel T berkurang.
Berkurangnya proliferasi dan diferensiasi sel T mengakibatkan menurunnya
aktivitas dalam membunuh bakteri (Bukhary, 2008; Sen, 2009).
Gangguan imunitas pada penderita diabetes melitus akibat hiperglikemia,
mengakibatkan
terganggunya
fungsi
kemotaksis,
granulosit,
fagositosis,
komplemen, dan aktifitas membunuh mikroorganisme dalam leukosit. Fagositosis
ini terjadi akibat menurunnya monosit perifer. Terganggunya fungsi-fungsi
tersebut berkorelasi dengan penurunan produksi limfosit. Ganguan imunologi
diatas menyebabkan fungsi fisiologi paru pada penderita diabetes melitus
terganggu, yaitu menurunnya reaktifitas bronkus, penurunan elastitas dan volum
paru-paru, penurunan kapasitas difusi di alveolus, terbentuknya mukus yang dapat
menyumbat saluran pernapasan, dan mengurangi ventilasi (Hadisaputro dan
Wibisono, 2000).
Dari analisis data yang telah dilakukan hasil dari perhitungan Odds Ratio
sebesar OR = 3,3, yang artinya menunjukkan kekuatan hubungan antara pasien
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54
tuberkulosis paru dengan pasien diabetes melitus. Di mana tiap pasien diabetes
melitus memiliki peluang 3,3 kali lebih besar untuk menderita tuberkulosis paru
dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes melitus.
Penelitian ini mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya adalah jumlah
sampel yang digunakan dalam penelitian ini hanya sebatas jumlah minimal.
Sehingga jika ingin mendapatkan hasil penelitian dengan tingkat kepercayaan
yang lebih tinggi, perlu penambahan jumlah sampel. Selanjutnya jenis penelitian
yang digunakan adalah case control, yaitu mengikuti proses perjalanan penyakit
ke arah belakang. Oleh sebab itu penelitian ini memiliki tingkat kekuatan analisis
yang lebih lemah jika dibandingkan dengan penelitian cohort. Kemudian adanya
faktor-faktor lain yang tidak diteliti, seperti status gizi, kemiskinan, lingkungan
tempat tinggal, dan kerja pasien yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.
Kelemahan penelitian ini disebabkan peneliti memiliki keterbatasan dari segi
waktu, tenaga, dan materi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Terdapat hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus
sebagai faktor risiko, di mana penderita diabetes melitus berisiko menderita
tuberkulosis paru 3,3 kali lebih besar dibanding dengan yang tidak menderita
diabetes melitus.
B. Saran
Setelah dilakukan penelitian tentang hubungan antara tuberkulosis paru
dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko di BBKPM Surakarta maka
peneliti memberikan beberapa saran, antara lain:
1. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
bagi masyarakat untuk meningkatkan upaya pencegahan penyakit
tuberkulosis paru terutama pada pasien yang telah menderita penyakit
diabetes melitus.
2. Perlunya penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan hasil penelitian
dengan tingkat kepercayaan dan kekuatan analisis yang lebih tinggi yaitu
dengan menambah jumlah sampel dan menggunakan jenis penelitian
cohort. Serta perlunya penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang
belum diteliti, seperti status gizi, kemiskinan, lingkungan tempat tinggal,
dan kerja pasien.
commit to user
55
Download