27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Umum Latosol Tanah Latosol tergolong tanah yang subur. Tanah Latosol merupakan tanah yang umum terbentuk di daerah tropika basah sehingga dapat digunakan untuk pertanian meskipun dibawah tekanan curah hujan tinggi yang dapat menyebabkan tanah sulit diolah (Hardjowigeno, 1985). Latosol memiliki lapisan tanah atas berwarna coklat tua, liat, berstruktur remah-agak gumpal, dan memiliki sifat konsistensi gembur-agak teguh. Lapisan bawah coklat kemerahan, liat, remah, dan gembur (Soepardi, 1983). Pada umumnya Latosol mempunyai tingkat perkembangan sedang, stabilitas agregat tinggi, nisbah debu terhadap liat rendah, permeabel, gembur, lekat, dan plastis. Tanah latosol merupakan tanah dengan tekstur halus dengan bobot isi 1.0 g/cm3 atau kurang (Soil Survey Staff, 1994). Fraksi liat ini biasanya didominasi oleh kaolinit. Tanah Latosol mengalami erosi yang sedikit, terutama pada tanah pertanian (Soepraptoharjo, 1975). Tanah Latosol mempunyai kemasaman yang rendah dengan pH 4-5, yang menyebabkan cepat membusuknya bahan organik dan pembebasan segera basabasa yang terdapat dalam senyawa organik. Biasanya Latosol yang terbentuk dibawah vegetasi alamiah tidak terlalu masam. Walaupun basa yang ada rendah, Latosol dapat relatif mempertahankan persentase kejenuhan yang tinggi. (Soepardi, 1983). 2.2. Mulsa Mulsa adalah berbagai macam bahan seperti sisa tanaman, jerami, serbuk gergaji, daun, susunan batu, lembaran plastik tipis dan sebagainya, yang dihamparkan di permukaan tanah. Menurut Soepardi (1983) setiap bahan yang dipakai pada permukaan tanah untuk menghindari kehilangan air melalui penguapan atau untuk menekan pertumbuhan gulma dapat dianggap sebagai mulsa. 28 4 2.2.1. Jenis Mulsa Berdasarkan asal bahannya, mulsa dapat dikelompokkan sebagai mulsa alami dan mulsa buatan. Mulsa alami terutama mulsa bonggol tanaman. Bonggol tanaman merupakan bahan tanaman sisa panen yang tertinggal dalam tubuh tanah, seperti yang ditemukan pada tanaman padi, jagung dan lain-lain. Tertinggalnya bonggol ini karena adanya kesulitan pengambilan waktu panen atau sengaja ditinggal di dalam tanah. Mulsa buatan meliputi bahan mulsa baik berupa tanaman pupuk hijau, sisa-sisa panen, bahan kimia, maupun limbah lainnya yang sengaja dikembalikan ke lahan melalui praktek pemulsaan (Purwowidodo, 1983). Dalam perlakuan atau kegiatan pemulsaan harus diperhatikan bahan-bahan sisa atau serasah yang akan digunakan. Pemakaian bahan-bahan sisa tanaman yang cepat membusuk memerlukan penggantian sesering mungkin (Kartasapoetra, 1989). 2.2.2. Peranan Mulsa Mulsa memberikan simulasi pengaruh penutup tanah. Mulsa dapat digunakan sebagai penutup tanah atau dapat dicampur dengan tanah. Sebagai penutup tanah mulsa lebih efektif dalam melindungi tanah dari dampak langsung butiran air hujan. Namun, jika mulsa dicampur dengan tanah, mulsa akan terurai cepat dan membantu untuk membuat tanah lebih subur (Kohnke dan Bertrand, 1959). Menurut Suripin (2002), penggunaan mulsa dapat meningkatkan kemantapan struktur tanah, meningkatkan kandungan bahan organik, dan dapat mengendalikan tanaman pengganggu. Dengan pemulsaan serasah yang membusuk akan meningkatkan aktivitas fauna tanah, dan menyebabkan terbentuknya poripori makro dalam tanah, yang dapat pula menyebabkan adanya perbaikan tata air dalam tanah. Menurut Kohnke dan Bertrand (1959), penggunaan mulsa dapat mempengaruhi kondisi fisik, kimia, dan biologis tanah. Pengaruh mulsa bagi sifat fisik tanah yaitu mengurangi dampak langsung butiran air hujan, mengurangi limpasan dan erosi, mengurangi pemadatan, mengurangi dampak erosi angin dan air, fluktuasi yang lebih kecil dalam kelembaban dan suhu tanah, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan porositas, meningkatkan kapasitas menahan air, 529 meningkatkan kapasitas infiltrasi, dan mengurangi penguapan. Sedangkan pengaruh biologis dari pemakaian mulsa yaitu dapat meningkatkan populasi serangga, termasuk cacing tanah dan hewan pengerat. Menurut Seta (1987) ada berbagai macam cara penempatan mulsa yang biasa dilakukan yakni dengan disebar merata, ditempatkan dalam jalur, dan ditempatkan dalam saluran. Cara penempatan bahan mulsa dengan disebar merata sangat efektif untuk melindungi permukaan tanah dari daya rusak butir hujan serta mengurangi aliran permukaan. Penempatan mulsa dalam jalur sangat efektif untuk mengendalikan temperatur tanah dan juga kesarangan tanah. Adanya mulsa di saluran-saluran akan mampu menyimpan air dan memberikannya ke tanaman yang akan diusahakan. Penggunaan mulsa sisa-sisa tanaman lebih baik dibandingkan dengan penggunaan mulsa plastik, karena mulsa plastik hanya mampu mengurangi penguapan air dari tanah, menekan hama dan penyakit serta gulma tetapi tidak memberikan unsur hara pada tanah karena tidak terjadi proses dekomposisi. Sedangkan penggunaan mulsa sisa-sisa tanaman selain pengaruhnya sama seperti mulsa plastik, mulsa sisa tanaman dapat memberikan unsur hara bagi tanah dengan pemberian sisa tanaman akan terjadi proses dekomposisi yang dapat membuat tanah lebih subur. Menurut Sinukaban (1986) mulsa harus menutup permukaan tanah paling tidak sekitar 70-75%. Jika mulsa menutupi tanah, maka mulsa ini akan sangat efektif mencegah proses pergerakan permukaan tanah, mencegah penyumbatan dan pemadatan tanah. Mulsa dapat digunakan baik pada tanah yang rusak maupun tanah yang sudah baik. Jika mulsa diberikan pada tanah yang rusak, maka mulsa akan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologis tanah tersebut, tetapi jika mulsa diberikan pada tanah yang kondisinya sudah baik, maka mulsa akan menjaga dan memelihara tanah tersebut sehingga dapat digunakan secara berkelanjutan (Ruijter dan Agus, 2004) 2.3. Sifat Fisik Tanah 2.3.1. Bobot Isi Bobot isi atau kerapatan isi (BI) tanah adalah bobot kering suatu unit volume tanah dalam keadaan utuh, dinyatakan dalam gram setiap sentimeter 30 6 kubik. Unit volume terdiri dari volume yang terisi bahan padat dan volume ruang diantaranya (Soepardi, 1983). Bobot isi tanah bervariasi dari waktu ke waktu. Bobot isi tanah bertekstur halus berkisar antara 1.0 – 1.3 g/cm3, sedangkan yang bertekstur kasar berkisar antara 1.3 – 1.8 g/cm3 (Foth, 1978). Cara pengolahan tanah mempengaruhi bobot isi. Pengolahan tanah yang intensif akan menaikkan bobot isi karena akan menekan ruang pori menjadi lebih sedikit dibanding tanah yang tidak pernah diolah. Tanah yang diolah dengan baik yaitu dengan melakukan pengolahan tanah minimum dapat mempunyai bobot isi lebih kecil dari 1.0 g/cm3. Bobot isi yang rendah baik untuk akar tanaman karena tidak terjadi pemadatan (Foth, 1978). Cara untuk menurunkan bobot isi pada tanah dengan bobot isi tinggi yaitu dengan cara penambahan bahan organik. Bahan organik mempunyai bobot isi yang rendah, karena bahan organik merangsang terjadinya granulasi sehingga menimbulkan kondisi lepas dan sarang sehingga bobot isi menjadi lebih rendah. Pada penelitian Brown dan Dicky (1970), penambahan mulsa jerami padi sebanyak 11 ton/ha dapat menurunkan bobot isi. Menurut Haridjaja (1980), bobot isi merupakan suatu faktor yang kritis dalam penentuan produktivitas tanah sebab dapat mempengaruhi daya tembus akar tanaman, pergerakan air dalam tanah, aerasi tanah, dan besarnya kapasitas panas tanah. Soepardi (1983) menyatakan bahwa bobot isi tanah dipengaruhi oleh struktur, ruang pori, dan padatan tanah, serta kandungan bahan organik. 2.3.2. Porositas Ruang pori total adalah volume dari tanah yang ditempati oleh udara dan air. Persentase volume ruang pori total disebut porositas (Foth, 1978). Porositas merupakan indikator kondisi drainase dan aerasi tanah. Tanah yang memiliki porositas yang tinggi, berarti tanah tersebut cukup mempunyai ruang pori untuk pergerakan air dan udara masuk-keluar tanah secara leluasa (Hanafiah, 2005). Tanah permukaan berpasir mempunyai ruang pori total yang lebih sedikit dibanding tanah liat dengan di dominasi oleh pori makro sehingga sangat efisien untuk pergerakan udara dan air. Persentase volume pori-pori kecil pada tanah pasir rendah yang menyebabkan kapasitas menahan airnya rendah. Sebaliknya 31 7 tanah-tanah permukaan dengan tekstur halus mempunyai ruang pori total lebih banyak dengan proporsi relatif besar tersusun oleh pori-pori kecil. Akibatnya tanah tekstur halus mempunyai kapasitas menahan air yang tinggi (Foth, 1978) Porositas sangat dipengaruhi oleh bobot isi tanah, bila bobot isi tanah berubah berarti partikel-partikel tanah didekatkan atau dijauhkan satu sama lain. Porositas tidak sama pada semua tanah, faktor yang mempengaruhi jumlah ruang pori yaitu cara dan susunan butir, tekstur, kandungan bahan organik, dan cara pengolahan tanah (Hanafiah, 2005). Bahan organik dapat menurunkan bobot isi tanah sehingga ruang pori tanah akan meningkat. Pemberian bahan organik pada tanah akan menyebabkan kondisi tanah menjadi sarang, karena bahan organik yang diberikan akan menempati ruang di antara partikel tanah sehingga tanah menjadi porous (Baver, 1956). Bahan organik yang diberikan berupa mulsa sisa tanaman mengandung berbagai macam senyawa yang akan diuraikan oleh mikroorganisme, dan membantu melekatkan partikel-partikel tanah membentuk agregat. Sehingga tanah menjadi berpori-pori, gembur, dapat menyimpan, dan mengalirkan udara dan air. Pori dalam tanah menentukan kandungan air dan udara dalam tanah serta menentukkan perbandingan tata udara dan air yang baik. Terdapat tiga jenis pori didalam tanah yaitu, pori makro, pori meso, dan pori mikro. Pori makro disebut juga pori drainase cepat yang merupakan selisih dari kadar air pada pF 1 dan kadar air pada pF 2 yaitu kondisi dimana tanah akan sulit menahan air. Pori meso yaitu pori drainase lambat merupakan selisih dari kadar air pada pF 2 dan kadar air pada pF 2.54. Pori mikro yaitu pori air tersedia yang merupakan selisih dari kadar air pada pF 2.54 yaitu kadar air lapang dan kadar air pada pF 4,2 yaitu kadar air titik layu permanen, dimana pada pori ini air mudah diambil oleh tanaman. (Foth, 1978). Menurut Baver (1956), pemberian bahan organik dapat memperbaiki struktur tanah sehingga tanah menjadi sarang yang mengakibatkan kemampuan tanah untuk menyerap air meningkat. Hal ini sejalan dengan Stevenson (1982), bahwa penambahan bahan organik pada tanah bertekstur kasar atau pasir akan menurunkan pori makro dan meningkatkan pori pemegang air. Dengan demikian dapat meningkatkan kemampuan tanah menahan air. Adapun untuk tanah 8 32 bertekstur halus, penambahan bahan organik akan menurunkan pori mikro dan meningkatkan pori yang dapat terisi udara yang artinya akan terjadi perbaikan aerasi untuk tanah liat berat. 2.4. Fauna Tanah Tanah sebagai medium pertumbuhan tanaman tidak saja terdiri atas komponen padat, cair, dan gas tetapi juga mengandung jasad hidup (biota tanah) dalam jumlah yang besar. Di dalam tanah, biota melakukan berbagai macam kegiatan yang berpengaruh terhadap kesuburan tanah, misalnya keterlibatan biota dalam proses pelapukan bahan organik, anorganik, dan atau pembentukan, serta perbaikan struktur tanah. Biota tanah adalah kumpulan jasad hidup yang menjadikan tubuh tanah sebagai ruang hidup untuk menjalankan sebagian atau seluruh kegiatan ekologisnya. Biota tanah merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dengan tubuh tanah yang berhubungan timbal balik. Biota tanah merupakan salah satu faktor pembentuk tanah yang kegiatan ekofisiologisnya mengendalikan aneka proses pedogenik tanah, antara lain melalui perombakan (mineralisasi), menghancurkan dan merombak bahan organik (humifikasi, mineralisasi) dan mencampur aduk bahan penyusun tanah (pedoturbasi) (Handayanto dan Hairiah, 2007). Fauna pada ekosistem tanah terdiri atas makro fauna dan mikro fauna. Makro fauna tanah meliputi, herbivora seperti annelida (cacing tanah), dipolopoda (kaki seribu) dan insecta (serangga), serta tikus. Ekosistem yang banyak dihuni makrofauna, menyebabkan tanah teragregasi sehingga struktur tanah menjadi remah dengan konsistensi gembur dan porositas tinggi (Hanafiah, 2005). Mulsa mempengaruhi tanah karena dekomposisi bahan organiknya. Adanya sisa tanaman memungkinkan kegiatan biologi tanah lebih besar. Peningkatan aktivitas biologi memungkinkan terbentuknya pori mikro yang lebih banyak (Suwardjo, 1981). Penggunaan mulsa mempengaruhi kehidupan fauna secara tidak langsung, yaitu melalui perubahan lingkungan yang meliputi aerasi, kelembaban, suhu, dan unsur hara (Kohnke dan Bertrand, 1959). 33 9 2.5. Jagung Manis (Zea mays var saccharata). Jagung merupakan makanan asli benua Amerika. Pada abad ke 17 jagung pertama kali datang ke Indonesia, dan sejak itu tanaman ini ditanam hampir di seluruh Indonesia, dan menjadi tanaman pangan utama kedua setelah padi (Purwono dan Hartono, 2002). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, produktifitas jagung di Indonesia terjadi peningkatan dalam tiga tahun terakhir, yaitu dari tahun 2006 sebesar 34.70 qu/ha, tahun 2007 sebesar 36.60 qu/ha, dan tahun 2008 sebesar 40.78 qu/ha (BPS, 2009). Penduduk beberapa daerah di Indonesia (misalnya di Madura dan Nusa Tenggara) menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai pakan ternak (hijauan maupun tongkolnya), diambil minyaknya (dari biji), dibuat tepung (dari biji, dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri (dari tepung biji dan tepung tongkolnya), serta bahan farmasi dari jagung yang telah direkayasa secara genetik (Agro Media, 2007). Jagung merupakan tanaman semusim yang memiliki akar serabut, dan memiliki dua siklus pertumbuhan, yakni siklus pertama merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan siklus kedua merupakan tahap pertumbuhan generatif. Tanaman jagung dapat tumbuh di dataran rendah hingga tinggi, karena tanaman ini sangat toleran dengan iklim di Indonesia. Tanaman jagung sangat membutuhkan sinar matahari untuk masa pertumbuhan. Jagung termasuk tanaman yang membutuhkan air dalam jumlah cukup banyak, terutama saat pertumbuhan awal, saat berbunga, dan saat pengisian biji (Purwono dan Hartono, 2002). Jagung termasuk tanaman yang tidak memerlukan persyaratan tanah yang khusus dalam penanamannya, dan dapat tumbuh dilahan kering, sawah, pasang surut, asal syarat tumbuh yang diperlukan terpenuhi. Lahan tanaman yang baik untuk menanam jagung yaitu lahan kering yang berpengairan cukup. Tanah bertekstur lempung atau liat berdebu merupakan jenis tanah terbaik untuk pertumbuhan tanaman jagung. Tanaman jagung baik ditanam pada tanah dengan pH 5,5-7,0, dan pH optimal adalah 6,8. Kemiringan tanah yang optimum untuk tanaman jagung maksimum 8% (Purwono dan Hartono, 2002). 3410 Mulsa disamping berpengaruh terhadap sifat fisik dan biologi tanah, juga berpengaruh terhadap produksi tanaman karena terciptanya kondisi tanah yang baik untuk perkembangan akar tanaman dan dapat menekan pertumbuhan gulma sehingga mengurangi persaingan dalam memanfaatkan unsur hara dan air dari tanah. Menurut Suwardjo (1981) sisa tanaman yang diberikan lambat laun akan terdekomposisi (terjadi mineralisasi) yaitu perubahan bentuk organik menjadi anorganik sehingga unsur hara yang dilepaskan akan menjadi tersedia untuk tanaman.