menjaga hiu dan pari indonesia sampai tahun 2040

advertisement
Tulisan ini di upload 30 September 2007 dan sudah menjadi rujukan banyak orang.
Pandangan ilmiah ini merupakan bentuk kerisauan hati Dr. Priyanto Rahardjo,M.Sc.
terhadap ancaman eksploitasi yang berlebihan dan pengelolaan hiu dan pari di Indonesia.
Pemikiran ilmiah tersebut, menjadi sangat relevan pada saat ini, karena terbukti beberapa
jenis hiu dan pari di Indonesia masuk dalam daftar merah CITES Tahun 2013.
Pesan moral ilmiah yang mudah dipahami dari pemikiran Priyanto adalah Indonesia
sangat memerlukan bentuk pengelolaan baru hiu dan pari yang sangat serius. Priyanto
kini sudah menjadi tua, marilah kita generasi muda ikut memikirkan dan menjaga
sumberdaya perikanan kita.
Tim Lab.SDI-STP
MENJAGA HIU DAN PARI INDONESIA SAMPAI TAHUN 2040 *)
Dr. Priyanto Rahardjo, MSc.
Lab. Fisheries Resources, Jakarta Fisheries University
email : [email protected]
twitter : @labsdi_stp
Ringkasan
Hiu dan pari dari perairan laut Indonesia adalah bisnis besar yang tersembunyi.
Bayangkan harga satu kilogram sirip mencapai 660 US$ di pasaran Asia, nilai ekspor produk
ini mencapai 13 juta US$ setiap tahun. Jika bangsa Indonesia dapat memanfaatkannya secara
arif dan bijaksana, sumberdaya ini dapat menjadi salah satu pilar pembangunan ekonomi
nasional secara berkelanjutan, menuju Indonesia yang maju, makmur, mandiri, dan
berkeadilan.
Sumberdaya hiu dan pari di perairan laut nusantara merupakan anugerah bagi bangsa
Indonesia. Sumberdaya ini dapat diperbaharui (renewable resources), namun jika salah dalam
memanfaatkannya dan sumberdaya ini terancam punah (kolap), maka pemulihannya akan
memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang sangat mahal. Pemanfaatan secara arif dan
bijaksana
sangat
diperlukan,
agar
sumberdaya
ini
dapat
diwariskan
secara
berkesinambungan antar generasi.
Sifat biologi ikan hiu dan pari (Elasmobranchii) yang tumbuh lamban, berumur
panjang, matang seksual pada umur relatif tua dan hanya menghasilkan sedikit anak, sifatsifat seperti itu membuat hiu dan pari sangat sensitif terhadap penangkapan berlebihan (FAO,
2000). Eksploitasi perikanan hiu dan pari di perairan Indonesia bersifat multi spesies dan
*) Publish in September 30, 2007 at http://begawanlaut.blogspot.com/
multi gear. Mengingat harga komoditi perikanan hiu dan pari yang tinggi, maka banyak
nelayan yang memburu ikan ini sebagai hasil tangkapan utama. Nelayan Indonesia hampir
memanfaatkan seluruh bagian dari hiu dan pari, misalnya daging untuk konsumsi, sirip untuk
komoditas ekspor, kulit untuk disamak, hati untuk diambil minyaknya, tulang untuk bahan lem
atau bahkan sebagai bahan baku obat penghambat pertumbuhan sel ganas dalam tubuh
manusia.
Tantangan terbesar bagi perikanan hiu dan pari Indonesia adalah bagaimana
membuat model pengelolaan hiu dan pari secara berkelanjutan, yang mampu menjamin agar
kelestarian sumberdaya laut ini dapat diwariskan secara berkesinambungan antar generasi
sampai tiga puluh tahun kedepan. Sedangkan peluang pengelolaan terbaik untuk perikanan
hiu dan pari adalah penerapan strategi pengelolaan sumberdaya yang sesuai dengan prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Pemanfaatan Perikanan Hiu Dan Pari
FAO Newsroom (7 juni 2005) menjelaskan banyak penduduk miskin dunia bergantung
dari ikan, tiga puluh delapan persen produk perikanan merupakan perdagangan internasional
(nilainya US$60 billion), dan sumbangan dari negara berkembang yang mengekspor produk
ikannya mencapai 55 % dari total (hiu dan pari merupakan koditi utama). Nilai ekspor produk
perikanan dari negara berkembang jauh lebih tinggi dibandikan komoditas teh, kopi dan beras,
apakah ini peluang atau resiko? Jawabannya adalah bagaimana menerapkan pengelolaan yang
bertanggung jawab menjadi sangat penting (responsible management is so important).
Selanjutnya FAO Newsroom (5 Maret 2007) melaporkan bahwa perlu perhatian sangat serius
terhadap kondisi sumberdaya perikanan laut. Hasil pemantauan FAO menunjukan bahwa 25 %
sumberdaya perikanan laut sudah kelebihan tangkap (over exploited). Perhatian paling serius
ditujukan pada ikan yang beruaya jauh dan merupakan stok bersama antar berbagai negara
seperti hiu oseanik. Sebanyak 66 % sumberdaya ikan laut yang menjadi stok bersama berbagai
negara sudah dalam kondisi kelebihan tangkap, bahkan cadangan stoknya di laut bebas sudah
sangat menipis (depleted). Akhirnya secara umum FAO melaporkan bahwa dari 600 jenis ikan
laut yang dieksploitasi di dunia dalam kondisi 3% (under exploited) ; 20 % (moderately
exploited); 52 % (fully exploited); 17 % (over exploited); 7% (depleted); dan 1 % (recovering
from depletion).
Pertemuan pertama kali dari lima organisasi manajemen perikanan regional (RFMO,
Regional Fisheries Management Organisation) yang dihadiri IOTC, CCSBT, WCOFC, ICCAT
*) Publish in September 30, 2007 at http://begawanlaut.blogspot.com/
dan IATTC pada Januari 2007 di Kobe, Jepang dengan tujuan membahas pentingnya
peningkatan manajemen penangkapan dan perdagangan produk hasil laut. Hasil pertemuan
secara umum menyoroti kegagalan anggota RFMO memenuhi kewajiban mereka sendiri,
sampai saat ini Indonesia belum masuk anggota RFMO. Seperti yang telah ditetapkan
masyarakat international, RFMO diharapkan mencegah eksploitasi yang berlebihan,
pengkayaan kembali stok ikan yang telah menipis, atau melindungi ekosistem kelautan secara
lebih luas. Isu sangat penting dari pertemuan ini adalah bagaimana mengurangi tangkapan
sampingan yang berupa hiu pada penangkapan tuna secara regional. Kepedulian internasional
terhadap hiu dan pari (Elasmobranchii) diwujudkan oleh Badan Pangan dan Pertanian PBB
(FAO) melalui pengembangan IPOA (International Plan of Action) mengenai hiu dan pari.
Rencana tersebut mengharuskan negara-negara yang melakukan penangkapan hiu dan pari
untuk melaksanakan pengkajian reguler terhadap sumberdaya ini, dan bila perlu mengambil
langkah-langkah pengelolaan untuk melindungi spesies atau stok yang terancam
keberadaannya (FAO, 2000). Namun ternyata hampir semua negara anggota RMFO gagal
dalam menerapkan IPOA sharks (hiu dan pari).
Hiu dan pari adalah salah satu ikan dilaut yang sangat luar biasa. Hiu adalah perenang
ulung jarak jauh dan merupakan predator tertinggi. Hiu dan pari yang sangat berharga ini di
temukan sepanjang lautan Atlantik, Pasifik, Samudera Hindia dan lautan sekitarnya. Tetapi
dunia perikanan hiu dan pari mengalami sejumlah persoalan umum mendesak yang
mengancam keberadaan, kelestarian mereka dan membahayakan ekosistem yang lebih luas.
Para ilmuwan terbaik dunia memperingatkan, tanpa tindakan tegas, kebanyakan populasi hiu
dan pari akan menurun pada tingkat yang membahayakan dalam satu dekade. Hiu dan pari
adalah bisnis besar bagi bangsa Indonesia, bayangkan harga sirip mencapai 660 US$ per
kilogram di pasaran Asia. Perairan laut Indonesia merupakan negara yang paling banyak
menangkap hiu dan pari (100 000 ton) dengan nilai ekspor produk hiu sebesar US $ 13 juta
(FAO, 2000). Nelayan hampir memanfaatkan seluruh bagian dari hiu dan pari, misalnya daging
untuk konsumsi, sirip untuk komoditas ekspor, kulit untuk disamak, tulang untuk bahan lem,
bahkan sebagai penghambat pertumbuhan sel ganas dalam tubuh manusia.
Pemanfaatan sumberdaya perikanan hiu dan pari di perairan Indonesia sudah
berlangsung secara turun temurun, mulai dari zaman Majapahit, penjajahan Belanda, Jepang
dan sampai sekarang (setelah era kemerdekaan Indonesia). Catatan resmi pemanfaatan
sumberdaya perikanan laut dalam bentuk statistik perikanan dimulai pada tahun 1975.
Walaupun masih banyak kekurangannya, namun statistik ini sangat bermanfaat sebagai
*) Publish in September 30, 2007 at http://begawanlaut.blogspot.com/
langkah awal dalam pengelolaan perikanan laut. Statistik perikanan Indonesia selama tiga
puluh tahun terakhir (1975–2005) menunjukkan produksi ikan hiu dan pari nasional mengalami
fluktuasi (antara 47000 ton sampai 105.000 ton), dan hasil tangkapan tertinggi terjadi pada
tahun 1999 (105.000.ton). Namun secara umum laju tangkapan hiu dan pari mengalami
penurunan dari tahun-ke tahun. Sejak tahun 1975 sampai sekarang, statistik perikanan
Indonesia mencatat hiu dan pari hanya dalam dua jenis, sedangkan kenyataanya jumlah jenis
hiu dan pari mencapai 197 spesies (30 jenis telah dieksploitasi secara intensif dan komersil).
Kegiatan penangkapan hiu dan pari berlangsung sepanjang tahun. Musim penangkapan secara
spesifik belum dapat di tentukan kecuali berdasarkan data bulanan produksi ikan yang
didaratkan di pelabuhan perikanan. Sebagai contoh, puncak penangkapan hiu di Indonesia barat
adalah bulan April.
Perikanan hiu dan pari terdiri dari beragam jenis ikan (multi species) dan ditangkap oleh
berbagai alat tangkap (multi gear) di perairan Indonesia. Kegiatan pemanfaatan (penangkapan)
sumberdaya hiu dan pari (Elasmobrancii) di perairan Indonesia sudah berkembang sejak tahun
1970. Walaupun hiu dan pari adalah hasil tangkapan sampingan dari berbagai alat tangkap,
namun tingkat pemanfaatannya sudah intensif. Hal ini terlihat dari laju hasil tangkapan per unit
kapal, dan penurunan produksi (Statistik Perikanan Indonesia 1975 - 2005). Selain itu, telah
terjadi penurunan keanekaragaman sumberdaya yang ditandai dengan hilangnya jenis
Pristidae. Jenis alat tangkap yang menangkap ikan hiu dan pari dalam jumlah yang banyak
adalah jaring liongbun, jaring insang dasar mata kecil, jaring trammel, jaring arad, jaring insang
hanyut
tuna,
pancing
senggol,
rawai
dasar,
rawai
tuna,
dan
bubu.
Sampai saat ini, pemanfaatan sumberdaya hiu dan pari di Indonesia baik untuk konsumen lokal
maupun ekspor masih dalam bentuk sumber pangan manusia. Sedangkan arah pemanfaatan
hasil perikanan laut di negara maju diperuntukan pada kesehatan, bahan baku farmasi (obatobatan), kosmetika, suvenir dll. Perbedaan berbagai bentuk pemanfaatan produk perikanan laut
ini jelas membuatnya memiliki nilai tambah yang lebih tinggi jika hanya digunakan sebagai
sumber pangan manusia.
Potensi Perikanan Hiu Dan Pari
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia (1,9 juta Km2)
tersebar pada sekitar 17.500 buah pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas (sekitar 5,8
juta Km2). Panjang garis pantai yang mengelilingi daratan tersebut adalah sekitar 81.000 km,
yang merupakan garis pantai tropis terpanjang didunia atau terpanjang kedua didunia setelah
*) Publish in September 30, 2007 at http://begawanlaut.blogspot.com/
Kanada. Secara geografis laut Indonesia terletak diantara Samudera Pasifik dan Samudera
Hindia, antara benua Asia dan Australia, termasuk didalamnya paparan Sunda di bagian barat
dan paparan Sahul di bagian timur. Sejak tahun 2000 laut kita dikenal dunia sebagai the coral
triangle atau segitiga perairan karang yang diyakini menyimpan potensi sumberdaya
(keanekaragaman) hayati tertinggi di dunia. Tingginya keanekaragaman hayati tersebut bukan
hanya disebabkan oleh letak geografis yang sangat strategis, melainkan juga dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti variasi iklim musiman, arus atau masa air laut yang dipengaruhi dua
Samudera, serta keragaman tipe habitat dan ekosisistem didalamnya. Potensi keanekaragaman
hayati di wilayah lautan Indonesia, baik dalam bentuk spesies, ekosistem dan genetik
merupakan aset yang sangat berharga untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia.
Pengertian sederhana potensi keanekaragaman spesies dilaut adalah banyaknya jenis dan
jumlah ikan di laut yang sering dikenal dengan potensi perikanan laut. Sebagai contoh, untuk
negara ASEAN yang memiliki jumlah spesies ikan terbanyak adalah Indonesia (3213 spesies),
Filipina (2824 spesies), Malaysia (1102 spesies), selangkan lima negara ASEAN lainnya
memiliki jumlah spesies ikan dibawah 1000 jenis. Jumlah spesies ikan hiu dan pari diseluruh
perairan Indonesia diperkirakan mencapai 197 jenis, selanjutnya sebanyak 142 jenis telah
dikenali secara pasti, dan tiga puluh jenis telah dieksploitasi secara komersil. Pertanyaan
mendasarnya adalah apakah potensi perikanan hiu dan pari Indonesia turun dari waktu kewaktu
karena tekanan eksploitasi penangkapan? Belum banyak kajian tentang potensi perikanan hiu
dan pari Indonesia, namun demikian jika dilihat dari data menyeluruh selama 30 tahun
kebelakang, dapat disimpulkan bahwa potensi perikanan laut Indonesia tidak berubah. Artinya
tekanan eksploitasi penangkapan ikan dan faktor lainnya masih seimbang dengan daya dukung
sumberdaya perikanan hiu dan pari. Hal ini disebabkan oleh mayoritas nelayan kita yang
mengeksploitasinya masih mengikuti kaidah penangkapan ikan yang bertanggung jawab (Code
of Conduct of Resposible Fishing, FAO). Walaupun ada sebahagian kecil nelayan kita yang
menggunakan alat yang merusak lingkungan.
Pada tahun 1997 para ahli perikanan laut Indonesia bersepakat mendirikan Komisi
Nasional Stok Assessment/KNSA (penulis merupakan salah seorang penggagas, dan duduk
sebagai sekretaris 1997-1999) dengan tujuan untuk mengevaluasi potensi perikanan laut secara
berkala demi menjaga kelestarian sumberdayanya. Untuk menyederhanakan dan memudahkan
informasi, potensi perikanan laut dapat dibagi dalam sembilan wilayah oleh team KNSA
(Gambar 1). Pembagian ini tentu dengan mempertimbangkan berbagai aspek potensi
keanekaragaman hayati di wilayah laut Indonesia, baik dalam bentuk spesies, ekosistem dan
*) Publish in September 30, 2007 at http://begawanlaut.blogspot.com/
genetik. Kondisi potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan hiu dan pari saat ini
menunjukan bahwa sebahagian besar belum dimanfaatkan secara optimal. Wilayah yang telah
di manfaatkan secara penuh umumnya pada daerah pantai oleh nelayan skala kecil dan
menengah. Lokasi yang sudah dimanfaatkan secara berlebihan (over fishing) ternyata hanya 15
% dari keseluruhan wilayah yang tersedia. Sedangkan beberapa wilayah lainnya belum
dimanfaatkan secara optimum (Tabel 1).
Peluang Pengelolaan Terbaik
Tantangan terbesar perikanan hiu dan pari saat ini sampai tiga puluh tahun mendatang
(tahun 2040) adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya ini secara cerdas namun
kelestariannya tetap terjaga, baik dalam bentuk spesies, ekosistem dan genetik. Mengingat
sumberdaya perikanan hiu dan pari adalah sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable
resources) dan potensinya sangat besar, maka jika kita dapat mengelola pemanfaatannya secara
arif dan bijaksana, sumberdaya ini dapat menjadi salah satu pilar pembangunan ekonomi
nasional secara berkelanjutan, menuju Indonesia yang maju, makmur, mandiri, dan
berkeadilan.
Ancaman kepunahan ternyata bukan hanya untuk cucut dan pari, tetapi juga jenis ikan
yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Ancaman ini serius untuk cucut dan pari, mengingat
waktu pemulihan sumberdaya ini akan sangat panjang dan mahal (Musick, 1999). Berbagai
dokumentasi tentang kasus kepunahan jenis cucut dan pari misalnya cucut jenis Lamna nasus
di perairan Atlantik Utara (Anderson, 1990; Compana et al., 2001), cucut jenis Galeorhinus
galius di California dan Australia, cucut botol (Squalus acanthias) di Laut Utara dan British
Colombia (Holden, 1968; Ketchen, 1986; Hoff dan Musick, 1990), dan beberapa jenis cucut di
pantai Timur Amerika (NMFS, 1999). Berbagai alasan penurunan sumberdaya cucut dan pari
dari perikanan, mulai dari penurunan stok sampai kendala ekonomi atau pemasaran (Ketchen,
1986; Myklevoll, 1989; Bonfil, 1994). Pada umumnya pemulihan sumberdaya cucut dan pari
memerlukan waktu yang panjang, sebagai gambaran perikanan cucut di perairan California
yang tidak dapat pulih kembali setelah 50 tahun yang lalu mengalami kepunahan akibat
penangkapan yang berlebihan (Musick, 2004).
Langkah sederhana adalah bagaimana memberi kesadaran pada masyarakat bahwa
sumberdaya perikanan hiu dan pari kita memiliki nilai manfaat yang luar biasa, oleh karena itu
menjadi tanggung jawab kita bersamam untukt menjaganya terutama ekosistemnya. Kerusakan
*) Publish in September 30, 2007 at http://begawanlaut.blogspot.com/
ekosistem yang disebabkan berbagai kepentingan akan berdapak besar terhadap sumberdaya
hiu dan pari yang ada didalamnya.
Peluang pengelolaan terbaik untuk perikanan hiu dan pari adalah penerapan strategi
pengelolaan sumberdaya perikanan hiu dan parit sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). Sebagai contoh: Untuk sumberdaya perikanan hiu
dan pari yang hidup di pantai, tingkat pemanfaatan di tiap wilayah dapat dilakukan sampai
tingkat pemanfaatan penuh (fully exploited). Namun untuk ikan hiu dan pari yang hidup pada
berbagai perairan (pantai, perairan karang dan laut bebas) dan memiliki karaktersitik berumur
panjang, laju pertumbuhan lambat dan beruaya jauh, pemanfaatan di tiap wilayah harus
dilakukan hanya pada tingkat pemanfaatan sedang (moderate exploited). Sedangkan
sumberdaya hiu pada perairan dalam (laut jeluk) tingkat pemanfaatanya sebaiknya hanya pada
tingkat rendah (under exploited). Dengan menerapkan strategi ini, maka keberlanjutan
pemanfaatan
sumberdaya
hiu
dan
pari
dapat
dilakukan
sampai
tahun
2040.
Akhirnya kami tutup dengan pepatah lama yang berbunyi “sampai akhir zaman, budaya
melayu tak akan hilang ditelan bumi”. Demikian juga untuk pepatah ikan hiu dan pari
“Walaupun diterjang gelombang tsunami, hiu dan pari tak akan hilang dari lautan ibu
pertiwi”
Gambar 1. Sembilan Wilayah Pengelolaan Perikanan di Indonesia
Keterangan:
1=Malacca Strait, 2= South China Sea, 3=Java Sea, 4= Flores Sea, 5= Banda Sea, 6= Maluku Sea,
7=Celebes Sea and Pacific Ocean, 8=Arafura Sea, 9= Indian Ocean
*) Publish in September 30, 2007 at http://begawanlaut.blogspot.com/
Table 1. Status Perikanan Hiu dan Pari menurut Wilayah Pengelolaan
Sumber : Analisa dari berbagai Kajian Ilmiah Perikanan Tahun 1975-2007
Keterangan:
U : Eksploitasi rendah (Under exploited)
M : Eksploitasi sedang (Moderate)
UN: Belum dievaluasi (Uncertain)
F: Eksploitasi penuh (Fully exploited)
O: Eksploitasi berlebih (Over fishing)
*) Publish in September 30, 2007 at http://begawanlaut.blogspot.com/
Download