BAB VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A

advertisement
280
BAB VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Kepolisian merupakan institusi formal representasi negara yang pertama kali harus
dihadapi anak yang dituduh telah melakukan tindak pidana (anak yang berhadapan dengan
hukum/children in conflict wit h the law) ketika harus bersentuhan dengan policy in action
penanganan anak yang berhadapan dengan hukum pada saat itu (Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997). Untuk menegakkan sistem peradilan tersebut, polisi berwenang melak ukan
penyidikan (pasal 41 dan pasal 42), penangkapan , dan penahanan (pasal 43 hingga pasal 52 ),
sedang jaksa melakukan penuntutan ( pasal 53 dan pasal 54 ), hakim melakukan pemeriksaan
di sidang pengadilan ( pasal 55 hingga pasal 58 ), dan pemidanaan ( pasal 22 hingga pasal
32), serta aparat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memberi perlakuan selama
pemidanaan (pasal 60 hingga pasal 64) . Kenyataan ini menempatkan anak pada situasi
rawan terhadap perampasan hak -hak mereka, karena sejak penangka pan hingga menjal ani
hukuman se nantiasa berhadapan dengan institusi yang mem punyai kewenangan monopoli
eksklusif untuk membuat dan menggunakan instrumen represi secara legal dan terlegitimasi,
yakni negara.
Dalam konteks penyidikan terhadap perkara anak yang berhadapan dengan hukum,
the United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (the
Beijing Rules) yang telah ditetapkan berlaku di Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor
36 Tahun 1990, menggariskan bahwa kepolisian juga memiliki kewenangan diskresi untuk
meneruskan atau tidak meneruskan atau mengalihkan ( diversion) suatu perkara, khususnya
281
perkara anak, agar tersangka anak tidak perlu terampas haknya, baik untuk hidup, untuk
tumbuh dan berkembang, untuk mendapat perlindungan, dan untuk be rpartisipasi, serta tidak
perlu menjalani pengadilan formal . Ikhwal ini semata-mata untuk mengedepankan prinsip
kepentingan terbaik bagi anak ( the principle of the best interests of the child ) tanpa kehilangan
maknanya sebagai penanganan pelaku tindak kriminal. Lebih -lebih dalam konteks Pendekatan
Berbasis Hak (Rights Based Approach ), anak yang berhadapan dengan hukum merupakan
Pemegang Hak (Rights Holders), yang hak-haknya harus selalu dihormati, dilindungi, dan
dipenuhi oleh negara beserta agen -agennya selaku Pelaksana Kewajiban ( Duty Bearers ),
antara lain pemerintah pusat, parlemen, pemerintah daerah, polisi, pengadilan, dan lain -lain
yang memberi pelayanan publik atas nama negara (Ljungman, 2004). Namun kewenangan
ini tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara RI, bahkan d alam undang-undang ini juga tidak di ketemukan ketentuan yang secara
khusus mengatur tindakan serta metode penanganan ana k yang berhadapan dengan hukum .
Kenyataan ini memposisikan institusi kepolisian, terutama bagi aparat polisi yang
bertugas melaksanakan penyidikan terhadap perkara anak yang berhadapan dengan hukum
sebagai Pelaksana Kewajiban pada garda terdepan (Street-Level Duty Bearers ), pada situasi
dilematis antara keinginan untuk responsif terhadap kebutuhan l apangan dengan keinginan
untuk memastikan membuat keputusan secara benar berdasarkan kebijakan ya ng berlaku.
Permasalahan ini berkaitan dengan dinamika policy in action mengenai penanganan anak
yang berhadapan dengan hukum, terutama dalam pelaksanaan penyidikan terhadap perkara
anak oleh aparat polisi.
Penelitian ini berupaya memahami bentuk -bentuk realitas sosial produk kesadaran,
hasil pemikiran, sikap, dan perilaku subyektif aparat polisi dalam memenej situasi dilematis
yang dihadapi terkait dengan pelaksanaan tugas mereka , terutama menyangkut pemahaman
282
mengenai prinsip -prinsip perlindungan anak untuk mengetahui lebih mendalam mengenai
kecenderungan penyikapan aparat polisi beserta faktor yang mendasari upaya pembuatan
keputusannya dalam penyidikan perka ra anak yang berhadapan dengan hukum. Informasi
ini diharapkan dapat mengungkap kenyataan yang lebih dalam lagi mengenai kemampuan
birokrat dan kondusivitas birokrasi kepolisian terkait dengan penerapan kewenangan diskresi
dalam pelaksanaan penyidikan perkara anak yang berhadapan dengan hukum. Secara teknis
penelitian ini berupaya memahami serangkaian pembuatan keputusan yang dilakukan polisi
menyangkut pelaksanaan penyidikan perkara an ak yang berhadapan dengan hukum, yakni
pembuatan keputusan penentuan pel aksana penyidikan oleh pimpinan dan pelaksana tugas
pokok Polres Sleman , pembuatan keputusan penentuan pendekatan p enyidikan dan penentuan
pendekatan penyelesaian perkara anak oleh pelaksana tugas teknis pen yidikan di lingkungan
kerja Polres Sleman.
1. Pemahaman polisi mengenai prinsip-prinsip perlindungan anak yang berhadapan dengan
hukum
Dalam penelitian ini terungkap bahwa pelaksanaan penyidikan terhadap perkara
anak di wilayah kerja Polres Sleman tidak serta-merta menjadi porsi tugas Unit Pelayanan
Perempuan dan Anak (PPA) yang telah dikenal sebagai leading sector bagi penanganan
setiap perkara yang melibatkan ka langan perempuan dan anak, baik sebagai tersangka,
korban, maupun saksi. Tiga kasus perkara anak yang menjadi materi pokok kajian dalam
penelitian ini, masing-masing disidik oleh Unit Kejahatan dengan Kekerasan (Jatanras)
Satreskrim Polres Sleman, Unit PPA Satreskrim Polres Sleman, dan Unit Reskrim Polsek
Depok Barat. Sementara prinsip-prinsip perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum
belum dipahami secara merata oleh setiap polisi pelaksana penyidikan perkara anak yang
berhadapan dengan hukum.
283
Pada kalangan pelaksana penyidikan perkara anak, aparat polisi di lingkungan
Unit PPA Polres Sleman relatif lebih memahami mengenai prinsip -prinsip perlindungan
anak yang berhadapan dengan hukum . Kondisi ini sebagai dampak intensitas penugasan
mereka untuk mewakili institusi Polres Sleman dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh
komunitas peduli perempuan dan komunitas peduli anak di tingkat kabupaten, propinsi,
bahkan di tingkat nasional berupa pelatihan , seminar, lokakarya, workshop, pembahasan,
sosialisasi, case conference , bedah kasus, uji publik, dan lain -lain. Keikutsertaan dalam
berbagai kegiatan tersebut mampu membuka wawasan, bahkan mampu mening katkan
pemahaman aparat polisi di lingkungan Unit PPA terh adap prinsip-prinsip perlindungan
perempuan dan anak, tidak terkecuali permasalahan penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum. Pemahaman mengenai prinsip-prinsip perlindungan anak yang berhadapan
dengan hukum, antara lain menyangkut pemahaman mengenai terminologi anak yang
berhadapan dengan hukum, pemahaman mengenai karakter spesifik tindak kriminal anak ,
pemahaman mengenai hak -hak anak yang be rhadapan dengan hukum, dan pemahaman
mengenai model -model penanganan anak yang berhadapan dengan hukum.
Aparat polisi yang bertugas di lingkungan Unit PPA memahami prinsip -prinsip
perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum sebagai perlakuan khusus terhadap
anak berusia di bawah 18 tahun yang secara kebetulan berurusan dengan aparat penegak
hukum (polisi, jaksa, dan/atau hakim) karena keterlibatannya dalam kasus tindak pidana
tertentu, baik sebagai tersangka, korban maupun saksi. Menurut mereka perlakuan khusus
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sangat diperlukan, karena saat itu darah,
tubuh, dan jiwa anak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan sangat pesat ,
sehingga yang bersangkutan senantiasa dalam kondisi labil memasuki masa-masa rawan
dalam siklus kehidupan manusia . Sementara unit kerja lain tidak melihat perbedaan yang
284
signifikan antara perlakuan terhadap perkara pidana anak dengan perlakuan terhadap
perkara pidana umum yang dilakukan oleh orang dewasa.
Jajaran polisi yang bertugas pada Unit PPA menganggap karakter spesifik tindak
kriminal anak biasanya didasari karakter spesifik yang mewarnai masa perkembangan
anak, yakni selalu aktif, serba ingin tahu, senang mencoba, senang hal -hal baru, senang
menyelidiki, menantang, dan sensasional, tertarik pada ide -ide spekulatif yang cenderung
aneh. Anak-anak cenderung be rperilaku sesuai harapan , keinginan, serta penilaiannya
sendiri. Biasanya perilaku yang dianggapnya baik, namun bagi orang lain justru dianggap
merugikan. Kondisi ini dipengaruhi oleh perubahan yang drastis akibat pertumbuhan dan
perkembangan yang sangat pesat, baik fisik maupun p sikis pada setiap individu anak.
Jajaran polisi di lingkungan Unit PPA menyadari, bahwa d alam melaksanakan ”tugas”
untuk tumbuh dan berkembang, setiap individu anak seharusnya berada pada kondisi
yang kondusif, yakni terpenuhi hak-haknya, meliputi hak untuk hidup, hak untuk tumbuh
dan berkembang, hak untuk mendapatkan perlindungan, serta hak untuk berpartisipasi.
Atas dasar hal itu, serangkaian pelaksanaan penanganan anak yang berhadapan dengan
hukum seyogyanya diarahkan pada penggunaan pendekatan Non Penal berupa Restorative
Justice melalui penerapan kewenangan diskresi terarah untuk mengedepankan prinsip
kepentingan terbaik bagi anak tanpa kehilangan maknanya sebagai penanganan pelaku
tindak kriminal.
Pemahaman mengenai prinsip -prinsip perlindungan anak ini mendasari rangkaian
pembuatan keputusan terkait dengan pelaksanaan penyidikan terhadap perkara anak yang
berhadapan dengan hukum pada setiap jenjang, tidak terkecuali pada unit pelaksana tugas
selain Unit PPA, kendati pada tingkatan yang berbeda. Perbedaan pemahaman mengenai
prinsip-prinsip perlindungan anak antara aparat polisi yang bertugas di lingkungan Unit
285
PPA Satreskrim Polres Sleman dengan aparat polisi lainn ya tercermin dalam pelaksanaan
pembuatan dan substansi keputusan mereka, baik dalam penentuan pelaksana penyidikan ,
penentuan pendekatan penyidikan , maupun dalam penentuan pendekatan penyelesaian
perkara anak.
2. Kemampuan polisi dalam membuat dan melaksanakan keputusan responsif, interpretatif,
serta diskresioner dalam penyidikan perkara anak berdasarkan pemahaman mengenai
prinsip perlindungan anak
Serangkaian pembuatan keputusan terkait dengan pelaksanaan penyidikan perkara
anak yang dilakukan aparat polisi di lingkungan kerja Polres Sleman, ba ik pada jenjang
Pimpinan, jenjang Pelaksana Tugas Pokok, lebih-lebih pada jenjang Pelaksana Penyidikan
(Street-Level Bureaucrats ) dominan di warnai preferensi birokratis berupa keterjaminan
akan keaman an dan kemajuan karir mereka. Bagi mereka, ra sionalitas suatu keputusan
ditentukan oleh kesesuaian dengan arahan Pimpinan dan kebijakan umum yang berlaku.
Kenyataan ini merupakan cerminan rendahnya penerapan kewenangan diskresi kepolisian
di wilayah kerja Polres Sleman . Namun pemahaman serta kesadaran aparat po lisi yang
bertugas pada Unit PPA Satreskrim Polres Sleman mengenai prinsip -prinsip perlindungan
anak mendorong mereka menambahkan preferensi lain sebagai dasar dalam pembuatan
keputusan, kendati melalui pelibatan sejumlah elemen masyarakat yang be rkompeten.
Perbedaan pemahaman dan penyikapan terhadap prinsip -prinsip perlindungan anak
antara Unit Jatanras Satreskrim Polres Sleman dan Unit Reskrim Polsek Depok Barat di
satu pihak dengan Unit PPA Satreskrim Polres Sleman pada pihak lainnya menghasilkan
perbedaan implikasi dari substansi keputusan masing -masing. Pendekatan penyidikan
yang dipilih Unit Jatanras Satreskrim Polres Sleman dan Unit Reskrim Polsek Depok
Barat mengarah pada standar penanganan tindak kriminal umum dengan penyelesaian
perkara mengarah p ada pendekatan penal, sedang pendekatan pen yidikan yang dipilih
286
Unit PPA Polres Sleman mengarah pada standar penanganan tindak kriminal khusus
anak dengan penyelesaian pe rkara mengarah pada pendekatan non penal, kendati pada
akhirnya diputuskan menggunakan pendekatan penal, karena tidak adanya rekomendasi
dari pihak keluarga korban berupa kerelaan untuk menggunakan pendekatan non penal.
3. Faktor yang mendasari kemampuan polisi dalam membuat dan melaksanakan keputusan
responsif, interpretatif, serta diskres ioner dalam penyidikan perkara anak berdasarkan
pemahaman mengenai prinsip perlindungan anak
Kecenderungan penyikapan aparat kepolisian dalam penyidikan perkara anak yang
berhadapan dengan hukum didasari oleh kepatuhan terhadap arahan atasan dan peraturan
yang berlaku serta keterbatasan pemahaman mengenai prinsip-prinsip perlindungan anak
yang berhadapan dengan hukum. Kenyataan ini mencerminkan rendahnya kemampuan
aparat kepolisian dalam menerapkan kewenangan diskresi yang dimiliki dan rendahnya
kondusivitas birokrasi kepolisian terhadap kemungkinan penerapan kewenangan diskresi
kepolisian sebagai dasar pembuatan keputusan dalam proses penyidikan perkara anak
yang berhadapan dengan hukum.
Kepatuhan aparat kepolisian terhadap arahan atasan dan peraturan yang berlaku
tercermin dalam setiap pembuatan keputusan pada berbagai jenjang yang selalu didasarkan
secara ketat pada arahan pimpinan dan setiap klausula yang termaktub eksplisit dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang -Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia . Sedang keterbatasan
pemahaman aparat polisi mengenai prinsip -prinsip perlindungan anak yang berhadapan
dengan hukum tercermin dalam setiap pembuatan keputusan pada berbagai jenjang yang
cenderung tidak didasarkan pada preferensi perlindungan anak dan tidak berbeda dengan
pelaksanaan penyidikan terhadap perkara pidana yang melibatkan tersangka dewasa.
287
Rendahnya kemampuan aparat polisi dalam menerapkan kewenangan diskresi
tercermin dari keengganan mereka untuk menerapkannya dalam pelaksanaan penyidikan
terhadap perkara anak yang berhadapan dengan hukum. Sejumlah faktor yang diduga
menyebabkan aparat kepolisian enggan menerapkan kewenangan diskresi, antara lain
keterbatasan pemahaman mengenai prinsip-prinsip perlindungan anak yang berhadapan
dengan hukum; keterbatasan pemahaman mengenai hakekat kewenangan diskresi polisi ;
dan kekhawatiran terhadap penilaian masyarakat menyangkut ketidakmampuan dalam
menjamin terpenuhinya rasa keadilan, baik bagi p elaku, korban, maupun masyarakat
secara umum . Faktor lain yang diduga menjadi penyebab keengganan aparat kepolisian
di wilayah kerja Polres Sleman untuk menerapkan kewenangan diskresi adalah relatif
rendahnya kondusivitas birokrasi Polres Sleman terhadap kemungkinan penerapan
kewenangan diskresi kepolisian sebagai dasar pembuatan keputusan dalam penyidikan
terhadap perkara anak yang berhadapan dengan hukum yang tercermin dalam aspek
struktur dan budaya birokrasi Polres Sleman .
Struktur birokrasi Polres Sle man yang potensial menghambat kemungkinan bagi
penerapan kewenangan diskresi kepolisian dalam pelaksanaan penyidikan perkara anak
yang berhadapan dengan hukum adalah dimungkinkannya penyerahan tugas tersebut
kepada unit-unit kerja selain Unit PPA. Hal ini membawa dampak beragam terkait dengan
keputusan penentuan pendekatan penyidikan dan pendekatan penyelesaian perkara anak .
Keberagaman ini pada gilirannya akan membawa implikasi yang beragam juga terhadap
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak -hak anak yang berhadapan dengan
hukum. Sementara Unit PPA yang dianggap sebagai leading sector bagi setiap pelayanan
kepada kaum perempuan dan anak ternyata bukan me rupakan unit definitif di lingkungan
kerja Polres Sleman. Kondisi ini membawa dampak kurang mengu ntungkan, terutama
terkait dengan kemandirian, responsivitas, dan efisiensi pelayanan. Sedangkan budaya
288
birokrasi Polres Sleman yang potensial menghambat kemungkinan penerapan kewenangan
diskresi kepolisian adalah budaya rule driven dalam setiap pembuatan keputusan. Hal ini
potensial menyebabkan kekakuan, kelambanan, dan tidak memberikan peluang bagi
munculnya kreativitas aparat polisi serta kekurangtanggapan dalam mengidentifikasi
berbagai kebutuhan masyarakat. Semen tara hubungan antara unsur pimpinan dengan
pelaksana tugas pokok cenderung berorientasi pada patron-client yang mengedepankan
loyalitas berpotensi mengurangi kemungkinan aparat polisi untuk mempertimbangkan
sejumlah opsi lain dalam pembuatan keputusan, kendati lebih sesuai untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat.
Kajian ini meneguhkan thesis dari kajian terdahulu bahwa pemahaman mengenai
substansi permasalahan, pemahaman mengenai hakekat kewenangan diskresi, kekhawatiran
terhadap penilaian ma syarakat, serta kondusivitas birok rasi merupakan faktor pen entu
kemampuan birokrat pada garda terdepan dalam menerapkan kewenangan diskresi yang
dimiliki. Kajian ini juga mengungkap bahwa kemampuan birokrat pada gada terdepan
untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam proses pembuatan keputusan mampu
memecahkan permasalahan klasik-dilematis antara keinginan responsif terhadap kebutuhan
lapangan dengan keinginan untuk memastikan membuat keputusan secara benar berdasarkan
kebijakan yang berlaku. Dalam konteks ini, kemampuan birokrat pada ga rda terdepan
untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam proses pembuatan keputusan
mampu membongkar budaya rule driven dan hubungan patron-client antara atasan dengan
bawahan penyebab kekakuan, kelambanan, tidak kreatif, dan kekurangtanggapan dalam
mengidentifikasi variasi kebutuhan spesifik lapangan. Kemampuan birokrat pada gada
terdepan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam proses pembuatan
keputusan juga mampu meminimalkan terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam
penerapan kewenangan diskresi.
289
B. Rekomendasi
Pelibatan masyarakat dalam setiap pembuatan keputusan terkait penyidikan perkara
anak juga diharapkan mampu menggeser pola pikir yang mendasari penanganan anak yang
berhadapan dengan hukum. Penanganan anak yang berhadapan dengan hukum selayakny a
bukan lagi berorientasi pada pembalasan (revegen) atas setiap kesalahan yang telah dilakukan .
Setiap bentuk tindak kriminal, apalagi yang dilakukan oleh anak -anak, selayaknya tidak
selalu membawa konsekuensi berupa pidana. Penanganan anak yang berhadapan dengan
hukum perlu mempertimbangkan tujuan yang lebih jauh daripada sekadar pemberian pidana,
tidak saja dilihat dari masa lampau, namun juga bagi kepentingan masa depan, baik bagi
pihak tersangka, pihak korban, maupun masyarakat secara umum. Penanganan a nak yang
berhadapan dengan hukum selayaknya diarahkan pada pencegahan ( preventie), menimbulkan
rasa takut (detterence), dan perubahan atau perbaikan (reformation), baik Yuridis (taat aturan ),
Intelektual (insyaf dari kejahatan), maupun Moral (bermoral ting gi), seperti dikemukakan
Von Feuerbach, Muler, dan Van Hamel (dalam Abidin, 2005), serta Zevenbergen (dalam
Hamzah, 2005).
Pergeseran pola pikir tersebut d apat berupa penerapan pendekatan integral , yakni
memadukan kebijakan penanggulangan tindak kejahatan dengan kebijakan perlindungan
sosial untuk mendukung kebijakan kesejahteraan sosial , seperti dikemukakan oleh Sudarto
(1983). Implikasi dari keterpaduan ini adalah bahwa dalam penanganan perkara pidana,
terutama yang melibatkan anak -anak sebagai tersangka , penggunaan Hukum Acara Pidana
seyogyanya diposisikan sebagai alternatif terakhir, karena Hukum Acara Pidana mem iliki
fungsi subsider, yakni dapat digunakan apabila upaya lain kura ng membawa hasil yang
memuaskan. Namun apabila Hukum Acara Pidana terpaksa digunakan, hendaknya diarahkan
pada terciptanya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam
290
konteks ini Kepolisian Negara Republik Indonesia diharapkan mampu memadukan dua
doktrin kepolisian dengan tekanan yang berbeda secara seimbang, yakni doktrin a strong
hand of society (pelayanan keras kepada masyarakat) dan a soft hand of society (pelayanan
lembut kepada masyarakat), seperti dikemukakan Raharjo (1998).
C. Teoritik Konseptual
Kemampuan stakeholders kebijakan dalam membuat serta menerapkan keputusan
responsif, interpretatif, dan diskresioner sangat ditentukan oleh kemampuan dan keleluasaan
mereka dalam menafsirkan kebijakan yang berlaku berdasarkan pemahaman mengenai
variasi kebutuhan spesifik lapangan. Pertimbangan perlunya kemampu an stakeholders
kebijakan dalam membuat dan menerapkan keputusan responsif, interpretatif, dan d iskresioner
adalah adanya realitas bahwa suatu kebijakan tidak mungkin mampu merespons banyak
aspek dan kepentingan bagi semua pihak , sebagai akibat keterbatasan kemampuan prediksi
dari pembuatnya. Kemampuan stakeholders kebijakan dalam membuat dan menerapkan
keputusan responsif, interpretatif, dan diskresioner diperlukan sebagai bentuk kewenangan
untuk menginterpretasikan kebijakan yang berlaku atas suatu kasus yang belum atau tidak
diatur dalam ketentuan baku , sehingga kebijakan tersebut tetap mampu menjawab tuntutan
aspirasi, dinamika, dan variasi kebutuhan spesifik yang selalu berkembang dalam masyarakat .
Kendati sering berupa penyimpangan prosedur, namun tidak perlu terlalu dipermasalahkan ,
sepanjang keputusan yang diambil tetap berada pada koridor visi, misi, dan kerangka
pencapaian tujuan dari organisasi yang bersangkutan.
Kemampuan stakeholders kebijakan dalam membuat dan menerapkan keputusan
responsif, int erpretatif, dan diskresioner menjadi isu krusial dalam khasanah pelayanan
publik, seiring mengemukanya tuntutan kepada aparat birokrasi untuk dapat memberikan
291
pelayanan yang efisien, responsif, dan akuntabel kepada publik. Rendahnya kemampuan
stakeholders kebijakan dalam membuat dan menerapkan keputusan responsif, interpretatif,
dan diskresioner, di samping merupakan indikator rendahnya tingkat responsivitas birokrasi
dalam memahami aspirasi dan kebutuhan publik, juga merupakan indikator bahwa birokrasi
masih berpijak pada peraturan yang diterapkan sec ara kaku. Birokrat masih terkungkung
berbagai orientasi teknis prosedural dan preferensi birokratis dalam memberikan pelayanan
kepada publik. Sikap dan mentalitas tersebut menjadikan birokrasi sangat lemah dala m
berinisiatif dan berimprovisasi saat memberikan pelayanan. Hal ini membawa implikasi
kelambanan birokrasi dalam merespon s setiap perubahan dan aspirasi yang senantiasa
berkembang di kalangan masyarakat. Kenyataan ini merefleksikan ke terjebakan birokrasi
dalam rutinitas serta rendahnya daya inovasi dalam pelayanan publik.
Dalam konteks kebijakan proaktif (policy in action ), kemampuan stakeholders
kebijakan dalam membuat dan menerapkan keputusan yang responsif, interpretatif, serta
diskresioner merupakan s alah satu dimensi dari elemen kapasitas stakeholders, di samping
dua elemen lain, yakni dukungan lingkungan serta kemanfaatan kebijakan (Dye, 1987).
Terkait dengan elemen kapasitas stakeholders, kebijakan proaktif menuntut kemampuan
atau keberdayaan aktor kebijakan untuk mengambil suatu langkah dalam memecahkan
persoalan, kemudian mengimplementasikannya. Ada beberapa hal yang paling tidak harus
dimiliki oleh su atu kebijakan proaktif, terkait dengan elemen kapasitas stakeholders ini,
yakni sumber daya manusi a dan sumber daya finansial (anggaran). Sumber daya manusia
merupakan faktor penting, karena menyangkut kapasitas perumus kebijakan dalam tahap
formulasi kebijakan , dan kapasitas pelaku kebijakan dalam tahap implementasi kebijakan.
Sedang sumber daya finan sial sangat dibutuhkan untuk mendukung kinerja aktor kebijakan
pada setiap tahapan kebijakan.
292
Kebijakan proaktif juga menuntut kontribusi dari dua elemen lain, yakni dukungan
lingkungan kebijakan dan kemanfaatan kebijakan. Dukungan lingkungan kebijakan ad alah
elemen pertama dan paling krusial bagi kebijakan proaktif, yakni dukungan dari berbagai
kalangan pejabat publik dan politisi untuk benar -benar bersedia menerapkan kebijakan ini,
berupa komitmen politik untuk mendukung implementasi kebijakan melalui pe nyediaan
infrastruktur dan suprastruktur pendukung serta upaya sosialisasi dalam pelembagaan suatu
kebijakan. Kebijakan proaktif juga menuntut kemanfaatan suatu kebijakan bagi sasarannya,
terutama dapat dilihat d ari ketercapaian tujuan kebijakan tersebut. Karena itu stakeholders
kebijakan harus mampu memilih alternatif kebijakan agar dapat memberikan manfaat yang
signifikan bagi sasaran kebijakan.
Dukungan lingkungan, keberdayaan stakeholders, dan kemanfaatan suatu kebijakan
merupakan elemen yang sangat penting bagi kebijakan agar dikategorikan proaktif. Tanpa
dimilikinya tiga elemen tersebut, terutama terkait dengan keberdayaan stakeholders, maka
kegagalan suatu kebijakan merupakan keniscayaan . Dampak dari situasi ini akan terpulang
kepada stakeholders sendiri, antara lain berupa krisis kepercayaan dan delegitimasi sosial
yang menghambat kemajuan, modernisasi, dan kesejahteraan sosial . Kondisi ini bukan
tidak mungkin dapat memicu kerawanan sosial yang berujung pada tuntutan perubahan
sistem pelayanan publik , bahkan sistem penyelenggaraan negara . Untuk mengatasi situasi
problematik ini, stakeholders kebijakan harus memegang teguh misi kebijakan sebagai tolok
ukur dan lebih menekankan kepada hasil daripada proses . Stakeholders kebijakan juga
diharapkan semakin mampu melibatkan seluruh lapisan masyarakat untuk bekerja sama
dalam pelaksanaan proses pemerintahan demi kepentingan publik , karena setiap elemen,
baik pihak pemerintah, masyarakat, dunia usaha, maupun pihak swasta senantiasa memiliki
keterkaitan yang sa ngat erat dalam pelaksanaan proses pemerintahan yang baik.
Download