LAPORAN STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT TAHUN 2015 PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI BARAT STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) 2015 @2015 Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat Diterbitkan Oleh : Bidang Penaatan dan Komunikasi Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat Komp. Perkantoran Gubernur Sulawesi Barat Wings 6 Lt. 2, Jl. Abd. Malik Pattana Endeng, Rangas-Mamuju, Sulbar Telp./Fax : 0426 – 2325098 Website : http://blh.sulbarprov.go.id; email : [email protected] Pelindung : Gubernur Sulawesi Barat Pengarah : Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Barat Penanggung Jawab : dr. Hj. Fatimah, MM (Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat) Ketua Pelaksana : Irvan, ST, MM (Kabid. Penaatan dan Komunikasi Lingkungan BLH Prov. Sulbar) Tim Penyusun : 1. Yohanis, ST, MM (Kasubid. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat) 2. Desiana Malino, S.Si 3. Fransiscus Pakiding, SE Tim Sekretariat : 1. Syahrun, SH 2. Hariani, A.Md.Kom 3. Elmi, ST 4. Firman Mathias Pinantik, SE 5. Nurhana 6. Mulyanti Tim Pengumpul Data : 1. Nicolas Torano, SH, M.Sc (Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Provinsi 2. 3. 4. 5. 6. 7. Sulawesi Barat) Jamaluddin Tahir, ST (Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Barat) Maman Suparman (Badan Kesbangpol dan Linmas Provinsi Sulawesi Barat) Kalsum Basri, ST (UPTD Balai Sungai KKM, Dinas PU Provinsi Sulawesi Barat) Halijah Syam, SH (Dinas PU Provinsi Sulawesi Barat) Menzy Ganofa, S.ST (Kanwil Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Barat) Syarifuddin Said, SE (Dinas Koperindag Provinsi Sulawesi Barat) 8. Robertus Paliling, ST (Bappeda Provinsi Sulawesi Barat) 9. Andi Rudi H. (Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat) 10. Adi Rudi (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Barat) 11. Syamsyucri, A.Md.Kl (Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat) 12. Sulaiman, S.TP (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Barat) 13. Amri Sulo, S.Sos, M.Si (Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Barat) 14. Raodah, SH, MH (Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Barat) 15. Rahyati Rauf, SP (Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Barat) 16. Timotius Tangnga, A.Md.Pi (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Barat) 17. Ardi Anugerah Said (Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sulawesi Barat) Editor : Fransiscus Pakiding, SE Design/Layout : Fransiscus Pakiding, SE Peta Administratif Provinsi Sulawesi Barat Kata Pengantar Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan perkenaan-Nya sehingga Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2015 ini dapat tersusun dan terselesaikan. Didalam penyusunan buku SLHD ini terdiri dari dua buku yaitu Buku I merupakan Laporan dan Buku II berisi tentang data-data. Adapun ruang lingkup yang disajikan dalam Laporan SLHD ini meliputi; kualitas lingkungan hidup berdasarkan media air, udara, lahan, kualitas dan kuantitas sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati dan kualitas penduduk serta sosial ekonomi. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) ini pada dasarnya disusun dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlidungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup khusunya pada pasal 62 yang mengatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah Wajib mengembangkan Sistem Informasi Daerah yang sekurang-kurangnya memuat tentang Status Lingkungan Hidup, Peta Kerusakan Lingkungan dan Informasi Lingkungan Hidup Lainnya. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI telah menyusun sebuah panduan secara sistematika dalam buku Pedoman Umum Penyusunan Status Lingkungan Hidup Daerah yang menjadi bahan acuan bagi setiap Provinsi dan Kabupaten Kota dalam menyusun Status Lingkungan Hidup Daerah dengan model PSR (Pressure-State-Response). Buku Laporan SLHD ini memberikan informasi untuk memenuhi kewajiban menyediakan dan menerbitkan informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Dengan informasi lingkungan hidup yang baik dan benar serta terus-menerus akan menjadikan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Dengan kehadiran buku laporan SLHD ini juga diharapkan dapat membangkitkan semangat untuk peduli lingkungan hidup. Pengantar Dan Daftar Isi D-I Demikian laporan ini disusun untuk menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan daerah khususnya di bidang lingkungan hidup. Disadari bahwa apa yang disajikan masih jauh dari kesempurnaan, olehnya itu kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan pada masa yang akan datang. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita sekalian. Mamuju, Desember 2015 GUBERNUR SULAWESI BARAT, H. ANWAR ADNAN SALEH Pengantar Dan Daftar Isi D - II Daftar Isi KATA PENGANTAR ………………………..……………………...……………………………………… D - I DAFTAR ISI…………………………………….……………………..…………………….……………….. D - III DAFTAR TABEL ………………………………….…………………………………………………………. D - V DAFTAR GRAFIK ........................................................................................................ D - VII DAFTAR GAMBAR DAN PETA ………………………..……………….……………..………………. D - IX BAB I PENDAHULUAN I.A Latar Belakang ……….………………………..…….………....……………………….. P - 1 I.B Gambaran Umum Daerah ……………….….…………..……..……………………. P - 3 I.C Visi Dan Misi ………………………………..………………………..…………………… P - 5 I.D Tujuan Penulisan Laporan …………….…..………..…..……….…………………. P - 7 I.E Issu Lingkungan Hidup Utama ……………………..…..……….………………… P - 8 I.F Analisa Status, Tekanan dan Respon Dari Issu Utama …………..……… P - 8 I.G Perhitungan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup ……………….….…….… P - 16 I.H Manfaat SLHD dalam Pengambilan Kebijakan Daerah …………..…….. P - 25 I.I Agenda Pengelolaan Lingkungan …………………………………………………. P - 25 BAB II KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA II.A Lahan dan Hutan …………………………………………….………………………….. K - 1 II.B Keanekaragaman Hayati ……………….…………….……………..……………….. K - 15 II.C Air …………………………………………………………………………….………………… K - 24 II.D Udara………………………………………………………………………..………………… K - 37 II.E Laut, Pesisir dan Pantai ………………………………….………..………………….. K - 41 II.F Iklim ……………………………………………………..…….……………………………… K - 50 II.G Bencana Alam …………………………………………..….…………………………….. K - 53 BAB III TEKANAN TERHADAP LINGKUNGAN III.A Kependudukan ………………………….………………..……………………………… T - 1 III.B Permukiman ……………………………………………………………..………………… T - 8 III.C Kesehatan …………………………..………………….………………………………….. T - 15 III.D Pertanian ……………………………..……..……………………………….…………….. T - 18 Pengantar Dan Daftar Isi D - III III.E Industri ……………………………………..……………………………………………….. T - 25 III.F Pertambangan …………………………….…………..…………………………………. T - 26 III.G Energi …………………………………………….………..…………………………………. T - 30 III.H Transportasi …………………………………..…………………………………………… T - 33 III.I Pariwisata ……………………………………….………..………………………………… T - 37 III.J Limbah B3 ……………………………………………………..……………..……………. T - 44 BAB IV UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN IV.A Rehabilitasi Lingkungan …………………..………………………………………….. U - 1 IV.B Amdal, UKL/UPL ……………………………………………..………………………….. U - 4 IV.C Penegakan Hukum ………………………….……………..…………………………… U - 7 IV.D Peran Serta Masyarakat …………………………………...………………………… U - 9 IV.E Kelembagaan ………………………………………………….………………………….. U - 13 Pengantar Dan Daftar Isi D - IV Daftar Tabel Bab I Tabel 1.1 Suhu Udara Rata-Rata Bulanan Provinsi Sulawesi Barat P-4 Tabel 1.2 Nilai Indeks Pencemaran Air P - 17 Tabel 1.3 Perbandingan nilai IPA 2013-2015 P - 18 Tabel 1.4 Nilai Indeks Pencemaran Udara P - 19 Tabel 1.5 Perbandingan Indeks Kualitas Udara 2013-2015 P - 20 Tabel 1.6 Nilai Indeks Tutupan Lahan P - 21 Tabel 1.7 Perbandingan Indeks Tutupan Hutan 2013-2015 P - 22 Tabel 1.8 Nilai Indeks Kualitas Lingkungan Per Kabupaten P - 23 Tabel 1.9 Perhitungan Indeks Kualitas Lingkungan Sulbar Tahu 2015 P - 25 Tabel 1.10 Perbadigan Anggaran Lingkungan Hidup Tahun 2013 - 2015 P - 26 Tabel 2.1 Luas Penggunaan Lahan Utama Provinsi Sulawesi Barat K-3 Tabel 2.2 Luas Lahan Kritis Provinsi Sulawesi Barat K-8 Tabel 2.3 Evaluasi Kerusakan Lahan di Tanah Kering Akibat Erosi K - 10 Tabel 2.4 Pelepasan Kawasan Hutan Yang Dapat Dikonversi Menurut Peruntukannya K - 14 Tabel 2.5 Beberapa Tumbuhan Daratan Yang Teridentifikasi K - 16 Tabel 2.6 Beberapa Satwa Daratan Yang Teridentifikasi K - 17 Tabel 2.7 Beberapa Tumbuhan Agroekosistem Yang Teridentifikasi K - 18 Tabel 2.8 Beberapa Jenis Satwa Pesisir dan Laut Yang Teridentifikasi K - 20 Tabel 2.9 Pembagian Wilayah Sungai Di Sulawesi Barat K - 25 Tabel 2.10 Indeks Pecemaran Air Sulbar 2015 K - 29 Tabel 2.11 Hasil Uji Kualitas Air Waduk di Kab. Majene K - 33 Tabel 2.12 Hasil Uji Kualitas Air Sumur K - 36 Tabel 2.13 Lokasi dan Metode Pengambilan Sampel Kualitas Udara K - 38 Tabel 2.14 Tabel Indeks Pencemaran Udara Sulbar 2015 K - 39 Tabel 2.15 Hasil Perhitungan Kualitas Air Hujan K - 41 Tabel 2.16 Kualitas Air Laut K - 44 Tabel 2.17 Persentase Luas Terumbu Karang K - 45 Tabel 2.18 Luas Lokasi, Persentase Tutupan dan Kerapatan Mangrove K - 50 Tabel 2.19 Bencana Banjir, Korban dan Kerugian K - 55 Tabel 2.20 Data Bencana Kekeringan, Luas Dan Kerugian K - 56 Bab II Pengantar Dan Daftar Isi D-V Bab III Tabel 3.1 Jumlah Penduduk, Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk T-2 Tabel 3.2 Jumlah Penduduk di Wilayah Pesisir dan Pantai T-5 Tabel 3.3 Tabel Jumlh Rumah Tangga dan Fasilitas Tempat BAB T - 14 Tabel 3.4 Perkiraan Timbulan Sampah Per Hari T - 15 Tabel 3.5 Data Rumah Sakit dan Jumlah Limbah Yang Dihasilkan T - 18 Tabel 3.6 Jumlah Hewan Ternak Per Kabupaten di Sulawesi Barat T - 23 Tabel 3.7 Data Industri di Sulawesi Barat T - 26 Tabel 3.8 Jumlah Perusahaan Penambang dan Jenis Bahan Galian di Sulawesi Barat T - 27 Tabel 3.9 Jumlah Kendaraan Menurut Jenisnya dan Bahan Bakar Yang Digunakan T - 31 Tabel 3.10 Nilai Pemakaian Bahan Bakar Berdasarkan Klasifikasi Industri T - 32 Tabel 3.11 Data Penggunaan Bahan Bakar Untuk Memasak T - 33 Tabel 3.12 Sarana Angkutan Darat, Air dan Udara Beserta Data Volume Limbah Padat T - 34 Tabel 3.13 Jumlah Objek Wisata Di Sulawesi Barat di Rinci Per Kabupaten T - 38 Tabel 3.14 Perusahaan Yang Mendapat Izin Mengelolah Limbah B3 T - 45 Tabel 4.1 Realisasi Kegiatan Penghijauan dan Reboisasi U-2 Tabel 4.2 Kegiatan Fisik Perbaikan Lingkungan U-3 Tabel 4.3 Dokumen Izin Lingkungan U-5 Tabel 4.4 Hasil Pengawasan Izin Lingkungan U-6 Tabel 4.5 Status Pengaduan Masyarakat U-8 Tabel 4.6 Lembaga Swadaya Masyarakat Lingkungan Hidup U-9 Tabel 4.7 Penerima Penghargaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat U - 10 Tabel 4.8 Pelaksanaan Sosialisasi dan Bimtek TA. 2015 U - 12 Tabel 4.9 Produk Hukum Bidang Lingkungan Hidup U - 14 Tabel 4.10 Perbandingan Anggaran Lingkungan Hidup Tahun 2013-2015 U - 15 Tabel 4.11 Anggaran Lingkungan Hidup untuk Kegiatan SPM U - 16 Bab IV Pengantar Dan Daftar Isi D - VI Daftar Grafik Bab I Grafik 1.1 Grafik Persentase Luas Wilayah Kabupaten di Sulawesi Barat P-3 Grafik 2.1 Persentase Luas Lahan Berdasarkan Penggunaan Lahan Utama Di Provinsi Sulawesi Barat K-4 Grafik 2.2 Perbandingan Luas Hutan Menurut Fungsinya K-5 Grafik 2.3 Luas Kerusakan Hutan Provinsi Sulawesi Barat K - 12 Grafik 2.4 Pelepasan Kawasan Hutan Yang Dapat Dikonversi K - 14 Grafik 2.5 Luas dan Persentase Kerusakan Padang Lamun Provinsi Sulawesi Barat K - 48 Grafik 2.6 Persentase Curah Hujan Rata-Rata Bulanan K - 52 Grafik 2.7 Suhu Udara Rata-Rata Bulanan Provinsi Sulawesi Barat K - 53 Grafik 2.8 Data Bencana Kebakaran Hutan Tahun 2015 K - 57 Grafik 3.1 Grafik Perbandingan Jumlah Penduduk Laki-Laki dan Perempuan T-3 Grafik 3.2 Perbandingan Penduduk Menurut Umur di Sulawesi Barat T-7 Grafik 3.3 Perbandingan Penduduk Laki-Laki dan Perempuan Menurut Tingkat Pendidikan T-8 Grafik 3.4 Grafik Perbandingan jumlah Penduduk Miskin Per Kabupaten T-9 Grafik 3.5 Persentase Jumlah Keluarga Miskin Terhadap Jumlah Kepala Keluarga Menurut Kabupaten T - 10 Grafik 3.6 Grafik Perbandingan Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum Per Kabupaten se-Sulawesi Barat T - 12 Grafik 3.7 Perbandingan Jumlah Rumah Tangga dan Fasilitas Tempat BAB T - 14 Grafik 3.8 Jenis Penyakit Utama Yang Diderita Penduduk T - 17 Grafik 3.9 Luas Lahan Sawah dan Frekuensi Penanaman T - 19 Grafik 3.10 Produksi Perkebunan Besar Rakyat Menurut Jenis Tanaman T - 20 Grafik 3.11 Penggunaan Pupuk Untuk Tanaman Padi dan Palawija T - 21 Grafik 3.12 Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian T - 23 Grafik 3.13 Jumlah Hewan Unggas Menurut Jenisnya T - 24 Bab II Bab III Pengantar Dan Daftar Isi D - VII Grafik 3.14 Daftar hotel/penginapan dan beban pencemaran di Sulawesi Barat dirinci Per Kabupaten T - 44 Grafik 4.1 Perbandingan Lingkungan Hidup Tahun 2013-2015 U - 15 Grafik 4.2 Jumlah Personil Institusi Lingkungan Hidup U - 17 Bab IV Pengantar Dan Daftar Isi D - VIII Gambar Dan Peta Bab I Gambar 1.1 Bajir Beberapa Daerah di Sulawesi Barat P-9 Gambar 1.2 Kebakaran Hutan dan Lahan di Sulbar P - 11 Gambar 2.1 Beberapa Contoh Jenis Tanaman Yang Teridentifikasi K - 21 Gambar 2.2 Beberapa Jenis Hewan Yang Diketahui K - 21 Peta 2.1 Peta Rawan Gempa dan Resiko Gempa di Sulawesi Barat K - 54 Bab II Pengantar Dan Daftar Isi D - IX BAB I PENDAHULUAN I-A. LATAR BELAKANG Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (pasal 61 ayat 1-3), pemerintah baik nasional maupun provinsi atau kabupaten/kota, wajib menyediakan informasi lingkungan hidup dan menyebarluaskannya kepada seluruh lapisan masyarakat. Kebijakan Lingkungan hidup adalah bagaimana mengelola lingkungan sesuai dengan tempatnya, maksudnya bahwa menjaga kelestarian, keutuhan dan mempertahankan daya dukung serta daya tampung lingkungan harga mati untuk kejayaaan lingkungan dimasa depan. Maka dari itu perlu dilakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu oleh instansi pemerintah, masyarakat serta pelaku pembangunan lainnya, sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing, dengan tetap memperhatikan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijakan nasional pengelolaan lingkungan hidup. Sebaliknya kegiatan pembangunan juga mengandung resiko terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan yang mengakibatkan daya dukung, daya tampung dan produktifitas lingkungan hidup menurun yang menyebabkan beban sosial, oleh karena itu pencemaran tersebut harus dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab, asas keberlanjutan dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-kehatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lingkungan dan Pembangunan (the United Nations Conference on Environment and Development–UNCED) di Rio de Janeiro, tahun 1992, telah menghasilkan strategi pengelolaan lingkungan hidup yang dituangkan ke dalam Agenda 21. Untuk melaksanakan itu semua telah terdapat dalam Bab 40, disebutkan perlunya kemampuan pemerintahan dalam mengumpulkan dan memanfaatkan data dan informasi multisektoral pada proses pengambilan keputusan untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut menuntut Pendahuluan P-1 ketersediaan data, keakuratan analisis, serta penyajian informasi lingkungan hidup yang informatif. Pada pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan masyarakat. Salah satunya adalah Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD). Selain itu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah melimpahkan kewenangan pengelolaan lingkungan hidup kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Dengan meningkatnya kemampuan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) diharapkan akan semakin meningkatkan kepedulian kepada pelestarian lingkungan hidup. Berkaitan dengan akses informasi kepada publik, telah ditetapkan UndangUndang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Sebagai Badan Publik pemerintah wajib menyediakan, memberikan dan atau menerbitkan informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik. Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan tersebut antara lain adalah informasi yang diumumkan secara berkala, dengan cara yang mudah dijangkau dan dan dalam bahasa yang mudah dipahami. Keakuratan suatu analisis sangat ditentukan oleh tersedianya data yang memadai baik kualitas maupun kuantitasnya. Dimensi data lingkungan dan sumberdaya alam yang luas dan kompleks tidak memungkinkan penyediaannya hanya mengandalkan pada satu sumber data saja akan tetapi akan melibatkan berbagai sumber data dan informasi yang luas. Data pengukuran umumnya adalah hasil pemantauan, misalnya pemantauan kualitas air sungai, Kualitas air laut, kualitas air hujan, kualitas udara dan kualitas limbah industri. Latar belakang penulisan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Barat merupakan bagian dari Program peningkatan kualitas dan akses informasi Pendahuluan P-2 sumber daya alam dan lingkungan hidup. Selain itu Buku Data dan Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Barat menjadi acuan dan pedoman kondisi lingkungan hidup daerah saat ini dan ini merupakan suatu tantangan untuk menjadi lebih baik lagi. I-B. GAMBARAN UMUM DAERAH Provinsi Sulawesi Barat adalah daerah yang terletak pada sisi barat Pulau Sulawesi yang merupakan pemekaran dari Provinsi Sulawesi Selatan. Provinsi ini terbentuk pada tanggal 5 Oktober 2004 berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2004 tentang pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (Lembaran Negara tahun 2004 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4422), Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat menjalankan pemerintahannya yang mencakup 6 Kabupaten 69 Kecamatan dan 649 Kelurahan/Desa sebagai satuan pemerintahan terendah. Secara geografis, Provinsi Sulawesi Barat yang beribukota di Mamuju terletak antara 0012' – 3038’ Lintang Selatan dan 118043'15’’ – 119054'3’’ Bujur Timur, yang berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah di sebelah utara dan Selat Makassar di sebelah barat. Batas sebelah selatan dan timur adalah Provinsi Sulawesi Selatan. Grafik 1.1 : Persentase Luas Wilayah Kabupaten di Sulawesi Barat Berdasarkan tabel diatas, luas wilayah Provinsi Sulawesi Barat tercatat 16.916,72 kilometer persegi. Kabupaten Mamuju merupakan kabupaten terluas dengan luas 4.832,70 kilometer persegi atau 28,57 persen dari seluruh wilayah Sulawesi Barat. Sedangkan Kabupaten Majene merupakan kabupaten terkecil Pendahuluan P-3 dengan luas wilayah 900,20 kilometer persegi atau sekitar 5,32 persen dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Barat. Jarak ibukota provinsi ke ibukota kabupaten cukup beragam. Kota kabupaten yang paling jauh adalah Kabupaten Mamasa yakni sekitar 292 km dan Mamuju Utara (Pasangkayu) sekitar 276 km. Suhu udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat tersebut dari permukaan air laut dan jaraknya dari pantai. Berdasarkan laporan dari Stasiun Meteorologi Kabupaten Majene pada tahun 2015 suhu udara di Sulawesi Barat berkisar antara 26,7°C hingga 29,1°C dengan rata-rata suhu udara sekitar 27,8°C. Sedangkan kelembapan udara rata-ratanya berkisar antara 73,33 persen sampai dengan 82,0 persen. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dalam tabel berikut ini : Tabel 1.1 : Suhu udara rata-rata bulanan Nama dan Lokasi Stasiun BMKG Kab. Majene Suhu Udara Rata-Rata Bulanan (0C) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des 27,5 27,8 27,6 28 tad 26,7 27,1 27,2 27 29 29,1 28,4 Sumber : Tabel SD-23 Buku Data Kecepatan angin yang bertiup di Sulawesi Barat berdasarkan pemantauan dari BMKG Kabupaten Majene, selama tahun 2015 sekitar 4,1 km/jam. Nilai ini lebih tinggi dari tahun 2014 yang bertiup dengan kecepatan 3,9 km/Jam. Untuk penyinaran matahari yang dipantau pada jam 06.00-18.00 terlihat intensitas yang beragam pada tiap bulannya di tahun 2014. Penyinaran matahari dengan intensitas tertinggi terjadi pada bulan Oktober, yaitu sebesar 76 persen. Sedangkan intensitas terendah terjadi dibulan Januari sekitar 34 persen. Rata-rata intensitas penyinaran matahari selama tahun 2014 adalah sebesar 59,8 persen. Pada tahun 2015, Sulawesi Barat tergolong daerah yang memiliki intensitas hujan yang rendah yakni rata-rata hanya mencapai 135,13 mm serta rata-rata hari hujan sekitar 11,6 hari. Jumlah hari hujan tertinggi terjadi di bulan November di Kabupaten Polewali Mandar sedangkan pada beberapa bulan lainnya di Kabuaten Majene dan Mamuju Tengah, sama sekali tidak ada curah hujan. Pendahuluan P-4 I-C. VISI DAN MISI Dalam rangka menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia sebagaimana amanah dari pasal (3) huruf g Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Visi Pemerintah Sulawesi Barat 2012 – 2016 sebagaimana tertuang dalam RPJMD yakni : “Terwujudnya Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Dan Kesejahteraan Masyarakat Sulawesi Barat” Dala mendukung terwujudnya visi tersebut, maka Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat merumuskan arah kebijakan sebagai berikut : 1. Penguatan dan perluasan cakupan infrastruktur, bertujuan untuk menunjang berkembangnya aktivitas ekonomi masyarakat guna mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. 2. Peningkatan akases dan kualitas pelayanan dasar khususnya di bidang penddikan dan kesehatan. 3. Peningkatan produktivitas dan pengolahan hasil pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sulawesi Barat melalui penciptaan dan penyediaan lapangan kerja di sub-sub : pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan dan pertambangan (mengacu pada Prioritas Koridor ekonomi Sulawesi 2012 – 2025), serta mendorong percepatan eksploitasi sumber-sumber energy terbarukan. 4. Pengentasan kemiskinan masyarakat melalui upaya kebijakan terpadu guna pemebuhan kebutuhan standar kehidupan minimum maupun dalam peningkatan pendapatan masyarakat. 5. Keberlanjutan pengelolaan SDA dan lingkungan sebagi bentuk kepedulian dan tanggung jawab pada generasi mendatang (sustainability development Green Government). Mengacu pada arah kebijakan Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat pada pont ke lima, maka Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat sebagai Instansi Pemerintah Daerah di yang berkarya di bidang pembangunan berwawasan lingkungan, merumuskan arah kebijakan melalui visi dan misi yang telah dirumuskan sebagai berikut : Pendahuluan P-5 VISI “Mendukung Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan di Provinsi Sulawesi Barat” MISI 1. Mewujudkan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang terintegrasi, guna mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan, dengan menekankan pada ekonomi hijau berbasis kearifan lokal masyarakat Sulawesi Barat; 2. Mewujudkan koordinasi antar stakeholder dalam mensinkronisasikan kebijakan ekonomi dengan nilai ekologi guna pembangunan berkelanjutan. 3. Meningkatkan kapasitas kelembagaan pegelola sumber daya alam dan lingkungan hidup di daerah. Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat yang telah dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 07 Tahun 2012 tentang Perubahan Ketiga Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pebangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Serta Lembaga Teknis Daerah Provinsi Sulawesi Barat dalam menjalankan kinerjanya sebagaimana tertuang dalam Peraturan Gubernur Sulawesi Barat Nomor 25 Tahun 2013 mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai berikut : a. Tugas pokok Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat mempunyai tugas pokok menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang lingkungan hidup, berdasarkan asas otonomi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. b. Fungsi Dalam menyelenggarakan tugas pokoknya sebagaimana dimaksud tersebut diatas, Badan Lingkungan Hidup mempunyai fungsi : 1. Perumusan dan penetapan kebijakan teknis di bidang pengelolaan lingkungan hidup daerah; 2. Pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah bidang kepegawaian daerah meliputi kesekretariatan, tata kelola lingkungan, pengendalian pencemaran lingkungan, konservasi SDA dan mitigasi Pendahuluan P-6 bencana serta panaatan hukum, kemitraan dan pengembangan kapasitas lingkungan; 3. Pengkoordinasian dan pembinaan UPTB. Untuk menjalankan tugas dan fungsinya, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat dipimpin oleh seorang Kepala Badan dan dibantu oleh perangkat susunan organisasi sebagai berikut: a. Sekretaris Badan 1. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian 2. Sub Bagian Keuangan 3. Sub Bagian Program dan Pelaporan b. Bidang Tata Lingkungan dan AMDAL 1. Sub Bidang Kelembagaan dan Tata Lingkungan 2. Sub Bidang Pengkajian Lingkungan dan AMDAL c. Bidang Pengendalian Pencemaran dan Pengelolaan Limbah 1. Sub Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan 2. Sub Bidang Pengelolaan LB3 dan B3 d. Bidang Pengendalian Kerusakan dan Konservasi SDA 1. Sub Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan 2. Sub Bidang Konservasi SDA dan Lingkungan e. Bidang Penaatan dan Komunikasi Lingkungan 1. Sub Bidang Penegakan Hukum dan Pengawasan Lingkungan 2. Sub Bidang Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat I-D. TUJUAN PENULISAN LAPORAN a. Mengumpulkan data dan informasi terbaru tentang kualitas lingkungan hidup daerah Provinsi Sulawesi Barat yang berasal dari pelaksanaan kegiatan pembangunan yang menjaga kelestarian dan daya dukung lingkungan. b. Melakukan analisis terhadap kondisi lingkungan hidup daerah dengan menggunakan rumus Status Presure Respon. c. Memfasilitasi pengukuran kondisi lingkungan hidup demi kemajuan menuju pembangunan yang keberlanjutan di daerah. d. Menyediakan informasi tentang kondisi lingkungan terkini dan prospeknya di masa mendatang yang akurat, berkala, dan terjangkau bagi publik, pemerintah, organisasi non-pemerintah, serta pengambil keputusan. Pendahuluan P-7 e. Memfasilitasi pengembangan, penilaian dan pelaporan himpunan indikator dan indeks lingkungan yang disepakati pada tingkat nasional. f. Melaporkan keefektifan kebijakan dan program yang dirancang untuk menjawab perubahan lingkungan, termasuk kemajuan dalam mencapai standar dan target lingkungan. I-E ISU LINGKUNGAN HIDUP UTAMA Isu lingkungan hidup yang dikemukakan pada bagian ini adalah isu strategis yang terkait dengan perkembangan wilayah dan dampaknya terhadap lingkungan daerah, sedangkan isu kritis masing-masing komponen lingkungan akan dibahas pada masing-masing komponen lingkungan dan kecenderungannya. Isu strategis tersebut adalah : 1. Banjir 2. Abrasi Pantai 3. Kebakaran Hutan dan Lahan 4. Tambang Galian C. I-F ANALISIS STATUS, TEKANAN DAN RESPON DARI ISU UTAMA Secara topografi Sulawesi Barat merupakan daerah pegunungan sehingga memiliki banyak aliran sungai yang cukup besar dan berpotensi untuk dikembangkan. Jumlah sungai yang tergolong besar mengaliri wilayah Sulawesi Barat sebanyak delapan aliran sungai. Di antara sungai-sungai tersebut terdapat terdapat dua aliran sungai terpanjang yakni Sungai Saddang yang mengaliri Kabupaten Tana Toraja, Enrekang, Pinrang dan Polewali Mandar serta Sungai Karama yang berada di wilayah Kabupaten Mamuju. Panjang kedua sungai tersebut masing-masing sekitar 150 km. Selain itu, di Sulawesi Barat terdapat 193 buah gunung. Gunung tertinggi adalah Gunung Ganda Dewata dengan ketinggian 3.037 meter diatas permukaan laut yang menjulang tegak di Kabupaten Mamasa. Namun demikian, dari 6 Kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Barat, 5 diantaranya berada di daerah pesisir. Dari kelima kabupten tersebut, tiga dintaranya menjadi lokasi pusat pengembangan perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan keadaan topografi tersebut diatas, maka issu lingkungan hidup utama di Sulawesi Barat dapat dijabarkan sebagai berikut : Pendahuluan P-8 a. Status Banjir Kondisi wilayah Provinsi Sulawesi Barat yang meliputi daerah pengunungan dan dilintasi oleh sungai besar dan kecil yang sangat rawan terhadap bencana banjir khususnya banjir bandang akibat meluapnya aliran sungai. Curah hujan yang cukup tinggi pada penghujung tahun 2015 menyebabkan terjadinya banjir di beberapa daerah. Berdasarkan informasi yang dihimpun, banjir terparah berada di Desa Lembah Hopo, Kecamatan Karossa Kabupaten Mamuju Tengah. Banjir bandang yang terjadi ini, selain mengakibatkan rusaknya infrastruktur daerah juga menyebabkan kerusakan rumah warga. Dari keterangan yang terhimpun, terdapat 5 warga yang terseret banjir, dan tiga diantaranya ditemukan dalam keaadaan sudah meninggal. Gambar 1.1 Banjir beberapa daerah di Sulawesi Barat bam Genangan air di Jalan Poros Banjir Bandang di Mamuju Tengah Sampah yang menyumbat saluran air Sampah yang menyumbat saluran air Untuk Kabupaten Mamuju, banjir yang terjadi dalam kota di sekitar Karema Utara akibat kurang berfungsinya drainase serta saluran air lainnya. Hujan Deras yang turun beberapa jam megakibatkan genangan air akibat drainase yang tersumbat dengan sampah-sampah yang menyumbat saluran air. Selain itu, beberapa ruas jalan di Kota Mamuju Pendahuluan P-9 yang jauh lebih rendah dibandingkan saluran pembuangan air sehingga drainase tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Abrasi Pantai Kondisi geografis Provinsi Sulawesi Barat yang sebagian besar berada di wilayah pesisir, dimana dari keenam kabupaten di wilayah Provinsi Sulawesi Barat, lima diantaranya berada di daerah pantai yakni Kabupaten Mamuju, Kabupaten Majene, Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamuju Utara dan Kabupaten Mamuju Tengah Tingginya aktifitas laut yang mengakibatkan gelombang air laut yang seringkali mencapai ketinggian empat meter, sangat berpengaruh di daerah pantai yang seringkali mengakibatkan terjadinya abrasi pantai yang berkepanjangan dan mengakibatkan kerugian baik materil dan in materil. Tahun 2015 ini, abrasi pantai terjadi di Kabupaten Majene Abrasi pantai ini terjadi di Kecamatan Banggae Timur yang merupakan kawasan pasang surut. Selain itu banjir juga terjadi di kecamatan Malunda sepanjang ± 600 meter yang terbagi di tiga wilayah. Kebakaran Hutan dan Lahan. Lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri dari struktur relief, tanah, vegetasi, air dan iklim serta benda yang ada datasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan termasuk di dalamnya hasil kegiatan manusia di masa lalu dan masa sekarang (FAO dalam Arsyad 1989) Pengertian hutan atau definisi hutan yang diberikan Dengler adalah suatu kumpulan atau asosiasi pohon-pohon yang cukup rapat dan menutup areal yang cukup luas sehingga akan dapat membentuk iklim mikro yang kondisi ekologi yang khas serta berbeda dengan areal luarnya (Anonimous 1997). Salah satu issu yang cukup mengemuka akhir-akhir ini adanya kebakaran hutan yang melanda hampir di sebagian besar wilayah Indonesia. Kebakaran hutan terparah berada di Kepulauan Sumatera dan Kalimantan yang menjadi perbincangan dunia di tahun 2015. Pendahuluan P - 10 Untuk wilayah Sulawesi Barat, kebakaran hutan dan lahan terjadi hampir di seluruh wilayah Sulawesi Barat yang tersebar di beberapa desa dan kecamatan. Untuk wilayah kabupaten Mamuju Utara, Mamuju Tengah dan Mamuju, kebakaran hutan dan lahan terjadi di beberapa perkebunan sawit milik masyarakat. Kebakaran ini sempat menjadi issu bagi perusahaan khusunya di Mamuju Tengah dalam program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan. Untuk wilayah Mamuju Tengah, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada bulan Agustus 2015 menyebabkan 1 rumah ikut terbakar dan beberapa lahan perkebunan masyarakat hangus terbakar. Penyebab kebakaran hingga saat ini masih belum diketahui. Untuk wilayah Kabupaten Polewali Mandar dan Mamasa, kebakaran hutan dan lahan terjadi di kawasan hutan lindung dan beberapa lahan perkebunan warga. Di kecamatan Anreapi Kabupaten Polewali Mandar, kebakaran hutan yang terjadi di wilayah hutan lindung dan lahan perkebunan hanya berjarak ± 200 meter dari pemukiman warga. Kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Mamasa dapat ditemukan di sepanjang jalan poros Polewali Mamasa, mulai dari Kecamatan Sumarorong sampai di Kecamatan Mamasa. Sebagian dari lokasi kebakaran yang terjadi di Kabupaten Mamasa bahkan sudah sangat dengat dengan pemukiman warga. Gambar 1.2 : Kebakaran Hutan dan Lahan di Sulbar Kebakaran Lahan di Mamasa Kebakaran Lahan di Mamuju Tengah Kebakaran hutan Lindung di Mamasa Kebakaran lahan dekat pemukiman warga Sumber : Dokumentasi Pengawasan, BLH Sulbar Pendahuluan P - 11 Tambang Galian C Salah satu issu yang mengemuka di Sulawesi Barat dari tahun ke tahun adalah maraknya penambangan galian C, baik yang memiliki izin lingkungan maupun yang tidak memiliki izin lingkungan. Kegiatan ini dilakukan oleh orang perorangan maupun oleh kelompok usaha. Selain penambangan tanpa izin, juga terdapat beberapa usaha yang menjalankan aktivitasnya tidak sesuai dengan izin lingkungan yang dimiliki. Kegiatan ini sebagian besar tidak lepas dari akibat pembangunan infrastruktur jalan di Sulawesi Barat yang membutuhkan material dalam proses pengerjaan. Kontraktor pelaksana dalam melakukan pekerjaan mencari kemudahan di sekitar lokasi untuk mengambil material tanpa memperhitungkan dampak yang ditimbulkan. Dilain pihak, aktivitas masyarakat dalam pengerukan material untuk dijual, tidak dapat dipungkiri mengingat bahwa kegiatan tersebut menjadi satu-satunya sumber penghidupan dari masyarakat sekitar. b. Tekanan Banjir Penyebab banjir yang menghantam sejumlah daerah di wilayah Provinsi Sulawesi Barat, salah sat penyebab utamanya adalah maraknya penebangan liar, kebakaran hutan, dan adanya kemarau panjang. Saat musim penghujan tiba, tanah-tanah yang sudah retak tidak mampu menahan derasnya arus air sehingga menimbulkan peningkatan volume air di badan sungai sebagai penyebab utama banjir bandang. Banjir bandang ini mengakibatkan korban jiwa dan rusaknya pemukiman warga yang berada di sekitar daerah aliran sungai khususnya yang terjadi di Kabupaten Mamuju Tengah. Menurut catatan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sulawesi Barat, jumlah korban yang meninggal sebanyak 3 orang dan yang mengungsi sebanyak 107 jiwa. Selain kerugian materi, dampak dari banjir bandang ini juga membawa kerugian moril dari masyarakat sekitar, khususnya bagi Pendahuluan P - 12 keluarga yang anggota keluarganya meninggal dunia dan kehilangan tempat tinggal. Untuk kota Mamuju, sebagian besar genangan air pada musim penghujan diakibatkan tidak berfungsinya sebagian besar drainase dalam kota Mamuju. Lebih diperparah lagi dengan perilaku masyarakat yang membuang sampah ke drainase sehingga menyumbat aliran air. Di lain pihak, permukaan daratan di Kota Mamuju lebih rendah dari permukaan air laut, sehingga sering terjadi banjir rob ketika air laut pasang. Abrasi Pantai Penyebab terjadinya abrasi pantai disebabkan oleh faktor manusia dan faktor alam pada posisi geografis yang berada pada garis pantai. Faktor manusia yang melakukan pembangunan pemukiman di daerah pesisir pantai yang tidak memperhatikan kondisi alam sehingga terjadi pengrusakan pada hutan mangrove yang bisa berfungsi untuk mengatasi abrasi pantai. Kondisi lain adalah adanya aktifitas laut yang tinggi di perairan Sulawesi Barat, yang mengakibatkan terjadinya gelombang laut yang sering mencapai empat sampai enam meter, mengakibatkan terjadinya abrasi pantai yang merusak pemukiman warga, kerusakan mangrove dan juga berdampak pada kerugian materil dan moril. Kebakaran hutan dan lahan Pada tahun 2015, issu nasional bahkan menjadi issu dunia adalah banyaknya peristiwa kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia. Di Sulawesi Barat sendiri, dari enam kabupaten, lima diantaranya mengalami kebakaran hutan dan lahan. Selain merusak lahan pertanian warga, kebakaran hutan ini juga merusak ekosistem hutan khususnya yang berada dalam kawasan hutan lindung. Dari catatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Majene menerangkan bahwa terdapat 57 titik api di Sulawesi Barat, di antaranya Kabupaten Mamasa, di Kecamatan Mamasa (6 titik panas), Kecamatan Messawa (2 titik panas). Kecamatan Nosu (6 titik panas), Kecamatan Pendahuluan P - 13 Pana (1 titik panas), Kecamatan Sesena Padang (5 titik panas), Kecamatan Tabang (3 titik panas) dan Kecamatan Tanduk Kalua 1 titik panas, Kecamatan Tawalian (4 titik panas). Kemudian Kabupaten Mamuju, Kecamatan Bonehau (1 titik panas), Kecamatan Kalumpang (3 titik panas), Kecamatan Tommo (3 titik panas). Kabupaten Mamuju Tengah, Kecamatan Budong-budong (3 titik panas), Kecamatan Karossa (1 titik panas) dan Kabupaten Polman, Kecamatan Anreapi (2 titik panas), Kecamatan Binuang (2 titik panas) Kecamatan Polewali (1 titik panas). Tambang Galian C Hampir seluruh wilayah di Sulawesi Barat melakukan kegiatan tambang galian C dengan jenis kegiatan pegambilan material pasir dan batu, baik di sungai-sungai maupun di tebing-tebing perbukitan yang dekat dengan pemukiman warga. Yang menjadi keprihatinan adalah maraknya tambang galian C illegal yang dilakukan baik oleh pihak swasta maupun oleh kelompok masyarakat. Hal ini tentunya tidak lepas dari kurangnya pengawasan dari pemerintah daerah. Di sisi lain, pada sebagian daerah usaha tambang galian yang dilakukan oleh kelompok masyarakat menjadi sumber utama dalam menunjang ekonomi keluarga. Usaha tambang galian yang cukup memprihatinkan adalah pengambilan pasir dan batu di sungai-sungai yang menjadi sumber utama bahan baku air minum. Dari hasil pengukuran kualitas air sungai di Sulawesi Barat, sungai-sungai ini hanya memenuhi kualitas air pada kelas dua. Artinya bahwa sungai-sungai ini tidak layak untuk dijadikan bahn baku untuk sumber air minum. Untuk tambang galian yang menguras sisi tebing perbukitan, sebagian besar terjadi di Kabupaten Mamuju Utara, Kabupaten Majene dan Kabupaten Mamasa. Untuk Kabupaten Mamasa sendiri, kegiatan seperti ini dapat ditemui di sepanjang jalan dari Kecamatan Balla sampai Kota Mamasa. Kegiatan ini, selain membahayakan pengguna jalan yang melintas, juga sewaktu-waktu jika terjadi longsor mengakibatkan terputusnya satu-satunya akses jalan menuju kota Kabupaten Mamasa. Pendahuluan P - 14 c. Respon Sebagai bentuk perhatian pemerintah pada setiap peristiwa bencana yang terjadi di Provinsi Sulawesi Barat, maka pemerintah daerah baik provinsi dan kabupaten bersama dengan masyarakat sekitar langsung memberikan respon pada setiap kejadian dengan mengunjungi lokasi dan memberikan batuan. Banjir Daerah-daerah yang sering dilanda banjir telah dilakukan rehabilitasi antara lain : 1. Pelaksanaan program normalisasi sungai 2. Reboisasi di daerah hilir untuk hutan-hutan yang gundul akibat penebangan liar 3. Bekerja sama dengan pemerintah kabupaten melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya banjir sebagai akibat dari penggundulan hutan. 4. Memberikan sanksi kepada perusahaan-perusahaan penebangan kayu yang tidak memperhatikan perbaikan kualitas lingkungan. Abrasi Pantai Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan untuk menanggulangi terjadinya abrasi pantai antara lain : 1. Penanaman mangrove di wilayah yang terkena dampak abrasi. 2. Pembangunan tanggul-tanggul penahan ombak di daerah pesisir khususnya di sekitar daerah pemukiman. 3. Pembangunan tanggul pemecah ombak di daerah-daerah yang berpotensi aktifitas laut yang tinggi. Kebakaran Hutan dan Lahan Sebagai respon dari Kebakaran Hutan dan lahan di Sulawesi Barat, Gubernur Sulawesi Barat meminta kepada pihak kepolisian untuk mengusut dugaan adanya unsur kesengajaan dalam pembakaran hutan di beberapa tempat. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar kebakaran hutan di Sulawesi Barat juga dipengaruhi oleh kemarau yang berkepanjangan. Pendahuluan P - 15 Gubernur sudah memerintahkan kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Kepala Bandara Tampapadang untuk membuka posko siaga 24 jam dalam menanggapi kejadian kebakaran hutan dan lahan di Sulawesi Barat. Untuk perbaikan kawasan hutan dan lahan yang telah terbakar sepanjang tahun 2015, Pemerintah Daerah melakukan peningkatan reboisasi dan penghijauan kembali dalam penganggaran tahun 2016. Tambang Galian C Untuk menanggulangi maraknya kegiatan usaha dan/atau kegiatan penambangan galian C di Sulawesi Barat, maka dilakukan koordinasi lintas sektor dalam melakukan pegawasan, khususnya sektor pertambangan. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ditegaskan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki izin lingkungan. Izin lingkungan yang dimaksudkan adalah dasar untuk menerbitkan izin usaha lainnya. Namun pada kenyataannya, sering terjadi bahwa izin-izin usaha pertambangan yang dikeluarkan oleh Dinas Pertambangan tidak memiliki izin atau rekomendasi dari lingkungan hidup. Untuk kegiatan-kegiatan pertambangan yang tidak memiliki izin lingkungan, dalam pengawasan lapangan telah dilakukan upaya-upaya untuk menghentikan kegiatan dan melakukan koordinasi dengan pihak terkait. I-G PERHITUNGAN INDEKS KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP Indeks Pencemaran Air Indeks pencemaran air Provinsi Sulawesi Barat untuk tahun 2015 dihitung berdasarkan hasil pemantauan kualitas air sungai di 5 (lima) kabupaten. Pemantauan kualitas air sungai di Kabupaten Mamuju Utara, Mamuju, Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa di laksanakan oleh Bidang Pengendalian Pencemaran dan Pengelolaan Limbah BLH Provinsi Sulawesi Barat sedangkan untuk pemantauan kualitas air sungai di Kabupaten Majene dilaksanakan oleh BLHP Kabupaten Majene. Pendahuluan P - 16 Pemantauan kualitas air sungai di Kabupaten Mamuju Utara dilakukan di sungai lariang, di Kabupaten Polewali Mandar di sungai Mandar dan di Kabupaten Mamasa dilakukan di sungai Mamasa. Periode pemantauan ketiga sungai tersebut 5 kali dalam setahun dengan jumlah titik sampling 6 titik sampling. Pemantauan kualitas air sungai di Kabupaten Mamuju dilakukan di dua sungai yaitu sungai karama dan sungai kali mamuju dengan periode pemantauan 2 kali dalam setahun dengan jumlah titik sampling masing-masing sungai sebanyak 3 titik sampling. Pemantauan kualitas air sungai di Kabupaten Majene dilaksanakan di 5 sungai, yaitu sungai Mangge, Sungai Abaga, Sungai Tammero’do, Sungai Deking dan Sungai Tinambung, dari kelima sungai tersebut hanya dilakukan satu kali pemantauan dalam setahun. Untuk sungai Deking dilakukan di 2 titik sampling, yaitu hulu dan hilir dan untuk sungai yang lain hanya dilakukan di satu titik sampling. Dari pelaksanaan pemantaun yang dilaksanakan oleh Provinsi maupun Kabupaten masih kurang baik dari periode pemantauan maupun dari titik sampling sehingga masih kurang menggambarkan kondisi kualitas air sungai secara merata seperti dilaksanakan oleh kabupaten Majene yang hanya melakukan periode pemantauan hanya sekali dalam setahun dengan jumlah titik sampling setiap sungai hanya satu titik. Jumlah sungai yang dipantau sebanyak 10 sungai dengan jumlah titik sampling sebanyak 102 titik sampling. Tabel berikut merupakan hasil perhitungan Indeks Pencemaran air per Kabupaten. Tabel 1.2 : Nilai Indeks Pencemaran Air No. Provinsi/Kabupaten Nilai IPA 1 Mamuju Utara 55,33 2 Mamuju/Mamuju Tengah 66,67 3 Majene 50,00 4 Polewali Mandar 64,00 5 Mamasa 50,00 6 Sulawesi Barat Sumber : Data IKLH 2015 57,20 Berdasarkan hasil perhitungan, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas air sungai dengan tingkat pencemaran paling tinggi adalah Kabupaten Majene dan Kabupaten Mamasa dengan nilai IPA hanya 50.00. Kualitas air sungai yang masih Pendahuluan P - 17 dinyatakan cukup baik adalah Kabupaten Mamuju/Mamuju Tengah dengan nilai IPA 66,67. Secara keseluruhan kondisi kualitas air sungai di Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2015 sangat kurang dengan nilai IPA 57,20. Perbandingan nilai IKLH Provinsi Sulawesi Barat selama tiga tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1.3 : Perbandingan Nilai IPA 2013-2015 No. Provinsi/Kabupaten 2013 2014 2015 1 Kabupaten Mamuju Utara 46.67 30.00 55,33 2 Kabupaten Mamuju/Mamuju Tengah 58.33 88.89 66,67 3 Kabupaten Majene 100.00 33.33 50,00 4 Kabupaten Polewali Mandar 96.67 96.67 64,00 5 Kabupaten Mamasa 90.00 100.00 50,00 6 Provinsi Sulawesi Barat 78.33 69.78 57,20 Sumber : Data IKLH 2015 Berdasarkan tabel tersebut diatas, nilai indeks pencemaran air beberapa Kabupaten diantaranya Kabupaten Mamuju Utara, Kabupaten Majene pada Tahun 2015 mengalami kenaikan dibandingkan Tahun 2014 dari kondisi waspada menjadi sangat kurang akan tetapi kondisi ini masih mengkhawatirkan. Untuk Kabupaten Polewali Mandar, Mamuju/Mamuju Tengah dan Kabupaten Mamasa meskipun nilai indeks pencemaran air di tiga kabupaten tersebut lebih tinggi dari kabupaten Mamasa dan Majene akan tetapi mengalami penurunan nilai indeks pencemaran air dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan adanya penurunan kondisi kualitas sungai di beberapa kabupaten mengakibatkan nilai indeks pencemaran air di Tahun 2015 menurun dibandingkan dengan Tahun 2014, yaitu dari nilai 69,78 menurun menjadi nilai 57,20. Rendahnya indeks pencemaran air di provinsi Sulawesi Barat diakibatkan karena dari 102 titik sampling yang ada 66 titik sampling yang tercemar ringan dan satu titik sampling di Kabupaten Mamasa yaitu di Jembatan Malabo Desa Malabo Kecamatan Tandukkalua Kabupaten Mamasa pada periode pemantauan ke lima mengalami kondisi cemar sedang. Kondisi cemar sedang ini dipengaruhi oleh nilai parameter BOD yaitu 24 μg/lt jauh melebih baku mutu air sesuai dengan PP 82 Tahun 2001 yaitu 3 μg/lt. Pendahuluan P - 18 Indeks Pencemaran Udara Pemantauan kualitas udara ambien dilaksanakan oleh bidang Pengendalian Pencemaran dan Pengelolaan Limbah BLH Provinsi Sulawesi Barat. Pengambilan sampel udara ambien dilaksanakan di 6 Kabupaten se - Sulawesi Barat dengan tiga titik sampling setiap kabupaten. Di Kabupaten Mamuju Utara pengambilan sampel udara ambien dilakukan di lokasi Jl. Ir. Soekarno, Jl. H. Andi Depu (Lapangan Sepakbola) dan Jl. Urip Sumoharjo Pasangkayu. Di Kabupaten Mamuju Tengah sampling dilakukan di 3 lokasi, antara lain : Perumahan Mamuju Tengah, Jl. Tumbu Topoyo dan Jl. Poros Mamuju Utara. Untuk Kabupaten Mamuju sampling udara ambien dilakukan di Jl. Poros Mamuju Utara, Jl. Pongtiku (komp. BTN Axuri) dan Jl. Gatot Subroto (depan terminal Simbuang). Di Kabupaten Majene pengaambilan sampel dilakukan di lokasi Jl. Ahmad Yani, Jl. Jend. Sudirman dan Jl. Ammana Wedang Majene. Pengambilan sampel di Kabupaten Polewali Mandar dilaksanakan 3 lokasi dalam kota, yaitu Jl. H. Andi Depu, Jl. Jend. Ahmad Yani (Lampu Merah polewali) dan Jl. Poros Pinrang Polewali, sedangkan di Kabupaten Mamasa pengambilan sampel dilakukan di Jl. Poros Mamasa, Jl. Demmajannang dan Jl. Poros Mamasa (Komp. Perkantoran). Pengambilan sampel udara yang dilakukan oleh Bidang Pengendalian Pencemaran dan Pengelolaan Limbah dilaksanakan pada Bulan Juni. Berikut rekap tabel mengenai rerata konsentrasi NO2 dan SO2 tiap kabupaten dan perhitungan IP dan IPU. Tabel 1.4 : Nilai Indeks Pencemaran Udara No. Provinsi/Kabupaten Kon.NO2 Kon.SO2 IPNO2 IPSO2 IPU 1 Kabupaten Mamuju Utara 25,20 50,20 99,11 93,72 96,42 2 Kabupaten Mamuju, Mamuju Tengah 12,00 69,17 99,58 91,35 95,46 3 Kabupaten Majene 12,00 31,00 99,58 96,13 97,85 4 Kabupaten Polewali Mandar 12,00 31,00 99,58 96,13 97,85 5 Kabupaten Mamasa 12,00 43,67 99,58 94,54 97,06 6 Provinsi Sulawesi Barat 14,20 49,03 99,50 93,87 96,68 Sumber : Data IKLH 2015 Pendahuluan P - 19 Berdasarkan tabel tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa nilai indeks pencemaran udara Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2015 ini masih cukup bagus yakni mencapai nilai 96,68. Jika ditinjau berdasarkan masing-masing kabupaten, maka Kabupaten Majene dan Polewali mandar masih menduduki peringkat pertama sebagai Kabupaten dengan tingkat pencemaran udara terendah, sedangkan Kabupaten Mamuju/Mamuju tengah pada peringkat terakhir. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa tingkat pencemaran udara masih sangat didominasi dari emisi gas buang kendaraan bermotor. Kesimpulan ini diambil berdasarkan hasil perhitungan kualitas udara pada lokasi padat kendaraan. Nilai ini juga ditunjukkan dari indeks per kabupaten yang menempatkan Kabupaten Mamuju pada posisi terendah yang secara data adalah kabupaten dengan jumlah kepadatan kendaraan bermotor paling tinggi. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, indeks pencemaran udara pada tahun 2015 Provinsi Sulawesi Barat mengalami penurunan dibandingkan dengan Tahun 2014. Penurunan Indeks Kualitas Udara ini dipengaruhi oleh Penurunan kualitas udara secara menyeluruh disemua kabupaten. Indeks kualitas udara terendah di Kabupaten Mamuju dan Mamuju Tengah. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya peningkatan jumlah kendaraan bermotor. Berikut perbandingan nilai indeks kualitas udara untuk tahun 2014 dan 2015. Tabel 1.5 : Perbandingan Indeks Kualitas Udara 2014-2015 No. Provinsi/Kabupaten 2013 2014 2015 1 Kabupaten Mamuju Utara 99.51 97.71 96,42 2 Kabupaten Mamuju, Mamuju Tengah 98.18 97.36 95,46 3 Kabupaten Majene 99.28 98.28 97,85 4 Kabupaten Polewali Mandar 99.44 97.88 97,85 5 Kabupaten Mamasa 99.58 98.59 97,06 6 Provinsi Sulawesi Barat 99.20 97.43 96,68 Sumber : Data IKLH 2015 Indeks Tutupan Hutan Pada hakekatnya tutupan hutan dan lahan secara tidak langsung memiliki kontribusi besar dalam perubahan kualitas air sungai dan pencemaran udara. Jika Pendahuluan P - 20 persentase luas hutan masih lebih besar dari total luas wilayah suatu daerah, dapat disimpulkan bahwa kualitas lingkungan di daerah tersebut masih cukup baik. Jika kualitas hutan masih terjaga, maka secara tidak langsung ikut menjaga kualitas air sungai dan tingkat pencemaran udara. Sebaliknya, jika semakin banyak alih fungsi hutan akan menimbulkan pencemaran air sungai dan udara. Untuk perhitungan indeks tutupan hutan maka diperlukan data hutan primer dan hutan sekunder yang kemudian dijumlahkan. Data hutan primer dan hutan sekunder per Kabupaten se-Provinsi Sulawesi Barat yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat (SK. Menhut No. SK.862/MENHUT.II/2014) yang kemudian dibandingkan dengan luas wilayah administrasi setiap kabupaten maka dapat diperoleh persentase tutupan hutan setiap kabupaten. Dari hasil perhitungan persentase Tutupan Hutan maka dapat diperoleh Indeks Tutupan Hutan per-Kabupaten dengan melakukan konversi persentase yang merupakan perbandingan luas tutupan hutan dengan luas wilayah menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut : ITH  100  ï€ ïƒ§   84 ,3 ï€ ï€¨ THx 100 x 50   54 , 3  Berdasarkan rumus diatas, maka Indeks Tutupan Hutan Sulawesi Barat untuk tahun 2015 menurut kabupaten dan Provinsi dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 1.6 : Nilai Indeks Tutupan Hutan Kabupaten No ITH 1 Mamuju Utara 65,07 2 Mamuju, Mamuju Tengah 77,27 3 Majene 53,17 4 Polewali Mandar 36,56 5 Mamasa 66,79 6 Provinsi Sulawesi Barat 66,96 Sumber : Data IKLH 2015 Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa nilai indeks tutupan hutan untuk semua daerah di Provinsi Sulawesi Barat mengalami penurunan. Hal ini ditandai dengan nilai indeks tutupan hutan masih mencapai rata-rata 66,96. Nilai ini dipengaruhi oleh Indeks Tutupan Hutan di Kabupaten Majene dan Polewali Mandar yang sangat rendah. Nilai indeks tutupan hutan tertinggi berada di Pendahuluan P - 21 Kabupaten Mamuju/Mamuju Tengah mencapai 77,27, sedangkan nilai indeks tutupan hutan terendah berada di Kabupaten Polewali Mandar yakni hanya mencapai 36.56. Berikut perbandingan Indeks Tutupan Hutan Sulawesi Barat di rinci per Kabupaten untuk tiga tahun terakhir : Tabel 1.7 : Perbandingan Indeks Tutupan Hutan 2013-2015 No. Provinsi/Kabupaten 2013 2014 2015 1 Kabupaten Mamuju Utara 99.51 82.33 65,07 2 Kabupaten Mamuju, Mamuju Tengah 98.18 82.97 77,27 3 Kabupaten Majene 99.28 58.55 53,17 4 Kabupaten Polewali Mandar 99.44 34.37 36,56 5 Kabupaten Mamasa 99.58 71.75 66,79 6 Provinsi Sulawesi Barat 99.20 75.44 66,96 Sumber : Data IKLH 2015 Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Majene mengalami penurunan indeks tutupan lahan yang sangat signifikan. Kabupaten Polewali Mandar Tahun 2013 mencapai 99.44 sedangkan pada Tahun 2015 mengalami penurunan mencapai 36.56. Di Kabupaten Majene pada Tahun 2013 indeks tutupan hutannya 99.28 sedangkan pada Tahun 2015 mengalami penurunan mencapai 53.17. Adanya penurunan indeks tutupan hutan yang signifikan di semua Kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat mengakibatkan indeks tutupan hutan Provinsi Sulawesi Barat mengalami penurunan di Tahun 2013 mencapai 99.20 sedangkan di Tahun 2015 turun menjadi 66,96. Dari gambaran terebut diatas, dapat disimpulkan bahwa tingkat kekritisan kawasan hutan di Sulawesi Barat makin meningkat. Untuk itu, kegiatan reboisasi dan penghijauan untuk pemulihan lahan kritis perlu digalakkan. Indeks Kualitas Lingkungan Perhitungan Indeks kualitas lingkungan memiliki sifat komparatif yang berarti nilai satu kabupaten relatif terhadap kabupaten lainnya. Hasil perhitungan indeks kualitas lingkungan bukan semata-mata untuk melihat peringkat IKLH perKabupaten akan tetapi bagaimana setiap kabupaten saling bersinergi untuk Pendahuluan P - 22 memperbaiki kualitas lingkungan sehingga dapat mengangkat kualitas lingkungan Provinsi Sulawesi Barat. Indeks kualitas lingkungan hidup Provinsi Sulawesi Barat dihitung berdasarkan hasil perhitungan Indeks Pencemaran Air, Indeks Pencemaran Udara dan Indeks Tutupan Hutan yang masing-masing kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat maka di peroleh IKLH setiap Kabupaten, dan setiap kabupaten memberikan konstribusi berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayahnya terhadap total jumlah Provinsi sehingga diperoleh nilai IKLH Provinsi Sulawesi Barat. Nilai indeks kualitas lingkungan masing-masing kabupaten diperoleh dengan rumus perhitungan sebagai berikut : IKLH = 30% IPA x 30% IPU x 40% ITH 3 Dari rumus perhitungan tersebut diatas, maka Indeks Kualitas Lingkungan untuk Provinsi Sulawesi Barat dan masing-masing kabupaten dapat dilihat melalui tabel berikut : Tabel 1.8 : Nilai Indeks Kualitas Lingkungan Per Kabupaten No. Provinsi/Kabupaten IPA IPU ITH IKLH 1 Mamuju Utara 16,60 28,92 26,03 71,57 2 Mamuju dan Mamuju Tengah 20,00 28,64 30,91 79,53 3 Majene 15,00 29,36 21,27 65,62 4 Polewali Mandar 19,20 29,36 14,62 63,18 5 Mamasa 15,00 29,12 26,72 70,83 Sumber : Data IKLH 2015 Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa Indeks Kualitas Lingkungan di Kabupaten Mamuju/Mamuju Tengah menempati peringkat pertama dengan nilai IKLH 79,53, sedangkan peringkat terakhir adalah Kabupaten Polewali Mandar dengan nilai IKLH 63,18. Rendahnya nilai IKLH Kabupaten Polewali Mandar dipengaruhi oleh indeks tutupan hutan yang sangat rendah dibandingkan dengan luas wilayah kabupaten Polewali Mandar. Perubahan nilai IKLH setiap kabupaten di pangaruhi oleh perubahan nilai IPA, IPU da ITH. Penurunan nilai IKLH paling signifikan terdapat di Kabupaten Mamasa, hal ini dipengaruhi oleh penurunan nilai Indeks Pencemaran Air yang sangat Pendahuluan P - 23 signifikan. Dari hasil perhitungan IPA untuk sungai Mamasa, dari 30 titik pemantauan hanya 1 titik yang memenuhi baku mutu, 28 titik tercemar ringan dan 1 titik cemar sedang. Di Kabupaten Polewali Mandar penurunan nilai IKLH juga dipengaruhi oleh turunnya nilai IPA. dari hasil perhitungan nilai IPA Kabupaten Polman dari 30 titik pemantauan 21 titik yang memenuhi baku mutu, 9 titik cemar ringan. Selain dari nilai IPA yang rendah, Indeks tutupan hutan di Kabupaten Polewali Mandar mempunyai nilai yang terendah dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Provinsi Sulawesi Barat. Meskipun ITH di Polman mengalami kenaikan dibandingkan dengan Tahun 2014 akan tetapi tutupan hutan di Kabupaten Polewali Mandar masih kurang dibandingkan dengan luas administrasinya. Di Kabupaten Mamuju/Mamuju Tengah penurunan nilai IKLH dipengaruhi oleh semua indikator baik air, udara dan tutupan hutan. Untuk Kabupaten Mamuju Utara dan Majene sedikit mengalami kenaikan karena dipengaruhi oleh naiknya nilai IPA dibandingkan dengan tahun 2014. Dari rentang nilai IKLH maka Kabupaten Majene dan Polewali berada pada kategori kurang. Untuk Kabupaten Mamuju Utara dan Mamasa masuk dalam kategori cukup dan Kabupaten Mamuju masuk dalam kategori baik. Dengan melihat hasil ini seharusnya setiap kabupaten yang masuk kategori cukup bahkan kurang untuk berbuat sesuai dengan proporsi dalam memperbaiki kualitas lingkungan hidup dan Kabupaten yang sudah masuk dalam kategori baik untuk tetap mempertahankan kondisi lingkungannya dan juga selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas pada posisi yang unggul. Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Kualitas Lingkungan masing-masing Kabupaten, maka diperoleh hasil perhitungan Indeks Kualitas Lingkungan Provinsi Sulawesi Barat dengan rumus : IKLH _ Pr ovinsi 5   IKLH Kabupaten i 1   PopulasiKa bupaten   Populasi Pr ovinsi  xïƒïƒ¨ 2     LuasKabupa ten        Luas Pr ovinsi      Berdasarkan rumus tersebut diatas, maka diperoleh nilai Indeks Kualitas Lingkungan Provinsi Sulawesi Barat untuk tahun 2015 sebagai berikut : Pendahuluan P - 24 Tabel 1.9 : Perhitungan Indeks Kualitas Lingkungan Sulbar Tahun 2015 No. Kabupaten IKLH Kab Populasi Kab/Populasi Prov. Luas Kab/Luas Prov. NILAI IKLH Prov. 1 Mamuju Utara 71,55 0,121 0,177 10,658 2 Mamuju / Mamuju Tengah 79,55 0,299 0,469 30,592 3 Majene 65,62 0,128 0,053 5,948 4 Polewali Mandar 63,18 0,332 0,123 14,372 5 Mamasa 70,83 0,119 0,178 10,508 IKLH Provinsi Sulbar Tahun 2015 I-H 72,08 MANFAAT SLHD DALAM PENGAMBILAN KEBIJAKAN DAERAH Selain menjadi kegiatan wajib yang harus dilaksanakan untuk setiap tahunnya sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada pasal 63 ayat (1) sampai dengan ayat (3), penyusunan SLHD memiliki peranan dalam pengambilan kebijakan pembangunan daerah pada tahun berikutnya. Beberapa manfaat dalam pengambilan kebijakan daerah pada tahun 2015 yang bersumber dari hasil penyusunan SLHD tahun sebelumnya adalah sebagai berikut : 1. Sebagai bahan dasar dalam penyusunan Peraturan Gubernur Sulawesi Barat Tentang Baku Mutu Air dan Peraturan Gubernur tentang Jenis Usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL/UPL. 2. Kebijakan pengalokasian dana untuk penanggulangan abrasi pantai melalui penanaman mangrove dan bambu. 3. Pengambilan kebijakan untuk rehabilitasi hutan dan lahan akibat kebakaran hutan I-I AGENDA PEGELOLAAN LINGKUNGAN Kebijakan pembangunan Provinsi Sulawesi Barat tahun 2015 dituangkan dalam arah kebijakan umum tahun 2015 di bidang lingkungan hidup yang antara lain berisikan : 1. Peningkatan pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan dan keanekaragaman hayati yang mendorong sumber pencemaran memenuhi standar baku mutu; Pendahuluan P - 25 2. Penguatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia pengelola lingkungan hidup; 3. Membangun kemampuan dalam pelaksanaan koordinasi kebijakan dan perencanaan pembangunan di bidang lingkungan hidup; 4. Peningkatan partisipasi dan peran serta masyarakat; 5. Peningkatan upaya penegakan hukum lingkungan; 6. Penguatan akses masyarakat terhadap informasi lingkungan hidup. Pada tahun 2015 ini melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah, pemerintah daerah telah mengalokasikan anggaran untuk bidang pengelolaan lingkungan hidup sebesar Rp. 21.079.938.500,- serta anggaran pendapatan dan belanja nasional melalui dana dekonsentrasi bidang lingkungan hidup sebesar Rp. 1.300.000,-. Dengan demikian, total anggaran pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dalam bidang lingkungan hidup untuk tahun 2015 sebesar Rp. 22.379.938.500,Anggara tersebut jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dimana anggaran sebelumnya dari total dana APBN dan APBD untuk bidang lingkungan hidup hanya sebesar Rp. 10.361.050.000,- atau mengalami peningkatan sebesar Rp. 1.650.643.650,Perbandingan anggaran kegiatan di bidang lingkungan hidup untuk tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 dapat dilihat pada table berikut ini : Tabel 1.10 : Perbandingan Anggaran Lingkungan Hidup Tahun 2013 – 2015 No. Sumber Anggaran Jumlah Anggaran Tahun 2015 Tahun 2014 Tahun 2013 1 APBD 21.079.938.500 7.947.000.000 4.210.406.350 2 APBN 1.300.000.000 2.414.050.000 4.500.000.000 3 Bantuan Luar Negeri*) - - - 22.379.938.500 10.361.050.000 8.710.406.350 Total Sumber : tabel UP-10A Buku Data Program kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2015 untuk menunjang pembangunan di bidang lingkungan hidup antara lain : Pendahuluan P - 26 1. Kegiatan yang bersumber dari dana APBD : Program Pengembangan Kinerja Pengelolaan Persampahan  Bimbingan teknis persampahan Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup.  Koordinasi penilaian kota sehat Adipura  Pengelolaan B3 dan Limbah B3  Pengkajian Dampak Lingkungan  Inventarisasi Usaha Kegiatan Wajib AMDAL/UKL/UPL  Koordinasi Pengawasan Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Pos P3SLH  Kegiatan Pembinaan dan Pengawasan Kualitas Udara Skala Provinsi  Penetapan Baku Mutu Air Provinsi Sulawesi Barat  Updating Draf Peraturan Bidang AMDAL dan Sistem Informasi Data Base (Aplikasi Data Base Dokumen AMDAL UPL-UKL)  Penyusunan Pergub Baku Mutu Air  Penyusunan Pergub tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib dilengkpi dengan UKL/UPL Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam  Konservasi Sumber Daya Air dan Pengendalian Kerusakan SumberSumber Air  Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan dan Konservasi SDA  Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup  Pengembangan Data dan Informasi Lingkungan  Penyusunan Status Lingkungan Hidup Daeah (SLHD) dan IKLH Program Pengelolaan dan Rehabilitasi Ekosistem Pesisir dan Laut  Pengelolaan dan Rehabilitasi Ekosistem Pesisir dan Laut Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.  Pengembangan Program – Program ADIWIYATA (Sekolah Peduli Lingkungan)  Penyusunan PDRB Hijau Sulawesi Barat Pendahuluan P - 27 2. Kegiatan yang bersumber dari dana APBN yakni Program Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Peningkatan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah, antara lain :  Pengawasan dan Pemantauan Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun  Pemantauan Kualitas Air Pada Sumber Air Skala Nasional Dan Atau Merupakan Lintas Batas Negara Dan Atau Prioritas Nasional  Pemantauan Kualitas Udara Lintas Provinsi Dan Atau Lintas Batas Negara Dan/Atau Prioritas Nasional Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan sebagaimana yang telah diagendakan dalam program kerja Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat untuk tahun 2015, harus dibarengi dengan ketersediaan sumber daya manusia pengelola lingkungan hidup. Berdasarkan data yang dihimpun dari Sekretariat Badan lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat, Jumlah pegawai negeri di BLH Provinsi Sulawesi Barat untuk tahun 2015 ini baru sekitar 47 orang yang terdiri dari 23 laki-laki dan 24 perempuan. Jumlah ini mengalami pertabahan dari tahun sebelumnya yakni hanya 43 orang. Pendahuluan P - 28 BAB II KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA II-A. LAHAN DAN HUTAN Provinsi Sulawesi Barat merupakan pengembangan dari Provinsi Sulawesi Barat yang dibentuk pada tahun 2004 berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2004 tentang pembentukan Provinsi Sulawesi Barat. Sebagian besar luas daratan Sulawesi Barat masih tertutupi oleh kawasan hutan, sekitar 69,53 persen atau sekitar 11.241,05 Km2 dari luas Sulawesi Barat yang mencapai 16.916,72 Km 2. Kondisi ini memberi gambaran jika sub sektor kehutanan di Sulawesi Barat masih cukup potensial untuk dikembangkan. Secara filosofis, wilayah Provinsi Sulawesi Barat termasuk dalam Mandala Geologi Sulawesi Barat atau merupakan bagian tengah dari Busur Volkanik Sulawesi Barat yang didominasi oleh batuan-batuan plutonik volkanik Paleogen-Kuarter serta batuan sedimen dan metamorfik Mezoik tersier. Sejarah geologi daerah penyelidikan Provinsi Sulawesi Barat dimulai pada zaman kapur dengan pengendapan Formasi Latimojong (Kls) yang terdiri dari batu sabak, kuarsit, filit, batu pasir, kuarsa malih, batu lanau malih dan pualam setempat serta batu lempeng malih. Formasi Mandar (Tmm) terdiri dari batu pasir, batu lanau dan serpih berlapis baik serta mengandung lensa lignit yang berumur Miosen Akhir. Tebalnya mencapai 400 meter dan diendapkan dalam lingkungan laut dangkal sampai delta. Pada lembar Mamuju, formasi ini disebut Formasi Mamuju (Raman dan Atmawinata 1993) didominasi oleh napal dan batu gamping dengan sisipan tuf, batu pasir dan konglomerat. Formasi Mamuju diendapkan bersamaan dengan Anggota Tapalang Formsi Mamuju (Tmmt) yang terdiri dari batugamping terumbu, batugamping kepingan dan napal. Keduanya menjemari dengan Batuan Gunungapi Talaya (Tmtv) disusul oleh Formasi Lariang (Tmpl) yang terdiri dari perselingan antara konglomerat dan batupasir, sisipan dari batu lempung dan setempa tuf berumur Miosen Akhir – Pliosen. Jenis jenis tanah yang ada di wilayah Sulawesi Barat terdiri dari tanah inceptisol dan tanah ultisol. Jenis tanah inceptisol terdapat di hampir seluruh wilayah Sulawesi Barat yakni merupakan tanah muda dengan tingkat perkmbangan lemah Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K-1 yang dicirikan oleh horizon penciri kambik. Tanah ini terbentuk dari berbagi macam bahan induk yaitu luvium (fluvitil dan marin), batu pasil, batu liat dan batu gamping. Penyebaran tanah ini terutama di daerah dataran antara erbukitan, tanggul sungai, rawa belakang sungai, dataran luvial, sebagaian dataran structural berelief datar, landform structural/tektonik dan dataran/perbukitan volkanik. Tanah inceptisol memiliki horizon cambic pada horizon B yang dicirikan dengan adanya kandungan liat yang belum terbentuk dengan baik akibat proses basah kering dan proses penghanyutan pada lapisan tanah. Jenis tanah utisol merupakan tanah berwarna kemerahan yang banyak mengandung lapisan tanah liat dan bersifat asam. Warna tersebut terjadi akibat kandungan logam, terutama besi dan aluminum yang teroksidasi (weathered soil). Tanah ini umumnya terdapat di daerah topis pada hutan hujan dan secara alamiah sangat cocok untuk kultivasi atau penanaman hutan. Selain itu juga merupakan material yang stabil digunakan dalam konstruksi bangunan. Parameter yang menentukan persebaran jenis tanah di wilayah Sulawesi Barat adalah jenis batuan, iklim dan geomorfologi local, sehingga perkebangannya ditentukan oleh tingkat pelapukan batuan pada kawasan tersebut. Kulaitas tanah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap intensitas penggunaan lahannya. Tanahtanah yang sudah berkembang horizonnya akan semakin intensif digunakan, terutama untuk kegiatan budidaya. Lahan dan hutan merupakan sumber perekonomian bagi masyarakat, karena daerah Provinsi Sulawesi Barat mempunyai kawasan hutan yang cukup luas. Oleh sebab itu, sumber daya hutan yang berlimpah diharapkan menjadi potensi yang memiliki nilai ekonomi dan pembangunan bagi semua pihak, sepanjang tetap memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan untuk pelestarin fungsi hutan. Produksi hasil hutan non kayu yang cukup banyak di Sulawesi Barat adalah rotan dan getah pinus masing-masing sebesar 2.566 ton dan 132.359 ton. Luas hutan di Sulawesi Barat selama ini terpantau di 16 titik pos kehutanan yang tersebar disemua kabupaten. Pembahasan lahan dan hutan dilakukan dengan analisis statistik sederhana dengan perbandingan dengan baku mutu, perbandingan nilai antar lokasi dan antar waktu serta analisis statistik sederhana dengan membandingkan frekuensi, maksimum, minimum dan rata-rata melalui pendekatan-pendekatan sebagai berikut : Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K-2 1. Mengidentifikasi kondisi lahan dan hutan yang terparah untuk dijadikan subjek utama 2. Mengidentifikasi lahan kritis dibeberapa kabupaten 3. Mengukur tingkat percepatan kerusakan dan perbaikan lahan. 4. Menelaah lebih lanjut aktifitas utama yang menyebabkan perubahan alih fungsi lahan, seperti : Konversi lahan dan hutan akibat ekspansi perkebunan Konversi lahan dan hutan akibat ekspansi pertambangan Konversi lahan dan hutan akibat ekspansi Galian C Konversi lahan dan hutan akibat ekspansi Penebangan liar. Luas wilayah menurut penggunaan lahan utama. Tutupan lahan merupakan sesuatu yang bersifat dinamis. Perubahan tutupan lahan baik yang terjadi oleh faktor manusia maupun yang disebabkan faktor alam, hal ini menjadi dinamika terhadap tutupan lahan. Bentuk dari dinamika tutupan lahan yang paling sering terjadi adalah penggunaan lahan yang belum terpakai/lahan kosong, dan juga perubahan fungsi lahan dari fungsi yang satu menjadi fungsi lainnya atau biasa yang disebut dengan konversi. Pertambahan penduduk yang semakin tinggi dapat ,mengakibatkan tutupan lahan semakin tinggi. Pembagian luas lahan di Provinsi Sulawesi Barat berdasarkan masing-masing kabupaten dapat dilihat melalui tabel berikut : Tabel. 2.1 : Luas Penggunaan Lahan Utama Provinsi Sulawesi Barat Luas Lahan (Ha) No. 1 2 Kabupaten Mamuju Utara Mamuju Tengah Non Pertanian Sawah Lahan Kering Perkebunan Hutan Badan Air Total 3.391,00 20.347,00 0,00 88.818,00 181.090,00 5.245,00 298.891,00 733,00 39.244,00 0,00 49.048,00 219.423,00 2.344,00 310.792,00 3 Mamuju 2.480,00 40.293,00 0,00 65.738,00 371.409,00 3.317,00 483.237,00 4 Majene 1.183,00 6.671,00 0,00 29.987,00 51.472,00 707,00 90.020,00 5 Polewali Mandar 6.427,00 24.747,00 0,00 72.361,00 97.837,00 6.907,00 208.279,00 6 Mamasa 437,00 4.504,00 0,00 91.345,00 202.874,00 1.293,00 300.453,00 14.651,00 135.806,00 0,00 397.297,00 1.124.105,00 19.813,00 1.691.672,00 Total Sumber : Tabel SD-1 Buku Data Berdasarkan Tabel diatas, luas lahan berdasarkan peruntukannya di Provinsi Sulawesi Barat adalah 1.691.672 hektar. Jika dilihat dari jenis kawasan, maka Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K-3 kawasan hutan menempati urutan tertinggi untuk luas kawasan yakni sekitar 66,45 % dan yang terendah adalah lahan sawah yakni sekitar 0,87 %. Untuk luas kawasan hutan tertinggi sendiri berada di Kabupaten Mamuju yakni sekitar 371.409 hektar sedangkan yang terendah berada di Kabupaten Majene yakni sekitar 51.472.00 hektar. Kawasan perkebunan didominasi oleh Kabupaten Mamasa yakni seluas 91.345 hektar sedangkan yang terkecil adalah Kabupaten Majene yakni sebesar 29.987 Lahan non pertanian yang terluas berada di Kabupaten Polewali Mandar yakni seluas 6.427 hektar sedangkan yang terendah berada di Kabupaten Mamuju Tengah yakni seluas 733 hektar. Untuk lahan sawah sendiri, yang terluas berada di Kabupaten Mamuju yakni seluas 40.293 hektar sedangkan di yang terkecil berada di Kabupaten Mamasa yakni sekitar 4.504 hektar. Perbandingan luas kawasan hutan menurut pembagian lahan dapat dilihat pada grafik berikut; Grafik 2.1 : Persentase Luas Lahan Berdasarkan Penggunaan Lahan Utama di Provinsi Sulawesi Barat Sumber : Hasil perhitungan luas lahan. Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi Atau Statusnya Berdasarkan data dari materi teknis Perda RTRW Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2015-2034, total luas kawasan hutan untuk provinsi Sulawesi Barat adalah 1.124.105 hektar. Berdasarkan pembagian kawasan hutan menurut fungsinya, hutan lindung merupakan yang terluas yakni mencapai 450.639 hektar disusul oleh hutan produksi terbatas seluas 334.393 hektar, suaka margasatwa seluas Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K-4 214.099 hektar, hutan produksi seluas 76.910 hektar, hutan produksi konservasi 27.424 hektar serta kawsan wisata seluas 149 hektar. Luas kawasan hutan tersebut dihitung dari luas kawasan hutan yang berada di enam Kabupaten yang masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Barat. Penentuan tapal batas dan pengawasan isi kawasan serta fungsi dan statusnya menjadi sangat penting guna mengetahui prospek ketahanan tutupan vegetasi Provinsi Sulawesi Barat terhadap bencana alam. Grafik 2.2 : Perbandingan luas hutan menurut fungsinya Sumber : Hasil olah data buku data tabel SD-2 Luas kawasan lindung menurut RTRW dan Tutupan Lahannya. Rencana Pengembangan Kawasan Lindung Wilayah Provinsi meliputi kawasan lindung yang ditetapka dalam RTRWN yang terkait dengan wilayah provinsi dan rencana pengembangan kawasan lindung provinsi yang merupakan kewenangan provinsi. Kawasan lindung yang ditetapkan dalam RTRWN disebut Kawasan indung Nasional, kawasan yang tidak diperkenankan dan/atau dibatasi pemanfaatan ruangnya dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Dalam RTRW, penentuan kawasan lindung di Sulawesi Barat di dasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 726 tahun 2012 tentang kawasan hutan dan konservasi perairan. Melengkapi peta tersebut, juga dilakukan analisi penentuan peruntukan kawasan hutan dalam skala yang lebih detail (1:50000) berdasarkan data evaluasi, kemiringan lereng, sebaran kawasan rawan banjir serta kawasan rawan longsor dan gempa. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K-5 Keberadaan dan terpeliharanya kawasan lindung di Sulawesi Barat diniliai sangat vital. Pada wilayah dengan curah hujan yang tinggi seperti di kebanyakan wilayah di Sulawesi Barat, kawasan lingkung menjadi penyangga bencana banjir, longsor dan erosi. Sementara pada wilayah dengan curah hujan yang relatif rendah, seperti di Kabupaten Majene dan Kabupaten Mamuju Utara bagian Utara, kawasan lindung enjadi penyangga bagi ketersediaan air untuk berbagai kepentingan. Meskipun demikian, ada sebagian kecil wilayah yang tersebar di semua kabupaten di Sulawesi Barat yang secara legalitas-formalnya tercatat sebagai hutan lindung, akan tetapi dalam kenyataannya sudah sejak lama menjadi kawasan pemukiman. Jika ditinjau dari bio-geofisik, kawasan-kawasan tersebut tidak cocok untuk dijadikan hutan lindung karena tidak memberikan fungsi sebagai kawasan lindung. Berdasarkan data yang tertuang dalam Perda RTRW Provinsi Sulawesi Barat, luas kawasan lindung di Sulawesi Barat adalah 1.557.229,50 hektar yang terdiri atas kawasan perlindungan terhadap kawasan seluas 668.375,10 hektar, kawasan perlindungan setempat seluas 675.041 hekar dan kawasan suaka alam seluas 213.813,40 hektar. Pembagian kawasan berdasarkan tutupan lahan belum dapat dihitung secara terperinci baik dari data Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat maupun penjabaran dari Perda RTRW Provinsi Sulawesi Barat. Luas Tutupan Lahan dalam Kawasan Hutan dan Luar Kawasan Hutan Data luas tutupan lahan dalam kawasan hutan dan luar kawasan hutan dirinci menurut kabupaten berdasarkan data yang tertuang dalam lapiran II-Lapiran IV Perda Provinsi Sulawesi Barat Nomor 1 Tahun 2015 tentang RTRW Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2015-2034, yang dapat dihitung adalah luas kawasan hutan yang dirinci sebagai berikut : Kabupaten Mamuju Utara  Luas tutupan lahan KSA-KPA sebesar 161,31 Ha  Luas tutupan lahan HL sebesar 103.313,49 Ha  Luas tutupan lahan HPT sebesar 55.002,76 Ha  Luas tutupan lahan HP sebesar 2.107,09 Ha  Luas tutupan lahan HPK sebesar 8.998,35 Ha Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K-6 Kabupaten Mamuju Tengah  Luas tutupan lahan KSA-KPA sebesar 50.923,18 Ha  Luas tutupan lahan HL sebesar 16.633,52 Ha  Luas tutupan lahan HPT sebesar 95.944.40 Ha  Luas tutupan lahan HP sebesar 30.019,73 Ha  Luas tutupan lahan HPK sebesar 6.000,25 Ha Kabupaten Mamuju  Luas tutupan lahan KSA-KPA sebesar 93.698,09 Ha  Luas tutupan lahan HL sebesar 132.707,97 Ha  Luas tutupan lahan HPT sebesar 101.981,13 Ha  Luas tutupan lahan HP sebesar 44.782,69 Ha  Luas tutupan lahan HPK sebesar 11.988,74 Ha Kabupaten Majene  Luas tutupan lahan HL sebesar 44.649,75 Ha  Luas tutupan lahan HPT sebesar 7.553,33 Ha Kabupaten Polewali Mandar  Luas tutupan lahan KSA-KPA sebesar 733,9 Ha  Luas tutupan lahan HL sebesar 69.613,21 Ha  Luas tutupan lahan HPT sebesar 24.016,44 Ha Kabupaten Mamasa  Luas tutupan lahan KSA-KPA sebesar 68.582,04 Ha  Luas tutupan lahan HL sebesar 83.721,19 Ha  Luas tutupan lahan HPT sebesar 49.894,66 Ha  Luas tutupan lahan HPK sebesar 437,10 Ha Luas Lahan Kritis. Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif. Meskipun dikelola, produktivitas lahan kritis sangat rendah, bahkan dapat terjadi hasil produksi yang diterima jauh lebih sedikit daripada biaya produksinya. Lahan kritis bersifat tandus, gundul, dan tidak dapat digunakan untuk kegiatan perkebunan dan pertanian, karena tingkat kesuburannya sangat rendah. Lahan kritis didefinisikan sebagai lahan yang mengalami proses kerusakan fisik, kimia dan biologi karena tidak sesuai penggunaan dan kemampuannya, yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi dan lingkungan. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K-7 Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya lahan kritis, adalah sebagai berikut. 1. Genangan air yang terus-menerus seperti di daerah pantai dan rawa-rawa. 2. Kekeringan, biasanya terjadi di daerah bayangan hujan. 3. Erosi tanah atau masswasting yang biasanya terjadi di daerah dataran tinggi, pegunungan, dan daerah miring lainnya. 4. Pengelolaan lahan yang kurang memerhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan. Lahan kritis dapat terjadi baik di dataran tinggi, pegunungan, daerah yang miring maupun di dataran rendah. 5. Masuknya material yang dapat bertahan lama ke lahan pertanian, misalnya plastik. Plastik dapat bertahan 200 tahun di dalam tanah sehingga sangat mengganggu kelestarian lahan pertanian. 6. Terjadinya pembekuan air, biasanya terjadi di daerah kutub atau pegunungan yang sangat tinggi. 7. Masuknya zat pencemar (misal pestisida dan limbah pabrik) ke dalam tanah sehingga tanah menjadi tidak subur. Berikut tabel luas lahan kritis di Sulawesi Barat dirinci per Kabupaten berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat. Tabel 2.2 : Luas Lahan Kritis Provinsi Sulawesi Barat No. Kabupaten Kritis (Ha) Sangat Kritis (Ha) Jumlah Total (Ha) 1067,00 45,00 1112,00 0,00 0,00 0,00 1 Mamuju Utara 2 Mamuju Tengah 3 Mamuju 71533,83 0,00 71533,83 4 Majene 19814,00 0,00 19814,00 5 Polewali Mandar 21970,00 0,00 21970,00 6 Mamasa 64033,00 0,00 64033,00 178417,83 45,00 178462,83 Total Sumber : Tabel SD-5 Buku Data Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa luas lahan kritis di Provinsi Sulawesi Barat untuk tahun 2015 adalah 178.462, 83 hektar dengan wilayah terluas berada di Kabupaten Mamuju yakni seluas 71.533,83 hektar. Jumla ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yakni mencapai 246.517 hektar. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya lahan kritis, adalah sebagai berikut. 1. Genangan air yang terus-menerus seperti di daerah pantai dan rawa-rawa. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K-8 2. Kekeringan, biasanya terjadi di daerah bayangan hujan. 3. Erosi tanah atau masswasting yang biasanya terjadi di daerah dataran tinggi, pegunungan, dan daerah miring lainnya. 4. Pengelolaan lahan yang kurang memerhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan. Lahan kritis dapat terjadi baik di dataran tinggi, pegunungan, daerah yang miring maupun di dataran rendah. 5. Masuknya material yang dapat bertahan lama ke lahan pertanian, misalnya plastik. Plastik dapat bertahan 200 tahun di dalam tanah sehingga sangat mengganggu kelestarian lahan pertanian. 6. Terjadinya pembekuan air, biasanya terjadi di daerah kutub atau pegunungan yang sangat tinggi. 7. Masuknya zat pencemar (misal pestisida dan limbah pabrik) ke dalam tanah sehingga tanah menjadi tidak subur. Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air Kerusakan tanah untuk produksi biomassa dapat disebabkan oleh sifat alami tanah, dapat pula disebabkan oleh kegiatan manusia yang menyebabkan tanah tersebut terganggu/rusak hingga tidak mampu lagi berfungsi sebagai media untuk produksi biomassa secara normal. Tata cara pengukuran kriteria baku kerusakan tanah untk produksi biomassa ini hanya berlaku untuk pengukuran kerusakan tanah karena tindakan manusia di areal produksi biomassa maupun karena adanya kegiatan lain diluar areal produksi biomassa yang dapat berdampak terhadap terjadinya kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Pengukuran kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa dilakukan pada areal yang telah ditetapkan dalan rencana RTRW Kabupaten Kota sebagai kawasan produksi biomassa. Selanjutnya kawasan untuk produksi biomassa tersebut diidentifikasi untuk mengetahui areal-areal yang berpotensi mengalami kerusakan tanah berdasarkan dat-data sekunder (peta tematik) atau informasi yang ada. Perbandingan dengan baku mutu Untuk pengukuran erosi dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan oleh BLHP Kabupaten Majene, untuk melihat pengurangan tebal tanah selama paling sedikit ± 1 tahun untuk analisa kerusakan tanah dilahan kering akibat erosi air sementara hanya dilakukan dengan tebal tanah <20 cm di lokasi Kelurahan Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K-9 Tande, pada kemiringan > 450 dengan estimasi hasil pengukuran sepuluh tahun ± 1,5 mm atau melebihi baku mutu ambang kritis erosi (>0,2 - <1,3) dan 20 – <50 cm di lokasi Lingk. Puawang pada kemiringan >450 dengan estimasi hasil pengukuran sepuluh tahun ± 4,2 mm melebihi baku mutu ambang kritis erosi (1,3-< 4). Tabel 2.3 : Evaluasi kerusakan lahan di tanah kering akibat erosi No. Tebal Tanah Ambang Kritis Erosi (PP 150/2000) (mm/10 tahun) Besaran erosi (mm/10 tahun) Status Melebihi/Tidak 1 < 20 cm 0,2 - 1,3 ± 1,5 melebihi 2 20 - < 50 cm 1,3 - < 4 ± 4,2 melebihi 3 50 - < 100 cm 4,0 - < 9,0 tad tad 4 100 – 150 cm 9,0 – 12 tad tad 5 > 150 cm > 12 tad tad Sumber : Tabel SD-6 Buku Data Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering Kriteria baku yang digunakan untuk menentukan status kerusakan tanah untuk produksi biomassa didasarkan pada parameter kunci sifat dasar tanah, yang mencakup sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi tanah. Sifat dasar tanah ini menentukan kemampuan tanah dalam menyediakan air dan unsur hara yang cukup bagi kehidupan (pertumbuhan dan perkembangan) tumbuhan. Dengan mengetahui sifat dasar suatu tanah maka dapat ditentukan status kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Kriteria baku ini dapat digunakan untuk produksi biomassa tanaman semusim maupun tanaman keras (perkebunan dan kehutanan). Khusus untuk parameter ketebalan solum nilai ambang kritis hanya berlaku untuk tanaman semusim, sedangkan untuk tanaman keras (perkebunan dan kehutanan) nilai ambang kritis harus disesuaikan dengan kebutuhan jenis tanaman keras tersebut (berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan). Perbandingan dengan baku mutu Pada periode pemantauan kualitas tanah tahun 2015 pada Lahan Kering dilakukan oleh Kabupaten Majene dan Kabupaten Polewali Mandar. Untuk Kabupaten Majene dilakukan di tiga lokasi yakni berada di Desa Lambe, Desa Pangaleroang dan Desa Talongga. Dari hasil pemantauan di Kabupaten Majene dapat dijabarkan bahwa parameter yang melebihi baku mutu sesuai dengan Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 10 ketentuan dalam PP 150 tahun 2000 ada tiga parameter yakni Kebatuan Permukaan, Derajat Peluusan Air dan Jumlah Mikroba. Pada parameter Kebatuan Permukaan parameter yang melebihi baku mutu berada di Desa Pangaleroang, untuk parameter Jumlah Mikroba melebihi baku mutu di Desa Lambe dan Desa Talongga, sedangkan untuk Parameter Derajat Pelulusan Air melebihi baku mutu di Tiga Desa yang dilakukan pemantauan. Untuk pemantauan kualitas tanah pada lahan kering di Kabupaten Polewali Madar, dilakukan di tiga kecamatan yakni Kecamatan Luyo, Tapango dan Binuang. Pada pemantauan yang di lakukan di Kabupaten Polewali Mandar ada satu parameter yang melebihi baku mutu sesuali ketentuan dalam PP 150 tahun 2000 yakni parameter redoks yang terjadi di semua lokasi. Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Basah. Pelaksanaan evaluasi kerusakan tanah di lahan kering akibat erosi, berdasarkan data yang dikumpulkan dari Badan Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan baik di tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten bahwa sampai saat ini belum pernah dilakukan pengukuran sehingga belum ada data yang tersedia sebagaimana standar baku mutu yang telah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa. Perkiraan Luas Kerusakan Hutan menurut Penyebabnya Tidak bisa dipungkiri bahwa kerusakan hutan terjadi setiap hari, informasi tersebut seringkali kita dapatkan dari berbagai macam media seperti televisi, internet, radio, dan media-media lainnya. Padahal kita tahu semua bahwa keberadaan hutan sangatlah penting bagi kehidupan didunia ini dianataranya sebagai paru-paru dunia, mengendalikan bencana alam, rumah bagi flora fauna, dan masih banyak lagi. Dan dibawah ini akan dijelaskan secara singkat penyebab kerusakan hutan serta dampaknya bagi kehidupan dimuka bumi ini. 1. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kerusakan hutan. Kebakaran hutan sangalah susah untuk diatas, untuk itu kita semua harus Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 11 dapat mengantisipasi agar kejadian tersebut tidak terjadi. Penelitian menunjukan bahwa sebagian besar kebakaran hutan yang terjadi dikarenakan ulah manusia. 2. Penebangan Hutan Secara Liar Penyebab kerusakan hutan lainnya yang memilidi andil yang sangat besar adalah penebangan hutan secara liat atau yang biasa disebut illegal logging. Umumnya kejadian seperti ini dilatarbelakangi oleh permasalahan ekonomi, untuk itu Pemerintah diharapkan bisa memberikan solusi dalam permasalahan ini. 3. Penegakan Hukum Yang Lemah Lemahnya supremasi hukum di Indonesia menjadi penyebab lain dari kerusakan hutan, hal ini yang membuat pelaku kerusakan hutan tidak jera dan melakukan perbuatan illegal logging lagi setelah mendapatkan hukuman. Ini juga merupakan pekerjaan rumah bagi Pemerinta untuk membuat hukum yang baik. 4. Mentalitas Manusia Sebenarnya penyebab kerusakan hutan yang terjadi selama ini adalah karena mantalitas sebagian manusia yang menganggap dirinya paling berhak untuk mengelola hutan. Padahal kenyataan dilapangan banyak amanah yang disalahgunakan sehingga menjadikan hutan yang semakin hari semakin rusak. Grafik 2.3 : Luas kerusakan hutan Provinsi Sulawesi Barat. Sumber : Tabel SD-9 Buku Data Berdasarkan data yang dihimpun dari masing-masing kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Kerusakan hutan di Provinsi Sulawesi Barat tahun 2015 yang paling besar disebabkan oleh Perambahan Hutan yakni mencapai 27.505 hektar Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 12 disusul oleh kegiatan penebangan liar, kebakaran hutan dan peladangan berpindah. Analisis statistik sederhana Pada tahun 2015 ini, hampir semua daerah di seluruh Indonesia dilanda kebakaran hutan yang berkepanjangan. Jika ditelusuri secara mendalam, sebagin besar kebakaran hutan diakibatkan oleh perambahan hutan untuk alih fungsi lahan yang tidak mempertimbangkan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Pengaruh kemarau panjang yang terjadi pada tahun 2015 ini menjadi salah satu penyebab kebakaran hutan dari akibat perambahan hutan dan penebangan liar. Pelepasan kawasan hutan yang dapat dikonversi menurut peruntukkannya Tata Cara Pelepasan kawasan hutan yang dapat dikonversi menurut peruntukannya sebagaimana diatur dala Peraturam Menteri Kehutanan RI Nomor P-33/Menhut-II/2010 dalam pasal 2 dijelaskan bahwa pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan pada Hutan Produksi yang dapat Dikonversi. Lebih jauh lagi dijabarkan dalam Pasal 3 ayat (1) dikatakan bahwa kegiatan pembangunan yang bukan kegiatan kehutanan antara lain : a. penempatan korban bencana alam; b. waduk dan bendungan; c. fasilitas pemakaman; d. fasilitas pendidikan; e. fasilitas keselamatan umum; f. rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat; g. kantor Pemerintah dan/atau pemerintah daerah; h. permukiman dan/atau perumahan; i. transmigrasi; j. bangunan industri; k. pelabuhan; l. bandar udara; m. stasiun kereta api; n. terminal; o. pasar umum; p. pengembangan/pemekaran wilayah; q. pertanian tanaman pangan; r. budidaya pertanian; s. perkebunan; t. perikanan; u. peternakan; atau v. sarana olah raga. Sejalan dengan itu, perkembangan pembangunan di berbagai sektor akan berdampak pada perubahan fungsi hutan. Perubahan fungsi hutan pada umumnya dipengaruhi oleh perluasan pembangunan akibat dampak dari pertambahan jumlah penduduk serta perkembangan pada sektor industri, pertanian, perkebunan, pertambangan dan lain sebagainaya. Untuk menghindari semakin bertambahanya konversi hutan, maka perlu ditetapka rencana tata ruang wilayah untuk menentukan luas kawasan hutan yang ditidak dapat dikonversi lagi untuk peruntukan lainnya. Berdasarkan data yang tertuang dalam Perda Provinsi Sulawesi Barat Nomor 1 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilyah Provinsi Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 13 Sulawesi Barat Tahun 2015-2034 pada lampiran XVII, perubahan peruntukan kawasan hutan dibagi menjadi 8 kawasan dengan umlah total 9.295,10 hektar. Adapun rician pembagian perubahan peruntukan kawasan hutan sebagai berikut : Grafik 2.4 : Pelepasan kawasan hutan yang dapat dikonversi Sumber : Hasil olah data tabel SD-10 Buku Data Berdasarkan grafik diatas, pelepasan kawasan hutan yang dapat dikonversi yang terbesar adalah untuk kawasan pertanian yakni seluas 7.314,44 hektar, sedangkan untuk kawasan industry dan pertambangan, belum mendapatkan ruang untuk pengembangan kawasan. Analisis statistik sederhana Tabel 2.4 : Pelepasan Kawasan peruntukannya. No. Hutan yang dapat Peruntukan dikonversi menurut Luas (Ha) 1 Pemukiman 2 Pertanian 3 Perkebunan 9,67 4 Industri 0,00 5 Pertambangan 0,00 6 Lainnya Sumber : Tabel SD-10 Buku Data 512,51 7314,44 1458,48 Pelepasan kawasan hutan yang dapat dikonversi menutut peruntukannya sebagaimana diatur dalam Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 14 Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Barat tahun 2014 – 2034 dibagi dalam kategori sebagai berikut : ï‚· Untuk kawasan pemukiman seluas 512,51 hektar ï‚· Untuk kawasan pertanian seluas 7.314,44 hektar ï‚· Untuk kawasan perkebunan seluas 9,67 hektar ï‚· Untuk kawasan lainnya seluas 1.458,48 hektar II-B. KEANEKARAGAMAN HAYATI Keanekaragaman hayati adalah istilah yang di gunakan secara umum untuk derajat keanekaragaman sumberdaya alam hayati, meliputi jumlah maupun frekuensi dari ekosistem, spesies, maupun gen di suatu daerah. Pada dasarnya keanekaragaman melukiskan keadaan yang bermacam-macam terhadap suatu benda yang terjadi akibat adanya perbedaan dalam hal, ukutan, bentuk, tekstur maupun jumlah, Sedangkan kata hayati itu sendiri berarti sesuatu yang hidup, jadi Keanekaragaman Hayati bisa di artikan sebagai keanekaragaman atau keberagaman dari mahluk hidup yang bisa terjadi akibat adanya Perbedanperbedaan, di antaranya perbedaan bentuk, ukuran, warna, jumlah tekstur, penampilan dan juga sifat-sifatnya. Keanekaragaman Hayati terkadang sering di kenal dengan sebutan biodiversitas (bahasa Inggris: biodiversity). Aspek yang berbeda dari keanekaragaman hayati semua memiliki pengaruh yang sangat kuat antara satu dengan yang lainnya, Kita mulai akan memahami hubungan antara makhluk hidup dan lingkungan mereka melalui artikel ini dan penjelasan di website genggaminternet.com. Keanekaragaman juga dapat membantu kita dalam kehidupan kita sehari-hari. akan tetapi taukah kamu jika gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia yang menumpuk di atmosfer akan menyebabkan perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan ancaman besar bagi keanekaragaman hayati di seluruh Dunia. Keadaan flora dan fauna yang dilindungi. Provinsi Sulawesi Barat memiliki beragam ekosistem baik yang merupakan ekosistem buatan maupun ekosistem alami. Keanekaragaman hayati di seluruh ekosistem yang ada juga sangat tinggi, baik keanekaragaman hayati yang masih liar maupun yang telah dibudidayakan. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 15 Untuk memuahkan dalam menggambarkan kekayaan sumberdaya hayati, maka keanekaragaman hayati di Provinsi Sulawesi Barat dikelompokkan menjadi empat kelompok ekosistem yaitu : Ekosistem hutan, agroekosistem, ekosistem lahan basah dan ekosistem pessisir dan laut. Ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati yang berada di dalamnya. Luas wilayah Provinsi Suawesi Barat yang didominasi oleh sebagian besar wilayah hutan tropis sangat memungkinkan untuk perkembangan keanekaragaman hayati yang tedapat di dalamnya. Jenis tubuhan yang mendominasi pada hutan rimba antara lain : kayu alo (litsea ampala), rambutan hutan (Nephelium lamppaceum), lemo (Ilex pleibrachiata), Lepto-lepto (Litsea sp), kelong (Artocarpus dosyphyllus), bulieng (Diospyros buxifolia), kayu bado (Scleichera oleorsa), kayu rita (Alstonia scholaris), jati (Tectona grandis), Campagi (dalbergia latifolia), sugimanae (Antocephalus cambada), durian hutan (Durio sp), kasea (Eucalyptus sp), bambo (Bambossa sp), kayu hitam (Diospyros celebica), dan jenis-jenis lainnya. Di dalam ekosistem hutan ini, terdapat berbagai jenis tumbuhan yang dapat menghasilkan berbagai jenis hasil hutan nirkayu seperti : terpentin, getah damar, madu, rotan dan sebagainya. Selain itu juga terdapat berbgai jenis tumbuhan yang berkhsiat untuk pengobatan tradisional seperti : berbagi jenis empon-empon (jahe, kunyit, laos, lempuyang temulawak) dan berbagai jenis tumbuhan lainnya. Ekosistem hutan di daerh ini juga menjadi habitat berbagai jenis satwa liar, baik dari jenis mamalia, burung, reptilian maupun serangga. Tabel 2.5 : Beberapa Tumbuhan Daratan Yang Teridentifikasi Nama Lokal Pohon Lontar Eboni Pinus Jati Meranti Bintagur Nama Ilmiah Persebaran Geografi Status Habitat Borassus Flabilifer Diospyros Celebia Pinus Merkusii Tectona Grandis Shorea sp Majene, Polewali Mandar Endemik Daerah kering Mamuju, Mamuju Utara Hutan Tropis Mamasa Endemik, terancam Tidak tahu Mamuju, Majene, Polman Terancam Daerah Pegunungan Daerah Kering Mamuju, Mamuju Utara Terancam Hutan Tropis Challophilum spp Mamuju, Mamuju Utara, Mamasa Terancam Hutan Tropis Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 16 Nama Lokal Durian Nama Ilmiah Nyatoh Durio zibethinus Sandoricum Koetjapee Aleurites Moluccana Palaquium sp Pulai Alstonia sp Gaharu Gonystylus Bancanus Gossampinus Malabarica Pantace Triptera Kecapi Kemiri Kapuk Pinang Persebaran Geografi Status Habitat Mamuju, Majene, Polman, Mamuju Utara Mamuju, Majene, Polman, Mamuju Utara Mamuju, Majene, Polman, Mamuju Utara Mamuju, Mamuju Utara, Mamasa Mamuju, Mamuju Utara Melimpah Hutan Tropis Tidak tahu Hutan Tropis Melimpah Hutan Tropis Terancam Hutan Tropis Terancam Hutan Tropis Mamuju, Mamuju Utara Terancam Hutan Tropis Mamuju, Majene, Poleman Melimpah Provinsi Sulbar. Tidak tahu Lahan Masyarakat Lahan Masyarakat Tabel 2.6 : Beberapa Satwa Daratan yang Teridentifikasi Nama Lokal Nama Ilmiah Persebaran Geografi Bubalus Quarlesi Megachepalon Maleo Babarusa Babirusa Anhinga Melanogaster Mecaca Tongkeana Cervus sp Mamuju, Mamasa, Mamuju Utara Mamuju, Mamuju Utara Burung Puyuh Burung Gereja Burung Hantu Burung Tekukur Burung Rangkong Ular Sanca Kadal Anoa Burung Maleo Babi Hutan Kutul Besar Monyet Rusa Tokek Hutan Kakaktua Raja Status Habitat Hutan Mamuju, Mamasa, Mamuju Utara, Polman Provinsi Sulbar Terancam dan Endemik Terancam dan Endemik Terancam dan Endemik Terancam Provinsi Sulbar Terancam Hutan Provinsi Sulbar Terancam Hutan costumis sp Provinsi Sulbar Melimpah Hutan Passer Montanus Tyto sp Provinsi Sulbar Melimpah Pinggir hutan Provinsi Sulbar Terancam Pinggir hutan Stertopela Chinensis Buce Otidae Provinsi Sulbar Terancam Pinggir hutan Mamuju, Mamuju Utara Hutan Phyton sp Provinsi Sulbar Terancam dan Endemik Terancam Hydrosaurus sp Gecko sp Provinsi Sulbar Melimpah Provinsi Sulbar Melimpah Proboscciger Aterimus Mamuju, Mamuju Utara Terancam dan Endemik Pantai Hutan Hutan Pinggir hutan dan Hutan Pinggir hutan dan Hutan Pinggir hutan dan Hutan Hutan Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 17 Nama Lokal Monyet Hitam Monyet Sulawesi Kerbau Belang Nama Ilmiah Persebaran Geografi Status Habitat Cynoptecus Nigar Bumesceus sp Provinsi Sulbar Terancam Hutan Provinsi Sulbar Hutan Bubalus Bubalis Mamuju, Mamasa Terancam dan Endemik Endemik Dpelihara dan liar di hutan Agroekosistem dan Keanekaragaman Hayati di Dalamnya. Agroekosistem di Provinsi Sulawesi Barat terdiri dari sawah, lading/huma, kebun/tegalan, dan pekarangan. Tumbuhan yang berada di dalam agroekosistem ini sebagian besar merupakan tanaman budidaya, meskipun erdapat pula tumbuhan liarnya. Dari berbagai jenis tanaman budidaya yang terdapat atau diusahakan oleh masyarakat, beberapa jenis tanaman terutama dari tanaman buah-buahan, keanekaragaman varietas/spesies yang terdapat di daam agroekosistem ini cukup banyak. Jenis tanaman manga (Mangifera sp) yang terdapat di dalam agroekosistem ini lebih dari sepuluh jenis. Pisang (Musa sp) juga terdiri atas banyak varietas/spesies, demikian pula dengan rambutan, durian dan jambu. Selain itu, terdapat pula jenis tanaman yang berada pada dataran tinggi seperti markisa yang menjadi identitas wilayah tesebut. Tabel 2.7 : Beberapa Tumbuhan Agroekosistem yang Terindentifikasi. Nama Lokal Asam Durian Cempedak Jambu Biji Kuini Langsat Lobi-Lobi Mangga Mengkudu Nama Ilmiah Tamarindus Indicus Durio Zibethinus Arthocarpus Integer Psidium Guajava Mangifera Odorata Aglaia Eusiderox Flacourtia Inermis Mangifera Indica Morinda Citrifolia Persebaran Geografi Status Habitat Mamuju, Majene, Polman, Mamuju Utara Mamuju, Mamuju Utara, Polman, Mamasa Mamuju, Mamuju Utara Tidak Tahu Provinsi Sulbar Melimpah Mamuju, Majene, Polman, Mamuju Utara Mamuju, Majene, Polman, Mamuju Utara Mamuju, Mamuju Utara, Polman Provinsi Sulbar Tidak Tahu Provinsi Sulbar Melimpah Lahan Masyarakat Lahan Masyarakat Lahan Masyarakat Lahan Masyarakat Lahan Masyarakat Lahan Masyarakat Lahan Masyarakat Lahan Masyarakat Lahan Masyarakat Melimpah Tidak Tahu Melimpah Melimpah Melimpah Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 18 Nama Lokal Nama Ilmiah Nangka Palapi Rambutan Sirsak Arthocarpus Interophilus Phylantus Indicus Nephellum Lappaceum Annona Muricata Persebaran Geografi Status Habitat Provinsi Sulbar Melimpah Mamuju, Mamuju Utara Terancam Mamuju, Majene, Polman, Mamuju Utara Mamuju, Majene, Polman, Mamuju Utara Melimpah Lahan Masyarakat Lahan Masyarakat Lahan Masyarakat Lahan Masyarakat Melimpah Selain jenis tumbuhan, terdapat pula berbagai jenis ternak yang diusahakan dan dipelihara oleh masyarakat antara lain : sapi, kambing, kuda, babi dan jenis unggas. Jenis ternak ini, selain diternakkan di lading yang kosong juga sebagian besar dikandangkan di habitat pekarangan masyarakat. Ekosistem Lahan Basah dan Keanekaragaman Hayati di Dalamnya Lahan basah atau wetland (Ingg.) adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal. Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya, adalah rawa-rawa (termasuk rawa bakau), paya, dan gambut. Air yang menggenangi lahan basah dapat tergolong ke dalam air tawar, payau atau asin. Lahan basah merupakan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem. Di atas lahan basah tumbuh berbagai macam tipe vegetasi (masyarakat tetumbuhan), seperti hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, hutan bakau, paya rumput dan lain-lain. Margasatwa penghuni lahan basah juga tidak kalah beragamnya, mulai dari yang khas lahan basah sepertibuaya, kura-kura, biawak, ular, aneka jenis kodok, dan pelbagai macam ikan; hingga ke ratusan jenis burung dan mamalia, termasuk pula harimau dan gajah. Pada sisi yang lain, banyak kawasan lahan basah yang merupakan lahan yang subur, sehingga kerap dibuka, dikeringkan dan dikonversi menjadi lahanlahan pertanian. Baik sebagai lahan persawahan, lokasipertambakan, maupun -di Indonesia-- sebagai wilayah transmigrasi. Mengingat nilainya yang tinggi itu, di banyak negara lahan-lahan basah ini diawasi dengan ketat penggunaannya serta dimasukkan ke dalam program-program konservasi dan rancangan pelestarian keanekaragaman hayati semisal Biodiversity Action Plan. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 19 Ekosistem lahan basah yang dimaksud adalah ekosistem perairan tawar umum dan air payau yang terdiri dari danau, waduk dan rawa. Di wilayah Provinsi Sulawesi Barat, terdapat sebuah waduk dari hasil bendungan yakni Dam SekkaSekka. Untuk ekosistem sungai yang paling besar adalah ekosistem sungai Lariang dan Sungai Mamasa. Di dalam ekosistem lahan basah ini, juga terdapat berbagai jenis ikan dan udang antara lain : ikan mas, tawes, nilem, nila, gabus, sepat, sidat, wader, udang air tawar dana beberapa jenis lainnnya. Beberapa jenis ikan air tawar lainnya yang endemic belum dikaji. Ekosistem Pesisir dan Laut serta Keanekaragaman Hayati di dalamnya. Di ekosistem pesisir ini masih dapat dijumpai jenis burung pantai seperti bluwok, bangau tontong, dan cangak laut. Untuk keanekaragaman hayati jenis ikan laut di selat Makassar yang masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Barat antara lain : ikan perepek, ikan bambangan, ikan kerapuh, ikan lencam, ikan kurisi, gulama, cucut, pari, layang, selar, kuwe, ikan terbang, belanak, teri, japuh, tembang, lamuru, kembung, cakalang, udang putih, cumi-cumi, tenggiri dan lain sebagainya. Jenis-jenis ikan ini dapat teridentifikasi berdasarkan hasil tangkapan nelayan di wilayah ini. Tabel 2.8 : Beberapa Jenis Satwa Pesisir dan Laut yang Teridentifikasi Nama Lokal Nama Ilmiah Burung Cangak Laut Biawak Pledagis Falcinellus Varanus sp Bangau Putih Bangau Tontong Bebek Laut Buaya Muara Duyung LumbaLumba Ibis RokoRoko Bulbucus ibis Leptotilos Javanicus Esacus Magnirostris Crocodillus Sianensis Dugong Dugong Delphinedae Cervis Timorensis Persebaran Geografi Status Habitat Mamuju, Majene, Polman, Mamuju Utara Mamuju, Majene, Polman, Mamuju Utara Mamuju, Majene, Polman, Mamuju Utara Mamuju, Majene, Polman, Mamuju Utara Mamuju, Majene, Polman, Mamuju Utara Mamuju, Mamuju Utara Endemik Pantai Endemik Pantai Terancam Hutan Pantai Terancam Hutan Pantai Terancam Pantai Terancam Muara Sungai Mamuju, Majene, Polman, Mamuju Utara Mamuju, Majene, Polman, Mamuju Utara Mamuju, Majene, Polman, Mamuju Utara Terancam Laut Melimpah Laut Terancam Pantai Berikut ini adalah beberapa contoh jenis flora dan fauna yang berhasil diidentifiasi di Sulawesi Barat : Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 20 Gambar 2.1 : Beberapa contoh jenis Tanaman yang teridentifikasi Challophilum spp Borassus Flabilifer Sandoricum Koetjapee Shorea sp Gambar 2.2 : Beberapa contoh jenis hewan yang diketahui Megachepalon Maleo Varanus sp Cervis Timorensis Crocodillus Sianensis Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 21 Perbandingan Dengan Baku Mutu Sulawesi Barat untuk melestarikan keanekaragaman hayatinya, maka dilakukan konservasi terhadap keanekaragaman hayati. Konservasi keanekaragaman hayati bertolak pada pegelolaan konservasi di tiga level keanekaragaman hayati yaitu : 1. Level ekosistem 2. Level Jenis dan 3. Level Genetik secara terintegrasi dan komprehensip. Untuk itu tujuan jangka panjang Konservasi Keanekaragaman Hayati harus dapat menjamin kelestarian fungsi ekosistem esensi sebagai penyangga kehidupan terutama di luar kawasan konservasi. Pada level speies, konservasi dalam jangka panjang bertujuan untuk mencegah terjadinya kepunahan jenis yang diakibatkan oleh penyebab utama terancamnya jenis dari kepunahan yaitu kerusakan habitat dan pemanfaatan yang tidak terkendali. Bagi jenis-jenis yang populasinya sudah dalam kondisi kritis, maka pengelolaannya harus diarahkan pada pemulihan populasi (population recovery) dengan berbagai cara termasuk perbaikan habitat, rehabilitasi satwa hasil sitaan serta penangkaran untuk dilepas kembali kealam (conservation breeding). Pada level genetik, konservasi keanekaragaman hayati genetik diarahkan pada konservasi insitu di dalam dan di luar konservasi, maupun konservasi eksitu. Arah pengelolaan sumber daya genetik untuk mendukung pengembangan budidaya tanaman maupun ternak melalui pengembangan kultivar-kultivar unggul. Pemulihan tanaman saat ini ditujukn pada tanaman budidaya seperti pad, anggrek serta kultivar lainnya. Untuk hewan, upaya penangkaran dan persilangan dilaukan pada berbagai jenis hewan peliharaan seperti sapi, kambing, kuda dan ayam. Kebun koleksi plasma yang ada di Indonesia saat ini belum menghasilkan banyak kultivar unggul baru. Sebenarnya secara tradisional masyarakat Indonesia telah memiliki pola pelestarian alam yang ekologis, misalnya tidak boleh menebang pohon beringin, mengambil ikan di lubuk danlain sebagainya. Namun karena kemajuan teknologi, warisan tradisional tersebut perlahan-lahan mulai memudar bahkan hilang. Perbandingan Nilai Antar Lokasi dan Antar Waktu Ancaman terhadap keanekaragaman hayati di Provinsi Sulawesi Barat diakibatkan oleh konversi lahan yang tidak mengindahkan tata ruang untuk kegiatan Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 22 pembangunan. Penting diketahui bahwa kehilangan keanekaragaman hayati kan merugikan bangsa ini, dan masyarakat Sulawesi Barat pada khususnya mengingat masih banyak jenis keanekaragaman hayati yang belum diketahui. Jika keanekaragaman hayati ini rusak, maka peluang untuk memanfaatkan nilai-nilai tersebit akan hilang, padahal banyak yang bernilai tinggi. Misalnya obat-obatan, sumber makanan, sumber minyak dan lain sebagainya. Upaya penyelamatan keanekaragaman hayati bergantung pada inisiatif dan tindak nyata yang dilakukan oleh masyarakat dan komitmen dari pemerintah untuk upaya pelestarian. Komitmen ini secara konkrit dapat dituangkan dalam kebijakan, kegiatan umum, pemanfaatan dan pelestarian. Beberapa faktor penyebab kepunahan dari keanekaragaman hayati adalah adanya aktifitas manusia yang tidak bertanggung jawab serta mementingkan diri sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain : 1. Perubahan fungsi lahan oleh masyarakat setempat menjadi tempat pemukiman. 2. Penangkapan dan koleksi tanpa izin dan alasan yang tidak jelas. 3. Terjadinya perubahan sempadan/morfologi sungai 4. Berkurangnya ekosistem mangrove. Analisis Statistik Sederhana. Indonesia memiliki kekayaan jenis-jenis keanekaragaman hayati. Tafsiran jumlah kelompok utama makhluk hidup antara lain : hewan menyusui sebanyak 300 jenis; burung sebanyak 7.500 jenis; reptile sebanyak 2.000 jenis; amfibi sebanyak 1.000 jenis; ikan sebanyak 8.500 jenis; keong sebanyak 20.000 jenis; dan sebagainya. Beberapa pulau di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang endemik terutama di Pulau Sulawesi dan Irian. Untuk jenis burung, terdapat kurang lebih 420 jenis burung yang endemik dan tersebar di 244 lokasi. Keanekaragaman hayati ini terus menurun dari tahun ke tahun akibat kegiatan manusia yang tidak mampu menjaga kelestarian keanekarahaman hayati. Hutan sebagai habitat dari hewan dan tumbuh-tumbuhan sebagian besar telah dialih fungsikan sebagai lahan perkebunan dan pembangunan. Untuk mengantisipasi hilangnya beberapa flora dan fauna yang endemic dan terancam punah, diperlukan kebijakan yang harus dimulai dari pihak pemerintah khsusnya dalam pembuatan aturan-aturan yang tegas. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 23 Olehnya itu, Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat sebaiknya melakukan rencana perlindungan keanekaragaman hayati yang sistematik dengan membuat atau menetapkan daerah-daerah kawasan lindung yang mewakili setiap habitat yang ada di Sulawesi Barat. Pada umumnya masyarakat mengharapkan potensi jenis flora dan fauna dapat dipertahankan karena merupakan sumber pemenuhan kebutuhan dan pendapatan masyarakat jika dikelola dengan baik. Hal sederhana yang dapat dilakukan adalah rehabilitasi areal yang telah mengalami perubahan fungsi dengan mengembangkan jenis keanekaragaman hayati lokal yang bernilai ekonomi. II-C. AIR Air merupakan elemen yang sangat signifikan bagi kehidupan mahluk hidup baik hewan, tumbuhan, dan manusia. Semua memerlukan air untuk membantu metabolism yang ada didalam tubuh karena hapir tiga perempat dari tubuh manusia adalah air. Jadi bisa dibayangkan betapa susahnya jika tidak ada air didunia ini. Air juga penting bagi lingkungan dan kelestarian alam beserta isinya. Apabila keberadaan air tidak seimbang dengan keberadaan alam maka tidak akan tercipta keselarasan yang indah. Misalnya air tidak bisa memenuhi kebutuhan hutan, maka manfaat hutan tidak akan bisa dirasakan oleh mahluk hidup yang lainnya. Keberadaan manfaat air bagi kesehatan tubuh sangat penting dimana air adalah sumber kehidupan. Kemampuan air bisa memperbaiki daya tahan tubuh karena air dapat menaikkan simpanan glycogen, suatu bentuk dari karbohidrat yang tersimpan dalam otot dan digunakan sebagai energi saat manusia sedang beraktifitas atau pun bekerja. Inventarisasi Sungai. Provinsi Sulawesi Barat memiliki potensi sumber daya air yang sangat besar khusunya air sungai. Dari sekian banyak sungai yang berada di Sulawesi Barat, ada lima sungai yang merupakan sungai besar yakni : Sungai Lariang, Sungai Karama, Sungai Mandar, Sungai Mamasa dan Sungai Mapilli. Dari kelima sungai tersebut, tiga diantaranya merupakan sungai lintas provinsi yang bermuara di Provinsi Sulawesi Barat yakni : Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 24 1. Sungai Lariang (Sungai terpanjang dan terbesar di Pulau Sulawesi). Sungai ini berhulu di Provinsi Sulawesi Tengah dan bermuara di Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat. 2. Sungai Karama ( Sungai terbesar kedua di Pulau Sulawesi). Sungai ini hulunya berada di Kabupaten Luwu-Provinsi Sulawesi Selatan, dan bermuara di Kabupaten Mamuju-Provinsi Sulawesi Barat. Pengelolaan sungai tersebut sedang dalam proses kerjasama dengan Pemerintah Cina untuk dijadikan sebagai sumber Pembangkit Listrik bertenaga Air yang terbesar di Indonesia 3. Sungai Mamasa. Sungai ini hulunya berada di Kabupaten Mamasa-Provinsi Sulawesi Barat dan Bermuara di Provinsi Sulawesi Selatan. Sungai ini juga menjadi Sumber Pembangkit Listrik Tenaga Air di PLTA Bakaru dan sekaligus menjadi pengairan bagi Areal Persawahan di Kabupaten Pinrang dan Kabupaten Sidrap, Provinsi Sulawesi Selatan. Selain kelima sungai besar tersebut diatas, masih ada beberapa anak sungai yang tersebar di masing-masing kabupaten yang menjadi sumber air minum dan pengairan bagi lahan persawahan. Sebagai contoh : Sungai Kali Mamuju (Sebagai sumber air PDAM); sungai Madatte, Kabupaten Polewali Mandar (sebagai sumber air PDAM dan Pengairan untuk persawahan) Dari sekian banyak sungai yang mengalir di Sulawesi Barat, jumlah sungai tersebut dibagi kedalam 4 wilayah sungai berdasarkan RTRW Provinsi Sulawesi Barat sebagaimana tercantum dalam tabel berikut : Tabel 2.9 : Pembagian Wilayah Sungai di Sulawesi Barat No. 1 2 Nama WS WS Palu-Lariang WS KalukkuKarama Nama DAS Nama Kabupaten Lariang Mamuju Utara, Sulbar-Sulteng Minti Mamuju Utara, Sulbar-Sulteng Rio Mamuju Utara, Sulbar-Sulteng Letawa Mamuju Utara, Sulbar-Sulteng Bambaira Mamuju Utara, Sulbar-Sulteng Surumana Mamuju Utara, Sulbar-Sulteng Saddang Mamasa, Sulbar-Sulsel Karama Mamuju Malunda Majene Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 25 No. 3 4 Nama WS WS Saddang WS Karama Nama DAS Nama Kabupaten Mandar Majene Babalalang Mamuju Mapilli Polewali Mandar Saddang Mamasa, Sulbar-Sulsel Mamasa Mamasa Galanggang Polewali Mandar Bone-Bone Mamuju Karama Mamuju Budong-Budong Mamuju Tengah Karossa Mamuju Tengah Mamuju Mamuju Inventarisasi Danau/Waduk/Situ/Embung. Air tawar yang tersimpan dalam kolam, tambak dan persawahan sifatnya hanya sementara saja, pada musim kemarau umumnya sudah mengalami kekeringan. Untuk meningkatkan keterseiaan air tawar pada daerah-daerah yang iklimnya relatif kering atau mengalami musim kemarau lebih darii enam bulan, maka pembuatan embung adalah salah satu alternatif untuk mengatasinya. Salah satu daerah yang menerapkan system ini adalah Kabupaten Majene. Salah satu kelebihan dari embung jika dibandingkan dengan danau, waduk atau bendungan adalah airnya tidak mengalir sehingga hanya akan surut oleh peristiwa penguapan dan perembesan kedalam tanah. Dari beberapa sungai yang ada di Sulawesi Barat, hanya sebahagian kecil saja yang dibendung. Bendungan yang terbesar adalah Bendungan Sekka-Sekka yang berada di Kabupaten Polewali Mandar. Jumlah air yang ditampung pada umumnya digunakan untuk sumber air minum, pengairan dan perikanan. Selain beberapa sungai, juga terdapat Chekdam yang fungsinya pada umumnya juga untuk mengendalikan debit air agar tidak menimbulkan sedimentasi dan banjir. Selain itu, juga dapat dimanfaatkan untuk hal lain seperti pengairan dan pengembangan bududaya perikanan. Berdasarkan data yang terhimpun dari masing-masing kabupaten, jumlah waduk di Sulawesi Barat mencapai 7 buah yang semuanya berada di Kabupaten Majene, Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 26 sedangkan jumlah embung sebanyak 21 buah yang sebagian besar berada di Kabupaten Mamasa. Kualitas Air Sungai. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dan sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 9, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk menetapkan kelas air pada sumber-sumber air (sungai, danau, waduk) yang ada sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam peraturan Perundang-Undangan yang ada. Penentuan Staus Mutu Air ini merupakan aspek yang penting dalam pengelolaan DAS secara berkelanjutan. Dengan penetapan kelas air secara bersama-sama, maka setiap stakeholder yang terkait akan turut pula dalam program konservasi yang harus dibuat terhadap suatu sumberdaya air yang bersangkutan. Deskripsi tentang kondisi kualitas air sungai sangat diperlukan dalam hubungannya dengan peruntukan air sungai. Secara umum, terdapat tiga komponen yang berpengaruh dalam menentukan standar kualitas air yaitu : parameter fisik air, kimia air dan mikrobiologi air. Perbandingan dengan Baku Mutu Perhitungan indeks untuk indikator kualitas air sungai dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Dalam pedoman tersebut dijelaskan antara lain mengenai penentuan status mutu air dengan metoda indeks pencemaran (Pollution Index – PI). Menurut definisinya PIj adalah indeks pencemaran bagi peruntukan j yang merupakan fungsi dari Ci/Lij, dimana Ci menyatakan konsentrasi parameter kualitas air i dan Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air i yang dicantumkan dalam baku peruntukan air j. Dalam hal ini peruntukan yang akan digunakan adalah klasifikasi mutu air kelas II berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 27 Formula penghitungan indeks pencemaran adalah : dimana: (Ci/Lij)M adalah nilai maksimum dari Ci/Lij (Ci/Lij)R adalah nilai rata-rata dari Ci/Lij Evaluasi terhadap PIj adalah sebagai berikut: a. Memenuhi baku mutu atau kondisi baik jika 0 ≤ PIj ≤ 1,0 b. Tercemar ringan jika 1,0 < PIj ≤ 5,0 c. Tercemar sedang jika 5,0 < PIj ≤ 10,0 d. Tercemar berat jika PIj > 10,0. Pada prinsipnya nilai PIj > 1 mempunyai arti bahwa air sungai tersebut tidak memenuhi baku peruntukan air j, dalam hal ini mutu air kelas II. Penghitungan indeks kualitas air dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Setiap lokasi dan waktu pemantauan kualitas air sungai dianggap sebagai satu sampel; b. Hitung indeks pencemaran setiap sampel untuk parameter TSS, DO, COD, BOD, Total Phospat, Fecal Coli dan Total Coli; c. Hitung persentase jumlah sampel yang mempunyai nilai PIj > 1, terhadap total jumlah sampel pada tahun yang bersangkutan. d. Melakukan normalisasi dari rentang nilai 0% - 100% (terbaik – terburuk) jumlah sampel dengan nilai PIj > 1, menjadi nilai indeks dalam skala 0 – 100 (terburuk – terbaik). Untuk pengambilan sampel air sungai dipilih dari masing-masing Kabupaten dengan kriteria bahwa sungai tersebut merupakan sungai lintas kabupaten atau merupakan sungai prioritas yang akan dikendalikan pencemarannya. Pemantauan untuk setiap sungai dilakukan 5 kali dalam satu tahun dengan 6 titik lokasi pengambilan sampel sehingga dihasilkan paling tidak 30 sampel kualitas air sungai untuk setiap sungai dalam setahun. Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Pencemaran Air (IPA) Sulawesi Barat, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas air sungai dengan tingkat pencemaran paling tinggi adalah Kabupaten Majene dan Kabupaten Mamasa dengan nilai IPA hanya 50.00. Kualitas air sungai yang masih dinyatakan cukup baik adalah Kabupaten Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 28 Mamuju/Mamuju Tengah dengan nilai IPA 66,67. Secara keseluruhan kondisi kualitas air sungai di Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2015 sangat kurang dengan nilai IPA 57,20. Berikut hasil perhitungan indeks Pencemaran Air di Sulawesi Barat di rinci per Kabupaten : Tabel 2.10 : Indeks Pencemaran Air Sulbar 2015 No. Provinsi/Kabupaten Nilai IPA 1 Mamuju Utara 55,33 2 Mamuju dan Mamuju Tengah 66,67 3 Majene 50,00 4 Polewali Mandar 64,00 5 Mamasa 50,00 6 Sulawesi Barat 57,20 Sumber : Laporan IKLH Prov. Sulbar 2015 Berdasarkan data-data pada tabel diatas, maka hasil pengujian kualitas air sungai di sungai yang dipantau dapat dijabarkan sebagai berikut : Bahan buangan padat Yang dimaksud bahan buangan padat adalah adalah bahan buangan yang berbentuk padat, baik yang kasar atau yang halus, misalnya sampah. Buangan tersebut bila dibuang ke air menjadi pencemaran dan akan menimbulkan pelarutan, pengendapan ataupun pembentukan koloidalTerjadinya endapan di dasar perairan akan sangat mengganggu kehidupan organisme dalam air, karena endapan akan menutup permukaan dasar air yang mungkin mengandung telur ikan sehingga tidak dapat menetas. Selain itu, endapan juga dapat menghalangi sumber makanan ikan dalam air serta menghalangi datangnya sinar matahari. Pembentukan koloidal terjadi bila buangan tersebut berbentuk halus, sehingga sebagian ada yang larut dan sebagian lagi ada yang melayang-layang sehingga air menjadi keruh. Kekeruhan ini juga menghalangi penetrasi sinar matahari, sehingga menghambat fotosintesa dan berkurangnya kadar oksigen dalam air. Bahan buangan organik dan olahan bahan makanan Bahan buangan organik umumnya berupa limbah yang dapat membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme, sehingga bila dibuang ke perairan akan Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 29 menaikkan populasi mikroorganisme. Kadar BOD dalam hal ini akan naik. Tidak tertutup kemungkinan dengan bertambahnya mikroorganisme, dapat berkembang pula bakteri pathogen yang berbahaya bagi manusia. Demikian pula untuk buangan olahan bahan makanan yang sebenarnya adalah juga bahan buangan organic yang baunya lebih menyengat. Umumnya buangan olahan makanan mengandung protein dan gugus amin, maka bila didegradasi akan terurai menjadi senyawa yang mudah menguap dan berbau busuk (misal. NH 3). Bahan buangan anorganik Bahan buangan anorganik sukar didegradasi oleh mikroorganisme, umumnya adalah logam. Apabila masuk ke perairan, maka akan terjadi peningkatan jumlah ion logam dalam air. Bahan buangan anorganik ini biasanya berasal dari limbah industri yang melibatkan penggunaan unsure-unsur logam seperti timbal (Pb), Arsen (As), Cadmium (Cd), air raksa atau merkuri (Hg), Nikel (Ni), Calsium (Ca), Magnesium (Mg) dll. Kandungan ion Mg dan Ca dalam air akan menyebabkan air bersifat sadah. Kesadahan air yang tinggi dapat merugikan karena dapat merusak peralatan yang terbuat dari besi melalui proses pengkaratan (korosi). Juga dapat menimbulkan endapan atau kerak pada peralatan. Apabila ion-ion logam berasal dari logam berat maupun yang bersifat racun seperti Pb, Cd ataupun Hg, maka air yang mengandung ion-ion logam tersebut sangat berbahaya bagi tubuh manusia, air tersebut tidak layak minum. Bahan buangan cairan berminyak Bahan buangan berminyak yang dibuang ke air lingkungan akan mengapung dan amenutupi permukaan air. Jika bahan buangan minyak mengandung senyawa yang volatile, maka akan terjadi penguapan dan luas permukaan minyak yang menutupi permukaan air akan menyusut. Penyusutan minyak ini tergantung pada jenis minyak dan waktu. Lapisan minyak pada permukaan air dapat terdegradasi oleh mikroorganisme tertentu, tetapi membutuhkan waktu yang lama. Bahan buangan berupa panas (polusi thermal) Perubahan kecil pada temperatur air lingkungan bukan saja dapat menghalau ikan atau spesies lainnya, namun juga akan mempercepat proses biologis pada tumbuhan dan hewan bahkan akan menurunkan tingkat oksigen dalam air. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 30 Akibatnya akan terjadi kematian pada ikan atau akan terjadi kerusakan ekosistem. Untuk itu, polusi thermal inipun harus dihindari. Sebaiknya industriindustri jika akan membuang air buangan ke perairan harus memperhatikan hal ini. Bahan buangan zat kimia Bahan buangan zat kimia banyak ragamnya, tetapi dalam bahan pencemar air ini akan dikelompokkan menjadi : a. Sabun (deterjen, sampo dan bahan pembersih lainnya), b. Bahan pemberantas hama (insektisida), c. Zat warna kimia, d. Zat radioaktif Deterjen yang berlebihan di dalam air ditandai dengan timbulnya buih-buih sabun pada permukaan air. Sebenarnya ada perbedaan antara sabun dan deterjen serta bahan pembersih lainnya. Sabun berasal dari asam lemak (stearat, palmitat atau oleat) yang direaksikan dengan basa Na(OH) atau K(OH), berdasarkan reaksi kimia berikut ini : C17H35COOH + Na(OH) → C17H35COONa + H2O Asam stearat basa sabun Sabun natron (sabun keras) adalah garam natrium asam lemak seperti pada contoh reaksi di atas. Sedangkan sabun lunak adalah garam kalium asam lemak yang diperoleh dari reaksi asam lemak dengan basa K(OH). Sabun lemak diberi pewarna yang menarik dan pewangi (parfum) yang enak serta bahan antiseptic seperti pada sabun mandi. Beberapa sifat sabun antara lain adalah sebagai berikut : 1. Larutan sabun mempunyai sifat membersihkan karena dapat mengemulsikan kotoran yang melekat pada badan atau pakaian 2. Sabun dengan air sadah tidak dapat membentuk busa, tapi akan membentuk endapan (C17H35COO)2Ca) dengan reaksi : 3. 2 (C17H35COONa) + CaSO4 → (C17H35COO)2Ca + Na2SO4 4. Larutan sabun bereaksi basa karena terjadi hidrolisis sebagian. Sedangkan deterjen adalah juga bahan pembersih sepeti halnya sabun, akan tetapi dibuat dari senyawa petrokimia. Deterjen mempunyai kelebihan dibandingkan dengan sabun, karena dapat bekerja pada air sadah. Bahan deterjen yang umum digunakan adalah dedocylbenzensulfonat. Deterjen dalam Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 31 air akan mengalami ionisassi membentuk komponen bipolar aktif yang akan mengikat ion Ca dan/atau ion Mg pada air sadah. Komponen bipolar aktif terbentuk pada ujung dodecylbenzen-sulfonat. Untuk dapat membersihkan kotoran dengan baik, deterjen diberi bahan pembentuk yang bersifat alkalis. Contoh bahan pembentuk yang bersifat alkalis adalah natrium tripoliposfat. Bahan buangan berupa sabun dan deterjen di dalam air lingkungan akan mengganggu karena alasan berikut : a) Larutan sabun akan menaikkan pH air sehingga dapat menggangg kehidupan organisme di dalam air. Deterjen yang menggunakan bahan non-Fosfat akan menaikkan pH air sampai sekitar 10,5-11 b) Bahan antiseptic yang ditambahkan ke dalam sabun/deterjen juga mengganggu kehidupan mikro organisme di dalam air, bahkan dapat mematikan c) Ada sebagian bahan sabun atau deterjen yang tidak dapat dipecah (didegradasi) oleh mikro organisme yang ada di dalam air. Keadaan ini sudah barang tentu akan merugikan lingkungan. Namun akhir-akhir ini mulai banyak digunakan bahan sabun/deterjen yang dapat didegradsi oleh mikroorganisme Bahan pemberantas Hama Pemakaian bahan pemberantas hama (insektisida) pada lahan pertanian seringkali meliputi daerah yang sangat luas, sehingga sisa insektisida pada daerah pertanian tersebut cukup banyak. Sisa bahan insektisida tersebut dapat sampai ke lingkungan perairan melalui pengairan sawah, hujan yang jatuh pada daerah pertanian kemudian mengalir ke sungai atau danau di sekitarnya. Seperti halnya pada pencemaran udara, semua jenis bahan insektisida bersifat racun apabila sampai ke dalam lingkungan perairan. Kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu. Pembagian kelas air didasarkan pada gradasi tingkatan baiknya mutu air, dan kemungkinan kegunaanya. Tingkatan mutu air kelas satu merupakan tingkatan terbaik. Kualitas Air Danau/Waduk/Situ/Embung. Waduk adalah tempat penampungan air yang sangat besar yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai. Air yang sudah ditampung dalam waduk lantas Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 32 dimanfaatkan untuk bahan baku air minum, untuk irigasi pertanian, pembangkit listrik, dan budidaya perikanan. Sedangkan tempatnya yang indah dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata. Embung adalah kolam buatan untuk menampung air hujan, sehingga bisa dimanfaatkan pada saat musim kemarau. Embung bisanya dibuat di daerah pegunungan. Danau adalah cekungan besar yang digenangi oleh air, dimana seluruh cekungan dikeliling oleh daratan sehingga airnya tidak bisa mengalir keluar dari danau. Air danau ini berasal dari sungai-sungai di sekitarnya. Wilayah Sulawesi Barat merupakan daerah yang melintang dan melintasi garis pantai sebelah Barat di Pulau Sulawesi. Namun demikian, kontur permukaan tanah di Sulawesi Barat sebagian besar berbukit dan pegunungan. Hanya beberapa daerah saja yang berada pada daerah datar walaupun secara geografis, dari enam kabupaten di Sulawesi Barat hanya satu Kabupaten yang tidak berada di daerah pantai. Dari data yanag diperoleh dari Bidang Pelestarian Sumber Daya Air pada Dinas Pekerjaan Umum di Sulawesi Barat serta data yang dihimpun dari masing-masing kabupaten, untuk wilayah Sulawesi Barat tidak terdapat danau baik danau alamiah maupun danau buatan, demikian pula dengan waduk. Untuk wilayah Sulawesi Barat hanya terdapat beberapa Situ dan Embung yang dibuat untuk menampung cadangan air yang tersebar di beberapa kabupaten. Dari beberapa waduk yang ada di Provinsi Sulawesi Barat, hanya Kabupaten Majene yang melakukan analisis kualitas air waduk. Berdasarkan hasil perhitungan dari uji parameter, dari kedua waduk yang dianalisis semuanya masih dalam ambang batas dan tidak melebihi baku mutu yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan pertauran yang berlaku. Hasil uji analisis kualitas air waduk di Kabupaten Majene dapat diihat melalui tabel berikut : Tabel 2.11 : Hasil Uji Kualitas Air Waduk di Kab. Majene Pameter/Koordinat/ Waktu Sampling Nama Waduk Nama Waduk Nama Lokasi Waduk Tunda Waduk Kalambangan Koordinat 03.32'53,1" 118.58'60,0" 03.59'23,1" 118.52'86,0" Waktu Sampling 28/12/2015 21/01/2015 Tempelatur (ºc) 25 26,7 8,61 9,17 21,02 0 pH DHL (mg/ L) Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 33 Pameter/Koordinat/ Waktu Sampling Nama Waduk Nama Waduk 1070 94 22 31 DO (mg/ L) 5,6 8,2 BOD (mg/ L) 5,2 1,63 COD (mg/ L) 48 80 NO2 (mg/ L) 0,06 0,05 NO3 (mg/ L) 7,4 0,9 NH3 (mg/ L) 0,53 0,01 Klorin bebas (mg/ L) 0,01 0,01 Fecal coliform (jmlh/100 ml) 93 0 Total coliform (jmlh/100 ml) 93 43 TDS (mg/ L) TSS (mg/ L) Sumber : Tabel SD-15 Buku Data Perbandingan dengan baku mutu Berdasarkan keteentuan yang diatur dalam Permen LH Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air, jika baku mutu air dan tropic air belum diatur, maka dapat menggunakan baku mutu air kelas II yang diatur dalam PP 82 Tahun 2001 tentang Penetapan Kelas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Berdasarkan ketentuan dalam PP 82 Tahun 2001 pada baku mutu air kelas II, untuk Waduk Tunda terdapat parameter yang melebihi baku mutu yang ditetapkan yakni parameter TDS yang mencapai 1070 sedangngkan baku mutu yang dipersyaratkan maksimal 1000 mg/L. Untuk Waduk Kalambangan, juga terdapat satu parameter yang melebihi baku mutu yakni pada pH yang mencapai 9,17 sedangkan baku mutu yang dipersyaratkan adalah 6 – 9. Kualitas Air Sumur. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau bebatuan di bawah permukaan tanah. Air tanah merupakan salah satu sumber daya air Selain air sungai dan air hujan, air tanah juga mempunyai peranan yang sangat penting terutama dalam menjaga keseimbangan dan ketersediaan bahan baku air untuk kepentingan rumah tangga (domestik) maupun untuk kepentingan industri. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 34 Dibeberapa daerah, ketergantungan pasokan air bersih dan air tanah telah mencapai ± 70%. Perbandingan dengan Baku Mutu  Kualitas air sumur tidak ada yang melewati ambang batas baku mutu kelas I, sehingga air tanah layak dimanfaatkan. Untuk air minum kandungan total coliform seharusnya 0, jadi air terlebih dulu diolah sebelum dimanfaatkan.  Residu terlarut tertinggi ditemukan di Desa Kumasari, tingginya hasi residu dikawatirkan karena adanya pencampuran dengan air laut sehingga membuat air sumur menjadi payau. Semua air sumur ditemukan dalam keadaan tidak berbau dan tidak berwarna.  Kandungan Besi masih dibawah angka baku mutu 0.3 mg/L. sementara itu nilai tertinggi didapatkaan dengan angka 0.286 mg/L di Desa Babana dan di Desa Gunung Sari 0.267 mg/L. nilai ini menunjukkan bahwa kedua sumur tersebut mengandung besi dan perlu mendapat perhatian untuk komsumsi oleh karena adanya besi walaupun masih dibawah ambang batas. Daerah Motu tempat pengambilan sampel merupakan daerah perkebunan dan potensi genangan tinggi terutama ketika air hujan. Hal ini mengakibatkan adanya pengelupasan dan pencucian terhadap zat hara dari tanah yang dapat meresap kedalam sumur.  Kandungan BOD dalam air sumur masih dibawah ambang batas. Kandungan BOD tertinggi juga ditemukan di Desa Gunung Sari 1.096 mg/L namun masih dibawah ambang batas. Faktor genangan dan kurang terlindungnya sumur mempengaruhi nilai BOD  Hasil pemeriksaan terhadap DO juga mengindikasikan air tanah layak dimanfaatkan karena DO rata rata diatas dari 6 mg/L hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada pengayaan hara yang menyebabkan air menjadi berbau atau berwarna.  Nilai fosfat satu satunya hanya terdapat di Motu, dimana faktornya adalah karena sumur kurang terlindungi dan merupakan daerah genangan air  Total Coliform didefinisakan indikator bakteri pertama yang digunakan untuk menentukan aman tidaknya air untuk dikonsumsi. Bila Total Coliform dalam air ditemukan dalam jumlah yang tinggi maka kemungkinan adanya bakteri patogenik seperti Giardia, dan Cryptosporidium di dalamnya. Menurut Kepmenkes RI No: 907/Menkes/VII/2002 kadar maksimum Total Coliform Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 35 yang diperbolehkan dalam air minum adalah 0 MPN/100Ml, yang artinya bahwa keberadaan bakteri ini dalam air minum benar-benar tidak diizinkan. Dari hasil diatas dimana semua air tanah mengandung total coliform yang tertinggi 10 mpn/100ml dan terendah 2 mpn/100 ml, terlihat bahwa meskipun secara baku mutu masih dibawah ambang batas, namun untuk komsumsi air tanah untuk air minum tidak dapat digunakan secara lansung, melainkan harus di olah untuk menghilangkan bakteri patogenik. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tebel berikut ini ; Tabel 2.12 : Hasil Uji Kualitas Air Sumur Desa Gunung Sari Desa Gunung Sari Desa Makmur Jaya I Desa Makmur Jaya II Dusun Bulili Desa Babana Desa Kumasari 01.14’23,7” 119.29’26,2” 01.14’23,7” 119.29’26,2” 01.19’87,0” 119.25’50,9” 01.19’37,6” 119.25’41,8” 01.31’39,7” 119.25’55,6” 02.07’10,1” 119.15’17,7” 01.41’20,8” 119.21’01,0” 07/03/2015 31/08/2015 02/03/2015 02/03/2015 27/02/2015 24/02/2015 21/08/2015 152 152 172 96 194 114 270 8 7,52 6,48 6,44 7,03 7,22 7,17 BOD (mg/L) 0,949 1,096 1,011 0,953 0,978 1,075 1,001 COD (mg/L) 4,993 5,77 5,318 5,016 5,149 5,658 5,271 DO (mg/L) 7,47 6,256 6,951 7,563 7,086 6,111 7,159 0,174 0 0,153 0,196 0,185 0,19 0 6,23 2,193 5,378 2,044 9,563 9,785 5,23 0 0 0 0 0 0,099 0,5 Kadmium (mg/L) 0,0003 0,0003 0,0086 0,0018 0,0003 0,006 0,0139 Tembaga (mg/L) 0,0151 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,019 0,0001 Besi (mg/L) 0,0349 0,267 0 0 0,168 0,286 0,014 Timbal (mg/L) 0,0074 0,0074 0,0074 0,0074 0,0074 0,0074 0,0074 Seng (mg/L) 0,0349 0,0001 0,0231 0,0045 0,0002 0,0044 0,0001 Khlorida (mg/L) 26,412 11,076 20,448 9,798 9,798 19,17 25,134 0 0 0 0 0 0 0 31 172 49 7 10 57 33 Nama Lokasi Koordinat Waktu Pemantauan Residu Terlarut (mg/ L) pH Total Fosfat sbg P (mg/L) NO 3 sebagai N (mg/L) NH3-N (mg/L) Fecal coliform (jml/100 ml) Total coliform (jml/100 ml) Sumber : Tabel SD-17 Buku Data Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 36 Mengingat tingginya penderita diare tiap tahunnya, maka salah satu penyebab Penyakit diare adalah menyebarnya mikroorganisme penyebab yang masuk ke badan air yang dipakai oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, penyebaran penyakit diare dipengaruhi oleh perilaku masyarakat atau sosiosfer. Penyebaran penyakit ini, seperti penyakit menular saluran pencernaan dapat juga disebabkan karena tidak terbiasanya mencuci tangan setelah buang air, dan komunitas masyarakat tidak mementingkan penyediaan fasilitas cuci ini. Penularan lewat media air, tanah, makanan, dan vektor juga ditentukan oleh perlakuan dan etik masyarakat terhadap lingkungan disekitarnya II-D. UDARA Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri, transportasi, perkantoran, dan perumahan. Berbagai kegiatan tersebut merupakan kontribusi terbesar dari pencemar udara yang dibuang ke udara bebas. Sumber pencemaran udara juga dapat disebabkan oleh berbagai kegiatan alam, seperti kebakaran hutan, gunung meletus, gas alam beracun, dll. Dampak dari pencemaran udara tersebut adalah menyebabkan penurunan kualitas udara, yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. Berdasarkan meningkatnya tekanan tersebut, maka dilakukan pengukuran kwalitas udara untuk Provinsi Sulawesi Barat. Kualitas udara di pengaruhi oleh kendaraan bermotor, pembakaran baik dilahan perkebunan maupun sampah, gas buang indistri perkebunan sawit dan sumber alami lainnya. Kualitas Udara Ambien Menurut Lokasi Salah satu upaya untuk mengurangi tingkat pencemaran udara adalah upaya untuk menggalakkan penanaman pohon yang akhir-akhir ini dikenal dengan istilah penanaman satu milyar pohon. Beberapa komponen zat pencemar yang dapat menimbulkan pencemaran udara antara lain; Particulate Matter (PM10) yaitu padatan atau likuid udara dalam bentuk asap, debu dan uap yang dapat tinggal dalam admosfir dalam waktu yang cukup lama; Ozone (O3) adalah bahan pencemar sekunder yang terbentuk di admosfer dari reaksi fotokimia NOx dan HC; Carbon Monoxide (CO) adalah gas yang dihasilkan dari proses oksidasi bahan bakar yang tidak sempurna; Carbon Dioxide (CO2) adalah gas yang diemisikan dari sumber-sumber alamiah dan antropogenik; Nitrogen Oxide (NOx) adalah kontributir Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 37 utama smog dan deposisi asam; Sulfur Dioxide (SO2) adalah gas yang tidak berbau bila berada pada konsentrasi rendah akan tetapi akan memberikan bau yang tajam pada konsentrasi pekat; Volatile Organic Compounds (VOCs) adalah senyawa organic yang mudah menguap dan Timbal (Pb) adalah logam yang sangat toksik dan menyebabkan berbagai dampak kesehatan terutama pada anak-anak. Pada tahun 2015, pengukuan kualitas udara dilaksanakan di enam Kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, 4 diantaranya menggunakan metode Roadside sesaat (1 jam) dan untuk Kabupaten Mamuju menggunakan metode Roadside 24 jam. Berikut lokasi-lokasi pengukuran kualitas udara di Provinsi Sulawesi Barat. Tabel 2.13 : Lokasi dan metode pengambilan sampel kualitas udara No. 1 Kabupaten Lokasi Sampling Mamuju 1. Perumahan BTN Axuri – Mamuju 2. Depan Lapangan Merdeka 3. Terminal Simbuang 2 Mamuju 1. Jl. Poros – Mamuju Utara Utara 2. Depan Bank Mandiri 3. Jl. Urip Sumoharjo 3 Mamuju 1. Kompleks Perumahan Tengah 2. Terminal Penumpang 3. Jl. Poros Topoyo Mamuju Tengah 4 Majene 1. Jl. Jend. Sudirman – Majene 2. Kompleks Perkantoran 3. Sekitar Pelabuhan 5 Polewali 1. Jl. H. Andi Depu - Polewali Mandar Mandar 2. Jl. Trans Sulawesi - Polewali Mandar 3. Jl. Jend. A. Yani - Polewali Mandar 6 Mamasa 1. Jl. Poros Mamasa – Toraja 2. Jl. Lapangan Pasar Mamasa 3. Depan Kantor Bupati Mamasa Sumber : Laporan Pemantauan Kualitas Udara Keterangan Metode Roadside sesaat (1 jam) Metode Roadside sesaat (1 jam) Metode Roadside sesaat (1 jam) Metode Roadside sesaat (1 jam) Metode Roadside sesaat (1 jam) Metode Roadside sesaat (1 jam) Perbandingan dengan Baku Mutu Kualitas udara, terutama di kota-kota besar dan metropolitan, sangat dipengaruhi oleh kegiatan transportasi. Pada tahun 2008 kegiatan transportasi di Indonesia diperkirakan mengemisikan CO2, CH4, dan N2O masing-masing sebesar 83 juta ton, 24 ribu ton, dan 3,9 ribu ton. Data kualitas udara didapatkan dari pemantauan di 5 ibukota kabupaten dengan menggunakan metoda passive sampler pada lokasi-lokasi yang mewakili daerah permukiman, industri, dan padat lalulintas kendaraan bermotor. Sedangkan parameter yang diukur adalah SO2 dan NO2. Pengukuran kualitas udara yang dilakukan pada lokasi tersebut dianggap mewakili kualitas udara tahunan untuk masing-masing parameter. Selanjutnya nilai Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 38 konsentrasi rata-rata tersebut dikonversikan menjadi nilai indeks dalam skala 0 – 100 untuk setiap ibukota provinsi. Formula untuk konversi tersebut adalah : Perhitungan nilai indeks pencemaran udara (IPU) dilakukan dengan formula sebagai berikut: dimana: IPU = Indeks Pencemaran Udara IPNO2 = Indeks Pencemar NO2 = Indeks Pencemar SO2 IPSO2 Tabel 2.14 : Tabel Indeks Pencemaran Udara Sulbar 2015 No. Provinsi/Kabupaten Kon.NO2 Kon.SO2 IPNO2 IPSO2 IPU 1 Kabupaten Mamuju Utara 25,20 50,20 99,11 93,72 96,42 2 Kabupaten Mamuju, Mamuju Tengah 12,00 69,17 99,58 91,35 95,46 3 Kabupaten Majene 12,00 31,00 99,58 96,13 97,85 4 Kabupaten Polewali Mandar 12,00 31,00 99,58 96,13 97,85 5 Kabupaten Mamasa 12,00 43,67 99,58 94,54 97,06 6 Provinsi Sulawesi Barat 14,20 49,03 99,50 93,87 96,68 Sumber : Laporan IKLH Sulbar 2015 Berdasarkan tabel tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa nilai indeks pencemaran udara Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2015 ini masih cukup bagus yakni mencapai nilai 96,68. Jika ditinjau berdasarkan masing-masing kabupaten, maka Kabupaten Majene dan Polewali mandar masih menduduki peringkat pertama sebagai Kabupaten dengan tingkat pencemaran udara terendah, sedangkan Kabupaten Mamuju/Mamuju tengah pada peringkat terakhir. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 39 Hasil perhitungan menunjukkan bahwa tingkat pencemaran udara masih sangat didominasi dari emisi gas buang kendaraan bermotor. Kesimpulan ini diambil berdasarkan hasil perhitungan kualitas udara pada lokasi padat kendaraan. Nilai ini juga ditunjukkan dari indeks per kabupaten yang menempatkan Kabupaten Mamuju pada posisi terendah yang secara data adalah kabupaten dengan jumlah kepadatan kendaraan bermotor paling tinggi. Kualitas Air Hujan Peningkatan gas buang seperti NH3, NO2, SO2 dan aerosol akan mempengaruhi kadar keasaman air hujan. Arosol dan gas-gas tersebut yang larut dalam udara dapat dibersihkan dari admosfer melalui proses pembersihan secara kering (dry deposition) atau secara basah (wet deposition). Menurut Seinfeld J.H. (1986) garis batas keasaman air hujan adalah 5,6 yang berada dalam garis kesetimbangan dengan konsentrasi CO2 atmosfer 330ppm. Jika jika kadar keasaman air hujan dibawah 5,6 maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi hujan asam. Di samping memantau kualitas udara ambient, salah satu indikator untuk mengetahui gambaran kualitas udara adalah dengan melihat kualitas air hujan. Jika di atmosfir banyak terdapat polutan udara seperti gas SO 4, maka PH air hujan akan menjadi lebih rendah dan bersifat asam. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya hujan asam. Polutan SO4 bersumber dari arang, minyak bakar gas, kayu dan sebagainya. Sepertiga dari jumlah sulfur yang terdapat di atmosfir merupakan hasil kegiatan manusia dan kebanyakan dalam bentuk SO2. Sedangkan dua pertiga bagian lagi berasal dari sumber-sumber alam seperti vulkano dan terdapat dalam bentuk H2S dan oksida. Masalah yang ditimbulkan oleh bahan pencemar yang dibuat oleh manusia adalah distribusinya tidak merata sehingga terkosentrasi pada daerah tertentu. Data pemantauan kualitas air hujan berasal dari data sekunder dari Kabupaten Majene. Data kualitas air hujan ini menggambarkan kualitas udara pada wilayah yang terbebas dari pencemaran udara karena jauh dari sumber pencemar, jauh dari areal padat transportasi dan industri. Untuk parameter pH cenderung stabil selama tahun 2015 yaitu berkisar antara 6.35-7,56 dan nilai rata-rata pH adalah 6,92. Untuk keseluruhan parameter yang diukur hanya pada bulan Januari, Februari, Oktober, Nopember, dan Desember (Pada awal musim hujan). Berdasarkan pH normal air hujan yaitu 4-8, maka Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 40 kualitas air hujan pada Kec.Banggae berada dalam kondisi baik. Normalnya nilai pH menunjukkan bahwa kualitas atmosfer di wilayah ini masih baik, yaitu tidak terjadinya hujan asam yang disebabkan oleh polutan terutama SO 4 . Nilai pH terendah tercatat pada bulan Oktober yaitu 6.35, sedangkan nilai PH tercatat tertinggi pada bulan November yaitu sebesar 7,56. Untuk parameter daya hantar listrik (DHL), hasil pengukuran selama tahun 2015 berkisar yaitu 0,26-0,68 µs/cm dengan nilai rata-rata DHL selama tahun 2015 adalah 0,40. Nilai DHL yang tertinggi adalah pada Bulan Februari, yaitu 0,68 µs/cm. sedangkan nilai terendahnya adalah pada Bulan Nopember 2015, yaitu sebesar 0,26 µs/cm. Sesuai dengan literatur, daya hantar listrik sangat dipengaruhi oleh besarnya intensitas air hujan yang turun. Untuk lebih jelasnya, berikut disajikan tabel dan grafik hasil pemeriksaan kualitas air hujan di Kabupaten Majene. Tabel 2.15 : Hasil perhitungan kualitas air hujan Bulan pH DHL SO4 NO3 Cr NH4 Na Ca2+ Mg2+ Jan 6,75 0,37 tad 0,9 tad 0,03 tad 0,02 0,04 Feb 6,82 0,68 tad 0,7 tad 0,02 tad 0,02 0,03 Mar N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A Apr N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A Mei N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A Jun N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A Jul N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A Ags N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A Sep N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A Okt 6,35 0,3 tad 0,8 tad 0,01 tad 0,03 0,05 Nop 7,56 0,26 tad 0,5 tad 0,01 tad 0,01 0,03 Des 7,11 0,39 tad 6 tad 0,02 tad 0,01 0,05 Sumber : Data SLHD Kab. Majene II-E. LAUT, PESISIR DAN PANTAI Secara geografis, Provinsi Sulawesi Barat sebagian besar berada di daerah pesisir pantai yang berbatasan langsung dengan Selat Makassar. Dari enam Kabupaten yang ada dalam wilayah Pemerintahan Provinsi Sulawesi Barat, lima diantaranya berada pada daerah pesisir pantai. Hanya Kabupaten Mamasa yang berda di daerah pegunungan. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 41 Salah satu potensi yang dapat dikembangkan dengan kondisi geografis Provinsi Sulawesi Barat adalah budi daya hasil laut. Salah satunya adalah pengembangan sub sektor perikanan. Pengembangan perikanan di Sulawesi Barat terdiri dari perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Pada tahun 2014, produksi perikanan budidaya mencapai 67.548,70 ton dengan nilai produksi sebesar 720.333,68 juta rupiah. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah yang cukup unik karena merupakan tempat pencampuran pengaruh antara darat, laut dan udara yang disebut iklim. Pada umumnya wilayah pesisir dan estuaria pada khusunya mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi, kaya akan unsur hara dan menjadi sumber zat organik yang penting dalam rantai makanan laut. Namun demikian, perlu dipahami bahwa sebagai tempat peralihan antara darat dan laut, wilayah pesisir ditandai oleh adanya gradient perubahan sifat ekologi yang tajam, dan karenanya merupakan wilayah yang peka terhadap gangguan akibat adanya perubahan lingkungan dengan fluktuasi di luar normal. Untuk mendukung pengembangan produksi perikanan, sangatlah didukung oleh terpeliharanya ekositem perikanan dan kelautan. Salah satunya adalah menjaga kelestrian kualitas air laut khusunya dari pencemaran akibat usaha dan atau kegiatan manusia baik perorangan maupun kelompok bahkan dunia usaha serta ditambah lagi dengan rusaknya terumbu karang dan padang lamun yang menjadi habitat utama perkembangan perikanan dalam laut. Kualitas Air Laut. Sebagian besar permukaan bumi di Indonesia adala perairan. Di antaranya adalah laut. Laut adalah kumpulan air asin yang luas dan berhubbungan dengan samudera. Air di aut merupakan campuran dari 96,5% air murni dan 3,5% material lainnya seperti garam, gas terlarut, bahan-bahan organik dan partikel-partikel tak terlarut. Sifat-sifat fisik air laut ditentukan oleh 96,5% air murni. Air laut dapat dibedakan antara wilayah laut satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut dapat di lihat dari suhu, kecerahan dan salinitas. Perbandingan nilai antar waktu dan antar lokasi Suhu air laut Keadaan suhu perairan laut banyak ditentukan oleh penyinaran matahari yang disebut isolation. Pemanasan di daerah tropic/khatulistiwa akan berbeda dengan Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 42 hasil pemanasan di daerah lintang tengah atau kutub. Oleh karena bentuk bumi bulat, di daerah tropis sinar matahari jatuh hampir tegak lurus, sedangkan di daerah kutub umumnya menerima sinar matahari dengan sinaar yang condong. Sinar jatuh condong bidang jatuhnya akan lebih luas dari pada sinar yang jatuh tegak. Selain karena faktor kemiringan, di daerah-daerah kutub, banyak sinar yang dipantulkan kembali ke admosfer sehingga semakin menambah dingin keadaan suhu di daerah kutub. Pola suhu di perairan laut pada umumnya makin ke kutub makin dingin dan makin ke bawah makin dingin. Pada permukaan samudera, umumnya dari khatulistiwa berangsur-angsur dingin sampai ke laut-laut kutub, di khatulistiwa ± 280C, pada laut-laut kutub antara 00 sampai 20 C. panas matahari anya berpengaruh di lapisan atas saja. Di dasar samudera rata-rata mencapai 20C. Air dingin yang berasal dai daerah kutub akan mengalir ke daerah khatulistiwa. Laut yang tidak dipengaruhi arus dingin suhunya akan tinggi. Kecerahan Air Laut Kecerahan air laut ditentukan oleh tingkat kekeruhan air itu sendiri yang berasal dari kandungan sedimen yang dibawa oleh aliran sungai. Pada laut yang keruh, radiasi sinar matahari yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis tumbuhan laut akan kurang dibandingkan dengan air laut jernih. Pada perairan laut yang dalam dan jernih, fotosintesis tumbuhan itu mencapai 200 meter, sedangkan jika keruh hanya mencapai 15 – 40 meter. Laut yang jernih merupakan lingkungan yang baik intuk tumbuhnya terumbu karang dari cangkang binatang atau koral. Air laut juga menampakkan warna yang berbeda-beda, tergantung pada zat-zat organik maupun anorganik yang ada. Salinitas Air Laut Salinitas atau kadar garam ialah banyaknya garam-garaman yang terdapat dalam air laut, yang dinyatakan dengan 0/00 atau perseribu. Salinitas umumnya stabil, walaupun di beberapa tempat terjadi fluktuasi. Laut Mediterania dan Laut merah dapat mencapai 300/00 - 400/00 yang disebabkan banyak penguapan, sebaliknya dapat turun dengan drastic jika turun hujan. Laut yang memiliki kadar garam rendah banyak di jumpai di daerah-daerah yang banyak muara sungainya. Tinggi rendahnya kadar garam dalam air laut dipengaruhi oleh faktor penguapan, curah hujan dan banyaknya muara sungai di laut tersebut. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 43 Perbandingan dengan baku mutu Berdasarkan hasil uji kualitas air laut yang dilakukan pada 7 titik yang tersebar di dua kabupaten, maka dapat dijabarkan sebagai berikut :  Sampah terdapat pada Pelabuhan Pangali-Ali, Pantai Barane, Pelabuhan Palipi dan Pantai Malunda.  Parameter TSS di Pantai Malunda melebihi baku mutu yakni mencapai 127 dari 80 maksimal yang dipersyaratkan.  Untuk parameter pH di Pantai Malunda melebihi baku mutu yakni mencapai 9,15 dari baku mutu 6,6 – 8,5.  Parameter DO di Pantai Pangali-Ali, Barane dan Pasangkayu dibawah ambang batas yakni <5. Tabel 2.16 : Kualitas air laut Nama Lokasi Baku Mutu Koordinat Pantai Mampie TPI Polman Pantai Malunda Pelabuhan Palipi Pantai Pangali-Ali Pantai Barane Pantai Pasangkayu 03.27’16,3” 119.16’46,4” 03.26’01,7” 119.20’18,8” 02.56’12,0” 118.52’44,1” 03.18’76,9” 118.51’20,3” tad tad 01.10’51,2” 119.20’18,3” Waktu sampling 09/09/2015 Lokasi Sampling Wonomulyo Warna (CU) Bau 09/09/2015 Polewali 21/01/2015 Sasende 21/01/2015 Palipi 24/7/2015 24/7/2015 Pangali-Ali Barane 03/8/2015 Pasang-kayu - Alami Alami Alami Alami Alami Alami Alami tdk berbau tdk berbau tdk berbau tdk berbau tdk berbau tdk berbau tdk berbau tdk berbau Kecerahan (M) Kekeruhan (NTU) TSS (mg/l) >3 tad tad jernih jernih jernih jernih 0 <5 1,82 tad 1,78 1,91 1,64 1,14 3,5 80 1,2 4 127 13 nihil tad tad ada sampah ada sampah nihil Lapisan Minyak Temperatur (ºC) pH (mg/l) nihil tad tad nihil nihil 5 ada sampah nihil tad Sampah 10 ada sampah nihil alami 29 28 31,7 29,3 30,2 31 29 6,6-8,5 7,81 7,76 9,15 7,93 7,2 7,5 8,8 Salinitas (mg/l) alami 34,23 33,44 2,1 2,7 3,48 4,92 3,5 >5 6,04 tad 8,57 5,8 3,21 2,6 4,35 BOD5 (mg/l) 20 4,03 tad 0,81 3,35 5,5 6,7 2,52 COD (mg/l) Amonia total (mg/l) NO2-N (mg/l) nihil tad tad tad tad tad tad 5,84 0,3 0,206 0,214 2,98 0,03 0,05 0,15 0 5 tad tad 0,06 0,01 0,02 0,01 0,01 DO (mg/l) nihil NO3-N (mg/l) 1 0,21 tad 0,3 0,4 0,3 0,4 0,2 PO4-P (mg/l) Sianida (CN-) (mg/l) Sulfida (H2S) (mg/l) Klor (mg/l) Minyak bumi (mg/l) Fenol (mg/l) nihil 0,022 tad 0,15 0,1 0,2 0,3 tad 0,5 tad tad tad tad tad tad tad nihil 0,042 0,042 tad tad tad tad tad nihil tad tad tad tad tad tad tad 1 0,9 tad tad tad tad tad tad 0,002 tad tad tad tad tad tad tad Pestisida (mg/l) nihil tad tad tad tad tad tad tad PCB (mg/l) nihil tad tad tad tad tad tad tad Sumber : Tabel SD-17 Buku Data Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 44 Luas Tutupan dan Kondisi Terumbu Karang. Terumbu karang sangat penting untuk keberadaan keberlangsungan ikan atau lebih sering disebut sebagai rumah ikan, jika rumah ikan sudah rusak, dimanakah ikan tersebut akan tinggal? Tingginya kerusakan terumbu karang disebabkan oleh penangkapan ikan oleh nelayan dengan menggunakan putas/bom serta pengambilan terumbu karang untuk dijual dan dijadikan hiasan dinding rumah yang dijual dan bahan dasar kosmetik serta tingginya aktifitas laut. Padahal jika dipandang dari letak geografis, Wilayah Provinsi Sulawesi Barat beradah di wilayah Pesisir. Oleh karena itu, sektor perikanan merupakan sektor prospektif dalam peningkatan perekonomian masyarakat. Untuk menunjang minat masyarakat dalam pengelolaan sektor perikanan, maka diperlukan upaya-upaya yang dapat mendorong pengembangan pada sektor perikanan. Produksi dari perikanan yang ada saat ini, masih dapat ditingkatkan dan akan memberikan penerimaan dan penyerapan tenaga kerja yang maksimal. Saat ini, manajemen/pengelolaan produksi perikanan belum optimal, yang ditunjukkan dengan kontribusi ekonomi yang relatif rendah (berbanding terbalik dengan potensi yang dimiliki). Sehingga untuk menunjang dan meningkatkan produksi perikanan maka diperlukan program pengembangan yang memperhatikan dukungan alam bagi setiap jenis perikanan. Perbandingan nilai antar lokasi Tabel 2.17 Persentase Luas Terumbu Karang No. Kabupaten/Kota Luas Tutupan (Ha) Sangat Baik Baik Sedang Rusak 1084,73 18,44 31,92 23,09 26,55 50,00 tad tad 70,00 30,00 1 Mamuju Utara 2 Mamuju Tengah 3 Mamuju 7735,00 7,76 13,78 25,00 tad 4 Majene 408,53 tad tad 29,52 70,48 5 Polewali Mandar 849,23 tad 56,23 tad 43,77 Sumber : Tabel SD-19 Buku Data Dari tabel diatas menggambarkan bahwa, persentase kerusakan terumbu karang pada tahun 2015 berada di Kabupaten Majene yakni sebesar 70,48 persen terhadap luas tutupannya sedangkan yang paling sedikit berada di Kabupaten Mamuju Utara yakni hanya sekitar 26,55 persen terhadap luas tutupannya. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 45 Untuk luas tutupan lahan pada terumbu karang paling tinggi berada di Kabupaten Mamuju yakni mencapai 7.735,00 hektar sedangkan paling sedikit berada di Kabupaten Majene yang hanya mencapai 408,53 hektar Berdasarkan permasalahan tersebut, maka pengelolaan kawasan perikanan yang dapat dikembangkan antara lain : a) Pemberian penguatan modal bagi usaha perikanan dalam rangka menunjang kesinambungan usaha perikanan. b) Menggalakkan program penggunaan bibit unggul. c) Menggalakkan sosialisasi kepada masyarakat untuk tidak menggunakan perlatan yang dapat merusak lingkungan ekosistem laut dalam proses penangkapan ikan. d) Memperluas wilayah pemasaran produksi perikanan, baik lokal maupun pasar ekspor. e) Pengembangan pusat pengumpul dan distribusi bagi usaha perikanan dengan memperhatikan jarak minimum (mudah dijangkau). Luas dan Kerusakan Padang Lamun Padang lamun merupakan salah satu ekosistem yang terletak di daerah pesisir atau perairan laut dangkal. Keunikan dari tumbuhan lamun dari tumbuhan laut lainnya adalah adanya perakaran yang ekstensif dan system rhizome. Karena tipe perakaran ini menyebabkan daun-daun tumbuhan lamun menjadi lebat, dan ini besar manfaatnya dalam menopang keproduktivan ekosistem padang lamun (Supriharyono, 2007). Seperti pada tanaman air lainnya, maka faktor pembatas yang menentukan kehidupan lamun, secara fisiologis adalah faktor-faktor yang membatasi proses fotosintesis, yaitu penetrasi cahaya matahari, unsure hara, dan difusi anorganik karbon. Di samping itu ada faktor lain, seperti suhu air, salinitas, pergerakan air, juga pentingnya peranannya terhadap kebanyakan tumbuhan makrofita (Supriharyono, 2007). Dari 12 jenis lamun yang dikena di Indonesia, 5 jenis diantaranya dijumpai di pesisir Provinsi Sulawesi Barat. Kelima jenis tersebut adalam Enhalus Acoroides, Thalassia Hemprichii, Halophila Ovalis, Halodule Uninervis dan Syringodium Isoetifolium. Meskipun demikian jenis E. Acoroides, T. Hemprichii dan S. Isoetifolium merupakan jenis yang dominan dengan sebaran yang luas. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 46 Perbandingan Nilai Antar Lokasi Luas total padang lamun di Indonesia semula diperkirakan 30.000 km 2, tetapi diperkirakan kini telah menyusut sebanyak 30 – 40 %. Menyusutnya luas total padang lamun menunjukkan status dari ekosistem padang lamun ini di Indonesia wajib konservasi dan segera dilakukan pelestarian. Kerusakan ekosistem lamun antara lain karena reklamasi dan pembangunan fisik di garis pantai, pencemaran, penangkapan ikan dengan cara destruktif (bom, sianida, pukat dasar), dan tangkap lebih (over-fishing). Pembangunan pelabuhan dan industri di Teluk Banten misalnya, telah melenyapkan ratusan hektar padang lamun. Tutupan lamun di Pulau Pari (DKI Jakarta) telah berkurang sebanyak 25 % dari tahun 1999 hingga 2004. Kerusakan lamun juga dapat disebabkan oleh natural stress dan anthrogenik stress. Kerusakan-kerusakan ekosistem lamun yang disebabkan oleh natural stress biasanya disebabkan oleh gunung meletus, tsunami, kompetisi dan predasi. Sedangkan anthrogenik stress bisa disebabkan : 1. Perubahan fungsi pantai untuk pelabuhan atau dermaga. 2. Eutrofikasi (Blooming mikro alga dapat menutupi lamun dalam memperoleh sinar matahari). 3. Aquakultur (pembabatan dari hutan mangrove untuk tambak memupuk tambak). 4. Water polution (logam berat dan minyak). 5. Over fishing (pengambilan ikan yang berlebihan dan cara penangkapannya yang merusak). Untuk Provinsi Sulawesi Barat, berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan, persentase kerusakan padang lamun terbesar berada di Kabupaten Mamuju Utara yakni sebesar 41,92 persen, menyusun Kabupaten Mamuju seluas 33,25 persen, Kabupaten Mamuju Tengah 24,06 persen, Kabupaten Majene 6,75 persen dan yang paling rendah di Kabupaten Polewali Mandar yang hanya mencapai 1,10 persen. Luas padang lamun secara keseluruhan untuk Sulawesi Barat adalah 2.094,61 Ha atau sekitar 0,06 persen dari total luas padang lamun di Indonesia. Perbandingan dengan Baku Mutu Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 47 Grafik 2.5 : Luas dan Persentase Kerusakan Padang Lamun Provinsi Sulawesi Barat Sumber : Tabel SD-20 Buku Data Pengelolaan lamun sebagai salah satu ekosistem sangat penting karena manfaat yang ada sangat beragam, mulai dari sedimentasi, hingga aspek perikanan. Lamun yang sepertinya tidak begitu produktif dalam bidang pengolahan atau sebagai bahan mentah industri, belakangan ini kurang diperhatikan, lalu berdampak kerusakkan pada padang lamun yang tersebar di pesisir. Salah satu upaya pengelolaan lamun yang sudah ada adalah terbentuknya Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga telah mengamanatkan perlunya penyelamatan dan pengelolaan padang lamun sebagai bagian dari pengelolaan terpadu ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Bentuk pengelolaan lamun yang bisa dilakukan secara nyata adalah mengawasi pembangunan yang ada di pesisir dan tetap mengelola dengan baik limbah yang mengalir langsung ke laut. Selain itu, perawatan ekosistem padang lamun yang bisa dilakukan yaitu membudidayakan dan memonitoring setiap kegiatan masyarakat yang memerlukan padang lamun sebagai matapencaharian. Lamun, walaupun tidak terlihat begitu produktif, namun mempunyai manfaat yang lebih dari yang diperkirakan, karena alam yang terjaga adalah untuk masa depan. Luas dan Kerapatan Hutan Mangrove Mangrove hidup di daerah antara level pasang naik tetinggi (maximum spring tide) sampai level di sekitar atau di atas permukaan laut rata-rata (mean sea level). Komunitas (tumbuhan) hutan mangrove hidup di daerah pantai terlindung di Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 48 daerah tropis dan subtropis. Mangrove merupakan ekosistem pesisir yang mempunyai produktivitas hayati yang tinggi. Mangrove diketahui mempunyai daya adaptasi fisiologis yang sangat tinggi. Mereka tahan terhadap lingkungan dengan suhu perairan yang tinggi, fluktuasi salinitas yang luas dan tanah yang anaerob. Salah satu faktor yang penting dalam adaptasi fisiologis adalah system pengudaraan di akar-akarnya. Tidak semua tumbuhan yang memperoleh oksigen untuk akar-akarya dari tanah yang mengandung oksigen, mangrove tumbuh di tanah yang tidak mengandung oksigen dan harus memperoleh hampir seluruh oksigen untuk akar-akar mereka dari atmosfer. Jenis mangrove di Sulawesi Barat : Jenis tumbuhan ini didominasi oleh genera Rhizophora, Avicenia, Brugueira, Sonneratia. Mangrove ikutan (Associated Mangrove); merupakan kelompok tumbuhan yang ditemukan tumbuh bersamasama komunitas mangrove, tetapi tidak termasuk mangrove karena tumbuhan ini bersifat lebih kosmopolrt dan memiliki kisaran toleransi yang besar terhadap perubahan faktor fisik lingkungan seperti suhu, salinitas dan substrat. Jenis tumbuhan yang tergolong mangrove ikutan adalah waru laut, pandan, ketapang, jeruju dan Iain-Iain.Vegetasi pantai non Mangrove; merupakan kelompok tumbuhan yang memiliki ciri adanya zona bentuk pertumbuhan (habitus) secara horizontal dari daerah intertidal ke arah darat yang terdiri dari tumbuhan menjalar, semak belukar, perdu, pohon, dimana semakin kearah darat, keragaman jenis dan habitus pohon akan semakin besar. Jenis vegetasi pantai non mangrove umumnya terdiri dari tapak kambing, rumput angin, santigi, ketapang, cemara, laut dan kelapa.egetasi pantai di Kabupaten Mamuju Utara dicirikan dengan tumbuhan peralihan yang dapat hidup pada kondisi tergenang air laut dan darat. Tumbuhan mangrove di Sulawesi Barat menyebar di semua pesisir. Jenis mangrove yang ditemukan ada 7 jenis yaitu Rhizopora Stylosa, R. Mucronata, Avicennia Alba, Sonneratia Alba, Nypa Fruticans, Bruguiera sp. dan Ceriops sp. Jenis R. Stylosa, R. Mucronata dan A. Alba merupakan jenis yang dominan dengan sebaran yang luas, ciri utama dari vegetasi ini adalah memiliki struktur daun yang rapat, tidak bergetah dan warna dominan hijau pada daun. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 49 Tabel 2.18 : Luas Lokasi, Persetase Tutupan dan Kerapatan Mangrove No Lokasi 1 Mamuju Utara 2 Mamuju Tengah 3 Luas Lokasi (Ha) Persentase tutupan (%) Kerapatan (pohon/Ha) 402,87 tad 5451,50 64,50 tad tad Mamuju 685,58 5,00 10013,33 4 Majene 168,93 68,00 60,38 5 Polewali Mandar 317,33 55,00 2829,00 Sumber : Tabel SD-21 Buku Data Perbandingan dengan baku mutu a. PP RI Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut b. Kepmen LH Nomor 45 Tahun 1996 tentang Program Pantai Bersih. c. Kepmen LH Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. d. Kepmen LH Nomor 12 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Perizinan Pembuangan Air Limbah Ke Laut Tumbuhan mangrove dapat berkembang pada kondisi lingkungan buruk, akan tetapi setiap tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan fisik-kimia di lingkungannya. Ada empat faktor utama yang menentukan penyebaran tumbuhan mangrove yaitu (a) frekuensi arus pasang, (b) salinitas tanah, (c) air tanah, dan (d) suhu. Untuk data tahun 2015, diperkirakan bahwa sekitar 1,8 juta hektar hutan mangrove di Indonesia mengalami kerusakan atau sekitar atau sekitar 58 persen dari total 3,1 juta hektar hutan mangrove. Dari 1,8 juta hektar mangrove yang rusak, 1,4 juta diantaranya berada di luar kawasan hutan dan 400 ribu hektar lainnya berada dalam kawasan hutan. II-F. IKLIM Iklim di Sulawesi Barat memiliki tipe A (Sangat Basah) dan tidak terdapat bulan kering. Penentuan tipe iklim wilayah digunakan metode dari Schmidt- Ferguson (1951). Schmidt-Ferguson mengklasifikasikan iklim berdasarkan jumiah rata-rata bulan kering dan jumlah rata-rata bulan basah. Suatu bulan disebut bulan kering, jika dalam satu bulan terjadi curah hujan kurang dari 60 mm disebut bulan basah, Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 50 jika dalam satu bulan curah hujannya lebih dan 100 hari Schmidt-Ferguson sering disebut juga Q model karena didasarkan atas nilai Q. Nilai Q merupakan perbandingan jumlah rata-rata bulan kering dengan jumlah rata-rata bulan basah dikalikan dengan 100%. Curah Hujan Rata-Rata Bulanan. Hujan di Indonesia ada beberapa macam yang terdiri atas faktor-faktor yang berbeda, yaitu: a. Hujan orografis b. Hujan muson c. Hujan zenith Hujan orografis adalah hujan yang terjadi di daerah pegunungan karena awan yang mengandung banyak uap air mengalami pengembunan ketika tertiup dari laut ke pegunungan sehingga hujan turun di lereng pegunungan itu. Hujan jenis ini menghasilkan daerah tangkapan hujan dan daerah bayangan hujan. Contoh jelasnya adalah Pulau Jawa, yang mana daerah tangkapan hujannya adalah Jawa bagian utara dan daerah bayangan hujannya adalah Jawa bagian selatan. Hujan muson adalah hujan yang terjadi karena angin muson yang bertiup rata-rata enam bulan sekali karena adanya perbedaan tempratur antara daratan dan lautan. Hujan muson biasanya datang bersamaan dengan bertiupnya angin muson barat yang banyak mengandung uap air. Hujan zenit adalah hujan yang penyebabnya adalah suhu yang panas pada garis khatulistiwa sehingga memicu penguapan air ke atas langit bertemu dengan udara yang dingin menjadi hujan. Hujan zenit terjadi di sekitar daerah garis khatulistiwa saja. Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi curah hujan di Indonesia adalah: 1. Letak geografis Indonesia (di antara dua samudera dan dua benua, pengaruh pada hujan muson); 2. Letak astronomis Indonesia (pengaruh pada hujan zenith); 3. Banyaknya pegunungan di Indonesia (pengaruh pada hujan orografis); dan 4. Lama tidaknya penyinaran matahari (pengaruh pada penguapan) Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 51 Grafik 2.6 : Persentase Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Sumber : Olah data Tabel SD-22 Buku Data Perbandingan nilai antar waktu Sulawesi Barat terletak pada jalur katulistiwa sehingga memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Namun demikian intesitas hujan pada tahun 2015 dan hampir di seluruh wilayah Indonesia sangat kurang. Bahkan untuk tahun 2015 ini, terjadi kemarau panjang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di berbagai tempat. Berdasarkan grafik diatas, dapat dikatakan bahwa curah hujan yang tertinggi terjadi pada bulan November dan Desember yang juga menyebabkan terjadinya banjir di beberapa tempat. Untuk bulan Januari 2015, curah hujan yang tinggi masih dipengaruhi oleh keadaan cuaca dari tahun 2014 sampai dengan April 2015. Untuk bulan Mei sampai dengan bulan Oktober 2015 merupakan hari waktu terpanjang terjadinya kemarau. Hanya pada bulan juni saja yang masih terjadi hujan denga intensitas yang agak tinggi. Suhu Udara Rata-Rata Bulanan. Suhu udara di Sulawesi Barat bervariasi tiap bulannya dengan interval yang tidak berbeda jauh. Suhu udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat tersebut dari permukaan air laut dan jaraknya dari pantai. Berdasarkan laporan dari Stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 52 Majene pada tahun 2015 suhu udara di Sulawesi Barat berkisar antara 26,7°C hingga 29,1°C dengan rata-rata suhu udara sekitar 27,8°C. Perbandingan nilai antar waktu Grafik. 2.7 : Suhu Udara Rata-Rata Bulanan Provinsi Sulawesi Barat Sumber : Hasil perhitungan Tabel SD-23 Buku Data Perbandingan suhu udara rata-rata bulanan di Sulawesi Barat untuk tahun 2015 hampir sama dari bulan Januari sampai dengan Desember. Suhu udara tertinggi di Bulan Oktober, November dan Desember yakni yakni berkisar antara 28,4 0C sampai dengan 29,10C sedangkan yang terendah pada bulan Juni 2015. Untuk bulan lainnya hanya sekitar 270C. untuk bulan Mei 2015, data suhu udara ratarata bulanan tidak dapat dideteksi karena adanya kebakaran pada stasiun meteorologi, klimatologi kelas II Majene. II-G. BENCANA ALAM Berdasarkan kondisi geologi wilayah, jenis tanah, dan kondisi fisik lingkungan yang mempengaruhinya, Sulawesi Barat mempunyai potensi kerawanan bencana, baik yang disebabkan oleh alam maupun akibat dari pembangunan. Selain itu, Sulawesi Barat merupakan daerah yang rawan banjir hal ini disebabkan karena empat dari lima kabupaten yang ada di Sulawesi Barat berada pada daerah pesisir pantai. Selain bahaya banjir, Provinsi Sulawesi Barat juga berpotensi bahaya tsunami khusunya di Kabupaten Mamuju, Majene dan Polewali Mandar dengan kategori run-up 2-5 (berbahaya) seperti yang pernah terjadi di Nanggoro Aceh Darussalam. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 53 Peta 2.1 : Peta Rawan Gempa dan Resiko Gempa di Sulawesi Barat Sumber : BPBD Prov. Sulbar Bencana Banjir, Korban dan Kerugian. Kondisi wilayah Provinsi Sulawesi Barat yang meliputi daerah pengunungan dan dilintasi oleh sungai besar dan kecil yang sangat rawan terhadap bencana banjir khususnya banjir bandang akibat meluapnya aliran sungai. Curah hujan yang cukup tinggi pada penghujung tahun 2015 menyebabkan terjadinya banjir di beberapa daerah. Berdasarkan informasi yang dihimpun, banjir terparah berada di Desa Lembah Hopo, Kecamatan Karossa Kabupaten Mamuju Tengah. Banjir bandang yang terjadi ini, selain mengakibatkan rusaknya infrastruktur daerah juga menyebabkan kerusakan rumah warga. Dari keterangan yang terhimpun, terdapat 5 warga yang terseret banjir, dan tiga diantaranya ditemukan dalam keaadaan sudah meninggal. Berdasarkan data yang dihimpun dari masing-masing kabupaten, bencana banjir di Sulawesi Barat pada tahun 2015 ini terdapat di tiga kabupaten yakni Kabupaten Mamuju Utara, Mamuju Tengah dan Kaupaten Mamuju. Sedangkan untuk ketiga kabupaten lainnya tidak terdapat kejadian banjir sepanjang tahun 2015. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut : Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 54 Tabel 2.19 : Bencana Banjir, Korban dan Kerugian No Kabupaten/Kota Total Area Terendam (Ha) Jumlah Korban Mengungsi Jumlah Korban Meninggal Perkiraan Kerugian (Rp.) 1 Mamuju Utara 852 30 N/A 2.400.000.000 2 Mamuju Tengah 21 0 0 145.000.000 3 Mamuju 19 107 0 590000 4 Majene N/A N/A N/A N/A 5 Polewali Mandar N/A N/A N/A N/A 6 Mamasa N/A N/A N/A N/A Sumber : Tabel BA-1 Buku Data SLHD Analisis statistik sederhana. Berdasarkan data yang dihimpun dari masing-masing kabupaten, bencana banjir terluas berada di kabupaten Mamuju Utara dengan total area yang terendan mencapai 852 hektar, jumlah penduduk yang mengungsi diperkirakan mencapai 30 keluarga dengan perkiraan kerugian mencapai 2,4 milyar. Bencana banjir di Kabupaten Mamuju Utara ini disebabkan karena beberapa faktor antara lain drainase yang kurang lancar serta adanya penebangan liar sehingga meningkatkan laju air pada saat musim penghujan tiba. Untuk di Kabupaten Mamuju, banjir yang terjadi dalam kota di sekitar Karema Utara akibat kurang berfungsinya drainase serta saluran air lainnya. Hujan Deras yang turun beberapa jam megakibatkan genangan air akibat drainase yang tersumbat dengan sampah-sampah yang menyumbat saluran air. Selain itu, beberapa ruas jalan di Kota Mamuju yang jauh lebih rendah dibandingkan saluran pembuangan air sehingga drainase tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Bencana Kekeringan, Luas dan Kerugian. Kekeringan adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam masa yang berkepanjangan. Biasanya kejadian ini muncul bila suatu wilaah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah rata-rata. Musim kemarau yang panjang akan menyebabkann kekeringan karena cadangan air tanah akan habis akibat penguapan (evaporasi), transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh manusia. Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan suatu wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada pertaian dan ekosistem yang ditimbulkannya. Dampak ekonomi dan ekologi keeringan Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 55 merupakan suatu proses sehingga batasan kekeringan dalam setiap bidang dapat berbeda-beda. Namun, suatu kekeringan yang singkat tetapi intensif dapat pula menyebabkan kerusakan uang signifikan. Perbandingan dengan baku mutu Kekeringan menyangkut neraca air antara inflow dan outflow atau antara presipitasi dan evaportranspirasi. Kekeringan tidak hanya dilihat sebagai fenomena fisik cuaca saja, tetapi hendaknya juga dilihat sebagai fenomena alam yang terkait Bertambahnya erat dengan tingkat jumlah kebutuhan masyarakat terhadap air. penduduk telah megakibatkan terjadinya tekanan penggunaan lahan dan air serta menurunnya daya dukung lingkungan. Akibatnya kekeringan semakin sering terjadi dan semakin meluas. Kekeringan dapat menimbulkan dampak yang amat luas, kompleks dan juga rentang waktu yang panjang setelah berakhirnya kekeringan. Dampak yang luas dan berlangsung lama tersebut disebabkan karena air merupaka kebutuhan pokok dan vital bagi seluruh makhluk hidup yang tidak dapat digantikan oleh sumberdaya lainnya. Analisis statiskitk sederhana Tabel 2.20 : Data Bencana Kekeringan, Luas dan Kerugian No Kabupaten/Kota Total Area (Ha) Perkiraan Kerugian (Rp) 1 Mamuju Utara 145 tad 2 Mamuju Tengah tad tad 3 Mamuju tad tad 4 Majene 79 394.921.875 5 Polewali Mandar 6 Mamasa 1.738,42 tad 101.905.200.000 tad Sumber : Tabel BA-2 Buku Data Berdasarkan data yang dihimpun dari masing-masing kabupaten, bencana kekeringan terluas terdapat di Kabupaten Polewali Mandar. Kondisi ini dipengaruhi oleh kemarau yang berkepanjangan yang terjadi sepanjang tahun 2015. Di samping itu, Kabupaten Polewali Mandar sebagai kabupaten dengan luas lahan pertanian yang terluas di Sulawesi Barat. Kekeringan yang berkepanjangan ini mengakibatkan gagal panen di beberapa daerah di Sulawesi Barat. Untuk kabupaten Polewali Mandar luas kekeringan mencapai 1.738,42 hektar dengan Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 56 perkiraan kerugian mencapai 101, 9 milyar. Untuk kabupaten Mamuju Utara total area yang dilanda kekeringan mencapai 145 hektar dan Kabupaten Majene mencapai 79 hektar. Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan, Luas dan Kerugian. Salah satu issu yang cukup mengemuka akhir-akhir ini adanya kebakaran hutan yang melanda hampir di sebagian besar wilayah Indonesia. Kebakaran hutan terparah berada di Kepulauan Sumatera dan Kalimantan yang menjadi perbincangan dunia di tahun 2015. Untuk wilayah Sulawesi Barat, kebakaran hutan dan lahan terjadi hampir di seluruh wilayah Sulawesi Barat yang tersebar di beberapa desa dan kecamatan. Untuk wilayah kabupaten Mamuju Utara, Mamuju Tengah dan Mamuju, kebakaran hutan dan lahan terjadi di beberapa perkebunan sawit milik masyarakat. Kebakaran ini sempat menjadi issu bagi perusahaan khusunya di Mamuju Tengah dalam program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan. Untuk wilayah Mamuju Tengah, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada bulan Agustus 2015 menyebabkan 1 rumah ikut terbakar dan beberapa lahan perkebunan masyarakat hangus terbakar. Penyebab kebakaran hingga saat ini masih belum diketahui. Grafik 2.8 : Data Bencana Kebakaran Hutan Tahun 2015 Sumber : Olah Data Tabel BA-3 Buku Data Bencana Tanah Longsor dan Gempa Bumi, Korban, Kerugian. Berdasarkan data dari masing-masing daerah, di wilayah Provinsi Sulawesi Barat sepanjang tahun 2015 bencana gempa bumi yang terjadi sebagai akibat dari Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 57 pengaruh kejadian gempa yang berpusat di Kabupaten Tana Toraja, namun menimbulkan dampak sampai di Kabupaten Mamuju. Namun demikian, berdasarkan data yang dihimpun, kejadian ini tidak menimbulkan korban jiwa tetapi berdampak pada korban materil yakni adanya beberapa rumah yang rusak di Kecamatan Kalumpang yang berbatasan langsung dengan Tana Toraja. Untuk bencana tanah longsor, terjadi di dua kabupaten yakni Kabupaten Majene dan Kabupaten Mamasa. Bencana tanah longsor ini pada umumnya disebabkan oleh penurunan kualitas tanah serta kountur tanah yang labil sehingga mudah bergeser saat terjadi hujan lebat. Peristiwa ini lebih diperparah lagi dengan adanya proyek pelebaran jalan yang kurang memperhatikan kondisi dan struktur tanah serta kemiringan tanah saat melakukan pengerukan. Untuk Kabupaten Mamasa, bencana tanah longsor yang terjadi di sebagian jalan poros menuju kota Mamasa, selain diakibatkan oleh pelebaran jalan, juga sebagian besar akibat pengambilan material batuan oleh sekelompok masyarakat. Selain bencana alam yang telah dipaparkan diatas, dari data yang dihimpun dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sulawesi Barat, beberapa kejadian bencana alam lainnya yang terjadi di Provinsi Sulawesi Barat dalam tahun 2015 antara lain abrasi pantai dan angin puting beliung. Perbandingan dengan baku mutu. Banjir dan tanah longsor sudah menjadi sesuatu yang sangat akrab di telinga kita. Betapa tidak, hampir setiap tahunnya pada saat musim penghujan tiba, sebagian besar wilayah di Indonesia dilanda banjir dan tanah longsor. Kota metropolitan seperti kota Jakarta justru menjadi kota langganan banjir setiap tahunnya. Selain bahaya bajir, bencana yang sering mengancam Indonesia adalah bencana tsunami. Peristiwa tsunami terbesar di Indonesia masih terngiang jelas bagi kita dimana pada tanggal 26 Desember 2004 terjadi tsunami di Nanggoro Aceh Darussalam yang mengakibatkan ribuan orang meninggal dunia dan kerusakan material yang tidak terhitung jumlahnya. Hal yang tidak kalah mengerikannya adalah trauma bagi keluarga-keluarga yang selamat dalam peristiwa tersebut. Hal ini diakibatkan karena Indonesia berada pada pertemuan dua lempeng benua (Australia dan Asia) yang merupakan daerah rawan bencana dan berpotensi tsunami. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 58 Provinsi Sulawesi Barat termasuk dalam daerah rawan banjir berdasarkan sejarah tsunami di Indonesia. Pada bagian barat Provinsi Sulawesi Barat khusunya Kabupaten Mamuju, Majene dan Polewali Mandar termasuk dalam daerah rawan tsunami dengan kategori run up 2-5 (berbahaya). Perbandingan Nilai Antar Waktu dan Antar Lokasi. Provinsi Sulawesi Barat merupakan provinsi ke-33 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia. Pada usianya yang baru akan mencapai sebelas tahun ini, tentunya memerlukan berbagai bentuk perbaikan dan pembangunan untuk mengejar kesejajaran dengan provinsi-provinsi lainnya. Proses pembangunan tentu saja menjadi salah satu faktor pendukung perkembangan ekonomi suatu daerah. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam proses pembangunan tersebut seringkali tidak memperhitungkan perubahan pada lingkungan hidup. Misalnya perubahan fungsi hutan dan lahan menjadi lahan untuk pembangunan pemukiman, perkantoran dan lain sebagainya. Berdasarkan fakta dan data yang terjadi di lapangan bahwa sebagian besar bencana alam yang terjadi di Indonesia dan di Sulawesi Barat pada khusunya diakibatkan karena human eror. Dari catatan bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi sepanjang tahun 2015 ini, sebagian besar diakibatkan oleh penggundulan hutan dan pengerukan lahan. Banjir bandang pada tahun 2013 yang terjadi di Kecamatan Sumarorong, Kabupaten Mamasa adalah akibat dari penggundulan hutan di daerah hulu sungai sehingga pada saat musim penghujan tiba terjadi longsor dan banjir bandang yang tentu saja berakibat pada kerugian manusia. Analisis Statik Sederhana Bencana alam tampaknya sudah menjadi hal biasa dan tak terpisahkan dalam kehidupan peduduk Indonesia. Berbagai bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, serta kekeringan mewarnai kehidupan kita belakangan ini. Bencana-bencana tersebut pada umumnya mencapai wilayah yang cukup luas yang tentu saja menimbulkan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan yang cukup besar. Beberapa tahun terakhir ini, bahkan hampir setiap tahun, Provinsi Sulawesi Barat sering dilanda banjir khusunya banjir bandang ketika musim penghujan tiba. Seiring dengan berbagai peristiwa tersebut, berbagai persoalan muncul seperti perubahan pla hidup masyarakat sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan, Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 59 penurunan kualitas lingkungan karena adanya perubahan keseimbangan system alam, penurunan kualitas air dimana masyarakat sulit mencapatkan air bersih, gangguan habitat keanekaragaman hayati, terganggunya kegiatan ekonomi, gangguan transportasi serta gangguan kesehatan dengan munculnya berbagai macam penyakit. Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sulawesi Barat, bencana alam yang terjadi di Provinsi Sulawesi Barat sepanjang tahun 2015 ini didominasi oleh bencana banjir yang diikuti dengan tanah longsor dan kebakaran hutan. Komponen penyebab terjadinya bencana bajir adalah berkaitan dengan sikap dan perilaku masyarakat dalam kehidupan kesehariannya yang kurang memperhatikan keseimbangan alam dan lingkungannya. Dampak dari sikap dan perilaku tersebut adalah akibat dari kurangnya pemahaman dan pengetahuan serta kesadaran masyarakat dalam menjaga dan melestarikan fungsi-fungsi lingkungan hidup. Faktor lain adalah adanya pemanfaatan dan pengalihfungsian hutan dan lahan yang tidak terkontrol seperti pembangunan perumahan pada daerah resapan air, pembukaan lahan-lahan perkebunan, reklamasi pantai dan faktor-faktor lain yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk sehingga menimbulkan tekanan terhadap lingkungan. Untuk mencegah semakin meningkatnya bencana alam khusunya banjir dan tanah longsor, maka dibutuhkan suatu pola pendekatan integralistik dan menyeluruh. Peristiwa banjir dan tanah longsor terjadi bukan hanya karena satu sebab dan oleh satu orang pelaku melainkan berbagai faktor penyebab akibat aktivitas manusia yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu system meta konsep dan meta disiplin, dimana formalitas dan proses keseluruhan disiplin ilmu dan pengetahuan sosial dapat dipadukan untuk memecahkan masalah. Langkah awal yang harus ditempuh adalah mengadakan identifikasi faktor-faktor penyebab peristiwa bencana banjir dan tanah longsor yang akan dijadikan dasar pertimbangan dalam menentukan solusi pencegahan dan pemecahan masalah tersebut. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya K - 60 BAB III TEKANAN TERHADAP LINGKUNGAN III-A. KEPENDUDUKAN Penduduk adalah warga Negara yang tinggal dan berdiam di suatu daerah. Penduduk di Indonesia adalah warga Negara Indonesia dan orang asing yang tinggal di Indonesia. Kependudukan adalah hal ihwal yang berkaitan dengan jumlah, struktur, umur, jenis kelamin, agama, kelahiran, perkawinan, kehamilan, kematian, persebaran, mobilitas dan kualitas serta ketahanannya yang menyangkut politik, ekonomi, sosial dan budaya. Pengelolaan kependudukan dan pembangunan keluarga adalah upaya terencana untuk mengarahkan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga untuk emwujudkan penduduk yang tumbuh seimbang dan mengembangkan kualitas penduduk pada seluruh dimensi penduduk. Perkembangan kependudukan adalah kondisi yang berhubungan dengan perubahan keadaan kependudukan yang berpengaruh serta dipengaruhi oleh keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan. Kualitas penduduk adalah kondisi penduduk dalam aspek fisik dan nonfisik yang meliputi derajat kesehatan, pendidikan, ekerjaan, produktifitas, tingkat social, ketahanan, kemandirian dan kecerdasan sebagai ukuran dasar untuk mengembangkan kemampuan dan menikmati kehidupan sebagai manusia yang beriman, berbudaya, berkepribadian, berkebangsaan dan hidup secara layak. Luas Wilayah, Jumlah Peduduk, Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Sebagai daerah yang baru dengan sejumlah potensi yang dimilikinya, Sulawesi Barat memiliki daya tarik tersendiri bagi sejumlah imigran untuk memilih daerah ini sebagai tempat tinggal baru. Setelah hampir 12 tahun sejak dibentuk pada tahun 2004, Jumlah penduduk Sulawesi Barat sampai dengan tahun 2015 mencapai 1.258.090 jiwa dengan rincian penduduk laki-laki sebanyak 630.903 jiwa dan selebihnya adalah penduduk perempuan sebanyak 627.187 jiwa. Penduduk Usia Kerja (PUK) didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 15 tahun ke atas. Penduduk Usia Kerja terdiri dari Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja. Mereka yang termasuk dalam Angkatan Kerja adalah penduduk yang bekerja atau yang sedang mencari pekerjaan, sedangkan Bukan Angkatan Tekanan Terhadap Lingkungan T-1 Kerja adalah mereka yang bersekolah, mengurus rumah tangga atau melakukan kegiatan lainnya. Pada tahun 2015, tingkat pengangguran terbuka di tingkat Sulawesi Barat sebesar 2,14 persen. Jika dirinci menurut kabupaten, tingkat pengangguran terendah berada di Kabupaten Mamuju, sekitar 1,02 persen sebaliknya TPT tertinggi di Kabupaten Mamasa sebesar 3,37 persen. Pada tahun yang sama, jika dilihat dari segi lapangan usaha, sebagian besar penduduk Sulawesi Barat bekerja disektor pertanian berjumlah 314.290 orang atau sekitar 57,27 persen dari jumlah penduduk yang bekerja. Tabel 3.1 : Jumlah Penduduk, Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk No. Kabupaten Luas (km2) Jumlah Penduduk Pertumbuhan Penduduk (%) Kepadatan Penduduk (%) 1 Mamuju Utara 2988,91 152505 3,15 51 2 Mamuju Tengah 3107,92 118188 2,78 38 3 Mamuju 4832,37 258984 2,80 54 4 Majene 900,20 161132 1,59 179 5 Polewali Mandar 2082,79 417472 1,29 200 6 Mamasa 3004,53 149809 1,66 50 16916,72 1258090 13,27 571,94 Total Sumber : Tabel DE-1 Buku Data Analisis statistik sederhana Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa penduduk terbesar di Provinsi Sulawesi Barat berada di Kabupaten Polewali Mandar yakni sebanyak 417.472 jiwa atau sekitar 33,18 persen dari total jumlah penduduk Provinsi Sulawesi Barat, disusul oleh Kabupaten Mamuju sebanyak 258.984 jiwa, Kabupaten Majene sebesar 161.132 jiwa, Kabupaten Mamuju Utara sebesar 152.505 jiwa, Kabupaten Mamasa sebesar 149.809 jiwa dan paling terkecil berada di Kabupaten Mamuju Tengah yakni hanya sekitar 118.188 jiwa atau sekitar 9,39 persen. Jika dilihat dari laju pertumbuhan penduduk, Kabupaten Mamuju Utara justru menempati urutan pertama yakni sebesar 3,15 persen disusul oleh Kabupaten Mamuju dan Mamuju Tengah masing-masing sebesar 2,8 persen Kabupaten Mamasa sebesar 1,66 persen, Kabupaten Majene sebesar 1,59 persen dan terakhir adalah Kabupaten Polewali Mandar yakni hanya sekitar 1,29 persen. Tekanan Terhadap Lingkungan T-2 Dari segi kepadatan penduduk, maka Kabupaten Polewali Mandar menjadi kabupaten terpadat yakni terdapat sekitar 200 jiwa per kilometer persegi, disusul oleh Kabupaten Majene yakni sekitar 179 jiwa per kilometer persegi, Kabupaten Mamuju sekitar 54 jiwa per kilometer persegi, Kabupaten Mamuju Utara sekitar 51 jiwa per kilometer persegi, Kabupaten Mamasa sekitar 50 jiwa perkilometer persegi, sedangkan yang terkecil adalah Kabupaten Mamuju Tengah yakni hanya terdapat sekitar 38 jiwa per kilometer persegi. Penduduk Laki-Laki dan Perempuan Jumlah penduduk dengan jenis kelamin laki-laki di Kabupaten Mamuju Utara, Mamuju Tengah, Mamuju, Polewali Mandar dan Mamasa lebih banyak dari jumlah penduduk perempuan, namun di Kabupaten Majene dan Polewali Mandar, jumlah penduduk perempuan jauh lebih banyak. Jika dihitung secara keseluruhan, rasio jumlah penduduk di Sulawesi Barat di atas 100, yakni jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari penduduk perempuan, walaupun hanya seleisih sedikit. Grafik 3.1 :Grafik perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan Sumber : Olah Data Tabel DE-2 Buku Data Analisis statistik sederhana Menurut data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Barat pada hasil intercept data 2014, jumlah penduduk laki-laki di Sulawesi Barat sebanyak 630.090 jiwa sedangkan jumlah penduduk perempuan sebanyak 627.187 jiwa. Jika dilihat per kabupaten, jumlh penduduk laki-laki terbanyak berada di Kabupaten Mamuju Utara, Mamuju Tengah, Mamuju dan Mamasa sdangkan untuk Kabupaten Majene dan Polewali Mandar justru sebaliknya. Perbandingan jumlah Tekanan Terhadap Lingkungan T-3 penduduk laki-laki dan perempuan yang paling signifikan berada di Kabupaten Polewali Mandar yakni mencapai 9.510 jiwa sedangkan yang terendah berada di kabupaten Mamasa yakni haya mencapai 2005 jiwa. Namun demikian, jika dilihat dari segi persentase perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan, Kabupaten Mamuju Utara mencapai 3,93 persen, Mamuju Tengah 3,33 persen, Majene 2,43 persen, Polewali Mandar 2,28 persen, Mamuju 2,01 persen dan Mamasa 1,43 persen. Provinsi Sulawesi Barat dalam program nasional sejak dulu menjadi salah satu wilayah yang dijadikan tujuan transmigrasi. Hal ini disebabkan karena luas wilayah jika dibandingkan dengan jumlah penduduk masih tergolong daerah yang belum terlalu padat. Perkembangan yang tidak sepesat Provinsi Induknya yakni Sulawesi Selatan ‘seolah-olah’ tidak menjadi tujuan utama bagi sebagian besar penduduk di luar Sulawesi Barat untuk mengadu nasib dan berinvestasi di wilayah ini. Dilain pihak, Sulawesi Barat yang baru dimekarkan dari Sulawesi Selatan, juga menjadi tujuan untuk mencari lapangan pekerjaan Migrasi penduduk Sulawesi Barat cukup sigifikan berada di Kabupaten Mamuju disusul oleh Kabupaten Mamuju Utara, Polewali Mandar, Majene Mamasa dan Mamuju Tengah. Menyadari hal tersebut, maka pemerintah mulai melakukan pembangunan infrastruktur yang dapat meningkatkan sumber daya daerah dan sekaligus menarik para inverstor lokal, nasional bahkan inverstor asing untuk berinvestasi. Pembangunan infrastruktur dan perbaikan sarana jalan, perbaikan jembatan dan pembangunan sekolah-sekolah tinggi semakin digalakkan sehingga penduduk Sulawesi Barat dalam melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi tidak perlu lagi jauh-jauh keluar dari Sulawesi Barat. Salah satu perguruan tinggi yang sedang digalakkan di Provinsi Sulawesi Barat adalah Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar) Jumlah Penduduk di Wilayah Pesisir dan Laut Pola pemukiman yang ada di Provinsi Sulawesi Barat mempengaruhi jumlah penduduk yang bermukim di suatu daerah. Pada umumnya pola pemukiman di Provinsi Sulawesi Barat menganut sistem pemukiman memanjang atau linear yakni mengikuti jalan, sungai dan garis pantai. Hal ini disebabkan karena penduduk Sulawesi Barat sebagian bersar bermukim di daerah pesisir pantai mengingat garis pantai yang cukup panjang yakni mencapai 677 kilometer. Dari Tekanan Terhadap Lingkungan T-4 enam kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Barat, lima diantaranya berada di daerah pesisir. Hanya Kabupaten Mamasa saja yang berada pada daerah dataran tinggi dan pegunungan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan. Tabel 3.2 : Jumlah Penduduk di wilayah pesisir dan pantai No. Kabupaten Jumlah Desa Jumlah Penduduk Jumlah Rumah Tangga 1 Majene 48 101640 17744 2 Polewali Mandar 28 104867 22792 3 Mamuju 32 tad tad 4 Mamuju Utara 29 10452 2422 5 Mamuju Tengah 46 56266 12947 Sumber : Tabel DE-3 Buku Data Berdasarkan tebel tersebut diatas, jumlah penduduk terbanyak yang bermukim di daerah pesisir berada di Kabupaten Polewali Mandar yakni mencapai 22.792 rumah tangga. Hal ini tidak lepas dari komposisi jumlah penduduk di Sulawesi Barat yang mayoritas berada di Kabupaten Polewali Mandar dan sebagian besar berada di daerah pesisir. Sedangkan untuk Kabupaten Mamuju Utara, dari 29 Desa dan Kelurahan yang berada di daerah pesisir hanya sekitar 2.422 keluarga yang bermukin di daerah pesisir. Hal ini dipegaruhi oleh pola hidup masyarakat lokal yang masih tergantung pada kehidupan dengan system peladangan berpindah yang menempati sebagian besar hutan lindung, khususnya kepada masyarakat Suku Binggi yang merupakan penduduk asli di Kabupaten Mamuju Utara. Perbandingan dengan Baku Mutu Pertambahan jumlah penduduk di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, namun tidak dibarengi dengan peperataan jumlah penduduk di masing-masing daerah. Berdasarkan data statistik saat ini adalah jumlah penduduk terpadat di Indonesia berada di Jakarta sebagai pusat ibukota sedangkan jumlah penduduk paling sedikit berada di Provinsi Papua dan Papua Barat. Venomena ini diakibatkan karena terjadinya proses urbanisasi pada setiap tahunnya. Proses urbanisasi ini sendiri diakibatkan karena pemerataan pembangunan di Indonesia pada umunya tidak seimbang. Jika dibandingkan Tekanan Terhadap Lingkungan T-5 peningkatan pembangunan di wilayah timur dan barat Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa pembangunan di wilayah timur Indonesi kurang di perhatikan baik dari segi pembangunan infrastruktur dan sarana prasarana maupun dari segi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Provinsi Sulawesi Barat sebagai Provinsi termuda di Indonesia masih tergolong wilayah dengan jumlah penduduk yang masih relatif kurang jika dibandingkan dengan provinsi lainnya khusunya dari Provinsi induknya yaitu Sulawesi Selatan. Perbandingan Nilai Antar Waktu dan Antar Lokasi Badan Pusat Statistik telah membuat beberapa skenario proyeksi penduduk Indonesia (Tahun 2000-2025) mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi dengan berdasar pada hasil sensus penduduk pada tahun 2000. Proyeksi ini dibuat dengan metode komponen berdasarkan asumsi tentang kecenderungan fertilitas, moraltas serta perpindahan penduduk antar provinsi yang paling memungkinkan untuk 25 tahun kedepan (dihitung sejak tahun 2000). Untuk proyeksi penduduk perkotaan dilakukan dengan metode Urban Rural Growth Difference (URGD) yaitu dengan menggunakan selisih pertumbungan penduduk di daerah perkotaan dan pedesaan. Tahap pertama adalah dengan melalukan proyeksi jumlah penduduk Indonesia kemudian proyeksi jumlah penduduk per provinsi. Jika proyeksi jumlah penduduk per provinsi ini dijumlahkan, maka hasilnya tidak akan sama dengan proyeksi penduduk di Indonesia. Oleh karena itu, untuk menyamakannya perlu dilakukan literasi dengan jumlah penduduk Indonesia sebagai patokan. Jika hasil proyeksi tersebut telah dicapai, maka harus dibarengi dengan pemerataan pembangunan sehingga proses pemerataan penduduk antar Provinsi dapat tercapai. Analisis Statistik Sederhana Jika dianalisis menurut metode statistik, maka jumlah penduduk di Provinsi Sulawesi Barat berdasarkan pengelompokan umur, didapatkan bahwa penduduk terbanyak berada pada kelompok umur 15-39 tahun yakni sebanyak 528.044 jiwa dan paling sedikit perada pada kelompok umur 65 tahun keatas yakni sebanyak 50.082 jiwa. Jika melaihat data statistic berdasarkan kelompok umur tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa potensi sumber daya manusia di Sulawesi Barat untuk masa yang akan datang sangat besar jika dapat di kembangkan melalui Tekanan Terhadap Lingkungan T-6 peningkatan sumber daya manusia yang dapat bersang dengan provinsi- provinsi lain yang sudah berkembang. Grafik 3.2 : Perbandingan penduduk menurut umur di Sulawesi Barat Sumber : Olah Data Tabel DE-2B dan DE-2C Penduduk Laki-Laki dan Perempuan Menurut Tingkat Pendidikan Perkembangan penduduk di suatu daerah dapat dipengaruhi oleh kualitas penduduk yaitu pendidikan, pekerjaan, tingkat ekonomi dan keamanan. suatu wilayah yang mengalami pertumbuhan penduduk yang sangat pesat tanpa diimbangi dengan perkembangan ilmu pengetahuan atau pendidikan akan berdampak pada kehidupan perekonomian penduduk, selain itu dapat menurunkan produktifitas pangan yang dapat menimbulkan krisis lingkungan hidup yang meliputi krisis air, krisis pangan, krisis tempat tinggal dan krisis terhadap lahan produksi pangan. Selain itu, suatu wilayah dengan pertambahan penduduk yang sangatpesat dapat menyebabkan timblnya masalah-masalah pendidikan, pengangguran, kesenjangan social dan masalah-masalah lainnya. Dengan pertambahan penduduk, maka fasilitas penunjang juga harus ikut meningkat semisal pendidikan. Jika di suatu wilayah, fasilitas pendidikan kurang terpenuhi, maka akan menyebabkan tingkat pendidikan rendah yang secara tidak langsung menjadi sumber dampak pengangguran. Jika pengangguran semakin meningkat, maka tingkat perekonomian akan semakin menurun yang secara tidak langsung berpengaruh pula terhadap peningkatan kemiskinan. Tekanan Terhadap Lingkungan T-7 Grafik 3.3 : Perbandingan Penduduk Laki-Laki dan Perempuan Menurut Tingkat Pendidikan Sumber : Olah Data Tabel DS-1 Buku Data Penduduk Provinsi Sulawesi Barat tercatat sebanyak 1.258.090 jiwa yang tersebar di enam kabupaten dengan populasi terbanyak berada di Kabupaten Polewali Mandar. Berdasarkan hasil analisa data Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Barat, mayoritas jumlah penduduk di Provinsi Sulawes Barat berada pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, disusul oleh penduduk yang tidak sekolah dan selebihnya yang tingkat pendidikan diploma sampai Strata Tiga menempati urutan terakhir. Berdasarkan data ini, menunjukkan bahwa animo masyarakat di Sulawesi Barat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi masih sangat kurang. III-B. PERMUKIMAN Pengertian dasar permukiman dalam UU No.1 tahun 2011 adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dikawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Permukiman merupakan suatu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dari deretan lima kebutuhan hidup manusia pangan, sandang, permukiman, pendidikan dan kesehatan, nampak bahwa permukiman menempati posisi yang sentral, dengan demikian peningkatan permukiman akan meningkatkan pula kualitas hidup. Tekanan Terhadap Lingkungan T-8 Saat ini manusia bermukim bukan sekedar sebagai tempat berteduh, namun lebih dari itu mencakup rumah dan segala fasilitasnya seperti persediaan air minum, penerangan, transportasi, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Pengertian ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sumaatmadja (1988) sebagai berikut: “Permukiman adalah bagian permukaan bumi yang dihuni manusia meliputi segala sarana dan prasarana yang menunjang kehidupannya yang menjadi satu kesatuan dengan tempat tinggal yang bersangkutan”. Pola permukiman dibagi dalam beberapa bentuk antara lain pola memanjang (linear), pola terpusat dan pola tersebar. Untuk provinsi Sulawesi Barat, pola pemukiman yang paling banyak di jumpai adalah pola memanjang atau linear. Pola ini sejalan dengan kondisi geografis Sulawesi Barat yang berada pada garis pantai dengan panjang pantai mencapai 677 kilometer, dengan peta wilayah memanjang dari utara ke selatan pulau Sulawesi. Hanya sebagian kecil saja yang menggunakan pola terpusat khusunya yang tinggal di daerah pegunungan seperti Kabupaten Mamasa. Pola pemukiman tersebar pada umumnya pada daerahdaerah transmigrasi seperti di sebagian wilayah Kabuaten Mamuju dan Mamuju Utara Jumlah Rumah Tangga Miskin Grafik 3.4 : Grafik Perbandingan Jumlah Penduduk Miskin per Kabupaten Sumber : Olah data tabel SE-1 Buku Data Tekanan Terhadap Lingkungan T-9 Kemakmuran suatu daerah dapat diukur dati tingkat kesejahteraan penduduk yang tinggal di dalamnya. Tingkat kesejahteraan penduduk dapat diukur dari persentase total jumlah penduduk berbanding jumlah penduduk miskin dalam daerah tersebut. Dari data yang dihimpun dari Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Barat diketahui bahwa Jumlah Penduduk Miskin terbanyak berada di Kabupaten Polewali Madar. Perbandingan antara jumlah penduduk dengan jumlah penduduk miskin untuk masing-masing Kabupaten dapat dilihat lebih rinci melalui grafik di bawah ini : Analisis Statistik Sederhana Berdasarkan tabel diatas, jumlah keluarga miskin di Kabupaten Polewali Mandar mencapai 37.231 keluarga atau sekitar 39,76 persen dari total jumlah kepala keluarga di Polewali Mandar. Jika dibandingkan dengan jumlah kepala keluarga di Sulawesi Barat, maka Jumlah keluarga miskin di Polewali Mandar mencapai 13,25 persen. Jumlah keluarga miskin terendah berada di Kabupaten Mamuju Tengah yakni hanya mencapai 2.722 keluarga atau sekitar 10,40 persen dari total jumlah kepala keluarga di Mamuju Tengah. Jika dibandingkan dengan jumlah keluarga di Sulawesi Barat, jumlah keluarga miskin di Mamuju Tengah hanya mencapai 0,97 persen. Grafik 3.5 : Persetase Jumlah Keluarga Miskin Terhadap Jumlah Kepala Keluarga Menurut Kabupaten Sumber : Tabel SE-1D Buku Data Tekanan Terhadap Lingkungan T - 10 Perbandingan Nilai Antar Lokasi Jumlah keluarga miskin di Kabupaten Mamuju Utara sebanyak 6.319 jiwa atau sekitar 17,64 persen dari total jumlah KK di Mamuju Utara. Jumlah keluarga miskin di Kabupaten Mamuju Tengah sebanyak 2.722 jiwa atau sekitar 10,40 persen dari total jumlah KK di Mamuju Tengah. Jumlah keluarga miskin di Kabupaten Mamuju sebanyak 8.319 jiwa atau sekitar 14,46 persen dari total jumlah KK di Mamuju. Jumlah keluarga miskin di Kabupaten Majene sebanyak 9.666 jiwa atau sekitar 29,48 persen dari jumlah KK di Majene. Jumlah keluarga miskin di Kabupaten Polewali Mandar sebanyak 37.231 atau sekitar 39,76 persen dari jumlah KK di Polewali Mandar. Jumlah keluarga miskin di Kabupaten Mamasa sebanyak 11.033 atau sekitar 31,56 persen dari jumlah KK di Mamasa. Jika dihitung secara keseluruhan, maka jumlah keluarga miskin di Provinsi Sulawesi Barat sebanyak 75.290 jiwa atau sekitar 26,80 persen dari jumlah KK di Sulawesi Barat. Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum Menurut WHO, jumlah pemakaian air bersih rumah tangga per kapita sangat terkait dengan resiko kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan higienis. Rerata pemakaian air bersih per individu adalah rerata pemakaian air bersih per rumah tangga dalam sehari dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga. Ratarata pemakaian individu ini kemudian dikelompokkan menjadi : <5 liter per orang per hari; 5-19,9 liter per orang per hari; 20 – 49,9 liter per orang per hari; 50 – 99,9 liter per orang per hari dan ≥ 100 liter per orang per hari. Berikut adalah grafik perbandingan penggunaan air bersih per rumah tangga untuk masingmasing Kabupaten di Sulawesi Barat. Keadaan geografis Provinsi Sulawesi Barat yang berada pada daerah tropis mengakibatkan sebagian besar penduduk yang bermukim di satu wilayah menggunakan air sumur. Penggunaan air sumur tertinggi khususnya berada di Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamuju. Berdasarkan data tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk wilayah Provinsi Sulawesi Barat pada saat musim kemarau tiba maka sebagian besar penduduk kesulitan untuk mendapatkan air bersih karena sumur-sumur yang selama ini dimanfaatkan mengalami kekeringan. Tekanan Terhadap Lingkungan T - 11 Untuk penggunaan air dari sarana PDAM pada umumnya hanya di daerah perkotaan. Menurut catatan dari Badan Pusat Statistik dalam buku Sulbar Dalam Angka 2015 masih ada kabupaten yang belum menggunakan sarana air bersih dari PDAM yaitu Kabupaten Mamuju Utara. Grafik 3.6 : Grafik perbandingan Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum Per Kabupaten se-Sulawesi Barat Sumber : Tabel SE-2 Buku Data Menurut WHO, jumlah pemakaian air bersih rumah tangga per kapita sangat terkait dengan risiko kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan higiene. Rata-rata pemakaian air bersih individu adalah rata-rata jumlah pemakaian air bersih rumah tangga dalam sehari, dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga. Analisis Statistik Sederhana Kabupaten Mamuju Utara : o Pengguna air ledeng o Pengguna air sumur o Pengguna air sungai o Pengguna air hujan o Pengguna air kemasan o Lainnya 0 KK 18.858 KK 3.259 KK 994 KK 10.797 KK 1.908 KK Kabupaten Mamuju : o Pengguna air ledeng o Pengguna air sumur o Pengguna air sungai o Pengguna air hujan o Pengguna air kemasan o Lainnya 3.238 KK 37.309 KK 5.065 KK 3.183 KK 19.355 KK 15.568 KK Tekanan Terhadap Lingkungan T - 12 Kabupaten Majene : o Pengguna air ledeng o Pengguna air sumur o Pengguna air sungai o Pengguna air hujan o Pengguna air kemasan o Lainnya 6.512 KK 9.337 KK 1.568 KK 0 KK 6.767 KK 8.604 KK Kabupaten Polewali Mandar : o Pengguna air ledeng o Pengguna air sumur o Pengguna air sungai o Pengguna air hujan o Pengguna air kemasan o Lainnya 9.422 KK 43.635 KK 10.414 KK 224 KK 9.402 KK 20.550 KK Kabupaten Mamasa : o Pengguna air ledeng o Pengguna air sumur o Pengguna air sungai o Pengguna air hujan o Pengguna air kemasan o Lainnya 1.751 KK 1.698 KK 7.906 KK 252 KK 522 KK 22.828 KK Jumlah Rumah Tangga dan Fasilitas Tempat BAB Menurut hasil riset dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, sebagian besar penduduk Provinsi Sulawesi Barat memiliki fasilitas buang air besar (BAB). Hanya saja bentuk dan model yang bermacam-macam tergantung dari lokasi tempat tinggal dan tingkat kesejahteraan penduduk itu sendiri. Menurut join monitoring program WHO/Unicef, akses sanitasi dapat dikatakan baik bila rumah tngga menggunakan sarana pembuangan air besar dengan jenis sarana jamban leher angsa. Dari kriteria tersebut diatas, Provinsi Sulawes Barat dengan akses sanitasi baik baru mencapai 30%. Angka tersebut masih jauh di bawah angka nasional yang mencapai 46%. Jika ditinjau menurut kabupaten, maka seluruh kabupatan di Sulawesi Barat masih di bawah angka nasional. Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, penggunaan tempat BAB sendiri, persentase terbesar berada di Kabupaten Polewali Mandar namun dibarengi dengan persentase rumah tangga yang tidak memiliki tempat BAB dengan jumlah yang cukup tinggi. Data ini tidak terlepas dari persentase jumlah penduduk di Sulawesi Barat pada masing-masing Kabupaten. Tekanan Terhadap Lingkungan T - 13 Grafik 3.7 : Perbandingan jumlah rumah tangga dan fasilitas tempat BAB Sumber : Tabel SP-8 Buku Data Analisis statistik sederhana Dari data statistik dapat dijabarkan bahwa jumlah rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas tempat BAB di Kabupaten Polewali Mandar sebanyak 30.695 rumah tangga, Kabupaten Mamasa sebanyak 16.069 Rumah Tangga, Kabupaten Mamuju sebanyak 19.902 Rumah Tangga, Kabupaten Mamuju Utara sebanyak 15.293 rumah tangga dan Kabupaten Mamuju Tengah sebanyak 8.462 rumah tangga. Untuk lebih jelasnya dapat dijabarkan melalui tabel berikut : Tabel 3.3 : Tabel jumlah rumah tangga dan faslitas tempat BAB No. Kabupten Sendiri Bersama Umum Tidak Ada 1 Mamuju Utara 17.937 1.212 0 15.293 2 Mamuju Tengah 17.057 944 0 8.462 3 Mamuju 34.797 110 5 19.902 4 Majene 20.811 6.110 133 10.395 5 Polewali Mandar 62.680 5.855 0 30.695 6 Mamasa 2.0852 1.919 569 16.069 Sumber : Tabel SP-8 Buku Data Tekanan Terhadap Lingkungan T - 14 Perkiraan Timbulan Sampah Per Hari Masalah sampah bukan hanya melanda Kota Besar, akan tetapi juga daerah dan kota kecil. Masalahnya adalah upaya untuk mewujudkan pengelolaan sampah terpadu dari tempat sampah, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan akhir terkendala pada kemampuan Pemerintah dalam Menyediakan infrastruktur persampahan. Tabel 3.4 : Perkiraan timbulan Sampah Per Hari No Kabupaten Jumah Penduduk Timbulan Sampah 1 Mamuju Utara 152.505 16,95 2 Mamuju Tengah 118.188 13,13 3 Mamuju 258.984 28,78 4 Majene 161.132 17,90 5 Polewali Mandar 417.472 46,39 6 Mamasa 149.809 16,65 Sumber : Tabel SP-9 Buku Data Perkiraan jumlah timbulan sampah rumah tangga per hari sangat dipengaruhi oleh aktifitas dalam rumah tangga itu sendiri. Semakin banyak konsumsi terhadap penggunaan barang/material rumah tangga, maka jumlah timbulan sampah yang dihasilkan akan semakin banyak. Untuk wilayah Provinsi Sulawesi Barat, Perkiraan timbulan sampah per hari paling banyak di Kabupaten Polewali Mandar, disusul oleh Mamuju, Majene, Mamuju Utara, Mamasa dan Mamuju Tengah. Perbandingan ini sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan aktifitas harian dari masyarakat khususnya yang hidup di daerah perkotaan. III-C. KESEHATAN Keberadaan fasilitas pelayanan kesehatan sampai pada daerah terpencil masih sangat dibutukan sehingga mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk bagi yang kurang mampu, disampaing itu keberadaannya sangat diperlukan untuk menunjang program pembangunan di bidang kesehatan. Status kesehatan menjadi salah satu indikator tingkat kesejahteraan suau masyarakat. Berbagai faktor dapat mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat antara lain program pelayanan kesehatan dan perilaku pola hidup sehat., faktor Tekanan Terhadap Lingkungan T - 15 keturunan dan lingkungan. Faktor yang sangat mempengaruhi derajat kesehatan manusia adalah faktor lingkungan manusia itu sendiri (HL. Blume). Kenyataan ini menunjukkan bahwa diperlukan upaya untuk penyehatan lingkungan hidup manusia yaitu dengan menggalakkan program sanitasi lingkungan. Sanitasi lingkungan ini terutama yang berhubungan dengan air, tanah dan udara. Kegiatan ini dapat berupa penyehatan air minum, pembuangan dan engolahan air limbah serta sampah rumah tangga, pemberantasan penyakit, sanitasi dan penyehatan lingkungan. Indikator derajat kesehatan masyarakat ini pula sangat berpengaruh terhadap angka kesakitan (morbidity), pola penyakit yang menonjol, tingkat kematian (mortality), penyakit-penyakit yang berbasis lingkungan yang tentu saja berpengaruh terhadap usia harapan hidup. Jenis Penyakit Utama Yang Diderita Penduduk Pertumbuhan penduduk yang tinggi sebenarnya membawa beberapa keuntungan, di antaranya adalah ketersediaan tenaga kerja yang melimpah. Namun, jika pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak dibarengi oleh kebijakan pemerintah yang baik dalam menghadapi masalah ini, maka pertumbuhan penduduk yang tinggi hanya akan membawa dampak yang buruk bagi suatu Negara. Adapun dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari pertumbuhan penduduk yang tinggi adalah tingkat kesehatan masyarakat. Jika pertumbuhan penduduk tidak dibarengi dengan fasilitas layanan kesehatan yang memadai, maka akan berakibat terhadap meningkatnya penyakit utama yang dapat diderita penduduk. Jika angka kesehatan semakin berkurang, maka akan berdampak terhadap meningkatnya angka kematian penduduk. Demikian pula sebaliknya, angka kematian dalam suatu wilayah dapat dipengaruhi oleh jenis penyakit yang diderita oleh penduduk dalam wilayah tersebut, khusunya pada penyakit yang tegolong penyakit kronis dan menular. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, penyakit utama yang diderita penduduk paling banyak adalah penyakit ISPA, dibarengi dengan infeksi akut lain pada saluran pernafasan bagian atas, grastitis, penyakit alergi dan diare. Analisis Statistik Sederhana Berdasarkan data diatas, setelah diakumulasi maka dapat dihitung perentase penyakit utama yang diderita penduduk di Sulawesi Barat sebagai berikut : Tekanan Terhadap Lingkungan T - 16 o o o o o o o o o o ISPA Infeksi akut lain pada saluran pernapasan atas Grastitis Penyakit kulit alergi Diare Hypertensi Penyakit Cacingan Luka akibat kecelakaan Penyakit lain pada saluran pernapasan atas Gangguan gigi dan jaringan penyangga lainnya 28, 27 % 19,33 % 14,61 % 9,98 % 9,28 % 6,28 % 4,78 % 3,98 % 3,32 % 0,18 % Grafik 3.8 : Jenis penyakit utama yang diderita penduduk Sumber : Tabel DS-2 Buku Data Perkiraan Volume Limbah Padat dan Limbah Cair dari Rumah Sakit. Berbagai aktifitas yang diakukan dalam kegiatan rumah sakit tentunya berdampak pada limbah yang dihasilkan, baik limbah padat maupun limbah cair. Semakin banyak aktifitas dari kegiatan rumah sakit tersebut, maka volume limbah yang dihasilkan akan semakin meningkat. Limbah padat dan limbah cair yang dihasilkan, selain ditimbulkan oleh kegiatan rumah sait itu sendiri, juga ditimbulkan oleh para pengunjung dan penjaga pasien di setiap rumah sakit. Untuk Provinsi Sulawesi Barat, dari delapan rumah sakit yang tersebar di lima Kabupaten, baru empat rumah sakit yang memiliki data lengkap tentang jumlah limbah padat dan limbah cair yang dihasilkan sedangkan rumah sakit lainnya belu dapat diperoleh data yang maksimal. Data yang diperoleh dari masing-masing Kabupaten, timbulan sampah dan perkiraan limbah cair dari rumah sakit hanya didapatkan dari RSUD Kabupaten Mamuju, RS Mitra Manakarra Mamuju, RSUD Provinsi Sulawesi Barat dan RSUD Tekanan Terhadap Lingkungan T - 17 Kabupaten Majene. Untuk kabupaten lainnya, data-data limbah rumah sakit belum dilakukan pendataan secara terperinci, baik oleh instansi yang bersangkutan, maupun dari Badan Lingkungan Hidup Kabupaten. Tabel 3.5 : Data rumah sakit dan jumlah limbah yang dihasilkan No. Nama Rumah Sakit Tipe/Kelas Rumah Sakit Volume Limbah Padat (m3/hari) Volume Limbah Cair (m3/hari) Volume Limbah Padat B3 (m3/hari) Volume Limbah B3 Cair (m3/hari) 1 RSU Regional Mamuju C 0,45 12,60 1,50 0,90 2 RSUD Kabupaten Mamuju Utara D tad tad tad tad 3 RSUD Kabupaten Mamuju D 12,88 16,44 1,22 1,00 4 RS Mitra Manakarra Mamuju D 0,03 0,60 0,20 1,00 5 RSUD Kabupaten Majene C 1,56 2,00 0,45 0,60 6 RSUD Kabupaten Polewali Mandar C tad tad tad tad 7 Rumah Sakit Banua Mamase-Mamasa D tad tad tad tad 8 RSUD Minake-Mamasa D tad tad tad tad Sumber : Tabel SP-10 Buku Data Analisis statistik sederhana Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa jumlah volume limbah yang dihasilkan di setiap rumah sakit sangat dipengaruhi oleh jumlah pasien yang dilayani oleh rumah sakit tersebut. Baik sebagai pasien yang berstatus rawat nginap maupun rawat jalan. Dari data kunjungan pasien di Sulawesi Barat, rumah sakit terpadat adalah RSUD Polewali dan RSUD Mamuju. Hal ini disebabkan karena lokasi dari kedua rumah sakit tersebut menjadi titik rujukan dari berbagai daerah. Berdasarkan data yang terhimpun dari statistik Sulawesi Barat, jumlah pasien yang berkunjung di RSUD Polewali pada tahun 2015 yakni 11.733 pasien rawat nginap dan 39.361 pasien rawat jalan. Jumlah ini sedikit meningkat dari tahun sebelumnya yakni 10.383 pasien rawat nginap dan 31.777 pasien rawat jalan. III-D. PERTANIAN Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan Tekanan Terhadap Lingkungan T - 18 sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa dipahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekadar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan. Sektor pertanian merupakan sektor yang memberikan kontribusi yang cukup besar dalam kegiatan perekonomian di Sulawesi Barat. Sekitar setengah perekonomian Sulawesi Barat didominasi oleh sektor pertanian khususnya pada tanaman pangan. Dalam beberapa tahun terakhir, produksi tanaman pangan Provinsi Sulawesi Barat terus meningkat. Produksi padi khususnya, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya produksi padi mengalami peningkatan. Berbeda dengan produksi padi, tanaman palawija kurang memperlihatkan peningkatan yang cukup baik. Dari beberapa komoditas di Sulawesi Barat, hanya tanaman jagung yang mengalami peningkatan produksi. Bila dilihat berdasarkan lapangan pekerjaan utama, sektor pertanian merupakan sektor yang paling dominan dalam menyerap tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian Sulawesi Barat masih bercirikan agraris. Luas lahan sawah menurut frekuensi penanaman dan hasil produksi per hektar. Grafik 3.9 : Luas Lahan Sawah dan Frekuensi Penanaman Sumber : Tabel SE-7 Buku Data Frekuensi penanaman padi di Sulawesi Barat dipengaruhi oleh intensitas curah hujan, mengingat rata-rata persawahan di Sulawesi Barat masih tergolong sawah Tekanan Terhadap Lingkungan T - 19 tadah hujan. Sawah irigasi yang dapat dikelola dan berfungsi dengan baik berada di Kabupaten Polewali Mandar. Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Barat, Luas lahan dengan frekuensi penanaman 2 kali setahun jika dibandingkan dengan 1 kali setahun jauh lebih banyak. Untuk penanaman dengan frekuensi 2 kali setahun mencapai 38.830 hektar sedangkan untuk yang hanya sekali setahun sebanyak 31.849 hektar. Mengingat system pengairan pertanian yang ada di Sulawesi Barat, maka untuk frekuensi penanaman 3 kali tidak dapat dilaksanakan di Sulawesi Barat. Selaun faktor pengairan, juga dipengaruhi oleh faktor jenis bibit yang digunakan. Luas lahan dan produksi perkebunan besar dan rakyat menurut jenis tanaman. Dari data yang dihimpun dari dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Barat, lahan produksi perkebunan besar di Sulawesi Barat didominasi oleh perkebunan Kelapa Sawit yang tersebar di tiga Kabupaten yakni Kabupaten Mamuju, Kabupaten Mamuju Tengah dan Kabupaten Mamuju Utara. Komoditi lainnya yang saat ini menjadi kebanggan Provinsi Sulawesi Barat adalah pengembangan perkebunan kakao yang lebih dikenal dengan istilah Gernas Kakao. Grafik 3.10 : Produksi perkebunan besar dan rakyat menurut jenis tanaman Sumber : Olah Data Tabel SE-3 Analisis statistik sederhana Berdasarkan data dari dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Barat, komoditas hasil perkebunan didominasi oleh Perkebunan Kelapa Sawit yang tahun 2015 ini Tekanan Terhadap Lingkungan T - 20 mencapai 289.841 ton/ha setiap tahunnya. Produksi perkebunan selanjutnya adalah komoditas kakao yang mencapai 88.462 ton/ha per tahun, kelapa dalam 40.188 ton/ha per tahun serta komoditas kopi sebesar 6.361 ton/ha per tahun. Untuk komoditas lainnya rata-rata di bawah lima ribu ton/ha per tahunnya. Penggunaan pupuk untuk tanaman padi dan palawija menurut jenis pupuk. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Barat, penggunaan pupuk terbanyak menurut jenis tanaman untuk tahun 2015 adalah pupuk urea dan NPK untuk tanaman padi. Selain penggunaan pupuk urea pada tanaman padi, penggunaan yang cukup banyak juga pada tanaman jagung. Jenis pupuk yang paling sedikit dgunakan adalah pupuk organik. Untuk meningkatkan produktifitas tanaman yang mendukung program peyelamatan lingkungan adalah meningkatnya penggunaan pupuk organik, selain meningkatkan kesuburan tanah juga sangat baik untuk kesehatan. Namun pada kenyataan, bahwa penggunaan pupuk organik tersebut pada tahun 2015 justru pengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Grafik 3.11 : Penggunaan Pupuk untuk tanaman padi dan palawija Sumber : Olah data tabel SE-4 Buku Data Analisis statistik sederhana o Penggunaan pupuk urea selama tahun 2015 sebanyak 27.885 ton atau naik dibandingkan dengan tahun 2014 yakni 24.169 ton untuk komoditas padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar dengan penggunaan terbanyak pada tanaman padi yakni sebesar 17.566 ton atau sekitar 69,03% dari total penggunaan. Tekanan Terhadap Lingkungan T - 21 o Penggunaan pupuk SP.36 selama tahun 2015 sebanyak 8.189 ton mengaami peningkatan drastis jika dibandingkan dengan tahun sebelunya yakni hanya mencapai 1.793 ton untuk komoditas padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar dengan penggunaan terbanyak pada tanaman padi yakni sebesar 3.531 ton atau sekitar 69,77% dari total penggunaan. o Penggunaan pupuk ZA selama tahun 2015 sebanyak 4.075 ton untuk komoditas padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar dengan penggunaan terbanyak pada tanaman padi yakni sebesar 3.337 ton atau sekitar 81,88% dari total penggunaan. o Penggunaan pupuk NPK selama tahun 2015 sebanyak 27.304 ton atau mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yakni hanya sekitar 14.133 ton untuk komoditas padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar dengan penggunaan terbanyak pada tanaman padi yakni sebanyak 17.566 ton atau sekitar 88,54% dari total penggunaan. o Penggunaan pupuk organik selama tahun 2015 sebanyak 1.021 ton untuk komoditas padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar dengan penggunaan terbayak pada tanaman padi yakni sebesa 417 ton atau sekitar 40,84% dari total penggunaan. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian. Perubahan lahan pertanian di Sulawesi Barat didasarkan pada Peraturan Daerh Provinsi Sulawesi Barat Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Sulawesi Barat Tahun 2014 – 2034. Berdasarkan grafik perhitungan, dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2015 ini, perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan tanah kering menempati posisi paling tinggi yakni mencapai 57.535 hektar sedangkan untuk perkebunan seluas 52.303 hektar. Perubahan lahan pertanian menjadi lokasi indstri menempati urutan paling sedikit yakni hanya sekitar 3 hektar disusul oleh fasilitas umum dan sekolah yakni seluas 12 hektar. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, perubahan lahan pertanian pada tahun 2015 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Keadaan ini diakibatkan oleh peralihan kegiatan masyarakat dari pertanian menjadi perkebunan khusunya di wilayah Kabupaten Mamuju dan Mamuju Tengah. Tekanan Terhadap Lingkungan T - 22 Grafik 3.12 : Perubahan penggunaan lahan pertanian Sumber : Olah data tabel SE-5 Buku Data Jumlah hewan ternak menurut jenis ternak. Pembangunan peternakan di Provinsi Sulawesi Barat dapat digambarkan secara makro dengan jumlah populasi ternak saat ini, seperti grafik diatas. Untuk lebih meningkatkan jumlah populasi ternak dapat dilaksanakan dengan program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit ternak dan program peningkatan produksi hasil peternakan. Berdasarkan grafik diatas, jumlah hewan ternak didominasi oleh ternak kambing yakni sebanyak 223.963 ekor dengan jumlah terbanyak berada di Kabupaten Polewali Mandar yakni sebanyak 160.663 ekor. Ternak yang paling sedikit adalah sapi perah yakni hanya mencapai 55 ekor saja, sedangkan untuk ternak domba, menurut data yang tercantum dalam Buku Sulbar Dalam Angka 2015 belum ada di Sulawesi Barat. Tabel 3.6 : Jumlah Hewan Ternak Per Kabupaten di Sulawesi Barat No. Kabupaten Sapi Perah Sapi Potong 1 Mamuju Utara 0 8538 33 2 Mamuju Tengah 0 6156 3 Mamuju 0 4 Majene 5 6 Kerbau Kuda Kambing Domba Babi 109 6512 N/A 3802 104 32 5856 N/A 23997 17090 622 87 10981 N/A 27401 0 14609 139 187 39008 N/A 0 Polewali Mandar 14 33242 472 1799 157774 N/A 2307 Mamasa 0 5926 6293 2329 635 N/A 71978 Sumber : Tabel SE-8 Buku Data Tekanan Terhadap Lingkungan T - 23 Jika dibandingkan dengan pertumbuhan hewan ternak di Sulawesi Barat dari tahun 2014, semua jenis hewan ternak mengalami peningkatan jumlah pada tahun 2015 khususnya pada ternak babi dan kerbau. Jumlah hewan unggas menurut jenis unggas. Unggas (bahasa Inggris: poultry) adalah jenis hewan ternak kelompok burung yang dimanfaatkan untuk daging dan telur atau bulunya. Umumnya merupakan bagian dari ordo Galliformes (seperti ayam dan kalkun), dan Anseriformes (seperti bebek). Kata unggas juga umumnya digunakan untuk burung pedaging seperti di atas. Lebih luasnya, kata ini juga dapat digunakan untuk daging burung jenis lain seperti merpati. Bagian paling berdaging dari burung adalah otot terbang pada dada, serta otot jalan pada segmen pertama dan kedua pada kakinya. Grafik 3.13 : Jumlah hewan unggas menurut jenisnya Sumber : Tabel SE-9 Buku Data Berdasarkan data yang tercantum dalam tabel diatas, tercatat bahwa hewan unggas di Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2015 yang terbanyak adalah ayam kampung yakni mencapai 4.593.907 ekor dengan jumah terbanyak di Kabupaten Polewali Mandar. Angka ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yang mencapai 5.041.197 ekor. Posisi kedua adalah ternak ayam pedaging sebanyak 1.900.007 ekor dengan jumlah terbanyak berada di Kabupaten Polewali Mandar. Untuk ternak itik dan ayam petelur masing-masing 411.770 ekor dan 134.544 ekor. Berdasarkan data tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa konsumsi kebutuhan daging unggas di Sulawesi Barat masih dominan memilih ayam kampung dibandingkan dengan ayam pedaging dan unggas lainnya. Namun demikian, Tekanan Terhadap Lingkungan T - 24 jumlah hewan ternak untuk tahun 2015 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2014. III-E. INDUSTRI Industri Pengolahan adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi/ setengah jadi,dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang menjadfi barang yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir. Termasuk dalam kegiatan ini adalah jasa industri dan pekerjaan perakitan (assembling). Perusahaan atau usaha industri adalah suatu unit (kesatuan) usaha yang melakukan kegiatan ekonomi,bertujuan menghasilkan barang dan jasa, terletak pada suatu bangunan atau bangunan atau lokasi tertentu, dan mempunyai catatan administrasi tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya serta ada seorang atau lebih yang bertanggung jawab atas usaha tersebut. Industri Pengolahan dikelompokkan ke dalam 4 golongan berdasarkan benyaknya pekerja yaitu: 1) Industri Besar (100 orang pekerja atau lebih), 2) Industri Sedang/ Menengah (20-99 orang pekerja), 3) Industri Kecil (5-19 orang pekerja), 4) Industri Mikro (1-4 orang pekerja). Jumlah Jenis Industri/Kegiatan Usaha. Sektor industri dapat dibedakan atas industri besar, sedang dan kecil. Nilai output dari indusrti skala besar dan sedang pada tahun 2007 yang tercatat sebesar 258.321.000.000 rupiah dengan nilai tambah atas harga pasar sebesar 319.063.000.000 rupiah. Perkembangan industri dengan usaha bisnis yang cukup pesat di Sulawesi Barat merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah, yang juga berpotensi untuk mengurangi angka pengangguran. Salah satu potensi terbesar untuk mengurangi tingkat pengangguran adalah pengembangan industri skala kecil yang berorientasi pada industri rumah tangga. Pengumpulan data industri besar dan sedang dilakukan melalui Survei Industri Besar dan Sedang dilaksanakan setiap tahun secara lengkap ( sensus). Survei Industri Besar dan Sedang mencakupsemua perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 20 orang atau lebih. Tekanan Terhadap Lingkungan T - 25 Berikut klasifikasi industri di Sulawesi Barat yang dapat diidentifikasi : Tabel 3.7 : Data industri di Sulawesi Barat No. Jenis Industri Produksi (Ton/Tahun) Beban Limbah BOD (Ton/Tahun) Beban Limbah COD (Ton/Tahun) Beban Limbah TSS (Ton/Tahun) 60514,45 0,03 Beban Limbah Minyak dan Lemak (Ton/Tahun) 1 Aneka Industri 3875043 7872,91 332,56 2 Industri Kecil N/A N/A N/A N/A N/A 3 Industri Mesin dan Logam Dasar N/A N/A N/A N/A N/A 4 Industri Kimia Dasar N/A N/A N/A N/A N/A Sumber : Tabel SP-1 Buku Data Berdasarkan data tersebut diatas, pengelompokan industri menurut SK Menteri Perindustrian Nomor 19/M/I/1986 untuk wilayah Sulawesi Barat tergolong kedalam aneka industri. Dari data yang dihimpun, jumlah beban limbah BOD yang terakumulasi selama satu tahun mencapai 7.872,91 ton per tahun sedangkan CODnya mencapai 60.514,45 ton per tahun. Data ini bersumber dari hasil perhitungan beban pencemaran untuk industri pabrik kelapa sawit. III-F. PERTAMBANGAN Pertambangan sangat berpengaruh pada lingkungan alam dan komunitas lokal. Keuntungan secara ekonomi biasanya akan datang seiring dengan biaya untuk kepeningan lokal dan biaya lingkungan di sekitar area pertambangan. Keseimbangan ekonomi, lingkungan dan sosial menjadi pokok pembicaraan dalam pembangunan berkelanjutan di pertambangan. Para ahli tertarik di bidang ini karena banyak aktivitas pertambangan yang tidak berkelanjutan dan membuat kerusakan secara sosial maupun lingkungan. Pertambangan berkelanjutan meruapakan usaha pertambangan yang menjaga dan mempertahankan kelestarian alam. Pertambangan berkelanjutan dapat menjadi solusi bagi kerusakan lingkungan yang terjadi akibat praktek pertambangan konvensional. Kearifan lokal dalam pertambangan adalah penggunaan teknik ekstraksi bahan-bahan tambang yang tidak merusak dan tidak mencemaari lingkungan. Provinsi Sulawesi Barat memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Keadaan inilah yang banyak menarik investor untuk menanamkan investasinya di Tekanan Terhadap Lingkungan T - 26 Sulawesi Barat, baik investo lokal, nasional maupun mancanegara. Salah satu sektor yang menjadi tujuan para investor di Sulawesi Barat adalah dari segi potensi pertambangan. Kegiatan pertambangan di Sulawesi Barat, berdasarkan hasil pendataan dari dinass Pertambangan, Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sulawesi Barat menggambarkan bahwa potensi sumber daya alam dari bahan galian atau pertambangan di Sulawesi Barat memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Jika potensi sumber daya alam ini dapat dikembangkan, maka tentu saja akan berpengaruh terhadap peningkatan perekonomian di Sulawesi Barat. Namun yang harus menjadi perhatian dalam pembuakaan suatu tambang adalah dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Luas Areal dan Produksi Pertambangan menurut jenis bahan galian. Tabel 3.8 : Jumlah Perusahaan Penambang dan Jenis Bahan Galian di Sulawesi Barat No. Nama Perusahaan Jenis Bahan Galian Luas Areal (Ha) Produksi (Ton/Tahun) 1 PT. Aneka Tambang Emas 6547,00 tad 2 PT. Egi Zeolit Indonesia Zeolit 7800,00 tad 3 PT. Monazite Two Zirkon 8288,00 tad 4 PT. Celebes Mineral Resources Kaolin 14752,00 tad 5 PT. Pritifindo Dwikridatama Mika 25000,00 tad 6 PT. Manakrra Mineral Resources Batuan tad tad 7 CV. Karya Bersama Batuan 1,00 tad 8 PT. Tambang Sekarsa Adaya Batubara 9690,00 tad 9 PT. Kreative Jaya Batubara 9120,00 tad 10 PT. Rumaju Energi Utama Batubara 9120,00 tad 11 PT. Surya Sanjago Bersaudara Batubara 7500,00 tad 12 PT. Pelopor Lestari Jaya Mineral Logam 7235,00 tad 13 PT. Hasta Krida Mega Buana Emas 6404,00 tad 14 PT. Aphasko Utama Jaya Batuan 25,00 tad 15 PT. Pertambangan Membangun Pasangkayu Batuan 12,50 tad 16 CV. Maju Bersama Batuan tad tad Tekanan Terhadap Lingkungan T - 27 Nama Perusahaan 17 PT. Putra Harapan Matra Batuan 25,00 tad 18 IPR Rahmat Saleh Batuan 0,50 tad 19 PT. Garismas Multi Manunggal Batuan 25,00 tad 20 CV. Ratri Kencana Batuan 5,00 tad 21 IPR Amir Fatta Batuan 1,00 tad 22 PT. Randomayang Batuan 25,00 tad 23 CV. Merlina Jaya Batuan 15,00 tad 24 PT. Mamuang Batuan 5,00 tad 25 PT. Letawa Batuan 5,00 tad 26 PT. Pasangkayu Batuan 5,00 tad 27 PT. Surya Raya Lestari I Batuan 5,00 tad 28 PT. Tanjung Sarana Lestari Batuan 11,00 tad 29 CV. Sarudu Jaya Batuan 2,00 tad Batuan 4107,00 tad Batuan 25,00 tad 30 31 PT. Sumber Pelita Timur Nusantara PT. Bosowa Tambang Indonesia Jenis Bahan Galian Luas Areal (Ha) Produksi (Ton/Tahun) No. 32 PT. Bumi Karsa Batuan 2,04 tad 33 PT. Bukit Bahari Indah Batuan 1,97 tad 34 PT. Nindiya Karya Batuan 2,16 tad 35 PT. Bumi Karsa Batuan 0,50 tad 36 PT. Aneka Tambang Mineral Logam 24926,00 tad 37 PT. Agung Jaya Kencana Sirtu 8,00 tad 38 CV. Batu Indah Sirtu 5,00 tad 39 CV. Karya Mandala Lestari Sirtu 20,00 tad 40 PT. Passokkorang Sirtu 5,00 tad 41 PT. Mamuju Indah Perkasa Sirtu 20,00 tad 42 PT. Bintang Gunung Sentosa Mandiri Sirtu 20,00 tad Tekanan Terhadap Lingkungan T - 28 Jenis Bahan Galian Luas Areal (Ha) Produksi (Ton/Tahun) No. Nama Perusahaan 43 PT. Karya Mandala Putra Sirtu 20,00 tad 44 PT. Hutama Surya Perdana Sirtu 5,00 tad 45 PT. Dwitri Sapta Karya Sirtu 20,00 tad 46 CV. Diana Jaya Sirtu 6,00 tad 47 PT. Isco Polman Resources Bijih Besi 943,00 tad 48 PT. Hendrix Internasional Mineral Bijih Besi 1790,00 tad 49 PT. Risda Utama Bersatu Bijih Besi 764,00 tad 50 PT. Bumi Pertiwi Makmur Bijih Besi 4475,00 tad 51 PT. Isco Polman Resources Galena 199,00 tad 52 PT. Inti Karya Polman Galena 830,00 tad Sumber : Olah Data Tabel SE-6 Buku Data Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sulawesi Barat, tercatat sebanyak 52 Perusahaan Penambang yang masih beroperasi dan tersebar di enam Kabupaten dengan bahan galian terdiri dari Emas, Mineral Logam, Bijih Besi, Bijih Mangan, Logam Dasar, Batubara, Biji Tembaga, Batuan Dasit, Timbal dll. Salah satu sumber mata pencaharian untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat yang paling banyak dilakukan saat ini adalah usaha pertambangan rakyat. Jenis pertambangan yang diklola oleh rakyat antara lain; penambangan pasir, penambangan batu gunung, penambangan batu kali, galian urugan tanah, galian tanah liat, penambangan pasir batu dan batu pecah (cipping) dan lain sebagainya. Mengingat lokasi penambangan yang tersebar dan cukup luas serta berpindah-pindah, maka data mengenai luasan lokasi penambangan yang dilakukan oleh masyarakat didak dapat dirinci secara jelas. Perbandingan Nilai Antar Waktu dan Antar Lokasi Dari hasil olah data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sulawesi Barat, tercatat bahwa dari 126 perusahaan pertambangan yang masih beroperasi pada tahun 2013 mengalami penurunan pada tahun 2015 yakni hanya sekitar 52 perusahaan saja. Hal ini dipengaruhi oleh pembangunan di Sulawesi Barat, khususnya pembangunan infrastruktur jalan yang sudah semakin berkurang karena sebagian besar jalan sudah diselesaikan. Dengan sendirinya, usaha Tekanan Terhadap Lingkungan T - 29 pertambangan untuk jenis bahan galian pasir batu, dan batu pecah (cipping) menjadi berkurang. Analisis Statistik Sederhana Untuk lebih mengetahui kandungan potensi sumber daya alam di Provinsi Sulawesi Barat, maka dibutuhkan penelitian yang lebih dalam, mengingat daerah ini banyak yang belum dieksplorasi. Informasi dari adanya penelitian akan menjadi informasi awal untuk melakukan kajian terhadap kandungan sumber daya alam yang dimiliki oleh Sulawesi Barat. Penelitian tersebut wajib dilakukan baik untuk mengetahui potensi sumber daya alam itu sendiri namun yang terpenting adalah dapat mengetahui peringatan dini terhadap dampak yang akan ditimbulkan dari hasil pengelolaan sumber daya alam tersebut. Potensi dampak yang ditimbulkan dari sebuah kegiatan pertambangan adalah adanya perubahan fungsi llingkungan hidup, dampak ekonomi, dampak sosial, dan yang terpenting adalah dampak kesehatan masyarakat yang bemukim di sekitar lokasi pertambangan. Oleh karena itu diperlukan persyaratan yang tegas dalam setiap kegiatan dan atau usaha yang berdapak terhadap lingkungan hidup sebagaimana yang telah damanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentng Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mempersyaratkan tentang izin lingkungan, yang kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan. Dari total luas Provinsi Sulawesi Barat yakni 16.916,71 kilometer persegi, 411,15 hektar diantaranya dikelola sebagai lahan tambang yang berskala besar. Besarnya luasan lokasi eksplorasi pertambangan saat ini dapat menjadi acuan bagi pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dalam penentuan kebijakan umum pada sektor pertambangan khusunya dalam hal dampak yang akan ditimbulkan dari setiap kegiatan dan atau usaha pertambangan. Berdasarkan data dan peristiwa yang terjadi bahwa rata-rata kasus wilayah konsensi tambang adalah sumbangan angka kemiskinan bagi penduduk lokal, kekerasan dan pelanggaran HAM serta ancaman kerusakan lingkungan hidup. III-G. ENERGI Berdasarkan hasil proyeksi Badan Pusat Statistik tahun 2015 bahwa penduduk Provinsi Sulawesi Barat hingga akhir tahun 2013 berjumlah 1.234.251 jiwa yang tersebar di lima kabupaten. Dari total jumlah penduduk terdapat sekitar 275.568 kepala keluarga. Dari total jumlah kepala keluarga di Sulawei Barat ini bermukim Tekanan Terhadap Lingkungan T - 30 secara tersebar di enam kabupaten. Pemukiman pada enam kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat yang tersebar dan bervariasi berakibat pada status sosial masyarakat yang bermukim di suatu tempat. Kondisi ini secara tidak langsung berpengaruh pada penggunaan energi dari sumber daya alam yang dimiliki. Jumah kendaraan menurut jenis kendaraan dan bahan bakar yang digunakan. Transportasi adalah kegiatan memindahkan atau mengangkut orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lainnya, dengan menggunakan sarana pembantu berupa kendaraan. Dalam pengembangan wilayah, transportasi mempunyai peranan sangat penting, yaitu untuk mempermudah terjadinya interaksi antar wilayah. Dengan semakin mudahnya proses interaksi antar wilayah akan memberikan dampak terhadap kondisi ekonomi, sosial dan kewilayahan (membuka keterisolasian suatu wilayah). Tabel 3.9 : Jumlah Kendaraan Menurut Jenis dan Bahan Bakar yang digunakan No Jenis Kendaraan 1 Beban 2 Bensin Solar 15 25 Penumpang pribadi 10235 tad 3 Penumpang umum 1628 355 4 Bus besar pribadi N/A N/A 5 Bus besar umum N/A tad 6 Bus kecil pribadi 25 9 7 Bus kecil umum 53 185 8 Truk besar N/A 105 9 Truk kecil tad 255 10 Roda tiga 515 N/A 11 Roda dua 55401 N/A Sumber : Tabel SP-2 Buku Data Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Barat bahwa hingga tahun 2015 jumlah kendaraan di Sulawesi Barat saat ini mencapai 68.806 unit yang dibagi dalam beberapa jenis kendaraan. Dari jumlah total kendaraan tersebut diatas jika ditinjau dari jenis kendaraan, maka kendaraan roda dua (motor) menempati urutan pertama terbanyak yankni sekitar 80,52% dari total jumlah Tekanan Terhadap Lingkungan T - 31 kedaraan atau sekitar 55.401 unit, dan yang paling sedikit adalah kendaraan bus kecil pribadi yang hanya mencapai 0,05% atau sekitar 34 unit saja. Jika dilihat dari segi penggunaan bahan bakar, maka dapat dismpulkan bahwa 98,64% kendaraan di Sulawesi Barat berbahan bakar Bensin sedangan selebihnya 1,36% berbahab bakar solar. Konsumsi BBM untuk sektor Industri menurut BBM yang digunakan. Pada bulan November 2015, pemerintah telah melakukan beberapa kali melakukan perubahan terhadap harga Bahan Bakar Minyak. Pengaruh perubahan harga BBM ini tidak berdampak bagi kinerja sektor industri di Indonesia. Pengaruh perubahan harga bahan bakar minyak hanya sekitar 2,5 sampai tiga persen terhadap biaya produksi. Berdasarkan olah data yang tertuang dalam Buku Sulbar Dalam Angka 2015, klasifikasi industri dibagi dalam enam sektor. Nilai pemakaian bahan bakar yang dapat dihimpun hanya pada penggunaan jenis BBM solar dengan penggunaan terbanyak pada jenis industry berkode 10. Jika dijumlah secara keseluruhan, pemakaian BBM jenis solar untuk sektor industri selama satu tahun dapat mencapai harga 2,8 milyar. Untuk jenis bahan bakar lainnya seperti LPG, Minyak Bakar, Minyak Tanah, Gas, Batubara dan Biomassa belum ada catatan penggunaan. Hal ini dipengaruhi oleh penggunaan LPG dan Minyak Tanah lebih banyak digunakan oleh sektor industri skala kecil dan industri rumahan. Tabel 3.10 : Nilai Pemakaian Bahan Bakar berdasarkan Klasifkasi Industri Klasifikasi Minyak LPG Industri Bakar Kimia 1 N/A N/A dasar Mesin dan 2 Logam N/A N/A Dasar Industri 3 N/A N/A Kecil Aneka 4 N/A N/A Industri Sumber : Tabel SP-3 Buku Data No. Minyak Diesel Minyak Tanah Solar Gas Batubara Biomassa N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A 2827008,09 N/A N/A N/A N/A Konsumsi BBM untuk keperluan rumah tangga. Berdasarkan kebijakan pemerintah secara nasional dengan konversi penggunaan bahan bakar minyak tanah ke LPG 3 kilogram, untuk provinsi Sulawesi Barat dapat dikatakan cukup berhasil. Hal ini dapat digambarkan melalui penggunaan bahan Tekanan Terhadap Lingkungan T - 32 bakar untuk memasak yang saat ini mencapai 35,05 persen dari total penggunaan bahan bakar. Penggunan bahan bakar yang terbanyak pada jenis kayu bakar yakni mencapai 61,12 persen. Hal ini diakibatkan jumlah penduduk di Sulawesi Barat, sebagian besar bermukim di daerah pedesaan dengan tingkat perekonomian menengah kebawah. Tabel 3.11 : Data penggunaan Bahan Bakar untuk Memasak No. Kabupaten 1 Mamuju Utara 2 Mamuju Tengah 3 Minyak Tanah LPG Briket Kayu Bakar lainnya 15015 1465 N/A 15198 3088 tad tad N/A tad tad Mamuju 32074 633 N/A 47105 1266 4 Majene 13607 332 N/A 17233 900 5 Polewali Mandar 33583 707 N/A 57866 841 6 Mamasa 2313 1225 N/A 31030 87 Sumber :Olah Data Tabel SP-4 Buku Data Untuk pengembangan bahan bakar briket di Sulawesi Barat sampai saat ini belum dikembangkan. Potensi lainnya yakni jenis bahan bakar biomassa yang ada di Kabupaten Mamuju Utara saat ini dikembangkan untuk pebangkit tenaga listrik dengan menggunakan limbah cangkang kelapa sawit untuk konsumsi perusahaan kelapa sawit. III-H. TRANSPORTASI Dalam rangka memberikan pelayanan umum transportasi kemasyarakat, Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat telah melakukan perbaikan serta pembangunan jalan dan jembatan. Demikian juga dengan sarana dan prasarana lainnya yang berkaitan dengan lalu lintas dijalan raya. Hal ini sesuai dengan Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Dalam pengembangan jaringan transportasi darat, pemerintah Provinsi Sulawesi Barat telah melakukan penetapan kelas jalan dan pembangian jalan menurut kewenangannya. Demikian pula dengan pembangunan sarana transportasi perairan, saat ini Provinsi Sulawesi Barat sedang melaksanakan pembangunan Pelabuhan Internasional Domestik dan Pelabuhan Perikanan. Untuk pengembangan jaringan transportasi udara, saat ini Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat sedang melakukan perbaikan dan perluasan bandar udara Tampa Tekanan Terhadap Lingkungan T - 33 Padang sebagai Bandara Utama dan membangun Bandar Udara Alternatif di Kecamatan Sumarorong, Kabupaten Mamasa yang saat ini sedang dalam proses pembangunan. Perkiraan volume limbah padat berdasarkan sarana transportasi. Sarana transportasi merupakan salah satu sumber limbah padat yang cukup besar jumlahnya. Selain karena jumlah penumpang yang datang dan pergi di setiap terminal angkutan, juga diakibatkan oleh adanya pedangang kaki lima yang menyediakan berbagai macam kebutuhan para calon penumpang di setiap terminal angkutan. Berdasarkan hasil pantauan lapangan, sarana transportasi yang menghasilkan limbah cukup banyak adalah transportasi darat. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar terminal di Sulawesi Barat berda di sisi lain dari pasar tradisional setempat. Tabel 3.12 : Sarana angkutan Darat,Air dan Udara beserta data volume limbah padat No. Nama Tempat Sarana Transportasi Tipe/Jenis/ Klasifikasi 1 Terminal induk B 2 3 4 5 6 7 Terminal induk Terminal pembantu Terminal Regional Terminal Pasar Baru Terminal Pasar Tarailu Terminal Topoyo B TP A C TP C 8 Terminal Pasangkayu C 9 Terminal induk A 10 Terminal Wonomulyo TP 11 12 13 14 15 16 17 18 Terminal Polewali Terminal Mamasa Pelabuhan Feri Pelabuhan Mamuju Pelabuhan Belang-Belang Pelabuhan Tappalang Pelabuhan Kalukku Pelabuhan Sampaga Pelabuhan BudongBudong Pelabuhan Ambo Pelabuhan Pompongan Pelabuhan Salissingan Pelabuhan Tanjung Bakau Pelabuhan Bonemanjeng Pelabuhan lokal desa Sarudu Pelabuhan Palipi 19 20 21 22 23 24 25 26 C B Penyebrangan Regional Utama Lokal Lokal Lokal Lokasi Lembang BaurungMajene Lutang - Majene Battayang - Majene Simbuang Mamuju Sampaga Topoyo-Mamuju PasangkayuMamuju Utara Tipalayo-Polewali WonomulyoPolewali Polewali Mamasa Simboro-Mamuju Mamuju Kalukku Mamuju Mamuju Mamuju Tengah Luas Kawasan (Ha) Volume Limbah Padat (m3/hari) 1 3 1 0,5 2 1 0,25 0,25 3 2 0,1 1 tad tad 5,5 tad 3 tad tad tad tad 1,35 3 1 9 tad tad tad tad tad 0,3 0,1 1 tad tad tad Lokal Mamuju Tengah 2 tad Lokal Lokal Lokal Regional Lokal Mamuju Tengah Mamuju Tengah Mamuju Tengah Pasangkayu Sarudu tad tad tad 22 5,04 tad tad tad 0,95 0,584 Lokal Sarudu 0,5 0,4 pengumpan Majene 1 0,1 Tekanan Terhadap Lingkungan T - 34 No. Nama Tempat Sarana Transportasi Tipe/Jenis/ Klasifikasi 27 Pelabuhan Pamboang Lokal 28 Pelabuhan Malunda Lokal 29 Pelabuhan Sendana Lokal 30 Pelabuhan Majene Penyebrangan 31 Pelabuhan Silopo pengumpul 32 Pelabuhan Labuang Lokal 33 Pelabuhan Tinambung Lokal 34 Bandara Tampa Padang Kelas II 35 Bandara Sumarorong Perintis Sumber : Tabel SP-5 Buku Data Lokasi Luas Kawasan (Ha) Majene Majene Majene Majene Polewali Mandar Polewali Mandar Polewali Mandar Kalukku Sumarorong tad tad tad 0,4 2,30 tad tad 235 96 Volume Limbah Padat (m3/hari) tad tad tad tad tad tad tad 1 0,03 Sarana Terminal Kendaraan Penumpang Umum. (darat) Terminal angkutan darat di Provinsi Sulawsi Barat berjumlah 12 terminal. Berdasarkan pembagian tipe terminal, Terminal Simbuang dan Terminal Tipalayo digolongkan dalam terminal Tipe A yakni terminal angkutan yang dapat melayani angkutan umum lintas daerah dan lintas provinsi. Untuk terminal lutang, terminal Mamasa, terminal Wonomulyo dan terminal Lembang Baurung dikategorikan sebagai terminal Tipe B, Terminal Topoyo Tipe E dan terminal Tarailu dan Pasar Sentral Mamuju sebagai terminal pembantu. Sarana Pelabuhan Laut, Sungai dan Danau Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi yang sebagian besar wilayahnya berada di pesisir pantai dengan panjang garis pantai 677 kilometer, tentu saja memiliki saranan pelabuhan laut sebagai ala transportasi khususnya untuk menghubungkan Provinsi Sulawesi Barat dengan Provinsi lain di pulau-pulau maupun sebagai sarana perhubungan antar pulau-pulau kecil di Sulawesi Barat. Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Barat, terdapat 21 sarana pelabuhan laut dan sungai. Dari ke 21 sarana pelabuhan tersebut, 1 diantaranya merupakan pelabuhan internasional namun masih dalam tahap pembangunan. Selain sarana pelabuhan internasional, terdapat pula sarana pelabuhan ikan sebagai pelabuhan nasional. Sarana Pelabuhan Udara Saat ini Provinsi Sulawesi Barat sedang mengembangakan pembangunan di sektor perhubungan khususnya perhubungan udara. Pembangunan dan perluasan bandara Tampa Padang menjadi prioritas utama pemerintah dalam Tekanan Terhadap Lingkungan T - 35 pengembangan infrastruktur perhubungan udara dengan luas mencapai 40 hektar. Untuk kondisi saat ini, Bandara Tampa Padang baru bisa digunakan untuk pesawat boeing dengan kapasitas penumpang maksimal 100 orang. Untuk aktivitas penerbangan, Bandara Tampa Padang saat ini baru melayani 1 kali penerbangan dalam satu hari mengingat jumlah penumpang yang masih kurang. Selain Bandar udara Tampa Padang, saai ini juga sedang dibangun Bandar udara alternative di Kabupaten Mamasa yang berlokasi di Kecamatan Sumarorong. Pembangunan bandara ini sejalan dengan program pemerintah daerah untuk menjadikan Kabupaten Mamasa sebagai daerah tujuan wisata di Sulawesi Barat. Untuk mempermudah akses bagi para wisatawan baik lokal, domestik maupun mancanegara maka diperlukan sarana yang memadai dan mudah untuk bisa sampa di tujuan. Perbandingan Nilai Antar Waktu dan Antar Lokasi Sarana transportasi merupakan sarana pendukung utma dalam proses pembanguan di suatu wilayah khusunya bagi daerah yang sedang dalm tahap perkembangan di berbagai sektor. Pembangunan di berbagai sektor tidak dapat berjalan dengan efektif jika tidak didukung oleh sarana infrastruktur jalan, transportasi laut/perairan dan transportasi udara. Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi termuda di Indonesia saat ini sedang dalam proses pembangunan dan perbaikan sarana trnsportasi. Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan, Komuniksi dan Informatika Provinsi Sulawesi Barat bahwa saat ini Pemerintah Daerah sedang mlakukan pembangunan dan perluasan Bandar Udara Tampa Padang sebagai saranan utama dalam transportasi udara. Selain Bandar Udara Tampa Padang, saat ini juga sedang dikembangkan Bandar Udara Sumarorong di Kabupaten Mamasa yang proyek pembangunannya baru dimulai pada tahun 2012. Untuk sektor perhubungan laut, saat ini sedang dilakukan pembangunan dan perluasan Pelabuhan Belang-Belang di Kecamatan Papalang Kabupaten Mamuju yang akan dijadikan sebagai sarana pelabuhan Internasional. Untuk sarana transportasi darat, pembangunan jalan dan jembatan untuk tahun 2015 khususnya jalan trans Sulawesi sudah mencapai 90%. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya jauh lebih baik. Sebagai contoh bahwa jalur transportasi Tekanan Terhadap Lingkungan T - 36 darat dari Kabupaten Mamuju ke Mamuju Utara yang selama ini ditempuh 8-10 jam, saat ini sudah dapat ditempuh dalam waktu 4-5 jam saja. Analisis Statistik Sederhana Pertambahan jumlah penduduk suatu daerah harus diibangan dengan pembangunan infrastruktur yang memadai. Salah satunya adalah sarana transportasi. Untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat di suatu wilayah maka diperlukan akses yang mudah untuk memperlancar pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pembangunan sarana transportasi darat, laut dan udara menjadi sangat penting. Jika dihitung berdasarkan analisa sederhana, dapat dikatakan bahwa pembangunan infrastruktur sarana transportasi di Sulawesi Barat sudah cukup memadai. Dan untuk pengembangannya pada tahun 2013 yang akan dating akan dibuka akses jalan untuk menghubungkan antara Provinsi Sulawesi Barat dengan Provinsi Sulawesi Selatan melalui jalur Kabupaten Mamasa yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk sarana transportasi udara, pada tahun 2013 ini Bandar Udara Tampa Padang sudah dapat melayani pesawat boeing dengan kapasitas penumpang sampai 150 orang. Ini dapat dibuktikan dengan adanya perluasan bandara dan penambahan panjang landasan pacu. III-I. PARIWISATA Pariwisata di Indonesia merupakan sektor ekonomipenting di Indonesia. Pada tahun 2009, pariwisata menempati urutan ketiga dalam hal penerimaan devisasetelah komoditi minyak dan gas bumi serta minyak kelapa sawit.[1] Berdasarkan data tahun 2014, jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia sebesar 9,4 juta lebih atau tumbuh sebesar 7.05% dibandingkan tahun sebelumnya. Sekitar 59% turis berkunjung ke Indonesia untuk tujuan liburan, sementara 38% untuk tujuan bisnis. Singapura dan Malaysia adalah dua negara dengan catatan jumlah wisatawan terbanyak yang datang ke Indonesia dari wilayah ASEAN. Sementara dari kawasan Asia(tidak termasuk ASEAN) wisatawan RRC berada di urutan pertama disusul Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan India. Jumlah pendatang terbanyak dari kawasan Eropa berasal dari Negara Britania Raya disusul oleh Belanda, Jerman dan Perancis Tekanan Terhadap Lingkungan T - 37 Pengelolaan kepariwisataan, kebijakan nasional, urusan pemerintahan di bidang kebudayaan dan kepariwisataan di Indonesia diatur oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia. Perkiraan volume limbah padat berdasarkan lokasi objek wisata, Jumlah Pengunjung dan luas kawasan. Salah satu daya tarik wisatawan baik mancanegara maupun dalam negeri adalah poteni pariwisata yang dimiliki oleh suatu daerah. Selain menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi daerah tersebut, juga menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah. Provinsi Sulawesi Barat dengan luas wilayah mencapai 16.916,71 kilometer persegi memiliki potensi pariwisata yang cukup banyak. Berdasarkan data dari Dinas Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Provinsi Sulawesi Barat, terdapat kurang lebih 139 lokasi objek wisata yang tersebar di enam Kabupaten yang terbagi dalam berbagai jenis objek wisata. Tabel 3.13 : Jumlah Objek Wisata di Sulawesi Barat di Rinci Per Kabupaten No. Nama Obyek Wisata Jenis Obyek Wisata Jumlah Pengunjung (orang per tahun) Luas Kawasan (Ha) Volume Limbah Padat (m3/Hari) 1 Kuburan Tua Pasa'bu Peninggalan Sejarah 243 0,004 12,15 2 Pasir Putih Tanjung Ngalo Wisata Bahari 2140 2,000 107,00 3 Gua Dungkait Wisata Alam 541 1,000 27,05 4 Air Terjun Lebani Wisata Alam 3641 tad 182,05 5 Kuburan Tua Raja Dungkait Peninggalan Sejarah 214 0,004 10,70 6 Air Panas Pangsiangang Wisata Alam 2461 tad 123,05 7 Pemandian Alam So'do Wisata Alam 325 tad 16,23 8 Bone Tanga Wisata Alam 251 1,000 12,55 9 Rumah Adat Wisata Budaya 364 5,000 18,20 10 Air Terjun Tamasapi Wisata Alam 5426 1,000 271,30 11 Anjoro Pitu Wisata Alam 13687 3,000 684,35 12 Kuburan Tua Tosalama 4568 0,001 228,40 13 Kuburan Tua Lasalaga 2412 0,002 120,60 14 Kuburan Tua Tonileo 3117 0,003 155,85 15 Kuburan Puatta Karama 4637 0,0025 231,85 Peninggalan Sejarah Peninggalan Sejarah Peninggalan Sejarah Peninggalan Sejarah Tekanan Terhadap Lingkungan T - 38 No. Nama Obyek Wisata Jenis Obyek Wisata Jumlah Pengunjung (orang per tahun) Luas Kawasan (Ha) Volume Limbah Padat (m3/Hari) 16 Kuburan Tua Langga Turu' Peninggalan Sejarah 1745 0,0045 87,25 17 Air Panas Padang Panga' Wisata Alam 8698 2,000 434,90 18 Gua Padang Panga' Wisata Alam 4354 2,000 217,70 19 Pantal Rangas Wisata Alam 12687 3,000 634,35 20 Gua Saletto Wisata Alam 2105 1,000 105,25 21 Pantai Lombang - Lombang Wisata Bahari 112647 4,000 5632,35 22 Gua Belang - Belang Wisata Alam 524 1,000 26,20 23 Benteng Kassa' 617 0,5 30,85 24 Kayu Eboni Raksasa 585 1,000 29,25 25 Air Terjun Panao/Sondoang Wisata Alam 5381 1,000 269,05 26 Pantai Samalon Wisata Bahari 2734 1,000 136,70 27 Tambang Emas Tradisional Keunikan Alam 1612 1,000 80,60 28 Pantai Dato Wisata Bahari 5645 2,000 282,25 29 Air Terjun Biolo Wisata Alam 6725 tad 336,25 30 Air Terjun Salu Ma'dinging Wisata Alam 4532 tad 226,60 31 Perkebunan Kelapa Sawit Agro Wisata 1125 35,000 56,25 32 Situs Minangga Sipakko 935 tad 46,75 33 Kuburan Prasejarah 2115 1,000 105,75 34 Danau Kawah Gunung Panasuan Wisata Alam 247 1,000 12,35 35 Penyimpanan Mayat Peninggalan Sejarah 135 1,000 6,75 36 Air Terjun Taranusi Wisata Alam 7575 1,000 378,75 37 Air Panas Maiso Wisata Alam 9642 1,000 482,10 38 Gua Nenek Pulao Wisata Alam 258 tad 12,90 39 Gua Tambulan Wisata Alam 173 tad 8,65 40 Polo Pantai Wisata Bahari 12 2,000 0,60 41 Pantai Pangkang Wisata Bahari 3612 tad 180,60 Peninggalan Sejarah Keunikan Alam Wisata Budaya Peninggalan Sejarah Tekanan Terhadap Lingkungan T - 39 No. Nama Obyek Wisata Jenis Obyek Wisata 42 Pantai Kombiling Wisata Bahari 43 Perkebunan Jeruk Agro Wisata 44 Benteng Kayu Mangiwang 45 Rumah Adat Topoyo 46 Air Terjun Batu Parigi 47 Jumlah Pengunjung (orang per tahun) Luas Kawasan (Ha) Volume Limbah Padat (m3/Hari) 17 tad 0,85 421 tad 21,05 263 1,000 13,15 145 tad 7,25 Wisata Alam 3275 tad 163,75 Pantai Kambunong Wisata Bahari 7345 tad 367,25 48 Pantai Kire Wisata Bahari 5434 tad 271,70 49 Benteng Towani 2170 0,5 108,50 50 Kuburan Raja Langga 315 0,5 15,75 51 Tanjung Batu Oge Wisata Bahari 1025 tad 51,25 52 Pulau Karampuang Wisata Bahari 302205 2,000 15110,25 53 Pulau Bakengkeng Wisata Bahari 121635 1,000 6081,75 54 Air Terjun Arjuna Wisata alam tad 2,000 tad 55 Air Terjun Nagaya Wisata alam tad 1,000 tad 56 Batu Kapal Wisata alam tad 1,000 tad 57 Goa Gambalusu Wisata alam tad tad tad 58 Goa Lawa Wisata alam tad 5,000 tad 59 Goa Martasari Wisata alam tad tad tad 60 Gua Ape Wisata alam tad 2,000 tad 61 Pantai Baliri Wisata bahari tad 1,500 tad 62 Pantai Batu Oge Wisata bahari tad 3,000 tad 63 Pantai Cinoki Wisata bahari tad 6,000 tad 64 Pantai Kasalai Wisata bahari tad tad tad 65 Pantai Labuang Wisata bahari tad tad tad 66 Pantai Salukaili Wisata bahari tad 4,000 tad 67 Pantai Sarjo Wisata bahari tad 2,000 tad Peninggalan Sejarah Wisata Budaya Peninggalan Sejarah Peninggalan Sejarah Tekanan Terhadap Lingkungan T - 40 Jenis Obyek Wisata Jumlah Pengunjung (orang per tahun) Luas Kawasan (Ha) Volume Limbah Padat (m3/Hari) No. Nama Obyek Wisata 68 Perkebunan Kelapa Sawit Wisata Agro tad tad tad 69 Situs Suku Bunggu Wisata budaya tad tad tad 70 Tanjung Bakau Wisata bahari tad 2,000 tad 71 Tanjung Kaluku Wisata bahari tad 3,000 tad 72 Permandian sungai Teppo Wisata Alam 240 0,5 Ha 12,00 73 Permandian Udhuhun Pokki Wisata Alam 200 0,5 Ha 10,00 74 Permandian Sungai Tubo Wisata Alam 700 ± 2 Ha 35,00 75 Permandian air Panas Makula Limboro Wisata Alam 210 0,5 Ha 10,50 76 Air terjun Mario dan Takulilia Wisata Alam 220 1 Ha 11,00 77 Air Terjun Orongan Puawang Wisata Alam 350 0,5 Ha 17,50 78 Wai Makula Tinggas Wisata Alam 220 0,5 Ha 11,00 79 Pantai Pasir Putih Leppe Wisata Bahari 370 1 Ha 18,50 80 Pantai Pasir Putih Tamo Wisata Bahari 340 1 Ha 17,00 81 Pantai Pasir Putih Barane Wisata Bahari 810 1,5 Ha 40,50 82 Pantai Pasir Putih Dato Wisata Bahari 340 0,5 Ha 17,00 83 Pantai Luaor Wisata Bahari 345 1,5 Ha 17,25 84 Pantai Rewataa tara ujung Wisata Bahari 260 2 Ha 13,00 85 Pantai Baluno Wisata Bahari 235 1,5 Ha 11,75 86 Pantai Pasir Putih Bondebonde Wisata Bahari 240 3 Ha 12,00 87 Makam Raja-raja Ondongan 90 0,5 Ha 4,50 88 Makam Syekh Abdul Mannan 70 0,25 Ha 3,50 89 Makam Suryodilogo 70 0,25 Ha 3,50 90 Benteng Ammana wewang 80 0,25 Ha 4,00 91 Makam Puang Tobarani 1454 0,576 72,70 92 Makam Syekh Al Ma'aruf 10969 0,500 548,45 93 Makam Todilaling 5442 0,250 272,10 Wisata Sejarah Wisata Sejarah Wisata Sejarah Wisata Sejarah Wisata budaya Wisata budaya Wisata budaya Tekanan Terhadap Lingkungan T - 41 Jenis Obyek Wisata No. Nama Obyek Wisata 94 Makam Tosalama Beluwu Wisata budaya 95 Pantai Mampie 96 Jumlah Pengunjung (orang per tahun) Luas Kawasan (Ha) Volume Limbah Padat (m3/Hari) 2155 192,000 107,75 Wisata bahari 38705 3,600 1935,25 Pantai Palippis Wisata bahari 830 3,000 41,50 97 Permandian Alam Limbong Sitido Wisata alam 2300 1,500 115,00 98 Pulau Tangnga Wisata bahari 5000 2,000 250,00 Wisata bahari 5255 500,000 262,75 6478 0,030 323,90 410 0,290 20,50 Wisata alam tad tad tad 99 100 Permandian Alam Wisata Biru Makam KH. Muh. Tahir Imam Lapeo Wisata budaya Wisata budaya 101 Makam tosalama Lampoko 102 Air Terjun dan Panorama Alam Gunung Mambulilling 103 Air Terjun Liawan Wisata alam tad 2,000 tad 104 Air Terjun Parak Wisata alam tad tad tad 105 Air Terjun Sambabo Wisata alam tad tad tad 106 Arung Jeram Sungai Mamasa Wisata alam tad tad tad 107 Batu Kumila Wisata budaya tad 0,075 tad 108 Batu Laledong Wisata alam tad 0,010 tad Kuburan Tua Paladan Demmatande Kuburan Tua TedongTedong Wisata budaya Wisata budaya Wisata budaya tad 0,050 tad tad 0,050 tad tad tad tad Wisata alam tad 1,250 tad Wisata budaya 157 tad 7,85 Wisata alam tad 0,060 tad Wisata alam tad 0,250 tad Wisata alam tad 0,060 tad Wisata alam tad 0,140 tad Wisata alam tad 0,030 tad Wisata budaya tad tad tad 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 Mummi Pemandangan Alam Buntu Mussa Perkampungan Tradisional Balla Peu Permandian Air Panas Kole Permandian Air Panas Malimbong Permandian Air Panas Rante Katoan Permandian Air Panas Rante-Rante Permandian Air Panas Uhailanu Rumah Adat Buntu Kasisi Tekanan Terhadap Lingkungan T - 42 No. Nama Obyek Wisata 120 Rumah Adat Indona Orobua 121 Rumah Adat Rambusaratu 122 Rumah Adat Tomakaka Makuang 123 Tondok Sirenden Sumber : Tabel SP-6 Buku Data Jenis Obyek Wisata Jumlah Pengunjung (orang per tahun) Wisata budaya Wisata budaya Wisata budaya Wisata budaya Luas Kawasan (Ha) Volume Limbah Padat (m3/Hari) tad 0,500 tad 150 0,500 7,50 tad tad tad tad 0,000 tad Objek wisata terbanyak berada di Kabupaten Mamuju yakni sebanyak 53 objek wisata. Dan yang paling sedikit adalah Kabupaten Polewali Mandar yakni hanya sebanyak 11 lokasi. Dari berbagai jenis objek wisata di Sulawesi Barat, pada umumnya didominasi oleh objek wisata alam dan bahari. Hal ini dipengaruhi oleh luas wilayah Provinsi Sulawesi Barat yang cukup luas serta panjang pantai yang mencapai 677 kilometer dengan berbagai pulau-pulau kecil yang berpotensi sebagai daerah tujuan wisata. Untuk Kabupaten Mamuju Tengah, objek wisata yang tercantum dan dapat didentifikasi masih bergabung dengan Kabupaten Mamuju Tengah. Perkiraan beban limbah padat dan cair berdasarkan Sarana Hotel/ Penginapan. Sebagai daerah baru yang sedng berkembang, maka Provinsi Sulawesi Barat saat ini sedang membangunan berbagai sarana prasarana penunjang di berbagai aspek dan salah satunya adalah industri perhotelan. Selain sebagai sarana untuk kegiatan-kegiatan internal Provinsi Sulawesi Barat, juga sebagai saran penginaan bagi tamu-tamu yang berkunjung di Sulawesi Barat. Dengan ketersediaan sarana perhotelan di setiap kabupaten, maka dengan sendirinya akan menambah minat orang untuk datang berkunjung ke daerah tersebut. Salah satu sarana sektor pariwisata adalah tersedianya penginapan bagi para wisatawan luar yang datang berkunjung di daerah tujuan wisata. Ketersediaan jumlah sarana hotel atau penginapan dalam suatu wilayah sangat ditentukan oleh persentase tingkat hunian setiap tahunnya. Jika jumlah hotel/penginapan jauh lebih banyak dari tingkat hunian, tentu saja akan berdampak pada kerugian pihak pengelola. Tersedianya sarana objek wisata dan hotel/penginapan di suatu daerah, tentu saja mamberikab kontribusi yang sagat besar bagi daerah tersebut. Hal positif daeri Tekanan Terhadap Lingkungan T - 43 banyaknya objek wisata serta sarana hotel dan penginapan adalah pertambahan jumlah pendapatan asli daerah. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa semakin banyak jumlah objek wisata dan hotel/penginapan akan berdampak pula terhadap limbah yang dihasilkan yang akan mengakibatkan pencemaran di lokasi tersebut jika tidak dikelolah dengan baik. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus menetapkan kebijakan-kebijakan terkait pengelolaan sarana dan prasarana pariswisata sehingga tidak menimbulkan persalan baru. Salah satunya adalah semua kegiatan dan atau usaha di sektor paariwisata harus memiliki dokumen pengelolaan lingkungan sehingga dalam pengelolaannya tidak hanya berorientasi pada keuntungan yang diraih tetapi juga dapat memperhatikan pengelolaan di sekitarnya. Grafik 3.14 : Daftar grafik hotel/penginapan dan beban pencemaran di Sulawesi Barat dirinci per Kabupaten Sumber : Tabel SP-7 Buku Data III-J. LIMBAH B3 Salah satu dampak yang ditimbulkan dari aktivitas pembangunan di berbagai sektor adalah limbah yang tergolong dalam kategori berbahaya dan beracun. Untuk mengendalikan dampak pencemaran dari linbah bahan berbahaya dan beracun, Kementerian Lingkungan Hidup telah melakukan berbagai upaya dalam menangani masalah tersebut. Selain dari segi regulasi, juga digalakkan berbagai program yang dapat meminimalisir terjadinya pencemaran dari limbah bahan berbahaya dan beracun. Salah satunya adalah program penilaian peringkat kinerja perusahaan yang kini Tekanan Terhadap Lingkungan T - 44 menjadi salah satu program unggulan pemerintah dalam meningkatkan kinerja perusahaan khususnya untuk meminimalisir penyalahgunaan limbah bahan berbahaya dan beracun yang dihasilkan. Perusahaan yang mendapat izin untuk mengelola Limbah B3 Tabel 3.14 : Perusahaan yang mendapat izin mengelolah Limbah B3 No. Nama Perusahaan Jenis Kegiatan/Usaha Perkebunan dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit Perkebunan dan Pabrik 2 PT. Letawa Pengolahan Kelapa Sawit Perkebunan dan Pabrik 3 PT. Unggul WTL Pengolahan Kelapa Sawit Perkebunan dan Pabrik PT. Unggul WTL, 4 Pengolahan Kelapa PMKS Agribaras Sawit Perkebunan dan Pabrik PT. Suryaraya Lestari 5 Pengolahan Kelapa I Sawit Perkebunan dan Pabrik PT. Suryaraya Lestari 6 Pengolahan Kelapa II Sawit Perkebunan dan Pabrik PT. Manakarra 7 Pengolahan Kelapa Unggul Lestari Sawit Sumber : Tabel SP-11 Buku Data 1 PT. Pasangkayu Jenis Izin Nomor Izin penyimpanan sementara Nomor 692 Tahun 2012 Izin penyimpanan sementara Nomor 691 Tahun 2012 Izin penyimpanan sementara Nomor 214 Tahun 2013 Izin penyimpanan sementara Nomor 431 Tahun 2012 Izin penyimpanan sementara Nomor 690 Tahun 2012 Izin penyimpanan sementara 188.45/203/KPTS/ IV/2013 Izin penyimpanan sementara 188.45/307/KPTS/ V/2013 Dari berbagai macam dan jenis perusahaan yang ada di Sulawesi Barat, hanya beberapa perusahaan saja yang sudah mendapatkan izin untuk mengelola limbah bahan berbahaya dan beracun yang dihasilkan. Namun dari semua izin yang dikeluarkan baik oleh Kementerian Lingkungan Hidup maupun oleh Pemerintah Kabupaten masing-masing, perusahaan yang ada di Sulawesi Barat ini baru mendapatkan izin untuk penyimpanan sementara limbah bahan berbahaya dan beracun. Provinsi Sulawesi Barat sampai saat ini belum ada satu pun perusahaan yang diberikan kewenangan untuk mengolah, mengumpul atau memusnahkan limbah bahan berbahaya dan beracun yang dihasilkan. Oleh karena itu, untuk mencegah adanya pencemaran lB3 yang dihasilkan, maka seluruh limbah B3 yag dihasilkan dikirmkan kepada perusahaan-perusahaan yang sudah mendapatkan izin dari Kementerian Linkgungan Hidup untuk mengolah, memanfaatkan, mengumpul atau memusnahkan LB3 tersebut. Tekanan Terhadap Lingkungan T - 45 Dalam pengangkutan limbah B3 yang dihasilkan oleh setiap kegiatan dan atau usaha, maka peruashaan pengangkut juga harus mendapatkan izin dari Kementerian Perhubungan atas rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dengan jumlah dan jenis kendaraan yang digunakan beserta nomor plat kendaraan telah dicantumkan dalam izin yang diberikan. Untuk Provinsi Sulawesi Barat, sampai saat ini belum ada perusahaan yang mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk mengangkut LB3 dari Sulawei Barat. Oleh karena itu, perusahaan yang digunakan dalam pengangkutan LB3 adalah PT. Multazam yang berdomisili di Makassar Sulawesi Selatan yang telah mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup serta Izin dari Kementerian Perhubungan. Tekanan Terhadap Lingkungan T - 46 BAB IV UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN IV-A. REHABILITASI LINGKUNGAN Pembangunan berwawasan lingkungan adalah suatu keharusan yang harus dilaksanakan unuk mewujudkan lingkungan hidup yang bersih, hijau, nyaman dan produktif untuk mempertahankan fungsi lingkungan demi generasi di masa mendatang. Yang tak kalah pentingnya adalah untuk mengimbangi kekhawatiran terhadap issu global warming yang saat ini sedang mengemuka. Oleh karena itu, pembangunan berwawasan lingkungan harus menjadi prioritas utama dalam menetukan kebijakan suatu daerah. Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi baru yang saat ini kondisi lingkungannya masih tergolong baik harus diertahankan bahkan ditingkatkan. Hal ini dapat terwujud apabila didukung dengan komitmen dari semua pihak baik pemerintah, swasta maupun masyarakat di Sulawesi Barat pada umumnya. Lingkungan tidak semata-mata sebatas penghijauan yang terkait rehabilitasi hutan dan taman kota, namun dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan, harus diseimbangkan dengan pembangunan lainnya di berbagai sektor antara lain, sektor industri, pertambangan, pertumbuhan ekonomi dan yang paling pokok adalah pertumbuhan penduduk. Realisasi Kegiatan Penghijauan dan Reboisasi Mengingat persoalan lingkungan yang saat ini semakin kompleks akibat perkebangan zaman, maka program rehabilitasi dan perbaikan kondisi lingkungan sangat diperlukan. Salah satu program yang dapat dilaksanakan adalah rehabilitasi lingkungan melalui kegiatan penghijauan dan reboisasi khususnya pada wilayah-wilayah yang tergolong sebagai lahan kritis. Berdasarkan data yang dihimpun dari dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat, jumlah realisasi kegiatan penghijauan sebanyak 1.254.737 pohon dengan luas sebaran sebanyak 1.727,9 hektar. Jumlah ini sangat jauh dari jumlah tahun sebelumnya yang mencapai 2.454.561 pohon dengan luas 5.527,48 hektar. Untuk kegiatan reboisasi pada lokasi sekitar 4.990 hektar namun tidak dapat diperoleh data jumlah pohon yang ditanam Upaya Pengelolaan Lingkungan U-1 Tabel 4.1 : Realisasi Kegiatan Penghijauan dan Reboisasi No Kabupaten Luas Realisasi Penghijauan (Ha) Realisasi Jumlah Pohon Luas Realisasi Reboisasi (Ha) Realisasi Jumlah Pohon 1 Mamuju Utara 335,90 224611,00 1175,00 tad 2 Mamuju Tengah 120,00 48000,00 75,00 tad 3 Mamuju 82,00 66500,00 540,00 tad 4 Majene 205,00 47000,00 300,00 tad 5 Polewali Mandar 220,00 80600,00 800,00 tad 6 Mamasa 765,00 788026,00 2100,00 tad Sumber : Tabel UP-1 Buku Data Perbandingan antar waktu dan antar lokasi Berdasarkan tabel diatas, Wilayah terluas dalam program penghijauan untuk tahun 2015 adalah Kabupaten Mamasa yakni seluas 765 hektar, jika dibandingkn dengan tahun sebelumnya sedikit mengalami peningkatan yakni hanya mencapai 106,16 hektar. Untuk wilayah yang paling kecil berada di Kabupaten Mamuju yakni hanya sekitar 82 hektar saja. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah ini mengalami penurunan yang sangat signifikan dimana pada tahun 2014 mencapai 3.534 hektar dengan jumlah pohon sebanyak 1.525.201. Selain kegiatan penghijauan, maka program reboisasi juga menjadi salah satu bentuk kegiatan untuk pemulihan kondisi lingkungan khususnya bagi hutan yang telah mengalami kerusakan. Kegiatan reboisasi untuk tahun 2015 ini mencapai 4.990 hektar. Kegiatan Fisik Lainnya oleh instansi dan masyarakat. Selain pemulihan lingkungan melalui program penghijauan dan reboisasi khusunya bagi hutan-hutan yang sudah mengalami pengundula dan kerusakan, maka perlu dilakukan perbaikan dan pemulihan lingkungan pada wilayah lainnya. Antara lain adalah kegiatan penanaman mangrove untuk wilayah pesisir yang mengalami abrasi pantai dengan tujuan untuk perlindungan dan konservasi sumber daya alam serta pencegahan kerusakan wilayah pesisir. Berikut beberapa kegiatan fisik perbaikan kualitas lingkungan untuk tahun 2015 sebagaimana tercantum dalam tabel berikut : Upaya Pengelolaan Lingkungan U-2 Tabel 4.2 : Kegiatan Fisik Perbaikan Lingkungan No. Nama Kegiatan 1 Pengadaan tong sampah sebanyak 70 unit Tutupan Lahan dengan Mangrove Pada Kegiatan Pengelolaan dan Rehabilitasi Ekosistem Pesisir dan Laut Pasangkayu, Kab. Mamuju Utara Kabupaten Mamuju (Kecamatan Mamuju, Tapalang Barat, Kalukku dan Papalang) Tutupan Lahan dengan Mangrove Pada Kegiatan Pengelolaan dan Rehabilitasi Ekosistem Pesisir dan Laut Tutupan Lahan dengan Mangrove Pada Kegiatan Pengelolaan dan Rehabilitasi Ekosistem Pesisir dan Laut Kabupaten Mamuju Tengah (Kecamatan BudongBudong, Karossa, Topoyo dan Pangale) Kabupaten Mamuju Utara (Kecamatan Dapurang, Sarudu, Baras, Lariang, Tikke Raya, Pedongga, Pasangkayu, Bambalamotu, Bambaira dan Sarjo) 5 Tutupan Lahan dengan Mangrove Pada Kegiatan Pengelolaan dan Rehabilitasi Ekosistem Pesisir dan Laut Kabupaten Majene (Kecamatan Malunda, Tubo Sendana, Tammerodo, Sendana, Pamboang, Banggae, Banggae Timur) 6 Tutupan Lahan dengan Mangrove Pada Kegiatan Pengelolaan dan Rehabilitasi Ekosistem Pesisir dan Laut Tutupan Lahan dengan Bambu daerah sumbersumber air Pada Kegiatan Konservasi Sumber Daya Air dan Pengendalian Kerusakan Sumber-sumber Air Tutupan Lahan dengan Bambu daerah sumbersumber air Pada Kegiatan Konservasi Sumber Daya Air dan Pengendalian Kerusakan Sumber-sumber Air Kabupaten Polewali Mandar (Kecamatan Binuang dan Campalagian) CV. Sumber Pratama dan CV Golden Mariase) Kabupaten Mamuju (Kecamatan Tapalang, Tommo dan Sinyonyoi) CV. Hasan Famili, CV. Palewori Mannassa dan CV. Indra Cipta Sarana) Kabupaten Majene (Kecamatan Malunda, Tubo, Tammerodo, Sendana dan Pamboang) Tutupan Lahan dengan Bambu daerah sumbersumber air Pada Kegiatan Konservasi Sumber Daya Air dan Pengendalian Kerusakan Sumber-sumber Air Kabupaten Polewali Mandar (Kecamatan Tinambung, Limboro, Balanipa, Campalagian, Mapilli, Wonomulyo, Luyo dan Tubbi Taramanu) CV. Fadillah, CV. Golden Mariase, CV. Rafli, CV. Cahaya Halim, CV. Retno Bhakti Persada, CV. Dafid, CV. Dimas Al Gala, CV. Antara 99, CV. Bumi Tipalayo, CV. Mutiara Biru, CV. Jaya Buana, CV. Iankidi Abadi, CV. Sumber Pratama, CV. Panca Niaga, CV. Zamrud Oryza, CV. Anugerah Permata Aqilah dan CV. Mattapa CV. Masaleh Putra, CV. Karya Tiga Putra, CV. Matoari, CV. Rifqi Putra, CV. Fajar, CV. Empat Tujuh, CV. Nurfadilah Konstruksi dan CV. Tamamaung Jaya 2 3 4 7 8 9 Lokasi Kegiatan Pelaksana Kegiatan CV. Ardan Matra CV. Tamamaung Jaya, CV. Dimas Al Gala, CV. Empat Tujuh, CV. Hasan Famili, CV. Masaleh Putra, CV. Metro Manakarra, CV. Bantaya Kamangkasarang, CV. Karampuang Lestari CV. Arya Tiga Putra, CV. Sumber Pratama, CV. Telaga Biru, CV. Riya Global Solution, CV. Pandora Perkasa, CV. Padang Mawalle Group. CV. Karya Tiga Putra, CV. Gading Kamangkasarang, CV. Badai Pratama, CV. Zamrud Oryza, CV. Gading Savana, CV. Rely Mulia, CV. Bangun Persada, CV. CK Sari, CV. Tiga Putra, CV. Cappaga Putra Kire, CV. Bumi Tipalayo, CV. Jaya Buana, CV. Iankidi Abadi, CV. Karya Sulindo, CV. Mattapa, CV. Fajar, CV. Antara 99, CV. Dafid, CV. Mattoari, CV. Anugerah Permata Aqilah, CV. Polewari Mannasa CV. Rimuku Bhakti, CV. Matoari, CV. Antara 99, CV. Dafid, CV. Dimas Al Gala, CV. Fajar, CV. Empat Tujuh. Upaya Pengelolaan Lingkungan U-3 No. Nama Kegiatan 10 Tutupan Lahan dengan Bambu daerah sumbersumber air Pada Kegiatan Konservasi Sumber Daya Air dan Pengendalian Kerusakan Sumber-sumber Air Kabupaten Mamasa (Kecamatan Mamasa, Tawalian, Sesena Padang, Sumarorong dan Tandukalua') CV. Asri Sejahtera Mandiri, CV. Cahaya Gunung, CV. Rafara, CV. Radithya Rezky Gemilang, CV. Admi Karya, CV. Fatihah dan CV. Sinar Muda Mandiri 11 Pembuatan Demplot Kehati Desa Adolang, Kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene CV. Zamrud Oryza 12 Stimulus Tanaman Kayu Eboni Desa Ako, Kecamatan Pasangkayu, Kabupaten Mamuju Utara CV. Jaya Buana 6 kabupaten Tim PJS Kabupaten dan Propinsi (Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat) 13 Pemicuan Jamban Sehat (PJS) Sumber : Tabel UP-2 Buku Data Lokasi Kegiatan Pelaksana Kegiatan Berdasarkan data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan perbaikan fisik lingkungan untuk tahun 2015 ini di titik beratkan pada penutupan lahan baik lahan-lahan yang sudah kritis maupun untuk pencadangan sumber daya air. IV-B. AMDAL, UKL/UPL Implikasi akibat eksploitasi sumber daya alam oleh kegiatan dan atau usaha adalah kerusakan lingkungan hidup sementara instrument kebijakan lingkungan hidup terutama aspek kelembagaan dan sumber daya manusia belum memadai untuk mengimbangi tingginya intesitas kerusakan lingkungan. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah penerapan istrumen AMDAL-UKL/UPL secara lebih tegas khusunya bagi rencana kegiatan dan atau usaha yang berdampak terhadap lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun tidak jarang penerapan AMDAL-UKL/UPL untuk setiap rencana dan atau kegiatan malah dijadkan komoditi ungglan bagi beberapa perusahaan konsultan sebagai suatu sumber penghasilan. Dokumen izin lingkungan Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 36 ayat (1) dan pasal 40 ayat (1) serta Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 yang pada intinya memuat bahwa setiap kegiatan dan atau usaha yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki izin lingkungan sebagai dasar untuk menerbitkan izin-izin lainnya. Upaya Pengelolaan Lingkungan U-4 Adapun jenis usaha dan atau kegiatan yang wajib memiliki izin lingkungan termasuk skala dan besaran kapasitasnya dapat lebih jelasnya diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RI Nomor 5 Tahun 2010. Pada tahun 2015 ini, Badan Hidup Provinsi Sulawesi Barat berkonsentrasi untuk menyelesaikan pembahasan dokumen dari beberapa jenis usaha dan/atau kegiatan yang telah beroperasi sebelum dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH. Berikut beberapa dokumen lingkungan yang ditetapkan pada tahun 2015 yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat. Tabel 4.3 : Dokumen Izin Lingkungan 1 Jenis Dokumen UKL-UPL 2 DELH 3 DELH 4 DELH 5 DELH No. Kegiatan Pembangunan T/L 150 kV Mamuju-Pasangkayu dan Gardu Induk Terkait, di Kabupaten Mamuju (Kecamatan Mamuju, Kalukku, Papalang dn Kecamatan Sampaga); Kabupaten Mamuju Tengah (Kecamatan Pangale, Budong-Budong, Tobadak, Topoyo,dan Kecamatan Karossa); Kabupaten Mamuju Utara (Kecamatan Dapurang, Sarudu, Baras, Lariang, Tikke Raya, Pedongga dan Kecamatan Pasangkayu) Provinsi Sulawesi Barat Pembangunan Ruas Jalan Nasional di Provinsi Sulawesi Barat Sepanjang 669,49 Kilo Meter. Kegiatan Operasional Pelabuhan Penyeberangan Mamuju Kegiatan Operasional Pelabuhan Pulau Ambo Mamuju Kegiatan Operasional Pelabuhan Pulau Popongan Mamuju Sumber : Tabel UP-3 Buku Data Pemrakarsa PT. PLN (Persero) UIP XIII Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional VI Makassar. PT. ASDP Indonesia Ferry Cabang Balikpapan. Kantor Unit Penyelenggara Palabuhan Kelas III Mamuju Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan RI Kantor Unit Penyelenggara Palabuhan Kelas III Mamuju Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan RI Pengawasan Izin Lingkungan (Amdal, UKL/UPL, SPPL) Dalam pasal 71 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dikatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, berkewajiban melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal melakukan pengawsan lingkungan, maka Gubernur selaku Upaya Pengelolaan Lingkungan U-5 kepala pemerintahan di tingkat provinsi dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat atau instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Merujuk pada ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, maka pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Barat melalui Badan Lingkungan Hidup melakukan pengawasan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat. Berikut hasil pengawasan pada beberapa perusahaan yang berada dalam wilayah Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat : Tabel 4.4 : Hasil Pengawasan Izin Lingkungan No. 1 Nama Perusahaan/ Pemrakarssa PT. Tanjung Sarana Lestari Waktu (tgl/bln/thn) Hasil Pengawasan 24 Agustus 2015 Berdasarkan hasil pemantauan RKL-RPL dilapangan PT. Tanjung Sarana Lestari, dianggap telah taat hukum dan ketentuan yang berlaku. 2 PT. Unggul Widya Teknologi Lestari 28 Agustus 2015 Berdasarkan hasil pemantauan RKL-RPL dilapangan PT. Unggul Widya Teknologi Lestari, dianggap telah taat hukum dan ketentuan yang berlaku. 3 PT. Pasangkayu 20 Agustus 2015 Berdasarkan hasil pemantauan RKL-RPL dilapangan PT. Pasangkayu, dianggap telah taat hukum dan ketentuan yang berlaku. 4 PT. Mamuang 25 Agustus 2015 Berdasarkan hasil pemantauan RKL-RPL dilapangan PT. Mamuang, dianggap telah taat hukum dan ketentuan yang berlaku. Sumber : Tabel UP-5 Buku Data Berdasarkan tabel tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam rangka melakukan pengawasan terhadap setiap usaha dan atau kegitan yang berdampak terhadap lingkungan hidup baik secara langsung maupun tidak langsung, maka Pemerintah Provinsi Suawesi Barat melalui Badan Lingkungan Hidup secara rutin melakukan pengawasan bagi perusahaan. Dari hasil pengawasan oleh bidang Amdal dan Tata Lingkungan, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat, secara umum dapat dikatakan bahwa semua perusahaan yang telah dipantau telah menerapkan ketentuan yang tercantum dalam dokumen Amdal-UKL/UPL yang telah ditetapkan. Selain pengawasan aktif yang dilakukan oleh Bidang Amdal dan Tata Lingkungan, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat melalui program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan secara rutin setiap tahunnya melakukan pengawasan terhadap penaatan perusahaan dalam mengelola lingkungan melalui kegiatan penilaian peringkat kinerja perusahaan (Proper). Upaya Pengelolaan Lingkungan U-6 IV-C. PENEGAKAN HUKUM Dalam proses penegakan hukum lingkungan, ada dua prinsip dasar yang diterapkan oleh pemerintah yakni Command and Control (atur dan awasi) dan self monitoring (awasi diri sendiri). Pada proses command and control, pemerintah menetapkan dan mengawasi pelaksanaan dari peraturan-peraturan dan standar yang harus dipatuhi. Pada self monitoring, pelaku kegiatan wajib untuk melakukan pengawasan dan pemantauan dalam pengelolaan kegiataan yang dilakukan khusunya dampak yang ditimbulkan dan melaporkannya kepada pihak pemerintah. Untuk megatasi permasalahan-permasaah lingkungan baik yang ditimbulkan oleh kegiatan dan atau usaha yang berdampak terhadap lingkungan dan masyarakat sekitarnya, maka selaun aturan yang telah ditetapkan, pemerintah Provinsi Sulawesi Barat melalui Badan Lingkungan Hidup telah membentuk Pos Pelayanan Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup sejak tahun 2008. Namun disadari bahwa daam pelaksanaan dan pengelolaannya belum dapat berjalan maksimal. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan sumber daya manusia dalam pengelolaan Pos P3SLH tersebut. Disamping itu, adanya kecenderungan masuarakat untuk enggan melaporkan setiap indikasi terjadinya pengrusakan dan atau pencemaran lingkungan. Status Pengaduan Masyarakat Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 9 Tahun 2010 telah diatur tentang mekanisme dan tata cara penyelesaian pengaduan dan sengketa lingkungan hidup yang mempersyaratkan bahwa pejabat yang melakukan pengawasan terhadap ketaatan setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup adalah pejabat PPLH. Namun hingga saat ini, di Provinsi Sulawesi Barat belum ada pejabat PPLH yang telah ditetapkan oleh Gubernur walaupun sudah ada beberapa orang yang telah mengikuti diklat. Untuk mengantisipasi kekosongan dalam melakukan pengawasan dan penanganan pengaduan lingkungan hidup, mengacu pada Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009 pada pasal 71 ayat (2); dalam hal melakukan pengawasan, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota dapat melimpahkan kewenangannya kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perindungan dan atau pengelolaan lingkungan hidup. Upaya Pengelolaan Lingkungan U-7 Berikut beberapa pengaduan masyarakat yang dapat dihimpun sepanjang tahun 2015 dan sebagian besar telah diselesaikan secara musyawarah dan mufakat. Tabel 4.5 : Status Pengaduan Masyarakat No. Masalah Yang Diadukan Status 1 Pengambilan Sirtu di Gentungan, Kabupaten Mamuju 2 3 4 5 6 9 Penambangan Pasir di Dusun Martajaya, Kabupaten Mamuju Utara Pemotongan Hewan di Pasangkayu, Mamuju Utara Pengerukan Sungai di Desa Wulai, Mamuju Utara Pengerukan Tanah dan Pembuatan Jetty di Desa Doda, Mamuju Utara Pembuatan arang dari batok kelapa di Keluarahan Pasangkayu, Mamuju Utara Penambangan liar di Desa Randomayang, Mamuju Utara Penimbunan Saluran Air Pembuangan Drainase, samping hotel d'Maleo Mamuju Pembuangan tanah Urugan ke Sungai Mamasa 10 Kebakaran hutan dan lahan di Kecamatan Pangale, Mamuju Tengah 11 Kebakaran hutan dan lahan di Polewali Mandar 12 Pengambilan Pasir di Kecamatan Tikke, Mamuju Utara 13 14 Pembukaan Pertambangan Pasir di Kecamatan Tikke, Mamuju Utara Pengambilan Sirtu di Sungai Tinambung, Polewali Mandar 15 16 17 Pengambilan Sirtu di Sungai Adolang, Kabupaten Majene Penambangan Pasir di Desa Tubo, Kabupaten Majene Penambangan sirtu di Kecamatan Mambi, Kabupaten Mamasa 7 8 Sudah Diselesaikan dengan musyawarah Kegiatan dihentikan Kegiatan dihentikan Kegiatan dihentikan Kegiatan dihentikan Kegiatan dihentikan Kegiatan dihentikan Diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat Dibuatkan rekomendasi tindak lanjut Dibuatkan rekomendasi tindak lanjut Dibuatkan rekomendasi tindak lanjut Diselesaikan dengan musyawarah Dibuatkan rekomendasi Dibuatkan rekomendasi tindak lanjut Kegiatan Dihentikan Kegiatan dihentikan Disarankan untuk menjaga kualitas lingkungan Sumber : Tabel UP-5 Buku Data Jika ditinjau dari segi status pengaduan masyarakat, dari sebelas jenis kasus yang diadukan oleh masyarakat di masing-masing Kabupaten, semuanya dapat dinyatakan selesai. Sebagaiman tahun-tahun sebelumnya, dari 17 kasus yang diterima sepanjang tahun 2015, kasus yang paling banyak menyita perhatian publik adalah pengambilan sirtu di sungai-sungai untuk pembangunan infrastruktur yang kurang memperhatikan kondisi lingkungan setempat. Dalam rangka mengoptimalisasikan pelaksanaan pengeloaan Pos Pelayanan Pengaduan dan Penyelesaian Lingkungan Hidup, maka diperlukan sarana dan prasarana yang memadai serta peningkatan sumber daya manusia dalam pengelolaan lingkungan hidup. Di lain pihak, partisipasi masyarakat, LSM dan stakeholders lainnya sangat dibutuhkan dalam mendukung terciptanya lingkungan Upaya Pengelolaan Lingkungan U-8 hidup yang nyaman produktif dan berkelanjutan untuk masa depan generasi mendatang. IV-D. PERAN SERTA MASYARAKAT Dalam meningkatkan perlindungan dan pegelolaan lingkungan hidup, diperlukan partisipasi dari semua pihak khusunya peran serta masyarakat dalam mendukung program pemerindah dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan hidup. Dengan diterapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, maka permasalahan lingkungan hidup di daerah sebahagian besar menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemerintah dalam menjalankan pembangunan harus membangun kerjasama yang sinergi dengan pihak swasta, dan masyarakat. Tanpa dukungan dan partisipasi dari pihak luar, maka program pemeritah tidak akan bias berjalan dengan baik. Jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lingkungan Hidup Tabel 4.6 : Lembaga Swadaya Masyarakat Lingkungan Hidup No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Nama LSM Forum Daerah Aliran Sungai Forum Kajian Lingkungan Hidup Manakarra (FKLM) GEMPAR Green World Hijau Hitam Institute Kelompok Kerja Peduli Lingkungan (KKLPH) Lembaga Indonesia Bangkit (Gesit) Lembaga Pemerhati Sosial Masyarakat dan LH (LPSM-LH) Lembaga Rakyat Pro Demokrasi (LR Prodem) Lingkar Study Demokrasi (LSD) LSM Pedul Lingkungan dan Kelautan (LSMPLK) LSM Pemerdayaan Sosial dan Lingkungan Hidup LSM Pesisir LSM Bumi Hijau Masyarakat Peduli Lingkungan Hidup serta Pengelolaan dan Pengembangan Pertanian (MPL-P3) Walhi Sulbar Yanmarindo Yayasan Gunung Sahara Yayasan Pemerhati Pembangunan Indonesia Yayasan Salili Mandar YPMMD Sumber : Tabel UP-6 Buku Data Alamat Jl. Abd. Syakur Mamuju Jl. Andi Maksum Dai No. 30 Mamuju Mamuju Jl. Pendidikan, Tatoa-Mamasa Desa Kabiraan, Kecamatan Ulumanda Kabupaten Majene Jl. Ahmad Yani No. 66 Majene Jl. Dr. Ratulangi No. 98 Mamuju Jl. Abd. Waris dg Tompo No. 12 Majene Jl. Emmy Saelan Mamuju Jl. Emmy Saelan Mamuju Komp. BTN Pelopor Leppe Indah Blok M8 No. 6 Majene Jl. Nelayan No. 110 Mamuju BTN Graha Pelabuhan Mamuju Jl. Maccerinnae Mamuju Jl. Yonggang Majene Jl. WR Monginsidi No. 32 Majene Jl. Abd. Waris dg Tompo No. 5 Majene Jl. Abd. Syukur Rahim Majene Jl. Syamsuddin No. 6 Majene Jl. Jend. Sudirman Majene Desa Puttada, Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene Upaya Pengelolaan Lingkungan U-9 Untuk mendukung program pemerintah dalam perbaikan kualitas lingkungan, salah satu unsur yang mempunyai peranan penting dalam pengelolaannya adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Untuk Provinsi Sulawesi Barat, Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup masih sangat terbatas. Berdasarkan data yang dihimpun dari masing-masing Kabupaten, LSM Lingkungan hidup di Kabupaten Mamuju Utara sebagai Kabupaten yang memiliki perusahaan yang cukup besar dari sektor perkebunan dan industri pengolahan kelapa sawit, belum memiliki LSM lingkungan hidup. Untuk Kabupaten Mamasa, terdata hanya satu LSM Lingkungan Hidup. Penerima Penghargaan Lingkungan Hidup Sebagai wujud apresiasi pemerintah kepada orang atau kelompok yang telah berjasa di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Maka pemerintah berkewajiban memberikan penghargaan sesuai dengan jasa-jasa yang telah disumbangkan terhadap perbaikan kualitas lingkungan hidup. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat memberikan penghargaan kepada mereka yang telah berjasa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang secara seremonial diserahkan dalam rangka memperingati hari lingkungan hidup seduani di tingkat Provinsi Sulawesi Barat. Selai itu, kepada mereka yang dinyatakan layak untuk diajukan ke tingkat Nasional, juga diajukan untuk dapat memperoleh penghargaan lingkungan hidup. Kegiatan ini dimaksudkan bukan sekedar memberikan apresiasi, akan tetapi untuk mendorong masyarakat lain baik secara individu maupun kelompok untuk terlibat aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. Berikut beberapa penerima penghargaan lingkungan hidup tahun 2015 baik di tingkat provinsi maupun nasional. Tabel 4.7 : Penerima Penghargaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat No. Nama Orang /Kelompok/Organisasi Nama Penghargaan Pemberi Penghargaan Tahun Penghargaan 1 PT. Pasangkayu Peringkat Proper Hijau Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI 2015 2 PT. Letawa Peringkat Proper Hijau Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI 2015 3 PT. Unggul Agribaras Peringkat Proper Biru Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI 2015 Upaya Pengelolaan Lingkungan U - 10 No. Nama Orang /Kelompok/Organisasi Nama Penghargaan Pemberi Penghargaan Tahun Penghargaan 4 PT. Unggul WTL Peringkat Proper Biru Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI 2015 5 PT. Surya Raya Lestari Peringkat Proper Hijau Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI 2015 6 PT. Surya Raya Lestari II Peringkat Proper Biru Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI 2015 7 PT. Manakarra Unggul Lestari Peringkat Proper Biru Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI 2015 8 SMP PT. Pasangkayu Adiwiyata Nasional Menteri LHK dan Mendiknas 2015 9 SD Negeri 01 Pasangkayu Adiwiyata Nasional Menteri LHK dan Mendiknas 2015 10 SD Negeri 029 Inpres Sumberjo Adiwiyata Nasional Menteri LHK dan Mendiknas 2015 11 Pemerintah Kabupaten Majene Penyusun SLHD Terbaik Pertama Gubernur Sulawesi Barat 2015 12 Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar Penyusun SLHD Terbaik Kedua Gubernur Sulawesi Barat 2015 13 Pemerintah Kabupaten Mamuju Penyusun SLHD Terbaik Ketiga Gubernur Sulawesi Barat 2015 14 SMP PT. Pasangkayu Sekolah Adiwiyata Provinsi Gubernur Sulawesi Barat 2015 15 SMA Neg. 1 Sendana Sekolah Adiwiyata Provinsi Gubernur Sulawesi Barat 2015 16 SD Negeri 02 Kampung Baru Sekolah Adiwiyata Provinsi Gubernur Sulawesi Barat 2015 17 SMKN 3 Majene Sekolah Adiwiyata Provinsi Gubernur Sulawesi Barat 2015 18 SD Negeri 029 Inpres Sumberjo Sekolah Adiwiyata Provinsi Gubernur Sulawesi Barat 2015 19 SMA Negeri 3 Polewali Sekolah Adiwiyata Provinsi Gubernur Sulawesi Barat 2015 20 SMP Negeri 3 Polewali Sekolah Adiwiyata Provinsi Gubernur Sulawesi Barat 2015 21 MAN Polman Sekolah Adiwiyata Provinsi Gubernur Sulawesi Barat 2015 22 SD Negeri 066 Pekkabata Sekolah Adiwiyata Provinsi Gubernur Sulawesi Barat 2015 23 SMA Negeri 1 Polewali Sekolah Adiwiyata Provinsi Gubernur Sulawesi Barat 2015 Sumber : Tabel UP-7 Buku Data Kegiatan Sosialisasi Lingkungan Hidup Dalam mendorong partisipasi masyarakat serta meningkatkan kemampuan aparatur dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, maka diperlukan penyuluhan dan sosialiasi kepada masyarakat serta pelatihanpelatihan kepada aparatur pengelola lingkungan. Dalam tahun 2015, pemerintah Upaya Pengelolaan Lingkungan U - 11 Provinsi Sulawesi Barat melalui Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat dan beberapa Instansi Terkait Lingkungan Hidup telah melakukan berbagai kegiatan sosialisasi baik kepada masyarakat maupun terhadap aparat pemerintah sebagai pengambil kebijakan mengenai pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Berikut beberapa kegiatan sosialiasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dalam tahun anggaran 2015 baik yang bersumber dari Anggaran Belanja Daerah maupun melalui dana Dekonsetrasi. Tabel 4.8 : Pelaksanaan Sosialisasi Tahun Anggaran 2015 Nama Kegiatan 1 Sosialisasi dan pembinaan Lisensi Komisi Penilai Amdal di Kabupaten Polewali Mandar Sosialisasi dan pembinaan Lisensi Komisi Penilai Amdal di Kabupaten Majene Pelatihan Fasilitator STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) Pelatihan Pengawasan Kualitas Air BLH Provinsi Anggota Komisi Penilai Amdal, Tim Teknis Komisi Penilai Amdal dan Sekretariat Komisi Penilai Amdal Kabupaten Polewali Mandar BLH Provinsi April 2015 Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Barat Anggota Komisi Penilai Amdal, Tim Teknis Komisi Penilai Amdal dan Sekretariat Komisi Penilai Amdal Kabupaten Polewali Mandar Dinas Kesehatan Kabupaten dan Puskesmas di 6 kabupaten Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Barat Dinas Kesehatan Kabupaten dan Puskesmas Juni 2015 5 Sosialisasi Proper Bid. Pengendalian Pencemaran dan Pengelolaan Limbah BLH Prov. Sulbar Perusahaan dan Rumah Sakit Juli 2015 6 Sosialisasi Pembinaan Petani pemakai Air Sosialisasi / Bimtek Pengelolaan B3 dan LB3 Disbun Provinsi Poktan Kakao di Desa Ako kec. Pasangkayu Kab. Mamuju Utara Hotel, Rumah Sakit/ Puskesmas, Bengkel, Instansi Terkait, Perusahaan/Wiraswasta Agustus 2015 Sosialisasi Rendah Emisi Karbon Advokasi dan Sosialisasi Pasar Sehat Disbun Provinsi Poktan Kakao di Desa Bebanga Kec. Kalukku Kab. Mamuju Lintas Sektor (Kelautan & Perikanan, Perdagangan, Perindustrian & Koperasi, Bappeda, PMD) Nopember 2015 2 3 4 7 8 9 Instansi Penyelenggara Bid. Pengendalian Pencemaran dan Pengelolaan Limbah BLH Prov. Sulbar Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Barat Kelompok Sasaran Waktu Penyuluhan (Bulan/tahun) April 2015 No. April 2015 November 2015 Nopember 2015 Upaya Pengelolaan Lingkungan U - 12 Waktu Penyuluhan (Bulan/tahun) Desember 2015 No. Nama Kegiatan Instansi Penyelenggara Kelompok Sasaran 10 Orientasi Pengelolaan Limbah Medis di Fasiltas Pelayanan Kesehatan Pelatihan Penyusunan Rencana Kerja Pengamanan Air Minum (RK-PAM) Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Barat Pengelola Program Kesling Dinkes Kab, RSUD Kabupaten dan Propinsi, BLH Kabupaten dan Propinsi Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Barat Dinas Kesehatan Kabupaten Desember 2015 Evaluasi Hygiene Dinas Kesehatan Propinsi Sanitasi Pangan Sulawesi Barat Sumber : Tabel UP-8 Buku Data Dinas Kesehatan Kabupaten dan Puskesmas Desember 2015 11 12 IV-E. KELEMBAGAAN Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, maka pemerintah daerah diberikan kewenangan dalam mengatur dan mengelola daerah masing-masing. Agar pelaksanaan pembangunan daerah dapat berjalan optimal, maka diperlukan penguatan kelembagaan baik dari segi kapasitas maupun dari segi sumber daya manusia yang mengelolanya. Produk hukum bidang pengelolaan lingkungan hidup. Provinsi Sulawesi Barat yang terbentuk sejak Tahun 2004 berdasarkan UndangUndang Nomor 26 Tahun 2004 telah menetapkan berbagai kebijakan daerah untuk meberikan proteksi terhadap kegiatan pembangunan. Salah satunya adalah di bidang lingkungan hidup. Berdasarkan amanah yang tercantum dalam undangundang bahwa setiap daerah berhak untuk mengatur daerah masing-masing melalui peraturan-peraturan daerah yang lebih spesifik menurut keadaan daerah masing masing. Di bidang lingkungan hidup, Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat telah menetapkan berbagai peraturan daerah terkait kebijakan pembangunan yang mengarah terhadap pengelolaan linkgungan. Salah satunya adalah Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebagai tindak lanjut dari penyusunan Peraturan Daerah tersebut, maka sesuai dengan ketentuan, maka pemerintah wajib segera menyusun peraturan pelaksanaannya. Untuk itu, pada tahun 2015 ini, Pemerintah Provinsi melalui Badan Lingkungan Hidup menetapkan dua Peraturan Gubernur. Upaya Pengelolaan Lingkungan U - 13 Berikut daftar produk hukum yang telah ditetapkan dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup di Provinsi Sulawesi Barat : Tabel 4.9 : Produk Hukum Bidang Lingkungan Hidup No. Jenis Produk Hukum Peraturan Gubernur Peraturan Gubernur Keputusan Gubernur Nomor Tahun Tentang 25 Tahun 2015 2015 34 Tahun 2015 2015 Jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Dokumen UKL/UPL Baku Mutu Air 98/HK.SB/30/II/2015 2015 Pelimpahan sebagian kewenangan pengenaan sanksi administratif terhadap pelanggaran izin lingkungan kepada Kepala BLH Provinsi Sulawesi Barat Keputusan Gubernur Keputusan Gubernur 101/HK.SB/30/III/2015 2015 285/HK.SB/30/III/2015 2015 6 Keputusan Gubernur 478/HK.SB/30/V/2015 2015 7 Keputusan Gubernur 188.4/580/Sulbar/VIII/2015 2015 Pembentukan Tim Pembina dan Penilai Adiwiyata Provinsi Sulawesi Barat Pembentukan tim penyusun rancangan pergub tentang jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan dokumen UKL/UPL Izin lingkungan rencana kegiatan pembangunan gardu T/L 150 KV Mamuju dan gardu induk terkait oleh PT. PLN IUP XIII Pembentukan tim penilai profil pengelolaan tutupan vegetasi kabupaten danlam rangka program MIH Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2015 8 Keputusan Gubernur 188.4/629/Sulbar/IX/2015 2015 1 2 3 4 5 Pembentukan Tim Penyusun Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2015 Sumber : Tabel UP-12 Buku Data Anggaran Pengelolaan Lingkungan Hidup Untuk mendukung pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, maka dibutuhkan dukungan dana yang memadai untuk memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan anggaran yang cukup untuk pengelolaan lingkungan hidup. Anggaran pengelolaan lingkungan hidup bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dan Anggaran Pendapatan Belanja Nasional pada Pos Anggaran Lingkungan Hidup yang diaokasikan untuk kegiatan Standar Pelayanan Minimal mendapatkan porsi yang cukup tinggi. Berdasarkan tabel diatas, maka dapat dilihat bahwa anggaran pengelolaan linkgungan hidup yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Upaya Pengelolaan Lingkungan U - 14 mengalami peningkatan yang cukup signifikan akan tetapi anggaran yang bersumber dari APBN untuk tahun 2015 ini mengalami penirunan yang sangat signifikan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut ini : Tabel 4.10 : Perbandingan Anggaran Lingkungan Hidup Tahun 2013 – 2015 No. Sumber Anggaran Jumlah Anggaran Tahun 2015 Tahun 2014 Tahun 2013 1 APBD 21079938500 7947000000 4210406350 2 APBN 1300000000 2414050000 4500000000 3 Bantuan Luar Negeri*) N/A N/A N/A 22379938500 10361050000 8710406350 Total Sumber : tabel UP-10A Buku Data Berdasarkan tabel tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa anggaran di bidang pengelolaan lingkungan hidup dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, khususnya pada alokasi anggaran yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi di tahun 2015 ini yakni hampir mencapai 150 persen. Namun demikian, pada anggaran yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja nasional mengalami penurunan lebih dari 100 persen. Berikut grafik perbandingan anggaran pengelolaan di bidang lingkungan hidup dalam tiga tahun terakhir. Grafik 4.1 : Perbandingan anggaran pengelolaan lingkungan tahun 2013 – 2015 Sumber : Olah Data Tabel UP-10 Buku Data Upaya Pengelolaan Lingkungan U - 15 Sebagai wujud dari bentuk pelayanan keada masyarakat, pelaksanaan kinerja pemerintahan dapat diukur dari standar pelayanan minimal yang dilakukan dalam setiap kegiatan. Sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan, maka dalam bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, terdapat empat komponen yang harus dilaksanakan sebagai wujud dari standar pelayanan minimal bidang lingkungan hidup antara lain : Kualitas Air, Kualitas Udara, Tutupan Lahan dan Penegakan Hukum Lingkungan. Untuk anggaran Lingkungan Hidup tahun 2015 yang dialokasikan untuk kegiatan Standar Pelayanan Minimal dapat dijabarkan melalui tabel berikut : Tabel 4.11 : Anggaran Lingkungan Hidup untuk kegiatan SPM No. 1 2 3 Sumber Anggaran Peruntukan Anggaran Jumlah Anggaran Sebelumnya Julah Anggaran Tahun Berjalan APBD Pemantauan Kualitas Air Sungai 43000000 41230000 APBD Pemantauan Kualitas Udara 90000000 90320000 APBD Pengelolaan Pos P3SLH 104710000 64900000 APBD SPM Bidang Lingkungan Hidup 140678000 N/A APBN Pemantauan Kualitas Air Sungai 290979000 310800000 APBN Pemantauan Kualitas Udara 461952000 411945000 Bantuan Luar Negeri N/A N/A N/A Sumber : Tabel UP-10 Buku Data Jumlah Personil Lembaga Pengelola Lingkungan Hidup menurut Tingkat Pendidikan Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan di bidang lingkungan hiudp, maka diperlukan tenaga yang memadai. Hingga saat ini, jumlah personil institusi lingkungan hidup belum memadai. Untuk memenhi standar pelayanan sebagaimana diatur dalam proporsional jumlah pegawai negeri sipil pada setiap instansi bahwa setiap seksi membawahi 3 orang staf, maka jumlah personil Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat seharusnya berjumlah minimal 50 orang, namun hingga tahun 2015 jumlah personil Badan lingkungan hidup baru mencapai 45 orang. Jika ditinjau dari segi kualitas pendidikan, aparatur pengeelola lingkungan hidup di Provinsi Sulawesi Barat, sebanyak 62,22 persen berpendidikan S1, 17,78 persen berpendidikan SLTA dan sederajat, 13,33 persen berpendidikan S2 dan 6,67 Upaya Pengelolaan Lingkungan U - 16 persen berpendidikan diploma, sedangkan untuk pendidikan S3 untuk jumlah seluruh pegawai aparatur di Provinsi Sulawesi Barat masih sangat terbatas. Berikut komposisi personil institusi pengelola lingkungan hidup di Sulawesi Barat hingga akhir tahun 2015. Grafik 4.2 : Jumlah Personil Institusi Lingkungan Hidup Sumber : BLH Prov. Sulbar Jumlah staf Fungsional Bidang Lingkungan Hidup dan staf yang telah mengikuti diklat. Berdasarkan struktur organisasi Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat, sampai saat ini belum ada staf Lingkungan Hidup yang menduduki jabatan fungsional. Hal ini disebabkan karena belum adanya panduan untuk penetapan staf fungsional di bidang lingkungan hidup. Untuk PPNS dan PPLH dari jumlah staf yang ada, beberapa diantaranya sudah mengikuti beberapa pendidikan dan pelatihan, khusunya PPLH namun belum secara resmi dilantik menjadi pejabat PPLH. Dari data yang terhimpun, sudah ada 9 Staf yang telah mengikuti diklat PPLH dan PPNS namun belum ada yang ditetapkan sebagai pejabat fungsional. Upaya Pengelolaan Lingkungan U - 17 Daftar Pustaka Kementerian Lingkungan Hidup. (2013). Panduan Penyusunan Status Lingkungan Hidup Daerah 2013-2015. Jakarta: Sekretariat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Daniel C. Esty, C. K. (2008). Environmental Performance Index. New Haven: Yale Center for Environmental Law and Policy. VCU Center for Environmental Studies. (2000, December 6). Virginia Environmental Quality Index. Dipetik March 10, 2009, dari Virginia Commonwealth University: http://www.veqi.vcu.edu/index.htm Supriharyono. (2007). Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Penerbit Pustaka Pelajar Jakarta. Gupta, T.R. & Foster, J.H. (1975). Economic Criteria for Freshwater Wetland Policy in Massachusetts. American Journal of Agricultural Economics. Dahuri, dkk. (2001). Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta. Gufron & Kordi, (2011). Ekosistem Padang Lamun, Fungsi Potensi dan Pengelolaan. Rineka Cipta, Jakarta. Himnasurai Untama, (2012). Pengelolaan Padang Lamun. Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (Himnasurai), Universitas Antakusuma Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Santoso Budi, (1999). Ilmu Lingkungan Industri, Universitas Guna Darma, Depok : https://agungborn91.wordpress.com/2010/11/05/dampakpertumbuhan-penduduk-terhadap-pendidikan-anak-anak/ Kementerian Lingkungan Hidup. (2009). Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup RI. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup. (1999). Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup. (2001). Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup. (2003). Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 Tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Bappeda Provinsi Sulawesi Barat. (2015). Perda Provinsi Sulawesi Barat Nomor 1 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Barat 2015-2034. Mamuju: Bidang Fisik dan Sarana Prasaranan Wilayah. BPS Provinsi Sulawesi Barat. (2015). Sulawesi Barat Dalam Angka 2015. Mamuju : Sekretariat BPS Provinsi Sulawesi Barat. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. (1997). Keputusan Kepala Bapedal Nomor 107 Tahun 1997 Tentang Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara. Jakarta: Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat. (2012). Profil Kehati Provinsi Sulawesi Barat. Mamuju: Bidang Pengendalian Kerusakan dan Konservasi SDA Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat. (2015). Laporan Pelaksanaan Pos P3SLH Provinsi Sulawesi Barat. Mamuju: Bidang Penaatan dan Komunikasi Lingkungan. Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat. (2015). Laporan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat. Mamuju: Bidang Penaatan dan Komunikasi Lingkungan. Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat. (2015). Laporan Koordinasi Pengawasan Lingkungan dan Pengelolaan Pos P3SLH Provinsi Sulawesi Barat. Mamuju: Bidang Penaatan dan Komunikasi Lingkungan. Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat. (2015). Laporan Pemantauan Kualitas Air Sungai. Mamuju: Bidang Pengendalian Pencemaran dan Pengelolaan Limbah Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat. (2015). Laporan Pemantauan Kualitas Udara Perkotaan. Mamuju: Bidang Pengendalian Pencemaran dan Pengelolaan Limbah BIDANG PENAATAN DAN KOMUNIKASI LINGKUNGAN BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI SULAWESI BARAT TAHUN 2015