PERKAWINAN BEDA AGAMA BIMBINGAN BAGI ORANGTUA Oleh Erna – Sandy Komisi Keluarga, Keuskupan Denpasar PENGANTAR Orangtua adalah pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak. Sebagai pelengkap, Sekolah mendidik dengan ilmu pengetahuan, Gereja mendidik ajaran iman dan moral, serta masyarakat mendidik dengan pengalaman hidup sosial. Tanggung-jawab orangtua baru dapat dikatakan selesai, atau setidaknya akan berkurang, ketika anak-anak sudah tumbuh menjadi dewasa dan sudah membentuk keluarga sendiri. Peran pendampingan orangtua dalam mengantar anak menuju perkawinannya merupakan hal penting dan bukan merupakan hal yang mudah. Kesalahan pendampingan bisa menyebabkan perkawinan menjadi “neraka” bagi anak, terutama jika terlalu banyak campurtangan orangtua dalam menentukan perkawinan itu sendiri. Salah satu faktor penting dalam pendampingan adalah pencegahan anak terjebak dalam perkawinan beda agama. Bagi orangtua yang memiliki toleransi tinggi, didasari oleh iman Katolik yang memberikan penghargaan terhadap iman orang lain, bukan hal yang sulit bagi mereka untuk mengatakan bahwa “semua agama pada hakekatnya sama” karena memang fakta mengatakan “Bhineka Tunggal Ika” adalah falsafah bangsa dan populasi Katolik memang rendah. Tetapi apakah itu berarti perkawinan beda agama bukan merupakan masalah yang krusial, yang tidak perlu dihindari? Marilah kita luangkan waktu untuk mengkaji lebih dalam mengenai perkawinan beda agama ini, dengan tujuan agar diperoleh pemahaman tentang berbagai konsekuensi sebagai dampak dari perkawinan beda agama itu sendiri, pemahaman tentang bagaimana pendampingan itu sebaiknya dilakukan, serta pemahaman tentang bagaimana menangani permasalahan jika perkawinan beda agama itu sudah tidak bisa lagi dihindari. Semoga pembahasan kita ini dapat menghasilkan banyak manfaat bagi kita selaku orangtua, sehingga kita dapat memberikan yang terbaik bagi anak-anak kita. Amin. Perkawinan Beda Agama – Orangtua Pasangan itu memang berbeda Tuhan menciptakan manusia sesuai dengan gambaran dan kehendak-Nya, yaitu manusia yang diselimuti dengan pelbagai perbedaan satu sama lainnya, untuk kemudian saling berpasangan agar yang satu dengan lainnya bisa saling melengkapi dan saling menutupi kekurangan akibat dari perbedaan-perbedaan tersebut. Tidak ada satupun perkawinan yang tidak disertai perbedaan, karena dengan perkawinan itulah dua insan yang berbeda dipertemukan sebagai pasangan suami istri (pasutri). Dipersatukan oleh Allah tidak serta-merta berarti “disamakan atau dijadikan sama/serupa”, melainkan “dipasangkan” menjadi satu pasang. Untuk bisa menjadi sepasang, keduanya mesti berbeda, se umpama se pasang sepatu, ada yang kiri dan ada yang kanan, tidaklah bisa kedua-duanya kiri atau kedua-duanya kanan. Untuk bisa dikatakan sepatu, keduanya mesti ada secara berpasangan. Mari kita lihat perbedaan-perbedaan yang seringkali kita jumpai hampir di setiap pasutri: 1. Perbedaan Pribadi a. Sifat Perkawinan adalah heteroseksual, yakni antara laki-laki dan perempuan, bukan laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. b. Perbedaan karakter, watak, dan sifat-sifat seringkali menjadi pemicu perselisihan di dalam keluarga. Ini terjadi karena kurangnya pemahaman bahwa perbedaan tersebut justru memperkaya relasi dengan pasangan. Coba kita bayangkan apa yang terjadi jika keduanya sama-sama berwatak keras/ngotot atau keduanya sama-sama suka mengalah/lembek? c. Perbedaan Hobby dan selera seringkali juga tidak dilandasi pemahaman yang baik. Pertengkaran terjadi karena yang satu suka menonton film action sementara yang lainnya suka drama percintaan. Yang satu suka makanan pedas sementara pasangannya tidak berani pedas, dan seterusnya. 2. Perbedaan Latar Belakang a. Pendidikan Banyak orangtua menginginkan anaknya menikah dengan pasangan yang setara dalam pendidikannya, misalnya sama-sama sarjana tanpa disadari bahwa sarjana teknik tentu berbeda dengan sarjana sastra misalnya. Apa yang terjadi jika suami-istri memiliki profesi yang sama, misalnya samasama menjadi dokter? Apakah mereka akan lebih harmonis dibandingkan pasangan yang tidak se-profesi? b. Keluarga Lain lubuk lain ikannya. Adanya perbedaan latar belakang keluarga, jika memperoleh pemahaman yang memadai, justru bisa menjadi pemicu terwujudnya toleransi di antara relasi-relasi yang ada. Apakah yang terjadi jika orangtua dan mertua kita memiliki profesi yang sama, katakanlah sama-sama penjual bakso? c. Lingkungan Perbedaan juga terjadi akibat pengaruh lingkungan dimana ia dibesarkan. Apa yang terjadi jika ia dibesarkan di pedesaan sementara pasangannya dibesarkan di kota besar? Hal. 2/9 Perkawinan Beda Agama – Orangtua 3. Perbedaan Suku, Bangsa, dan dan Budaya Ini merupakan perbedaan yang melibatkan orang lain dalam lingkup yang lebih luas lagi. Sebagai anggota dari suatu suku atau bangsa, banyak tradisi dan kepercayaan yang diwariskan turun-temurun 4. Perbedaan Agama Berbeda agama dengan pasangan hidup menimbulkan pel-bagai konsekuensi yang harus dipikul oleh kedua pasangan suami istri. Pada makalah ini, kita hanya akan membahas perbedaan agama ini saja, dengan asumsi bahwa perbedaan pribadi, latar belakang, dan suku/bangsa/budaya dapat ditelaah sendiri atau dibahas pada kesempatan lain. Konsekuensi Perkawinan Beda Agama Marilah kita lihat kembali konsekuensi-konsekuensi apa saja yang merupakan resiko bagi anak-anak kita jika mereka memutuskan untuk melangsungkan perkawinan beda agama, yaitu anak kita yang Katolik memilih pasangan hidupnya yang beragama non-Katolik. Kawin Campur dibedakan atas dua pengertian, yaitu: Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan Beda Gereja. Perkawinan Beda Agama (Disparitas Cultus) adalah perkawinan pasangan Katolik dengan pasangan yang beragama Non-Baptis (Islam, Hindu, Budha), sedangkan yang dimaksud dengan Perkawinan Beda Gereja (Mixta Religiosa) adalah perkawinan pasangan Katolik dengan Kristen yang Baptisnya diakui oleh Gereja. Dalam konteks bahasan pada makalah ini, keduanya tidak dibedakan dan disebut sebagai Perkawinan Beda Agama saja. Jika keadaannya sudah tidak memungkinkan lagi untuk dicegah, dimana kedua calon mempelai (dan pihak keluarga) bersikukuh mempertahankan agamanya masing-masing, maka perkawinan tetap dapat dilangsungkan dengan berbagai macam konsekuensi yang mesti dipikul oleh kedua mempelai dan pihak keluarganya masing-masing, yaitu konsekuensi yang berpeluang besar terjadinya kegagalan pencapaian keluarga yang bahagia. Apa saja resiko-resiko yang mesti dihadapi oleh pasangan perkawinan Beda Agama? 1. Perkawinan Sebagai Sakramen Melalui Sakramen Perkawinan, Allah mempersatukan dua manusia menjadi pasangan suami-istri, yaitu dengan menghadirkan Rahmat Allah bagi suami-istri dan anak-anaknya, sebagai wujud Kasih Allah kepada manusia, agar mereka saling menguduskan satu sama lain, saling membimbing, dan saling mewartakan keselamatan dengan kesaksian hidup yang penuh kasih1. Meskipun dapat dilangsungkan dengan dispensasi dan dilaksanakan dengan tata cara pernikahan secara Katolik, perkawinan Beda Agama bukan sakramen, karena mempelai yang non-Baptis belum menerima Sakramen Baptis sehingga ia belum bisa menerima sakramen manapun termasuk Sakramen Perkawinan2. Perkawinan Beda Agama telah menghilangkan kesempatan kita untuk menerima Sakramen Perkawinan. 1 2 “Religiositas Agama & Gereja Katolik”, Jacobus Tarigan, Pr. Penerbit PT Grasindo, Tahun 2007. “Surat untuk Suami Istri Katolik”, AL. Purwa Hadiwardoyo, MSF. Penerbit Kanisius, Tahun 2002. Hal. 3/9 Perkawinan Beda Agama – Orangtua 2. Perkawinan Monogamy yang Tak Terceraikan Perkawinan secara Katolik adalah perkawinan yang monogamy, artinya satu suami satu istri. Tak terceraikan karena suami-istri dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia3. Betapa indahnya perkawinan secara Katolik ini: Tidak boleh punya istri lebih dari satu dan tidak boleh cerai. Perkawinan Beda Agama belum tentu menjamin kedua hal dasar ini. Wanita Katolik berpeluang untuk berbagi suami dengan wanita lain alias dimadu oleh suaminya yang non-katolik. Wanita Katolik juga berpeluang menjadi janda karena diceraikan oleh suaminya dan tidak punya kesempatan untuk kawin lagi sampai suaminya itu meninggal, sementara sang suami (bisa jadi) menikah lagi dengan wanita lain. Begitu pula Suami Katolik (bisa saja) mesti menghadapi gugatan cerai dari istrinya yang bukan Katolik. Jadi, perkawinan secara Katolik (dengan sakramen) adalah perkawinan yang ideal karena dapat menangkal monogamy dan perceraian. 3. Resiko dikucilkan dari Keluarga Keluarga dan sangsi Adat Sebagian besar orangtua tidak menghendaki memiliki menantu yang berbeda agama. Reaksi yang berlebihan bisa terjadi, seperti: tidak lagi mau mengakui anaknya. Resiko minimal yang terjadi adalah anak menjadi “orang asing” di lingkungan mertuanya maupun di lingkungan keluarganya sendiri. Di beberapa kasus adat, Perkawinan Beda Agama berpengaruh terhadap hak dan sangsi adat, seperti hak waris, penghapusan garis keturunan, dsb. 4. Tak pernah bersatu dalam Iman Karena berbeda agama, suami dan istri menjalankan sendiri-sendiri kegiatan keagamaannya. Sebagai bentuk toleransi, ia bisa saja mendampingi pasangannya ketika melaksanakan kegiatan keagamaannya, dan itu artinya masing-masing mesti menyediakan waktu lebih untuk mengikuti kegiatan di 2 agama yang berbeda. Bagaimana jika kegiatan keagamaan keduanya berlangsung pada waktu yang bersamaan, siapa yang mengalah, ataukah jalan sendiri-sendiri? Perbedaan ajaran kedua agama tersebut juga akan menjadi perbedaan kedua pasangan suami-istri itu sendiri. Apakah keadaan seperti ini masih memungkinkan terwujudnya keluarga bahagia dalam pengertian yang sesungguhnya? 5. Masalah Pendidikan Iman bagi anakanak-anak Umumnya Si Ayah ingin agar anak-anaknya dididik berdasarkan agama yang dianutnya, tetapi Ibu yang memiliki relasi paling dekat dengan anak-anak akan menularkan sifat-sifat spiritualnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai akibatnya, Si Ibu akan dituduh telah mengajarkan agamanya secara diam-diam, tidak sesuai kesepakatan. Lebih celaka lagi kalau kedua orangtuanya sepakat untuk tidak mengajarkan agamanya masing-masing dan membiarkan anak-anak tumbuh sampai pada saatnya nanti keputusan diserahkan kepada anaknya masing-masing. Ini berarti anak-anak tidak mendapatkan pendidikan iman sama sekali4. Lihat lebih jauh Injil Markus 10:6-12. Disarikan dari kata pengantar “Pendidikan Iman Anak dalam Keluarga Kawin Campur Beda Agama”, BR. Agung Prihartana, MSF, Penerbit Kanisius, 2008. 3 4 Hal. 4/9 Perkawinan Beda Agama – Orangtua Begitu juga halnya jika terjadi kedua orangtuanya saling berlomba-lomba mengajarkan agamanya masing-masing kepada anak-anak mereka, yang pada akhirnya membuat anak menjadi kebingungan, mana yang mesti ia dengarkan: Ayah atau Ibunya? Di beberapa kasus, anak juga bisa memanfaatkan situasi ini, dengan “bermain condong kiri condong kanan”. Selagi ingin “ngerjain” Ayahnya, ia berpura-pura lebih sreg kalau mengikuti agama Ibunya, dan tentunya ini akan membuat Ayahnya menjadi uring-uringan. Setidaknya, anak-anak akan dihadapkan pada pertanyaan: mengapa mesti mereka yang menanggung akibatnya padahal yang berbeda agama itu orangtuanya? 6. Ketika kematian memisahkan Pada saatnya nanti kedua pasangan meninggal dunia, bisa jadi mereka akan dikuburkan di tempat yang terpisah dan dengan tata cara pemakaman yang berbeda pula. Seringkali terjadi ketika salah satu pasangan suami-istri meninggal dunia, keluarga orangtua dan keluarga mertua saling ngotot dalam menentukan tata cara pemakaman yang digunakan, atau bahkan hal yang sebaliknya bisa terjadi, kedua keluarga sama-sama menolak untuk mengurusi pemakaman anaknya itu. 7. Dispensasi Perkawinan Beda Agama Menurut Kitab Hukum Kanonik (1983) Kan. 1086, Perkawinan Beda Agama adalah tidak sah, dan perlu mendapatkan dispensasi sebagaimana diatur pada Kan. 1124-11295, dengan alasan yang wajar dan masuk akal. Pihak Katolik mesti menyatakan janjinya (Kan. 1125 No. 1): “Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik.” Janji tersebut harus diberitahukan pada waktunya kepada pihak non-Katolik mengenai janji-janji yang dilakukan pihak Katolik, sedemikian rupa sehingga pihak non-Katolik menyadari benar-benar janji serta kewajiban pihak Katolik6. Meskipun dispensasi perkawinan beda agama bisa diperoleh, namun untuk mendapatkannya tidaklah mudah terutama dikarenakan syarat pemberitahuan kepada pihak non-Katolik yang seringkali sulit diterima oleh pihak non-Katolik tersebut. 8. Pernikahan Ganda Sebagian pernikahan beda agama dilangsungkan dengan pernikahan ganda atau menikah dua kali, yang satu mengikuti tata cara Katolik, lalu dilangsungkan juga menggunakan tata cara sesuai agama dari pasangannya. Tujuannya agar mendapatkan pengesahan dari kedua agama. Sebagai konsekuensinya, timbul kerepotan dan biaya tambahan. Tetapi yang terpenting untuk diketahui bahwa cara seperti ini dilarang7. 9. Berbenturan sebagai keseharian Dalam kehidupan sehari-hari, berbagai perbedaan dilematis muncul ke permukaan, misalkan soal penempatan simbul-simbul keagamaan, bisa jadi pemasangan Salib Yesus akan dipandang sebagai “penyembah berhala” oleh pasangannya. Contoh lain misalnya, Suami terpaksa berpisah dengan anjing peliharaannya karena istri dan keluarganya menganggap “dijilat anjing” sebagai hal yang najis. Belum lagi kita berbicara soal pantangan dan berpuasa. 5 6 7 Silahkan lihat lebih lanjut pada Kitab Hukum Kanonik (1983), Konferensi Waligereja Indonesia, Juni 2006. “Kawin Campur, Beda Agama dan Beda Gereja”, Dr. Piet Go, O.Carm & Suharto SH, Penerbit Dioma, 1987. Lihat Kitab Hukum Kanonik Kan. 1127 No. 3 tentang larangan perayaan keagamaan lain. Hal. 5/9 Perkawinan Beda Agama – Orangtua Mengingat begitu banyaknya konsekuensi yang ditimbulkan dari perkawinan beda agama ini, maka perkawinan seperti ini sebisanya dihindari. Salah satu jalan keluar yang favorit adalah dengan “Pindah Agama”, salah satu pasangan mengalah dan mengikuti agama yang dianut oleh pasangannya. Tidak jarang juga terjadi, pindah agama ini hanyalah formalitas saja karena yang bersangkutan tidak benar-benar mengganti imannya dengan iman yang baru, seperti yang dialami oleh Shelly, sejak menikah belasan tahun yang lalu ia meninggalkan Katolik untuk mengikuti agama yang dianut suaminya. Selama belasan tahun, dan masih harus mengalami puluhan tahun lagi, Shelly terus menerus dibayang-bayangi panggilan iman Katolik-nya. Bisa dibayangkan betapa rindunya ia mendambakan menyambut Komuni saat Misa. Ini terjadi karena Iman Katolik yang begitu melekat dihatinya, yang telah dibangun sejak kecil dan tidak begitu saja bisa hilang ketika pindah agama ia putuskan. Pendampingan Preventif sebagai upaya untuk mencegah Perkawinan Beda Agama Sebagai orangtua, marilah kita awali pemahaman pendampingan ini dengan menela’ah lebih jauh tentang karakteristik orangtua pada umumnya, yang bisa kita pisahkan atas 2 karakter utama, yaitu: 1. Orangtua Otoriter Orangtua tipe ini tidak mampu melihat anak-anaknya tumbuh menjadi dewasa. Mereka selalu menganggap bahwa anaknya masih kecil, belum mengerti apa-apa, dan belum berpengalaman. Mereka khawatir, atau bahkan secara berlebihan, anak-anaknya tidak akan bisa mencapai kebahagiaan tanpa campur tangan dari orangtuanya sehingga seringkali mereka lupa bahwa orangtua hanya pendamping, bukan pelaku. Mereka meminta anaknya untuk duduk manis di bangku penumpang, Ayahnya berperan sebagai supir dan Ibunya sebagai kondektur, lalu Sang Ayah berkata: “Mana ada sih orangtua yang membawa anaknya nyemplung ke dalam jurang? Percaya sajalah kepada Ayah.” Umumnya orangtua akan menetapkan berbagai disiplin yang mesti dipatuhi oleh anakanaknya, dibarengi dengan berbagai sangsi jika anaknya melanggar atau menentang. Namun seringkali terjadi, orangtua sendiri tidak konsisten atau bahkan tidak bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya. Dampak negatif yang terjadi pada anak terhadap perlakuan seperti ini, antara lain: a. Terganggunya, atau bahkan terputusnya, komunikasi di antara anak dan orangtuanya. Anak cenderung akan mencari “second-parent” di luar rumah. b. Anak mengalami luka batin yang mendalam, merasa tidak berguna, menjadi pasif, hopeless, terserah apa maunya orangtua-lah. Tidak sedikit di antaranya menyimpan dendam yang mendalam kepada orangtuanya. c. Anak memiliki kepribadian ganda. Di rumah ia nampak sebagai anak yang taat dan penurut (biasanya orangtua senang dengan sikap anak seperti ini), tetapi di luar rumah, anak bagaikan srigala yang lepas dari kandangnya. 2. Orangtua acuh-tak-acuh Ini bisa terjadi karena kesibukan orangtua, kurangnya tanggung-jawab moral dan iman sebagai orangtua, atau karena ketidak-tahuan tentang pendampingan anak. Hal. 6/9 Perkawinan Beda Agama – Orangtua Perhatian orangtua biasanya terbatas terhadap hal-hal sepele, seperti: apakah anakku sudah makan, sudah mandi, atau apakah anakku sehat, dan sebagainya. Terhadap pendidikan dan pengetahuan anak, orangtua tipe ini akan mengatakan: “Lho, itu kan tanggung-jawab sekolah! Saya sudah bayar mahal kepada sekolah lho.” Terhadap pergaulan anak, mereka bahkan tidak tahu banyak siapa-siapa saja teman bergaul anak-anaknya. Urusan pasangan hidup untuk Anak? “Wah, Tuhan telah menyiapkan jodoh bagi anakku yang pada saatnya nanti akan dibawa kepadaku.”, katanya enteng-enteng saja. Umumnya anak yang dididik dengan cara seperti ini cukup memiliki kemandirian, namun dari sisi negatifnya, ia akan mewarisi karakter orangtuanya, yaitu “cuek-bebek” atau acuhtak-acuh, cenderung apatis, atau bisa jadi ia tidak mampu menjadi suami atau istri yang ideal bagi pasangan hidupnya. Dalam kaitannya dengan pendampingan anak guna menghindari perkawinan beda agama, kedua karakter orangtua di atas jangan sekali-sekali kita terapkan. Berikut ini akan dibahas kiat-kiat untuk memperlebar peluang mendapatkan pasangan hidup yang se-iman bagi anak-anak kita: 1. Pendidikan Iman Katolik Ini adalah kewajiban yang mutlak dilaksanakan se dini mungkin. Iman yang kuat adalah benteng yang kokoh dalam menghadapi dilema perkawinan beda agama. Sebagai orangtua tentunya kita telah memahami bagaimana mengajarkan iman Katolik kepada anak-anak kita. Daftar berikut ini bisa digunakan untuk memberi penyegaran tentang hal ini: • Pembaptisan Katolik adalah mutlak bagi anak-anak kita, tetapi prosesi pembaptisan saja tidaklah cukup. Pembantisan bukan sekedar untuk mendapatkan surat baptis semata. Makna baptis seyogyanya senantiasa dijadikan bahan diskusi dan pembicaraan dari waktu ke waktu. • Komuni Pertama adalah peristiwa besar bagi anak, karena pada waktu itu, untuk pertama kalinya anak menerima Kristus sebagai sahabatnya dan untuk seterusnya akan bersahabat dengan-Nya. • Pernahkah Anda memaksa anak Anda ke Gereja untuk Misa hari Minggu, atau memaksa anak Anda untuk pengakuan dosa menjelang Paskah dan Natal, atau memaksanya untuk menjadi mesdinar, paduan suara, atau aktif di kegiatan mudika? Jika anak-anak kita melakukan hal-hal di atas semata-mata untuk menyenangkan orangtua atau karena takut kepada orangtuanya, maka hampir dipastikan anak itu akan mengalami masalah dengan iman Katoliknya. • Apakah Anda menanamkan fanatisme kepada anak-anak Anda, bahwa seolah-olah Katolik adalah yang paling benar, dan adalah hal yang tabu untuk mempelajari atau mengetahui agama atau kepercayaan lain? • Pernahkah Anda sadari bahwa ada kalanya, di saat-saat tertentu, anak kita sedang menolak Yesus atau bahkan tidak mempercayai-Nya, seperti yang dilakukan Petrus kepada Yesus? Bagaimana menyikapi hal ini? • Pernahkah Anda sadari ketika anak kita merasa sebagai “mahluk asing” di antara teman-teman pergaulannya karena ia berbeda agama dengan mereka? 2. Komunikasi OrangtuaOrangtua-Anak Hal ini juga mutlak dibangun oleh para orangtua. Ada saatnya orangtua memang berperan sebagai orangtua, tetapi seringkali juga orangtua mesti berperan sebagai teman atau sahabat bagi anak-anaknya. Hal. 7/9 Perkawinan Beda Agama – Orangtua Kesalahan yang kerap kali dilakukan oleh para orangtua adalah: berusaha sekuatnya agar kuantitas komunikasi dapat ditingkatkan setinggi-tingginya. Lalu apa hasilnya? Anakanak kita akan berkata kepada paman/bibi atau gurunya: “Orangtuaku itu cerewet banget!”. Yang terpenting adalah kualitas dari komunikasi itu, bukan kuantitas. • Apakah anak Anda menyampaikan kepada Anda tentang perasaan yang dialaminya ketika pertama kali ia jatuh cinta (monyet) kepada lawan jenisnya? • Beranikah anak Anda mengatakan “tidak” kepada Anda? Pernahkah ia melawan Anda? Apakah anak Anda memiliki kebebasan untuk menyampaikan apa saja yang ingin ia sampaikan kepada orangtuanya? • Sudah cukupkah Anda memberikan ruang privacy bagi anak-anak Anda, yaitu terhadap hal-hal yang memang tidak diinginkan oleh anak untuk dikomunikasikan kepada orangtuanya? Apakah menurut Anda komunikasi dikatakan baik jika anak menyampaikan kepada orangtuanya segala hal tanpa ada yang tertinggal? • Bagaimana seorang Ayah bersikap terhadap kasus dimana anak-anak lebih terbuka kepada Ibunya, atau sebaliknya, bagaimana sikap seorang Ibu ketika menyadari bahwa anak-anaknya lebih senang berkomunikasi dengan Ayahnya? 3. Pergaulan anak Banyak orangtua membatasi pergaulan anaknya di lingkungan Mudika saja, hindari pergaulan di luar itu. Jujur saja kami katakan: Itu salah besar! Bergaul dengan teman-teman non-Katolik akan meluaskan wawasan anak tentang bagaimana hukum agama mereka sehingga bisa disimpulkan apakah ada peluang untuk perkawinan beda agama, dan kesimpulan ini dapat digunakan untuk memutuskan apakah relasi dengan teman itu hendak dilanjutkan dengan pacaran atau tidak. Banyak juga perkawinan se-iman terjadi justru karena pasangannya diperkenalkan oleh teman yang tidak se-iman. Orangtua wajib mengetahui siapa-siapa saja teman bergaul dari anak-anaknya, termasuk bagaiman latar belakang orangtuanya masing-masing, tanpa perlu menjadi “polisi” bagi anak-anaknya, atau tanya kiri tanya kanan bagaikan spionase. Informasi yang paling akurat dan terpercaya justru di dapat dari anak-anak kita sendiri. 4. Ketika anak menginjak remaja Tonggak penting yang menandai perubahan strategi dan tata cara pendampingan anak adalah ketika anak menginjak remaja, mengapa demikian? Pada masa ini, anak mengalami “perubahan-perubahan besar” baik secara biologis maupun kejiwaan. Dan masa ini sekaligus menjadi kunci keberhasilan menangkal perkawinan beda agama. Tindakan antisipasi orangtua seringkali dilakukan ketika anaknya “minta kawin” sama pasangan yang beda agama, yaitu ketika anak sudah menginjak dewasa dan sudah siap untuk hidup berkeluarga. Pada masa ini, anak mulai merasakan ketertarikan dengan lawan jenisnya, dibarengi dengan luapan-luapan emosi yang cenderung tidak stabil dan sering membuat pusing orangtuanya. Sikap pribadinya juga berubah, ia memiliki keinginan kuat untuk tampil memikat, berdandan dan berlama-lama berdiri di depan cermin, dan ia menginginkan banyak hal sampai membuat orang lain kerepotan memenuhi keinginannya. Yang terpenting dari semua itu, terkait dengan pokok bahasan kita, adalah perubahan yang menyangkut hubungan dan komunikasi dengan orangtuanya. Ia tidak lagi tertarik Hal. 8/9 Perkawinan Beda Agama – Orangtua untuk dekat-dekat dengan orangtuanya. Ia lebih mementingkan teman-temannya. Omongan teman-temannya lebih berpengaruh dibandingkan omongan orangtuanya. Ini adalah fenomena normal yang dialami oleh setiap anak yang menginjak remaja. Jika dalam kondisi seperti ini, kita sebagai orangtua lalu “ngoceh” kepada anak di setiap kesempatan bertemu anak, percayalah: Enggak bakalan didengerin! Diskusi dan Tanya-jawab • Diskusikan apa apa saja yang telah dibahas dalam presentasi. Beri kesempatan kepada peserta rekoleksi untuk sharing dan memberikan tanggapan, atau untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. • Waktu diskusi: 30 menit. PENUTUP Semoga materi yang kami sajikan ini dapat membantu keluarga-keluarga dalam menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan perbedaan agama di antara sesama anggota keluarga. Saran, kritik, atau pertanyaan, dapat disampaikan ke: Komisi Keluarga, Keuskupan Denpasar, atau langsung kepada: • Romo Johanes Hadriyanto, email: [email protected] , Phone: 0812.388.6262 • Erna Kusuma, email: [email protected], Phone: 0812.388.0440 • Sandy Kusuma, email: [email protected], Phone: 081.797.40440 Hal. 9/9