posisi akal dalam pemberlakuan hukum syar`i

advertisement
H. M. Amir HM, Kisah Nabi Ibrahim Dalam…
KISAH NABI IBRAHIM DALAM AL-QUR’AN DAN
RELEVANSINYA
DENGAN PENDIDIKAN ISLAM
Oleh:
H. M. Amir HM
Abstrak
The history of Prophet Ibrahim in the Holy Qur’an consists of many
normatif guidances from Allah swt. for humans to strengthen their existence
as His khalifah on the world. In line with Islamic education, the purpose,
the subject and the object, as well as the method of Islamic education are
described explicitly in the history of Prophet Ibrahim in the Holy Qur’an.
The purpose of Islamic education is described in how Prophet Ibrahim
finally understands that the final purpose of all humans’ efforts is tauheed
supported by belief and taqwa. The subject of Islamic education is described
in how Prophet Ibrahim summons tauheed values to his community where
he is the subject that is always guided by Allah swt. that puts him as the
object. The methods of Islamic education are described in many methods
that Prophet Ibrahim uses to summon tauheed values to his community
consisting of discussion, modeling, advice/question-answer.
Kata Kunci: Kisah Nabi Ibrahim, Pendidikan Islam
PENDAHULUAN
Dimensi petunjuk al-Qur’an tidak hanya berlaku bagi suatu umat
tertentu ataupun bagi tempat dan waktu tertentu pula, melainkan menjadi
petunjuk yang bersifat universal tanpa dibatasi oleh sekat ruang dan waktu.
Petunjuk al-Qur’an sangat luas seperti luasnya umat manusia dan meliputi
segala aspek kehidupannya.1 Oleh sebab itu, al-Qur’an tidak hanya
memberikan solusi bagi persolan yang dihadapi manusia ketika turunnya alQur’an, atau pun memberikan petunjuk kepada manusia untuk masa
depannya, tetapi juga memberikan informasi tentang berbagai peristiwa yang
terjadi sebelum turunnya al-Qur’an yang kemudian dikenal dengan kisah2.
Said Agil Husain al Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam
Sistem Pendidikan Islam (et. II; Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), h. 5
2
Berasal dari bahasa arab qashashun bentuk masdar dari fi’il madi qashsha
yang berakar kata dari huruf qaf dan shad yang berarti mengikuti sesuatu, mengikuti
secara berurutan, mengikuti jejaknya, juga dapat diartikan dengan memotong. Lihat
Abu Husain Ahmad bin Fariz Zakariah, Mu’jam Maqyis al-Lugah, juz IV Cet. I:
Bairut: Dar Al Jalail, 1991), h. 11
1
1
Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:1-22
Berbagai kisah yang terdapat dalam al-Qur’an merupakan salah satu aspek
kemukjizatan al-Qur’an yang sangat menarik untuk dikaji dan
dikembangkan, sebab di dalamnya terdapat berita-berita tentang keadaan
umat terdahulu, pengalaman para nabi sebelum Nabi Muhammad saw., dan
beberapa peristiwa lainnya yang telah terjadi.3
Pemberitaan al-Qur’an
tentang kisah orang-orang terdahulu, termasuk kisah para nabi dan rasul itu,
terkadang diungkapkan secara berulang kali dan dikemukakan dalam
berbagai bentuk yang berbeda di suatu tempat. Pada satu sisi , dikemukakan
secara singkat tapi pada sisi yang lain dikemukakan secara panjang lebar.
Semua itu mengandung makna dan hikmah yang mendalam dan menarik
untuk dikaji.
Salah satu kisah dalam al-Qur’an yang menarik untuk dikaji
sekaligus menjadi fokus kajian dalam penelitian ini adalah kisah Nabi
Ibrahim yang tersebar dalam berbagai surah dalam al-Qur’an yang menurut
Abdul Wahhab kisah Nabi Ibrahi setidaknya tersebar dalam 20 surah yakni
1) QS. Al-Baqarah/2: 124, 141, 258 dan 260. 2) QS. Ali Imran/3: 65-68, 9697. 3) QS. Al-Nisa’/4: 125. 4) QS. A’’An’am/6: 74-84. 5) QS. Al-Taubah/9:
114. 6) QS. Hud/11: 69-76. 7) QS. Ibrahim/14: 35-41. 8) QS. Al-Hijr/15: 5157. 9) QS. Al-Nahl/16: 120-123. 10) QS. Maryam/19: 41-49. 11) QS. AlAmbiya/21: 51-73. 12) QS. Al-Hajj/22: 26-27. 13) QS. Al-Syu’ara/26: 6989. 14) QS. al-Ankabut/29: 16-27. 15) al-Ahzab/33: 7. 16) QS. alAshaffat/37: 83-113. 17) QS. al-Syura/42: 13. 18) QS. al-Dzariyat/51: 24-31.
19) QS. al-Najm/53: 37. 20) QS. al-Hadid/57: 26.4
Kisah Nabi Ibrahim tersebut, pada dasarnya melukiskan model panutan yang
ideal bagi generasi selanjutnya, sebab di dalamnya tercermin kesucian jiwa,
keluhuran akhlak, kemantapan iman dan kekokohan sikap ikhlas untuk
menegakkan agama Allah swt., berbakti dan mengesakan-Nya sekalipun
berbagai rintangan dan tantangan yang dihadapi.
Sikap dan keteguhan hati Nabi Ibrahim tersebut, seharusnya menjadi
inspirasi dan pelajaran bagi generasi masa kini dan yang akan datang. Secara
khusus dapat dipahami bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam proses
aktualisasi nilai-nilai pendidikan Islam dalam kisah Nabi Ibrahim meliputi
dimensi kehidupan yang harus dibina dan dikembangkan yakni: Pertama,
dimensi spiritual, yaitu iman, takwa, dan akhlak mulia. Kedua, dimensi
budaya, yaitu kepribadian yang mantap dan mandiri, bertanggung jawab
dalam kehidupan, baik secara pribadi maupun masyarakat. Ketiga, dimensi
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fiy ‘Ulum al-Qur’an (Bairut: Muassasah alRIsalah, t.th.), h. 306
4
Abdul Wahhab ‘Athi Abdullah, Manahij Ulu al-Azm min al-Rasul fi
Tablig al-Dakwah ‘ala Dhau Ma ja’a fi al-Quranil Karim (Cet. I; Kairo: Dar alThiba’ah al-Muhammadiyah, 1991), h. 78-79.
3
2
H. M. Amir HM, Kisah Nabi Ibrahim Dalam…
kecerdasan, yang membawa kepada kemajuan, yaitu cerdas, kreatif,
terampil, disiplin, etos kerja, professional, inovatif dan produktif.5 Oleh
karena itu, penelusuran nilai-nilai pendidikan Islam pada sebuah kisah dalam
al-Qur’an, tidak terkecuali kisah Nabi Ibrahim menjadi sangat penting dan
menarik untuk dikaji. Setidaknya dari kajian tersebut akan ditemukan
konsep-konsep pendidikan Islam yang tidak hanya sebatas pada proses
pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan kecerdasan intelektual
manusia (intellectual quotient), tapi juga bisa menyentuh ranah kecerdasan
emosional (emotional quotient) serta kecerdasan spiritual (spiritual
quotient).
Hal ini seirama dengan tujuan pendidikan Islam yang dimaksudkan
oleh Ibnu Khaldun seperti yang diutip oleh Muhammad Athiyah al-Abrasyi
bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri dari :
a. Tujuan yang berorientasi akhirat, yaitu membentuk hamba Allah swt.
yang dapat melaksanakan kewajiban kepada-Nya.
b. Tujuan yang berorientasi dunia, yaitu membentuk manusia yang mampu
menghadapi segala bentuk kehidupan yang lebih layak dan bermanfaat
bagi orang lain.6
Itulah sebabnya pendidikan Islam dituntut agar mampu
mensosialisasikan dan mengintegrasikan nilai-nilai spiritual yang suci dan
bersifat transendental di tengah-tengah masyarakat. Pada sisi lain,
pendidikan Islam dituntut agar mampu mengakomodasi perkembangan
masyarakat serta mampu memberi alternatif solusi dari berbagai masalah
yang dihadapi oleh umat manusia seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, pendidikan Islam merupakan
suatu proses yang dilakukan untuk membentuk manusia seutuhnya, yakni
beriman dan bertakwa kepada Allah swt., serta mampu mewujudkan
eksistensinya sebagai khalifah Allah swt. di muka bumi. Kisah Nabi
Ibrahim dalam al-Qur’an sarat dengan berbagai nilai pendidikan Islam. Oleh
karena itu, penelusuran dan pengkajian ayat-ayat yang terkait dengan kisah
Nabi Ibrahim, menjadi amat penting karena mempunyai relevansi dengan
perkembangan pendidikan Islam khususnya dalam hal tujuan, subyek dan
obyek, serta metode pendidikan Islam.
5
Said Agil Husin al Munawwar, op. cit., h.7-9.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyyah wa al-Falasifah (Mesir: alNalabi, 1996), h. 286
6
3
Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:1-22
PEMBAHASAN
Kisah Nabi Ibrahim dalam al-Qur’an dan Relevansinya dengan Tujuan
Pendidikan Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tujuan berarti arah, haluan
(jurusan), yang dituju, maksud, tuntutan (yang dituntut). Secara instruksional
tujuan berarti sasaran yang ingin dicapai setelah mengerjakan pokok atau
sub pokok bahasan yang direncanakan; Secara kelembagaan tujuan berarti
kualifikasi yang diharapkan dimiliki murid setelah dia menerima atau
menyelesaikan program pendidikan pada lembaga pendidikan tertentu; dan
secara kualitatif tujuan yang dinyatakan melalui perubahan sikap, prestasi,
sifat dan kualitas.7 Juga dapat berarti sasaran yang akan dicapai oleh
seseorang atau sekelompok orang yang melakukan suatu kegiatan. Karena
itu, tujuan pendidikan Islam adalah sasaran yang akan dicapai oleh
seseorang atau sekelompok orang yang melakukan pendidikan Islam. 8
Tujuan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sasaran yang dicapai oleh
seseorang peserta didik setelah melalui suatu proses dalam pendidikan, baik
pendidikan formal, informal maupun non formal.
Karena itu, tujuan yang akan dicapai dalam sebuah proses
pendidikan adalah sesuatu yang amat penting, di antaranya; pendidikan
harus mengarah kepada tercapainya suasana damai tentram dalam
kehidupan, taat dan menyembah kepada Allah swt., melakukan kegiatan
untuk memperoleh ampunan dari Allah, pandai bersyukur atas nikmat yang
diberikan oleh Allah swt. serta selalu dekat dan munajah kepada-Nya dan
akhirnya mereka yakin bahwa segala permohonan hamba-Nya akan
dikabulkan oleh-Nya. Hal itu telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dalam
QS. Ibrahim/14: 35-39







  




   
    
    












   
  
7
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indoneisa, Edisi
III (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 1216-1217
8
Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Gema
Insani Press, 1995), h. 11
4
H. M. Amir HM, Kisah Nabi Ibrahim Dalam…






  



    
     
      
   






    



  




   






 
Terjemahnya:
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhan, jadikanlah negeri ini
(Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku
agar tidak menyembah berhala.Ya Tuhan, berhala-berhala itu telah
menyesatkan banyak dari manusia. Barangsiapa mengikutiku, maka
orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa mendurhakaiku, maka
Engkau Maha Pengampun, Maha Penyayang.Ya Tuhan, sesungguhnya
aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak
mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang
dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan
salat, maka jadikanlah hati sebagai manusia cenderung kepada mereka
dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka
bersyukur.Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang
kami sembunyikan dan apa yang kami tampakkan; dan tidak ada
sesuatu apa pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi
maupun yang ada di langit Segala puji bagi Allah yang telah
menganugrahkan kepadaku di hari tua(ku) Ismail dan Ishak. Sungguh
Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa.Ya
Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang telah
melaksanakan salat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.Ya Tuhan
kami, ampunilah aku dan kedua ibu bapaku dan semua orang yang
beriman pada hari diadakan perhituang (hari kiamat).9
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahny (Semarang; PT.
Karya Toha Putra, 2002),, h. 351-352
9
5
Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:1-22
Menurut al-Maragy, bahwa dari beberapa ayat tersebut,
menunjukkan bahwa Allah swt. telah menjelaskan beberapa keterangan atau
dalil bahwa tidak ada yang pantas disembah selain Dia, dan karena itu tidak
ada yang boleh disembah kecuali Allah swt. Karena itu, Rasul-Nya
(Ibrahim) merasa heran terhadap kaumnya yang telah menukar nikmat Allah
swt. dengan kekufuran serta menyembah patung dan berhala-berhala.
Selain hal tersebut, juga ayat tersebut bermakna bahwa seluruh Nabi
diperintahkan agar meninggalkan penyembahan terhadap berhala. Karena
itu, Nabi Ibrahim sebagai bapak para Nabi, mencela kaumnya yang
menyembah berhala. Lalu Ibrahim memohon kepada Allah swt. agar dia
bersama anak cucunya terhindar dari sikap penyembahan terhadap berhala,
karena berhala-berhala itu telah banyak menyesatkan kebanyakan manusia.
Nabi Ibrahim bersyukur kepada Allah swt. atas nikmat yang diberikan
kepadanya berupa dua orang anak, yakni Ismail dan Ishak, pada hal dia telah
lanjut usia. Nabi Ibrahim mengakhiri doanya dengan meminta ampun kepada
Allah swt. dan kedua orang tuanya serta seluruh orang-orang mukmin pada
hari kiamat ketika dihisab seluruh amal perbuatan manusia.10
Dari keterangan di atas dipahami bahwa Nabi Ibrahim selain
berusaha menemukan tujuan akhir segala perjuangan hidupnya ialah
memahami dan meyakini serta bertakwa kepada Allah swt. sebagai pencipta
segala sesuatu, juga menampakkan bahwa dia tidak bermaksud mendapatkan
keselamatan dirinya sendiri, tetapi juga kedua orang tuanya, bahkan kepada
seluruh umat yang beriman. Ini artinya bahwa Nabi Ibrahim telah memiliki
kecerdasan intlektual, kecerdasan emosional, kecedasan spiritual bahkan
kecerdasan sosial.
Memperoleh kecerdasan-kecerdasan tersebut, merupakan tujuan
yang sesungguhnya harus tercapai dalam sebuah proses pendidikan Islam.
Menurut Zakiyah Daradjat seperti yang dikutip oleh Nur Uhbiyati, bahwa
secara universal tujuan pendidikan Islam yaitu untuk mencptakan
kepribadaian seseorang yang membuatnya menjadi insan kamilah dengan
pola takwa. Artinya manusia utuh jasmani dan rohani, dapat hidup dan
berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada Allah swt.11
Sedangkan Ali al-Jumbulati mengemukakan bahwa pada dasarnya
tujuan pendidikan Islam mencakup dua aspek, yaitu;
a. Tujuan keagamaan, yaitu yang terisi penuh nilai rohani yang
berorientasi pada kebahagiaan hidup di akhirat. Tujuan ini difokuskan
pada pembentukan pribadi muslim yang sanggup melaksanakan syariat
10
Ahmad Mushtafa Al-Maragy, Tafsir Al-Maragy, Juz. 13 (Cet. I; Meshir:
Mushthafa asl-Bab al-Halabi, 1365 H./1946 M.), h. 158-159
11
Nur Uhbiyati, Ilmu pendidikan Islam (Cet. I; Bandung: Balai Pustaka
Setia, 1997), h. 411
6
H. M. Amir HM, Kisah Nabi Ibrahim Dalam…
b.
Islam melalui proses pendidikan spiritual menuju ma’rifatun
(pengenalan) kepada Allah swt., dan inilah esensi (hakikat) yang amat
penting dalam kaitannya dengan pembinaan individual yang religius.12
Tujuan ini pada dasarnya searah dengan doa yang disampaikan oleh
Nabi Ibrahim pada ayat 36, 37, 38, 40 dan 41 surah Ibrahim tersebut
serta ucapan hamdalah pada ayat 39 dalam surah yang sama.
Tujuan keduniaan, yaitu tujuan yang lebih mengutamakan pada upaya
untuk mewujudkan kehidupan sejahtraan di dunia.13 Yakni
terpenuhinya kebutuhan seperti sandang, pangan dan ketenangan hidup.
Ketiga unsur ini akan tercapai apabila tempat yang ditempati relatif
aman. Hal ini sejalan dengan doa Nabi Ibrahim pada ayat 35 surah
Ibrahim tersebut dengan ungkapan beliau “Ya Tuhan, jadikanlah negeri
ini (Mekah), negeri yang aman. Menurut M. Quraish Shihab doa nabi
Ibrahim agar kota Mekah dan sekitarnya menjadi kota yang aman.
Keamanan yang dimohonkan
Ibrahim adalah keamanan yang
berkesinambungan sampai akhir zaman. Atau menganugrahkan kepada
penduduk dan pengunjungnya kemampuan untuk menjadikannya aman
dan tentram. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa ayat ini bukan saja
mengajarkan agar berdoa untuk keamanan dan kesejahtraan kota
Mekah, tetapi juga mengandung isyarat tentang perlunya setiap manusia
(muslim) berdoa untuk keselamatan dan keamanan wilayah tempat
tinggalnya, dan agar penduduknya memperoleh rezeki yang
melimpah.14 Allah mengabulkan doa Nabi Ibrahim dengan
menjadikannya kota Mekah sebagai kota suci, tidak dibenarkan
melakukan pertumpahan darah, tidak boleh berbuat zhalim, tidak
diperkenankan memburu binatang serta memotong rumput-rumputnya
15
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan
Islam adalah membentuk manusia yang paripurna dari aspek intelektual dan
moral yang akan mengantarkannya mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat,
melalui realaisasi idealitas Islam yang didasari dengan iman dan takwa
kepada Allah swt. sebagai pemilik kekuasan mutlak yang harus ditaati,
ditempati bersandar atas segala probelematika yang dihadapi sekaligus
tempat bermohon atas segala kebutuhan dengan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu apa pun.
12
Ali al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: RIneka
Cipta, 1994), h. 37-38
13
Ibid.
14
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, Keserasian alQur’an, Volume 7 (Cet. III; Lentera Hati: Ciputat Tangerang, 2005), h. 67-68
15
Ahmad Mushtafa Al-Maragy, op. cit., juz 13., h. 159
7
Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:1-22
Ajaran mengesakan Allah, telah ditanamkan oleh Allah swt. ke
dalam jiwa Nabi Ibrahim ketika beliau ditempatkan oleh Allah di Baitullah
sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Hajj/22: 26
   










  
Terjemahnya:
Dan (ingatlah), ketika kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah
(dengan mengatakan) Janganlah engkau mempersekutukan Aku dengan
apapun dan sucikalah rumah-Ku bagi orang-orang yang tawaf, dan
orang-orang yang beribadah dan orang yang ruku dan sujud.16
Kata ‫ بوأنا‬terambil dari kata ‫ بوأ‬yang berarti bertempat tinggal atau
menyediakan dan memungkinkan bertempat tinggal. Yakni pondasi ka’bah
yang ditujukan kepada Nabi Ibrahim agar beliau membangun kembali.17
Setelah beliau berada ditempat itu, lalu Allah swt. memerintahkannya agar
tidak mempersekutukan-Nya dalam beribadah dengan sesuatu apa pun, serta
mensucikan Baitullah (rumah Allah) dari segala kotoran lahir dan batin agar
siap menjadi tempat ibadah bagi orang yang bertawaf dan orang-orang yang
berdiri secara sempurna untuk berdoa dan mengabdi serta orang-orang yang
ruku’ dan sujud yakni salat.18 Karena itu, salah satu tujuan pendidikan adalah
bagaimana peserta didik dapat melaksanakan ibadah dengan sempurna
sesuai ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. sehingga dapat
memperoleh keselamatan dunia dan akhirat.
Kisah Nabi Ibrahim dalam al-Qur’an dan Relevansinya dengan Subyek
dan Obyek Pendidikan Islam
a. Subyek Pendidikan
Nabi Ibrahim dan Nabi Ya’qub bertindak sebagai subjek pendidikan
ketika berwasiat kepada anaknya sebagaimana firman Allah swt. dalam QS.
Al-Baqarah/2: 132-133



   
    
16
Departemen Agama RI., op. cit., h. 466
M. Quraish Shihab, op. cit., volume, 9, h. 41
18
Kegiatan tawaf (mengelilingi ka’bah) telah dilakukan oleh orang-orang
musyrik sebelum Nabi Ibrahim, tetapi pada umumnya menyimpan dari ajaran Nabi
Ibrahim, yakni mereka melakukannya tampa busana, dengan alasan bahwa
seseorang harus benar-benar suci ketika berkeliling di ka’bah padahal pakaian
sedikit atau banyak telah dinodai najis, atau dipakai berbuat dosa. Lihat ibid.
17
8
H. M. Amir HM, Kisah Nabi Ibrahim Dalam…
   
    
   
    



  





   
Terjemahnya:
Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian
pula Ya’qub. “Wahai anak-anaku! Sesungguhnya Allah telah memilih
agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan
muslim. Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput
Ya’qub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu
sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah
Tuhanmu dan Tuhan nenek moyanmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak,
(yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepadaNya.19
Term ‫ وصي‬berakar kata dari huruf wawu, shad dan harf mu’tal yang
berarti menyampaikan sesuatu.20 Kemudian diartikan dengan wasiat, karena
setiap terjadi kalimat wasiat akan bersentuhan langsung dengan yang diberi
wasiat. Menurut M. Quraish Shihab “wasiat adalah pesan yang
disampaiakan kepada pihak lain secara tulus, menyangkut suatu kebaikan.
Biasanya pesan itu disampaikan pada saat-saat menjelan kematian, karena
ketika itu interes dan kepentingan duniawi sudah tidak menjadi perhatian si
pemberi wasiat.”21 Nabi Ibrahim mewasiatkan millat/agama kepada anaknya,
yakni Ismail dan Ishaq serta saudara-saudara mereka. Nabi Ibrahim berkata
“hai anaku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kamu. 22
Demikian pula Ya’qub,23 yang merupakan anak dari Ishaq putra Nabi
Ibrahim as. Dia juga mewasiatkan kepada anak-anaknya, yakni para leluhur
19
Departemen Agama RI., op. cit., h. 25
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, op. cit., jilid 6, h. 116.
21
M. Quraish Shihab, op. cit., volume, 1, h. 331
22
Maksudnya agama ini adalah tuntunan Allah, bukan ciptaanku banyak
agama yang dikenal oleh manusia, tetapi agama ini intinya adalah penyerahan diri
secara mutlak kepada-Nya, itulah yang direstui dan dipilih oleh Allah swt. Karena
itu maka janganlah kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah diri kepadaNya yakni memeluk agama Islam. Lihat ibid.
23
Putra Nabi Ishaq as. Digelar Isra’il dan dialah kakek dari Bani Isra’il
Beliau wafar 989 SM. Dan dikuburkan bersama kakeknya (Nabi Ibrahim) dan
ayahnya (ishaq) di al-Khalil tepi barat sungai Yordan. Lihat Ibid., h. 332
20
9
Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:1-22
Bani Isra’il dengan wasiat yang sangat meyakinkan dengan redaksi yang
sangat bersahaya, dia sendiri yang bertanyak dan dia sendiri yang
menjawabnya. Beliau bertanya kepada anak-anaknya “apa yang kamu
sembah sepeninggalku”Pertanyaan ini menggunakan kata “apa” bukan
“siapa”Itu artinya, bahwa orang-orang yahudi (bani Israil) memiliki
sembahan lebih dari satu dan tidak berakal. Orang Yahudi pernah
menyembah anak sapi, yang lainnya menyembah berhala, ada lagi yang
menyembah bintang, matahari dan lain-lain. Lalu Nabi Ya’qub berkata
kepada anak-anaknya ,24 kini dan seterusnya kalian menyembah Tuhanmu
dan Tuhan nenek moyangmu (Ibrahim, Ismail, dan Ishaq), yaitu Tuhan yang
Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepadan-Nya, bukan kepada siapasiapa selain Dia.
Dari keterangan di atas setidaknya ada dua wasiat yang merupakan
pendidikan secara langsung kepada keturunan Nabi Ibrahim dan Nabi
Ya’qub, yaitu; Nabi Ibrahim mewasitakan kepada anakanya agar mereka
beragama yang penuh kepasrahan diri kepada Tuhan pemilik seluruh alam
dan satu-satunya yang berhak disembah. Sedangkan Nabi ya’qub
mewasiatkan kepada anak-anaknya agar menyembah Tuhan sebagaimana
yang diajarkan nenek moyang mereka (Ibrahim, Ismail dan Ishaq).
Pada kesempatan lain Nabi Ibrahim menyadarkan kaumnya agar
menyembah hanya kepada Allah, karena berhala-berhala yang mereka
sembah hanya kebohongan semata sebagai nama yang dikisahkan oleh Allah
dalam QS. Al-Angkabut/29: 16-17
   
   
    







   
    
    









 
Terjemahnya:
Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika dia berkata kepada kaumnya,
“Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu
24
Anak-anak Ya’qub dalam al-Qur’;an disebut dengan al-Asbath, mereka
terdiri 12 suku dari empat orang ibu. Lihat Ibid.
10
H. M. Amir HM, Kisah Nabi Ibrahim Dalam…
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Sesungguhnya yang kamu
sembah selain Allah hanyalah berhala-berhala, dan kamu membuat
kebohongan. Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu
tidak mampu memberikan rezeki kepadamu; maka mintalah rezeki dari
Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya
kepada-Nya kamu akan dikembalikan.25
Kata ‫ أعـبـد وا‬adalah fi’il amr dari fi’il madi ‫ عـبـد‬berakar kata dari
huruf ‘ain, ba dan dal yang berarti beribadah, menyembah, mengabdi
kepada.26 Dalam konteks di atas dipahami bahwa Nabi Ibrahim
memerintahkan kaumnya agar beribadah, menyembah serta mengabdi hanya
kepada Allah swt. Nabi Ibrahim berkata sembah dan patuhilah Allah dalam
segala yang diperintahkan-Nya serta bertakwalah kepada-Nya, yakni
menghindari segala sesuatu yang dapat mengundang siksan-Nya. Karena
kepatuhan dan ketakwaan itu lebih baik dari segala sesuatu yang kamu
lakukan itu, andaikat kamu memahaminya.
Selanjutnya Nabi Ibrahim mengecam kaumnya yang menyebah
selain Allah dengan menyatakan bahwa apa yang kamu sembah itu tidak lain
adalah berhala-berhala. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah
adalah sesuatu yang tidak akan mendatangkan manfaat serta tidak akan
menolak mudarat,27 maka carilah rezeki dari Allah, bukan dari berhalaberhala, agar terwujud apa yang kalian rencanakan, dan beribadahlah
kepada-Nya serta bersyukurlah atas segala nikmat yang diberikan kepadamu
seraya memohon tambahan dari nikmat yang diberikan kepada kalian.
Ketika Nabi Ibrahim telah menjelaskan kepada kaumnya bahwa
hanya Dialah pemberi rezeki di dinia dan pemberi nikmat kapada hambaNya, maka ayat ini diakhiri dengan pernyataan bahwa kepada Allahlah
semua makhuk akan dikembalikan di akhirat, dan kalian akan ditanya oleh
Allah tentang apa yang kalian sembah selain Dia, padahal kalian adalah
hamba-Nya dan sekaligusa ciptaan-Nya dan kalian bergantung kepada
nikmat-Nya dan atas rezekinya kalian makan. 28
Demikian indahnya pelajaran yang disampaikan Nabi Ibrahim
kepada umatnya itu, sekiranya mereka dapat mengaplikasikannya dengan
baik niscaya mereka akan meperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam kehidupan dewasa ini, sangatlah indah pendidikan kita,
sekiranya setiap pelaku (subjek) pendidikan mampu mengintegrasikan nilainilai ilahiyah dalam semua materi pendidikan sehingga semakin terasalah
25
Departemen Agama RI., op. cit., h. 561
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir ((Yogyakarta: Pondok
Pesantren Al-Munawwir, 1984), h, 951
27
M. Quraish Shihab, op. cit., volume, 10, h. 460-461.
28
Ahmad Mushtafa Al-Maragy, op. cit., juz 20. h. 125
26
11
Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:1-22
ketidak adanya dikotomi antara materi pelajaran agama (akidah, Ibadan dan
muamalah/akhak) dengan materi pendidikan umum (yang berkaitan dengan
kemaslahtan hidup di dunia).
b. Obyek Pendidikan
Suatu ketika Alah swt. memberikan hujjah (pelajaran) kepada Nabi
Ibrahim agar disampaikan kepada kaumnya sebagaimana firman Allah swt.
dalam QS. Al-An’am/6: 83.
  




     
   
Terjemahnya:
Dan itulah keterangan Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk
menghadapi kaumnya. Kami tinggikan derajat siapa yang kami
kehendaki. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui.29
Term ‫ حجتنا‬adalah fi’il madi berasal dari ‫( حـج‬hajja) berakar kata dari
huruf ha, jim bertasydid yang berarti ‫( الـقـصـد‬tujuan).30 Menurut M. Quraish
Shihab ‫ حـج‬yang dimaksud pada ayat ini “Bukti yang sangat jelas yang
dianugrahkan oleh Allah swt. kepada Nabi Ibrahim menjadikan beliau
mampu membungkam lawan-lawan beliau dengan argumentasi yang jelas.31
Yakni dalil dan penjelasan yang amat kokoh lagi sangat tinggi
kedudukannya, yang bersumber dari Allah yang Maha Agung yang diajarkan
melalui malaikat atau melalui ilham kepada Nabi Ibrahim agar dia dapat
memahami dan mengatasi atau mengalahkan lawan-lawannya. Sehingga dia
akan menjadi teladan bagi semua umat dan diakui serta diagungkan oleh
umat manusia sepanjang zaman.32
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Nabi Ibrahim
mendapat pembelajaran dari Allah swt. baik melalui perantaraan malaikat,
maupun secaran langsung yang bersifat ilham. Dalam posisi seperti ini,
Nabi Ibrahim berfungsi sebagai objek pendidikan. Nabi Ibrahim dalam
melaksanakan tugasnya selalu mendapat bimbingan dan petunjuk dari Allah
swt. sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Anbiya/21: 51
   
    
 
Terjemahnya;
29
Departemen Agama RI., op. cit., h. 185
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, op. cit., jilid 2, h. 29
31
M. Quraish Shihab, op. cit., volume, 4, h. 178
32
Lihat ibid.
30
12
H. M. Amir HM, Kisah Nabi Ibrahim Dalam…
Dan sungguh, sebelum dia (Musa dan Harun) telah Kami berikan
kepada Ibrahim petunjuk, dan Kami telah mengetahui dia.33
Term ‫ رشـد ه‬berasal dari fi’il madi ‫ رشـد‬berakar kata dari huruf ra,
syin dan dal yang berarti jalan lurus atau sifulan mendapat petunjuk dalam
urusannya.34 Kata rusyd juga berarti kesempurnaan akal dan jiwa, yang
menjadikannya mampu bersikap dan bertindak secepat mungkin. Bila
dikaitkan dengan petunjuk yang diberikan kepada Nabi Ibrahim,
mengandung makna bahwa apa yang dianugrahkan oleh Allah kepadanya
adalah suatu kekhususan dan keistimewaan tersendiri bagi beliau yang tidak
dimiliki orang lain, dan bahwa hal itu adalah sesuatu yang wajar baginya, 35
terutama penolakannya terhadap penyembahan berhala.36 Sedangkan
menurut al-Maragy yang dimaksud dengan al-Rusyd adalah mengikuti
petunjuk untuk memperoleh kemaslahatan agama dan dunia, serta petunjuk
mengaplikasikan peraturan-peraturan ilahiyah.37 Lebih lanjut al-Maragy
mengatakan bahwa Allah swt. telah memberikan kepada Ibrahim apa yang
seharusnya menjadi kemaslahatannya, dan telah memberinya hidayah
sebelum Musa dan Harun. Allah swt. juga telah memberkatinya untuk
mengikuti kebenaran, dan telah menunjukkan jalan yang lurus baginya, dan
menyelamatkan di antara kaumnya yang menyembah berhala. Allah swt.
mengetahui bahwa Ibrahim adalah seorang yang memiliki keyakinan atau
keimanan kepada-Nya, bahkan mengEsakan-Nya tanpa mempersekutukanNya dengan sesuatu apa pun. Ibrahim memiliki keutamaan yang baik dan
moralitas/akhlak yang mulia serta sifat-sifat terpuji.
Al-Farra mengatakan, sebagaimana yang dikutif oleh al-Maragy,
bahwa Ibrahim telah diberikan hidayah sebelum diangkat menjadi Nabi dan
sebelum dewasa. Yakni; Allah swt. telah memberinya taufik untuk meneliti
dan mencari dalil-dalil pembuktian ketika malam, lalu dia melihat bulan dan
bintang serta matahari di siang hari.38
Dari keterangan di atas, bahwa Nabi Ibrahim menjadi objek
pendidikan, ketika Allah swt. memberikan berbagai petunjuk yang
seharusnya dilakukan atau diaplikasikan dalam kehidupan, baik secara
perorangan mapun kelompok atau kaumnya, sehingga mereka selalu berada
pada jalan yang lurus. Ibrahim telah mendapat pembelajaran dari Allah swt.
sebelum diangkat menjadi Nabi, bahkan sebelum dia menganjak dewasa. Itu
33
Departemen Agama RI., op. cit., h. 454
Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, op. cit., jilid 2. h. 398
35
M. Quraish Shihab, op. cit., volume, 8, h. 467
36
Abiy Muhammad ‘Abd. Al-Haq ibn ‘Athiyah al-Andalusiy, al-Muharrar
al-Wajiz fi Tafsiri al-Kitab al-‘Aziz/ Tafsir Ibnu ‘Athiyah, Juz IV (Cet. I: BairutLibanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2001 M./1422 H.), h. 86
37
Ahmad Mushtafa Al-Maragy, op. cit., juz 16. h. 43
38
Lihat ibid.
34
13
Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:1-22
artinya bahwa Ibrahim telah dipelihara dan dibimbing oleh Allah swt. sejak
awal atau sejak kecil. Pendidikan atau pembelajaran sejak awal cenderum
berbekas pada diri seseorang sehingga tidak mudah terlupakan. Karena itu,
wajarlah kalau Ibrahim dalam meperjuangkan kebenaran terutama dalam
rangka menegakkan ketauhidan adalah harga mati baginya, sehingga dalam
perjuangannya bukan saja kaumnya yang dilawan atau diberikan petunjuk
tetang agama yang murni, tetapi orang tuanya pun diingatkan atau dinasehati
agar mengikuti jalan yang lurus, agama yang murni (agama tauhid) yang
diridahi oleh Allah swt.
Nabi Ibrahim sunguh-sungguh memperjuangkan tegaknya agama
yang benar, karena memang telah diwasiatkan oleh Allah swt., sebagaimana
firman-Nya dalam QS. Asy-Syuura/42: 13
     

















    



    
    
 
Terjemahnya:
Dan Allah telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan
ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalmnya. Sangat
berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu
serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki
kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya bagi
orang yang kembali (kepada-Nya).39
Menuerut M.Quraish Shihab, term ‫( وصي‬washsha) terambil dari kata
)‫ (أرض واصيــة‬ardhun washiyah tanah yang dipenuhi tumbuh-tumbuhan.
Kata washiyah digunakan dalam arti pesan kebaikan yang disampaikan
kepada orang lain. Biasanya pesan tersebut adalah hal-hal yang bersifat
penting. bukan semua pesan.40 Lebih lanjut beliau berpendapat bahwa
Penggunaan kata washsha pada ayat tersebut, mengindikasikan bahwa bukan
39
Departemen Agama RI., op. cit., h. 694M. Quraish Shihab, op. cit., volume, 12, h. 472
40
14
H. M. Amir HM, Kisah Nabi Ibrahim Dalam…
semua ajaran agama yang disampaikan kepada Nabi Nuh itu, disampaikan
pula kepada Nabi Muhammad saw., tetapi yang penting-penting saja seperti
akidah, syari’ah dan akhlak.41 Apa yang diwahyukan kepada Muhammad
saw. itu telah diwasiatkan kepada Ibrahim, khususnya penegakkan kalimat
tauhid.42 Wasiat tersebut juga telah diwasiatkan kepada Nabi Musa dan
Nabi Isa.
Dalam tulisan ini, yang dilihat atau yang dibahas adalah term ‫وما‬
‫ وصـيـنا به إبراهـيم‬yakni apa diwasiatkan kepada Ibrahim. Artinya bahwa apa
yang diwasiatkan kepada Nuh dan Muhmmad saw. Itu telah diwasiatkan
sebelumnya kepada Ibrahim yakni laksanakanlah agama dan jangan
berpecah belah di dalamnya.
Karena itu, apa yang telah diwasiatkan oleh Allah kepada Nabi
Ibrahim itu, merupakan pebelajaran bagi Ibrahim untuk menegakkan agama
Allah dengan sempurna dan tidak berbeda pendapat terhadap kebenaran
agama yang diperintahkan untuk ditegakkan itu, terutama masalah akidah
atau keimanan terhadap ke Maha Besaran dan ke Maha Kuasaan Allah swt.
yang memilki kehendak mutlak mengatur alam ini, termasuk umat manusia,
inklusif di dalamanya para Nabi dan para Rasul.
Kisah Nabi Ibrahim dalam al-Qur’an dan Relevansinya dengan Metode
Pendidikan Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia metode berarti 1) cara
teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai
sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mancapai tujuan yang
ditentukan.43.Dalam bahasa Arab metode dikenal dengan istila thariqah yang
berarti langkah-langkah strategis dipersiapkan untuk melakukan sesuatu
pekerjaan.44
Dengan demikian, yang dimaksud dengan metode pendidikan dan
pengajaran adalah suatu cara yang di tempuh oleh pendidik ketika terjadi
proses belajar mengajar, sehingga tujuan pembelajaran tercapai secara
maksimal sesuai dengan sasaran yang diinginkan.
Dalam al-Qur’an terkhusus ayat yang berkaitan dengan kisah Nabi
Ibrahim ditemukan berbagai metode pendidikan yang seharusnya menjadi
41
Lihat ibid.
Jalal al-Din Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad al-Mahalliy dan
Jalal al-Din Abd. Al-Rahman ibn Abiy Bakr al-Suyutiy, Tafsir al-Imam al-Jalalain
(Damsyiq: Dar Ibn Katsir, 1407H.), h. 484
43
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 740
44
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam (Cet. V; Jakarta: Kalam
Mulia, 2008), h. 2-3
42
15
Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:1-22
landasan normatif dalam proses pendidikan dan pengajaran. Metode
pendidikan yang dimaksud antara lain sebagai berikut:
a. Metode Diskusi
Diskusi ialah suatu proses yang melibatkan dua atau lebih individu
yang berintegrasi secara verbal dan salin berhadapan muka mengenai tujuan
dan sasaran yang sudah tertentu dengan cara tukar menukar informasi
(information sharing), mempertahankan pendapat (self maintenance), atau
pemecahan masalah (problem solving).45
Nabi Ibrahim berdiskusi dengan kaumnya tentang ke Maha Kuasaan
Allah swt. yang menghidupkan dan mematikan. Kaumnya pun berkata aku
juga dapat menghidupkan dan mematikan. Sebagaimana firman Allah swt.
dalam QS. Al-Baqarah/2: 258
    

 

    






















     
  

Terjemahnya:
Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai
Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan).
Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan
mematikan.”dia berkata, Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.
Ibrahim berkata,”Allah menerbitkan matahari dari timur, maka
terbitkan ia dari barat,”Maka bingunlah orang-orang kafir itu. Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.46
Kata ‫ حاج‬hajja pada ayat tersebut menunjukkan adanya dua pihak
yang saling berdebat atau berdiskusi.47 Lebih lanjut beliau mengatakan
bahwa kalau terjadi perdebatan atau diskusi pasti tidah dapat terjadi sepihak.
Karena yang memulai perdebatan adalah penguasa (kaum Nabi Ibrahim),
maka ayat ini mengisyaratkan bahwa dialah (penguasa) yang memulai
perdebatan dengan maksud dia ingin membuktikan kesalahan Nabi Ibrahim
45
LIhat ibid.
Departemen Agama RI., op. cit., h. 53-54.
47
M. Quraish Shihab, op. cit., volume, 1, h. 556
46
16
H. M. Amir HM, Kisah Nabi Ibrahim Dalam…
menyembah Allah swt. Maka untuk tujuan itu, dia bertanya “siapa Tuhanmu,
apa kemampuan-Nya? Maka Nabi Ibrahim menjawab, “Tuhanku ialah Yang
menghidupkan dan mematikan,” artinya Dialah yang mewujudkan sesuatu,
lalu meniupkan dan menganugrahkan roh kepadanya sehingga ia mampu
bergerak, merasa, tahu, dan tumbuh; Dia juga yang mencabut potensi itu.
Lalu Penguasa itu berkata, “saya juga dapat menghidupan dan
mematikan.”Tentu saja yang dimaksudkan adalah membatalkan hukuman
mati atas seseorang sehingga hidupnya dapat berlanjut, dan membunuhnya
sehingga ia mati. Sungguh amat berbeda hakikat mematikan dengan hakikat
membunuh. Tidak seorang yang dapat menangkal kematian tiba-tiba, tetapi
Allah dapat menghalangi kematian sesorang yang akan dibunuh, bila Allah
belum menghendaki kematiannya. Karena itu, adalah tidak wajar
melanjutkan diskusi tentang kekuasan membari hidup dan mencabutkannya.
Allah mengilhami Nabi Ibrahim ucapan-ucapan yang tidak dapat
dipermainkan dan diselewengkan yang berkaitan dengan jawaban penguasa
itu. Lalu Ibrahim berkata “Kalau engkau merasa menyamai Tuhan dalam
kemampuan dan merasa wajar untuk dipertuhankan, maka sesunngguhnya
Allah swt. menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkan dia dari barat.48
Penguasa tersebut tidak dapat memberi jawaban lagi, dan diskusi berakhir
dengan kesimpulan bahwa mendiskusikan tentang kemampuan Tuhan dan
kemampuan makhluk-Nya menghidupkan dan mematikan adalah sesuatu
yang tidak perlu berlanjut, karena pada akhirnya kembali berkesimpulan
bahwa hanya Allah swt. yang memilki kemampuan dan kekuasaan yang
sempurna, termasuk menghidupkan dan mematikan makhluk-Nya.
b. Metode Keteladanan
Dalam bahasa arab keteladanan diistilahkan dengan uswah atau
qudwah yang menurut al-Asfahani berarti suatu keadaan ketika seorang
manusia mengikuti manusia lain, apakah dalam kebaikan, kejelekan,
kejahatan atau dalam kemurtadan.49 Sejalan dengan itu, Ibn Zakaria
mengemukakan kata uswah searti dengan quduwah yang berarti ikutan,
mengikuti yang diikuti.50 Keteladana yang dimaksudkannya dalam
pendidikan Islam adalah hal-hal yang diikuti oleh peserta didik dari
pendidik atau orang yang dituakan dalam hal ini tentunya yang hendak
ditiru adalah hal-hal yang bersifat positif baik dari perktaan maupun
perbuatan.
48
Lihat Ibid., h. 556-557.
Al-Ragib Al-Asfahani, Mufradat alfazh al-Qur’an (Damsyiq: Dar AlQalam, t.th.), h. 105
50
Abi al-Husain Ahmad Ibn al-Faris Ibn Zakaria, op.cit., h. 105
49
17
Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:1-22
Keberhasilan pendidikan di zaman Rasulullah saw. adalah
keteladanan yang ditunjukkan oleh Rasululah sebagai Uswah. Rasulullah
ternyata banyak memberikan keteladan dalam mendidik para sahabatnya.51
Nabi Ibrahim dinyatakan oleh Allah swt. sebagai seorang imam (yang dapat
dijadikan teladan karena memiliki beberapa sifat terpuji, sebagaimana
firman Allah swt. dalam QS. Al-Nahl/16: 120-123




    



   



   
   
   
   
   





 
Terjemahnya:
Sungguh, Ibrahim adalah seorang imam (yang dapat dijadikan teladan),
patuh kepada Allah dan hanif. Dan dia bukanlah termasuk orang
musyrik (yang mempersekutukan Allah). Dia mensyukuri nikmatnikmat-Nya. Allah telah memilihnya dan menunjukinya ke jalan yang
lurus. Dan kami berikan kepadanya kebaikan di dunia, dan
sesungguhnya di akhirat dia termasuk orang-orang yang saleh.
Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad). Ikutilah agama
Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik.52
Term ‫( أمـة‬Ummah) terambil dari kata ‫ يؤم‬، ‫( أم‬amma, yaummu) yang
berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Dari akar kata yang sama
terbentuklah antara lain kata ummu yang berarti ibu dan imam yang
bermakna pemimpin, karena keduanya menjadi teladan, tumpuan,
pandangan dan harapan. Karena itu Nabi Ibrahim dalam ayat ini dinamai
dengan ummah karena pada diri beliau terkumpul semua kebaikan,53 dan dari
51
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Cet. I;
Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 116.
52
Departemen Agama RI., op. cit., h. 382.
53
Abiy ‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Abiy Bakrin al- Qurthubiy,
Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin lima Tadhammanah min al-Sunnah
wa Ayi al-Qur’an, Juz 13 (Cet. I; Bairut-Libanon: Muassasah al-Risalah, 2006
M./1427 H.), h. 357
18
H. M. Amir HM, Kisah Nabi Ibrahim Dalam…
sini beliau menjadi imam yakni pemimpin yang sangat perlu diteladani.54
c. Metode Nasehat/Tanya Jawab
Nabi Ibrahim telah menggunakan metode nasehat/Tanya jawab
ketika menasihati ayahnya dengan menggunakan bentuk-bentuk pertanyaan,
akhirnya ayahnya menjawab, sekalipun jawaban itu tidak memuaskan Nabi
Ibrahim, sebagamana firman Allah swt. dalam QS. Maryam/19: 41-50







    
    
     
    
    







    



   




   




   
    



     




    
   















    




   
   
    
Terjemahnya:
Dan ceritrakanlah (Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Kitab (alQur’an), sesungguhnya dia seorang yang sangat mencintai kebenaran,
54
M. Quraish Shihab, op. cit., volume, 7, h. 381.
19
Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:1-22
dan seorang nabi. (Ingatlah) ketia dia (Ibrahim) berkata kepada
ayahnya,”Wahai ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang
tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu
sedikitpun? Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian
ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku
akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku!
Janganlah engkau menyembah setan. Sungguh, setan itu durhaka
kepada Tuhan yang Maha Pengasih. Wahai ayahku! Aku sungguh
khawatir engkau akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pengasih,
sehingga engkau menjadi teman bagi setan. Dia (ayahnya)
berkata,”Bencikah engkau kepada Tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika
engkau tidak berhenti pasti engkau akan kurajam, maka tinggalkanlah
aku dalam waktu yang lama.” Dia (Ibrahim) berkata,”Semoga
keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memohonkan ampunan
bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan
aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang engkau sembah
selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan
aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku. Maka ketika
dia (Ibrahim) sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang
mereka sembah selain Allah, Kami anugrahkan kepadanya Ishak dan
Yakub. Dan masing-masing Kami angkat menjadi nabi. Dan Kami
anugrahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami
jadikan mereka buah telur yang baik dan mulia.55
Nabi Ibrahim telah menggunakan metode terbaik dalam adu
petanyaan. Beliau mengajukan pertanyaan dengan ketarangan yang paling
jelas untuk menyelamatkan bapaknya dari kesesatan dan menunjukkannya
jalan yang lurus atau yang benar. Nabi Ibrahim menghina bapaknya, karena
dia sembah yang dihina oleh setiap orang yang berakal. Penyembahan
merupakan puncak pengagungan seseorang. Hal itu hanya berhak diterima
oleh pencipta, pemberi rezeki, yang menghidupkan dan mematikan, serta
yang memberi pahala dan hukuman. Bukan berhala-berhala yang tidak dapat
mendengar suara, tidak dapat melihat serta tidak dapat mendatangkan
manfaat dan menolak mudharat.56
Nabi Ibrahim menasehati ayahnya dalam bentuk pertanyaan agar
tidak menyembah sesuatu selain Allah, lalu ayahnya pun menjawab, kalau
tidak berhenti menasehati aku akan saya rajam kamu, Ibrahim pun menjwab
semoga keselamatan menyertaimu. Dalam pendidikan Islam metode
tersebut, masih dirasakan manfaatnya, misalnya situasi kelas akan hidup
karena anak aktif berfikir dan menyampaikan buah pikirannya dengan baik
55
Departemen Agama RI., op. cit., h. 423-424.
Ahmad Mushtafa Al-Maragy, op. cit., juz 16. h. 55-56
56
20
H. M. Amir HM, Kisah Nabi Ibrahim Dalam…
dan benar, sekaligus menjadi pembiasaan bagi mereka, sehingga berani
mengungkapkan pendapatnya dengan lisan dan treratur.
KESIMPULAN
Hadirnya kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan sebuah isyarat
ilahi bagi umat manusia untuk mengambil nilai pembelajaran di dalamnya
dalam rangka mengokohkan keberadaannya sebagai khalifah Allah swt. di
muka bumi. Salah satu kisah dalam al-Qur’an yang sarat dengan nilai
pembelajaran tersebut adalah kisah Nabi Ibrahim khususnya ketika dikaitkan
dengan pendidikan Islam. Dalam kaitannya dengan dengan pendidikan
Islam, ada tiga aspek pendidikan Islam yang terkadung secara eksplisit
dalam pada kisah Nabi Ibrahim dalam al-Qur’an yaitu tujuan pendidikan
Islam, subyek dan obyek pendidikan Islam, serta metode pendidikan Islam.
Tujuan pendidikan Islam tergambar pada bagaimana Nabi Ibrahim
menemukan bahwa tujuan akhir dari segala upaya manusia adalah
mengesakan Allah swt dalam bingkai iman dan takwa. Subyek dan obyek
pendidikan Islam tergambar pada bagaimana Nabi Ibrahim menyerukan
nilai-nilai tauhid kepada kaumnya yang mendudukkan beliau sebaga subyek
yang tentunya selalu beriringan dengan bimbingan hidayah dari Allah swt
yang mendudukkan beliau sebagai obyek. Metode pendidikan Islam
tergambar pada berbagai metode yang ditempuh oleh Nabi Ibrahim dalam
menyampaikan nilai-nilai tauhid kepada kaumnnya yang meliputi diskusi,
keteladana, serta nasehat/tanya jawab.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Aby al-Husain, Mu’jam Maqayis al-Lugah,
jilid I. Bairut: Dar Al-Jili, 1320 H./1999.
al-Asfahani, Al-Ragib, Mufradat alfazh al-Qur’an. Damsyiq: Dar Al-Qalam,
t.th.
Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. (Cet. I;
Jakarta: Ciputat Press, 2002
21
Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014:1-22
‘Athi Abdullah, Abdul Wahhab Manahij Ulu al-Azm min al-Rasul fi Tablig
al-Dakwah ‘ala Dhau ma ja’a fi al-Quranil Karim. Cet. I; Kairo:
Dar al-Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1991
al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, al-Tarbiyyah wa al-Falasifah. Mesir: alNalabi, 1996.
al-Andalusiy, Abiy Muhammad ‘Abd. Al-Haq ibn ‘Athiyah, al-Muharrar alWajiz fi Tafsiri al-Kitab al-‘Aziz/ Tafsir Ibnu ‘Athiyah, Juz IV (Cet.
I: Bairut-Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2001 M./1422 H.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
ketiga. Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahny, edisi tahun 2002.
Semarang; PT. Karya Toha Putra, 2002.
Faisal, Yusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Gema
Insani Press, 1995
al-Jumbulati, Ali, Perbandingan Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Rineka
Cipta, 1994
al-Maragiy, Ahmad Mushtafa, Tafsir Al-Maragy, juz 19. Cet. I; Meshir:
Mushthafa asl-Bab al-Halabi, 1365 H./1946 M.
al-Mahalliy, Jalal al-Din Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad dan Jalal
al-Din Abd. Al-Rahman ibn Abiy Bakr al-Suyutiy, Tafsir al-Imam
al-Jalalain (Damsyiq: Dar Ibn Katsir, 1407H.
al-Munawar, Said Agil Husain, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam Sistem
Pendidikan Islam, et. II; Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir. Yogyakarta: Pondok
Pesantren Al-Munawwir, 1984.
al- Qurthubiy, Abiy ‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Abiy Bakrin,
Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin lima
Tadhammanah min al-Sunnah wa Ayi al-Qur’an, Juz 13. Cet. I;
Bairut-Libanon: Muassasah al-Risalah, 2006 M./1427 H.
al-Qaththan, Manna’ Mabahits fiy ‘Ulum al-Qur’an. Bairut: Muassasah alRisalah, t.th.
Ramayulis,.Metodologi Pendidikan Islam. Cet. V; Jakarta: Kalam Mulia,
2008
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an Pungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. IX; Bandung: Mizan, 1995.
22
H. M. Amir HM, Kisah Nabi Ibrahim Dalam…
--------, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, Keserasian al-Qur’an,
Volume 10. Cet. III; Lentera Hati: Ciputat Tangerang, 2005
Uhbiyati, Nur, Ilmu pendidikan Islam. Cet. I; Bandung: Balai Pustaka Setia,
1997
23
Download