BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan jumlah pulau mencapai sekitar 17.480, dan panjang garis pantai 95.181 km (nomor empat terpanjang di dunia) memiliki potensi perairan yang sangat besar (KKP, 2011; Rompas, 2011). Perairan Indonesia memiliki potensi ekonomi yang mencakup perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, dan wisata bahari yang nilainya mencapai 1,2 triliun dolar AS per tahun atau setara dengan 10 kali lipat jumlah APBN Indonesia pada tahun 2012 (IPOSnews, 2012; Cahaya, 2012). Luas daratan yang dimiliki Indonesia 1,9 juta kilometer persegi, sedangkan luas lautan 5,8 juta kilometer persegi atau sama dengan dua pertiga luas wilayah Indonesia (KKP, 2011; Mulyana dan Salahuddin, 2012). Jadi Indonesia termasuk sebagai negara bahari atau maritim, di mana sekitar 40 juta orang penduduk tinggal di daerah pesisir (Rompas, 2011; Mulyana dan Salahuddin, 2012). Salah satu kendala dalam pemanfaatan potensi sumberdaya laut Indonesia adalah perubahan lingkungan yang terjadi akibat fenomena El Nino yang kemudian disusul dengan La Nina di wilayah Indonesia bagian Timur. Kejadian El Nino terburuk terjadi di Pantai Peru pada bulan September 1982 yang menyebabkan suhu permukaan laut naik hingga 4 derajat celcius dari suhu normal. Akibat kejadian tersebut kandungan nutrien dipermukaan laut menurun karena terjadi downwelling. Selanjutnya produktivitas primer di laut juga 1 2 mengalami penurunan sebagai akibat berkurangnya suplai nutrien sehingga mempengaruhi rantai makanan secara umum dan mengakibatkan hancurnya sektor perikanan di Pasifik Timur (Hutabarat, 2001; Pennington, 2006). Kerugian yang diderita dunia akibat El Nino tahun 1982/1983 mencapai lebih dari US$ 8 milyar (Soesilo, 2000). Berbeda dengan El Nino, La Nina terjadi pada suhu yang lebih dingin. Saat terjadi La Nina, angin yang bertiup dari Timur Pasifik bertambah kuat dan suhu menjadi dingin sepanjang pantai Barat Benua Amerika Selatan. Kawasan Asia Tenggara dan Australia akan mengalami peningkatan suhu yang menyebabkan banyak turun hujan di wilayah Indonesia (Pustekkom, 2007). Kondisi oseanografi Indonesia banyak dipengaruhi oleh angin monsun yang menimbulkan arus monsun dan Arus Lintas Indonesia (Arlindo). Massa air yang terangkut oleh Arlindo dipengaruhi oleh adanya ENSO yang terdiri dari kondisi normal, El Nino dan La Nina (Ilahude dan Nontji, 1999). Terdapat beberapa bukti yang menunjukkan kaitan antara terjadinya ENSO dengan perubahan suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a sehingga berdampak terhadap hasil tangkapan ikan pelagis (Sartimbul, dkk., 2010). Kajian hubungan antara ENSO terhadap hasil tangkapan ikan pelagis di perairan Nusantara perlu ditingkatkan. Pasifik tengahdingin 1.2. Perumusan Masalah Kepulauan Indonesia yang berada pada 7o LU-12o LS dan 94o BT-142oBT merupakan daerah yang terletak pada ekuator dan berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di bagian timurnya. Letak geografis ini mengakibatkan 3 Indonesia turut merasakan dampak terjadinya El Nino. Pada saat El Nino tahun 1997/1998 telah terjadi kekeringan di beberapa wilayah Indonesia. BMKG menyatakan daerah Indonesia yang berpotensi terpengaruh El Nino adalah kawasan Indonesia bagian Tengah dan Timur (BMKG, 2010). Dampak El Nino di wilayah Indonesia mengakibatkan terjadinya bencana kekeringan panjang, penurunan curah hujan dan kebakaran hutan, sedangkan kejadian La Nina menyebabkan curah hujan di atas normal yang menimbulkan bencana banjir. Kenaikkan suhu permukaan laut akibat fenomena ENSO dapat mencapai 2-3 derajat celcius lebih tinggi dari suhu permukaan laut secara keseluruhan yang akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap keanekaragaman hayati di laut (Susilo, 2000; IPCC, 2002; Irawan, 2006). ENSO yang terjadi di Pasifik Ekuator bagian Tengah dan Timur akan mempengaruhi kondisi perairan Indonesia. Pengaruh tersebut ditandai dengan terjadinya peningkatan durasi dan intensitas upwelling serta menaikkan lapisan termoklin sehingga menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun normal (Susanto dan Gordon, 2005 dalam Qu et al., 2005). Selain perairan terbuka, ENSO juga berpengaruh terhadap perairan semi tertutup seperti pada beberapa teluk yang berbatasan dengan perairan terbuka. Menurut penelitian Kemili dan Putri (2012), pada perairan Teluk Bone terjadi upwelling sepanjang bulan Juni-September dengan penurunan suhu permukaan laut mencapai 1-1,82 o C dan peningkatan rata-rata produksi primer bersih mencapai 300-400 mg/cm2 per hari. Dalam penelitian ini pengaruh ENSO tidak terlalu kuat namun masih 4 dapat terlihat, seperti pada tahun 2006 El nino menyebabkan durasi upwelling menjadi lebih panjang, yang biasanya 3 bulan menjadi 4 bulan Terjadinya upwelling akan mempengaruhi tingkat produktivitas primer di beberapa perairan Indonesia yang mengacu pada tingkat penurunan suhu permukaan laut yang dapat diperkuat dan diperlemah oleh fenomena ENSO di Samudera Pasifik (Kemili dan Putri, 2012). Daerah upwelling ditandai dengan suatu daerah memiliki suhu lebih rendah dibanding daerah di sekitarnya, yaitu jika anomali suhu permukaan laut ≥0,5 oC di bawah suhu rata-rata (Ghazali dan Manan, 2011; Kemili dan Putri, 2012). Suhu di laut sangat penting bagi kehidupan organisme karena dapat mempengaruhi metabolisme maupun perkembangbiakannya (Hutabarat dan Evans, 1985). Suhu air laut yang terlalu tinggi di lapisan permukaan akibat fenomena El Nino dapat merusak jaringan tubuh fitoplankton sehingga akan mengganggu proses fotosintesa, selain itu akan mengakibatkan proses penurunan massa air di lapisan atas ke lapisan bawah (downwelling) sehingga fitoplankton turut terbawa ke kolom air yang dalam. Inilah mengapa perairan tersebut menjadi tidak produktif lagi (Nybakken 1982; Lo, 1996). Suhu permukaan laut memiliki pola yang berkebalikan dengan konsentrasi klorofil-a, ketika nilai suhu permukaan laut mencapai titik minimum, maka nilai konsentrasi klorofil-a mencapai titik maksimum (Acker dkk., 2008; Madjid dkk., 2011). Saat terjadi fenomena ENSO di Pasifik bagian Timur dan Tengah, suhu permukaan laut meningkat di atas rata-rata, sedangkan di perairan wilayah Indonesia dan sekitarnya suhu permukaan laut menurun di bawah rata-rata normal 5 (NCEP, 2012). Pola penyebaran klorofil-a salah satunya berdasarkan suhu permukaan laut tempat lingkungannya berada (Afdal dan Riyono, 2004). Selain memberikan kerugian, El Nino juga memberikan keuntungan pada Indonesia yang memiliki lautan yang sangat luas. Selama kejadian El Nino, angin Pasat Timur melemah. Aliran angin ke timur menjadi berbalik ke arah Pasifik bagian barat. Cuaca di Indonesia dan Australia menjadi lebih dingin dan kering. Curah hujan di wilayah Indonesia berkurang karena potensi hujan didorong ke arah barat. Hal ini menyebabkan suhu permukaan laut di wilayah Indonesia menjadi lebih dingin akibat naiknya massa air di bawah permukaan air laut ke permukaan air laut (upwelling). Upwelling ini menyebabkan daerah tersebut sebagai tempat yang subur bagi jutaan plankton dan populasi ikan di perairan tersebut akan meningkat (Hutabarat dan Evans, 1985). Selain itu, ikan tuna di Pasifik bergerak ke arah Timur, sedangkan ikan tuna yang berada di samudera Hindia bergerak ke wilayah selatan Indonesia. Hal tersebut dikarenakan perairan di Timur samudera Hindia mendingin, sedangkan yang berada di barat Sumatera dan Selatan Jawa menghangat. Inilah mengapa saat terjadi El Nino perairan Indonesia kaya akan ikan tuna (Wijaya, 2011; NCEP, 2012). Hasil tangkapan ikan di suatu perairan sangat ditentukan oleh kesuburan perairan. Tingkat kesuburan perairan biasanya dihubungkan dengan konsentrasi nutrien dalam badan perairan tersebut. Fitoplankton yang mengandung klorofil-a merupakan tumbuhan laut yang keberadaannya sangat tergantung pada kandungan nutrien di suatu perairan. Hal ini karena fitoplankton dapat memanfaatkan secara langsung nutrien melalui proses fotosintesis (Nontji, 2007). Oleh karena itu, 6 klorofil-a merupakan salah satu alat pengukur kesuburan perairan yang berkaitan dengan produktivitas hasil tangkapan. Perairan dengan kandungan klorofil-a tinggi pasti banyak mengandung fitoplankton yang disenangi oleh gerombolan ikan (Nybakken, 1982; Ghazali dan Manan, 2011). Pengambilan data langsung sering terkendala dengan keberlanjutan data (time series) dikarenakan observasi di perairan terutama di laut sangat mahal dan memakan waktu (Lillesand dan Kiefer, 1990; Nezlin dan Bai-Lian, 2003). Wilayah yang sangat luas dan cuaca yang cepat sekali berubah menjadi permasalahan tersendiri dalam pengambilan data langsung di perairan laut, sehingga perlu dicarikan sebuah teknik perolehan data yang efektif dan efisien dibandingkan dengan metode konvensional. Terlebih lagi pengkajian mengenai fenomena ENSO memerlukan seri data yang panjang. Untuk pengkajian dan pemantauan fenomena-fenomena tersebut diperlukan adanya teknologi observasi yang dapat menghasilkan data kondisi perairan Indonesia secara real time dan akurat. Saat ini telah berkembang secara pesat metode penginderaan jauh, yaitu ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek atau fenomena dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung dengan benda, objek atau dengan fenomena itu sendiri (Lillesand dan Kiefer,1990). Penggunaan teknologi penginderaan jauh merupakan suatu alternatif yang perlu dikaji untuk mendapatkan informasi tentang sumberdaya perairan. Teknologi ini mampu memberikan informasi secara cepat, berulang dan kontinyu sehingga bisa mengamati fenomena di lautan yang luas dan dinamis. Kebutuhan informasi 7 kondisi laut sangat diperlukan oleh para ahli kelautan dan perikanan untuk lebih lanjut dapat diinformasikan kepada nelayan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan hasil laut. Teknologi penginderaan jauh dapat memberikan solusi dalam menyediakan informasi yang diperlukan untuk meningkatkan hasil tangkapan nelayan (Kusumowidagdo dkk., 2008). Penggunaan data satelit penginderaan jauh untuk mengobservasi lingkungan laut terbukti memberikan solusi untuk kemudahan pengambilan data. Keuntungan menggunakan data satelit di bidang kelautan diantaranya adalah dapat menghemat waktu dan biaya serta dapat mencakup wilayah yang luas (Santos, 2000). Ada beberapa parameter tentang kondisi spesifik perairan yang dapat dideteksi dengan menggunakan sensor-sensor satelit penginderaan jauh, seperti: distribusi konsentrasi klorofil-a, distribusi suhu permukaan laut, daerahdaerah upwelling, arus, dan pola gerakan air (Kusumowidagdo dkk., 2008). Kawasan teluk Bone termasuk perairan yang subur di Indonesia dan memiliki potensi perikanan yang cukup besar seperti ikan tuna, cakalang, tongkol, kerapu sunu, kerapu macan, kerapu bebek dan ikan napoleon. Sekitar 59% produksi ikan cakalang Sulawesi Selatan berasal dari kawasan Teluk Bone. Selain perikanan laut terdapat juga budidaya perikanan laut dan darat yang dapat ditemui di kawasan pesisir Teluk Bone. Jenis yang dipelihara dalam budidaya laut di antaranya adalah lobster, teripang dan rumput laut, sedangkan untuk perikanan darat dibudidayakan udang, kepiting dan bandeng (Birowo, 1979 dalam Ernawati, 1996; Hidayati dkk., 2011; Jamal dkk., 2011). Fenomena ENSO mempengaruhi durasi dan intensitas upwelling perairan di Teluk Bone, namun belum ada 8 penelitian yang mengkaji fenomena ENSO yang terjadi di kawasan di Teluk Bone. Teluk Bone merupakan salah satu kawasan potensial perikanan yang memiliki posisi strategis. Apabila Teluk Bone dikelola secara optimal dan terpadu diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata pada program pemerintah dalam revitalisasi perikanan sesuai dengan Undang-Undang No 31 tahun 2004 pasal 60 tentang Perikanan, dan Peraturan Presiden No 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasioanal (RPJMN) yang meliputi program pengentasan kemiskinan (pro-poor), penciptaan lapangan kerja (pro-job), dan percepatan pertumbuhan (pro-growth) (Jassin, 2012; BPS Kab. Bone, 2008). Kawasan Teluk Bone pada umumnya dipengaruhi oleh dua musim, yaitu Musim Barat dan Musim Timur. Pada Musim Barat, kondisi cuaca dipengaruhi oleh angin yang datang dari Pulau Jawa melewati Kepulauan Selayar sehingga angin yang memasuki Teluk Bone agak melemah. Musim Barat terjadi pada bulan Desember sampai Februari. Pada Musim Timur angin berhembus dari laut Flores langsung menuju kawasan Teluk Bone sehingga angin bertiup sangat kencang. Musim Timur terjadi pada bulan Juni sampai Agustus. Tingginya kecepatan angin pada musim ini menimbulkan gelombang yang cukup besar sehingga berpengaruh terhadap kegiatan kenelayanan. Pada musim ini, nelayan yang menggunakan armada cukup besar sampai 10 GT menangkap ikan ke daerah Selayar, Kupang, Flores, dan Irian. Kemudian pada Musim Barat mereka kembali menangkap ikan di sekitar Teluk Bone (Wyrtki, 1961; Hidayati dkk., 2011). 9 Sejak tahun 2008 di Teluk Bone telah dioperasikan alat tangkap set net yang merupakan program transfer teknologi kerjasama antara pemerintah Jepang dan Indonesia. Set net termasuk dalam golongan alat tangkap pasif yang sejenis dengan beberapa alat tangkap di Indonesia seperti bubu, sero, jermal, atau jenis perangkap lainnya. Perbedaannya, set net dipasang pada perairan yang dalam (di Teluk Bone pada kedalaman 13 meter), namun prinsip kerjanya sama yakni bersifat perangkap (Hajar, 2011; Samma, 2011). Alat tangkap set net dapat mengeksploitasi berbagai jenis ikan pelagis dan demersal termasuk ikan karang tanpa merusak karang, sehingga alat tangkap ini memiliki tingkat keramahan lingkungan yang tinggi. Ikan yang tertangkap biasanya adalah gerombolan ikan yang sedang bermigrasi. Hasil tangkapan set net sangat tergantung dari beberapa faktor, yaitu: keberadaan ikan, arah ruaya ikan, dan faktor oseanografi di mana alat tangkap set net ditempatkan (Sudirman, dkk., 2010; Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, 2011). Faktor oseanografi yang mempengaruhi hasil tangkapan set net di antaranya adalah kecepatan dan arah arus, suhu, salinitas, dan kesuburan perairan di sekitar wilayah tersebut (Hajar, 2011). Faktor-faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi musim, yang dapat berubah durasi dan waktunya akibat terjadinya ENSO. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Kurangnya informasi mengenai karakteristik suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a di Teluk Bone. 2. Kurangnya informasi tentang hubungan ENSO dengan suhu permukaan laut di Teluk Bone. 10 3. Kurangnya informasi tentang hubungan suhu permukaan laut dengan konsentrasi klorofil-a di Teluk Bone. 4. Kurangnya informasi tentang hubungan konsentrasi klorofil-a dengan hasil tangkapan set net di Teluk Bone. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian berdasarkan perumusan permasalahan yaitu : 1. Mengetahui karakteristik suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a di Teluk Bone. 2. Menentukan hubungan antara ENSO dengan suhu permukaan laut di Teluk Bone. 3. Menentukan hubungan antara suhu permukaan laut dengan konsentrasi klorofil-a di Teluk Bone. 4. Menentukan hubungan antara konsentrasi klorofil-a dengan hasil tangkapan set net di Teluk Bone. 1.4. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang meliputi dua hal sebagai berikut : 1. Manfaat bagi ilmu pengetahuan Manfaat penelitian ini terhadap Ilmu Lingkungan diharapkan dapat memperkaya wawasan mengenai terjadinya fenomena ENSO di Teluk Bone yang dihubungkan dengan suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a serta hasil tangkapan set net di Teluk Bone. 11 2. Manfaat bagi masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitar teluk Bone dalam menyikapi terjadinya ENSO. Manfaat bagi masyarakat dibagi menjadi dua, yaitu : 1) Memberikan masukan dan acuan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten yang ada di sekitar Teluk Bone dan instansi terkait mengenai fenomena ENSO yang dapat dideteksi 6 bulan sebelumnya, sehingga dapat mempersiapkan dan membangun manajemen yang beradaptasi dengan fenomena ENSO terhadap usaha budidaya perikanan dan usaha penangkapan ikan khususnya set net di Teluk Bone. 2) Memberikan informasi bagi masyarakat di sekitar Teluk Bone terutama masyarakat pembudidaya ikan dan nelayan mengenai kondisi Teluk Bone akibat terjadinya fenomena ENSO, sehingga dapat dilakukan tindakan adaptasi dalam pemanfaatan sumberdaya perairan Teluk Bone untuk peningkatan kesejahteraan. 1.5. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut untuk mendeteksi tempat berkumpulnya ikan atau fishing ground menggunakan data citra satelit telah banyak dilakukan para peneliti baik dalam maupun luar negeri, namun berdasarkan penelusuran dari peneliti belum banyak penelitian yang melihat hubungan ENSO dengan suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia. Sehingga perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian- 12 penelitian lainnya, yaitu: 1) tema penelitian, (2) lokasi berbeda, dan (3) waktu penelitian. Penelitian Kajian ENSO, Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Set Net di Teluk Bone ini masuk ke dalam bidang Ilmu Lingkungan dikarenakan memenuhi unsur abiotik, biotik dan culture. Unsur abiotik diwakili oleh perolehan data suhu permukaan laut sebagai salah satu unsur fisika oseanografi. Unsur biotik diwakili oleh perolehan data konsentrasi klorofil-a dan hasil tangkapan set net sebagai unsur biologi oseanografi. Unsur culture atau sosial diwakili oleh pengguna manfaat dari penelitian ini, yaitu masyarakat di sekitar Teluk Bone. 13 Beberapa penelitian yang memiliki kemiripan topik dengan penelitian ini berdasarkan hasil penelusuran penulis disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Penelitian yang berhubungan dengan ENSO, distribusi fitoplankton dan suhu permukaan laut menggunakan citra satelit MODIS. No Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil 1. R. Dwi Sutanto dan John Marra (2005) Effect of The 1997/98 El Nino on Chlorophyll-a Variability Along the Southern Coasts of Java and Sumatera Mendeteksi terjadinya ENSO pada tahun 1997/98 melalui data satelit ocean color yang diwakili oleh klorofil-a Terjadinya ENSO bertepatan dengan terjadinya Indian Ocean Dipole (IOD) sehingga digunakan overlay antara rata-rata variasi konsentrasi klorofil-a di tiap titik sampling dengan IOD indeks. -Terjadi El Nino kuat yang diikuti dengan kejadian La Nina pada tahun 1997/98 yang bertepatan dengan terjadinya Indian Ocean Dipole (IOD) -Kejadian ENSO berhubungan dengan peningkatan jumlah klorofil-a di daerah upwelling di sepanjang pantai bagian selatan Jawa dan Sumatera. 2. Haries Satyawardh ana (2006) Pengaruh ENSO (El Nino Southern Oscillation) Terhadap Sebaran Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a, dan Zona Potensi Perikanan di perairan Jawa Bagian Timur, Selat Bali dan Sekitarnya. Mengolah data citra NOAA-AVHRR dan SEAWIFS untuk mendapatkan nilai SPL dan klorofil-a. Analisis potensi perikanan dilakukan dengan membandingkan antara peta sebaran SPL dan data sebaran klorofil-a, kemudian disajikan dalam peta zonasi potensi perikanan. Fenomena ENSO sangat berpengaruh terhadap SPL dan kandungan klorofil-a di suatu perairan yang berpengaruh terhadap penyebaran zona potensi perikanan. 3. Denny Wijaya Kusuma (2007) Pengaruh IOD dan ENSO dalam pembentukan Badai di Selatan Indonesia 1.Mengkaji pengaruh ENSO terhadap pola penyebaran SPL dan klorofil-a di perairan Jawa bagian timur, Selat Bali dan sekitarnya. 2.Mengetahui potensi perikanan di Selat Bali pada setiap musim laut di tiga fenomena iklim yang berbeda (El Nino, La Nina, dan normal). Melihat pengaruh IOD dan ENSO dalam Pembentukan Badai di Selatan Indonesia Analisis visual, analisis suhu permukaan laut, analisis ketinggian muka laut. 1).Sepanjang 2007 terjadi 2 kali badai di selatan Indonesia.2).Interaksi antara Samudera Hindia, Pasifik, dan Antartika memicu badai di Selatan Indonesia.3).Terjadi perubahan iklim yang cepat dan hal ini memicu banyaknya badai. 14 No Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil 4. Adi Ramadhani (2010) Variasi Suhu Permukaan Laut Pada Empat Musim Periode 2006-2009 di Laut Jawa Berdasarkan Pengolahan Citra MODIS Menyajikan dan menganalisis hubungan variasi suhu permukaan laut dengan konsentrasi dan sebaran klorofil-a yang berhubungan dengan variasi hasil tangkapan ikan di Selat Bali berdasarkan pengolahan citra MODIS. Citra MODIS dan data yang diperlukan diunduh dan diolah selanjutnya dilakukan uji akurasi sebagai validasi data suhu permukaan laut berdasarkan pengolahan citra MODIS terhadap suhu permukaan laut sebenarnya di lapangan. Menentukan nilai rata-rata suhu permukaan laut sebagai dasar pembuatan peta suhu permukaan laut. Berdasarkan analisis korelasi data suhu permukaan laut diperoleh nilai korelasi determinasi R2=0,87 sehingga data suhu permukaan laut dari pengolahan citra MODIS cukup akurat merepresentasikan kondisi sebenarnya di lapangan. 5. Aida Sartimbul, Hideaki Nakata, Erfan Rohadi, Beni Yusuf, Hanggar Prasetyo Kadarsima (2010) Variation in Chlorophyll-a Concentration and The Impact on Sardinella Lemuru Mengetahui respon suhu permukaan laut yang dipengaruhi monsun yang berimbas terhadap klorofil-a dan hasil tangkapan ikan lemuru di Selat Bali Data suhu permukaan laut dan klorofil-a didapat melalui citra MODIS level-3 yang didunduh dari NASA Goddard Space Flight Centre (GSFC). Data IOD diiunduh dari www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/ iod/jamstec. Untuk menentukan fenomena yang terjadi di data deret SPL dan klorofil-a digunakan metode anomali. Data SPL dikorelasikan dengan klorofil-a, kemudian klorofila dikorelasikan dengan CPUE ikan lemuru tiga bulan ke depan. Penurunan nilai SPL diikuti dengan peningkatan nilai klorofil-a di Selat Bali pada tahun 2003-2007. Terdapat hubungan yang kuat (r = 0,71) antara klorofil-a dengan CPUE ikan lemuru di Selat Bali pada tahun 2003-2007. 15 No Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil 6. J.F. Feng dan L. Zhu (2012) Changing Trends and Relationship Between Global Ocean Chlorophyll and Sea Surface Temperature Mengidentifikasi perubahan kecenderungan fitoplankton laut dan kaitannya dengan perubahan iklim secara global. Secara global Konsentrasi klorofil-a meningkat saat SPL mengalami penurunan pada tahun 2003-2009. 7. Kusriyati (2013) Kajian ENSO, Hubungannya dengan Suhu Permukaan Laut dan Konsentrasi Klorofil-a di Teluk Bone -Mengetahui hubungan ENSO terhadap suhu permukaan laut, SPL dan konsentrasi klorofil-a di Teluk Bone -Mengetahui hubungan antara klorofil-a dengan hasil tangkapan set net di Teluk Bone. -Data seri temporal mengenai konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut dari 2003-2009 didapatkan dari pengolahan Citra MODIS Aqua/NASA. -Data konsentrasi klorofil-a dan SPL dianalisis menggunakan analisis regresi linear untuk mendapatkan perubahan kecenderungan antara klorofil-a dan SPL. Pengolahan data Citra MODIS yang didownload dari http://oceancolor.gfsc.nasa.gov/cgi/l 3 untuk mendapatkan data klorofil-a dan suhu permukaan laut dilakukan pada softwar ENVI 4.5dan ArcGIS 9.3. Data SPL dianalisis menggunakan analisis korelasi terhadap Southern Oscilation Index (SOI) sehingga didapatkan hubungan antaraENSO terhadap SPL. SPL dianalisis koreasi terhadap konsentrasi klorofil-a sehingga didapat hubungan antara SPL dan konsentrasi klorofil-a. Konsentrasi klorofil-a dianalisis korelasi dengan CPUE ikan pelagis hasil tangkapan set net di Teluk Bone. 1. Karakteristik suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a di Teluk Bone sebagai berikut: a. Suhu permukaan laut di Teluk Bone mengikuti pola musim yang hampir sama sepanjang tahun, yaitu tertinggi pada musim barat dengan kisaran 29,8 – 32oC dan terendah terjadi pada musim timur dengan kisaran 28,1 – 30,5oC. b. Fluktuasi konsentrasi klorofil-a dipengaruhi limpasan sungai yang bermuara di Teluk Bone. Konsentrasi klorofil-a rendah terjadi antara bulan Januari hingga Maret dengan kisaran 0,18 – 0,32 mg/m3, kemudian meningkat pada bulan April sampai Agustus dengan kisaran 0,21 – 0,41 mg/m3, dan kembali menurun pada bulan September hingga November yang berkisar antara 0,19 – 0,34 mg/m3. 1. ENSO tidak memiliki pola hubungan yang jelas dengan SPL dengan nilai korelasi 0,141. 2. Hubungan antara SPL dengan konsentrasi klorofil-a sangat lemah dengan nilai korelasi -0,126. 3. Meningkat dan menurunnya konsentrasi klorofil-a tidak memiliki hubungan yang kuat dengan CPUE ikan pelagis