BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketombe disebut juga

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketombe disebut juga Pityriasis sika atau dandruff merupakan suatu
keadaan anomali pada kulit kepala dengan terjadinya pengelupasan sel stratum
korneum atau lapisan tanduk secara berlebihan dari kulit kepala yang lebih cepat
dari biasanya, membentuk sisik tipis berukuran 2−3 milimeter, berwarna keputihputihan dan disertai rasa gatal. Berbagai kondisi memudahkan seseorang
berketombe yaitu hiperproliferasi epidermis, keaktifan kelenjar sebasea, faktor
genetik dan stress (Degree, 1989).
Pityrosporum ovale merupakan yeast lipofilik sebagai komensalisme kulit
dan bisa menjadi patogen pada kondisi tertentu (Kindo, 2004) seperti suhu,
kelembaban dan kadar minyak yang tinggi dapat memicu pertumbuhan fungi
P. ovale ini sehingga menimbulkan ketombe (Naturakos, 2009). Pada kondisi
normal, kecepatan pertumbuhan fungi P. ovale kurang dari 47%. Akan tetapi, jika
ada faktor pemicu yang dapat mengganggu kesetimbangan P. ovale pada kulit
kepala, maka akan terjadi peningkatan kecepatan pertumbuhan fungi P. ovale
yang dapat mencapai 74%. Banyaknya populasi P. ovale inilah yang memicu
terjadinya ketombe (Rook, 1991 dalam Yulinah, 2006).
Penggunaan tumbuhan obat sebagai obat tradisional di berbagai negara kini
semakin berkembang. Di negara kita, masyarakat banyak menggunakan tumbuhan
obat sebagai obat alternatif, karena selain mudah didapatkan harganya pun relatif
murah jika dibandingkan obat modern. Salah satu tumbuhan yang sering dipakai
untuk pengobatan khususnya pada penyakit kulit oleh masyarakat adalah rimpang
temulawak (Soemiati, 2002).
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) (Jawa Tengah) disebut juga
koneng gede (Jawa Barat/Sunda). Temulawak termasuk suku zingiberaceae yang
merupakan jenis tumbuh-tumbuhan herba dengan batang pohon berbentuk batang
semu dan tinggi mencapai 2 meter. Aroma dan warna khas dari rimpang
temulawak adalah berbau tajam dan daging buah berwarna kekuning-kuningan
(Armando, 2009).
Berdasarkan penelitian beberapa tumbuhan obat sebagai antifungi
diperoleh kesimpulan bahwa rimpang temulawak berpotensi sebagai antifungi lain
(Sundari, 2001). Pemberian konsentrasi ekstrak rimpang temulawak berpengaruh
terhadap penurunan jumlah koloni bakteri Staphylococcus aureus dan berpotensi
sebagai antibakteri (Mashita, 2008). Air perasan rimpang temulawak mempunyai
daya anti fungi terhadap fungi Trichophyton rubrum dan Microsporum gypseum,
yang ditunjukan dengan kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan fungi
tersebut pada konsentrasi 10% (Yusuf, 2000). Oleh karena itu, rimpang
temulawak dapat digunakan sebagai alternatif untuk menghambat pertumbuhan
fungi pada ketombe.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk meneliti
efektivitas ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) sebagai
penghambat pertumbuhan fungi Pityrosporum ovale pada ketombe. Selain itu,
hasil yang diperoleh nantinya dapat memberikan informasi kepada masyarakat
tentang khasiat dan efektivitas ekstrak rimpang temulawak dalam menghambat
pertumbuhan fungi P. ovale pada ketombe.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
1. Apakah ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) efektif
menghambat pertumbuhan fungi Pityrosporum ovale pada ketombe?
2. Berapakah konsentrasi ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.) yang efektif menghambat pertumbuhan fungi Pityrosporum ovale pada
ketombe?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui efektivitas ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.) dalam menghambat pertumbuhan fungi Pityrosporum ovale pada
ketombe.
2. Mengetahui konsentrasi ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.) yang efektif menghambat pertumbuhan fungi Pityrosporum ovale pada
ketombe.
1.4 Manfaat Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat menambah data ilmiah bagi ilmu dan
pengetahuan serta memberikan informasi kepada masyarakat umum mengenai
efektivitas ekstrak rimpang temulawak dalam menghambat pertumbuhan fungi
P. ovale pada ketombe.
1.5 Kerangka Pemikiran
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang diperoleh dengan
mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua pelarut diuapkan. Ekstraksi adalah perpindahan massa zat aktif
yang semula berada dalam simplisia selanjutnya akan ditarik oleh cairan penyari
(BPOM RI, 2010). Metode ekstraksi adalah maserasi, perkolasi, refluks, infus dan
soxhletasi. Pemilihan metode tersebut didasarkan dengan kepentingan dalam
memperoleh sari yang baik (Widayati, 2008).
Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan
perendaman dan sesekali pengadukan pada suhu kamar. Maserasi merupakan
proses paling cepat dimana simplisia yang sudah halus di rendam dalam pelarut
sampai meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut
akan melarut. Pemilihan larutan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor
diantaranya larutan penyari yang baik harus memenuhi kriteria yaitu murah,
mudah didapat dan selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki
dan tidak mempengaruhi zat berkhasiat tersebut (Ditjen POM, 2000).
Farmakope Indonesia telah menetapkan bahwa sebagai cairan penyari yang
dapat dipergunakan adalah air, etanol, etanol-air dan eter. Etanol tidak
menyebabkan pembengkakan membran sel melainkan memperbaiki stabilitas
bahan obat atau simplisia terlarut. Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena
lebih selektif, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% keatas, tidak
beracun, netral dan absorpsinya baik. Etanol dapat melarutkan alkaloid basa,
glikosida, kurkumin, antrakinon, flavonoid dan steroid (Indraswari, 2008).
Rimpang temulawak mengandung zat kuning yaitu kurkumin, minyak
atsiri, pati, protein, lemak (fixed oil), selulosa dan mineral. Kadar dari masingmasing zat tersebut tergantung dari umur tumbuhan yang dipanen (Yusuf, 2000).
Rimpang temulawak mengandung zat kurkumin sebanyak 1,4−4% dan minyak
atsiri yaitu phellandreen, kamfer memberi bau khas pada temulawak. Kandungan
minyak atsiri pada temulawak yang bermuatan felandren dan turmerol, terdapat
juga pada kurkumin dan pati temulawak dengan dosis 0,5−1,5 g (Kartasapoetro,
1992). Minyak atsiri dan kurkumin pada temulawak dapat menyembuhkan
penyakit tertentu termasuk penyakit kulit. Kadar minyak atsiri mencapai
7,3−29,5% dan zat tepung atau pati sebesar 37,2−61% (Rismunandar, 1996).
Ketombe merupakan suatu keadaan anomali pada kulit kepala dengan
terjadinya pengelupasan sel stratum korneum atau lapisan tanduk secara
berlebihan dari kulit kepala yang lebih cepat dari biasanya, membentuk sisik tipis
berukuran 2−3 milimeter, berwarna keputih-putihan dan disertai rasa gatal
(Degree, 1989).
Pityrosporum ovale merupakan yeast lipofilik sebagai komensalisme kulit
dan bisa menjadi patogen pada kondisi tertentu (Kindo, 2004) seperti suhu,
kelembaban dan kadar minyak yang tinggi dapat memicu pertumbuhan fungi
P. ovale ini sehingga menimbulkan ketombe (Naturakos, 2009). Pada kondisi
normal, kecepatan pertumbuhan fungi P. ovale kurang dari 47%. Akan tetapi, jika
ada faktor pemicu yang dapat mengganggu kesetimbangan P. ovale, maka akan
terjadi peningkatan kecepatan pertumbuhan fungi P. ovale yang dapat mencapai
74%. Banyaknya populasi P. ovale inilah yang memicu terjadinya ketombe
(Rook dalam Yulinah, 2006).
Hiperproliferasi sel epidermis dan peningkatan jumlah fungi P. ovale
terdapat pada ketombe, akan tetapi sampai saat ini belum ada kesepakatan
mengenai faktor mana yang merupakan penyebab primer. Leyden, et al. (1976)
serta Kligman, et al. (1979) berdasarkan penelitiannya mengobati ketombe dengan
amfoterisin topikal, menyimpulkan bahwa P. ovale bukanlah penyebab ketombe
karena mereka tidak mendapati perbaikan ketombe meskipun jumlah P. ovale
menurun. Mereka menganggap peningkatan jumlah P. ovale pada penderita
ketombe disebabkan oleh peningkatan persediaan nutrisi bagi fungi tersebut
di kulit kepala dengan adanya skuama (kerak) yang berlebihan. Namun setelah
meninjau kembali kepustakaan yang ada, Shuster (1984) menyimpulkan bahwa
P. ovale tidak diragukan sebagai penyebab primer ketombe karena memenuhi
Postulat Koch, yaitu pertumbuhan berlebihan dari P. ovale didapati pada ketombe
(Wijaya, 2001).
1.6 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas diajukan hipotesis sebagai berikut:
1. Ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) efektif dalam
menghambat pertumbuhan fungi Pityrosporum ovale pada ketombe.
2. Diketahui konsentrasi ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza
Roxb.) yang efektif menghambat pertumbuhan fungi Pityrosporum ovale pada
ketombe.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obat Tradisional
Obat tradisional sejak zaman dahulu mempunyai peranan dan manfaat
penting untuk meningkatkan kesehatan tubuh serta dapat mengobati berbagai
penyakit, sampai sekarang masih digunakan oleh masyarakat. Obat tradisional
adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan yang secara turun
temurun digunakan untuk pengobatan (Damayanti, 2008).
2.2 Tanaman Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
(a)
(b)
(c)
Gambar 1. Temulawak (a) Rimpang, (b) Simplisia, (c) Ekstrak rimpang (Koleksi Penulis, 2011)
2.2.1 Klasifikasi Tanaman Rimpang Temulawak
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) tidak hanya dikenal di dalam
negeri saja sebagai bahan baku untuk jamu tradisional, tetapi sudah sejak lama di
Eropa barat juga digunakan sebagai bahan obat (Rismunandar, 1996). Kedudukan
tanaman rimpang temulawak dalam sistematika tumbuhan adalah sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Bangsa : Zingiberales
Suku
: Zingiberaceae
Marga : Curcuma
Spesies
: Curcuma xanthorriza Roxb.
(Rukmana,
1995)
2.2.2
Nama Lain
Nama lain rimpang temulawak setiap daerah berbeda-beda yaitu daerah
Madura temo lobak, Sunda koneng gede, Indonesia temulawak (Rukmana, 1995).
2.2.3
Ciri-Ciri Rimpang Temulawak
Temulawak merupakan suku zingiberaceae yang berumur tahunan,
membentuk banyak batang semu yang tingginya bisa mencapai 2 meter.
Temulawak membentuk induk rimpang yang silindris, berbuku-buku, berdiameter
hingga 5 cm lebih dan tinggi tidak kurang dari 10 cm, membentuk cabang
rimpang ke kanan dan ke kiri yang selanjutnya membentuk rimpang ranting
ke berbagai arah (Rismunandar, 1996). Daunnya lebar dan pada setiap helaian
dihubungkan dengan pelepah dan tangkai daun yang agak panjang. Temulawak
mempunyai bunga yang berbentuk unik (bergerombol) dan berwarna kuning tua.
Rimpang temulawak sejak lama dikenal sebagai bahan ramuan obat. Aroma dan
warna khas rimpang temulawak adalah berbau tajam dan daging buah berwarna
kekuning-kuningan (Armando, 2009).
Uraian makroskopiknya berupa kepingan akar ini berbentuk bulat atau
lonjong, bersifat keras dan rapuh, bergaris tengah ± 6 cm, tebalnya sekitar
2−5 cm, agak berkerut-kerut, berwarna coklat kekuning-kuningan sampai coklat,
keadaannya tidak rata dan sedikit melengkung (Kartasapoetra, 1992). Bagian
tanaman yang berkhasiat adalah rimpangnya. Rimpang temulawak mempunyai
bau aromatik dan rasanya pahit agak tajam, karena bagian ini mengandung
minyak atsiri seperti kurkuminoid, mirsen, p-toluil metil, karbinol, felandren,
sabinen, sineol, borneol, zingiberen, turmeron, atlanton, artumeron dan
xanthorhizol (Handayani, 2003).
2.2.4
Komposisi Rimpang Temulawak
Rimpang temulawak mengandung kurkumin, minyak atsiri, pati, protein,
lemak (fixed oil), selulosa dan mineral. Kadar dari masing-masing zat tersebut
tergantung dari umur tumbuhan yang di panen (Yusuf, 2000). Rimpang
temulawak mengandung zat kurkumin sebanyak 1,4−4% dan minyak atsiri yaitu
phellandreen, kamfer yang memberi bau khas temulawak. Kandungan zat minyak
atsiri pada temulawak yang bermuatan felandren dan turmerol, terdapat juga pada
kurkumin dan pati temulawak dengan dosis 0,5−1,5 g (Kartasapoetro, 1992).
Minyak atsiri dan kurkumin pada temulawak tersebut dapat menyembuhkan
penyakit tertentu termasuk penyakit kulit. Kadar minyak atsiri mencapai
7,3−29,5%, zat tepung atau pati 37,2−61%, kadar air maksimum 12% dan
kadar abu 3−7% (Rismunandar, 1996).
2.2.5
Manfaat Rimpang Temulawak
Rimpang temulawak
mempunyai
banyak
manfaat
yaitu rimpang
temulawak yang sudah dikeringkan diseduh dengan air panas dapat dimanfaatkan
untuk menyembuhkan gangguan liver atau empedu. Parutan rimpang diperas dan
di minum di samping dapat menyembuhkan kedua penyakit tersebut dan
melancarkan buang air besar. Selanjutnya air temulawak dimanfaatkan dalam
penyembuhan penyakit malaria dan memperbanyak ASI. Perasan air temulawak
untuk membasmi penyakit cacing pita dan cacing kremi pada manusia dan ternak.
Tepung temulawak dapat dimakan sebagai bubur dan dodol. Untuk menghasilkan
tepung temulawak, rimpang di parut kemudian diperas dan diendapkan. Dalam
pengobatan modern, bubuk rimpang temulawak dijual dalam kapsul dan tidak
mengakibatkan rasa mual (Rismunandar, 1996).
2.3 Ekstraksi
2.3.1
Simplisia
Simplisia merupakan bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah
dikeringkan. Simplisia terdiri dari tiga jenis yaitu simplisia nabati, simplisia
hewani dan simplisia pelikan. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa
tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman yaitu isi
sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel yang dengan cara tertentu
dikeluarkan dari selnya atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu
dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia murni (BPOM RI, 2010).
2.3.2
Cairan Penyari
Farmakope Indonesia telah menetapkan bahwa sebagai cairan penyari yang
dapat dipergunakan adalah air, etanol, etanol-air dan eter. Etanol tidak
menyebabkan pembengkakan membran sel melainkan memperbaiki stabilitas
bahan
obat
atau
simplisia
terlarut.
Pemilihan
larutan
penyari
harus
mempertimbangkan banyak faktor yaitu murah, mudah didapat dan selektif yaitu
hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki dan tidak mempengaruhi zat
berkhasiat tersebut (Ditjen POM, 2000).
2.3.3
Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang diperoleh dengan
mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua pelarut diuapkan. Ekstraksi merupakan peristiwa perpindahan
massa zat aktif yang semula berada dalam simplisia selanjutnya akan ditarik oleh
cairan penyari. Ekstraksi bertujuan untuk menarik semua komponen kimia yang
didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam pelarut, dimana
perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke
dalam pelarut (BPOM RI, 2010).
2.3.4
Metode ekstraksi
Metode ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu maserasi,
perkolasi, refluks, sokletasi dan infus.
2.3.4.1 Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan
perendaman dan pengadukan sesekali pada suhu kamar. Maserasi merupakan
proses paling cepat dimana simplisia yang sudah halus direndam dalam pelarut
sampai meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut
akan melarut (Ditjen POM, 2000).
Bahan simplisia yang dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope
(umumnya terpotong-potong atau berupa serbuk kasar) disatukan dengan bahan
pengekstraksi. Selanjutnya rendaman tersebut disimpan terlindung dari cahaya
matahari (mencegah reaksi yang dikatalisis cahaya atau perubahan warna) dan
dikocok kembali. Waktu lamanya maserasi berbeda-beda antara 4−10 hari.
Selama maserasi cairan pelarut akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam
rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut karena adanya
perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang diluar sel,
maka larutan yang terpekat akan di desak keluar. Proses tersebut terjadi secara
berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan yang ada diluar
dan didalam sel. Remaserasi berarti dilakukan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan maserasi pertama dan seterusnya (Ditjen POM, 2000).
Ekstraksi dengan cara maserasi memiliki keuntungan yaitu cara kerja dan
peralatan yang dipergunakan sederhana sedangkan kerugiannya adalah proses
pengerjaan yang membutuhkan waktu lama dan penyarian dengan cara ekstraksi
ini ekstraksinya kurang sempurna (Ditjen POM, 2000).
2.3.4.2 Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru, yang umumnya
dilakukan pada suhu ruangan, penetesan atau penampungan ekstrak secara terus
menerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1 sampai 5 kali jumlah bahan
(BPOM RI, 2010).
2.3.4.3 Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik (BPOM RI, 2010).
2.3.4.4 Sokletasi
Sokletasi adalah proses ekstraksi yang dilakukan dengan menggunakan alat
khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan
dengan adanya pendingin balik (BPOM RI, 2010).
2.3.4.5 Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada suhu 96−98ºC selama waktu
15−20 menit di penangas air, dapat berupa bejana infus tercelup dalam penangas
air mendidih (BPOM RI, 2010).
2.4 Kurkumin Rimpang temulawak
Kurkumin merupakan produk senyawa metabolit sekunder dari tanaman
temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) suku zingiberaceae. Kurkumin telah
banyak dimanfaatkan dalam industri farmasi, makanan dan parfum. Data-data dan
literatur yang menunjukkan bahwa rimpang temulawak berpotensi dalam aktivitas
farmakologi yaitu sebagai anti virus (virus flu burung), anti bakteri, anti fungi,
antioksidan dan anti karsinogenik. Kandungan kurkumin dalam rimpang
temulawak berkisar antara 1,6−2,22% dihitung berdasarkan berat kering
(Rukmana, 1995).
Kurkumin merupakan senyawa aktif rimpang temulawak sebagai obat
penyakit kulit (Santosa, 2002). Kurkuminoid juga merupakan senyawa khas dari
kurkumin yang berwarna kuning dan bersifat aromatik sehingga dapat
memberikan warna kuning dan juga aroma serta rasa khas pada makanan terutama
rasa getir agak pahit yang merupakan ciri khas rimpang temulawak (Istafid, 2006).
2.5 Minyak Atsiri Rimpang Temulawak
Minyak atsiri adalah zat cair yang mudah menguap bercampur dengan
persenyawaan padat yang berbeda dalam hal komposisi dan titik cairnya,
kelarutan dalam pelarut organik dan kelarutan dalam air (Armando, 2009).
Sifat minyak atsiri yang mudah menguap maka minyak atsiri harus disimpan
dalam wadah tertutup rapat pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya
(Marlina, 2010).
Bagian tanaman yang berkhasiat adalah rimpang karena bagian ini
mengandung minyak atsiri yaitu kurkuminoid, mirsen, p-toluil metil, karbinol,
felandren, sabinen, sineol, borneol, zingiberen, turmeron, atlanton, artumeron
dan xanthorhizol (Handayani, 2009). Kurkuminoid merupakan salah satu
komponen utama yang terdapat dalam rimpang temulawak dan berpotensi
terhadap peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit (Istafid, 2006) dan
minyak atsiri rimpang temulawak berkhasiat dalam pengobatan penyakit kulit
(Santosa, 2002).
2.6 Ketokonazol
Ketokonazol termasuk golongan imidazol bersifat fungistatik dan
digunakan untuk pengobatan ketombe atau dermatitis seboroika. Untuk
pengobatan ketombe menggunakan ketokonazol 1% dalam bentuk shampo
sebanyak 2 kali dalam seminggu selama ± 8 minggu. Ketokonazol mempunyai
spektrum yang luas dan efektif terhadap fungi P. ovale penyebab ketombe.
Ketokonazol bekerja menghambat sintesa ergosterol yaitu komponen yang
penting untuk integritas membran sel fungi. Ketokonazol bersifat fungistatik yang
mengakibatkan perubahan dinding sel fungi sehingga terjadi kebocoran
sitoplasma kemudian terjadi kerusakan sintesa ergosterol pada fungi tersebut
(Lubis, 2008).
2.7 Deskripsi Pityrosporum ovale
Gambar 2. Kultur P. ovale pada media SDA+olive oil suhu 35⁰C selama 4 hari (Kaw Bing, 2005)
2.7.1
Klasifikasi Pityrosporum ovale
Kingdom
: Fungi
Divisi
: Basidiomycota
Kelas
: Hymenomycetes
Bangsa : Tremellales
Suku
: Filobasidiaceae
Marga
: Malassezia
Spesies
: Malassezia sp (sinonim Pityrosporum ovale)
(Baillon,
1889)
2.7.2 Sifat Pityrosporum ovale
Pityrosporum ovale merupakan yeast lipofilik sebagai komensalisme kulit
dan menjadi patogen pada kondisi tertentu (Kindo, 2004). Morfologi P. ovale
berkarakteristik oval seperti botol, berwarna putih−krem, halus, aerob, berukuran
1−2 × 2−4 mm, pH 5−6 (Bramono, 2008), suhu optimum bagi P. ovale ini antara
35−37⁰C, memperbanyak diri dengan cara blastospora atau tunas. Blastospora
dibentuk dari proses pertunasan sederhana dimana tunas tidak melepaskan diri
dari induknya tetapi membentuk kumpulan tunas yang menempel pada sel yang
memanjang atau pseudomiselium, tunas-tunas sel tersebut tetap berbentuk oval
sehingga membentuk cabang baru (Fardiaz, 1992). P. ovale merupakan fungi yang
berperan menyebabkan ketombe (Bramono, 2008).
Pityrosporum ovale dapat dikultur pada media yang diperkaya dengan
asam lemak berukuran C12-C14 (Elsner, 2006). Pada saat menumbuhkan fungi
P. ovale ini menggunakan media Sabouraud Dextrose Agar dengan media
penambah yaitu minyak kelapa, minyak samin atau olive oil. Lemak merupakan
kebutuhan mutlak bagi P. ovale karena fungi ini bersifat lipofilik yaitu
memerlukan lemak (lipid) untuk pertumbuhannya (Mayser, 2008). P. ovale
merupakan yeast yang ditemukan pada kulit kepala karena kulit kepala
mengandung sejumlah besar kelenjar sebasea. Kelenjar sebasea atau sebum
menghasilkan minyak pada kulit kepala namun pada penderita ketombe
jumlahnya lebih banyak (Niharika, 2010).
2.8 Ketombe
2.8.1 Pengertian Ketombe
Ketombe disebut juga Pityriasis sika atau dandruff merupakan suatu
keadaan anomali pada kulit kepala dengan terjadinya pengelupasan sel stratum
korneum atau lapisan tanduk secara berlebihan dari kulit kepala yang lebih cepat
dari biasanya, membentuk sisik tipis berukuran 2−3 milimeter, berwarna
keputih-putihan dan umumnya disertai rasa gatal (Degree, 1989).
Ketombe disebabkan oleh fungi yang disebut P. ovale merupakan yeast
yang ditemukan pada kulit kepala. Pada kondisi normal, kecepatan pertumbuhan
fungi P. ovale kurang dari 47%. Akan tetapi, jika ada faktor pemicu yang dapat
mengganggu kesetimbangan P. ovale pada kulit kepala, maka akan terjadi
peningkatan kecepatan pertumbuhan fungi P. ovale yang mencapai 74%.
Banyaknya populasi P. ovale inilah yang memicu terjadinya ketombe (Rook
dalam Yulinah, 2006).
Kulit kepala yang berkeringat akan menyebabkan kulit menjadi lembab.
Kulit kepala yang lembab akan menyebabkan fungi mudah bersarang di kulit
kepala (Santosa, 2002). Secara periodik kulit kepala memperbaharui diri, sel kulit
kepala yang mati secara normal akan dikeluarkan atau didorong ke permukaan
kulit. Sel kulit kepala yang mati selanjutnya akan lepas dengan sendirinya. Namun
dalam kondisi-kondisi tertentu pelepasan ini tidak terjadi sehingga sel-sel mati
menumpuk di permukaan kulit kepala dan terlihat sebagai
ketombe.
Ketombe dapat terjadi karena penumpukan sel epidermis kulit kepala dalam
jumlah yang banyak (Naturakos, 2009). Ketombe tidak berbahaya tetapi sering
menjengkellkan karena disertai rasa gatal. Akibat rasa gatal tersebut penderita
ketombe sering menggaruk-garuk kulit kepala dan tanpa disadari dapat
menimbulkan luka (Santosa, 2002).
Gambar 3. Stuktur kulit kepala manusia (Farrell, 1980)
2.8.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhi terjadinya ketombe
Faktor-faktor penyebab timbulnya ketombe adalah sebagai berikut:
1. Hiperproliferasi sel epidermis
Dalam keadaan normal lapisan kulit teratas (stratum korneum) akan diganti
oleh sel-sel dari lapisan di bawahnya. Hal ini terjadi pula pada kulit kepala yaitu
sel keratin (sel yang telah mati) akan terlepas dan diganti oleh sel-sel dari lapisan
yang lebih bawah. Sel-sel basal pada lapisan basalis akan bergerak ke lapisan
yang lebih atas dan akhirnya sampai pada permukaan kulit (lapisan kulit yang
paling atas). Umumnya, proses ini berlangsung cukup pelan sehingga tetap tidak
terlihat. Pada kebanyakan orang, seluruh kulit kepala berganti setiap bulan, tetapi
pada penderita ketombe proses ini berlangsung lebih cepat menjadi 10−15 hari
(Wijaya, 2001).
2. Genetik
Faktor genetik mempunyai peran penting dalam patogenesis ketombe
karena didapati bahwa P. ovale tanpa faktor predisposisi genetik tidak mungkin
menginduksi ketombe pada orang-orang yang tidak berketombe (Wijaya, 2001).
3. Kelenjar Sebacea
Produksi sebum akan mulai menurun meskipun ukuran kelenjar sebasea
bertambah. Sekresi sebum ini dipengaruhi oleh hormon androgen. Distribusi usia
penderita, dimana ketombe relatif jarang dan ringan pada masa anak-anak,
mencapai puncak keparahan pada usia sekitar 20 tahun, kemudian menjadi lebih
jarang setelah usia 50 tahun, memberi kesan bahwa hormon androgen mempunyai
pengaruh dan tingkat aktivitas kelenjar sebasea merupakan salah satu faktor
terjadinya ketombe (Wijaya, 2001).
4. Diet
Lemak yang dimakan dalam proporsi normal diperlukan oleh tubuh tetapi
jika berlebihan, lemak tersebut dapat mencapai kelenjar sebasea dan akhirnya
menjadi bahan pembentuk sebum. Kelenjar sebasea akan memproduksi minyak
sehingga kulit kepala menjadi sangat berminyak dan dengan pengaruh P. ovale
akan menimbulkan ketombe (Wijaya, 2001).
5. Variasi musim
Ketombe mencapai keadaan terendah pada musim panas dan pada musim
dingin ketombe akan memburuk (Wijaya, 2001).
6. Stress
Stress psikis menyebabkan peningkatan aktivitas kelenjar sebasea diduga
dapat mempengaruhi timbulnya ketombe (Wijaya, 2001).
7. Iritasi
Garukan dan penyisiran yang terlalu keras pada kulit kepala dapat
menimbulkan iritasi. Pemakaian kosmetika rambut yang mengandung zat kimia
tertentu dapat menimbulkan iritasi kulit kepala. Penggunaan beberapa minyak
rambut yang mengandung mustard atau minyak kelapa dicampur ramuan
tradisional dapat menimbulkan ketombe. Minyak kelapa merupakan media yang
baik bagi P. ovale karena fungi ini bersifat lipofilik (Wijaya, 2001).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Percobaan
Desain penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental dengan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan terdiri dari
ekstrak rimpang temulawak dengan empat taraf yaitu konsentrasi 35%, 30%, 25%
dan 20%. Eksperimen dilakukan tiga kali ulangan.
3.2 Waktu dan Tempat Percobaan
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Terapan dan Laboratorium
Mikrobiologi Politeknik Kesehatan Bandung dari bulan Mei sampai Juli 2011.
3.3 Bahan dan Alat
Bahan yang dipergunakan adalah rimpang temulawak yang diperoleh dari
pasar tradisional Banjaran sebanyak 1000 g dan diperoleh dari kebun temulawak
Bapak Tateng di Jl. Banjaran Kabupaten Bandung sebanyak 500 g yang berumur
2 tahun pada bulan Mei 2011. Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini
yaitu cawan petri, gelas kimia, pipet volume 10 ml, pipet volume 1 ml, bunsen
spiritus, neraca analitis, jarum ose, autoklaf, oven, blender, vaccum rotary
evaporator, waterbath dan pelubang gabus. Bahan penelitian yang dipergunakan
yaitu sampel rimpang temulawak, fungi P. ovale yang diperoleh dari
BIOFARMA, media Saboraud Dextrose Agar (SDA)+minyak kelapa, akuades,
etanol 96%, kertas saring dan shampo ketokonazol 1%.
3.4 Metode Percobaan
Untuk mengetahui efektivitas ekstrak rimpang temulawak terhadap fungi
P. ovale pada ketombe dilakukan dengan metode difusi agar menggunakan
pelubang gabus.
3.5 Langkah-langkah Percobaan
3.5.1
Sterilisasi Alat
Sterilisasi alat terdiri dari proses pencucian semua peralatan yang akan
digunakan dengan sabun dan dibilas dengan air bersih kemudian didiamkan
sampai kering, masing-masing alat yang sudah kering dibungkus dengan kertas.
Lalu masukan alat-alat yang sudah siap disterilkan pada suhu 180ºC selama 2 jam.
3.5.2
Pembuatan Ekstrak Rimpang Temulawak
Pembuatan ekstrak rimpang temulawak terdiri dari persiapan sampel
(pengolahan simplisia) dan maserasi. Pengolahan simplisia yaitu rimpang
temulawak dicuci dengan air dan dikeringkan, rimpang temulawak tersebut
dipotong-potong sehingga terbagi menjadi bagian yang kecil-kecil, dianginanginkan pada suhu kamar sampai benar-benar kering dan hindari terkena sinar
matahari agar senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya tidak rusak,
kemudian simplisia dihaluskan menggunakan blender untuk mendapatkan serbuk
simplisia.
Tahap selanjutnya adalah maserasi yaitu serbuk simplisia rimpang
temulawak dimaserasi dengan etanol 96% dengan perbandingan serbuk dan
pelarut 150g/1000ml, selanjutnya diaduk dan didiamkan selama 6 hari, simplisia
yang telah direndam disaring menggunakan kertas saring, ekstrak rimpang
temulawak di evaporasi dengan menggunakan vacum rotary evaporator pada suhu
80ºC, kemudian diuapkan dengan waterbath untuk menguapkan sisa pelarut
etanol, ekstrak yang sudah diuapkan pelarutnya dan berbentuk ekstrak kental siap
digunakan untuk uji hayati (Modifikasi Nurhayati, 2008).
3.5.3 Pembiakan Fungi Pityrosporum ovale
Pembiakan
fungi
P.
ovale
pertama-tama
adalah
sediakan
plat
SDA+minyak kelapa steril, jarum ose steril yang telah disiapkan diletakkan pada
sumber isolat lalu goreskan ose tersebut pada cawan petri yang berisi media
SDA+minyak kelapa, bungkus cawan petri yang sudah ditanami tersebut dengan
kertas, sterilkan lagi ose dengan bunsen spiritus, inkubasikan pada inkubator suhu
37ºC selama 3 hari, secara makroskopik dapat dilihat dari ada tidaknya
pertumbuhan fungi berupa bercak-bercak (koloni).
3.5.4
Pembuatan Media SDA+minyak kelapa
Dalam penelitian ini media yang digunakan adalah media SDA+minyak
kelapa. Komposisi bahan-bahan yang terkandung dalam setiap liter media
SDA+minyak kelapa adalah SDA 65 g, akuades 1000 ml dan minyak kelapa
100 ml. Pembuatan dan sterilisasi media yang akan dipergunakan yaitu terlebih
dahulu timbang 16,25 g media SDA dan 25 ml minyak kelapa, kemudian larutkan
dengan 250 ml akuades dan didihkan sampai larut sambil diaduk, sterilkan dalam
autoklaf, setelah dingin tuangkan ke dalam cawan petri (Atlas; 1993, Subakir;
1992; Wijaya; 2001).
3.5.5
Uji Hayati
Fungi yang akan dipergunakan terlebih dahulu dibiakkan selama 5 hari
dalam cawan petri yang berisi medium SDA+minyak kelapa. Setelah merata
kemudian dibuat bulatan pada fungi dengan menggunakan pelubang gabus
berukuran 3,10 mm. Ekstrak rimpang temulawak diencerkan dengan akuades
steril pada konsentrasi 20%, 25%, 30% dan 35% (Modifikasi dari Riyanti,1996).
Untuk melihat pengaruh ekstrak rimpang temulawak terhadap fungi
P. ovale, tuangkan 1 ml ekstrak rimpang temulawak dan 9 ml media
SDA+minyak kelapa ke dalam cawan petri, kemudian digoyang-goyangkan agar
ekstrak dan media tercampur dan merata. Sebelum fungi ditanamkan, media
dibiarkan membeku. Bulatan fungi yang telah disiapkan ditanamkan pada media
yang telah membeku sebanyak 1 buah dalam 1 cawan petri lalu bungkus dengan
kertas. Pada tahap selanjutnya, fungi yang telah diberi perlakuan disimpan dalam
suhu 37ºC selama 3 hari kemudian diamati pertumbuhannya (Modifikasi Riyanti,
1996).
Parameter dalam penelitian ini adalah diameter pertumbuhan dan
persentase penghambatan fungi P. ovale pada media SDA+minyak kelapa yang
telah diberi tambahan ekstrak rimpang temulawak pada masing-masing
konsentrasi. Pengukuran diameter pertumbuhan fungi menggunakan jangka
sorong (mm) dan penghitungan persentase penghambatan fungi menggunakan
rumus Pandey et al. yaitu
=
(a−b)
𝑎
× 100%,
dimana a adalah diameter fungi pada
kontrol dan b adalah diameter fungi pada perlakuan (Modifikasi Wasilah, 2007).
Data yang diperoleh dianalisis dengan Anava menggunakan software SPSS
16. Data dijelaskan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan
gambar.
1500 g rimpang temulawak dicuci dan dikeringkan
Dihancurkam dengan blender
Diperoleh serbuk rimpang temulawak 150 g
Ditambahkan pelarut etanol 96% 1000 ml
Didiamkan selama 6 hari dan diaduk sesekali
Disaring menggunakan kertas saring
Dievaporasi dengan vaccum rotary evaporator suhu 80ºC
Ekstrak diuapkan dengan waterbath
Ekstrak kental
Gambar 4. Diagram Alur Pembuatan Ekstrak Rimpang Temulawak
(Modifikasi Nurhayati, 2008)
Dimasukkan 1 ose fungi P. ovale dalam media SDA+minyak
kelapa
Dibungkus cawan petri dengan kertas
Diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 3 hari
Setelah merata dibuat bulatan fungi dengan pelubang gabus
Gambar 5. Diagram Alur pembiakan fungi P. ovale (Modifikasi Dwidjoseputro, 2003)
Ekstrak kental rimpang temulawak
Shampo Ketokonazol
Pengenceran dengan akuades
kontrol
20%
25%
30%
35%
masing-masing diambil 1 ml
9 ml SDA+minyak kelapa (dibiarkan sampai membeku)
Diinokulasikan fungi P. ovale 1 bulatan pada 1 petri (3x ulangan)
Disimpan pada inkubator 37ºC dan diamati pertumbuhannya
Gambar 6. Diagram alur uji hayati
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Ekstrak Rimpang Temulawak
Hasil ekstrak rimpang temulawak dengan proses maserasi dapat dilihat
pada gambar 5. Berdasarkan gambar tersebut, diperoleh ekstrak kental rimpang
temulawak sebanyak 15 g didapat dari hasil maserasi rimpang temulawak
sebanyak 1500 g dengan pelarut etanol 96%, yang sebelumnya dilakukan
beberapa tahap yaitu dari mulai proses pengolahan simplisia sampai diperoleh
ekstrak kental untuk selanjutnya dilakukan uji hayati. Uji hayati dilakukan untuk
mengetahui efektifitas ekstrak rimpang temulawak tersebut terhadap fungi
P. ovale penyebab ketombe.
Gambar 7. Ekstrak Kental Rimpang Temulawak
Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan
perendaman dan beberapa kali pengadukan pada suhu kamar. Maserasi
merupakan proses paling cepat dimana simplisia dalam bentuk serbuk direndam
dalam pelarut sampai meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang
mudah larut akan melarut. Maserasi memiliki keuntungan yaitu cara kerja dan
peralatan yang dipergunakan sederhana. Larutan penyari dalam proses maserasi
menggunakan etanol karena larutan penyari tersebut murah, mudah didapat dan
selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki dan tidak
mempengaruhi zat berkhasiat tersebut (Ditjen POM, 2000).
Bahan simplisia dalam bentuk serbuk bertujuan untuk memudahkan dalam
proses maserasi dan waktu lamanya maserasi yaitu 6 hari supaya zat-zat aktif
yang terkandung di dalam ekstrak rimpang temulawak tersebut benar-benar
tertarik oleh etanol 96% tersebut. Selama maserasi cairan pelarut akan menembus
dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif
akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam
sel dengan yang diluar sel, maka larutan yang terpekat akan di desak keluar.
Proses tersebut terjadi secara berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi
antara larutan yang ada di luar dan di dalam sel (Ditjen POM, 2000).
4.2 Ekstrak Rimpang Temulawak Terhadap Pertumbuhan koloni P. ovale
Hasil
penelitian
pengaruh
ekstrak
rimpang
temulawak
terhadap
pertumbuhan P. ovale secara difusi agar pada hari ke-4 dapat dilihat dalam
tabel 1. Berdasarkan tabel tersebut, semua konsentrasi perlakuan menunjukan
penghambatan dibandingkan dengan kontrol. Uji anava terhadap data diameter
penghambatan pertumbuhan P. ovale dengan ekstrak rimpang temulawak
menunjukan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0,05 artinya ekstrak rimpang
temulawak berpengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan P. ovale pada
ketombe. Hasil tersebut diatas menunjukan bahwa ekstrak rimpang temulawak
35% efektif melakukan penghambatan pertumbuhan P. ovale pada ketombe yaitu
sebesar 3,47 mm dibandingkan dengan perlakuan ekstrak rimpang temulawak
lainnya yaitu kontrol 5,70 mm, konsentrasi 30% 3,50 mm, konsentrasi 25%
3,83 mm dan konsentrasi 20% 7,70 mm.
Tabel 1. Diameter Pertumbuhan P. ovale dengan ekstrak rimpang temulawak
Konsentrasi ekstrak
rimpang temulawak
Diameter P. ovale (mm)
Rata-Rata
hari ke-4
hari ke-5
hari ke-6
Kontrol
5.70
7.30
7.80
6.93
20%
7.70
7.47
7.27
7.48
25%
3.83
3.97
4.07
3.96
30%
3.50
3.57
3.53
3.53
35%
3.47
3.53
3.57
3.52
Hasil
penelitian
pengaruh
ekstrak
rimpang
temulawak
terhadap
pertumbuhan P. ovale secara difusi agar pada hari ke-5 dapat dilihat dalam
Tabel 1. Berdasarkan tabel tersebut, semua perlakuan menunjukan penghambatan
pertumbuhan P. ovale. Konsentrasi 35% menunjukan diameter terkecil yaitu
sebesar 3,53 mm, perlakuan konsentrasi 30%, 25% dan 20% menunjukan
kecenderungan diameter P. ovale lebih besar. Uji anava terhadap data diameter
penghambatan pertumbuhan P. ovale dengan ekstrak rimpang temulawak
menunjukan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0,05 artinya ekstrak rimpang
temulawak berpengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan P. ovale pada
ketombe.
Hasil terbaik terjadi pada perlakuan ekstrak rimpang temulawak 35%
dengan diameter pertumbuhan koloni P. ovale terkecil yaitu 3,53 mm. Hasil
tersebut menunjukan bahwa ekstrak rimpang temulawak 35% efektif dalam
melakukan penghambatan pertumbuhan koloni P. ovale dibandingkan dengan
perlakuan ekstrak rimpang temulawak lainnya yaitu kontrol 7,30 mm, konsentrasi
30% 3,57 mm, konsentrasi 25% 3,97 mm dan konsentrasi 20% 7,47 mm.
Hasil
penelitian
pengaruh
ekstrak
rimpang
temulawak
terhadap
pertumbuhan P. ovale secara difusi agar pada hari ke-6 dapat dilihat dalam
Gambar 8. Berdasarkan gambar tersebut, semua konsentrasi perlakuan
menunjukkan penghambatan dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan konsentrasi
ekstrak rimpang temulawak 30% menunjukan diameter pertumbuhan P. ovale
terkecil yaitu sebesar 3,53 mm. Perlakuan konsentrasi ekstrak rimpang temulawak
20%, 25% dan 35% menunjukkan diameter pertumbuhan P. ovale lebih besar. Uji
Anava terhadap data diameter penghambatan pertumbuhan P. ovale dengan
ekstrak rimpang temulawak menunjukkan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0,05
artinya ekstrak rimpang temulawak berpengaruh terhadap penghambatan
pertumbuhan P. ovale pada ketombe.
Hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa ekstrak rimpang temulawak
30% efektif melakukan penghambatan pertumbuhan P. ovale pada ketombe
dibandingkan dengan perlakuan ekstrak rimpang temulawak lainnya yaitu kontrol
7,80 mm, konsentrasi 35% 3,57 mm, konsentrasi 25% 4,07 mm dan konsentrasi
20% 7,27 mm.
(a)
(b)
(c)
(e)
(d)
Gambar 8. Koloni P. ovale hari ke-6 pada media SDA+minyak kelapa suhu 37⁰C setelah diberi
perlakuan ekstrak rimpang temulawak, (a) Kontrol, (b) 20%, (c) 25%, (d) 30%, dan
(d) 35%.
Hasil
penelitian
pengaruh
ekstrak
rimpang
temulawak
terhadap
pertumbuhan P. ovale secara difusi agar pada hari ke- 4, 5 dan 6 setelah dirataratakan dapat dilihat dalam Tabel 1 dan Gambar 9. Berdasarkan tabel dan gambar
tersebut, perlakuan konsentrasi ekstrak rimpang temulawak 35% dan 30%
dianggap sama dalam menghambat pertumbuhan P. ovale pada ketombe yaitu
pada konsentrasi 35% sebesar 3,52 mm dan konsentrasi 30% 3,53 mm. Perlakuan
konsentrasi ekstrak rimpang temulawak 25% dan 20% menunjukan diameter
pertumbuhan P. ovale lebih besar. Uji anava terhadap data diameter
penghambatan pertumbuhan P. ovale dengan ekstrak rimpang temulawak
menunjukan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0,05 artinya ekstrak rimpang
temulawak berpengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan P. ovale pada
ketombe.
Hasil tersebut di atas menunjukan bahwa ekstrak rimpang temulawak 35%
efektif melakukan penghambatan pertumbuhan P. ovale pada ketombe
dibandingkan dengan perlakuan ekstrak rimpang temulawak lainnya yaitu kontrol
6,93 mm, konsentrasi 30% 3,53 mm, konsentrasi 25% 3,96 mm dan konsentrasi
20% 7,48 mm.
Gambar 9. Diameter pertumbuhan rata-rata koloni P. ovale setelah diberi perlakuan ekstrak
rimpang temulawak.
Kemampuan ekstrak rimpang temulawak tersebut karena kandungan
senyawa kurkumin atau zat warna kuning dan kurkuminoid, mirsen, p-toluil metil,
karbinol, felandren, sabinen, sineol, borneol, zingiberen, turmeron, atlanton,
artumeron dan xanthorhizol di dalam minyak atsiri (Handayani, 2003). Hasil
serupa terjadi juga pada penelitian rimpang temulawak sebagai antifungi lain
(Sundari, 2001), antifungi Trichophyton rubrum dan Microsporum gypseum
(Yusuf, 2000), dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus
(Mashita, 2008) dan bakteri Salmonella thypii (Masri, 2002).
Mekanisme penghambatan antifungi menurut Pelczar dan Reid dalam
Budiarti (2007) terbagi menjadi empat cara yaitu:
1. Merusak dinding sel fungi sehingga menyebabkan dinding sel lisis. Antifungi
berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel fungi. Ikatan ini
mengakibatkan kebocoran membran sel, sehingga terjadi kehilangan beberapa
bahan intrasel dan menyebabkan kerusakan pada sel fungi.
2. Menggangu permeabilitas membran sitoplasma sehingga terjadi kebocoran zat
nutrisi dari dalam sel fungi. Permeabilitas dinding sel dirusak dengan
mengganggu proses sintesis asam nukleat atau dengan menimbun senyawa
peroksida dalam sel fungi sehingga terjadi kerusakan dinding sel yang
mengakibatkan permeabilitas terhadap berbagai zat intrasel meningkat
3. Menghambat proses mitosis fungi dengan mengikat protein mikrotubuler
dalam sel fungi.
4. Merusak sistem metabolisme di dalam sel fungi dengan cara menghambat
kerja enzim intraseluler.
Rimpang temulawak yang di uji cobakan pada fungi P. ovale tersebut
diperoleh dari tempat yang berbeda yaitu dari daerah Pangalengan dan Banjaran
yang merupakan dataran tinggi. Menurut Rukmana (1995) rimpang temulawak
yang dihasilkan dari dataran tinggi lebih banyak kandungan minyak atsirinya
dibandingkan dengan rimpang temulawak yang diperoleh dari dataran rendah.
Pada saat pembiakan fungi P. ovale menggunakan media SDA+minyak kelapa
sebagai media pertumbuhannya karena kandungan asam lemak minyak kelapa
dapat digunakan sebagai pengganti olive oil (Mahidol, 1995).
4.3 Shampo ketokonazol terhadap pertumbuhan koloni P. ovale
Hasil penelitian pengaruh shampo ketokonazol terhadap pertumbuhan
P. ovale secara difusi agar pada hari ke-4 dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan
tabel tersebut, semua perlakuan menunjukkan penghambatan pertumbuhan
P. ovale. Konsentrasi ketokonazol 35% menunjukan diameter terkecil yaitu
sebesar 3,13
mm, perlakuan konsentrasi ketokonazol 30%, 25% dan 20%
menunjukkan kecenderungan diameter P. ovale lebih besar. Uji Anava terhadap
data diameter penghambatan pertumbuhan P. ovale dengan shampo yang
mengandung ketokonazol menunjukkan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0,05
artinya
shampo
dengan
kandungan
ketokonazol
berpengaruh
terhadap
penghambatan pertumbuhan P. ovale pada ketombe.
Hasil terbaik terjadi pada perlakuan ketokonazol 35% dengan diameter
pertumbuhan koloni P. ovale terkecil yaitu 3,13 mm. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa shampo ketokonazol 35% efektif dalam melakukan penghambatan
pertumbuhan koloni P. ovale pada ketombe dibandingkan dengan perlakuan
shampo ketokonazol lainnya yaitu kontrol 5,70 mm, konsentrasi 30% 3,17 mm,
konsentrasi 25% 3,33 mm dan konsentrasi 20% 3,27 mm.
Tabel 2. Diameter pertumbuhan P. ovale dengan shampo ketokonazol
Diameter P. ovale (mm)
Konsentrasi
ketokonazol
hari ke-4
hari ke-5
hari ke-6
Kontrol
5.70
7.30
7.80
6.93
20%
3.27
3.27
3.27
3.27
25%
3.33
3.33
3.33
3.33
30%
3.17
3.20
3.20
3.19
35%
3.13
3.13
3.13
3.13
Rata-Rata
Hasil penelitian pengaruh shampo ketokonazol terhadap pertumbuhan
P. ovale secara difusi agar pada hari ke-5 dapat dilihat dalam Tabel 2.
Berdasarkan tabel tersebut, semua perlakuan menunjukan penghambatan
pertumbuhan P. ovale. Konsentrasi 35% menunjukan diameter terkecil yaitu
sebesar 3,13 mm, perlakuan konsentrasi 30%, 25% dan 20% menunjukan
kecenderungan diameter P. ovale lebih besar. Uji anava terhadap data diameter
penghambatan pertumbuhan P. ovale dengan shampo ketokonazol menunjukan
berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0,05 artinya shampo ketokonazol berpengaruh
terhadap penghambatan pertumbuhan P. ovale pada ketombe.
Hasil terbaik terjadi pada perlakuan shampo ketokonazol 35% dengan
diameter pertumbuhan koloni P. ovale terkecil yaitu 3,13 mm. Hasil tersebut
menunjukan bahwa shampo ketokonazol 35% efektif dalam melakukan
penghambatan pertumbuhan koloni P. ovale dibandingkan dengan perlakuan
shampo ketokonazol lainnya yaitu kontrol 7,30 mm, konsentrasi 30% 3,20 mm,
konsentrasi 25% 3,33 mm dan konsentrasi 20% 3,27 mm.
Hasil penelitian pengaruh shampo ketokonazol terhadap pertumbuhan
P. ovale secara difusi agar pada hari ke-6 dapat dilihat pada Gambar 10.
Berdasarkan gambar tersebut, semua perlakuan menunjukkan penghambatan
pertumbuhan P. ovale. Konsentrasi ketokonazol 35% menunjukan diameter
terkecil yaitu sebesar 3,13 mm, perlakuan konsentrasi ketokonazol 30%, 25% dan
20% menunjukkan kecenderungan diameter P. ovale lebih besar. Uji Anava
terhadap data diameter penghambatan pertumbuhan P. ovale dengan shampo yang
mengandung ketokonazol menunjukkan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0,05
artinya
shampo
dengan
kandungan
ketokonazol
berpengaruh
terhadap
penghambatan pertumbuhan P. ovale pada ketombe.
Hasil terbaik terjadi pada perlakuan ketokonazol 35% dengan diameter
pertumbuhan koloni P. ovale terkecil yaitu 3,13 mm. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa shampo ketokonazol 35% efektif dalam melakukan penghambatan
pertumbuhan koloni P. ovale pada ketombe dibandingkan dengan perlakuan
shampo ketokonazol lainnya yaitu kontrol 7,80 mm, konsentrasi 30% 3,20 mm,
konsentrasi 25% 3,33 mm dan konsentrasi 20% 3,27 mm.
(c)
(b)
(a)
(d)
(e)
Gambar 10. Koloni P. ovale hari ke-6 pada media SDA+minyak kelapa suhu 37⁰C setelah diberi
perlakuan ketokonazol, (a) Kontrol, (b) 20%, (c) 25%, (d) 30% dan (e) 35%
Hasil penelitian pengaruh shampo ketokonazol terhadap pertumbuhan
P. ovale secara difusi agar pada hari ke-4, 5 dan 6 setelah dirata-ratakan dapat
dilihat dalam Tabel 2 dan Gambar 11. Berdasarkan tabel dan gambar tersebut,
perlakuan shampo ketokonazol konsentrasi 35% menghambat pertumbuhan
P. ovale pada ketombe yaitu sebesar 3,13 mm. Perlakuan konsentrasi 30%, 25%
dan 20% menunjukan diameter pertumbuhan P. ovale lebih besar. Uji anava
terhadap data diameter penghambatan pertumbuhan P. ovale dengan shampo
ketokonazol menunjukan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0,05 artinya shampoo
ketokonazol berpengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan P. ovale pada
ketombe.
Hasil tersebut di atas menunjukan bahwa shampo ketokonazol 35% efektif
melakukan penghambatan pertumbuhan P. ovale pada ketombe dibandingkan
dengan perlakuan shampo ketokonazol lainnya yaitu kontrol 6,93 mm, konsentrasi
30% 3,19 mm, konsentrasi 25% 3,33 mm dan konsentrasi 20% 3,27 mm. Hasil
penelitian shampo ketokonazol tersebut lebih baik dibandingkan dengan ekstrak
rimpang temulawak.
Gambar 11. Diameter pertumbuhan rata-rata koloni P. ovale setelah diberi perlakuan
shampo ketokonazol.
Pengujian ketokonazol terhadap pertumbuhan P. ovale dilakukan sebagai
pembanding efektifitas hasil pengujian antara senyawa artifisial (shampo
ketokonazol)
dengan
senyawa
alamiah
(ekstrak
rimpang
temulawak).
Hal ini dilakukan untuk melihat tingkat kemampuan penghambatan terhadap
objek yang sama.
Novitasari
(2010)
menjelaskan
bahwa
mekanisme
kerja
shampo
ketokonazol ini akan mengakibatkan perubahan dinding sel fungi sehingga terjadi
kebocoran sitoplasma kemudian terjadi kerusakan sintesa ergosterol pada fungi
tersebut. Hasil serupa terjadi juga pada penelitian Pratama dan Nugroho (2008),
yaitu ketokonazol efektif menghambat pertumbuhan P. ovale serta ketokonazol
efektif menghambat pertumbuhan Candida albicans (Setiawati, 2008).
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) efektif dalam
menghambat pertumbuhan fungi Pityrosporum ovale pada ketombe.
2. Konsentrasi ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) 35%
adalah konsentrasi yang efektif menghambat pertumbuhan fungi Pityrosporum
ovale pada ketombe.
5.2 Saran
Meninjau hasil penelitian ini, penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kemungkinan ekstrak rimpang
temulawak (sebagai senyawa alamiah) di dalam shampo untuk menekan
pertumbuhan fungi Pityrosporum ovale penyebab ketombe.
2. Perlu dilakukan uji lebih lanjut dari hasil penelitian ini terhadap efektifitas
penghambatan Pityrosporum ovale pada ketombe secara langsung di kepala
seseorang.
3. Umur dan tempat rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) yang
akan di uji cobakan dibuat seragam karena berbeda kandungan senyawa aktif
di dalam rimpang temulawak tersebut dan pengambilan data fokus pada
stuktur dan pertumbuhan koloninya.
Download