KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP PEJABAT YANG MELAKUKAN KESALAHAN PROSEDUR JURNAL Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : SAHAT BERKAT LUMBAN GAOL 090200182 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP PEJABAT YANG MELAKUKAN KESALAHAN PROSEDUR JURNAL Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : SAHAT BERKAT LUMBAN GAOL NIM: 090200182 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Mengetahui: Ketua Departemen Hukum Pidana Dr. M. Hamdan., SH,M.H NIP. 195703261986011001 Editor Jurnal Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum. NIP : 197407252002122002 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 ABSTRAKSI Sahat Berkat Lumbangaol1* Syafruddin Kalo** Rafiqoh Lubis*** Kesalahan prosedur yang merupakan domein administrasi ternyata dalam praktiknya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, hal ini terlihat dari berbagai modus kesalahan prosedur dalam pengadaan barang dan jasa. Sementara itu kesalahan prosedur dianggap sebagai bentuk kebijakan yang dilakukan pejabat negara dalam ruang lingkup hukum administrasi negara, hal ini sebagai konsekuensi dari penggunaan asas diskresi. Akan tetapi karena seringnya pejabat negara yang melakukan kesalahan prosedur dipertanggungjawabkan secara pidana, maka berakibat dari ketidakefektifan dari kinerja pejabat tersebut. Penggunaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo.UndangUndang No.20 Tahun 2001 juga untuk menindak pejabat yang melakukan kesalahan prosedur juga memiliki kelemahan. Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah kesalahan prosedur dikaitkan dengan tindak pidana korupsi dan bagaimanakah kebiijakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana korupsi terhadap pejabat yang melakukan kesalahan prosedur. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap asas-asas hukum dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, dimana pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan (library research). Putusan MK No.003/PUU-IV/2006 tidak membatasi pemberlakukan perbuatan melawan hukum secara materil sepanjang dimaknai sebagai penyalahgunaan wewenang. Adapun kebijakan hukum pidananya berupa penggunaan konsep administrative penal law melalui penggunaan asas systematische specialiteit, dan dengan penggunaan unsur pejabat negara yang dengan sengaja, kesalhan prosedur dengan menyalahgunakan wewenang, tidak dalam keadaan darurat dan menyimpang dari tujuan serta membuat undangundang pengadaan barang dan jasa. * Penulis ** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II A. PENDAHULUAN Korupsi itu sendiri dalam kenyataan mengambil banyak bentuk, dari penyelewengan-penyelewengan jabatan secara halus dan tidak terasa oleh masyarakat luas. Arvind K.Jain mengatakan bahwa korupsi yang dilakukan oleh political leaders dalam penetapan kebijakan publik menggunakan kekuasaannya untuk menetapkan sebuah kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir pihak saja yang pada akhirnya harus merubah sistem penyelenggaraan pemerintahan yang ada.2 Kesalahan Prosedur merupakan salah satu bentuk tindakan pejabat negara untuk melakukan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan dalam pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa menjadi tempat terjadinya kasus korupsi terbanyak karena pasar yang tidak terbuka (kolusi panitia-rekanan, kolusi arisan antar-rekanan, monopoli dan premanisme, minimnya akses publik ke pasar pengadaan), kurangnya manajemen, buruknya governance (panitia tidak transparan dan akuntabel, penyalahgunaan wewenang, pengawasan internal tidak berfungsi, tidak efisien), serta banyaknya kasus tindak pidana korupsi (suapmenyuap, kick back, menyalahi prosedur, mark-up harga, pengaturan tender, kerugian negara). Berbagai hal ini terjadi di semua tahap kegiatan pengadaan barang dan jasa, mulai dari perencanaan sampai tahapan penyerahan barang dan jasa. Jika pejabat melakukan kesalahan prosedur dapat menimbulkan dua mata pisau, disatu sisi merupakan sebuah tindakan dalam lapangan hukum administrasi sebab kewenangan (authority) bersumber dari kekuasaan yang dilembagakan/diformalkan sedangkan si pejabat memiliki kemampuan melakukan tindakan hukum publik, dan disisi lain merupakan sebuah tindak pidana korupsi manakala unsur delik korupsi nyata-nyata terbukti. Melalui kesalahan prosedur memungkinkan modus yang berbentuk kewenangan dari pejabat yang mengambil keputusan terlegitimasi oleh hukum (asas diskresi) akan tetapi dibalik itu memperkaya diri sendiri. 2 Piers Andreas dan Tedi Erviantono, Korupsi dalam perspektif Etika Kebijakan Publik, Jurnal Dialog Kebijakan Publik Edisi 6, Tahun 2012), hal.14 Tidak mudah untuk memisahkan dan menilai apakah suatu tindakan pejabat merupakan tindak pidana ataukah hanya merupakan tindak administrasi. Jika mengacu kedalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo.Undang-Undang No.20 Tahun 2001 dalam menindak pejabat yang melakukan kesalahan prosedur juga mengandung banyak kelemahan karena terkesan mengkriminalkan semua tindakan pejabat negara. Jika konsep kesalahan prosedur ini dibiarkan kabur dan tidak ada kepastian hukumnya maka akan ada tiga hal yang mungkin terjadi, pertama, Pejabat tidak tau kalau kebijakan yang diambilnya adalah merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana dinyatakan oleh Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada hari Jumat 18 Januari 2013.3 Kedua, jika pejabat tau bahwa kebijakan mereka dapat dipidana maka kedepannya mengakibatkan pejabat negara akan takut/ragu mengambil kebijakan diskresi melalui kesalahan prosedur karena takut disalahkan. Dampaknya banyaknya anggaran yang tidak terpakai karena proyek pengadaan terhambat akibat banyaknya orang yang menolak menjadi pemimpin proyek. Laporan Bappenas juga memperlihatkan bahwa anggaran belanja Kementrian dan Lembaga Negara (K/L) dalam APBN-P 2007 yang tidak diserap sekitar 9%, sekitar Rp 22 triliun dari Rp 244,6 triliun. Deputi bidang Pendanaan Pembangunan Kementrian Negara PPN/Kepala Bappenas pada saat itu Lukita Dinarsyah Tuwo mengatakan dari hasil perkiraan terakhir, anggaran yang tidak terserap Kementrian dan Lembaga Negara (K/L) tahun 2006 masih tergolong tinggi karena masih di atas batas normal, yaitu 3%-5%.4 Ketiga, akan banyak pejabat yang diperiksa walaupun belum tentu bersalah, hal ini tentu saja akan akan menghambat kinerja dari pejabat negara. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Isran Noor yang mengatakan para kepala daerah selalu punya risiko masuk penjara meski kebijakan yang diambil demi melayani rakyat. 3 Banyak yang terjerat tak tahu itu korupsi http://nasional.news.viva.co.id/news/read terakhir diakses pada Tanggal 15 januari 2013. 4 Ibid, hal.26 Berdasarkan uraian di atas, dianggap perlu untuk mengkaji tentang “KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP PEJABAT YANG MELAKUKAN KESALAHAN PROSEDUR”. B. PERMASALAHAN Adapun yang menjadi permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Kesalahan Prosedur dikaitkan dengan Tindak Pidana Korupsi? 2. Bagaimanakah Kebijakan Hukum Pidana dalam Menanggulangi Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pejabat yang Melakukan Kesalahan Prosedur? C. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Penelitian skripsi ini merupakan penelitian yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap asas-asas hukum dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan yang tentunya mempunyai hubungan dengan judul karya ilmiah ini. Dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach). 2. Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksudkan diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 3. Metode Pengumpulan Data Karena penelitian ini memusatkan pada data sekunder maka metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode kepustakaan (library research). 4. Analisis Data Data yang diperoleh itu kemudian dianalisa secara kualitatif normatif. Menurut Soerjono Soekanto, analisis data dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisa kualitatif ini dilakukan secara deskriptif dan preskriptif, karena penelitian ini tidak hanya bermaksud mengungkapkan atau melukiskan realitas kebijakan perundang-undangan (legislatif) sebagaimana yang diharapkan. Tetapi juga mengkaji kebijakan formulasi hukum pidana yang akan datang dalam memformulasikan mengenai tindak pidana korupsi. D. HASIL PENELITIAN 1. KESALAHAN PROSEDUR PEJABAT DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI a. Kesalahan Prosedur Sebagai Modus Tindak Pidana Korupsi 1) Kesalahan Prosedur dalam Pengadaan Barang / Jasa M.Jasin mengungkapkan bahwa mayoritas korupsi di pusat dan daerah adalah pada pengadaan barang dan jasa. Penyimpangan mencapai 30-40 %, artinya kalau anggaran pengadaan barang dan jasa Rp 400 triliun, berarti uang yang dikorupsi mencapai sekitar Rp 100 triliun.5 Pihak-pihak yang terdapat dalam pengadaan barang dan jasa adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Panitia Pengadaan di satu pihak, dan Penyedia Barang/Jasa dilain pihak. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah pejabat yang diangkat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI)/Pemimpin Badan Hukum Milik Negara (BHMN)/Direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) /Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai pemilik pekerjaan yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pengadaan barang dan jasa (Pasal 1 angka 1 a Keppres No.80 Tahun 2003 jo. Perpres No.8 Tahun 2006). Panitia Pengadaan adalah tim yang diangkat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Dewan Gubernur BI/Pimpinan BHMN/Direksi BUMN/Direksi BUMD, untuk melaksanakan 5 Ibid pemilihan penyedia barang dan jasa (Pasal 1 angka 8 Keppres No.80 Tahun 2003). Penyedia barang dan jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang kegiatan usahanya menyediakan barang/layanan jasa (Pasal 1 angka 3 Keppres No.80 Tahun 2003).6 Beberapa bentuk kesalahan prosedur yang dilakukan pejabat adalah:7 1. Pengguna barang/jasa dan panitia pengadaan memilih metode pemilihan penyedia barang/jasa secara langsung, padahal seharusnya dengan pelelangan umum. Kalau dicermati Keppres No.80 Tahun 2003 dimungkinkan dilakukan pemilihan penyedia barang dan jasa secara langsung dengan alasan dalam keadaan darurat sebagaimana diterapkan dalam pertimbangan putusan Mahkamah Agung dalam kasus Akbar Tandjung. Kenyataannya penunjukan langsung dalam hal pengadaan barang dan jasa tidak dengan alasan keadaan darurat sebagaimana disampaikan oleh Antasari Azhar dalam harian kompas yang menyebutkan terdapat 18 modus operandi dalam pengadaan barang dan jasa, dan salah satunya dikatakan pengusaha mempengaruhi kepala daerah/pejabat daerah untuk mengintervensi proses pengadaan agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung dan harga barang/jasa dinaikkan (mark-up), kemudian selisihnya dibagi-bagikan. Artinya tindak kebijakan kesalahan prosedur itu tidak dipertanggungjawabkan. 2. Panitia pengadaan mengubah sistem dan tata cara evaluasi penawaran serta persyaratan administrasi dan teknis sehingga tidak sesuai dengan sistem dan tata cara yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan. Hal ini dilakukan untuk memilih mana yang lebih menguntungkan rekanan. 3. Pekerjaan dilakukan akan tetapi mendahului anggaran/kontrak. 4. Pengadaan dilakukan tidak melalui perencanaan. 5. Kepala daerah sudah terlebih dahulu membeli barang dengan harga yang sudah murah kemudian dijual kembali kepada instansinya dengan harga yang sudah di mark-up. 6 7 Ibid, hal.20 Ibid, hal.68-80 6. Kepala daerah membuka rekening atas nama kas daerah dengan spesimen pribadi (bukan pejabata atau bendahara yang ditunjuk), dimaksudkan untuk mempermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur. 2) Unsur Pembeda Kesalahan Prosedur dengan Delik Lain a) Penyuapan Dalam bahasa Latin, delik suap disebut briba, yang maknanya a piece of bread given to beggar (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Makna ini kemudian berkembang ke makna yang bisa diartikan positif, yakni sedekah, namun lebih dominan kepada gift received or given in order to influence corruptly yang oleh Muladi dipahami sebagai pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud mempengaruhi secara jahat atau korup.8 Penyuapan terdiri dari 2 jenis. Pertama adalah penyuap aktif (aktieve omkoping), yaitu pihak yang memberikan atau menjanjikan sesuatu baik berupa uang atau barang. Penyuapan ini terkait erat dengan batin subjek hukum yang bertujuan untuk menggerakkan seorang pejabat penyelenggara negara atau pegawai negeri agar dia dalam jabatannya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Kedua adalah penyuapan pasif (passieve omkoping). Pihak yang menerima pemberian atau janji baik berupa uang maupun barang.9 Sedangkan menurut Ermansjah Djaja, tindak pidana korupsi suap pada prinsipnya tidak berakibat langsung pada kerugian keuangan negara ataupun perekonomian negara, karena sejumlah uang ataupun benda berharga yang diterima oleh pegawai negeri sipil, atau penyelenggara negara sebagai hasil dari perbuatan melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, bukan berasal dari uang negara atau aset negara tetapi dari uang atau aset orang yang melakukan penyuapan. Beliau juga memberikan ciri delik suap selalu ada:10 8 Firman Wijaya, Delik Penyalahgunaan Jabatan dan Suap Dalam Praktek, Penaku, Jakarta, 2011, hal.29 9 Marwan Efendi, Korupsi dan Pencegahan, Timpani Publishing, Jakarta, 2010, hal.132 10 Firman Wijaya, Op Cit.hal.49-50 1. Peran aktif antara penyuap dengan pejabat 2. Terdapat deal/ kesepakatan dua pihak mengenai besaran nilai suap yang akan ditransaksikan dan cara penyerahannya. Jika dikaitkan dengan kesalahan prosedur maka pembedanya terlihat jelas dari keberadaan pejabat negara sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Pejabat negara dalam kesalahan prosedur bisa saja sebagai pelaku aktif tindak pidana korupsi yang berkonsekuensi kepada sejumlah uang ataupun benda berharga yang diterima oleh pejabat tersebut sebagai hasil dari perbuatan melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi berasal dari uang negara atau aset negara, walaupun tidak menutup kemungkinan pejabat tersebut melakukan kesalahan prosedur yang didasarkan atas pemberian suap oleh pihak tertentu. Artinya mengacu kepada Ermansjah Djaja, maka kesalahan prosedur bisa saja berakibat langsung kepada kerugian keuangan negara ataupun perekonomian negara. b) Gratifikasi Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo.Undang-Undang No.20 Tahun 2001. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa gratifikasi diartikan dalam arti luas meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan sosialisasi, pengobatan cuma-cuma atau fasilitas lainnya, yang diterima dalam negeri maupun yang di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronika maupun tanpa sarana elektronika. Apabila dicermati penjelasan pasal 12B ayat (1) ini maka dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti gratifikasi tersebut, apabila penjelasan ini dihubungkan dengan pasal 12B dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur pasal 12B saja.11 Berdasarkan Pasal 12B ini, perbuatan penerimaan gratifikasi oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang dianggap sebagai perbuatan suap apabila pemberian tersebut dilakukan karena berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.12 Jika dikaitkan dengan kesalahan prosedur maka gratifikasi itu terjadi karena adanya pemberian dan selesainya pertanggungjawaban pidana gratifikasi apabila pejabat negara melaporkan adanya pemberian dalam rentang waktu 30 hari kerja setelah pemberian diterima, jika tidak maka akan dikenakan sanksi pidana sebagaimana tercantum didalam Pasal 12B ayat (2) Undang-Undang No.20 Tahun 2001 jo.Undang-Undang No.31 Tahun 1999. Maksudnya, walaupun perbuatan pejabat negara belum terjadi terkait dengan motivasi pemberian hadiah, maka perbuatan itu sudah dapat dikualifikasi sebagai gratifikasi apabila perbuatan pemberian hadiah itu berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya. Sementara itu perbuatan kesalahan prosedur terletak pada perbuatan aktif pejabat negara dalam melakukan kesalahan prosedur, artinya selesainya perbuatan tersebut disaat pejabat negara telah melakukan perbuatan kesalahan prosedur. b. Penyelesaian Perkara Kesalahan Prosedur berdasarkan UndangUndang No.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 1) Pasal Yang Digunakan Menjerat Pejabat Yang Melakukan Kesalahan Prosedur Dalam kasus-kasus korupsi kesalahan prosedur seperti dalam pengadaan barang dan jasa, dijumpai bahwa pada umumnya para pelaku didakwa melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo.undang-Undang No.20 Tahun 2001. Keberadaan pejabat sendiri yang melakukan korupsi melalui 11 12 Ibid, hal.3 Ibid, hal.1 kesalahan prosedur bisa saja dalam posisi melakukan percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat yang pidananya sama dengan Pelaku Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 (1) Setiap orang secara melawan hukum memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipenjara minimal 4 (empat) tahun dan maksimal 20 (dua puluh) tahun dan denda minimal 200 (dua ratus) juta rupiah dan maksimal 1 (satu) milyar rupiah; (2) Dalam hal Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Dengan bertitik tolak ketentuan Pasal 2 di atas, maka unsur-unsur (bestanddelen) sebagai berikut: 1. Setiap orang 2. Perbuatan tersebut sifatnya Melawan Hukum 3. Perbuatan Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lain atau Suatu Korporasi 4. Dapat Merugikan Keuangan atau Perkonomian Negara Kata dapat sebagaimana dalam pasal 2 sebelum frasa merugikan keuangan negara atau perkonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formal, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Sedangkan dalam Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo UndangUndang No.20 Tahun 2001 dikatakan: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 satu tahun) dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milar rupiah). Adapun unsur (bestanddelen) deliknya dijelaskan sebagai berikut: 1. Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri atau Orang Lain atau Suatu Korporasi 2. Menyalahgunakan Kewenangan, Kesempatan atau Sarana yang ada padanya Karena Jabatan atau Kedudukan 3. Perbuatan Tersebut Dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara. 2) Analisa Penggunaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo.Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi dalam Menindak Pejabat Yang Melakukan Kesalahan Prosedur Unsur penting pembeda pasal 2 dan pasal 3 adalah unsur melawan hukum didalam pasal 2 tidak dipakai dalam pasal 3, sebab pasal 3 menggunakan unsur menyalahgunakan wewenang, padahal dalam praktik hakim masih mencampuradukkan kedua konsep dan parameter tersebut.13 Menurut Minarno, secara implisit penyalahgunaan wewenang inheren dengan melawan hukum, karena penyalahgunaan wewenang14 esensinya merupakan perbuatan melawan hukum. Meskipun penyalahgunaan wewenang inheren dengan perbuatan melawan hukum, tidak berarti bahwa jika unsur melawan hukum dapat dibuktikan lantas kemudian secara mutatis mutandis unsur penyalahgunaan wewenang juga terbukti. Sebaliknya, jika unsur penyalahgunaan wewenang telah dapat dibuktikan maka tidak perlu membuktikan unsur melawan hukum karena dengan sendirinya unsur tersebut telah terbukti. Dalam hal unsur penyalahgunaan wewenang tidak terbukti, maka belum tentu unsur melawan hukum tidak terbukti.15 Kemudian jika dilihat dari subjek deliknya, jika subjek deliknya bukan pejabat atau pegawai negeri, jaksa dapat menggunakan pasal 2 atau pasal lain 13 M.Syamsudin, “Pemaknaan Hakim Tentang Korupsi dan Implikasinya Pada Putusan; Kajian Perspektif Hermeneutika Hukum”, Mimbar Hukum Vol.22,No.3, Oktober 2010, hal.502 14 Nur Basuki Minarno menyatakan bahwa penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3 Undang-Undang No.20 Tahun 2001 jo.Undang-Undang No.31 Tahun 1999 merupakan bagian inti delik (bestannddeel delict), oleh karenanya penuntut umum harus membuktikan unsur tersebut dalam dakwaannya. Jika penyalahgunaan wewenang tidak terbukti maka amar putusannya berupa pembebasan (vrijspraak). Lihat Ibid, hal.16 15 Ibid selain pasal 3. Akan tetapi khusus untuk pejabat atau pegawai negeri, dakwaan jaksa seharusnya menggunakan pasal 3.16 Menurut hukum administrasi negara, setiap pemberian wewenang kepada seorang pejabat selalu disertai dengan tujuan dan maksud diberikannya wewenang itu, sehingga penerapan wewenang itu harus sesuai dengan tujuan maksud diberikannya wewenang itu. Kemudian apabila penggunaan wewenang tersebut tidak sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian semula wewenang itu maka disebut Penyalahgunaan Wewenang.17 Untuk menentukan sebuah perbuatan tergolong penyalahgunaan wewenang, kita perlu membedakan antara wewenang/diskresi terikat dengan wewenang/diskresi bebas. Pada kategori wewenang terikat, penyalahgunaan wewenang harus ditentukan dengan menggunakan parameter asas legalitas dan spesialitas, sedangkan pada kategori wewenang bebas (discretion power), parameter yang digunakan adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB).18 Pemberian wewenang kepada pejabat pemerintah diberikan dengan sarana perundang-undangan (asas legalitas). Penyalahgunaan wewenang terjadi jika tindakan pejabat pemerintah menyimpang dari tujuan yang telah ditentukan dalam undang-undang (asas spesialitas). Sedangkan kewenangan bebas (diskresi) dapat terjadi jika peraturan perundang-undangan tidak mengatur kewenangan tersebut sama sekali, atau mungkin mengatur akan tetapi mengandung norma yang samar (vague norm). Kewenangan bebas ini juga dapat terjadi dalam keadaan darurat atau mendesak, sebab pemerintah tidak boleh berhenti sedetik pun dengan alasan tidak ada landasan hukumnya. Dalam kewenangan diskresi yang harus dijadikan parameter adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik. Indrianto Seno Adji menyatakan bahwa pengertian penyalahgunaan kewenangan atau penyalahgunaan jabatan tidak memiliki makna original hukum 16 Ibid Amir Syamsudin, Nurhasyim Ilyas, Yosef B.Badeoda, (SF.Marbun: Analisis Teoritik Yuridik Kasus Akbar Tandjung dari Optik Hukum Administrasi Negara), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2004, hal.47 18 Ibid 17 pidana, akan tetapi dimungkinkan dipergunakan dengan pendekatan meluas (ekstensif) dengan mempertautkan cabang ilmu hukum pidana dengan cabang ilmu hukum lainnya. Sehingga penyalahgunaan kewenangan bukan saja dalam disiplin hukum administrasi akan tetapi juga dalam arti hukum pidana. Menurut Jean Rivero dan Jean Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam hukum Administrasi Negara dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu:19 1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, 2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain, 3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana. Jika dikaitkan dengan kesalahan prosedur maka penggunaan penyalahgunaan wewenang tidaklah cukup tanpa ditegaskan dengan penggunaan frasa penyalahgunaan wewenang dengan melakukan kesalahan prosedur. Agar tidak ada perbedaan penafsiran antara penggunaan unsur penyalahgunaan wewenang atau perbuatan melawan hukum. Jika hanya menggunakan unsur penyalahgunaan wewenang maka masih dimungkinkan adanya penafsiran pengenaan pasal 2 sebagai perbuatan melawan hukum sebab adanya tindakan pejabat negara yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan atau rasa keadilan yang lebih dekat kepada penggunaan unsur melawan hukum. Penegasan unsur kesalahan prosedur disamping unsur penyalahgunaan wewenang juga untuk memberi bentuk bahwa tindak pidana korupsi yang dimaksud disini bukanlah bentuk penyalahgunaan wewenang yang ditujukan 19 Ibid, hal.25 untuk kepentingan umum dan menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain. Tapi merupakan pencampuran bentuk pertama dan ketiga sebagaimana pendapat Rivero dan Jean Waline sebelumnya. Keberadaan unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo.UndangUndang No.20 tahun 2001) juga penting, akan tetapi tidak cukup tanpa dilekatkan adanya unsur kesengajaan. Dalam sejarah pembentukan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 telah terdapat beberapa perubahan rumusan dengan cara penambahan maupun penghapusan unsur dari ketentuan yang terdapat di dalam UndangUndang No.3 Tahun 1971. Dihapusnya unsur atau patut diketahui... di dalam pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971 menjadi Pasal 2 UndangUndang No.31 Tahun 1999 dikarenakan kalimat unsur atau patut diketahui... menunjukkan kerugian negara yang timbul dapat terjadi karena kelalaian, sehingga unsur tersebut dihapus agar kerugian negara yang terjadi harus dilakukan dengan sengaja.20 Jika dikaitkan dengan kesalahan prosedur maka ketiadaan unsur atau patut diketahui.. tidaklah relevan mengingat pentingnya penekanan unsur kesengajaan itu sendiri. Sementara itu jika hanya berpegang kepada rumusan dapat merugikan keuangan negara tidaklah cukup kuat, sebab sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, kata dapat21 menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat,22 artinya tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu adanya kerugian negara atau cukup dengan adanya potensi kehilangan (potential lost). Padahal maksud pembuat undang-undang unsur kesengajaan akan melekat dalam unsur merugikan keuangan negara. Sementara itu perlunya unsur kesengajaan dalam 20 Andi Samsan Ngranto, “Tindak Pidana Korupsi Dalam Perundang-Undangan Indonesia”, Jurnal Al Manahij Vol.2 No.1 Januari-Juni 2008, hal.118 21 Menurut Andi Hamzah tetap harus dibuktikan dapatnya negara rugi, ia menilai terlalu berlebihan terhadap penafsiran yang mengatakan bahwa dapat merugikan keuangan negara adalah potensial merugikan keuangan negara, sehingga mestinya tetap ada perhitungan oleh akuntan mengenai dapatnya negara rugi. Lihat Ibid, hal.123 22 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis dan Praktik, PT.Alumni Bandung, Bandung, 2008, hal.170 kesalahan prosedur mengingat tidak semua penyalahgunaan wewenang dapat dikualifikasikan kedalam tindak pidana korupsi. c. Salah Prosedur Dikaitkan Dengan Ajaran Sifat Melawan Hukum 1) Konsep Ajaran Melawan Hukum Ajaran melawan hukum mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal (wederechtelijk formil) dan dalam arti materil (wederechtelik materil). Menurut Vos, bahwa sifat melawan hukum formil adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum positif (tertulis) sedangkan melawan hukum yang materil adalah perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas umum atau norma hukum tidak tertulis.23 Menurut Moelyatno, hukum tidak tertulis itu bisa berupa bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat (objective onrechtselemen), juga harus bertentangan dengan kesadaran hukum individual atau batin orang itu sendiri (subjectieve onrechtselemen). Jika dicermati pengertian perbuatan melawan hukum materil, sesungguhnya itu merupakan pengertian perbuatan melawan hukum perdata. Indriyanto Seno Adji menjelaskan bahwa hukum pidana dapat mempergunakan pengertian perbuatan melawan hukum secara materil yang terdapat atau berasal dari hukum perdata, yaitu perbuatan-perbuatan yang dipandang bertentangan dengan norma-norma kesopanan atau kepatutan dalam masyarakat, atau semua perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat. 24 Sifat melawan hukum materiil terdiri dari sifat melawan hukum materiil dalam fungsi positif dan sifat melawan hukum dalam fungsi negatif. Pengertian sifat melawan hukum secara materiil dalam arti positif artinya ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi positif yaitu meskipun suatu perbuatan secara materiil merupakan perbuatan melawan hukum apabila tidak ada aturan tertulis dalam perundang-undangan pidana, perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. Ajaran sifat melawan hukum materil hanya diterima dalam fungsinya yang negatif, dalam arti bahwa suatu perbuatan dapat hilang sifatnya sebagai melawan 23 24 Ibid Pendapat Pompe dalam Ibid, hal.36 hukum, apabila secara materil perbuatan itu tidak bertentangan dengan hukum. Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif,25 hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas legalitas. 2) Ajaran Melawan Hukum dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo.Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-IV/2006 dan Implikasinya Terhadap Kesalahan Prosedur Konsekuensi Putusan MK No.003/PUU/2006 terhadap kesalahan prosedur adalah penggunaan unsur melawan hukum sebagaimana tercantum dalam pasal 2 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo.Undang-Undang No.20 Tahun 2001 menjadi terbatas. Artinya kesalahan prosedur yang didasarkan atas melawan hukum formil hanyalah kesalahan prosedur yang dilakukan pejabat negara sepanjang bertentangan dengan undang-undang. Jika demikian halnya, maka penggunaan unsur penyalahgunaan wewenang lebih tepat sebagai mana dirumuskan dalam pasal 3 nya, sebab Penyalahgunaan wewenang termasuk spesifik khusus dari perbuatan melawan hukum, dengan kata lain sifat melawan hukum itu tetap ada secara diam-diam atau tersirat, sebab setiap delik selalu ada sifat melawan hukumnya, apakah unsur itu tercantum secara tegas ataukah sebagai unsur diiam-diam.26 Apabila berbicara tentang penyalahgunaan, maka cakupannya juga bukan hanya bertentangan dengan peraturan yang ada, akan tetapi juga melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik dan beririsan dengan perbuatan tercela atau tidak patut sebagaimana yang ada dalam hukum pidana.27 Artinya bahwa pemaknaan melawan hukum melalui penyalahgunaan wewenang masih dimungkinkan bersifat materil. Putusan yudicial review Mahkamah Konstitusi tidak menyentuh Pasal 3, oleh karena itu Mahkamah Agung dapat menerapkan pasal 3 tersebut terhadap suatu kebijakan yang dapat dikualifikasi sebagai perbuatan menyalahgunakan 25 Lihat Ninil Eva Yustina, Perbuatan Melawan Hukum Materiil Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Praktik Peradilan Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Tesis, Malang: Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang, 2009 dalam http://ariefdwi.dosen.narotama.ac.id/files/2011/05.pdf 26 Andi Samsan Nganro, Op.Cit, hal.10 27 Lihat kembali M.Syamsudin, Op.Cit, hal.502 kewenangan kesempatan dan sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukannya. Sebab perbuatan melawan hukum secara materil masih tercakup secara diam-diam dalam unsur penyalahgunaan wewenang. . 2. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP PEJABAT YANG MELAKUKAN KESALAHAN PROSEDUR a. Penggunaan Hukum Pidana Administrasi (Administrative Penal Law) Sebagai Salah Satu Kebijakan Hukum Pidana Menurut Indriyanto Seno Adji konteks hukum pidana dalam istilahnya Administrative Penal Law (APL) adalah semua produk legislasi berupa perundang-undangan dalam lingkup administrasi negara yang memiliki sanksi pidana. Oleh karena itu untuk segala produk legislasi seperti Undang-undang Ketenagalistrikan, Kepabeanan, Pajak, Lingkungan Hidup, Telekomunikasi, Perikanan, Pertambangan, Pasar Modal, Perbankan dan lain-lain merupakan produk yang dinamakan Administrative Penal Law sepanjang memang ada ketentuan yang mengatur sanksi pidananya. Administrative Penal Law dipakai untuk mengkriminalkan berbagai kebijakan diluar hukum pidana.28 Bentuk Produk Perundang-undangan Administrasi yang Memiliki Sanksi Pidana adalah Tindak Pidana Perpajakan29 (Undang-Undang No.28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). Rumusan delik, Pasal 36A ay.(3): Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 28 Indriyanto Seno Adji, “Kendala Administrative Penal Law sebagai Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Keadilan Vol.5, No.1. Tahun 2011, hal.14 29 Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal.10-140 1) Penggunaan Asas Kekhususan yang Sistematis (Systematische Specialiteit) dalam Pengaturan Penggunaan Undang-Undang TIPIKOR Untuk menghindari kekeliruan dalam pemahaman asas ini terkait dengan keterkaitan antara perundangan administrasi yang bersanksi pidana dengan hukum pidana, maka pembentuk undang-undang (Muladi) memberikan pemahaman eksplisitas melalui pasal 14 Undang-Undang No.31 Tahun 1999. Pasal 14: Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini. Dengan demikian, dalam hal perundangan tertentu tersebut tidak menyatakan yang demikian, maka yang berlaku bukanlah pelanggaran terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Jadi, tidak semata-mata Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dapat menjangkau semua produk legislasi sebagai perbuatan melawan hukum yang memberi kesan sebagai jaring laba-laba.30 Asas inilah yang menentukan undang-undang khusus mana yang diberlakukan, artinya ketentuan pidana dapat bersifat khusus apabila pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai ketentuan pidana yang bersifat khusus atau ia akan bersifat khusus dari khusus yang telah ada.31 Pentingnya asas ini adalah terkait dengan kebijakan hukum pidana kesalahan prosedur yang terdapat dalam undang-undang tindak pidana korupsi dapat diterapkan bagi undang-undang khusus lainnya yang bersanksi pidana akan tetapi belum menyatakan secara tegas dapat diberlakukannya undang-undang tindak pidana korupsi, seperti contohnya tindak pidana perpajakan melalui Pasal 30 31 Ibid, hal.25 Ibid 36A ayat 4 Undang-Undang 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983. Kemudian ketentuan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, menyatakan bahwa: Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja : a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank ; Jika ditelaah lebih teliti, rumusan tersebut merupakan rumusan tindak pidana korupsi dalam lingkup suap, atau gratifikasi sebagaimana tercantum dalam undang-undang tindak pidana korupsi. Akan tetapi undang-undang ini tidak menegasakan penggunaan undang-undang tindak pidana korupsi. Persoalan inilah yang menjadi contoh konkrit perlunya dilakukan kebijakan hukum pidana dengan merumuskan ketentuan diperbolehkannya menggunakan undang-undang tindak pidana korupsi dalam undang-undang perbankan sebagai mana dalam undangundang perpajakan. Permasalahan selanjutnya adalah penjatuhan undang-undang tindak pidana korupsi dilakukan atas pelanggaran kesalahan prosedur sebagaimana tercantum dalam Kepusan Presiden No.80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah. Sebab Pasal 14 Undang-Undang No.10 Tahun 2004 menentukan materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam undang-undang dan peraturan daerah. Tapi dalam prakteknya, Mahkamah Agung acap kali menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yaitu melanggar Keppres No.80 Tahun 2003.32 Oleh karena itu perlu menyusun Rancangan Undang-Undang Pengadaan Barang dan Jasa sebagaimana didukung oleh Yohanes Surya Simamora.33 Sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana. b. Kriminalisasi Salah Prosedur sebagai Tindak Pidana Korupsi Adami Chazawi menyatakan bentuk kesalahan prosedur yang dikategorikan sebagai korupsi adalah kesalahan prosedur yang didasarkan atas kesengajaan yang berakibat kepada timbulnya kerugian negara.34 Konsep kesengajaan dapat kita teliti dengan pendekatan tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi. Tanggung jawab jabatan adalah tanggung jawab menurut hukum yang dibebankan kepada negara/pemerintah atas kesalahan atau akibat dari tindakan jabatan. Sedangkan tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab menurut hukum yang dibebankan kepada seseorang atas kesalahan atau akibat dari perbuatannya secara pribadi, dan pengertian ini tidak berbeda dengan pengertian tanggung jawab pribadi karena tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. 35 Salah Prosedur merupakan wilayah hukum administrasi yang mana setiap kebijakan yang diambil oleh pejabat negara tidak bisa dilepaskan dari asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur). Wiarda merumuskan lima asas umum pemerintahan yang baik, yaitu:36 i. Perlakuan yang adil (fair play), ii. Ketelitian (zorgvuldigheid), iii. Kemurnian dalam tujuan (zuiverheid van oogmerk), iv. Keseimbangan (even wichtigheid), 32 Lihat Putusan MA No.1344 K/Pid/2005 (kasus Pengadaan Helikopter), dan Putusan MA No.1974 K/Pid/2006 (kasus Pengadaan Tinta Sidik jari). 33 Amiruddin, Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010,hal.161 34 Adami Chazawi, “Sifat Melawan Hukum Tindak Pidana Korupsi”, http://adamichazawi.blogspot.com//2011/06/sifat-melawan-hukum-tindak-pidana.html, terakhir diakses tanggal 16 Januari 2013 35 Amiruddin, Op.Cit, hal.93 36 Safri Nugraha, dkk., Op.Cit, hal.64 v. Kepastian Hukum (rechtzekerheid). Dalam asas kemurnian dalam tujuan terdapat larangan didalam menetapkan suatu kebijakan membonceng tujuan-tujuan yang bermaksud mencari keuntungan bagi diri sendiri baik langsung maupun tidak langsung seperti kebijakan seperti kebijakan penunjukan seorang pemborong yang sebelumnya sudah ada permufakatan menyediakan uang untuknya diluar ketentuan untuk jasajasa lain dalam jumlah tertentu.37 Disinilah pertanggungjawab pribadi yang dimaksud yang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Sebenarnya pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik dipertanggungjawabkan secara administrasi akan tetapi kalau kita kaji lebih dalam lagi akibat dari pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik ternyata beririsan atau bersinggungan juga dengan asas kepatutan ataupun perbuatan tercela sebagaimana pelanggaran asas kemurnian dalam tujuan dengan cara memboncengi kepentingan yang menguntungkan bagi diri sendiri seperti dengan penunjukan langsung dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa walaupun tidak dalam keadaan darurat. c. Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kesalahan Prosedur Moeljatno menjelaskan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan tindak pidana.38 Oleh karena itu perlulah dirumuskan secara tegas bahwa kesalahan prosedur sebagai tindak pidana korupsi. Kepastian hukum ini nantinya menegaskan apakah kesalahan prosedur dapat dipidana korupsi dan kesalahan prosedur seperti apakah yang dapat dianggap korupsi. Adami Chazawi mengamini bahwa pejabat yang melakukan kesalahan prosedur dapat dipidana dengan mengacu kepada Pasal 2 dan Pasal 3, tapi kuranglah tepat dengan alasan sebagai berikut: 37 38 Marwan Effendy, Op.Cit, hal.159 Moeljatno, Op.Cit, hal.22 1. Pemahaman bentuk kesalahan prosedur yang dapat dikenakan tindak pidana korupsi haruslah tepat didudukkan, mengingat bahwa kesalahan prosedur itu sendiri disatu sisi adalah senjatanya pejabat negara dalam rangka mewujudkan kesejahteraan negara (welfare state) bukan sebagai negara penjaga malam, sedangkan disisi lain kesalahan prosedur yang menjadi senjata pejabat negara dapat disalahgunakan demi melanggengkan kepentingan akan keuntungan pribadi, disinilah tanggung jawab beralih dari tanggung jawab jabatan kepada tanggung jawab pribadi sehingga dapat dipidananya pejabat. Hal yang lebih penting lagi adalah adanya unsur kelalaian si pejabat negara. Undang-undang tindak pidana korupsi umumnya dan Pasal 2 dan Pasal 3 khususnya tidak membedakan perbuatan yang tergolong dolus dan perbuatan yang tergolong culpa. Pejabat yang melakukan kesalahan prosedur akan tetapi kerena kelalaiannya mengakibatkan kerugian negara atau menguntungkan orang lain atau korporasi tidak seharusnya dikenakan tanggung jawab pidana dalam hal ini adalah undang-undang tindak pidana korupsi, akan tetapi cukup dengan pertanggung jawaban administrasi. Itulah mengapa dalam latar belakang penelitian ini membukakan kekhawatiran terhadap pejabat negara yang menjadi takut melakukan kebijakan karena takut dipidana yang justru berdampak buruk terhadap kinerja pejabat negara. Oleh karena itu sebagai rekomendasi dalam memformulasikan kebijakan hukum pidana adalah memakai frasa “Pejabat Negara yang Dengan Sengaja”. 2. Penggunaan frasa “Kesalahan Prosedur dengan menyalahgunakan wewenang”. Pencantuman frasa kesalahan prosedur perlu demi berjalannya asas logische specialiteit atau kekhususan yang logis.39 Artinya pasal yang khusus mengatur kesalahan prosedur. Penggunaan frasa penyalahgunaan wewenang selain untuk menunjukkan subjek delik 39 Asas ini untuk menentukan ketentuan (pasal) yang akan diberlakukan dalam/pada satu perundangan khusus dimaksud adalah pejabat negara juga menunjukkan bahwa kesalahan prosedur disini tidak berdiri sendiri, akan tetapi juga harus dilakukan dengan menyalahgunakan wewenang. Artinya bahwa kesalahan prosedur yang terbukti menyalahgunakan wewenanganlah yang dipidana. Disamping rumusan perbuatan melawan hukum itu sendiri sudah dibatasi oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No.003/PUU-IV/2006 yang hanya menganggap perbuatan melawan hukum formil juga karena setiap penyalahgunaan kewenangan itu sudah pasti melawan hukum. Sementara itu seperti yang dikemukan oleh Minarno sebelumnya, bahwa parameter penyalahgunaan kewenangan itu adalah asas legalitas dan asas spesialitas serta asas-asas umum pemerintahan yang baik. Disini terlihat bahwa ternyata putusan Mahkamah Konstitusi tidak sepenuhnya berkonsekuensi harus berupa perbuatan melawan hukum formil, sebab yang diuji adalah pasal 2, bukan pasal 3. Artinya pasal ini masih mengakomodir perbuatan tercela atau tidak patut yang memungkinkan beririsan dengan pelanggaran asas-asas umum pemerintahan yang baik. Penggunaan penyalahgunaan wewenang atas asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat dianggap sebagai perbuatan pidana. 3. Pencantuman frasa “Tidak dalam keadaan darurat”. Keadaan daruratlah yang memperbolehkan disimpanginya kesalahan prosedur.40 Keadaan darurat adalah suatu emergency dan dalam hubungan dengan situasi tersebut tidak ada dasar hukum yang mengaturnya. 4. Pencantuman frasa “menyimpang dari tujuan”. Frasa ini haruslah juga dimaknai tidak berbuat sama sekali sebagaimana di maknai oleh Andi Hamzah dan diikuti juga oleh Mahkamah Agung dalam pertimbangannya:41 “Menimbang bahwa pendapat Mahkamah Agung tersebut, sesuai pula dengan pendapat saksi ahli Prof.Andi Hamzah, SH, yang berpendapat bahwa terhadap kasus ini apabila uang dari bulog 40 41 Amir Syamsudin, Nurhasyim Ilyas, Yosef B.Badeoda, Op.Cit, hal.xiv Putusan MA RI No.572 K/Pid/2003 tanggal 12 Februari 2004, hal.209 tersebut baru sampai ke tangan Terdakwa I, maka belum ada tindak pidana dan baru ada tindak pidana setelah uang tersebut ada pada terdakwa lainnya yang ternyata tidak digunakan semestinya”. Andi Hamzah menyatakan bahwa sebelum Akbar Tandjung atau pada waktu Akbar Tandjung menerima cek belum terjadi tindak pidana, baru setelah tidak membeli SEMBAKO terjadi tindak pidana. 5. Merumuskan pasal didalam setiap undang-undang administrasi diluar undang-undang tindak pidana korupsi yang menegaskan bahwa kesalahan prosedur yang dilakukan pejabat negara (terkait dengan kekhususan bidang administrasi yang diatur dalam undang-undang terkait) dapat dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi dan dapat diterapkan UndangUndang No.31 Tahun 1999 jo.Undang-Undang No.20 Tahun 2001. Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 36A ayat 4 Undang-Undang 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu: (4). Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya. 6. Membuat undang-undang tentang Pengadaan Barang dan Jasa, sebab ketentuan yang boleh mengandung sanksi pidana adalah apabila ketentuan tersebut berada dalam tataran undang-undang ataupun peraturan daerah. d. PENUTUP i. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo.Undang-Undang No.20 Tahun 2001 sering digunakan dalam menghukum pejabat yang melakukan kesalah prosedur ternyata banyak mengalami kelemahan, yaitu penggunaan unsur melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, dan konsekuensi dari adanya kata dapat. Putusan MK No.003/PUU-IV/2006 juga tidak mempengaruhi pemaknaan dari menyalahgunakan wewenang yang bersifat materil, sebab penyalahgunaan wewenang itu dapat berarti juga melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik dan beririsan dengan perbuatan tercela atau tidak patut sebagaimana yang ada dalam hukum pidana. 2. Secara lengkap, bentuk penyalahgunaan wewenang yang dianggap tindak pidana korupsi adalah penyalahgunaan wewenang dengan melakukan kesalahan prosedur diluar dari tujuan kewenangan itu diberikan dan juga pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik sepanjang beririsan dengan perbuatan yang dianggap tercela. Sebaiknya dilakukan pembaharuan terhadap kebijakan hukum pidana mengenai kesalahan prosedur dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut ini: a. Penggunaan Administrative Penal Law memberikan kapastian akan penggunaan pidana dalam undang-undang bidang administrasi. Dan nantinya akan diperkuat dengan penggunaan asas systematische specialiteit. Ini merupakan langkah penting agar segala bentuk kesalahan prosedur dari pejabat negara yang bentuknya terdiri dari bermacammacam dan diatur dalam undang-undang administrasi yang berbeda-beda dapat dikenakan tindak pidana korupsi. b. Kriminalisasi kebijakan dalam bentuk salah prosedur dalam kajian akademis dimungkinkan karena suatu descrionery power juga harus tetap selaras dengan maksud ditetapkan kewenangan atau sesuai dengan tujuan akhirnya tersebut, yaitu harus sesuai dengan tujuan dari ditetapkannya kewenangan itu (doelgerichte). c. Memformulasikan rumusan kesalahan prosedur dengan menggunakan unsur: i. Pejabat Negara yang dengan sengaja, ii. kesalahan prosedur dengan menyalahgunakan wewenang, iii. Tidak dalam keadaan darurat, iv. Menyimpang dari tujuan. d. Membuat undang-undang tentang Pengadaan Barang dan Jasa. ii. SARAN Adapun saran dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Perlunya pemahaman yang harus dimiliki seorang hakim dalam manganalisis setiap kasus dengan mengaitkannya dengan asas-asas dan peraturan hukum yang berlaku, sehingga dalam menerapkan hukum dapat diperoleh keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat. 2. Adanya political will dari lembaga eksekutif. Terdapat 2 variabel dalam criminal policy, yaitu criminal law dan criminal politic, sebagaimana dikatakan oleh Mahfud MD bahwa criminal law adalah unsur yang terpengaruh, sementara itu criminal politic merupakan unsur yang berpengaruh.42 Menata kembali seluruh perundang-undangan dalam bidang administrasi, merevisi undang-undang tindak pidana korupsi serta membuat undang-undang tentang pengadaan barang dan jasa tidaklah mudah, akan tetapi semuanya menjadi mungkin mana kala adanya kemauan politik yang kuat dari lembaga legislatif khusunya maupun lembaga eksekutif. 42 Fitriana, Op.Cit, hal.56 DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Amiruddin, 2010, Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Yogyakarta: Genta Publishing. Arief, Barda Nawawi, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti. Effendy, Marwan, 2010, Korupsi dan Pencegahan, jakarta: Timpani Publishing Moeljatno, 1980, Asas-asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Muhardiansyah, Doni, dkk., 2010, Buku Saku Memahami Gratifikasi, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. Mulyadi, Lilik, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis dan Praktik, Bandung: Alumni. Nugraha, Safri, dkk, 2007, Hukum Administrasi Negara,Jakarta: Center For Law and Good Governance Studies (CLGS) Fakultas Hukum UI. Prodjohamidjojo, Martiman, 2001Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi, Bandung: Mandar Maju. Surachmin dan Suhandi Cahaya,2011, Strategi dan Teknik Korupsi,Jakarta: Sinar Grafika. Syamsudin, Amir, Nurhasyim Ilyas dan Yosef B.Badeoda, 2004, Analisa Kasus Akbar Tandjung, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Syamsudin, Aziz, 2011, Tindak Pidana Khusus, Jakarta:Sinar Grafika Wijaya, Firman, 2011, Delik Penyalahgunaan Jabatan dan Suap Dalam Praktek, Jakarta: Penaku. Jurnal/Majalah/Makalah Andi Samsan Ngranto, “Tindak Pidana Korupsi Dalam Perundang- Undangan Indonesia”, Jurnal Al Manahij Vol.2 No.1 Januari-Juni 2008 Indriyanto Seno Adji, “Kendala Administrative Penal Law sebagai Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Keadilan Volume.5, No.1, 2011. __________, “Perspektif Ajaran Perbuatan Melawan Terhadap Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Pro Justitia XXV, No.4,2007. Lucy K.F.R.Gerungan, “Dimensi dan Implementasi Perbuatan Melawan Hukum Materil Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Putusan Mahkamah Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”, Majalah Gerungan Vol.XIX/No.5, Oktober-Desember 2011. Marwan Effendy, “Apakah suatu kebijakan dapat dikriminalisasi? (Dari perspektif hukum pidana/korupsi)”, Makalah pada Seminar yang bertema Pertanggungjawaban Kebijakan ditinjau dari hukum, Oleh Lembaga Pengembangan Fraud Auditing (LPFA), di Hotel Bima Karsa Budikara, Jakarta 11 Mei 2010. M.Syamsudin, “Pemaknaan Hakim Tentang Korupsi dan Implikasinya Pada Putusan; Kajian Perspektif Hermeneutika Hukum”, Mimbar Hukum Vol.22,No.3, Oktober 2010. Piers Andreas dan Tedi Erviantono, “Korupsi dalam Perspektif Etika Kebijakan Publik”, Jurnal Dialog Kebijakan Publik Edisi VI, 2012. T.Gayus Lumbuun, “ Mekanisme Penindakan Terhadap Anggota DPR Yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi (Represson Mechanism Against Parliament Members Who Engage In Corruption), Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.8, No.2, Juni 2011 Perundang-undangan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Keppres No.80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Putusan-Putusan Putusan MA RI No.572 K/Pid/2003 dalam kasus Akbar Tandjung. Putusan MA No.1344 K/Pid/2005 dalam kasus Pengadaan Helikopter. Website http://adamichazawi.blogspot.com/2011/06/sifat-melawan-hukum-tindakpidana.html, diakses pada Tanggal 16 Januari 2013 http://ariefdwi.dosen.narotama.ac.id/files/2011/2011/05/perbuatanmelawan hukum materil dalam tipikor pada praktik peradilan indonesia.pdf, didownload pada Tanggal 17 Maret 2013 www.http://nasional.news.viva.co.id.news/read, diakses pada Tanggal 15 januari 2013