INTENSITAS KOMUNIKASI ORANG TUA DAN AGRESIVITAS REMAJA Eka Pratiwi, Evianawati Sekolah Tinggi Psikologi Yogyakarta Email: [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mencari dan mengetahui hubungan antara intensitas komunikasi orang tua dengan agresivitas remaja.Subjek pada penelitian ini berjumlah 50 siswa yang didapat melalui teknik purposive sampling.Intensitas komunikasi orang tua diukur dengan skala Intensitas komunikasi orang tua.Skala Intensitas komunikasi orang tua mempunyai koefisien reliabilitas sebesar 0,894.Sedangkan agresivitas remaja diukur dengan menggunakan skala agresivitas remaja.Skala agresivitas remaja mempunyai koefisien reliabilitas sebesar 0,835.Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara Intensitas komunikasi orang tua dengan agresivitas remaja.komunikasi orang tua dengan agresivitas remaja diperoleh koefisien r = 0,615 dengan signifikansi atau p = 0,000. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara intensitas komunikasi orang tua dengan agresivitas remaja di SMK Panca Bhakti. Kata kunci: Komunikasi Orang Tua, Agresivitas Remaja PENDAHULUAN Piaget (dalam Hurlock, 2009), mengemukakan secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek afektif, kurang lebih berhubungan dengan puber, termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berfikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini. Yang berkaitan dengan hubungan sosial pada remaja, hampir seluruh waktu remaja adalah berinteraksi dengan lingkungannya, baik dengan orang tua, saudara, teman sebaya, guru, dan sebagainya. Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis, yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Pada kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang mengganggu. Berbagai perubahan yang terjadi pada remaja, mengharuskan remaja untuk mampu menghadapinya. Pada saat yang 1 sama masyarakat juga menuntut remaja untuk bisa bertindak sesuai dengan harapan sosial, seperti tercermin dalam tugas perkembangannya. Remaja juga dihadapkan pada beberapa fase dengan berbagai tingkat kesulitan permasalahan, sehingga dengan mengetahui tugas-tugas perkembangan remaja dapat mencegah konflik yang ditimbulkan oleh remaja, dimana norma dan nilai yang dihadapi biasanya berbeda dengan apa yang diperoleh dalam keluarga. Kondisi seperti ini tidak jarang menimbulkan kebingungan dan tekanan pada diri remaja. Melihat kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan sifat keperibadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan dan norma yang ada di masyarakat yang biasanya disebut dengan kenakalan remaja dalam hal ini agresivitas remaja (Hurlock, 2009). Agresivitas (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008) keagresifan merupakan hal (sifat/tindak) agresif.Agresivitas sendiri adalah bersifat atau bernafsu menyerang atau kecenderungan ingin menyerang sesuatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengecewakan, menghalangi, atau menghambat. Baron dan Byrne (2005) mengemukakan perilaku agresi adalah tingkah laku yang diarahkan kepada tujuan menyakiti makhluk hidup lainnya yang ingin menghindairi perlakuan itu Perilaku agresif muncul sebagai akibat dari kegagalan, kebimbangan, dan kebingungan, hilangnya kesabaran dan emosi yang memucak. Kegagalan remaja didalam menghadapi permasalahan, akan menyebabkan remaja mengalami frustasi dan menjadi sulit mengontrol emosinya, serta keterbatasan kognitif untuk mengolah perubahan baru tersebut bisa membawa pengaruh besar dalam fluktuasi emosinya. Besarnya pengaruh kelompok sebaya bagi remaja sebenarnya dapat diantisipasi dengan peran orangtua dalam kehidupan remaja.Komunikasi dua arah, perhatian yang proporsional dan upaya orangtua untuk memahami fase remaja sebagai sebuah fase pencarian jati diri, bisa menghadirkan sosok orangtua yang dapat dijadikan teman bagi para remaja.Perhatian atau peran orang tua yang baik dapat mengurangi pengaruh negatif pada perkembangan emosi dan perilakunya dari kelompok sebayanya yang berlebihan. Perilaku agresif dikalangan remaja, khususnya pelajar SMA atau sederajat, dari tahun ke tahun semakin meningkat baik dari jumlahnya maupun variasi bentuk perilaku yang dimunculkan.Rasa marah (Berkowitz, 2005) adalahsuatu perasaan yang tidak langsung mendorong agresi tetapi biasanya hanya menyertai kecenderungan untuk menyerang sasaran.Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa pada kenyataannya agresi adalah suatu respon terhadap rasa marah, kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, atau ancaman yang sering memancing amarah dan akhirnya memancing agresi. Ejekan, hinaan dan ancaman merupakan pancingan 2 yang jitu terhadap amarah yang akan mengarah pada agresi. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa ada problem penyimpangan pada perilaku remaja.Pada masa remaja inilah banyak terjadi perubahan perilaku sehingga sulit diduga sifat, sikap dan jalan pikiran ataupun kondisi psikologisnya. Remaja merasa tidak dimengerti oleh orang tua dan sebaliknya atau tidak mengerti pikiran anak remajanya. Beberapa contoh di atas seharusnya bisa dihindari jika terjalin komunikasi yang baik antara orang tua dan anak.Berkomunikasi dengan anak adalah salah satu hal yang paling penting yang dapat orang tua lakukan untuk menghindari persoalan emosi selama masa perkembangannya.Remaja menilai diri mereka berdasarkan bagaimana sikap orang tua kepada remaja. Berkomunikasi dengan anak merupakan suatu cara yang paling efektif untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Tentu saja komunikasi di sini harus bersifat dua arah, artinya kedua belah pihak harus mau saling mendengarkan pandangan satu dengan yang lain. Dengan melakukan komunikasi, orang tua dapat mengetahui pandangan-pandangan dan kerangka berpikir anaknya, dan sebaliknya anak-anak juga dapat mengetahui apa yang diinginkan orang tuanya. Kebingungan seperti yang disebutkan mungkin tidak perlu terjadi jika ada komunikasi antara remaja dengan orang tuanya.Gunarsa (2008). Santrock (2008) menyebutkan bahwa salah satu prediktor agresivitas adalah dukungan/ peran orangtua. Menurutnya, kurangnya pemantauan serta dukungan yang rendah mengakibatkan kurangnya komunikasi dan disiplin yang tidak efektif. Berbagai media massa baik media cetak maupun elektronik sejumlah kasus kejahatan yang melibatkan sejumlah remaja sebagai pelakunya, seperti peristiwa perkelahian antara pelajar, pencurian kendaraan yang melibatkan remaja sebagai pelakunya, dan beberapa tindak kriminalitas yang dilakukan remaja. Perilaku di atas mencerminkan adanya penyimpangan yang dilakukan oleh remaja. Penyimpangan tersebut bisa terjadi karena kurangnya pemahaman pada masa remaja atau kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak mengenai pembentukan jatidiri pada remaja. Adanya komunikasi akan menjadikan seseorang mampu mengemukakan pendapat dan pandangannya dengan jelas, sehingga orang lain lebih mudah memahami dan mengerti dirinya, dan sebaliknya. Tanpa adanya komunikasi kemungkinan besar dapat menyebabkan terjadinya salah paham yang memicu terjadinya konflik. Berdasarkan wawancara oleh peneliti yang dilakukan pada (Ade Kusuma Wardhana) salah satu siswa dari SMK Panca Bhakti pada tanggal 12 Mei 2015, waktu 09.30 WIB.Hanya karena perebutan pacar siswa di SMK Panca Bhakti dua siswa berkelahi didalam lingkungan sekolah. Masih di SMK Panca Bhakti terjadi perkelahian juga terjadi karena kesalahpahaman saat salah 3 seorang siswa dituduh mencuri helm siswa lain. Kejadian lain yang sering terjadi di STM Panca Bhaktiadalah pengompasan yang disertai pemukulan oleh sekelompok siswa yang membuat kelompok disekolah. Fenomenaini diperkuat juga karena letak STM Panca Bhakti yang tidak jauh dengan kota dan berdekatan dengan beberapa tempat wisata dan tempat karaoke serta terletak dijalur lintas kota. Dekatnya sekolah denganbeberapa tempat wisata inilah yang membuat siswa enggan langsung pulang ke rumah setelah pulang sekolah. Dan disitulah terkadang terjadi gesekan antar pelajar yang berkumpul yang menjadikan tawuran antar sekolah lain karena saling ejek. Penyimpangan perilaku anak yang disebabkan kurangnya peran orang tua dan komunikasi antara anak dan orang tua diantaranya adalah agresivitas. Menurut Pikunas(dalam Berkowitz, 2005) Agresivitas merupakan suatu motif yang ada pada setiap manusia, dan hal tersebut banyak dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor di dalam perkembangannya. Salah satu faktor yang diduga banyak mempengaruhi agresivitas adalah orang tua. Orang tua bertanggung jawab untuk memelihara, membesarkan, mendidik, menanamkan nilai-nilai, serta bertanggung jawab terhadap perkembangan kepribadian, dan bertugas untuk mengatur dan memimpin anak. Feist, Gregori/Jest Feist, (2010) menyatakan bahwa salah satu tahap perkembangan psikodinamik seseorang pada masa remaja adalah Intimacy Isolation.Pada periode ini remaja termotivasi untuk berhasil melalui perkembangan social, yaitu membentuk intimasi dalam proses pembentukan identitas yang tetap dan berhasil. Erikson ( dalam Kongkoh, 2011) menyatakan bahwa “tahap identitas personal yang kuat penting untuk mengembangkan hubungan yang intim, jika mengalami kegagalan maka akan muncul perasaan keterasingan (isolasi). Kegagalan yang dialami remaja tersebut menyebabkan remaja menjadi frustasi. “Bentuk reaksi yang terjadi akibat frustasi diantaranya adalah perilaku kekerasan yang dilakukan untuk menyakiti diri atau orang lain, yang sering disebut dengan agresi”. Fenomena agresivitas yang umum terjadi di masyarakat ini tidak pernah surut bahkan cenderung meningkat. Banjarnegara sebagai kabupaten yang sedang berkembang menjadikan para pelajar mencoba untuk mencontoh dari para remaja yang ada dikota-kota maju, seperti Jakarta, Semarang dll. Para remaja melihat cara bergaul atau pembentukan kelompok-kelompok social non-formal. Pembentukan inilah yang dijadikan remaja sebagai cara bergaul tetap untuk menghindar dari keterasingan atau pencarian jati diri, yang disinyalir sebagai sebuah bentuk mata rantai kehidupan bebas remaja. Menurut Urip (2010) secara umum remaja masih menjadi pemicu dalam terjadinya perilaku agresi.Remaja memiliki resiko yang cukup tinggi untuk melakukan tindakan agresi. Agresi bahkan dianggap sebagai tingkah laku yang normal dan terjadi pada sebagian besar remaja sebagai wujud dari masalah psikologis yang 4 dihadapinya. Merekan menggunakan metode penyelesaian yang kurang tepat untuk mengatsi pergolakan emosinya. Lewin (dalam Sarwono, 2009). Berdasarkan fenomena dan uraian diatas, pentingnya peran orang tua melalui komunikasi antara orang tua dan anak yang diterapkan sehingga berkaitan dengan munculnya tingkah laku agresif atau agresivitas pada diri siswa. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengkaji mengenai “Hubungan Antara Intensitas Komunikasi Orang Tua dengan Agresivitas Remaja”. Hubungan Antara Intensitas Komunikasi Orang Tua Dengan Agresifitas Remaja Para psikolog dan psikiater telah lama menganggap bahwa keluarga sebagai tempat dimana karakter pribadi ditempa dan sekaligus meripakan sumber utama kecenderungan antisocial.Gerungan (2008) mengemukakan bahwa keluarga adalah kelompok social utama dimana anak belajar menjadi manusia social. Di dalam interaksi social yang wajar anak akan memperoleh perbekalan yang memungkinkan untuk menjadi anggota masyarakat yang berharga. Salah satu pertanda hubungan baik antara orang tua dan anak , yaitu bahwa anak tidak segan-segan menceritakan isi hatinya kepada orang tua. Berdasarkan hasil studi pioneer terhadap 2000 remaja nakal, William Healy dan Augusta Broner mengatakan bahwa orang tua mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan anak (dalam Berkowitz , 2005). Beberapa prediktor agresivitas meliputi identitas (identitas negatif), pengendalian diri (derajat rendah), usia (telah muncul pada usia dini), jenis kelamin (anak laki-laki lebih banyak terlibat dalam perilaku anti sosial daripada anak perempuan, meskipun anak perempuan lebih cenderung melarikan diri dari rumah. Loeber dan Hay (dalam Krahe, 2011) mengemukakan bahwa, sampai batas tertentu agresi bersifat normatif-umur (agenormative) dikalangan anak-anak dan remaja. Pertanda perilaku agresif dikenali bayi sejak mereka berusia sekitar tiga bulan adalah ekspresi kemarahan wajah orang dewasa, diikuti dengan ekspresi kemarahan anak sebagai responnya terhadap frustasi, yang dimulai pada paruh kedua tahun pertama usia mereka. Pola-pola perilaku agresif dalam konflik dengan teman sebaya dan orang dewasa muncul selama tahun kedua dan ketiga kehidupan seseorang dalam bentuk temper tantrum dan penggunaan kekuatan fisik (seperti memukul, mendorong, dan menendang). Loeber dan Hay (dalam Krahe 2011) mengemukaan bahwa perilaku agresif berubah tingkat dan polanya pada masa remaja dan pada masa dewasa-muda.Yang berarti bahwa perilaku-perilaku yang dilakukan dengan niat menyakiti orang lain diperlihatkan, paling tidak sekali-sekali, oleh banyak atau kebanyakan anggota kelompok umur ini. Anak akan lebih banyak terlibat dalam tindakan-tindakan kejahatan), peran orang tua (kurangnya pemantauan, dukungan yang rendah yang mengakibatkan kurangnya 5 komunikasi dan disiplin yang tidak efektif) dan kualitas lingkungan (Santrock, 2007). Keluarga mempunyai fungsi penting dalam menciptakan ketentraman batin remaja. Bila remaja merasakan adanya kehangatan, kasih sayang dan ketentraman ibu dan bapak terhadap remaja, maka jiwanya akan tentram. Sebaliknya remaja dapat pula menderita dan terdorong untuk menentang dan brkelakuan tidak baik apabila orang tua tidak sayang kepadanya dan tidak mengerti apa yang sedang ia alami.Di antara masalah-masalah penting yang dihadapi orang tua dengan anakanaknya yang mulai meningkat, adalah sulitnya mengadakan komunikasi. Salah satu pertanda hubungan baik antara orang tua dan anak , yaitu bahwa anak tidak segansegan menceritakan isi hatinya kepada orang tua. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, anak yang agresif cenderung untuk tidak menceritakan isi hatinya ataupun cita-citanya kepada orang tuanya daripada anak-anak biasa. Adanya komunikasi yang terbuka, dimana anak dan orang tua mau membuka diri, mengungkapkan informasi tentang dirinya, perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi, gagasan yang biasanya kita sembunyikan sehingga orang lain mengerti dan mengenal dirinya sendiri sehingga kelemahan dan kekurangan yang dimilikinya akan dapat diterima; empati, kemampuan untuk merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain, sehingga dalam berkomunikasi mampu merasakan dan memahami hal yang sama dengan orang lain tanpa kehilangan identitas diri; dukungan, usaha yang dilakukan seseorang untuk menghargai lawan bicaranya yang menjadikan orang bebas dalam mengemukakan pendapatnya; sikap positif,menghargai lawan bicara yang dapat membuat seseorang menghargai dirinya sendiri secara positif pula; kesamaan, sejauh mana antara remaja dan orang tua mempunyai kesamaan, sehingga ketidaksetujuan dan konflik dipandang sebagai usaha untuk memahami perbedaan pendapat; dapat menciptakan suasana yang nyaman dalam keluarga dan dapat membantu kearah perkembangan remaja yang wajar dan sehat jasmani dan rohani sehingga perilaku agresif dapat ditekan kemunculannya. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Miller (2011) bahwa apabila orang tua kurang dapat menjalin komunikasi yang baik dengan anaknya, seperti kurang hangat dan terbuka, kurang melindungi, kurang dapat membimbing atau mengarahkan, maka anak akan cenderung menunjukkan perilaku agresif dan perilaku interpersonal lainnya. Uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa komunikasi di dalam sebuah keluarga hendaknya berlangsung atas dasar simpati dan cinta kasih yang timbal balik, yang mana menjaminkan hubungan baik dan juga perkembangan psikologis anak yang sehat dan wajar, sehingga perilaku negatif anak dapat dihindari dalam hal ini adalah remaja. Hipotesis Berdasarkan penjelasan teoritik diatas, penulis mengajukan hipotesis dalam penelitian ini yang 6 berbunyi; “Ada hubungan negatif antara intensitas komunikasi orang tua dengan agresivitas remaja.Semakin tinggi intensitas komunikasi orang tua maka kecenderungan agresivitas remaja akan semakin rendah.Sebaliknya semakin rendah komunikasi orang tua, maka kecenderungan agresivitas remaja akan semakin tinggi”. Kerangka Berfikir Orang Tua dan Anak Intensitas Komunikasi: - Menolak mendengarkan - Kurangnya waktu bersama - Komunikasi satu 2.1 Agresivitas Kurang adanya Bagan dalam Hubungan keterbukaan keluarga Komunikasi Orang Antara tua Dengan Agresivitas Remaja METODE PENELITIAN Intensitas Komunikasi Orang Tua didefinisikan sebagai suatu keadaan tingkatan atau ukuran dalam proses pengiriman, penerimaan pesan antar dua orang atau lebih.Variabel ini di ukur dengan skala intensitas komunikasi orang tua yang mengacu pada teori ( Devito, 2011 ) berdasarkan aspek aspek intensitas komunikasi orang tua sebagai berikut ; keterbukaan, empati, dukungan, sikap positif, kesamaan. Sementara itu agresivitas remaja didefinisikan sebagai suatu serangan yang dilakukan oleh suatu organism terhadap organism lain, objek lain dan bahkan dirinya sendiri. Variabel ini mengungkap skala agresivitas remaja, dimana yang menjadi acuan menggunakan teori (Dayakisni dan Hudaniah, 2006) Adapun aspekaspek yang digunakan dalam penelitian agresifitas diambil dari beberapa tipe - tipe perilaku agresif, yaitu menyerang fisik, ,menyerang suatu objek, secara verbal atau simbolis, pelanggaran terhadap hak milik dan menyerang daerah orang lain. Penelitian ini akan dilakukan pada Siswa SMK Panca Bhakti Banjarnegara. Dengan karakteristik sebagai berikut : a. Seluruh Siswa SMK Panca Bhakti Banjarnegara yang melakukan agresivitas b. Tinggal bersama orang tua c. Usia 16 – 18 tahun d. Laki – laki dan perempuan Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kuantitatif Korelasional. Penelitian korelasional bertujuan menyelidiki sejauh mana variasi pada suatu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain, berdasarkan koefisien korelasi. Dengan penelitian korelasional, pengukuran terhadap beberapa variabel serta saling berhubungan diantara variabel di antara variabelvariabel tersebut dapat dilakukan serentak dalam kondisi yang realistik (Azwar, 2009).Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai hubungan komunikasi orang tua dengan Agresivitas remaja. Dalam pengumpulan data peneliti menggunakan dua skala yaitu skala agresifitas dan skala intensitas komunikasi. Adapun dua macam skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah ; 7 1. Skala Agresifitas Skala agresivitas ini disusun berdasarkan beberapa aspek dalam beberapa tipe perilaku agresif, Agresif Fisik dan Agresif Verbal. 2. Skala Intensitas Komunikasi Skala komunikasi orang tua ini disusun berdasarkan beberapa aspek komunikasi, yaitu: 1). Keterbukaan, 2).Empati, 3). Sikap Saling Dukung 4). Sikap postif, 5).Kesamaan . HASIL PENELITIAN Hasil analisis data menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara intensitas komunikasi orang tua dengan agresivitas remaja di SMK 1 Panca Bhakti. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji koefisien korelasi (rxy)= 0,525 dan taraf signifikansi 0,000(p>0,05) atau dengan tingkat kepercayaan sebesar 90%.Hal tersebut menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan diterima. Secara umum intensitas komunikasi terbukti berperan baik/bagus dalam mengurang tingkat agresivitas remaja pada siswa SMK Panca Bhakti.Dalam penelitian ini, Secara umum intensitaskomunikasi orang tua yang dimiliki oleh siswa SMK Panca Bhakti berada pada kategori tinggi dengan persentasi sedang sebesar 62%. Artinya bahwa intensitas komunikasi yang terjalin antara orang tua dan anak (siswa) adalah sangat baik, ditandai dengan adanya keterbukaan, saling pengertian, saling menerima, saling dukung dan mempunyai kesetaraan yang cukup untuk menghindari konflik serta cukup memahami perbedaan dari anak kepada orang tua. Jika intensitaskomunikasi orang tua tergolong tinggi berarti bahwa proses komunikasi yang terjadi karena adanya pengertian orang tua sebagai pemberi informasi dan anak sebagai penerima informasi untuk mengadakan titik temu dari dua belah pihak dengan hubungan yang positif dan orang tua dapat mengerti posisi anak yang kemudian memberikan semangat serta motivasi yang baik pada anak dengan demikian anak akan merasa bahwa orang tua selalu mendampingi mereka dalam setiap fase perkembangan dan akan membuat anak lebih terbuka, maka timbullah dalam diri anak itu dorongan, hasrat untuk menceritakan segala kegelisahan. Berdasarkan hasil penelitian, secara umum agresivitas yang terjadi SMK Panca Bhakti berada pada kategori rendah dengan persentasi tinggi sampai sedang dan presentase tinggi sebesar 54% , presentase sedang sebesar 44%, dan presentasse rendah 6%, Artinya bahwa agresivitas remaja yang dilakukan rendah, ditandai dengan rendahnya agresivitas yang dilakukan oleh siswa SMK Panca Bhakti Banjarnegara. Hasil penelitian dari agresivitas remaja pada siswa SMK Panca Bhakti berhubungan dengan intensitaskomunikasi orang tua. Komunikasi orang tua pada siswa SMK Panca Bhakti berpengaruh besar, sesuai dengan statistik deskriptif, kondisikomunikasi orang tua berada dalam kondisi tinggi, intensitas komunikasi orang tua di SMK Panca Bhakti dalam kondisi 8 yang baik, artinya intensitaskomunikasi orang tua yang terdiri dari aspek keterbukaan, empati, perilaku positif, sikap saling dukung, dan kesetaraan berpengaruh pada agresivitas remaja di SMK Panca Bhakti. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan negative antaraintensitas komunikasi orang tua dengan agresivitas remaja pada siswa SMK Panca Bhakti, Semakin tinggi komunikasi remaja dan orang tua, maka agresivitas akan semakin rendah, sebaliknya semakin rendah komunikasi remaja dan orang tua, maka agresivitas remaja akan tinggi. Menurut penelitian Lopeza ,dkk, yang meneliti tentang pengaruh keluarga dan lingkungan kelas pada pengembangan karakteristik individu tertentu, termasuk tingkat empati, sikap otoritas kelembagaan dan reputasi sosial, dan karakteristik peraturan sekolahyang mempengaruhi agresi didalam sekolah. Partisipan dalam penelitian sebanyak 1319 remaja berusia 11-16 (47% laki-laki) yang diambil dari sekolah menengah negeri di Valencia (Spanyol).Penelitian ini sebelumnya menunjukkan bahwa variabelvariabel ini dapat berkontribusi secara diferensial pada perilaku agresif dan tergantung jenis kelamin, dua model struktural mediational yang dihitung berbeda, masingmasing, untuk anak laki-laki dan perempuan. Hasil yang diperoleh menunjukkan karakteristik yang berbeda untuk anak laki-laki dan perempuan. Secara keseluruhan, menunjukkan bahwa lingkungan keluarga yang positif tampaknya menjadi faktor protektif kuat untuk anak perempuan dalam pengembangan masalah perilaku di sekolah, sedangkan untuk anak lakilaki ini adalah kasus untuk lingkungan kelas yang positif. Model ini menyumbang 40% dari varians dalam agresi di sekolah untuk anak laki-laki dan 35% untuk anak perempuan. Sehingga komunikasi berperan sangat penting dalam kehidupan masyarakat untuk menyatakan suatu pesan atau tujuan kepada orang lain. Karena komunikasi merupakan peristiwa sosial yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan orang lain. Proses komunikasi yang berlangsung di dalam masyarakat dialami oleh semua tingkatan usia dan status dalam keluarga termasuk anak dan orang tua sebagai bagian dari masyarakat dan lingkungan sosial. Komunikasi pada anak dan orang tua adalah bentuk komunikasi interpersonal, dalam komunikasi ini tidak jarang ditemui adanya konflik antara anak dan orang tua.Pesan yang disampaikan kepada penerima pesan dapat diartikan berbeda-beda dan tidak sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pemberi pesan. Santrock (2008) menyebutkan bahwa salah satu prediktor agresivitas adalah dukungan/peran orangtua. Menurutnya, kurangnya pemantauan serta dukungan yang rendah mengakibatkan kurangnya komunikasi dan disiplin yang tidak efektif. Penyimpangan perilaku anak yang disebabkan kurangnya peran orang tua dan komunikasi antara anak dan orang tua diantaranya adalah agresivitas. Orang tua harus bertanggung jawab untuk memelihara, membesarkan, 9 mendidik,menanamkan nilai-nilai, serta bertanggung jawab terhadap perkembangan kepribadian, dan bertugas untuk mengatur dan memimpin anak. Santrock (2007) mengemukakan bahwa faktor-faktor lain yang mempengaruhi agresivitas yaitu identitas, kontrol diri, pengaruh orang tua, pengaruh teman sebaya, status sosial, dan kualitas sekitar tempat tinggal.Identitas; ditandai dengan kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan berbagai aspek peran identitas.Erikson (1968 dalam Santrock, 2007) mengemukakan masa remaja ada pada tahap dimana krisis identitas versus difusi identitas harus diatasi.Perubahan biologis remaja yang berupa pubertas menjadi awal dari perubahan yang terjadi bersama harapan sosial yang dimiliki keluarga, teman sebaya, dan sekolah terhadap remaja. Adanya komunikasi akan menjadikan seseorang mampu mengemukakan pendapat dan pandangannya dengan jelas, sehingga orang lain lebih mudah memahami dan mengerti dirinya, dan sebaliknya. Tanpa adanya komunikasi kemungkinan besar dapat menyebabkan terjadinya salah paham yang memicu terjadinya konflik. Pelajar yang melakukan komunikasi dengan orangtua secara harmonis, sebagaimana digambarkan oleh Olson & de Frain (2005), memiliki keterbukaan diri. Mereka dapat membagi perasaannya kepada anggota keluarga lain, terutama orangtua. Selain itu, komunikasi yang harmonis antara remaja dan orangtua ditandai oleh kemampuan mendengarkan pada dua pihak. Pelajar sangat mendambakan orangtuanya dapat mendengarkan apa yang menjadi keluh kesah atau permasalahan mereka. Dengan kemampuan membuka diri dan kemampuan mendengarkan, maka komunikasi remaja dan orangtua dapat dimanfaatkan untuk menanggapi stimulus-stimulus yang hadir pada diri secara tepat.Problemproblem yang hadir pada pelajar pun dapat dipetakan secara baik dan dicarikan jalan keluarnya.Tidak hanya membuka diri orang tua juga harus berempati kepada anak agar mengerti apa yang sedang dirasakan oleh remaja. Empati membantu lawan komunikasi kita merasadihargai karena aapa yang dia sampaikan didengarkan dan diperhatikan oleh orang lain, hal ini akan menjadikan seseorang cenderung lebih terbuka. Apabila dalam komunikasi anak dan orang tua ada rasa empati maka akan tumbuh rasa aman dan nyaman dalam kehidupan sehari-hari dan akan memperbaiki hubungan antar anggota keluarga (Widjaja, 2008). Dukungan juga berperan penting dalam proses komunikasi, dengan sikap memberi dukungan dari pihak orang tua akan mendorong anak untuk mau berpartisipasi dalam komunikasi. Sebagai mana diungkapkan Sugiyo (2005) bahwa sikap suportif merupakan sikap memberi dukungan terhadap anak sehingga anakakan berusaha meningkatkan hubungan dengan keluarga. Keluarga harus bisa menumbuhkan sikap suportif antara anggota yang satu dengan yang lain dalam komunikasi antar pribadi dalam walaupun dengan anggukan 10 atau senyuman sebagai tanda respon terhadap apa yang disampaikan anggota lain, maka orang yang mengajak kita bicara akan merasa bahagia dan tidak merasa kecewa karena merasa diperhatikan, oleh sebab itu dengan adanya sikap suportif akan menjadikan seseorang merasa diterima dalam keluarga sehingga sikap tertutup akan berkurang. Dalam berkomunikasi itu status boleh berbeda, tetapi komunikasi tetap sejajar, saling menghormati antara orang satu dengan yang lain. Sebagaimana diungkapkan Djamarah (2007), komunikasi yang baik tidak dinilai dari tinggi rendahnya jabatan atau pangkat seseorang, tetapi dinilai dari perkataan seseorang apabila antara anak dan orang tua merasa tidak ada perbedaan, maka muncul perasaan sama rasa yang berakibat terjalin dengan baik. Melalui komunikasi yang baik antara remaja dan orangtua, setiap problem dapat disikapi secara tepat dan bijak, Dengan cara inilah, pelajar akan menghindarkan diri dari keterlibatan dalam agresivitas yang distimulasikan oleh lingkungannya. Nilai penting komunikasi remaja dan orangtua adalah pada kualitas komunikasi di antara mereka.Boleh jadi seorang pelajar tidak tinggal serumah dengan orangtuanya, namun karena kualitas komunikasinya tinggi, maka itu sangat membantu mereka dalam menyikapi secara tepat stimulus yang hadir pada diri pelajar. KESIMPULAN Adapun keterbatasan penelitian ini yaitu penelitian ini hanya dilakukan di satu sekolah saja, sehingga akan lebih baik lagi jika penelitian dilakukan tidak hanya pada SMK Panca Bhakti Banjarnegra selanjutnya ( dengan topic yang sama) dilakukan pada populasi yang lebih luas memngingat bahwa intensitas komunikasi haruslah terjalin dengan baik antara orang tua dan anak sehingga anak dapat terhindar dari perilaku menyimpang. Penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara intensitas komunikasi orang tua dengan agresivitas remaja. Hubungan yang terjadi bernilai negative, sehingga hipotesis yang mengatakan bahwa ada hubungan negative antara komunikasi orang tua dan anak dapat teruji.Ini berarti bahwa semakin tinggi intensitas komunikasi orang tua, maka semakin rendah agresivitas yang dilakukan.Sebaliknya, semakin rendah intensitas komunikasi orang tua dan anak, maka semakin tinggi agresivitas remaja. Hal ini terbukti berdasarkan hasil analisa yang dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negative antara intensitas komunikasi orang tua dengan agresivitas remaja pada siswa SMK Panca Bhakti Banjarnegara dengan korelasi sebesar -0,525 dengan taraf signifikansi 0,000 (P<0,05). DAFTAR PUSTAKA Afrianti, L. 2009. Skripsi : Perbedaan Tingkat Agresifitas Pada Remaja yang Bermain Game Online Jenis Agresif Dan NonAgresif. Tidak diterbitkan. Universitas Muhammadiyah Surakarta: Surakarta. 11 Ali dan Asrori. 2011. Psikologi Remaja Perkembangan Anak Didik. Bumi Aksara Arikunto,S.2010.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.Jakarta:Rineka Cipta Asizah. 2013. Hubungan Intensitas Komunikasi Antara Anak Dengan Orang tua Dan Sef Regulation Pada Remaja Pesantren. Persona. Jurnal Psikologi Indonesia Atkinson, Berne, Woodwoorth. 2004. Dictionary Of Psychology. Delhi:Goyl Saab Publishers Azwar, Saifuddin. 2008. Sikap Manusia Teori Dan Pengukurannya.Yogyakarta : Pustaka Pelajar -----------2009. Metode Penelitian (Cetakan IX). Yogyakarta: Pustaka Pelajar -----------2009. Reliabilitas Validitas.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. dan Badudu, JS. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga ( Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.Jakarta : Balai Pustaka Baron dan Bryne. 2005. Psikologi Sosial. Jakarta : Penerbit Erlangga Berkowitz, L. 2005. Agresi SebabAkibat. Jakarta : PT Pustaka Binaman Pressindo Chaplin, JP. 2011. Kamus Lengkap Psikologi (Penerjemah Dr.Kartini Kartono). Jakarta : PT Raja Grafindo Chapman, Gary. 2005. Lima Bahasa Kasih Untuk Remaja. Batam : Interaksara Dayakisni, T dan Hudaniah. 2009. Psikologi sosial. Malang : UMM Press De Vito, Joseph. 2011. Komunikasi Antar Manusia ( Alih Bahasa Ir. Agus Maulana MSM). Jakarta : Profesional Books Djamarah, Saiful B. 2007. Pola Komunikasi Orang tua dan Anak Dalam Keluarga. Jakarta : Rineka Cipta Gerungan. 2010. Psikologi Sosial. Bandung : Eresco Gunarsa.2006. Psikologi Praktis Anak dan Remaja.Bandung : Eresco Hasmanti,T.W., 2006. Naskah Publikasi : Hubungan Komunikasi Remaja dan Orang tua Dengan Agresifitas Remaja Lakilaki.Tidak diterbitkan. Universitas Islam Indonesia: Jogjakarta. 12 Hodijah (2010), Hubungan Antara Intensitas Komunikasi Orang Tua Dan Anak Dengan Motivasi Belajar Anak. e-jurnal: Universitas Guna Darma. Hurlock. Elizabeth B. 2009. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi 5.Jakarta : Erlangga Indriyati. 2007. Hubungan Antara Intensitas Komunikasi Orang Tua dan Anak Dengan Kepercayaan Diri Remaja Putri Awal. Skripsi. Unnes Rakhmat, J. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya Reber&Reber. 2010. Kamus Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Santrock, John W. 2008. Adolescense Perkembangan Remaja ( Alih Bahasa, Shinto B. Adelar; Sherly Saragih; Editor, Wisnu C. Kristiaji. Jakarta Penerbit Erlangga. Sugiyo. 2005. Komunikasi Antar Pribadi. UNNES : UNNES Press Krahe, B. 2011. Perilaku Agresif, Buku Panduan Psikologi Sosial. Yogyakarta Pustaka Pelajar Supratikya. 2009. Komunikasi Antar Pribadi (Tinjauan Psikologis). Yogyakarta Kanisius Kongkoh. 2010. Teori Perkembangan Psikososial Erik Erikson. Diunduh di http://id.shvoong.com/socials ciences/education/2102731teoriperkembanganpsikososia l-erik-erikson. Taylor,Peplau,dan Sears. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta : Penerbit Erlangga Urip.S. 2010. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Penerimaan Teman Sebaya Dengan Tendensi Agresivitas Relasional Pada Remaja Putri Di SMP N 27 Semarang. Jurnal Psikologi. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Walgito, B. 2002. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Andi Offset Lunandi, A.G. 2001. Komunikasi Mengenai, Meningkatkan Efektivitas Komunikasi Antar Pribadi. Yogyakarta: KANISIUS. Lopez, dkk. 2008. Adolescent aggression: Effects of gender and family and school environments. Journal Of Adolescence : ScienceDirect White, Gallup, and Gallup.2010. Indirect Peer Aggression in Adolescence and 13 Reproductive Evolutionary Psychology Behavior. Journal of www.epjournal.net Widjaja. HAW. 2008. Ilmu Komunikasi. Jakarta : Rineka Cipta Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : Gramedia 14