1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Sejak awal mula, manusia diciptakan tidak seorang diri untuk menjalani kehidupannya di dunia ini. Kodrat manusia adalah makhluk sosial yaitu bahwa manusia akan selalu membutuhkan manusia lain dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kehidupan sehari – hari manusia tergabung dalam kelompok atau kehidupan bersama yang disebut masyarakat. Masyarakat merupakan suatu kehidupan bersama yang terorganisir untuk mencapai dan merealisir tujuan bersama. 1 Setiap manusia dalam masyarakat tersebut juga memiliki kebutuhan dan kepentingan sebagai individu yang bebas. Untuk pemenuhan kebutuhan dan kepentingan pribadinya tersebut, manusia melakukan interaksi, hubungan, dan kontak dengan manusia lainnya dalam masyarakat tersebut. Tidak jarang pula, kontak yang terjadi kemudian menimbulkan konflik di antara para anggota masyarakat itu sendiri, karena begitu banyaknya kepentingan yang ada dan kadangkala saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Setiap kepentingan dalam masyarakat dapat terakomodir dan terlindungi sehingga kehidupan dalam masyarakat sedikit banyak dapat berjalan dengan tertib dan teratur jika diatur dengan adanya beberapa kaedah sosial. Tata kaedah 1 Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 1-2. 2 tersebut terdiri dari kaedah kepercayaan atau keagamaan, kaedah kesusilaan, kaedah sopan santun, dan kaedah hukum. 2 Dibandingkan antara tata kaedah sosial tersebut, dalam perkembangannya kaedah hukum mengambil peran yang paling menonjol (tanpa mengecilkan peran dan fungsi kaedah sosial lainnya) untuk melindungi kepentingan – kepentingan manusia. Hal ini didasarkan pada karakteristik dari kaedah hukum yang bersifat memaksa dan mengikat serta memiliki sanksi yang tegas bagi pelanggarnya, yang mana karakteristik tersebut tidak dimiliki oleh kaedah – kaedah sosial lainnya. Kaedah hukum dapat diartikan sebagai peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia itu seyogyanya berperilaku dan bersikap dalam masyarakat agar kepentingannya dan kepentingan orang lain terlindungi. Kaedah hukum adalah nilai yang terdapat dalam peraturan konkrit. 3 Peraturan hukum merupakan pembadanan dari kaedah hukum, yang menggunakan berbagai kategori sarana untuk menampilkan kaedah hukum sehingga dapat ditangkap oleh masyarakat. 4 Dewasa ini, masyarakat dalam lingkup yang lebih luas yaitu suatu negara memiliki kewenangan untuk menentukan sendiri hukum yang hendak diberlakukan dalam wilayahnya, inilah yang disebut sebagai hukum nasional. Negara Indonesia sejak memproklamirkan kemerdekaannya hingga saat ini masih terus berjuang untuk membentuk suatu hukum nasional yang benar – benar mencerminkan kepribadian dan budaya bangsa serta berlandaskan Pancasila 2 Ibid, hlm. 5. Sudikno Mertokusumo, 2004, Penemuan Hukum sebuah pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 11. 4 Satjipto Rahardjo, 1982, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 81. 3 3 sebagai dasar negara. Namun, proses pembentukan hukum nasional bukanlah proses yang mudah dan cepat. Bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang pluralistik serta menghendaki masyarakat yang seimbang maka hukum nasional yang dibentuk haruslah sungguh – sungguh dapat mengakomodir dan melindungi kepentingan segenap masyarakat Indonesia. Saat ini, Indonesia sudah memiliki hukum nasional namun masih banyak berlaku peraturan perundang – undangan yang berasal dari jaman Hindia Belanda, walaupun pemberlakuannya sebatas tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945. Peraturan lelang di Indonesia sampai dengan saat ini mendasarkan pada ketentuan – ketentuan yang terdapat dalam Vendu Reglement (Peraturan Lelang, disingkat VR), Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 tentang Peraturan Penjualan di Muka Umum di Indonesia sebagaimana telah diubah dua kali yaitu dengan Staatsblad Tahun 1940 Nomor 56 dan Staatsblad Tahun 1941 Nomor 3. Hal ini merupakan salah satu contoh bahwa masih digunakannya peraturan dari jaman Hindia Belanda secara nasional hingga saat ini dengan berbagai penyesuaian seperlunya dan dilaksanakan dengan Vendu Instructie (Instruksi Lelang, disingkat VI, Staatsblad Tahun 1908 Nomor 190) dan berbagai peraturan pelaksana. Lelang adalah suatu cara penjualan barang yang diatur dengan peraturan perundang – undangan yang bersifat khusus (lex speciale). 5 5 S. Mantayborbir dan Iman Jauhari, 2003, Hukum Lelang Negara di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, hlm. 10. 4 Pasal 1 angka (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK. 06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang memberikan pengertian bahwa, lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman lelang. Barang dalam ketentuan ini adalah tiap benda atau hak yang dapat dijual secara lelang. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK. 06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang jo Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK. 06/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK. 06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, bahwa setiap pelaksanaan lelang harus dilakukan oleh dan/atau di hadapan pejabat lelang kecuali ditentukan lain oleh undang – undang atau peraturan pemerintah, jika pelaksanaan lelang menyimpang dari ketentuan tersebut maka lelang tersebut adalah tidak sah. Lelang dilaksanakan atas dasar adanya pihak yang menghendaki penjualan di muka umum dan memberitahukannya kepada pejabat lelang untuk ditentukan waktu, hari, dan tempat penjualan umum akan diadakan. Pejabat lelang tidak diperbolehkan untuk menolak permintaan penjualan di muka umum di dalam daerah kewenangannya sepanjang persyaratan lelang sudah dipenuhi. Pejabat lelang adalah orang yang khusus diberi wewenang oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang berdasarkan 5 pertaturan perundang – undangan yang berlaku. Pejabat Lelang mempunyai tugas melakukan kegiatan persiapan lelang, pelaksanaan lelang dan kegiatan setelah lelang. Pejabat lelang dibedakan dalam dua tingkat berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.06/2010 tentang Pejabat Lelang Kelas I jo Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.06/2010 tentang Pejabat Lelang Kelas II, yaitu : 1. Pejabat lelang kelas I, yaitu pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) yang diberi wewenang oleh menteri keuangan untuk melaksanakan lelang eksekusi dan lelang noneksekusi wajib, mereka berkedudukan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) wilayah kerjanya dan; 2. Pejabat lelang kelas II, adalah orang yang khusus diberi wewenang oleh menteri keuangan untuk melaksanakan lelang noneksekusi sukarela atas permohonan balai lelang selaku kuasa dari pemilik barang, yang berkedudukan di kantor pejabat lelang kelas II. Mereka ini berasal dari notaris, penilai, pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) DJKN diutamakan yang pernah menjadi pejabat lelang kelas I, atau lulusan pendidikan pejabat lelang yang diselenggarakan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Departemen Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK. 06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, membedakan jenis lelang menjadi : 6 1. Lelang noneksekusi wajib, yaitu lelang untuk melaksanakan penjualan barang yang oleh peraturan perundang – undangan diharuskan dijual secara lelang; 2. Lelang noneksekusi sukarela, adalah lelang atas barang milik swasta, orang atau badan hukum atau badan usaha yang dilelang secara sukarela; 3. Lelang eksekusi, yaitu lelang untuk melaksanakan putusan atau penetapan pengadilan atau dokumen yang dipersamakan dengan itu, dan / atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang – undangan. Artinya, lelang eksekusi disebabkan karena adanya putusan atau penetapan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht) ataupun dokumen yang dipersamakan dengan itu, dan / atau ketentuan dalam perundang – undangan yang memerintahkan untuk dilakukannya penjualan di muka umum. Contohnya yaitu lelang eksekusi jaminan hak tanggungan. Lelang noneksekusi sukarela dapat dilaksanakan baik oleh pejabat lelang kelas I maupun pejabat lelang kelas II, namun untuk lelang noneksekusi wajib dan lelang eksekusi hanya dapat dilaksanakan oleh pejabat lelang kelas I. Contoh lelang eksekusi dan menjadi bahan kajian dalam penelitian ini adalah lelang eksekusi jaminan hak tanggungan. Hak tanggungan merupakan satu – satunya lembaga hak jaminan atas tanah yang hukumnya tertulis, sejak berlakunya Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda Lain yang Berkaitan dengan Tanah, pada 7 tanggal 9 April 1996. Hak jaminan atas tanah adalah hak yang ada pada kreditur, yang memberi wewenang kepadanya jika debitur cidera janji, untuk menjual tanah yang secara khusus ditunjuk sebagai jaminan dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditur – kreditur yang lain. Salah satu ciri dari hak tanggungan adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, apabila di kemudian hari debitur wanprestasi dan atau cidera janji, maka obyek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang – undangan yang berlaku dan pemegang hak tanggungan berhak mengambil seluruh atau sebagian dari hasilnya untuk pelunasan piutangnya, dengan hak mendahului daripada kreditur – kreditur lain. 6 Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) jo ayat (2) Undang – Undang Hak Tanggungan, bagi kreditur dalam melaksanakan eksekusi atas obyek hak tanggungan, terdapat tiga cara yaitu : 1. Pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, atau 2. Pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum atas dasar titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan, atau 6 S. Mantayborbir, 2004, Kompilasi Sistem Hukum Pengurusan Piutang dan Lelang Negara, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, hlm. 119 – 120. 8 3. Pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual obyek hak tanggungan melalui penjualan di bawah tangan (dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah) atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan dan diperkirakan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Pelelangan umum yang dimaksud dalam Undang – Undang Hak Tanggungan di sini merupakan suatu sarana untuk melakukan penjualan atas obyek hak tanggungan, melalui perantaraan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Pelaksanaan eksekusi lelang tersebut, maka KPKNL dapat memungut bea lelang dan uang miskin. Sebelum pelaksanaan eksekusi lelang, juru lelang atau pejabat lelang wajib membuat pengumuman lelang lewat media massa dengan tujuan agar dapat diketahui oleh masyarakat luas serta memberikan kesempatan bagi pihak ketiga yang merasa dirugikan untuk mengajukan sanggahan atau keberatan melalui pengadilan negeri. Setiap pelaksanaan lelang, pejabat lelang atau juru lelang adalah pejabat umum yang membuat akta otentik berdasarkan undang – undang di wilayah kerjanya, dalam hal ini yaitu akta risalah lelang. Akta risalah lelang memuat segala hal mengenai proses pelaksanaan lelang dari awal hingga akhir. Berdasarkan Pasal 1868 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, sebuah akta dapat dinyatakan sebagai akta otentik jika memenuhi syarat mutlak yaitu : 1. Akta dibuat oleh dan atau di hadapan pejabat – pejabat umum. 9 2. Akta dibuat dan diresmikan dalam bentuk yang telah ditentukan oleh undang – undang. 3. Pejabat umum yang membuat akta tersebut berada di dalam wilayah kewenangannya. Tidak terpenuhinya ketiga syarat tersebut di atas maka suatu akta merupakan akta di bawah tangan. Akta otentik dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan isi dari akta tersebut yaitu : 1. Akta relas atau akta pejabat, yaitu suatu akta yang berisi uraian yang dibuat secara otentik terhadap suatu tindakan atau keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pejabat umum itu sendiri di dalam menjalankan tugas jabatannya. 2. Akta partai, merupakan suatu akta yang berisi kehendak dari pihak – pihak yang berkepentingan dimana kehendak tersebut disampaikan kepada pejabat umum agar mengkonstantir atau menuangkan akta tersebut dalam bentuk akta otentik. Berdasarkan pembedaan di atas, akta risalah lelang termasuk dalam kategori akta relas atau akta pejabat karena akta risalah lelang berisi uraian yang dibuat secara otentik terhadap suatu proses pelaksanaan pelelangan di depan umum yang dilihat dan dilaksanakan oleh pejabat lelang itu sendiri sebagai pejabat umum dalam menjalankan tugas jabatannya. 10 Akta risalah lelang dalam kedudukannya sebagai akta otentik, maka akta risalah lelang merupakan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya. Akta risalah lelang merupakan alat bukti yang kuat sehingga apabila suatu ketika terjadi sengketa maka tidak perlu lagi dibuktikan dengan alat – alat pembuktian yang lain. 7 Terjadinya gugatan terhadap akta otentik maka berimplikasi terhadap keabsahannya. Setelah melalui sidang pembuktian di pengadilan, maka akta harus tunduk pada putusan hakim yakni berupa pembatalan, jika ternyata dapat dibuktikan di muka sidang pengadilan bahwa isi akta tersebut tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya dan melanggar ketentuan perundang - undangan. Akibat pembatalan akta tersebut maka akta batal demi hukum sehingga tidak mempunyai konsekuensi terhadap para pihak sebaliknya kondisi yang ada harus dikembalikan ke kondisi semula seperti pada saat sebelum terbitnya akta tersebut. Tugas hakim sangatlah berat dalam suatu persidangan, yaitu memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara. Menjatuhkan suatu putusan selain dipenuhinya prosedur tertentu menurut undang – undang, juga penting untuk diperhatikan dapat tidaknya putusan yang akan dijatuhkan itu diterima, baik menurut persyaratan keadilan maupun persyaratan konsistensi sistem. Pilihan itu ditentukan oleh pandangan pribadi hakim tentang putusan mana yang paling dapat diterima terutama oleh para pihak yang bersangkutan dan oleh masyarakat. 8 Setiap putusan yang diambil oleh hakim dalam suatu persidangan idealnya haruslah memenuhi tiga unsur penting secara proporsional yaitu kepastian hukum, 7 R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 43 – 44. 8 Sudikno Mertokusumo, op. cit., hlm. 91. 11 kemanfaatan, dan keadilan. Prakteknya jarang terdapat putusan yang mengandung tiga unsur tersebut secara proporsional. Perkara perdata Reg. No. 94 / Pdt. G / 2005 / PN. Sleman, merupakan permasalahan yang menarik mengenai permohonan pembatalan akta risalah lelang yang diterbitkan atas telah dilaksanakannya lelang eksekusi hak tanggungan sebidang tanah yang berada di wilayah Sleman Yogyakarta. Pengajuan pembatalan tersebut berdasarkan bahwa penggugat (dalam hal ini mengaku sebagai pemilik hak atas tanah yang sah) tidak pernah merasa telah mengalihkan hak atas tanahnya ataupun membebankan hak tanggungan terhadap hak atas tanah miliknya. Hakim Pengadilan Negeri Sleman kemudian mengabulkan permohonan penggugat dengan menyatakan bahwa segala surat dan akta – akta notariil yang mengalihkan hak atas tanah dari penggugat adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum, menjadi menarik mengingat kedudukan akta risalah lelang yang merupakan akta otentik dengan segala karakteristik dan kekhususannya telah diatur dengan sangat lengkap oleh peraturan perundang – undangan yang ada. Pembatalan sebuah akta risalah lelang dalam kedudukannya sebagai alat pembuktian yang sempurna tentunya menimbulkan akibat hukum yang berbeda bagi setiap pihak terkait. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menganalisis putusan hakim dalam kasus “Pembatalan Akta Risalah Lelang Eksekusi Hak Tanggungan di Pengadilan Negeri Sleman”, agar dapat diketahui apakah putusan hakim tersebut telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Analisis mengenai hal 12 ini menjadi perlu mengingat hakim dalam mengambil keputusan di samping mempertimbangkan hukumnya juga dituntut untuk melakukan penemuan maupun penafsiran hukum. Penafsiran ini sifatnya sangat subyektif sehingga dapat mempengaruhi asas kepastian, kemanfaatan, dan keadilan hukum. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan tersebut di atas maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim di Pengadilan Negeri Sleman untuk membatalkan akta risalah lelang eksekusi hak tanggungan yang dalam kedudukannya merupakan akta otentik ? 2. Bagaimana akibat hukum yang timbul dengan dibatalkannya akta risalah lelang eksekusi hak tanggungan tersebut ? 3. Bagaimana perlindungan hukum bagi pembeli lelang dalam hal ini pemenang lelang? C. Keaslian Penelitian Sejauh penelusuran yang telah dilakukan penulis, penelitian mengenai “Pembatalan Akta Risalah Lelang Eksekusi Hak Tanggungan di Pengadilan Negeri Sleman”, belum pernah ada tetapi yang mirip judul di atas pernah dilakukan oleh : 13 1. Saurma Tambunan 9, “Kompetensi Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pembatalan Risalah Lelang (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Agung Nomor 205 PK / Pdt / 2010).” Permasalahan : a. Apa yang menjadi alasan gugatan oleh debitur dalam eksekusi PUPN (penggugat) terhadap pengajuan pembatalan risalah lelang yang telah dibuat oleh pejabat lelang dan upaya hukum apa yang dapat diajukan terhadap putusan hakim yang telah ada ? b. Mengapa PTUN yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan penyelesaian perkara pembatalan risalah lelang dalam Putusan Mahkamah Agung No. 205 PK / Pdt / 2010? Kesimpulan : a. Lelang eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) menjadi salah satu jenis lelang yang dilaksanakan oleh DJKN / KPKNL. Dalam konteks pengurusan piutang negara, lelang eksekusi PUPN merupakan salah satu bentuk penegakan hukum (Law enforcement) terhadap penanggung utang yang wanprestasi. Pejabat lelang mengeluarkan risalah lelang sebagai berita acara pelaksanaan lelang. Alasan gugatan pembatalan risalah lelang terjadi karena prosedur pelaksanaan lelang yang tidak sesuai dengan peraturan perundang – undangan atau adanya tindakan melawan hukum maupun wanprestasi dari pelaksana lelang dan aparat pemerintah yang terkait dengan pelaksanaan lelang.Upaya 9 Saurma Tambunan, 2012, Tesis, No.Reg. 347.9/tam/k/2012, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 14 hukum yang dapat ditempuh pihak yang merasa belum mendapatkan keadilan yaitu banding ke pengadilan tinggi, kasasi, dan peninjauan kembali ke MA. b. Pengajuan pembatalan risalah lelang bukan merupakan kewenangan peradilan tata usaha negara secara sempurna, terutama pada unsur obyek sengketa yaitu tindakan hukumnya.Risalah lelang merupakan berita acara pelaksanaan lelang yang berisi muatan hukum perdata, maka pengajuan gugatan ini merupakan kewenangan badan peradilan umum (PN), meskipun dibuat oleh pejabat tata usaha negara. Risalah lelang ini merupakan pengecualian dari Pasal 2 huruf a Undang – Undang PTUN. 2. Elis Permasih 10, “Tinjauan Hukum Terhadap Pembatalan Risalah Lelang No. 43 / 1994 – 1995 Tanggal 19 Oktober 1994 dengan Putusan PTUN Surabaya No. 89 / G. TUN / 1994 Jo Putusan MA RI No. 29 PK / TUN / 1995.” Permasalahan : a. Apa alasan – alasan yang digunakan untuk pembatalan risalah lelang eksekusi putusan pengadilan oleh peserta lelang dalam lelang Nomor 43 / 1994 – 1995 Tanggal 19 Oktober 1994 dengan Putusan PTUN Surabaya No. 89 / G. TUN / 1994 jo Putusan MA RI Nomor 29 / PK /TUN / 1995? 10 Elis Permasih, 2010, Tesis, No.Reg. 347.9/per/t/2010, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 15 b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pemenang lelang Nomor 43 / 1994 – 1995 Tanggal 19 Oktober 1994 dengan Putusan PTUN Surabaya No. 89 / G. TUN / 1994 jo Putusan MA RI Nomor 29 / PK /TUN / 1995 yang dibatalkan? c. Bagaimanakah pembinaan terhadap pejabat lelang yang melaksanakan lelang tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan? Kesimpulan : a. Alasan pembatalan Risalah Lelang Nomor 43 / 1994 – 1995 tanggal 10 Oktober 1995 Lelang Eksekusi Nomor W10.D.TI/ PA.01.07 – 1188 Tanggal 17 September 1994 oleh peserta lelang adalah Pejabat Lelang telah melaksanakan lelang tidak sesuai dengan Peraturan Perundang – Undangan No. 5 Tahun 1986 Pasal 53 (2) di bidang lelang yaitu karena Pejabat Lelang Kelas II Tulungagung telah mengalihkan pemenang lelang dari pemenang lelang tertinggi sebesar Rp.126.100.000,- kepada penawar dengan harga Rp.125.000.000,-, seharusnya yang ditetapkan sebagai pemenang tertinggi. Pelaksanaan lelang tidak tepat waktu tidak sesuai dengan apa yang telah dijadwalkan dalam pengumuman yaitu yang sedianya diadakan pukul 09.00 wib tetapi pelaksanaannya pada pukul 12.00 wib. Dalam pelaksanaan lelang penawar tertinggi tidak hadir tetapi dikuasakan kepada kuasanya yang tidak membawa Surat Kuasa namun telah diberitahukan kepada pejabat lelang secara lisan dan disetujui. 16 b. Dalam kasus ini pemenang lelang kurang terlindungi dan tidak dapat menguasai obyek lelang karena adanya penawar tertinggi dan adanya gugatan dari peserta lelang yang merasa dirugikan, sehingga risalah lelangnya tidak dapat dilaksanakan. c. Pejabat Lelang yang melaksanakan lelangnya tidak sesuai dengan peraturan perundang – undangan maka dalam kasus di atas pejabat lelang tersebut terkena sangsi administratif dengan pengurangan gaji 6 (enam) sampai 12 (duabelas) bulan. Pada kedua judul penelitian yang telah disebutkan di atas obyek penelitiannya adalah pembatalan atas Akta Risalah Lelang Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara dan Akta Risalah Lelang Eksekusi Putusan Pengadilan sedangkan yang menjadi obyek penelitian dalam penelitian penulis adalah pembatalan Akta Risalah Lelang Eksekusi Hak Tanggungan di Pengadilan Negeri Sleman sebagai akta otentik yang dibuat oleh pejabat lelang kelas I. Dengan demikian maka penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah. D. Faedah Penelitian Penulis berharap bahwa penelitian ini dapat memberikan faedah yaitu : 1. Secara teoritis bagi : a. Ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum, yaitu untuk menambah perbendaharaan khasanah pustaka bagi perkembangan ilmu hukum 17 pada umumnya, khususnya dalam lapangan hukum perdata bidang kenotariaatan. b. Pembangunan hukum nasional negara dan bangsa Indonesia, yaitu sebagai salah satu bahan referensi dalam upaya pembentukan suatu hukum nasional umumnya dan hukum lelang Indonesia pada khususnya. 2. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan faedah bagi para aparatur hukum pada umumnya, para praktisi hukum lelang pada khususnya, juga masyarakat luas untuk membantu penegakan hukum di Indonesia dan untuk menjamin kepastian hukum dari suatu produk hukum dalam hal ini yaitu sebuah akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum dalam kewenangannya. E. Tujuan Penelitian Tujuan dari penulisan penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut : 1. Untuk menelaah dan memahami yang menjadi dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Sleman untuk membatalkan akta risalah lelang eksekusi hak tanggungan yang dalam kedudukannya merupakan akta otentik. 2. Untuk menelaah dan memahami akibat hukum yang timbul dengan dibatalkannya akta risalah lelang eksekusi hak tanggungan tersebut. 18 3. Untuk menelaah dan memahami perlindungan hukum bagi pembeli dalam hal ini pemenang lelang.