1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Sejak

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Sejak awal mula, manusia diciptakan tidak seorang diri untuk menjalani
kehidupannya di dunia ini. Kodrat manusia adalah makhluk sosial yaitu bahwa
manusia akan selalu membutuhkan manusia lain dalam pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Kehidupan sehari – hari manusia tergabung dalam kelompok atau
kehidupan bersama yang disebut masyarakat.
Masyarakat merupakan suatu kehidupan bersama yang terorganisir untuk
mencapai dan merealisir tujuan bersama. 1 Setiap manusia dalam masyarakat
tersebut juga memiliki kebutuhan dan kepentingan sebagai individu yang bebas.
Untuk pemenuhan kebutuhan dan kepentingan pribadinya tersebut, manusia
melakukan interaksi, hubungan, dan kontak dengan manusia lainnya dalam
masyarakat tersebut. Tidak jarang pula, kontak yang terjadi kemudian
menimbulkan konflik di antara para anggota masyarakat itu sendiri, karena begitu
banyaknya kepentingan yang ada dan kadangkala saling bertentangan antara satu
dengan yang lainnya.
Setiap kepentingan dalam masyarakat dapat terakomodir dan terlindungi
sehingga kehidupan dalam masyarakat sedikit banyak dapat berjalan dengan tertib
dan teratur jika diatur dengan adanya beberapa kaedah sosial. Tata kaedah
1
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 1-2.
2
tersebut terdiri dari kaedah kepercayaan atau keagamaan, kaedah kesusilaan,
kaedah sopan santun, dan kaedah hukum. 2 Dibandingkan antara tata kaedah sosial
tersebut, dalam perkembangannya kaedah hukum mengambil peran yang paling
menonjol (tanpa mengecilkan peran dan fungsi kaedah sosial lainnya) untuk
melindungi kepentingan – kepentingan manusia. Hal ini didasarkan pada
karakteristik dari kaedah hukum yang bersifat memaksa dan mengikat serta
memiliki sanksi yang tegas bagi pelanggarnya, yang mana karakteristik tersebut
tidak dimiliki oleh kaedah – kaedah sosial lainnya.
Kaedah hukum dapat diartikan sebagai peraturan hidup yang menentukan
bagaimana manusia itu seyogyanya berperilaku dan bersikap dalam masyarakat
agar kepentingannya dan kepentingan orang lain terlindungi. Kaedah hukum
adalah nilai yang terdapat dalam peraturan konkrit. 3 Peraturan hukum merupakan
pembadanan dari kaedah hukum, yang menggunakan berbagai kategori sarana
untuk menampilkan kaedah hukum sehingga dapat ditangkap oleh masyarakat. 4
Dewasa ini, masyarakat dalam lingkup yang lebih luas yaitu suatu negara
memiliki kewenangan untuk
menentukan sendiri hukum yang
hendak
diberlakukan dalam wilayahnya, inilah yang disebut sebagai hukum nasional.
Negara Indonesia sejak memproklamirkan kemerdekaannya hingga saat ini masih
terus berjuang untuk membentuk suatu hukum nasional yang benar – benar
mencerminkan kepribadian dan budaya bangsa serta berlandaskan Pancasila
2
Ibid, hlm. 5.
Sudikno Mertokusumo, 2004, Penemuan Hukum sebuah pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm.
11.
4
Satjipto Rahardjo, 1982, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 81.
3
3
sebagai dasar negara. Namun, proses pembentukan hukum nasional bukanlah
proses yang mudah dan cepat.
Bangsa
Indonesia
merupakan
masyarakat
yang
pluralistik
serta
menghendaki masyarakat yang seimbang maka hukum nasional yang dibentuk
haruslah sungguh – sungguh dapat mengakomodir dan melindungi kepentingan
segenap masyarakat Indonesia. Saat ini, Indonesia sudah memiliki hukum
nasional namun masih banyak berlaku peraturan perundang – undangan yang
berasal dari jaman Hindia Belanda, walaupun pemberlakuannya sebatas tidak
bertentangan dengan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945.
Peraturan lelang di Indonesia sampai dengan saat ini mendasarkan pada
ketentuan – ketentuan yang terdapat dalam Vendu Reglement (Peraturan Lelang,
disingkat VR), Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 tentang Peraturan Penjualan di
Muka Umum di Indonesia sebagaimana telah diubah dua kali yaitu dengan
Staatsblad Tahun 1940 Nomor 56 dan Staatsblad Tahun 1941 Nomor 3. Hal ini
merupakan salah satu contoh bahwa masih digunakannya peraturan dari jaman
Hindia Belanda secara nasional hingga saat ini dengan berbagai penyesuaian
seperlunya dan dilaksanakan dengan Vendu Instructie (Instruksi Lelang, disingkat
VI, Staatsblad Tahun 1908 Nomor 190) dan berbagai peraturan pelaksana. Lelang
adalah suatu cara penjualan barang yang diatur dengan peraturan perundang –
undangan yang bersifat khusus (lex speciale). 5
5
S. Mantayborbir dan Iman Jauhari, 2003, Hukum Lelang Negara di Indonesia, Pustaka Bangsa
Press, Jakarta, hlm. 10.
4
Pasal
1
angka
(1)
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor 93/PMK. 06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang memberikan
pengertian bahwa, lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum
dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat
atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan
pengumuman lelang. Barang dalam ketentuan ini adalah tiap benda atau hak yang
dapat dijual secara lelang.
Berdasarkan
Pasal
2
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor 93/PMK. 06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang jo Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 106/PMK. 06/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 93/PMK. 06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang, bahwa setiap pelaksanaan lelang harus dilakukan oleh dan/atau di
hadapan pejabat lelang kecuali ditentukan lain oleh undang – undang atau
peraturan pemerintah, jika pelaksanaan lelang menyimpang dari ketentuan
tersebut maka lelang tersebut adalah tidak sah. Lelang dilaksanakan atas dasar
adanya
pihak
yang
menghendaki
penjualan
di
muka
umum
dan
memberitahukannya kepada pejabat lelang untuk ditentukan waktu, hari, dan
tempat penjualan umum akan diadakan. Pejabat lelang tidak diperbolehkan untuk
menolak permintaan penjualan di muka umum di dalam daerah kewenangannya
sepanjang persyaratan lelang sudah dipenuhi.
Pejabat lelang adalah orang yang khusus diberi wewenang oleh Menteri
Keuangan untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang berdasarkan
5
pertaturan perundang – undangan yang berlaku. Pejabat Lelang mempunyai tugas
melakukan kegiatan persiapan lelang, pelaksanaan lelang dan kegiatan setelah
lelang.
Pejabat lelang dibedakan dalam dua tingkat berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.06/2010 tentang Pejabat Lelang Kelas I jo
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.06/2010 tentang Pejabat Lelang
Kelas II, yaitu :
1. Pejabat lelang kelas I, yaitu pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
(DJKN)
yang
diberi
wewenang
oleh
menteri
keuangan
untuk
melaksanakan lelang eksekusi dan lelang noneksekusi wajib, mereka
berkedudukan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL) wilayah kerjanya dan;
2. Pejabat lelang kelas II, adalah orang yang khusus diberi wewenang oleh
menteri keuangan untuk melaksanakan lelang noneksekusi sukarela atas
permohonan balai lelang selaku kuasa dari pemilik barang, yang
berkedudukan di kantor pejabat lelang kelas II. Mereka ini berasal dari
notaris, penilai, pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) DJKN diutamakan
yang pernah menjadi pejabat lelang kelas I, atau lulusan pendidikan
pejabat lelang yang diselenggarakan Badan Pendidikan dan Pelatihan
Keuangan Departemen Keuangan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK. 06/2010 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang, membedakan jenis lelang menjadi :
6
1. Lelang noneksekusi wajib, yaitu lelang untuk melaksanakan penjualan
barang yang oleh peraturan perundang – undangan diharuskan dijual
secara lelang;
2. Lelang noneksekusi sukarela, adalah lelang atas barang milik swasta,
orang atau badan hukum atau badan usaha yang dilelang secara sukarela;
3. Lelang eksekusi, yaitu lelang untuk melaksanakan putusan atau penetapan
pengadilan atau dokumen yang dipersamakan dengan itu, dan / atau
melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang – undangan. Artinya,
lelang eksekusi disebabkan karena adanya putusan atau penetapan
pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht)
ataupun dokumen yang dipersamakan dengan itu, dan / atau ketentuan
dalam perundang – undangan yang memerintahkan untuk dilakukannya
penjualan di muka umum. Contohnya yaitu lelang eksekusi jaminan hak
tanggungan.
Lelang noneksekusi sukarela dapat dilaksanakan baik oleh pejabat lelang
kelas I maupun pejabat lelang kelas II, namun untuk lelang noneksekusi wajib
dan lelang eksekusi hanya dapat dilaksanakan oleh pejabat lelang kelas I.
Contoh lelang eksekusi dan menjadi bahan kajian dalam penelitian ini
adalah lelang eksekusi jaminan hak tanggungan. Hak tanggungan merupakan satu
– satunya lembaga hak jaminan atas tanah yang hukumnya tertulis, sejak
berlakunya Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda – Benda Lain yang Berkaitan dengan Tanah, pada
7
tanggal 9 April 1996. Hak jaminan atas tanah adalah hak yang ada pada kreditur,
yang memberi wewenang kepadanya jika debitur cidera janji, untuk menjual
tanah yang secara khusus ditunjuk sebagai jaminan dan mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditur
– kreditur yang lain.
Salah satu ciri dari hak tanggungan adalah mudah dan pasti dalam
pelaksanaan eksekusinya, apabila di kemudian hari debitur wanprestasi dan atau
cidera janji, maka obyek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum
menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang – undangan yang
berlaku dan pemegang hak tanggungan berhak mengambil seluruh atau sebagian
dari hasilnya untuk pelunasan piutangnya, dengan hak mendahului daripada
kreditur – kreditur lain. 6
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) jo ayat (2) Undang – Undang Hak
Tanggungan, bagi kreditur dalam melaksanakan eksekusi atas obyek hak
tanggungan, terdapat tiga cara yaitu :
1. Pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual obyek hak tanggungan
atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, atau
2. Pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual obyek hak tanggungan
melalui pelelangan umum atas dasar titel eksekutorial yang terdapat dalam
sertifikat hak tanggungan, atau
6
S. Mantayborbir, 2004, Kompilasi Sistem Hukum Pengurusan Piutang dan Lelang Negara,
Pustaka Bangsa Press, Jakarta, hlm. 119 – 120.
8
3. Pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual obyek hak tanggungan
melalui penjualan di bawah tangan (dengan akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah) atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan dan
diperkirakan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua
pihak.
Pelelangan umum yang dimaksud dalam Undang – Undang Hak
Tanggungan di sini merupakan suatu sarana untuk melakukan penjualan atas
obyek hak tanggungan, melalui perantaraan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara
dan Lelang (KPKNL). Pelaksanaan eksekusi lelang tersebut, maka KPKNL dapat
memungut bea lelang dan uang miskin. Sebelum pelaksanaan eksekusi lelang,
juru lelang atau pejabat lelang wajib membuat pengumuman lelang lewat media
massa dengan tujuan agar dapat diketahui oleh masyarakat luas serta memberikan
kesempatan bagi pihak ketiga yang merasa dirugikan untuk mengajukan
sanggahan atau keberatan melalui pengadilan negeri.
Setiap pelaksanaan lelang, pejabat lelang atau juru lelang adalah pejabat
umum yang membuat akta otentik berdasarkan undang – undang di wilayah
kerjanya, dalam hal ini yaitu akta risalah lelang. Akta risalah lelang memuat
segala hal mengenai proses pelaksanaan lelang dari awal hingga akhir.
Berdasarkan Pasal 1868 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, sebuah
akta dapat dinyatakan sebagai akta otentik jika memenuhi syarat mutlak yaitu :
1. Akta dibuat oleh dan atau di hadapan pejabat – pejabat umum.
9
2. Akta dibuat dan diresmikan dalam bentuk yang telah ditentukan oleh
undang – undang.
3. Pejabat umum yang membuat akta tersebut berada di dalam wilayah
kewenangannya.
Tidak terpenuhinya ketiga syarat tersebut di atas maka suatu akta merupakan akta
di bawah tangan.
Akta otentik dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan isi dari akta
tersebut yaitu :
1. Akta relas atau akta pejabat, yaitu suatu akta yang berisi uraian yang
dibuat secara otentik terhadap suatu tindakan atau keadaan yang dilihat
atau disaksikan oleh pejabat umum itu sendiri di dalam menjalankan tugas
jabatannya.
2. Akta partai, merupakan suatu akta yang berisi kehendak dari pihak – pihak
yang berkepentingan dimana kehendak tersebut disampaikan kepada
pejabat umum agar mengkonstantir atau menuangkan akta tersebut dalam
bentuk akta otentik.
Berdasarkan pembedaan di atas, akta risalah lelang termasuk dalam kategori akta
relas atau akta pejabat karena akta risalah lelang berisi uraian yang dibuat secara
otentik terhadap suatu proses pelaksanaan pelelangan di depan umum yang dilihat
dan dilaksanakan oleh pejabat lelang itu sendiri sebagai pejabat umum dalam
menjalankan tugas jabatannya.
10
Akta risalah lelang dalam kedudukannya sebagai akta otentik, maka akta
risalah lelang merupakan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di
dalamnya. Akta risalah lelang merupakan alat bukti yang kuat sehingga apabila
suatu ketika terjadi sengketa maka tidak perlu lagi dibuktikan dengan alat – alat
pembuktian yang lain. 7
Terjadinya gugatan terhadap akta otentik maka berimplikasi terhadap
keabsahannya. Setelah melalui sidang pembuktian di pengadilan, maka akta harus
tunduk pada putusan hakim yakni berupa pembatalan, jika ternyata dapat
dibuktikan di muka sidang pengadilan bahwa isi akta tersebut tidak sesuai dengan
kondisi yang sebenarnya dan melanggar ketentuan perundang - undangan. Akibat
pembatalan akta tersebut maka akta batal demi hukum sehingga tidak mempunyai
konsekuensi terhadap para pihak sebaliknya kondisi yang ada harus dikembalikan
ke kondisi semula seperti pada saat sebelum terbitnya akta tersebut.
Tugas hakim sangatlah berat dalam suatu persidangan, yaitu memeriksa,
mengadili, dan menyelesaikan perkara. Menjatuhkan suatu putusan selain
dipenuhinya prosedur tertentu menurut undang – undang, juga penting untuk
diperhatikan dapat tidaknya putusan yang akan dijatuhkan itu diterima, baik
menurut persyaratan keadilan maupun persyaratan konsistensi sistem. Pilihan itu
ditentukan oleh pandangan pribadi hakim tentang putusan mana yang paling dapat
diterima terutama oleh para pihak yang bersangkutan dan oleh masyarakat. 8
Setiap putusan yang diambil oleh hakim dalam suatu persidangan idealnya
haruslah memenuhi tiga unsur penting secara proporsional yaitu kepastian hukum,
7
R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 43 – 44.
8
Sudikno Mertokusumo, op. cit., hlm. 91.
11
kemanfaatan, dan keadilan. Prakteknya jarang terdapat putusan yang mengandung
tiga unsur tersebut secara proporsional.
Perkara perdata Reg. No. 94 / Pdt. G / 2005 / PN. Sleman, merupakan
permasalahan yang menarik mengenai permohonan pembatalan akta risalah
lelang yang diterbitkan atas telah dilaksanakannya lelang eksekusi hak
tanggungan sebidang tanah yang berada di wilayah Sleman Yogyakarta.
Pengajuan pembatalan tersebut berdasarkan bahwa penggugat (dalam hal ini
mengaku sebagai pemilik hak atas tanah yang sah) tidak pernah merasa telah
mengalihkan hak atas tanahnya ataupun membebankan hak tanggungan terhadap
hak atas tanah miliknya.
Hakim Pengadilan Negeri Sleman kemudian mengabulkan permohonan
penggugat dengan menyatakan bahwa segala surat dan akta – akta notariil yang
mengalihkan hak atas tanah dari penggugat adalah tidak sah dan tidak mempunyai
kekuatan hukum, menjadi menarik mengingat kedudukan akta risalah lelang yang
merupakan akta otentik dengan segala karakteristik dan kekhususannya telah
diatur dengan sangat lengkap oleh peraturan perundang – undangan yang ada.
Pembatalan sebuah akta risalah lelang dalam kedudukannya sebagai alat
pembuktian yang sempurna tentunya menimbulkan akibat hukum yang berbeda
bagi setiap pihak terkait.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menganalisis putusan
hakim dalam kasus “Pembatalan Akta Risalah Lelang Eksekusi Hak Tanggungan
di Pengadilan Negeri Sleman”, agar dapat diketahui apakah putusan hakim
tersebut telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Analisis mengenai hal
12
ini menjadi perlu mengingat hakim dalam mengambil keputusan di samping
mempertimbangkan hukumnya juga dituntut untuk melakukan penemuan maupun
penafsiran hukum. Penafsiran ini sifatnya sangat subyektif sehingga dapat
mempengaruhi asas kepastian, kemanfaatan, dan keadilan hukum.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan tersebut di atas
maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim di Pengadilan Negeri
Sleman untuk membatalkan akta risalah lelang eksekusi hak tanggungan
yang dalam kedudukannya merupakan akta otentik ?
2. Bagaimana akibat hukum yang timbul dengan dibatalkannya akta risalah
lelang eksekusi hak tanggungan tersebut ?
3. Bagaimana perlindungan hukum bagi pembeli lelang dalam hal ini
pemenang lelang?
C. Keaslian Penelitian
Sejauh penelusuran yang telah dilakukan penulis, penelitian mengenai
“Pembatalan Akta Risalah Lelang Eksekusi Hak Tanggungan di Pengadilan
Negeri Sleman”, belum pernah ada tetapi yang mirip judul di atas pernah
dilakukan oleh :
13
1. Saurma Tambunan 9, “Kompetensi Peradilan Umum dan Peradilan Tata
Usaha Negara dalam Pembatalan Risalah Lelang (Studi Kasus : Putusan
Mahkamah Agung Nomor 205 PK / Pdt / 2010).”
Permasalahan :
a. Apa yang menjadi alasan gugatan oleh debitur dalam eksekusi PUPN
(penggugat) terhadap pengajuan pembatalan risalah lelang yang telah
dibuat oleh pejabat lelang dan upaya hukum apa yang dapat diajukan
terhadap putusan hakim yang telah ada ?
b. Mengapa PTUN yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikan penyelesaian perkara pembatalan risalah lelang dalam
Putusan Mahkamah Agung No. 205 PK / Pdt / 2010?
Kesimpulan :
a. Lelang eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) menjadi salah
satu jenis lelang yang dilaksanakan oleh DJKN / KPKNL. Dalam
konteks pengurusan piutang negara, lelang eksekusi PUPN merupakan
salah satu bentuk penegakan hukum (Law enforcement) terhadap
penanggung utang yang wanprestasi. Pejabat lelang mengeluarkan
risalah lelang sebagai berita acara pelaksanaan lelang. Alasan gugatan
pembatalan risalah lelang terjadi karena prosedur pelaksanaan lelang
yang tidak sesuai dengan peraturan perundang – undangan atau adanya
tindakan melawan hukum maupun wanprestasi dari pelaksana lelang
dan aparat pemerintah yang terkait dengan pelaksanaan lelang.Upaya
9
Saurma Tambunan, 2012, Tesis, No.Reg. 347.9/tam/k/2012, Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
14
hukum yang dapat ditempuh pihak yang merasa belum mendapatkan
keadilan yaitu banding ke pengadilan tinggi, kasasi, dan peninjauan
kembali ke MA.
b. Pengajuan pembatalan risalah lelang bukan merupakan kewenangan
peradilan tata usaha negara secara sempurna, terutama pada unsur
obyek sengketa yaitu tindakan hukumnya.Risalah lelang merupakan
berita acara pelaksanaan lelang yang berisi muatan hukum perdata,
maka pengajuan gugatan ini merupakan kewenangan badan peradilan
umum (PN), meskipun dibuat oleh pejabat tata usaha negara. Risalah
lelang ini merupakan pengecualian dari Pasal 2 huruf a Undang –
Undang PTUN.
2. Elis Permasih 10, “Tinjauan Hukum Terhadap Pembatalan Risalah Lelang
No. 43 / 1994 – 1995 Tanggal 19 Oktober 1994 dengan Putusan PTUN
Surabaya No. 89 / G. TUN / 1994 Jo Putusan MA RI No. 29 PK / TUN /
1995.”
Permasalahan :
a. Apa alasan – alasan yang digunakan untuk pembatalan risalah lelang
eksekusi putusan pengadilan oleh peserta lelang dalam lelang Nomor
43 / 1994 – 1995 Tanggal 19 Oktober 1994 dengan Putusan PTUN
Surabaya No. 89 / G. TUN / 1994 jo Putusan MA RI Nomor 29 / PK
/TUN / 1995?
10
Elis Permasih, 2010, Tesis, No.Reg. 347.9/per/t/2010, Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
15
b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pemenang lelang Nomor 43
/ 1994 – 1995 Tanggal 19 Oktober 1994 dengan Putusan PTUN
Surabaya No. 89 / G. TUN / 1994 jo Putusan MA RI Nomor 29 / PK
/TUN / 1995 yang dibatalkan?
c. Bagaimanakah pembinaan terhadap pejabat lelang yang melaksanakan
lelang tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan?
Kesimpulan :
a. Alasan pembatalan Risalah Lelang Nomor 43 / 1994 – 1995 tanggal
10 Oktober 1995 Lelang Eksekusi Nomor W10.D.TI/ PA.01.07 – 1188
Tanggal 17 September 1994 oleh peserta lelang adalah Pejabat Lelang
telah melaksanakan lelang tidak sesuai dengan Peraturan Perundang –
Undangan No. 5 Tahun 1986 Pasal 53 (2) di bidang lelang yaitu
karena Pejabat Lelang Kelas II Tulungagung telah mengalihkan
pemenang
lelang
dari
pemenang
lelang
tertinggi
sebesar
Rp.126.100.000,- kepada penawar dengan harga Rp.125.000.000,-,
seharusnya yang ditetapkan sebagai pemenang tertinggi. Pelaksanaan
lelang tidak tepat waktu tidak sesuai dengan apa yang telah
dijadwalkan dalam pengumuman yaitu yang sedianya diadakan pukul
09.00 wib tetapi pelaksanaannya pada pukul 12.00 wib. Dalam
pelaksanaan lelang penawar tertinggi tidak hadir tetapi dikuasakan
kepada kuasanya yang tidak membawa Surat Kuasa namun telah
diberitahukan kepada pejabat lelang secara lisan dan disetujui.
16
b. Dalam kasus ini pemenang lelang kurang terlindungi dan tidak dapat
menguasai obyek lelang karena adanya penawar tertinggi dan adanya
gugatan dari peserta lelang yang merasa dirugikan, sehingga risalah
lelangnya tidak dapat dilaksanakan.
c. Pejabat Lelang yang melaksanakan lelangnya tidak sesuai dengan
peraturan perundang – undangan maka dalam kasus di atas pejabat
lelang tersebut terkena sangsi administratif dengan pengurangan gaji 6
(enam) sampai 12 (duabelas) bulan.
Pada kedua judul penelitian yang telah disebutkan di atas obyek
penelitiannya adalah pembatalan atas Akta Risalah Lelang Eksekusi Panitia
Urusan Piutang Negara dan Akta Risalah Lelang Eksekusi Putusan Pengadilan
sedangkan yang menjadi obyek penelitian dalam penelitian penulis adalah
pembatalan Akta Risalah Lelang Eksekusi Hak Tanggungan di Pengadilan Negeri
Sleman sebagai akta otentik yang dibuat oleh pejabat lelang kelas I. Dengan
demikian maka penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara
ilmiah.
D. Faedah Penelitian
Penulis berharap bahwa penelitian ini dapat memberikan faedah yaitu :
1. Secara teoritis bagi :
a. Ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum, yaitu untuk menambah
perbendaharaan khasanah pustaka bagi perkembangan ilmu hukum
17
pada umumnya, khususnya dalam lapangan hukum perdata bidang
kenotariaatan.
b. Pembangunan hukum nasional negara dan bangsa Indonesia, yaitu
sebagai salah satu bahan referensi dalam upaya pembentukan suatu
hukum nasional umumnya dan hukum lelang Indonesia pada
khususnya.
2. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan faedah bagi para aparatur
hukum pada umumnya, para praktisi hukum lelang pada khususnya, juga
masyarakat luas untuk membantu penegakan hukum di Indonesia dan
untuk menjamin kepastian hukum dari suatu produk hukum dalam hal ini
yaitu sebuah akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum dalam
kewenangannya.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut :
1. Untuk menelaah dan memahami yang menjadi dasar pertimbangan hakim
Pengadilan Negeri Sleman untuk membatalkan akta risalah lelang
eksekusi hak tanggungan yang dalam kedudukannya merupakan akta
otentik.
2. Untuk menelaah dan memahami akibat hukum yang timbul dengan
dibatalkannya akta risalah lelang eksekusi hak tanggungan tersebut.
18
3. Untuk menelaah dan memahami perlindungan hukum bagi pembeli dalam
hal ini pemenang lelang.
Download