1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu permasalahan pendidikan yang menjadi prioritas untuk segera dicari pemecahannya adalah masalah kualitas pendidikan, khususnya kualitas pembelajaran. Kualiatas pendidikan di Indonesia masih sangat rendah tingkat kompetisi dan relevansinya (Parawansa, 2001). Menurut Education For All Global Monitoring report, (2012) yang dikeluarkan UNESCO menyatakan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia menempati posisi ke-64 dari 120 negara. UNESCO tersebut mengindikasikan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih relatif rendah. Sadar akan hasil pendidikan yang belum memadai, maka banyak upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk melakukan perbaikan. Upaya-upaya tersebut adalah melakukan perubahan atau revisi kurikulum secara berkesinambungan, program Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Penataran Kerja Guru (PKG), program kemitraan antara sekolah dengan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, peningkatan kualifikasi guru dan dosen dan masih banyak program lain dilakukan untuk perbaikan hasil-hasil pendidikan tersebut. Dari berbagai kondisi dan potensi yang ada, upaya yang dapat dilakukan berkenaan dengan peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah adalah mengembangkan pembelajaran yang berorientasi pada peserta didik dan memfasilitasi kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang berkelanjutan tetapi pengemasan pendidikan sering tidak berjalan dengan hakikat belajar dan 2 pembelajaran. Dengan kata lain, reformasi pendidikan yang dilakukan di Indonesia masih belum seutuhnya memperhatikan konsepsi belajar dan pembelajaran. Reformasi pendidikan seyogianya dimulai bagaimana siswa belajar dan bagaimana guru mengajar, bukan semata-mata pada hasil belajar (Brook & Brook, 1993). Podhorsky & Moore (2006) menyatakan, bahwa reformasi pendidikan hendaknya dimaknai sebagai upaya penciptaan program-program yang berfokus pada perancangan kelas dengan teacher proof curikulum. Dengan demikian praktek pembelajaran benar-benar ditujukan untuk mengatasi kegagalan siswa belajar. Praktek-praktek pembelajaran hanya dapat diubah melalui pengujian terhadap cara-cara guru belajar dan mengajar serta menganalisis dampaknya terhadap perolehan belajar siswa. Agar hal ini terjadi, sekolah perlu menciptakan suatu proses yang mampu memfasilitasi para guru untuk melakukan kajian terhadap materi pelajaran dan strategi-strategi mengajar secara sistematis, sehingga dapat memfasilitasi siswa untuk meningkatkan hasil belajar. Guru seyogianya mulai meninggalkan cara-cara rutinitas dalam pembelajaran, tetapi lebih menciptakan program-program pengembangan yang profesional. Upaya tersebut merupakan implikasi dari reformasi pendidikan dengan tujuan agar mampu mencapai peningkatan perolehan hasil belajar siswa secara memadai. Bermula dari kelas-kelas yang pada umumnya heterogen, maka melaksanakan pembelajaran pada kelas yang demikian merupakan suatu tantangan bagi setiap guru atau dosen. Tantangan terberat adalah bagaimana guru dapat merancang dan melaksanakan pembelajaran yang menjamin hak setiap siswa untuk memperoleh 3 pembelajaran yang bermakna. Untuk mengatasi dampak dari keheterogenan siswa, diperlukan strategi pembelajaran yang memberi lebih banyak peluang kepada mahasiswa untuk dapat saling belajar dari siswa lain. Strategi pembelajaran yang dimaksud adalah strategi pembelajaran kolaboratif. Menurut Slavin (2007) pembelajaran kolaboratif adalah pembelajaran yang dilaksanakan dalam kelompok, namun tujuannya bukan untuk mencapai kesatuan yang didapat melalui kegiatan kelompok, dan para siswa dalam kelompok didorong untuk menemukan beragam pendapat atau pemikiran yang dikeluarkan oleh tiap individu dalam kelompok. Pembelajaran tidak terjadi dalam kesatuan, namun pembelajaran merupakan hasil dari keragaman atau perbedaan. Pada dasarnya pembelajaran kolaboratif merujuk pada suatu metode pembelajaran dengan siswa dari tingkat performa yang berbeda (heterogen) bekerja bersama dalam suatu kelompok kecil. Setiap siswa ikut bertanggung jawab terhadap pembelajaran siswa yang lain, sehingga kesuksesan seorang siswa diharapkan dapat membantu siswa lain untuk menjadi sukses (Gokhale, 1995). Kesuksesan dalam praktek-praktek pembelajaran memiliki sifat-sifat yang didukung oleh partisipasi siswa aktif, praktikum, perbedaan-perbedaan individu, konteks-konteks yang realistik dan interaksi sosial. Pembelajaran kolaboratif dapat menyediakan peluang untuk menuju pada kesuksesan praktek-praktek pembelajaran. Pembelajaran kolaboratif menambah momentum pendidikan formal dan informal dari dua kekuatan yang bertemu, yaitu: (1) realisasi praktek, bahwa hidup di luar kelas memerlukan aktivitas 4 kolaboratif dalam kehidupan di dunia nyata; (2) menumbuhkan kesadaran berinteraksi sosial dalam upaya mewujudkan pembelajaran yang bermakna Proses pembelajaran yang bermakna seharusnya banyak melibatkan peran aktif siswa. Dalam hal ini pembelajaran perlu menekankan pada dialog sehingga siswa dituntut berpendapat dan menyampaikan komentar-komentar terhadap berbagai materi pelajaran dan informasi yang ada (Sidi, 2001:28). Budaya mengajar secara profesional pada saat proses pembelajaran sekarang ini harus berpusat pada siswa (student centered), dimana guru lebih berperan sebagai pendamping dan fasilitator. Namun pada kenyataannya, proses pembelajaran yang ada selama ini dilakukan guru adalah pembelajaran Direct Instruction yang merupakan proses pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) dimana siswa hanya duduk diam dan mendengarkan materi dari guru. Pembelajaran yang seperti ini akan mengakibatkan perkembangan sikap ilmiah dan keterampilan berpikir kritis siswa kurang optimal karena siswa lebih banyak mengedepankan aspek ingatan saja. Mata pelajaran fisika adalah merupakan ilmu yang bersifat empiris, artinya setiap hal yang dipelajari dalam fisika didasarkan pada hasil pengamatan terhadap gejala-gejala alam. Jadi fisika tidak hanya berisi rumus yang perlu dihafal, tetapi perlu adanya konsep yang harus ditanamkan ke siswa melalui keterlibatannya pada proses pembelajaran di kelas. (Sears dan Zemansky, 1993:1) Umumnya mata pelajaran fisika dirasakan sulit oleh peserta didik, karena sebagian besar peserta didik belum mampu menghubungkan antara materi yang dipelajari dengan pengetahuan yang digunakan. Selain itu, penggunaan sistem 5 pembelajaran yang tradisional yaitu peserta didik hanya diberi pengetahuan secara lisan (ceramah) sehingga peserta didik menerima pengetahuan secara abstrak (hanya membayangkan) tanpa mengalami sendiri. Pembelajaran fisika yang hanya menghafal persamaan saja tanpa memperhatikan konsepnya juga menyebabkan permasalahan kesulitan dalam pembelajaran. Alur proses pembelajaran ini mirip dengan Tipe Amerika Serikat (Sato Masaaki, 2011). Dari penghafalan persamaan, siswa belum dapat memahami arti fisis dari persamaan tersebut dengan benar sehingga pembelajaran yang bermakna belum mampu diperoleh. Untuk itu perlu dirancang pengemasan pendidikan yang sejalan dengan hakekat belajar dan mengajar yakni bagaimana siswa belajar, bagaimana guru mengajar, bagaimana pesan pembelajaran di dalam bahan ajar itu, bukan semata-mata pada hasil belajar. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di SMP Swasta Primbana yang dilaksanakan pada tanggal 28 November 2014 dengan salah satu Guru bidang studi Fisika menyatakan dalam proses pembelajaran cenderung menggunakan model Direct Instruction sehingga siswa cenderung hanya mengerjakan soal-soal dan menghafal rumus, minimnya media pembelajaran yang digunakan sehingga siswa tidak termotivasi dalam belajar fisika, dan berdasarkan pengamatan bahwa secara umum jarang menggunakan laboratorium dalam proses belajar fisika sebab alat dan bahan eksperimen tidak lengkap. Pembelajaran yang seperti ini akan mengakibatkan perkembangan sikap ilmiah kurang optimal dan hal ini bisa terlihat dari hasil belajar fisika siswa yang masih rendah. Sebagai contoh tercermin dari rata-rata nilai ujian sumatif mata pelajaran fisika kelas VIII SMP Swasta Primbana Medan, seperti terlihat pada tabel 1.1. 6 Tabel 1.1. Data Nilai Rata-rata Mata Pelajaran Fisika Semester Genap Kelas VIII Tahun Pembelajaran 2012/2013 Tahun Pelajaran Nilai Rata-rata KKM 2011/2012 64,24 70 2012/2013 63,56 70 2013/2014 63,70 70 Sumber: Dokumen salah satu Guru Fisika SMP Hal senada juga terlihat pada observasi awal kepada salah satu kelas VIII di SMP Swasta Primbana Medan pada tanggal 24 November 2014 dengan jumlah siswa 32 orang, dimana saya mengajar di salah satu kelas VIII dengan menggunakan model Direct Instruction. Saya melihat siswa cenderung pasif dalam proses pembelajaran, tidak antusias dalam membaca dan mempelajari bahan ajar yang disediakan, malu bertanya tentang materi yang tidak dimengerti serta tidak berani mengemukakan pendapat. Selain itu rasa tanggung jawab, rasa peduli, toleransi, rasa ingin tahu, dan kerja sama dalam diri siswa juga masih rendah. Hal ini terlihat ketika siswa saya minta mengerjakan tugas dengan cara berdiskusi hanya beberapa orang saja yang terlibat dalam diskusi sementara siswa yang lain bercerita dengan temannya. Rendahnya sikap ilmiah siswa dan pemecahan masalah terhadap pembelajaran fisika dikarenakan proses pembelajaran selama ini yang diterapkan masih dominan menggunakan metode ceramah yang divariasi dengan diskusi, guru kurang membimbing siswa agar mampu merumuskan dan mendiskusikan suatu pernyataan yang mampu mendorong munculnya rasa keingintahuan siswa serta guru juga cenderung tidak memberikan respon positif terhadap pernyataan yang telah dirumuskan siswa, sehingga timbul rasa tidak percaya diri dalam diri siswa. 7 Salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi perkembangan kognitif siswa adalah guru. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Slameto (2003) yaitu, guru memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas siswa dalam belajar siswa dan guru harus benar-benar memperhatikan, memikirkan dan sekaligus merencanakan proses belajar mengajar yang menarik bagi siswa agar siswa berminat dan semangat belajar serta mau terlibat dalam proses belajar mengajar. Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, maka diperlukan berbagai terobosan baik dalam pengembangan kurikulum, inovasi pembelajaran, dan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan agar siswa tertarik dan tertantang untuk belajar. Menyikapi masalah di atas, perlu adanya upaya yang dilakukan oleh guru agar menggunakan strategi belajar mengajar yang menarik dengan tujuan membuat siswa lebih tertarik pada pelajaran fisika. Salah satu model pembelajaran yang terkait dengan hal tersebut adalah model Problem Based Learning. Model pembelajaran berdasarkan masalah (problem based learning) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Selama siswa melakukan kegiatan memecahkan masalah, guru berperan sebagai fasilitator yang akan membantu siswa mendefenisikan apa yang mereka tahu dan apa yang siswa ketahui untuk memahami dan memecahkan masalah (Arends 2008). 8 Model Problem Based Learning ini menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Intinya, siswa dihadapkan pada situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat menantang siswa untuk dapat memecahkannya. Model problem based learning digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah termasuk bagaimana cara belajar (Wheeler, 2002). Arends (2008) menuliskan langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam merancang program pembelajaran yang berorientasi pada Problem Based Learning sehingga proses pembelajaran benar-benar berpusat pada siswa adalah : 1) Fokuskan permasalahan sekitar pembelajaran konsep-konsep sains yang esensial dan strategis serta gunakan permasalahan dan konsep tersebut untuk membantu siswa dalam melakukan investigasi substansi isi. 2) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengevaluasi gagasan melalui eksperimen atau studi lapangan sehingga siswa menggali data-data yang diperlukan untuk memecahkan permasalahannya. 3) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengelola data yang mereka miliki sebagai proses latihan metakognisi. 4) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan solusi-solusi yang mereka kemukakan. Dengan tindakan yang diinvestigasi seperti diatas, siswa mampu mengkonstruksi pengetahuannya secara aktif sehingga pemahaman dan hasil belajarnya meningkat. Telah dilakukan beberapa penelitian di kalangan para para pendidik tentang model Problem Based Learning. Hasil penelitian U.Setyorini (2011), 9 L.A.Kharida (2009), Kd.Urip Astika (2013), Mustaji (2009), keempatnya menyatakan bahwa terdapat peningkatan sikap ilmiah, aktivitas dan hasil belajar yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol dalam hal prestasi setelah diimplikasikan pembelajaran Problem Based Learning (PBL) berbasis Kolaboratif. Melalui model ini diharapkan peserta didik dapat membangun pemahamannya sendiri tentang realita alam dan ilmu pengetahuan dengan cara merekonstruksi sendiri makna melalui pemahaman relevan pribadinya. Para peserta didik difasilitasi untuk menerapkan their existing knowledge melalui Problem Solving, pengambilan keputusan, dan mendesain penemuan. Para siswa dituntut untuk berpikir kritis dan bertindak kreatif. Mereka dilibatkan dalam melakukan eksplorasi situasi baru dalam mempertimbangkan dan merespon permasalahannya secara realistis. Berdasarkan pokok-pokok pikiran diatas, penulis tertarik untuk mengajukan sebuah penelitian yang berjudul “Efek Model Problem Based Learning Berbasis Kolaboratif dan Sikap Ilmiah Terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa SMP”. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat diidentifikasi masalah untuk dikaji dan diteliti dalam pembelajaran fisika sebagai berikut: 1. Kemampuan hasil belajar fisika yang relatif rendah. 10 2. Kurangnya kerja sama, tanggung jawab, disiplin dan rasa ingin tahu siswa dalam proses pembelajaran. 3. Proses pembelajaran yang masih berpusat pada guru sehingga proses belajar mengajar kurang bermakna. 4. Sarana laboratorium yang kurang lengkap 5. Model Problem Based Learning yang belum diterapkan 6. Masih rendahnya kemampuan sikap ilmiah dan motivasi siswa dalam belajar fisika 1.3 Batasan Masalah Dari sekian banyaknya permasalahan yang teridentifikasi, peneliti membatasi permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Efek penggunaan model pembelajaran yang digunakan yaitu model Problem Based Learning berbasis kolaboratif dan model pembelajaran Direct Instruction dalam proses pembelajaran fisika. 2. Penelitian ini dibatasi pada peningkatan hasil belajar siswa menggunakan model Problem Based Learning berbasis kolaboratif dan model pembelajaran Direct Instruction 3. Pengaruh sikap ilmiah terhadap hasil belajar 1.4 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan masalah diatas, maka dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 11 1. Apakah ada perbedaan hasil belajar fisika siswa menggunakan model Problem Based Learning berbasis kolaboratif dengan model pembelajaran Direct Instruction? 2. Apakah ada perbedaan hasil belajar fisika siswa antara kelompok siswa yang memiliki sikap ilmiah tinggi dan kelompok siswa yang memiliki sikap ilmiah rendah? 3. Apakah ada interaksi model Problem Based Learning berbasis kolaboratif dan model pembelajaran Direct Instruction dengan sikap ilmiah dalam meningkatkan hasil belajar fisika siswa SMP? 1.5 Tujuan Penilitian Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk menganalisis apakah ada perbedaan hasil belajar fisika siswa menggunakan model Problem Based Learning berbasis kolaboratif dengan model pembelajaran Direct Instruction. 2. Untuk menganalisis apakah ada perbedaan hasil belajar fisika siswa antara kelompok siswa yang memiliki sikap ilmiah tinggi dan dan kelompok siswa yang memilliki sikap ilmiah rendah. 3. Untuk menganalisis apakah ada interaksi antara model Problem Based Learning berbasis kolaboratif dan model pembelajaran Direct Instruction dengan sikap ilmiah dalam meningkatkan hasil belajar fisika siswa SMP. 12 1.6 Manfaat Penelitian Dengan tercapainya tujuan penelitian di atas dapat diperoleh manfaat penelitian sebagai berikut: 1. Manfaat Praktis Penelitian ini bermanfaat untuk : a. Mengungkap secara jelas adanya pengaruh model Problem Based Learning berbasis kolaboratif dan sikap ilmiah terhadap hasil belajar siswa. b. Memberikan informasi secara tidak langsung kepada guru-guru SMP agar lebih memperhatikan faktor-faktor yang dapat meningkatkan sikap ilmiah dan hasil belajar siswa. c. Memberikan informasi secara tidak langsung kepada guru-guru di SMP Swasta Primbana, agar menggunakan model Problem Based Learning berbasis kolaboratif dan sikap ilmiah untuk meningkatkan hasil belajar fisika siswa SMP. 2. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat digunakan dalam usaha penelitian lanjutan dengan melibatkan lebih lengkap komponen model-model pembelajaran yang lain untuk mengungkap dan membuktikan secara empirik model Problem Based Learning berbasis kolaboratif dan sikap ilmiah masih lebih unggul jika dibandingkan dengan model pembelajaran yang lain. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi para peneliti berikutnya yang melakukan penelitian yang sejenis. 13 1.7 Definisi Operasional Untuk memperjelas variabel-variabel, agar tidak menimbulkan perbedaan penafsiran terhadap rumusan masalah dalam penelitian ini, berikut diberikan definisi operasional: 1. Pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based Learning) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar sesuai dengan pertanyaan atau masalah tetapi berfokus pada keterkaitan disiplin ilmu yang disertai dengan penyelidikan/percobaan yang autentik dengan materi pembelajaran sehingga dapat menghasilkan produk/karya (Riess, 2000). 2. Model pembelajaran Direct Instruction adalah pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan tujuan agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Penggunaan model ini siswa tidak perlu mencari dan menemukan sendiri fakta–fakta, konsep dan prinsip karena telah disajikan secara jelas oleh guru. Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran Direct Instruction cenderung berpusat pada guru (Arends, 2008) 3. Sikap ilmiah adalah sebagai suatu pendirian (kecenderungan) terhadap suatu stimulus tertentu yang selalu berorientasi pada ilmu pengetahuan dan metode ilmiah (Sujanam, 2002). Sikap itu berkembang melalui dukungan serta dapat dilakukan dengan membentuk sikap ilmiah yang terdiri dari 14 aspek sikap ingin tahu, ingin mendapat sesuatu yang baru, sikap kerja sama, tidak putus asa, tidak berprasangka, jujur, bertanggung jawab, berpikir bebas dan kedisiplinan diri. 4. Hasil belajar adalah penguasaan produk fisika yang mengacu pada perubahan kemampuan bidang kognitif yang mencakup dimensi pengetahuan (faktual, konseptual, prosedural dan metakognitif) dan dimensi proses kognitif (mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi dan mencipta) yang dicapai siswa sebagai hasil dari proses pembelajaran fisika yang ditempuh selama kurun waktu tertentu berdasarkan tujuan pembelajaran yang ditetapkan (Anderson dan Krathwohl, 2010 : 86). 5. Pembelajaran kolaboratif adalah suatu situasi dimana dua orang atau lebih yang belajar atau mencoba sesuatu secara bersama-sama. Pembelajaran berlangsung tanpa pemantauan dari guru, tetapi harus mencapai objektif yang diperlukan dan jika terdapat sebarang permasalahan dalam pembelajaran, pelajar perlu menyelesaikannya secara bersama-sama. (Dillenbourg, 1999).