BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Pola Asuh Orang Tua a. Pengertian pola asuh Pola asuh adalah suatu tindakan, perbuatan, dan interaksi orang tua untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak agar mereka tumbuh dan berkembang dengan baik dan benar (Surbakti, 2012). Menurut Djamarah (2014), pola asuh orang tua adalah upaya orang tua yang konsisten dan persisten dalam menjaga dan membimbing anak dari sejak dilahirkan hingga remaja. Pola asuh orang tua merupakan gambaran tentang sikap dan perilaku orang tua dan anak dalam berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Orang tua memiliki cara dan pola tersendiri dalam mengasuh dan membimbing anaknya. b. Hal-hal yang mempengaruhi pola asuh Menurut Gunarsa (2012) aspek-aspek yang mempengaruhi pola asuh orang tua terhadap anaknya adalah: 1) Karakter orang tua dan anak 2) Kepribadian orang tua dan anak 3) Temperamen orang tua dan anak 6 7 4) Kemauan dan kemampuan anak untuk menerima perubahan 5) Asal usul dan latar belakang orang tua 6) Pendidikan orang tua 7) Budaya yang diterapkan di keluarga 8) Demografi dan domisili keluarga 9) Sistem religi yang dianut oleh keluarga 10) Tekanan dan dukungan dari keluarga dan masyarakat 11) Pekerjaan dan karier atau jabatan orang tua 12) Kemampuan penalaran anggota keluarga c. Tipe pola asuh orang tua Menurut Braumrind dalam Yusuf (2014) secara garis besar pola asuh orang tua terhadap anak dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu otoriter/otoritarian (authoritarian), autoritatif (authoritative), dan permisif (permissive). 1) Authoritarian (Otoriter) Orangtua yang memiliki pola asuh jenis ini berusaha membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi perilaku serta sikap anak berdasarkan serangkaian standar mutlak, nilai-nilai kepatuhan, menghormati otoritas, kerja tradisi, tidak saling memberi dan menerima dalam komunikasi verbal. Orangtua kadang-kadang menolak anak dan sering menerapkan hukuman (Widyarini, 2009). 8 Menurut Gunarsa (2006), pada pola pengasuhan otoriter, orang tua tidak melakukan komunikasi yang baik dengan anak. Komunikasi yang terjadi hanyalah komunikasi satu arah, yaitu dari orang tua ke anak. Kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak akan menyebabkan keterampilan komunikasi anak remaja juga berkurang. Menurut Yusuf (2014) sikap atau perilaku orang tua pada model pola asuh authoritarian atara lain: a) Sikap acceptance rendah, namun kontrolnya tnggi. b) Suka menghukum secara fisik. c) Bersikap mengomando (mengharuskan/memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi) d) Bersikap kaku (keras) e) Cenderung emosional dan bersikap menolak Profil perilaku anak dari pola asuh otoriter, yaitu mudah tersinggung, penakut, pemurung, tidak bahagia, mudah terpengaruh, mudah stress, tidak mempunyai arah masa depan yang jelas, dan tidak bersahabat (Yusuf, 2014) 2) Authoritative (Autoritatif/ Demokrasi) Orang tua yang memiliki pola asuh jenis ini berusaha mengarahkan anaknya secara rasional, berorientasi pada masalah yang dihadapi, menghargai komunikasi yang saling memberi dan menerima, menjelaskan alasan rasional yang mendasari tiap-tiap 9 permintaan atau disiplin tetapi juga menggunakan kekuasaan bila perlu, mengharapkan anak untuk mematuhi orang dewasa tetapi juga mengharapkan anak untuk mandiri dan mengarahkan diri sendiri, saling memperkuat menghargai standar-standar antara anak perilaku. dan Orang orangtua, tua tidak mengambil posisi mutlak, tetapi juga tidak mendasarkan pada kebutuhan anak semata (Widyarini, 2009). Orang tua yang autoritatif menekankan pentingnya peraturan, norma, nilai-nilai, tetapi mereka bersedia untuk mendengarkan, menjelaskan, dan bernegosiasidengan anak. Remaja yang dibesarkan dengan pola pengasuhan autoratif akan merasakan suasana rumah yang penuh rasa menghormati, penuh apresiasi, kehangatan, dan adanya konsistensi pengasuhan dari orang tua mereka (Gunarsa, 2006). Menurut Yusuf (2014), bentuk sikap atau perilaku orang tua dalam pola asuh autoritatif: a) Sikap acceptance dan kontrolnya tinggi b) Bersikap responsif terhadap kebutuhan anak c) Mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan d) Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk Profil perilaku anak dari pola asuh autoritatif yaitu bersikap bersahabat, memiliki rasa percaya diri, mampu 10 mengendalikan diri (sefl control), bersikap sopan, mau bekerja sama, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, mempunyai tujuan/arah hidup yang jelas, berorientasi terhadap prestasi (Yusuf, 2014) 3) Permissive (Permisif) Pola pengasuhan permisif dapat dibedakan menjadi pengasuhan yang mengabaikan (neglectful) dan pengasuhan yang memanjakan (indulgent).Pada pengasuhan mengabaikan orang tua tidak mempedulikan anak, memberikan izin bagi anak remaja untuk bertindak semau mereka. Pada pengasuhan yang memanjakan, orang tua sangat menunjukkan dukungan emosional pada anak namun kurang menerapkan control pada mereka (Gunarsa, 2006). Menurut Widyarini (2009) orang tua yang memiliki pola asuh jenis ini berusaha berperilaku menerima dan bersikap positif terhadap impuls (dorongan emosi), keinginan-keinginan, dan perilaku anaknya, hanya sedikit menggunakan hukuman, berkonsultasi kepada anak, hanya sedikit memeri tanggung jawab rumah tangga, membiarkan anak untuk mengatur aktivitasnya sendiri dan tidak mengontrol, berusaha mencapai sasaran tertentu dengan memberikan kekuasaan. alasan, tetapi tanpa menunjukkan 11 Orang tua dengan pola asuh permisif memberikan kebebasan kepada anak untuk menyatakan dorongan/ keinginannya dan memiliki sikap acceptance tinggi namun kontrolnya rendah (Yusuf, 2014). Profil perilaku anak yang terbentuk dari pola asuh permisif antara lain: bersikap impulsif dan agresif, suka memberontak, kurang memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri, suka mendominasi, tidak jelas arah hidupnya, prestasinya rendah (Yusuf, 2014) 2. Remaja a. Pengertian Remaja Remaja dalam ilmu psikologis diperkenalkan dengan istilah lain, seperti puberteit, adolescence, dan youth. Remaja atau adolescence(Inggris), berasal dari bahasa Latin yang “Adolescere” yang berarti tumbuh ke arah kematangan. Kematangan yang dimaksud adalah bukan kematangan fisik saja tetapi juga kematangan sosial dan psikologi (Kumalasari dan Andhyantoro, 2012). Menurut Papalia dan Olds dalam Jahja(2011) masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. 12 Periode remaja dipandang sebagai masa ”Strom & Stress”, frustasi dan penderitaan, konflik dan krisis penyesuaian, mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan teralineasi (tersisihkan) dari kehidupan sosial budaya orang dewasa (Pikunas dalam Yusuf, 2014). Menurut Piaget secara psikologis remaja adalah suatu usia dimana individu menjaditerintegrasi dalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama atau paling tidak sejajar (Kumalasari dan Andyantoro, 2012). b. Batasan Usia Remaja Batasan usia remaja berbeda-beda sesuai dengan sosial budaya setempat. Ditinjau dari bidang kesehatan WHO, masalah yang paling mendesak berkaitan dengan kesehatan remaja adalah kehamilan dini sehingga WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja (Surjadi dalam Kumalsari dan Andyantoro, 2012). Dengan demikian dari segi program pelayanan, definisi remaja yang digunakan oleh Departemen Kesehatan adalah mereka yang berusia 10-19 tahundan belum kawin. Sementara itu, menurut BKKBN (Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak Reproduksi) batasan usia remaja adalah 10-21 tahun (BKKBN,2006). 13 Menurut Kumalasari dan Andhyantoro (2012) tiga hal yang menjadikan masa remaja penting sekali bagi kesehatan reproduksi adalah sebagai berikut: 1) Masa remaja (usia 10-21 tahun) merupakan masa yang khusus dan penting karena merupakan periode pematangan organ reproduksi manusia dan sering disebut masa pubertas. 2) Masa remaja terjadi perubahan fisik (organobiologis) secara cepat yang tidak seimbang dengan perubahan kejiwaan (mentalemosional). Perubahan yang cukup besar ini dapat membingungkan remaja yang mengalaminya, karena itu perlu pengertian, bimbingan, dan dukunga lingkungan sekitarnya agar mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang sehatbaik jasmani, mental, maupun psikososial. 3) Dalam lingkungan sosial tertentu, sering terjadi perbedaan perlakuan terhadap remaja laki-laki dan wanita. Bagi laki-laki masa remaja merupakan saat diperolehnya kebebasan, sedangkan untuk remaja wanita merupakan saat dimulainya segala bentuk pembatasan (dari zaman dulu gadis dipingit ketika mereka mulai mengalami menstruasi) . c. Karakteristik Remaja Berdasarkan Umur Karakteristik remaja berdasarkan umur adalah sebagai berikut: 1) Masa remaja awal (10-12 tahun). a) Lebih dekat dengan teman sebaya. 14 b) Ingin bebas. c) Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya. d) Mulai berpikir abstrak. 2) Masa remaja pertengahan (13-15 tahun) a) Mencari identitas diri. b) Timbul keinginan untuk berkencan. c) Mempunyai rasa cinta yang mendalam. d) Mengembangkan kemampuan berpikir abstrak. e) Berkhayal tentang aktivitas seks 3) Remaja akhir (17-21 tahun) a) Pengungkapan kebebasan diri. b) Lebih sensitif dalam memilih teman sebaya. c) Mempunyai citra tubuh (body image) terhadap dirinya sendiri. d) Dapat mewujudkan rasa cinta. d. Perubahan Kejiwaan pada Remaja Perubahan-perubahan yang berkaitan dengan masa remaja adalah sebagai berikut. 1) Perubahan emosi a) Sensitif: perubahan-perubahan kebutuhan, konflik nilai antara keluarga dengan lingkungan dan perubahan fisik menyebabkan remaja sangat sensitif misalnya mudah menangis, cemas, frustasi, dan sebaliknya bisa tertawa tanpa 15 alasan yang jelas. Umumnya sering terjadi pada remaja putri, terlebih sebelum menstruasi. b) Mudah bereaksi bahkan agresif terhadap gangguan atau rangsangan luar yang mempengaruhinya, sering bersikap irasional, mudah tersinggung sehingga mudah terjadi perkelahian/tawuran pada anak laki-laki, suka mencari perhatian, dan bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu. c) Ada kecenderungan tidak patuh pada orang tua dan lebih senang pergi bersama dengan temannya daripada tinggal di rumah. 2) Perkembangan Intelegensi a) Cenderung mengembangkan cara berpikir abstrak, suka memberikan kritik. b) Cenderung ingin mengetahui hal-hal baru, sehingga muncul perilaku ingin mencoba-coba. Perilaku ingin coba-coba merupakan hal yang pentingbagi kesehatan reproduksi remaja.Perilaku ingin mencoba hal yang baru jika didorong oleh rangsangan seksual dapat membawa remaja masuk pada hubungan seks pra nikah dengan segala akibatnya. Berikut ini adalah beberapa permasalahan prioritas terkait perilaku remaja yang ingin mencoba hal baru. 1) Kehamilan yang tidak dikehendaki akan menjurus pada aborsi tidak aman dan komplikasinya. 16 2) Kehamilan dan persalinan usia muda akan menambah risiko kesakitan dan kematian ibu dan bayi (2-4 kali lebih tinggi dari masa usia subur). 3) Penularan penyakit kelamin, termasuk HIV/AIDS. 4) Ketergantungan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. 5) Tindak kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelecehan, dn transaksi seks komersial. 3. Perilaku Seks Bebas a. Pengertian perilaku seks bebas Pengertian perilaku seks menurut Sarwono (2015) adalah segala tingkah yang didorong hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Perilaku seksual yang sehat dan dianggap normal adalah secara heteroseksual, vaginal, dan dilakukan suka sama suka. Sedangkan, yang tidak normal (menyimpang) antara lain sodomi dan homoseksual (Willis, 2014). Dorongan seksual adalah sesuatu bentuk keinginan yang bersifat erotis yang mendorong orang untuk melakukan aktivitas seksual dan hubunganseksual.Jika dorongan seksual normal maka perilaku seksual juga normal.Dorongan seksual menyebabkan orang ingin melakukan aktivitas seksual, bahkan hubungan seksual. Akivitas seksual adalah segala bentuk perilaku yang memberikan rangsangan seksual sehingga dapat menimbulkan reaksi seksual kecuali hubungan seksual (Pangkahila, 2010) 17 b. Faktor-Faktor Penyebab Menurut Sarwono (2015) perilaku seks bebas pada remaja timbul karena faktor-faktor berikut: 1) Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu. 2) Penyaluran tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum karena adanya undang-undang tentang perkawinan yang menetapkan batas usia menikah, maupun karena norma sosial yang semakin lama semakin menuntut persyaratan yang semakin tinggi untuk perkawinan. 3) Sementara usia menikah ditunda, norma agama tetap berlaku di mana seorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat kecenderungan untuk melanggar larangan-larangan tersebut. 4) Kecenderungan pelanggaran semakin meningkat karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengar dari media massa khususnya remaja yang 18 belum mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya. 5) Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih menganggap tabu pembicaraan mengenai seks. 6) Di pihak lain, adanya kecenderungan pergaulan yang semakin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita yang semakin sejajar dengan pria. c. Dampak Perilaku Seks Bebas Perilaku seks bebas berdampak negatif bagi remaja. Adapun dampak-dampak perilaku seks bebas menurut Sarwono (2015) ialah: 1) Dampak Fisik a) Penyakit Menular Seksual (PMS) b) HIV/AIDS c) Kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD) yang apabila digugurkan(aborsi) bisa membawa risiko fisik. d) Rusaknya selaput dara atau hilangnya kegadisan yang dalam budaya timur menimbulkan masalah psikologis dan emosional. 2) Dampak Psikologi dan Emosional a) Rasa tertekan karena menjadi sorotan masyarakat bahwa ia sudah tidak perawan, hamil di luar nikah, dan sebagainya. 19 b) Munculnya perilaku obsessive compulsive. Misalnya mencuci tangan berulang ulang karena dibayang-bayangi perasaan bersalah yang berlebihan telah melakukan perbuatan dosa yaitu perilaku seks bebas c) Munculnya gejala psikopatologis misalnya perilaku masturbasi yang telah menjadi tindakan kompulsif di luar pengendalian individu (Kaplan, et al: 1997). 3) Dampak sosial a) Munculnya persoalan baru, seperti konflik dalam rumah tangga serta dampak persoalan ekonomi, serta beban emosional maupun fisik pada orang tua yang memiliki anak remaja yang dipaksa menikah karena hamil (pernikahan dini). b) Perilku seksual yang memaksa (pelecehan seksual dan pemerkosaan) c) Pelacuran di kalangan remaja. d) Perilaku penyimpangan seksual. Dampak hubungan seks pra nikah menurut Kumalasari dan Andhyantoro adalah sebagai berikut: 1) Bagi remaja a) Remaja laki-laki menjadi tidak perjaka, wanita menjadi tidak perawan. 20 b) Risiko tertular penyakit menular seksual (PMS) meningkat, seperti gonoroe, sifilis, herpes simpleks (genetalis), klamidia, kondiloma akuminata, dan HIV/AIDS. c) Remaja putri terancam kehamilan yang tidak diinginkan, pengguguran kandungan yang tidak aman, infeksi organ reproduksi, anemia, kemandulan, dan kematian karena perdarahan atau keracunan kehamilan. d) Trauma kejiwaan (depresi, rendah diri, merasa berdosa, hilang harapan masa depan). e) Kemungkinan hilang kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dan kesempatan bekerja. f) Melahirkan bayi yang kurang/ tidak sehat. 2) Bagi keluarga a) Menimbulkan aib keluarga. b) Menambah beban ekonomi. c) Mempengaruhi kejiwaan bagi anak karena adanya tekanan (ejekan) dari masyarakat. 3) Bagi masyarakat a) Meningkatnya remaja putus sekolah, sehingga kualitas masyarakat menurun. b) Meningkatnya angka kematian ibu dan bayi. c) Meningkatkan beban ekonomi masyarakat sehingga derajat kesehatan masyarakat menurun. 21 d. Aspek- Aspek Perilaku Seks Bebas Aspek perilaku seks bebas yang biasa dilakukan remaja menurut Nuss dan Luckey dalam Sarwono (2015) adalah: 1) Berfantasi seksual Merupakan perlaku membayangkan dan mengimajinasikan aktivitas seksual yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan erotisme. Fantasi ini biasanya didapatkan individu dari media atau objek yang dapat meningkatkan dorongan seksual. 2) Pegangan tangan Aktivitas ini tidak terlalu menimbulkan rangsangan seksual yang kuat namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba aktivitas yang lain 3) Kissing, yaitu perilaku berciuman (mulai dari ciuman ringan sampai deep kissing ) a) Cium Kering Beberapa sentuhan pipi dengan pipi atau pipi dengan bibir. b) Cium Basah Merupakan sentuhan bibir ke bibir, sampai dengan leher 4) Necking, yaitu perilaku daerah sekitas leher pasangan (Rahardjo, 2008). 5) Petting, segala bentuk kontak fisik seksual berat tetapi tidak termasuk intercourse baik itu light petting (meraba payudara dan 22 alat kelamin pasangan) atau hard petting menggosokkan alat kelamin sendiri ke alat kelamin pasangan, baik dengan busana atau tanpa busana (Rahardjo, 2008). 6) Intercourse, yaitu penetrasi alat kelamin pria ke alat kelamin wanita. 7) Masturbasi (wanita) atau Onani (laki-laki) Sedangkan aspek-aspek perilaku seksual bebas menurut Sarwono (2015) ini yaitu dalam tahapan-tahapan mulai dari rasa tertarik, berjalan berduaan, bergandengan tangan, berpelukan, saling meraba bagian tubuh, berciuman, bercumbu/bermesraan dan bersenggama (berhubungan badan). e. Cara mengatasi perilaku seksual remaja Beberapa ahli berpendapat bahwa penyimpangan perilaku seksual remaja ini dapat diatasi. Beberapa cara untuk mengatasi perilaku seksual remaja adalah sebagai berikut. 1) Mengikis kemiskinan, sebab kemiskinan membuat banyak orang tua melacurkan anaknya sendiri. 2) Menyediakan informasi tentang kesehatan reproduksi, karena ketidaksediaan informasi yang akurat dan benar tentang kesehatan reproduksi memaksa remaja untuk melakukan eksplorasi sendiri, baik melalui media informasi maupun dari teman sebaya. 23 3) Memperbanyak akses pelayanan kesehatan yang diiringi dengan sarana konseling. 4) Meningkatkan partisipasi remaja dengan mengembangkan pendidikan sebaya. 5) Meninjau ulang segala peraturan yang membuka peluang terjadinya reduksi atas pernikahan dini. 6) Meminimalkan informasi tentang kebebasan seks, dalam hal ini media massa dan hiburan sangat berperan penting. Menciptakan lingkungan keluarga yang kukuh, kondusif dan informatif. Pandangan bahwa seks adalah hal tabu yang telah sekian lama tertanam justru membuat remaja tidak mau bertanya tentang kesehatan reproduksinya dengan orang tua sendiri (Adiningsih dalam Kumalasari dan Andhyantoro, 2012). Sedangkan menurut Pangkahila (2010) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar perilaku seks remaja tidak menimbulkan masalah, antara lain: 1) Pendidikan seks secara holistik dan terpadu perlu diberikan kepada anak sedini mungkin dan juga kepada orang tua dan konselor 2) Perlu adanya perubahan pemahaman masyarakat terhadap seksualitas yaitu dari pemahaman yang kaku menjadi fleksibel 3) Kepedulian masyarakat terhadap seks yang aman dan sehat perlu ditingkatkan. 24 4. Perbedaan Perilaku Seks Bebas Remaja Ditinjau dari Tipe Pola Asuh Orang Tua Pola asuh adalah pola pengasuhan anak yang berlaku dalam keluarga, yaitu bagaimana keluarga membentuk perilaku generasi berikut sesuai dengan norma dan nilai yang baik dan sesuai dengan kehidupan masyarakat (Haryowinoto, 2003). Braumrind dalam Yusuf (2014) mengemukakan tentang dampak parenting styles atau pola asuh orang tua terhadap perilaku remaja, yaitu (1) remaja yang orang tuanya bersikap authoritarian atau otoriter, cenderung bersikap bermusuhan dan memberontak; (2) remaja yang orang tuanya permisif cenderung berperilaku bebas tidak terkontrol; dan (3) remaja yang orang tuanya authorative, cenderung terhindar dari kegelisahan, kekacauan, atau perilaku nakal. Remaja yang mendapatkan pola asuh authoritarian cenderung tidak mengungkapkan permasahan yang dihadapi karena tidak mendapatkan kebebasan dalam berbagai aspek dari orang tua, sehingga mereka akan mencari pelampiasan di tempat lain, seperti pada teman sebaya yang akhirnya dapat menyebabkan remaja melakukan periaku seks bebas. Pada pola asuh permissive , remaja melakukan apa yang mereka inginkan, hal ini berakibat pada perilaku seks bebas karena aturan yang ditetapkan orang tua kurang tegas. Sedangkan pada tipe pola asuh authoritative remaja dapat mengungkapkan permasalahan kepada orang tua dengan baik, sehingga dengan adanya komunikasi dan 25 pengawasan orang tua remaja tidak perlu mencari pelampiasan di tempat lain yang dapat menyebabkan remaja terjerumus seks bebas (Abu dan Akerele, 2006). Selain tipe pola asuh orang tua, ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi perilaku seks pada remaja, yaitu faktor dari dalam diri anak, faktor di masyarakat, faktor yang berasal dari sekolah (Willis, 2014). 26 B. Kerangka Konsep Pola Asuh Authoritatian Authoritative Sikap acceptance rendah, kontrol tinggi. Dampak: - Mudah tersinggung - Mudah terpengaruh - Mudah stress - Mencari pelampiasan di tempat lain Sikap acceptance tinggi, kontrol rendah Dampak: - Bersikap bersahabat - Memiliki rasa ingin tahu tinggi Faktor lain penyebab perilaku seks bebas Permissive Sikap acceptance tinggi, kontrol tinggi Dampak: - Bersikap impulsive - Suka memberontak - Suka mendominasi - Bebas melakukan apa saja Sikap Seks Sikap Seks Sikap Seks Perilaku seks remaja Perilaku seks remaja Perilaku seks remaja 1.Faktor dari dalam diri anak (hormononal, kontrol diri, motivasi, religiusitas) 2.Faktor di masyarakat/ lingkungan (sikap dan perilaku teman sebaya, akses internet dan media informasi) 3.Faktor dari sekolah Keterangan : : Variabe yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti C. Hipotesis Ada perbedaan perilaku seks bebas remaja ditinjau dari tipe pola asuh orang tua.