6 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Pola Asuh

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Pola Asuh Orang Tua
a. Pengertian pola asuh
Pola asuh adalah suatu tindakan, perbuatan, dan interaksi
orang tua untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak
agar mereka tumbuh dan berkembang dengan baik dan benar
(Surbakti, 2012).
Menurut Djamarah (2014), pola asuh orang tua adalah upaya
orang tua yang konsisten dan persisten dalam menjaga dan
membimbing anak dari sejak dilahirkan hingga remaja. Pola asuh
orang tua merupakan gambaran tentang sikap dan perilaku orang tua
dan anak dalam berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan
kegiatan pengasuhan. Orang tua memiliki cara dan pola tersendiri
dalam mengasuh dan membimbing anaknya.
b. Hal-hal yang mempengaruhi pola asuh
Menurut Gunarsa (2012) aspek-aspek yang mempengaruhi
pola asuh orang tua terhadap anaknya adalah:
1) Karakter orang tua dan anak
2) Kepribadian orang tua dan anak
3) Temperamen orang tua dan anak
6
7
4) Kemauan dan kemampuan anak untuk menerima perubahan
5) Asal usul dan latar belakang orang tua
6) Pendidikan orang tua
7) Budaya yang diterapkan di keluarga
8) Demografi dan domisili keluarga
9) Sistem religi yang dianut oleh keluarga
10) Tekanan dan dukungan dari keluarga dan masyarakat
11) Pekerjaan dan karier atau jabatan orang tua
12) Kemampuan penalaran anggota keluarga
c. Tipe pola asuh orang tua
Menurut Braumrind dalam Yusuf (2014) secara garis besar
pola asuh orang tua terhadap anak dapat dibedakan menjadi tiga tipe,
yaitu otoriter/otoritarian (authoritarian), autoritatif (authoritative),
dan permisif (permissive).
1) Authoritarian (Otoriter)
Orangtua yang memiliki pola asuh jenis ini berusaha
membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi perilaku serta
sikap anak berdasarkan serangkaian standar mutlak, nilai-nilai
kepatuhan, menghormati otoritas, kerja tradisi, tidak saling
memberi dan menerima dalam komunikasi verbal. Orangtua
kadang-kadang menolak anak dan sering menerapkan hukuman
(Widyarini, 2009).
8
Menurut Gunarsa (2006), pada pola pengasuhan otoriter,
orang tua tidak melakukan komunikasi yang baik dengan anak.
Komunikasi yang terjadi hanyalah komunikasi satu arah, yaitu
dari orang tua ke anak. Kurangnya komunikasi antara orang tua
dan anak akan menyebabkan keterampilan komunikasi anak
remaja juga berkurang.
Menurut Yusuf (2014) sikap atau perilaku orang tua pada
model pola asuh authoritarian atara lain:
a) Sikap acceptance rendah, namun kontrolnya tnggi.
b) Suka menghukum secara fisik.
c) Bersikap mengomando (mengharuskan/memerintah anak
untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi)
d) Bersikap kaku (keras)
e) Cenderung emosional dan bersikap menolak
Profil perilaku anak dari pola asuh otoriter, yaitu mudah
tersinggung,
penakut,
pemurung,
tidak
bahagia,
mudah
terpengaruh, mudah stress, tidak mempunyai arah masa depan
yang jelas, dan tidak bersahabat (Yusuf, 2014)
2) Authoritative (Autoritatif/ Demokrasi)
Orang tua yang memiliki pola asuh jenis ini berusaha
mengarahkan anaknya secara rasional, berorientasi pada masalah
yang dihadapi, menghargai komunikasi yang saling memberi dan
menerima, menjelaskan alasan rasional yang mendasari tiap-tiap
9
permintaan atau disiplin tetapi juga menggunakan kekuasaan bila
perlu, mengharapkan anak untuk mematuhi orang dewasa tetapi
juga mengharapkan anak untuk mandiri dan mengarahkan diri
sendiri,
saling
memperkuat
menghargai
standar-standar
antara
anak
perilaku.
dan
Orang
orangtua,
tua
tidak
mengambil posisi mutlak, tetapi juga tidak mendasarkan pada
kebutuhan anak semata (Widyarini, 2009).
Orang tua yang autoritatif menekankan pentingnya
peraturan, norma, nilai-nilai, tetapi mereka bersedia untuk
mendengarkan, menjelaskan, dan bernegosiasidengan anak.
Remaja yang dibesarkan dengan pola pengasuhan autoratif akan
merasakan suasana rumah yang penuh rasa menghormati, penuh
apresiasi, kehangatan, dan adanya konsistensi pengasuhan dari
orang tua mereka (Gunarsa, 2006).
Menurut Yusuf (2014), bentuk sikap atau perilaku orang
tua dalam pola asuh autoritatif:
a) Sikap acceptance dan kontrolnya tinggi
b) Bersikap responsif terhadap kebutuhan anak
c) Mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan
d) Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik
dan buruk
Profil perilaku anak dari pola asuh autoritatif yaitu
bersikap bersahabat, memiliki rasa percaya diri, mampu
10
mengendalikan diri (sefl control), bersikap sopan, mau bekerja
sama, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, mempunyai
tujuan/arah hidup yang jelas, berorientasi terhadap prestasi
(Yusuf, 2014)
3) Permissive (Permisif)
Pola pengasuhan permisif dapat dibedakan menjadi
pengasuhan yang mengabaikan (neglectful) dan pengasuhan yang
memanjakan (indulgent).Pada pengasuhan mengabaikan orang
tua tidak mempedulikan anak, memberikan izin bagi anak remaja
untuk bertindak semau mereka. Pada pengasuhan yang
memanjakan,
orang
tua
sangat
menunjukkan
dukungan
emosional pada anak namun kurang menerapkan control pada
mereka (Gunarsa, 2006).
Menurut Widyarini (2009) orang tua yang memiliki pola
asuh jenis ini berusaha berperilaku menerima dan bersikap positif
terhadap impuls (dorongan emosi), keinginan-keinginan, dan
perilaku anaknya, hanya sedikit menggunakan hukuman,
berkonsultasi kepada anak, hanya sedikit memeri tanggung jawab
rumah tangga, membiarkan anak untuk mengatur aktivitasnya
sendiri dan tidak mengontrol, berusaha mencapai sasaran tertentu
dengan
memberikan
kekuasaan.
alasan,
tetapi
tanpa
menunjukkan
11
Orang tua dengan pola asuh permisif memberikan
kebebasan
kepada
anak
untuk
menyatakan
dorongan/
keinginannya dan memiliki sikap acceptance tinggi namun
kontrolnya rendah (Yusuf, 2014).
Profil perilaku anak yang terbentuk dari pola asuh permisif
antara lain: bersikap impulsif dan agresif, suka memberontak,
kurang memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri, suka
mendominasi, tidak jelas arah hidupnya, prestasinya rendah
(Yusuf, 2014)
2. Remaja
a. Pengertian Remaja
Remaja dalam ilmu psikologis diperkenalkan dengan istilah
lain, seperti puberteit, adolescence, dan youth. Remaja atau
adolescence(Inggris), berasal dari bahasa Latin yang “Adolescere”
yang berarti tumbuh ke arah kematangan. Kematangan yang
dimaksud adalah bukan kematangan fisik saja tetapi juga
kematangan sosial dan psikologi (Kumalasari dan Andhyantoro,
2012).
Menurut Papalia dan Olds dalam Jahja(2011) masa remaja
adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan
dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan
berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.
12
Periode remaja dipandang sebagai masa ”Strom & Stress”,
frustasi dan penderitaan, konflik dan krisis penyesuaian, mimpi dan
melamun tentang cinta, dan perasaan teralineasi (tersisihkan) dari
kehidupan sosial budaya orang dewasa (Pikunas dalam Yusuf, 2014).
Menurut Piaget secara psikologis remaja adalah suatu usia
dimana individu menjaditerintegrasi dalam masyarakat dewasa, suatu
usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah
tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama atau paling
tidak sejajar (Kumalasari dan Andyantoro, 2012).
b. Batasan Usia Remaja
Batasan usia remaja berbeda-beda sesuai dengan sosial
budaya setempat. Ditinjau dari bidang kesehatan WHO, masalah
yang paling mendesak berkaitan dengan kesehatan remaja adalah
kehamilan dini sehingga WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun
sebagai batasan usia remaja (Surjadi dalam Kumalsari dan
Andyantoro, 2012).
Dengan demikian dari segi program pelayanan, definisi
remaja yang digunakan oleh Departemen Kesehatan adalah mereka
yang berusia 10-19 tahundan belum kawin. Sementara itu, menurut
BKKBN (Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak Reproduksi)
batasan usia remaja adalah 10-21 tahun (BKKBN,2006).
13
Menurut Kumalasari dan Andhyantoro (2012) tiga hal yang
menjadikan masa remaja penting sekali bagi kesehatan reproduksi
adalah sebagai berikut:
1) Masa remaja (usia 10-21 tahun) merupakan masa yang khusus
dan penting karena merupakan periode pematangan organ
reproduksi manusia dan sering disebut masa pubertas.
2) Masa remaja terjadi perubahan fisik (organobiologis) secara
cepat yang tidak seimbang dengan perubahan kejiwaan (mentalemosional).
Perubahan
yang
cukup
besar
ini
dapat
membingungkan remaja yang mengalaminya, karena itu perlu
pengertian, bimbingan, dan dukunga lingkungan sekitarnya agar
mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa
yang sehatbaik jasmani, mental, maupun psikososial.
3) Dalam lingkungan sosial tertentu, sering terjadi perbedaan
perlakuan terhadap remaja laki-laki dan wanita. Bagi laki-laki
masa remaja merupakan saat diperolehnya kebebasan, sedangkan
untuk remaja wanita merupakan saat dimulainya segala bentuk
pembatasan (dari zaman dulu gadis dipingit ketika mereka mulai
mengalami menstruasi) .
c. Karakteristik Remaja Berdasarkan Umur
Karakteristik remaja berdasarkan umur adalah sebagai berikut:
1) Masa remaja awal (10-12 tahun).
a) Lebih dekat dengan teman sebaya.
14
b) Ingin bebas.
c) Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya.
d) Mulai berpikir abstrak.
2) Masa remaja pertengahan (13-15 tahun)
a) Mencari identitas diri.
b) Timbul keinginan untuk berkencan.
c) Mempunyai rasa cinta yang mendalam.
d) Mengembangkan kemampuan berpikir abstrak.
e) Berkhayal tentang aktivitas seks
3) Remaja akhir (17-21 tahun)
a) Pengungkapan kebebasan diri.
b) Lebih sensitif dalam memilih teman sebaya.
c) Mempunyai citra tubuh (body image) terhadap dirinya
sendiri.
d) Dapat mewujudkan rasa cinta.
d. Perubahan Kejiwaan pada Remaja
Perubahan-perubahan yang berkaitan dengan masa remaja
adalah sebagai berikut.
1) Perubahan emosi
a) Sensitif: perubahan-perubahan kebutuhan, konflik nilai antara
keluarga
dengan
lingkungan
dan
perubahan
fisik
menyebabkan remaja sangat sensitif misalnya mudah
menangis, cemas, frustasi, dan sebaliknya bisa tertawa tanpa
15
alasan yang jelas. Umumnya sering terjadi pada remaja putri,
terlebih sebelum menstruasi.
b) Mudah bereaksi bahkan agresif terhadap gangguan atau
rangsangan luar yang mempengaruhinya, sering bersikap
irasional, mudah tersinggung sehingga mudah terjadi
perkelahian/tawuran pada anak laki-laki, suka mencari
perhatian, dan bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu.
c) Ada kecenderungan tidak patuh pada orang tua dan lebih
senang pergi bersama dengan temannya daripada tinggal di
rumah.
2) Perkembangan Intelegensi
a) Cenderung mengembangkan cara berpikir abstrak, suka
memberikan kritik.
b) Cenderung ingin mengetahui hal-hal baru, sehingga muncul
perilaku ingin mencoba-coba.
Perilaku ingin coba-coba merupakan hal yang pentingbagi
kesehatan reproduksi remaja.Perilaku ingin mencoba hal yang baru
jika didorong oleh rangsangan seksual dapat membawa remaja
masuk pada hubungan seks pra nikah dengan segala akibatnya.
Berikut ini adalah beberapa permasalahan prioritas terkait
perilaku remaja yang ingin mencoba hal baru.
1) Kehamilan yang tidak dikehendaki akan menjurus pada aborsi
tidak aman dan komplikasinya.
16
2) Kehamilan dan persalinan usia muda akan menambah risiko
kesakitan dan kematian ibu dan bayi (2-4 kali lebih tinggi dari
masa usia subur).
3) Penularan penyakit kelamin, termasuk HIV/AIDS.
4) Ketergantungan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif.
5) Tindak kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelecehan, dn
transaksi seks komersial.
3. Perilaku Seks Bebas
a. Pengertian perilaku seks bebas
Pengertian perilaku seks menurut Sarwono (2015) adalah
segala tingkah yang didorong hasrat seksual, baik dengan lawan
jenisnya maupun dengan sesama jenis. Perilaku seksual yang sehat
dan dianggap normal adalah secara heteroseksual, vaginal, dan
dilakukan suka sama suka. Sedangkan, yang tidak normal
(menyimpang) antara lain sodomi dan homoseksual (Willis, 2014).
Dorongan seksual adalah sesuatu bentuk keinginan yang
bersifat erotis yang mendorong orang untuk melakukan aktivitas
seksual dan hubunganseksual.Jika dorongan seksual normal maka
perilaku seksual juga normal.Dorongan seksual menyebabkan orang
ingin melakukan aktivitas seksual, bahkan hubungan seksual.
Akivitas seksual adalah segala bentuk perilaku yang memberikan
rangsangan seksual sehingga dapat menimbulkan reaksi seksual
kecuali hubungan seksual (Pangkahila, 2010)
17
b. Faktor-Faktor Penyebab
Menurut Sarwono (2015) perilaku seks bebas pada remaja
timbul karena faktor-faktor berikut:
1) Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat
seksual (libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual
ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual
tertentu.
2) Penyaluran tidak dapat segera dilakukan karena adanya
penundaan usia perkawinan, baik secara hukum karena adanya
undang-undang tentang perkawinan yang menetapkan batas usia
menikah, maupun karena norma sosial yang semakin lama
semakin menuntut persyaratan yang semakin tinggi untuk
perkawinan.
3) Sementara usia menikah ditunda, norma agama tetap berlaku di
mana seorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual
sebelum menikah. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri
akan terdapat kecenderungan untuk melanggar larangan-larangan
tersebut.
4) Kecenderungan pelanggaran semakin meningkat karena adanya
penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media
massa yang tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam
periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang
dilihat atau didengar dari media massa khususnya remaja yang
18
belum mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang
tuanya.
5) Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena
sikapnya yang masih menganggap tabu pembicaraan mengenai
seks.
6) Di pihak lain, adanya kecenderungan pergaulan yang semakin
bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat sebagai akibat
berkembangnya peran dan pendidikan wanita yang semakin
sejajar dengan pria.
c. Dampak Perilaku Seks Bebas
Perilaku seks bebas berdampak negatif bagi remaja. Adapun
dampak-dampak perilaku seks bebas menurut Sarwono (2015) ialah:
1) Dampak Fisik
a) Penyakit Menular Seksual (PMS)
b) HIV/AIDS
c) Kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD) yang apabila
digugurkan(aborsi) bisa membawa risiko fisik.
d) Rusaknya selaput dara atau hilangnya kegadisan yang dalam
budaya
timur
menimbulkan
masalah
psikologis
dan
emosional.
2) Dampak Psikologi dan Emosional
a) Rasa tertekan karena menjadi sorotan masyarakat bahwa ia
sudah tidak perawan, hamil di luar nikah, dan sebagainya.
19
b) Munculnya
perilaku
obsessive
compulsive.
Misalnya
mencuci tangan berulang ulang karena dibayang-bayangi
perasaan bersalah yang berlebihan
telah melakukan
perbuatan dosa yaitu perilaku seks bebas
c) Munculnya
gejala
psikopatologis
misalnya
perilaku
masturbasi yang telah menjadi tindakan kompulsif di luar
pengendalian individu (Kaplan, et al: 1997).
3) Dampak sosial
a) Munculnya persoalan baru, seperti konflik dalam rumah
tangga serta dampak persoalan ekonomi, serta beban
emosional maupun fisik pada orang tua yang memiliki anak
remaja yang dipaksa menikah karena hamil (pernikahan dini).
b) Perilku seksual yang memaksa (pelecehan seksual dan
pemerkosaan)
c) Pelacuran di kalangan remaja.
d) Perilaku penyimpangan seksual.
Dampak hubungan seks pra nikah menurut Kumalasari dan
Andhyantoro adalah sebagai berikut:
1) Bagi remaja
a) Remaja laki-laki menjadi tidak perjaka, wanita menjadi tidak
perawan.
20
b) Risiko tertular penyakit menular seksual (PMS) meningkat,
seperti gonoroe, sifilis, herpes simpleks (genetalis), klamidia,
kondiloma akuminata, dan HIV/AIDS.
c) Remaja putri terancam kehamilan yang tidak diinginkan,
pengguguran kandungan yang tidak aman, infeksi organ
reproduksi, anemia, kemandulan, dan kematian karena
perdarahan atau keracunan kehamilan.
d) Trauma kejiwaan (depresi, rendah diri, merasa berdosa,
hilang harapan masa depan).
e) Kemungkinan
hilang
kesempatan
untuk
melanjutkan
pendidikan dan kesempatan bekerja.
f) Melahirkan bayi yang kurang/ tidak sehat.
2) Bagi keluarga
a) Menimbulkan aib keluarga.
b) Menambah beban ekonomi.
c) Mempengaruhi kejiwaan bagi anak karena adanya tekanan
(ejekan) dari masyarakat.
3) Bagi masyarakat
a) Meningkatnya remaja putus sekolah, sehingga kualitas
masyarakat menurun.
b) Meningkatnya angka kematian ibu dan bayi.
c) Meningkatkan beban ekonomi masyarakat sehingga derajat
kesehatan masyarakat menurun.
21
d. Aspek- Aspek Perilaku Seks Bebas
Aspek perilaku seks bebas yang biasa dilakukan remaja
menurut Nuss dan Luckey dalam Sarwono (2015) adalah:
1) Berfantasi seksual
Merupakan
perlaku
membayangkan
dan
mengimajinasikan aktivitas seksual yang bertujuan untuk
menimbulkan
perasaan
erotisme.
Fantasi
ini
biasanya
didapatkan individu dari media atau objek yang dapat
meningkatkan dorongan seksual.
2) Pegangan tangan
Aktivitas ini tidak terlalu menimbulkan rangsangan
seksual yang kuat namun biasanya muncul keinginan untuk
mencoba aktivitas yang lain
3) Kissing, yaitu perilaku berciuman (mulai dari ciuman ringan
sampai deep kissing )
a) Cium Kering
Beberapa sentuhan pipi dengan pipi atau pipi dengan bibir.
b) Cium Basah
Merupakan sentuhan bibir ke bibir, sampai dengan leher
4) Necking, yaitu perilaku daerah sekitas leher pasangan (Rahardjo,
2008).
5) Petting, segala bentuk kontak fisik seksual berat tetapi tidak
termasuk intercourse baik itu light petting (meraba payudara dan
22
alat kelamin pasangan) atau hard petting menggosokkan alat
kelamin sendiri ke alat kelamin pasangan, baik dengan busana
atau tanpa busana (Rahardjo, 2008).
6) Intercourse, yaitu penetrasi alat kelamin pria ke alat kelamin
wanita.
7) Masturbasi (wanita) atau Onani (laki-laki)
Sedangkan aspek-aspek perilaku seksual bebas menurut
Sarwono (2015) ini yaitu dalam tahapan-tahapan mulai dari rasa
tertarik, berjalan berduaan, bergandengan tangan, berpelukan, saling
meraba bagian tubuh, berciuman, bercumbu/bermesraan dan
bersenggama (berhubungan badan).
e. Cara mengatasi perilaku seksual remaja
Beberapa ahli berpendapat bahwa penyimpangan perilaku
seksual remaja ini dapat diatasi. Beberapa cara untuk mengatasi
perilaku seksual remaja adalah sebagai berikut.
1) Mengikis kemiskinan, sebab kemiskinan membuat banyak orang
tua melacurkan anaknya sendiri.
2) Menyediakan informasi tentang kesehatan reproduksi, karena
ketidaksediaan informasi yang akurat dan benar tentang
kesehatan reproduksi
memaksa remaja untuk melakukan
eksplorasi sendiri, baik melalui media informasi maupun dari
teman sebaya.
23
3) Memperbanyak akses pelayanan kesehatan yang diiringi dengan
sarana konseling.
4) Meningkatkan partisipasi
remaja dengan mengembangkan
pendidikan sebaya.
5) Meninjau ulang segala peraturan yang membuka peluang
terjadinya reduksi atas pernikahan dini.
6) Meminimalkan informasi tentang kebebasan seks, dalam hal ini
media massa dan hiburan sangat berperan penting.
Menciptakan lingkungan keluarga yang kukuh, kondusif dan
informatif. Pandangan bahwa seks adalah hal tabu yang telah sekian
lama tertanam justru membuat remaja tidak mau bertanya tentang
kesehatan reproduksinya dengan orang tua sendiri (Adiningsih dalam
Kumalasari dan Andhyantoro, 2012).
Sedangkan menurut Pangkahila (2010) ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan agar perilaku seks remaja tidak menimbulkan
masalah, antara lain:
1) Pendidikan seks secara holistik dan terpadu perlu diberikan
kepada anak sedini mungkin dan juga kepada orang tua dan
konselor
2) Perlu adanya perubahan pemahaman masyarakat terhadap
seksualitas yaitu dari pemahaman yang kaku menjadi fleksibel
3) Kepedulian masyarakat terhadap seks yang aman dan sehat perlu
ditingkatkan.
24
4. Perbedaan Perilaku Seks Bebas Remaja Ditinjau dari Tipe Pola Asuh
Orang Tua
Pola asuh adalah pola pengasuhan anak yang berlaku dalam
keluarga, yaitu bagaimana keluarga membentuk perilaku generasi
berikut sesuai dengan norma dan nilai yang baik dan sesuai dengan
kehidupan masyarakat (Haryowinoto, 2003). Braumrind dalam Yusuf
(2014) mengemukakan tentang dampak parenting styles atau pola asuh
orang tua terhadap perilaku remaja, yaitu (1) remaja yang orang tuanya
bersikap authoritarian atau otoriter, cenderung bersikap bermusuhan dan
memberontak; (2) remaja yang orang tuanya permisif cenderung
berperilaku bebas tidak terkontrol; dan (3) remaja yang orang tuanya
authorative, cenderung terhindar dari kegelisahan, kekacauan, atau
perilaku nakal.
Remaja yang mendapatkan pola asuh authoritarian cenderung
tidak mengungkapkan permasahan yang dihadapi karena tidak
mendapatkan kebebasan dalam berbagai aspek dari orang tua, sehingga
mereka akan mencari pelampiasan di tempat lain, seperti pada teman
sebaya yang akhirnya dapat menyebabkan remaja melakukan periaku
seks bebas. Pada pola asuh permissive , remaja melakukan apa yang
mereka inginkan, hal ini berakibat pada perilaku seks bebas karena
aturan yang ditetapkan orang tua kurang tegas. Sedangkan pada tipe pola
asuh authoritative remaja dapat mengungkapkan permasalahan kepada
orang tua dengan baik, sehingga dengan adanya komunikasi dan
25
pengawasan orang tua remaja tidak perlu mencari pelampiasan di tempat
lain yang dapat menyebabkan remaja terjerumus seks bebas (Abu dan
Akerele, 2006).
Selain tipe pola asuh orang tua, ada beberapa faktor lain yang
mempengaruhi perilaku seks pada remaja, yaitu faktor dari dalam diri
anak, faktor di masyarakat, faktor yang berasal dari sekolah (Willis,
2014).
26
B. Kerangka Konsep
Pola Asuh
Authoritatian
Authoritative
Sikap acceptance
rendah,
kontrol
tinggi.
Dampak:
- Mudah
tersinggung
- Mudah
terpengaruh
- Mudah stress
- Mencari
pelampiasan di
tempat lain
Sikap acceptance
tinggi, kontrol
rendah
Dampak:
- Bersikap
bersahabat
- Memiliki rasa
ingin tahu tinggi
Faktor lain
penyebab perilaku
seks bebas
Permissive
Sikap acceptance
tinggi, kontrol
tinggi
Dampak:
- Bersikap
impulsive
- Suka
memberontak
- Suka
mendominasi
- Bebas melakukan
apa saja
Sikap Seks
Sikap Seks
Sikap Seks
Perilaku seks
remaja
Perilaku seks
remaja
Perilaku seks
remaja
1.Faktor dari
dalam diri anak
(hormononal,
kontrol diri,
motivasi,
religiusitas)
2.Faktor di
masyarakat/
lingkungan
(sikap dan
perilaku teman
sebaya, akses
internet dan
media
informasi)
3.Faktor dari
sekolah
Keterangan :
: Variabe yang diteliti
: Variabel yang tidak
diteliti
C. Hipotesis
Ada perbedaan perilaku seks bebas remaja ditinjau dari tipe pola
asuh orang tua.
Download