BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Sejak manusia pertama (Adam) jatuh ke dalam dosa, seperti dikisahkan pada kitab Kejadian dari Alkitab Perjanjian Lama, “maka pintu gerbang dunia terbuka bagi masuknya dosa ke dalam dunia”1. Artinya, sejak Adam jatuh ke dalam dosa maka dosa memasuki dunia dan menguasai seluruh umat manusia, sehingga seluruh umat manusia dianggap sebagai orang berdosa di hadapan Allah.2 Tetapi Allah yang telah menciptakan umat manusia menurut gambar dan rupaNya (Kej. 1:26), tidak mau membiarkan umat manusia untuk tetap berada di bawah kuasa dosa, yang pada akhirnya membuat mereka harus menerima hukuman atas dosa yang adalah maut.3 Sehingga oleh karena kemurahanNya, Allah mencegah umat manusia dari hukuman maut itu, dengan memberikan perjanjian keselamatan yaitu pengampunan dosa yang senantiasa diwujudkan dalam sejarah kehidupan umat manusia. Keseluruhan isi Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, senantiasa diwarnai oleh perwujudan janji keselamatan Allah tersebut. Khususnya di dalam Perjanjian Baru, janji keselamatan tersebut diwujudkan oleh Allah di dalam kehadiran Yesus Kristus yang menyatakan pengampunan dosa bagi umat manusia, pada masa pelayananNya di tengahtengah umat manusia hingga pengorbanan diriNya di kayu salib. Kehadiran Yesus Kristus pada saat itu, memang sebagai pelaksana misi Allah yaitu mewujudkan janji keselamatan Allah tersebut, tetapi meskipun demikian, Ia hadir mewujud sebagai manusia, oleh karena itu kehadiranNya pun menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat tertentu. Bila kita melihat informasi yang terdapat di dalam Perjanjian Baru khususnya pada Injil-injil Sinoptis maka dapat diketahui, bahwa Yesus Kristus terlahir sebagai keturunan Raja Daud (bdk. Mat. 1:20). Dengan demikian berarti Ia terlahir sebagai keturunan Yahudi sehingga masa pelayananNya banyak dijalani di tengah-tengah masyarakat Yahudi, bukan pada kelompok masyarakat yang lain. Hal ini dapat dipahami dengan sebuah pemikiran bahwa rencana penyelamatan Allah bagi umat manusia, telah mulai diwujudkan di dalam zaman Perjanjian Lama dengan pemilihan bangsa Israel sebagai umat pilihan Allah, dan di dalam 1 Dr. Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1999, h. 238 sda. h. 239 3 Gereja Sinode GKI Jawa Tengah, Tumbuh Dalam Kristus, Magelang, 1995, h. 11 2 2 Perjanjian Baru, maka umat pilihan Allah ini adalah umat Yahudi. Oleh sebab itu, dengan kehadiran Yesus Kristus di tengah-tengah masyarakat Yahudi, maka justru semakin nampak kelanjutan dari perwujudan janji keselamatan Allah tersebut. Berdasarkan pemikiran yang telah terurai di atas maka sebuah hal yang wajar, bila umat Yahudi pada waktu itu merespons kehadiran Yesus Kristus dengan tanggapan yang positif, khususnya ketika Ia menyatakan pengampunan dosa. Hal ini disebabkan karena dengan demikian kehadiranNya secara jelas menunjukkan bentuk kelanjutan dari perwujudan janji keselamatan Allah tersebut. Tetapi pada kenyataannya, yang terjadi justru sebaliknya sehingga tentunya menjadi sesuatu hal yang tidak wajar, karena umat Yahudi pada waktu itu memberikan tanggapan yang negatif bahkan mengarah pada sikap penolakan. Apalagi tanggapan dan penolakan ini justru datangnya dari para pemimpin agama Yahudi yang dianggap seharusnya paling dapat memahami dan menerima perwujudan janji keselamatan Allah tersebut, di dalam kehidupan mereka sebagai umat pilihan Allah pada saat itu. Telah dikatakan di atas bahwa keseluruhan isi Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru diwarnai dengan perwujudan janji keselamatan Allah tersebut. Hal ini berarti bahwa masalah pengampunan dosa senantiasa menjadi masalah yang sentral bagi kehidupan umat beragama khususnya bagi umat kristiani dari waktu ke waktu. Hingga saat inipun, sentralitas tersebut masih tampak antara lain di dalam umat kristiani (selanjutnya dibaca jemaat) memaknai pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib, yaitu untuk menyatakan pengampunan dosa bagi umat manusia. Demikian sentralnya masalah pengampunan dosa bagi kehidupan jemaat khususnya pada saat ini, tetapi sesungguhnya apa makna dari pengampunan dosa itu sendiri bagi mereka? Karena dalam rutinitas kehidupan berjemaat, tampaknya makna pengampunan dosa menjadi kabur, hal ini tampak misalnya, ketika pengampunan dosa menjadi salah satu unsur liturgi kebaktian umum di sebagian besar gereja-gereja. Dengan dijadikannya sebagai salah satu unsur liturgi, maka pengampunan dosa diterima oleh jemaat setiap minggu dalam kebaktian tersebut. Sementara itu, pada saat ini muncul kecenderungan dari jemaat bahwa mengikuti kebaktian setiap minggu dianggap hanya sebagai sebuah kegiatan rutin yang seharusnya dilakukan, dengan demikian pengampunan dosa yang diterima pun dimaknai sebagai hal biasa, yang sudah semestinya diterima oleh mereka. Demikian pula pengakuan dosa yang dilakukan jemaat di hadapan pejabat-pejabat gerejawi. Ada kecenderungan yang muncul, jemaat yang melakukan pengakuan dosa ini, hanya melakukannya sebatas di dalam gereja, karena setelah mengakuinya, dalam kehidupan sehari- 3 hari ia kembali melakukan perbuatan dosa tersebut. Dari kenyataan ini, maka pada akhirnya makna pengampunan dosa memang dapat dikatakan menjadi kabur atau tidak jelas lagi bagi masing-masing jemaat. II. PERMASALAHAN Makna dari sesuatu hal baru dapat ditemukan bila konsep dari hal tersebut dapat ditangkap secara jelas terlebih dahulu. Demikian pula dengan makna dari pengampunan dosa yang diberikan oleh Allah bagi umat manusia, baru dapat ditemukan bila konsep dari pengampunan dosa tersebut dapat ditangkap secara jelas terlebih dahulu. Terjadinya kekaburan makna pengampunan dosa bagi jemaat pada saat ini, kemungkinan dapat disebabkan oleh karena jemaat belum menangkap konsep pengampunan dosa tersebut secara jelas. Sehingga merupakan hal yang penting untuk berusaha mencoba menemukan konsep pengampunan dosa tersebut, di dalam konsep pengampunan dosa Allah yang dinyatakan oleh Yesus Kristus, dengan mempermasalahkan pertentangan yang terjadi di dalamnya. Mengapa pertentangan tersebut justru muncul dari para pemimpin agama Yahudi yang dianggap seharusnya paling dapat menerima dan memahami perwujudan janji keselamatan Allah melalui kehadiran Yesus Kristus ini, bila dibandingkan dengan umat Yahudi secara umum pada saat itu? Bukankah yang menjadi landasan untuk berpijak antara para pemimpin agama Yahudi (berpijak untuk memahami perwujudan janji keselamatan Allah melalui kehadiran Yesus Kristus ini) dan Yesus Kristus (berpijak untuk mewujudkan janji keselamatan Allah tersebut), adalah sama, yaitu Allah sendiri. Mungkinkah terjadi perbedaan konsep pengampunan dosa yang dimiliki antara para pemimpin agama Yahudi dengan Yesus Kristus? Bila memang terjadi suatu perbedaan konsep pengampunan dosa yang dimiliki antara para pemimpin agama Yahudi dan Yesus Kristus pada waktu itu, apakah khususnya gereja-gereja pada saat ini telah menyadari perbedaan tersebut sehingga dapat menemukan konsep pengampunan dosa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh Allah di dalam Yesus Kristus? Sehingga dengan menemukan konsep pengampunan dosa yang sesungguhnya tersebut, dapat dijadikan sebagai prinsip di dalam gereja menerapkan konsep tersebut dalam kehidupan berjemaat sekaligus untuk mengatasi kekaburan terhadap konsep tersebut yang terjadi pada saat ini. 4 Sejauh ini, tampaknya mengenai penolakan para pemimpin agama Yahudi terhadap pengampunan dosa yang dinyatakan oleh Yesus Kristus, kurang mendapat perhatian dari jemaat secara serius. Terbukti pemahaman yang berkembang di antara warga jemaat terhadap penolakan dari para pemimpin agama Yahudi tersebut, dipahami hanya karena kesalahan dari para pemimpin agama Yahudi yang tidak mau menerima kehadiran Yesus Kristus di tengahtengah mereka. Ketidaksediaan mereka menerima Yesus Kristus oleh karena berbagai alasan antara lain karena mereka merasa iri hati akan kehadiranNya yang menyaingi popularitas mereka sebagai pemuka agama. Sehingga ketika gereja-gereja berusaha untuk menemukan konsep pengampunan dosa yang sesungguhnya tersebut4, hasilnya menjadi terlalu apriori bahwa konsep pengampunan dosa yang dimaksud oleh para pemimpin agama Yahudi pasti salah, sehingga tidak perlu untuk menjadi bahan pertimbangan lagi untuk menemukan konsep tersebut. Padahal munculnya pengampunan dosa yang dinyatakan oleh Yesus Kristus sedikit banyak dipengaruhi oleh adanya konsep pengampunan dosa dari para pemimpin agama Yahudi tersebut, sehingga bila di dalam menemukan konsep pengampunan dosa tersebut selain melihat dari konsep yang dimilikiNya juga melihat konsep dari mereka, tentu hasilnya tidak menjadi apriori lagi. III. PEMILIHAN JUDUL Berdasarkan permasalahan yang telah terurai di atas, maka skripsi ini diberi judul : PENGAMPUNAN DOSA Suatu Studi Eksegetis Terhadap Perbedaan Konsep Pengampunan Dosa Antara Yesus Kristus Dan Para Pemimpin Agama Yahudi Sezamannya Serta Relevansinya Bagi Gereja-gereja Saat Ini IV. TUJUAN PENULISAN Tujuan dari penulisan skripsi ini meliputi : 1. Menyelidiki mengapa para pemimpin agama Yahudi menolak pengampunan dosa yang dinyatakan oleh Yesus Kristus. 2. Menyelidiki persamaan dan perbedaan konsep pengampunan dosa yang dimiliki oleh para pemimpin agama Yahudi dan Yesus Kristus. 4 Arti dari pengampunan dosa yang sesungguhnya disini adalah pengampunan dosa yang dimiliki oleh Allah dalam diri Yesus Kristus. 5 3. Menyelidiki konsep pengampunan dosa yang dikehendaki oleh Allah dalam Yesus Kristus. 4. Merelevansikan konsep pengampunan dosa yang dikehendaki oleh Allah dalam Yesus Kristus tersebut, bagi gereja-gereja saat ini. V. BATASAN PERMASALAHAN Kisah kehidupan Yesus Kristus selama hadir di tengah-tengah sejarah umat manusia, dapat kita temui di dalam Alkitab, khususnya Alkitab Perjanjian Baru. Bahkan secara khusus dibicarakan dalam Injil-injil Sinoptis (yaitu Injil Matius, Markus, Lukas) dan Injil Yohanes, yang merupakan keempat kitab yang ada di awal urut-urutan Kanon Perjanjian Baru. Keempat kitab Injil ini, memang menyajikan kisah kehidupan Yesus Kristus.5 Tetapi bila kita mencoba melihatnya kembali, maka banyak perbedaan yang ada di dalamnya, khususnya antara ketiga Injil Sinoptis dan Injil Yohanes. Oleh karena itu, pembahasan masalah dalam penulisan skripsi ini akan dibatasi pada ketiga Injil Sinoptis saja. Lalu pembahasan masalah ini, akan dikhususkan lagi tidak sekedar hanya pada ketiga Injil Sinoptis, melainkan lebih khusus pada perikop-perikop dalam ketiga Injil Sinoptis tersebut yang secara eksplisit mengungkapkan kisah tentang Yesus Kristus yang menyatakan pengampunan dosa. Secara khusus pada penulisan saat ini, maka pembahasan akan dikhususkan pada suatu perikop yang terdapat dalam masing-masing Injil Sinoptis tersebut. Ketiga perikop ini, mengkisahkan cerita yang sama, yang masing-masing terdapat pada: 1. Matius 9:1-8, khususnya pada ayat 3 : Maka dibawa oranglah kepadaNya seorang lumpuh yang terbaring di tempat tidurnya. Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu : “Percayalah, hai anakKu, dosamu sudah diampuni.” 2. Markus 2:1-12, khususnya pada ayat 5 : Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu : “Hai anakKu, dosamu sudah diampuni!” 3. Lukas 5:17-26, khususnya pada ayat 20 : Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia : “Hai saudara, dosamu sudah diampuni.” Pada ketiga perikop inilah, dapat dilihat secara eksplisit perkataan Yesus Kristus yang menyatakan pengampunan dosa bagi umat manusia pada waktu itu, sekaligus di dalamnya 5 Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1999, h. 131 6 dapat dilihat mengenai pertentangan yang timbul dari para pemimpin agama Yahudi terhadap perkataanNya tersebut. VI. METODE PEMBAHASAN Berangkat dari bahan acuan yang telah terurai di dalam bagian Batasan Permasalahan, maka penulisan skripsi ini menggunakan metode pembahasan kritik historis. Metode ini memberi perhatian pada dua konteks sejarah yaitu konteks sejarah yang diungkapkan melalui cerita dalam perikop-perikop tersebut, dan konteks sejarah dari perikop-perikop itu sendiri. Oleh karena cerita-cerita di dalam Injil Sinoptis berkaitan langsung dengan soal-soal sejarah, maka dalam metode ini, diberi perhatian lebih kepada konteks sejarah dari cerita dalam suatu perikop, namun konteks sejarah perikop itu sendiri tetap diperhatikan.6 Dengan metode pembahasan yang demikian, maka dalam pembahasannya, penyusun mengambil beberapa langkah, yaitu sebagai berikut : 1. Mencari dan mendata ungkapan-ungkapan Yesus Kristus secara eksplisit tentang pengampunan dosa dalam perikop-perikop yang terdapat pada ketiga Injil Sinoptis. Hal ini telah dilakukan dalam bagian Batasan Permasalahan. 2. Menemukan konteks sejarah ketika Yesus Kristus menyatakan ungkapan-ungkapan pengampunan dosa tersebut, termasuk di dalamnya melihat pertentangan yang muncul dari para pemimpin agama Yahudi terhadap ungkapan-ungkapanNya tersebut atau dengan kata lain melihat konteks sejarah yang diungkapkan melalui cerita di dalam perikopperikop tersebut. 3. Menemukan autentisitas perkataan Yesus Kristus yang diungkapkan oleh penulis Injil dalam ketiga perikop tersebut. Caranya dengan memperbandingkan ketiga perikop yang menjadi pokok bahasan pada penulisan saat ini dengan tetap melibatkan sejarah yang diungkap dari masing-masing perikop tersebut pula. 4. Mengintegrasikan penemuan konteks sejarah Yesus Kristus tersebut dengan perkataanNya yang autentik, sebagai upaya penafsiran terhadap perikop-perikop tersebut. Sehingga dibuahkan sebuah pemikiran teologis berkaitan dengan permasalahan tentang pengampunan dosa tersebut. Sehingga pada akhirnya pemikiran teologis itu, dapat direlevansikan bagi kehidupan berjemaat pada gereja-gereja saat ini. 6 John H. Hayes & Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1999, h. 53 7 Untuk menunjang dalam mengembangkan metode pembahasan kritik historis pada usaha penulisan saat ini, maka dilakukan studi kepustakaan. VII. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisi Latar Belakang Permasalahan, Permasalahan, Pemilihan Judul, Tujuan Penulisan, Batasan Permasalahan, Metode Pembahasan, Sistematika Penulisan. BAB II : KONTEKS SEJARAH DARI PELAYANAN YESUS KRISTUS Bab ini berisi konteks sejarah dari pelayanan Yesus Kristus, khususnya pada saat Ia menyatakan pengampunan dosa. Masing-masing perikop yang menjadi pokok bahasan pada penulisan saat ini, mengkisahkan cerita yang sama, yaitu cerita tentang Yesus Kristus yang menyatakan pengampunan dosa pada masa pelayananNya. Sebuah cerita yang sama dalam tiga perikop berbeda ini, mengakibatkan munculnya suatu konteks sejarah cerita yang sama di dalam tiga perikop tersebut. BAB III : PENGAMPUNAN DOSA Pada bab ini, dilakukan usaha perbandingan terhadap ketiga perikop yang menjadi pokok bahasan pada penulisan saat ini, dengan tetap melibatkan sejarah dari masing-masing perikop. Dari usaha perbandingan tersebut maka ditemukan perikop yang autentik, yang di dalamnya mengungkapkan perkataan Yesus Kristus yang autentik di dalam menyatakan pengampunan dosa tersebut. Setelah perikop yang autentik tersebut ditemukan maka dilakukan penafsiran terhadap masing-masing perikop, yang berlandaskan pada konteks sejarah Yesus Kristus dalam Bab II dan perikop yang autentik tersebut. 8 BAB IV : KESIMPULAN DAN RELEVANSI KESIMPULAN berupa hasil pemikiran teologis yang diperoleh dari usaha penafsiran yang telah dilakukan pada Bab III. Hasil pemikiran teologis ini diarahkan untuk mencapai tujuan penulisan yang telah diuraikan di atas, sehingga ditemukan konsep pengampunan dosa yang dikehendaki oleh Allah dalam Yesus Kristus tersebut. RELEVANSI berisi uraian mengenai usaha merelevansikan konsep pengampunan dosa tersebut, bagi gereja-gereja saat ini.