Membaca Hasrat Politik Islam Nusantara

advertisement
Membaca Hasrat Politik
Islam Nusantara
DISKURSUS tentang penetapan Barus sebagai titik nol Islam Nusantara oleh
Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu, sepertinya belum selesai
didiskusikan. Kebijakan ini sendiri juga mendapatkan penolakan dari kaum
intelektual-akademisi. Hal ini tentu bukan tanpa alasan, sebab penetapan
Barus sebagai titik nol Islam Nusantara dilakukan tanpa kajian ilmiahakademik yang memadai, sehingga cenderung “menistakan” tradisi akademik
yang selama ini dikembangkan dalam kajian sejarah di perguruan tinggi.
Itu sebab, pakar sejarah Nasional, Prof Azyumardi Azra dalam Seminar
Nasional yang diselenggaraan di Pascasarajana UIN Ar-Raniry beberapa
waktu lalu menyimpulkan, bahwa penetapan Barus sebagai titik nol Islam
Nusantara merupakan penyesatan sejarah (Serambi, 15/5/2017).
Azyumardi Azra melihat diskursus soal “Titik Nol Islam Nusatara” ini tidak bisa
dilepaskan dari kaidah-kaidah dan tradisi ilmiah. Bukti-bukti sejarah dan
temuan para pakar, sebagaimana kesimpulan dalam Seminar Titik Nol Islam
Nusantara di Pascasarjana UIN Ar-Raniry, sama sekali tidak ada yang
menyimpulkan Barus sebagai titik nol (awal mula) islamisasi Nusantara.
Seluruh catatan para sejarawan menempatkan Peureulak dan Pasai sebagai
titik nol Islam Nusantara, sebagaimana disampaikan Prof Azyumardi Azra dan
Prof Farid Wajdi Ibrahim. Plus, kemudian ditambah hasil temuan baru Dr
Husaini Ibrahim dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) yang melihat Lamuri di
Aceh Besar sebagai titik nol Islam Nusantara.
Oleh sebab itu, penetapan Barus, sebuah Kecamatan Barus, Tapanuli
Tengah, Sumatera Utara sebagai Titik Nol Islam Nusantara oleh Presiden
Jokowi mau tidak mau harus dilihat dari kacamata ideologi politik. Artinya,
kebijakan Jokowi tersebut sarat dengan hasrat kepentingan politik rezim. Jadi,
sampai di sini, rasanya kita sulit menolak fakta kepentingan politik semacam
ini. Dengan demikian, tulisan saudara Ramli Cibro (RC) berjudul Memetakan
Narasi Islam Nusantara (Serambi, 16/5/2017) yang “membenarkan”
penetapan Barus sebagai titik Nol Islam Nusantara adalah patut dikritisi.
Argumentasi utama RC adalah melihatnya dari perspektif awal mula ekspansi
ajaran Teo-sufi ke Nusantara yang bersumber dari atau dikembangkan oleh
Hamzah Fansuri.
Bukan diskursus historis
RC bisa saja mengatakan diskursus Titik Nol Islam nusantara hanyalah
sekadar tranformasi pemikiran Teo-sufi dan bukan diskursus historis,
sehingga justru “sepakat” atas kebijakan Presiden Jokowi yang ahistoris,
sebagaimana disimpulkan Azyumardi Azra bahwa Barus bukan titik nol Islam
Nusantara. Alhasil, pemahaman RC seperti ini akan sangat rancu, karena
bagaimana mungkin kaidah-kaidah sejarah dalam tradisi akademik-ilmiah
harus dicabut dari sebuah kebijakan bersejarah tentang sesuatu yang juga
identik sepenuhnya dengan sejarah penting masa lalu.
Pada titik ini, kesimpulan dari tulisan RC nampak seperti ingin “memaksa”
bahwa titik nol Islam Nusantara memang harus dari Barus, meskipun harus
menabrak tradisi akademik-ilmiah. Apalagi, kesimpulan RC semacam ini juga
diperkuat dengan narasi RC bahwa “Islam Sufistik adalah Islam yang lebih
mengedepankan esensi dan substansi dari pada sekadar atribut, perangkat
dan simbol semata”. RC menyimpulkan model Islam inilah yang tersebar di
Nusantara.
Narasi parsial RC seperti ini tentu patut ditanggapi. Sebab, Islam yang
diterima di Nusantara bukanlah hanya esensi dan subtansi Islam, melainkan
juga atribut, perangkat dan juga sekaligus simbol.
Sebab, Islam adalah perpaduan substansi dan juga simbol. Dalam sejarah
perkembangan Islam di Nusantara, dengan sangat mudah kita akan
menemukan adanya perkembangan bahasa Arab dan Jawi (Arab-Melayu)
sebagai simbol penyebaran Islam. Bahkan, peran fundamental bahasa ini
dalam islamisasi Nusantara ini dicatat oleh Prof Naquib al-Attas sebagai
keberhasilan yang mengalahkan pencapaian Hindu-Budha. Karena mereka
berhasil mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan di kepulauan
Nusantara (al-Attas, Historical Fact and Fiction, hal. xvi).
Juga seperti dijabarkan oleh TA Sakti dalam artikelnya Bahasa Melayu Pasai,
Akar Tunjang Bahasa Nasional Indonesia (Serambi, 19/5/2013), bahwa
“bahasa Melayu Pasai berkembang pada masa Kerajaan Samudra Pasai
(1250-1524 M). Kerajaan ini amat berperan dalam penyebaran agama Islam
ke berbagai wilayah Asia Tenggara, seperti Melaka dan Jawa. Bersamaan
berkembangnya agama Islam itu tersebar pula bahasa Melayu Pasai di
wilayah tersebut melalui kitab-kitab pelajaran agama Islam yang
menggunakan bahasa Melayu Pasai sebagai pengantarnya”.
Selain bahasa sebagai simbol penyebaran Islam, juga terdapat atribut dan
perangkat lainnya, seperti masjid, kalender hijriah (penanggalan Islam), batu
nisan dan sebagainya yang ke semua atribut atau simbol ini berperan
maksimal dalam penyebaran Islam di Nusantara. Maka dengan demikian,
penetapan Barus sebagai titik Nol Islam Nusantara bukan saja mengangkangi
kaidah-kaidah dan tradisi ilmiah-akademik, melainkan juga akan terbantahkan
meskipun kita melihat posisi Barus dari perspektif ekspansi ajaran teo-sufisme
sebagaimana dikehendaki RC. Apalagi, ajaran Sufi yang berkembang di
Nusantara pun sebenarnya cukup beragam, seragam perpaduan berbagai
pola dan metode islamisasi yang dijalankan para ulama saat itu.
Hasrat politik
Kita kembali ke fokus utama tulisan ini, sesungguhnya aroma hasrat dan
kepentingan politik dalam penetapan Barus sebagai titik Nol Islam Nusantara
sama sekali tidak bisa dihindari. Apalagi, saat meresmikan Barus sebagai titik
nol Islam Nusantara, dengan sangat jelas Presiden Jokowi mendorong agar
agama dipisahkan dari politik. Mencermati terjadi gesekan-gesekan dalam
kecil Pilkada, Presiden meminta tidak ada pihak yang
mencampuradukkan politik dan agama. “Dipisah betul, sehingga rakyat tahu
mana yang agama, mana yang politik,” kata Jokowi (Kompas.com,
24/3/2017).
Meskipun setelah muncul protes dari banyak tokoh Islam lalu kemudian
Presiden Jokowi meralat pidatonya ini pada keterangan berikutnya. Namun
yang jelas, aroma kepentingan politik dalam menetapkan Barus sebagai titik
nol Islam Nusantara sudah terlanjut terbaca dengan baik oleh publik. Apalagi,
saat itu juga sedang berlangsung proses suksesi Pilkada DKI Jakarta, di
mana partai politik yang menaungi Presiden Jokowi, yaitu PDIP, merupakan
partai utama yang mengusung Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta. Dan, Ahok
lalu diprotes oleh umat Islam dengan aksi unjuk rasa besar-besaran karena
terbukti melakukan penistaan agama Islam.
Sangat sulit diingkari bahwa kebijakan Presiden Jokowi soal Barus tidak
terkait dengan kepentingan politik, baik untuk skala ibu kota dan wilayah
lainnya, atau bahkan juga untuk kepentingan Pilpres 2019 nanti. Kesimpulan
bacaan saya seperti ini kemudian semakin meyakinkan saya setelah
mendengar pemaparan para narasumber pada Seminar Nasional di
Pascasarjana UIN Ar-Raniry beberapa waktu lalu, yang menyimpulkan bahwa
ada kepentingan ideologi politik dalam kebijakan Barus sebagai titik nol Islam
Nusantara.
Kebijakan tersirat yang terbaca, umat Islam hendak diarahkan untuk tidak
menempatkan Islam sebagai parameter dalam mengambil kesimpulan dan
kebijakan politik, sehingga partai-partai sekuler semakin mudah meraih
kekuasaan di republik ini yang berakibat Islam dan kaum muslimin semakin
terpinggirkan.
Di sini, Barus hendak dijadikan sebagai landasan historis dan referensi
“gerakan politik tanpa agama” dengan mencoba menyandarkan pemikiran
tersebut ke Teo-sufisme yang berkembang di Barus saat itu, meskipun
sandaran itu juga tidak tepat. Jika Barus dulu adalah bagian dari Aceh, maka
harus dipahami bahwa sejarah ideologi politik Aceh adalah tercermin dalam
kitab Mir’atutullab karya Syiah Kuala yang mengintegrasikan Islam dan politik.
Dan, di masa Syiah Kuala (sebagai Qadhi Malikul `Adil), Aceh menjadi “kiblat”
peradaban muslim Melayu. Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber:
http://aceh.tribunnews.com/2017/08/10/membaca-hasrat-politik-islam-nusantara/
Senin 21 Agustus 2017 | 14:49
Download