bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wilayah
Indonesia
dikenal
sebagai
wilayah
yang
mempunyai
keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, baik di darat maupun di laut.
Selain
memiliki
keanekaragaman
hayati
yang
sangat
tin
ggi, ekosistem sumber daya perairan laut di wilayah pesisir juga sangat
produktif. Namun dibalik potensi tersebut, pembangunan atau aktivitas
manusia dalam pemanfaatan sumber daya alam di wilayah pesisir sering tidak
ramah lingkungan. Tingginya keanekaragaman hayati tersebut tidak lepas dari
kondisi geofisik dan letak geografis perairan Indonesia. Indonesia adalah
Negara kepulauan terbesar di Dunia, sekitar 17.508 buah pulau yang
membentang sepanjang 5.120 km dari timur ke barat sepanjang katulistiwa
dan 1.760 km dari utara ke selatan. Negara Indonesia memiliki luas daratan
mencapai sekitar 1,9 juta km2 dan luas perairan laut tercatat sekitar 7,9 juta
km2. Negara Indonesia mempunyai panjang garis pantai sekitar 81.791 km,
yang merupakan pantai terpanjang kedua di seluruh dunia setelah Canada.
Panjangnya perairan dangka ini memungkinkan tumbuh subur dan tingginya
keanekaragaman jenis ekosistemnya. Organisme-organisme ini tersebar ke
seluruh sub-sistem yang ada di ekositem perairan pesisir laut tropis,
diantaranya adalah estuaria, hutan pantai atau mangrove, padang lamun dan
terumbu karang yang mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi
(Supriharyono, 2009).
Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Wilayah pesisir dibatasi oleh batas sejajar pantai (longshore) dan batas tegak
lurus terhadap garis pantai (cross-shore) jika dilihat dari garis pantai
(coastline). Hal ini menyebabkan di wilayah pesisir terjadi interaksi unsur
alam yaitu daratan, lautan dan atmosfer. Kondisi oseanografi di wilayah ini
1
berlangsung secara intensif seperti terjainya pasang surut, salinitas, suhu,
angin dan gelombang (Alikodra, 2012).
Wilayah pesisir dan lautan Indonesia kaya dengan sumber daya alam baik
terbarukan seperti terumbu karang dan mangrove maupun tidak terbarukan
seperti minyak dan gas serta mineral lainnya. Selain itu, wilayah pesisir dan
laut menjadi pusat pengembangan kegiatan perikanan, industri, pelabuhan
dan pelayaran, pariwisita, pemukiman, dan tempat penampungan limbah dari
segenap aktivitas manusia, baik yang berada didalam sistem wilayah pesisir
maupun berada diluarnya (lahan atas dan laut lepas) (Bengen, 2004).
Sumberdaya pesisir Indonesia merupakan pusat biodiversity laut tropis
terkaya di Dunia, 30% hutan mangrove dunia ada di Indonesia. Hutan
mangrove tersebut sebagian besar telah rusak. Kerusakan hutan mangrove
secara umum disebabkan penebangan untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga, di konversi untuk tambak dan lokasi pemukiman penduduk dan lokasi
industri, dermaga atau pelabuhan, perahu dan kapal. Akibat yang timbul
adalah penurunan luas mangrove serta hilang fungsi fisik, biologi dan
ekonomi hutan mangrove. Dampak yang sangat jelas saat ini adalah abrasi
dan akresi pantai, penurunan kualitas air, hilangnya habitat organisme air,
penurunan produktivitas perairan di sekitarnya dan penurunan pendapatan
nelayan (Ira, 2014).
Kerusakan sumber daya alam di wilayah pesisir disebabkan oleh
pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali. Ada beberapa aktivitas
manusia
yang diketahui
sangat
berpotensi
menyebabkan kerusakan
lingkungan di wilayah pesisir dan laut. Aktivitas yang bersifat langsung, yaitu
langsung merusak ekosistem sumber daya alam di wilayah pesisir, misalnya
penangkapan ikan,dengan menggunakan bahan peledak, pengerukan dasar
alur pelayaran, pembuangan jangkar perahu perahu di daerah daerah karang,
pengambilan karang untuk bahan bangunan, dan/atau hiasan akuarium
(aquarium trade), dan tidak langsung, yaitu melalui limbah bahan sisa
produksi yang di buang ke lingkungan wilayah pesisir. Limbah buangan
2
tersebut dapat mencemari lingkungan sumber daya alam, khususnya hayati di
wilayah pesisir (Supriharyono, 2009).
Dalam Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove Buku II,
Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis tertinggi di
dunia. Flora mangrove dunia terdiri atas 20 famili, 30 genus, dan lebih kurang
80 spesies. Sementara jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan
mangrove Indonesia sekitar 89 jenis yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis
terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Saru,
2014).
Kerusakan ekosistem mangrove disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor
alami dan buatan manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor alami
diantaranya badai topan, tsunami. Sedangkan faktor buatan adalah aktivitas
manusia terkait konversi lahan mangrove, penebangan, pencemaran daerah
aliran sungai maupun pencemaran laut (Nybakken, 1998). Kerusakan
ekosistem mangrove berdampak pada berkurangnya areal ekosistem
mangrove, erosi dan abrasi pantai, terbatasnya areal rehabilitasi, dan
mengancam pertumbuhan mangrove. Degradasi luasan mangrove cenderung
mempengaruhi laju penurunan kualitas lingkungan perairan dan tingkat
ketersediaan sumber daya perairan pesisr dan laut lepas, termasuk sektor
pertanian tangkap dan perikanan budidaya. (Saru, 2014).
Indonesia merupakan salah satu produsen timah terbesar di dunia dan
sebagai sepertiga pemasok timah global. Indonesia menghasilkan sekitar
106.000 ton timah balok sejak awal 2013 hingga Agustus 2013. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa sumberdaya timah masih cukup besar, yaitu
sekitar 1 juta ton, sedangkan cadangan timah yang dinyatakan layak tambang
berjumlah 276.147 ton, terdiri dari 130.219 ton di darat dan 145.929 ton di
laut (Anonim, 2008). Data USGS Mineral Commodity Summaries 2011,
timah di indonesia di ekspor ke Singapura sekitar 58%. Indonesia memiliki
jumlah cadangan ekonomis (cadangan layak tambang) timah terbesar kedua
di dunia setelah China, sebanyak 800.000 ton, atau 15% dari jumlah cadangan
ekonomis timah di seluruh dunia. Cadangan timah yang paling melimpah di
3
Indonesia terletak pada suatu bentangan wilayah dengan luas daerah lebih
dari 800 kilometer persegi yang disebut sebagai Sabuk Timah Indonesia
(Indonesian Tin Belt), pada daratan dan perairan di bagian barat Indonesia,
khususnya di Kepulauan Bangka Belitung. (Anonim, 2010)
Penambangan timah merupakan aktifitas yang sudah mengakar pada
kehidupan masyarakat di Bangka Belitung, kegiatan penambangan timah
dimulai lebih dari 300 tahun yang lalu. Kegiatan penambangan berlangsung
baik di darat maupun lepas pantai, termasuk di kawasan hutan lindung dan
hutan produksi serta laut yang memiliki ekosistem yang penting. Kegiatan
penambangan timah di Bangka Belitung dilakukan oleh perusahaan PT Timah
dan tambang masyarakat yaitu produsen-produsen skala kecil dan
penambangan secara manual. Pada saat ini, ada sekitar 15.000 hingga 50.000
penambang timah inkonvensional (Anonim, 2013).
Pertambangan timah lepas pantai di provinsi kepulauan Bangka Belitung
berdampak pada ekosistem perairan. Saat ini ada sekitar 350.000 km persegi
terumbu karang yang merupakan rumah bagi berbagai jenis karang, ikan
karang, moluska, udang dan kepiting (kelompok besar artropoda),
echinodermata, rumput laut, dan beberapa spesies kura-kura di sebelah timur
Bangka dan Belitung mengalami kerusakan. Dalam hasil Penelitian tahun
2010,
Dua puluh spesies mangrove dahulu menempati 122.000 hektar
kawasan laut di Provinsi Bangka Belitung, populasinya telah menurun hingga
70%. Pada tahun 2010 Provinsi ini mempunyai 335.864 hektar kawasan
konservasi, dimana dua pertiganya merupakan kawasan hutan lindung.
Kawasan konservasi ini tersebar di hampir semua wilayah Bangka. Sementara
aktivitas pertambangan timah berlangsung di seluruh wilayah Pulau Bangka,
khusunya Kabupaten Bangka (Anonim, 2013). Penambangan di Bangka
Belitung, dilakukan baik secara legal maupun ilegal oleh masyarakat.
Penambangan timah sebelumnya di lakukan di wilayah darat sekarang sudah
merambah kelaut mengingat kondisi dataran Bangka Belitung yang
menyisakan kolong-kolong bekas tambang. Akibatnya, ekosistem-ekosistem
penunjang wilayah pesisir seperti terumbu karang, rumput laut, padang
4
lamun, biota-biota laut bahkan hutan mangrove tidak dapat berkembang
dengan baik (Sari dan Rosalina, 2014).
Penambangan timah lepas pantai memiliki dampak langsung, karena
mekanisme dalam penambangan ini adalah dengan membuang langsung
limbah hasil penambangan ke perairan. Penambangan timah lepas pantai
dibedakan antara penambangan yang dilakukan dengan menggunakan kapal
keruk, kapal isap dan TI apung masyarakat. Penambangan yang dilakukan
oleh masyarakat dapat menimbulkan dampak terhadap kerusakan lingkungan.
Berdasarkan Permen LH No. 05 Tahun 2012 tentang jenis rencana usaha
dan/atau kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan
hidup menyebutkan bahwa semua sebaran penambangan di laut berpotensi
menimbulkan dampak berupa perubahan ekosistem pesisir dan laut,
mengganggu alur pelayaran dan proses-proses alamiah di daerah pantai
termasuk menurunnya produktivitas kawasan yang dapat menimbulkan
dampak sosial, ekonomi dan kesehatan terhadap nelayan dan masyarakat
pesisir.
B. Permasalahan Penelitian
Luas hutan mangrove di kawasan Pesisir Bangka Belitung mencapai
273.692,81 Ha, dengan sebaran masing-masing Kabupaten, yaitu Bangka
(38.957,14 Ha), Bangka Barat ( 48.529,43 Ha), Bangka Selatan (58.165,04
Ha), Bangka Tengah (19.150,86 Ha), Belitung (65.658,06 Ha), Belitung
Timur (43.232,28 Ha). Sumber daya pesisir ini sudah di eksploitasi secara
berlebihan, mengakibatkan kawasan mangrove mengalami kerusakan.
Kerusakan ini merupakan dampak dari pertambangan timah di kawasan
pesisir, bahkan ke perairan laut. Hutan mangrove Bangka Belitung saat ini
sekitar 42,83% atau seluas 117.229,29 Ha dalam kategori rusak berat,
sedangkan rusak sedang seluas 87.238,69 Ha atau 31,87% (Siburian, 2016).
Timah telah ditambang di bumi Pulau Bangka lebih dari 300 tahun yang
lalu. Berawal dari daratan kini penambangan timah mulai beralih ke laut
5
Pulau Bangka. Menteri Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan
keputusan yang tidak lagi mencantumkan kata ‘timah’ dalam daftar barangbarang ekspor yang diawasi atau diatur pemerintah (Keputusan Menperindag
No. 146/MPP/Kep/4/1999 tanggal 22 April 1999). Keputusan ini berimplikasi
bahwa siapapun berhak memasarkan timah. Hal ini kemudian diikuti dengan
dikeluarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2001 yang pada dasarnya
memberi akses kepada masyarakat Bangka untuk menambang (Erman, 2010).
Penambangan timah lepas pantai tanpa kontrol yang baik dapat
menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove, ditinjau dari fungsi ekologis
dan manfaat hutan mangrove yang telah diketahui, (antara lain sebagai tempat
pemijahan ikan, pelindung daratan dari abrasi oleh ombak, pelindung dari
tiupan angin, penyaring intrusi air laut ke daratan, dan sebagai habitat satwa)
maka perlu di lakukan penelitian terkait seberapa besar pengaruh
penambangan timah tersebut terhadap karateristik habitat mangrove di sekitar
tambang timah lepas pantai di kabupaten Bangka Selatan. Beberapa
pertanyaan terkait habitat mangrove di sekitar tambang timah lepas pantai,
yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah nilai parameter habitat mangrove di sekitar pertambang timah
lepas
pantai berbeda
dengan habitat
mangrove tanpa aktivitas
pertambangan timah lepas pantai?
2. Seberapa besar kandungan logam yang ada di perairan pada habitat
mangrove dengan aktivitas pertambang timah lepas pantai dan mangrove
tanpa aktivitas pertambang timah lepas pantai?
C. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang kegiatan pertambangan timah rakyat dengan fokus
yang sama belum pernah dilakukan. Penelitian dengan permasalahan
bebrbeda tentang kegiatan pertambangan timah telah beberapa kali dilakukan,
berikut perbandingan antara penelitian ini dengan beberapa penelitian yang
pernah dilakukan diantaranya sebagai berikut :
6
Tabel. 1. Penelitian terdahulu
No
1
2
Nama, Tahun
Zainal
Arifin, 2011
Judul
Konsentrasi
Logam
Berat di Air, Sedimen
dan Biota di Teluk
Kelabat, Pulau Bangka
N. M. Heriyanto, Kandungan
Logam
Sri Suharti, 2013 Berat Dan Plankton
Pada
Ekosistem
Tambak Bermangrove
Dan Tambak Tanpa
Mangrove
Komponen Pembanding
Fokus
Hasil
Menduga nilai konsentrasi logam
 Konsentrasi Pb, Cd, Cu dan Zn di Teluk
Kelabat jauh lebih rendah dibandingkan
berat (Pb, Cd, Cu, Zn) di perairan
kriteria kualitas air bagi perlindungan biota
dan biota dalam kaitanya dengan
laut sehingga masih dalam kondisi baik untuk
kesehatan lingkungan.
kehidupan biota.
 Konsentrasi Pb, Cu dan Zn di sedimen 12
Teluk Klabat bagian dalam dua kali lipat
lebih tinggi dibanding teluk klabat bagian
luar.
 Konsentrasi residu logam berat pada jaringan
siput gonggong telah melampaui batas
maksimum residu Pb dan Cd, sedangkan
kerang darah melebihi batas maksimum
residu Cd.
Memperoleh informasi besarnya Akumulasi Pb (timah), Cu (tembaga), dan As
kandungan
logam
berat
dan (arsen) pada jenis Avicenia marina (Forsk.)
keanekaragaman jenis plankton pada Vierh. terbesar di bagian daun, Zn (seng) dan
ekosistem tambak bermangrove dan Hg (merkuri) pada bagian akar. Akumulasi
tambak tanpa mangrove di Tegal kelima zat pencemar (Cu, Hg, Pb, Zn, dan As)
Tangkil, Cikiong, Poponcol, KPH terbesar pada substrat tambak yang tidak
Purwakarta dan Kedung Peluk, bermangrove, Cu dan Zn tertinggi sebesar
Kabupaten Sidoarjo.
650,31 ppm di Tegal Tangkil dan 845,24 ppm
di Poponcol.
7
3
Arif
Febrianto Pengaruh Logam Berat
dan Kurniawan, Pb Limbah Aktivitas
2014
Pertambangan
Timah
Terhadap Kualitas Air
Laut
di
Wilayah
Penangkapan
CumiCumi
Kabupaten
Bangka Selatan.
4
Endang Juwita1, Kondisi Habitat Dan
Kadarwan
Ekosistem Mangrove
Soewardi
dan Kec. Simpang Pesak,
Yonvitner, 2015
Belitung Timur Untuk
Pengembangan Tambak
Udang
Mengetahui pengaruh logam berat pb  Rata-rata nilai Pb di perairan yang terdapat
limbah aktivitas pertambangan timah
kegiatan penambangan yaitu sebesar 0,11
terhadap kualitas air laut di wilayah
mg/L yang berada di atas baku mutu Pb pada
penangkapan cumi-cumi kabupaten
air laut untuk biota laut.
bangka selatan.
 Kandungan Pb di wilayah terdapat kegiatan
penambangan
timah
lebih
tinggi
dibandingkan dengan wilayah yang tidak
terdapat penambangan timah.
 Aktifitas penambangan dapat mempengaruhi
jumlah hasil tangkapan cumi-cumi Kabupaten
Bangka Selatan.
Mengkaji kondisi habitat dan Kualitas air seperti salinitas 28–30, suhu 27–36
ekosistem mangrove berdasarkan o C, pH 7–7,5, kecerahan 50–70, TSS 11–85
kualitas perairan, tanah, dan vegetasi mg/L dan kekeruhan 0,91–46,00 NTU, yang
mangrove serta kondisi sosial rata-rata tidak melebihi ambang batas baku
ekonomi masyarakat
mutu, sedangkan kualitas tanah yaitu tekstur
tanah (liat berpasir), pH tanah 4,8–6,8 dan
bahan organik tanah 9–13% juga menunjukkan
nilai yang tidak lebih dari ambang batas.
Kondisi mangrove dengan kisaran INP 28,3069,94 menunjukkan mangrove yang berperan
dalam ekosistem tersebut dan dalam status
mutu baik yang didukung dengan kerapatan
460 pohon/ha.
8
D. Tujuan Penelitian
Mengacu pada latar belakang penelitian dan rumusan masalah, maka
penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui perbedaan karakteristik habitat mangrove di kawasan
mangrove tanpa aktivitas pertambangan timah lepas pantai dan mangrove
dengan aktivitas pertambangan timah lepas pantai.
2. Mengetahui kandungan logam di perairan pada wilayah mangrove tanpa
aktivitas pertambangan timah lepas pantai dan mangrove dengan
aktivitas pertambangan timah lepas pantai.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi kalangan
akademis, praktis dan masyarakat sebagai berikut :
1. Akademis : menambah ilmu pengetahuan terkait habitat dan ekosistem
mangrove di wilayah tambang lepas pantai.
2.
Praktis : sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan wilayah pesisir
yang memiliki sumberdaya untuk penambangan dan perikanan sehingga
pemanfaatan wilayah dapat menguntungkan berbagai elemen masyarakat
dan ekonomi daerah.
3. Masyarakat : sebagai bahan informasi dalam pemanfaatan kawasan yang
lebih memperhatikan fungsi ekologis ekosistem mangrove.
9
F. Kerangka Penelitian
Ekosistem Mangrove
Karakteristik habitat ekosistem
Mangrove yang terdapat
aktivitas pertambangan
Parameter Biotik
- Vegetasi jenis
- Kerapatan pohon
mangrove
- Indeks
Keanekaragaman
Jenis
- Plankton
Karakteristik Habitat ekosistem
Mangrove tidak terdapat
aktivitas pertambangan
Parameter Abiotik
- Ketebalan lumpur
- Salinitas
- Suhu
- PH
- Oksigen terlarut
Kandungan
logam berat di
air
Analisis Data & Baku Mutu Kemen LH No 51 tahun 2004
Kesimpulan
Gambar 1. Kerangka Penelitian
10
Download