Kebijakan Penataan Ruang dan Alih Fungsi Lahan

advertisement
39
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1
Profil Kelurahan Mulyaharja
4.1.1 Keadaan Umum Kelurahan Mulyaharja
Kelurahan Mulyaharja, demikian komunitas yang tinggal menyebut lokasi
penelitian ini1. Pada bulan September 1995 sebelum ditetapkannya Mulyaharja
sebagai suatu kelurahan, wilayah ini mengalami pengembangan wilayah ke arah
bentuk perkotaan. Namun perubahan status desa menjadi kelurahan, baru disahkan
dan disandangnya 2001. Hal ini memperlihatkan bahwa pemekaran desa menjadi
bentuk kelurahan merupakan modus operandi pemerintah daerah untuk
mengambil alih lahan. Kelurahan Mulyaharja merupakan salah satu dari 16
kelurahan yang terdapat di Kecamatan Bogor Selatan. Berdasarkan data potensi
desa bulan Maret tahun 2009, luas wilayah kelurahan ini mencakup areal tanah
seluas + 477.005 hektar. Secara geografis batas-batas wilayah ini adalah:
1) sebelah utara
:
Kelurahan Cikaret dengan dibatasi Sungai
Cibereum.
2) sebelah selatan
:
Desa Sukahardja, Kecamatan Cijeruk,
Kabupaten Bogor.
3) sebelah timur
:
Kelurahan Pamoyanan, Kecamatan Bogor
Selatan, Kota Bogor dibatasi oleh Sungai
Cipinang Gading dan Sungai Cilansir.
4) sebelah barat
:
Desa Sukamantri, Kecamatan Tamansari,
Kabupaten Bogor.
Secara geografis dapat pula lokasi ini dilihat dalam lampiran. Kelurahan
Mulyaharja mempunyai ketinggian 420 meter di atas permukaan laut (dpl).
Topografi seperti ini termasuk dataran tinggi dengan curah hujan 3.500 hingga
4.000 mili meter per tahun (333,305 ha) dan 4.001 hingga 4.500 mili meter per
tahun (143,70 ha) serta suhu rata-rata harian 15-25 derajat celcius. Menurut Badan
Pusat Statistik (BPS) tahun 2009, proporsi luasan tanah di Mulyaharja dapat
1
Secara harfiah, Mulyaharja berasal dari kata mulya dan harja. Mulya berarti baik dan harja
berarti hati. Sehingga jika digabungkan memiliki arti hati yang baik.
40
diklasifikasi menurut kemiringan atau lereng antara lain adalah 321,16 hektar
(landai), 82,64 hektar (agak curam), dan 75,20 hektar (curam). Sementara itu,
klasifikasi proporsi luasan tanah menurut kedalaman efektifnya antara lain 11,88
hektar (agak dalam), 49,15 hektar (dalam), dan 417,97 hektar (sangat dalam).
Sedangkan klasifikasi proporsi luasan tanah menurut teksturnya, antara lain
418,21 hektar (halus), 49,10 hektar (sedang), dan 11,69 hektar (agak kasar).
Kelurahan Mulyaharja juga berada di bawah kaki Gunung Salak. Jarak
Kelurahan Mulyaharja dari kecamatan adalah 7 kilometer, sedangkan jarak dari
pusat Kota Bogor adalah 7 kilometer. Jika dihitung dari Ibukota Provinsi, jarak
Kelurahan Mulyaharja adalah 130 kilometer, sedangkan jika dihitung dari ibukota
negara adalah 70 kilometer. Kelurahan Mulyaharja termasuk dalam lingkup
wilayah kota satelit II yang berfungsi sebagai pendorong pengembangan kawasan
perkotaan Jakarta, simpul pelayanan dan jasa perkotaan, dan sektor perdagangan
dan jasa, serta industri padat tenaga kerja. Pada intinya, berfungsi sebagai daya
dukung kota Jakarta, yakni salah satu daerah pemasok bahan makanan, tenaga
kerja maupun jasa lainnya selain Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.
Lazimnya pemandangan umum yang ditemukan di kelurahan-kelurahan,
Mulyaharja merupakan sebuah kelurahan yang terletak di pinggiran pusat kota.
Pemandangan umum yang terlihat saat ini merupakan hasil suatu perubahan,
yakni pada awalnya lahan disana didominasi oleh hamparan pertanian yang luas
dan kini berganti menjadi hamparan permukiman penduduk terutama dimiliki oleh
pengembang (swasta). Nuansa kehidupan kekotaan nampak terlihat di tempat ini,
ada jalan raya aspal beton (hotmix) menuju kota, ada telepon, dan jaringan listrik.
Fasilitas listrik baru dapat dirasakan empat hingga lima tahun terakhir. Selain itu,
fasilitas jalan juga telah dirasakan oleh penduduk, namun kondisi jalan di
sebagian kampung tidak sebagus kondisi jalan utama menuju kota yang telah
beraspal. Sementara itu, akses terhadap pelayanan dan informasi lebih mudah
diakses oleh masyarakat yang bertempat tinggal di dekat Kelurahan Mulyaharja
dan yang berada di pinggiran jalan (kota) dibandingkan dengan penduduk yang
masih “kampung” (jauh dari kantor kelurahan).
41
Luas lahan pertanian (sawah dan ladang) di Kelurahan Mulyaharja yang
tersisa saat ini adalah seluas 135 hektar. Areal lahan pertanian yang tersisa
tersebut dimanfaatkan oleh para petani seefektif mungkin untuk menanam padi
dan tanaman palawija. Sementara lokasi lainnya telah berubah fungsi menjadi
permukiman.
4.1.2 Kondisi Demografi
4.1.2.1 Penduduk
Penduduk yang berdomisili di Kelurahan Mulyaharja sebagian besar
merupakan kelompok etnis Sunda. Perilaku kehidupan masyarakat sendiri
sebagian masih bersifat pedesaan tetapi tata kehidupan secara umum telah
dipengaruhi oleh pola hidup modern. Penduduk Kelurahan Mulyaharja
berdasarkan data terakhir (Maret, 2009) adalah 13.366 jiwa yang terdiri dari 7.002
jiwa laki-laki dan 6.364 jiwa perempuan, sebuah angka yang relatif besar untuk
sebuah kelurahan. Sementara itu, jumlah Kepala Keluarga (KK) yakni terdiri dari
2709 KK laki-laki dan 182 KK perempuan dengan jumlah keseluruhan adalah
sebanyak 2.891 KK. Mereka terkelompokkan ke dalam 12 Rukun Warga (RW)
dan 55 Rukun Tetangga (RT). Dari total jumlah penduduk yang ada, sebanyak
7.261 jiwa penduduk tergolong dalam usia kerja produktif (16-54 tahun). Dapat
diketahui pula bahwa penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani ialah
sebanyak 500 jiwa atau sebesar 3,74 persen (dihitung dari total jumlah penduduk).
Penduduk yang berada di Kelurahan Mulyaharja terdiri dari penduduk asli
dan pendatang. Baik penduduk asli dan pendatang memiliki kepercayaan yang
dianutnya masing-masing. Agama yang dominan dipeluk oleh warga adalah
agama Islam, yaitu dipeluk sebanyak 12.909 jiwa. Pemeluk agama Islam ini
umumnya adalah warga asli Mulyaharja. Adapun agama Kristen dipeluk oleh 300
jiwa, agama Katholik dipeluk oleh 120 jiwa, agama Hindu dipeluk oleh 25 jiwa,
agama Budha dipeluk oleh 15 jiwa, dan agama Khonghucu dipeluk oleh 12 jiwa.
42
4.1.2.2 Pendidikan
Penduduk Kelurahan Mulyaharja menurut tingkat pendidikan dapat dilihat
pada Tabel 3, yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk berdasarkan tingkat
pendidikan di Kelurahan Mulyaharja saat ini adalah SD (74,17%), SMP (10,37%),
SMA (13,26%), dan Akademi (2,19%). Presentasi angka tersebut mengalami
kenaikan dan penurunan selama enam tahun terakhir ini (tahun 2003-2009).
Penurunan angka presentasi terlihat pada tingkat pendidikan SMP, yakni dari
17,56 persen ke 10,37 persen. Selain itu, penurunan juga terjadi pada tingkat
pendidikan akademi, yakni dari 2,35 persen ke 2,19 persen. Peningkatan
pendidikan terdapat pada tingkat pendidikan SD, yakni dari 69,15 persen ke 74,17
persen serta pada tingkat pendidikan SMA, yakni dari 10,89 persen ke 13,26
persen. Peningkatan angka presentasi tersebut menunjukkan adanya peningkatan
jumlah warga yang berpendidikan dan sebaliknya penurunan angka presentasi
tersebut menunjukkan adanya penurunan jumlah warga yang berpendidikan. Hal
ini disebabkan oleh dinamika kesejahteraan dan jumlah penduduk.
Tabel 3 Jumlah Angkatan Kerja Penduduk Kelurahan Mulyaharja Menurut
Tingkat Pendidikan Tahun 2009
Tingkat Pendidikan
Tahun 2009
Jumlah
Persentase
(Jiwa)
(%)
SD/Sederajat
6.435
74,17
SMP
900
10,37
SMA
1.150
13,26
Akademi
190
2,19
Total
8675
100,00
Sumber: Data Monografi Kelurahan Mulyaharja (2003 dan 2009)
Tahun 2003
Jumlah
Persentase
(Jiwa)
(%)
870
69,15
221
17,56
137
10,89
30
2,35
1.258
100,00
4.1.2.3 Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan yang dimaksud disini adalah pekerjaan yang digeluti oleh
warga, dimana berfungsi sebagai mata pencaharian. Data yang terdapat pada
Tabel 4 menunjukkan klasifikasi tenaga kerja menurut usia dan jenis kelamin.
Jumlah penduduk laki-laki usia 18 hingga 56 tahun yang sudah bekerja, usia 0
hingga 6 tahun, yang masih sekolah usia 7 hingga 18 tahun, dan angkatan kerja
lebih tinggi di bandingkan jumlah perempuannya. Sementara itu, jumlah
43
penduduk laki-laki usia 18 hingga 56 tahun yang belum bekerja lebih rendah
dibandingkan jumlah perempuannya.
Tabel 4 Klasifikasi Tenaga Kerja Menurut Usia dan Jenis Kelamin Tahun 2009
Tenaga Kerja
Laki- Laki
(Jiwa)
Penduduk usia 18-56 tahun
3.135
Penduduk usia 18-56 yang bekerja
1.881
Penduduk usia 18-56 tahun yang belum atau 1.254
tidak bekerja
Penduduk usia 0-6 tahun
1.293
Penduduk masih sekolah 7-18 tahun
1.816
Penduduk usia 56 tahun ke atas
758
Angkatan kerja
3.135
Jumlah
7.002
Jumlah total
Sumber: Data Monografi Kelurahan Mulyaharja (2009)
Perempuan
(Jiwa)
3.033
909
2.124
1.172
1.587
572
3.033
6364
13.366
Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 5, terlihat bahwa mayoritas
penduduk Mulyaharja 2009 adalah karyawan swasta 1.775 jiwa (62,87%).
Padahal pada 2003, mayoritas penduduk Mulyaharja adalah petani dan buruh tani
yakni sebanyak 1.321 jiwa (42,82%). Urutan kedua mata pencaharian penduduk
pada 2009 adalah petani dan buruh tani, yakni sebanyak 500 jiwa (17,71%). Hal
ini mengindikasikan terjadinya pergeseran bahwa pertanian bukan lagi mata
pencaharian utama bagi penduduk Mulyaharja. Selanjutnya mata pencaharian
lainnya pada 2009, secara berurutan adalah pegawai negeri sipil/TNI/POLRI
sebanyak 222 jiwa (7,86%), pedagang sebanyak 122 jiwa (4,32%), industri kecil
sebanyak 114 jiwa (4,03%), pensiunan PNS/TNI/POLRI sebanyak 45 jiwa
(1,59%), jasa lainnya sebanyak 40 jiwa (1,41%), dan karyawan BUMN sebanyak
5 jiwa (0,17%).
44
Tabel 5 Jumlah Penduduk Kelurahan Mulyaharja Berdasarkan Mata Pencaharian
Tahun 2009.
No.
Mata Pencaharian
Tahun 2009
Jumlah
Persentasi
(Jiwa)
(%)
Karyawan
a. Pegawai
Negeri
222
7,86
Sipil/TNI/POLRI
b. Pensiunan PNS/TNI/POLRI
45
1,59
c. Perusahaan
Pemerintah
5
0,17
(BUMN)
d. Swasta
1775
62,87
2.
Pedagang
122
4,32
3.
Tani dan Buruh Tani
500
17,71
4.
Industri Kecil (Rumah Tangga)
114
4,03
5.
Sektor Peternakan
6.
Pertukangan
7.
Angkutan
8.
Jasa lainnya
40
1,41
Total Usia Kerja
2823
100,00
Sumber: Data Monografi Kelurahan Mulyaharja (2003 dan 2009)
Tahun 2003
Jumlah
Persentasi
(Jiwa)
(%)
1.
84
2,72
32
-
1,03
-
18
87
1.321
754
550
95
75
69
3.085
0,83
2,82
42,82
24,44
17,82
3,07
2,43
2,22
100,00
Secara khusus untuk penduduk asli Mulyaharja, mata pencaharian yang
dominan digeluti adalah industri kecil yang mulai masuk tahun 1990-an. Industri
kecil yang dimaksud disini adalah usaha rumah tangga atau industri rumah tangga
(home industry), yakni membuat sandal dan sepatu. Hasil dari rumah produksi
sandal dan sepatu ini dipasarkan di wilayah Bogor, luar Bogor, bahkan di ekspor
ke luar negeri. Para pengrajin sandal dan sepatu di Mulyaharja umumnya
tergabung dalam suatu kelompok pengrajin, dimana mereka mendapat bimbingan
dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor. Adanya bimbingan
tersebut dimaksudkan agar sumberdaya para pengrajin menjadi dapat diandalkan
dan pada gilirannya dapat membantu ekonomi lokal. Meskipun begitu, adanya
dominasi mata pencaharian pada sektor industri rumah tangga ikut menyumbang
ditinggalkannya lahan pertanian oleh masyarakat setempat. Selain itu, lapangan
kerja tersebut juga menyumbang dampak negatif bagi kehidupan sosial penduduk
Mulyaharja seperti banyak generasi muda yang putus sekolah (lebih tertarik
mencari uang daripada menuntut ilmu pengetahuan di sekolah formal).
Selain itu, Tabel 5 juga menunjukkan adanya variasi mata pencaharian,
yakni ada mata pencaharian yang ditemukan di tahun 2003 dan tidak ditemukan di
tahun 2009, begitu pun sebaliknya. Seperti mata pencaharian sebagai karyawan
perusahaan (BUMN) tidak ditemukan di tahun 2003, namun di tahun 2009
45
ditemukan. Sementara itu, mata pencaharian sektor peternakan, pertukangan, dan
angkutan tidak ditemukan di tahun 2009 namun ditemukan di tahun 2003. Hal ini
disebabkan adanya faktor jumlah penduduk (migrasi masuk dan keluar atau
kematian dan kelahiran) yang bermukim di Mulyaharja terus bervariasi dari tahun
ke tahun dan disebabkan pula oleh pendidikan serta orientasi penduduk terhadap
suatu mata pencaharian.
4.1.3 Sarana dan Prasarana Fisik
Adapun, sarana dan prasarana fisik yang tersedia di Kampung Cibereum
Sunting, dapat diidentifikasi dari beberapa bidang berikut ini:
Pertama, Bidang Pendidikan. Sarana untuk bidang pendidikan, antara lain
tersedia lima play group, satu TK (Taman Kanak-kanak), enam SD (Sekolah
Dasar)/sederajat, satu SMP (Sekolah Menengah Pertama), dan satu lembaga
pendidikan agama. Prasarana yang dipakai oleh kelimanya dimiliki sendiri dan
berada pada kondisi yang cukup layak. Selain itu, di Kelurahan Mulyaharja juga
tersedia satu perpustakaan keliling, satu perpustakaan kelurahan, dan satu taman
bacaan.
Kedua, Bidang Kesehatan. Penduduk Kelurahan Mulyaharja telah terbiasa
dengan pengobatan modern di rumah sakit, puskesmas maupun poliklinik. Di
Kelurahan Mulyaharja terdapat prasarana kesehatan yang antara lain adalah satu
unit puskesmas pembantu, satu unit poliklinik atau balai pengobatan, tiga belas
unit posyandu, satu unit toko obat, satu unit balai pengobatan masyarakat yayasan
atau swasta, dan satu unit kantor praktek dokter. Secara khusus posyandu
merupakan fasilitas untuk melayani pemeriksaan kesehatan para ibu hamil dan
anak balita (bawah lima tahun). Penduduk Kelurahan Mulyaharja hingga kini
masih mempercayai pengobatan alternatif ke dukun apabila pengobatan modern
tidak berhasil menyembuhkan penyakit mereka. Sementara itu, sarana kesehatan
yang ada, diantaranya dua orang dokter umum, satu orang paramedis, satu orang
dukun bersalin terlatih, dan satu orang dokter praktek.
Ketiga, Bidang Keagamaan. Untuk prasarana peribadatan, hanya terdapat
prasarana peribadatan bagi umat Islam (muslim) sementara peribadatan untuk
umat yang lainnya tidak ditemukan di Kelurahan Mulyaharja. Untuk prasarana
46
peribadatan yang telah terbangun adalah 26 buah masjid dan 42 buah
langgar/surau/mushala. Sarana peribadatan di masjid umumnya tergolong lengkap
sedangkan prasarana peribadatan di langgar/surau/mushala umumnya tergolong
kurang lengkap dan sebagian kondisinya memprihatinkan.
Keempat, Bidang Transportasi. Kondisi jalan utama menuju kota di
Kelurahan Mulyaharja telah beraspal, sementara sebagian gang-gang kecil pada
permukiman penduduk masih ada yang berupa jalan berbatu dan tanah meskipun
sebagian lagi sudah dibeton maupun telah menggunakan paving block. Alat
transportasi umum yang berkembang di wilayah ini adalah angkutan perkotaan
(angkot) dan ojek. Baik angkutan perkotaan (angkot) dan ojek beroperasi dari pagi
hingga malam hari. Untuk jumlah pemilik angkutan perkotaan sendiri adalah 58
orang dengan tenaga kerja yang mengemudikannya sebanyak 116 orang.
Kelima, Bidang Jasa dan Perdagangan. Untuk sektor jasa dan
perdagangan, jumlah warung serba ada sebanyak 50 unit dimana jumlah tenaga
kerja yang terserap sebanyak 60 orang. Jenis produk yang diperdagangkan adalah
jenis umum. Selain itu, terdapat pula usaha jasa gas, BBM, dan air. Jumlah unit
tiap usaha tersebut diantaranya sepuluh unit pengecer gas dan bahan bakar minyak
(menyerap 20 orang tenaga kerja) dan lima unit usaha air minum kemasan/isi
ulang (menyerap 5 orang tenaga kerja). Terdapat pula usaha jasa keterampilan,
antara lain tiga orang tukang kayu (menyerap 9 orang tenaga kerja), tiga orang
tukang jahit (menyerap 3 orang tenaga kerja), satu orang tukang besi (menyerap 3
orang tenaga kerja), lima orang tukang gali sumur, dan dua orang tukang pijat.
Keenam, Bidang Komunikasi. Jaringan telepon kabel telah diakses oleh
penduduk Kelurahan Mulyaharja. Demikian pula dengan komunikasi seluler
(handphone). Warga yang memiliki telepon seluler adalah mereka yang berada
pada strata menengah dan atas atau mereka yang berinteraksi dengan orang-orang
dari daerah lain. Hampir setiap rumah tangga terutama yang berada pada strata
menengah dan atas telah memiliki televisi, radio, tape, dan VCD player. Rumah
tangga strata menengah biasanya ditandai dengan antena UHF (Ultra High
Frequency)
sebagai pelengkap televisi.
Rumahtangga
menggunakan antena parabola sebagai pelengkap televisi.
strata
atas telah
47
4.2
Kampung Cibereum Sunting
4.2.1 Gambaran Kampung Cibereum Sunting
Cibereum Sunting, berasal dari kata ci yang berarti air dan bereum yang
berarti merah. Sementara sunting adalah nama yang digunakan untuk
membedakan bagian Kampung Cibereum yang lain. Menurut informan, terdapat
cerita turun menurun yang memberikan informasi terkait dengan asal mula nama
Cibereum Sunting, yakni adanya tragedi pembunuhan, kepala korban dipenggal
dan dibuang ke sungai. Lalu, sungai tempat kepala korban yang dibuang menjadi
berwarna merah karena darah dari kepala tersebut yang terus mengalir. Oleh
karena itu, para pendahulu kampung menamakan kampung ini dengan sebutan
Kampung Cibereum Sunting.
Secara administratif, Kampung Cibereum Sunting merupakan salah satu
kampung di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, dan terkena plotan
pengembangan kawasan perumahan. Akibatnya, lahan pertanian di Kampung
Cibereum menjadi beralih fungsi. Berdasarkan data potensi desa bulan Maret
2009, Kampung Cibereum Sunting ini terletak di RW 07 dengan luas wilayah
mencakup areal tanah seluas + 10 hektar. Secara geografis batas-batas wilayah ini
adalah:
1) sebelah utara
:
RW 8
2) sebelah selatan
:
RW 5
3) sebelah timur
:
Desa Kota Batu
4) sebelah barat
:
Warung Limus
4.2.2 Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Tani Kampung Cibereum
Sunting
Penduduk Kampung Cibereum Sunting berdasarkan data terakhir (Maret,
2009) terdiri dari 300 Kepala Keluarga (KK). Penduduk yang berada di Kelurahan
Kampung Cibereum Sunting terdiri dari penduduk asli dan pendatang. Baik
penduduk asli maupun pendatang memiliki kepercayaan yang dianutnya masingmasing. Agama yang dominan dipeluk oleh warga kampung adalah agama Islam.
Pemeluk agama Islam ini umumnya adalah warga asli kampung Cibereum
Sunting. Agama Kristen dominan dipeluk oleh warga pendatang. Sebagian besar
petani Kampung Cibereum Sunting menurut tingkat pendidikan adalah lulusan
48
Sekolah Dasar (SD). Hal ini menunjukkan rendahnya tingkat pendidikan petani.
Sementara itu, konstruksi bangunan rumah petani sebagian besar dapat
dikategorikan sederhana, terbuat dari batu bata dan ada juga yang terbuat dari
anyaman bambu dan kayu. Sarana mandi, cuci, dan kakus (MCK) sudah ada di
rumah masing-masing. Namun, tak ayal bagi masyarakat masih tetap saja
melakukan buang air besar di jamban umum.
Mayoritas petani yang terdapat di Kampung Cibereum Sunting ini adalah
petani pemilik-penggarap. Untuk petani penggarap dan buruh tani hanya sedikit
yang ditemui. Hal ini karena sebagian besar petani pemilik di Kampung Cibereum
Sunting menggarap lahan miliknya sendiri (tidak dilimpahkan kepada petani lain).
Bagi masyarakat tani, lahan memiliki peran penting dalam hal ekonomi. Di atas
tanah pertanian masyarakat tani menggantungkan kehidupannya. Bagi petani
miskin yang tidak memiliki keahlian lain selain bertani, walaupun hasil dari
bercocok tanam tidak menghasilkan panen yang berlimpah, paling tidak dapat
digunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, petani
merasa sudah cukup sejahtera dengan terpenuhinya kebutuhan pangan rumah
tangga melalui hasil bertani.
Petani menganggap dirinya tidak sejahtera atau merasa tidak cukup lagi
untuk memenuhi kebutuhan hidup, setelah masuknya swasta yang membangun
areal kompleks perumahan. Hal ini karena lahan pertanian yang dimiliki banyak
atau hampir secara keseluruhan tergasak (beralih fungsi) menjadi permukiman.
Akibatnya, lahan yang digunakan petani sebagai areal bercocok tanah pun
semakin sempit bahkan banyak yang kehilangan tanah pertanian. Implikasi lain
berdampak pula pada ketidakmampuan petani untuk memenuhi kebutuhan pangan
keluarga karena kehilangan sebagian bahkan seluruh lahan pertaniannya. Hal ini
sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak H. SSI (petani):
‘….mang enya abdi kenging ganti rugi ti pihak pengembang, tapi langkung ti eta, waktos
artos seep abdi teu kenging deui ngagaleuh kabutuhan pangan. Padahal, sateuacan
lahan di ical pikeun hirup sapopoe teu kedah rieut deui’.
‘….memang benar kami mendapat ganti rugi dari pihak pengembang, tetapi
lebih dari itu ketika uang habis, kami tidak dapat lagi membeli kebutuhan
pangan. Padahal sebelum lahan dijual, untuk hidup sehari-hari tidak usah
pusing lagi’.
49
4.2.3
Potret Agraria Lokal
Proses pembukaan lahan di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan
Mulyaharja berawal dari hutan yang dibuka oleh para leluhur. Kemudian tanahtanah itu dibagi dan dibatasi oleh patok-patok, seperti menggunakan batu,
tanaman, dan lain sebagainya. Pada saat itu kepemilikan luasan lahan bergantung
pada kemampuan untuk membuka lahan. Saat ini, kepemilikan luasan lahan
sebagian besar tidak lagi menggunakan patok berupa tanda alam melainkan
memakai pondasi dan paralon cor serta dilengkapi status hukum (surat
keterangan) berupa sertipikat, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), surat
bukti kepemilikan dari kelurahan/desa (letter C), serta segel.
Bukti kepemilikan lahan berupa SPPT merupakan bukti legalitas berupa
pembayaran pajak yang dilakukan warga tiap tahunnya. Sedangkan, letter c
adalah bukti pemilikan lahan dan bangunan yang dikeluarkan oleh kepala
desa/lurah berupa catatan riwayat pemilikan tanah. Baik SPPT dan letter c
memiliki kekuatan hukum yang lemah jika dibandingkan dengan bukti
kepemilikan berupa sertipikat yang dikeluarkan oleh kantor pertanahan setempat.
Sementara itu, aspek legalitas segel lebih tinggi satu tingkat daripada surat bukti
kepemilikan dari kelurahan/desa setempat. Namun, masih ada sebagian penduduk
yang hingga kini belum memiliki sertipikat atau bukti kepemilikan lainnya
sebagai bukti kepemilikan tanah. Hal ini karena penduduk merasa telah memiliki
pengakuan hak kepemilikan secara adat.
Pada dasarnya, walaupun pengakuan hak kemilikan secara hukum adat
yang dikenal dengan hukum normatif dapat diakui, namun secara tataran hukum
positif sebenarnya hal itu tidak dapat dibuktikan secara jelas. Selain itu, untuk
penduduk yang hanya memiliki bukti kepemilikan berupa SPPT atau letter c,
mereka beralasan bukti tersebut sudah cukup dijadikan sebagai bukti pemilikan
dalam melakukan transaksi jual beli dan mereka juga merasa biaya untuk
membuat sertipikat yang dikeluarkan oleh kantor pertanahan sangat mahal serta
mekanismenya dirasa rumit.
Penguasaan dan pengusahaan tanah yang dapat ditemui di Kelurahan
Mulyaharja ada beberapa jenis. Pertama, sistem pewarisan tanah yang terdapat di
Kampung Cibereum Sunting adalah menggunakan syariat Islam. Hal ini karena
50
sebagian besar penduduk menganut agama Islam. Berdasarkan informasi, aturan
pembagian waris tersebut adalah anak laki-laki memperoleh dua bagian,
sedangkan anak perempuan memperoleh satu bagian. Hal ini sesuai dengan
pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak H. CCC (petani):
‘ .....Ari di dinya mah upami bagi-bagi waris teh nganggo syariat Islam, ari
lalaki dua bagian lamun awewe mah ngan hiji bagian’.
‘….Kalau disini pembagian waris menggunakan syariat Islam, Laki-laki dua
bagian sedangkan perempuan hanya satu bagian’.
Kedua, sistem bagi hasil adalah sistem yang dominan disepakati oleh
penduduk Mulyaharja. Sistem bagi hasil yang dikenal oleh penduduk adalah
sistem maro dan mertelu. Sistem maro adalah sistem bagi hasil dimana proporsi
pembagiannya 50:50 untuk penggarap dan pemilik tanah. Sistem mertelu adalah
sistem bagi hasil dimana proporsi pembagiannya 66,66:33,33 untuk penggarap
dan pemilik tanah. Baik dalam sistem maro dan mertelu terdapat ketentuan bahwa
pemilik tanah hanya menyediakan faktor produksi tanah, sedangkan faktor
produksi lainnya harus disediakan oleh penggarap. Namun, baik maro dan mertelu
mulai jarang digunakan. Para petani pemilik memilih menggarap sendiri atau
menyewa orang untuk melakukan kegiatan tani.
Ketiga, sistem gadai adalah sistem yang digunakan pemilik untuk
mendapatkan uang yang cepat tanpa harus kehilangan hak atas tanah mereka.
Sistem ini sebenarnya jarang dilakukan oleh para petani. Adapun alasan dilakukan
sistem gadai adalah kondisi yang mendesak, seperti kebutuhan biaya pengobatan,
menikahkan anak (hajatan), serta luas kepemilikan tanah yang relatif sempit yang
tidak memungkinkan untuk digadaikan.
Sejak Kampung Cibereum Sunting dibuka, tanah-tanah yang ada
umumnya digunakan untuk areal pertanian (sawah dan ladang), permukiman
penduduk, dan jalan. Pola pemanfaatan lahan sawah dapat terlihat dari bagaimana
petani di kampung ini memanfaatkan tanah yang dimiliki untuk sawah. Biasanya
petani memanfaatkan sawah dengan dua hingga tiga kali masa tanam. Pola tanam
yang dikenal di desa ini adalah pola tanam monokultur (satu jenis tanaman saja)
dan pola tanam campuran (yakni menggilir padi ke tanaman palawija pada
51
musim-musim tertentu saja). Pola tanam yang dominan diterapkan oleh penduduk
Mulyaharja adalah pola tanam monokultur, yakni memanfaatkan secara optimal
lahan mereka dalam menanami padi.
Terjadi perubahan luas lahan yang dimiliki petani di Kampung Cibereum
Sunting, yakni luasan tanah pertanian yang dimiliki petani awalnya tergolong
sedang (0,5-0,99 ha) namun saat ini lahan pertanian petani tergolong sempit (0,010,49 ha). Hal ini disebabkan oleh adanya tekanan pertumbuhan penduduk, yakni
adanya pertambahan penduduk yang masuk di Kampung Cibereum Sunting dan
membutuhkan tempat tinggal untuk bermukim. Menurut informan, seiring
tingginya kebutuhan lahan untuk tempat tinggal, maka harga tanah pun semakin
melonjak tajam di Kampung Cibereum Sunting apalagi setelah masuknya
kontraktor yang ingin membangun areal kompleks perumahan (real estate). Hal
ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak H. UJP (petani):
‘…Saparantos lebetna para usahawan anu ngabangun komplek-komplek teh, hargi
taneuh janteun naek bertikeul-tikeul. Hargi taneuh per meterna janteun Rp.
50.000,00-Rp. 200.000,00 anu awalnya teh ngan Rp. 15.000,00-Rp.25.000,00 per
meter’.
‘…Setelah masuknya para usahawan yang membangun komplek-komplek, harga
tanah jadi naik berlipat ganda. Harga tanah per meternya jadi Rp. 50.000,00-Rp.
200.000,00 yang awalnya hanya Rp. 15.000,00-Rp.25.000,00 per meter’.
Proporsi pemanfaatan tanah untuk permukiman yang terus meningkat
menyebabkan pergeseran pengelolaan sumber agraria tanah di Kampung
Cibereum Sunting, yakni areal pertanian pun menjadi tergasak (alih fungsi lahan
pertanian) untuk kebutuhan areal non-pertanian. Menurut responden, lebih jauh
lagi terjadi kepadatan agraris di Kampung Cibereum Sunting sebagai akibat alih
fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Hal ini menyebabkan akses petani
terhadap sumber agraria tanah makin berkurang.
52
BAB V
HUBUNGAN TANAH DENGAN AKTOR SOSIAL
5.1
Pemetaan Aktor Sosial
Menurut Sihaloho (2004), pemanfaatan sumber agraria tanah merupakan
salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi berbagai pihak yang
berkepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap
sumberdaya tersebut. Nilai penting tanah ini berimplikasi pada “interest”
pemanfaat sumber agraria. Bila di tarik garis, fungsi tanah dapat menimbulkan
motivasi kepentingan.
Kepentingan itu terwujud dalam pemanfaatan sumber
agraria tanah.
Di Kampung Cibereum Sunting terdapat tiga pihak (penguna atau subyek
agraria) yang berkepentingan atas pemanfaatan seluas lahan, yaitu komunitas
(masyarakat tani), pemerintah daerah Kota Bogor, dan swasta “PT. A”. Hal ini
menimbulkan bentuk hubungan antara ketiganya melalui institusi penguasaan atau
pemilikan. Selanjutnya, hubungan-hubungan yang terjalin antara ketiga subyek
agraria atau aktor sosial tersebut berbentuk hubungan aktifitas yang meliputi
kompleks aktifitas yang merupakan jaringan hubungan manusia.
Gambar 4
Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria di Kampung Cibereum
Sunting
Komunitas
“Masyarakat Tani”
Sumber Agraria
“TANAH”
Swasta
“PT A”
Keterangan:
Hubungan teknis agraria
Hubungan sosial agraria
Sumber: Hasil analisis yang dilakukan oleh penulis selama penelitian (2009)
Pemerintah Daerah
Kota Bogor
53
PT. A memanfaatkan pemerintah daerah Kota Bogor dalam hal perizinan
lokasi pembangunan dan pengembangan kompleks perumahan baru. Pemerintah
daerah Kota Bogor memanfaatkan swasta dalam hal sokongan sumber
pembiayaan terkait dengan rencana pembangunan infrastruktur dan perumahan.
Di satu sisi, petani yang memiliki lahan mendapatkan keuntungan dari hasil
penjualan lahan. Meskipun begitu, petani yang menjual lahan pertaniannya juga
mengalami kerugian, yakni mereka kehilangan peran ekonomis dan sosiologis
dari lahan yang digunakan sebagai pertanian. Hubungan ketiga subyek agraria
tersebut juga mengakibatkan benturan kepentingan antar pihak. Hal ini karena
setiap pihak memiliki kepentingan yang berbeda dalam penggunaan lahan.
Benturan kepentingan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Benturan
terjadi antara pihak PT. A dengan masyarakat tani. PT. A berusaha mengambil
alih tanah pertanian milik petani untuk dijadikan lokasi pembangunan dan
pengembangan
kompleks
perumahan.
Sementara,
para
petani
memiliki
kepentingan atas tanah mereka, yakni berperan dalam hal ekonomis dan
sosiologis. Perbedaan kepentingan antar pihak, yakni PT. A dengan petani,
dirasakan merugikan petani. Sebagian petani merasakan dampak negatif dari
penjualan lahan pertanian mereka ke pihak PT. A. Hal ini sesuai dengan
pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak H. MDM (petani):
’taneuh teh penting pikeun kahirupan rumah tangga urang, di dinya urang tiasa
hirup, saparantos lahan diical, pikeun daharan sapopoe janteun teu tiasa
nyandak ti ladang. Upami ngagaleuh ti warung hargina pasti beuki langkung
awis. Hirup urang janteun beuki susah’.
’tanah penting bagi kehidupan rumah tangga saya, di sana saya bisa hidup,
setelah lahan di jual, untuk makan sehari-hari jadi tidak bisa mengambil dari
ladang. Kalau beli di warung harganya pasti lebih mahal. Hidup saya jadi
makin susah’.
5.2
Peran Tanah Bagi Kehidupan Masyarakat Tani
Tanah merupakan salah satu jenis sumber agraria. Tanah menjadi
sumberdaya yang strategis dimana memiliki beragam fungsi bagi kehidupan
manusia. Tanah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tanah pertanian yang
terdiri dari lahan sawah dan ladang. Peran tanah yang ditemukan pada penelitian
ini adalah peran ekonomis dan peran sosiologis. Peran ekonomis dapat dipahami
54
dalam peranannya dalam membangun kesejahteraan keluarga. Adapun peran
sosiologis bagi masyarakat tani, tanah erat kaitannya dengan hubungan
masyarakat.
5.2.1 Peran Ekonomis
Tanah sangat bernilai secara ekonomis, baik bagi petani yang tidak
memiliki tanah maupun petani lain yang memiliki tanah dan menguasai tanah
garapan di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja. Peran ekonomis
tanah ditandai adanya pandangan bahwa tanah merupakan sumber hidup manusia
dan tanah dianggap sebagai aset dan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pada intinya, tanah dianggap sebagai landasan eksistensial bagi kelangsungan
hidup masyarakat tani kampung Cibereum Sunting. Peran tanah secara ekonomis
dapat dipahami dalam peranannya untuk membangun kesejahteraan keluarga
petani. Membangun kesejahteraan keluarga dalam arti memberi kontribusi dalam
memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga, menjadi sumber simpanan pada
waktu yang diperlukan, dan jaminan bagi kelangsungan hidup generasi yang akan
datang. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak H. IYD
(petani):
‘….Ari, taneuh mah penting pikeun wargi, trutami digunakeun pikeun
nyumponan kabutuhan ekonomi keluargi, jeung oge pikeun ngarekatkeut tali
silaturohim’.
‘….Tanah penting bagi warga, terutama digunakan untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarga dan juga untuk mempererat tali silaturahmi’.
Secara khusus, peran tanah dalam memberi kontribusi memenuhi
kebutuhan pangan rumah tangga dapat dilihat dari aktivitas yang dilakukan oleh
para petani di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja dalam
mengelola tanah pertaniannya. Tanah yang dikelola untuk lahan pertanian
dilakukan pada dua tempat, yaitu pada lahan basah (sawah) dan lahan kering
(ladang). Lahan basah (sawah) secara produktif terutama digunakan untuk
menanam padi. Selain diperuntukkan menanam padi, ternyata lahan yang
dijadikan sawah oleh penduduk Kampung Cibereum Sunting juga diyakini
merupakan cara efektif untuk melindungi sumberdaya. Sawah itu sendiri telah
55
dikenal sejak zaman nenek moyang dulu. Dapat diperkirakan pada waktu itu
sawah masih sederhana, atau bahkan mungkin padi masih terdapat secara liar atau
setengah liar. Namun sekarang, perkembangan sawah di Kampung Cibereum
Sunting mengalami perubahan, yakni dari segi teknologi yang makin berkembang,
seperti telah menggunakan berbagai jenis pupuk dan mengenal berbagai varietas
padi.
Berbeda halnya dengan tanah yang dijadikan lahan pertanian kering
(ladang), ladang biasanya ditanami oleh tanaman palawija. Pengetahuan berladang
juga sudah diketahui oleh penduduk Kampung Cibereum Sunting secara turun
temurun. Menurut informan, perkembangan pengetahuan tentang bercocok tanam
ladang itu berproses, yakni terjadi melalui observasi manusia terhadap biji atau
batang yang jatuh ke tanah dan proses tumbuhnya batang-batang pepohonan yang
ditancapkan di tanah. Untuk hasil pertanian lahan basah (sawah) semisal padi
yang dipanen oleh petani, biasanya tidak untuk diperjualbelikan namun
dipergunakan sendiri untuk kebutuhan hidupnya sebagai pemenuhan kebutuhan
pangan keluarga. Sementara itu, komoditas yang ditanam di ladang umumnya
dijual ke pasar. Kalaupun ada yang dikonsumsi oleh petani, maka besarnya tidak
melebihi bagian yang harus dijual di pasar.
Pendapatan yang diperoleh dari aktivitas pengelolaan tanah pertanian yang
dilakukan oleh para petani di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja
menghasilkan pendapatan yang tergolong rendah. Pendapatan yang diperoleh
petani didapatkan per musim, yakni kisaran Rp.500.000,00-Rp.1.000.000,00.
Meskipun begitu, petani tetap menganggap tanah pertanian yang dimiliki berperan
penting bagi kelangsungan hidup petani. Menurut pengakuan responden, dengan
mengelola lahan pertanian, petani tidak perlu membeli kebutuhan pokok seperti
beras di warung, toko, atau pasar sehingga petani tidak perlu membayar mahal
untuk membeli kebutuhan pokok (beras) tersebut. Peran penting tanah bagi petani
dipertegas pula oleh pernyataan petani yang mengungkapkan bahwa pendapatan
di sektor pertanian memang rendah dibandingkan di sektor industri, yakni di
industri
pendapatan
yang
diperoleh
dapat
mencapai
Rp.890.000,00-Rp.
990.000,00. Meskipun begitu, petani memperoleh informasi bahwa pengeluaran
masyarakat yang bekerja di sektor industri juga besar sehingga kalau dihitung-
56
hitung pendapatan bersih antara bekerja di sektor pertanian dengan di sektor
industri tidak berbeda jauh. Terdapat pula petani yang mengungkapkan, bahwa
petani tidak memiliki keahlian di sektor industri sehingga petani di Kampung
Cibereum Sunting tidak tergiur bekerja di sektor industri dan lebih memilih untuk
mengelola dan memanfaatkan lahan pertanian yang tersisa seefektif mungkin..
Peran ekonomis tanah sebagai sumber simpanan pada waktu yang
diperlukan adalah tanah dinilai sebagai bentuk harta. Tanah yang dianggap
sebagai harta dapat dipinjamkan (sewa) untuk digarap oleh orang lain atau dijual
kepada orang lain. Tanah yang disewakan kepada petani lain dapat memberikan
kesempatan memperoleh uang tunai atau mendapatkan beras dari petani yang
menyewanya. Sementara itu, peran ekonomis tanah sebagai jaminan bagi
kelangsungan hidup generasi yang akan datang, yakni tanah dianggap sebagai
harta atau materi yang dapat diwariskan secara turun temurun kepada anak-anak.
Petani beranggapan, dengan tanah pertanian yang dimiliki anak-anak dapat terus
hidup dan bertahan. Lain kata, tanah dianggap sebagai bekal anak-anak untuk
melangsungkan kehidupan di masa depan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang
diungkapkan oleh Bapak H. WWN (petani):
’petani-petani di dieu mah pada nyieun waris taneuh pikeun putra-putrana,
saurna pikeun bekel hirup kaluargi engkeuna. Salain eta teh, taneuh oge tiasa
disebut harta simpenan kitu. Janteun upami butuh teh, taneuh tani tiasa
disewakeun atawa diical ka batur supados janteun artos’.
’petani-petani di sini membuat waris tanah untuk anak-anaknya, katanya untuk
bekal hidup berkeluarga nantinya. Selain itu, tanah juga dapat dibilang sebagai
harta simpanan. Jadi kalau membutuhkan, tanah pertanian dapat disewakan atau
dijual kepada orang lain supaya menjadi uang’.
Ketergantungan secara ekonomis terhadap lahan terlihat jelas di Kampung
Cibereum
Sunting.
Eratnya
ketergantungan
petani
terhadap
tanahnya,
menunjukkan bahwa penduduk Kampung Cibereum Sunting tidak dapat
dilepaskan dari tanah pertanian. Seiring berjalannya waktu, setelah masuknya
pihak swasta yang membangun areal kompleks perumahan, masyarakat juga
mengalami perubahan dalam pandangan terhadap sumber agraria tanah. Fakta di
lapangan menunjukkan adanya peralihan penggunaan tanah, yakni dengan adanya
57
kompleks perumahan, penduduk di Kampung Cibereum Sunting menggeser
keberadaan tanah pertanian. Hal ini mengindikasikan tanah bukan lagi menjadi
fungsi produksi melainkan ke arah pemanfaatan fungsi reproduksi.
5.2.2 Peran Sosiologis Tanah
Peran tanah secara sosiologis, menurut penelitian ini memiliki fungsi
sosial, yaitu sebagai perekat hubungan sosial atau kohesi sosial pada komunitas di
Kampung Cibereum Sunting. Peran tanah secara sosiologis pun menyangkut
hubungan manusia dengan masyarakat lain yang dicirikan dengan adanya simbol
status sosial yang dilekatkan pada seseorang berdasarkan tanah yang dimilikinya.
Tanah pun dapat dijadikan sarana untuk mengikat kekerabatan dan ikatan
keluarga melalui pola pewarisan tanah yang terjadi dalam keluarga.
Peran tanah secara sosial dapat berkaitan dengan status sosial yang
dilekatkan pada seseorang berdasarkan tanah yang dimilikinya. Di Kampung
Cibereum Sunting luas lahan tidak menentukan secara langsung status sosial
seseorang. Adapun status sosial melekat berkaitan dengan effect penguasaan
tersebut, yakni tingginya tingkat kesejahteraan akibat penguasaan lahan tersebut.
Seseorang yang memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi akibat penguasaan
lahan yang lebih luas dibanding yang lainnya, mendapatkan perlakuan yang
berbeda dibanding yang lainnya.
Peran tanah secara sosial dalam peranannya sebagai perekat ikatan
kekerabatan, ditunjukkan tidak hanya di kalangan keluarga saja tetapi mencakup
petani-petani lain yang tidak memiliki ikatan keluarga. Tanah merupakan aset
yang diwariskan kepada anggota keluarga dan memiliki nilai sosial. Tanah yang
diwariskan bagi sebagian warga tidak boleh diperjualbelikan kepada orang lain,
hal ini karena menyangkut tali ikatan keluarga. Sementara itu, tanah sebagai
ikatan kekerabatan yang terjalin dengan pihak di luar keluarga dibuktikan dengan
adanya keterbukaan petani berlahan luas untuk mempekerjakan petani yang tidak
memiliki lahan atau berlahan sempit untuk menggarap lahan yang dimilikinya.
Ikatan kekerabatan ini masih terlihat, dari adanya kegiatan bersama dan mereka
mengenal satu sama lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan
oleh Bapak. H. DYT (petani):
58
’ Ari taneuh teh tiasa ngarekatkeun tali sodara, lantaran manusa hirup di bumi
teh kudu hablum minannas oge. Janteun, upami aya nu butuh kudu saling
ngabantos, misalna ngabantos urang dina kajadian kamaotan jeung hajatan
kawinan’.
’Kalau di sini tanah dapat digunakan sebagai alat untuk mempererat tali
persaudaraan. Karena hidup manusia di bumi harus hablum minannas juga.
Jadi, kalau ada yang membutuhkan harus saling membantu, misalnya
membantu dalam peristiwa kematian dan perkawinan’.
Peran sosiologis tanah sebagai perekat ikatan kekerabatan memiliki
maksud tersendiri di dalamnya, yakni dilakukan demi terciptanya ketertiban,
keharmonisan, dan ketentraman dalam kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena
itu, hampir dalam seluruh aktivitas kehidupan sosial yang erat kaitannya dengan
tanah menekankan arti pentingnya kekeluargaan dan kerjasama yang diwujudkan
dalam bentuk tolong menolong dan gotong royong. Kegiatan tolong menolong
dan gotong royong ini menjadi landasan moral dan semangat solidaritas
masyarakat. Sistem kerjasama antar masyarakat terlihat dari pola patron-client
dalam penggarapan lahan pertanian di masyarakat. Sistem kerjasamanya
berlandaskan kekeluargaan tanpa adanya konflik dalam pertanian. Sistem maro
dan mertelu yang dilakukan penduduk pun merupakan sistem bagi hasil yang
meneguhkan sikap saling tolong menolong dalam masyarakat.
5.3
Peran Tanah Bagi Pemerintah Daerah Kota Bogor dan PT. A
Peran tanah bagi pemeritah daerah Kota Bogor dalam penelitian ini adalah
bagi kemakmuran rakyatnya (pembangunan nasional). Artinya tanah merupakan
sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Kepentingan pemerintah daerah
Kota Bogor sendiri atas lahan adalah sebagai motor pertumbuhan ekonomi atau
roda pembangunan. Secara khusus, tanah dijadikan aset untuk terus membangun
Kota Satelit “Bogor” dalam hal pembangunan infrastruktur dan perumahan.
Pembangunan pun begitu dipercaya, hanya mungkin diwujudkan dengan suntikan
dana dari swasta yang dalam hal ini adalah “PT. A”. Tanah oleh pemerintah
daerah cenderung diposisikan sebagai aset ekonomi. Akibatnya, kemudahankemudahan penyediaan tanah diberikan untuk kegiatan investasi sumberdaya alam
dalam skala besar.
59
Tanah bagi swasta memiliki fungsi yang berbeda, yakni sebagai aset untuk
mencari
keuntungan
dengan
cara
melakukan
penanaman
modal
pada
pembangunan dan pengembangan kawasan kompleks perumahan. Dapat dipahami
bahwa arti penting tanah bagi swasta adalah mengarah kepada kepentingan
akumulasi modal dan peningkatan surplus ekonomi.
5.4
Ikhtisar
Pemanfaatan sumber agraria tanah merupakan salah satu upaya untuk
memenuhi kebutuhan sosial ekonomi berbagai pihak yang berkepentingan baik
langsung maupun tidak langsung terhadap sumberdaya tersebut. Di Kampung
Cibereum Sunting terdapat tiga pihak yang berkepentingan atas pemanfaatan
seluas lahan, yaitu masyarakat tani, pemerintah daerah Kota Bogor dan “PT. A”.
Adapun, peranan tanah bagi masing-masing aktor sosial tersebut, antara lain: (1)
bagi petani adalah berperan ekonomis dan sosiologis. Peran ekonomis tanah bagi
petani ditandai oleh adanya pandangan bahwa tanah merupakan sumber hidup
manusia dan tanah dianggap sebagai aset dan sarana untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Peran tanah secara sosiologis menurut penelitian ini memiliki fungsi sosial,
yaitu sebagai perekat hubungan sosial atau kohesi sosial pada komunitas di
Kampung Cibereum Sunting; (2) bagi pemerintah daerah adalah sebagai aset
dalam pembangunan infrastruktur fisik dan perumahan; (3) bagi swasta digunakan
sebagai modal untuk meningkatkan surplus ekonomi dan melakukan akumulasi
modal.
60
BAB VI
KEBIJAKAN PENATAAN RUANG
Karakteristik wilayah dan potensi antar kota di Indonesia memiliki
perbedaan. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan penataan ruang yang
disesuaikan dengan potensi yang ada di kota tersebut. Kebijakan penataan ruang
dengan konsep yang diterapkan secara sektoralisme dalam pemberian hak untuk
menguasai, menggunakan, atau memanfaatkan tanah menjadi tempat yang subur
bagi terbukanya peluang alih fungsi lahan pertanian. Seiring dengan masuknya
Kota Bogor dalam babak otonomi daerah, maka terjadi pembagian kewenangan
serta terjadinya ruang gerak yang memadai untuk memaknai kewenangan yang
diberikan kepada pemerintahan Kota Bogor. Tujuan otonomi daerah adalah untuk
membangun good governance mulai dari akar rumput, yakni Kota Bogor sebagai
salah satu pemerintah lokal diantaranya.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mempertegas keterangan
tersebut, yakni menjelaskan adanya pelimpahan kewenangan antara pusat dan
daerah. Di dalam undang-undang tersebut juga mengandung pengertian bahwa di
satu pihak pemerintah pusat terbebas dari urusan domestik dan di lain pihak
daerah akan mengalami proses pemberdayaan. Lebih lanjut, otonomi daerah
membawa angin baru dan optimisme bagi daerah Kota Bogor dalam hal mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakatnya, serta suasana baru dalam hubungan
antara pusat dan daerah, termasuk memiliki kewenangan untuk melakukan
penataan ruang bagi cakupan wilayahnya.
Mengenai kewenangan dalam pengelolaan tanah yang terdapat di daerah,
undang-undang ini dirasa menunjukkan ambiguitas. Dalam salah satu pasalnya,
dinyatakan pendayagunaan tanah merupakan kewenangan bidang lain yang
menjadi salah satu pengecualian dari kewenangan pemerintah daerah. Tetapi
dalam pasal lainnya dalam undang-undang yang sama juga dinyatakan bahwa
pemerintah daerah berwenang mengelola tanah yang ada di wilayahnya. Hal ini
menunjukkan adanya kewenangan untuk mengelola tanah yang ada di wilayah
yang bersangkutan. Akhirnya, proses tarik menarik pun terjadi antara pemerintah
pusat dengan daerah berkaitan dengan hal-hal yang bersinggungan dengan
61
pemanfaatan tanah. Menanggapi gejala-gejala permasalahan yang bermunculan di
tingkat pemerintah daerah, maka untuk lebih memahami kebijakan penataan ruang
Kota Bogor dalam era otonomi daerah diperlukan pemahaman terhadap rumusan,
asas, dan tujuan kebijakan penataan ruang tersebut.
6.1
Rumusan Kebijakan Penataan Ruang
Kebijakan makro mencakup arti kepentingan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dalam menggariskan dan melaksanakan pembangunan
nasional. Baik secara langsung ataupun tidak langsung, kebijakan makro yang
diambil oleh suatu pemerintah sangat mempengaruhi seluruh jalannya kehidupan
masyarakat dan lingkungannya. Dasar-dasar politik dan hukum agraria sendiri
ialah dasar-dasar pokok yang terdapat dalam cita-cita rakyat membentuk Negara
sebagai bangsa yang merdeka, yakni tanah itu harus dipergunakan bagi
kemakmuran rakyat (Tauhid, 1953). Berkaitan dengan perencanaan, persediaan,
peruntukkan, dan penggunaan tanah bagi kepentingan umum, maka Kota Bogor
menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang Kota
(yang selanjutnya disingkat RTRW dan RDTRK dalam tulisan ini) sebagai produk
kebijakan penataan ruang yang merealisasikan aturan tersebut. Pentingnya
kebijakan penataan ruang ini adalah sebagai acuan utama dari rencana-rencana
pembangunan, yang juga dapat diterjemahkan sebagai rencana pemanfaatan dan
penggunaan ruang.
Rencana pemanfaatan dan penggunaan ruang mencakup pengertian tata
ruang dan tata guna tanah yang merupakan dua hal yang bersifat integral, dimana
tanah adalah satu unsur terpenting dari ruang. Dasar yang digunakan sebagai
landasan dibentuknya RTRW dan RDTRK adalah tanah sebagai sumber, tiang
penghidupan, dan kemakmuran, serta kesejahteraan rakyat. Hal ini bersumber
pada amandemen UUD 1945 yang berorientasi pada pencapaian penggunaan
sumberdaya alam, termasuk tanah untuk kesejahteraan rakyat, khususnya Pasal 33
ayat 3 yang menggariskan: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besaranya kemakmuran
rakyat”. Prinsip-prinsip tersebut dipertegas oleh Pasal 1 ayat 2 UUPA Nomor 5
Tahun 1960, yakni: “Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
62
alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.
Pasal 2 UUPA memuat mekanisme kelembagaan yang sesuai dengan Pasal
33 ayat 3 UUD 1945 tentang pengertian hak menguasai dari negara terhadap
konsep tata ruang, mekanisme kelembagaan tersebut berisi wewenang untuk:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Pasal 14 ayat 1 UUPA juga memperlihatkan bahwa, tersirat keinginan
pemerintah untuk melakukan penataan terhadap penggunaan dan penguasaan
tanah di Indonesia. Hal ini dinyatakan sebagai berikut: “Dengan mengingat
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat 2 dan 3, Pasal 9 ayat 2, pasal 10 ayat 1
dan 2, pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana
umum mengenai persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya: (a) untuk keperluan
negara; (b) untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya,
sesuai dengan dasarnya Ketuhanan Yang Maha Esa; (c) untuk keperluan pusatpusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan, dan lain-lain kesejahteraan; (d)
untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan, dan
perikanan serta sejalan dengan itu; (e) untuk keperluan memperkembangkan
industri, transmigrasi, dan pertambangan”.
Aspek operasional dilaksanakan sejalan dengan pasal 14 ayat 1 UUPA,
dimana pelaksanaan penataan ruang diserahkan kewenangannya pada pemerintah
daerah untuk melakukan peraturan lebih lanjut sebagai pelaksanaan ketentuan
aturan tersebut. Hal ini dapat dipahami dari adanya realisasi otonomi daerah,
dimana pengakuan dari lembaga pelaksana kedaulatan rakyat terhadap eksistensi,
potensi masyarakat, dan daerahnya bahwa masyarakat setempat sebagai bagian
63
dari keberadaan negara kesatuan, mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban
tertentu untuk memperhatikan dan menyelenggarakan berbagai kepentingannya
sendiri. Kemudian dipertegas dengan ketentuan dalam pasal 14 ayat 2 dan 3
UUPA, yakni: “Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat 1 pasal ini dan
mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, pemerintah daerah mengatur
persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk
daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing. Peraturan pemerintah
daerah yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini berlaku setelah mendapat
pengesahan mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari
Gubernur/Kepala daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari
Bupati/Walikota/Kepala daerah yang bersangkutan”.
Penegasan terdapat pula dalam penjelasan umum angka 2 poin 8, yakni:
”Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara di atas
dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai
peruntukkan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk
pelbagai kepentingan hidup rakyat dan negara: rencana umum (national planning)
yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi
rencana-rencana khusus (regional planning) dari tiap-tiap daerah (Pasal 14).
Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara
terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi
negara dan rakyat”.
Tindak lanjut secara lebih jauh dijelaskan oleh Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dimana mengatur
dengan rinci mengenai tata ruang nasional, tata ruang daerah provinsi, dan tata
ruang daerah kabupaten/kota. Undang-undang yang terealisasi pada Tahun 1992
ini, mengisyaratkan terpenuhinya keinginan pemerintah untuk mengatur
perencanaan, peruntukkan, dan penggunaan terhadap ruang termasuk daratan,
lautan, angkasa, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berkaitan dengan
penjelasan angka 2 poin 8 di atas, maka dalam penjelasan Pasal 14 UUPA
dinyatakan sebagai berikut: ”Pasal ini mengatur soal perencanaan, peruntukkan
dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang telah dikemukakan
dalam penjelasan umum (angka 2 poin 8). Mengingat corak perekonomian Negara
64
di kemudian hari dimana industri dan pertambangan mempunyai peranan yang
penting, maka di samping perencanaan untuk pertanian, keperluan industri dan
pertambangan perlu juga diperhatikan (ayat 1 huruf d dan e). Perencanaan itu
tidak saja bermaksud menyediakan tanah untuk pertanian, peternakan, perikanan,
industri, dan pertambangan tetapi juga ditujukan untuk memajukannya.
Pengesahan peraturan pemerintah daerah harus dilakukan dalam rangka rencana
umum yang dibuat oleh pemerintah pusat dan sesuai dengan kebijakan pusat”.
Tata ruang merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan penataan tanah
atau lahan secara maksimal. Penataan ruang bertujuan agar terselenggaranya
pemanfaatan ruang berwawasan nusantara dan ketahanan nasional. UndangUndang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa
“pengelolaan sumberdaya alam yang beraneka ragam di daratan, di lautan, dan di
udara perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumberdaya
manusia dan sumberdaya buatan dalam pola pembangunan yang berkelanjutan
dengan mengembangkan tata ruang dalam suatu kesatuan tata lingkungan yang
dinamis, serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai
dengan pembangunan berwawasan lingkungan, yang berlandasan Wawasan
Nusantara dan Ketahanan Nasional”. Secara khusus, penataan ruang wilayah
dipahami sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang,
dan pengendalian pemanfaatan ruang (Undang-Undang Penataan Ruang Pasal 1
ayat 5). Sejalan dengan pertimbangan yang termuat dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1992, Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menetapkan bahwa
pembangunan tidak mengejar kemakmuran lahiriah ataupun kepuasan batiniah,
akan tetapi keseimbangan diantara keduanya.
Analisis di lapangan menunjukkan terdapat ketentuan pokok yang
mengatur pedoman penyusunan rencana dan tugas-tugas dan tanggung jawab
perencanaan tata ruang kota. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya,
memberi kejelasan atas berbagai hal tentang landasan kerja pemerintahan kota
dan saling kaitannya, baik vertikal maupun horizontal. Mengingat situasi setiap
kota yang khas, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dirasa tidak memadai.
Oleh karena itu, Departemen Dalam Negeri RI mengeluarkan Peraturan Menteri
65
Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1980, tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Kota. Dalam peraturannya, menteri dalam negeri menegaskan bahwa pesatnya
tingkat perkembangan kota-kota di Indonesia dengan beraneka ciri dan sifat
penghidupan perkotaannya memerlukan pengarahan pengembangan sebaikbaiknya. Selanjutnya, ditegaskan pula perlu adanya perencanaan kota sebaikbaiknya yang sesuai dengan sifat dan watak kehidupan dan kepribadian Indonesia.
Isi keseluruhan Peraturan Dalam Negeri Nomor 4 tersebut memuat ketentuan
yang lebih rinci, mulai dari sistem perencanaan di dalam pembangunan, sistem
perencanaan kota, jenis rencana kota, kebijaksanaan dalam perencanaan kota, isi
rencana induk kota berikut mekanisme pelaksanaan rencana. Uraian yang lebih
rinci ini memberi pedoman dan sekaligus sistem evaluasi dalam pelaksanaan
perencanaan kota.
Pada tahun 1985, keluarlah Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam
Negeri
dan
Menteri
pekerjaan
Umum
Nomor
650-1595
dan
Nomor
503/KPTS/1985, tentang Tugas-Tugas dan Tanggung Jawab Perencanaan Kota.
Sementara itu, tahun 1986 keluar Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 640/KPTS/1986, tentang Perencanaan Tata Ruang Kota. Keluarnya Surat
Keputusan ini memberi titik terang baru dalam perencanaan dan pembangunan
kota di Indonesia. Surat Keputusan Bersama ini bersifat dualistis mengingat
Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dimana Kepala Daerah
ditetapkan penguasa tunggal di daerahnya. Tetapi mengingat perencanaan dan
pemanfaatan kota makin beragam, maka dapat dimengerti pengikutsertaan
Departemen Pekerjaan Umum secara formal, karena pada dasarnya di samping
Dinas Penataan Ruang setempat, Departemen Pekerjaan Umum adalah yang
paling banyak terlibat secara langsung. Pada intinya Surat Keputusan Bersama ini
lebih lengkap dan rinci dibanding dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
4 Tahun 1980. Dalam Surat Keputusan Bersama dirumuskan ketentuan yang lebih
jelas mengenai pembagian tugas Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan
Umum dalam perencanaan kota.
Ketentuan mengenai rencana pengembangan tata ruang nasional, yang
antara
lain
menetapkan
bahwa
tanah
mempunyai
fungsi
sosial
dan
pemanfaatannya harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat terdapat pula
66
dalam TAP MPR Nomor 1/MPR/1988 tentang Garis Besar Haluan Negara
(GBHN). Rencana tata ruang dan tata guna tanah secara nasional perlu terus
dikembangkan sehingga pemanfaatan tanah dapat dikoordinasikan antara berbagai
jenis penggunaan dengan tetap memelihara kelestarian alam dan lingkungan serta
mencegah penggunaan tanah yang merugikan kepentingan masyarakat dan
kepentingan pembangunan.
Analisis spesifik di lapang menunjukkan bahwa pelaksanaan kegiatan
penyusunan RTRW Kota Bogor mengacu kepada peraturan dan ketentuan teknis
tentang penyusunan rencana kota, antara lain sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan daerah.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan
Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam
Penataan Ruang.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (RTRWN).
8. Peraturan Menteri
Dalam Negeri
Nomor 8 Tahun 1998 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah.
9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1987 tentang Tata Cara
Peran Serta Masyarakat Dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah.
10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Kota.
11. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 134 Tahun 1998 tentang Pedoman
Penyusunan Peraturan Daerah tentang RTRW Provinsi dan RTRW Daerah
Tingkat II.
12. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1997 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang di Daerah.
67
13. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 1988 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987.
14. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 378/KPTS/1987 tentang
Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan.
15. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan
Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan.
16. Perda Nomor 11 Tahun 1995 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota
(RUTRK) Kotamadya Dati II Bogor.
Berbeda halnya dengan aturan turunannya, yakni RDTRK mengacu pada
peraturan dan ketentuan tentang penyusunan rencana kota, sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Kota.
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan
Partisipasi Masyarakat.
7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).
8. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 1988 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987.
9. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan
Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan.
10. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 640/KPTS/1986 tentang
Perencanaan Tata Ruang Kota.
11. Perda Nomor 11 tahun 1995 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota
(RUTRK) Kotamadya Dati II Bogor.
Rumusan dasar kebijakan penataan ruang yang diuraikan di atas,
mengandung pengertian bahwa demi kepentingan keselarasan pembangunan,
maka rencana tata ruang kota tidak boleh bertentangan dengan acuan pemanfaatan
68
tata ruang yang telah disusun oleh pemerintahan provinsi dan rencana umum tata
ruang nasional yang dirancang oleh pemerintahan pusat. Setelah Undang-Undang
Otonomi Daerah diberlakukan (UU Nomor 32 /2004 jo 22/99), penyelarasan
tersebut tidak dijamin secara “top down”, sehingga pemerintahan pusat tidak
memiliki rentang kendali yang kuat. Hal ini karena telah terbukanya kesempatan
bagi pemerintah daerah untuk mewujudkan dan menikmati otonomi pemerintahan.
6.2
Asas dan Tujuan Kebijakan Penataan Ruang
Ruang merupakan sesuatu yang bersifat dinamis dimana ruang setiap
waktunya berubah akibat proses alam dan tindakan manusia. Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu pengaturan pemanfaatan dan penggunaan ruang. Kebijakan
penataan ruang bertujuan menelurkan produk kebijakan yang nantinya berfungsi
untuk membagi ruang yang ada dalam suatu wilayah menjadi bagian-bagian
tertentu, seperti permukiman, tempat perdagangan (pasar), industri khusus daerah
perkotaan, lokasi pertanian, dan juga ruang tebuka hijau. Selanjutnya kebijakan
penataan ruang merupakan bentuk pengaturan hubungan hukum orang dengan
tanah, pengaturan dan penetapan kriteria-kriteria teknik, tata cara penyusunan, tata
cara penetapan kriteria teknik, tata cara penyusunan, tata cara peninjauan kembali,
dan pemanfaatan rencana-rencana tata ruang kota, dan perencanaan persediaan
peruntukkan dan penggunaan tanah bagi kepentingan umum.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang di
dalamnya juga mengatur asas dan tujuan dari diadakannya penataan ruang. Oleh
karena itu, asas dan tujuan penataan ruang dapat dilihat sebagai berikut:
a. Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan
berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan.
b. Keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum.
Asas dan tujuan penataan ruang berkaitan dengan hak dan kewajiban
dalam penataan ruang. Dengan demikian, hak dan kewajiban terhadap penataan
ruang dinyatakan sebagai berikut:
a. Setiap orang berhak menikmati manfaat ruang, termasuk pertambahan nilai
ruang sebagai akibat penataan ruang.
69
b. Setiap orang berhak mengetahui rencana tata ruang, berperan serta dalam
penyusunan tata ruang, dan pengendalian tata ruang.
c. Memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai
akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata
ruang.
Pengkajian di lapang menemukan penjelasan bahwa sejalan dengan asas
dan tujuan penataan ruang di atas, secara spesifik tujuan penataan ruang tersebut
juga berkaitan dengan perencanaan tata ruang. Perencanaan tata ruang merupakan
kegiatan menentukan rencana lokasi berbagai kegiatan dalam ruang agar
memenuhi berbagai kebutuhan manusia dengan memanfaatkan sumberdaya alam
yang
tersedia.
Kegiatan
untuk
memanfaatkan
sumberdaya
alam
akan
mempersoalkan cara pengambilannya dari alam. Oleh karena itu, dalam
perencanaan tata ruang menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992
ditentukan dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Keseimbangan, keselarasan, keseimbangan fungsi budidaya, fungsi lindung,
dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi pertanahan keamanan.
b. Aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumberdaya, fungsi, dan estetika
lingkungan serta kualitas ruang.
Bentuk perencanaan penataan ruang tersebut dapat diterjemahkan melalui
RTRW dan RDTRK. Adapun tujuan dari RTRW dan RDTRK adalah sebagai
berikut:
Tujuan Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 19992009:
a. Meningkatkan fungsi dan peranan Kota Bogor dalam konteks dan
konstelasi regional serta mampu berfungsi sebagai sub pusat dalam sistem
pengembangan regional (Tingkat Provinsi dan Jabotabek).
b. Menciptakan kelestarian lingkungan permukiman dan kegiatan kota yang
merupakan usaha menciptakan hubungan yang serasi antar manusia dan
lingkungannya, yang tercermin dari pola intensitas penggunaan ruang
kota.
c. Meningkatkan
daya
guna
dan
hasil
guna
pelayanan,
dengan
mengembangkan fasilitas, sarana maupun prasarana yang merupakan
70
upaya pemanfaatan ruang secara optimal. Hal ini tercermin dalam
penentuan jenjang pelayanan kegiatan-kegiatan kota dan sistem jaringan
jalan kota.
d. Memberikan kepastian hukum dalam hal pemanfaatan ruang yang
merangsang partisipasi investor dalam mengembangkan potensi yang ada.
e. Mengarahkan pembangunan kota yang lebih tegas dalam rangka upaya
pengendalian, pengawasan, dan perencanaan pembangunan fisik kota baik
kualitas maupun kuantitasnya.
f. Membantu penetapan prioritas pengembangan kota dan memudahkan
penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) di setiap
kecamatan untuk dijadikan pedoman bagi tertib pengaturan ruang.
Tujuan Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Tahun
2002-2012, antara lain adalah:
a. Menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan yang pada
prinsipnya merupakan upaya dalam menciptakan keserasian dan
keseimbangan fungsi dan intensitas penggunaan ruang bagian-bagian
wilayah kota atau satu bagian wilayah kota.
b. Menciptakan kelestarian lingkungan permukiman dan kegiatan kota yang
merupakan usaha menciptakan hubungan yang serasi antar manusia dan
lingkungannya, yang tercermin dari pola intensitas penggunaan ruang kota
pada umumnya dan bagian wilayah kota pada khususnya.
c. Meningkatkan daya guna dan hasil guna pelayanan yang merupakan upaya
pemanfaatan ruang secara optimal, yang tercermin dalam penentuan
jenjang fungsi pelayanan kegiatan-kegiatan kota dan sistem jaringan jalan
kota.
d. Mengarahkan pembangunan kota yang lebih tegas dalam rangka upaya
pengendalian, pengawasan, dan pelaksanaan pembangunan fisik untuk
masing-masing bagian wilayah kota secara terukur baik kualitas maupun
kuantitasnya.
e. Membantu penetapan prioritas pengembangan kota dan memudahkan
penyusunan rencana teknik ruang kota pada kawasan tertentu untuk
dijadikan pedoman bagi tertib pengaturan secara rinci.
71
f. Membantu penetapan kawasan-kawasan tertentu untuk disusun pola
rencana teknik ruang kota yang mampu dijadikan pedoman bagi tertib
pembangunan dan tertib pengaturan ruang secara terinci.
6.3
Ikhtisar
Karakteristik wilayah dan potensi antar kota-kota di Indonesia memiliki
perbedaan. Oleh karena itu, diperlukan kebijaksanaan penataan ruang yang
disesuaikan dengan potensi yang ada. Berkaitan dengan hal tersebut, Rencana
Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang Kota yang selanjutnya
disingkat RTRW dan RDTRK merupakan produk kebijakan penataan ruang.
Dasar utama yang digunakan sebagai landasan dibentuknya RTRW dan RDTRK
adalah bersumber pada amandemen UUD 1945, UUPA Nomor 5 Tahun 1960, dan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992. Lebih jauh aturan dasar turunannya
saling melengkapi. Adapun, asas dan tujuan penataan ruang, antara lain: 1)
Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan
berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan; 2) Keterbukaan,
persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum.
72
BAB VII
ASPEK-ASPEK YANG MEMBERIKAN PELUANG
TERJADINYA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN
DARI SUDUT KEBIJAKAN PENATAAN RUANG
7.1
Pada Tingkat Pelaksana
Penataan ruang menurut Departemen Pekerjaan Umum (Direktorat
Jenderal Penataan Ruang) Kota Bogor terdiri dari tiga komponen utama, yaitu:
1. Perencanaan tata ruang, yang dibedakan atas rencana tata ruang wilayah.
2. Pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata
ruang atau pelaksanaan pembangunan.
3. Pengendalian pemanfaatan ruang, yang terdiri atas mekanisme perizinan dan
penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan
rencana tata ruangnya.
7.1.1 Perencanaan Tata Ruang
Perencanaan tata ruang Kota Bogor merupakan kegiatan yang dilakukan
oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor dalam hal merumuskan dan menetapkan
manfaat ruang dalam kaitannya dengan hubungan antara berbagai manfaat ruang,
berdasarkan kegiatan-kegiatan yang perlu dilaksanakan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat Kota Bogor. Rencana Tata Ruang bukanlah akhir dari
proses tetapi awal dari proses pengaturan pemanfaatan dan pengendalian
pemanfaatan. Berkaitan dengan itu, perencanaan dalam lingkup ruang Kota Bogor
dibuat berdasarkan pengertian ruang relasi, yakni dengan melibatkan unsur-unsur
yang memiliki relasi satu sama lain dan saling berinteraksi, antara lain
pemerintah, swasta, dan masyarakat. Rencana tata ruang Kota Bogor dijadikan
sebagai wujud struktural pemanfaatan ruang dan pola pemanfaatan ruang. Hal ini
sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak RDM (Dinas Penataan
Ruang Kota Bogor):
‘Rencana tata ruang Bogor merupakan pengaturan tersistem baik untuk
pemanfaatan ruang maupun pola pemanfaatan ruang’.
73
Hubungan perencanaan pembangunan dengan rencana tata ruang dapat
dijelaskan
dengan
cara
memahami
masuknya
babak
Otonomi
Daerah
sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Isi peraturan tersebut adalah daerah diberi kewenangan
yang luas dalam mengatur, membagi, dan memanfaatkan sumberdaya. Pengertian
yang tersirat dalam aturan ini antara lain, dengan adanya otonomi daerah maka
tidak lagi dikenal rencana 'dari atas' atau 'dari bawah' karena setiap rencana
dibangun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing dan
diserasikan dengan rencana dari daerah lain. Karena tata ruang merupakan
kerangka yang menetapkan peluang dan batasan bagi kegiatan pembangunan,
seharusnya rencana pembangunan didahului oleh perencanaan tata ruang yang
berkeadilan. Hal ini menunjukkan adanya sikap ego sentralistik dari pemerintah
dan elit yang memiliki kewenangan.
7.1.1.1 Isi dan Arahan RTRW
Pengembangan tata ruang Kota Bogor tidak terlepas dari pengaruh
kebijaksanaan pengembangan tata ruang regional yang secara langsung akan
berdampak pada perkembangan Kota Bogor. Penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kota Bogor dipahami sebagai bentuk perwujudan kebijakan
penataan ruang agar dapat dilaksanakan secara real. Di dalam RTRW Tahun
1999-2009 terdapat pengertian RTRW, yakni rencana pembangunan kota yang
berisikan rencana pengembangan tata ruang kota yang optimal serta disusun
secara menyeluruh dan terpadu dengan menganalisis segala aspek dan faktor
pengembangan kota. Hal ini mengandung pengertian bahwa, sebelum RTRW
dibuat perlu diketahui terlebih dahulu berbagai kebutuhan masyarakat yang
tinggal di wilayah yang direncanakan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan
bahwa dalam pembuatan RTRW, pencarian informasi tentang kebutuhan
masyarakat hanya dilakukan secara makro dan tidak menyentuh kebutuhan
masyarakat kecil terutama petani. Hal ini dapat dipahami dari informasi yang
diberikan oleh Bapak RAB (Dinas Penataan Ruang Kota Bogor):
74
‘Dalam pembuatan RTRW, Dinas Penataan Ruang mengundang sejumlah
elemen kepentingan, yang terdiri dari akademisi, LSM, Swasta, LPM, dan
Pegawai Kelurahan saja’.
Pembuatan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan dasar
menciptakan suatu pembangunan sektoral yang bertujuan agar terjadi sinergi dan
efisiensi pembangunan di Kota Bogor. Hal ini terkait dengan adanya fakta yang
menunjukkan bahwa sumberdaya agraria yang ada di suatu daerah akan berbeda
dengan daerah lainnya, ini mengandung pengertian bahwa suatu daerah
mempunyai potensi khasnya sendiri yang perlu dikembangkan. Selain itu, RTRW
dibuat untuk menghindari kemungkinan terjadinya konflik atau tumpang tindih
pemanfaatan ruang antar sektor-sektor yang berkepentingan dan dampak yang
dapat merugikan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan
oleh Ibu ARD (Dinas Penataan Ruang Kota Bogor):
‘Sebenarnya RTRW Kota Bogor dibuat untuk menciptakan pembangunan
berbagai sektor yang efisien karena setiap daerah punya potensinya sendiri.
Selain itu, bertujuan untuk menghindari tumpang tindih lahan yang bisa
berdampak terciptanya konflik’.
Penyusunan RTRW Kota Bogor juga difokuskan pada tiga perumusan
yang bertujuan mendorong fungsi kota, yakni:
1. Kota Bogor diarahkan sebagai Kota Hierarki II A dengan kegiatan utamanya
adalah permukiman dan perdagangan regional yang merupakan pusat
pelayanan bagi wilayah sekitarnya.
2. Kota Bogor termasuk kota yang dilalui oleh pengembangan jalan toll BogorSukabumi-Padalarang.
3. Pengaktifan kembali jalur kereta api pada jalur Bandung-Cianjur-SukabumiBogor-Jakarta.
Tiga perumusan yang diuraikan di atas pada intinya menjelaskan Kota
Bogor sebagai pusat pertumbuhan wilayah dan berupaya meningkatkan
penyelenggaraan pengelolaan perkotaan oleh pelaku lokal (pemerintah daerah dan
masyarakat) sesuai dengan semangat otonomi daerah. Di sini terlihat bahwa,
pemerintah daerah Kota Bogor memperhatikan besaran potensi dan keterkaitan
yang saling menguntungkan dengan kawasan sekitarnya. Hal ini sesuai dengan
75
pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak RDM (Dinas Penataan Ruang Kota
Bogor) :
‘Kota Bogor memiliki interaksi yang kuat dengan wilayah sekitarnya dan
terdapat fenomena perkembangan wilayah perkotaan yang cukup pesat dalam
skala Kota Bogor. Bukan hanya dimaksudkan sebagai ikatan atau
penggabungan menjadi satu kawasan akan tetapi merupakan rangkaian jejaring
yang saling memberikan manfaat dan saling menguatkan. Selain itu, merupakan
unit kota utama (the primary urban unit) agar bisa berintegrasi dengan ekonomi
global’.
Perihal penggolongan penggunaan lahan, Kota Bogor digolongkan ke
dalam penggunaan lahan dalam kaitannya dengan pemanfaatan sebagai ruang
pembangunan, dimana tidak memanfaatkan potensi alaminya tetapi lebih
ditentukan oleh adanya hubungan-hubungan tata ruang dengan penggunaanpenggunaan lain yang telah ada, diantaranya disesuaikan dengan ketersediaan
prasarana dan fasilitas umum lainnya. Sementara itu, berkaitan dengan cakupan
wilayah Kota Bogor, maka tata guna lahannya pun temasuk dalam konteks
perkotaan, yakni sesuai dengan cirinya memiliki penduduk yang padat, rumahrumahnya berkelompok, dan mata pencaharian penduduknya beragam tidak hanya
di bidang pertanian (bersifat self container atau serba lengkap).
Berdasarkan Intruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976, maka Kota Bogor
dijadikan sebagai salah satu kota yang mempunyai kedudukan strategis pada tata
ruang nasional. Dijadikannya Kota Bogor sebagai pusat perkembangan dan
pertumbuhan perekonomian mengakibatkan sumber agraria tanah di wilayah
tersebut pun dalam perencanaan pemanfaatannya lebih ditekan ke dalam sektor
non-pertanian. Pusat kegiatan yang diarahkan dalam RTRW Kota Bogor antara
lain perdagangan dan jasa, permukiman, industri, pariwisata, dengan skala
pelayanan nasional, internasinal, dan regional. Untuk lebih mengetahui
perencanaan penggunaan lahan dalam RTRW, maka disajikan dalam tabel berikut
ini:
76
Tabel 6 Rencana Penggunaan Lahan di Kota Bogor Tahun 1998-2009
No.
Jenis Penggunaan
1.
RUTR
(PERDA 11/1995)
Tahun 2005
Luas
Presentase
(ha)
(%)
PERMUKIMAN
8.214,82
69,32
-Perumahan
8.146,24
68,74
-Pendidikan
52.76
0,45
-Kesehatan
12,54
0,11
-Peribadatan
3,28
0,03
2.
TPA SAMPAH
10,00
0,08
3.
KOLAM
7,50
0,06
OKSIDASI
4.
PERTANIAN
1.055,91
8,91
5.
KEBUN
79,93
0,67
CAMPURAN
6.
INDUSTRI
96,35
0,81
7.
PERDAGANGAN
381,99
3,22
DAN JASA
8.
PERKANTORAN/
127,20
1,07
PEMERINTAHAN
9.
HUTAN KOTA
141,50
1,19
10. TAMAN/LAPANG
323,36
2,73
AN OLAHRAGA
11. KUBURAN
318,45
2,69
12. SUNGAI/SITU/DA
342,07
2,89
NAU
13. JALAN
714,82
6,03
14. TERMINAL DAN
21,75
0,18
SUB TERMINAL
15. STASIUN
5,60
0,05
KERETA API
16. RPH DAN PASAR
8,75
0,07
HEWAN
JUMLAH
11.850,0
100,00
Sumber: Dinas Penataan Ruang, Kota Bogor (1998)
EKSISTING
RTRW
Tahun 1998
Luas
Presenta
(ha)
se
(%)
8.263,15
69,73
8.193,66
69,14
53,46
0,45
12,71
0,11
3,32
0,03
9,21
0,08
1,50
0,01
Tahun 2009
Luas (ha) Presentase
(%)
8.741,89
8.526,53
178,11
27,67
9,58
1,50
73,77
71,95
1,50
0,23
0,08
0, 01
1.190,66
98,55
10,5
0,83
249,21
35,30
2,10
0,30
115,03
416,81
0,97
3,52
167,96
437,41
1,42
3,69
85,28
0,72
90,27
0,76
141,50
250,48
1,19
2,11
141,50
342,33
1,19
2,89
299,28
342,07
2,53
2,89
305,96
342,07
2,58
2,89
629,37
1,51
5,31
0,01
946,00
31,00
7,98
0,26
5,60
0,05
7,60
0,06
-
-
10,00
0,08
11.850,0
100,00
11.850,0
100,00
Terlihat pada Tabel 6, alokasi rencana penggunaan lahan pada tahun 2009
untuk kawasan pertanian hanya seluas 249,21 hektar (2,10%). Sedangkan untuk
perumahan mencapai luasan 8.526,53 hektar (71,95%). Hal ini menunjukkan
bahwa rencana penggunaan lahan dari perbandingan tahun 1998, 2005, dan 2009
untuk kawasan pertanian makin lama makin menurun. Sementara untuk kawasan
perumahan sempat menurun pada tahun 2005 dan meningkat relatif tajam pada
tahun 2009. Rencana alokasi peruntukkan ruang ini dapat memacu terjadinya alih
fungsi lahan pertanian.
77
7.1.1.2 Isi dan Arahan RDTRK
RDTRK yang diuraikan dalam tulisan ini hanya mencakup perwilayahan
Bogor Selatan. Wilayah Bogor Selatan dalam perencanaannya diarahkan sebagai
kota Satelit I. Faktor yang menentukan karakteristik perencanaan penggunaan
lahan di Bogor Selatan adalah faktor sosial dan kependudukan. Faktor sosial ini
berkaitan erat dengan peruntukkan lahan bagi permukiman secara luas, yakni
mencakup penyediaan fasilitas sosial yang memadai dan kemudahan akses
terhadap sarana dan prasarana kehidupan. Hal ini dipahami karena di Kota Bogor
terdapat kegiatan permukiman yang meningkat, pergerakan penduduk meningkat
(merupakan tempat para komuter bermukim), kebutuhan lahan perumahan
meningkat, dan
memiliki interaksi sangat kuat dengan Jakarta, Depok,
Tanggerang, Bekasi, dan Cianjur. Faktor kependudukan berkaitan dengan
pertambahan jumlah penduduk tiap tahunnya. Berdasarkan analisa data yang
didapat di Dinas Penataan Ruang Kota Bogor, pada tahun 2009 jumlah penduduk
di Bogor Selatan diperkirakan mencapai 163.722 jiwa, dengan kepadatannya 53
jiwa per hektar.
Faktor ekonomi dan pembangunan sementara itu, tidak kentara di
perencanaan pembangunan perwilayahan Bogor Selatan. Hal ini terlihat dari tidak
adanya penyediaan lahan bagi proyek-proyek pembangunan pertanian. Selain itu,
dalam RDTRK juga dijelaskan bahwa mengingat perkembangan fisik di lapangan
maka daerah pertanian teknis, non teknis, lahan kering, dan kebun campuran dapat
dialihfungsikan untuk pembangunan. Hal ini mengindikasikan sudah tidak ada
lagi perlindungan terhadap lahan pertanian. Sehingga, lebih jauh dapat memicu
terjadinya alih fungsi lahan pertanian.
Dinas Penataan Ruang Kota Bogor menemukan fakta terkait dengan
kondisi di perwilayahan Kelurahan Mulyaharja. Fakta tersebut antara lain
Kelurahan Mulyaharja dikategorikan sebagai wilayah yang kurang teratur, yakni
memiliki sarana jalan yang kurang atau sempit, susunan dan mutu rumahnya
hampir sama dengan desa, dan tidak mempunyai sistem atau jaringan jalan yang
teratur. Rencana tata guna lahan di Kelurahan Mulyaharja, Bogor Selatan dalam
RDTRK dimasukkan pada Sub Bagian Wilayah Kota (Sub BWK) B (lihat
lampiran 10). Dimana perencanaan tata guna lahannya diarahkan sebagai kawasan
78
perumahan atau permukiman, subterminal, dan kawasan perdagangan skala lokal.
Arahan ini dilakukan pemerintah daerah sebagai langkah untuk melakukan
pengembangan dan pembangunan perwilayahan.
Hasil pengkajian lapang menunjukkan bahwa terdapat dominasi arahan
pengembangan dan pembangunan di Kecamatan Bogor Selatan, yakni adanya
arahan perencanaan wilayah tersebut sebagai kawasan pembangunan dan
pengembangan perumahan baru dengan KDB rendah (50%-60%). Pengembangan
kegiatan perumahan diarahkan terutama untuk peningkatan kualitas lingkungan
permukiman serta terpenuhinya kebutuhan perumahan di Kota Bogor secara
keseluruhan. Pelaksanaan arahan pembangunan perumahan dapat dilakukan baik
oleh pengembang maupun pemerintah. Hal ini juga dimaksudkan untuk dapat
membangkitkan dan memberikan kontribusi yang besar bagi pengembangan
wilayah. Melihat arahan pengembangan dan pembangunan RDTRK seperti ini,
maka PT. A dengan jeli melihat peluang keuntungan. PT. A berusaha masuk ke
wilayah Bogor Selatan, yakni Kampung Cibereum Sunting untuk melakukan
ekspansi akumulasi modal dengan melakukan pembangunan dan pengembangan
areal kompleks perumahan baru.
Pada prakteknya di lapangan, terjadi banyak kejanggalan seakan-akan
“real estate” hanya memberi keuntungan pada pemerintah daerah Kota Bogor dan
PT. A, serta secara langsung dan tidak langgsung menggusur lahan pertanian para
petani. Kondisi ini menyebabkan luasan lahan pertanian menjadi berkurang.
Keuntungan bagi pemerintah daerah Kota Bogor secara khusus adalah
terpenuhinya kebutuhan rumah untuk setiap rumah tangga, terbentuknya
lingkungan perumahan yang layak dan nyaman bagi hunian, yang memiliki
tingkat kemudahan yang memadai sebagai subsistem kota secara keseluruhan,
sebagai faktor utama dalam mewujudkan pola penyebaran dan kepadatan
penduduk sesuai dengan arah perkembangan kota, dan faktor penunjang bagi
kepadatan lainnya dalam kaitannya dengan penyebaran tempat kerja dan fasilitas
umum.
79
Terkait dengan tata guna lahan, melihat keuntungan-keuntungan yang
diperjuangkan oleh masing-masing pihak tersirat nilai spesifik tanah di dalamnya,
yakni (secara rinci telah dijelaskan dalam Bab 5):
1. Bagi PT. A:
Lahan dikategorikan sebagai
nilai keuntungan, dimana terdapat
tujuan
ekonomi dan dapat dicapai dengan jual beli lahan di Kampung Cibereum
Sunting.
2. Bagi Pemerintah Daerah Kota Bogor:
Lahan dikategorikan sebagai nilai kepentingan umum yang dihubungkan
dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan
masyarakat.
3. Bagi Petani:
Lahan dikategorikan sebagai nilai sosial dimana kehidupan sosial antara petani
terikat di dalamnya, yakni adanya perilaku yang berhubungan dengan tradisi
dan kepercayaan.
7.1.2 Pelaksanaan Ruang
Aspek pelaksanaan merupakan salah satu aspek penting dalam suatu
rencana di samping aspek-aspek lainnya. Pelaksanaan ruang juga dapat dipahami
sebagai perwujudan tata ruang yang berarti kegiatan di lapangan untuk
menetapkan bagian-bagian ruang yang diperlukan untuk berbagai kegiatan sesuai
dengan rencana tata ruang. Selain itu, aspek pelaksanaan juga merupakan suatu
tolak ukur
untuk menilai bahwa suatu rencana tersebut dapat dipahami dan
diterapkan.
Bentuk kegiatan pelaksanaan penataan ruang antara lain juga berbentuk
kegiatan pematokan di lapangan untuk menunjukkan batas-batas ruang terkait
pemanfaatan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perwujudan tata ruang belum
tampak adanya wujud kegiatan serta bangunan-bangunan di lapangan sebab yang
ditata baru alokasi tempat-tempat yang akan diisi dengan kegiatan serta sarana dan
prasarananya yang diperlukan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang
diungkapkan oleh Bapak RDM (Dinas Penataan Ruang Kota Bogor):
80
‘pelaksanaan ruang itu juga dapat dikatakan sebagai perwujudan tata ruang,
yang dalam prosesnya ditetapkan peruntukkan bagian-bagian ruangnya. Nah,
kalau perwujudan tata ruang itu masih belum terlihat bentuk kegiatannya. Yah,
yang ditata baru tempat-tempat yang akan diisi saja’.
Terkait dengan kewajiban pemerintah dalam penataan ruang, maka
pemerintah wajib mengumumkan dan menyebarluaskan rencana tata ruang kepada
masyarakat dan mendengarkan masukan, saran atau keberatan yang diajukan
masyarakat atas rencana tata ruang tersebut. Agar masukan, saran, dan keberatan
masyarakat itu bersifat rasional dan beralasan, pemerintah juga wajib
menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran, pengertian, dan tanggung jawab
masyarakat melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan, dan latihan. Oleh karena
itu, dalam pelaksanaan perencanaan tata ruang terdapat upaya pembinaan ruang,
yakni dalam rangka memantapkan pelaksanaan penataan ruang.
Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kota Bogor adalah
dalam dua bentuk. Pertama, sosialisasi kepada masyarakat yang dilakukan untuk
memberikan dan meyebarluaskan informasi terkait dengan rencana penataan
ruang yang ditetapkan di tiap-tiap pembangunan perwilayahan Kota Bogor.
Sosialisasi yang dilakukan oleh pihak Dinas Penataan Ruang dirasa belum efektif
dan kurang menyentuh masyarakat luas. Hal ini dipahami karena sosialisasi yang
dilakukan hanya kepada kepada segelintir staf kelurahan di masing-masing
perwilayahan dan dilakukan di keramaian umum (pusat perbelanjaan atau mall).
Adapun sosialisasi yang dilakukan di pusat perbelanjaan atau mall dapat dilihat
dalam gambar berikut ini:
Gambar 5 Sosialisasi Rencana Tata Ruang Wilayah di Pusat Perbelanjaan (mal)
Sumber: Dinas Penataan Ruang (2007)
81
Sosialisasi yang dilakukan kepada staf kelurahan, kurang mengena dan
tidak menimbulkan motivasi untuk menyebarkan informasi mengenai RTRW dan
RDTRK kepada masarakat lain (terutama petani). Sementara itu, sosialisasi yang
dilakukan di keramaian umum seperti di pusat perbelanjaan atau mal dirasa
kurang efektif. Hal ini karena, fokus masyarakat yang datang ke pusat
perbelanjaan atau mall adalah belanja sehingga informasi di luar itu kurang atau
bahkan tidak terperhatikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan
oleh beberapa responden:
‘ Sosialisasi yang dilakukan tentang RTRW kurang menarik, dan sulit dipahami
oleh masyarakat terutama para petani. Jadi, percuma saja ngasih tahu kepada
mereka’. (Bapak UJG, Perangkat Kelurahan Mulyaharja)
‘Dinas Penataan Ruang kurang menekankan keharusan bagi peserta sosialisasi
untuk menyampaikan mengenai RTRW kepada berbagai pihak. Serta tidak ada
ketentuan sanksi yang diberikan bagi peserta jika tidak menyampaikan
informasi tersebut’.(Bapak BEN, Perangkat Kelurahan Mulyaharja)
Kedua, menumbuhkan serta mengembangkan kesadaran dan tanggung
jawab masyarakat melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan dan pelatihan.
Pembinaan dalam bentuk ini belum dilakukan oleh pihak pelaksana. Mereka
beralasan, program pembinaan ini dirasa belum bersifat mendesak, yakni tidak
perlu segera dilaksanakan. Sejauh ini, meskipun program tersebut tidak
dilaksanakan tidak membawa dampak yang besar. Hal ini sesuai dengan
pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak Bapak RDM (Dinas Penataan Ruang
Kota Bogor):
‘..Dinas Penataan Ruang belum merasa perlu untuk melakukan kegiatan
penyuluhan, bimbingan, pendidikan dan pelatihan terkait dengan
mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat. Karena, belum
mendesak untuk dilakukan’.
Seharusnya, mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat
terutama petani melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan dan pelatihan adalah
penting. Hal ini dapat membantu para petani untuk mempertahankan lahan
pertanian mereka. Paling tidak bila kegiatan penyuluhan, bimbingan, pendidikan
dan pelatihan dilakukan, para petani mendapatkan informasi akurat terkait dengan
82
RTRW dan RDTRK. Sehingga dengan sendirinya, dapat mengetahui mekanisme
apa yang dapat dilakukan untuk mempertahankan lahan pertanian mereka jika ada
pihak yang ingin memaksa untuk membeli lahan dengan bentuk penggunaan
tertentu seperti pembangunan dan pengembangan kompleks perumahan baru.
Pelaksanaan penataan ruang Kota Bogor yang dapat disoroti secara
spesifik adalah mengacu pada ketersediaan dana pembangunan. Sumber
pembiayaan pelaksanaan penataan ruang berasal dari pemerintah daerah Kota
Bogor, swasta, dan masyarakat. Dari ketiga sumber pembiayaan ini dana terbesar
bagi pembiayaan pembangunan berasal dari pemerintah. Meskipun begitu, sumber
pembiayaan yang terbesar terkait dengan pembangunan dan pengembangan
kawasan perumahan adalah dari pihak swasta. Aturan yang menjelaskan
diperbolehkannya sumber pembiayaan pembangunan dan pengembangan kota
oleh PT. A sebagai swasta, memberikan peluang bagi PT. A untuk melakukan
kapitalisme besar-besaran. Dengan alasan ikut serta dalam upaya pelaksanaan
penataan ruang, PT. A mendapatkan keleluasaan untuk melakukan akumulasi
modal dan meningkatkan surplus ekonomi. Akibatnya, lahan pertanian tergasak
menjadi kompleks perumahan baru yang dibangun oleh PT. A.
Adapun kekuatan lain yang membantu PT. A dalam menjalankan
pembangunan dan pengembangan kompleks perumahan baru, yakni adanya
Peraturan Pemerintah Nomor 80/1999. Peraturan tersebut menjelaskan tentang
kawasan siap bangun. Selain itu, diperkuat pula oleh kebijakan strategi nasional
perumahan dan permukiman (KSNPP) yang menjelaskan bahwa perumahan dan
permukiman tidak dapat terpisahkan dari ruang yang harus dimanfaatkan, terkait
dengan penyediaan prasarana dan sarana (utilitas umum). Alokasi ruang terbesar
yang ada di Kampung Cibereum Sunting disetujui dalam pelaksanaannya untuk
dimanfaatkan sebagai kawasan usaha PT. A yang bersangkutan, yakni
pembangunan dan pengembangan kompleks perumahan. Hal ini sesuai dengan
fakta yang didapat peneliti di lapangan, bahwa di Kampung Cibereum Sunting
hampir sebagian besar lahan pertaniannya berubah menjadi kompleks perumahan.
Terlihat di sini bahwa pelaksanaan penataan ruang di Kampung Cibereum Sunting
yang telah diatur dalam RTRW dan RDTRK dilakukan oleh pihak swasta (PT. A).
Pada intinya, bukan hanya RTRW dan RDTRK-nya saja diperuntukkan sebagai
83
wilayah permukiman melainkan sudah terlaksana pembangunan kompleks
perumahan elit di wilayah tersebut.
7.1.3 Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang, undang-undang ini menjadi rujukan utama bagi penataan ruang di
Indonesia. Namun, pada kenyataannya regulasi ini menyimpan permasalahan,
yakni pembahasan mengenai pemanfaatan dan pengendalian penataan ruang tidak
diuraikan secara rinci. Hal ini dapat memicu ketiadaan pegangan dalam
implementasi pemanfaatan dan pengendalian penataan ruang. Kemudian, terkait
dengan perwujudan rencana tata ruang (RTRW dan RDTRK) mengalami kendala
dalam implementasinya. Tata ruang seringkali berubah menjadi “tata uang”.
Melihat fenomena yang ada, Undang-Undang 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang dibuat sebagai bentuk revisi Undang-Undang 24 Tahun 1992. Dalam
undang-undang ini sudah mulai diberlakukan mekanisme pengendalian ruang.
Terkait dengan Undang-Undang 26 Tahun 2007, pengendalian dalam
hubungannya dengan rencana tata ruang kota adalah terkait dengan mekanisme
perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai
dengan rencana tata ruangnya. Produk pengedalian dalam hubungannya dengan
penataan ruang adalah izin lokasi, surat keterangan pemanfaatan ruang, izin
mendirikan bangunan, dan izin penggunaan bangunan. Bagian mengenai izin
lokasi dan surat keterangan pemanfaatan ruang tersebut akan dijelaskan lebih rinci
karena sangat terkait dengan aspek yang memberikan peluang alih fungsi lahan
pertanian, antara lain sebagai berikut:
Izin Lokasi
Izin lokasi adalah izin yang diberikan pemerintah daerah kepada
perusahaan (pengembang) dalam rangka penanaman modal. Ketentuan-ketentuan
yang mengatur mengenai pemberian izin lokasi sebagian besar mengacu kepada
ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, yakni berupa Keputusan
Presiden, Keputusan Menteri Agraria/Ketua BPN. Selain itu, terdapat juga
84
peraturan yang berasal dari peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang
dikeluarkan oleh Wali Kota. Adapun secara rinci dijelaskan sebagai berikut:
1. Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 mengenai izin lokasi.
Menurut penuturan pegawai pemerintahan, sebelum keluarnya
Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 mengenai izin lokasi,
proses perizinan lokasi diatur oleh Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun
1993. Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 dikeluarkan
sebagai bentuk respon adanya permasalahan terkait dengan Peraturan
Menteri Nomor 2 Tahun 1993, yakni dengan turunnya aturan mengenai
otonomi daerah, walikota sebagai penguasa wilayah merasa terlangkahi
dengan adanya aturan keharusan merekomodir ke kepala kantor
pertanahan yang notabenenya hanya tingkat eselon III walaupun masih
termasuk aparat pemerintah pusat di daerah. Hal ini dapat dipahami
dengan melihat perbedaan pelimpahan wewenang yang terdapat pada isi
peraturan-peraturan tersebut. Dalam Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun
1993, dijelaskan mengenai wewenang pemberian izin lokasi berada di
bawah kantor Badan Pertanahan Nasional. Dalam Peraturan Menteri
Agraria Nomor 2 Tahun 1999, wewenang pemberian izin lokasi berada di
bawah kabupaten/kota. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang
diungkapkan oleh Bapak BRD (Kantor Pertanahan, Kota Bogor):
‘Turunnya aturan tentang otonomi daerah, membuat walikota merasa
menjadi penguasa. Oleh karena, kewenangan pemberian izin lokasi
berada di bawah kantor pertanahan (dalam Peraturan Menteri Nomor
2 Tahun 1993) maka hal itu menjadi masalah. Walikota merasa
terlangkahi oleh Kantor Pertanahan yang hanya eselon III’.
Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 ini merupakan
dasar hukum utama yang dipakai terkait dengan pemberian izin lokasi
yang berkaitan dengan kegiatan usaha komersial, seperti pembangunan
perumahan atau industri. Peraturan ini memuat ketentuan-ketentuan umum
mengenai izin lokasi, antara lain yang menyangkut pengertian izin lokasi,
isi izin lokasi, kapan izin lokasi diperlukan, hak dan kewajiban pemegang
izin lokasi, dan hak serta perlindungan pihak-pihak yang mempunyai
85
kepentingan atas tanah yang ditunjuk dalam izin lokasi terutama para
pemegang hak atas tanah.
Tanah yang ditunjuk dalam izin lokasi adalah tanah yang menurut
RTRW dan RDTRK memang diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai
dengan rencana usaha dari perusahaan yang bersangkutan. Izin ini
merupakan izin pemindahan hak atas tanah sehingga dalam prakteknya
pemegang izin lokasi juga memperoleh izin untuk melakukan usaha
pembebasan tanah dalam areal tersebut. Ini mengindikasikan pengusaha
dapat melakukan pembebasan tanah sendiri dengan bekal legalitas dari
pemerintah.
Pada prakteknya, PT. A melakukan proses pembebasan tanah
dengan berusaha menekan petani melalui bantuan biong. Biong adalah
orang yang memperoleh keuntungan dengan bekerja sama dengan PT. A.
Biong melakukan berbagai cara untuk menekan petani agar mau menjual
lahannya kepada PT. A, seperti terus mendatangi rumah petani dan
membujuk para petani, bahkan bila itu tidak berhasil para biong cenderung
memaksa dengan cara mengancam petani. Hal ini sesuai dengan
pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak H. AJH (Petani):
‘PT. A teh pada kerja sami sareung biong pikeun ngabujuk wargi biar
ngaical lahan tanina. Sapopoe teh biong nyamperan ka imah abdi wae,
laun-laun teh janteun maksa. Akhirna, abdi teh risih oge jeung akhirna
mah nga jual lahan’.
‘PT. A melakukan kerja sama dengan biong untuk membujuk warga
agar menjual lahan taninya. Setiap hari biong mendatangi terus
menerus ke rumah, lama-lama jadi memaksa. Akhirnya, saya merasa
risih dan akhirnya menjual lahan’.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa terdapat penyimpangan dalam
hal proses pembebasan lahan di Kampung Cibereum Sunting. Padahal
pada pasal 2 dan 3 Keputusan Presiden RI Nomor 55 Tahun 1993 telah
dijelaskan, bahwa pemberian ganti rugi didasarkan atas prinsip
musyawarah serta tetap menghormati hak yang dimiliki oleh masyarakat
dan tidak boleh menutup atau mengurangi kemudahan yang dimiliki
masyarakat. Hal ini menunjukkan celah, bahwa pengawasan terhadap
86
pelaksanaan pasal 2 dan 3 Keputusan Presiden RI Nomor 55 Tahun 1993
tidak dilakukan secara optimal. Akibatnya, PT. A dapat memanfaatkan
situasi ini untuk mencari keuntungan dari para petani dengan berusaha
mencari cara agar petani menjual lahannya. Hal ini sesuai dengan
pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak H. NDN (Dinas Cipta Karya,
Kota Bogor):
‘pengawasan secara mendetail terhadap proses pembebasan lahan
memang belum dilakukan. Hal ini terbentur oleh kurangnya
sumberdaya manusia dan dana’.
Adapun prosedur ideal permohonan izin lokasi, antara lain
dijelaskan sebagai berikut:
Gambar 6 Prosedur Ideal Permohonan Izin Lokasi
Pemohon
Mengajukan
Permohonan
Kantor Pertanahan
Walikota/Bupati/Gubernur
di DKI
Rapat Koordinasi
dengan Instansi
terkait
Menerima Permohonan
Pemeriksaan Kelengkapan
dan pemenuhan syarat-syarat
koordinasi dan minta data
pendukung instansi terkait
Keputusan
ditolak
diterima
1. Surat Persetujuan
• PMD > Surat Persetujuan
Penanaman Modal
• PMA > Surat Pemberitahuan
Persetujuan
2. Surat Persetujuan
Pencadangan Tanah (Lihat
Prosedur)
3. Biaya Admnistrasi
Proses Pembebasan Tanah
(Kepres No. 55 Tahun 1993
Bahan-bahan untuk
rapat koordinasi
SK Izin Lokasi
Konsultasi dengan
masyarakat soal rencana
penggunaan tanah untuk
investigasi dan ganti rugi
Keputusan
Masyarakat
Tidak Setuju
Mencari
Alternatif
Sumber: Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999
87
Adapun mekanisme penyimpangan terkait permohonan izin lokasi
untuk kegiatan usaha komersial PT. A di Kampung Cibereum Sunting,
antara lain dijelaskan sebagai berikut:
Gambar 7 Mekanisme Penyimpangan Terkait Permohonan Izin Lokasi
untuk Kegiatan Usaha Komersial PT. A di Kampung
Cibereum Sunting
Pemohon
PT. A
Mengajukan
Permohonan
Kantor Pertanahan
Menerima Permohonan
Pemeriksaan Kelengkapan
dan pemenuhan syarat-syarat
koordinasi dan minta data
pendukung instansi terkait
1. Surat Persetujuan
• PMD > Surat Persetujuan
Penanaman Modal
• PMA > Surat Pemberitahuan
Persetujuan
2. Surat Persetujuan
Pencadangan Tanah
3. Biaya Admnistrasi
Proses Pembebasan Tanah
(Kepres Nomor 55 Tahun 1993)
Ideal:
Pemberian ganti rugi didasarkan atas
prinsip
musyawarah
serta
tetap
menghormati hak yang dimiliki oleh
masyarakat dan tidak boleh menutup atau
mengurangi kemudahan yang dimiliki
masyarakat.
Proses Nyata:
PT. A melaksanakan pembebasan tanah
dengan bantuan biong. Pada prakteknya,
para biong cenderung memaksa petani
untuk menjual lahan pertanian mereka.
Bahan-bahan untuk
rapat koordinasi
Ideal:
Konsultasi dengan masyarakat
soal rencana penggunaan tanah
untuk investigasi dan ganti rugi.
Proses Nyata:
Konsultasi dengan masyarakat
soal rencana penggunaan tanah
untuk investigasi dan ganti rugi,
belum dilakukan secara intensif
terhadap masyarakat tani yang
lahannya
terkena
plotan
kompleks perumahan. konsultasi
dengan
masyarakat
hanya
berkutat pada kelompok elit
yang
mata
pencaharian
utamanya bukan berasal dari
pertanian.
Keputusan
Masyarakat
Keterangan:
Menunjukkan adanya
penyimpangan
Menunjukkan tidak terdapat
penyimpangan
Sumber: Hasil analisis yang dilakukan peneliti (2009)
Walikota/Bupati/Gubernur
di DKI
Rapat Koordinasi
dengan Instansi
terkait.
Ideal:
Rapat koordinasi
dihadiri
oleh
seluruh instansi
yang tergabung
dalam Tim 9.
Proses Nyata:
Rapat koordinasi
hanya
dihadiri
oleh
sebagian
instansi
yang
tergabung dalam
Tim 9.
Keputusan
diterima
SK Izin Lokasi
88
Terkait dengan Gambar 7, PT. A dalam mengajukan permohonan
pemanfaatan tanah yang berkaitan dengan usaha komersial, yakni pembangunan
dan pengembangan kompleks perumahan, juga melalui mekanisme izin lokasi.
Hal ini diungkapkan oleh Bapak EDY (Tata Pemerintahan, Kota Bogor):
‘PT. A sebelum bangun kompleks perumahan, melewati proses mengajukan
permohonan untuk memperoleh izin lokasi sebelum mengurus hak formal atas
tanahnya’.
Hasil pengkajian di lapang menunjukkan bahwa dalam pembebasan lahan,
kondisi alam Kampung Cibereum Sunting tidak diperiksa terlebih dahulu oleh
dinas-dinas terkait yang tergabung dalam Tim 9 2. Hal ini sesuai dengan
pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak B (perangkat Kelurahan Mulyaharja):
‘Sateuacan dibebaskeun taneuh teh, teu aya pihak dinas anu mantau kondisi
alam Kampung Cibereum Sunting. Ujug-ujug geus kaluar surat izin wae nu
dicepeung PT. A’.
‘Sebelum dibebaskan tanah tersebut, tidak ada pihak dinas yang memantau
kondisi alam Kampung Cibereum Sunting. Tahu-tahu sudah keluar surat izin
saja yang di pegang PT. A’.
Pemegang izin lokasi dalam hal ini PT. A memperoleh izin untuk
melakukan pembebasan tanah dalam areal tersebut. Akibatnya, PT. A melakukan
pembebasan tanah sendiri padahal dalam ketentuan teknis, Tim 9 sebagai tim
pertimbangan memiliki tugas dan tanggung jawab, yang salah satunya adalah
melakukan peninjauan lapangan terhadap lokasi yang dimohon. Sebenarnya,
pemerintah daerah mempunyai peranan yang besar sebagai filter atau penyaring
2
Komposisi keangotaan dari tim 9 (panitia pengadaan tanah), disebutkan dalam pasal 7 terdiri dari:
1. Bupati/Walikota KDH Tingkat II sebagai ketua merangkap anggota.
2. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai wakil ketua merangkap anggota.
3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi Bangunan sebagai anggota.
4. Kepala Instansi Pemerintahan Daerah yang bertanggungjawab dibidang pertanian sebagai
anggota.
5. Kepala Instansi Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang pertanian sebagai anggota.
6. Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana dan pelaksanaan pembangunan
akan berlangsung sebagai anggota.
7. Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana dan pelaksanaan
pembangunan akan berlangsung sebagai anggota.
8. Asisten Sekertaris Wilayah Daerah Bidang Pemerintaha atau Kepala Bagian Pemerintah pada
kantor Bupati/Walikota sebagai sekretaris I bukan anggota.
9. Kepala Seksi pada kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai Sekretaris II bukan anggota.
89
dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian, dimana pemerintah mampu
melakukan upaya pencegahan terhadap proyek-proyek yang sifatnya kapitalisme
besar-besaran. Namun pada kenyataannya, RTRW dan RDTRK yang dibuat justru
mendukung kapitalisme besar-besaran. Hal ini terbukti dari adanya fakta bahwa
PT. A bukan hanya membangun kawasan perumahan tetapi juga membangun
kawasan wisata.
Surat Keterangan Pemanfaatan Ruang (SKPR)
Pemberian SKPR dapat dilakukan apabila instansi yang menanganinya
telah mencocokkan kesesuaian antara elemen-elemen rencana yang disodorkan
dengan rencana pengembangan kota yang telah menjadi pedoman. Meskipun
ketentuan mengenai SKPR ini sudah jelas, namun belum menjadi peraturan
daerah yang sah. Ini menunjukkan SKPR belum memiliki kekuatan hukum yang
kuat. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak RDM
(Dinas Penataan Ruang, Kota Bogor):
‘Untuk ketentuan tentang SKPR memang sudah jelas, tapi belum jadi peraturan
daerah. Tetapi, aturan ini sudah dalam proses untuk menjadi peraturan daerah’
Berkaitan dengan hal itu, PT. A berhasil mendapatkan SKPR untuk
membangun
kompleks
perumahan
baru.
Hal
ini
dikarenakan
rencana
pembangunan kawasan perumahan di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan
Mulyaharja mengarah pada set plan yang sesuai dengan RDTRK Bogor Selatan,
yakni memang diarahkan sebagai permukiman. Hal ini seperti yang diungkapkan
oleh Bapak NDN (Dinas Ciptakarya, Kota Bogor):
‘Rencana PT. A bangun perumahan di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan
Mulyaharja disetujui karena mengarah pada set plan yang sesuai dengan
RDTRK wilayah Bogor Selatan’.
7.2
Pada Tingkat Petani
7.2.1 Posisi Tawar (Bargaining Position)
Penataan ruang di Kota Bogor juga tidak terlepas dari Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta
Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Aturan ini
90
memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk memberi peluang bagi
peran serta masyarakat dalam hal penataan ruang, serta menjelaskan bahwa setiap
orang berhak menikmati manfaat ruang. Dengan perkataan lain, setiap orang baik
secara langsung perorangan atau melalui kelompok berhak mengajukan usul,
memberi saran atau mengajukan keberatan kepada pemerintah dalam rangka
penataan ruang. Peraturan ini juga mengatakan bahwa masyarakat juga berhak
mengetahui secara terbuka rencana tata ruang. Masyarakat juga berhak mendapat
'kompensasi' atau penggantian yang layak bila dirugikan oleh pelaksanaan
kegiatan pembangunan yang sesuai rencana tata ruang. Adapun kewajiban
masyarakat adalah berperan serta dalam memelihara mutu ruang dan menaati tata
ruang yang telah ditetapkan. Hal ini berarti masyarakat juga bertanggung jawab
atas pelaksanaan pembangunan yang baik dan benar.
Perubahan ini menimbulkan konsekuensi yang tidak ringan. Hal ini
karena, dengan melibatkan peran serta masyarakat dalam penataan ruang
dibutuhkan pemikiran keras dan inisiatif dari pemerintah dan masyarakat.
Akibatnya, dalam membuat rencana tata ruang seringkali tersirat masih dilakukan
secara semi top down (belum berjalannya komunikasi dua arah). Hal ini sesuai
dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak UJG (perangkat Kelurahan
Mulyaharja):
‘Meskipun saya diundang dalam
rapat dengan agenda penyusunan
perencanaan tata ruang, tapi rancangan rencana tata ruang sudah dibuat oleh
pemerintah daerah. Selain itu, ketika berjalannya rapat pemerintah daerah
lebih dominan dan seolah-olah hanya mempresentasikan rancangan rencana
tata ruang serta kurang memberikan ruang partisipasi kepada peserta rapat
lainnya (LSM, akademisi, dan swasta)’.
Hasil
pengkajian
menunjukkan
bahwa
selain
belum
berjalannya
komunikasi dua arah, beberapa upaya sosialisasi undangan keterlibatan
masyarakat hanya berkutat pada tahap perencanaannya. Informasi terkait dengan
hal itu pun kurang tersampaikan dengan baik. Walaupun pengertian partisipasi
masyarakat sudah menjadi kepentingan bersama, tetapi dalam prakteknya terdapat
pemahaman yang tidak sama. Hal ini terlihat, dimana pemerintah daerah sudah
melakukan sosialisasi dan konsultasi dengan masyarakat, akan tetapi masyarakat
merasa tidak cukup puas hanya dengan proses tersebut karena masyarakat
91
menginginkan setiap keputusan yang diambil melibatkan mereka. Permasalahan
yang dihadapi dalam upaya perencanaan partisipatif terletak pada panjangnya
proses pengambilan keputusan dimana jarak antara penyampaian aspirasi hingga
menjadi keputusan cukup jauh. Pada intinya, keterlibatan masyarakat dalam
pemanfaatan dan pengendalian ruang belum tersentuh dengan baik.
Petani di Kampung Cibereum Sunting berkaitan dengan hal tersebut, juga
belum memiliki kesiapan untuk berpartisipasi secara penuh dalam penataan ruang.
Hal ini dipengaruhi oleh ketiadaan akses yakni tidak adanya kemampuan untuk
memperoleh keuntungan atas objek material dan orang lain. Secara khusus, petani
tidak memiliki mekanisme akses pengetahuan terhadap kebijakan penataan ruang.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa responden, ternyata pengetahuan
petani terhadap tata ruang secara persil khususnya di sekitar kediamannya adalah
“tidak mengetahui”. Apalagi pengetahuan tentang tata ruang secara keseluruhan
Bogor Selatan.
Ketidaktahuan petani terhadap tata ruang sungguh dapat dipahami, hal ini
karena kurangnya wacana dan kemampuan petani untuk mempertajam
terminologi sangat mempengaruhi keseluruhan kerangka kerja akses terhadap
kebijakan penataan ruang. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya pendidikan para
petani. Setelah digali lebih jauh, rendahnya pendidikan petani juga dipengaruhi
oleh kondisi sosial ekonomi rumah tangga petani yang juga rendah. Hal ini sesuai
dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak H. OIN (petani):
‘Bujeng-bujeng ngemutan atawa mikiran tata ruang, sakola geu teu lulus,
lantaran teu aya biaya, janteun anu mikir leuwih teh teu dugi. Komo deui tata
ruang, abdi mah teu ngartos’.
‘Tidak pernah memikirkan apa itu tata ruang, sekolah saja tidak lulus, karena
tidak ada biaya, jadi kalau berpikir yang berat-berat tidak sampai. Apalagi tata
ruang, saya tidak mengerti’.
Rendahnya partisipasi juga dipengaruhi oleh ciri-ciri petani di Kampung
Cibereum Sunting, sebagai berikut:
1. Cenderung sebagai pihak yang tersubordinasi. Hal ini ditunjukkan oleh
rendahnya pendidikan para petani (telah dijelaskan pada paragrap
92
sebelumnya). Sebagian besar diantara petani hanya lulusan sekolah dasar.
Selain itu, dipengaruhi juga oleh rendahnya pendapatan para petani.
2. Memiliki prinsip “safety first”, yakni sebagai akibat dari ketergantungan
ekologis yang dikembangkan petani. Yang selanjutnya, ini mempengaruhi
aspek teknis, sosial, dan moral dalam tatanan agraris pra-kapitalis.
Kecenderungan menyukai kestabilan jangka panjang mempengaruhi sikap
petani dalam merespon perkembangan kesempatan kerja di luar pertanian,
dimana petani tidak “betah” bekerja di sektor tersebut. Kondisi demikian
berangkat dari posisi petani yang masih terikat dalam tatanan nilai-nilai
feodalistik. Nilai-nilai ini lebih mendahulukan sikap menerima terhadap
berbagai kondisi, yakni petani menerima saja ketika lahan pertanian yang
dimiliki dialihfungsikan menjadi kompleks perumahan.
Pada intinya faktor-faktor yang diuraikan di atas menyebabkan bargaining
position (posisi tawar) para petani rendah. Selanjutnya, menyebabkan akses petani
terhadap ruang menjadi terbatas sehingga petani tidak mampu mengelola
permasalahan. Hal ini kemudian, membuka peluang bagi PT. A (swasta) untuk
masuk dan memanfaatkan ketidakberdayaan para petani untuk melakukan
ekspansi kapitalisme besar-besaran.
7.3
Ikhtisar
Pemerintah daerah menurunkan produk kebijakan penataan ruang berupa
RTRW dan RDTRK. Pada pelaksanaannya, kebijakan penataan ruang tersebut
memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian, yakni di tingkat
pelaksana dan di tingkat petani. Pada tingkat pelaksana mencakup perencanaan,
pelaksanaan, dan pengendalian terhadap aturan tata ruang. Pada tingkat petani
adalah rendahnya posisi tawar. Aspek-aspek tersebut baik di tingkat pelaksana
maupun petani, selanjutnya dimanfaatkan oleh PT. A dengan tujuan akumulasi
modal dan meningkatkan surplus.
93
Tabel 7 Perbandingan Antara Aturan Formal dan Proses Nyata Terkait dengan Kebijakan Penataan Ruang.
No.
1.
Aspek Kebijakan Penataan Ruang
Pada
Perencanaan Isi dan
Tingkat
Arahan
Pelaksana
RTRW
Aturan Formal dan atau Peluang Penyimpangan
Sebelum RTRW dibuat perlu diketahui terlebih dahulu
berbagai kebutuhan masyarakat yang tinggal di wilayah
yang direncanakan.
Keluarnya Intruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976.
Isi dan
Arahan
RDTRK
Pelaksanaan
Isi rencana penggunaan lahan Tahun 2009: Alokasi lahan
pertanian 2,10 persen, sedangkan perumahan mencapai
71,95 persen.
Penetapan Kota Bogor sebagai kota Satelit I sehingga
meningkatnya perkembangan fisik di lapangan maka daerah
pertanian teknis, non teknis, lahan kering, dan kebun
campuran dapat dialihfungsikan untuk pembangunan.
Penetapan Kota Bogor ke dalam Sub BWK B.
Proses Nyata dan atau Dampak
Pencarian informasi tentang kebutuhan
masyarakat hanya dilakukan secara makro
dan tidak menyentuh kebutuhan masyarakat
kecil terutama petani.
Dijadikannnya Kota Bogor sebagai pusat
perkembangan dan pertumbuhan
perekonomian sehingga sumber agraria tanah
dalam perencanaan pemanfaatannya lebih
ditekan ke dalam sektor non-pertanian.
Rencana alokasi peruntukkan ruang ini dapat
memacu terjadinya alih fungsi lahan
pertanian.
Tidak ada lagi perlindungan terhadap lahan
pertanian.
Perencanaan tata guna lahannya diarahkan
sebagai kawasan perumahan/permukiman,
subterminal, dan kawasan perdagangan skala
lokal.
Pemerintah wajib mengumumkan dan menyebarluaskan • Pembinaan dalam bentuk sosialisasi yang
rencana tata ruang kepada masyarakat dan mendengarkan
dilakukan oleh pihak Dinas Penataan Ruang
masukan, saran atau keberatan yang diajukan masyarakat
dirasa belum efektif dan kurang menyentuh
atas rencana tata ruang tersebut. Agar masukan, saran dan
masyarakat luas.
keberatan masyarakat itu bersifat rasional dan beralasan • Pembinaan dalam bentuk menumbuhkan
maka pemerintah juga wajib menumbuhkan dan
serta mengembangkan kesadaran dan
mengembangkan kesadaran, pengertian, dan tanggung
tanggung jawab masyarakat melalui
jawab masyarakat melalui penyuluhan, bimbingan,
penyuluhan, bimbingan, pendidikan, dan
pendidikan, dan latihan.
pelatihan belum dilakukan oleh pihak
pelaksana.
Aturan diperbolehkannya sumber pembiayaan
Investasi dan kapitalisasi besar-besaran oleh
pembangunan dan pengembangan dari pihak swasta.
pihak swasta.
Keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 80/1999.
Alokasi ruang terbesar yang ada di Kampung
94
Pengendalian
Di dalam Undang-Undang 24 Tahun 1992, pengendalian
penataan ruang tidak diuraikan secara rinci.
Keluarnya UndangUndang 26 Tahun 2007.
Izin Lokasi:
• Peraturan Menteri Agraria
Nomor 2 Tahun 1999
(ketentuan: pemegang izin
lokasi memperoleh izin untuk
melakukan usaha
pembebasan tanah dalam
areal tersebut).
• Pasal 2 dan 3 Keputusan
Presiden RI Nomor. 55/1993
(ketentuan: pemberian ganti
rugi didasarkan atas prinsip
musyawarah serta tetap
menghormati hak yang
dimiliki oleh masyarakat dan
tidak boleh menutup atau
mengurangi kemudahan yang
dimiliki masyarakat).
Surat Keterangan Pemanfaatan
Ruang (SKPR):
• Ketentuan mengenai SKPR
ini sudah jelas, namun belum
menjadi peraturan daerah
yang sah
• Pemberian SKPR dapat
dilakukan apabila instansi
yang menanganinya telah
mencocokkan kesesuaian
antara elemen-elemen
rencana yang disodorkan
Cibereum Sunting disetujui dalam
pelaksanaannya untuk dimanfaatkan sebagai
kawasan perumahan.
Memicu ketiadaan pegangan dalam
implementasi pemanfaatan dan pengendalian
penataan ruang.
Keleluasaan swasta (PT. A) dalam melakukan
pembebasan tanah.
PT. A melaksanakan pembebasan tanah
dengan bantuan biong. Pada prakteknya, para
biong cenderung memaksa petani.
SKPR belum memiliki kekuatan hukum yang
kuat.
PT. A berhasil mendapatkan SKPR karena
rencana pembangunan kawasan perumahan di
Kampung Cibereum Sunting mengarah pada
set plan yang sesuai dengan RDTRK Bogor
Selatan
95
dengan rencana
pengembangan kota yang
telah menjadi pedoman.
2.
Pada
Tingkat
Petani
Posisi Tawar (bargaining
Position)
RENDAH
Peraturan Pemerintah
Nomor 69 Tahun 1996
tentang Pelaksanaan Hak
dan Kewajiban, serta
Bentuk dan Tata Cara
Peran Serta Masyarakat
dalam Penataan Ruang.
Menimbulkan konsekuensi yang tidak ringan
karena dengan melibatkan peran serta
masyarakat dalam penataan ruang maka
membutuhkan pemikiran keras dan inisiatif
dari pemerintah dan masyarakat itu sendiri.
Panjangnya proses pengambilan keputusan
dimana jarak antara penyampaian aspirasi
hingga menjadi keputusan cukup jauh.
Keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan
dan pengendalian ruang belum tersentuh
dengan baik.
Sumber: Dikumpulkan oleh penulis dari non-survey (2009)
96
BAB VIII
TENDENSA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
SEBAGAI BENTUK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN
DI KAMPUNG CIBEREUM SUNTING
8.1
Faktor–Faktor Pendorong Terjadinya Alih Fungsi Lahan Pertanian
Menurut penuturan informan, lahan pertanian di Kampung Cibereum
Sunting cukup luas yakni mencapai + 10 hektar. Hal ini menyebabkan mayoritas
mata pencaharian penduduk di Kampung Cibereum Sunting adalah petani.
Umumnya petani di wilayah ini berstatus sebagai petani pemilik. Sebelum tahun
1994-an Kampung Cibereum Sunting merupakan kawasan terbuka hijau yakni
terdiri dari hamparan sawah dan ladang. Namun, secara terus menerus lahan
pertanian di kampung ini terjadi penyusutan atau berkurang setiap tahunnya yakni
sebagai akibat alih fungsi lahan ke penggunaan non-pertanian. Perubahan
penggunaan di kawasan ini adalah ke bentuk penggunaan dalam konteks
pembangunan, yang dalam hal ini adalah sebagai kawasan perumahan.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan terjadi pada
kurun waktu 1994 hingga saat penelitian ini berlangsung masih terjadi. Faktor
yang mempengaruhi perubahan alih fungsi lahan pertanian ini dipengaruhi oleh
faktor luar, yakni pihak swasta dan intervensi pemerintah daerah. Adapun
penjelasannya sebagai berikut:
Pertama, Pihak Swasta. Pembangunan kompleks perumahan X dilakukan
oleh PT. A (Swasta) yang merupakan pengembang yang berasal dari Jakarta.
Adapun proses masuknya kontraktor PT. A ke wilayah ini adalah dimulai pada
1994. Pada tahun tersebut, PT. A baru membangun kantor pemasaran dan berhasil
melakukan proses pengalihan kepemilikan lahan atau membebaskan lahan hingga
+1,5 hektar. Lahan yang dibeli tersebut adalah lahan sawah dan ladang.
Pembangunannya dimulai sejak 2006. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang
diungkapkan petani dan perangkat kelurahan bagian pertanahan:
‘Tahun 1994 teh PT. A ngawangun kantor pemasaran. Aranjeuna berhasil
ngagaleuh taneuh wargi pikeun ngawangun perumahan kirang langkung 1,5
hektar’. (Bapak BDN, Petani)
97
‘Tahun 1994 PT. A membangun kantor pemasaran. Mereka berhasil membeli
tanah warga untuk membangun perumahan kurang lebih 1,5 hektar’. (Bapak
BDN, Petani)
‘Pembelian lahan sudah dilakukan mulai tahun 1994, tetapi baru dibangun tahun
2006’. (Bapak UJG, Perangkat Kelurahan Mulyaharja)
Hasil penulusuran juga menemukan penjelasan bahwa dari tahun 1995
hingga 2009, PT. A masih berupaya untuk melakukan pengembangan kawasan
perumahan X dengan membeli lahan pertanian penduduk untuk dialihfungsikan,
yakni berhasil membebaskan lahan seluas +1,5 hektar. Luasan lahan pertanian di
Kampung Cibereum Sunting, yang telah beralih fungsi ke bentuk perumahan
adalah + 3 hektar. Usaha pengembangan kawasan perumahan dilihat oleh PT. A
sebagai peluang usaha untuk mencari keuntungan. Pandangan PT. A tersebut
berangkat
dari
adanya
tekanan
pertumbuhan
penduduk,
yakni
adanya
pertambahan penduduk yang masuk di Kampung Cibereum Sunting sehingga
membutuhkan tempat tinggal untuk bermukim. Hal ini sesuai dengan penuturan
informan:
‘Tujuan pengembangan kawasan perumahan ini memiliki prospek yang
menguntungkan, karena banyak orang yang membutuhkan tempat tinggal untuk
bermukim’. (Bapak ZKA, PT. A)
Terkait dengan lokasi, Kampung Cibereum Sunting berada di kota maka
peluang harga tanahnya juga lebih mahal. Akibatnya, PT. A memilih lokasi
Cibereum Sunting sebagai areal pembangunan kawasan perumahan dengan alasan
nilai strategis dan nantinya memiliki harga jual yang tinggi atau mahal di pasaran.
Hal ini juga dipahami oleh PT. A sebagai bentuk strategy marketing dalam
konteks place. Hal ini sesuai dengan penuturan informan:
’Pemilihan lokasi, di Kampung Cibereum Sunting didasarkan pada penetapan
strategy marketing (place), yakni memiliki nilai strategis sehingga harga jual
nantinya akan tinggi’. (Bapak ZKA, PT. A)
Kedua, Intervensi Pemerintah, Kebijaksanaan Makro, dan Kegagalan
Institusional. Kebijakan makro yang diambil oleh pemerintah akan sangat
mempengaruhi seluruh jalannya sistem kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
98
Terkait dengan hal tersebut, kebijakan penataan ruang ikut menyumbang sebagai
faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum
Sunting. Di dalam kebijakan penataan ruang Kota Bogor ternyata terdapat aspekaspek yang memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan, yakni terletak pada
tingkat pelaksana dan pada tingkat petani (sudah dijelaskan pada Bab 7). Aspek
peluang ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak swasta, dengan tujuan sebagai alat
untuk mencari keuntungan, yakni dengan cara melakukan penanaman modal.
Dapat dipahami bahwa arti penting tanah bagi swasta adalah mengarah kepada
kepentingan akumulasi modal dan meningkatkan surplus.
Aspek peluang yang paling besar dimanfaatkan oleh swasta adalah pada
tingkat pelaksana. Hal yang perlu dipahami adalah penetapan era otonomi daerah,
dimana mengandung pemberian kewenangan kepada daerah. Implikasinya adalah
pemerintah daerah dapat menelurkan kebijakan penataan ruang wilayah
berdasarkan pertimbangannya sendiri. Berkaitan dengan itu, adanya kepentingan
pemerintah kota atas lahan adalah sebagai motor pertumbuhan ekonomi atau roda
pembangunan. Artinya, tanah merupakan sumberdaya alam strategis bagi
pembangunan. Pembangunan pun begitu dipercaya, dapat diwujudkan dengan
sokongan biaya dari swasta. Akibatnya, dengan alih-alih memberikan keuntungan,
swasta memanfaatkan peluang tersebut untuk melakukan akumulasi modal
melalui pengembangan kompleks perumahan dengan bekerja sama dengan
pemerintah daerah setempat.
Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bagaimana proses alih
fungsi lahan pertanian yang terjadi, yakni dapat dijelaskan melalui hubungan yang
terjadi diantara petani, pemerintah daerah, dan PT. A. Dapat disusun sebuah
diagram ven yang dapat memberi gambaran hubungan antara pihak-pihak terkait
dengan alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kampung Cibereum Sunting.
Adapun diagram ven hubungan interaksi antar aktor sosial digambarkan sebagai
berikut:
99
Gambar 8 Diagram Ven Hubungan antara Pihak-Pihak yang Terkait dengan Alih
Fungsi Lahan Pertanian
Keterangan:
C
A
: Pemerintah Daerah
B
: PT. A (Swasta)
C
: Petani
A
B
Sumber: Hasil analisis yang dilakukan peneliti (2009)
Gambar 8 di atas menunjukkan PT. A dan pihak pemerintah daerah
sebagai yang berwenang memiliki hubungan yang dekat. Hubungan interaksi yang
terjadi diantarainya adalah kuat. Dimana mereka bekerja sama dalam hal perizinan
lokasi yakni pembebasan lahan yang lebih jauh memberikan legalisasi alih fungsi
lahan pertanian yang terjadi. Hubungan interaksi baik antara pemerintah daerah
dengan petani pemilik tanah maupun antara PT. A memiliki interaksi yang jauh.
Hal ini karena petani pemilik lahan hanya dianggap sebagai pemilik objek alih
fungsi yang tidak memiliki daya dan kuasa yang besar. Intimidasi dan isu yang
menakut-nakuti seperti yang sudah dijelaskan pada Bab 7 dijalankan oleh pihak
PT. A sebagai upaya melancarkan alih fungsi lahan pertanian di Kampung
Cibereum Sunting.
8.2
Pola Alih Fungsi Lahan Pertanian
Pengertian alih fungsi lahan, pada dasarnya menekankan adanya
perubahan peruntukkan lahan dari penggunaan yang satu ke penggunaan lainnya,
yang dalam hal ini alih fungsi dari peruntukkan lahan pertanian menjadi kompleks
perumahan. Alih fungsi lahan di Kampung Cibereum Sunting masih terus terjadi
dan bertambah dari tahun ke tahun. Makin bertambahnya alih fungsi lahan
pertanian ke penggunaan lain (bersifat progresif) bisa menjadi permasalahan yang
cukup serius terkait dengan terbatasnya keberadaan lahan di Kampung Cibereum
Sunting. Alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting juga bersifat
permanen. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak BDN
(Petani):
100
‘Upami lahan tani geus digaleuh ku PT. A mah, teu tiasa dirobah deui janteun
lahan pertanian”. Da’ saya mah teu kenging meser taneuh deui ti PT. A’.
‘Kalau lahan tani sudah dibeli oleh PT. A, tidak bisa dirubah lagi menjadi
lahan pertanian”. Saya tidak mampu membeli tanah lagi dari PT. A’.
Faktor-faktor penggerak utama alih fungsi lahan, pelaku, pemanfaatan, dan
proses alih fungsi lahan merupakan dasar lahirnya tipe alih fungsi lahan yang
terjadi di Kampung Cibereum Sunting. Penggolongan tipe alih fungsi lahan ini
dikaitkan dengan faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih fungsi lahan. Hasil
analisis tersebut menghasilkan tipe alih fungsi lahan, yakni tergolong dalam alih
fungsi lahan sistematik berpola ”enclave” dimana faktor penyebabnya adalah
tanah yang dialihfungsikan digunakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan hidup
(pembangunan kawasan perkotaan dan permukiman). Secara rinci alih fungsi
lahan sistematik berpola ”enclave” dapat dijelaskan sebagai pola alih fungsi lahan
mencakup wilayah dalam bentuk ”sehamparan tanah” secara serentak dalam
waktu yang relatif sama. Maksudnya, lahan yang berfungsi sebagai lahan
pertanian secara serentak beralih fungsi ke bentuk pembangunan kawasan
kompleks perumahan. Luas lahan yang beralih fungsi tersebut mencapai + 3
hektar. Pembangunan kompleks perumahan yang dibangun oleh PT. A tidak
terlepas dari dukungan kebijakan penataan ruang Kota Bogor, dimana alokasi
lahan di Bogor Selatan termasuk Kampung Cibereum Sunting di dalamnya adalah
sebagai kawasan permukiman. Ini dimaksudkan oleh pemerintah daerah sebagai
bentuk pembangunan kawasan perkotaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang
diungkapkan oleh Bapak RDM (Dinas Penataan Ruang, Kota Bogor):
‘Alokasi lahan yang digunakan untuk pembangunan kompleks perumahan,
merupakan upaya pemerintah daerah untuk membangun perwilayahan kawasan
perkotaan’.
101
8.3
Ikhtisar
Pemanfaatan yang dilakukan oleh swasta pada aspek kebijakan penataan
ruang di tingkat pelaksana dan petani tersebut memacu terjadinya perubahan
penggunaan lahan di Kampung Cibereum Sunting, yakni dari lahan pertanian
menjadi kompleks perumahan. Bila dianalisis lebih lanjut dengan melihat
fenomena yang terjadi, ternyata faktor yang paling mempengaruhi perubahan
fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian adalah faktor luar, yakni pihak
swasta dan intervensi pemerintah daerah. Bila dilihat dari konteks interaksi, PT. A
memiliki hubungan yang dekat dengan pihak pemerintah daerah. Sedangkan,
hubungan interaksi baik antara pemerintah daerah dengan petani pemilik tanah
maupun antara PT. A memiliki interaksi yang jauh. Sementara itu, berdasarkan
faktor-faktor penggerak utama alih fungsi lahan, pelaku, pemanfaatan, dan proses
alih fungsi lahan, maka tipe alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kampung
Cibereum Sunting adalah tipe sistematik berpola ”enclave”.
Download