3 PENGANTAR Sebuah tim didefinisikan sebagai sekumpulan individu dalam jumlah yang sedikit dengan ketrampilan yang saling melengkapi yang berkomitmen pada tujuan, seperangkat target kinerja dan pendekatan yang sama dimana pertanggungjawabannya dilakukan secara bersama. Definisi ini mengandung elemen-elemen yang membuat tim berfungsi, yaitu komitmen dan tujuan bersama, target kinerja serta ketrampilan yang saling melengkapi dan pertanggungjawaban bersama (Katzenbach & Smith, 1993). Adanya kesepakatan akan tujuan, tugas, prosedur pelaksanaan atau proses membuat tim membangun sinergi yang bergerak melampaui usaha individu atau bahkan individu di kelompok secara keseluruhan, ke tingkat kreativitas dan penyelesaian tugas yang baru (Harris & Sherblom, 2008). Komitmen bersama inilah yang membuat tim menjadi unit usaha kolektif yang kuat (Katzenbach & Smith, 1993). Tim yang diterapkan secara efektif dapat meningkatkan kreativitas, pengetahuan dan motivasi yang dimiliki oleh anggota tim, serta memperluas lingkup alternatif solusi sehingga mendapatkan solusi yang lebih baik dan memberdayakan sumber daya (Recard, et al., 1996). Selain itu, organisasi juga menggunakan tim untuk meningkatkan inovasi, menambah kolaborasi, meningkatkan komunikasi efektif, memecahkan permasalahan dan meredefinisi struktur organisasi yang tradisional (Harris & Sherblom, 2008). Namun, jika tim tidak dapat memberikan dampak positif pada peningkatan produktivitas, kepuasan pekerja, penambahan aliran dana serta akuisi, kepuasan dan retensi pelanggan, maka kemungkinannya adalah terbuangnya waktu dan sumber daya yang diinvestasikan untuk mengimplementasikan tim (Recardo, Wade, Mention III & Jolly, 1996). Perubahan tugas dan tujuan tim kerap terjadi pada suatu tim. Namun, apapun tugas yang dikerjakan oleh tim, tim kerja juga memiliki perbedaan pada hal penting lainnya, yaitu pada bagaimana menariknya tim kerja bagi anggotanya. Jika suatu tim dianggap sangat menarik oleh anggotanya, maka tiap anggota tim akan menghargai keanggotaan mereka dan memiliki keinginan yang kuat untuk tetap bergabung dalam tim tersebut . Ketertarikan anggota pada timnya tersebut disebut sebagai kohesivitas tim (George & Jones, 2008). Tanpa setidaknya tingkat kohesevitas yang cukup, maka tim akan menjadi pecah dimana tiap anggotanya akan keluar dari tim. Oleh sebab itu, kohesivitas 4 menunjukkan, walaupun tidak secara langsung, kesehatan dari suatu tim (Forsyth, 2010). Dengan demikian, tentunya kohesivitas tim dapat mempengaruhi performa dan efektivitas dari tim tersebut (George & Jones, 2008). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kohesivitas tim memiliki dampak yang cukup krusial dalam tim. Studi longitudinal yang dilakukan oleh Tekleab, Quigley dan Tesluk (2009) pada 53 tim menunjukkan bahwa kohesivitas tugas memiliki hubungan yang positif dengan kepuasan dengan tim, viabilitas tim dan perceive performance. Penelitian Riasudeen dan Srinivasan (2011) menemukan bahwa kohesivitas tim merupakan salah satu group factor pada perusahaan IT yang menjadi prediktor dari kepuasan kerja pekerja. Hasil positif lainnya juga ditunjukkan oleh penelitian Joo, Song, Lim dan Yoon (2012) yang menunjukkan bahwa kreativitas tim memiliki hubungan yang positif dengan kohesivitas tim yang tinggi. Kohesivitas Tugas Secara umum, terdapat dua konsep kuat yang berbeda mengenai kohesivitas, yaitu kohesivitas sebagai persepsi individu dan kohesivitas sebagai persepsi bersama di antara anggota tim (Kozlowski & Ilgen, 2006). Bollen dan Hoyle (1990) menjelaskan dua konsep tersebut dalam kaidah teoritis dan empiris sebagai berikut : (1) pendekatan yang memfokuskan terutama pada faktor-faktor yang berkontribusi pada kohesivitas tim dan (2) pendekatan yang memfokuskan kohesivitas tim sebagai konstruk yang independen yang dapat dikonseptualisasikan dan diukur terlepas dari pertimbangan mengenai faktorfaktor yang menghasilkan kohesivitas. Pada perspektif yang kedua ditunjukkan oleh dua pendekatan yang berbeda dan paling jelas ketika mempertimbangkan operasionalisasi kohesivitas, yaitu (1) pendekatan yang menggambarkan kohesivitas sebagai suatu atribut objektif dari tim secara keseluruhan dan bergantung terutama pada pengukuran gabungan dari penilaian antar anggota dalam mengoperasionalisasikan kohesivitas dan (2) pendekatan yang mempertimbangkan kohesivitas sebagai suatu fungsi dari persepsi tiap anggota mengenai pandangannya terhadap tim. Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini menggunakan pendekatan subjektif dimana kohesivitas tim dikonseptualisasikan sebagai konstruk 5 independen yang ditunjukkan dengan menanyakan individu anggota tim mengenai persepsi mereka terhadap kohesivitas timnya. Seringkali persepsi ini diungkapkan bersama dengan beberapa dimensi, salah satunya kohesivitas tugas dan kohesivitas sosial yang dikembangkan oleh Carron, Widmeyer dan Brawley (1985) (Bollen & Hoyle, 1990). Carron, et al. memandang kohesivitas tim sebagai persepsi individu mengenai tim sebagai sebuah unit dan ketertarikan individu pada tim berdasarkan aspek tugas yang digambarkan sebagai orientasi umum dalam pada pencapaian tujuan dan target tim serta aspek sosial yang digambarkan sebagai orientasi umum pada pengembangan dan pemeliharaan hubungan sosial dalam tim. Forsyth (2010) berpendapat bahwa suatu tim tidak perlu menjadi kohesif secara interpersonal namun, dengan memfokuskan kohesivitas pada kebutuhan akan komunikasi yang jujur, komitmen yang kuat terhadap tugas bersama dan kemauan untuk mendahului kepentingan tim di atas kepentingan individu. Carless dan De Paola (2000) juga berpendapat bahwa dalam konteks organisasi, membedakan kohesivitas tugas dari kohesivitas sosial memiliki implikasi praktis yang penting. Meningkatnya performa tim lebih memungkinkan disebabkan dari memfokuskan pada perilaku yang meningkatkan komitmen pada tugas tim daripada perilaku yang meningkatkan kesukaan individu pada satu sama lain dalam tim. Berdasarkan argumen di atas, penelitian ini memfokuskan kohesivitas tim pada aspek tugas yang terdiri dari dua aspek berdasarkan konsep kohesivitas yang dikembangkan oleh Carron, et al. (1985), yaitu group integration – task, yaitu persepsi anggota tim mengenai kesamaan dan kedekatan dalam tim mengenai penyelesaian tugas; dan individual attraction to group – task, yaitu perasaan anggota tim mengenai keterlibatan pribadi dalam tugas tim (Carless & De Paola, 2001). Oleh sebab itu, kohesivitas tugas pada tim itu sendiri didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai tingkat ikatan kolektif terhadap tugas tim dan ketertarikan pribadi pada tugas tim (Eys & Carron, 2001). Terdapat sejumlah penelitian yang menunjukkan dampak kohesivitas tugas pada tim. Penelitian Eys dan Carron (2001) menunjukkan bahwa ketidakjelasan mengenai lingkup tanggung jawab yang semakin besar akan mengakibatkan rendahnya persepsi anggota tim terhadap kohesivitas tugas pada timnya. 6 Penelitian Forrester dan Tashchian (2006) juga menunjukkan bahwa kesatuan tim dalam mencapai tujuan dan komitmen bersamanya pada tugas menyebabkan usaha dan efektivitas yang meningkat serta menciptakan tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Kohesivitas tugas yang tinggi juga terbukti menghasilkan tingkat fokus pada tugas yang lebih tinggi, meliputi mengerjakan tugas dengan serius, motivasi dalam mengerjakan tugas, kepercayaan pada kualitas tinggi dalam diskusi dan keputusan kelompok (Bernthal & Insko, 1993). Selain itu, kohesivitas tugas juga merupakan prediktor untuk pengukuran subjektif mengenai performa kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi anggota tim mengenai seberapa efektif mereka dalam bekerja sebagai unit kerja yang bergantung pada perasaan mereka akan kesamaan, kedekatan dan ikatan dalam tim sebagai satu kesatuan dalam tugas tim (Chang & Bordia, 2001). Kohesivitas kelompok yang berorientasi pada tugas juga dipandang sebagai alternatif pendekatan yang sesuai untuk mengatasi keberagaman yang terdapat dalam tim. Dengan lebih memfokuskan pada tugas daripada interpersonal, maka kelompok dapat memanfaatkan keberagaman yang mereka miliki pada pengerjaan tugas. Hal ini menyebabkan tim akan lebih memperhatikan penyelesaian tugas daripada keberfungsian sebagai suatu kelangsungan sosial (Knouse, 2006). Kohesivitas yang berdasarkan pada komitmen bersama terhadap tugas kelompok akan menunjukkan dinamika kelompok yang berbeda. Misalnya, kriteria dalam menerima informasi dan arahan, pertimbangannya akan berdasarkan pada bagaimana informasi dan arahan tersebut dapat berkontribusi dalam menyelesaikan tugas (daripada pertimbangan yang berdasarkan pada apakah informasi dan arahan tersebut akan menyebabkan hubungan dengan anggota kelompok menjadi kurang harmonis) (Hackman, 1976). Anggota pada kelompok kohesif-tugas akan memperhatikan keberhasilan anggota lainnya. Hal ini disebakan karena pencapaian individu berhubungan erat dengan pencapaian kolektif. Mereka akan mengerahkan usaha yang kuat untuk kelompok dan anggotanya dalam memfasilitasi keberhasilan kelompok. Ketika menghadapi permasalahan atau kegagalan, anggota dari kelompok kohesiftugas yang tinggi akan tetap bertahan untuk mengerjakan tugas. Kebutuhan akan usaha kolektif dan komitmen memberikan dasar pada nilai keanggotaan kelompok pada individu dan kekuatan integrasi kelompok (Zaccaro, Gualtieri & 7 Minionis, 1995). Mengembangkan kohesivitas tugas pada kelompok kerja tidaklah mudah. Karena kebanyakan tugas di organisasi tidak benar-benar menumbuhkan komitmen tim yang tulus. Selain itu, cukup sulit bagi individu melakukan pekerjaan tanpa berorientasi akan penghargaan antar-pribadi, walaupun pada tugas yang penting secara objektif (Hackman, 1976; 1998). Hackman (1998) menyebutkan kondisi organisasi yang dapat mengembangkan kohesi tugas, yaitu (1) tujuan yang jelas dan mengikat yang menantang bakat tim; (2) komposisi anggota tim yang tepat, tugas yang bermakna, umpan balik secara langsung, mengelola proses internal; (3) organisasi yang mampu mengidentifikasi dan mendorong pencapaian dari tim dan anggotanya; (4) kepemimpinan yang melatih, memberdayakan dan mendukung anggotanya. Knouse (2006) juga menyimpulkan sejumlah variabel penting bagi kohesivitas tugas, yaitu ketrampilan yang berkaitan dengan tugas; identitas dan arti tugas, task requirement; kongruensi tujuan tim; umpan balik; kongruensi peran tugas; task interdependence; dan kepemimpinan. Diantara sejumlah variabel tersebut, Hackman (1992) berpendapat bahwa umpan balik merupakan komponen utama dalam menciptakan kohesivitas tugas (Knouse, 2006). Karena umpan balik sangat penting dalam proses kelompok yang berkomitmen untuk meningkatkan diri (Harris & Sherblom, 2008). Umpan Balik Umpan balik berdampak pada tingkat ketertarikan pada kelompok, harga diri dalam kelompok, motivasi, perasaan defensif dan penerimaan masalah kelompok serta performa tugas, perilaku keanggotaan dan perilaku coping (Nadler, 1979). Umpan balik juga terbukti memiliki efek yang signifikan terhadap penetapan tujuan dan merupakan kondisi yang diperlukan agar tujuan dapat mempengaruhi kinerja (Erez, 1977). Penelitian yang dilakukan oleh Davis, Carson, Ammeter dan Treadway (2005) menunjukkan adanya dampak interaktif antara orientasi tujuan dan kejelasan umpan balik pada kinerja tugas. Pada fase pertama (enam percobaan pertama) partisipan tidak memiliki pengalaman sebelumnya mengenai tugas yang dikerjakan, sehingga kejelasan umpan balik berdampak besar pada indvidu yang memiliki orientasi pembelajaran yang rendah. Hasil ini menunjukkan bahwa orientasi pembelajaran menjadi penting di 8 awal pengerjaan tugas yang baru yang kurang memiliki umpan balik yang spesifik. Hasil penelitian Davis, et al. (2005) juga menunjukkan bahwa pada fase terakhir (enam percobaan ketiga) kejelasan umpan balik berdampak besar pada individu yang memiliki orientasi kinerja yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa orientasi kinerja dapat bermanfaat pada kinerja ketika individu mendapatkan pengalaman dalam tugas dan tersedianya umpan balik yang spesifik yang cukup. Davis, et al. menjelaskan bahwa pengalaman akan tugas dan umpan balik yang spesifik mengurangi kebutuhan akan elaborasi tugas atau meningkatkan pengunaan latihan tugas sehingga menyebabkan individu yang memiliki orientasi kinerja yang tinggi cenderung untuk terlibat dalam latihan yang dapat menciptakan performa yang lebih baik. memegang peranan yang penting dalam memahami bagaimana individu yang memiliki orientasi kinerja yang tinggi bereaksi terhadap umpan balik. Earley, Northcraft, Lee dan Lituchy (1990) juga melakukan penelitian mengenai interaksi antara penetapan tujuan dengan umpan balik mengenai proses kerja dan hasil kerja yang dapat mempengaruhi kinerja, kualitas strategi kerja, kesesuaian dalam pencarian informasi, percaya diri dan usaha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara penetapan tujuan dengan umpan balik mengenai proses kerja sangat kuat dalam mempengaruhi kualitas strategi tugas dari individu dan pencarian informasi, sedangkan interaksi antara penetapan tujuan dengan umpan balik mengenai hasil kerja mempengaruhi usaha dan kepercayaan diri. Selain itu, Earley, et al. (1990) juga menemukan bahwa rerata tertinggi kinerja berhubungan dengan kombinasi antara tujuan yang spesifik, menantang dan umpan balik yang spesifik mengenai proses dan hasil. Jenis umpan balik yang diberikan diianggap juga dapat mempengaruhi reaksi afeksi dari individu. Penelitian Ilies, De Pater dan Judge (2007) menunjukkan bahwa reaksi afeksi yang negatif terhadap umpan balik yang negatif (ketika tujuan tidak tercapai) lebih kuat dibandingkan reaksi afeksi yang positif terhadap umpan balik yang positif (ketika umpan balik tercapai atau terlampaui). Ilies, et al. (2007) berpendapat bahwa hasil ini menunjukkan bahwa individu memproses informasi umpan balik yang positif dan negatif secara berbeda. Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Limon dan Boster (2003) yang menemukan bahwa persepsi terhadap prestise, kompetensi tugas dan 9 keterikatan pada kelompok ditemukan paling tinggi ketika diberikan umpan balik yang positif, sedangkan persepsi terhadap social loafing ditemukan paling tinggi ketika diberikan umpan balik yang negatif pada anggota kelompok. Jenis umpan balik yang diberikan dipandang dapat memprediksi regulasi diri pada individu. Penelitian yang dilakukan oleh Ilies dan Judge (2005) menunjukkan bahwa individu menurunkan tujuan ketika mendapatkan umpan balik yang negatif dan meningkatkan tujuannya ketika mendapatkan umpan balik yang positif. Umpan balik itu sendiri diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pihak eksternal dalam memberikan informasi mengenai sejumlah aspek dari performa kerja seseorang (Kluger & DeNisi, 1996). Pada konteks pekerjaan, individu memberikan umpan balik untuk menguatkan perilaku yang baik dan memperbaiki perilaku yang kurang baik pada diri individu lainnya. Pekerja yang menerima umpan balik akan mempertimbangkan nilai dari umpan balik tersebut dan menentukan apakah untuk menerima dan menyikapi umpan balik atau menolak bahkan mengabaikan umpan balik tersebut. Sementara itu, umpan balik dalam tim dapat mengidentifikasi kebutuhan perkembangan tim dan membantu organisasi untuk mengidentifikasi tim yang membutuhkan bantuan, seperti tim yang mengalami kesulitan dan tidak menyelesaikan tugas (London, 2003). Idealnya evaluasi perilaku dan umpan balik dari anggota tim lainnya dapat membantu dalam mengembangkan perilaku tim yang lebih positif dari anggota tim (Dominick, Reilly & McGourty, 1997). Jika anggota tim diminta untuk menganalisis data umpan balik dan memprioritaskan area untuk ditingkatkan, maka umpan balik dapat dijadikan kesempatan untuk meningkatkan keterlibatan anggota dan mengendalikan outcome tim. Selain itu, dengan harus menghadapi umpan balik yang nyata akan mendorong tim untuk mengatasi permasalahan secara langsung daripada mengabaikannya atau menyalahkan pihak di luar tim atas permasalahan tersebut (London, 2003). Umpan balik memiliki beberapa elemen penting, yaitu (a) informasi kinerja yang objektif, dihasilkan oleh output kinerja yang jelas terlihat; (b) penerima umpan balik dimana penerimaan terhadap umpan balik dipengaruhi oleh kebermanfaatan dari umpan balik, intensi pemberi umpan balik dalam memberikan umpan balik yang membangun dan rasa percaya diri individu; dan (3) pemberi umpan balik dimana kesediaannya dalam memberikan umpan balik 10 dipengaruhi oleh kemampuan individu dalam berkomunikasi, kenyamanan individu dalam memberikan evaluasi kinerja secara tatap muka atau tertulis serta kemampuan dan keinginan individu dalam memberikan coaching pada penerima umpan balik dalam menggunakan informasi untuk meningkatkan kinerja (London, 2003). Beberapa karateristik dari umpan balik yang membangun juga dijelaskan oleh London (2003), yaitu (a) memberikan informasi yang konkrit yang dapat digunakan; (b) didasari oleh niat ingin membantu (misalnya, untuk mempertahankan, memperbaiki atau meningkatkan perilaku); (c) diberikan melalui cara yang dapat diterima oleh penerima umpan balik; (d) jelas dan dapat dimengerti; (e) relevan dengan elemen dari kinerja yang berkontribusi pada keberhasilan tugas dan dibawah kendali penerima umpan balik; (f) harus diikuti oleh adanya penjelasan sehingga penerima umpan balik dapat memahami bagaimana umpan balik dapat diterapkan untuk meningkatkan kinerja tugas; dan (g) umpan balik diberikan segera atau secepatnya setelah perilaku atau performa yang diinginkan untuk dikritik. London (2003) juga mengungkapkan bahwa mekanisme pendukung dibutuhkan untuk memastikan bahwa umpan balik dipahami dan digunakan untuk menetapkan tujuan untuk perbaikan. Hal tersebut dilakukan agar individu yang menerima umpan balik dapat mendapatkan manfaat dari umpan balik tersebut. Mekanisme tersebut dapat berupa pelatihan atau penugasan tugas khusus yang dapat membantu individu yang menerima umpan balik untuk latihan atau perbaikan. Selain itu, mekanisme pendukung ini juga dapat bermanfaat dalam menghindari umpan balik yang destruktif dimana terdapat kemungkinan individu dapat menerima umpan balik yang desktruktif baik disengaja maupun tidak disengaja. Oleh sebab itu, mekanisme pendukung ini memfokuskan pada kemampuan individu dalam memahami umpan balik, kepekaan terhadap umpan balik, konteks dan mekanisme akuntabilitas. Kemampuan individu dalam memahami umpan balik tergantung pada sejauh mana umpan balik sesuai dengan kemampuan proses kognitif individu tersebut sehingga dapat memandang suatu tugas dari perspektif yang berbeda dan menerapkannya untuk meningkatkan kinerja. Kondisi ini dipengaruhi oleh kendali dan kredibilitas pemberi umpan balik; kejelasan, reliabilitas dan validitas umpan balik yang diberikan; standar dan harapan yang ditetapkan pada perilaku 11 yang dinilai serta ketersediaan coaching dan role model yang menunjukkan bagaimana umpan balik dapat diterapkan. Kepekaan individu terhadap umpan balik menunjukkan sejauh mana individu ingin belajar dan mampu serta termotivasi dalam memproses informasi dari berbagai sumber. Konteks itu sendiri merujuk pada apa yang terjadi di dalam organisasi serta tuntutan dan tekanan yang dihadapi oleh individu yang menerima dan memberikan umpan balik, seperti kondisi yang membedakan peran penerima umpan balik dengan yang lainnya dan mengusulkan alasan (dan rasionalisasi) pada perbedaan perspektif. Faktor yang terakhir adalah mekanisme akuntabilitas yang didefinisikan sebagai cara yang digunakan oleh organisasi agar individu bertanggung jawab dalam memberikan dan menggunakan umpan balik, meliputi pemberi umpan balik menjelaskan dan memberikan alasan pada umpan baliknya, mengharapkan individu dalam memberikan penilaian yang akurat dan berarti. Faktor penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam menerapkan evaluasi dari anggota tim, yaitu tujuan penilaian. Secara umum terdapat dua pendekatan dalam memberikan umpan balik mengenai performa individu, yaitu pendekatan evaluatif dan pendekatan pengembangan (Farh, Canella & Bedeian, 1991; Druskatt & Wolff, 1999; Baker, 2008). Umpan balik yang bertujuan untuk pengembangan digunakan untuk mengidentifikasi kesenjangan antara kinerja aktual dan kinerja ideal pada individu atau kelompok, sedangkan penilaian yang bertujuan untuk evaluasi biasanya digunakan untuk kepentingan administratif, misalnya pembagian reward atau kenaikan gaji (Baker, 2008). Tujuan dari suatu penilaian juga akan mempengaruhi kualitas penilaian. Penelitian Farh, Canella, dan Bedeian (1991) menunjukkan bahwa penilaian dengan tujuan evaluatif cenderung mengandung efek halo yang lebih besar dan lebih lenient, kurang membedakan, kurang reliabel dan kurang valid daripada penilaian yang bertujuan untuk pengembangan. Penilaian dengan tujuan pengembangan juga memiliki user acceptance yang lebih tinggi daripada yang bertujuan evaluatif (McEvoy & Buller, 1987). Berdasarkan hasil penelitian Druskat dan Wolff (1999) mengenai penilaian antar anggota yang bertujuan untuk pengembangan (developmental peer appraisal) terbukti memiliki dampak langsung yang positif pada persepsi mengenai komunikasi yang terbuka dan hubungan antar anggota. Hal ini disebabkan 12 karena penilaian ini disusun secara terstruktur dan dilakukan secara tatap muka dimana memberikan kendali pada anggota kelompok untuk menetapkan perilaku yang diharapkan serta kesempatan untuk mengklarifikasi dan mendiskusikan umpan balik yang diterima. Penilaian ini juga dinilai memiliki potensi yang besar bagi tim kerja dimana penilaian ini terbukti bermanfaat dalam perkembangan anggota kelompok dan kemampuan kelompok dalam menyelesaikan tugasnya. Developmental Peer Appraisal Developmental peer appraisal yang dikembangkan oleh Druskat dan Wolff ini serupa dengan peer feedback yang dikembangkan oleh Wolff (1998). Dalam penelitiannya, baik Wolff maupun Druskat dan Wolff menggunakan kelompok tugas mahasiswa. Proses yang terdapat dalam peer feedback terdiri dari serangkaian aktivitas yang dibangun antar individu dalam tim dan diakhiri dengan sesi umpan balik dalam kelas. Aktivitas yang pertama berkaitan dengan pembentukan tim dimana tim diminta untuk saling mengenal satu sama lain dan mendiskusikan harapan mereka. Aktivitas kedua menugaskan anggota tim untuk membuat kontrak yang di dalamnya anggota tim mendiskusikan kinerja yang diharapkan, kebijakan dan prosedur untuk mengatasi perilaku yang tidak sesuai dengan kesepakatan bersama. Pada aktivitas terakhir, anggota tim diminta untuk mengamati kinerja anggota tim lainnya serta melakukan persiapan dan melaksanakan sesi peer feedback dalam kelas. Druskat dan Wolff (1999) membagi serangkaian aktivitas tersebut menjadi empat tugas tim yang terstruktur, yaitu (1) menetapkan ekspektasi dan rencana kerja, kebijakan dan prosedur dalam mengatasi pelanggaran ekspektasi serta lembar formal penilaian; (2) mengobservasi kontribusi tiap anggota selama pengerjaan tugas dan mencatat perilaku tertentu yang dilakukan individu dan dampaknya terhadap kelompok; (3) tiap anggota memilih satu anggota lainnya untuk bertanggung jawab dalam mengelola penilaian yang disebut sebagai appraisal manager yang bertugas merangkum seluruh komentar dan mengisi lembar formal penilaian untuk appraisee; (4) appraisal manager memberikan rangkuman umpan balik dari tim secara verbal pada appraisee sedangkan anggota lainnya mengoberservasi dan appraisee didorong untuk mengklarifikasi, meminta pemberian contoh dan parafrase. 13 Penerapan metode peer feedback ini bertujuan untuk menyediakan suatu mekanisme bagi tim mengenai umpan balik dalam tugas tim dapat mempengaruhi peningkatan performa dan untuk mengembangkan kapasitas individu dalam memberikan dan menerima umpan balik (Rubin, 2006). Hasil penelitian Dominick, Reilly dan McGourty (1997) menunjukkan bahwa peer feedback terbukti mempengaruhi perilaku anggota tim dibandingkan dengan tim yang tidak diberikan umpan balik. Pada peer feedback itu sendiri, individu terlibat dalam pemberian kritik yang membangun mengenai pekerjaan atau performa dari individu lainnya dengan menggunakan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya dan memberikan umpan balik kepada mereka. Individu juga diminta untuk mengidentifikasi setidaknya satu kekuatan dari produk atau proses yang dinilai dan Keberhasilan memberikan dari mengembangkan peer cara setidaknya feedback yang satu dapat saran tercapai diplomatik dan untuk jika pengembangan. individu konstruktif dapat dalam mengkomunikasikan umpan balik kritis pada rekan setim (Falchikov, 2001). Dibandingkan metode penilaian lainnya yang menggunakan peer sebagai rater (misalnya, peer assessment), peer feedback dianggap memiliki potensi yang lebih besar akan pembelajaran. Hal ini disebabkan karena peningkatan pemahaman dan pembelajaran individu terjadi karena lebih menekankan pada standar yang ditetapkan oleh tim dan interaksi antar anggota. Proses yang terjadi di dalam peer feedback juga membantu individu dalam membangun beberapa ketrampilan, misalnya refleksi kritis, mendengarkan dan menyikapi umpan balik, peka terhadap menilai dan memberi umpan balik atas kinerja individu lainnya. Individu dapat belajar bukan hanya dari peer feedback itu sendiri, namun juga melalui meta-proses, seperti mempertimbangkan dan memberikan alasan atas apa yang telah mereka lakukan (Liu & Carless, 2006). Bermodal ketrampilan tersebut, individu akan mampu memberikan umpan balik yang membangun. Dalam konteks tim, kemampuan ini menunjukkan kepedulian individu akan pertumbuhan anggota tim lainnya (Wolff, 1998). Dinamika Psikologis Developmental Peer Appraisal dengan Kohesivitas Tugas Perilaku yang menunjukkan kepedulian terhadap anggota tim akan mempengaruhi iklim tim dengan difasilitasi oleh proses peer feedback sehingga 14 tercipta iklim yang aman untuk memberikan umpan balik dan mendiskusikan isuisu yang sensitif. Hal ini disebabkan karena pemberian umpan balik yang jujur pada proses peer feedback memegang peran yang penting dalam membangun hubungan yang akan menyebabkan ketertarikan yang lebih besar pada tim (Wolff, 1998). Pendapat yang serupa juga diungkapkan oleh Dominick, et al. (1997) bahwa peer feedback dapat dijadikan sebagai pendekatan untuk membantu anggota tim dalam meningkatkan efektivitas interpersonal mereka. Dengan demikian, iklim tim yang aman dan perilaku yang menunjukkan kepedulian terhadap anggota tim memfasilitasi dampak penerapan peer feedback pada peningkatan kohesivitas tim (Wolff, 1998). Druskat dan Wolff (1999) menemukan bahwa developmental peer appraisal dapat membantu tim dalam mengatasi anggota yang tidak terlibat dan juga untuk mereka dalam menyampaikan perasaan dan pandangannya. Sebelum penilaian, kelompok yang mendapatkan umpan balik positif dan negatif dengan seimbang merasakan tingkat ketertarikan pada kelompok dan komunikasi terbuka yang rendah serta kurang optimis terhadap penilaian berikutnya. Anggota yang mendapat umpan balik negatif tidak langsung merasa lebih baik setelah penilaian, namun setelah tiga kelas berikutnya menunjukkan tingkat kohesivitas dan komunikasi terbuka dalam kelompok yang meningkat secara signifikan dibandingkan dengan individu yang mendapatkan umpan balik positif. Druskat dan Wolff menjelaskan bahwa kondisi tersebut dapat terjadi karena difasilitasi oleh kombinasi dari partisipasi dalam proses umpan balik dan perubahan pada perilaku mereka dan individu lainnya sebagai hasil dari menerima umpan balik. Umpan balik dalam tim juga dapat dijadikan alat untuk meningkatkan keterlibatan anggota tim dan juga untuk membantu mereka dalam memahani pola perilaku yang terjadi di dalam tim. Pendapat yang serupa juga diungkapkan oleh Harris dan Sherblom (2008) yang menyatakan bahwa komunikasi yang terbuka dan melibatkan anggota tim akan memotivasi mereka untuk menginvestasikan dirinya dalam proses dan membangun kohesivitas tim. Dengan demikian, umpan balik akan berdampak pada usaha tim dalam mengkoordinasikan usaha bersama dalam pengerjaan tugas. Temuan di atas juga didukung oleh hasil review Tuckman (1965) pada beberapa studi mengenai tahapan perkembangan pada small group yang menemukan bahwa pada struktur kelompok tahap pengembangan kohesi untuk 15 natural group dan laboratory group terdapat interaksi yang berkaitan dengan tugas berupa evaluasi yang dideskripsikan sebagai proses pertukaran opini antar anggota kelompok. Pada tahap ini individu dalam kelompok mendiskusikan diri mereka dan individu lainnya sehingga kelompok membangun kemampuan untuk dapat menyampaikan perasaan mereka secara konstruktif dan kreatif. Walaupun dapat menyebabkan peningkatan emosi pada anggota tim, namun aktivitas ini berkontribusi pada pengerjaan tugas. Fungsi tugas pada tahap ini adalah berusaha untuk menggunakan struktur kelompok yang baru ini sebagai sarana untuk menemukan hubungan pribadi dan emosi dengan mengkomunikasikan perasaan pribadi antar anggota. Bernthal dan Insko (1993) juga menganjurkan sebaiknya tim mengembangkan kebijakan mengenai kritik yang mendetil dan evaluasi untuk tiap aksi yang dilakukan oleh anggota tim serta cara untuk menggabungkan kritik tersebut untuk menghindari kebuntuan agar dapat meningkatkan kohesivitas tugas pada tim. Cara tersebut dapat menyebabkan tujuan dan kejelasan alur tujuan akan menjadi lebih jelas bagi anggota tim dan tujuan dari pertemuan mereka akan menjadi sangat terstruktur dan terfokus pada tugas. Selain itu, keberagaman dalam tim dapat memberikan saluran umpan balik di dalam tim yang didasarkan pada keberagaman perspektif anggota tim sehingga memberikan umpan balik yang efektif bagi kerja tim. Kondisi ini tentunya akan berdampak pada peningkatan performa tim (Knouse, 2006). Maka dapat disimpulkan bahwa proses umpan balik yang terjadi pada developmental peer appraisal memfasilitasi tim untuk menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan penyelesaian tugas. Proses umpan balik juga mendorong anggota tim untuk memberikan umpan balik yang membangun dan dilakukan secara tatap muka akan membantu meningkatkan keterlibatan anggota tim dalam menyelesaikan tugas. Anggota tim akan mempertahankan perilaku yang berkontribusi positif pada tim dan memperbaiki perilaku yang kurang berkontribusi pada tim. Selain itu, proses developmental peer appraisal berupa penetapan standar kinerja, tujuan tim dan aturan yang berlaku dalam tim juga berdampak pada pengerjaan tugas tim menjadi terstruktur dan tiap anggota tim mengetahui standar performa yang diinginkan sehingga akan berdampak pada orientasi tim dalam mengerjakan tugas tim. Dengan demikian, penerapan developmental peer appraisal dapat memanfaatkan keberagaman yang terdapat 16 dalam tim dalam memberikan saluran umpan balik yang unik sehingga dapat meningkatkan kohesivitas tugas pada tim. Kohesivitas tugas rendah - Perbedaan performa individu dalam tim - Kurang kompak dalam mengerjakan tugas Developmental peer appraisal - Umpan balik secara tatap muka - Mengobservasi perilaku dan dampaknya selama pengerjaan tugas - Memberikan umpan balik secara objektif dan membangun - Mendengarkan umpan balik secara aktif Kohesivitas tugas meningkat - Semakin kompak dalam mengerjakan tugas - Memiliki visi yang sama dalam mencapai tujuan Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Ada pengaruh positif penerapan developmental peer appraisal terhadap kohesivitas tugas”. METODE Subjek Penelitian Subjek penelitian yang dilibatkan adalah pekerja Waroeng Spesial Sambal (SS) yang terdiri dari empat divisi, seperti Sumber Daya Manusia (SDM), Keuangan, Eksternal dan Mandiri Non Area (Manora). Penelitian ini melibatkan 30 orang pekerja. Subjek dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen berjumlah 15 orang dan kelompok kontrol berjumlah 15 orang. Manipulasi Manipulasi yang dirancang untuk meningkatkan kohesivitas tugas anggota tim dalam melakukan tugas adalah pelatihan developmental peer appraisal yang didefinisikan sebagai pelatihan yang mengarahkan individu untuk dapat memahami konsep dan cara bagaimana memberikan dan menerima umpan balik dalam tim sebagai metode untuk mengelola kinerja tim. Pelatihan developmental peer appraisal dilakukan selama satu hari selama delapan jam efektif. Metode penyampaian materi dilakukan dengan aktivitas ceramah, diskusi 17 dan role play. Modul pelatihan developmental peer appraisal disusun sendiri oleh peneliti mengacu pada faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan umpan balik oleh London (2003), yaitu (a) kemampuan dalam memahami umpan balik; (b) kepekaan terhadap umpan balik; (c) konteks; dan (d) mekanisme akuntabilitas. Tabel 1. Blue print pelatihan developmental peer appraisal Definisi Operasional Pelatihan yang mengarahkan individu untuk dapat memahami konsep dan cara bagaimana memberikan dan menerima umpan balik dalam tim sebagai metode untuk mengelola kinerja tim Faktor Materi Tujuan Metode Kemampuan dalam memahami umpan balik adalah pemahaman akan konsep umpan balik yang efektif Pengertian dan manfaat umpan balik Peserta mengetahui dan memahami konsep dasar umpan balik Peserta memahami elemen-elemen penting dari umpan balik Peserta memahami karakteristik umpan balik yang membangun Ceramah Diskusi Elemen-elemen umpan balik Karakteristik umpan balik yang membangun Kepekaan terhadap umpan balik adalah mengenali upayaupaya penting yang dapat mendukung dan memotivasi efektivitas umpan balik Memberikan dan menerima umpan balik – Peserta mengetahui dan memahami prinsip dalam memberikan dan menerima umpan balik – Peserta mampu memberikan dan menerima umpan balik Ceramah Role play Diskusi Konteks adalah pemahaman mengenai hal-hal yang menimbulkan perbedaan perspektif dalam pemberian umpan balik Keberagaman dalam tim – Peserta memahami dan mengetahui konsep keberagaman dalam tim – Peserta memahami manfaat keberagaman pada tim Ceramah Diskusi Mekanisme akuntabilitas adalah upaya mengenali dan menerapkan developmental peer appraisal Developmental peer appraisal – Peserta mengetahui dan memahami konsep developmental peer appraisal – Peserta mampu melaksanakan developmental peer appraisal Ceramah Role play Diskusi