BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai negara majemuk dengan masyarakat yang tidak hanya terdiferensiasi ke dalam struktur dan kelas sosial, tetapi juga agama dan etnisitas. Isu etnisitas menjadi penting dalam diskusi pluralitas ini, karena masing-masing etnik berupaya menunjukkan eksistensi etnisitasnya. Dewasa ini, hampir semua kelompok etnik telah terkoneksi secara global, tanpa kecuali pedalaman Pulau Siberut yang selama ini diwacanakan sebagai daerah ‘terisolir’ dan ‘tertinggal’. Di sisi lain, globalisasi mendapatkan perlawanan dari kelompok etnik minoritas dengan munculnya ke permukaan melalui penanda-penanda lokalitas tertentu sebagai akibat dari adanya globalisasi itu sendiri (Kleden-Probonegoro, 2002). Berbagai perlawanan tersebut dimungkinkan oleh adanya perkembangan komunikasi dan informasi global, sehingga proses reproduksi lokalitas juga bersifat global (Appadurai, 2005). Globalisasi sebagai gejala yang universal menimbulkan respons terhadap menguatnya identitas lokal, dan sebaliknya isu-isu globalisasi yang marak memunculkan sikap bagi pendukung etnik tertentu untuk menampilkan identitas1 mereka (Kleden-Probonegoro, 2002; Eindhoven, 2002). Penguatan identitas ini muncul diantaranya melalui peneguhan kembali (revitalisasi) nilai-nilai lokal, meskipun dalam bentuk dan cara yang berbeda. Penguatan identitas pada suku bangsa Dayak misalnya, sebagaimana yang digambarkan Maunati (2004) banyak dilakukan melalui promosi pariwisata di Kalimantan Timur yang didominasi ikon-ikon Dayak. Padahal sebelumnya, orang Dayak lebih dipandang oleh orang luar sebagai suku ‘liar yang ganas’ (Weintré, 2004: 6), atau sebagai ‘pemakan orang’, ‘primitif’, ‘bodoh’, dan ‘kotor’ (Djuweng, 1996: 6), maupun sebagai pemburu kepala yang hidup secara komunal dari berburu dan meramu, dan tinggal di rumah-rumah panjang (Maunati, 2004: 6). Konstruksi-konstruksi orang luar tersebut didasari penilaian etnosentris, sekalipun mereka mendasarkan pandangannya pada hal-hal yang eksotik, seperti praktik hidup komunal yang menjadi bagian dari identitas utama mereka. Pandangan demikian juga ditujukan orang luar pada kelompok etnik Mentawai. 1 Identitas atau identity menurut kamus Stanford Encyclopedia of Philosophy berasal dari bahasa Latin yang berarti kesamaan ('sameness'). Anggapan-anggapan yang diberikan oleh orang luar, khususnya dari kelompok mainstream untuk kelompok minoritas seperti Dayak dan Mentawai, sejak masa kolonial sampai pemerintahan Orde Baru, bahkan hingga saat ini masih sering terjadi. Citra yang diberikan oleh orang luar itu lama-kelamaan pun diikuti oleh kelompok minoritas. Orang Mentawai akhirnya mengidentifikasi diri mereka seperti yang dicitrakan orang luar (Delfi, 2005), yakni orang ‘terbelakang’, ‘kuno’, ‘primitif’ dan ‘tertinggal’. Citra demikian pun diadopsi orang Mentawai untuk menilai kelompok Mentawai lainnya, karena mereka menganggap kelompok mereka sendiri lebih ‘maju’. Anggapan demikian masih tetap dibangun dan disebarkan di antara orang Mentawai dalam relasinya dengan etnik lain maupun antar sesama kelompok di Mentawai. Orang Mentawai sering melontarkan ungkapan-ungkapan tertentu terkait citra mereka dalam perbincangan sehari-hari di Siberut, seperti: “enungan Simattawai, malutlut, malotik” (jalannya orang ‘Mentawai’, licin, kotor), “katna Simattawai, kapurut, mapusuk” (makanannya orang 'Mentawai', kapurut (sagu yang dimasak dengan daun sagu) hitam) atau “leppeina Simattawai, leppei ka rombengan” (bajunya orang 'Mentawai', baju bekas). Ungkapan demikian sekilas menunjukkan apa yang dimiliki dan dipraktikkan orang Mentawai merupakan sesuatu yang ‘rendah’ dibandingkan dengan orang luar (Sasareu). Oleh karena itu, sebagian orang Mentawai masih merasa ‘malu’ untuk menyebut nama 'khas' Mentawai mereka di depan Sasareu, dibanding nama luar mereka.2 Munculnya nama 'luar' (oni ka Sasareu) bagi orang Mentawai berkaitan erat dengan proyek keagamaan, baik Kristen (Katolik/Protestan) maupun Islam. Memeluk salah satu dari agama resmi tersebut, ditunjukkan dengan menyandang nama 'luar’ sesuai agama luar (arat Sasareu) yang dianut. Dewasa ini untuk memastikan apakah seorang Mentawai memeluk agama Islam atau Kristen, pada kenyataannya tidak bisa hanya melalui identifikasi nama ‘luar’ mereka. Tidak jarang orang Mentawai yang memakai nama berciri khas Kristen tetapi mengaku beragama Islam3, maupun sebaliknya.4 Selain nama depan yang diperuntukkan 2 3 4 Orang Mentawai membedakan nama Mentawai (oni ka Mattawai) dari "nama luar" (oni ka Sasareu). "Nama luar" ini pada awalnya merujuk pada nama 'permandian' yang dipakai pemeluk agama Kristen atau namanama yang berasal dari Bahasa Arab sebagai penanda keislaman. Dewasa ini generasi muda Mentawai cenderung lebih suka menggunakan nama-nama 'asing' atau adaptasi nama-nama serupa itu. Misalnya nama-nama Stephanus, Carlo, dan Jonas juga dipakai oleh orang yang beragama Islam, sementara nama-nama seperti, Akbar dan Salim juga dipakai oleh mereka yang beragama Kristen. Bandingkan dengan Muslim Bali di Pegayaman sebagaimana dipaparkan oleh Budiwanti (2003: 47-48), untuk memudahkan pengidentifikasian anak-anak mereka dilakukan dengan pemberian nama-nama urutan pada anak, seperti Wayan, Nyoman, Nengah dan Ketut, kemudian diikuti oleh nama ke dua seperti namanama nabi, dan sahabat nabi. Adapun nama yang paling penting adalah nama ke dua yang bermakna religius dan sekaligus sebagai identitas Muslim mereka setelah nama pertama yang merujuk pada identitas Bali. 2 bagi individu, apakah itu oni ka Mattawai atau oni ka Sasareu, baik itu yang bercirikan Kristen atau Islam, seseorang juga memiliki nama belakang sebagai nama klen (oni uma)5. Nama klen menjadi penting karena sebagai penanda bagi mereka untuk mengenal dan mengetahui dari klen mana seseorang berasal.6 Identitas klen yang askriptif ini sudah diperoleh ketika seseorang terlahir sebagai anggota uma tertentu. Penggunaan oni uma tersebut secara ideal dimaksudkan untuk menghindari terjadinya perkawinan dengan orang se-uma. Oleh karena itu, identitas uma merupakan hal penting dalam relasi dengan sesama orang Mentawai. Masing-masing uma di Siberut selalu merujuk pada nenek moyang patrilineal. Oleh karenanya uma selalu dikaitkan dengan wilayah asal tertentu. Sebelum adanya relokasi pemukiman di Siberut, uma pada umumnya berada di sekitar lembah sungai dan memiliki satu bangunan komunal yang juga disebut uma. Jika terjadi konflik yang tidak dapat diselesaikan dalam uma, sebagian anggotanya akan meninggalkan daerah lembah itu untuk pindah ke tempat lain dan mendirikan uma baru. Uma ini yang menjadi pusat berbagai praktik ritual kelompok dan menjadi hal penting dalam kehidupan orang Mentawai (Loeb, 1929; Coronese, 1986; Schefold, 1985a, 1985b, 1988, 1991; Ermayanti, 1989; Zakaria, 1996; Roza, 1997; Reeves, 2000; dan Rudito, 2005). Praktik ritual uma sebagai lokalitas adalah untuk membedakan diri dari yang lain, dan praktik ini merupakan bentuk peneguhan akan identitas mereka. Kehidupan komunal uma beserta praktik ritualnya menjadi penanda bagi lokalitas Mentawai. Ke-Mentawai-an sebagai penanda identitas ini terkait dengan apa yang menjadi milik 'kita', bukan milik 'mereka'. Dalam usaha meneguhkan identitas tersebut, orang Mentawai mencari-cari atau memunculkan ‘kekhasan’ yang pada akhirnya dapat diklaim sebagai ‘milik’ Mentawai. Untuk peneguhan itu pula orang Mentawai mencari model pemerintahan tersendiri. Hal ini dipicu oleh model pemerintahan Nagari7 yang diberlakukan kembali di Sumatera Barat. Nagari bukan milik orang Mentawai, melainkan milik orang Minangkabau, lalu apa model pemerintahan yang dapat diklaim sebagai milik Mentawai? Elit terpelajar Mentawai memunculkan nama laggai untuk menyebut sistem pemerintahan setingkat desa di 5 6 7 Setelah masuk agama resmi maka orang Mentawai memiliki dua nama, yaitu nama Mentawai (oni ka Mattawai) dan nama luar menurut agama (oni ka Sasareu). Misalnya ada orang yang bernama Stephanus Samalelet, maka berarti Stephanus tersebut berasal dari uma Samalelet, jika dia bernama Stephanus Sajijilat maka berarti dia berasal dari uma Sajijilat. Bila orang yang bernama Stephanus Samalelet tersebut datang ke kampung lain maka orang-orang di kampung tersebut yang bernama uma Samalelet adalah kerabat seuma. Stephanus Samalelet tidak boleh kawin dengan perempuanperempuan yang bernama uma Samalelet karena berasal dari uma yang sama. Nagari adalah bentuk pemerintahan terendah khas etnik Minangkabau setingkat desa. 3 Mentawai. Ide mengenai bentuk pemerintahan laggai ini pernah digulirkan sebelumnya melalui rancangan peraturan daerah laggai namun ditolak oleh orang Siberut (Delfi, 2005). Penolakan terhadap sistem pemerintahan laggai berawal dari penggunaan kata laggai itu sendiri yang memiliki perbedaan makna di Mentawai. Di Pulau Sipora dan Pagai, kata laggai diartikan sebagai kampung. Di Pulau Siberut, kata tersebut diartikan sebagai ‘alat kelamin’8 atau ‘batu’ (Delfi, 2005: 201). Perbedaan makna yang muncul dalam wacana tersebut disebabkan adanya perbedaan dialek yang berkaitan dengan wilayah asal. Klaim daerah asal menjadi bagian dalam perbincangan identitas, dan mengetahui asal-usul seseorang merupakan hal yang penting guna membangun relasi sosial. Untuk mengetahui asal-usul seseorang, orang Mentawai Siberut memiliki nama untuk menyebut kampung asal nenek moyang mereka, yakni ‘pulaggajat’. Di Siberut, pada umumnya jika ingin mengetahui asal seseorang, pertanyaan yang diajukan adalah: "Kaipa pulaggajatnu?". Berbeda halnya dengan di Sipora dan Pagai, apabila menanyakan dari mana seseorang berasal dengan pertanyaan: "Kaipa laggainu?". Di Siberut umumnya pertanyaan Kaipa laggainu? dianggap sebagai pertanyaan yang ‘tidak pantas’ diajukan, karena sebagaimana sudah disebutkan di atas bahwa kata laggai dimaknai sebagai alat kelamin atau batu, bukannya dimaknai kampung atau daerah asal. Perbedaan makna itu dijadikan alasan utama oleh orang Siberut dalam penolakan Ranperda Laggai sehingga kata laggai dianggap 'tidak cocok', 'tidak pantas', karena bermakna ‘kotor’ dan sekaligus ‘kuno’(Delfi, 2005: 219). Pertentangan makna itu mengakibatkan laggai belum dapat dijadikan nama untuk pemerintahan terendah di Mentawai. Selama hampir 10 tahun menjadi daerah otonom, Mentawai belum mampu menyepakati nama untuk pemerintahan terendahnya. Perbincangan laggai kembali mengemuka setelah munculnya Perda Propinsi Sumatera Barat No. 2 Tahun 2007 berkaitan dengan pemberlakuan nagari di seluruh wilayah Sumatera Barat. Ini memunculkan penolakan dari orang Mentawai, khususnya dari kelompok elit terpelajar yang sebelumnya telah mengusung ide laggai. Kondisi ini mengakibatkan istilah laggai yang sudah ditolak itu 8 Di Siberut sendiri kata laggai umumnya memiliki dua pengertian yaitu; batu dan alat kelamin (buah zakar). Dewasa ini dalam perbincangan sehari-hari orang Siberut lebih sering mengemukakan bahwa arti kata laggai itu ‘kotor’, berarti lebih sering diartikan sebagai alat kelamin atau kemaluan dari pada batu. Dengan demikian, bagi orang Mentawai Siberut kata laggai dipandang sebagai kata yang memalukan atau 'kotor'. Penggunaan kata laggai untuk menggantikan desa pada akhirnya akan memunculkan istilah-istilah ‘kotor’ lainnya misalnya, kepala desa (ute’ laggai) diterjemahkan sebagai kepala kemaluan. Jika laggai diartikan ‘batu’ maka ute’ laggai (kepala desa) diterjemahkan sebagai ‘kepala batu’. Adalah ‘tidak sopan’ jika menyebut kepala desa sebagai ‘kepala batu’ atau ‘kepala kemaluan’. 4 diperbincangkan kembali. Pertanyaannya, jika sudah ditolak, lalu mengapa nama laggai menjadi perbincangan lagi dewasa ini? B. Permasalahan Penolakan dan penerimaan istilah laggai merupakan persoalan dalam melihat perbedaan dan persamaan. Ada perbedaan-perbedaan yang dijadikan alasan penolakan untuk menerima sesuatu yang dianggap milik liyan (the Other)9. Hal itu memunculkan tindak pembedaan di satu sisi dan sekaligus tindak penyamaan di sisi lain, khususnya guna mengklaim sesuatu. Mengapa pembedaan untuk mengklaim sesuatu sebagai milik 'kita' semakin dikuatkan dan apakah yang melatar belakangi pentingnya makna kekitaan itu saat ini bagi orang Mentawai? Persoalan penolakan orang Mentawai terhadap Perda No. 2 Tahun 2007 dan perdebatan nama untuk sistem pemerintahan terendah yang dianggap cocok untuk Kabupaten Kepulauan Mentawai dijadikan sebagai pintu masuk untuk memahami lebih jauh tentang persoalan wacana identitas atau ke-Mentawai-an itu sendiri. Secara lebih khusus perhatian ditujukan pada wacana kekitaan dalam konteks penolakan laggai yang didasari pada relasi oposisional ‘kami : mereka’. Wacana kekitaan di Mentawai yang muncul terkait perbincangan laggai tidak terlepas dari kekuatan eksternal dan internal yang ikut berperan, serta kaitannya dengan relasi kekuasaan. Masing-masing orang akan memunculkan klaim kebenarannya sendiri-sendiri dalam memaknai apa yang dianggap 'cocok' dan tidak sebagai milik 'kita' atau milik 'mereka'. Lantas nama apa yang cocok untuk sistem administrasi pemerintahan terendah di Kabupaten Kepulauan Mentawai, apakah laggai atau pulaggajat? Dalam perbincangan tersebut ada tarik menarik antara orang Pagai-Sipora dan orang Siberut terkait nama pengganti desa di Mentawai. Tarik menarik ini tidak hanya pada persoalan nama pengganti desa, namun lebih jauh adalah persoalan wacana 'kekitaan', wacana yang dibangun tentang identitas atau ‘keMentawai-an’ dalam membedakan kelompok mereka dan kelompok lain (dianggap 'yang Lain'). Berangkat dari gambaran tersebut, penelitian ini secara garis besar ingin menjawab persoalan mengapa ada perbedaan makna ke-Mentawai-an dan mengapa perbedaan itu semakin diperdebatkan dewasa ini. Ada beberapa hal menarik dan penting untuk dikaji secara cermat di balik persoalan perdebatan makna ke-Mentawaian-an yang berlangsung dewasa ini, yaitu: 9 Dalam tulisan ini istilah the Other, 'yang Lain', Liyan dan 'sang Liyan' digunakan secara bergantian untuk merujuk hal yang sama yakni 'mereka' dan bukan 'kita'. 5 1. Bagaimana proses pembentukan wacana ke-Mentawai-an berlangsung dan kekuatankekuatan apa saja yang berperan dalam proses tersebut? 2. Bagaimana hubungan wacana ke-Mentawai-an dengan perdebatan sistem administrasi pemerintahan terendah di Mentawai, khususnya terkait perdebatan nama laggai ? 3. Bagaimana kesejajaran dan kesenjangan antara wacana ke-Mentawai-an dengan praktik sosial budaya di Siberut? C. Tujuan Penelitian Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, penelitian ini difokuskan pada persoalan wacana identitas di Mentawai melalui penolakan orang Siberut terhadap nama laggai dan kaitannya dengan tuntutan sistem administrasi pemerintahan terendah di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Selama ini, wacana-wacana orang kebanyakan dianggap marjinal (dimarjinalkan) dan terkubur (dikubur) sehingga tidak diangkat ke publik. Melalui studi ini wacana demikian tidak dikucilkan, justru wacana tersebut diberi tempat. Secara teoritis kajian ini dimaksudkan untuk menambah khasanah pemikiran dan cara pandang dalam melihat persoalan wacana identitas, terutama pada kelompok kesukuan (indigenous people) di Indonesia, sekaligus makin memperkaya kemajemukan kebudayaan kita. Melalui kajian ini dapat menghasilkan cara pandang yang lebih komprehensif dalam melihat fenomena di Mentawai, khususnya yang berkenaan dengan wacana identitas dan diharapkan kajian ini akan menjadi jembatan bagi penelitian-penelitian berikutnya agar dapat memunculkan pemikiran yang lebih baru dan kritis tentang fenomena sosial budaya di Mentawai. Salah satu tantangan ke depan bagi Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa (nationstate) adalah tingkat diversitasnya yang tinggi yang dapat menjadi kekuatan positif, tetapi sekaligus berpotensi konflik bila tidak dikelola dengan baik. Pemahaman tentang etnik lain dapat menambah wawasan dan berguna bagi tumbuhnya sifat keterbukaan untuk menerima berbagai perbedaan yang ada sebagai sebuah mozaik budaya di negeri ini. Untuk orang Mentawai semoga lokalitas yang 'unik' menjadikan Mentawai menemukan identitas yang inklusif. Di samping itu, dapat menambah pemahaman kita tentang identitas dalam kaitannya dengan sistem administrasi pemerintahan terendah setempat (lokal), khususnya di daerah yang identitas sukunya sangat beragam (bersuku-suku). 6 Subjektivitas masyarakat Mentawai menjadi hal penting dalam kajian ini. Tidak saja untuk menunjukkan bagaimana keragaman ke-Mentawai-an itu dibangun, dimaknai dan diperbincangkan oleh orang Mentawai sendiri, tetapi juga mengapa muncul pemaknaanpemaknaan yang berbeda. Selain itu, bagaimana perkembangan politik di luar Mentawai dan isu-isu yang terkait dengan kemunculan pewacanaan identitas (ke-Mentawai-an) juga menjadi pembahasan dalam penelitian ini. Dengan demikian, pergulatan internal orang Mentawai dalam mengurai persoalan yang dihadapi dapat digambarkan. D. Tinjauan Pustaka Sehubungan dengan tema kajian ini, tulisan yang menjadi kepustakaan dibagi atas tiga tema. 1. Kebudayaan Mentawai: Identitas dalam Keunikan dan Keeksotikan. 2. Pembangunan: Penyeragaman Identitas. 3. Kajian Identitas dan Globalisasi. Literatur pertama untuk menunjukkan bagaimana wacana identitas Mentawai yang dibangun terkait dengan pandangan orang luar (peneliti asing) tentang kebudayaan Mentawai yang unik dan eksotik. Pandangan itu juga mempengaruhi peneliti-peneliti dari Indonesia, sehingga studi yang dilakukan menekankan aspek-aspek budaya yang eksotik tersebut. Adapun yang kedua merupakan hasil-hasil kajian yang melihat pengaruh luar (khususnya pembangunan) terhadap kelompok etnik minoritas sebagai upaya penyeragaman identitas. Literatur ketiga berkaitan dengan kajian Mentawai dengan konteks globalisasi. Ketiganya dianggap saling terkait satu sama lain. Kemunculan wacana tentang identitas Mentawai merupakan bagian dari wacana kolonial tentang masyarakat ‘primitif’ yang dalam perjalanannya wacana tersebut kemudian diadopsi penguasa di era Orde Baru melalui wacana pembangunan. Adapun wacana global tentang kelompok indigenous (masyarakat adat) ikut mempengaruhi bagaimana kelompok etnik tertentu memaknai ulang identitas mereka dalam kaitannya dengan interkoneksi global. D. 1. Kebudayaan Mentawai: Identitas, “Keunikan dan Keeksotikan” Untuk memahami konstruksi tentang ke-Mentawai-an, maka secara historis perlu ditelusuri kembali sejak era kolonial sampai dengan Orde Baru. Konstruksi luar (orang Barat) tentang orang Mentawai terbentuk karena para ilmuwan, penjelajah, pejabat dan misionaris masa kolonial berperan membangun pandangan tentang orang Mentawai. Dari tulisan mereka menunjukkan pandangan yang memberi label ‘primitif’ dan 'tidak beradab’ terhadap Mentawai. Representasi seperti itu muncul disebabkan karena orang Barat (Eropa 7 dan Amerika) memiliki sikap eurosentris yang memandang dan sekaligus menempatkan diri mereka sebagai ‘orang-orang beradab’. Hal ini dapat dicermati, misalnya bagaimana pandangan Maass (dalam Schefold, 1990; Eindhoven, 2002; Wagner, 2003) yang menyebut Mentawai dengan nama “Liebenswűrdigen Wilden” yang berarti amiable (ramah-tamah) atau obliging savages (orang liar yang penurut/patuh). Sebutan ‘amiable savage’ untuk Mentawai tersebut banyak terinspirasi oleh kesan dari cara-cara hidup yang sederhana dan harmonis serta penampilan mereka yang eksotik dengan cawat, hiasan bunga-bunga dan tato (Schefold, 1998: 270-271). Penamaan amiable atau obliging savages kurang lebih sama artinya dengan noble savage, orang 'biadab' yang terhormat atau orang 'biadab' yang agung. Sekalipun sudah ada ‘basa basi’ dengan pemberian nama amiable atau nobel, mereka tetap dicap savage. Pandangan savage inilah yang sebenarnya mendorong rasa ingin tahu orang luar untuk datang ke Mentawai. Sudah tentu pandangan savage turut mendasari ide pemberadaban orang Mentawai. Savage kadang diasosiasikan dengan 'keeksotikan'. Pandangan tentang Mentawai sebagai kelompok etnik dengan adat dan tradisi yang berbeda dari etnik mayoritas lain di Indonesia menjadikan Mentawai ‘unik’ dan ‘eksotik’. Keunikan dan keeksotikan Mentawai menjadi daya tarik bagi para peneliti untuk mempelajarinya, terutama kehidupan komunalnya. Misalnya, uma sebagai organisasi sosial politik dan kekerabatan orang Mentawai Siberut menjadi perhatian dalam berbagai studi mereka tentang Mentawai dalam relasinya dengan aspek-aspek kebudayaan yang dipilih (Loeb, 1928, 1929; Schefold, 1974, 1985, 1988, 1991; Schefold dan Persoon, 1985; Coronese, 1986; Rudito, 1993, 1999, 2005; Rudito, dkk, 2003; Ermayanti, 1989; Roza, 1991, 1993, 1997, 2004; Reeves, 2000). Loeb (1928) dalam deskripsinya mengenai identitas Mentawai memberikan penekanan pada uma, religi, dan organisasi sosial sebagai aspek penting yang saling terkait dalam kehidupan orang Mentawai. Data-data hasil penelitiannya dilakukan di wilayah bagian selatan Mentawai, yakni di Pagai yang dia sebut ‘Pageh’. Meskipun demikian, Loeb menggunakan kategori Mentawai atau orang Mentawai untuk merujuk penghuni Pulau ‘Pageh’. Menurutnya, orang Mentawai di pulau itu melakukan banyak praktik ritual dalam kehidupan kelompok uma (klen) dengan cara-cara pemujaan yang unik. Hal itu terutama dikarenakan dalam pelaksanaan ritual uma melibatkan anggota-anggota uma dan pemimpin ritual (sikerei). Para kerei merupakan tokoh penting dalam ritual yang dianggap memiliki ‘kekuatan magis’ (magical power) sehingga mampu berkomunikasi dengan alam supranatural. Pengetahuan akan mantera yang mereka miliki, menjadikan sikerei mampu menjembatani hubungan manusia dengan dunia supranatural. Selanjutnya Loeb (1929) 8 menunjukkan keterikatan yang kuat antara orang Mentawai dengan uma yang dilihat dari efeknya terhadap keberlangsungan kesatuan tersebut sebagai pusat kehidupan yang berpangkal pada religi asli mereka. Perhatian Loeb pada ritual uma yang dipraktikkan oleh orang Mentawai dideskripsikannya melalui beragam punen.10 Keunikan kebudayaan Mentawai dalam praktik religi dan hubungannya dengan kelompok uma pun banyak menyita perhatian Schefold (1974, 1985a, 1985b, 1988, 1991). Kajian Schefold (1974) memberikan gambaran tentang perubahan yang terjadi di Mentawai, terutama di bidang religi mereka. Deskripsinya mengenai identitas Mentawai dimulai dengan pembahasan religi asli orang Mentawai, Arat Sabulungan. Dengan mengamati sistem upacara ritual orang Mentawai Siberut, dia mencari penyebab terjadinya perubahanperubahan tersebut. Dia menyimpulkan, telah terjadi suatu perkembangan yang involutif disebabkan oleh perubahan internal, terutama di bidang religi orang Mentawai dalam kaitannya dengan kehidupan komunal uma. Kajian Schefold yang lain (1985a) juga menempatkan uma sebagai hal penting dalam melihat perubahan yang memuat tentang keseimbangan kehidupan orang Mentawai sebagai salah satu suku-bangsa minoritas dan dunia modern yang mereka hadapi. Dia menunjukkan bahwa orang Mentawai sedang dan telah dimasuki modernitas, khususnya konsumerisme. Perubahan-perubahan yang terjadi melalui modernitas sejak kemerdekaan Indonesia merupakan suatu serangan terhadap kebudayaan tradisional orang Mentawai. Menurut Schefold, hal tersebut tidak dapat dipisahkan dengan perubahan lingkungan yang terjadi. Studinya ini menunjukkan sikap mempertentangkan modernitas dan tradisional, padahal tradisi selalu berada dalam proses yang invented (Hobsbawn dan Ranger, 1993). Sikap mempertentangkan itu muncul karena Schefold (1985a) menganggap Mentawai merupakan salah satu kelompok yang terisolasi. Penulis tidak sepakat dengan anggapan ini, sebagaimana dikatakan Reeves (2000) bahwa orang Mentawai telah lama melakukan kontak dengan orang luar, bahkan sebelum era kolonial. Pendeskripsian yang lebih padat mengenai kebudayaan Mentawai dapat ditemukan dalam kajian lanjutan Schefold (1988). Di sini, identitas budaya Mentawai di Siberut diperlihatkan Schefold melalui upacara ritual yang mengitari kehidupan orang Mentawai. Menurutnya, berbagai upacara ritual dalam praktiknya tidak hanya memakan waktu yang cukup lama, tetapi juga biaya yang cukup besar dengan melibatkan hampir keseluruhan 10 Punen tersebut antara lain adalah seperti punen membuka kampung, punen mendirikan bangunan uma, punen untuk penatoan, punen untuk berburu monyet dan mengusir roh-roh jahat. 9 anggota uma. Pemaparannya yang deskriptif-interpretatif diperoleh melalui pengamatan yang panjang dan seksama terhadap upacara puliaijat sebagai ritual utama kelompok suku (uma) Sakuddei di Pulau Siberut. Schefold (1988) melihat upacara ritual itu berkaitan dengan gagasan religi orang Mentawai Siberut yang berhubungan dengan jiwa dan roh manusia, kekuatan impersonal, perantara, roh-roh nenek moyang, mitos dan juga berbagai macam tabu yang harus dijalani. Oleh karena itu, praktik ritual uma menjadi hal penting dalam kehidupan kelompok orang Mentawai di Siberut, meskipun masing-masing uma menyelenggarakan ritual tersebut untuk kelompoknya sendiri. Hubungan orang Mentawai dengan religi mereka adalah pertalian dengan kelompok uma mereka. Keberadaan uma dan pentingnya praktik ritual uma masih menjadi fokus kajian Schefold (1991) yang dikembangkan dari kajiankajian sebelumnya. Dari studi itu dia memberikan penjelasan bahwa aktivitas religi, mata pencaharian, simbol, budaya materi, dan teknik-teknik arsitektur rumah panggung (uma) pada suku Sakuddei memiliki keterkaitan dengan praktik kehidupan komunal uma suku tersebut. Ahli lain yang juga tertarik dengan berbagai ritual dan kehidupan uma orang Mentawai adalah Stefano Coronese11. Coronese (1986) memusatkan perhatiannya pada deskripsi religi dan ritual suku yang disebutnya sebagai ‘kebudayaan asli’. Berbagai upacara ritual di Mentawai yang digambarkannya menyangkut ritual siklus hidup (life-cycle), ritual yang berhubungan dengan aktivitas mata pencaharian seperti membuat ladang baru, dan ritual perdamaian (Coronese, 1986). Kajiannya diperkaya dengan telaah historis tentang kedatangan Sasareu, seperti: pegawai kolonial, misionaris, ilmuwan dan para pedagang yang menunjukkan relasi orang Mentawai dengan Sasareu. Relasi itu telah berlangsung lama di Mentawai, setidaknya sejak abad ke-17. Relasi orang Mentawai dengan Sasareu ini tidak dapat dilepaskan dari wacana pembangunan yang memperlihatkan kuatnya intervensi negara terhadap kehidupan uma dan praktik di dalamnya. Kasus ini dapat kita temukan antara lain dalam studi Schefold (1985b), Persoon dan Schefold, (1985), Wagner (1985), Coronese (1986), Roza (1991) dan Zakaria (1996). Kajian mereka menyoroti perihal pentingnya mempertimbangkan aspek-aspek kebudayaan Mentawai dalam setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan, agar orang Mentawai mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang berkaitan dengan implementasi program pembangunan di sana. Para peneliti tersebut beranggapan, perubahan yang 11 Seorang pastor dari Italia. Sebagai seorang pastor tentu saja sangat beralasan jika keunikan Mentawai dalam berbagai ritual yang animistik menjadi perhatian utama bagi Coronese (1986). Alasan inilah yang mendorongnya untuk memainkan peran yang penting sebagai penyiar agama. 10 disebabkan oleh modernisasi menimbulkan kesulitan bagi orang Mentawai untuk menyesuaikan nilai-nilai setempat dengan kehidupan modern. Selain itu, pembangunan yang dilakukan dengan menyeragamkan alasan untuk semua tempat di negara ini, menunjukkan kuatnya politik penataan etnik dari para pemegang kekuasaan. Kajian lain yang terkait dengan keberadaan uma sebagai kumpulan orang yang berkerabat menurut garis patrilineal dalam kehidupan orang Mentawai Siberut juga menjadi perhatian Ermayanti (1989). Dia mengkaji fungsi kerei bagi masyarakat Mentawai di Siberut Selatan, khususnya di Lembah Rereiket. Fungsi kerei dilihat dari peranannya yang sangat penting dalam berbagai ritual, tidak hanya dalam ritual penyembuhan tetapi juga dalam berbagai ritual klen (uma)12. Kerei menjadi pemimpin dalam pelaksanaan berbagai ritual uma, karena kemampuannya sebagai perantara dunia manusia dan alam roh. Dengan demikian, kerei juga menjadi penanda yang unik bagi ke-Mentawai-an. Kehidupan orang Mentawai Siberut yang terpusat pada uma juga berlangsung di Desa Matotonan (Roza, 1997). Dia tertarik pada fungsi uma dalam menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat Mentawai. Menurutnya, kehidupan komunal uma masih penting bagi orang Mentawai Siberut, khususnya di Matotonan. Dalam penelitian lanjutannya, menurut Roza (2004) penerapan denda adat (tulou) sebagai bentuk penyelesaian sengketa yang muncul di tengah masyarakat juga tidak terlepas dari kehidupan kelompok uma. Dalam tulisannya itu Roza (2004) tidak mencoba melihat masalah tulou ini dalam kaitannya dengan intervensi pihak luar (Sasareu), khususnya pemerintah, karena tulou ini pernah ditetapkan pemerintah menjadi peraturan desa (lihat Delfi, 2005). Tentunya akan lebih menarik jika respons dari masyarakat Mentawai terhadap intervensi Sasareu yang menformalisasi aturan adat tersebut juga dibahas sehingga subjektivitas orang Mentawai dengan kehidupan yang terpusat pada uma tidak diabaikan. Perhatian pada kehidupan uma dan praktik ritualnya oleh Rudito, dkk (2002) dibahas dalam keterkaitannya dengan praktik perburuan dan pola konsumsi orang Mentawai di Siberut Selatan. Praktik perburuan itu tidak hanya menjadi kegiatan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat akan protein hewani saja, tetapi lebih diutamakan sebagai bagian dari kegiatan ritual Arat Sabulungan di Siberut. Hal itu ditunjukkan melalui aktivitas perburuan untuk mengakhiri atau menutup kegiatan ritual uma. Sayangnya, kajian ini melupakan 12 Tema yang sama juga bisa ditemukan dalam Roza (1993). Kedua kajian tersebut dilakukan di lokasi yang sama, yakni di desa Matotonan, Siberut Selatan. Membandingkan dua kajian tersebut, kajian Ermayanti (1989) melihat peranan kerei secara lebih luas dalam kehidupan uma, tidak hanya dalam aspek pengobatan tradisional seperti yang dilakukan Roza (1993). 11 pembahasan perihal pertentangan antara wacana perlindungan binatang-binatang buruan (primata endemik) dari kepunahan dengan kepentingan aktivitas berburu sebagai bagian dari praktik ritual uma bagi masyarakat Mentawai di Siberut. Hal tersebut menarik, karena pihak pemerintah (penguasa) telah menjadikan sebagian besar wilayah perburuan di Siberut sebagai kawasan Taman Nasional Siberut (TNS). Konservasi hewan ini jelas bertentangan dengan kepentingan aktivitas perburuan kolektif yang menjadi bagian dari praktik ritual masyarakat setempat. Kajian lain yang berkaitan dengan persoalan era otonomi daerah dilakukan Rudito, dkk. (2004) perlu diberi perhatian. Penelitian ini membahas tentang konsep kewilayahan dan sistem pemerintahan menurut kebudayaan Mentawai. Menurut mereka, pulaggajat13 merupakan nama yang paling cocok digunakan di Mentawai, karena pulaggajat merupakan gabungan dari beberapa laggai. Oleh karena itu, desa di Mentawai dapat diganti dengan pulaggajat. Konsep pulaggajat tidak sama dengan laggai seperti yang diusulkan dalam rancangan peraturan daerah, dan secara historis keduanya belum pernah berlaku sebagai pranata politis di Siberut. Selain itu, mereka tidak mempertanyakan mengapa model pemerintahan laggai ditolak oleh orang Mentawai di Siberut. Dalam studi ini, perhatian tidak lagi difokuskan pada alasan penolakan semata, tetapi lebih pada persoalan mengapa perbedaan makna itu menjadi penting di Mentawai saat ini (politik pembedaan) dalam kaitannya dengan identitas. Pulaggajat sebenarnya bukan merupakan pranata politis yang menyatukan semua uma (klen) yang tersebar di wilayah tertentu. Hal ini dikarenakan tidak adanya pranata politis yang dapat menyatukan seluruh uma yang terdapat di lembah (Schefold, 1991: 121). Oleh karena itu, tidak ada orang yang menjadi ‘kepala pulaggajat’ di masing-masing lembah. Masing-masing uma berhak sepenuhnya mengurus sendiri hubungan mereka dengan uma lain. Alasan ini yang menyebabkan uma (klen) dalam kehidupan orang Mentawai Siberut sangat penting. Terkait dengan pranata ini, Rudito (2005) berpandangan bahwa pranata yang mencakup keseluruhan aturan hidup orang Mentawai dapat ditemui dalam upacara bebeitei uma. Melalui upacara ini dia memahami keterkaitan pengetahuan dan sistem keyakinan 13 Rudito dkk, (2004) menyebut konsep kewilayahan tersebut dengan pulagajat, tetapi menurut hemat penulis orang Mentawai menyebutnya dengan pulaggajat atau pulaggaijat. Baik pulaggajat atau pun laggai ini sebagai pranata politis belum pernah berlaku di Mentawai (lihat Delfi, 2005). Meskipun demikian, ketika menanyakan dari kampung mana seseorang berasal biasanya Orang Mentawai di Siberut mengatakan, “kaipa pulaggajatnu?”, sementara orang Mentawai di Sipora dan Pagai biasanya mengatakan, “kaipa laggainu?”. Lihat juga Coronese dalam tulisannya tentang penyadaran etnik Mentawai (1985:102) mengemukakan bahwa kampung atau pulaggajat bagi orang Mentawai tidak sama dengan kampung yang biasa dipahami oleh orang luar. 12 orang Mentawai terhadap alam gaib yang melingkupi kehidupan dalam komunitas mereka. Menurutnya, nilai budaya inti ini dipakai sebagai dasar pedoman bagi tindakan-tindakan dalam memahami dan menginterpretasi lingkungan yang mereka wujudkan dalam pranata sosial tersendiri, yaitu upacara bebeitei uma. Kajiannya ini selain melihat kebudayaan Mentawai secara fungsional juga memperlihatkan penguatan lokalitas orang Mentawai yang meningkat setelah menjadi daerah otonom. Dari literatur-literatur yang telah disebutkan di atas, tampaknya uma telah menjadi salah satu penanda penting bagi ke-Mentawai-an seseorang. Kajian-kajian tersebut penting untuk dipelajari lagi, karena memberikan beragam deskripsi tentang masyarakat dan kebudayaan Mentawai yang dipandang ‘unik’ dari aspek-aspek yang berbeda. Hal ini sangat membantu peneliti memunculkan tema lain, sehingga tidak melakukan penelitian yang bersifat pengulangan. Perlu dicermati bahwa kajian-kajian yang digambarkan di atas belum dipahami dari cara bagaimana kebudayaan tersebut diproduksi dan dikonstruksi di dalam wacana oleh orang Mentawai. D. 2. Pembangunan: Penyeragaman Identitas Gagasan pembangunan yang diwacanakan banyak negara maju muncul dari perkembangan sejarah peradaban mereka dan diyakini menjadi kunci kemajuan. Cara pandang tersebut mengakibatkan mereka menilai pandangan dan praktik hidup negara berkembang tidak sesuai dengan gagasan kemajuan yang diciptakan negara maju. Hal ini mendorong negara maju untuk mengubah cara pandang masyarakat di luar mereka dengan meyebarkan ide-ide modernisme melalui wacana pembangunan. Di Indonesia, beberapa kajian dilakukan untuk memahami hubungan wacana pembangunan dengan keinginan untuk mengubah pandangan dan praktik hidup kelompok etnik minoritas dan perubahan yang dialami terkait dengan pelaksanaan pembangunan. Pemahaman kajian ini dimaksudkan untuk membuka wawasan mengenai apa yang dialami suku minoritas lainnya di Indonesia juga terjadi di Mentawai. Kajian-kajian tersebut lebih banyak memperlihatkan pertentangan modernisasi (pembangunan) dengan nilai-nilai lokal (tradisi) etnik minoritas di Indonesia. Misalnya, serangan terhadap agama lokal (indigenous) dengan mengatasnamakan pembangunan, sehingga proses marjinalisasi terhadap suku minoritas dan juga hegemoni agama resmi yang sesungguhnya merupakan ‘agama impor’14 (berasal dari luar negeri), dapat berlangsung di sana. Pandangan main-stream mengenai kelompok kesukuan yang 14 Agama yang bukan indigenous tetapi berasal dari luar dianggap universal religions. 13 ‘terbelakang’ dan ‘tidak berbudaya’ mengakibatkan mereka harus dibangun, diagamakan dan dimaksudkan untuk membuat yang lain menjadi seragam. Hal semacam ini dapat ditemukan dalam penelitian Djuweng (1996); Atkinson (1985); Schefold (1985); Zakaria (1996); Giay (1996); Beanal (1997); dan Schoorl (1997). Kajian mengenai suku minoritas, selain menekankan pada hegemoni agama resmi, juga melihat proses marjinalisasi yang terjadi karena pengambilalihan tanah mereka. Negara dengan Undang-undang Agrarianya telah mengklaim tanah-tanah milik suku atau kelompok masyarakat adat sebagai milik negara. Ini mengakibatkan hilangnya penguasaan hak tanah yang sebelumnya diakui menurut hukum adat setempat. Ditambah lagi keterbatasan yang dimiliki suku minoritas untuk bersaing dalam memperebutkan peluang ekonomi. Kompetisi dengan para pendatang yang memiliki kemampuan bersaing lebih membuat kelompok etnik lokal termarjinalkan. Gambaran kondisi demikian dapat dicermati dalam kajian-kajian Giay (1996); Beanal (1997); van den Broek (1998); Tirtosudarmo (2002); dan Ngadisah (2003). Kajian-kajian demikian penting untuk memahami bagaimana hegemoni telah memarjinalkan etnik-etnik kecil di negeri ini, namun studi demikian terlalu mempertentangkan suku-suku minoritas dengan modernitas (pembangunan). Kelemahan lain dari kajian tersebut yakni memandang masyarakat kesukuan sebagai subjek pasif yang seolah-olah menerima dan mengikuti saja keinginan dari berbagai pihak penguasa (orang luar) dalam menentukan identitas kesukuan dan pilihan hidup mereka. Padahal, masyarakat kelompok kesukuan juga memiliki kekuatan untuk tidak hanya menerima hal tersebut, melainkan juga berperan aktif dalam membentuk wacana identitas mereka. Tidak hanya itu, proses pembentukan wacana identitas juga terjadi melalui pertentangan-pertentangan dan negosiasi di dalam masyarakat itu sendiri. D. 3. Kajian Identitas dan Globalisasi Studi tentang identitas Mentawai yang cukup berbeda dari yang dilakukan peneliti lain sebelumnya adalah studinya Reeves (1999; 2000). Kajiannya mengenai produksi sosial dari ruang dan kekerabatan orang Mentawai di Madobag, dihubungkan dengan praktik-praktik sosial. Artinya, keberadaan uma ditentukan oleh praktik sosial di dalamnya. Reeves (1999) melihat identitas orang Mentawai di Madobag yang merupakan pemukiman relokasi dan dihuni oleh orang Mentawai yang relatif sama, karena memiliki kesamaan lembah asal, sehingga identitas Sarereiket (orang-orang yang berasal dari Lembah Rereiket) lebih dapat ditonjolkan. Meskipun Reeves (2000) menekankan pada subjektivitas orang Mentawai 14 Madobag, tetapi kajiannya belum membahas bagaimana identitas Sarereiket tersebut dibangun dalam relasinya dengan kelompok yang berasal dari lembah yang lain, misalnya hubungan antara orang Rereiket dengan orang Sabirut. Apalagi dalam relasinya dengan orang-orang dari pulau lain di selatan yang disebut orang Sakalagan, serta Sasareu. Selanjutnya, kajian Persoon (2002) dan Eindhoven (2002; 2007) juga berbeda dari kajian-kajian Mentawai sebelumnya. Mereka menyoroti masalah globalisasi dan kebudayaan lokal (Mentawai) sebagai kelompok minoritas yang selama ini dianggap ‘terisolasi’. Menurut mereka, hubungan antara wacana internasional, nasional dan lokal berdampak pada gerakan masyarakat adat di Mentawai. Hal ini ditunjukkan dengan bangkitnya solidaritas identitas orang Mentawai dengan munculnya kelompok elit terpelajar yang mulai kritis terhadap kebijakan pemerintah mengenai persoalan kebudayaan mereka. Melalui kajian itu, dapat diketahui bahwa kelompok terpelajar Mentawai menggalang kekuatan untuk melawan kelompok dominan (Minangkabau) yang dinilai selama ini telah mengeksploitasi sumber daya alam yang mereka miliki. Sifat kritis kaum terpelajar ini juga dimungkinkan oleh arus demokratisasi dan grass-root globalization15, serta perhatian internasional terhadap masyarakat asli (indigenous people). Hanya saja kajian tersebut memfokuskan perhatian pada kelompok elit terpelajar dan bukan pada orang Mentawai kebanyakan serta elit sosial budaya, sedangkan perdebatan wacana identitas tidak hanya berlangsung di antara kelompok elit terpelajar saja. Selain itu, baik Persoon (2002); maupun Eindhoven (2002; 2007) dan juga Reeves (2000) dalam kajian mereka tentang identitas Mentawai tampak mengabaikan wacana kaum perempuannya. Kurangnya perhatian terhadap pandangan dan keterlibatan kaum perempuan ini lah yang juga coba diisi dan sekaligus membedakannya dari studi-studi yang telah dilakukan sebelumnya. Secara metodologis, penelitian ini menggabungkan cara pengonstruksian identitas melalui wacana tulis (media) dengan wacana lisan yang muncul dalam perbincangan seharihari orang Mentawai. Perdebatan-perdebatan di antara orang Mentawai dalam mengonstruksi makna identitas mereka melalui wacana kebudayaan dan relasinya dengan kepentingan dan kekuasaan menurut hemat pengetahuan penulis belum dilakukan. Selain itu, studi-studi yang sudah dilakukan terdahulu belum menilik problem internal di kalangan orang Mentawai sendiri terkait persoalan identitas yang dihadapi. 15 Grass-root globalization atau globalisasi dari bawah. 15 E. Kerangka Konseptual dan Landasan Teori E. 1 . Kerangka Konseptual E. 1. 1. Konstruksi Identitas dan Etnisitas Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, tetapi sarat oleh berbagai kepentingan (Berger dan Luckmann, 1990). Konstruksi sosial merupakan gagasan yang senantiasa hadir dalam kajian atau perbincangan mengenai realitas sosial. Menurut Turner, dkk. (dalam Afif, 2012: 19) realitas sosial merupakan tempat berkembangnya nilai-nilai yang menjadi acuan bagi identitas kelompok yang kemudian melahirkan batas-batas antarkelompok dalam perkembangannya. Demikian juga halnya dengan identitas etnik. Dalam pandangan Barth (1983) identitas (etnik) merupakan hasil dari proses sosial yang kompleks, dimana batasan-batasan simbolik terus menerus membangun dan dibangun melalui mitologi, sejarah, bahasa maupun pengalaman masa lalu. Batasan simbolik penting sebagai pembeda sebagaimana dikemukakan De Vos (1982: 16) bahwa identitas etnik dari sekelompok orang terdiri dari simbol subjektif atau dengan penggunaan hal yang emblematic dari aspek-aspek kultural untuk membedakan diri dari kelompok lainnya. Identitas budaya yang terus dibangun itu menjadi suatu konstruksi yang memungkinkan untuk digunakan dalam memperkuat identitas-identitas tertentu, terutama pada saat suatu kelompok sedang menghadapi suatu ancaman (Maunati, 2004: 37). Perasaan terancam mengakibatkan identitas sering ditunjukkan sebagai hal yang bertentangan atau sengaja dipertentangkan terhadap kelompok tertentu di luar mereka. Contohnya orang Bali, mereka mengidentifikasi dirinya dengan menyebutkan sebuah identitas yang beroposisi dengan Islam sebagai kelompok dominan (Picard dalam Maunati, 2004: 27). Mempertentangkan suatu identitas dengan identitas lain di luarnya, seringkali dilakukan kelompok minoritas/marjinal terhadap kelompok dominan. Hal itu menjadikan perbedaan-perbedaan sebagai penanda identitas itu semakin terlihat. Dalam proses konstruksi identitas, faktor historis dan kepentingan-kepentingan subjektif dari para aktor berperan penting. Dengan demikian, pertentangan yang didasari oleh penekanan pada perbedaan itu menunjukkan wacana politik identitas semakin menguat di era Otonomi Daerah. Salah satu pertentangan itu, misalnya antara Mentawai dan Minangkabau berkenaan dengan sistem pemerintahan terendah. Perbedaan etnik antara ‘mereka’ (Mentawai) dengan etnik di luarnya (misalnya Minangkabau) merupakan bagian dari upaya-upaya politis yang memicu elit Mentawai menciptakan nama laggai. 16 Adapun etnisitas, muncul di sini sebagai hasil dari proses hubungan antaretnik yang telah lama terjalin. Etnisitas juga mengandung dimensi politik dan juga terkait dengan ideologi dan kepentingan tertentu dalam satu negara yang multietnis (Allahar, 2005) seperti di negara kita. Menurut Barker (2005: 27) etnisitas merupakan konsep kultural yang terpusat pada norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktik yang menandai proses pembentukan batas kultural. Batas-batas kultural yang dibentuk berdasarkan aspek-aspek kultural dilihat dalam kerangka relasi antaretnik. Relasi yang dibangun dengan sejumlah others akan memberikan pengetahuan tentang others. Bagi orang Mentawai, hubungan antaretnik itu telah memberikan pengalaman dan pengetahuan mengenai etnik lainnya, terutama etnik Minangkabau. Kelompok etnik tidaklah sama dengan bangsa, karena konsep bangsa mempunyai hubungan langsung dengan suatu negara modern (Eriksen, 1993: 99). Etnik merupakan salah satu kategori sosial, sementara identitas dibentuk berdasarkan keanggotaan dari kategori sosial yang ada. Melalui identitas kelompok atau identitas sosial, individu akan terkait dengan kelompoknya (in-group) 16. Keanggotaan kelompok dapat mempengaruhi keyakinan individu, sikap, dan perilaku dalam hubungan mereka dengan anggota kelompok sosial lainnya (out-group) 17. Menurut Rex (dalam Abdillah, 2002: 15), konsep etnik ini menjadi suatu predikat terhadap identitas seseorang atau kelompok atau individu-individu yang menyatukan diri dalam kolektivitas. Dengan sense of collectiveness ini, anggota dalam kelompok etnik akan memunculkan kesadaran untuk mengidentifikasi diri mereka ke dalam kelompok etnik tertentu. Kesadaran demikian pada akhirnya memunculkan gagasan pembedaan dari masing-masing etnik, baik mengenai klaim asal-usul maupun karakteristik budaya, sehingga pembedaan batas-batas kultural menjadi jelas. Berkaitan dengan identifikasi kelompok etnik tersebut, ada dua pandangan yang diajukan oleh Manger (dalam Abdillah, 2002: 15), yaitu: 1) sebagai sebuah unit objektif yang dapat diartikan oleh perbedaan sifat budaya seseorang; dan 2) hanya sekadar produk pemikiran seseorang yang kemudian menyatakannya sebagai suatu kelompok etnik tertentu. Sebagai hasil dari proses hubungan, etnisitas menjadi aspek penting dalam hubungan16 17 Ingroup menjadikan individu yang menjadi bagian dari kelompok sosial tertentu akan menempatkan nilainilai yang berkembang dalam kelompoknya sebagai rujukan dan bagian dari identitas sosialnya, sementara bersikap sebaliknya untuk kelompok lain dan cenderung merendahkan nilai-nilai yang dianut kelompok lain (outgroup) (Krizan dan Baron dalam Afif, 2012: 19). Outgroup merupakan kategori sosial atau kelompok di mana individu tidak merasa menjadi bagian dari kategori sosial tertentu sehingga menimbulkan rasa tidak suka, menghindar, membandingkan dan berkompetisi, bahkan dapat melahirkan konflik dengan kelompok lain (Direnzo dalam Afif, 2012: 20). 17 hubungan politik yang terjalin di antara orang Mentawai dan orang luar. Hasil dari proses hubungan yang dibangun antaretnik menjadikan setiap kelompok berusaha mendefinisikan identitas etnik mereka. Menurut Wallerstein (dalam Kaufert, 1977: 127) identitas etnik dimaknai sebagai suatu produk dari self-definition dari anggota kelompok (in-group) dan juga definisi yang diterima dari anggota kelompok lain di luar (out-group). Adapun praktik aktual dari etnisitas ini ditentukan oleh posisi relatif dari kekuasaan (Lewellen, 2002: 112) yang terbentuk melalui relasi antarkelompok yang ada. Tidak hanya itu etnisitas juga menandai relasi marjinalitas, pusat dan pinggiran, dalam konteks perubahan bentuk dan sejarah (Barker, 2005). Etnik minoritas seperti Mentawai, berusaha melakukan kontrol atas identitas mereka untuk mendefinisikan diri dengan cara-cara mereka sendiri. Mendefinisikan diri dalam istilah-istilah positif merupakan hal yang mungkin paling penting dilakukan (Ritzer, 2003), bahkan dalam etnik yang sama. Ini dikarenakan individu cenderung memberi evaluasi positif terhadap kelompok sendiri dari pada untuk kelompok lain yang dalam teori kategorisasi, proses tersebut disebut stereotyping dan self-stereotyping (Hogg dkk, dalam Afif, 2012: 27). Hal itu menunjukkan bahwa usaha atau cara-cara yang dilakukan tersebut bersifat selektif. Peran aktor sangat penting dalam menyeleksi, memproduksi makna, dan sekaligus menciptakan pertentangan dalam kehidupan sosial. Kemudian dengan bekal serangkaian pola yang diinternalisasikan itu subjek menggunakannya untuk memaknai dunia sosialnya (Bourdieu, 1994) yang senantiasa berubah. Ini dimungkinkan karena setiap manusia merupakan agen-agen aktif dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Maksudnya, semua aktor sosial banyak mengetahui kondisi-kondisi dan bermacam konsekuensi atas apa yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana ditekankan Giddens (2003: 347) bahwa aktor terus berusaha mengetahui apa yang terjadi dalam aktivitas keseharian kehidupan sosial mereka dan agen berarti karena ada kekuasaan, yang dengan adanya tindakan akan dapat mengubah situasi. Keterkaitan identitas dengan kekuasaan juga menjadi perhatian ahli lain. Misalnya menurut Stuart Hall (dalam Barker, 2005), identitas menjadi subjek dari permainan sejarah18, 18 Sehubungan dengan ikutnya sejarah dalam membentuk identitas masyarakat pendukungnya dapat kita pahami, orang-orang di Asia Tenggara dalam sejarahnya mendapat dua pengaruh kebudayaan besar yaitu India dan Cina. Pengaruh tersebut telah mewarnai kebudayaan masyarakat di kawasan tersebut dan mempengaruhi sejarah pembentukan identitas mereka. Komunitas Cina di kota-kota pesisir Jawa misalnya, mereka tinggal di perkampungan khusus yang lazim disebut pecinan telah membentuk komunitas sendiri dengan identitas pecinannya. Sekalipun mereka telah berusaha untuk membaurkan diri dengan kebudayaan Jawa (Lohanda, 1994:57), namun mereka tampil dengan identitas pecinannya. Jadi, agama, latar belakang 18 kebudayaan, dan kekuasaan secara terus menerus. Identitas berubah menurut bagaimana subjek ditunjuk, direpresentasikan, dan dibangun oleh identitas yang beragam dan terpecahpecah (Barker, 2005). Oleh karena itu, identitas bukanlah suatu yang tunggal dan tetap. Identitas dibentuk berdasarkan aspek kebudayaan yang berhubungan langsung dengan proses pembentukan identitas itu sendiri sebagai suatu yang dikonstruksi (Berger dan Luckmann, 1990; Eriksen, 1993; Kipp, 1993; Sarup, 1999; Piliang, 2002; Hall dalam Barker, 2005). Oleh karenanya identitas selalu memberikan ruang yang terus menerus dapat ditafsirkan sesuai dengan kepentingan individu atau kelompok dalam kehidupannya. Dalam kehidupan sehari-hari, identitas mungkin mengacu pada keunikan individu sebagai suatu kelompok sosial (Eriksen, 1993: 156). Menurut Hall (dalam Barker, 2005) identitas itu terdiri dari identitas diri dan identitas sosial. Identitas tentang diri dan sosial tersebut merupakan konsep tentang diri kita dan tentang relasi kita dengan orang lain sebagai suatu proses menjadi. Oleh karena itu identitas sosial merupakan persoalan kategorisasi diri yang ditandai proses pengendalian lingkungan dengan cara mengelompokkan objek-objek ke dalam satuan sosial tertentu, sehingga proses identifikasi diri dan kelompok dapat berlangsung lebih mudah (Brewer dalam Afif, 2012: 37). Giddens (2003) berpendapat, identitas merupakan cara berpikir tentang kita. Hanya saja, pikiran tentang diri kita dapat berubah dari satu situasi ke situasi yang lain menurut ruang dan waktunya. Oleh karena itu, identitas bersifat situasional (Nagata, 1974; Kaufert, 1977; Eriksen, 1993; Picard dalam Maunati, 2004). Sejalan dengan pendapat yang berhubungan dengan cara berfikir tentang kekitaan yang situasional dan dinamis tersebut, sebagaimana yang disebutkan Barker (2005: 171), identitas merupakan konstruksi diskursif yang maknanya dapat berubah menurut ruang, waktu, dan pemakaian. Artinya, makna yang dibangun dipengaruhi oleh berbagai hal yang terjadi di masyarakat dan makna akan selalu berhubungan dengan realitas sosial dan kekuasaan. Makna tidak hanya sesuatu yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya, melainkan dipengaruhi dan dibentuk oleh manusia secara aktif dalam konteks sosial yang mengandung kekuasaan. Pemahaman terhadap proses konstruksi makna menjadi hal yang pokok dalam studi ini, karena persoalan identitas juga menyangkut pemaknaan yang berkaitan dengan pelabelan, pengkategorian dan pengidentifikasian. Orang Mentawai sebagai individu atau kelompok cenderung membuat pengkategorian dunia sosial secara etnik, sejarah dan lingkungan geografis dapat memberi kekhasan yang menjadi penanda identitas budaya pada kelompok tertentu. 19 tegas, seperti ‘kita’ dan ‘mereka’. Dalam relasi sosial pengidentifikasian di sini sebenarnya berkaitan dengan cara memandang hubungan ‘kita’ dan ‘mereka’, tidak hanya dalam relasi etnik yang berbeda tetapi juga relasi di dalam etnik yang sama. Dengan demikian, identitas berkaitan dengan penafsiran-penafsiran terhadap 'yang Lain'. Sehubungan dengan hal tersebut menurut Eriksen (1993: 117), identitas etnik dibangun sesuai dengan situasi yang ada dan disusun dalam hubungannya dengan sejumlah others. Dalam relasi dengan kelompok lain (other), penguatan dan peneguhan identitas akan muncul, karena pengelompokan ‘kita’ dan yang ‘bukan kita’ selalu hadir melalui relasi-relasi yang dibangun. Di Mentawai misalnya, ada kata Simattawai (orang Mentawai) dan Sasareu (orang luar) yang menunjukkan pengelompokan seperti itu (Delfi, 2005)19. Binary opposition demikian juga tampak dari pengelompokan untuk orang Mentawai di selatan yang disebut Sakalagan dan orang di bagian utara menyebut kelompok mereka Sakalelegat. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Calhoun (1994) dan Castells (2000), pembedaan ‘kita’ dan ‘mereka’ ada dalam semua kebudayaan. Prinsip ini yang kemudian mendasari praktik eksklusi dan inklusi. Melalui pembedaan itu pula maka dikotomi-dikotomi, pertentangan dan diskriminasi juga ada (sengaja dibuat) antara ‘kita’ dan ‘mereka’, karena dunia sosial sudah dikategorikan secara berbeda. Cara orang untuk melihat identitas-identitas kultural sebagai konstruksi sedemikian pun merupakan cara yang mungkin digunakan untuk memperkuat identitas pada saat suatu kelompok sedang menghadapi ancaman dari luar (Eriksen, 1993; Maunati, 2004), termasuk ancaman budaya kelompok dominan, maupun ancaman global. Pembedaan tersebut semakin dipertegas dengan usaha mereka-ulang identitas atau bahkan juga menciptakannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Friedman (1990: 323), dampak kuat dari pasar global melalui komodifikasi kebudayaan bukannya melahirkan keseragaman, tetapi justru sebaliknya memunculkan identitas kultural yang direka-ulang dalam interaksi antara yang global dan yang lokal. Seringkali suatu yang dikatakan lokal oleh kelompok tertentu, boleh jadi merupakan hasil proses reka-ulang yang kemudian dengan sengaja ditonjol-tonjolkan sehingga seolah-olah sifatnya ‘partikularistik’. Lokalitas selalu muncul dari praktik-praktik subjek lokal dalam lingkungan sekitarnya yang spesifik dan subjek-subjek lokal tersebut terlibat dalam aktivitas sosial dari produksi, 19 Bagi orang Minangkabau juga ada pengelompokkan ‘urang awak’ dan yang ‘bukan urang awak’, dan bagi orang Batak juga ada ‘halak kita’ dan yang ‘bukan halak kita’ yang menunjukkan bahwa masing-masing etnik membedakan diri mereka dengan etnik lain di luarnya. 20 representasi, dan reproduksi (Appadurai, 2005: 195-198). Perlu diketahui, subjek-subjek lokal ini bukanlah individu-individu, melainkan aktor sosial kolektif melalui mana individuindividu memberi makna holistis dari pengalaman-pengalaman mereka (Castells, 2000: 10). Produksi lokalitas yang dilakukan aktor sosial erat terkait dengan media dan teknologi komunikasi global. Jika ada masalah muncul dan menjadi perhatian yang dominan, misalnya gagasan nasionalisme dan nation-state, demokrasi, human rights (indigenous rights) menjadi bagian dari persoalan global, maka produksi lokalitas menjadi sesuatu yang bersifat global (Appadurai, 2005). Jadi perubahan-perubahan di tingkat lokal, nasional dan internasional (global) dapat mempengaruhi produksi lokalitas di berbagai tempat, tidak terkecuali di Mentawai. Interaksi antara yang lokal, nasional dan global dalam produksi lokalitas akan memunculkan sesuatu yang dipandang ‘khas’ (partikularistik) dan kemudian dijadikan sesuatu yang dapat diklaim sebagai milik ‘kita’ dan bukannya milik ‘orang lain’. Sőkefeld (2001) menyebutkan bahwa identitas berarti juga suatu klaim. Klaim-klaim tersebut terkait dengan cara-cara pengelompokan yang melibatkan tindak eksklusi dan inklusi yang didasarkan pada konsep kesamaan dan perbedaan (Simatupang, 2006: 78). Umumnya ke dalam kelompok sendiri orang berupaya melakukan tindak penyamaan dan ke luar kelompoknya melakukan tindak pembedaan. Pengelompokan ‘kita’ dan ‘mereka’ dapat dipengaruhi dan ditentukan juga oleh kesamaan daerah asal, kelompok etnik dan agama. Agama yang dianut oleh ‘kita’ dan yang dianut oleh others bahkan mampu memisahkan orang-orang yang satu etnik sekalipun. Banyak orang (menjadi) Melayu yang dikenal sekarang di Kalimantan, termasuk orang Kutai dulunya juga dianggap orang Dayak (Maunati, 2004:61). Mayoritas orang Melayu di Kalimantan pada dasarnya pun merupakan orang Dayak yang kemudian masuk Islam (Avé dan King dalam Maunati, 2004:61-62). Hal yang sama juga terjadi pada orang Batak Karo yang mengubah identitas etnik Karonya menjadi Melayu setelah mereka masuk Islam (Kipp, 1999). Agama menyebabkan sebagian orang menjadi other di dalam kelompok etniknya sendiri dan sebaliknya juga bisa menjadikan sebagian orang di luar kelompok etniknya yang semula other menjadi ‘kita’. Hal demikian menunjukkan bahwa identitas dapat terus berlangsung karena agama dan begitu juga sebaliknya (Babcock, 1989). Adapun penanda identitas budaya bisa saja berasal dari 21 suatu kekhasan yang terdapat pada praktik-praktik keagamaan dari kelompok tertentu 20 yang sangat mungkin pula mengalami berbagai perubahan. Perubahan-perubahan itu tidak dapat dilepaskan dari politik permainan identitas yang dimanifestasikan dalam bermacam aktivitas pada ruang dan waktu tertentu. Sebagai sesuatu yang setiap saat dapat berubah, konsep identitas bisa dipandang sebagai usaha yang tiada akhir dan terus berkelanjutan. Dengan demikian, identitas bukan merupakan sesuatu yang final, statis dan succeed, melainkan sesuatu yang tidak pernah sempurna (Hall dalam Barker, 2005). Sebagai sesuatu yang tidak sempurna, identitas memerlukan media untuk terus tumbuh dan berkembang, sehingga pemaknaan-pemaknaan identitas terus mengalami perubahan. Makna identitas Kulit Hitam atau Afrika misalnya, terus menerus berubah berkaitan dengan politik yang selalu diartikulasi ulang dan direkaulang (Kanneh, 1998). Makna identitas Tionghoa Indonesia juga terus berubah (Afif, 2012), dan demikian juga halnya dengan identitas Dayak (Maunati, 2004) dan identitas Bali (Dwipayana, 2005). Meskipun pemaknaan identitas dapat berubah, namun kebudayaan menjadi media dalam penandaan dan pelestarian identitas di dalam kelompok dan untuk membedakannya dengan kelompok lain. Identitas sebagai konstruksi sosial hadir dalam representasi kultural dan akulturasi, sehingga tidak mungkin eksis di luar itu (Barker, 2005). Dengan hadirnya identitas dalam representasi budaya dan akulturasi, tafsiran-tafsiran mengenai identitas pun tidak pernah berhenti dan tidak mungkin final. Itu membuktikan bahwa tafsiran tentang identitas akan terus diperbaharui di dalam wacana sejarah dan kebudayaan (Piliang, 2002). Wacana kebudayaan bisa beraneka ragam dan sangat mungkin saling bertentangan. Wacana tertentu bahkan dapat menjadi dominan atau sebaliknya bergantung pada ada atau tidaknya kekuasaan pendukungnya. E. 1. 2. Wacana, Kekuasaan dan Perlawanan Untuk memahami wacana21 identitas dalam kaitannya dengan relasi kekuasaan di sini digunakan sudut pandang Foucault (1980) tentang wacana sebagai sistem representasi yang mereproduksi objek-objek pengetahuan. Oleh karena itu, tidak ada objek yang memiliki makna di luar wacana (Foucault, 1980). Maksudnya, segala sesuatu itu bermakna karena diwacanakan. Menurut Foucault wacana selain berfungsi mendefinisikan (termasuk 20 21 Misalnya kita mengenal adanya kelompok Muslim Bali, Hindu Bali, Hindu Jawa, dan Muslim Sasak. Wacana adalah terjemahan dari kata discourse dalam bahasa Inggris. Secara etimologi istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa Latin: dis dan curere. ‘dis’ berarti ‘dalam arah yang berbeda’ dan ‘curere’ berarti berlari (Cavallaro, 2001: 163). 22 identitas), juga memiliki kemampuan untuk membatasi dan mengeksklusi cara-cara lain di luar wacana yang berlaku. Melalui eksklusi, hal-hal tertentu dikeluarkan dari anggapan sebagai suatu yang nyata dan layak diperhatikan. Apa yang nyata dan yang layak merupakan hasil konstruksi, sehingga wacana akan menghasilkan pemaknaan yang berbeda. Sebagai contoh, bagi orang Mentawai di bagian selatan, laggai dimaknai ‘kampung’, sedangkan bagi orang Siberut22, laggai dimaknai sebagai kemaluan laki-laki. Oleh karena itu dianggap 'kotor' jika kata itu disebut-sebut sehingga tidak layak untuk dijadikan nama pengganti desa. Makna-makna yang berbeda tersebut dapat berubah jika relasi kekuasaan berubah, karena setiap wacana tidak dapat dilepaskan dari kepentingan dan kekuasaan (Foucault, 1980; Alam, 1999). Kekuasaan (power) adalah kemampuan untuk menstruktur tindakan orang lain ke dalam bidang tertentu dan selalu diproduksi dalam relasi (Foucault, 1972: 427). Sebagai strategi, kekuasaan itu dipraktikkan dalam hubungan antarindividu di dalam masyarakat dan dinegosiasikan melalui interaksi. Dalam suatu konteks sosial, wacana memiliki kekuatan untuk menyusun dan mempengaruhi pemahaman pelaku (kita) tentang realitas, termasuk gagasan tentang identitas kita. Oleh karena itu, realitas merupakan suatu yang dikonstruksi. Persoalan identitas sebagaimana juga wacana tentang kebudayaan, berkaitan dengan kepentingan dan kekuasaan. Kekuasaan mendukung wacana-wacana tertentu menjadi wacana dominan, sementara itu, wacana lainnya akan ‘terpinggirkan’ (marginalized) atau ‘terpendam’ (submerged) (Alam, 1999: 8; Eriyanto, 2001: 77). Wacana tentang kebudayaan di dalam masyarakat yang beragam sangat memungkinkan untuk saling bertentangan. Sebuah wacana yang besar bisa terdiri dari bermacam sub wacana yang tidak saja saling berhubungan tetapi juga saling berkontestasi untuk mencapai pengakuan akan 'kebenaran'. Di sini lah pentingnya untuk memahami keterlibatan 'subjektivitas' dalam wacana sebagaimana ditenggarai oleh Alam (1999) karena menjadikan kita dapat melihat setiap wacana tentang kebudayaan tidak terlepas dari kekuasaan dan beragam kepentingan. Kepentingan individual atau pun kelompok akan tampak dari adanya usaha untuk menelusuri 22 Kata Siberut dan Sabirut di dalam tulisan ini digunakan secara bergantian. Istilah ini untuk merujuk pada nama pulau, orang-orang yang mendiami Pulau Siberut dan kumpulan orang-orang yang dianggap berasal dari Lembah Siberut. Lembah Siberut adalah salah satu lembah di pesisir timur Pulau Siberut yang di Pulau Siberut sendiri dikenal sebagai Sabirut atau orang Sabirut. Sedangkan dalam relasinya dengan orang-orang di luar Pulau Siberut, seperti orang di Pulau Sipora dan Pulau Pagai mereka menyebut orang Siberut atau Sabirut untuk merujuk semua penghuni Pulau Siberut. Dalam konteks pemakaian oleh orang-orang Pulau Pagai dan Sipora istilah Siberut dan Sabirut merujuk pada nama pulau Siberut dan semua penghuni Pulau Siberut. 23 sejarah yang sama atau disama-samakan, termasuk sejarah asal-usul. Kepentingan lain adalah tindak penyamaan dan upaya untuk mengklaim ‘sesuatu’ sebagai identitas mereka merupakan usaha yang bersifat selektif dan politis, dimana aktor melakukan pilihanpilihannya. Adapun pilihan-pilihan merujuk pada eksternalitas yang telah diinternalisasi oleh agen (Bourdieu, 1994). Oleh karena itu penting untuk memahami mengapa pembedaanpembedaan yang terkait dengan pengalaman itu dimunculkan dalam wacana dan apa tujuan (kepentingan) tertentu di balik tindakan pewacana. Berkaitan dengan usaha yang selektif dan politis dalam wacana identitas dapat kita lihat misalnya mengenai isu pengukuhan lokalitas melalui pilihan untuk mengusung nama laggai sebagai pengganti desa. Mengapa laggai yang dipilih oleh para pengusungnya, bukan pulaggajat seperti yang lazim digunakan orang Mentawai di Siberut? Usaha mengusung nama yang dianggap paling tepat dan layak untuk sistem pemerintahan yang akan digunakan di Mentawai mengandung perdebatan. Dalam perdebatan itu orang-orang berusaha membangun klaimnya masing-masing dengan cara mencari atau menelusuri asal-usul yang sama, nenek moyang, nilai-nilai luhur, maupun tradisi yang sama (disamakan atau yang dibayangkan sama). Pada akhirnya, tindak penyamaan itu akan memunculkan ide tentang pembedaan antara siapa yang 'orang asli' dan siapa yang 'pendatang'. Usaha tersebut dapat dikatakan merepresentasikan padangan subjek. Melalui usaha tindak penyamaan dan pembedaan itu dapat dipahami bahwa di antara dua atau lebih entitas sosial menunjukkan suatu hakikat identitas yang dibangun bersifat relasional (Simatupang, 2006), kendati tindak penyamaan dan pembedaan itu dapat muncul hanya karena dibayangkan. Dengan dibayangkan, identitas komunitas tersebut sesungguhnya bukan merupakan penemuan, melainkan hasil suatu proses yang berisi usaha anggota komunitas yang bagi sebagian besar orang mungkin tidak saling mengenal (Anderson, 2002). Mereka juga tidak saling bertatap muka, bahkan tidak pernah saling mendengar satu sama lain untuk mendefinisikan diri mereka sebagai anggota suatu komunitas yang lebih besar (Anderson, 2002). Perlu dicermati bahwa tidak semua tindak penyamaan dan pembedaan tersebut dapat dilakukan hanya dengan dibayangkan saja. Hal ini dikarenakan globalisasi juga mempermudah tersedianya ruang untuk konstruksi identitas, dimana pertukaran barang ataupun simbol menjadi lebih leluasa. Ditambah lagi, perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi membuat pertemuan berbagai kebudayaan semakin mudah terjadi, termasuk untuk penyebaran wacana tertentu seperti wacana indigenous rights. 24 Melalui pertemuan beragam budaya, pengalaman dan proses belajar tentang relasi dapat berlangsung. Menurut Horowitz (1981) proses belajar juga turut berperan membentuk identitas etnik. Proses itu menguatkan pandangan Hall (Piliang, 2001) bahwa identitas didefinisikan sebagai cara sebuah kebudayaan menafsirkan posisi dirinya di dalam rentang sejarah dan dalam relasinya dengan kebudayaan lain. Penafsiran tersebut merupakan upaya bagaimana kita memandang diri kita tidak sama atau boleh jadi dipertentangkan dengan yang lain. Artinya, identitas dapat dilihat dalam kaitannya dengan praktik resistensi karena identitas dapat dimunculkan untuk melawan kelompok tertentu (Castells, 2000; Eriksen, 1993; Wolfers, 2010), walaupun cara perlawanan bisa berbeda-beda (khusus). Hal ini dapat terjadi, karena sifat dinamis dari konstruksi identitas. Melawan kelompok luar dengan menekankan pada perbedaan yang dimiliki oleh satu etnik merupakan fokus perhatian dari politik identitas yang dimaksud. Sebagaimana dikemukakan Heller (dalam Abdilah, 2002:16) politik identitas sebagai gerakan politik yang fokus perhatiannya terletak pada penekanan perbedaan sebagai kategori politik yang utama. Penekanan pada perbedaan antara kelompok 'kita' dengan others juga dapat muncul atau bermakna sebagai sebuah kekhawatiran atau ketakutan. Itu menunjukkan terminologi identitas ditempatkan pada posisi defensif karena ada perasaan terancam. Seperti halnya kekuasaan (power), identitas juga dapat digunakan untuk melawan kelompok lain (dipandang lain), sekalipun kelompok-kelompok itu sebenarnya memiliki latar belakang etnik yang sama. Dengan demikian perlawanan pada dasarnya adalah hubungan defensif. Ini dapat terjadi dalam situasi dimana bentuk-bentuk kekuasaan budaya tersebut muncul dari suatu sumber yang jelas-jelas dialami sebagai sesuatu yang bersifat eksternal dan sebagai liyan (Bannet dalam Barker, 2005: 359). Dalam studi ini misalnya, wacana Nagari di Sumatera Barat sebagai salah satu wacana penting di era Otonomi Daerah, menjadi suatu yang bersifat eksternal dan sekaligus liyan bagi Mentawai. Oleh karena itu, perlawanan akan muncul ketika sesuatu yang dianggap liyan atau kolektivitas liyan (Minangkabau) akan mengalahkan kolektivitas kelompok sendiri (Mentawai). Perlawanan atau resistensi dalam pandangan Foucault (1982: 30) bisa muncul dalam tiga bentuk, yaitu perlawanan atas dominasi (etnik, agama, dan kelas), perlawanan atas eksploitasi yang memisahkan individu dari apa yang diproduksinya, dan perlawanan atas subjektivitas. Subjek adalah hasil bentukan struktur yang berdampak pada pola pemikiran yang dualistis, cenderung mengeksklusi yang lain (Kristiatmo, 2011). Tindak eksklusi dalam wacana dilakukan melalui kata-kata yang penggunaannya dianggap tabu (misalnya 25 pembagian antara apa yang dianggap wajar dan tidak) (Foucault, 1981: 52). Wajar dan tidak wajar, benar dan tidak benar, boleh dan tidak boleh, layak dan tidak layak merupakan kategori buatan manusia yang menjadi subjek, karena adanya praktik pembagian yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Subjek menciptakan klaim kebenaran melalui ucapan dan teks dalam memaknai realitas sosial. Klaim kebenaran diciptakan sebagai bentuk bekerjanya kekuasaan sebagai wacana yang dapat mempengaruhi praktik-praktik sosial. Perlawanan itu dapat juga dilakukan dengan memunculkan wacana lain, yakni wacana yang bertentangan dengan wacana dominan (doxa) dari kelompok tertentu. Baik wacana itu dilakukan melalui wacana tulis maupun wacana lisan. Menurut Bourdieu (dalam Fashri, 2007: 124), kelompok yang memiliki wacana dominan (doxa) akan lebih leluasa dalam memaksakan visi dan normanya kepada kelompok yang tidak dominan (subordinat). Dominasi dengan cara-cara pemaksaan visi maupun norma mengakibatkan kelompok yang tidak dominan juga berwacana untuk melakukan perlawanan terhadap wacana dominan. Berarti wacana yang mereka bangun menjadi wacana perlawanan. Menurut Foucault (1982), walaupun kekuasaan tersebut tidak tampak, ia selalu akan memunculkan peluang untuk resistensi sebagai bagian dari relasi kekuasaan. Oleh Bourdieu (1992: 170), kekuasaan yang tidak tampak ini disebut sebagai simbolic power yang bekerja dengan penggunaan simbol-simbol secara halus. Kekuasaan yang mengambil bentuk yang halus ini hampir tidak dikenali (misrecognition) oleh kelompok yang didominasi, namun sesungguhnya bentuk ini menyembunyikan praktik dominasi (Bourdieu, 2001:1). Ini bisa dalam bentuk bahasa, karena bahasa adalah salah satu instrumen penting dalam praktik pewacanaan yang bisa hadir dalam semua arena sosial. Dalam melihat hubungan kuasa dan bahasa, salah satunya melalui cara penciptaan realitas melalui bahasa yang merupakan bentuk kuasa yang paling halus, dan inilah yang dimaksud Bourdieu sebagai simbolic power (Aunullah, 2006: 5). Pewacanaan yang dilakukan dalam melawan wacana lain berhubungan dengan penafsiran masing-masing pewacana dalam mengonstruksi makna tentang sesuatu. Makna ada dalam suatu produksi sosial dan suatu praktik yang mengandung pertentangan sosial (Hall dalam Eriyanto, 2001: 37). Pemaknaan tentang identitas seringkali juga berkaitan dengan hal yang bersifat politis. Oleh karena itu, perubahan-perubahan politis yang terjadi ikut mempengaruhi pewacanaan identitas itu sendiri. Wacana menjadi sebuah praktik, ketika sesuatu itu memproduksi yang lain, baik dalam bentuk gagasan, konsep maupun tindakan. 26 Sejumlah wacana juga dapat terhimpun menjadi suatu akumulasi konsep ideologis yang didukung oleh tradisi, kekuasaan, lembaga dan berbagai macam modus penyebaran pengetahuan (Foucault, 1980). Kekuasaan itu tidak dirumuskan sebagai kekuatan pengendali yang terpusat karena kekuasaan tersebut tersebar pada semua level bangunan sosial, kekuasaan bersifat generatif, yakni merupakan produksi dari relasi sosial dan identitas (Foucault dalam Barker, 2005: 21). Dengan demikian dapat dipahami, kekuasaan juga merupakan proses yang melibatkan agensi, wacana dan praktik yang mengalir dari bawah ke atas (Foucault dalam Agger, 2003: 283). Selain itu, kekuasaan juga menunjukkan relasi antaraktor (subjek) yang juga bisa berubah. Oleh karena itu dapat dipastikan, wacana identitas dapat berubah dan dapat diubah bergantung pada konteksnya: kekuasaan dan kepentingan yang bermain di belakangnya. Dalam kajian ini, keseluruhan rangkaian dari proses negosiasi, perebutan klaim kebenaran dalam praktik pemaknaan dan bagaimana subjek direpresentasikan, dilihat sebagai bangunan diskursif. Wacana identitas (ke-Mentawai-an) di sini dikaji melalui konsep kekuasaan dan juga praktik sosial. Ke-Mentawai-an berhubungan dengan kekuasaan, dan orang yang memiliki kuasa membangun wacana yang dapat mensubordinasikan kepentingan yang lain, contohnya pembangunan nasional. Dengan alasan kepentingan nasional yang merupakan kepentingan kelompok dominan, wacana pembangunan yang dibangun oleh pemerintah dan lembagalembaga lain telah mensubordinasikan kepentingan rakyat (Abdullah, 1999: 23). Pada saat wacana dominan menguasai pasar, ia pun memiliki otoritas untuk mendefinisikan the Other (Bourdieu, 1992). Sejauh mana wacana dominan ingin dipertahankan oleh kelompok tertentu, kelompok lain berupaya menggugatnya (melawan). Seperti halnya kekuasaan, perlawanan terhadap kekuasaan juga ada di mana-mana (Foucault, 1982; Ritzer dan Goodman, 2008). Dengan demikian, kekuasaan tidak hanya ada di antara para elit, kekuasaan juga ada di antara orang kebanyakan yang aktif membangun wacana-wacana perlawanan. Selama masih ada kekuasaan, perlawanan pun akan selalu ada seperti apa pun bentuknya, terutama di saat negosiasi tidak berjalan. Berkenaan dengan persoalan identitas, perlawanan dan kekuasaan ini Castells (2000) menjelaskan bahwa konstruksi sosial dari identitas selalu muncul dalam sebuah konteks yang ditandai oleh hubungan-hubungan kekuasaan. Terkait persoalan itu, lebih jauh lagi Castells mengajukan tiga bentuk dan asal-usul dari bangunan identitas, yaitu: 1) Identitas yang sah (legitimizing identity) yang diintrodusir oleh institusi dominan masyarakat untuk meluaskan dan merasionalkan dominasi mereka, contohnya otoritas dan dominasi; 2) Identitas 27 perlawanan (resistance identity) ditimbulkan oleh aktor-aktor yang dalam situasi atau kondisi yang direndahkan martabatnya atau distigmatisasi oleh logika dominasi, contohnya politik identitas; dan 3) Identitas proyek (project identity), yakni ketika aktor sosial atas dasar budaya material mana pun tersedia bagi mereka untuk membangun identitas baru yang meredifinisi posisi mereka di dalam masyarakat, contohnya feminism (2000: 7-8). Asal-usul dan bentuk bangunan identitas yang ditandai oleh relasi kekuasaan tersebut tidaklah bersifat kaku, melainkan sangat dinamis. Oleh karena itu, sangat memungkinkan jika resistance identity tersebut juga dapat digunakan atau diubah menjadi project identity atau legitimizing identity diubah menjadi resistance identity. E. 2. Landasan Teori Signifikansi teoritis penelitian ini berusaha melihat hubungan kekuasaan dan bagaimana kekuasaan dijalankan oleh aktor-aktor dalam mengkonstruksi ke-Mentawai-an. Orang-orang menggunakan wacana dan klaim kebenaran sebagai rujukan pandangan yang dianggap paling valid dalam mempersoalkan fenomena sosial. Sebagai contoh, terkait penciptaan sistem pemerintahan terendah setempat dan isu-isu yang melatarbelakanginya. Penelitian ini memberikan pemahaman mengenai bagaimana model relasi kekuasaan dalam konteks rancangan Perda Laggai diterjemahkan orang-orang Mentawai untuk memaknai identitas mereka. Konsep identitas selalu hadir dalam wacana kebudayaan, maka kebudayaan itu tidak dapat dilepaskan dari proses pembentukan kekuasaan. Artinya pembentukan identitas dapat berubah, salah satunya apabila relasi kekuasaan juga berubah. Sejalan dengan itu Ortner menyebutkan, perlu menempatkan kekuasaan sebagai kerangka kerja teoritis yang diperlukan dalam studi kritis, terutama mengenai ketidaksetaraan dan dominasi (Ortner, 2006: 4). Pendukung kebudayaan merupakan pelaku-pelaku yang memiliki kepentingan dan kekuasaan. Sebagai subjek yang aktif, setiap aktor membangun makna dan sekaligus bertindak secara strategis di dalam praktik karena masing-masing memiliki kesadaran subjektif. Strategi sebagai produk dari habitus dilakukan untuk penyesuaian atau perlawanan terhadap kekuasaan yang ada di dalam arena. Hal ini menunjukkan pentingnya penggunaan teori praktik (theory of practice) yang dikembangkan oleh Bourdieu (1977; Jenkins, 2004). Dalam mengembangkan teori praktik, Bourdieu membedakan antara konsep praktiknya dengan konsep tindakan dari Weber yang cenderung melihatnya sebagai cerminan ide yang terkandung dalam kebudayaan pelaku. Suatu pandangan yang juga diwarisi oleh Geertz dalam pendekatan interpretifnya (Alam, 1998: 5; 1999: 7). Konsep praktik menurut 28 Bourdieu, menekankan hubungan timbal balik antara pelaku yang memiliki kesadaran subjektif dan struktur objektif yang mencakup kebudayaan si pelaku sebagai sistem pengetahuan yang diwarisi dari generasi ke generasi (Bourdieu, 1977: 83). Hubungan timbal balik antara pelaku yang berkesadaran subjektif dan struktur objektif digambarkan Bourdieu sebagai: 1) struktur objektif direproduksi para pelaku secara terus menerus di dalam praktik pada kondisi historis tertentu, 2) dalam proses tersebut, para pelaku mengartikulasikan dan mengapropriasi simbol-simbol budaya yang terdapat dalam struktur objektif sebagai tindakan strategis dalam konteks sosial tertentu, 3) sehingga proses timbal balik antara praktik dan struktur objektif secara terus menerus dapat menghasilkan perubahan maupun kontinuitas (Bourdieu, 1977: 83; Alam 1998: 5; 1999: 7). Berangkat dari hal di atas, maka muncul pertanyaan, apakah Foucault dan Bourdieu memiliki kesamaan dalam memandang kebudayaan? Keduanya sama-sama melihat makna sebagai suatu yang dikonstruksi. Sejalan dengan apa yang dikemukakan Lewellen (2002: 49), keduanya, baik Foucault maupun Bourdieu, cenderung melihat kebudayaan sebagai sistem kognitif, simbolik, dan sistem makna yang diciptakan. Jika konsep wacana Foucault memiliki banyak karakteristik kebudayaan, demikian juga halnya Bourdieu dengan konsep habitusnya sebagai internalisasi tak sadar dari struktur objektif (kebudayaan) dari masyarakat (Lewellen, 2002: 49). Bagi Bourdieu, kebudayaan kurang lebih adalah habitus, dan kebudayaan menjadi seperangkat nilai yang diinternalisasikan dalam diri sedemikian rupa sehingga menjadi tidak sadar (Zizek dalam Kristiatmo, 2011: 80). Ortner (2006) juga berpendapat bahwa habitus memiliki kesamaan dengan gagasan kebudayaan yang dapat dipahami melalui konsep internalisasi. Jika demikian apakah pandangan Foucault dan Bourdieu ada kesamaan dengan Geertz (1973) yang juga memandang kebudayaan sebagai sistem simbol yang mempengaruhi dan membentuk dunia sosial? Kesamaan pandangannya karena kebudayaan merupakan pedoman bagi tindakan karena menyediakan model dari apa yang dianggap sebagai realitas dan pola-pola bagi prilaku. Hanya saja pandangan Geertz melihat proses kebudayaan terlepas dari relasi kekuasaan. Antara Foucault (1977) dan Bourdieu (1977), memiliki kesamaan cara pandang dalam melihat hubungan kekuasaan dan praktik. Artinya keduanya berpandangan bahwa kekuasaan muncul di dalam relasi sosial. Teori praktis menjadi penting di sini, karena wacana sendiri menyatukan bahasa dan praktik. Teori praktis menempatkan kembali aktor dalam proses sosial tanpa menghilangkan bidikan terhadap struktur yang lebih luas, tidak hanya mendukung, tetapi juga mengubah tindakan sosial (Ortner, 2006: 3). Kebudayaan selalu 29 terwujud dalam praktik. Salah satu praktik yang berfungsi mengonstruksi kebudayaan ialah praktik kewacanaan. Oleh karena itu, kebudayaan sebagai sesuatu yang dikonstruksi, erat kaitannya dengan kekuasaan dan kepentingan para pewacana (Alam, 1999). Lebih jauh Bourdieu (1992) menjelaskan bahwa praktik merupakan produk dari relasi antara habitus sebagai produk sejarah dan ranah. Bourdieu menggunakan konsep habitus ini untuk memahami proses pembelajaran dan pengalaman yang ditemui individu dalam kehidupannya sebagai bekal pengetahuan baginya untuk bertindak (Jenkins, 2004). Oleh karena itu, keterlibatan orang-orang (aktor) sebagai subjek dalam proses konstruksi budaya merupakan hal yang penting (Bourdieu, 1978). Adakalanya, ruang sosial tertentu itu sendiri tidak memberikan tempat bagi semua individu yang sama sekali tidak memiliki modal ekonomi maupun kultural untuk bertarung di ranah ini. Perbedaan modal yang dimiliki menjadikan pertarungan di dalam ranah tidak seimbang, karena alat dominasi bergantung pada jumlah dan bentuk modal yang dimiliki seseorang. Agak berbeda dari Foucault, bagi Bourdieu kuasa tidaklah tersebar di mana-mana, namun tetap terkonsentrasi di wilayahwilayah tertentu dalam dunia sosial, terutama dalam institusi yang menjamin berlangsungnya reproduksi berbagai jenis modal. Institusi ini antara lain bisa dalam rumah tangga (lalep), klen (uma), dan pemukiman (barasi). Oleh karena masing-masing memiliki modal yang berbeda, maka wacana yang dibangun berkaitan dengan kekuatan modal yang dimiliki. Hal yang sama juga ada dalam negosiasi dan perlawanan dimana akan disesuaikan dengan jenis modal yang dimiliki dan kekuatan modal ini pun dapat berubah-ubah. Pewacanaan ke-Mentawai-an itu masih akan terus dibangun dan diperdebatkan, dan dalam proses pengonstruksian identitas terkait dengan perubahan yang terus berlanjut. Makna identitas tidak hanya ada dalam struktur bahasa, namun juga ada dalam wacana sebagaimana yang dilakukan para aktor/pelaku wacana. Oleh karena itu wacana identitas dapat dilihat sebagai ranah yang penuh konflik atau pertarungan, pemaknaan, klaim dan juga negosiasi. Dengan demikian, makna menjadi sebuah produksi yang dikontrol (dibatasi), dikembangkan, dikontestasikan dan diperebutkan. Subjektivitas atau kepentingan bermain dalam proses konstruksinya, sehingga pemaknaan yang dibangun akan bersifat plural. Pemikiran-pemikiran yang dijabarkan di atas akan dijadikan pijakan untuk melihat persoalan wacana identitas di Mentawai. Langkah awal yang akan dilakukan adalah menelusuri persoalan terkait usaha mengganti bentuk pemerintahan desa di Mentawai 30 menjadi laggai23, walaupun pemerintahan laggai ini belum pernah ada sebelumnya. Kelompok-kelompok elit terpelajar dari Sipora dan Pagai memunculkan istilah laggai tersebut, sementara di level orang kebanyakan (paling tidak di Siberut) istilah itu ditolak. Wacana tersebut kemudian diusung kembali oleh kelompok elit. Untuk itu, perlu mengkaji lebih dalam bagaimana masyarakat Mentawai memainkan peranannya dalam pembentukan wacana identitas (ke-Mentawai-an) yang tidak hanya terkait dengan perbincangan laggai, tetapi juga mengenai gagasan orisinalitas, perbicangan asal-usul dan praktik-praktik budaya di antara mereka. Bagaimana pula kekuatan-kekuatan yang saling bersaing, bertentangan dalam membangun klaim-klaim kebenaran (pemaknaan) itu dinegosiasikan oleh para pelaku. Keseluruhan rangkaian dari proses negosiasi, perebutan klaim kebenaran dan bagaimana orang Mentawai sebagai agen dan subjek membuat praktik-praktik pembagian (pembedaan) yang mengeksklusi yang lain, serta bagaimana subjek direpresentasikan menjadi bagian dari pengonstruksian wacana ke-Mentawai-an itu. Melalui perdebatan-perdebatan di antara orang Mentawai di Barasi Muntei akan menunjukkan bahwa mereka terlibat aktif dalam pemaknaan-pemaknaan identitas yang dibangun. Jadi identitas Mentawai tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang statis, melainkan entitas yang dinamis, cair dan sekaligus berubah-ubah (situasional), serta selalu mengalami perjumpaan dengan 'yang Lain'. Dalam perjumpaan dengan yang lain itu berlangsung proses negosiasi dan resistensi, namun karena identitas sekaligus merupakan arena pertarungan maka dalam pemaknaan-pemaknaan akan identitas itu klaim-klaim kebenaran saling diperebutkan. Konstruksi identitas di sini adalah konstruksi di dalam dan melalui wacana. Wacana dan identitas bersifat dialektis, dimana identitas itu dikonstruksi di dalam wacana dan sebaliknya pewacanaan dilakukan untuk mengonstruksi identitas. Wacana perempuan di sini, meski bukan dalam perdebatan yang sama dengan kaum laki-laki (laggai dan pulaggajat), tetapi dari studi ini penting untuk memberi perhatian terhadap suara-suara perempuan di barasi dalam perdebatan identitas dan pandangan mereka tentang relasinya dengan Sasareu 23 Pemerintahan Laggai ini belum pernah dijalankan sebelumnya di Mentawai, baik sebelum penerapan model pemerintahan desa maupun sebelum pemerintahan Nagari. Pemerintahan Nagari pernah diberlakukan di Mentawai, karena Mentawai sebelumnya adalah bagian dari Kabupaten Padang Pariaman, dan itu membuktikan betapa kuatnya dominasi Minangkabau terhadap Mentawai. Berbeda dengan pemerintahanNagari dalam masyarakat Minangkabau yang secara historis memang telah ada dan dijalankan sebelum diberlakukannya penyeragaman pemerintahan desa. Format pemerintahan laggai ini dirancang oleh kelompok elit Mentawai yang didominasi oleh orang-orang Mentawai Sipora dan Pagai yang oleh orang Mentawai Siberut disebut sebagai Sakalagan (lihat Delfi, 2005). 31 F. Metode Penelitian F. 1. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan dengan fokus di barasi 24 , yaitu Barasi Muntei untuk memotret persoalan perdebatan identitas. Barasi ini dipilih tidak saja karena penolakan warganya pada Ranperda Laggai, tetapi juga karena Barasi Muntei berada tidak jauh dari pusat Kecamatan Siberut Selatan dan dermaga kapal, sebagai gerbang masuknya Sasareu ke Siberut. Posisinya yang demikian strategis, memungkinkan untuk melihat interaksi dengan Sasareu. Di samping itu, barasi ini merupakan salah satu kampung relokasi yang sekaligus daerah transit untuk masuk ke wilayah pedalaman Siberut Selatan. Penghuni barasi ini masih memiliki hubungan yang relatif kuat dengan kelompok uma yang ada di hulu sungai dan masih dijumpai praktik ritual Sabulungan sebagai penanda identitas orang Mentawai. Selain itu, barasi ini tidak hanya didiami oleh kelompok orang yang lembah asalnya berbeda tetapi juga oleh Sasareu. Barasi menjadi penting untuk melihat pembentukan identitas dalam konteks kekinian. Penelitian juga dilakukan dengan mengunjungi dan tinggal di beberapa pemukiman 'tradisional' uma, di Badmara di bagian hulu Lembah Siberut dan Attabai di Lembah Rereiket. Penulis juga mengunjungi dan tinggal di barasi atau dusun yang ada di daerah aliran Sungai Rereiket, antara lain; Rokdog, Madobag dan Ugai yang menjadi daerah pilihan kunjungan bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Dengan demikian, barasi dan kampung-kampung yang dipilih dapat dikatakan sebagai representasi dari kebudayaan Mentawai di Pulau Siberut yang dinamis. Selain berkunjung dan melakukan observasi, wawancara dengan orang tertentu di kampung tersebut juga dilakukan. F. 2. Metode Pengumpulan Data Ada beberapa metode yang dipakai dalam proses pengumpulan data, di antaranya: studi literatur, pengamatan terlibat, dan wawancara mendalam. Selain itu juga mengumpulkan teks-teks media yang terkait dengan wacana penolakan Perda Nagari dari koran lokal Puailiggoubat. Studi literatur merupakan metode yang sangat penting digunakan untuk memahami secara lebih jauh dimensi-dimensi kebudayaan Mentawai yang telah ditulis dan dipaparkan oleh peneliti sebelumnya baik itu oleh peneliti asing (Barat) maupun penulis Indonesia. 24 Barasi adalah kampung yang terbentuk karena adanya program relokasi. Barasi Muntei merupakan salah satu kampung relokasi di Kecamatan Siberut Selatan dan merupakan pusat Desa Muntei yang memiliki 3 dusun yang letaknya berjauhan. Penjelasan selanjutnya tentang penamaan barasi dan dusun-dusun lainnya dapat dilihat di Bab II. 32 Literatur-literatur tentang Mentawai dalam berbagai fokus kajian dan cara pandang dipelajari secara lebih seksama. Berangkat dari studi pustaka tersebut dan data-data yang terkumpul di lapangan yang dilakukan sejak Maret tahun 2007 sampai April tahun 2008 dalam beberapa kali kunjungan, membantu penulis menemukan bagaimana relasi-relasi antara berbagai kekuatan yang mempengaruhi atau mendorong munculnya wacana ke-Mentawai-an saat ini. Observasi partisipasi dilakukan untuk mengamati berbagai fenomena yang berkembang dalam masyarakat. Oleh sebab itu maka bagaimana seseorang merespons perilaku orang lain di luar kelompok maupun dalam kelompoknya dalam ruang dan waktu tertentu menjadi salah satu sasaran observasi partisipasi ini. Begitu juga halnya dengan siapa aktor-aktor yang berperan (pelaku wacana), status sosial apa yang dimilikinya, bagaimana cara-cara yang dilakukan oleh aktor atau kelompok tertentu dalam mempengaruhi individu atau kelompok lain dalam kehidupan sehari-hari dalam pembentukan wacana identitas juga dilakukan. Sebagaimana dianjurkan Foucault (dalam Ritzer, 2005: 67-78), penting menyelidiki peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan pernyataan-pernyataan yang diperbincangkan atau pun yang ditulis. Pemahaman bagaimana sudut pandang orang Mentawai dan kaitannya dengan identitas budaya, pandangan dan penolakan mereka terhadap konstruksi identitas yang diberikan oleh orang-orang luar (Sasareu). Hal ini dilakukan dengan dua cara: pertama dengan membaca secara seksama teks-teks media untuk menemukan tema-tema yang menonjol, kemudian dicatat. Selanjutnya, menemukan hubungan antara isu-isu yang berkembang dan kaitannya dengan bagaimana formasi diskursif terbentuk yang kemudian membangun wacana tentang ke-Mentawai-an. Kedua, mewawancarai mereka sambil mengikuti kegiatan-kegiatan orang Mentawai. Hal ini tidak hanya di barasi, tetapi juga ikut serta pergi ke ladang, ke pulaupulau kecil (di bagian tenggara) dimana mereka sering mengolah kopra, ke penyulingan nilam, dan ke pengolahan sagu. Melalui cara-cara seperti itu, akan lebih leluasa memahami pandangan mereka tentang pekerjaan dan lingkungan mereka. Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan ritual kelompok juga saya ikuti, antara lain: ritual peresmian bangunan uma Aman25 Tompu, ritual pengobatan kerei Aman Pius, ritual pemberian nama (abinen) anaknya Inan Hopu dan anaknya Inan Bose, ritual kematian Inan Ledo. Keikutsertaan dalam kegiatan 25 Kata aman yang digunakan di dalam tulisan ini adalah untuk seorang laki-laki yang sudah memiliki anak, biasanya akan dipanggil dengan sebutan anak pertama. Demikian juga halnya dengan kata inan dalam tulisan ini digunakan untuk seorang perempuan yang sudah memiliki anak. Baik kata aman maupun inan yang diikuti dengan nama anak masing masing dicetak miring. Sebagai informan sebutan itu tetap digunakan dan ditulis dengan huruf miring karena di dalam pembicaraan sehari-hari panggilan itu tetap digunakan. 33 tersebut membawa saya pada pemahaman mengenai bagaimana orang-orang barasi memaknai ritual tersebut dalam hubungannya dengan ke-Mentawai-an. Guna mengamati berbagai hal yang berkaitan dengan pandangan-pandangan aktor tentang kelompok mereka, baik sebagai anggota uma maupun warga barasi dilakukan dengan cara ikut berkumpul dengan mereka di uma-uma, warung-warung, posyandu26, gereja, di rumah-rumah penduduk/lalep (terutama yang ada televisi). Keikutsertaan lain ialah dengan ikut ambil bagian mengangkut pasir bersama ibu-ibu dan remaja putri untuk pembangunan Gereja Katolik. Beberapa kali turut mempersiapkan minuman dan makanan ringan untuk warga yang ikut kegiatan tersebut. Keterlibatan itu menantang pemahaman akan Bahasa Mentawai agar peneliti dapat menangkap obrolan-obrolan mereka. Beruntung penulis telah mempelajari Bahasa Mentawai sejak sebelum melakukan penelitian untuk tesis master di Universitas Gadjah Mada. Selain itu, penulis sering ikut kegiatan ibu dan remaja putri seperti: menangkap ikan di sungai, laut dan rawa-rawa hutan sagu, mengambil bambu atau daun sagu untuk memasak sagu, mencari kayu bakar, mencari ulat sagu, kerang sungai, bersama-sama mencuci dan mandi di sungai. Wawancara sering dilakukan dengan kaum perempuan pada saat ikut dalam kegiatan bersama mereka. Dalam penelitian ini, kadangkala wanita sering kali diabaikan, walaupun dalam kehidupan sehari-hari para wanita seringkali jauh lebih paham tentang dinamika yang terjadi dalam masyarakat (Sairin, 2006: 96). Keikutsertaan tersebut memberi peluang untuk mengetahui perbincangan mereka, khususnya ‘gosip-gosip’ yang berkembang di antara kaum perempuan dan juga pandangan perempuan mengenai ‘ke-Mentawai-an’ itu sendiri dalam hubungannya dengan Sasareu. Semua hal tersebut menjadi sasaran dalam metode wawancara dan partisipasi observasi yang dilakukan sehingga pemahaman tentang wacana identitas menjadi semakin beragam. Sebagai perempuan tidak mungkin penulis terlibat di semua kegiatan yang ada, terutama kegiatan yang menjadi beban atau tugasnya laki-laki. Kaum laki-laki yang tidak mau penulis terlibat dengan kegiatan tertentu biasanya mereka mengatakan kalau hal itu berat buat seorang perempuan, misalnya: mencari rotan ke hutan-hutan yang cukup jauh dari pemukiman, menebang kayu besar untuk membuat sampan atau tiang-tiang rumah. Selama berada di lokasi penelitian, kegiatan laki-laki yang diikuti adalah memberi makan babi dan ayam, menebang kayu untuk membangun rumah dan jembatan, membersihkan ladang kakao, 26 Untuk Posyandu ini ada rumah warga barasi yang dijadikan tempat untuk menimbang bayi dan juga untuk membagikan makanan tambahan untuk anak-anak. 34 ladang pisang dan mengambil daun sagu untuk atap (tobat). Untuk kegiatan yang memang tidak memungkinkan untuk terlibat di dalamnya maka penulis hanya mewawancarai orangorangnya saja. Untuk mendalami informasi berkenaan dengan konstruksi dan rekonstruksi sedemikian rupa, wawancara mendalam (in-depth interview) digunakan dengan memusatkan perhatian pada pertanyaan mengapa aktor-aktor merespon pernyataan-pernyataan dan perilaku orang lain, dan bagaimana pemaknaan aktor terhadap simbol-simbol tertentu. Wawancara banyak dipergunakan untuk lebih memahami konteks sosial budaya dan politik yang melingkupi setiap aktor dalam mengonstruksi ke-Mentawai-an, sehingga dapat menghasilkan ‘pendeskripsian yang kental’ sebagaimana dikembangkan oleh Geertz (1973) yang biasa digunakan dalam penelitian-penelitian antropologis. Untuk memandu wawancara tersebut di lapangan, sebelum turun ke lapangan pedoman wawancara telah dipersiapkan. Selama di lapangan, penulis hadir dalam pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh LSM Citra Mandiri di Siberut. Dalam pertemuan itu, hadir juga anggota Dewan Adat yang difasilitasi oleh LSM Citra Mandiri. Perbincangan dengan mereka lebih difokuskan pada persoalan bagaimana agar Dewan Adat yang telah dibentuk oleh para aktivis LSM di Siberut diakui keberadaannya oleh masyarakat. Meskipun pada saat pertemuan anggota LSM berusaha untuk selalu menggunakan kata laggai untuk menyebut desa, namun anggota Dewan Adat yang hadir sama sekali tidak menggunakan kata tersebut. Berkaitan dengan perbincangan peraturan laggai, selain dari mereka yang tergabung dalam anggota Dewan Adat (punutubut uma), para kerei dan sikebbukat uma juga diwawancarai sebagai informan yang dikategorikan sebagai elit budaya yang memiliki pengetahuan tentang nilai-nilai budaya Mentawai. Wawancara juga dilakukan dengan para pelajar dan mahasiswa Mentawai yang sudah dan sedang menjalani studi di Padang. Anggota organisasi dan LSM juga diwawancarai dengan pertimbangan, mereka merupakan para elit terpelajar Mentawai, sebagai kelompok Simasoppit (cendekia). Banyak dari mereka yang tergabung dalam organisasi-organisasi dan LSM saat penelitian ini, sebagian mereka terlibat aktif dalam memunculkan konsep laggai. Semua nama informan dan nama orang yang diceritakan dalam tulisan ini disamarkan, kecuali yang dikutip dari sumber tertulis dan nama tokoh yang tidak mungkin disamarkan. Cara ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan adanya pihak-pihak yang dapat merugikan informan, orang lain yang terkait serta peneliti sendiri. Oleh karena informannya 35 hampir dari semua kalangan, orang tua dan pemuda, laki-laki dan perempuan, yang sudah menikah dan yang belum. Untuk laki-laki yang sudah menikah dan mempunyai anak serta duda dalam tulisan ini disebut Aman dan diikuti nama samarannya. Untuk perempuan yang sudah mempunyai anak, termasuk janda dalam tulisan ini disebut Inan dan diikuti nama samarannya. Oleh karena menggunakan sebutan lokal yang umum dipakai di barasi penelitian, maka Aman dan Inan ditulis dengan huruf miring. Adapun untuk nama-nama informan Mentawai tanpa sebutan Aman dan Inan menunjukkan bahwa mereka belum menikah, untuk yang perempuan mereka masuk kategori Siokkok dan yang laki-laki masuk kategori Silainge. F. 3. Analisis Data Menurut Philips dan Jőrgensen (2007: 1), tidak ada konsensus yang tunggal atas makna wacana dan juga langkah-langkah untuk menganalisisnya. Namun demikian, dalam studi ini orang berwacana dapat dipahami sebagai bentuk usaha pengonstruksian identitas dan sebaliknya orang pun mengonstruksi identitas dalam wacana. Pengumpulan data dimulai dengan berbagai pernyataan, ungkapan dan mengamati tindakan yang terkait dengan wacana identitas dalam kehidupan sehari-hari di Barasi Muntei. Adapun data-data dari hasil wawancara dan pengamatan (observasi) dicatat dengan cermat dan rinci menjadi suatu field notes yang kemudian dianalisa. Semua data hasil pembacaan teks-teks media secara seksama dicatat untuk menemukan hubungan di antara statement-statement tertulis yang dimunculkan berkaitan dengan penolakan Perda Nagari dan pengusungan laggai. Pembacaan teks-teks dengan seksama dilakukan untuk menemukan hubungan antara isu-isu atau tema menonjol yang dimunculkan di media (Pualiggoubat) dan alasan mengapa media ini yang dipilih oleh pewacana. Selanjutnya, hal tersebut dilihat dalam hubungannya dengan formasi diskursif yang dibentuk dalam membangun wacana tentang ke-Mentawai-an. Melalui data yang diperoleh, ditemukan keterkaitan hubungan kekuatan-kekuatan yang turut memainkan peran dalam proses pembentukan wacana ke-Mentawai-an. Berangkat dari pemahaman-pemahaman itu, penulis menjabarkan analisis bagaimana proses tersebut mengambil bentuk-bentuk (pada ruang dan waktu) yang konkret dan keterlibatan aktor yang bermain di dalamnya, serta bagaimana wacana ke-Mentawai-an itu diperbincangkan, dimaknai kembali dan diperdebatkan. Dalam hal ini, bagaimana aktor menginterpretasi dan memaknai simbol-simbol serta tanda-tanda yang berkembang dan hadir di hadapannya, semua diinterpretasikan melalui data-data yang diperoleh. Selain itu, cara pandang (interpretasi) aktor dalam pewacanaan identitas (ke-Mentawai-an) dalam konteks kekinian, 36 pemahaman tentang kondisi sosial politik dan ekonomi yang mempengaruhinya, saling dihubungkan satu sama lainnya. Gagasan-gagasan, ide-ide, terminologi, konsepsi, pemaknaan tentang ke-Mentawai-an dan berbagai praktik sosial menjadi sasaran analisis. Data-data primer dari hasil pengamatan dan wawancara mendalam serta data sekunder dari literatur dan media massa sebagaimana dipaparkan di atas dianalisa secara deskriptif untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian dengan mengacu pada kerangka konseptual yang digunakan. Hasilnya disajikan berupa deskripsi etnografi, karena tulisan antropologi berupa etnografi pada dasarnya tidak lebih dari suatu bentuk wacana kebudayaan (Alam, 1998:6). G. Jalannya Penelitian, Kendala dan Hal-hal yang Mendukung Penelitian disertasi ini secara lebih intensif dimulai pada bulan Oktober 2007 sampai dengan awal Mai 2008. Selama penelitian, penulis berusaha terlibat secara langsung dalam berbagai aktivitas subjek yang diteliti, melakukan wawancara mendalam dan menyimak obrolan-obrolan di tempat-tempat umum dan ‘gosip-gosip’ yang berkembang, merupakan data yang diperoleh secara tidak sengaja, namun data ini sangat penting. Selain itu, penulis ikut serta ke ladang-ladang penduduk, bekerja bersama dalam pekerjaan-pekerjaan perempuan, seperti mencari ikan, ulat sagu, sayur, bambu (okbug) untuk memasak, kayu bakar, mengolah sagu dengan tangan (pasibutcit sagu), menganyam atap dari daun sagu (tobat), serta mencuci dan mandi di sungai. Beberapa pekerjaan laki-laki yang diamati dan diikuti saat penelitian antara lain: menebang sagu, memotong kayu di hutan, mengolah sagu, mencari rotan, mengambil bambu, menyuling minyak nilam, memberi makan babi, membersihkan ladang pisang, ladang kakao dan memetik buah kakao. Tidak untuk semua tahap pekerjaan laki-laki penulis dapat terlibat, misalnya: tidak ikut menebang sagu, tapi ikut mengolah sagu dengan cara ‘pasideret akhek sagu’ (menginjak-injak sagu) yang sebenarnya tidak lazim dilakukan perempuan. Ikut membantu membawa kepingan batang sagu, mencincang-cincangnya sampai menjadi serpihan yang siap diolah di tempat pengolahan. Penulis tidak ikut memotong kayu dengan sinso (chainsaw), tetapi ikut mengangkat lempengan kayu ke atas sampan. Selama penelitian berlangsung, penulis masih menghadapi kendala dalam bahasa. Harus diakui bahwa perbedaan dialek pun menjadi kendala tersendiri. Meskipun beberapa orang Mentawai menganggap penulis bisa berkomunikasi dengan bahasa mereka, tetapi 37 peneliti lebih memahami Dialek Sarereiket dibanding Dialek Sabirut. Jika harus melakukan wawancara dengan orang yang berusia di atas 50 tahun dan mereka menggunakan Dialek Sabirut, penulis masih merasa kesulitan. Untuk itu, penulis selalu ditemani oleh orang Mentawai yang lebih muda dan lancar berbahasa Indonesia. Sementara untuk mewawancarai mereka yang masih muda tidak banyak kendala, karena umumnya mereka mengerti dan lancar menggunakan Bahasa Indonesia, terutama kaum laki-laki. Kaum perempuan muda pun cukup banyak yang memahami Bahasa Indonesia dan Bahasa Minangkabau. Keuntungan lain banyak kaum muda, terutama yang sudah bersekolah, dalam pergaulan sehari-hari di barasi pun lebih banyak menggunakan Bahasa Minangkabau. Kesulitan-kesulitan di lapangan banyak mempengaruhi jalannya penelitian, dan yang cukup ‘mengganggu’ adalah masalah makanan, terutama babi. Meskipun pada kunjungankunjungan ke Mentawai sebelumnya, saya sudah sering makan bersama dengan mereka yang mengonsumsi babi, tetapi selalu saja terasa berat di awal-awal memulai tinggal bersama mereka. Saya harus membiasakan diri lagi berada dan makan bersama dengan orang-orang yang mengonsumsi babi, hanya saja ‘emosi keagamaan’ sering mengganggu jalannya penelitian ini. Saya sadar jika tidak mau makan babi akan membuat orang Mentawai memandang penulis sasareu yang patut dicurigai, sasareu yang menganggap orang Mentawai 'kotor', sasareu yang ‘merendahkan’ orang Mentawai karena orang Mentawai makan babi. Ini berpengaruh terhadap kebutuhan informasi yang ingin diperoleh. Untuk itu, walaupun tidak mengonsumsi babi dengan memberikan alasan bahwa saya tidak suka makan daging, tetapi mencoba meminimalisir ‘kecurigaan’ itu dengan cara ikut bersama memasak babi. Selain itu, saya ikut makan ulat sagu yang dianggap makanan ‘kotor’ atau ‘rendah’ oleh Sasareu sebagai ‘strategi merendahkan diri’ (dalam istilahnya Bourdieu) di depan orangorang Mentawai di barasi. Saya menjadi terbiasa makan sagu, keladi, ubi kayu, dan pisang sebagai makanan pokok sehari-hari. Sesekali saya juga makan nasi jika keluarga-keluarga yang ditumpangi makan nasi. Kadangkala peneliti turut membeli beras untuk dimakan bersama keluarga yang ditumpangi. Pengalaman lain yang dihadapi selama penelitian dan cukup mengganggu ialah ketika penulis sakit dan diobati oleh kerei, karena setelah empat bulan di lokasi, tubuh panas dan mual-mual. Saya dianjurkan Aman Jupin, seorang laki-laki Sarereiket untuk berobat pada sasarainanya27 yang juga seorang kerei di barasi tetangga. Setelah sampai di rumah kerei 27 Kerabat dari garis ibu dan kadangkala orang Mentawai mengatakan bahwa sasaraina artinya sama dengan dunsanak dalam bahasa Minangkabau. 38 tersebut saya diminta berbaring di lantai kamar, kemudian perut dipegang oleh kerei itu untuk mendiagnosa penyakit. Kerei itu mengatakan kalau sakit yang saya rasakan disebabkan saya sedang ‘hamil’. Meskipun sangat kaget dengan pernyataan kerei itu, tetapi saya tidak membantahnya. Ketika ditanya siapa ‘ayah’ bayi yang dikandung, saya mengatakan kalau ‘ayah’ bayi yang ‘dikandung’ adalah suami saya yang pada saat itu tidak berada di lokasi penelitian. Mendengar jawaban saya, kerei itu langsung mengatakan tidak mungkin suami saya yang tidak sedang berada di barasi yang ‘menghamili’, karena sudah hampir empat bulan saya di Siberut, sementara menurut kerei usia kehamilan itu baru dua bulan lebih. Dia terus mendesak untuk memberitahukan siapa ‘sebenarnya’ yang telah membuat saya ‘hamil’. Jawaban saya yang tidak pernah berubah membuat kerei itu pun 'tidak mau percaya’. Ketidakpercayaannya itu membuat dia mengajukan pertanyaan yang semakin membingungkan dan sekaligus membuat saya takut, karena dia menanyakan apakah ‘kandungan itu akan digugurkan'. Saya menolak untuk melakukannya, tetapi kerei itu tidak menjawab langsung dan malah meminta saya untuk tidur dulu di kamar itu dan memikirkan lagi keputusan itu baik-baik. Sampai sore berada di rumah kerei itu dan setiap kali ditanya, saya tetap mengatakan padanya kalau kandungan itu tidak akan digugurkan. Akhirnya saya dimantrai dengan beberapa tumbuhan, minum air tebu dan sari pati umbi-umbian dan daun-daunan yang diambil di pekarangan rumahnya. Ampas daun-daunan yang digunakannya untuk ramuan obat dibalurkan ke perut, tangan, kaki dan kepala saya. Ada rasa takut dalam diri saya pada saat disuruh minum ramuan yang sudah disiapkan, tetapi tetap saja diminum. Kemudian selama seminggu kulit saya dipenuhi bintil-bintil berwarna merah dan terasa gatal, terutama di bagian perut. Diagnosa kerei mengenai ‘kehamilan’ itu cukup mengganggu karena saya merasa orang di barasi mempergunjingkan 'kehamilan' yang bukan dari hasil hubungan dengan suami yang sah. Itu berarti saya sudah ‘berselingkuh’ dengan orang lain di barasi. Cerita tentang perselingkuhan beberapa orang warga barasi sudah sering terdengar dan biasanya menjadi ‘topik’ pergunjingan yang hangat di antara kaum perempuan, juga di antara kaum laki-laki. Sekalipun saya icoba untuk tidak memikirkannya karena merasa yakin saya tidak hamil dan tidak 'berselingkuh', tetapi beban psikis ini tetap dirasakan sampai saya meninggalkan lokasi penelitian. 39 Kesulitan lain yang dihadapi adalah setiap melihat keluarga yang ditumpangi makan babi bersama, suasana yang penuh kegembiraan berubah menjadi diam karena sering kehadiran saya menjadi penyebab mereka berhenti makan. Saya jadi bertanya pada diri sendiri, haruskah kegembiraan, kebersamaan, kenikmatan mereka makan babi bersama terusik oleh kehadiran saya di rumah mereka sebagai ‘pendatang’ atau ‘the Other’? Haruskah saya menghindar terus, karena merasa ‘terganggu’ pada saat melihat orang-orang yang saya amati makan babi karena keyakinan yang saya anut? Siapa sebenarnya yang menjadi ‘pengganggu’ dalam hubungan saya (peneliti) dan orang Mentawai, kebiasaan mereka makan babi itukah atau pikiran saya tentang babi itu sendiri? Pertanyaan-pertanyaan itu ikut ambil bagian dalam peran yang dijalani sebagai ‘the Other-nya’ orang Mentawai selama penelitian. Pengalaman-pengalaman lain di lapangan, tinggal bersama keluarga-keluarga Mentawai di barasi atau di ladang-ladang sering kali memberikan tantangan tersendiri. Saya sering dihadapkan pada pilihan yang sulit pada saat melakukan penelitian ini. Di satu sisi, saya adalah seorang Sasareu yang berupaya untuk ‘menjadi’ Simattawai, tetapi sudah tentu saya tidak bisa menjadi Simattawai yang sesungguhnya sekalipun sudah mencoba untuk terlibat dalam berbagai kegiatan dan mengikuti cara-cara hidup mereka. Sebagai peneliti dan sekaligus juga seorang Sasareu yang memerlukan informasi dan data yang ‘nyata’ di lapangan, mendorong saya untuk ‘berpura-pura’ menjadi Simattawai dengan alasan akan lebih menyulitkan apabila bertindak sebagai seorang yang ‘murni’ Sasareu sehingga benarbenar ‘dicap’ Sasareu oleh Simattawai. Kepura-puraan itu menjadi bagian dari tindakan-tindakan ‘politis’ yang dilakukan terkait dengan ‘interest’ saya sebagai peneliti. Tidak tahu bagaimana orang Mentawai ‘memandang’ saya, khususnya mereka yang tinggal di Barasi Muntei. Kadang mereka mengatakan saya sudah menjadi seorang ‘Mentawai’, tetapi tetap ‘dicurigai’ karena saya memang ‘Sasareu’. Kecurigaan itu salah satunya disampaikan langsung kepada saya oleh Aman Pius, seorang kerei. Pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan pandangan orang Mentawai Siberut terhadap saya dan kecurigaan mereka bisa ditemukan pada paparan babbab selanjutnya dalam tulisan ini. Selain dari kendala-kendala tersebut di atas, juga ada hal-hal yang mendukung saat penelitian ini dilaksanakan. Ada dua hal menurut saya yang cukup mendukung jalannya penelitian ini. Pertama, penelitian ini dilakukan pada saat penolakan penerapan Perda No. 2 Tahun 2007 tentang pemberlakuan ‘nagari’ di seluruh Sumatera Barat, termasuk Mentawai. Kedua, penelitian ini dilakukan di lokasi yang sama dengan penelitian sebelumnya. Berarti 40 hubungan pertemanan sudah dibangun sebelumnya sehingga lebih memudahkan penulis untuk berkomunikasi dengan masyarakat setempat, setidaknya dengan warga Barasi Muntei. Beberapa warga barasi tetangga lain juga, karena sudah saling mengenal sebelumnya. Keberuntungan lain adalah selama penelitian beberapa uma ‘kebetulan’ mengadakan ritual yang berkaitan dengan Arat Sabulungan sehingga ritual-ritual tersebut bukanlah ritual ‘pesanan’. H. Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini disajikan dalam tulisan yang terbagi dalam beberapa bab. Bab I merupakan pengantar pada persoalan penelitian berisi alasan mengapa kajian ini penting dan bagaimana kajian-kajian yang sudah dilakukan berkaitan dengan persoalan konstruksi identitas orang Mentawai. Bab II berisi tentang deskripsi etnografis dalam kaitannya dengan identitas Mentawai secara umum, terutama di Barasi Muntei yang menjadi fokus studi pengonstruksian ke-Mentawai-an. Bab III memuat tentang pengonstruksian identitas orang Mentawai dalam mitos. Melalui pemaparan mitos kita dapat melihat bangunan diskursif identitas Mentawai yang sudah ada sebelumnya. Selain itu konteks historis relasi orang Mentawai dengan orang luar (Sasareu) yang dimulai dari masuknya orang asing ke Mentawai yang memberikan informasi tertulis mengenai kehidupan orang Mentawai, dan hubungannya dengan Sasareu terutama dengan orang Minangkabau sebagai pendatang yang dominan di Mentawai. Bab IV mengupas hubungan wacana identitas orang Mentawai dengan isu-isu nasional maupun internasional, secara spesifik mengenai hubungan kemunculan kaum cendekia (Simasoppit) Mentawai sebagai kelompok elit yang aktif menyuarakan perlawanan terhadap orang Minangkabau. Selain itu, mengenai penetapan model sistem administrasi pemerintahan Nagari di Sumatera Barat, karena dianggap sebagai identitas yang berlawanan, sehingga melahirkan ide pemerintahan Laggai. Bab V berisi tentang pertarungan wacana dalam perbincangan laggai sebagai bagian dari pengonstuksian ke-Mentawai-an yang menunjukkan identitas Mentawai bukanlah suatu yang tunggal dan dalam bangunan wacana yang berbeda. Perbedaan itu semakin terlihat dengan dua pilihan nama pengganti desa, yakni Pulaggajat atau Laggai. Bab VI menghadirkan ulasan dan analisis mengenai kesejajaran dan kesenjangan antara wacana identitas Mentawai dengan praktik kehidupan sosial sehari-hari orang Mentawai di Barasi Muntei. Bab VII berisi kesimpulan yang merangkum jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian beserta implikasi teoritis dan praktis. 41