perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. Kebermaknaan Hidup 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup Psikologi eksistensial membahas segala kemampuan manusia yang tidak mendapatkan pembahasan secara sistematik dalam aliran positivis-behavioursm atau dalam teori klasik psikoanalisa misalnya masalah values, proses menjadi (becoming), kreativitas, afeksi, tanggung jawab dan kebermaknaan (Abidin, 2002). Salah satu prinsip dasar aliran tersebut adalah keberadaan mengatasi dunia (being-beyond-the world), maksudnya adalah manusia memiliki kemungkinan yang luas untuk melampaui atau mengatasi diri dan lingkungannya, serta merealisasikan potensinya. Konsep mengatasi dalam psikologi eksistensial ini dapat menerangkan dan mendeskripsikan kemampuan manusia mengatasi diri dan lingkungannya, walaupun lingkungan yang dihadapinya sangat menindas dan penuh penderitaaan (Frankl, 2003). Frankl berusaha menghindari kerancuan pada pendekatan eksistensial lain yaitu menyebut pendekatannya dengan istilah logoterapi baik dalam konsep teoritik maupun terapeutik. Frankl menggunakan istilah analisis eksistensial sebagai persamaan kata dari logoterapi. Kata logos dalam bahasa Yunani berarti makna (meaning) dan juga rohani (spirituality), sedangkan terapi adalah penyembuhan atau pengobatan. Logoterapi secara umum dapat digambarkan sebagai corak psikologi atau psikiatri yang mengakui adanya dimensi kerohanian 10 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 11 pada manusia disamping dimensi ragawi dan kejiwaan, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk bermakna (the will of meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningful of life) yang didambakan (Bastaman, 2007). Frankl (dalam Bastaman, 1998) mengemukakan bahwa makna hidup merujuk dimana individu mengalami kehidupannya sebagai sesuatu yang berarti dan mudah untuk dimengerti, dan merasakan adanya rasa bahwa hidup memiliki tujuan dan misi melebihi perhatiannya terhadap keduniaan pada kehidupannya sehari-hari. Proses memaknai hidup dapat dilakukan bukan pada saat senang atau bahagia saja. Hal ini sesuai dengan Frankl (dalam Bastaman, 1998) yang mengemukakan bahwa hidup tetap memiliki makna (arti) dalam setiap situasi, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan sekalipun. Makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga, dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Selanjutnya dikatakan pula bahwa makna hidup bila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini berarti dan biasanya individu yang menemukan dan mengembangkannya akan terhindar dari keputusasaan. Makna hidup mengandung arti sebagai pemberian kualitas kehidupan pada diri pribadi dalam rangka pemenuhan diri (Schultz, 1991). Hal ini menunjukkan bahwa kebermaknaan hidup akan melahirkan nilai-nilai dalam diri individu, sehingga dirinya merasa dirinya berharga yang selanjutnya akan menampilkan aktivitas yang seiring dengan tujuan hidupnya. Bastaman (1996) juga sependapat bahwa makna hidup memiliki nilai-nilai khusus dan sangat penting bagi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12 kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan sebagai pengarah kegiatan-kegiatannya. Individu yang telah berhasil mencapai kebermaknaan hidup akan menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa. Individu memaknai kehidupannya dalam tujuan-tujuan yang harus dicapai sehingga hal tersebut dapat menyebabkan segala kegiatan yang dimiliki individu menjadi terarah. Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kebermaknaan hidup merupakan suatu penghayatan individu terhadap pengalaman-pengalaman penting dan berharga yang menciptakan nilai-nilai dalam diri individu sehingga dapat merasakan keberhargaan diri yang akan menampilkan aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan sebagai pengarah dalam segala kegiatan. 2. Ciri-ciri Individu Yang Menemukan Makna Hidup dan Aspek-aspek Kebermaknaan Hidup Schultz (1991) menyimpulkan bahwa individu yang menemukan makna dalam hidupnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut a. Bebas memilih langkah tindakan sendiri, yaitu kebebasan untuk memilih cara bersikap, bertindak secara tepat dan bertanggung jawab yang disesuaikan dengan dirinya. b. Bertanggung jawab yaitu individu bertanggung jawab sebagai pribadi pada perilaku hidup dan sikap yang dilakukannya dalam menerima nasib. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13 c. Tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan diluar dirinya, tetap mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, menyadari keterbatasan yang ada, namun tetap dapat menentukan sendiri upaya yang dilakukan yang dirasa paling bermakna bagi kehidupannya. d. Telah menemukan dirinya dalam kehidupan yang sesuai dengan dirinya, artinya memiliki alasan untuk terus menjalani hidup, benar-benar mengetahui untuk apa hidup dan harus bagaimana menjalani hidup ini, mempunyai tujuan hidup yang diketahui baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang sehingga segala kegiatan yang dilakukan menjadi lebih terarah. e. Secara sadar mengontrol tindakannya, artinya mampu mengelola keinginan nafsu dengan kemampuan akal dan kekuatan kehendaknya serta dapat mengetahui arahnya berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya. f. Mampu mengungkapkan nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai pengalaman, dan nilai-nilai sikap, yaitu mampu melewati hari dengan beraneka ragam pengalaman yang didapat sebelumnya, menganggap tugas dan pekerjaan sehari-hari merupakan sumber kesenangan tersendiri sehingga dalam melakukannya pun disertai dengan rasa tanggung jawab. g. Mampu mengatasi perhatian terhadap dirinya, menyadari bahwa dirinya diciptakan oleh Tuhan untuk dapat merasakan kedudukannya sebagai wakil Tuhan serta menolak perbuatan-perbuatan yang akan merendahkan derajatnya dengan mengetahui secara tajam mengenai makna, nilai sosial, dan etika. h. Berorientasi pada masa depan dan mengarahkan dirinya pada tujuantujuan dan tugas yang akan datang. Hidup dengan bersemangat, penuh perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14 gairah, tidak mudah bosan, dan tidak merasa hampa serta menggunakan waktu sebijaksana mungkin agar pekerjaan dan kehidupan dapat dikembangkan secara maksimal karena individu menyadari bahwa kehidupan ini adalah fana. i. Memiliki alasan untuk meneruskan kehidupan, sehingga alasan tersebut yang membuat individu menjadi lebih optimis dalam menjalani hidup dan sebagai motivasi dalam menempuh hidup yang lebih bermakna. j. Memiliki komitmen terhadap pekerjaan, yaitu memiliki tekad positif yang disepakati dari awal saat memasuki dunia kerja bahwa komitmen harus ada dalam diri para pekerja dan sungguh-sungguh dalam menjalani pekerjaan yang diberikan. k. Mampu memberi dan menerima cinta, artinya dengan adanya pengalaman yang pahit tidak berarti bahwa kehidupan manusia berhenti begitu saja, namun manusia untuk dapat tetap hidup membutuhkan cinta dan kasih sayang sehingga diharapkan manusia mampu memberi dan menerima cinta dalam kehidupannya serta menyadari bahwa cinta kasih merupakan salah satu nilai hidup yang menjadikan hidup ini indah. Schultz (1991) dalam penelitiannya menyatakan bahwa individu dapat memaknai hidupnya dengan bekerja, karena dengan bekerja individu dapat merealisasikan dirinya dan mentransedensikan diri mereka. Menurut James Crumbaugh & Leonard Maholick (dalam Koeswara, 1992), kebermaknaan hidup individu dapat diidentifikasi melalui enam aspek dasar yang dibuat berdasarkan pada pandangan Frankl, yaitu a. Makna hidup perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15 Makna hidup adalah segala sesuatu yang dianggap penting dan berharga yang menjadi pilihan dalam kehidupan individu, memberi nilai yang spesifik, serta dapat dijadikan sebagai tujuan hidup bagi individu tersebut. Makna hidup memberikan pedoman dan arah terhadap segala kegiatan yang dilakukan individu. b. Kepuasan hidup Kepuasan hidup adalah penilaian seseorang terhadap hidup yang dijalaninya, sejauhmana individu mampu menikmati dan merasakan kepuasan dalam hidup dan segala aktivitas yang telah dilakukannya. Adanya kepuasan menyebabkan individu merasa tidak mudah bosan dan selalu bersemangat dalam menjalani segala kegiatan yang dimiliki. c. Kebebasan Kebebasan adalah inti kehidupan manusia, yaitu bagaimana individu merasa mampu untuk mengendalikan kebebasan hidupnya secara bertanggung jawab. Dalam arti bahasa, kebebasan berarti menyadari, mengidentifikasi, bahwa manusia memiliki kebebasan untuk membentuk diri yang sesuai dengan keinginan dan tindakannya dalam rangka membentuk kehidupan, kebermaknaan dan keberadaan diri individu. d. Sikap terhadap kematian Sikap terhadap kematian merupakan landasan bagi individu untuk menciptakan kehidupan yang bermakna. Sikap terhadap kematian adalah persepsi tentang kesiapan individu terhadap kematian yang pasti akan dihadapi oleh setiap manusia di kemudian hari. Orang yang memiliki makna hidup akan membekali diri dengan berbuat kebaikan, sehingga dalam memandang kematian akan merasa perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16 siap untuk menghadapinya. Kematian mengakibatkan timbulnya rasa takut namun justru kematian itu merupakan kesempurnaan eksistensi individu, artinya kesadaran dan kematian menyebabkan individu hidup otentik. Disini individu memperoleh suatu pandangan otentik tentang hal-hal yang penting dalam hidup. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti menggunakan aspek-aspek kebermaknaan hidup tersebut dalam penelitian ini, diantaranya yaitu makna hidup, kepuasan hidup, kebebasan, dan sikap terhadap kematian. 3. Karakteristik Kebermaknaan Hidup Bastaman (1996) mengemukakan pendapat bahwa kebermaknaan hidup memiliki karakteristik antara lain: a. Unik dan Personal Bagi seseorang sesuatu yang dianggap berarti belum tentu juga berarti bagi orang lain. Bahkan sesuatu dianggap penting dan berarti bagi seseorang pada saat ini, belum tentu sama pentingnya di waktu yang lain. Dalam hal ini, makna hidup seseorang dan apa yang bermakna bagi dirinya biasanya bersifat khusus, berbeda dengan orang lain dan mungkin dapat berubah setiap waktu. b. Spesifik dan Konkrit Makna hidup dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari. Makna hidup tidak selalu harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan idealistis, prestasi-prestasi akademis yang tinggi, atau hasil-hasil renungan filosofis yang kreatif. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17 c. Memberi Pedoman dan Arah Makna hidup sifatnya memberikan pedoman dan arah terhadap kegiatankegiatan yang dilakukan sehingga makna hidup seakan-akan menantang dan mengundang seseorang untuk memenuhinya. Jika makna hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan, maka seseorang akan terpanggil untuk melaksanakan dan memenuhinya. Selain itu juga akan membuat kegiatan-kegiatan yang dilakukan seseorang menjadi lebih terarah. Dari uraian diatas dapat disampaikan bahwa kebermaknaan hidup memiliki karakteristik diantaranya yaitu bahwa kebermaknaan hidup memiliki sifat yang unik dan personal, spesifik dan konkrit, dan dapat memberikan pedoman dan arah sehingga segala kegiatan yang dimiliki individu menjadi lebih terarah. 4. Proses Pencapaian Kebermaknaan Hidup Frankl (2004) mengemukakan pendapat bahwa sikap seseorang dalam menghadapi berbagai peristiwa traumatis atau tragis adalah sangat berperan dalam pemenuhan makna hidup. Berbagai macam pengalaman traumatis atau tragis dapat digunakan sebagai sumber kekuatan dalam rangka pemenuhan makna hidup apabila individu dengan lapang hati dapat menerima semua pengalaman tersebut sebagai bagian dari sejarah kehidupan. Cara individu dalam menyikapi kehidupan merupakan salah satu sumber dalam menemukan dan mencapai kehidupan bermakna. Apabila individu menyikapi pengalaman traumatis tersebut secara negatif, misalnya dengan menunjukkan sikap marah, kecewa, dan benci maka makna-makna yang diperoleh oleh individu tersebut hanya berupa kesedihan dan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18 kedukaan. Sebaliknya apabila individu menyikapi pengalaman traumatis dengan perasaan menerima, sabar, tabah dan pantang menyerah maka makna yang diperoleh adalah munculnya rasa keberanian, keteguhan hati dan kebesaran jiwa dan individu akan mencapai suatu hidup yang bermakna. Hal ini dapat terlihat jelas melalui bagan berikut: Pengalaman tragis (tragic event) Penghayatan tak bermakna (meaningless life) Pemahaman diri (self-insight) Pemenuhan makna & tujuan hidup (finding meaning & purposes of life) Pengubahan sikap (changing attitude) Keikatan diri (self-commitment) Kegiatan-kegiatan terarah & pemenuhan makna hidup (directed activities & fulfilling meaning) Dukungan Sosial (social support) perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19 Hidup bermakna (meaning life) Kebahagiaan (happiness) Gambar 1. Pencapaian Kebermaknaan Hidup Melalui Pengalaman Tragis Hal-hal yang menentukan berhasilnya perubahan dari penghayatan hidup tak bermakna menjadi lebih bermakna yang diutarakan Bastaman (1996) seperti yang ditunjukkan pada tabel sebelumnya, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pemahaman diri ( self insight ). Meningkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan kearah kondisi yang lebih baik 2. Pemenuhan makna & tujuan hidup (finding meaning & purposes of life) adalah nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi individu yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan sebagai pengarah kegiatannya 3. Pengubahan sikap ( attitude change), merupakan suatu proses dari yang semula tidak tepat menjadi lebih tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup atau musibah. 4. Keikatan diri (self commitment), yaitu munculnya suatu komitmen individu yang ditandai dengan semakin terikatnya makna hidup yang ditemukan dan tujuan hidup yang telah ditetapkan 5. Kegiatan terarah (directed activity), adalah upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi-potensi pribadi (bakat, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20 kemampuan, keterampilan) yang positif, serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk menunjang tercapainya makna dan tujuan hidup. 6. Dukungan sosial (social support), adalah hadirnya seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya dan selalu bersedia memberi bantuan pada saat-saat diperlukan Bila tahapan ini pada akhirnya berhasil dilalui, dapat dipastikan akan menimbulkan perubahan kondisi hidup yang lebih baik dan mengembangkan penghayatan hidup bermakna dengan kebahagiaan (Bastaman,1996). Dari gambaran diatas terlihat jelas bahwa penghayatan hidup bermakna merupakan gerbang ke arah kepuasan dan kebahagiaan hidup. Hanya dengan memenuhi makna-makna potensial yang ditawarkan oleh kehidupanlah, penghayatan hidup bermakna tercapai dengan kebahagiaan sebagai ganjarannya. Dari pendapat ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa proses pencapaian makna hidup dapat terwujud apabila individu mengalami proses pemahaman diri, pemenuhan makna dan tujuan hidup, pengubahan sikap, keikatan diri, kegiatan terarah, dan adanya dukungan sosial dari lingkungan sehingga pada akhirnya individu dapat merasakan kebahagiaan. 5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebermaknaan Hidup Frankl (2003) berpendapat bahwa secara hakiki manusia mampu menemukan kebermaknaan hidup melalui transedensi diri. Salah satunya dengan mengambil ajaran-ajaran agama yang diterapkan pada sebuah kehidupan. Manusia dapat menemukan makna melalui realisasi nilai-nilai manusiawi yang meliputi: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21 a. Nilai-nilai kreatif Menurut Frankl nilai-nilai kreatif adalah apa yang diberikan individu pada kehidupan yang dijalaninya. Nilai-nilai ini diwujudkan dalam segala aktivitas yang kreatif dan produktif. Biasanya nilai-nilai ini berkenaan dengan suatu pekerjaan, namun nilai-nilai ini dapat diungkap dalam semua bidang kehidupan. Makna diberikan kepada kehidupan melalui tindakan yang menciptakan suatu hasil yang kelihatan atau suatu ide yang tidak kelihatan, atau dengan melayani orang lain (Bastaman, 1996). b. Nilai-nilai pengalaman Nilai-nilai pengalaman menurut Frankl adalah apa yang diterima oleh individu dari kehidupan. Misalnya menemukan kebenaran, keindahan dan cinta. Nilai-nilai pengalaman dapat memberikan makna sebanyak nilai-nilai daya cipta. Ada kemungkinan cara individu untuk dapat memenuhi arti kehidupan yaitu dengan mengalami berbagai segi kehidupan secara intensif meskipun individu tersebut tidak melakukan tindakan-tindakan yang produktif (Bastaman, 1996). c. Nilai-nilai sikap Nilai-nilai sikap adalah sikap yang diberikan individu terhadap kodrat-kodrat yang tidak dapat diubah, seperti penyakit, penderitaan atau kematian. Situasisituasi buruk yang dapat memberikan keputusasaan dan tanpa harapan dapat memberikan kesempatan yang sangat besar bagi individu untuk menemukan makna hidupnya. Nilai-nilai sikap ini terwujud dalam sikap individu untuk dapat menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran dan keberanian dalam menghadapi segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dihilangkan seperti kematian, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22 bencana, sakit yang tidak dapat disembuhkan dan menjelang kematian walaupun segala upaya dan usaha telah dilakukan secara maksimal (Bastaman, 2007). Penelitian yang dilakukan Crumbaugh dan Maholick menunjukkan bahwa kebermaknaan hidup berkorelasi dengan tingkat pendidikan, tingkat kecerdasan dan tingkat sosial ekonomi individu (dalam Koeswara, 1992). Semakin tinggi tingkat pendidikan, kecerdasan, dan sosial ekonomi seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat kebermaknaan hidup orang tersebut. Menurut Bastaman (1996) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kebermaknaan hidup: a). Kualitas insani yang meliputi semua kemampuan, sifat, sikap, dan kondisi yang sudah tertanam dan terpadu dalam eksistensi manusia yang tidak dimiliki makhluk hidup lainnya. Kategori kualitas insani antara lain adalah inteligensi, kesadaran diri, pengembangan diri, hubungan, hasrat untuk bermakna, moralitas, kreativitas, kebebasan, dan rasa tanggung jawab. b). Pertemuan (encounter) menunjukkan hubungan terdalam antara seorang pribadi dengan pribadi yang lain. Hubungan ini ditandai oleh penghayatan keakraban dan keterbukaan serta sikap dan kesadaran untuk saling menghargai, memahami, dan menerima sepenuhnya satu sama lain sehingga masing-masing pihak dapat merasa aman. Hubungan tersebut didasari oleh cinta kasih dimana antar pribadi saling memberikan dukungan dan saling membantu dalam menghadapi kesulitan bersama yang dapat meningkatkan keyakinan diri dan mengarahkan kehidupan yang lebih baik. Hubungan yang terjalin antara individu dengan orang lain merupakan suatu sumber nilai-nilai dan makna dari kehidupan. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23 Individu akan memiliki perasaan berharga dengan memiliki banyak teman yang dapat diajak untuk berdiskusi dan mengeluarkan isi hati. Melalui pertemuan ini individu tidak akan merasa terasing ataupun diasingkan, tidak mengalami kesunyian dan aliansi diri yang semuanya dapat mengakibatkan terjadinya stres emosional yang berat. c). Nilai yaitu dalam memberikan makna hidup tidak dapat terlepas dari realisasi nilai-nilai (Koeswara, 1992). Nilai-nilai itu berubah dan fleksibel agar dapat menyesuaikan diri dengan berbagai macam situasi dimana individu menyadari kemampuannya sendiri. Adapun nilai fundamental bagi manusia dalam memenuhi makna bagi kehidupannya meliputi nilai kreatif, nilai pengalaman dan nilai sikap. Mengacu pada uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kebermaknaan hidup pada individu yaitu meliputi kualitas insani yang dimiliki individu, pertemuan (encounter) yaitu seberapa dalam hubungan yang terjalin antara individu satu dengan individu lain, dan nilai yang diperlukan individu dalam memenuhi suatu kebermaknaan hidup. 6. Akibat Kegagalan Pencapaian Kebermaknaan Hidup Menurut Frankl (2004) proses yang terjadi dalam pencapaian kebermaknaan hidup memiliki dua kemungkinan. Hal ini dapat ditunjukkan melalui bagan sebagai berikut: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24 Terpenuhi Hidup bermakna Tidak terpenuhi Hidup tidak bermakna Bahagia Hasrat hidup bermakna Kehampaan frustasi eksistensi Neurosis noogenik Gambar 2. Proses Pencapaian Kebermaknaan Hidup Frankl (2004) menandai adanya dua tahapan pada sindroma ketidakbermaknaan hidup. Tahap awal dari sindroma ketidakbermaknaan adalah frustasi eksistensial (exsistential frustation) atau disebut juga dengan kehampaan eksistensial (exsistential vacuum) yaitu fenomena umum yang berkaitan dengan keterhambatan atau kegagalan individu dalam memenuhi keinginan akan makna (Koeswara,1992). Frustasi eksistensial sejauh tidak disertai simptom-simptom klinis tertentu, bukanlah suatu penyakit dalam pengertian klinis, melainkan suatu penderitaan batin yang berkaitan dengan ketidakmampuan individu dalam menyesuaikan diri dan mengatasi masalah-masalah kehidupan secara efisien (Frankl, 2004). Suatu fenomena umum dialami manusia pada masa kini adalah tidak lagi memiliki kepastian mengenai apa yang harus diperbuatnya dan apa saja yang sepatutnya diperbuat. Frustasi eksistensial tidak nampak jelas namun pada umumnya ditandai dengan hilangnya minat, kurang inisiatif, serta perasaan hampa (Frankl, 2004). Tahapan kedua adalah neurosis noogenik (noogenic neuroses), yaitu suatu manifestasi khusus dari frustasi eksistensial yang ditandai dengan simptomatologi neurotik klinis tertentu yang tampak (Koeswara,1992). Frankl menggunakan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25 istilah neurosis noogenik untuk membedakan dengan keadaan neurosis somatogenik, yaitu neurosis yang berakar pada kondisi fisiologis tertentu dan neurosis psikogenik yaitu neurosis yang bersumber pada konflik-konflik psikologis. Jika keadaan dimana hidup seseorang tanpa menemukan makna terjadi secara terus menerus maka akan berakibat pada munculnya gangguan psikis atau yang dinamakan sebagai neurosis noogenik (Frankl, 2003). Neurosis noogenik berkaitan dengan inti spiritual kepribadian dan bukan menurut peran serta agama, melainkan suatu dimensi eksistensi manusia, khususnya menunjuk pada konflikkonflik moral (Schultz, 1991). Gangguan neurosis noogenik dapat diketahui dengan menyadari gejala-gejala yang timbul seperti adanya keluhan bosan, perasaan hampa dan penuh keputusasaan, kehilangan minat terhadap kegiatan yang sebelumnya dirasa menarik, hilangnya inisiatif, merasa hidup tidak ada artinya dan menjalani hidup seperti tanpa tujuan. Gangguan neurosis noogenik dapat mempengaruhi pekerjaan karena orang yang menderitanya akan kehilangan kegairahan kerja, semangat kerja menjadi hilang, timbul rasa malas yang hebat dan kepuasan kerja menipis. Neurosis noogenik dapat termanifestasikan dalam tampilan simptomatik yang serupa dalam gambaran simptomatik neurosis psikogenik, seperti depresi, hiperseksualitas, alkoholisme, obsesionalisme, dan tindakan kejahatan. Menurut Frankl (2004) gejala-gejala yang muncul dari individu yang kehilangan makna hidup antara lain adanya perasaan hampa, merasa bahwa hidup tidak berarti lagi, merasa tidak memiliki tujuan hidup yang jelas, muncul rasa bosan, dan apatis. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26 Gejala-gejala tersebut merupakan akibat dari tidak terpenuhinya sumber dari kebermaknaan hidup dalam diri individu. Penghayatan hidup tanpa disertai makna kemungkinan tidak tampak nyata, tetapi terselubung dibalik berbagai upaya kompensasi dan kehendak yang berlebihan untuk berkuasa (the will to power), bersenang-senang untuk mencari kenikmatan (the will to pleasure), termasuk juga didalamnya mencari kenikmatan seksual (the will to sex pleasure), bekerja (the will to work) dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya (the will to money). Crumbaugh dan Maholick menambahkan bahwa kekurangan makna hidup mengisyaratkan kegagalan individu dalam menemukan pola-pola tujuan dan nilai yang terintegrasi dalam hidup, sehingga terjadi penimbunan energi yang membuat individu lemah dan kehilangan semangat untuk berjuang mengatasi berbagai hambatan, termasuk hambatan dalam mencapai makna (Koeswara, 1992). Keinginan terhadap makna akan tetap ada dalam diri individu, tetapi dikarenakan individu tidak memiliki pola yang terorganisasi sebagai titik tolak pencapaian makna maka keinginan tersebut tidak dapat terwujud. Sehingga tekanan yang ditimbulkan oleh frustasi eksistensial menjadi semakin kuat. Peningkatan tekanan tersebut menjadikan individu terus-menerus berada dalam pencarian cara-cara yang diharapkan sehingga dapat menjadi saluran bagi pengurangan tekanan tersebut. Cara termudah yang dapat dan seringkali dipilih individu untuk mengurangi tekanan adalah dengan melarutkan diri dalam arus pengalaman yang bersifat kompensasi dan menyesatkan, seperti alkohol, obat bius, narkoba, perjudian, dan melakukan petualangan seksual. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 27 Berdasarkan beberapa uraian diatas maka dapat disampaikan bahwa yang terjadi apabila pencapaian kebermaknaan hidup itu gagal diantaranya yaitu mengalami sindroma ketidakbermaknaan hidup, kehampaan akan eksistensial yang mengakibatkan frustasi, hiperseksualitas, alkoholisme, kehilangan minat obsesionalisme, dan inisiatif, bahkan sampai depresi, melakukan tindakan kejahatan. B. Self Esteem 1. Pengertian Self Esteem Menurut Nathaniel Branden (1969) mendefinisikan self esteem sebagai suatu pengalaman untuk mampu mengatasi tantangan dasar dalam hidup dan pantas mendapat kebahagiaan. Self esteem adalah cara individu memandang dirinya, lingkungannya dan melakukan evaluasi terhadap persepsi yang dibuatnya. Self esteem yaitu termasuk dalam salah satu aspek kepribadian yang mempunyai peran penting dan mempunyai pengaruh besar terhadap sikap dan perilaku individu. Self esteem bukan merupakan factor yang dibawa sejak lahir, melainkan merupakan factor yang dipelajari dan terbentuk sepanjang pengalaman hidup (Tjahjaningsih & Nuryoto, 1994). Menurut Pudjijogyanti (1985) bahwa pembentukan self esteem diawali ketika seseorang anak mampu melakukan persepsi dalam interaksinya dengan lingkungan. Setiap individu dalam berinteraksi dengan orang lain ini akan menerima tanggapan. Tanggapan yang diberikan tersebut akan dijadikan cermin bagi individu untuk menilai dan memandang dirinya sendiri. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28 Coopersmith (dalam Burn, 1998) mengemukakan bahwa self esteem adalah penilaian diri yang dilakukan oleh seorang individu yang biasanya berkaitan dengan dirinya sendiri, yangmana penilaian tersebut mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan, dan menunjukkan seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil serta berharga. Dia juga mengatakan bahwa self esteem merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak, dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan, dan keberhargaan (Coopersmith dikutip dalam Burn, 1998). Jadi self esteem merupakan personal judgement mengenai perasaan berharga atau berarti yang diekspresikan dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya. Perkembangan self esteem pada individu akan berpengaruh terhadap proses pemikiran, perasaanperasaan, keinginan, nilai-nilai dan tujuan-tujuannya. Sehingga self esteem merupakan kunci utama dalam tingkah laku yang membawa ke arah keberhasilan atau kegagalan. Stuart dan Sundeen (1998), mengatakan bahwa self esteem adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal dirinya. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa self esteem menggambarkan sejauhmana individu tersebut menilai dan membuat persepsi terhadap dirinya dan percaya bahwa dirinya sebagai orang yang memiliki kemampuan, keberartian, berharga, dan kompeten. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 29 2. Aspek-Aspek dan Karakteristik dalam Self Esteem Coopersmith (1967) mengemukakan aspek-aspek self esteem antara lain: A. Kekuasaan (power) Kemampuan untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku diri sendiri dan orang lain. Kemampuan ini ditandai adanya pengakuan, penghargaan dan rasa hormat yang diterima individu dari orang lain. Pengaruh dan wibawa juga merupakan hal-hal yang menunjukkan adanya aspek ini pada seorang individu. Dari pihak individu sendiri yang mempunyai kemampuan ini biasanya akan menunjukkan sifat-sifat asertif dan explanatory action yang tinggi. B. Keberartian (significance) Keberhasilan individu tampak dari munculnya kepedulian, perhatian, penilaian, penerimaan, penghargaan, kasih sayang dan afeksi yang diterima individu dari orang lain. Penerimaan dan perhatian biasanya ditunjukkan dengan adanya penerimaan dari lingkungan, ketenaran, dan dukungan yang diberikan keluarga. Semakin banyak ekspresi kasih saying yang diterima individu, individu akan semakin merasa berarti dan berharga. Tetapi apabila individu tidak atau bahkan jarang memperoleh stimulus positif dari orang lain, maka kemungkinan besar individu akan merasa ditolak dan mengisolasikan diri dari pergaulan. C. Kebajikan (virtue) Ketaatan mengikuti standar moral dan etika, ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan. Ketaatan diri dengan standar perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 30 moral dan etika diadaptasi individu dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua. Permasalahan ini pada dasarnya berkisar pada benar dan salah. Bahasan tentang kebajikan juga tidak terlepas dari segala macam perbincangan mengenai peraturan dan norma yang berlaku di masyarakat, serta hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketaatan dalam beragama. D. Kemampuan (competence) Sukses memenuhi tuntutan prestasi atau dengan kata lain berhasil dalam memiliki tuntutan capaian. Dengan adanya kemampuan yang cukup, individu akan merasa yakin untuk dapat mencapai sesuatu yang dicita-citakan. Individu yang memiliki kompetensi yang baik, akan merasa setiap orang member dukungan kepadanya. Sehingga individu akan merasa mampu mengatasi setiap masalah yang sedang dihadapi serta mampu menghadapi lingkungan. Branden (dalam Murk, 2006) menggolongkan aspek self esteem diantaranya yaitu: A. Sense of Personal Efficacy Yaitu makna dari keyakinan atau kepercayaan diri individu atas kemampuan yang dimiliki untuk berpikir, belajar, dan memproses fakta yang ada untuk menghadapi setiap tantangan dalam kehidupan. B. Sense of Personal Worth Yaitu makna dari keberhargaan atau keberhasilan individu dimana individu akan merasa memiliki self esteem apabila memiliki anggapan bahwa dirinya berharga, bernilai dan menghormati diri sendiri. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 31 Rosenberg (1965) mengemukakan pendapat bahwa self esteem merupakan komponen dari self concept yang didefinisikan sebagai rangkaian pemikiran dan perasaan individu tentang nilai dan manfaat diri baik positif maupun negatif tentang diri individu. Self esteem memiliki dua aspek yaitu penghormatan diri dan penerimaan diri (Rosenberg, 1965). Penghormatan diri merupakan cara bagaimana individu menghargai diri sendiri. Sedangkan penghormatan diri merupakan kemampuan individu dalam menerima segala sesuatu yang terdapat dalam diri individu. Menurut Coopersmith (dalam Burn, 1998) self esteem memiliki beberapa karakteristik, diantaranya yaitu 1) self esteem sebagai sesuatu yang bersifat umum 2) self esteem bervariasi dalam berbagai pengalaman 3) evaluasi diri. Individu yang memiliki self esteem tinggi menunjukkan perilaku menerima dirinya apa adanya, percaya diri, puas dengan karakter dan kemampuan diri. Sedangkan individu yang memiliki self esteem rendah, akan menunjukkan penghargaan buruk terhadap dirinya sehingga tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial (Stuart dan Sundeen, 1998). Self esteem mulai terbentuk setelah anak lahir, ketika anak berhadapan dengan dunia luar dan berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya. Interaksi secara minimal memerlukan pengakuan, penerimaan peran yang saling tergantung pada orang yang bicara dan orang yang diajak bicara. Interaksi menimbulkan pengertian tentang kesadaran diri, identitas, dan pemahaman tentang diri. Hal ini akan membentuk penilaian individu terhadap dirinya sebagai perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32 orang yang berarti, berharga, dan menerima keadaan diri apa adanya sehingga individu mempunyai perasaan self esteem (Burn, 1998). Self esteem Segala sesuatu yang berhubungan dengan seseorang, selalu mendapat penilaian berdasarkan kriteria dan standar tertentu, atribut-atribut yang melekat dalam diri individu akan mendapat masukan dari orang lain dalam proses berinteraksi dimana proses ini dapat menguji individu, yang memperlihatkan standar dan nilai diri yang terinternalisasi dari orang lain dan masyarakat. Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas maka aspek yang akan digunakan dalam penelitian ini merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Rosenberg (1965), yang meliputi penghormatan diri dan penerimaan diri. 3. Fungsi Self Esteem Perasaan self esteem dapat digolongkan menjadi positif yaitu apabila individu dapat menghargai diri sendiri dengan cara yang baik, sebaliknya jika perasaan self esteem negatif yaitu apabila seseorang tidak dapat menghargai dirinya sendiri secara baik dan perasaan self esteem ini dapat berkembang ke arah self esteem rendah (Walgito, 2004). Frankl (dalam Wiebe, 2001) mengutarakan keyakinan bahwa meaningfulness (kebermaknaan) dalam hidup, berhubungan dengan self esteem yang tinggi dan perilaku yang menunjukkan murah hati terhadap orang lain, sedangkan meaningless (ketidakbermaknaan) dalam hidup berasosiasi dengan ketidakpedulian atau melepaskan diri (diengagement). Dalam proses mencapai perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 33 tujuan hidup yang diciptakan dalam diri seseorang, akan muncul perasaan signifikan pada diri mereka sendiri dan rasa bangga terhadap kehidupan mereka. Sehingga dengan dimilikinya self esteem yang tinggi maka individu dapat lebih optimis dalam menjalani hidup, memandang dan mengatasi persoalan yang muncul dengan lebih baik agar dapat mencapai hidup yang bermakna. Fungsi self esteem bagi karyawan adalah sebagai panduan agar individu dapat bekerja secara efektif dan efisien sehingga kondisi yang diterima menjadi sebuah keuntungan bagi perusahaan dimana target perusahaan dapat tercapai. Dengan dimilikinya self esteem yang kuat dan ditambah dengan adanya upaya penguatan diri (self affirmation) yang kuat pula maka individu akan menjadi sosok karyawan handal dan tangguh sehingga semua tugas dalam pekerjaan dapat terselesaikan tepat waktu (Jubilee, 2010). Program penguatan diri yang penting tersebut berasal dari diri sendiri, peranperan lingkungan, keluarga maupun dari kantor tempat individu bekerja. Hal ini disadari oleh perusahan bahwa penguatan diri yang dimiliki seorang karyawan yang memiliki self esteem yang kuat juga membutuhkan bantuan dari tempat mereka bekerja sehingga penguatan diri dapat diciptakan perusahaan untuk menata kembali asset mereka demi mencapai target yang diinginkan perusahaan (Jubilee, 2010). Dengan adanya self esteem yang kuat dan self affirmation yang kuat mendorong bagi karyawan untuk dapat mencapai kebermaknaan hidup. Self esteem merupakan suatu komponen yang bersifat emosional dan berperan paling penting dalam menentukan sikap dan kepribadian individu. Self esteem adalah kunci dari tercapainya keberhasilan hidup. Semakin diri individu menyukai perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 34 diri, menerima dan hormat pada diri sendiri maka dalam diri individu akan muncul perasaan berharga dan bermakna. Dengan demikian individu yang memiliki self esteem yang tinggi akan semakin bersikap positif dan meraih kebahagiaan (Gunawan Adi, 2003). Ciri-ciri individu yang memiliki self esteem yang tinggi diantaranya yaitu individu memiliki kekuatan pribadi yang luar biasa besar dan akan mampu serta berhasil melakukan apa saja di dalam hidupnya. Simpulan dari beberapa pendapat diatas yaitu bahwa self esteem memiliki fungsi yang penting dalam pencapaian kebermaknaan hidup yaitu dimana individu memiliki self esteem tinggi maka pencapaian kebermaknaan hidup dapat terpenuhi, sebaliknya jika individu memiliki self esteem rendah maka individu cenderung tidak peduli bahkan melepaskan diri dari persoalan hidup sehingga kebermaknaan hidup tidak dapat terpenuhi. C. Korban Pelecehan Seksual 1. Pengertian Pelecehan Seksual Menurut Collier (1995) pelecehan seksual secara etiologi dapat diartikan sebagai segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran, dan penolakan atau penerimaan korban atas perilaku tersebut dijadikan sebagai bahan pertimbangan baik secara implisit maupun eksplisit. Pelecehan seksual sebenarnya adalah suatu istilah yang diciptakan sebagai padanan apa yang didalam bahasa Inggris disebut dengan sexual harassment. Menurut Collier (1995) di dalam Kamus Bahasa Indonesia, pelecehan berasal dari perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 35 Leceh Harassing dengan perilaku atau pola perilaku (normatif atau tidak normatif) yang berkaitan Harass perilaku seksual yang dinilai negatif dan menyalahi standar. Dalam setiap perilaku pelecehan seksual selalu terkandung makna yang dinilai negatif yaitu bahwasanya seks itu boleh dimaknakan sebagai sarana pemuas nafsu dan lawan seks itu boleh dimaknakan sebagai obyek instrumental guna pemuas nafsu seksual itu. Pelecehan seksual secara umum menurut Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadi (2001) adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau mengarah kepada hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran, sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti malu, marah, benci, tersinggung, yang dirasakan pada diri individu yang menjadi korban pelecehan tersebut. Sedangkan secara operasional, pelecehan seksual didefinisikan berdasarkan hukum sebagai bentuk dari diskriminasi seksual (Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadi, 2001). Menurut Collier (1995) pengertian pelecehan seksual disini merupakan segala bentuk perilaku bersifat seksual yang tidak diinginkan oleh sasaran atau yang mendapat perlakuan tersebut, yaitu pelecehan seksual yang dapat terjadi atau dialami oleh semua perempuan. Sedangkan menurut Rubenstein (dalam Collier, 1995) pelecehan seksual dikatakan sebagai sifat perilaku seksual yang tidak diinginkan atau tindakan yang didasarkan pada seks yang menyinggung penerima. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 36 Pelecehan seksual adalah segala bentuk perilaku yang melecehkan atau merendahkan yang berhubungan dengan dorongan seksual, yang merugikan atau membuat perasaan tidak senang bagi orang yang dikenai perlakuan tersebut. Atau bisa juga diartikan yaitu setiap perbuatan yang memaksa seseorang terlibat dalam suatu hubungan seksual atau menempatkan seseorang sebagai objek perhatian seksual yang tidak diinginkannya. Pada dasarnya perbuatan itu dipahami sebagai upaya merendahkan dan menghina pihak yang dilecehkan sebagai manusia (Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadhi, 2001). Menurut Collier (1998), mengungkapkan pengertian pelecehan seksual terhadap perempuan terbagi dalam dua bagian, yaitu adanya hubungan seksual, dan tidak adanya hubungan seksual. Maksud dari adanya hubungan seksual yaitu merupakan suatu bentuk tindakan yang dilakukan terhadap pihak lain, baik yang dilakukan perorangan atau lebih dari satu orang. Sebaliknya, maksud dari tidak adanya hubungan seksual yaitu tindakan yang tidak mengakibatkan luka atau penderitaan pada fisik korban, yang dilakukan pelaku dengan tidak menggunakan kekerasan fisik dan suara (misalnya seperti siulan, desakan tertentu, ucapan yang tidak senonoh), pandangan mata yang tidak sopan secara demonstratif, sentuhan-sentuhan fisik (tidak dengan kekerasan) pada bagian-bagian tubuh tertentu milik korban yang lebih banyak merupakan akibat mental-mental fisik dan bukan pada akibat fisik. Pelecehan seksual diantaranya berupa komentar verbal, gerakan tubuh atau kontak fisik yang bersifat seksual yang dilakukan seseorang dengan sengaja, dan tidak dikehendaki atau tidak diharapkan oleh target. Menurut Woodrum (dalam Collier, 1995) pelecehan seksual tersebut dapat terjadi atau dialami oleh perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 37 perempuan. Sedangkan menurut Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadhi (2001), pelecehan seksual dapat diartikan sebagai jenis tindakan seksual yang tidak diundang dan tidak dikehendaki oleh korbannya dan menimbulkan perasaan tidak suka. Bentuk tindakan seksual itu dapat berupa menyiuli perempuan, menceritakan lelucon kotor pada seseorang yang merendahkan derajatnya hingga tindakan tidak senonoh dan tindakan pemerkosaan pada orang lain. Pelecehan seksual merupakan perbuatan yang biasanya dilakukan pria dan ditujukan kepada wanita dalam bidang seksual yang tidak disukai oleh wanita. Sebab wanita merasa terhina, tetapi jika perbuatan itu ditolak ada kemungkinan wanita akan menerima akibat buruknya. Pelecehan seksual umumnya diakui sebagai yang mencakup semua bentuk perilaku yang tidak diinginkan yang bersifat seksual, baik verbal atau fisik, The Malaysian Code of Practice secara khusus mendefinisikan pelecehan seksual sebagai segala perbuatan yang tidak diinginkan yang bersifat seksual yang mungkin dirasakan oleh seorang individu (a) sebagai kondisi terhadap lapangan kerja seseorang, (b) sebagai suatu pelanggaran atau penghinaan, atau (c) sebagai ancaman terhadap seseorang kesejahteraan (dalam Nazari dkk, 2007). Bentukbentuk pelecehan seksual bersama-sama dengan contoh-contoh, telah secara komprehensif ditentukan dalam Kode Etik sebagai berikut: 1. Verbal (misalnya menyinggung atau sugestif komentar) 2. Non-verbal atau sikap tubuh (misalnya menyeringai atau mengerling dengan nada sugestif) 3. Visual (bahan pertunjukan misalnya pornografi) perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 38 4. Psikologis (misalnya undangan sosial yang tidak diinginkan) 5. Fisik pelecehan (misalnya meraba) Hasil penelitian The Industrial Survey (Collier, 1998) menyatakan bahwa lebih dari separuh pekerja perempuan mengalami pelecehan seksual. Di beberapa bagian London, 80% wanita mengatakan bahwa mereka mengalami pelecehan, dan 40% telah menjadi sasaran rabaan yang disengaja pada bagian-bagian tubuh tertentu. Dari beberapa definisi pelecehan seksual diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian pelecehan seksual itu sendiri merupakan perilaku atau tindakan yang mengganggu, menjengkelkan, dan tidak diharapkan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap pihak lain yang berkaitan langsung dengan jenis kelamin pihak yang diganggunya yaitu perempuan dan dipandang menurunkan martabat dan harkat diri orang yang diganggunya. Pelecehan seksual itu sendiri bertindak sebagai tindakan yang bersifat seksual atau kecenderungan melakukan tindakan seksual yang terintimidasi secara non fisik (melalui kata-kata, bahasa, gambar) ataupun fisik (gerakan kasat mata dengan memegang, menyentuh, meraba atau mencium) yang dilakukan seorang laki-laki terhadap perempuan. 2. Bentuk-Bentuk Pelecehan Seksual Pelecehan seksual mencakup perilaku menatap, berbicara mengenai segala sesuatu yang menjurus pada seksualitas, menyentuh tubuh perempuan, mencoba memaksa perempuan untuk melakukan tindakan seksual yang tidak diinginkan, mengajak kencan berulang kali hingga sampai dengan terjadinya pemerkosaan. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 39 Selain itu secara lebih jelas, bentuk-bentuk yang dianggap sebagai pelecehan seksual (Collier, 1995) antara lain: a) Menggoda atau menarik perhatian lawan jenis dengan siulan, b) Menceritakan lelucon jorok atau kotor kepada seseorang yang merasakannya sebagai merendahkan martabat, c) Mempertunjukan gambargambar porno berupa kalender, majalah, atau buku bergambar porno kepada orang yang tidak menyukainya, d) Memberikan komentar yang tidak senonoh kepada penampilan, pakaian, atau gaya seseorang, e) Menyentuh, menyubit, menepuk tanpa dikehendaki, mencium dan memeluk seseorang yang tidak menyukai pelukan tersebut, f) Perbuatan memamerkan tubuh atau alat kelamin kepada orang yang terhina karenanya. Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadi (2001) membagi kategori pelecehan seksual yang digunakan dalam dasar pengukuran pada Sexual Experience Questionnaire (SEQ) dalam bentuk yang lebih tersistematis, yaitu a) Gender Harassment yaitu pernyataan atau tingkah laku yang bersifat merendahkan berdasarkan jenis kelamin, b) Seductive Behaviour yaitu permintaan seksual tanpa ancaman, rayuan yang bersifat tidak senonoh atau merendahkan, c) Bribery yaitu penyuapan untuk melakukan hal yang berbau seksual dengan memberikan janji akan suatu ganjaran, d) Sexual Coercion yaitu tekanan yang disertai dengan ancaman untuk melakukan hal-hal yang bersifat seksual, e) Sexual Assault yaitu serangan atau paksaan yang bersifat seksual, gangguan seksual yang terangterangan atau kasar. Sedangkan Kelly (1998) membaginya dalam bentuk pelecehan seksual yang dapat dilihat sebagai berikut : a) Bentuk Visual : tatapan yang penuh nafsu, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 40 tatapan yang mengancam, gerak-gerik yang bersifat seksual, b) Bentuk Verbal : siulan-siulan, gosip, gurauan seksual, pernyataan-pernyataan yang bersifat mengancam baik secara langsung maupun tersirat, c) Bentuk Fisik : menyentuh, mencubit, menepuk-nepuk, menyenggol dengan sengaja, meremas, mendekatkan diri tanpa diinginkan oleh sasaran. Menurut Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadi (2001) ciri-ciri utama yang membedakan pelecehan seksual adalah sebagai berikut: 1) Tidak dikehendaki oleh individu yang menjadi sasaran, 2) Seringkali dilakukan dengan disertai janji, menawarkan sesuatu ataupun ancaman, 3) Tanggapan menolak atau menerima terhadap tindakan sepihak tersebut dijadikan pertimbangan dalam penentuan karir atau pekerjaan, 4) Dampak dari tindakan sepihak tersebut menimbulkan berbagai gejolak psikologis, diantarannya : malu, marah, benci, dendam, hilangnya rasa aman dan nyaman dalam bekerja. Alasan dan kondisi yang menyebabkan terjadinya tindakan pelecehan seksual dibagi menjadi tiga, diantaranya dilihat dari sisi sosial, organisasi dan sisi individu. Pada sisi sosial menjelaskan tentang bagaimana kadudukan wanita terhadap pria di dalam lingkungan kerja dan masyarakat dan juga status individu. Didalam organisasi, terdapat jabatan dan status yang merepresentasikan kekuatan sehingga menjadi alasan terjadinya pelecehan seksual. Selain itu juga perbandingan jumlah pria dan wanita dalam suatu lingkungan kerja dapat menyebabkan terjadinya pelecehan seksual. Dari sisi individu, baik korban maupun subjek, penjelasan tentang pelecehan seksual bergantung kepada sifat dari individu masing-masing (Sandy Welsh, 1999). perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 41 Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat diketahui bahwa bentuk-bentuk pelecehan seksual antara lain menatap, berbicara mengenai segala sesuatu yang menjurus pada seksualitas, mencoba memaksa perempuan untuk melakukan tindakan seksual yang tidak diinginkan, menggoda atau menarik perhatian lawan jenis dengan siulan, menceritakan lelucon jorok atau kotor, mempertunjukan gambar-gambar porno, menyentuh, mencubit, menepuk bagian tubuh tertentu tanpa dikehendaki, mencium dan memeluk, memamerkan tubuh atau alat kelamin kepada orang yang terhina karenanya. 3. Respon Terhadap Pelecehan Seksual Seperti yang dikemukakan oleh Collier (1992), yang biasanya dilakukan sebagai respon terhadap pelecehan seksual meliputi : a. Strategi yang Terfokus Secara Internal 1) Menjaga jarak (detachment) yaitu seseorang yang menggunakan strategi memisah atau menjaga jarak, termasuk dengan meminimalisasi situasi, menganggapnya sebagai lelucon, menceritakan kepada diri sendiri sebagai hal yang tidak penting, dan sebagainya. 2) Menyangkal (denial) yaitu seseorang menyangkal pelecehan yang terjadi, menganggapnya tidak ada atau tidak menghiraukannya, dan menganggap tidak mau melanjutkannya dan berusaha melupakannya. 3) Pemberian nama ulang (relabeling) yaitu seseorang menilai ulang situasi sebagai hal yang kurang mengancam, memaafkan peleceh atau menginterprestasikan tingkah laku tersebut sebagai usaha untuk menggoda. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 42 Ilusi pengendalian (illusory control), yaitu seseorang berusaha untuk mengontrol dengan mengambil tanggung jawab terhadap kejadian dengan memberikan atribusi pelecehan kepada tingkah lakunya sendiri. 5) Menyerah, yaitu secara esensial, seseorang tidak melakukan apa-apa, dia menyerah terhadap tingkah laku tersebut baik disertai dengan rasa takut (terhadap rasa sakit, menyakiti peleceh, tidak percaya, merasa bersalah, atau malu) atau karena dia percaya bahwa tidak ada sumber yang tersedia untuk dimintai pertolongan. b. Strategi yang Terfokus secara Eksternal 1) Menjauh (avoidance), yaitu seseorang berusaha untuk menghindari situasi dengan menjauh dari pelaku pelecehan (misalnya keluar kelas, ganti guru, berhenti bekerja). 2) Melakukan asertivitas atau konfrontasi (assertion/confrontation), yaitu seseorang menolak ancaman seksual atau sosial tersebut. Secara verbal melakukan konfrontasi terhadap peleceh atau membuat tingkah laku tersebut tidak diterima. 3) Mencari institusi atau organisasi yang dapat menangani (seeking institutional or organizational relief), yaitu seseorang melaporkan kejadian, mengkonsultasikannya dengan bantuan orang lain untuk dapat membuat perlawanan. 4) Mendapatkan dukungan sosial (social support), yaitu seseorang mencari dukungan dari orang-orang yang signifikan, mencari validasi dari persepsinya, atau mencari pengetahuan dari kenyataan yang terjadi. 5) Mendapatkan kesepakatan (appeasement), yaitu seseorang berusaha untuk mendapat kesepakatan tanpa konfrontasi atau asertivitas. Yaitu dengan memaafkan pelaku atau berusaha tidak marah terhadap pelaku pelecehan. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 43 Reaksi atau respon dari wanita yang menjadi korban tindak pelecehan seksual menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sandy Welsh (1999) yaitu penghindaran (avoidance), kebingungan, diffusion, negosiasi, dan konfrontasi. Sebagian besar para wanita yang menjadi korban tidak melaporkan pengalaman buruk berupa tindak pelecehan seksual yang mereka alami. Mereka lebih memilih untuk mengabaikannya, menanggapinya dengan gurauan, serta menghindari pelaku tindak pelecehan tersebut. Alasan mengapa mereka tidak melaporkannya cukup bervariasi, antara lain rasa takut terhadap pembalasan dendam dari pelaku jika mereka melaporkan perihal pelecehan tersebut, rasa takut tidak ada yang percaya, rasa takut kehilangan pekerjaan, serta rasa takut membuat situasi menjadi lebih buruk lagi. Namun ada juga wanita yang menjadi korban menanggapi tindak pelecehan yang mereka alami dengan memberikan respon yang lebih asertif. Hal ini dapat terjadi jika tindak pelecehan yang terjadi cukup parah, jika pelaku pelecehan bukan atasan mereka, jika kebijakan dan prosedur yang ada memang memerangi tindak pelecehan seksual, serta jika prosentase jumlah wanita dalam suatu tempat kerja seimbang dengan jumlah pekerja pria atau merupakan minoritas yang dapat menjadi ancaman. Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa respon yang biasa dilakukan oleh para korban pelecehan seksual terbagi menjadi 2 yaitu strategi yang terfokus secara internal dan eksternal yang keduanya mempengaruhi bagaimana korban tersebut menilai peristiwa traumatis yang dialaminya tersebut. Sedangkan respon yang dilakukan para korban terhadap tindak pelecehan seksual perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 44 yaitu dengan mengabaikannya, menanggapinya dengan gurauan, serta menghindari pelaku tindak pelecehan. 4. Dampak Psikologis Pelecehan Seksual Menurut Collier (1992), dampak-dampak psikologis pelecehan seksual tergantung pada : a. Frekuensi terjadinya pelecehan, yaitu semakin sering terjadi, semakin dalam pula luka yang ditimbulkan. b. Parah tidaknya, yaitu semakin parah tindak pelecehan seksual dan semakin tindakan tersebut menghina martabat dan integritas seseorang, semakin dalam pula luka yang ditimbulkan, apalagi jika menyangkut keluarga korban. c. Apakah secara fisik juga mengancam atau hanya verbal, artinya semakin tindakan pelecehan ini dirasakan mengancam korban secara fisik, lebih dalam dampak dan luka yang ditimbulkan. Bila pelecehan seksual dilakukan dengan ancaman pemecatan dan korban tidak yakin mampu menemukan pekerjaan lain, maka dampak psikologis akan lebih besar. d. Terganggu atau tidaknya kinerja pekerja, jika dirasa mengganggu maka akan disertai dengan rasa frustasi. Ini tentunya juga tergantung pada seberapa parah dan jauh pelecehan itu mengganggu kinerja korban. Semakin parah gangguan yang dialaminya, semakin tinggi taraf frustasi dan semakin parah kerusakan psikologisnya. Dalam setiap daerah, korban pelecehan seksual yang melaporkan perlakuan yang diterimanya menimbulkan banyak konsekuensi. Efek psikologis yang dapat perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 45 timbul yaitu penurunan kepercayaan diri, penurunan self esteem, stress yang meningkat, depresi, frustasi, gelisah dan mudah marah (Nilar Kyu & Atsuko Kanai, 2003). Secara umum, menurut Kelly (1998) dampak utama psikologis pelecehan seksual yang paling sering tampil adalah: a. Jengkel, marah, stress hingga breakdown b. Ketakutan, frustasi, rasa tidak berdaya dan menarik diri c. Kehilangan rasa percaya diri d. Merasa berdosa atau merasa dirinya sebagai penyebab e. Kebencian pribadi hingga generalisasi kebencian pada pelaku atau mereka dari jenis kelamin yang sama dengan pelaku. Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian diatas bahwa dampak psikologis yang terjadi pasca pelecehan seksual adalah munculnya rasa jengkel, takut, frustasi, percaya diri hilang, perasaan berdosa, bahkan memunculkan kebencian pada pelaku atau kelompoknya. 5. Pelecehan seksual di Tempat Kerja Pelecehan seksual di tempat kerja (sexual harassment in the work place) adalah masalah yang terjadi di Indonesia maupun negara-negara lain di dunia. Pelecehan seksual di tempat kerja tidak hanya dialami oleh pekerja wanita tetapi juga oleh pekerja pria, tetapi yang paling banyak terjadi adalah pelecehan seksual pada wanita. Hal ini bisa dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Merit Systems Protection Board 1981 (dalam Harsono, 2003) yang melakukan survei terhadap 20.000 pekerja pemerintah federal di Amerika Serikat, 42% responden wanita dan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 46 15% responden pria menyatakan telah mengalami pelecehan seksual dalam 2 tahun terakhir. Selain itu, hasil penelitian Marks (Collier, 1998) juga menunjukkan bahwa 47% perempuan dan 14% pria mengalami pelecehan seksual. Wanita memang lebih banyak mengalami pelecehan seksual dibanding pria. Para peneliti dan psikolog menjelaskan sebab utama terjadinya pelecehan seksual pada wanita di tempat kerja yakni dari perspektif kekuasaan dan psikologis. Dalam perspektif kekuasan, kehadiran wanita di dunia kerja merupakan pesaing yang harus diperhitungkan, sementara sebelumnya wanita sepenuhnya bergantung kepada laki-laki. Persepsi lama bahwa laki-laki harus lebih baik dari pada wanita merupakan salah satu alasan mengapa laki-laki berperilaku negatif terhadap wanita di tempat kerja. Pelecehan seksual didefinisikan oleh Fitzgerald, Swan, et al. (1997 , p.15) sebagai berikut: . . . unwanted sex-related behavior at work that is appraised by the recipient as offensive, exceeding her resources, or threatening her well- Mengenai status pekerjaan wanita dapat disimpulkan bahwa karyawan wanita yang memegang posisi rendah dengan kekuasaan dan kewenangan yang lebih kecil akan lebih besar kemungkinan mengalami pelecehan seksual. Hal ini disebabkan karena setiap perlawanan pada bagian mereka yaitu yang memiliki kekuasaan dan kewenangan yang kecil dalam suatu perusahaan dapat menjadi ancaman bagi mereka karena dianggap tidak kooperatif oleh atasan. Dalam perspektif psikologis, simbol-simbol kewanitaan seperti bentuk tubuh, gaya bicara, dan sifat-sifat alamiah wanita adalah sesuatu yang menarik bagi pria, karena pada dasarnya memang wanita diciptakan indah. Dengan semakin pudarnya nilai-nilai baik itu nilai agama dan norma sosial masyarakat, hal-hal perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 47 tersebut semakin tampak tidak hanya di tempat kerja tetapi juga di lingkungan masyarakat sekitar. Sehingga secara alamiah hal tersebut menarik perhatian kaum pria dan menimbulkan perilaku pelecehan seksual. Dengan semakin banyaknya wanita yang bekerja baik di lingkungan perkantoran maupun industri menimbulkan peluang terjadinya pelecehan seksual di tempat kerja semakin besar. Konsekuensi dari tindak pelecehan seksual yang dialami oleh korban terhadap pekerjaan yaitu menurunnya kepercayaan diri, sering bolos atau absen dari pekerjaan, penurunan kepuasan kerja, penurunan pandangan tentang persamaan kesempatan dalam dunia kerja, hubungan interpersonal pekerjaan yang rusak, bahkan hingga berhenti dari pekerjaan (Sandy Welsh, 1999). Dalam hal kesehatan fisik maupun psikologis, konsekuensi yang dialami korban antara lain meliputi perasaan was-was, depresi, gangguan tidur, stress dan sakit kepala. Konsekuensi dari tindak pelecehan seksual juga berdampak negatif bagi organisasi tempat bekerja seperti penurunan produktivitas. Penelitian yang dilakukan oleh Fitzgerald dkk (1988) membagi pelecehan seksual menjadi tiga kategori yang berbeda menggunakan Sexual Experiences Questionnaire (SEQ) yaitu: a. Gender Harassment (Pelecehan Kelamin) Yaitu segala bentuk perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja secara umum. Hal ini ditunjukkan dengan upaya menampilkan atau menunjukkan gambar dimana wanita sebagai objek fantasi seksual, menceritakan lelucon yang menjurus pada seks, dan mengeluarkan komentar atau ekspresi yang bertujuan menghina perempuan. Yang termasuk dalam perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 48 gender harassment ini antara lain mengedipkan mata atau bersiul dengan tujuan menggoda yangmana perilaku tersebut membuat rasa tidak nyaman, malu dan intimidasi bagi sasaran atau korban. b. Unwanted Sexual Attention (Perhatian yang bersifat seksual yang tidak diinginkan) Yang termasuk dalam kategori ini yaitu dengan sengaja melakukan kontak fisik seperti menyentuh, menepuk, mencubit, bergesekan badan, berdiri terlalu dekat atau memojokkan sasaran atau korban. Adanya komentar yang berbau seks mengenai tubuh, penampilan atau kehidupan korban juga termasuk dalam kategori ini. c. Sexual Coercion (Pemaksaan Seksual) Perilaku ini merujuk pada permintaan atau tuntutan untuk berhubungan seks yangmana jika permintaan tersebut tidak dilaksanakan maka korban akan dipecat atau karirnya akan bermasalah. Dari definisi umum tersebut maka pelecehan seksual di tempat kerja dapat diartikan sebagai segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diinginkan oleh orang yang menjadi sasaran, dan penolakan atau penerimaan korban atas perilaku tersebut dijadikan sebagai bahan pertimbangan baik secara implisit maupun eksplisit dalam rangka membuat keputusan menyangkut karir atau pekerjaannya, mengganggu ketenangan bekerja, mengintimidasi diri, menciptakan lingkungan kerja yang tidak aman dan tidak nyaman bagi si korban yang dinilai sebagai tindakan ofensif yang mengancam kesejahteraannya. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 49 D. Hubungan Antara Self Esteem dengan Kebermaknaan Hidup Korban Pelecehan Seksual Setiap individu pada dasarnya pasti memiliki berbagai macam pengalaman baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Pengalaman merupakan suatu bentuk emosi, perasaan, tindakan, dan kejadian yang pernah dialami individu yang dirasakan bermakna dan meninggalkan kesan dalam hidup individu (Yusuf, 2004). Bastaman (1996) mengemukakan pendapat bahwa proses pencapaian kebermaknaan hidup pada umumnya diawali dengan penderitaan (suffering). Penderitaan yang dirasakan individu itu berasal dari peristiwa-peristiwa atau pengalaman-pengalaman traumatis yang terjadi yang seringkali tidak dapat dihindari dalam kehidupannya yang dapat menimpa diri, keluarga, dan lingkungan yang dimilikinya. Semua peristiwa atau pengalaman traumatis dapat dipastikan akan menimbulkan rasa stres dan perasaan kecewa, tertekan, susah, sedih, cemas, marah, malu, terhina, rendah diri, putus asa, hampa dan tidak bermakna (Cynthia, Trida. 2007). Frankl (2004) mengemukakan pendapat bahwa sikap seseorang dalam menghadapi berbagai peristiwa atau pengalaman traumatis adalah sangat berperan dalam pemenuhan makna hidup, begitu pula dengan pengalaman pelecehan seksual di tempat kerja. Terdapat beberapa individu yang berhasil dengan gemilang mengatasi kesulitan dan perasaan tidak menyenangkan akibat penderitaannya. Mereka mampu mengubah kondisi penghayatan dirinya dari penghayatan tidak bermakna (meaningless) menjadi bermakna (meaningful). Bahkan tidak sedikit diantara individu tersebut yang berhasil mencapai prestasi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 50 tinggi, bahkan mampu menemukan hikmah dari penderitaannya (meaning in suffering). Berikutnya, Seifert (dalam Amelia, 2011) menambahkan bahwa individu yang memiliki tujuan dalam hidup (purposive in life) adalah individu yang mampu mengarahkan diri sendiri, merasa bahwa masa lalu dan sekarang memiliki arti tertentu dan hikmah yang bisa dipetik karena memegang keyakinan yang kuat berdasarkan kepercayaan yang dimilikinya serta berorientasi pada target dalam kehidupannya. Kondisi dimana kebermaknaan hidup seseorang dikatakan kurang, tujuan hidup yang dimiliki tidak terarah dan tidak mampu melihat hikmah disetiap kejadian serta pengalaman masa lalu mengakibatkan tujuan dalam hidup (purposive in life) menjadi rendah. Selanjutnya makna hidup mengandung arti sebagai pemberian kualitas kehidupan pada diri pribadi dalam rangka pemenuhan diri (Schultz, 1991). Hal ini menunjukkan bahwa kebermaknaan hidup akan melahirkan nilai-nilai dalam diri individu, sehingga muncul perasaan bahwa dirinya berharga yang selanjutnya akan menampilkan aktivitas yang seiring dengan tujuan hidupnya. Secara positif adanya perasaan bahwa diri individu berharga setelah mengalami peristiwa traumatis berupa pelecehan seksual di tempat kerja, terkait erat dengan fungsi adaptif pada beberapa lingkup kehidupan individu, meliputi kemampuan mengontrol kemarahan, memiliki hubungan yang baik dan memuaskan, memiliki empati dengan sikap kepedulian terhadap orang disekitarnya dan kemampuan untuk berkreasi serta produktif di tempat kerja (Hoyle, dalam Compton, 2005). Tingginya self esteem individu memberi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 51 keuntungan akan makna hidup dan nilai hidup yang dijalaninya serta sangat membantu individu dalam bernegosiasi dengan individu lain (Ryan, dalam Compton, 2005) sehingga mampu mengarahkan individu korban pelecehan seksual di tempat kerja dalam mencapai kebermaknaan hidup. Self esteem dapat juga diperoleh melalui proses pengalaman yang terus menerus terjadi dalam diri seseorang (Branden, 1969), dan harga diri individu terbentuk berdasarkan pada pandangan orang lain terhadap dirinya dan bagaimana individu itu sendiri mempersepsikan pengalaman hidupnya (Baron & Byrne, 2005). Hubungan individu dengan pengalaman hidupnya dapat dikaitkan dengan bagaimana makna hidup individu tersebut (Frankl dalam Bastaman 1996). Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa self esteem mempunyai peranan dalam tercapainya kebermaknaan hidup pada wanita korban pelecehan seksual di tempat kerja. Wanita yang memiliki self esteem tinggi mampu menemukan jalan keluar terbaik dalam menghadapi masalah dalam kehidupannya, karena memiliki sifat realistik, memiliki intuisi yang tinggi, kreatif, mandiri, fleksibel dan memiliki kemampuan untuk menghadapi perubahan (Branden, 1969). Wanita yang memiliki self esteem tinggi akan mampu bersikap tegas dan mengungkapkan perasaan secara langsung dan memandang dirinya sendiri secara positif sehingga tercapai kehidupan yang bermakna (Goleman, 1998). Sedangkan orang dengan self esteem rendah akan muncul perasaan ragu akan nilai dirinya dalam suatu hubungan kerja sama dengan orang lain serta membawa keraguraguan ini sampai pada hubungan mereka yang akan datang (Anthony dkk, 2007). perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 52 Dengan kata lain seseorang dengan self esteem rendah tidak dapat mengarahkan pada tercapainya kehidupan yang bermakna. E. Kerangka Pemikiran Hubungan antara self esteem dengan kebermaknaan hidup pada wanita korban pelecehan seksual di tempat kerja dapat digambarkan dengan kerangka pikiran sebagai berikut: Wanita Korban Pelecehan Seksual ditempat Kerja Self Esteem Kebermaknaan Hidup Gambar 3. Bagan Kerangka Pemikiran Hubungan antara Self Esteem dengan Kebermaknaan Hidup pada Wanita Korban Pelecehan Seksual di Tempat Kerja F. Hipotesis Berdasarkan kerangka teoritis diatas maka hipotesis yang dapat diajukan adalah: ada hubungan positif antara self esteem dengan kebermaknaan hidup pada wanita korban pelecehan seksual di tempat kerja.