perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 10 BAB II LANDASAN

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kebermaknaan Hidup
1. Pengertian Kebermaknaan Hidup
Psikologi eksistensial membahas segala kemampuan manusia yang tidak
mendapatkan pembahasan secara sistematik dalam aliran positivis-behavioursm
atau dalam teori klasik psikoanalisa misalnya masalah values, proses menjadi
(becoming), kreativitas, afeksi, tanggung jawab dan kebermaknaan (Abidin,
2002). Salah satu prinsip dasar aliran tersebut adalah keberadaan mengatasi dunia
(being-beyond-the world), maksudnya adalah manusia memiliki kemungkinan
yang luas untuk melampaui atau mengatasi diri dan lingkungannya, serta
merealisasikan potensinya. Konsep mengatasi dalam psikologi eksistensial ini
dapat menerangkan dan mendeskripsikan kemampuan manusia mengatasi diri dan
lingkungannya, walaupun lingkungan yang dihadapinya sangat menindas dan
penuh penderitaaan (Frankl, 2003).
Frankl berusaha menghindari kerancuan pada pendekatan eksistensial lain
yaitu menyebut pendekatannya dengan istilah logoterapi baik dalam konsep
teoritik maupun terapeutik. Frankl menggunakan istilah analisis eksistensial
sebagai persamaan kata dari logoterapi. Kata logos dalam bahasa Yunani berarti
makna (meaning) dan juga rohani (spirituality), sedangkan terapi adalah
penyembuhan atau pengobatan. Logoterapi secara umum dapat digambarkan
sebagai corak psikologi atau psikiatri yang mengakui adanya dimensi kerohanian
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
pada manusia disamping dimensi ragawi dan kejiwaan, serta beranggapan bahwa
makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk bermakna (the will of
meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan
bermakna (the meaningful of life) yang didambakan (Bastaman, 2007).
Frankl (dalam Bastaman, 1998) mengemukakan bahwa makna hidup merujuk
dimana individu mengalami kehidupannya sebagai sesuatu yang berarti dan
mudah untuk dimengerti, dan merasakan adanya rasa bahwa hidup memiliki
tujuan dan misi melebihi perhatiannya terhadap keduniaan pada kehidupannya
sehari-hari. Proses memaknai hidup dapat dilakukan bukan pada saat senang atau
bahagia saja. Hal ini sesuai dengan Frankl (dalam Bastaman, 1998) yang
mengemukakan bahwa hidup tetap memiliki makna (arti) dalam setiap situasi,
bahkan dalam penderitaan dan kepedihan sekalipun. Makna adalah sesuatu yang
dirasakan penting, benar, berharga, dan didambakan serta memberikan nilai
khusus bagi seseorang. Selanjutnya dikatakan pula bahwa makna hidup bila
berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini berarti dan
biasanya individu yang menemukan dan mengembangkannya akan terhindar dari
keputusasaan.
Makna hidup mengandung arti sebagai pemberian kualitas kehidupan pada
diri pribadi dalam rangka pemenuhan diri (Schultz, 1991). Hal ini menunjukkan
bahwa kebermaknaan hidup akan melahirkan nilai-nilai dalam diri individu,
sehingga dirinya merasa dirinya berharga yang selanjutnya akan menampilkan
aktivitas yang seiring dengan tujuan hidupnya. Bastaman (1996) juga sependapat
bahwa makna hidup memiliki nilai-nilai khusus dan sangat penting bagi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus
dipenuhi dan sebagai pengarah kegiatan-kegiatannya. Individu yang telah berhasil
mencapai kebermaknaan hidup akan menjalani kehidupan sehari-hari dengan
penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa. Individu
memaknai kehidupannya dalam tujuan-tujuan yang harus dicapai sehingga hal
tersebut dapat menyebabkan segala kegiatan yang dimiliki individu menjadi
terarah.
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa
kebermaknaan
hidup
merupakan
suatu
penghayatan
individu
terhadap
pengalaman-pengalaman penting dan berharga yang menciptakan nilai-nilai dalam
diri individu sehingga dapat merasakan keberhargaan diri yang akan menampilkan
aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan
sebagai pengarah dalam segala kegiatan.
2. Ciri-ciri Individu Yang Menemukan Makna Hidup dan Aspek-aspek
Kebermaknaan Hidup
Schultz (1991) menyimpulkan bahwa individu yang menemukan makna
dalam hidupnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut
a. Bebas memilih langkah tindakan sendiri, yaitu kebebasan untuk memilih
cara bersikap, bertindak secara tepat dan bertanggung jawab yang disesuaikan
dengan dirinya.
b. Bertanggung jawab yaitu individu bertanggung jawab sebagai pribadi pada
perilaku hidup dan sikap yang dilakukannya dalam menerima nasib.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
c. Tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan diluar dirinya, tetap mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, menyadari keterbatasan yang ada,
namun tetap dapat menentukan sendiri upaya yang dilakukan yang dirasa
paling bermakna bagi kehidupannya.
d. Telah menemukan dirinya dalam kehidupan yang sesuai dengan dirinya,
artinya memiliki alasan untuk terus menjalani hidup, benar-benar mengetahui
untuk apa hidup dan harus bagaimana menjalani hidup ini, mempunyai tujuan
hidup yang diketahui baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang
sehingga segala kegiatan yang dilakukan menjadi lebih terarah.
e. Secara sadar mengontrol tindakannya, artinya mampu mengelola keinginan
nafsu dengan kemampuan akal dan kekuatan kehendaknya serta dapat
mengetahui arahnya berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya.
f. Mampu mengungkapkan nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai pengalaman,
dan nilai-nilai sikap, yaitu mampu melewati hari dengan beraneka ragam
pengalaman yang didapat sebelumnya, menganggap tugas dan pekerjaan
sehari-hari merupakan sumber kesenangan tersendiri sehingga dalam
melakukannya pun disertai dengan rasa tanggung jawab.
g. Mampu mengatasi perhatian terhadap dirinya, menyadari bahwa dirinya
diciptakan oleh Tuhan untuk dapat merasakan kedudukannya sebagai wakil
Tuhan serta menolak perbuatan-perbuatan yang akan merendahkan derajatnya
dengan mengetahui secara tajam mengenai makna, nilai sosial, dan etika.
h. Berorientasi pada masa depan dan mengarahkan dirinya pada tujuantujuan dan tugas yang akan datang. Hidup dengan bersemangat, penuh
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
gairah, tidak mudah bosan, dan tidak merasa hampa serta menggunakan waktu
sebijaksana mungkin agar pekerjaan dan kehidupan dapat dikembangkan
secara maksimal karena individu menyadari bahwa kehidupan ini adalah fana.
i. Memiliki alasan untuk meneruskan kehidupan, sehingga alasan tersebut
yang membuat individu menjadi lebih optimis dalam menjalani hidup dan
sebagai motivasi dalam menempuh hidup yang lebih bermakna.
j. Memiliki komitmen terhadap pekerjaan, yaitu memiliki tekad positif yang
disepakati dari awal saat memasuki dunia kerja bahwa komitmen harus ada
dalam diri para pekerja dan sungguh-sungguh dalam menjalani pekerjaan yang
diberikan.
k. Mampu memberi dan menerima cinta, artinya dengan adanya pengalaman
yang pahit tidak berarti bahwa kehidupan manusia berhenti begitu saja, namun
manusia untuk dapat tetap hidup membutuhkan cinta dan kasih sayang
sehingga diharapkan manusia mampu memberi dan menerima cinta dalam
kehidupannya serta menyadari bahwa cinta kasih merupakan salah satu nilai
hidup yang menjadikan hidup ini indah.
Schultz (1991) dalam penelitiannya menyatakan bahwa individu dapat
memaknai hidupnya dengan bekerja, karena dengan bekerja individu dapat
merealisasikan dirinya dan mentransedensikan diri mereka. Menurut James
Crumbaugh & Leonard Maholick (dalam Koeswara, 1992), kebermaknaan hidup
individu dapat diidentifikasi melalui enam aspek dasar yang dibuat berdasarkan
pada pandangan Frankl, yaitu
a. Makna hidup
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
Makna hidup adalah segala sesuatu yang dianggap penting dan berharga yang
menjadi pilihan dalam kehidupan individu, memberi nilai yang spesifik, serta
dapat dijadikan sebagai tujuan hidup bagi individu tersebut. Makna hidup
memberikan pedoman dan arah terhadap segala kegiatan yang dilakukan individu.
b. Kepuasan hidup
Kepuasan hidup adalah penilaian seseorang terhadap hidup yang dijalaninya,
sejauhmana individu mampu menikmati dan merasakan kepuasan dalam hidup
dan segala aktivitas yang telah dilakukannya. Adanya kepuasan menyebabkan
individu merasa tidak mudah bosan dan selalu bersemangat dalam menjalani
segala kegiatan yang dimiliki.
c. Kebebasan
Kebebasan adalah inti kehidupan manusia, yaitu bagaimana individu merasa
mampu untuk mengendalikan kebebasan hidupnya secara bertanggung jawab.
Dalam arti bahasa, kebebasan berarti menyadari, mengidentifikasi, bahwa
manusia memiliki kebebasan untuk membentuk diri yang sesuai dengan keinginan
dan tindakannya dalam rangka membentuk kehidupan, kebermaknaan dan
keberadaan diri individu.
d. Sikap terhadap kematian
Sikap terhadap kematian merupakan landasan bagi individu untuk
menciptakan kehidupan yang bermakna. Sikap terhadap kematian adalah persepsi
tentang kesiapan individu terhadap kematian yang pasti akan dihadapi oleh setiap
manusia di kemudian hari. Orang yang memiliki makna hidup akan membekali
diri dengan berbuat kebaikan, sehingga dalam memandang kematian akan merasa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
siap untuk menghadapinya. Kematian mengakibatkan timbulnya rasa takut namun
justru kematian itu merupakan kesempurnaan eksistensi individu, artinya
kesadaran dan kematian menyebabkan individu hidup otentik. Disini individu
memperoleh suatu pandangan otentik tentang hal-hal yang penting dalam hidup.
Berdasarkan
uraian diatas
maka peneliti menggunakan
aspek-aspek
kebermaknaan hidup tersebut dalam penelitian ini, diantaranya yaitu makna
hidup, kepuasan hidup, kebebasan, dan sikap terhadap kematian.
3. Karakteristik Kebermaknaan Hidup
Bastaman (1996) mengemukakan pendapat bahwa kebermaknaan hidup
memiliki karakteristik antara lain:
a. Unik dan Personal
Bagi seseorang sesuatu yang dianggap berarti belum tentu juga berarti bagi
orang lain. Bahkan sesuatu dianggap penting dan berarti bagi seseorang pada saat
ini, belum tentu sama pentingnya di waktu yang lain. Dalam hal ini, makna hidup
seseorang dan apa yang bermakna bagi dirinya biasanya bersifat khusus, berbeda
dengan orang lain dan mungkin dapat berubah setiap waktu.
b. Spesifik dan Konkrit
Makna hidup dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan nyata
sehari-hari. Makna hidup tidak selalu harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan
idealistis, prestasi-prestasi akademis yang tinggi, atau hasil-hasil renungan
filosofis yang kreatif.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
c. Memberi Pedoman dan Arah
Makna hidup sifatnya memberikan pedoman dan arah terhadap kegiatankegiatan yang dilakukan sehingga makna hidup seakan-akan menantang dan
mengundang seseorang untuk memenuhinya. Jika makna hidup ditemukan dan
tujuan hidup ditentukan, maka seseorang akan terpanggil untuk melaksanakan dan
memenuhinya. Selain itu juga akan membuat kegiatan-kegiatan yang dilakukan
seseorang menjadi lebih terarah.
Dari uraian diatas dapat disampaikan bahwa kebermaknaan hidup memiliki
karakteristik diantaranya yaitu bahwa kebermaknaan hidup memiliki sifat yang
unik dan personal, spesifik dan konkrit, dan dapat memberikan pedoman dan arah
sehingga segala kegiatan yang dimiliki individu menjadi lebih terarah.
4. Proses Pencapaian Kebermaknaan Hidup
Frankl (2004) mengemukakan pendapat bahwa sikap seseorang dalam
menghadapi berbagai peristiwa traumatis atau tragis adalah sangat berperan dalam
pemenuhan makna hidup. Berbagai macam pengalaman traumatis
atau tragis
dapat digunakan sebagai sumber kekuatan dalam rangka pemenuhan makna hidup
apabila individu dengan lapang hati dapat menerima semua pengalaman tersebut
sebagai bagian dari sejarah kehidupan. Cara individu dalam menyikapi kehidupan
merupakan salah satu sumber dalam menemukan dan mencapai kehidupan
bermakna. Apabila individu menyikapi pengalaman traumatis
tersebut secara
negatif, misalnya dengan menunjukkan sikap marah, kecewa, dan benci maka
makna-makna yang diperoleh oleh individu tersebut hanya berupa kesedihan dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
kedukaan. Sebaliknya apabila individu menyikapi pengalaman traumatis dengan
perasaan menerima, sabar, tabah dan pantang menyerah maka makna yang
diperoleh adalah munculnya rasa keberanian, keteguhan hati dan kebesaran jiwa
dan individu akan mencapai suatu hidup yang bermakna. Hal ini dapat terlihat
jelas melalui bagan berikut:
Pengalaman tragis
(tragic event)
Penghayatan tak bermakna
(meaningless life)
Pemahaman diri
(self-insight)
Pemenuhan makna & tujuan hidup
(finding meaning & purposes of life)
Pengubahan sikap
(changing attitude)
Keikatan diri
(self-commitment)
Kegiatan-kegiatan terarah & pemenuhan makna hidup
(directed activities & fulfilling meaning)
Dukungan Sosial
(social support)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
Hidup bermakna
(meaning life)
Kebahagiaan
(happiness)
Gambar 1. Pencapaian Kebermaknaan Hidup Melalui Pengalaman Tragis
Hal-hal yang menentukan berhasilnya perubahan dari penghayatan hidup tak
bermakna menjadi lebih bermakna yang diutarakan Bastaman (1996) seperti yang
ditunjukkan pada tabel sebelumnya, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pemahaman diri ( self insight ). Meningkatnya kesadaran atas buruknya kondisi
diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan kearah
kondisi yang lebih baik
2. Pemenuhan makna & tujuan hidup (finding meaning & purposes of life) adalah
nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi individu yang
berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan sebagai pengarah
kegiatannya
3. Pengubahan sikap ( attitude change), merupakan suatu proses dari yang semula
tidak tepat menjadi lebih tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup atau
musibah.
4. Keikatan diri (self commitment), yaitu munculnya suatu komitmen individu
yang ditandai dengan semakin terikatnya makna hidup yang ditemukan dan
tujuan hidup yang telah ditetapkan
5. Kegiatan terarah (directed activity), adalah upaya-upaya yang dilakukan secara
sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi-potensi pribadi (bakat,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
kemampuan, keterampilan) yang positif, serta pemanfaatan relasi antar pribadi
untuk menunjang tercapainya makna dan tujuan hidup.
6. Dukungan sosial (social support), adalah hadirnya seseorang atau sejumlah
orang yang akrab, dapat dipercaya dan selalu bersedia memberi bantuan pada
saat-saat diperlukan
Bila tahapan ini pada akhirnya berhasil dilalui, dapat dipastikan akan
menimbulkan perubahan kondisi hidup yang lebih baik dan mengembangkan
penghayatan hidup bermakna dengan kebahagiaan (Bastaman,1996). Dari
gambaran diatas terlihat jelas bahwa penghayatan hidup bermakna merupakan
gerbang ke arah kepuasan dan kebahagiaan hidup. Hanya dengan memenuhi
makna-makna potensial yang ditawarkan oleh kehidupanlah, penghayatan hidup
bermakna tercapai dengan kebahagiaan sebagai ganjarannya.
Dari pendapat ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa proses pencapaian
makna hidup dapat terwujud apabila individu mengalami proses pemahaman diri,
pemenuhan makna dan tujuan hidup, pengubahan sikap, keikatan diri, kegiatan
terarah, dan adanya dukungan sosial dari lingkungan sehingga pada akhirnya
individu dapat merasakan kebahagiaan.
5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebermaknaan Hidup
Frankl (2003) berpendapat bahwa secara hakiki manusia mampu menemukan
kebermaknaan hidup melalui transedensi diri. Salah satunya dengan mengambil
ajaran-ajaran agama yang diterapkan pada sebuah kehidupan. Manusia dapat
menemukan makna melalui realisasi nilai-nilai manusiawi yang meliputi:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
a. Nilai-nilai kreatif
Menurut Frankl nilai-nilai kreatif adalah apa yang diberikan individu pada
kehidupan yang dijalaninya. Nilai-nilai ini diwujudkan dalam segala aktivitas
yang kreatif dan produktif. Biasanya nilai-nilai ini berkenaan dengan suatu
pekerjaan, namun nilai-nilai ini dapat diungkap dalam semua bidang kehidupan.
Makna diberikan kepada kehidupan melalui tindakan yang menciptakan suatu
hasil yang kelihatan atau suatu ide yang tidak kelihatan, atau dengan melayani
orang lain (Bastaman, 1996).
b. Nilai-nilai pengalaman
Nilai-nilai pengalaman menurut Frankl adalah apa yang diterima oleh
individu dari kehidupan. Misalnya menemukan kebenaran, keindahan dan cinta.
Nilai-nilai pengalaman dapat memberikan makna sebanyak nilai-nilai daya cipta.
Ada kemungkinan cara individu untuk dapat memenuhi arti kehidupan yaitu
dengan mengalami berbagai segi kehidupan secara intensif meskipun individu
tersebut tidak melakukan tindakan-tindakan yang produktif (Bastaman, 1996).
c. Nilai-nilai sikap
Nilai-nilai sikap adalah sikap yang diberikan individu terhadap kodrat-kodrat
yang tidak dapat diubah, seperti penyakit, penderitaan atau kematian. Situasisituasi buruk yang dapat memberikan keputusasaan dan tanpa harapan dapat
memberikan kesempatan yang sangat besar bagi individu untuk menemukan
makna hidupnya. Nilai-nilai sikap ini terwujud dalam sikap individu untuk dapat
menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran dan keberanian dalam menghadapi
segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dihilangkan seperti kematian,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
bencana, sakit yang tidak dapat disembuhkan dan menjelang kematian walaupun
segala upaya dan usaha telah dilakukan secara maksimal (Bastaman, 2007).
Penelitian yang dilakukan Crumbaugh dan Maholick menunjukkan bahwa
kebermaknaan hidup berkorelasi dengan tingkat pendidikan, tingkat kecerdasan
dan tingkat sosial ekonomi individu (dalam Koeswara, 1992). Semakin tinggi
tingkat pendidikan, kecerdasan, dan sosial ekonomi seseorang, maka semakin
tinggi pula tingkat kebermaknaan hidup orang tersebut.
Menurut Bastaman (1996) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
kebermaknaan hidup:
a). Kualitas insani yang meliputi semua kemampuan, sifat, sikap, dan
kondisi yang sudah tertanam dan terpadu dalam eksistensi manusia yang tidak
dimiliki makhluk hidup lainnya. Kategori kualitas insani antara lain adalah
inteligensi, kesadaran diri, pengembangan diri, hubungan, hasrat untuk bermakna,
moralitas, kreativitas, kebebasan, dan rasa tanggung jawab.
b). Pertemuan (encounter) menunjukkan hubungan terdalam antara seorang
pribadi dengan pribadi yang lain. Hubungan ini ditandai oleh penghayatan
keakraban dan keterbukaan serta sikap dan kesadaran untuk saling menghargai,
memahami, dan menerima sepenuhnya satu sama lain sehingga masing-masing
pihak dapat merasa aman. Hubungan tersebut didasari oleh cinta kasih dimana
antar pribadi saling memberikan dukungan dan saling membantu dalam
menghadapi kesulitan bersama yang dapat meningkatkan keyakinan diri dan
mengarahkan kehidupan yang lebih baik. Hubungan yang terjalin antara individu
dengan orang lain merupakan suatu sumber nilai-nilai dan makna dari kehidupan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
Individu akan memiliki perasaan berharga dengan memiliki banyak teman yang
dapat diajak untuk berdiskusi dan mengeluarkan isi hati. Melalui pertemuan ini
individu tidak akan merasa terasing ataupun diasingkan, tidak mengalami
kesunyian dan aliansi diri yang semuanya dapat mengakibatkan terjadinya stres
emosional yang berat.
c). Nilai yaitu dalam memberikan makna hidup tidak dapat terlepas dari
realisasi nilai-nilai (Koeswara, 1992). Nilai-nilai itu berubah dan fleksibel agar
dapat menyesuaikan diri dengan berbagai macam situasi dimana individu
menyadari kemampuannya sendiri. Adapun nilai fundamental bagi manusia dalam
memenuhi makna bagi kehidupannya meliputi nilai kreatif, nilai pengalaman dan
nilai sikap.
Mengacu pada uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kebermaknaan hidup pada individu yaitu meliputi kualitas insani
yang dimiliki individu, pertemuan (encounter) yaitu seberapa dalam hubungan
yang terjalin antara individu satu dengan individu lain, dan nilai yang diperlukan
individu dalam memenuhi suatu kebermaknaan hidup.
6. Akibat Kegagalan Pencapaian Kebermaknaan Hidup
Menurut Frankl (2004) proses yang terjadi dalam pencapaian kebermaknaan
hidup memiliki dua kemungkinan. Hal ini dapat ditunjukkan melalui bagan
sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
Terpenuhi
Hidup bermakna
Tidak
terpenuhi
Hidup tidak
bermakna
Bahagia
Hasrat hidup
bermakna
Kehampaan
frustasi
eksistensi
Neurosis noogenik
Gambar 2. Proses Pencapaian Kebermaknaan Hidup
Frankl
(2004)
menandai
adanya
dua
tahapan
pada
sindroma
ketidakbermaknaan hidup. Tahap awal dari sindroma ketidakbermaknaan adalah
frustasi eksistensial (exsistential frustation) atau disebut juga dengan kehampaan
eksistensial (exsistential vacuum) yaitu fenomena umum yang berkaitan dengan
keterhambatan atau kegagalan individu dalam memenuhi keinginan akan makna
(Koeswara,1992). Frustasi eksistensial sejauh tidak disertai simptom-simptom
klinis tertentu, bukanlah suatu penyakit dalam pengertian klinis, melainkan suatu
penderitaan batin yang berkaitan dengan ketidakmampuan individu dalam
menyesuaikan diri dan mengatasi masalah-masalah kehidupan secara efisien
(Frankl, 2004).
Suatu fenomena umum dialami manusia pada masa kini adalah tidak lagi
memiliki kepastian mengenai apa yang harus diperbuatnya dan apa saja yang
sepatutnya diperbuat. Frustasi eksistensial tidak nampak jelas namun pada
umumnya ditandai dengan hilangnya minat, kurang inisiatif, serta perasaan hampa
(Frankl, 2004).
Tahapan kedua adalah neurosis noogenik (noogenic neuroses), yaitu suatu
manifestasi khusus dari frustasi eksistensial yang ditandai dengan simptomatologi
neurotik klinis tertentu yang tampak (Koeswara,1992). Frankl menggunakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
istilah neurosis noogenik untuk membedakan dengan keadaan neurosis
somatogenik, yaitu neurosis yang berakar pada kondisi fisiologis tertentu dan
neurosis psikogenik yaitu neurosis yang bersumber pada konflik-konflik
psikologis.
Jika keadaan dimana hidup seseorang tanpa menemukan makna terjadi secara
terus menerus maka akan berakibat pada munculnya gangguan psikis atau yang
dinamakan sebagai neurosis noogenik (Frankl, 2003). Neurosis noogenik
berkaitan dengan inti spiritual kepribadian dan bukan menurut peran serta agama,
melainkan suatu dimensi eksistensi manusia, khususnya menunjuk pada konflikkonflik moral (Schultz, 1991). Gangguan neurosis noogenik dapat diketahui
dengan menyadari gejala-gejala yang timbul seperti adanya keluhan bosan,
perasaan hampa dan penuh keputusasaan, kehilangan minat terhadap kegiatan
yang sebelumnya dirasa menarik, hilangnya inisiatif, merasa hidup tidak ada
artinya dan menjalani hidup seperti tanpa tujuan. Gangguan neurosis noogenik
dapat mempengaruhi pekerjaan karena orang yang menderitanya akan kehilangan
kegairahan kerja, semangat kerja menjadi hilang, timbul rasa malas yang hebat
dan kepuasan kerja menipis.
Neurosis noogenik dapat termanifestasikan dalam tampilan simptomatik yang
serupa dalam gambaran simptomatik neurosis psikogenik, seperti depresi,
hiperseksualitas, alkoholisme, obsesionalisme, dan tindakan kejahatan. Menurut
Frankl (2004) gejala-gejala yang muncul dari individu yang kehilangan makna
hidup antara lain adanya perasaan hampa, merasa bahwa hidup tidak berarti lagi,
merasa tidak memiliki tujuan hidup yang jelas, muncul rasa bosan, dan apatis.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
Gejala-gejala tersebut merupakan akibat dari tidak terpenuhinya sumber dari
kebermaknaan hidup dalam diri individu. Penghayatan hidup tanpa disertai makna
kemungkinan tidak tampak nyata, tetapi terselubung dibalik berbagai upaya
kompensasi dan kehendak yang berlebihan untuk berkuasa (the will to power),
bersenang-senang untuk mencari kenikmatan (the will to pleasure), termasuk juga
didalamnya mencari kenikmatan seksual (the will to sex pleasure), bekerja (the
will to work) dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya (the will to money).
Crumbaugh dan Maholick menambahkan bahwa kekurangan makna hidup
mengisyaratkan kegagalan individu dalam menemukan pola-pola tujuan dan nilai
yang terintegrasi dalam hidup, sehingga terjadi penimbunan energi yang membuat
individu lemah dan kehilangan semangat untuk berjuang mengatasi berbagai
hambatan, termasuk hambatan dalam mencapai makna (Koeswara, 1992).
Keinginan terhadap makna akan tetap ada dalam diri individu, tetapi dikarenakan
individu tidak memiliki pola yang terorganisasi sebagai titik tolak pencapaian
makna maka keinginan tersebut tidak dapat terwujud. Sehingga tekanan yang
ditimbulkan oleh frustasi eksistensial menjadi semakin kuat. Peningkatan tekanan
tersebut menjadikan individu terus-menerus berada dalam pencarian cara-cara
yang diharapkan sehingga dapat menjadi saluran bagi pengurangan tekanan
tersebut. Cara termudah yang dapat dan seringkali dipilih individu untuk
mengurangi tekanan adalah dengan melarutkan diri dalam arus pengalaman yang
bersifat kompensasi dan menyesatkan, seperti alkohol, obat bius, narkoba,
perjudian, dan melakukan petualangan seksual.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
Berdasarkan beberapa uraian diatas maka dapat disampaikan bahwa yang
terjadi apabila pencapaian kebermaknaan hidup itu gagal diantaranya yaitu
mengalami sindroma ketidakbermaknaan hidup, kehampaan akan eksistensial
yang
mengakibatkan
frustasi,
hiperseksualitas, alkoholisme,
kehilangan
minat
obsesionalisme,
dan
inisiatif,
bahkan sampai
depresi,
melakukan
tindakan kejahatan.
B. Self Esteem
1. Pengertian Self Esteem
Menurut Nathaniel Branden (1969) mendefinisikan self esteem sebagai suatu
pengalaman untuk mampu mengatasi tantangan dasar dalam hidup dan pantas
mendapat kebahagiaan. Self esteem adalah cara individu memandang dirinya,
lingkungannya dan melakukan evaluasi terhadap persepsi yang dibuatnya. Self
esteem yaitu termasuk dalam salah satu aspek kepribadian yang mempunyai peran
penting dan mempunyai pengaruh besar terhadap sikap dan perilaku individu.
Self esteem bukan merupakan factor yang dibawa sejak lahir, melainkan
merupakan factor yang dipelajari dan terbentuk sepanjang pengalaman hidup
(Tjahjaningsih & Nuryoto, 1994). Menurut Pudjijogyanti (1985) bahwa
pembentukan self esteem diawali ketika seseorang anak mampu melakukan
persepsi dalam interaksinya dengan lingkungan. Setiap individu dalam
berinteraksi dengan orang lain ini akan menerima tanggapan. Tanggapan yang
diberikan tersebut akan dijadikan cermin bagi individu untuk menilai dan
memandang dirinya sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
Coopersmith (dalam Burn, 1998) mengemukakan bahwa self esteem adalah
penilaian diri yang dilakukan oleh seorang individu yang biasanya berkaitan
dengan dirinya sendiri, yangmana penilaian tersebut mencerminkan sikap
penerimaan atau penolakan, dan menunjukkan seberapa jauh individu percaya
bahwa dirinya mampu, penting, berhasil serta berharga. Dia juga mengatakan
bahwa self esteem merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan
memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak, dan indikasi besarnya
kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan, dan
keberhargaan (Coopersmith dikutip dalam Burn, 1998). Jadi self esteem
merupakan personal judgement mengenai perasaan berharga atau berarti yang
diekspresikan dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya. Perkembangan self
esteem pada individu akan berpengaruh terhadap proses pemikiran, perasaanperasaan, keinginan, nilai-nilai dan tujuan-tujuannya. Sehingga self esteem
merupakan kunci utama dalam tingkah laku yang membawa ke arah keberhasilan
atau kegagalan.
Stuart dan Sundeen (1998), mengatakan bahwa self esteem adalah penilaian
individu terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku
memenuhi ideal dirinya.
Berdasarkan
uraian
diatas
dapat
disimpulkan
bahwa
self
esteem
menggambarkan sejauhmana individu tersebut menilai dan membuat persepsi
terhadap dirinya dan percaya bahwa dirinya sebagai orang yang memiliki
kemampuan, keberartian, berharga, dan kompeten.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
2. Aspek-Aspek dan Karakteristik dalam Self Esteem
Coopersmith (1967) mengemukakan aspek-aspek self esteem antara lain:
A. Kekuasaan (power)
Kemampuan untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku diri sendiri dan
orang lain. Kemampuan ini ditandai adanya pengakuan, penghargaan dan rasa
hormat yang diterima individu dari orang lain. Pengaruh dan wibawa juga
merupakan hal-hal yang menunjukkan adanya aspek ini pada seorang
individu. Dari pihak individu sendiri yang mempunyai kemampuan ini
biasanya akan menunjukkan sifat-sifat asertif dan explanatory action yang
tinggi.
B. Keberartian (significance)
Keberhasilan individu tampak dari munculnya kepedulian, perhatian,
penilaian, penerimaan, penghargaan, kasih sayang dan afeksi yang diterima
individu dari orang lain. Penerimaan dan perhatian biasanya ditunjukkan
dengan adanya penerimaan dari lingkungan, ketenaran, dan dukungan yang
diberikan keluarga. Semakin banyak ekspresi kasih saying yang diterima
individu, individu akan semakin merasa berarti dan berharga. Tetapi apabila
individu tidak atau bahkan jarang memperoleh stimulus positif dari orang lain,
maka kemungkinan besar individu akan merasa ditolak dan mengisolasikan
diri dari pergaulan.
C. Kebajikan (virtue)
Ketaatan mengikuti standar moral dan etika, ditandai oleh ketaatan untuk
menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan. Ketaatan diri dengan standar
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
moral dan etika diadaptasi individu dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh
orang tua. Permasalahan ini pada dasarnya berkisar pada benar dan salah.
Bahasan tentang kebajikan
juga tidak terlepas dari segala macam
perbincangan mengenai peraturan dan norma yang berlaku di masyarakat,
serta hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketaatan
dalam beragama.
D. Kemampuan (competence)
Sukses memenuhi tuntutan prestasi atau dengan kata lain berhasil dalam
memiliki tuntutan capaian. Dengan adanya kemampuan yang cukup, individu
akan merasa yakin untuk dapat mencapai sesuatu yang dicita-citakan. Individu
yang memiliki kompetensi yang baik, akan merasa setiap orang member
dukungan kepadanya. Sehingga individu akan merasa mampu mengatasi
setiap masalah yang sedang dihadapi serta mampu menghadapi lingkungan.
Branden (dalam Murk, 2006) menggolongkan aspek self esteem diantaranya
yaitu:
A. Sense of Personal Efficacy
Yaitu makna dari keyakinan atau kepercayaan diri individu atas kemampuan
yang dimiliki untuk berpikir, belajar, dan memproses fakta yang ada untuk
menghadapi setiap tantangan dalam kehidupan.
B. Sense of Personal Worth
Yaitu makna dari keberhargaan atau keberhasilan individu dimana individu
akan merasa memiliki self esteem apabila memiliki anggapan bahwa dirinya
berharga, bernilai dan menghormati diri sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
Rosenberg (1965) mengemukakan pendapat bahwa self esteem merupakan
komponen dari self concept yang didefinisikan sebagai rangkaian pemikiran dan
perasaan individu tentang nilai dan manfaat diri baik positif maupun negatif
tentang diri individu. Self esteem memiliki dua aspek yaitu penghormatan diri dan
penerimaan diri (Rosenberg, 1965). Penghormatan diri merupakan cara
bagaimana individu menghargai diri sendiri. Sedangkan penghormatan diri
merupakan kemampuan individu dalam menerima segala sesuatu yang terdapat
dalam diri individu.
Menurut Coopersmith (dalam Burn, 1998) self esteem memiliki beberapa
karakteristik, diantaranya yaitu 1) self esteem sebagai sesuatu yang bersifat umum
2) self esteem bervariasi dalam berbagai pengalaman 3) evaluasi diri. Individu
yang memiliki self esteem tinggi menunjukkan perilaku menerima dirinya apa
adanya, percaya diri, puas dengan karakter dan kemampuan diri. Sedangkan
individu yang memiliki self esteem rendah, akan menunjukkan penghargaan buruk
terhadap dirinya sehingga tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan
sosial (Stuart dan Sundeen, 1998).
Self esteem mulai terbentuk setelah anak lahir, ketika anak berhadapan
dengan dunia luar dan berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya.
Interaksi secara minimal memerlukan pengakuan, penerimaan peran yang saling
tergantung pada orang yang bicara dan orang yang diajak bicara. Interaksi
menimbulkan pengertian tentang kesadaran diri, identitas, dan pemahaman
tentang diri. Hal ini akan membentuk penilaian individu terhadap dirinya sebagai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
orang yang berarti, berharga, dan menerima keadaan diri apa adanya sehingga
individu mempunyai perasaan self esteem (Burn, 1998).
Self esteem
Segala sesuatu yang berhubungan dengan seseorang, selalu mendapat penilaian
berdasarkan kriteria dan standar tertentu, atribut-atribut yang melekat dalam diri
individu akan mendapat masukan dari orang lain dalam proses berinteraksi
dimana proses ini dapat menguji individu, yang memperlihatkan standar dan nilai
diri yang terinternalisasi dari orang lain dan masyarakat.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas maka aspek yang akan digunakan
dalam penelitian ini merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Rosenberg
(1965), yang meliputi penghormatan diri dan penerimaan diri.
3. Fungsi Self Esteem
Perasaan self esteem dapat digolongkan menjadi positif yaitu apabila individu
dapat menghargai diri sendiri dengan cara yang baik, sebaliknya jika perasaan self
esteem negatif yaitu apabila seseorang tidak dapat menghargai dirinya sendiri
secara baik dan perasaan self esteem ini dapat berkembang ke arah self esteem
rendah (Walgito, 2004).
Frankl (dalam Wiebe, 2001) mengutarakan keyakinan bahwa meaningfulness
(kebermaknaan) dalam hidup, berhubungan dengan self esteem yang tinggi dan
perilaku yang menunjukkan murah hati terhadap orang lain, sedangkan
meaningless
(ketidakbermaknaan)
dalam
hidup
berasosiasi
dengan
ketidakpedulian atau melepaskan diri (diengagement). Dalam proses mencapai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33
tujuan hidup yang diciptakan dalam diri seseorang, akan muncul perasaan
signifikan pada diri mereka sendiri dan rasa bangga terhadap kehidupan mereka.
Sehingga dengan dimilikinya self esteem yang tinggi maka individu dapat lebih
optimis dalam menjalani hidup,
memandang dan mengatasi persoalan yang
muncul dengan lebih baik agar dapat mencapai hidup yang bermakna.
Fungsi self esteem bagi karyawan adalah sebagai panduan agar individu dapat
bekerja secara efektif dan efisien sehingga kondisi yang diterima menjadi sebuah
keuntungan bagi perusahaan dimana target perusahaan dapat tercapai. Dengan
dimilikinya self esteem yang kuat dan ditambah dengan adanya upaya penguatan
diri (self affirmation) yang kuat pula maka individu akan menjadi sosok karyawan
handal dan tangguh sehingga semua tugas dalam pekerjaan dapat terselesaikan
tepat waktu (Jubilee, 2010).
Program penguatan diri yang penting tersebut berasal dari diri sendiri, peranperan lingkungan, keluarga maupun dari kantor tempat individu bekerja. Hal ini
disadari oleh perusahan bahwa penguatan diri yang dimiliki seorang karyawan
yang memiliki self esteem yang kuat juga membutuhkan bantuan dari tempat
mereka bekerja sehingga penguatan diri dapat diciptakan perusahaan untuk
menata kembali asset mereka demi mencapai target yang diinginkan perusahaan
(Jubilee, 2010). Dengan adanya self esteem yang kuat dan self affirmation yang
kuat mendorong bagi karyawan untuk dapat mencapai kebermaknaan hidup.
Self esteem merupakan suatu komponen yang bersifat emosional dan berperan
paling penting dalam menentukan sikap dan kepribadian individu. Self esteem
adalah kunci dari tercapainya keberhasilan hidup. Semakin diri individu menyukai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34
diri, menerima dan hormat pada diri sendiri maka dalam diri individu akan
muncul perasaan berharga dan bermakna. Dengan demikian individu yang
memiliki self esteem yang tinggi akan semakin bersikap positif dan meraih
kebahagiaan (Gunawan Adi, 2003). Ciri-ciri individu yang memiliki self esteem
yang tinggi diantaranya yaitu individu memiliki kekuatan pribadi yang luar biasa
besar dan akan mampu serta berhasil melakukan apa saja di dalam hidupnya.
Simpulan dari beberapa pendapat diatas yaitu bahwa self esteem memiliki
fungsi yang penting dalam pencapaian kebermaknaan hidup yaitu dimana individu
memiliki self esteem tinggi maka pencapaian kebermaknaan hidup dapat
terpenuhi, sebaliknya jika individu memiliki self esteem rendah maka individu
cenderung tidak peduli bahkan melepaskan diri dari persoalan hidup sehingga
kebermaknaan hidup tidak dapat terpenuhi.
C. Korban Pelecehan Seksual
1. Pengertian Pelecehan Seksual
Menurut Collier (1995) pelecehan seksual secara etiologi dapat diartikan
sebagai segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan
secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran, dan
penolakan atau penerimaan korban atas perilaku tersebut dijadikan sebagai bahan
pertimbangan baik secara implisit maupun eksplisit.
Pelecehan seksual sebenarnya adalah suatu istilah yang diciptakan sebagai
padanan apa yang didalam bahasa Inggris disebut dengan sexual harassment.
Menurut Collier (1995) di dalam Kamus Bahasa Indonesia, pelecehan berasal dari
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35
Leceh
Harassing
dengan perilaku atau pola perilaku (normatif atau tidak normatif) yang berkaitan
Harass
perilaku seksual yang dinilai negatif dan menyalahi standar. Dalam setiap perilaku
pelecehan seksual selalu terkandung makna yang dinilai negatif yaitu bahwasanya
seks itu boleh dimaknakan sebagai sarana pemuas nafsu dan lawan seks itu boleh
dimaknakan sebagai obyek instrumental guna pemuas nafsu seksual itu.
Pelecehan seksual secara umum menurut Guntoro Utamadi & Paramitha
Utamadi (2001) adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau
mengarah kepada hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak
diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran, sehingga menimbulkan reaksi
negatif seperti malu, marah, benci, tersinggung, yang dirasakan pada diri individu
yang menjadi korban pelecehan tersebut. Sedangkan secara operasional,
pelecehan seksual didefinisikan berdasarkan hukum sebagai bentuk dari
diskriminasi seksual (Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadi, 2001).
Menurut Collier (1995) pengertian pelecehan seksual disini merupakan segala
bentuk perilaku bersifat seksual yang tidak diinginkan oleh sasaran atau yang
mendapat perlakuan tersebut, yaitu pelecehan seksual yang dapat terjadi atau
dialami oleh semua perempuan. Sedangkan menurut Rubenstein (dalam Collier,
1995) pelecehan seksual dikatakan sebagai sifat perilaku seksual yang tidak
diinginkan atau tindakan yang didasarkan pada seks yang menyinggung penerima.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36
Pelecehan seksual adalah segala bentuk perilaku yang melecehkan atau
merendahkan yang berhubungan dengan dorongan seksual, yang merugikan atau
membuat perasaan tidak senang bagi orang yang dikenai perlakuan tersebut. Atau
bisa juga diartikan yaitu setiap perbuatan yang memaksa seseorang terlibat dalam
suatu hubungan seksual atau menempatkan seseorang sebagai objek perhatian
seksual yang tidak diinginkannya. Pada dasarnya perbuatan itu dipahami sebagai
upaya merendahkan dan menghina pihak yang dilecehkan sebagai manusia
(Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadhi, 2001). Menurut Collier (1998),
mengungkapkan pengertian pelecehan seksual terhadap perempuan terbagi dalam
dua bagian, yaitu adanya hubungan seksual, dan tidak adanya hubungan seksual.
Maksud dari adanya hubungan seksual yaitu merupakan suatu bentuk tindakan
yang dilakukan terhadap pihak lain, baik yang dilakukan perorangan atau lebih
dari satu orang. Sebaliknya, maksud dari tidak adanya hubungan seksual yaitu
tindakan yang tidak mengakibatkan luka atau penderitaan pada fisik korban, yang
dilakukan pelaku dengan tidak menggunakan kekerasan fisik dan suara (misalnya
seperti siulan, desakan tertentu, ucapan yang tidak senonoh), pandangan mata
yang tidak sopan secara demonstratif, sentuhan-sentuhan fisik (tidak dengan
kekerasan) pada bagian-bagian tubuh tertentu milik korban yang lebih banyak
merupakan akibat mental-mental fisik dan bukan pada akibat fisik.
Pelecehan seksual diantaranya berupa komentar verbal, gerakan tubuh atau
kontak fisik yang bersifat seksual yang dilakukan seseorang dengan sengaja, dan
tidak dikehendaki atau tidak diharapkan oleh target. Menurut Woodrum (dalam
Collier, 1995) pelecehan seksual tersebut dapat terjadi atau dialami oleh
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37
perempuan. Sedangkan menurut Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadhi (2001),
pelecehan seksual dapat diartikan sebagai jenis tindakan seksual yang tidak
diundang dan tidak dikehendaki oleh korbannya dan menimbulkan perasaan tidak
suka. Bentuk tindakan seksual itu dapat berupa menyiuli perempuan,
menceritakan lelucon kotor pada seseorang yang merendahkan derajatnya hingga
tindakan tidak senonoh dan tindakan pemerkosaan pada orang lain. Pelecehan
seksual merupakan perbuatan yang biasanya dilakukan pria dan ditujukan kepada
wanita dalam bidang seksual yang tidak disukai oleh wanita. Sebab wanita merasa
terhina, tetapi jika perbuatan itu ditolak ada kemungkinan wanita akan menerima
akibat buruknya.
Pelecehan seksual umumnya diakui sebagai yang mencakup semua bentuk
perilaku yang tidak diinginkan yang bersifat seksual, baik verbal atau fisik, The
Malaysian Code of Practice secara khusus mendefinisikan pelecehan seksual
sebagai segala perbuatan yang tidak diinginkan yang bersifat seksual yang
mungkin dirasakan oleh seorang individu (a) sebagai kondisi terhadap lapangan
kerja seseorang, (b) sebagai suatu pelanggaran atau penghinaan, atau (c) sebagai
ancaman terhadap seseorang kesejahteraan (dalam Nazari dkk, 2007). Bentukbentuk pelecehan seksual bersama-sama dengan contoh-contoh, telah secara
komprehensif ditentukan dalam Kode Etik sebagai berikut:
1. Verbal (misalnya menyinggung atau sugestif komentar)
2. Non-verbal atau sikap tubuh (misalnya menyeringai atau mengerling dengan
nada sugestif)
3. Visual (bahan pertunjukan misalnya pornografi)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38
4. Psikologis (misalnya undangan sosial yang tidak diinginkan)
5. Fisik pelecehan (misalnya meraba)
Hasil penelitian The Industrial Survey (Collier, 1998) menyatakan bahwa
lebih dari separuh pekerja perempuan mengalami pelecehan seksual. Di beberapa
bagian London, 80% wanita mengatakan bahwa mereka mengalami pelecehan,
dan 40% telah menjadi sasaran rabaan yang disengaja pada bagian-bagian tubuh
tertentu.
Dari beberapa definisi pelecehan seksual diatas dapat disimpulkan bahwa
pengertian pelecehan seksual itu sendiri merupakan perilaku atau tindakan yang
mengganggu, menjengkelkan, dan tidak diharapkan yang dilakukan seseorang
atau sekelompok orang terhadap pihak lain yang berkaitan langsung dengan jenis
kelamin pihak yang diganggunya yaitu perempuan dan dipandang menurunkan
martabat dan harkat diri orang yang diganggunya. Pelecehan seksual itu sendiri
bertindak sebagai tindakan yang bersifat seksual atau kecenderungan melakukan
tindakan seksual yang terintimidasi secara non fisik (melalui kata-kata, bahasa,
gambar) ataupun fisik (gerakan kasat mata dengan memegang, menyentuh,
meraba atau mencium) yang dilakukan seorang laki-laki terhadap perempuan.
2. Bentuk-Bentuk Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual mencakup perilaku menatap, berbicara mengenai segala
sesuatu yang menjurus pada seksualitas, menyentuh tubuh perempuan, mencoba
memaksa perempuan untuk melakukan tindakan seksual yang tidak diinginkan,
mengajak kencan berulang kali hingga sampai dengan terjadinya pemerkosaan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
Selain itu secara lebih jelas, bentuk-bentuk yang dianggap sebagai pelecehan
seksual (Collier, 1995) antara lain: a) Menggoda atau menarik perhatian lawan
jenis dengan siulan, b) Menceritakan lelucon jorok atau kotor kepada seseorang
yang merasakannya sebagai merendahkan martabat, c) Mempertunjukan gambargambar porno berupa kalender, majalah, atau buku bergambar porno kepada orang
yang tidak menyukainya, d) Memberikan komentar yang tidak senonoh kepada
penampilan, pakaian, atau gaya seseorang, e) Menyentuh, menyubit, menepuk
tanpa dikehendaki, mencium dan memeluk seseorang yang tidak menyukai
pelukan tersebut, f) Perbuatan memamerkan tubuh atau alat kelamin kepada orang
yang terhina karenanya.
Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadi (2001) membagi kategori pelecehan
seksual yang digunakan dalam dasar pengukuran pada Sexual Experience
Questionnaire (SEQ) dalam bentuk yang lebih tersistematis, yaitu a) Gender
Harassment yaitu pernyataan atau tingkah laku yang bersifat merendahkan
berdasarkan jenis kelamin, b) Seductive Behaviour yaitu permintaan seksual tanpa
ancaman, rayuan yang bersifat tidak senonoh atau merendahkan, c) Bribery yaitu
penyuapan untuk melakukan hal yang berbau seksual dengan memberikan janji
akan suatu ganjaran, d) Sexual Coercion yaitu tekanan yang disertai dengan
ancaman untuk melakukan hal-hal yang bersifat seksual, e) Sexual Assault yaitu
serangan atau paksaan yang bersifat seksual, gangguan seksual yang terangterangan atau kasar.
Sedangkan Kelly (1998) membaginya dalam bentuk pelecehan seksual yang
dapat dilihat sebagai berikut : a) Bentuk Visual : tatapan yang penuh nafsu,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
tatapan yang mengancam, gerak-gerik yang bersifat seksual, b) Bentuk Verbal :
siulan-siulan, gosip, gurauan seksual, pernyataan-pernyataan yang bersifat
mengancam baik secara langsung maupun tersirat, c) Bentuk Fisik : menyentuh,
mencubit, menepuk-nepuk, menyenggol dengan sengaja, meremas, mendekatkan
diri tanpa diinginkan oleh sasaran.
Menurut Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadi (2001) ciri-ciri utama yang
membedakan pelecehan seksual adalah sebagai berikut: 1) Tidak dikehendaki oleh
individu yang menjadi sasaran, 2) Seringkali dilakukan dengan disertai janji,
menawarkan sesuatu ataupun ancaman, 3) Tanggapan menolak atau menerima
terhadap tindakan sepihak tersebut dijadikan pertimbangan dalam penentuan karir
atau pekerjaan, 4) Dampak dari tindakan sepihak tersebut menimbulkan berbagai
gejolak psikologis, diantarannya : malu, marah, benci, dendam, hilangnya rasa
aman dan nyaman dalam bekerja.
Alasan dan kondisi yang menyebabkan terjadinya tindakan pelecehan seksual
dibagi menjadi tiga, diantaranya dilihat dari sisi sosial, organisasi dan sisi
individu. Pada sisi sosial menjelaskan tentang bagaimana kadudukan wanita
terhadap pria di dalam lingkungan kerja dan masyarakat dan juga status individu.
Didalam organisasi, terdapat jabatan dan status yang merepresentasikan kekuatan
sehingga menjadi alasan terjadinya pelecehan seksual. Selain itu juga
perbandingan jumlah pria dan wanita dalam suatu lingkungan kerja dapat
menyebabkan terjadinya pelecehan seksual. Dari sisi individu, baik korban
maupun subjek, penjelasan tentang pelecehan seksual bergantung kepada sifat dari
individu masing-masing (Sandy Welsh, 1999).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat diketahui bahwa bentuk-bentuk
pelecehan seksual antara lain menatap, berbicara mengenai segala sesuatu yang
menjurus pada seksualitas, mencoba memaksa perempuan untuk melakukan
tindakan seksual yang tidak diinginkan, menggoda atau menarik perhatian lawan
jenis dengan siulan, menceritakan lelucon jorok atau kotor, mempertunjukan
gambar-gambar porno, menyentuh, mencubit, menepuk bagian tubuh tertentu
tanpa dikehendaki, mencium dan memeluk, memamerkan tubuh atau alat kelamin
kepada orang yang terhina karenanya.
3. Respon Terhadap Pelecehan Seksual
Seperti yang dikemukakan oleh Collier (1992), yang biasanya dilakukan
sebagai respon terhadap pelecehan seksual meliputi :
a. Strategi yang Terfokus Secara Internal
1) Menjaga jarak (detachment) yaitu seseorang yang menggunakan strategi
memisah atau menjaga jarak, termasuk dengan meminimalisasi situasi,
menganggapnya sebagai lelucon, menceritakan kepada diri sendiri sebagai hal
yang tidak penting, dan sebagainya. 2) Menyangkal (denial) yaitu seseorang
menyangkal pelecehan yang terjadi, menganggapnya tidak ada atau tidak
menghiraukannya, dan menganggap tidak mau melanjutkannya dan berusaha
melupakannya. 3) Pemberian nama ulang (relabeling) yaitu seseorang menilai
ulang situasi sebagai hal yang kurang mengancam, memaafkan peleceh atau
menginterprestasikan tingkah laku tersebut sebagai usaha untuk menggoda.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42
Ilusi pengendalian (illusory control), yaitu seseorang berusaha untuk mengontrol
dengan mengambil tanggung jawab terhadap kejadian dengan memberikan
atribusi pelecehan kepada tingkah lakunya sendiri. 5) Menyerah, yaitu secara
esensial, seseorang tidak melakukan apa-apa, dia menyerah terhadap tingkah laku
tersebut baik disertai dengan rasa takut (terhadap rasa sakit, menyakiti peleceh,
tidak percaya, merasa bersalah, atau malu) atau karena dia percaya bahwa tidak
ada sumber yang tersedia untuk dimintai pertolongan.
b. Strategi yang Terfokus secara Eksternal
1) Menjauh (avoidance), yaitu seseorang berusaha untuk menghindari situasi
dengan menjauh dari pelaku pelecehan (misalnya keluar kelas, ganti guru,
berhenti
bekerja).
2)
Melakukan
asertivitas
atau
konfrontasi
(assertion/confrontation), yaitu seseorang menolak ancaman seksual atau sosial
tersebut. Secara verbal melakukan konfrontasi terhadap peleceh atau membuat
tingkah laku tersebut tidak diterima. 3) Mencari institusi atau organisasi yang
dapat menangani (seeking institutional or organizational relief), yaitu seseorang
melaporkan kejadian, mengkonsultasikannya dengan bantuan orang lain untuk
dapat membuat perlawanan. 4) Mendapatkan dukungan sosial (social support),
yaitu seseorang mencari dukungan dari orang-orang yang signifikan, mencari
validasi dari persepsinya, atau mencari pengetahuan dari kenyataan yang terjadi.
5) Mendapatkan kesepakatan (appeasement), yaitu seseorang berusaha untuk
mendapat kesepakatan tanpa konfrontasi atau asertivitas. Yaitu dengan
memaafkan pelaku atau berusaha tidak marah terhadap pelaku pelecehan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43
Reaksi atau respon dari wanita yang menjadi korban tindak pelecehan seksual
menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sandy Welsh (1999) yaitu
penghindaran (avoidance), kebingungan, diffusion, negosiasi, dan konfrontasi.
Sebagian besar para wanita yang menjadi korban tidak melaporkan pengalaman
buruk berupa tindak pelecehan seksual yang mereka alami. Mereka lebih memilih
untuk mengabaikannya, menanggapinya dengan gurauan, serta menghindari
pelaku tindak pelecehan tersebut. Alasan mengapa mereka tidak melaporkannya
cukup bervariasi, antara lain rasa takut terhadap pembalasan dendam dari pelaku
jika mereka melaporkan perihal pelecehan tersebut, rasa takut tidak ada yang
percaya, rasa takut kehilangan pekerjaan, serta rasa takut membuat situasi menjadi
lebih buruk lagi. Namun ada juga wanita yang menjadi korban menanggapi tindak
pelecehan yang mereka alami dengan memberikan respon yang lebih asertif. Hal
ini dapat terjadi jika tindak pelecehan yang terjadi cukup parah, jika pelaku
pelecehan bukan atasan mereka, jika kebijakan dan prosedur yang ada memang
memerangi tindak pelecehan seksual, serta jika prosentase jumlah wanita dalam
suatu tempat kerja seimbang dengan jumlah pekerja pria atau merupakan
minoritas yang dapat menjadi ancaman.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa respon yang biasa
dilakukan oleh para korban pelecehan seksual terbagi menjadi 2 yaitu strategi
yang terfokus secara internal dan eksternal yang keduanya mempengaruhi
bagaimana korban tersebut menilai peristiwa traumatis yang dialaminya tersebut.
Sedangkan respon yang dilakukan para korban terhadap tindak pelecehan seksual
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44
yaitu
dengan
mengabaikannya,
menanggapinya
dengan
gurauan,
serta
menghindari pelaku tindak pelecehan.
4. Dampak Psikologis Pelecehan Seksual
Menurut Collier (1992), dampak-dampak psikologis pelecehan seksual
tergantung pada :
a. Frekuensi terjadinya pelecehan, yaitu semakin sering terjadi, semakin dalam
pula luka yang ditimbulkan.
b. Parah tidaknya, yaitu semakin parah tindak pelecehan seksual dan semakin
tindakan tersebut menghina martabat dan integritas seseorang, semakin dalam
pula luka yang ditimbulkan, apalagi jika menyangkut keluarga korban.
c. Apakah secara fisik juga mengancam atau hanya verbal, artinya semakin
tindakan pelecehan ini dirasakan mengancam korban secara fisik, lebih dalam
dampak dan luka yang ditimbulkan. Bila pelecehan seksual dilakukan dengan
ancaman pemecatan dan korban tidak yakin mampu menemukan pekerjaan
lain, maka dampak psikologis akan lebih besar.
d. Terganggu atau tidaknya kinerja pekerja, jika dirasa mengganggu maka akan
disertai dengan rasa frustasi. Ini tentunya juga tergantung pada seberapa parah
dan jauh pelecehan itu mengganggu kinerja korban. Semakin parah gangguan
yang dialaminya, semakin tinggi taraf frustasi dan semakin parah kerusakan
psikologisnya.
Dalam setiap daerah, korban pelecehan seksual yang melaporkan perlakuan
yang diterimanya menimbulkan banyak konsekuensi. Efek psikologis yang dapat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45
timbul yaitu penurunan kepercayaan diri, penurunan self esteem, stress yang
meningkat, depresi, frustasi, gelisah dan mudah marah (Nilar Kyu & Atsuko
Kanai, 2003). Secara umum, menurut Kelly (1998) dampak utama psikologis
pelecehan seksual yang paling sering tampil adalah:
a. Jengkel, marah, stress hingga breakdown
b. Ketakutan, frustasi, rasa tidak berdaya dan menarik diri
c. Kehilangan rasa percaya diri
d. Merasa berdosa atau merasa dirinya sebagai penyebab
e. Kebencian pribadi hingga generalisasi kebencian pada pelaku atau mereka
dari jenis kelamin yang sama dengan pelaku.
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian diatas bahwa dampak psikologis
yang terjadi pasca pelecehan seksual adalah munculnya rasa jengkel, takut,
frustasi, percaya diri hilang, perasaan berdosa, bahkan memunculkan kebencian
pada pelaku atau kelompoknya.
5. Pelecehan seksual di Tempat Kerja
Pelecehan seksual di tempat kerja (sexual harassment in the work place)
adalah masalah yang terjadi di Indonesia maupun negara-negara lain di dunia.
Pelecehan seksual di tempat kerja tidak hanya dialami oleh pekerja wanita tetapi
juga oleh pekerja pria, tetapi yang paling banyak terjadi adalah pelecehan seksual
pada wanita. Hal ini bisa dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Merit Systems
Protection Board 1981 (dalam Harsono, 2003) yang melakukan survei terhadap
20.000 pekerja pemerintah federal di Amerika Serikat, 42% responden wanita dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46
15% responden pria menyatakan telah mengalami pelecehan seksual dalam 2
tahun terakhir. Selain itu, hasil penelitian Marks (Collier, 1998) juga
menunjukkan bahwa 47% perempuan dan 14% pria mengalami pelecehan seksual.
Wanita memang lebih banyak mengalami pelecehan seksual dibanding pria.
Para peneliti dan psikolog menjelaskan sebab utama terjadinya pelecehan seksual
pada wanita di tempat kerja yakni dari perspektif kekuasaan dan psikologis.
Dalam perspektif kekuasan, kehadiran wanita di dunia kerja merupakan pesaing
yang harus diperhitungkan, sementara sebelumnya wanita sepenuhnya bergantung
kepada laki-laki. Persepsi lama bahwa laki-laki harus lebih baik dari pada wanita
merupakan salah satu alasan mengapa laki-laki berperilaku negatif terhadap
wanita di tempat kerja. Pelecehan seksual didefinisikan oleh Fitzgerald, Swan, et
al. (1997 , p.15) sebagai berikut:
. . . unwanted sex-related behavior at work that is appraised by the recipient as
offensive, exceeding her resources, or threatening her well-
Mengenai status pekerjaan wanita dapat disimpulkan bahwa karyawan wanita
yang memegang posisi rendah dengan kekuasaan dan kewenangan yang lebih
kecil akan lebih besar kemungkinan mengalami pelecehan seksual. Hal ini
disebabkan karena setiap perlawanan pada bagian mereka yaitu yang memiliki
kekuasaan dan kewenangan yang kecil dalam suatu perusahaan dapat menjadi
ancaman bagi mereka karena dianggap tidak kooperatif oleh atasan.
Dalam perspektif psikologis, simbol-simbol kewanitaan seperti bentuk tubuh,
gaya bicara, dan sifat-sifat alamiah wanita adalah sesuatu yang menarik bagi pria,
karena pada dasarnya memang wanita diciptakan indah. Dengan semakin
pudarnya nilai-nilai baik itu nilai agama dan norma sosial masyarakat, hal-hal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47
tersebut semakin tampak tidak hanya di tempat kerja tetapi juga di lingkungan
masyarakat sekitar. Sehingga secara alamiah hal tersebut menarik perhatian kaum
pria dan menimbulkan perilaku pelecehan seksual. Dengan semakin banyaknya
wanita yang bekerja baik di lingkungan perkantoran maupun industri
menimbulkan peluang terjadinya pelecehan seksual di tempat kerja semakin besar.
Konsekuensi dari tindak pelecehan seksual yang dialami oleh korban terhadap
pekerjaan yaitu menurunnya kepercayaan diri, sering bolos atau absen dari
pekerjaan, penurunan kepuasan kerja, penurunan pandangan tentang persamaan
kesempatan dalam dunia kerja, hubungan interpersonal pekerjaan yang rusak,
bahkan hingga berhenti dari pekerjaan (Sandy Welsh, 1999). Dalam hal kesehatan
fisik maupun psikologis, konsekuensi yang dialami korban antara lain meliputi
perasaan was-was, depresi, gangguan tidur, stress dan sakit kepala. Konsekuensi
dari tindak pelecehan seksual juga berdampak negatif bagi organisasi tempat
bekerja seperti penurunan produktivitas.
Penelitian yang dilakukan oleh Fitzgerald dkk (1988) membagi pelecehan
seksual menjadi tiga kategori yang berbeda menggunakan Sexual Experiences
Questionnaire (SEQ) yaitu:
a. Gender Harassment (Pelecehan Kelamin)
Yaitu segala bentuk perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja
secara umum. Hal ini ditunjukkan dengan upaya menampilkan atau
menunjukkan gambar dimana wanita sebagai objek fantasi seksual,
menceritakan lelucon yang menjurus pada seks, dan mengeluarkan komentar
atau ekspresi yang bertujuan menghina perempuan. Yang termasuk dalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48
gender harassment ini antara lain mengedipkan mata atau bersiul dengan
tujuan menggoda yangmana perilaku tersebut membuat rasa tidak nyaman,
malu dan intimidasi bagi sasaran atau korban.
b. Unwanted Sexual Attention (Perhatian yang bersifat seksual yang tidak
diinginkan)
Yang termasuk dalam kategori ini yaitu dengan sengaja melakukan kontak
fisik seperti menyentuh, menepuk, mencubit, bergesekan badan, berdiri terlalu
dekat atau memojokkan sasaran atau korban. Adanya komentar yang berbau
seks mengenai tubuh, penampilan atau kehidupan korban juga termasuk dalam
kategori ini.
c. Sexual Coercion (Pemaksaan Seksual)
Perilaku ini merujuk pada permintaan atau tuntutan untuk berhubungan seks
yangmana jika permintaan tersebut tidak dilaksanakan maka korban akan
dipecat atau karirnya akan bermasalah.
Dari definisi umum tersebut maka pelecehan seksual di tempat kerja dapat
diartikan sebagai segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang
dilakukan secara sepihak dan tidak diinginkan oleh orang yang menjadi sasaran,
dan penolakan atau penerimaan korban atas perilaku tersebut dijadikan sebagai
bahan pertimbangan baik secara implisit maupun eksplisit dalam rangka membuat
keputusan menyangkut karir atau pekerjaannya, mengganggu ketenangan bekerja,
mengintimidasi diri, menciptakan lingkungan kerja yang tidak aman dan tidak
nyaman bagi si korban yang dinilai sebagai tindakan ofensif yang mengancam
kesejahteraannya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49
D. Hubungan Antara Self Esteem dengan Kebermaknaan Hidup Korban
Pelecehan Seksual
Setiap individu pada dasarnya pasti memiliki berbagai macam pengalaman
baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Pengalaman
merupakan suatu bentuk emosi, perasaan, tindakan, dan kejadian yang pernah
dialami individu yang dirasakan bermakna dan meninggalkan kesan dalam hidup
individu (Yusuf, 2004).
Bastaman (1996) mengemukakan pendapat bahwa proses pencapaian
kebermaknaan hidup pada umumnya diawali dengan penderitaan (suffering).
Penderitaan yang dirasakan individu itu berasal dari peristiwa-peristiwa atau
pengalaman-pengalaman traumatis yang terjadi yang seringkali tidak dapat
dihindari dalam kehidupannya yang dapat menimpa diri, keluarga, dan lingkungan
yang dimilikinya. Semua peristiwa atau pengalaman traumatis dapat dipastikan
akan menimbulkan rasa stres dan perasaan kecewa, tertekan, susah, sedih, cemas,
marah, malu, terhina, rendah diri, putus asa, hampa dan tidak bermakna (Cynthia,
Trida. 2007). Frankl (2004) mengemukakan pendapat bahwa sikap seseorang
dalam menghadapi berbagai peristiwa atau pengalaman traumatis adalah sangat
berperan dalam pemenuhan makna hidup, begitu pula dengan pengalaman
pelecehan seksual di tempat kerja. Terdapat beberapa individu yang berhasil
dengan gemilang mengatasi kesulitan dan perasaan tidak menyenangkan akibat
penderitaannya. Mereka mampu mengubah kondisi penghayatan dirinya dari
penghayatan tidak bermakna (meaningless) menjadi bermakna (meaningful).
Bahkan tidak sedikit diantara individu tersebut yang berhasil mencapai prestasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50
tinggi, bahkan mampu menemukan hikmah dari penderitaannya (meaning in
suffering).
Berikutnya, Seifert (dalam Amelia, 2011) menambahkan bahwa individu
yang memiliki tujuan dalam hidup (purposive in life) adalah individu yang
mampu mengarahkan diri sendiri, merasa bahwa masa lalu dan sekarang memiliki
arti tertentu dan hikmah yang bisa dipetik karena memegang keyakinan yang kuat
berdasarkan kepercayaan yang dimilikinya serta berorientasi pada target dalam
kehidupannya. Kondisi dimana kebermaknaan hidup seseorang dikatakan kurang,
tujuan hidup yang dimiliki tidak terarah dan tidak mampu melihat hikmah disetiap
kejadian serta pengalaman masa lalu mengakibatkan tujuan dalam hidup
(purposive in life) menjadi rendah. Selanjutnya makna hidup mengandung arti
sebagai pemberian kualitas kehidupan pada diri pribadi dalam rangka pemenuhan
diri (Schultz, 1991). Hal ini menunjukkan bahwa kebermaknaan hidup akan
melahirkan nilai-nilai dalam diri individu, sehingga muncul perasaan bahwa
dirinya berharga yang selanjutnya akan menampilkan aktivitas yang seiring
dengan tujuan hidupnya.
Secara positif adanya perasaan bahwa diri individu berharga setelah
mengalami peristiwa traumatis berupa pelecehan seksual di tempat kerja, terkait
erat dengan fungsi adaptif pada beberapa lingkup kehidupan individu, meliputi
kemampuan mengontrol kemarahan, memiliki hubungan yang baik dan
memuaskan, memiliki empati dengan sikap kepedulian terhadap orang
disekitarnya dan kemampuan untuk berkreasi serta produktif di tempat kerja
(Hoyle, dalam Compton, 2005). Tingginya self esteem individu memberi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51
keuntungan akan makna hidup dan nilai hidup yang dijalaninya serta sangat
membantu individu dalam bernegosiasi dengan individu lain (Ryan, dalam
Compton, 2005) sehingga mampu mengarahkan individu korban pelecehan
seksual di tempat kerja dalam mencapai kebermaknaan hidup.
Self esteem dapat juga diperoleh melalui proses pengalaman yang terus
menerus terjadi dalam diri seseorang (Branden, 1969), dan harga diri individu
terbentuk berdasarkan pada pandangan orang lain terhadap dirinya dan bagaimana
individu itu sendiri mempersepsikan pengalaman hidupnya (Baron & Byrne,
2005). Hubungan individu dengan pengalaman hidupnya dapat dikaitkan dengan
bagaimana makna hidup individu tersebut (Frankl dalam Bastaman 1996).
Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa self esteem mempunyai
peranan dalam tercapainya kebermaknaan hidup pada wanita korban pelecehan
seksual di tempat kerja. Wanita yang memiliki self esteem tinggi mampu
menemukan jalan keluar terbaik dalam menghadapi masalah dalam kehidupannya,
karena memiliki sifat realistik, memiliki intuisi yang tinggi, kreatif, mandiri,
fleksibel dan memiliki kemampuan untuk menghadapi perubahan (Branden,
1969). Wanita yang memiliki self esteem tinggi akan mampu bersikap tegas dan
mengungkapkan perasaan secara langsung dan memandang dirinya sendiri secara
positif sehingga tercapai kehidupan yang bermakna (Goleman, 1998). Sedangkan
orang dengan self esteem rendah akan muncul perasaan ragu akan nilai dirinya
dalam suatu hubungan kerja sama dengan orang lain serta membawa keraguraguan ini sampai pada hubungan mereka yang akan datang (Anthony dkk, 2007).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52
Dengan kata lain seseorang dengan self esteem rendah tidak dapat mengarahkan
pada tercapainya kehidupan yang bermakna.
E. Kerangka Pemikiran
Hubungan antara self esteem dengan kebermaknaan hidup pada wanita korban
pelecehan seksual di tempat kerja dapat digambarkan dengan kerangka pikiran
sebagai berikut:
Wanita Korban Pelecehan
Seksual ditempat Kerja
Self Esteem
Kebermaknaan
Hidup
Gambar 3. Bagan Kerangka Pemikiran Hubungan antara Self Esteem dengan Kebermaknaan
Hidup pada Wanita Korban Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
F. Hipotesis
Berdasarkan kerangka teoritis diatas maka hipotesis yang dapat diajukan
adalah: ada hubungan positif antara self esteem dengan kebermaknaan hidup pada
wanita korban pelecehan seksual di tempat kerja.
Download