BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Warisan dapat diartikan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu kejadian penting dalam suatu masyarakat tertentu, ketika seorang anggota dari masyarakat itu meninggal dunia1. Manusia dikenal sebagai makluk sosial, dimana dalam kebutuhannya, manusia tetap bergantung pada orang lain bahkan sampai sampai pada saat dia meninggal. Terkadang seseorang jauh sebelum kematiannya, sering mempunyai maksud tertentu terhadap harta kekayaannya yang ditinggalkan, sehingga diperlukan suatu peraturan hukum yang mengatur, yaitu apa yang disebut hukum waris. Hukum waris menurut A. Pitlo : “Hukum Waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan dimana, berhubungan dengan meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya didalam bidang kebendaan, diatur yaitu akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seseorang yang meninggal, kepada ahli warisnya, baik didalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga"2 Hukum waris yang ada dan berlaku di indonesia sendiri sampai saat ini masih terdapat pluralistik, akibatnya sampai sekarang ini pengaturan masalah waris di Indonesia masih belum terdapat keseragaman. Hukum waris yang berlaku di Indonesia antara lain Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris berdasarkan KUHPerdata. Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai kedudukan harta dan kekayaan seseorang setelah meninggal 1 Adrian Sutedi, S.H. M.H, Hukum Kepailitan, (Bogor: Ghalia, 2009), halaman 3. 2 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta : Rineka Cipta, 1977), halaman. 7 dunia dan mengatur mengenai cara-cara berpindahnya harta kekayaan tersebut kepada orang lain. Dalam hukum waris perdata terdapat 2 (dua) cara yang dapat digunakan untuk menerima warisan, yakni pewarisan menurut undang-undang (ab-intestato) pewarisan menurut surat wasiat(testamenter). Pewarisan ab-intestato dalam hukum waris merupakan pewarisan dimana ahli waris menerima warisan karena telah diatur dan diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti hak waris terhadap warisan didapatkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pewarisan testamenter dalam hukum waris undang-undang merupakan pewarisan yang dilakukan berdasarkan testamen atau biasa juga disebut dengan surat wasiat. Surat wasiat atau testamen ini biasanya berisi pernyataan. Mengenai hal-hal yang diinginkan oleh pewaris terkait dengan warisan yang ditinggalkannya. Biasanya juga testamen ini dibuat di hadapan Notaris sehingga telah berisi keterangan yang jelas mengenai persentase atau jenis warisan yang ditinggalkannya kepada ahli waris yang dikehendakinya. Pewarisan dengan surat wasiat (testamen) sudah cepat dikenal oleh bangsa Romawi. Bahkan dalam abad-abad kemudian tidak ada seorang Romawi terkemuka yang meninggal tanpa meninggalkan surat wasiat (testamen). Bagi mereka pewarisan dengan wasiat (testamen) menempati tempat yang terutama.3 Hukum waris testamer timbul karena beberapa kenyataan dalam masyarakat misalnya :4 3 Hartono Soerjopratiknjo, Hukum Waris Testamenter,(Yogyakarta: Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1984), halaman. iv 4 Liliana Tedjosaputro, Hukum Waris Menurut Surat Wasiat (Ad-Testamento), (Semarang:Agung Press, 1991), halaman. 1 1. Bahwa pada abad pertengahan timbul suatu pemikiran bahwa setiap orangdapat berbuat bebas terhadap harta bendanya, wajarlah apabila kadang-kadang hartanya diberikan kepada tetangganya. 2. Bahwa kadang-kadang seseorang merasa mempunyai hubungan dekat dengan orang lain yang mempunyai hubungan darah dengannya, oleh karena dekatnya hubungan tersebut maka kadang-kadang timbul keinginan dari seseorang untuk dari seseorang untuk memberikan sebagian hartanya kepada orang tersebut. Dengan demikian dapat diberikan harta seseorang baik sebagian atau seluruhnya kepada orang-orang yang tidak mempunyai hubungan darah dengan si pemilik harta. Semasa pewaris masih hidup, hanya ia (calon pewaris) sendiri sebagai subjek pendukung hak yang mempunyai kekuasaan dalam menentukan segala sesuatu atas segala harta kekayaannya. Kekuasaan itu terjelma dalam wujud tindakan pemilikan (beschikken). Sejak saat kemudian pewaris, semua hak dan hubungan hukum dengan beberapa pengecualian beralih secara otomatis kepada ahli waris. Testamen dalam artian sebagai “surat” tersebut, adalah testamen dalam arti “formal”. Berbeda dengan itu, testamen dapat pula berarti “apa yang yang dikehendaki oleh seseorang akan terjadi setelah ia meninggal dunia”, atau secara singkat, yang umum / biasa disebut “kehendak terakhir”. Testamen dalam arti yang terakhir ini, adalah testamen dalam arti “materiil”. Dalam artian materiil, suatu testamen harus memuat dua unsur, yaitu yang pertama mempunyai daya kerja sesudah meninggalnya pewaris dan yang kedua dapat dicabut kembali semasa pewaris masih hidup. Sedangkan ketentuan-ketentuan untuk sahnya testamen dalam arti formal dapat dilihat dalam bagian keempat, bab ketiga belas, buku kedua belas, yang pada dasarnya tak terbatas untuk melakukan penghibahan dan pembuatan ketetapan-ketetapan kehendak terakhir, secara hukum waris akan memungkinkan seorang pewaris mengecewakan para keturunan sedarahnya jika pembuat undang-undang tidak mengambil tindakan-tindakan perlindungan.5 Oleh karena itu isi dari kehendak terakhir diatur dengan jelas dalam Pasal 912 KUHPerdata, yaitu : “Untuk menentukan besarnya bagian mutlak dalam suatu warisan, hendaknya dilakukan terlebih dahulu suatu penjualan akan segala harta peninggalan yang ada di kala si yang menghibahkan atau mewariskan meninggal dunia, kemudian ditambahkannyalah pada jumlah itu, jumlah dari barang-barang yang telah dihibahkan di waktu si meninggal masih hidup, barang-barang mana harus ditinjau dalam keadaan tatkala hibah dilakukannya, namun mengenaai harganya, menurut harga pada waktu si penghibah atau si yang mewariskan meninggal dunia; akhirnya dihitungnyalah dari jumlah satu sama lain, setelah yang ini dikurangi dengan semua utang si meninggal berapakah, dalam keseimbangan dengan kederajatan para ahli waris mutlak, besarnya bagian mutlak mereka, setelah mana bagian-bagian ini harus dikurangi denagan segala apa yang telah mereka terima dari si meninggal, pun sekiranya mereka dibebaskan dari wajib pemasukan” Menurut undang-undang dan dari pembatasan yang diadakan undang-undang terhadap harta kekayaan yang penting ialah pembatasan mengenai porsi menurut undang-undang atau Legitieme Portie (bagian warisan menurut Undang-undang), yaitu bagian tertentu dari harta kekayaan seseorang yang atas itu beberapa waris menurut undang-undang dapat mengemukakan haknya yang disebut legitimaris, oleh karena itu orang yang mewariskan tidak mempunyai pemurbaan atau tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu yang bebas atas benda itu.6 Menurut KUHPerdata seorang pewaris tidak diperbolehkan untuk menentukan atau mengatur mengenai bagian mutlak ini dalam surat wasiatnya. Namun dalam praktinya mungkin ada saja wasiat yang isinya ternyata melanggar legitime portie dari ahli waris. Hal ini pernah terjadi di Kota Semarang yaitu surat wasiat yang ditulis oleh pemilik Hotel Siliwangi Semarang, yang ternayata isinya melanggar legitieme portie.7 5 M.J.A van Mourik, Studi Kasus Hukum Waris, Terjemahan oleh F.Tengker, (Bandung : PT Eresco, 1993), halamn. 105 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1999), halaman. 239 7 Sumber : Balai Harta Peninggalan Semarang (Semarang: 11 November 2013) 6 Membuat testamen adalah perbuatan hukum, seorang menentukan tentang apa yang terjadi dengan harta kekayaannya setelah meninggal dunia. Harta warisan seringkali menimbulkan berbagai masalah hukum dan sosial, oleh karena itu memerlukan pengaturan dan penyelesaian secara tertib dan teratur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Membuat testamen adalah perbuatan hukum yang sepihak. Hal ini erat hubungannya dengan sifat “herroepelijkheid” (dapat dicabut) dari ketentuan testamen itu. Disini berarti bahwa testamen tidak dapat dibuat oleh lebih dari satu orang karena menimbulkan kesulitan apabila salah satu pembuatnya akan mencabut kembali testamen. Ketetapan dalam testamen memiliki 2 (dua) ciri, yaitu dapat di cabut dan berlaku berhubung dengan kematian seseorang. Bagi ketetapan kehendak yang memiliki dua ciri itu maka bentuk testamen adalh syarat mutlak.8 Dalam pembuatannya, testamen membutuhkan pejabat yang berwenang untuk pengesahannya, Notaris mempunyai peran yang sangat penting. Maka bantuan Notaris dari awal hingga akhir proses pembuatan akta wasiat (testament acte) sangat diperlukan sehingga memperoleh kekuatan hukum yang mengikat. Tanggung jawab Notaris dalam pembuatan akta wasiat (testament acte) mencakup keseluruhan dari tugas, kewajiban, dan wewenang Notaris. Dalam menangani masalah pembuatan akta wasiat (testament acte), termasuk melindungi dan menyimpan surat-surat atau akta-akta otentik. Kemunkinan pembuatan testamen oleh Notaris yang isinya ternyata melanggar legitieme portie bisa saja terjadi, misalnya saja pada waktu pembuatan testamen tersebut, Notaris hanya mencacat kehendak dari para pewaris saja dan tidak diberikan daftar total kekayaan dari pembuat testamen tersebut, tentunya tidak melanggar 8 Hartono Soerjopratiknjo, Op.cit. , halman. iv legitieme portie. Namun 10 tahun kemudian misalnya pada saat pembuat testamen meninggal dunia, kekayaannya karena sebab apapun ternyata hanya bersisa tidak ada separuhnya dari harta yang diwariskan semula dan ternyata testamen tersebut melanggar legitieme portie.9 Pada akhirnya tetap tugas Notaris juga yang harus memberikan konsultasi pada masyarakat, dalam hal ini apabila menimbulkan masalah besar pada keluarga sipewaris pasca pembukaan testamen. Apalagi kalau ternyata isinya tidak adil (dibagi rata). Notaris boleh-boleh saja membantu, tetapi harus tetap mentaati aturan hukum yang ditetapkan oleh undang-undang agar tidak menimbulkan kecurigaan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis ingin meneliti tentang pembuatan testamen. Kemudian hasil tersebut akan penulis tuangkan ke dalam karya ilmiah dengan judul “PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN MENURUT KUHPERDATA BERKENAAN DENGAN ADANYA TESTAMEN”. B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang diatas tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana praktik pembuatan surat wasiat (testamen) dan keabsahannya ? 2. Bagaimana konsekuensi hukumnya yang terjadi apabila testamen yang isinya melanggar hak-hak ahli waris yang berkedudukan sebagai legitimaris ? C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1).Untuk mengetahui praktik pembuatan testamen dan keabsahan. 9 Irma Devita Purnamasari, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris, (Bandung : Kaifa, 2014), halaman 64-65 2).Untuk mengetahui konsekuensi hukumnya yang terjadi apabila testamen yang isinya melanggar hak-hak ahli waris yang berkedudukan sebagai legitimaris. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang pembagian warisan berkaitan dengan adanya surat wasiat (testamen). b. Manfaat praktis Secara praktis penelitian ini bermanfaat untuk memberikan solusi tentang permasalahan yang terjadi dalam pembagian warisan dengan surat wasiat (testamen). D. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini berisi latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai tinjauan pustaka yaitu tinjauan tentang tinjauan pustaka yang terdiri dari 4 (empat) sub judul, yaitu tinjauan umum mengenai pewarisan, pewarisan menurut undang-undang, tinjauan umum mengenai wasiat / testamen, dan legitieme portie. BAB III METODE PENELITIAN Dalam bab ini berisi metode pendekatan, spesifikasi penelitian, metode pengumpulan data dan metode analisis data. BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasan yaitu mengkaji tentang Pelaksanaan pembagian warisan berdasarkan KUHPerdata berkenaan dengan adanya testamen. BAB V PENUTUP Dalam bab ini berisi simpulan dari hasil penelitian dan pembahasan serta saran.