PEREMPUAN HINDU DALAM PEMIKIRAN MAHATMA GANDHI

advertisement
PEREMPUAN HINDU DALAM PEMIKIRAN
MAHATMA GANDHI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh :
HASIHOLAN
NIM: 102032124631
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN & FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas segala
limpahan hidayah, rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga Allah limpahkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia menuju kehidupan
yang lebih berperadaban.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini terdapat banyak uluran tangan dari berbagai pihak. Oleh karena itu
ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada pihakpihak tersebut, terutama kepada :
1. Dra. Ida Rosyidah, MA. selaku pembimbing dalam penulisan skripsi ini
yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya serta kesabaran
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga membuka
cakrawala berpikir dan nuansa keilmuan yang baru.
2. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Dr. M. Amin Nurdin, MA; Ketua
Jurusan Perbandingan Agama, Dra.
Ida Rosyidah, MA; Sekretaris
Jurusan, Maulana, MA; serta seluruh civitas akademika Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta..
3. Ayahanda apoan (Alm.) dan Ibunda Nur Ainun yang penulis cintai dan
hormati sepanjang hidup, yang dengan rasa cinta dan kasih sayangnya
secara tulus telah mengurus, membesarkan dan mendidik penulis hingga
sekarang ini. Munajat yang beliau gubah di setiap waktu telah memberikan
i
kekuatan lahir dan batin bagi penulis dalam mengarungi bahtera
kehidupan.
4. Kakanda tercinta, Fitri Damayanti dan suaminya Sandi Setiawan yang tak
pernah henti memberikan semangat dan motivasi kepada penulis. Mereka
merupakan telaga inspirasi yang tak pernah kerontang.
5. Kawan-kawan pisangan, M. Sidik Asy’ari”Brother”, Ridwan darmawan S.
H “Bang Bogs”, Tomy “Qudqud”,Bang Ozy, Zami, Akbar El-Wasil, Rizki
Syam, Indra. L. Ochid”Bang Buls”, Tri Sula (Awe, Ghalo, Cipluk) yang
sangat baik dan selalu memberi dorongan dan motifasi yang tak terhingga,
sehingga sulit untuk membalas kebaikannya. Tak ada yang lebih baik
daripada persahabatan yang ikhlas, teman-temanku yang kukasihi. Terima
kasih atas kebaikan kalian. Tak ada manusia hidup tanpa persahabatan dan
kebaikan, karna yang bukan demikian bukan manusia. penulis sangat
merindukan canda tawa kalian. You Are Best of The Best Friend. Kapan
agenda kuliner selanjutnya?
6. Anton dan Dede “tia” yang selalu meluangkan waktu dan menemani
penulis dalam penyusunan skripsi. Semoga cinta kalian abadi…
7. Teman-teman diskusi, mas Borang, Hambali “joy”, Rifky Arsilan, Pedro,
Pippo, yang selalu menggagas sebuah Revolusi dan menginginkan rakyat
Indonesia menjadi Tuan di negerinya sendiri. Sungguh kalian adalah
rengkarnasi para pemimpin PKI.
8. Hilma dan Tilova yang telah banyak berkorban dan direpotkan.
9. Keluarga Besar KM. UIN JAKARTA (dari Senior sampai Junior)
ii
10. Keluarga Besar Pondok Mungil, Bhotel (editor penulis) dkk. Thanks
friend..
11. kawan-kawan Century 21, Irwan, Sahal, Zengki, Asep “Gele”, Aguz,
Bagus,majid, Agung, kapan kita kumpul-kumpul lagi??
12. Pihak-pihak lain yang mungkin belum penulis sebutkan.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga dukungan, bimbingan,
perhatian, dan motivasi dari semua pihak kepada penulis selama perkuliahan
sampai selesainya skripsi ini menjadi amal ibadah dan bisa memberikan manfaat
pada penulis khususnya dan para pembaca karya ini pada umumnya. Amin.
Pisangan,
iii
Mei, 2009 M.
Jumadil Ula 1430 H.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................. 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ......................................... 7
D. Metode Penelitian ................................................................. 8
E. Sistematika Pembahasan ...................................................... 9
BAB II
SEKILAS TENTANG MAHATMA GANDHI
A. Riwayat Hidup ..................................................................... 11
B. Latar Belakang Pemikiran .................................................... 20
C. Garis Besar Pemikiran .......................................................... 22
D. Karya-karyanya .................................................................... 24
E. Kondisi Perempuan India Pada Masa Mahatma Gandhi ...... 25
BAB III
KONSEPTUALISASI PEMIKIRAN MAHATMA
GANDHI TENTANG PEREMPUAN HINDU
A. Perempuan dalam Kitab Suci Hindu .................................... 31
B. Konsep Ideal Perempuan Hindu ........................................... 36
C. Peran Perempuan dalam Kegiatan Keagamaan .................... 43
BAB IV
KONTRIBUSI MAHATMA GANDHI BAGI PERGERAKAN
PEREMPUAN HINDU DI INDIA
A. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Gandhi dalam
Memperjuangkan Kaum Perempuan .................................... 53
iv
B. Usaha-usaha Gandhi dalam membangkitkan Pergerakan
Perempuan Hindu di India ................................................... 54
1. Reinterpretasi terhadap ajaran-ajaran Hindu tentang
perspektif
kesetaran .................................................... 54
a. Ajaran Ahimsa ........................................................... 54
b. Ajaran Satyagraha ....................................................... 56
2. Pembelaan Mahama Gandhi Terhadap Kekerasan dalam
Rumah Tangga .............................................................. 60
a. Penolakan Terhadap Perkawinan Dini ..................... 60
b. Perkawinan Kembali Para Janda .............................. 64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 68
B. Saran-saran ........................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA
v
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perempuan merupakan sesuatu yang selalu menarik untuk dikaji, baik
eksistensinya, karakteristiknya maupun problematikanya yang selalu timbul
seiring dengan laju perkembangan masyarakat. Ia selalu menjadi bahan
pembicaraan baik formal maupun non formal, seolah-olah pembahasan tentang
perempuan tidak akan ada habisnya sejak dahulu hingga sekarang dan terjadi di
seluruh dunia.
Masalah perempuan merupakan masalah yang tidak dapat dipisahkan
dengan kehidupan manusia, baik secara perorangan maupun kelompok dan
masyarakat. Bahkan dalam agama-agama pun wanita merupakan salah satu yang
selalu dipermasalahkan karena secara kodrati kaum wanita memang lain dari pada
kaum pria. Dalam kehidupan sosial, meskipun secara langsung menunjukan
kepada salah satu jenis kelamin, perempuan selalu dinilai sebagai the other sex
yang sangat menentukan mode representasi sosial tentang status dan peran
perempuan.1 Sejarah manusia, baik yang sakral, yaitu yang diambil dari kitabkitab suci atau mitos, maupun yang sekuler, yakni yang disusun secara ilmiah,
senantiasa menunjukan diri sebagai sejarah laki-laki. Kaum laki-laki itulah yang
membangun dunia, di mana terdapat perempuan di dalamnya. Dengan kata lain
1
Irwan Abdullah, Pendahuluan dalam, Sangkan Paran Gender (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1997), h. 3.
1
2
lelaki dan perempuan tidak setara.2 Diskriminasi perempuan yang muncul
kemudian menunjukan bahwa perempuan menjadi the second sex seperti sering
juga disebut sebagai warga “kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu
diperhitungkan3.
Wacana perempuan secara historis, telah banyak menginformasikan
kepada kita bagaimana sesunguhnya perempuan dan posisinya dalam peradaban
dunia. Seperti telah diketahui, peradaban bangsa Arab, Yunani, Romawi, India,
dan Cina. Dunia juga mengenalkan konsepsi-konsepsi perempuan dalam agamaagama seperti Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, Islam, Zoroaster dan sebagainya.
Dalam sejarah wanita di kalangan bangsa Arab tidak ubahnya bagaikan
barang dagangan yang diperjual belikan. Mereka dipaksa kawin tanpa meminta
pertimbangan dan persetujuannya. Pada beberapa suku, pemaksaan dilakukan
dengan penganiayaan. Wanita merupakan pewaris yang tidak mewarisi, pemilik
yang tidak memiliki. Mereka dilarang melakukan sesuatu atas harta milik
suaminya. Namun sang suami berhak sepenuhnya untuk menggunakan harta
istrinya tanpa meminta izin terlebih dahulu. Bahkan pada sebagian bangsa arab,
seorang ayah diberi hak membunuh putrinya atau menguburnya hidup-hidup.
Mereka berpendapat tidak ada hukuman atau denda bila laki-laki membunuh
wanita. Oleh karena itu kaum lelaki bangsa Arab pada waktu itu banyak
melakukan kekejian.4
Dalam lingkungan masyarakat modern yang telah berbudaya seperti
masyarakat Yunani dan Romawi, nasib kaum wanita justru lebih buruk
2
Imam Ahmad, Perempuan dalam Kebudayaan, dalam Fauzi Ridjal dkk, Dinamika
Gerakan Perempuan di Indonesia (Yogyakarta: Tiara Wacana,1993), h.49.
3
Irwan Abdullah,”Pendahuluan”, Sangkan Paran Gender, h. 9
4
Abbas Kararah, Berbicara dengan Wanita, terj. Seyd Ali Amar (Jakarta: Gema Insani
Press,1996), h. 52
3
dibandingkan dengan wanita dalam masyarakat biadab yang tingkat sosial dan
peradabannya rendah. Bangsa Athena memperdagangkan wanita di pasar-pasar.
Mereka dinyatakan sebagai hasil kotoran perbuatan setan. Pada waktu itu para ahli
pikir Yunani banyak yang berselisih paham tentang pandangan mereka terhadap
wanita. Mereka mempertanyakan apakah benar wanita merupakan insan yang
memiliki ruh dan nafsu sebagaimana halnya kaum pria? Apakah wanita dapat
mengerti bila diberi pelajaran agama? Apakah diakhirat kelak mereka akan dapat
masuk surga? Perhimpunan pastur di Roma yang dijadikan panutan oleh
masyarakatnya menetapkan bahwa sebenarnya wanita adalah binatang najis yang
tidak mempunyai roh dan tidak diperkenankan bertapa. Tetapi wajib beribadat dan
berbakti dengan syarat harus menutup mulutnya. Mereka dilarang berbicara dan
tertawa karena hal itu merupakan perangkap setan.5
Sikap masyarakat India terhadap kaum wanita sebagaimana di Arab pada
jaman Jahiliah, pernah tumbuh adat sangat merendahkan martabat wanita. Hal ini
dapat diketahui dari kitab-kitab kuno India seperti Veda dan Manu. Dalam Veda
dinyatakan bahwa wanita dianggap seperti benda belaka, yang hanya sebagai
barang pelengkap bagi kaum pria dan karena itu mereka hanya mengerjakan
pekerjaan rumah tangga saja, bahkan hanya sebagai alat produk saja, selain itu
terdapat sekelompok pertapa kasta Brahmana yang telah menikah tetapi tidak mau
mengkonsumsi makanan yang dimasak oleh isteri mereka masing-masing, karena
menurut mereka makanan-makanan yang dimasak itu kotor dan tidak baik bagi
kemajuan batiniah, mereka juga berpendapat bahwa perempuan merupakan
manusia yang penuh dosa, oleh sebab itu cara yang terbaik untuk memperlakukan
5
Imam Ahmad, Perempuan dalam Kebudayaan, h. 54
4
mereka adalah dengan memberi tugas sebagai ibu dari anak-anak dan pekerjaanpekerjan rumah tangga lainnya.6 Lebih dari itu, kadang-kadang wanita disembelih
sebagai korban kepada tuhan-tuhan mereka, agar tuhan-tuhan itu merestui
kehidupan mereka, dan di beberapa daerah di India ada pohon yang oleh rakyat
disuguhi seorang gadis setiap tahunnya untuk makanannya.7
Salah satu tokoh India yang memperjuangkan nasib dan hak-hak
perempuan adalah Mahatma Gandhi. Mahatma Gandi adalah seorang pahlawan
pembebas India yang memilik nama asli Mohandas Karamchand Gandhi. Dalam
sejarah tidak ada seorang pemimpin yang memiliki pengikut sedemikian besar
dalam masa hidupnya, baik di negerinya sendiri maupun di seluruh dunia seperti
Gandhi. Dan tidak ada seorang pria yang bisa mebangkitkan pengabdian dengan
segenap ketulusan hati bagi kaum perempuan, selain Gandhi alasan dari semua ini
tidaklah sulit dicari. Gandhi memiliki kapasitas yang pantas diteladani atas
kesediannya untuk menjadikan dirinya sebagai alas kaki bagi orang lain, terutama
bagi orang-orang yang tengah berada dalam ketertindasan dan ketidakberdayaan. 8
Gandhi memberikan penghormatan kepada kaum perempuan dengan
penghormatan terbesar yang paling mungkin, ketika dia mengatakan “kaum
perempuan adalah perwujudan dari pengorbanan dan penderitaan”. Akan tetapi,
dengan segenap penghormatannya kepada persoalan kaum perempuan dan
perhatiannya
terhadap
kesulitan-kesulitan,
beliau
tidak
menyembunyikan
kritisisme atas beberapa kelemahan perempuan. Dalam persoalan kontrol
6
Adi Suhardi, Status Wanita di dalam Agama Budha Suatu Uraian Singkat, (Jakarta:
Yayasan Dharma Duta Carika, 1986), h. 8
7
Musthofa As Siba’y, Wanita di antara Hukum Islam dan Perundang-undangan, terj.
Chodijah Nasution (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 32
8
Amrit Kaur, “Kata Pengantar” dalam Mahatma Gandhi, Perempuan dan Ketidakadilan
Sosial, terj. Siti Faridah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. VII.
5
kelahiran, tulisan-tulisan Gandhi banyak mendapat perlawanan dari pemimpinpemimpin gerakan kaum perempuan. Akan tetapi dia mengajukan persoalan
mengenai moralitas dalam level yang tinggi dan Gandhi menyerukan kepada
kaum perempuan untuk tidak menjual hak melahirkan. Hal ini bukan karena
Gandhi kurang bersimpati terhadap penderitaan-penderitaan kaum perempuan
yang disebabkan karena sering melahirkan anak, yang disuarakan dengan tegas
dalam penentangannya terhadap penggunaan alat-alat kontrasepsi tetapi karena
beliau ingin melindungi kaum perempuan dalam keseluruhan aspek kehidupan.9
Selain Gandhi dikenal sebagai nasionalis besar India, ia juga dikenal
sebagai pendiri tradisi agama India asli10 dan tokoh yang paling berjasa
membangun dunia barat. Karena jasa-jasanya membawa reformasi di dalam
agama Hindu di India dan memperkenalkan India ke dunia Barat. Prestasinya
yang diakui dunia adalah penarikan mundur Inggris dari India secara damai, yang
tidak kenal umum adalah bahwa dalam masyarakatnya sendiri beliau
menyingkirkan rintangan yang lebih dahsyat daripada rintangan rasial di Amerika
Serikat dengan memberikan nama baru bagi golongan yang tidak boleh disentuh
dengan nama Harijan, Umat Tuhan, dan mengangkat mereka ke taraf yang
manusiawi sebagaimana dikatakan jendral Marshall sewaktu mendengar beliau
terbunuh:” Mahatma Gandhi adalah corong hati nurani umat manusia”. Orangorang Kristen dengan sendirinya memandang beliau sebagai manusia yang
hidupnya paling mirip dengan Kristus, dan memang benar bahwa beliau sangat
dipengaruhi oleh Khotbah di atas Bukit. Namun inspirasinya yang paling dasar
9
Amrit Kaur, “Kata Pengantar” dalam Mahatma Gandhi, Perempuan dan ketidakadilan
sosial, h. x-xi
10
Dennis Lardner Carmody dan John Tully Carmody, Jejak Rohani Sang Guru Suci
Memahami Spiritulitas Budha, Konfusius, Yesus, Muhammad, terj. Tri Budi Satrio (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), h. 2.
6
berasal dari tanah airnya India. Dalam awal Autobiographi-nya Gandhi menulis,
“kekuatan seperti yang saya miliki untuk berkarya dalam bidang politik
bersumber dari latihan-latihanku di bidang rohani, sambil menambahkan bahwa
dalam bidang rohani ini kebenaran merupakan asas yang tertinggi”,dan bahwa
Baghavad-Gita adalah “buku terbaik untuk pengetahuan akan kebenaran.
Menarik untuk dilihat bagaimana peran perempuan dalam agama Hindu
menurut Mahatma Gandhi. Perempuan ideal dalam tradisi Hindu adalah sati, yaitu
perempuan yang menikah dan berkorban serta mengabdikan diri untuk kewajiban
terhadap suaminya, keluarga dan bangsanya. Pernikahan dalam Hindu menurut
Mahatma Gandhi merupakatan ikatan spiritual bukan hanya ikatan fisik saja.
Perwujudan cinta manusia yang dimaksudkan untuk berfungsi sebagai batu
loncatan mencapai Tuhan atau cinta yang menyeluruh.
Mengingat pemikiran-pemikiran Gandhi banyak terinspirasi dari agama
Hindu serta begitu pentingnya kedudukan Mahatma Gandhi dalam gerakan
pembebasan di India dan dunia pada umumnya, maka penulis mengangkat judul “
Perempuan Hindu dalam Pemikiran Mahatma Gandhi”, judul ini dimaksudkan
sebagai upaya untuk mengeksplorasi pemikiran dan pandangan Mahatma Gandhi
tentang perempuan dalam agama Hindu serta kontribusinya dalam memberi
perubahan pada pergerakan perempuan Hindu di India.
B. Perumusan Masalah
Pembahsan skripsi ini dimaksudkan untuk mengkaji pemikiran Mahatma
Gandhi tentang perempuan dalam agama Hindu yang tertuang dalam beberapa
karyanya. Penggunaan kata perempuan di sini sama artinya dengan kata wanita
7
yaitu jenis kelamin yang dibedakan dari laki-laki, yang kemudian lebih dititik
beratkan pada perannya dalam keagamaan khususnya agama Hindu. Berdasarkan
latar belakang masalah tersebut di atas, maka masalah pokok yang dapat
dirumuskan untuk penelitian ini selanjutnya adalah:
1. Bagaimanakah peran perempuan dalam agama Hindu menurut Mahatma
Gandhi?
2. Apa kontribusi Mahatma Gandhi terhadap pergerakan perempuan Hindu di
India?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan di antaranya:
1. Mengetahui pemikiran Mahatma Gandhi tentang peran perempuan dalam
agama Hindu.
2. Untuk mengetahui apa kontribusi yang dilakukan Mahatma Gandhi untuk
pergerakan perempuan Hindu di India.
Sedang kegunaannya adalah:
1. Memberikan sumbang saran terhadap pemikiran Mahatma Gandhi
terutama dalam pemikiran tentang perempuan dalam agama Hindu dan
kontribusi bagi pergerakan perempuan Hindu di India.
2. Dalam rangka menyelesaikan program kesarjanaan Strata 1 dalam bidang
Ilmu Perbandingan Agama di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
8
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan sejarah atau
histories. Pendekatan sejarah yakni membaca, menafsirkan dan mensintesa
dengan menggunakan sumber dokumen masa lalu sesuai dengan kondisi sosialpolitik. Pendekatan sejarah tidak semata-mata deskriptif tapi juga analitis
sehingga harus jujur dan kritis. Jadi penulis melalui pendekatan histories,
berusaha meneliti pemikiran Mahatma Gandhi tentang peran perempuan dalam
agama Hindu serta kontribusinya bagi perempuan Hindu di India. Melalui bukubuku atau tulisan-tulisan pengarang lain yang berkaitan dengan pemikiran
Mahatma Gandhi, untuk memperoleh uraian yang obyektif tentang pandangan
Mahatma Gandhi tentang perempuan dalam agama Hindu.
2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, yaitu pengumpulan
data dengan cara membaca dan menghimpun keterangan-keterangan dari buku
literature dalam hal ini karya-karya Mahatma Gandhi sebagai pustaka utama atau
sumber primer, hasil-hasil penulisan yang telah dipublikasikan maupun dokumendokumen lain yang relevan dengan permasalahan yang ada dan karya-karya
penulis lain mengenai Mahatma Gandhi sebagai pustaka pendukung atau sumber
sekunder.
9
3. Pengolahan dan Analisis Data
Semua data yang terkumpul dari pengumpulan data baik yang primer
maupun sekunder, kemudian data yang telah terkumpul dan tersusun tersebut
diolah.
E. Sistematika Pembahasan
Mengacu pada metode penelitian di atas, maka pembahasan dalam
penelitian ini disusun menjadi lima bab dengan sub bab untuk mendapatkan hasil
yang utuh dan sistematis sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodelogi penelitian dan
diakhiri dengan sistematika pembahasan.
Bab kedua, mengulas tentang kehidupan Mahatma Gandhi secara
menyeluruh. Dalam bab ini, penulis akan memberikan deskripsi tentang riwayat
hidup Mahatma Gandhi, latar belakang pemikirannya, garis besar pemikirannya,
karya-karyanya dan kondisi perempuan India pada masa Mahatma Gandhi.
Pembahasan ini dimaksudkan untuk mengetahui kehidupan dan landasan
pemikiran Mahatma Gandhi, sehingga penyusun mendapat formulasi yang jelas
tentang konsep-konsep yang akan dibahas selanjutnya.
Bab ketiga akan menggambarkan konsep pemikiran Mahatma Gandhi
tentang perempuan
dalam agama Hindu. Penulis meneliti melalui dokumen-
dokumen yang ditulis oleh Mahatma Gandhi yang membahas tentang perempuan
dalam kitab suci Hindu, konsep ideal perempuan Hindu, peran perempuan dalam
kegiatan
keagamaan
dan
pembaharuan-pembaharuan
peran
perempuan.
10
Pembahasan ini merupakan analisis pemikiran Mahatma Gandhi tentang
perempuan dalam agama Hindu.
Bab keempat berisikan kontribusi-kontribusi yang dilakukan Mahatma
Gandhi bagi perempuan Hindu di India yang meliputi faktor-faktor yang
melatarbelakangi Mahatma Gandhi dalam memperjuangkan kaum perempuan dan
usaha-usaha Mahatma Gandhi dalam membangkitkan pergerakan perempuan
Hindu di India, dengan menumbuhkan kesadaran perempuan akan kesetaraan
kaum perempuan dan kaum laki-laki melalui ajaran Ahimsa dan Satyagraha,
usaha Mahatma Gandhi dalam pembelaan terhadap penindasan perempuan dalam
rumah tangga yang meliputi penolakan terhadap perkawinan pada anak-anak dan
mengusahakan perkawinan kembali para janda.
Bab kelima berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan akhir dari
pembahasan ini, dan saran-saran yang ada korelasinya dengan penelitian ini.
11
BAB II
SEKILAS TENTANG MAHATMA GANDHI
A. Riwayat Hidup
Nama lengkap Mahatma Gandhi adalah Mohandas Karamchand Gandhi,
lahir tanggal 2 oktober 1869 di Porbandar, kota kecil di pantai laut Semenanjung
Kathiawad, India Barat, kira-kira setengah jalan antara Bombay dan Karachi.
Kathiawad letaknya terpencil, jauh dari pengaruh Eropa.1
Gandhi dilahirkan di tanah yang banyak terdapat dataran rumput, sungaisungai, rawa-rawa, dataran tinggi kering, hutan-hutan lebat, dan pegunungan
tertinggi di dunia. Iklim di India, panas di daerah dataran rendah dan dingin di
dataran tinggi. Begitu luasnya wilayah India sehingga terciptalah perbedaanperbedaan. Rakyat India saling terpisah tidak hanya karena kesulitan hubungan
antara satu daerah dengan daerah yang lain, namun juga karena perbedaan
kebiasaan, agama, dan memiliki lebih dari 300 bahasa. Bahkan orang-orang yng
ras dan agamanya sama pun terbagi dalam kelompok-kelompok berdasarkan kasta
atau tempat tinggalnya.2
Pada masa itu India masih di jajah Inggris. Gandhi lahir dalam lingkungan
India yang di kuasai Inggris dengan kemegahan, keagungan, dan perayaanperayaan bahasa Inggris membawa organisasi dan tekhnik bagi India, namun
kemajuaan itu seringkali terasa kejam bagi rakyat India.
1
Lois Fischer, Gandhi Penghidupannya dan Pesannya Untuk Dunia, terj. Trisno Sumardjo
(Jakarta: PT Pembangunan, 1967), h. 10.
2
Michael Nicholson, Mahatma Gandhi Pahlawan yang Membebaskan India dan Memimpin
Dunia dalam Perubahan Tanpa Kekerasan, terj. Hilmar Farid Setiadi (Jakarta: Gramedia Pustaka,
1994), h. 11.
11
12
Dalam kultur masyarakat seperti itulah Gandhi di lahirkan. Keluarga
Gandhi termasuk dalam kasta bania3 dan tampaknya menurut asal usulnya mereka
adalah pedagang bahan pangan. Tetapi sejak tiga generasi ini mulai, kakek
Gandhi, mereka adalah perdana menteri di berbagai Negara bagian Kathiawad. 4 Ia
merupakan bungsu dari empat bersaudara dari istri yang keempat dari ayah yang
bernama Karamchand Gandhi, yang lebih dikenal dengan nama Kaba Gandhi.
Kaba Gandhi menikah empat kali berturut-turut disebabkan istrinya meninggal
satu demi satu.
Karamchad Gandhi, yang lebih dikenal dengan Kaba Gandhi, ia adalah
seorang anggota Pengadilan Rajasthanik, yang kemudian menjadi Perdana
Menteri yang disegani di Rajkot. Tidak lama kemudian, ia pinddah ke Vankaner
dan tetap menjadi Perdana Menteri di sana. Kaba Gandhi dikenal sebagai orang
yang berwatak jujur, berani, murah hati, tidak dapat disuap dan cepat naik darah.
Masa pendidikannya hanya sampai kelas lima SD, namun ia cukup banyak
pengalaman karena banyak belajar tentang pengetahuan-pengetahuan praktis,
hingga akhirnya ia dapat menjadi orang yang cukup berpengaruh di daerahnya. 5
Ibu Gandhi bernama Putlibai. Ia penganut Hindu yang shaleh. Ia tidak
akan makan sebelum menjalankan puja sehari-hari. Ia selalu mengunjungi havelikuil yang merupakan salah satu bentuk kewajiban agama yang dilakukannya. Ia
tidak pernah melewatkan untuk menjalankan chaturmas.6 Ia tidak hanya setia
3
Bania merupakan seorang warga kasta ketiga pada system perkastaan Hindu, yang secara
tradisional berkecimpung dalam dunia perusahaan dan perdagangan.
4
Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma
Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, terj. Kustiniyati Mochtar (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia dan PT Gramedia, 1988), h. 2.
5
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), h. 9.
6
Chaturmas berarti empat bulan, yakni niat berpuasa dan setengah berpuasa selama empat
bulan di musim hujan. lihat Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi; Kisah Eksperimen-
13
dalam hidup rohani saja tetapi ia juga seorang istri yang setia kepada suami dan
anak-anak. Semenjak usia dini, kehidupan religious ibunya berpengaruh pada diri
Gandhi yang kemudian menjadi pemimpin spiritual India terbesar.7
Di tengah suasana keluarga yang demikian, Gandhi tumbuh dan dibentuk
karakter pribadi dan pemikiran-pemikirannya. Sebagai seorang yang nantinya
menjadi tokoh besar, ternyata pada masa kecilnya, ia tidak banyak menunjukan
kelebihan-kelebihan yang menonjol. Selama menjadi murid dari sekolah rendah
dan dari Kathiwad High School, tidak ada bakat yang luar biasa kelihatan pada
diri Gandhi. Dalam soal-soal pelajaran ia tidak pernah melebihi kawan-kawannya.
Dalam garis-garis besarnya ia tidak mempunyai barang sesuatu yang istimewa,
sama saja dengan ratus-ribuan anak-anak di India pada zamannya itu.8
Pada masa belajar di sekolah dasar, Gandhi termasuk anak yang sulit
belajar, terutama dalam berhitung perkalian. Walau begitu Gandhi tetap tekun
dalam belajar. Pekerjaan rumahnya selalu dikerjakan dengan baik dan rapih.9
Gandhi sangat pemalu dan tidak suka berteman. Hanya buku-buku dan
pelajaran sajalah teman akrabnya. Tepatnya pada waktu lonceng berbunyi Gandhi
telah tiba di sekolah, kemudian setelah pelajaran selesai, secepatnya ia berlari
pulang. Itulah kebiasaanya sehari-hari. Dan memang, Gandhi benar-benar lari
pulang, karena ia tidak dapat berbicara dengan siapapun. Gandhi merasa takut,
jangan-jangan ada orang yang mau mempermainkannya.10
eksperimen dalam Mencari Kebenaran, terj. Gd. Bagus Oka (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan,
1982), h. 24.
7
Michael Nicholson, Mahatma Gandhi Pahlawan yang Membebaskan India dan Memimpin
Dunia dalam Perubahan Tanpa Kekerasan, h. 16.
8
O. D. P. Sihombing, India, Sejarah dah Kebudayaannya, (S-Grapenhage dsl: W. Van
Hoeve, 1953), h. 96.
9
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandh, h. 10
10
Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma
Gandhi, h. 3.
14
Kejujurannya ia pupuk setelah ia membaca sebuah buku drama yang dibeli
ayahnya berjudul Shavana Pitribhakti Nataka. Buku ini mengisahkan pengabdian
Shavana terhadap orang tuanya. Lain waktu lagi, ia menonton sandiwara dari
buku tersebut dan sandiwara lain yang terkenal waktu itu, yakni Harischandra.
Gandhi sangat terkesan oleh tokoh Harischandra yang bersifat jujur dan tekun,
bahkan Gandhi sampai bermimpi menjadi tokoh ini. Sejak itulah rupanya bibitbibit keutamaan yaitu bhakti dan kejujuran mulai menjadi bagian dan cita-cita
Gandhi yang kelak akan diwujudkannya.11
Tatkala Gandhi berumur 7 tahun ia telah dipertunangkan oleh orang
tuanya dengan Kasturbai, kemudian dinikahkan sesudah berusia 13 tahun dalam
tahun 1883.12 Tanpa sepengetahuan dan persetujuan Gandhi terlebih dahulu.
Gandhi dinikahkan dengan Kasturbai, anak perempuan seorang pedagang di
porbandar. Ia tidak diajak berunding tentang pernikahannya. Sebagaimana adat
yang masih berlangsung hingga kini dibanyak daerah India, kedua orang tua
mempelai mengatur segalanya, dan mempelai perempuan dan laki-laki tidak dapat
bertemu hingga hari pernikahan. Kita barang kali bertanya-tanya apakah
pernikahan semacam itu berhasil, namun bagi Gandhi dan Kasturbai adat
pernikahan seprti itu tidak tampak aneh dan pernikahan mereka berlangsung
selama enam puluh dua tahun.13
Pada usianya yang sangat muda itu, ia berpikiran perkawinan berarti tidak
lebih daripada sekedar harapan untuk memakai pakaian lebih bagus,
berdentamnya tambur, arak-arakan pengantin, jamuan makan yang melimpah dan
11
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 10.
O. D. P. Sihombing, India, Sejarah dah Kebudayaannya, h. 96.
13
Michael Nicholson, Mahatma Gandhi Pahlawan yang Membebaskan India dan
Memimpin Dunia dalam Perubahan Tanpa Kekerasan, h. 17.
12
15
seorang dara yang belum dikenal untuk teman bermain. Soal gairah seksual, itu
baru timbul kemudian.14
Dua anak berjiwa murni terlempar tanpa sadar kelautan penghidupan,
boleh jadi hanya dituntun oleh pengalaman-pengalaman mereka dalam penitisan
yang terdahulu. Demikian Gandhi menggambarkan kebiasaan kejam dalam
perkawinan kanak-kanak.15
Namun setelah semuanya berlalu, sadarlah Gandhi bahwa kedudukannya
sudah tergeser, yakni sebagai suami. Itu berarti bahwa ia dituntut suatu tanggung
jawab terhadap isterinya. Maka sebagai konpensasi dari kekacauan pikirannya, ia
mulai
menggunakan
kekuasaannya
sebagai
suami,
antara
lain
dengan
mengharuskan isterinya minta izin kepadanya kalau akan berpergian. Ia menjadi
demikian karena ia sangat mencintai isterinya.16
Kedisplinan Gandhi pada Kasturbai dilakukan karena ia sangat
mencintainya, ia ingin menjadikannya istri yang ideal. Ambisinya adalah untuk
memaksa istrinya agar hidup bersih, belajar apa yang dia pelajari, serta
menjadikan hidup dan pikiran istrinya seperti hidup dan pikirannya.17
Kasturbai
adalah buta
huruf, maka Gandhi
bersemangat
untuk
mengajarinya, tetapi cinta penuh birahi menghabiskan waktunya. Pertama dia
harus memaksa belajar dan itu dilakukan pada waktu malam, apalagi Gandhi tidak
berani menjumpai Kasturbai di hadapan orang-orang tua. Keadaan demikian jadi
tidak membantu. Maka sebagian besar dari usahanya untuk mengajar istrinya
14
Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma
Gandhi, h. 4.
15
Lois Fischer, Gandhi Penghidupannya dan Pesannya Untuk Dunia, h. 13.
16
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 10.
17
Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi; Kisah Eksperimen-eksperimen dalam
Mencari Kebenaran, terj. Gd. Bagus Oka (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 1982), h. 30.
16
tidaklah berhasil. Usaha untuk mengajar melalui guru-guru pribadi pun tidak
berhasil. Alhasil sekarang Kasturbai dengan susah payah dapat menulis surat
sederhana serta mengerti bahasa Gujarat sekedarnya. Gandhi berkeyakinan andai
kata rasa cintanya sama sekali tidak ternodai nafsu, sekarang istrinya pasti
menjadi wanita yang terpelajar. Menurutnya tak ada sesuatu yang tidak dapat
diatasi oleh cinta sejati.18 Perkawinan di bawah umur sempat menghalangi
kelancaran studi Gandhi selama satu tahun.
Setelah lulus sekolah menengah ia mengikuti tes masuk Universitas
Samaldas College di Ahmedabad. Karena tidak puas di sana, ia mulai mencari
informasi bagaimana kalau melanjutkan studinya di Inggris. Banyak tantangan
datang dari keluarga, tetapi ia bersikeras untuk membuktikan bahwa kekhawatiran
keluarganya tidak beralasan, ia bersumpah untuk tidak akan menyentuh wanita,
tidak akan minum anggur dan tidak akan makan daging selama di Inggris.19
Selama di Inggris ia belajar menjadi ahli hukum.
Gandhi belajar ilmu hukum di Inggris dalam waktu yang sangat relatif
cepat. Sebagai seorang mahasiswa, Gandhi adalah seorang yang produktif dan
cara belajarnya metodis. Di sana ia tidak hanya belajar menjadi hakim, tetapi juga
belajar cara hidup Eropa, namun ia tetap berpegang teguh pada sumpahnya.
Perubahan perhatian itu menunjukan berakhirnya masa pertama kehidupannya di
Inggris, selajutnya membuka priode kesungguhannya dalam studi. Dalam
benaknya ia menanamkan upaya untuk segera selesai, dan nantinya bisa diterima
bekerja di pengadilan. Dalam rangka mendukung kegiatan belajarnya, ia
18
19
Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi, h. 31.
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 11.
17
mengambil pelajaran tambahan dalam bahasa Latin dan Prancis. Dalam waktu
yang relatif singkat selama tiga tahun ia dapat menyelesaikan belajar ilmu hukum.
Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1891, ia kembali ke India dan
mencoba menjadi pengacara di Bombay dan Rajkot, tetapi tidak banyak berhasil.
Kebetulan sekali ia mendapat tawaran dari seorang muslim fanatik intuk menjadi
penasehat hukum dalam suatu firma di Afrika. Maka pada bulan April tahun 1893,
berlayar ia menuju Durban. Dalam perjalanan ke Pretoria, ia naik kereta api dan
membeli tiket kelas I dengan pakaian cara inggris. Tetapi ia diusir oleh orangorang Inggris yang ada disitu dan disuruh pindah ke gerbong barang. Ia menolak
dan akhirnya turun Maritzburg. Sejak saat itu bangkitlah niatnya untuk berjuang
melawan prasangka rasial, terlebih karena hal itu dialami oleh bangsanya sendiri.
Perjuangannya ini bukan berbentuk suatu revolusi fisik melainkan suatu
perjuangan yang menggunakan kekuatan jiwa, yang nanti lebih dikenal dengan
sebutan satyagraha.20
Sebelum Gandhi pergi ke Afrika Selatan, sudah ribuan orang-orang India
hidup di sana. Sebagaimana diketahui, sampai pada dewasa ini, orang-orang kulit
berwarna di Afrika Selatan dianggap oleh orang-orang kulit putih yang
memerintah di sana sebagai manusia kelas kambing. Dengan demikian orangorang India yang hidup di sana juga merasakan penghinaan dan penindasan dari
orang-orang kulit putih.21
Gandhi bertekad akan memperjuangkan nasib bangsanya di Afrika
Selatan. Ia menjadi advokad di Supreme Nourt of Natal, mengadakan aksi petisi,
menuntut supaya undang-undang yang menyatakan dicabutnya hak milik orang20
21
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 11.
. D. P. Sihombing, India, Sejarah dah Kebudayaannya, h. 98.
18
orang India di Afrika Selatan dicabut oleh legislatif Counsil. Didirikan Natal
Indian Congress di Afrika Selatan dan kemudian tuntutan tersebut terpaksa harus
diterima oleh pemerintah. Dengan berhasilnya Gandhi dalam aksi pertamanya itu,
keyakinan orang India di Afrika Selatan pun bertambah besar terhadap Gandhi. Ia
berjuang terus membela kepentingan orang-orang India.22
Dasar perjuangan Gandhi yaitu sifat keras tidak boleh dilawan keras, tetapi
dengan tidak melawan (perlawanan secara pasif). Menurut keyakinan Gandhi,
dengan sikap demikian musuh akan tunduk, walaupun bagaimana kuatnya. Teori
demikian itulah yang disebut Ahimsa yang kemudian dipraktekkan di dalam
Satyagraha.23
Untuk usahanya menegakkan hak-hak asasi, ia mulai dengan mendirikan
sebuah ashram di Sabarmati. Di sini ia hidup dengan sangat sederhana, segala
kebutuhan dicukupi sendiri, segala pekerjaan dikerjakan sendiri, berkebun,
memintal benang, memasak, dan lain-lain, tidak ada babu, tidak ada pelayan
semua anggota beranggotakan sama. Gandhi mengajarkan bagaimana manusia
harus menghadapi hidup, yakni dengan sikap ahimsa-tanpa kekerasan. Dalam
seluruh kehidupannya, Gandhi tidak hanya berkhotbah, ia selalu memulai
perubahan dari dala dirinya dan keluarganya sendiri. Ia membuktikan bahwa
ajarannya tidak sia-sia dan tidak mustahil untuk dilakukan setiap orang.
Walaupun gerakan Satyagraha di Afrika cukup berhasil, namun ia merasa
bahwa perjuangannya akan sangat dibutuhkan di India. Maka pada tahun 1915 ia
kembali ke negerinya dan segera menjadi pemimpin gerakan kemerdekaan,
22
23
Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi, h. 143.
Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi, h. 295.
19
bahkan beberapa kali ia dipilih menjadi pemimpin kongres nasional di India.24
Perjuangannya di India adalah sambungan perjuangannya di Afrika Selatan,
tempatnya berlainan dan jumlah bangsa yang dipimpinnya berlipat ganda
besarnya, tetapi dasarnya, metodenya dan tehniknya adalah sama.
Pada waktu Gandhi berusia 60 tahun, Gandhi menuntut Dominion Status
buat India sedangkan Jawrhal Nehru dan Subhas Candra Bose menuntut
kemerdekaan penuh, kalau Inggris tidak memberikan Dominion Status pada
penghabisan tahun 1929. akan tetapi kedua tuntutan tersebut ditolak mentahmentah oleh Inggris. Kemudian pada bulan desember 1929 diadakan persidangan
kongres yang dikuasai oleh Nehru, akhirnya mengambil keputusan bahwa
tuntutan India tidak hanya Dominion Status, akan tetapi kemerdekaan
sepenuhnya. Gandhi dan Nehru sepakat pada keputusan tersebut, hingga pada
tanggal 15 Agustus 1947 di seluruh India diadakan sumpah setia kepada cita-cita
India untuk merdeka, dan pada hari itu dijadikan hari nasional, hari kemerdekaan,
yang tetap dirayakan sampai sekarang.
Sampai kemerdekaan India tercapai, perjuangan Gandhi tidak berhenti,
mengajar rakyat, berpuasa, hidup berkorban dengan memberi contoh sendiri.
Perkataan dan perbuatan selalu selaras pada diri Gandhi. Juga setelah India
merdeka pada tanggal 15 Agustus 1947, Gandhi berjuang terus untuk persatuan
Hindu-Muslim, sampai akhir hayatnya.
Sepanjang sejarah perjalanan hidup Gandhi, ia senantiasa mengapdikan
dirinya untuk kepentingan umum, yang ditutup dengan pengorbanan jiwanya.
Pada tanggal 30 Januari 1984, ketika ia hendak melakukan puja bersama, tiba-tiba
24
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 12.
20
seorang fanatik Hindu bernama Nathuram Vinayak Godse membunuhnya dengan
sepucuk pistol. Kata-kata terakhir yang diuvapkan Gandhi sebelum meninggal
dunia ialah “He Rama”.25 Dengan kematian Gandhi, dunia betul-betul kehilangan
seorang tokoh yang telah memberi tonggak penting bagi sejarah umat manusia
dan khususnya bagi India, sehungga sejarah dapat dibagi menjadi zaman sebelum
dan sesudah Gandhi.
B. Latar Belakang Pemikirannya
Mahatma Gandhi dikenal sebagai seorang yang taat beragama. Ia banyak
dipengaruhi oleh lingkungan masa kecilnya yakni orang tuanya, desanya,
masyarakat sekitarnya dan lebih-lebih suasana religius Hinduisme yang menjiwai
pada setiap orang India. Sifat-sifat Gandhi banyak dipengaruhi dari orang tuanya,
seperti sifat keras kepala, mempunyai kemauan yang kuat, keras dalam berusaha,
suka damai, jujur dan setia, ia tiru dari ayahnya. Sedangkan sikap-sikap religius
lebih dipengaruhi oleh ibunya, yang merupakan seorang wanita yang taat
beragama.26
Sejak masih kanak-kanak Gandhi telah mengenal sastra-sastra Hindu yang
umumnya berisi kebijakan-kebijakan dan bernada religius, seperti puisi
Vaishnawa, Ramayana dan kesenian sandiwara seperti cerita Harischandra. Selain
itu, Gandhi sangat gemar membaca sehingga banyak buku-buku yang ia baca
mempengaruhi pemikiran dan kehidupannya. Seperti Gandhi sampai berulang kali
membaca Baghavad Gita. Bagi Gandhi Baghavad Gita merupakan buku penuntun
25
“He Rama” adalah bahasa Sansekerta. “He” berarti seruan, dan ”Rama” merupakan nama
Tuhan. Jadi ”He Rama” artinya ”Oh Tuhan” hal ini berarti menunjukan hubungan pribadinya
dengan Tuhan.
26
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 13.
21
kehidupan rohani, sehingga setiap saat dalam kehidupannya merupakan usaha
yang sadar untuk menghayati kitab Bhagavad Gita.
Buku lainnya yaitu Civil Disobedience karya Henry David Thoreau dan
The Kingdom Of God Is Within You karangan Leo Tholstoy. Kedua buku ini
mempengaruhi Gandhi dalam melaksanakan Satyagraha. Civil Disobedience telah
membuka mata Gandhi bagaimana ahimsa dapat digunakan dalam menghadapi
persoalan-persoalan politik. Sedangkan dalam The Kingdom Of God Is Within
You Gandhi mendapatkan dukungan yang meyakinkan atas kepercayaannya pada
kebenaran dan tanpa perlawanan, juga yang lebih menarik ia mendapatkan suatu
ungkapan tentang keindahan dan kebesaran penderitaan. Bahwa penderitaan tidak
selalu „didalam dirinya sendiriā€Ÿbernilai negatif, penderitaan ternyata mampu
mengangkat manusia ketaraf keutamaan yang lebih tinggi. Disebutkan dalam
buku itu bahwa melalui penderitaan, manusia bisa membebaskan diri dan
menetralisasi kekuatan-kekuatan jahat yang ada di dalam dirinya.27
Gandhi tertarik mempelajari moralitas Kristen, terutama kekuatan cinta
kasih dari Khotbah Yesus di atas bukit pada Al-kitab Perjanjian Baru. Pada
khotbah di bukit mengajarkan bahwa manusia harus saling mencintai. Keharusan
itu bukan karena ada perintah untuk mencintai, melainkan manusia pada
hakikatnya memerlukan itu. Hukum yang diletakan Yesus bukanlah sesuatu yang
berada di luar diri manusia, melainkan sesuatu yang berada di dalam (hati)
manusia, inheren dalam setiap pribadi.28
27
28
166-167.
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 15.
I. Marsana Windhu, Khotbah di Bukit Ahimsanya Mahatma Gandhi, Rohani, 1993, h.
22
C. Garis Besar Pemikirannya
Gandhi
dikenal
sebagai
seorang
yang
taat
beragama,
ketaatan
baragamanya tidak lepas dari dari pengaruh ibunya yang rajin menjalankan
peribadatan, dan adanya kitab-kitab agama yang dibacanya. Dikatakan oleh
Thekkenedath: sesungguhnya ketika berada di Afrika Selatan Gandhi mempelajari
bahasa Sansekerta, menghafal Gita, membaca karya-karya Ruskin, Tolstoy dan
Thoreau, meninggalakan keduniaan dan menjadi Mahatma (berjiwa besar).
Pemikiran Gandhi sebenarnya tidak kompleks, justru sebaliknya, Gandhi
dengan tegas memilih kesederhanaan, tidak hanya dalam menjelaskan ajaranajarannya, tetapi juga oleh praktek hidupnya. Hal ini nampak terutama dalam
konsepnya tentang dunia, Tuhan, alam dan kehidupan manusia.
Sebagai seorang Mahatma, pemikirannya tentang Tuhan tidaklah terlalu
rumit. Menurutnya Tuhan merupakan wujud universal yang meliputi segala
sesuatu, dan manusia adalah salah satu bagian kecil, Tuhan juga menciptakan
hukum, dimana antara pencipta hukum dan hukum itu tidak dapat dibedakan
antara satu dengan lainnya.
Adapun mengenai sifat Tuhan, Gandhi melihatnya bahwa Tuhan tidak
personal yang mempribadi, melainkan yang impersonal yang hanya di tangkap
melalui pemahaman. Keyakinan terhadap kesempurnaan-Nya tidak diragukan
lagi, dan manusia karena keterbatasannya hanya menangkap bagian dari
kesempurnaan itu. Sedang kehadiran Tuhan dapat dirasakan melalui fenomena
alam yang teratur. Keteraturan itu bukanlah suatu hukum yang buta, sebab
keteraturan itu mempunyai arah yang jelas, dan hukum semacam itu dipahami
Gandhi sebagai Tuhan
23
Gandhi memaknai kebenaran sebagai sesuatu yang sama dengan suara di
dalam bathin setiap orang. Maka kebenaran itu bukan semata-mata obyektif tetapi
subyektif. Jika kebenaran itu bersifat subyektif maka akan tampak berbagai
kebenaran dari individu-individu, dan hal itu bukan masalah bagi pencari
kebenaran. Ia menyatakan:
“Namun, meskipun mengabdi pada apa yang tampak sebagai kebenaran bagi
seseorang, akan tampak sering bagi orang lain sebagai ketidakbenaran. Tetapi hal itu
tidak perlu menggusarkan bagi seorang pencari kebenaran. Di mana ada ikhtiar-ikhtiar
yang jujur, disana akan kita sadari bahwa tampaknya kebenaran yang berbeda-beda hanya
merupakan daun-daun dari satu pohon yang tak terhitung banyaknya dan kelihatannya
berbeda.”
Konsepsi semacam ini timbul karena Gandhi memahami bahwa Tuhan
menampakan diri pada manusia dengan berbagai bentuk, tetapi ia meyakini
kebenaran adalah sebutan tepat bagi Tuhan.
Jalan untuk melihat Tuhan yaitu dengan melihat ke dalam ciptaannya
dan bersatu dengan ciptaan-Nya itu, inilah kebenaran yang dimaksud Gandhi. Dan
cara bersatu, berdamai serta selaras dengan ciptaan itu adalah sebagai ahimsa.
Ahimsa yang diajarkan Gandhi merupakan suatu keseluruhan hidup yang meliputi
pikiran tindakan dan kata-kata. Ahimsa ditujukan kepada mereka yang kuat
jiwanya, bukan kepada mereka yang lemah dan suka kompromi. Hanya mereka
yang mampu mengalahkan ketakutannyalah yang sunguh-sungguh dapat memiliki
kekuatan ahimsa, sehingga ia benar-benar menjadi seorang yang seluruh hidupnya
hanya mau berpegang pada kebenaran atau Satyagraha.29
Menjadi Satyagrahi atau orang yang melakukan Satyagraha, seorang
dituntut mengadakan tindakan disiplin diri dan sikap pengabdian, karena
penekanannya pada pencapaian ketinggian moral. Untuk itu perlu melatih diri
29
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 17-18.
24
terus menerus dalam disiplin, kesadaran diri
dan kebersihan lahir batin
(Bracmacharya).
Mahatma Gandhi juga banyak mempelajari agama-agama lain di luar
agama Hindu. Gandhi belajar agama-agama lain lewat membaca buku,kitab-kitab
suci, dan dialog dengan teman-temannya. Sehingga banyak dari temen-temennya
yang mengajak Gandhi untuk masuk dalam agama mereka, namun keyakinan
Gandhi tetap pada ajaran Hindu. Banyak yang menarik dalam ajaran kitab kitab
suci dalam agama lain, seperti, dalam agama Budha, ketika Sidharta Gautama
menggendong anak kecil yang terkena penyakit biri-biri, begitu bahagianya anak
kecil itu. Juga pada kitab perjanjian baru, Gandhi sangat terkesan pada Khotbah di
atas Bukit30, yaitu:
Tetapi aku berkata padamu: janganlah kamu
Melawan orang yang berbuat jahat kepadamu.
Melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu,
Berilah juga kepadanya pipi kirimu.
Dan kepada orang yang hendak mengadu engkau,
Karena menginginkan bajumu, serahkanlah juga jubahmu,
Disini Gandhi melihat bahwa ada kesamaan dalam ajaran pada agamaagama lain yaitu tentang kasih sayang, semua agama mengajarkan untuk toleransi,
kasih sayang, dan kejujuran.
D. Karya-karyanya
Mahatma Gandhi termasuk penulis artikel yang produktif. Artikelartikelnya dimuat pada tabloid-tabloid mingguan dan ia pun mengasuh beberapa
rubrik mingguan seperti Indian Opinion, Young India, Navajiva dan Harijan.
30
Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi, h. 78.
25
Selain Gandhi menulis buku-buku karangannya, artikel-artikelnya juga banyak
yang dibukukan. Buku-buku karya Gandhi adalah sebagai berikut:
1. Guide to Healt, Madras, S. Gamsan, 1921.
2. Basic Education, Ahmedabad, Navajivan Publishing House, 1951.
3. Christian Mission, Ahmedabad, Navajivan Press, 1941.
4. Economic of Khadi, Ahmedabad, Navajivan Press, 1941.
5. Ethical Religion, Madras, S. Ganesam, 1922.
6. Hind Swaraj, Ahmedabad Navajivan Press, 1938
7. Non Violence in Peace and War, Ahmedabad Navajivan Publishing
House, Part I, 1945, Part II, 1949.
8. Sarvodaya, Ahmedabad Navajivan Publishing House, 1951.
9. Satyagraha In South Africa, Madras, S. Ganesam, 1928.
10. The Story of eksperiments With Truth, Ahmedabad Navajivan Publishing
House, 1940.
11. Swadesi, True and False, Poona, 1939.
12. Women and Social In Justice, Ahmedabad Navajivan Press, 1942.
13. Towards Non-Violence Socialisme, Ahmedabad Navajivan Publishing
House, 1951.
E. Kondisi Perempuan India Pada Masa Gandhi
India pada zaman kuno oleh penduduknya disebut: Jambu dwipa, yang
artinya: benua pohon jambu, atau disebut Bharatwarsa, yang artinya adalah tanah
keturunan Bharata. Nama India dijabarkan dari nama sungai Sindhu yang
mengairi daerah barat India,oleh orang-orang Persia sungai itu disebut sungai
26
Hindu. Kemudian nama ini diambil oleh orang-orang Gerika, sehingga nama
itulah yang terkenal di dunia Barat. Akhirnya nama itu diambil-alih oleh
pemerintahan India sekarang ini. Ketika agama Islam dating di India nama yang
diberikan oleh bangsa Persia timbul kembali dengan bentuk Hindustan, sedangkan
penduduknya yng masih memeluk India asli disebut orang Hindu.31
Penduduk India yang tertua tergolong bangsa Negrito, yang kemudian
bercampur dengan bangsa-bangsa yang mendatangi India. Maka bangsa India
sekarang ini merupakan bangsa campuran. Di antara bangsa-bangsa yang
memasuki India dan yang berpengaruh besar atas kebangsaan India yaitu bangsa
Dravida yang terkenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban yang tinggi dan
bangsa Arya yang merupakan bangsa yang pandai berperang karena hidup mereka
mengembara.
Sebagian besar penduduk India menganut agama Hindu. Sebenarnya
agama Hindu bukanlah agama seperti pada umumnya. Agama Hindu adalah suatu
bidang keagamaan dan kebudayaan. Yang meliputi zaman sejak kira-kira 1500
SM. Hingga sekarang. Di dalam perjalanannya di sepanjang abad-abad itu agama
Hindu berkembang sambil berubah dan berbagi-bagi, sehingga memiliki ciri yang
bermacam-macam, yang oleh penganutnya kadang-kadang diutamakan namun
kadang-kadang juga tidak diindahkan sama sekali. Berhubungan dengan itu maka
Govinda Das mengatakan, bahwa agama Hindu sesungguhnya adalah suatu proses
antropologis, yang hanya karena nasib yang ironis saja diberi nama agama dengan
berpangkal kepada Weda-weda yang mengandung di dalam dirinya adat istiadat
dan gagasan-gagasan salah satu atau beberapa suku bangsa, agama Hindu sudah
31
Harun Hadiwiyono, Agama Hindu dan Budha, (Jakarta: Gunung Mulia, 1993), h. 9.
27
berguling-guling terus di sepanjang abad-abad hingga kini, sehingga seperti bola
salju yang makin lama makin menjadi besar, karena menghisabkan adapt istiadat
dan gagasan-gagasan bangsa-bangsa yang dijumpainya di dalam dirinya.32
Bangsa India kuno terkenal dengan kebudayaannya yang tak tertandingi
dan pemikiran-pemikirannya yang tinggi, tetapi kini India telah mengalami
kenyataan lain. India telah terjatuh sedemikian jauh dari keadaan yang
membahagiakan, dan barang kali tidak ada aspek kehidupan yang terjatuh
sedemikian hebat sebagaimana kejatuhan yang menimpa kehidupan perempuan.
Dari status kaum perempuan yang setara dan sebagai istri serta mitra sejajar
kemudian berubah menjadi lebih rendah dari kaum pria, derajatnya turun menjadi
hanya sekedar tempat yang bisa digunakan saat diinginkan oleh kaum pria untuk
pemuas keinginan, tanpa memiliki hak-hak atau kehendak. Adat dan kebiasaan
telah memperlakukan kaum perempuan dengan kasar.33
Pada saat ini, hampir di seluruh masyarakat Hindu di India memiliki
keinginan untuk mendapatkan keturunan laki-laki dan menyesalkan anak
perempuan. Ada sebuah pemahaman yang mendorong masyarakat Hindu untuk
melakukan ini yaitu bahwa seseorang tidak bisa mencapai surga tanpa anak lakilaki, bahkan untuk semata-mata ingin memperoleh keturunan laki-laki seorang
suami menikah lagi hingga memiliki 2, 3, dan 4 orang istri.34 Hal ini merupakan
diskriminasi yang menyakitkan yang harus diterima oleh kaum perempuan.
Bahkan ketika anak perempuan telah tumbuh menjadi seorang gadis, dia akan
selalu diperlakukan berbeda dengan anak laki-laki yang diberi kebebasan penuh.
32
Harun Hadiwiyono, Agama Hindu dan Budha, h. 11.
Amrit Kaur,”Kata Pengantar” dalam Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan
Ketidakadilan Sosial, h. Viii.
34
Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 189.
33
28
Seorang gadis akan selalu dijaga ketat oleh orang tuanya dan seorang gadis
dituntut kesucian hingga ia menikah.
Anak putri yang suci, mempunyai status sangat tinggi dalam keluarga
Hindu dan dipuja sebagai dewi perawan. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat
Hindu sangat mempertimbangkan pentingnya kesucian mendorong para orang tua
untuk merencanakan perkawinan anak-anaknya sedini mungkin. Sementara
minimnya pendidikan serta keinginan untuk memilki anak memberi andil dalam
perkawinan dini gadis-gadis Hindu, faktor lain disebabkan oleh meningkatnya
rigiditas sitem kasta dan keinginan untuk menjamin kesucian kasta dan stabilitas
tata sosial.35
Kebiasaan masyarakat Hindu untuk menikahkan anak-anaknya pada usia
yang relatif masih muda atau pernikahan di bawah umur, pada hal ini telah
menimbulkan keadaan yang merusak akar perkembangan fisik, intelektual dan
bahkan spiritual. Seorang anak perempuan yang masih sangat muda diharuskan
menghadapi kenyataan bahwa ia kini telah berstatus sebagai seorang istri dan ibu
dari anak-anaknya. Istri-istri yang masih anak-anak dan anak-anak yang telah
menjadi ibu harus menunaikan tugas sucinya secara benar-benar dengan sungguhsungguh dan mendidik, membimbing serta membentuk karakter anak-anaknya.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat India, di mana masih banyak
suami yang menganggap istri mereka sebagai milik mereka seperti hewan ternak
atau perlengkapan rumah tangga. Oleh karena itu, mereka berpikir bahwa mereka
memilki hak untuk memukul istrinya seperti memukul hewan ternaknya. Ternyata
para suami yang terpelajar pun tidak terbebas dari kepercayaan yang meyakini hak
35
Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, terj. Syafaā€Ÿatun Al-Mirzanah
dkk. (Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA, Mc Gill-Project, 2002), h. 96-97.
29
suami untuk memperlakukan istri-istri mereka seperti ternak dan memukulnya
kapan pun mereka terdorong untuk melakukannya.
Di beberapa daerah India sistem purdah masih berlaku sangat ketat dan
masih dipertahankan bahkan dalam rumah tangga orang terpelajar. Kaum
perempuan dibiarkan terkurung dan ditahan dirumah-rumah mereka yang
berhalaman sempit. Mereka tidak pernah diberi kesempatan menghirup udara
segar kebebasan. Bahkan hanya sedikit kaum perempuan yang diberi kesempatan
untuk mengenyam pendidikan yang memadai, perkembangan jasmani dan rohani
dan ekspresi diri yang sepenuhnya. Individualitas mereka telah ditekan secara
semena-mena di bawah beban-beban kebudayaan dan hukum-hukum tak tertulis.36
Pada sisi lain, ketika seorang perempuan yang masih muda yang ditinggal
mati oleh suaminya, ia harus mengalami penderitaan-penderitaan yang tak
tertanggungkan
sebagai
janda-janda.
Pada
masyarakat
Hindu
telah
memperlakukan seorang janda dengan tidak terhormat. Seorang janda tidak
beruntung, pertanda buruk bagi siapapun yang berjumpa dengan dia, bahkan pada
janda kasta Brahma harus menjalani Tonsure (pencukuran seluruh kepala), warna
putih polos pada pakaian diasosiasikan dengan status menjanda, maka seorang
janda diharapkan menghindari pakaian berwarna, gelang, pemakaian bunga dan
perhiasan yang diasosiasikan dengan status kawin. Bagi seorang janda tidak boleh
berpartisipasi
aktif
dalam
kesempatan-kesempatan
yang
menjanjikan
kesejahteraan. Seorang janda tidak diperbolehkan kawin lagi dan dibatasi cara
hidupnya dengan hanya mendapatkan sedikit saja kesenangan hidup dan hasrathasrat alamiahnya ditekan.
36
Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 14.
30
Hal semacam itu dialami oleh kaum perempuan, baik oleh seorang anak
perempuan, oleh seorang muda atau bahkan oleh perempuan berusia lanjut yang
bahkan terjadi dalam rumahnya sendiri. Semasa kanak-kanak seorang perempuan
harus tunduk kepada ayahnya, dalam masa muda kepada suaminya, bila tuanya
mati, pada anak laki-lakinya , seorang perempuan tidak boleh bebas.
Sebagai akibat dari tatanan sosial yang menindas dan tirani, kaum
perempuan India telah kehilangan semangat kekuatan dan keberanian, kehilangan
kemampuan untuk berpikir dan berinisiatif secara independen, dikarenakan di
India masih berkembang sistem yang memaksakan status janda, purdah,
persembahan gadis-gadis kepada kuil (devidasi), perbudakan ekonomi dan
perkawinan terhadap kaum perempuan yang masih anak-anak.
31
BAB III
KONSEPTUALISASI PEMIKIRAN
MAHATMA GANDHI TENTANG PEREMPUAN HINDU
A. Perempuan dalam Kitab Suci Hindu
Agama Hindu merupakan agama yang banyak didasarkan pada beberapa
kitab-kitab suci. Agama Hindu memiliki pustaka suci yang terbesar jumlahnya
dibandingkan kitab-kitab suci agama lain.1 Selain agama itu Hindu adalah agama
yang sudah tua dan merupakan agama yang di anut di kawasan India. Agama
Hindu sering disebut Sanata Dharma, yang berarti agama yang kekal atau Maidika
Dharma yang berarti agama yang berdasarkan kitab suci Weda.
Sumber keterangan tentang persoalan-persoalan yang menyangkut dunia
dan manusia di dalam agama Hindu terdapat dalam kitab yang disebut Kitab
Weda, yang menurut keyakinan dalam Hindu isinya
diwahyukan oleh dewa
tertinggi kepada para resi, para Brahmana dan para guru, yang berabad-abad
kemudian dibukukan menjadi Kitab Weda tersebut. Pewahyuan menurut
keyakinan Hindu bahwa pada waktu-waktu tertentu dewa tertinggi berfirman
secara langsung di dalam hati sanubari pada orang-orang tadi mengenai kejadiankejadian yang sedang di hadapi. Wahyu itu semula disebarkan oleh para
penerimanya kepada orang lain atau generasi berikutnya secara lisan yang
kemudian ada upaya untuk dibukukan dalam Kitab Weda tadi, pembukuan itu
tidak secara langsung melainkan bertahap. Pertama-tama terkumpulah bagian
1
Arvind Sharma, Agama Hindu, terj. Ngakan Made Madrasuta dan Sanh Ayu Putu Renny,
(Surabaya: Paramitha, 2000), h. 54.
31
32
Weda yang disebut Weda Samhita kemudian kedua bagian Weda yang disebut
Brahmana dan akhirnya bagian Weda yang disebut Upanishad.2
Pada zaman Weda (1500 SM hingga 600 SM) yang meliputi zaman
kedatangan bangsa Arya dan penyebarannya di India, serta penyebaran
kebudayaan dan peradaban Arya itu.3 Orang-orang Arya datang ke India pada
millenium kedua sebelum Masehi membawa tradisi Indo-Eropa yang patrineal dan
patrilokal. Agama mereka memiliki ciri patriarkal, etnis berorientasi keluarga dan
mempertahankan hidup. Tujuan hidupnya adalah mempertahankan dominasi lakilaki dan identitas bangsa Arya di samping itu juga untuk memenuhi hasrat
memperoleh keturunan, kemakmuran sampai usia lanjut, dan ritual-ritual
keagamaan yang semua itu didasarkan terutama pada keluarga.4
Pada zaman Weda memberikan penghargaan yang baik terhadap feminitas
maupun komplementaritas antara suami istri, meskipun masih dalam struktur yang
patriarkal. Penghargaan ini merupakan suatu pembaharuan sistem patriarki yang
terdapat dalam konteks tradisi Indo-Eropa sebelumnya.5 Hal ini terlihat dalam
perubahan istilah dampati yang pada awalnya di kalangan orang-orang IndoEropa diartikan “tuan rumah” kemudian di India berubah menjadi “pasangan”
suami istri.
Pada masa ini anak perempuan (duhita) dan gadis (kanya) dipuji karena
cantik, wajah berseri, dandanan menarik, senyum yang manis, pinggul yang sintal
dan paha yang besar. Deskripsi yang semacam ini menunjukkan adanya interest
pada daya tarik sensualitas feminin dan kemampuan seorang perempuan untuk
2
F. X. Koesno, Sekilas Sari Filsafat India Hindu, Mawas Diri, h. 31.
F. X. Koesno, Sekilas Sari Filsafat India Hindu, Mawas Diri. h. 33.
4
Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, terj. Syafa’atun Al-Mirzanal.
Dkk (Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA, Mc Gill Project, 2002), h. 72.
5
Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 73.
3
33
melahirkan anak terutama anak laki-laki. Seorang gadis yang belum menikah
diawasi dan dijaga ketat oleh orang tuanya, karena seorang pengantin perempuan
dituntut harus perawan.6
Di dalam Rg-Weda digambarkan secara jelas tentang upacara perkawinan
di India dijelaskan bahwa pengantin perempuan merupakan “keberuntungan”
(sumangali) dan “menguntungkan” (siva). Dalam upacara tersebut doa-doa
dipanjatkan untuk para dewa-dewa agar pasangan pengantin mendapatkan
kebahagiaan (saubhagatva), bersama-sama mencapai usia lanjut, makmur,
memiliki keturunan dan kesatuan hati, serta ditujukan kepada Visvavasu, yang
merupakan pelindung gadis-gadis perawan, agar memindahkan penjagaannya
kepada yang lain. Selain itu, pengantin perempuan diberikan nasehat-nasehat agar
ia tidak boleh marah atau benci kepada suaminya; harus lembut, ramah, gembira,
melahirkan anak laki-laki, mengasihi para dewa, memberikan kebahagiaan,
membawa keberkahan dan menjadi ratu bagi iparnya. Semua nasehat praktis yang
diberikan kepada pengantin perempuan dalam Rg-Weda diistilahkan sebagai Jaya
(orang yang ikut merasakan perasaan suami), Jani (ibu anak-anak), dan patni
(partner dalam melakukan berbagai ritual atau yajna). Istilah-istilah tersebut
dalam Rg-Weda merupakan ciri peranan perempuan Hindu.7
Ritual-ritual keagamaan di pusatkan di rumah, yaitu dewa-dewa diundang
untuk mengunjungi dan menerima hadiah di sana-maka istri hadir dalam
peristiwa-peristiwa ini serta berpartisipasi di dalamnya melalui hymne-hymne
pujian dan sikap-sikap yang ramah. Dalam ritual domestik maupun ritual publik
menekankan kehadiran bersama suami dan istri. Kehadiran seorang istri
6
7
Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 73.
Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 74
34
diperlukan
untuk
menghadirkan
dewa-dewa
dan
rumah
dipandang
menguntungkan (subha) apabila adanya kebrsamaan suami istri. Kesempurnaan
hidup (kebahagiaan, kekayaan dan kesejahteraan), pencapaian keabadian (versi
syurgawi hidup ini), dan bahkan tata tertib alam dan masyarakat pun diperoleh
karena adanya keharmonisan suami istri.8
Bagaimanapun seorang istri dan ibu pada zaman ini dimuliakan, namun
suamilah yang tetap memiliki peranan yang dominan. Perempuan menurut Weda
tidak lebih dari seorang patner yang ikut membantu, meskipun tidak terlibat
secara aktif dalam ritual-ritual Weda. Hal ini disebabkan karena alasan bahwa
para dewa tidak mungkin diabaikan dan perhatikan. Jadi, jika semua laki-laki
tidak berada di rumah, maka istri melakukan peran ritual menjamu tamu
menggantikan suaminya di samping tugas rutinnya sebagai penjaga api rumah.9
Dengan demikian perempuan mempunyai andil yang sangat kecil dalam kegiatankegiatan ritual keagamaan.
Sebagian besar naskah Hindu seperti “the law of manu”, Smriti,
Yajnavalkyis, atri dan Vahista meletakan wanita pada posisi terbawah
dibandingkan laki-laki di dalam keluarga, ritual, umum, wanita selalu berada
dibawah pengawasan laki-laki, tanpa laki-laki, wanita berpotensi terkena
bahaya.10
Kehidupan suami-istri biasanya memerlukan perlindungan dari suaminya
dan begitupun suami memerlukan kasih sayang dari isterinya. Dalam ajaran
agama Hindu disebut “tattwamasi” maksudnya: saya adalah engkau atau engkau
8
.Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 74.
Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 74
10
Ida Rosyidah, Gandhi’s Ideas of Women in Hinduism, REFLEKSI Jurnal Kajian Agama
dan Filsafat. Vol. VIII, No. 3, Jakarta, 2006, h. 265.
9
35
adalah saya.11biasanya suami istri dalam ajaran Hindu memilki pedoman yang
dijadikan acuan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Seperti dalam pustaka
suci Manawa Dharmasastra III dalam sloka 60, 61, 62.
Samtusto bharyaya bharta tathaiwa ca,
Yasminnewa kule nityam kalyanan tatra wai dhruwam
Artinya:
Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan
demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti
kekal.
Yadi hi stri na roceta pumamsam na pramodayet,
Apramodat punah pumsah prajanan na prawartate
Artinya:
Karena kalau istri tidak mempunyai wajah berseri, ia tidak akan
menarik suaminya, tetapi jika seorang istri tidak tertarik pada
suaminya tidak akan ada anak yang lahir.
Striya tu rocamanayam sarwam tadrocate kulam,
Tasyam twarocamanayam sarwmena na rocate
Artinya:
Jika seorang istri selalu berseri-seri seluruh rumah akan kelihatan
bercahaya, teapi jika ia tidak berwajah demikian semuanya akan
kelihatan suram.12
Dalam agama Hindu terdapat praktek Sati yang merupakan dharma
(kebaikan) dari pada menjanda yang merupakan suatu adharma (kejahatan). Jadi,
ketika seorang suami meninggal dunia seorang istri harus memilih antara
melakukan Sati dengan predikat kemuliaannya ataukah menjadi janda dengan
predikat kesialannya. Bagi seorang perempuan yang memilih Sati, Sati adalah
pelaksanaan upacara keagamaan yang dilakukan seorang istri demi kesetiaan
terhadap suaminya. Seorang perempuan dengan penuh ketenangan dan
penyerahan jiwa dan raga, rela ikut dibakar bersama jasad suaminya yang telah
11
12
Ni Made Sri Arwati, Swadarma Ibu dalam Keluarga Hindu, h. 7.
Gede Pudja dan Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 148.
36
meninggal dunia. Masyarakat memandang seorang perempuan yang berani
melakukan Sati, dianggap seorang istri yang baik atau seorang Sati sejati, yang
mendatangkan kehormatan dan kemuliaan bagi diri, keluarga dan masyarakatnya.
Masyarakat pun mengungkapkan rasa terima kasih terhadap perempuan tersebut
karena memperoleh kesempatan menyaksikan pengorbanan mulia itu.13
Sedangkan perempuan yang memilih tetap menjadi janda, ia ditandai
dengan “garis-garis ketidak beruntungan” tertulis di kening putihnya sebab di situ
sudah tidak ada lagi titik merah (tilaka). Rambut kepalanya dicukur atau dibiarkan
terurai tanpa hiasan bunga, hal ini memperlihatkan keadaannya yang sengsara.
Tidak ada satu pun perhiasan menghiasi bagian-bagian tubuhnya, tubuhnya hanya
dibalut kain Sari dari kain kapas berwarna buruk, sering kali tanpa blous dan
seperti biasa ia berjalan tanpa alas kaki. Dalam masyarakat, ia dikucilkan seperti
tidak boleh mengikuti pertemuan-pertemuan, perayaan-perayaan, pesta-pesta
perjamuan bahkan kesenangan atau kenikmatan dalam bentuk apapun. Sebagai
seorang manusia, ia dipandang sebagai seorang perempuan yang telah gagal
dalam melakukan perbuatan dan tujuan keagamaannya.14
B. Konsep Ideal Perempuan Hindu
1. Perempuan sebagai istri
Tuhan Yang Maha Esa menciptakan dua mahluk yang berlainan jenis dan
menumbuhkan rasa saling mencintai antara keduanya, sehingga lahirlah
perkawinan dan terwujudnya suatu keluarga.15 Perkawinan merupakan suatu
13
Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 100
Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 101.
15
Gusti Ayu Kade Jati Laksmi, Wanita Hindu dalam Perluasan Cakrawala Pembangunan,
14
h.45.
37
sakramen, yang dalam agama Hindu merupakan satu diantara empat ashrama.16
Perkawinan mengesahkan hak untuk berpadu bagi kedua mitra dengan
mengucilkan semua orang lain, bila mereka berdua beranggapan bahwa perpaduan
itu menyenangkan. Namun tidak diberi hak mutlak kepada masing-masing mitra
untuk menuntut kepatuhan terhadap hasratnya untuk berpadu.17
Sakramen perkawinan yang dilakukan biasanya merupakan pengalaman
traumatis bagi seorang gadis muda, karena saat perkawinan, Ia diambil dari
rumahnya; dimana dia dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Dia dipindah ke
keluarga suaminya dengan diawasi secara ketat oleh sanak familinya. Meskipun
dirinya beruntung, karena status perkawinannya sesuai dengan ajaran-ajaran
agama, namun stereotipe yang berkembang memperlihatkan bahwa keluarga
suami seringkali menganggap dirinya sebagai figur yang berbahaya, seorang
perempuan penggoda, hingga ia melahirkan anak pertama. Lebih disukai jika anak
yang dilahirkan adalah anak laki-laki, dan setelah itu baru ia berada pada posisi
aman.18
Dalam sastra-sastra Hindu telah menuliskan bahwa tujuan utama suatu
pernikahan yaitu memperoleh keturunan, seperti do’a yang diucapkan ibu rumah
tangga baru pada saat pernikahannya, oleh saudari-saudarinya yang lebih tua,
yaitu semoga kami dikaruniai banyak anak. Hal ini menguatkan bahwa hidup
16
Empat ashrama merupakan ciri-ciri perkembangan kehidupan beragama manusia, yang
terdiri dari Brahmachari (masa menuntut ilmu), Grhastha (masa berumah tangga), Wanaprastha
(masa pertapa) dan Sanyasin (masa hidup dengan meninggalkan keduniawian). Lihat:
Djam’annuri, Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-agama (sebuah pengantar) (Yogyakarta:
Kurnia Kalam Semesta, 2000), h.36-37.
17
Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, Kehidupan dan Gagasan Mahatma
Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, terj. Kustiniyati Mochtar (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia dan PT. Gramedia, 1988), h. 191.
18
Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h.98.
38
bersama dalam pernikahan harus diperuntukkan bagi tujuan mendapatkan
keturunan, tidak pernah untuk memuaskan hasrat seksual atau yang lainnya.19
Gandhi memberikan konsep pernikahan ideal, yaitu pernikahan yang
mempunyai syarat bahwa perkembangan spiritual harus diletakkan dalam
peringkat pertama sebagai satu alasan pernikahan. Kewajiban ada pada urutan
berikutnya, pemahaman keluarga dan pentingnya tatanan sosial diletakkan dalam
urutan ketiga dan saling tertarik atau cinta pada urutan keempat. Hal ini berarti
bahwa pernikahan tanpa cinta harus dihindari meskipun syarat yang lainnya telah
terpenuhi. Di sini Gandhi tidak memasukkan syarat tentang kekuatan genetik,
karena menurutnya memperoleh keturunan merupakan tujuan sentral dari
pernikahan. Kekuatan genetik tidak bisa diperlakukan sebagai “syarat” suatu
pernikahan.20
Namun, tidak ada upaya yang dapat memberi pemahaman lebih baik dari
pada pemahaman kepada kaum muda yang akan mengarungi kehidupan
pernikahan untuk keseriusan hidup yang akan mereka jelang. Hal ini adalah
keyakinan dan pendirian yang harus melandasi upacara pernikahan, bukannya
pesta-pesta belaka tetapi merupakan upacara-upacara pertasbihan suci. Dalam
sebuah ikatan pernikahan suami istri merupakan mitra yang sejajar. Apabila sang
suami disebut swamin, maka istri disebut swamini-masing-masing menjadi guru
bagi pasangannya, menjadi pasangan bagi yang lainnya, saling bekerja sama
dalam menunaikan tugas dan kewajiban hidup.
Gambaran tentang istri yang ideal seperti diungkapkan naskah-naskah suci
Hindu. Naskah-naskah Hindu merupakan sumber pokok kedua agama Hindu.
19
Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, terj. Siti Farida
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h.160.
20
Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 162-163.
39
Ketaatan perempuan pada suaminya sebagai pati (istri yang setia) diilhami oleh
metapor dewi, yang menjadikan pelajaran penting bagi perempuan dalam teksteks Smrti. Berbagai episode epik tulisan-tulisan metodologis mengenai hubungan
suami istri mementingkan orientasi feminine Stri dharma yang menekankan pada
kesetiaan, kesucian, kepatuhan, dan kerendahan hati dan juga kekuatan yang
dihasilkan melalui tapa.21
Menurut ajaran Hindu, perkawinan dipandang sebagai dharma (kewajiban)
tentang dharma tersebut. Maha Rsi Manu dalam Manawa Dharmasastra
mengatakan sebagai berikut:
Prajanartha striyah srstah samtanartham ca manawah,
Tasmat sadharano dharmah crutau patnya sahaditah
Artinya:
Untuk menjadikan ibu, perempuan diciptakan dan untuk menjadi ayah,
laki-laki itu diciptakan upcara keagamaan karena itu ditetapkan didalam
weda untuk dilakukan oleh suami bersama dengan istrinya, (manawa
dharmasastra XI. 96).22
Kedudukan perempuan sebagai istri dalam rumah tangga selalu berkaitan
dengan kewajiban-kewajibannya terutama terhadap suami diuraikan dalam kitab:
Asitamaranat ksanta niyata brahmacarini,
Yo dharma ekaptninam kangksanti tamanuttamam.
Artinya:
Sampai mati hendaknya ia sabar menghadapi kesulitan-kesulitan hidup,
mengendalikan diri sendiri dan tetap suci serta berusaha memenuhi tugastugas mulia yang ditentukan untuk istri-istri yang mempunyai satu suami
saja, (manawa Dharmasastra V sloka 158)23
Epik-epik mitologi Hindu menunjukkan tokoh-tokoh wanita seperti yang
tersebut sebagai Ramayana dan Mahabarata. Di dalam cerita Ramayana dapat
21
Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h.93.
Gede Pudja dan Tjokroda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 551.
23
Gede Pudja dan Tjokroda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 323.
22
40
ditemukan sosok dewi Shinta (istri Rama), Sinta sebagai istri yang harus
mematuhi suaminya, dia tidak pernah menolak keinginan suaminya.24 Tokoh
wanita yang terkenal karena kesetiaannya dan kejujurannya, dengan jiwa besar ia
ikhlas untuk mendampingi suaminya dalam pembuangannya selama 14 tahun di
hutan. Gambaran tentang Shinta merupakan ilustrasi paling jelas dari konsep
perempuan ideal. Epik Ramayana ini lebih menggambarkan tentang kesetiaan
perempuan ketimbang kebahagiaan perkawinan, dan dalam setiap episodeepisodenya tersisipi kepentingan-kepentingan untuk menjelaskan niali-nilai
keutamaan Stridharma, seperti ketika Shinta bersikeras mengikuti Rama ke hutan,
ia mengatakan bahwa tempat seorang perempuan adalah di samping suaminya,
bahwa seorang istri berbagi keuntungan dan karena suaminya, bahwa naungan
kakinya lebih besar daripada istana. Dengan tekadnya untuk mendampingi Rama,
ia telah mempersiapkan pikirannya mengahdapi kesulitan di hutan.25
Di India, keberadaan seorang wanita dibawah perlindungan suaminya.
Seorang istri terbiasa memanggil suaminya dengan sebutan “Yang Mulia” bahkan
“Tuhan”, karena laki-laki memang dipandang sebagai penguasa bumi.26
Masyarakat menilai seorang istri yang baik adalah seorang wanita yang
menyerahkan segenap pikiran, ucapan dan tubuhnya.27 Selalu bersikap simpatik
terhadap suami, sehingga suami senantiasa merasa senang, patuh melaksanakan
24
Ida Rosyidah, Gandhi’s Ideas of Women in Hinduism, h. 266
Arvin Sharma, “Perempuan dalam Agama-agama Dunia”, h.94.
26
Said Abdullah Seif Al Hatimi, Citra Sebuah Identitas Wanita dalam Perjalanan Sejarah,
terj. Hamid Abud (Surabaya: Risalah Gusti, 1994), h.4.
27
. Said Abdullah Seif Al Hatimi, Citra Sebuah Identitas Wanita dalam Perjalanan Sejarah,
h.4.
25
41
kehendak suami dan etik serta mampu mengatur harta benda dan milik suami. Istri
yang terpuji adalah istri yang selalu menjaga kehormatan suaminya.28
Dharma seorang istri yang setia (Pativrata) adalah memuja dan melayani
suaminya sebagai dewa. Sebagai seorang Pativrata, ia dapat digambarkan dalam
Padma Purana yaitu idealnya ia harus seperti seorang budak yang melayani,
seorang perempuan sundal dalam bercinta, seorang ibu dalam memberi makan dan
seorang penasehat saat diperlukan suaminya.29
2. Perempuan Sebagai Ibu
Tingkatan hidup kaum perempuan di muka bumi ini mengalami tiga
peredaran masa yaitu perempuan sebagai puteri, perempuan sebagai istri dan
perempuan sebagai ibu. Perempuan sebagai ibu merupakan tugas istimewa
seorang perempuan dan merupakan tugas mulia yang diberikan oleh Tuhan di
samping posisi yang lainnya.
Disadari atau tidak seorang perempuan setelah berumah tangga atau mulai
memasuki masa grahasta mempunyai tugas dan tanggung jawab lebih berat dari
masa sebelumnya dan diikat oleh dharmanya sebagai seorang grahastin (ibu
rumah tangga), pendamping suami untuk melaksanakan tugas pengabdian dan
mempunyai tanggung jawab berat untuk putera-puterinya. Bagaimana cara
melahirkan, mengasuh dan mendidik secara baik lahir dan bathin, sehingga
dikemudian hari dapat menciptakan putera-puteri yang bijaksana, berbudi luhur
28
Gusti Ayu Kade Jati Laksmi, Wanita Hindu dalam Perluasan Cakrawala Pembangunan,
h.45.
29
Vasudha Narayanan, Persepsi-persepsi Hindu tentang Keberuntungan dan Seksualitas
dalam Becher Jeanne, Perempuan, Agama dan Seksualitas, terj. Indriani Bone (Jakarta: Gunung
Mulia, 2001), h. 99.
42
serta dapat mengabdikan diri kepada bangsa, negara dan agama. 30 Menjadi
seorang perempuan yang sempurna bukanlah tugas yang ringan. Mengadakan
keturunan harus dilakukan dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya. Seorang ibu
harus menyadari kewajibannya mulai dari saat pembuahan sampai saat lahirnya
anak.31
Ibu adalah seorang yang amat dekat dengan anak-anaknya, sehingga apa
yang diajarkan oleh ibu selalu melekat dan melandasi alam pikiran si anak.32
Semenjak dalam kandungan sang ibu hingga lahir dan perkembangan selanjutnya,
peranan ibu sangat menentukan terhadap perkembangan jiwa serta perangai anakanaknya. Hubungan ibu-anak merupakan ikatan simbiotik yang kuat di Hindu
India. Pada tingkat personalitas, ini berarti bahwa anakakan mengembangkan
ketergantungan yang kuat dan kebutuhan-kebutuhan pemeliharaan; kebutuhankebutuhan ini tetap harus dipenuhi hingga dalam kehidupan dewasa, karena ibu
selalu hadir dalam keluarga. Kehadiran ibu secara fisik yang terus menerus dalam
keluarga berarti bahwa ia tetap merupakan orang yang dominan bagi anaknya.
Seorang ibulah yang selalu memberikan pemeliharaan dan cinta pada anaknya. 33
Dalam kegiatan rumah tangga yang menyangkut tugas dan kewajiban
sehari-hari, seorang perempuan jika sebagai “ibu rumah tangga” maka dia
mempunyai tanggung jawab agar dapat tercipta solidaritas dan stabilitas keluarga.
Jika perempuan sebagai “ibu yang melahirkan anak” maka itu dianggap sebagai
30
Tjo Rai Sudharta, Manusia Hindu: Dari Kandungan Sampai Perkawinan, (Bali: Yayasan
Dharma Naradha, 1997), h. 89.
31
Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 191.
32
Gusti Ayu Kade Jati Laksmi, Wanita Hindu dalam Perluasan Cakrawala Pembangunan,
h. 45-46.
33
Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 98.
43
Tuhan, dan pada posisi yang demikian itu perempuan dihormati melebihi
penghormatan terhadap ayah dan guru.34
Tugas dan kewajiban seorang ibu dijelaskan dalam Manu Smrti sebagai
berikut:
Apatyam dharma karyani cucrusa ratih uttama.
Daradhinastatha suargah pitri rramat manaccaha.
Artinya:
Anak-anak, upacara agama, pengabdian (kepatuhan),
kebahagiaan rumah tangga, sorga untuk leluhur maupun
untuk diri sendiri semuanya didukung oleh kaum perempuan.35
Kedudukan seorang ibu di dalam rumah tangganya sebagai penyangga
ciat-cita rohani (spiritual ideals) dan menjadi guru pertama anak-anaknya.
Seorang ibu mempunyai kewajiban memberi contoh, anjuran dan ajaran yang
baik, mengajarkan disiplin kepada anak-anaknya. Tentang keberhasilan pribadi,
rendah hati, ramah tamah, berkelakuan baik dan pelayanan yang sopan santun
serta memuja Tuhan dengan sepenuh hati. Setiap ibu harus selalu mengambil
bagian dalam usaha untuk mengembangkan kesadaran tentang Tuhan dalam diri
anak-anaknya, karena anak-anak merupakan tunas bangsa, tiang dan dasar sebuah
negara.36
C. Peran Perempuan dalam Kegiatan Keagamaan
Gerak sejarah manusia banyak didominasi kaum laki-laki sehingga
penafsiran
34
doktrin
agama
pun
secara
sengaja
maupun
tidak
banyak,
Juwairiyah Dahlan, Wanita dalam Perspektif Agama Hindu, dalam M. Masyhur Amin
(ed), Wanita dalam Percakapan Antar Agama Aktualisasinya dalam Pembangunan, (Yogyakarta:
LKPSM NU, 1992), h. 77.
35
G. Pudja dan Tjokardja Rai Sudharta, Manawa Dharma Castra; Weda Smrti;
Compendium Hukum Hindu, (Jakarta: Depag RI, 1983), h. 535.
36
Juwairiyah Dahlan, Wanita dalam Perspektif Agama Hindu, h. 81.
44
menguntungkan laki-laki dan menyudutkan perempuan. Seperti dalam mite
penciptaan alam dalam Hindu dijelaskan bahwa Brahma; pencipta alam
dipandang sebagai laki-laki dan sekaligus perempuan. Brahma membagi dirinya
menjadi dua, sebagai Purusha (pria) dan sebagian yang lain Prakriti (wanita). Hal
ini memberi pengertian lebih jelas bahwa pria dan wanita merupakan emanasi
langsung dari jasad Tuhan sendiri, maka perempuan adalah bagian dari kekuatan
Tuhan yang asli, yang berarti kekuatan Tuhan. Dengan demikian secara esensial
terdapat kesamaan spiritual antara pria dan wanita. Interaksi yang harmonis antara
Purusha dan Prakriti menyebabkan terciptanya alam ini.37
Pada hakekatnya menurut
Gandhi laki-laki dan perempuan adalah
menunggal, masalah merekapun pasti manunggal pula, kedua-duanya mempunyai
jiwa yang sama pula, masing-masing menjalani kehidupan yang sama dan
mempunyai perasaan yang serupa, yang satu merupakan pelengkap bagi yang lain,
masing-masing tidak akan hidup tanpa bantuan aktif dari pasangannya.38 Gandhi
menambahkan bahwa kita semua adalah anak Tuhan yang sama dan merupakan
bagian dari keilahian yang sama.39
Gandhi meyakini akan ke-Esa-an mutlak Tuhan dan oleh sebab itu,
keesaan umat manusia juga. Lebih lanjut Gandhi meyakini, memang badan kita
sebagai manusia banyak, tetapi jiwa kita hanya satu. Seperti sinar matahari juga
terpecah banyak melalui pembiasan, tetapi sumbernya tetap sama.40
Gandhi berkeyakinan bahwa semua manusia adalah sama dihadapan
Tuhan, maka baik laki-laki maupun perempuan, baik kasta rendah maupun kasta
37
Juwairiyah Dahlan, Wanita dalam Perspektif Agama Hindu, h. 72.
Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 186.
39
Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 98.
40
Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 92.
38
45
tinggi adalah sama yaitu makhluk yang rendah bila dibandingkan dengan Tuhan.
Oleh sebab itu, Gandhi tidak banyak berbicara tentang peran perempuan dalam
kegiatan keagamaan secara spesifik, namun demikian ia sedikit memberikan
pembaharuan-pembaharuan dalam beberapa praktek kehidupan yang berkaitan
dengan ajaran agama yang berpengaruh dalam gerakannya, diantaranya adalah:
1. Ajaran Cinta Kasih
Dalam keadaan wajar, normal, manusia dilahirkan dan dibesarkan di atas
dasar cinta kasih. Cinta kasih merupakan motif penggerak hidup dan kehidupan.
Selain cinta kasih adalah unsur penting dalam menghayati berbagai usaha sosial
dan kerukunan hidup bermasyarakat, cinta kasih juga bisa menghubungkan
manusia dengan Tuhan YME (Hyang Widhi Wasa), dengan sesama manusia dan
alam lingkungannya. Cinta kasih sangat membahagiakan, sebab cinta kasih
menyamakan kehendak, tujuan dua orang atau lebih dalam kerjasama, seperti
misalnya cinta kasih dalam kehidupan bermasyarakat akan mendorong anggota
masyarakat itu untuk selalu bergotong-royong, bantu-membantu dalam kehidupan
sehari-hari.
Gandhi datang dari keluarga yang memeluk agama Djainisme, suatu jenis
agama Hindu yang sangat keras melarang pemeluknya melakukan perbuatan yang
bengis seperti menyakiti makhluk lain, apalagi membunuh. Cinta dan kasih
sayang itulah yang menjadi dasar agama tersebut, selain itu Gandhi sangat keras
dididik menurut ajaran-ajaran agamanya itu, sehingga dasar kasih sayang sudah
sejak kecil menjadi dasar hidupnya pula.41
41
Mahatma Gandhi, Religi Susila, terj. Sumirat, (Jakarta: Balai Pustaka, 1950), h. 7.
46
Dalam kehidupan, Gandhi selalu berusaha untuk menangani kejahatan atau
kekejaman terhadap sesama manusia maupun binatang dan lingkungan sekitar,
hingga ia menjadi seorang vegetarian; seorang berpantang makan daging, sebagai
wujud cinta kasihnya terhadap makhluk lain dan kepatuhannya terhadap ajaran
agama.
Sesungguhnya seluruh jiwa Gandhi adalah penjelmaan cinta dan kasih
sayang semata-mata. Sekalipun ia sangat menentang ketidakadilan dan segala
yang bertentangan dengan kebenaran namun ia tidak pernah beranggapan
mempunyai musuh. Seolah-olah kata-kata musuh tidak ada dalam kamusnya, yang
ada hanyalah sahabat yang berbeda paham dan keyakinan. Pernah ia berseru pada
pengikutnya:
“Kalau perjuangan kita sungguh-sungguh bersifat rohani yang sejati dan
memberikan kemenangan kepada kita, maka haruslah dengan insaf kita membuang
anggapan, bahwa perjuangan kita ini adalah sesuatu perjuangan antara musuh dengan
musuh. Ini berarti, bahwa pada perjuangan kita ini, (berlainan dengan semua peperanganpeperangan duniawi) pihak-pihak yang berlawanan itu bukanlah musuh berlawanan
musuh, melainkan sahabat berhadapan dengan sahabat, yang masing-masing berada di
dalam tempat yang terpisah, oleh karena pendapat dan keyakinan masing-masing
berlainan atau malah bertentangan satu sama lainnya. Pertentangan tersebut mungkin
bersandar kepada sesuatu keyakinan yang jujur, tapi mungkin juga kepada ketamakan,
keangkuhan bangsa atau keangkuhan sosial. Sekalipun pihak lain memandang kita
sebagai kaum pemberontak, sebagai musuh atau sebagai apapun juga, namun dari pihak
kita sendiri haruslah kita selamanya berpendirian, bahwa kita bukanlah musuh sesuatu
pihak manapun juga.”42
Dengan prinsip-prinsip hidup yang selalu ia pegang dan selalu digunakan
sebagai prinsip perjuangannya pula, ia tidak hanya merevolusi nasib bangsanya
saja, tetapi juga merevolusi segenap umat manusia untuk diberi dasar peri
kemanusiaan dan kasih sayang antar sesama makhluk hidup dengan membuang
segala nafsu-nafsu yang buruk dan jahat. Semua itu menunjukkan betapa besarnya
jiwa Gandhi yang universal itu, perjuangan Gandhi tidak hanya mempunyai arti
42
Mahatma Gandhi, Religi Susila, h. 15-16.
47
terbatas di lingkungan kebangsaannya semata, melainkan sudah meningkat pada
tingkatan lebih tinggi derajatnya dengan mempunyai nilai abadi, yaitu perjuangan
untuk membebaskan segenap manusia lahir dan batin dari segala macam
penindasan dengan hanya taat kepada satu kekuasaan dan hanya mengakui satu
undang-undang yaitu kekuasaan dan undang-undang kasih sayang.43
2. Brahmacharya
Secara harfiah brahmacharya berarti cara hidup yang menuntun manusia
kepada kesadaran akan adanya Tuhan.44 Brahmacharya atau selibat di kalangan
para penganut mistik dan asketik Hindu dianggap sebagai puncak pengorbanan
diri dan penolakan atas keberadaan person, cara paling hakiki untuk menghindari
semua godaan dan menemukan Tuhan.45 Menurut Gandhi makna sebenarnya dari
brahmacharya adalah pencarian terhadap Brahman. Dalam filsafat Hindu,
Brahman adalah prinsip religius yang merupakan perwujudan dari Brahma, dan
Brahma dalam berbagai manifestasinya Sang pencipta, penjaga dan pengrusak
adalah Dzat Tertinggi. Dari sinilah segala sesuatunya berasal dan tujuan akhirnya,
melalui siklus inkarnasi dan reinkarnasi, berjuang keras untuk bersatu kembali
dengan Dzat Tertinggi. Karena Brahman selalu ada dalam setiap orang, ia bisa
diketahui melalui kontemplasi dan pencerahan batin, pencerahan ini tidak
mungkin tercapai tanpa kontrol yang sempurna terhadap semua alat indera.46
43
Mahatma Gandhi, Religi Susila, h. 16-17.
Mahatma Gandhi, Berkawan dengan Alam Menuju Kesehatan Alternatif, terj. Siti Farida
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 77.
45
Ved Mehta, Ajaran-ajaran Mahatma Gandhi, terj. Siti Farida (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), h. 362-363.
46
Ved Mehta, Ajaran-ajaran Mahatma Gandhi, h. 364.
44
48
Namun pada umumnya brahmacharya diartikan sebagai pengontrol alat
kelamin dan pencegahan pengeluaran sperma melalui pengekangan penuh atas
naluri seks dan alat kelamin sendiri. Kontrol terhadap naluri dan organ-organ
seksual menjadi sesuatu yang alamiah, bagi seseorang yang selalu berlatih untuk
serba bisa dalam hal pengendalian diri. Hal ini bisa terjadi hanya ketika ketaatan
pada brahmacharya itu sungguh-sungguh alamiah bagi laki-laki atau perempuan
yang mengambil manfaat terbesar dari sikap ini. Orang yang tengah menjalani
brahmacharya harus benar-benar bebas dari nafsu amarah dan nafsu-nafsu
sejenisnya. Gandhi meyakini bahwa hubungan seksual adalah kewajiban agama
yang semata-mata bertujuan untuk menjadi sarana lahirnya anak (prokreasi),
tetapi kewajiban untuk mengabdi kepada masyarakat adalah kewajiban agama
yang lebih tinggi daripada prokreasi. Meskipun demikian Gandhi tidak anti
terhadap perkawinan atau hubungan seksual. Ia tetap mendukung dan
menganjurkan para muridnya tetap bertemu dan jatuh cinta di dalam kegiatan
pengabdian mereka, tanpa meninggalkan sumpah brahmachari. Mereka mulai
hidup bersama dalam apa yang mereka sebut sebagai “Pernikahan Spiritual” atau
“Keluarga Spiritual”, dan kepada para muridnya yang telah menikah Gandhi
menganjurkan untuk mengambil sumpah brahmachari segera setelah mereka
menyempurnakan keluarga mereka semampu yang bisa mereka lakukan. Gandhi
pun sangat mendukung orang yang tidak pernah menikah dan ingin mengabdikan
dirinya secara total kepada masyarakat dengan menghilangkan hasrat seksual dan
pernikahan sekaligus. Semua ini merupakan kesalehan yang diamalkan dalam
49
tradisi Gandhi, yang merupakan eksperimen-eksperimen lebih jauh dari praktek
brahmacharya eksplorasi lebih jauh atas pemurnian pengorbanan diri.47
Bagi seorang brahmachari perbedaan antara laki-laki dan perempuan
hampir lenyap, maka laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang
sama untuk menjalani kehidupan brahmacharya. Karena seorang brahmacharya
yang sempurna akan hidup dalam keberadaan Tuhan, menyatu dengan Tuhan.
Laki-laki atau perempuan mempunyai kedudukan yang sama di mata Tuhan
dalam mencapai moksa dan kehidupan yang kekal di Nirvana.
3. Puasa
Sebagai seorang brahmacharya, walaupun pada permulaan dirasakan berat
dan sukar, namun setelah bertahun-tahun menjalani jatuh bangun dengan aneka
eksperimen, Gandhi merasakan hidup seorang brahmachari lebih banyak
memberikan kegembiraan. Dari pengalaman Gandhi, pengekangan diri dalam
makanan sangat diperlukan mengingat terdapat hubungan yang erat antara pikiran
dan badan. Makanan seorang brahmachari harus dijaga; bahkan puasa akan
banyak menolong, namun manfaat puasa terbatas saja yakni bahwa pemadaman
nafsu birahi pada umumnya tidak mungkin tanpa puasa. 48
Menurut Gandhi, selama pikiran belum seluruhnya dikuasai oleh kemauan
maka brahmacharya tidak mungkin sempurna. Pikiran yang tiba-tiba muncul
merupakan afeksi dari kalbu; sebab pengekangan pikiran berarti pengekangan
kalbu, suatu pengendalian yang lebih sukar dilakukan daripada pengendalian
angin. Dengan adanya atman dalam diri kita, atman itu memungkinkan
47
48
Ved Mehta, Ajaran-ajaran Mahatma Gandhi, h. 410.
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), h. 39.
50
pengendalian kalbu. Hal ini merupakan tujuan yang paling luhur, maka tidaklah
mengherankan jika hanya usaha yang keraslah yang akan memungkinkan
tercapainya tujuan tersebut.
Pada bulan Shravan; seperti bulan Ramadhan dalam Islam, Gandhi pun
mengajak anggota ashramnya untuk melakukan pradosha (berpuasa sampai
malam) dan mengunjungi kuil-kuil Shaiva dan Vaishnawa. Tradisi ini merupakan
warisan tradisi leluhur Gandhi, di mana ia melihat ibunya sendiri dan kerabatkerabatnya biasa melaksanakan puasa Shaiva dan Vaishnawa.49
Ketika
Gandhi
melakukan
eksperimennya
ini
bersama
keluarga
ashramnya; termasuk anak-anak, beberapa orang anggota keluarganya adalah
muslim yang ketika itu berbarengan bulan ramadhan bagi mereka. Maka Gandhi
selalu membantu mengajarkan mereka untuk menaati petunjuk-petunjuk agama
mereka, begitu juga Gandhi sendiri, anak-anak Kristen dan Parsi didorong untuk
menjalankan ibadah mereka masing-masing. Oleh sebab itu, pada bulan tersebut
Gandhi membujuk anak-anak muslim untuk melaksanakan puasa ramadhan dan
ia sendiri melakukan puasa pradosha beserta anak-anak Hindu, Parsi dan Kristen
diminta ikut melaksanakannya juga. Gandhi menjelaskan kepada mereka bahwa
tidak perlu untuk mengikuti sampai hal-hal terkecil, cukuplah menghormati anakanak muslim yang harus menunda makannya sampai matahari terbenam. Selain
yang muslim dapat menyiapkan hidangan-hidangan lezat untuk teman-teman
muslim serta melayani mereka.50 Dari eksperimen ini Gandhi mencoba
menanamkan sikap toleransi antar umat beragama pada anak-anak penghuni
ashramnya di samping anjurannya untuk melaksanakan kewajiban berpuasa.
49
Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi; Kisah Eksperimen-eksperimen dalam
Mencari Kebenaran, terj. Gd. Bagus Oka (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 1982), h. 305.
50
Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi, h. 205-206.
51
4. Sembahyang Puja
Sembahyang, puja adalah meminta sesuatu kepada Tuhan dalam sikap
yang penuh hormat. Sembahyang dapat diartikan juga sebagai suatu perbuatan
pengabdian (Bhakti, devotion). Tindakan sembahyang ini mencerminkan sebuah
kerinduan hati untuk menjadi satu dengan Sang Pencipta, suatu permohonan atas
rahmat-Nya. Setiap kata-kata yang diucapkan memiliki suatu kekuatan atau
pengaruh pada diri setiap orang yang melaksanakannya. Sembahyang, puja
mengandung
maksud
menyadarkan
manusia
bahwa
manusia
hanyalah
“segenggam lempung di tangan Sang Pembuat Tempayan”, tidak sesuatu pun
terjadi tanpa kehendak-Nya. Maka dalam Hindu tidak ditentukan berapa banyak
waktu yang dipergunakan untuk bersembahyang, hal ini tergantung diri masingmasing orang.
Ketika Gandhi mendirikan ashramnya, kebenaran merupakan pondasinya
dan sembahyang sebagai kekuatannya. Maka sejak ashram didirikan setiap
penghuninya diharuskan melakukan sembahyang setiap harinya. Dalam setiap
harinya dimulai puja pagi hari pada pukul 04.15 sampai 04.45 waktu setempat dan
pada soere harinya puja petang pada pukul 07.00 sampai 07.30 petang atau 19.0019.30 waktu setempat.51
Tindakan sembahyang dengan pengucapan hal yang sama dari hari ke hari
dianggap akan menjadi hal yang mekanis dan cenderung kurang bermanfaat maka
tindakan ini mendapat tantangan. Menurut Gandhi memang benar bahwa dengan
jalan demikian doa akan menjadi mekanis. Kita sendiri adalah mesin, dan bila kita
51
Mahatma Gandhi, Kehidupan Ashram Dari Hari Ke Hari, terj. Gd. Bagoes Oka (Bali:
Yayasan Bali Canti Sena, 1981), h. 26.
52
percaya akan Tuhan sebagai penggerak kita, maka kita harus bersikap sebagai
mesin di tangan-Nya.52 Puja bersama yang dilakukan di ashram bertujuan
membuat hati kita bersujud setiap saat. Jika doa ashram masih belum menarik,
dan jika warga ashram pun menghadirinya karena terpaksa, itu hanya berarti
bahwa tak seorang pun di antara kita sudah merupakan orang yang bersujud dalam
arti yang sejati.53
Selain dilakukan puja bersama, di ashram Gandhi juga menekankan puja
perorangan dan doa dalam kesunyian. Seorang tidak pernah berdoa sendiri boleh
saja ikut dalam doa bersama tetapi dia tidak akan dapt memperoleh banyak
manfaat. Doa bersama mutlak perlu bagi umat yang mantap tetapi karena umat itu
terdiri dari oknum-oknum, doa bersama tak ada manfaatnya tanpa ditunjang doa
perorangan. Maka dari itu sekali-kali setiap warga ashram diperingatkan bahwa
atas dasar kemauannya sendiri harus mengadakan mawas diri setiap hari. Dalam
hal ini tidak ada seorang pun dapat mengawasinya dan tidak ada laporan yang
dapat dibuat tentang doa yang dipanjatkan di hati. Gandhi pun tidak mengetahui
sejauh mana hal ini berlaku di ashram. Tetapi ia percaya bahwa ada beberapa
anggota senantiasa berusaha ke arah itu.54
52
Mahatma Gandhi, Kehidupan Ashram Dari Hari Ke Hari, h. 34-35.
Mahatma Gandhi, Kehidupan Ashram Dari Hari Ke Hari, h. 38.
54
Mahatma Gandhi, Kehidupan Ashram Dari Hari Ke Hari, h. 39.
53
53
BAB IV
KONTRIBUSI MAHATMA GANDHI BAGI PERGERAKAN
PEREMPUAN HINDU DI INDIA
A. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Mahatma Gandhi dalam
Memperjuangkan Kaum Perempuan
Mahatma Gandhi adalah pecinta kemanusiaan sejati, ia sangat gigih
menentang setiap ketidakadilan dalam bentuk apapun. Oleh karena itu, Gandhi
sangat mendukung perjuangan untuk mengatasi persoalan-persoalan perempuan,
terutama menumbuhkan kesadaran kaum perempuan bahwa mereka mempunyai
kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki. Dalam pembaharuan dan
penegakan kebenaran, ia memulai karya dan perjuangan bagi emansipasi kaum
perempuan secara keseluruhan.
Perjuangan Mahatma Gandhi ini dilandasi dari realitas social perempuan
pada masa itu di mana status perempuan lebih rendah dari kaum laki-laki, bahkan
di kalangan masyarakat Hindu berkembang pemahaman bahwa seseorang tidak
akan masuk surga tanpa anak laki-laki, dan untuk hal itu seorang suami bisa
menikahi 2, 3, atau 4 istri.1
Selain itu kebiasaan-kebiasaan di kalangan masyarakat Hindu seperti
pernikahan dini, mengungkung perempuan pada bilik-bilik tersembunyi di rumahrumah, ajaran sati, kondisi yang menyedihkan untuk para janda muda serta masih
banyak kaum laki-laki yang memandang rendah kaum perempuan, hal itu semua
membuat kaum perempuan India menjadi suatu golongan yang lemah, tertindas,
1
Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, terj. Siti Farida.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 189.
53
54
tersingkirkan dan menjadi “warga kelas dua”. Realitas kaum perempuan Hindu
yang sangat mengenaskan tersebut yang akhirnya menyebabkan Gandhi tergerak
untuk membuat perubahan-perubahan kearah positif bagi perempuan Hindu di
India.
B. Usaha-usaha Gandhi dalam Membangkitkan Pergerakan Perempuan
Hindu di India
Melalui tulisan-tulisan dan ceramah-ceramahnya, Gandhi memahami
bahwa hidupnya sebagai pengabdian dan kewajiban, ia tidak segan-segan
menentang dan meluruskan kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan kepada kaum
perempuan yang dilandasi hukum, tradisi bahkan agama. Kontribusi-kontrbusinya
untuk memajukan kaum perempuan adalah sebagai berikut:
1. Reinterpretasi baru terhadap ajaran-ajaran Hindu tentang perspektif
kesetaraan
a. Ajaran Ahimsa
Sumbangan Gandhi yang terbesar bagi kemanusiaan adalah
pesannya mengenai Ahimsa (non-kekerasan) sebagai jalan menuju
perdamaian, keadilan dan Tuhan. Gandhi menjalani dengan serius
perintah-perintah Alkitab, “Jangan membunuh” dan “Kasihilah musuhmusuhmu,” bersama-sama dengan tradisi Hindu tentang ahimsa (tidak
membunuh), dan menerapkan penolakan terhadap kekerasan ke dalam hati
dan kehidupannya demikian pula kepada Afrika Selatan, India dan seluruh
dunia. Tetapi dia mengajarkan pula bahwa non-kekerasan bukan hanya
menolak membunuh: itu adalah tindakan kasih dan kebenaran sebagai
55
sebuah kekuatan perubahan sosial yang positif. Malahan, dia menegaskan
bahwa non-kekerasan adalah kekuatan yang paling aktif.
Ahimsa berarti cinta tak terhingga dan ini berarti kesanggupan
tanpa batas untuk menderita.2 Gandhi menyebutkan bahwa suatu fitnah
bila menyebut kaum perempuan sebagai makhluk yang lemah. Tindakan
semacam itu merupakan tindakan yang tidak adil dari kaum laki-laki
terhadap kaum perempuan. Bila yang dimaksud hanya terbatas pada
kekuatan kasar, memang kaum perempuan kurang kasar daripada kaum
laki-laki, tetapi bila yang dimaksudkan adalah kekuatan moral, kaum
perempuan mengungguli kaum laki-laki. Bukankah intuisi kaum
perempuan jauh lebih halus, bukankah kaum perempuan lebih rela
mengorbankan diri, lebih kuat bertahan dan lebih berani. Tanpa adanya
kaum perempuan kaum laki-laki tidak mungkin ada.3 Gandhi juga
mengkritik hak yang tidak sama antara suami dan istri di dalam keluarga
yang mana memposisikan wanita sebagai ardhangana, yang mana hanya
memilki setengah dari hak suami dan sahadharmini, budak suami.
Penggambaran ini sebagai bentuk ketidakpedulian tradisi Hindu terhadap
eksistensi perempuan. Gandhi berpendapat, suami dan istri adalah patner
yang setara,karena laki-laki dan perempuan adalah satu, masalah mereka
harus menjadi satu wujud, yang satu tidak bisa hidup tanpa yang lain aktif
2
Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma
Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, terj. Kustiniyati Mochtar (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia dan PT. Gramedia, 1988), h. 186.
3
Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma
Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, h 189
56
membantu.4 Hal ini dapat dibuktikan yaitu tatkala perempuan mengandung
janin selama Sembilan bulan lamanya dan ia merasakan bahagia karena
penderitaannya itu. Ia mesti berjuang antara hidup dan mati ketika
melahirkan, menanggung nyeri setiap hari agar sang bayi bertumbuh terus,
ini merupakan penderitaan terbesar buat perempuan, namun ia melupakan
penderitaan itu karena kebahagiaan dan kehidupan yang diciptakannya.
Dengan tulus ia melimpahkan rasa cintanya dan ia pun merasa bangga
menerima kedudukan di sisi pria sebagai ibunda, sebagai pencipta dan
pemimpinyang diam.
b. Ajaran Satyagraha
Perlawanan pasif dipandang orang sebagai senjata bagi pihak yang
lemah. Namun perlawanan pasif yang Gandhi ciptakan adalah istilah baru
dan sesungguhnya merupakan senjata bagi pihak yang terkuat.5
Perlawanan pasif tersebut dinamakan Satyagraha (sat: kebenaran, agraha:
tekad),6 istilah ini kemudian dipakai sebagai senjata perjuangannya.
Inti dari Satyagraha adalah berpegang pada kebenaran, atau
kekuatan jiwa. Dalam pelaksanaan Satyagraha, Gandhi menentang
terhadap praktek kekerasan kepada lawan,
sebaliknya
ia harus
menghentikan kesalahan lawan dengan kesabaran dan simpati, karena apa
yang dianggap benar bagi seseorang dapat dianggap salah oleeh orang lain.
Kesabaran berarti pengorbanan diri, jadi dalam ajaran Satyagraha berarti
4
Ida Rosyidah, Gandhi’s Ideas of Women in Hinduism, REFLEKSI Jurnal Kajian Agama
dan Filsafat. Vol. VIII, No. 3, 2006, h. 268
5
Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma
Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, h. 193
6
Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi; Kisah Eksperimen-eksperimenku dalam
Mencari Kebenaran, terj. Gd. Bagoes Oka (Bali: Yayasan Bali Canti Sena, 1978), h. 296.
57
mempertahankan kebenaran bukan dengan membebani orang lain dengan
penderitaan melainkan dengan membebani penderitaan kepada diri sendiri.
Pada Satyagraha perlawanannya dilakukan dengan menderita sendiri atau
pengendalian diri, seperti melalui puasa. Semenjak perlawanan dalam
Satyagraha dialami melalui penderitaan diri sendiri yang merupakan
senjata yang paling sesuai bagi kaum perempuan, banyak kaum
perempuan di India di banyak instansi melebihi kaum lelaki mereka dalam
menderita dan memainkan bagian yang mulia dalam kampanye.7 Pada
masa perjuangan melawan pengusaan Inggris dapat disaksikan bahwa
wanita India dalam banyak peristiwa mengungguli kaum prianya dalam
menahan penderitaan dan bersama-sama kaum laki-laki.
Dalam pandangan Gandhi, perwujudan kebenaran baru mungkin
jika manusia bersih, artinya kebenaran tidak mungkin terwujud jika hati
manusia penuh dengan dendam, dengki dan kebohongan. Maka manusia
harus bersih dan murni, dan sebagai imbalan bagi mereka yang
mendapatkan kebenaran, mereka akan merasakan adanya semangat dan
keberanian, semangat untuk mengarungi kehidupan dan dorongan untuk
merealisasikan diri lebih penuh lagi. Hal ini membuktikan kebenaran
bukanlah sesuatu yang terletak di luar diri kita melainkan berada dalam
diri kita, inheren dalam hidup kita. Kebenaran bukanlah sesuatu nilai yang
abstrak, yang tak terbayangkan, tetapi sungguh-sungguh nyata, asalkan
kita setia mempertaruhkan hidup kita sebagai kebenaran itu.8
7
8
Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h.407
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, (Yogyakarta: kanisius, 1986), h. 23
58
Kebenaran juga merupakan hakekat moralitas manusia, yang
merupakan pelaku moral, ia menghayati dan terus mencari kebenaran
selama hidupnya. Hidup manusia seluruhnya harus mengarah pada titik
konvergensi di mana manusia bertindak sesuai hukum kebenaran. Tanpa
kebenaran tidak mungkin seseorang menghayati aturan-aturan dalam
hidupnya.
Kebenaran yang dipahami Gandhi adalah kenenaran abstrak.
Menurutnya sebuah baru bernilai bagi kehidupan dan berdaya guna jika
menjelma dalam kehidupan manusia setiap harinya. Usaha untuk
menjelmakan kebenaran berarti pula suatu kegiatan untuk merealisasikan
diri, usaha ini tidak pernah boleh berhenti. Dalam konteks pemahaman
inilah kebenaran dikatakan bersifat kekal.9
Perlawanan tanpa kekerasan merupakan satu asas semesta dan
pelaksanaannya tidak terbatas pada suatu lingkungan yang saling
bermusuhan saja, namun manfaatnya hanya dapat diuji bila diterapkan
dalam lingkungan dan ditentang oleh pihak lawan. Keberhasilan
perjuangan ini tidak bernilai jika tergantung pada kemurahan hati pihak
penguasa.
Satu-satunya syarat dari perjuangan tanpa kekerasan adalah
keadilan yang menyeluruh. Keberhasilan kekuatan ini terletak pada
kesadaran akan adanya jiwa yang terpisah dari badan manusia dan sifatnya
yang kekal. Keadaan ini berarti suatu keyakinan yang hidup dan bukan
9
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 27-28.
59
semata-mata suatu keyakinan akal budi.10 Dalam pemikiran Gandhi,
penderitaan tidak dipandang suatu hal yang negative, penderitaan
bukannya tidak mempunyai makna kesialan hidup di dunia bukannya tidak
mempunyai makna bagi kehidupan manusia, tapi justru sebaliknya
penderitaan mempunyai makna yang sangat positif. Dengan tegas Gandhi
menyatakan,
hanya
dengan
pengorbanan
diri
manusia
dapat
mengembangkan kepribadiannya dan dapat hidup.
Secara tersirat ditunjukan bahwa kekuatan dan daya hidup manusia
terletak pada bagaimana manusia menghadapi kepahitan-kepahitan hidup.
Dalam menghadapi kepahitan hidup itulah manusia sungguh-sungguh
ditantang sebagai individu yang mempunyai kekuatan jiwa dan nafsunafsu. Melalui penderitaan itu manusia dihadapkan pada dua pilihan,
menaati dan setia pada kebenaran atau menyerah kalah.11
Gandhi selalu menyatakan bahwa kaum wanita dan kaum pria
adalah manunggal. Mereka bukanlah entitas yang terpisah tetapi
merupakan satu kesatuan. Dalam hal kewajiban dalam pembelaan terhadap
negarapun, Gandhi selalu menganjurkan wanita untuk ikut melakukan
gerakan pembelaan terhadap negara, bahkan pemberontakan sipil terhadap
segala pengekangan.12
Pada tanggal 6 april 1919, untuk pertama kalinya Gandhi mengajak
para pengikutnya untuk menentang pemerintahan Inggris di India. Pada
saat itu Gandhi memutuskan penentangan terhadap rencana Rowlatt Bill
10
Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma
Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, h. 103.
11
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 64.
12
Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma
Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, h. 441.
60
dengan Hartal, yaitu suatu hari dimana orang harus berpuasa dan duduk
tafakur, toko-toko harus ditutup, dan semua orang melakukan pemogokan
kerja.
Pada pemberontakan pertama kalinya ini masyarakat ini belum
matang dalamperjuangan Satyagrahanya itu, maka terjadilah keributan dan
pembantaian besar-besaran oleh tentara Inggris pada tanggal 13 april 1919
di Amritsar. Melihat kejadian tersebut, Gandhi menyerukan kepada
seluruh wanita India agar mereka ikut terjun dalam perjuangan untuk
menyelamatkan bangsa. Keterlibatan kaum wanita untuk bergabung dalam
perjuangan tanpa kekerasan sangat di harapkan. Ratusan ribu wanita, yang
sebelumnya tidak pernah keluar dari bilik-bilik tersembunyi didalam
rumah mereka, ikut serta melakukan razia demi swaraj. Demikianlah
Gandhi memulai revolusi sosial di India yang sama kuatnya dengan
revolusi politik.
2. Pembelaan Mahatma Gandhi Terhadap Kekerasan DalamRumah
Tangga
a. Penolakan Terhadap Perkawinan Dini
Salah satu pembaharuan dalam masyarakat Hindu yang sangat
berat tantangannya yaitu penghapusan terhadap perkawinan dini.
Kampanye yang rutin dan konsisten harus selalu dilakukan untuk
menyelamatkan gadis-gadis India dari ketuaan yang dini dan kematian
dini, dan menyelamatkan Hinduisme dari tanggung jawab atas munculnya
generasi yang lemah dan tak berdaya.
61
Praktek pernikahan dini tidak hanya diyakini di satu propinsi atau
kelas masyarakat tertentu, tetapi pada prakteknya hal ini merupakan
kebudayaan yang universal di India. Pernikahan anak-anak juga
merupakan praktek yang sudah sangat tua, sejak masa Ramayana.13
Menurut Gandhi kebiasaan pernikahan dini adalah sebuah
kejahatan, baik dari tinjauan moral maupun kemampuan fisik. Kebiasaan
tersebut menyebabkan kita terjauhkan dari Tuhan dan juga dari Swaraj
(perjuangan
penegakan
kedaulatan
dan
kemerdekaan
bangsa).14
Perkawinan anak-anak dapat dikatakan sebagai penyebab yang menjadikan
kita terjauhkan dari Tuhan karena perkawinan anak-anak telah
meruntuhkan moral kita yaitu dengan membiarkan gadis yang masih di
bawah umur untuk dinikahi. Perjuangan meraih kemerdekaan bangsa ini
tidak hanya berarti perjuangan membangkitkan kesadaran politik saja akan
tetapi membangkitkan seluruh kesadaran, baik social, pendidikan, moral,
ekonomi, maupun politik.
Pada
bulan
Agustus
1925
seorang
aktivis
perempuan
mengeluarkan surat edaran yang ditujukan bagi pembentukan RUU di
hadapan Majelis Dewan Perwakilan, lembaga yang bertujuan untuk
menaikan standar usia akil baligh setidaknya dimulai dari umur 14 tahun.
Gandhi memberikan dukungan terhadap gagasan tersebut, banhkan
menurutnya tidak hanya pada usia 14 tahun tetapi hingga usia 16 tahun,
karena Gandhi ingin menyelamatkan gadis-gadis usia kanak-kanak yang
tidak bersalah dari nafsu laki-laki. Pernikahan pada anak-anak diusia
13
14
Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 68.
Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial\, h. 65.
62
sangat muda merupakan suatu tindakan tak bermoral dan tidak manusiawi.
Bahkan dalam teks-teks Sansekerta pun yang dianggap memilki otoritas
menurut Gandhi tidak bisa dijadikan rujukan untuk menyerahkan praktek
yang tak bermoral.15
Gandhi menyatakan:
“Saya telah menyaksikan rusaknya kesehatan ibu-ibu muda yang masih
anak-anak, dan ketika kengerian-kengerian pada pernikahan terlalu dini semakin
bertambah dengan munculnya janda-janda yang masih muda, maka tragedy
kemanusiaan menjadi kian sempurna. Suatu perundangan yang bijaksana dengan
tujuan untuk menaikan usia baligh pasti saya akan dukung”. 16
Tetapi Gandhi kecewa karena dukungannya terhadap perundangan tersebut
tidak mendapat dukungan publik.
Hingga ketika ada kasus yang terjadi di Madras pada bulan
Agustus 1926, yaitu yang mengenaskan menimpa seorang perempuan
yang timbul dari pernikahan anak-anak, si gadis berumur 13 tahun dan
suaminya 26 tahun. Pasangan itu hidup bersama selama 13 hari ketika
gadis itu mati terbakar. Hakim mendapati bahwa gadis itu melakukan
bunuh diri dengan memperlihatkan penderitaan yang tak tertanggungkan
dan penistaan-penistaan tidak manusiawi yang dilakukan oleh suaminya.
Pada kenyataannya kematian gadis itu memperlihatkan bahwa “si suami”
telah membakar baju-bajunya, disebabkan karena nafsu yang memang
tidak mengenal kebijaksanaan dan belas kasihan.17 Peristiwa di Madras
menurut Gandhi tidak mungkin terjadi, apabila opini public untuk
menentang pernikahan dini telah menjadi bagian dari nilai kehidupan.
15
Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 60.
Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 61
17
Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 63.
16
63
Kejahatan pernikahan dini ternyata terjadi sangat meluas baik di pedesaan
maupun di perkotaan. Persoalan ini merupakan tugas yang sangat utama
bagi kaum perempuan. Kaum pria juga tentu saja harus terlibat dalam
menangani tugas ini. Namun ketika laki-laki berubah menjadi jahat, dia
tidak mungkin lagi mendengarkan alasan apapun juga, oleh karena itu,
siapa yang bisa mengajarkan kepada kaum pria tentang persoalan yang
menimpa perempuan selain ibu?. Dari hal tersebut, Gandhi berusaha
menggerakan Konferensi Kaum Perempuan Seluruh India, untuk turun ke
desa-desa, karena menurutnya apa yang diperlukan adalah sentuhan
personal oleh kaum perempuan untuk membuka pikiran pada penduduk
desa agar bisa hidup sesuai dengan pemikiran umat manusia yang
semestinya.18
Sementara itu menurut norma-norma ajaran Hindu perkawinan
anak-anak
merupakan
suatu
kebaikan.
Perkawinan
ank-anak
ini
dilaksanakan karena alasan utama yaitu keperawanan. Dalam agama
Hindu anak-anak yang suci mempunyai status yang tinggi dalam keluarga
Hindu dan dipuja sebagai dewi perawan. Keperawanan khususnya
kesucian sering digambarkan sebagai kijang betina yang menyenangkan
tetapi liar, maka para orang tua menjadi obsesif dalam menjaga kemurnian
dan kesucian anak-anak putri mereka. Mempertimbangkan sangat
pentingnya kesucian mendorong orang tua merencanakan perkawinan
anak-anaknya sedini mungkin bahkan lebih rendah dari usia pubertas.19
18
Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 82-83
Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, terj. Syafa’atun Al-Mirzanah,
dkk., (Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA, Mc Gill Project, 2002), h. 96-97.
19
64
Pada masalah perkawinan dini ini Gandhi bertentangan dengan
norma-norma Hindu jika alasan utamanya adalah menjaga kesucian
dengan tidak melihat dampak yang disebabkan oleh perkawinan anak-anak
tersebut. Ucapannya kepada kaum perempuan “Purity ask for no external
protection”, Gandhi mengingatkan kaum perempuan bahwa perempuan
punya kekuatan dan apapun yang dilakukan harus diuji dahulu
kebenarannya, apakah tindakan itu adil dan manusiawi.20
b. Perkawinan Kembali Para Janda
Bila kita bayangkan seorang gadis kecil, berumur lima tahu,
dinikahkan dengan seorang laki-laki dewasa. Lima tahun kemudian,
suaminya meninggal, dan janda muda itu dipersalahkan. Masyarakat
mengecam karena dosa istrinyalah laki-laki itu meninggal. Anak
perempuan yang baru berumur sepuluh tahun itu tidak mempunyai harapan
untuk menikah lagi. Seumur hidup dia akan menjadi budak kepada
keluarga
almarhum
suaminya.
Rambutnya
dicukur,
perhiasannya
dirampas, pakaiannya hanya sepotong baju yang kasar dan kusam,
makannya hanya sekali sehari. Mungkin ia akan diperlakukan dengan
kejam bahkan dianiaya.21 Demikianlah nasib para janda muda di India
pada abad-abad yang lalu. Kaum wanita umumnya dipandang rendah.
Seorang perempuan tidak boleh dididik, ia pun tidak boleh mengharapkan
apa-apa baik di dunia maupun di akhirat, kecuali ia rela memperhambakan
diri secara mutlak kepada suaminya.
20
Ni Nengah Ruktini, Spiritualitas Perempuan dalam Agama Hindu (sebuah refleksi),
Gema Duta Wacana 1999, h. 127.
21
H. L. Cermat, Sastrawati Yang Membela Para Janda Muda, (Bandung: Lembaga
Literatur Babtis, 1982), h. 1
65
Melihat keadaan semacam itu, Gandhi merasa iba dan perlu
melakukan perubahan atas keadaan yang tidak berpihak kepada
perempuan. Ia membela para janda muda dan perempuan malang lainnya
yang dianggap sampah masyarakat.
Menurut Gandhi, tidak ada ajaran berupa pemaksaan status janda.
Status janda secara sukarela, secara sadar, dilakukan oleh seorang
perempuan
yang merasakan kedekatan
yang luar biasa dengan
pasangannya yang telah meninggal. Status janda yang dipaksakan oleh
agama atau adat istiadat merupakan beban yang tidak tertanggungkan, dan
dan merupakan sebuah penindasan rumah tangga yang buruk sekali oleh
kejahatan yang dilakukan secara diam-diam dan atas nama agama yang
jatuh derajat kemuliannya. Bukanlah status janda yang dipaksa dalam
Hindu tetapi sebetulnya merupakan suatu kejahatan jika seorang laki-laki
tua berumur lebih dari lima puluh tahun atau bahkan sering kali jauh lebih
tua dan penyakitan mengambil seorang istri yang masih anak-anak.
Menurut Gandhi selama India memilki ribuan janda di tengah-tengah
masyarakatnya, India seperti tengah duduk di atas ranjau pada suatu saat
pasti akan meledak, untuk menyelamatkan kemurnian Hinduisme maka
harus melepaskan diri dari racun status janda yang dipaksakan.22
Dalam pemikiran Gandhi, ia mendukung pernikahan kembali para
janda muda, karena meraka adalah orang-orang yang malang, dalam
kehidupan mereka yang pahit mereka tidak tahu apa-apa tentang pativrata
dharma. Mereka benar-benar asing dengan cinta, atau dengan kata lain
22
Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 226
66
gadis-gadis itu sama sekali belum pernah menikah. Apabila itu dikatakan
sebuah pernikahan, sebagaimana seharusnya sebuah upacara suci, sebuah
pintu gerbang untuk memasuki kehidupan baru, maka pilihan untuk
memilih pasangan hidup harus berada di tangannya, dan mereka harus
mengetahui akibat-akibat dari apa yang mereka perbuat. Sedangkan lakilaki yang menyebut pasangan anak-anak adalah sebuah status pernikahan
dan memerintahkan status janda kepada gadis yang suaminya telah mati,
adalah sebuah kejahatan melawan Tuhan.
Gandhi meyakini bahwa janda Hindu yang sesungguhnya adalah
sosok yang berharga. Dalam Hinduisme, dia adalah sebuah anugerah bagi
kemanusiaan, tetapi keberadaan janda-janda yang masih sangat muda itu
adalah setitik noda pada Hinduisme.23
Pemikiran Gandhi dipengaruhi oleh orang-orang islam dan Kristen.
Seperti yang telah diketahui bahwa dalam Islam maupun Kristen tidak ada
larangan para janda untuk menikah kembali. Hal itulah yang ingin
dihapussnya dalam larangan bagi para janda di dalam agama Hindu.
Meskipun ia juga tidak memaksakan kepada setiap janda untuk menikah
kembali.24
Gandhi berpendapat bahwa adalah suatu dosa, orang tua yang telah
menikahkan anak perempuan mereka dalam usia yang masih anak-anak,
maka untuk menebus dosa itu yaitu dengan menikahkan kembali anakanak perempuannya ketika mereka telah menjadi janda meskipun dalam
usia belasan tahun. Apabila gadis itu telah menjadi janda dalam usia yang
23
24
Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 229-230.
Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 231.
67
sudah dewasa, itu merupakan urusannya sendiri apakah dia akan menikah
lagi atau tetap menjanda.
Pada norma-norma ajaran Hindu seorang janda dapat mensucikan
diri dari karma buruknya yang telah menyebabkan kematian suaminya
dengan bersatu kembali dengan suaminya dalam kehidupan mendatang,
dan menghasilkan karma yang baik dalam kehidupan mendatang. Seorang
janda diharuskan mempraktikkan kehidupan bertapa dalam tenggang
waktu antara kematian suaminya dan kematiannya sendiri, karena dengan
bertapa ia akan melaksanakan keutamaan kesempurnaan dalam perkataan,
pemikiran dan tingkah laku, mengembangkan kemampuan untuk
menderita dan akhirnya tidak acuh terhadap segala kepemilikan, dengan
demikian akan dapat mencapai kedamaian sempurna.25
Agama Hindu tidak menghendaki perkawinan kembali para janda
seperti yang disarankan oleh Mahatma Gandhi, karena melalui perkawinan
seorang gadis memperoleh perlindungan dan dukungan dari keluarga
suaminya selama sisa hidupnya. Jadi seorang janda sangat tepat untuk
memperkecil kebutuhannya dalam bidang ekonomi, social dan fisik hingga
tingkat yang minimum. Di samping itu, keharusan seorang janda muda
hidup sederhana dan tampil tidak menarik membuat dirinya bukan sebagai
ancaman seksual bagi keluarga.26
25
26
Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 101.
Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 102.
68
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Mahatma Gandhi mempercayai konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan,
karena pada pokoknya kaum laki-laki dan kaum perempuan adalah sama.
Namun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa mereka memilki perbedaan
yang utama, oleh karena itu mereka memilki tugas dan panggilannya masingmasing. Dalam agama Hindu perempuan memilki hak dan kewajiban yang
sama dengan laki-laki dalam kegiatan keagamaan, karena semua manusia
adalah sama dalam pandangan Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana yang
tercantum dalam Bhagavad Gita 6. 47. perempuan Hindu yang ideal menurut
Mahadma Gandhi adalah perempuan sejati, kuat dan bisa mengendalikan diri
seperti Shinta.
2. Ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan Mahatma Gandhi telah menyentuh setiap
aspek kehidupan perempuan. Kontribusi-kontribusi Gandhi untuk perempuan
Hindu di India yang dilatarbelakangi oleh realitas perempuan Hindu pada saat
itu yang sangat terdiskriminasi antara lain dengan usaha-usaha Gandhi dalam
membangkitkan pergerakan perempuan Hindu di India, yang Gandhi mulai
dengan menumbuhkan kesadaran kaum perempuan dan kaum laki-laki Hindu
akan kesetaraan yaitu ajaran Ahimsa dan Satyagraha. Dan Gandhi melakukan
pembelaan terhadap penindasan kaum perempuan didalam rumah tangga
melalui penolakan terhadap perkawinan pada anak-anak dan menganjurkan
untuk pernikahan kembali para janda.
68
69
B. Saran-saran
1. Pemikiran Gandhi tentang perempuan bahwa perempuan dan laki-laki adalah
sama, oleh karena itu diantara mereka terdapat hak dan kewajiban yang utama.
Kaum perempuan tidak perlu mencari perlindungan kepada kaum pria. Kaum
perempuan berdiri kepada kekuatannya sendiri dan tetap menjaga kesucian
sifat utama dan tetap bersandar kepada Tuhan, pemikirannya ini patut untuk
diikuti.
2. Memberi sebutan perempuan sebagai makhluk lemah adalah suatu tindakan
tidak adil. Bila yang dimaksudkan adalah kekuatan fisik kasar, memang kaum
perempuan kurang kasar dibandingkan kaum laki-laki. Tapi bila yang
dimaksud kekuatan moral, kaum perempuan mengungguli kaum laki-laki
karena mereka lebih halus intuisinya, lebih berani, lebih rela berkorban dan
tanpa kaum perempuan tidak akan mungkin ada kaum laki-laki.
3. pemikiran Gandhi tentang perempuan dalam agama Hindu merupakan bagian
terkecil dari pemikiran-pemikiran Gandhi, sehingga kajian pemikiran terhadap
ajaran-ajaran Gandhi masih terbuka lebar untuk dilakukan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan,”Pendahuluan”,Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1997.
Ahmad, Imam,”Perempuan dalam Kebudayaan”, dalam Fauzi Ridjal dkk,
Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, Yogyakarta: Tiara
Wacana,1993.
As Siba’y, Musthofa, Wanita di antara Hukum Islam dan Perundang-Undangan,
terj. Chodijah Nasution ,Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Bagus Oka, Gedong, Wanita dalam Agama Hindu, dalam M. Mansyur Amin
(ed), Wanita dalam Percakapan Antar Agama Aktualisasinya
dalam pembangunan. Yogyakarta: LKPSM NU. 1992.
Cermat, H. L., Sastrawati Yang Membela Para Janda Muda, Bandung: Lembaga
Literatur Babtis, 1982.
Dahlan, Juwairiyah, “Wanita dalam Perspektif Agama Hindu” dalam M. Masyhur
Amin
(ed),
Wanita
dalam
Percakapan
Antar
Agama
Aktualisasinya dalam Pembangunan, Yogyakarta: LKPSM NU,
1992.
Djam’annuri, Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-agama (Sebuah Pengantar)
Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2000.
Fischer, Lois, Gandhi Penghidupannya dan Pesannya Untuk Dunia, terj. Trisno
Sumardjo, Jakarta: PT Pembangunan, 1967.
Gandhi, Mahatma, “Gandhi Sebuah Otobiografi; Kisah Eksperimen-eksperimenku
dalam Mencari Kebenaran”, terj. Gd. Bagoes Oka, Bali: Yayasan
Bali Canti Sena, 1978.
_________, “Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma
Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri”, terj. Kustiniyati
Mochtar, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT. Gramedia,
1988.
__________, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, terj. Siti Farida,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
__________, Kehidupan Ashram Dari Hari Ke Hari, terj. Gd. Bagoes Oka, Bali:
Yayasan Bali Canti Sena, 1981.
__________, Religi Susila, terj. Sumirat, Jakarta: Balai Pustaka, 1950.
__________, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma
Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, terj. Kustiniyati
Mochtar, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia,
1988.
Hadiwiyono, Harun, Agama Hindu dan Budha, Jakarta: Gunung Mulia, 1993.
I. Marsana Windhu, Khotbah di Bukit Ahimsanya Mahatma Gandhi, Rohani,
1993.
Jati Laksmi, Gusti Ayu Kade,
“Wanita Hindu dalam Perluasan Cakrawala
Pembangunan”, Mawas Diri, Vol. VI. 1984.
Kararah, Abbas, Berbicara dengan Wanita, terj. Seyd Ali Amar, Jakarta: Gema
Insani Press,1996.
Kaur, Amrit, “Kata Pengantar” dalam Mahatma Gandhi, Perempuan dan
Ketidakadilan Sosial, terj. Siti Faridah, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002.
Khalil, Moenawar, Nilai Wanita, Solo: CV. Ramadhani, 1989.
Koesno, F. X., “Sekilas Sari Filsafat India Hindu”, Mawas Diri, 02, Vol.IX 1987.
Lardner Carmody, Dennis, dan John Tully Carmody, Jejak Rohani Sang Guru
Suci Memahami Spiritulitas Budha, Konfusius, Yesus, Muhammad,
terj. Tri Budi Satrio, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Mehta, Ved, Ajaran-ajaran Mahatma Gandhi, terj. Siti Farida, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002.
Narayanan, Vasudha, Persepsi-persepsi Hindu tentang Keberuntungan dan
Seksualitas, dalam Becher Jeanne, Perempuan, Agama dan
Seksualitas, terj. Indriani Bone, Jakarta: Gunung Mulia, 2001.
Nicholson, Michael, Mahatma Gandhi Pahlawan yang Membebaskan India dan
Memimpin Dunia dalam Perubahan Tanpa Kekerasan, terj. Hilmar
Farid Setiadi, Jakarta: Gramedia Pustaka, 1994.
Pudja, G, dan Tjokardja Rai Sudharta, Manawa Dharma Castra; Weda Smrti;
Compendium Hukum Hindu, Jakarta: Depag RI, 1983.
Rosyidah, Ida, Gandhi’s Ideas of Women in Hinduism, REFLEKSI Jurnal Kajian
Agama dan Filsafat. Vol. VIII, No. 3, 2006.
Ruktini, Ni Nengah, “Spiritualitas Perempuan dalam Agama Hindu”, (sebuah
refleksi)”, Gema Duta Wacana 1999.
Seif Al Hatimi, Said Abdullah, Citra Sebuah Identitas Wanita dalam Perjalanan
Sejarah, terj. Hamid Abud, Surabaya: Risalah Gusti, 1994.
Sharma, Arvin, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, terj. Syafa’atun AlMirzanal. Dkk, Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA, Mc Gill Project,
2002.
Sihombing, D. P., India, Sejarah dah Kebudayaannya, S-Grapenhage dsl: W. Van
Hoeve, 1953.
Sudharta, Tjo Rai, Manusia Hindu: Dari Kandungan Sampai Perkawinan (Bali:
Yayasan Dharma Naradha, 1997).
Suhardi, Adi, Status Wanita di dalam Agama Budha Suatu Uraian Singkat,
Jakarta: Yayasan Dharma Duta Carika, 1986.
Wegig, R. Wahana, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, Yogyakarta: Kanisius, 1986.
Download