PEREMPUAN HINDU DALAM PEMIKIRAN MAHATMA GANDHI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) Oleh : HASIHOLAN NIM: 102032124631 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN & FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas segala limpahan hidayah, rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia menuju kehidupan yang lebih berperadaban. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini terdapat banyak uluran tangan dari berbagai pihak. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada pihakpihak tersebut, terutama kepada : 1. Dra. Ida Rosyidah, MA. selaku pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya serta kesabaran memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga membuka cakrawala berpikir dan nuansa keilmuan yang baru. 2. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Dr. M. Amin Nurdin, MA; Ketua Jurusan Perbandingan Agama, Dra. Ida Rosyidah, MA; Sekretaris Jurusan, Maulana, MA; serta seluruh civitas akademika Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.. 3. Ayahanda apoan (Alm.) dan Ibunda Nur Ainun yang penulis cintai dan hormati sepanjang hidup, yang dengan rasa cinta dan kasih sayangnya secara tulus telah mengurus, membesarkan dan mendidik penulis hingga sekarang ini. Munajat yang beliau gubah di setiap waktu telah memberikan i kekuatan lahir dan batin bagi penulis dalam mengarungi bahtera kehidupan. 4. Kakanda tercinta, Fitri Damayanti dan suaminya Sandi Setiawan yang tak pernah henti memberikan semangat dan motivasi kepada penulis. Mereka merupakan telaga inspirasi yang tak pernah kerontang. 5. Kawan-kawan pisangan, M. Sidik Asy’ari”Brother”, Ridwan darmawan S. H “Bang Bogs”, Tomy “Qudqud”,Bang Ozy, Zami, Akbar El-Wasil, Rizki Syam, Indra. L. Ochid”Bang Buls”, Tri Sula (Awe, Ghalo, Cipluk) yang sangat baik dan selalu memberi dorongan dan motifasi yang tak terhingga, sehingga sulit untuk membalas kebaikannya. Tak ada yang lebih baik daripada persahabatan yang ikhlas, teman-temanku yang kukasihi. Terima kasih atas kebaikan kalian. Tak ada manusia hidup tanpa persahabatan dan kebaikan, karna yang bukan demikian bukan manusia. penulis sangat merindukan canda tawa kalian. You Are Best of The Best Friend. Kapan agenda kuliner selanjutnya? 6. Anton dan Dede “tia” yang selalu meluangkan waktu dan menemani penulis dalam penyusunan skripsi. Semoga cinta kalian abadi… 7. Teman-teman diskusi, mas Borang, Hambali “joy”, Rifky Arsilan, Pedro, Pippo, yang selalu menggagas sebuah Revolusi dan menginginkan rakyat Indonesia menjadi Tuan di negerinya sendiri. Sungguh kalian adalah rengkarnasi para pemimpin PKI. 8. Hilma dan Tilova yang telah banyak berkorban dan direpotkan. 9. Keluarga Besar KM. UIN JAKARTA (dari Senior sampai Junior) ii 10. Keluarga Besar Pondok Mungil, Bhotel (editor penulis) dkk. Thanks friend.. 11. kawan-kawan Century 21, Irwan, Sahal, Zengki, Asep “Gele”, Aguz, Bagus,majid, Agung, kapan kita kumpul-kumpul lagi?? 12. Pihak-pihak lain yang mungkin belum penulis sebutkan. Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga dukungan, bimbingan, perhatian, dan motivasi dari semua pihak kepada penulis selama perkuliahan sampai selesainya skripsi ini menjadi amal ibadah dan bisa memberikan manfaat pada penulis khususnya dan para pembaca karya ini pada umumnya. Amin. Pisangan, iii Mei, 2009 M. Jumadil Ula 1430 H. DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ....................................................................................... i DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................. 6 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ......................................... 7 D. Metode Penelitian ................................................................. 8 E. Sistematika Pembahasan ...................................................... 9 BAB II SEKILAS TENTANG MAHATMA GANDHI A. Riwayat Hidup ..................................................................... 11 B. Latar Belakang Pemikiran .................................................... 20 C. Garis Besar Pemikiran .......................................................... 22 D. Karya-karyanya .................................................................... 24 E. Kondisi Perempuan India Pada Masa Mahatma Gandhi ...... 25 BAB III KONSEPTUALISASI PEMIKIRAN MAHATMA GANDHI TENTANG PEREMPUAN HINDU A. Perempuan dalam Kitab Suci Hindu .................................... 31 B. Konsep Ideal Perempuan Hindu ........................................... 36 C. Peran Perempuan dalam Kegiatan Keagamaan .................... 43 BAB IV KONTRIBUSI MAHATMA GANDHI BAGI PERGERAKAN PEREMPUAN HINDU DI INDIA A. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Gandhi dalam Memperjuangkan Kaum Perempuan .................................... 53 iv B. Usaha-usaha Gandhi dalam membangkitkan Pergerakan Perempuan Hindu di India ................................................... 54 1. Reinterpretasi terhadap ajaran-ajaran Hindu tentang perspektif kesetaran .................................................... 54 a. Ajaran Ahimsa ........................................................... 54 b. Ajaran Satyagraha ....................................................... 56 2. Pembelaan Mahama Gandhi Terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga .............................................................. 60 a. Penolakan Terhadap Perkawinan Dini ..................... 60 b. Perkawinan Kembali Para Janda .............................. 64 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................... 68 B. Saran-saran ........................................................................... 69 DAFTAR PUSTAKA v 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan merupakan sesuatu yang selalu menarik untuk dikaji, baik eksistensinya, karakteristiknya maupun problematikanya yang selalu timbul seiring dengan laju perkembangan masyarakat. Ia selalu menjadi bahan pembicaraan baik formal maupun non formal, seolah-olah pembahasan tentang perempuan tidak akan ada habisnya sejak dahulu hingga sekarang dan terjadi di seluruh dunia. Masalah perempuan merupakan masalah yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia, baik secara perorangan maupun kelompok dan masyarakat. Bahkan dalam agama-agama pun wanita merupakan salah satu yang selalu dipermasalahkan karena secara kodrati kaum wanita memang lain dari pada kaum pria. Dalam kehidupan sosial, meskipun secara langsung menunjukan kepada salah satu jenis kelamin, perempuan selalu dinilai sebagai the other sex yang sangat menentukan mode representasi sosial tentang status dan peran perempuan.1 Sejarah manusia, baik yang sakral, yaitu yang diambil dari kitabkitab suci atau mitos, maupun yang sekuler, yakni yang disusun secara ilmiah, senantiasa menunjukan diri sebagai sejarah laki-laki. Kaum laki-laki itulah yang membangun dunia, di mana terdapat perempuan di dalamnya. Dengan kata lain 1 Irwan Abdullah, Pendahuluan dalam, Sangkan Paran Gender (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997), h. 3. 1 2 lelaki dan perempuan tidak setara.2 Diskriminasi perempuan yang muncul kemudian menunjukan bahwa perempuan menjadi the second sex seperti sering juga disebut sebagai warga “kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan3. Wacana perempuan secara historis, telah banyak menginformasikan kepada kita bagaimana sesunguhnya perempuan dan posisinya dalam peradaban dunia. Seperti telah diketahui, peradaban bangsa Arab, Yunani, Romawi, India, dan Cina. Dunia juga mengenalkan konsepsi-konsepsi perempuan dalam agamaagama seperti Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, Islam, Zoroaster dan sebagainya. Dalam sejarah wanita di kalangan bangsa Arab tidak ubahnya bagaikan barang dagangan yang diperjual belikan. Mereka dipaksa kawin tanpa meminta pertimbangan dan persetujuannya. Pada beberapa suku, pemaksaan dilakukan dengan penganiayaan. Wanita merupakan pewaris yang tidak mewarisi, pemilik yang tidak memiliki. Mereka dilarang melakukan sesuatu atas harta milik suaminya. Namun sang suami berhak sepenuhnya untuk menggunakan harta istrinya tanpa meminta izin terlebih dahulu. Bahkan pada sebagian bangsa arab, seorang ayah diberi hak membunuh putrinya atau menguburnya hidup-hidup. Mereka berpendapat tidak ada hukuman atau denda bila laki-laki membunuh wanita. Oleh karena itu kaum lelaki bangsa Arab pada waktu itu banyak melakukan kekejian.4 Dalam lingkungan masyarakat modern yang telah berbudaya seperti masyarakat Yunani dan Romawi, nasib kaum wanita justru lebih buruk 2 Imam Ahmad, Perempuan dalam Kebudayaan, dalam Fauzi Ridjal dkk, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia (Yogyakarta: Tiara Wacana,1993), h.49. 3 Irwan Abdullah,”Pendahuluan”, Sangkan Paran Gender, h. 9 4 Abbas Kararah, Berbicara dengan Wanita, terj. Seyd Ali Amar (Jakarta: Gema Insani Press,1996), h. 52 3 dibandingkan dengan wanita dalam masyarakat biadab yang tingkat sosial dan peradabannya rendah. Bangsa Athena memperdagangkan wanita di pasar-pasar. Mereka dinyatakan sebagai hasil kotoran perbuatan setan. Pada waktu itu para ahli pikir Yunani banyak yang berselisih paham tentang pandangan mereka terhadap wanita. Mereka mempertanyakan apakah benar wanita merupakan insan yang memiliki ruh dan nafsu sebagaimana halnya kaum pria? Apakah wanita dapat mengerti bila diberi pelajaran agama? Apakah diakhirat kelak mereka akan dapat masuk surga? Perhimpunan pastur di Roma yang dijadikan panutan oleh masyarakatnya menetapkan bahwa sebenarnya wanita adalah binatang najis yang tidak mempunyai roh dan tidak diperkenankan bertapa. Tetapi wajib beribadat dan berbakti dengan syarat harus menutup mulutnya. Mereka dilarang berbicara dan tertawa karena hal itu merupakan perangkap setan.5 Sikap masyarakat India terhadap kaum wanita sebagaimana di Arab pada jaman Jahiliah, pernah tumbuh adat sangat merendahkan martabat wanita. Hal ini dapat diketahui dari kitab-kitab kuno India seperti Veda dan Manu. Dalam Veda dinyatakan bahwa wanita dianggap seperti benda belaka, yang hanya sebagai barang pelengkap bagi kaum pria dan karena itu mereka hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga saja, bahkan hanya sebagai alat produk saja, selain itu terdapat sekelompok pertapa kasta Brahmana yang telah menikah tetapi tidak mau mengkonsumsi makanan yang dimasak oleh isteri mereka masing-masing, karena menurut mereka makanan-makanan yang dimasak itu kotor dan tidak baik bagi kemajuan batiniah, mereka juga berpendapat bahwa perempuan merupakan manusia yang penuh dosa, oleh sebab itu cara yang terbaik untuk memperlakukan 5 Imam Ahmad, Perempuan dalam Kebudayaan, h. 54 4 mereka adalah dengan memberi tugas sebagai ibu dari anak-anak dan pekerjaanpekerjan rumah tangga lainnya.6 Lebih dari itu, kadang-kadang wanita disembelih sebagai korban kepada tuhan-tuhan mereka, agar tuhan-tuhan itu merestui kehidupan mereka, dan di beberapa daerah di India ada pohon yang oleh rakyat disuguhi seorang gadis setiap tahunnya untuk makanannya.7 Salah satu tokoh India yang memperjuangkan nasib dan hak-hak perempuan adalah Mahatma Gandhi. Mahatma Gandi adalah seorang pahlawan pembebas India yang memilik nama asli Mohandas Karamchand Gandhi. Dalam sejarah tidak ada seorang pemimpin yang memiliki pengikut sedemikian besar dalam masa hidupnya, baik di negerinya sendiri maupun di seluruh dunia seperti Gandhi. Dan tidak ada seorang pria yang bisa mebangkitkan pengabdian dengan segenap ketulusan hati bagi kaum perempuan, selain Gandhi alasan dari semua ini tidaklah sulit dicari. Gandhi memiliki kapasitas yang pantas diteladani atas kesediannya untuk menjadikan dirinya sebagai alas kaki bagi orang lain, terutama bagi orang-orang yang tengah berada dalam ketertindasan dan ketidakberdayaan. 8 Gandhi memberikan penghormatan kepada kaum perempuan dengan penghormatan terbesar yang paling mungkin, ketika dia mengatakan “kaum perempuan adalah perwujudan dari pengorbanan dan penderitaan”. Akan tetapi, dengan segenap penghormatannya kepada persoalan kaum perempuan dan perhatiannya terhadap kesulitan-kesulitan, beliau tidak menyembunyikan kritisisme atas beberapa kelemahan perempuan. Dalam persoalan kontrol 6 Adi Suhardi, Status Wanita di dalam Agama Budha Suatu Uraian Singkat, (Jakarta: Yayasan Dharma Duta Carika, 1986), h. 8 7 Musthofa As Siba’y, Wanita di antara Hukum Islam dan Perundang-undangan, terj. Chodijah Nasution (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 32 8 Amrit Kaur, “Kata Pengantar” dalam Mahatma Gandhi, Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, terj. Siti Faridah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. VII. 5 kelahiran, tulisan-tulisan Gandhi banyak mendapat perlawanan dari pemimpinpemimpin gerakan kaum perempuan. Akan tetapi dia mengajukan persoalan mengenai moralitas dalam level yang tinggi dan Gandhi menyerukan kepada kaum perempuan untuk tidak menjual hak melahirkan. Hal ini bukan karena Gandhi kurang bersimpati terhadap penderitaan-penderitaan kaum perempuan yang disebabkan karena sering melahirkan anak, yang disuarakan dengan tegas dalam penentangannya terhadap penggunaan alat-alat kontrasepsi tetapi karena beliau ingin melindungi kaum perempuan dalam keseluruhan aspek kehidupan.9 Selain Gandhi dikenal sebagai nasionalis besar India, ia juga dikenal sebagai pendiri tradisi agama India asli10 dan tokoh yang paling berjasa membangun dunia barat. Karena jasa-jasanya membawa reformasi di dalam agama Hindu di India dan memperkenalkan India ke dunia Barat. Prestasinya yang diakui dunia adalah penarikan mundur Inggris dari India secara damai, yang tidak kenal umum adalah bahwa dalam masyarakatnya sendiri beliau menyingkirkan rintangan yang lebih dahsyat daripada rintangan rasial di Amerika Serikat dengan memberikan nama baru bagi golongan yang tidak boleh disentuh dengan nama Harijan, Umat Tuhan, dan mengangkat mereka ke taraf yang manusiawi sebagaimana dikatakan jendral Marshall sewaktu mendengar beliau terbunuh:” Mahatma Gandhi adalah corong hati nurani umat manusia”. Orangorang Kristen dengan sendirinya memandang beliau sebagai manusia yang hidupnya paling mirip dengan Kristus, dan memang benar bahwa beliau sangat dipengaruhi oleh Khotbah di atas Bukit. Namun inspirasinya yang paling dasar 9 Amrit Kaur, “Kata Pengantar” dalam Mahatma Gandhi, Perempuan dan ketidakadilan sosial, h. x-xi 10 Dennis Lardner Carmody dan John Tully Carmody, Jejak Rohani Sang Guru Suci Memahami Spiritulitas Budha, Konfusius, Yesus, Muhammad, terj. Tri Budi Satrio (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 2. 6 berasal dari tanah airnya India. Dalam awal Autobiographi-nya Gandhi menulis, “kekuatan seperti yang saya miliki untuk berkarya dalam bidang politik bersumber dari latihan-latihanku di bidang rohani, sambil menambahkan bahwa dalam bidang rohani ini kebenaran merupakan asas yang tertinggi”,dan bahwa Baghavad-Gita adalah “buku terbaik untuk pengetahuan akan kebenaran. Menarik untuk dilihat bagaimana peran perempuan dalam agama Hindu menurut Mahatma Gandhi. Perempuan ideal dalam tradisi Hindu adalah sati, yaitu perempuan yang menikah dan berkorban serta mengabdikan diri untuk kewajiban terhadap suaminya, keluarga dan bangsanya. Pernikahan dalam Hindu menurut Mahatma Gandhi merupakatan ikatan spiritual bukan hanya ikatan fisik saja. Perwujudan cinta manusia yang dimaksudkan untuk berfungsi sebagai batu loncatan mencapai Tuhan atau cinta yang menyeluruh. Mengingat pemikiran-pemikiran Gandhi banyak terinspirasi dari agama Hindu serta begitu pentingnya kedudukan Mahatma Gandhi dalam gerakan pembebasan di India dan dunia pada umumnya, maka penulis mengangkat judul “ Perempuan Hindu dalam Pemikiran Mahatma Gandhi”, judul ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mengeksplorasi pemikiran dan pandangan Mahatma Gandhi tentang perempuan dalam agama Hindu serta kontribusinya dalam memberi perubahan pada pergerakan perempuan Hindu di India. B. Perumusan Masalah Pembahsan skripsi ini dimaksudkan untuk mengkaji pemikiran Mahatma Gandhi tentang perempuan dalam agama Hindu yang tertuang dalam beberapa karyanya. Penggunaan kata perempuan di sini sama artinya dengan kata wanita 7 yaitu jenis kelamin yang dibedakan dari laki-laki, yang kemudian lebih dititik beratkan pada perannya dalam keagamaan khususnya agama Hindu. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka masalah pokok yang dapat dirumuskan untuk penelitian ini selanjutnya adalah: 1. Bagaimanakah peran perempuan dalam agama Hindu menurut Mahatma Gandhi? 2. Apa kontribusi Mahatma Gandhi terhadap pergerakan perempuan Hindu di India? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan di antaranya: 1. Mengetahui pemikiran Mahatma Gandhi tentang peran perempuan dalam agama Hindu. 2. Untuk mengetahui apa kontribusi yang dilakukan Mahatma Gandhi untuk pergerakan perempuan Hindu di India. Sedang kegunaannya adalah: 1. Memberikan sumbang saran terhadap pemikiran Mahatma Gandhi terutama dalam pemikiran tentang perempuan dalam agama Hindu dan kontribusi bagi pergerakan perempuan Hindu di India. 2. Dalam rangka menyelesaikan program kesarjanaan Strata 1 dalam bidang Ilmu Perbandingan Agama di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 8 D. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan sejarah atau histories. Pendekatan sejarah yakni membaca, menafsirkan dan mensintesa dengan menggunakan sumber dokumen masa lalu sesuai dengan kondisi sosialpolitik. Pendekatan sejarah tidak semata-mata deskriptif tapi juga analitis sehingga harus jujur dan kritis. Jadi penulis melalui pendekatan histories, berusaha meneliti pemikiran Mahatma Gandhi tentang peran perempuan dalam agama Hindu serta kontribusinya bagi perempuan Hindu di India. Melalui bukubuku atau tulisan-tulisan pengarang lain yang berkaitan dengan pemikiran Mahatma Gandhi, untuk memperoleh uraian yang obyektif tentang pandangan Mahatma Gandhi tentang perempuan dalam agama Hindu. 2. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, yaitu pengumpulan data dengan cara membaca dan menghimpun keterangan-keterangan dari buku literature dalam hal ini karya-karya Mahatma Gandhi sebagai pustaka utama atau sumber primer, hasil-hasil penulisan yang telah dipublikasikan maupun dokumendokumen lain yang relevan dengan permasalahan yang ada dan karya-karya penulis lain mengenai Mahatma Gandhi sebagai pustaka pendukung atau sumber sekunder. 9 3. Pengolahan dan Analisis Data Semua data yang terkumpul dari pengumpulan data baik yang primer maupun sekunder, kemudian data yang telah terkumpul dan tersusun tersebut diolah. E. Sistematika Pembahasan Mengacu pada metode penelitian di atas, maka pembahasan dalam penelitian ini disusun menjadi lima bab dengan sub bab untuk mendapatkan hasil yang utuh dan sistematis sebagai berikut: Bab pertama, merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodelogi penelitian dan diakhiri dengan sistematika pembahasan. Bab kedua, mengulas tentang kehidupan Mahatma Gandhi secara menyeluruh. Dalam bab ini, penulis akan memberikan deskripsi tentang riwayat hidup Mahatma Gandhi, latar belakang pemikirannya, garis besar pemikirannya, karya-karyanya dan kondisi perempuan India pada masa Mahatma Gandhi. Pembahasan ini dimaksudkan untuk mengetahui kehidupan dan landasan pemikiran Mahatma Gandhi, sehingga penyusun mendapat formulasi yang jelas tentang konsep-konsep yang akan dibahas selanjutnya. Bab ketiga akan menggambarkan konsep pemikiran Mahatma Gandhi tentang perempuan dalam agama Hindu. Penulis meneliti melalui dokumen- dokumen yang ditulis oleh Mahatma Gandhi yang membahas tentang perempuan dalam kitab suci Hindu, konsep ideal perempuan Hindu, peran perempuan dalam kegiatan keagamaan dan pembaharuan-pembaharuan peran perempuan. 10 Pembahasan ini merupakan analisis pemikiran Mahatma Gandhi tentang perempuan dalam agama Hindu. Bab keempat berisikan kontribusi-kontribusi yang dilakukan Mahatma Gandhi bagi perempuan Hindu di India yang meliputi faktor-faktor yang melatarbelakangi Mahatma Gandhi dalam memperjuangkan kaum perempuan dan usaha-usaha Mahatma Gandhi dalam membangkitkan pergerakan perempuan Hindu di India, dengan menumbuhkan kesadaran perempuan akan kesetaraan kaum perempuan dan kaum laki-laki melalui ajaran Ahimsa dan Satyagraha, usaha Mahatma Gandhi dalam pembelaan terhadap penindasan perempuan dalam rumah tangga yang meliputi penolakan terhadap perkawinan pada anak-anak dan mengusahakan perkawinan kembali para janda. Bab kelima berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan akhir dari pembahasan ini, dan saran-saran yang ada korelasinya dengan penelitian ini. 11 BAB II SEKILAS TENTANG MAHATMA GANDHI A. Riwayat Hidup Nama lengkap Mahatma Gandhi adalah Mohandas Karamchand Gandhi, lahir tanggal 2 oktober 1869 di Porbandar, kota kecil di pantai laut Semenanjung Kathiawad, India Barat, kira-kira setengah jalan antara Bombay dan Karachi. Kathiawad letaknya terpencil, jauh dari pengaruh Eropa.1 Gandhi dilahirkan di tanah yang banyak terdapat dataran rumput, sungaisungai, rawa-rawa, dataran tinggi kering, hutan-hutan lebat, dan pegunungan tertinggi di dunia. Iklim di India, panas di daerah dataran rendah dan dingin di dataran tinggi. Begitu luasnya wilayah India sehingga terciptalah perbedaanperbedaan. Rakyat India saling terpisah tidak hanya karena kesulitan hubungan antara satu daerah dengan daerah yang lain, namun juga karena perbedaan kebiasaan, agama, dan memiliki lebih dari 300 bahasa. Bahkan orang-orang yng ras dan agamanya sama pun terbagi dalam kelompok-kelompok berdasarkan kasta atau tempat tinggalnya.2 Pada masa itu India masih di jajah Inggris. Gandhi lahir dalam lingkungan India yang di kuasai Inggris dengan kemegahan, keagungan, dan perayaanperayaan bahasa Inggris membawa organisasi dan tekhnik bagi India, namun kemajuaan itu seringkali terasa kejam bagi rakyat India. 1 Lois Fischer, Gandhi Penghidupannya dan Pesannya Untuk Dunia, terj. Trisno Sumardjo (Jakarta: PT Pembangunan, 1967), h. 10. 2 Michael Nicholson, Mahatma Gandhi Pahlawan yang Membebaskan India dan Memimpin Dunia dalam Perubahan Tanpa Kekerasan, terj. Hilmar Farid Setiadi (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1994), h. 11. 11 12 Dalam kultur masyarakat seperti itulah Gandhi di lahirkan. Keluarga Gandhi termasuk dalam kasta bania3 dan tampaknya menurut asal usulnya mereka adalah pedagang bahan pangan. Tetapi sejak tiga generasi ini mulai, kakek Gandhi, mereka adalah perdana menteri di berbagai Negara bagian Kathiawad. 4 Ia merupakan bungsu dari empat bersaudara dari istri yang keempat dari ayah yang bernama Karamchand Gandhi, yang lebih dikenal dengan nama Kaba Gandhi. Kaba Gandhi menikah empat kali berturut-turut disebabkan istrinya meninggal satu demi satu. Karamchad Gandhi, yang lebih dikenal dengan Kaba Gandhi, ia adalah seorang anggota Pengadilan Rajasthanik, yang kemudian menjadi Perdana Menteri yang disegani di Rajkot. Tidak lama kemudian, ia pinddah ke Vankaner dan tetap menjadi Perdana Menteri di sana. Kaba Gandhi dikenal sebagai orang yang berwatak jujur, berani, murah hati, tidak dapat disuap dan cepat naik darah. Masa pendidikannya hanya sampai kelas lima SD, namun ia cukup banyak pengalaman karena banyak belajar tentang pengetahuan-pengetahuan praktis, hingga akhirnya ia dapat menjadi orang yang cukup berpengaruh di daerahnya. 5 Ibu Gandhi bernama Putlibai. Ia penganut Hindu yang shaleh. Ia tidak akan makan sebelum menjalankan puja sehari-hari. Ia selalu mengunjungi havelikuil yang merupakan salah satu bentuk kewajiban agama yang dilakukannya. Ia tidak pernah melewatkan untuk menjalankan chaturmas.6 Ia tidak hanya setia 3 Bania merupakan seorang warga kasta ketiga pada system perkastaan Hindu, yang secara tradisional berkecimpung dalam dunia perusahaan dan perdagangan. 4 Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, terj. Kustiniyati Mochtar (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, 1988), h. 2. 5 R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), h. 9. 6 Chaturmas berarti empat bulan, yakni niat berpuasa dan setengah berpuasa selama empat bulan di musim hujan. lihat Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi; Kisah Eksperimen- 13 dalam hidup rohani saja tetapi ia juga seorang istri yang setia kepada suami dan anak-anak. Semenjak usia dini, kehidupan religious ibunya berpengaruh pada diri Gandhi yang kemudian menjadi pemimpin spiritual India terbesar.7 Di tengah suasana keluarga yang demikian, Gandhi tumbuh dan dibentuk karakter pribadi dan pemikiran-pemikirannya. Sebagai seorang yang nantinya menjadi tokoh besar, ternyata pada masa kecilnya, ia tidak banyak menunjukan kelebihan-kelebihan yang menonjol. Selama menjadi murid dari sekolah rendah dan dari Kathiwad High School, tidak ada bakat yang luar biasa kelihatan pada diri Gandhi. Dalam soal-soal pelajaran ia tidak pernah melebihi kawan-kawannya. Dalam garis-garis besarnya ia tidak mempunyai barang sesuatu yang istimewa, sama saja dengan ratus-ribuan anak-anak di India pada zamannya itu.8 Pada masa belajar di sekolah dasar, Gandhi termasuk anak yang sulit belajar, terutama dalam berhitung perkalian. Walau begitu Gandhi tetap tekun dalam belajar. Pekerjaan rumahnya selalu dikerjakan dengan baik dan rapih.9 Gandhi sangat pemalu dan tidak suka berteman. Hanya buku-buku dan pelajaran sajalah teman akrabnya. Tepatnya pada waktu lonceng berbunyi Gandhi telah tiba di sekolah, kemudian setelah pelajaran selesai, secepatnya ia berlari pulang. Itulah kebiasaanya sehari-hari. Dan memang, Gandhi benar-benar lari pulang, karena ia tidak dapat berbicara dengan siapapun. Gandhi merasa takut, jangan-jangan ada orang yang mau mempermainkannya.10 eksperimen dalam Mencari Kebenaran, terj. Gd. Bagus Oka (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 1982), h. 24. 7 Michael Nicholson, Mahatma Gandhi Pahlawan yang Membebaskan India dan Memimpin Dunia dalam Perubahan Tanpa Kekerasan, h. 16. 8 O. D. P. Sihombing, India, Sejarah dah Kebudayaannya, (S-Grapenhage dsl: W. Van Hoeve, 1953), h. 96. 9 R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandh, h. 10 10 Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi, h. 3. 14 Kejujurannya ia pupuk setelah ia membaca sebuah buku drama yang dibeli ayahnya berjudul Shavana Pitribhakti Nataka. Buku ini mengisahkan pengabdian Shavana terhadap orang tuanya. Lain waktu lagi, ia menonton sandiwara dari buku tersebut dan sandiwara lain yang terkenal waktu itu, yakni Harischandra. Gandhi sangat terkesan oleh tokoh Harischandra yang bersifat jujur dan tekun, bahkan Gandhi sampai bermimpi menjadi tokoh ini. Sejak itulah rupanya bibitbibit keutamaan yaitu bhakti dan kejujuran mulai menjadi bagian dan cita-cita Gandhi yang kelak akan diwujudkannya.11 Tatkala Gandhi berumur 7 tahun ia telah dipertunangkan oleh orang tuanya dengan Kasturbai, kemudian dinikahkan sesudah berusia 13 tahun dalam tahun 1883.12 Tanpa sepengetahuan dan persetujuan Gandhi terlebih dahulu. Gandhi dinikahkan dengan Kasturbai, anak perempuan seorang pedagang di porbandar. Ia tidak diajak berunding tentang pernikahannya. Sebagaimana adat yang masih berlangsung hingga kini dibanyak daerah India, kedua orang tua mempelai mengatur segalanya, dan mempelai perempuan dan laki-laki tidak dapat bertemu hingga hari pernikahan. Kita barang kali bertanya-tanya apakah pernikahan semacam itu berhasil, namun bagi Gandhi dan Kasturbai adat pernikahan seprti itu tidak tampak aneh dan pernikahan mereka berlangsung selama enam puluh dua tahun.13 Pada usianya yang sangat muda itu, ia berpikiran perkawinan berarti tidak lebih daripada sekedar harapan untuk memakai pakaian lebih bagus, berdentamnya tambur, arak-arakan pengantin, jamuan makan yang melimpah dan 11 R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 10. O. D. P. Sihombing, India, Sejarah dah Kebudayaannya, h. 96. 13 Michael Nicholson, Mahatma Gandhi Pahlawan yang Membebaskan India dan Memimpin Dunia dalam Perubahan Tanpa Kekerasan, h. 17. 12 15 seorang dara yang belum dikenal untuk teman bermain. Soal gairah seksual, itu baru timbul kemudian.14 Dua anak berjiwa murni terlempar tanpa sadar kelautan penghidupan, boleh jadi hanya dituntun oleh pengalaman-pengalaman mereka dalam penitisan yang terdahulu. Demikian Gandhi menggambarkan kebiasaan kejam dalam perkawinan kanak-kanak.15 Namun setelah semuanya berlalu, sadarlah Gandhi bahwa kedudukannya sudah tergeser, yakni sebagai suami. Itu berarti bahwa ia dituntut suatu tanggung jawab terhadap isterinya. Maka sebagai konpensasi dari kekacauan pikirannya, ia mulai menggunakan kekuasaannya sebagai suami, antara lain dengan mengharuskan isterinya minta izin kepadanya kalau akan berpergian. Ia menjadi demikian karena ia sangat mencintai isterinya.16 Kedisplinan Gandhi pada Kasturbai dilakukan karena ia sangat mencintainya, ia ingin menjadikannya istri yang ideal. Ambisinya adalah untuk memaksa istrinya agar hidup bersih, belajar apa yang dia pelajari, serta menjadikan hidup dan pikiran istrinya seperti hidup dan pikirannya.17 Kasturbai adalah buta huruf, maka Gandhi bersemangat untuk mengajarinya, tetapi cinta penuh birahi menghabiskan waktunya. Pertama dia harus memaksa belajar dan itu dilakukan pada waktu malam, apalagi Gandhi tidak berani menjumpai Kasturbai di hadapan orang-orang tua. Keadaan demikian jadi tidak membantu. Maka sebagian besar dari usahanya untuk mengajar istrinya 14 Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi, h. 4. 15 Lois Fischer, Gandhi Penghidupannya dan Pesannya Untuk Dunia, h. 13. 16 R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 10. 17 Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi; Kisah Eksperimen-eksperimen dalam Mencari Kebenaran, terj. Gd. Bagus Oka (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 1982), h. 30. 16 tidaklah berhasil. Usaha untuk mengajar melalui guru-guru pribadi pun tidak berhasil. Alhasil sekarang Kasturbai dengan susah payah dapat menulis surat sederhana serta mengerti bahasa Gujarat sekedarnya. Gandhi berkeyakinan andai kata rasa cintanya sama sekali tidak ternodai nafsu, sekarang istrinya pasti menjadi wanita yang terpelajar. Menurutnya tak ada sesuatu yang tidak dapat diatasi oleh cinta sejati.18 Perkawinan di bawah umur sempat menghalangi kelancaran studi Gandhi selama satu tahun. Setelah lulus sekolah menengah ia mengikuti tes masuk Universitas Samaldas College di Ahmedabad. Karena tidak puas di sana, ia mulai mencari informasi bagaimana kalau melanjutkan studinya di Inggris. Banyak tantangan datang dari keluarga, tetapi ia bersikeras untuk membuktikan bahwa kekhawatiran keluarganya tidak beralasan, ia bersumpah untuk tidak akan menyentuh wanita, tidak akan minum anggur dan tidak akan makan daging selama di Inggris.19 Selama di Inggris ia belajar menjadi ahli hukum. Gandhi belajar ilmu hukum di Inggris dalam waktu yang sangat relatif cepat. Sebagai seorang mahasiswa, Gandhi adalah seorang yang produktif dan cara belajarnya metodis. Di sana ia tidak hanya belajar menjadi hakim, tetapi juga belajar cara hidup Eropa, namun ia tetap berpegang teguh pada sumpahnya. Perubahan perhatian itu menunjukan berakhirnya masa pertama kehidupannya di Inggris, selajutnya membuka priode kesungguhannya dalam studi. Dalam benaknya ia menanamkan upaya untuk segera selesai, dan nantinya bisa diterima bekerja di pengadilan. Dalam rangka mendukung kegiatan belajarnya, ia 18 19 Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi, h. 31. R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 11. 17 mengambil pelajaran tambahan dalam bahasa Latin dan Prancis. Dalam waktu yang relatif singkat selama tiga tahun ia dapat menyelesaikan belajar ilmu hukum. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1891, ia kembali ke India dan mencoba menjadi pengacara di Bombay dan Rajkot, tetapi tidak banyak berhasil. Kebetulan sekali ia mendapat tawaran dari seorang muslim fanatik intuk menjadi penasehat hukum dalam suatu firma di Afrika. Maka pada bulan April tahun 1893, berlayar ia menuju Durban. Dalam perjalanan ke Pretoria, ia naik kereta api dan membeli tiket kelas I dengan pakaian cara inggris. Tetapi ia diusir oleh orangorang Inggris yang ada disitu dan disuruh pindah ke gerbong barang. Ia menolak dan akhirnya turun Maritzburg. Sejak saat itu bangkitlah niatnya untuk berjuang melawan prasangka rasial, terlebih karena hal itu dialami oleh bangsanya sendiri. Perjuangannya ini bukan berbentuk suatu revolusi fisik melainkan suatu perjuangan yang menggunakan kekuatan jiwa, yang nanti lebih dikenal dengan sebutan satyagraha.20 Sebelum Gandhi pergi ke Afrika Selatan, sudah ribuan orang-orang India hidup di sana. Sebagaimana diketahui, sampai pada dewasa ini, orang-orang kulit berwarna di Afrika Selatan dianggap oleh orang-orang kulit putih yang memerintah di sana sebagai manusia kelas kambing. Dengan demikian orangorang India yang hidup di sana juga merasakan penghinaan dan penindasan dari orang-orang kulit putih.21 Gandhi bertekad akan memperjuangkan nasib bangsanya di Afrika Selatan. Ia menjadi advokad di Supreme Nourt of Natal, mengadakan aksi petisi, menuntut supaya undang-undang yang menyatakan dicabutnya hak milik orang20 21 R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 11. . D. P. Sihombing, India, Sejarah dah Kebudayaannya, h. 98. 18 orang India di Afrika Selatan dicabut oleh legislatif Counsil. Didirikan Natal Indian Congress di Afrika Selatan dan kemudian tuntutan tersebut terpaksa harus diterima oleh pemerintah. Dengan berhasilnya Gandhi dalam aksi pertamanya itu, keyakinan orang India di Afrika Selatan pun bertambah besar terhadap Gandhi. Ia berjuang terus membela kepentingan orang-orang India.22 Dasar perjuangan Gandhi yaitu sifat keras tidak boleh dilawan keras, tetapi dengan tidak melawan (perlawanan secara pasif). Menurut keyakinan Gandhi, dengan sikap demikian musuh akan tunduk, walaupun bagaimana kuatnya. Teori demikian itulah yang disebut Ahimsa yang kemudian dipraktekkan di dalam Satyagraha.23 Untuk usahanya menegakkan hak-hak asasi, ia mulai dengan mendirikan sebuah ashram di Sabarmati. Di sini ia hidup dengan sangat sederhana, segala kebutuhan dicukupi sendiri, segala pekerjaan dikerjakan sendiri, berkebun, memintal benang, memasak, dan lain-lain, tidak ada babu, tidak ada pelayan semua anggota beranggotakan sama. Gandhi mengajarkan bagaimana manusia harus menghadapi hidup, yakni dengan sikap ahimsa-tanpa kekerasan. Dalam seluruh kehidupannya, Gandhi tidak hanya berkhotbah, ia selalu memulai perubahan dari dala dirinya dan keluarganya sendiri. Ia membuktikan bahwa ajarannya tidak sia-sia dan tidak mustahil untuk dilakukan setiap orang. Walaupun gerakan Satyagraha di Afrika cukup berhasil, namun ia merasa bahwa perjuangannya akan sangat dibutuhkan di India. Maka pada tahun 1915 ia kembali ke negerinya dan segera menjadi pemimpin gerakan kemerdekaan, 22 23 Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi, h. 143. Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi, h. 295. 19 bahkan beberapa kali ia dipilih menjadi pemimpin kongres nasional di India.24 Perjuangannya di India adalah sambungan perjuangannya di Afrika Selatan, tempatnya berlainan dan jumlah bangsa yang dipimpinnya berlipat ganda besarnya, tetapi dasarnya, metodenya dan tehniknya adalah sama. Pada waktu Gandhi berusia 60 tahun, Gandhi menuntut Dominion Status buat India sedangkan Jawrhal Nehru dan Subhas Candra Bose menuntut kemerdekaan penuh, kalau Inggris tidak memberikan Dominion Status pada penghabisan tahun 1929. akan tetapi kedua tuntutan tersebut ditolak mentahmentah oleh Inggris. Kemudian pada bulan desember 1929 diadakan persidangan kongres yang dikuasai oleh Nehru, akhirnya mengambil keputusan bahwa tuntutan India tidak hanya Dominion Status, akan tetapi kemerdekaan sepenuhnya. Gandhi dan Nehru sepakat pada keputusan tersebut, hingga pada tanggal 15 Agustus 1947 di seluruh India diadakan sumpah setia kepada cita-cita India untuk merdeka, dan pada hari itu dijadikan hari nasional, hari kemerdekaan, yang tetap dirayakan sampai sekarang. Sampai kemerdekaan India tercapai, perjuangan Gandhi tidak berhenti, mengajar rakyat, berpuasa, hidup berkorban dengan memberi contoh sendiri. Perkataan dan perbuatan selalu selaras pada diri Gandhi. Juga setelah India merdeka pada tanggal 15 Agustus 1947, Gandhi berjuang terus untuk persatuan Hindu-Muslim, sampai akhir hayatnya. Sepanjang sejarah perjalanan hidup Gandhi, ia senantiasa mengapdikan dirinya untuk kepentingan umum, yang ditutup dengan pengorbanan jiwanya. Pada tanggal 30 Januari 1984, ketika ia hendak melakukan puja bersama, tiba-tiba 24 R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 12. 20 seorang fanatik Hindu bernama Nathuram Vinayak Godse membunuhnya dengan sepucuk pistol. Kata-kata terakhir yang diuvapkan Gandhi sebelum meninggal dunia ialah “He Rama”.25 Dengan kematian Gandhi, dunia betul-betul kehilangan seorang tokoh yang telah memberi tonggak penting bagi sejarah umat manusia dan khususnya bagi India, sehungga sejarah dapat dibagi menjadi zaman sebelum dan sesudah Gandhi. B. Latar Belakang Pemikirannya Mahatma Gandhi dikenal sebagai seorang yang taat beragama. Ia banyak dipengaruhi oleh lingkungan masa kecilnya yakni orang tuanya, desanya, masyarakat sekitarnya dan lebih-lebih suasana religius Hinduisme yang menjiwai pada setiap orang India. Sifat-sifat Gandhi banyak dipengaruhi dari orang tuanya, seperti sifat keras kepala, mempunyai kemauan yang kuat, keras dalam berusaha, suka damai, jujur dan setia, ia tiru dari ayahnya. Sedangkan sikap-sikap religius lebih dipengaruhi oleh ibunya, yang merupakan seorang wanita yang taat beragama.26 Sejak masih kanak-kanak Gandhi telah mengenal sastra-sastra Hindu yang umumnya berisi kebijakan-kebijakan dan bernada religius, seperti puisi Vaishnawa, Ramayana dan kesenian sandiwara seperti cerita Harischandra. Selain itu, Gandhi sangat gemar membaca sehingga banyak buku-buku yang ia baca mempengaruhi pemikiran dan kehidupannya. Seperti Gandhi sampai berulang kali membaca Baghavad Gita. Bagi Gandhi Baghavad Gita merupakan buku penuntun 25 “He Rama” adalah bahasa Sansekerta. “He” berarti seruan, dan ”Rama” merupakan nama Tuhan. Jadi ”He Rama” artinya ”Oh Tuhan” hal ini berarti menunjukan hubungan pribadinya dengan Tuhan. 26 R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 13. 21 kehidupan rohani, sehingga setiap saat dalam kehidupannya merupakan usaha yang sadar untuk menghayati kitab Bhagavad Gita. Buku lainnya yaitu Civil Disobedience karya Henry David Thoreau dan The Kingdom Of God Is Within You karangan Leo Tholstoy. Kedua buku ini mempengaruhi Gandhi dalam melaksanakan Satyagraha. Civil Disobedience telah membuka mata Gandhi bagaimana ahimsa dapat digunakan dalam menghadapi persoalan-persoalan politik. Sedangkan dalam The Kingdom Of God Is Within You Gandhi mendapatkan dukungan yang meyakinkan atas kepercayaannya pada kebenaran dan tanpa perlawanan, juga yang lebih menarik ia mendapatkan suatu ungkapan tentang keindahan dan kebesaran penderitaan. Bahwa penderitaan tidak selalu „didalam dirinya sendiriābernilai negatif, penderitaan ternyata mampu mengangkat manusia ketaraf keutamaan yang lebih tinggi. Disebutkan dalam buku itu bahwa melalui penderitaan, manusia bisa membebaskan diri dan menetralisasi kekuatan-kekuatan jahat yang ada di dalam dirinya.27 Gandhi tertarik mempelajari moralitas Kristen, terutama kekuatan cinta kasih dari Khotbah Yesus di atas bukit pada Al-kitab Perjanjian Baru. Pada khotbah di bukit mengajarkan bahwa manusia harus saling mencintai. Keharusan itu bukan karena ada perintah untuk mencintai, melainkan manusia pada hakikatnya memerlukan itu. Hukum yang diletakan Yesus bukanlah sesuatu yang berada di luar diri manusia, melainkan sesuatu yang berada di dalam (hati) manusia, inheren dalam setiap pribadi.28 27 28 166-167. R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 15. I. Marsana Windhu, Khotbah di Bukit Ahimsanya Mahatma Gandhi, Rohani, 1993, h. 22 C. Garis Besar Pemikirannya Gandhi dikenal sebagai seorang yang taat beragama, ketaatan baragamanya tidak lepas dari dari pengaruh ibunya yang rajin menjalankan peribadatan, dan adanya kitab-kitab agama yang dibacanya. Dikatakan oleh Thekkenedath: sesungguhnya ketika berada di Afrika Selatan Gandhi mempelajari bahasa Sansekerta, menghafal Gita, membaca karya-karya Ruskin, Tolstoy dan Thoreau, meninggalakan keduniaan dan menjadi Mahatma (berjiwa besar). Pemikiran Gandhi sebenarnya tidak kompleks, justru sebaliknya, Gandhi dengan tegas memilih kesederhanaan, tidak hanya dalam menjelaskan ajaranajarannya, tetapi juga oleh praktek hidupnya. Hal ini nampak terutama dalam konsepnya tentang dunia, Tuhan, alam dan kehidupan manusia. Sebagai seorang Mahatma, pemikirannya tentang Tuhan tidaklah terlalu rumit. Menurutnya Tuhan merupakan wujud universal yang meliputi segala sesuatu, dan manusia adalah salah satu bagian kecil, Tuhan juga menciptakan hukum, dimana antara pencipta hukum dan hukum itu tidak dapat dibedakan antara satu dengan lainnya. Adapun mengenai sifat Tuhan, Gandhi melihatnya bahwa Tuhan tidak personal yang mempribadi, melainkan yang impersonal yang hanya di tangkap melalui pemahaman. Keyakinan terhadap kesempurnaan-Nya tidak diragukan lagi, dan manusia karena keterbatasannya hanya menangkap bagian dari kesempurnaan itu. Sedang kehadiran Tuhan dapat dirasakan melalui fenomena alam yang teratur. Keteraturan itu bukanlah suatu hukum yang buta, sebab keteraturan itu mempunyai arah yang jelas, dan hukum semacam itu dipahami Gandhi sebagai Tuhan 23 Gandhi memaknai kebenaran sebagai sesuatu yang sama dengan suara di dalam bathin setiap orang. Maka kebenaran itu bukan semata-mata obyektif tetapi subyektif. Jika kebenaran itu bersifat subyektif maka akan tampak berbagai kebenaran dari individu-individu, dan hal itu bukan masalah bagi pencari kebenaran. Ia menyatakan: “Namun, meskipun mengabdi pada apa yang tampak sebagai kebenaran bagi seseorang, akan tampak sering bagi orang lain sebagai ketidakbenaran. Tetapi hal itu tidak perlu menggusarkan bagi seorang pencari kebenaran. Di mana ada ikhtiar-ikhtiar yang jujur, disana akan kita sadari bahwa tampaknya kebenaran yang berbeda-beda hanya merupakan daun-daun dari satu pohon yang tak terhitung banyaknya dan kelihatannya berbeda.” Konsepsi semacam ini timbul karena Gandhi memahami bahwa Tuhan menampakan diri pada manusia dengan berbagai bentuk, tetapi ia meyakini kebenaran adalah sebutan tepat bagi Tuhan. Jalan untuk melihat Tuhan yaitu dengan melihat ke dalam ciptaannya dan bersatu dengan ciptaan-Nya itu, inilah kebenaran yang dimaksud Gandhi. Dan cara bersatu, berdamai serta selaras dengan ciptaan itu adalah sebagai ahimsa. Ahimsa yang diajarkan Gandhi merupakan suatu keseluruhan hidup yang meliputi pikiran tindakan dan kata-kata. Ahimsa ditujukan kepada mereka yang kuat jiwanya, bukan kepada mereka yang lemah dan suka kompromi. Hanya mereka yang mampu mengalahkan ketakutannyalah yang sunguh-sungguh dapat memiliki kekuatan ahimsa, sehingga ia benar-benar menjadi seorang yang seluruh hidupnya hanya mau berpegang pada kebenaran atau Satyagraha.29 Menjadi Satyagrahi atau orang yang melakukan Satyagraha, seorang dituntut mengadakan tindakan disiplin diri dan sikap pengabdian, karena penekanannya pada pencapaian ketinggian moral. Untuk itu perlu melatih diri 29 R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 17-18. 24 terus menerus dalam disiplin, kesadaran diri dan kebersihan lahir batin (Bracmacharya). Mahatma Gandhi juga banyak mempelajari agama-agama lain di luar agama Hindu. Gandhi belajar agama-agama lain lewat membaca buku,kitab-kitab suci, dan dialog dengan teman-temannya. Sehingga banyak dari temen-temennya yang mengajak Gandhi untuk masuk dalam agama mereka, namun keyakinan Gandhi tetap pada ajaran Hindu. Banyak yang menarik dalam ajaran kitab kitab suci dalam agama lain, seperti, dalam agama Budha, ketika Sidharta Gautama menggendong anak kecil yang terkena penyakit biri-biri, begitu bahagianya anak kecil itu. Juga pada kitab perjanjian baru, Gandhi sangat terkesan pada Khotbah di atas Bukit30, yaitu: Tetapi aku berkata padamu: janganlah kamu Melawan orang yang berbuat jahat kepadamu. Melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, Berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadu engkau, Karena menginginkan bajumu, serahkanlah juga jubahmu, Disini Gandhi melihat bahwa ada kesamaan dalam ajaran pada agamaagama lain yaitu tentang kasih sayang, semua agama mengajarkan untuk toleransi, kasih sayang, dan kejujuran. D. Karya-karyanya Mahatma Gandhi termasuk penulis artikel yang produktif. Artikelartikelnya dimuat pada tabloid-tabloid mingguan dan ia pun mengasuh beberapa rubrik mingguan seperti Indian Opinion, Young India, Navajiva dan Harijan. 30 Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi, h. 78. 25 Selain Gandhi menulis buku-buku karangannya, artikel-artikelnya juga banyak yang dibukukan. Buku-buku karya Gandhi adalah sebagai berikut: 1. Guide to Healt, Madras, S. Gamsan, 1921. 2. Basic Education, Ahmedabad, Navajivan Publishing House, 1951. 3. Christian Mission, Ahmedabad, Navajivan Press, 1941. 4. Economic of Khadi, Ahmedabad, Navajivan Press, 1941. 5. Ethical Religion, Madras, S. Ganesam, 1922. 6. Hind Swaraj, Ahmedabad Navajivan Press, 1938 7. Non Violence in Peace and War, Ahmedabad Navajivan Publishing House, Part I, 1945, Part II, 1949. 8. Sarvodaya, Ahmedabad Navajivan Publishing House, 1951. 9. Satyagraha In South Africa, Madras, S. Ganesam, 1928. 10. The Story of eksperiments With Truth, Ahmedabad Navajivan Publishing House, 1940. 11. Swadesi, True and False, Poona, 1939. 12. Women and Social In Justice, Ahmedabad Navajivan Press, 1942. 13. Towards Non-Violence Socialisme, Ahmedabad Navajivan Publishing House, 1951. E. Kondisi Perempuan India Pada Masa Gandhi India pada zaman kuno oleh penduduknya disebut: Jambu dwipa, yang artinya: benua pohon jambu, atau disebut Bharatwarsa, yang artinya adalah tanah keturunan Bharata. Nama India dijabarkan dari nama sungai Sindhu yang mengairi daerah barat India,oleh orang-orang Persia sungai itu disebut sungai 26 Hindu. Kemudian nama ini diambil oleh orang-orang Gerika, sehingga nama itulah yang terkenal di dunia Barat. Akhirnya nama itu diambil-alih oleh pemerintahan India sekarang ini. Ketika agama Islam dating di India nama yang diberikan oleh bangsa Persia timbul kembali dengan bentuk Hindustan, sedangkan penduduknya yng masih memeluk India asli disebut orang Hindu.31 Penduduk India yang tertua tergolong bangsa Negrito, yang kemudian bercampur dengan bangsa-bangsa yang mendatangi India. Maka bangsa India sekarang ini merupakan bangsa campuran. Di antara bangsa-bangsa yang memasuki India dan yang berpengaruh besar atas kebangsaan India yaitu bangsa Dravida yang terkenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban yang tinggi dan bangsa Arya yang merupakan bangsa yang pandai berperang karena hidup mereka mengembara. Sebagian besar penduduk India menganut agama Hindu. Sebenarnya agama Hindu bukanlah agama seperti pada umumnya. Agama Hindu adalah suatu bidang keagamaan dan kebudayaan. Yang meliputi zaman sejak kira-kira 1500 SM. Hingga sekarang. Di dalam perjalanannya di sepanjang abad-abad itu agama Hindu berkembang sambil berubah dan berbagi-bagi, sehingga memiliki ciri yang bermacam-macam, yang oleh penganutnya kadang-kadang diutamakan namun kadang-kadang juga tidak diindahkan sama sekali. Berhubungan dengan itu maka Govinda Das mengatakan, bahwa agama Hindu sesungguhnya adalah suatu proses antropologis, yang hanya karena nasib yang ironis saja diberi nama agama dengan berpangkal kepada Weda-weda yang mengandung di dalam dirinya adat istiadat dan gagasan-gagasan salah satu atau beberapa suku bangsa, agama Hindu sudah 31 Harun Hadiwiyono, Agama Hindu dan Budha, (Jakarta: Gunung Mulia, 1993), h. 9. 27 berguling-guling terus di sepanjang abad-abad hingga kini, sehingga seperti bola salju yang makin lama makin menjadi besar, karena menghisabkan adapt istiadat dan gagasan-gagasan bangsa-bangsa yang dijumpainya di dalam dirinya.32 Bangsa India kuno terkenal dengan kebudayaannya yang tak tertandingi dan pemikiran-pemikirannya yang tinggi, tetapi kini India telah mengalami kenyataan lain. India telah terjatuh sedemikian jauh dari keadaan yang membahagiakan, dan barang kali tidak ada aspek kehidupan yang terjatuh sedemikian hebat sebagaimana kejatuhan yang menimpa kehidupan perempuan. Dari status kaum perempuan yang setara dan sebagai istri serta mitra sejajar kemudian berubah menjadi lebih rendah dari kaum pria, derajatnya turun menjadi hanya sekedar tempat yang bisa digunakan saat diinginkan oleh kaum pria untuk pemuas keinginan, tanpa memiliki hak-hak atau kehendak. Adat dan kebiasaan telah memperlakukan kaum perempuan dengan kasar.33 Pada saat ini, hampir di seluruh masyarakat Hindu di India memiliki keinginan untuk mendapatkan keturunan laki-laki dan menyesalkan anak perempuan. Ada sebuah pemahaman yang mendorong masyarakat Hindu untuk melakukan ini yaitu bahwa seseorang tidak bisa mencapai surga tanpa anak lakilaki, bahkan untuk semata-mata ingin memperoleh keturunan laki-laki seorang suami menikah lagi hingga memiliki 2, 3, dan 4 orang istri.34 Hal ini merupakan diskriminasi yang menyakitkan yang harus diterima oleh kaum perempuan. Bahkan ketika anak perempuan telah tumbuh menjadi seorang gadis, dia akan selalu diperlakukan berbeda dengan anak laki-laki yang diberi kebebasan penuh. 32 Harun Hadiwiyono, Agama Hindu dan Budha, h. 11. Amrit Kaur,”Kata Pengantar” dalam Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. Viii. 34 Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 189. 33 28 Seorang gadis akan selalu dijaga ketat oleh orang tuanya dan seorang gadis dituntut kesucian hingga ia menikah. Anak putri yang suci, mempunyai status sangat tinggi dalam keluarga Hindu dan dipuja sebagai dewi perawan. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat Hindu sangat mempertimbangkan pentingnya kesucian mendorong para orang tua untuk merencanakan perkawinan anak-anaknya sedini mungkin. Sementara minimnya pendidikan serta keinginan untuk memilki anak memberi andil dalam perkawinan dini gadis-gadis Hindu, faktor lain disebabkan oleh meningkatnya rigiditas sitem kasta dan keinginan untuk menjamin kesucian kasta dan stabilitas tata sosial.35 Kebiasaan masyarakat Hindu untuk menikahkan anak-anaknya pada usia yang relatif masih muda atau pernikahan di bawah umur, pada hal ini telah menimbulkan keadaan yang merusak akar perkembangan fisik, intelektual dan bahkan spiritual. Seorang anak perempuan yang masih sangat muda diharuskan menghadapi kenyataan bahwa ia kini telah berstatus sebagai seorang istri dan ibu dari anak-anaknya. Istri-istri yang masih anak-anak dan anak-anak yang telah menjadi ibu harus menunaikan tugas sucinya secara benar-benar dengan sungguhsungguh dan mendidik, membimbing serta membentuk karakter anak-anaknya. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat India, di mana masih banyak suami yang menganggap istri mereka sebagai milik mereka seperti hewan ternak atau perlengkapan rumah tangga. Oleh karena itu, mereka berpikir bahwa mereka memilki hak untuk memukul istrinya seperti memukul hewan ternaknya. Ternyata para suami yang terpelajar pun tidak terbebas dari kepercayaan yang meyakini hak 35 Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, terj. Syafaāatun Al-Mirzanah dkk. (Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA, Mc Gill-Project, 2002), h. 96-97. 29 suami untuk memperlakukan istri-istri mereka seperti ternak dan memukulnya kapan pun mereka terdorong untuk melakukannya. Di beberapa daerah India sistem purdah masih berlaku sangat ketat dan masih dipertahankan bahkan dalam rumah tangga orang terpelajar. Kaum perempuan dibiarkan terkurung dan ditahan dirumah-rumah mereka yang berhalaman sempit. Mereka tidak pernah diberi kesempatan menghirup udara segar kebebasan. Bahkan hanya sedikit kaum perempuan yang diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang memadai, perkembangan jasmani dan rohani dan ekspresi diri yang sepenuhnya. Individualitas mereka telah ditekan secara semena-mena di bawah beban-beban kebudayaan dan hukum-hukum tak tertulis.36 Pada sisi lain, ketika seorang perempuan yang masih muda yang ditinggal mati oleh suaminya, ia harus mengalami penderitaan-penderitaan yang tak tertanggungkan sebagai janda-janda. Pada masyarakat Hindu telah memperlakukan seorang janda dengan tidak terhormat. Seorang janda tidak beruntung, pertanda buruk bagi siapapun yang berjumpa dengan dia, bahkan pada janda kasta Brahma harus menjalani Tonsure (pencukuran seluruh kepala), warna putih polos pada pakaian diasosiasikan dengan status menjanda, maka seorang janda diharapkan menghindari pakaian berwarna, gelang, pemakaian bunga dan perhiasan yang diasosiasikan dengan status kawin. Bagi seorang janda tidak boleh berpartisipasi aktif dalam kesempatan-kesempatan yang menjanjikan kesejahteraan. Seorang janda tidak diperbolehkan kawin lagi dan dibatasi cara hidupnya dengan hanya mendapatkan sedikit saja kesenangan hidup dan hasrathasrat alamiahnya ditekan. 36 Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 14. 30 Hal semacam itu dialami oleh kaum perempuan, baik oleh seorang anak perempuan, oleh seorang muda atau bahkan oleh perempuan berusia lanjut yang bahkan terjadi dalam rumahnya sendiri. Semasa kanak-kanak seorang perempuan harus tunduk kepada ayahnya, dalam masa muda kepada suaminya, bila tuanya mati, pada anak laki-lakinya , seorang perempuan tidak boleh bebas. Sebagai akibat dari tatanan sosial yang menindas dan tirani, kaum perempuan India telah kehilangan semangat kekuatan dan keberanian, kehilangan kemampuan untuk berpikir dan berinisiatif secara independen, dikarenakan di India masih berkembang sistem yang memaksakan status janda, purdah, persembahan gadis-gadis kepada kuil (devidasi), perbudakan ekonomi dan perkawinan terhadap kaum perempuan yang masih anak-anak. 31 BAB III KONSEPTUALISASI PEMIKIRAN MAHATMA GANDHI TENTANG PEREMPUAN HINDU A. Perempuan dalam Kitab Suci Hindu Agama Hindu merupakan agama yang banyak didasarkan pada beberapa kitab-kitab suci. Agama Hindu memiliki pustaka suci yang terbesar jumlahnya dibandingkan kitab-kitab suci agama lain.1 Selain agama itu Hindu adalah agama yang sudah tua dan merupakan agama yang di anut di kawasan India. Agama Hindu sering disebut Sanata Dharma, yang berarti agama yang kekal atau Maidika Dharma yang berarti agama yang berdasarkan kitab suci Weda. Sumber keterangan tentang persoalan-persoalan yang menyangkut dunia dan manusia di dalam agama Hindu terdapat dalam kitab yang disebut Kitab Weda, yang menurut keyakinan dalam Hindu isinya diwahyukan oleh dewa tertinggi kepada para resi, para Brahmana dan para guru, yang berabad-abad kemudian dibukukan menjadi Kitab Weda tersebut. Pewahyuan menurut keyakinan Hindu bahwa pada waktu-waktu tertentu dewa tertinggi berfirman secara langsung di dalam hati sanubari pada orang-orang tadi mengenai kejadiankejadian yang sedang di hadapi. Wahyu itu semula disebarkan oleh para penerimanya kepada orang lain atau generasi berikutnya secara lisan yang kemudian ada upaya untuk dibukukan dalam Kitab Weda tadi, pembukuan itu tidak secara langsung melainkan bertahap. Pertama-tama terkumpulah bagian 1 Arvind Sharma, Agama Hindu, terj. Ngakan Made Madrasuta dan Sanh Ayu Putu Renny, (Surabaya: Paramitha, 2000), h. 54. 31 32 Weda yang disebut Weda Samhita kemudian kedua bagian Weda yang disebut Brahmana dan akhirnya bagian Weda yang disebut Upanishad.2 Pada zaman Weda (1500 SM hingga 600 SM) yang meliputi zaman kedatangan bangsa Arya dan penyebarannya di India, serta penyebaran kebudayaan dan peradaban Arya itu.3 Orang-orang Arya datang ke India pada millenium kedua sebelum Masehi membawa tradisi Indo-Eropa yang patrineal dan patrilokal. Agama mereka memiliki ciri patriarkal, etnis berorientasi keluarga dan mempertahankan hidup. Tujuan hidupnya adalah mempertahankan dominasi lakilaki dan identitas bangsa Arya di samping itu juga untuk memenuhi hasrat memperoleh keturunan, kemakmuran sampai usia lanjut, dan ritual-ritual keagamaan yang semua itu didasarkan terutama pada keluarga.4 Pada zaman Weda memberikan penghargaan yang baik terhadap feminitas maupun komplementaritas antara suami istri, meskipun masih dalam struktur yang patriarkal. Penghargaan ini merupakan suatu pembaharuan sistem patriarki yang terdapat dalam konteks tradisi Indo-Eropa sebelumnya.5 Hal ini terlihat dalam perubahan istilah dampati yang pada awalnya di kalangan orang-orang IndoEropa diartikan “tuan rumah” kemudian di India berubah menjadi “pasangan” suami istri. Pada masa ini anak perempuan (duhita) dan gadis (kanya) dipuji karena cantik, wajah berseri, dandanan menarik, senyum yang manis, pinggul yang sintal dan paha yang besar. Deskripsi yang semacam ini menunjukkan adanya interest pada daya tarik sensualitas feminin dan kemampuan seorang perempuan untuk 2 F. X. Koesno, Sekilas Sari Filsafat India Hindu, Mawas Diri, h. 31. F. X. Koesno, Sekilas Sari Filsafat India Hindu, Mawas Diri. h. 33. 4 Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, terj. Syafa’atun Al-Mirzanal. Dkk (Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA, Mc Gill Project, 2002), h. 72. 5 Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 73. 3 33 melahirkan anak terutama anak laki-laki. Seorang gadis yang belum menikah diawasi dan dijaga ketat oleh orang tuanya, karena seorang pengantin perempuan dituntut harus perawan.6 Di dalam Rg-Weda digambarkan secara jelas tentang upacara perkawinan di India dijelaskan bahwa pengantin perempuan merupakan “keberuntungan” (sumangali) dan “menguntungkan” (siva). Dalam upacara tersebut doa-doa dipanjatkan untuk para dewa-dewa agar pasangan pengantin mendapatkan kebahagiaan (saubhagatva), bersama-sama mencapai usia lanjut, makmur, memiliki keturunan dan kesatuan hati, serta ditujukan kepada Visvavasu, yang merupakan pelindung gadis-gadis perawan, agar memindahkan penjagaannya kepada yang lain. Selain itu, pengantin perempuan diberikan nasehat-nasehat agar ia tidak boleh marah atau benci kepada suaminya; harus lembut, ramah, gembira, melahirkan anak laki-laki, mengasihi para dewa, memberikan kebahagiaan, membawa keberkahan dan menjadi ratu bagi iparnya. Semua nasehat praktis yang diberikan kepada pengantin perempuan dalam Rg-Weda diistilahkan sebagai Jaya (orang yang ikut merasakan perasaan suami), Jani (ibu anak-anak), dan patni (partner dalam melakukan berbagai ritual atau yajna). Istilah-istilah tersebut dalam Rg-Weda merupakan ciri peranan perempuan Hindu.7 Ritual-ritual keagamaan di pusatkan di rumah, yaitu dewa-dewa diundang untuk mengunjungi dan menerima hadiah di sana-maka istri hadir dalam peristiwa-peristiwa ini serta berpartisipasi di dalamnya melalui hymne-hymne pujian dan sikap-sikap yang ramah. Dalam ritual domestik maupun ritual publik menekankan kehadiran bersama suami dan istri. Kehadiran seorang istri 6 7 Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 73. Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 74 34 diperlukan untuk menghadirkan dewa-dewa dan rumah dipandang menguntungkan (subha) apabila adanya kebrsamaan suami istri. Kesempurnaan hidup (kebahagiaan, kekayaan dan kesejahteraan), pencapaian keabadian (versi syurgawi hidup ini), dan bahkan tata tertib alam dan masyarakat pun diperoleh karena adanya keharmonisan suami istri.8 Bagaimanapun seorang istri dan ibu pada zaman ini dimuliakan, namun suamilah yang tetap memiliki peranan yang dominan. Perempuan menurut Weda tidak lebih dari seorang patner yang ikut membantu, meskipun tidak terlibat secara aktif dalam ritual-ritual Weda. Hal ini disebabkan karena alasan bahwa para dewa tidak mungkin diabaikan dan perhatikan. Jadi, jika semua laki-laki tidak berada di rumah, maka istri melakukan peran ritual menjamu tamu menggantikan suaminya di samping tugas rutinnya sebagai penjaga api rumah.9 Dengan demikian perempuan mempunyai andil yang sangat kecil dalam kegiatankegiatan ritual keagamaan. Sebagian besar naskah Hindu seperti “the law of manu”, Smriti, Yajnavalkyis, atri dan Vahista meletakan wanita pada posisi terbawah dibandingkan laki-laki di dalam keluarga, ritual, umum, wanita selalu berada dibawah pengawasan laki-laki, tanpa laki-laki, wanita berpotensi terkena bahaya.10 Kehidupan suami-istri biasanya memerlukan perlindungan dari suaminya dan begitupun suami memerlukan kasih sayang dari isterinya. Dalam ajaran agama Hindu disebut “tattwamasi” maksudnya: saya adalah engkau atau engkau 8 .Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 74. Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 74 10 Ida Rosyidah, Gandhi’s Ideas of Women in Hinduism, REFLEKSI Jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Vol. VIII, No. 3, Jakarta, 2006, h. 265. 9 35 adalah saya.11biasanya suami istri dalam ajaran Hindu memilki pedoman yang dijadikan acuan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Seperti dalam pustaka suci Manawa Dharmasastra III dalam sloka 60, 61, 62. Samtusto bharyaya bharta tathaiwa ca, Yasminnewa kule nityam kalyanan tatra wai dhruwam Artinya: Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal. Yadi hi stri na roceta pumamsam na pramodayet, Apramodat punah pumsah prajanan na prawartate Artinya: Karena kalau istri tidak mempunyai wajah berseri, ia tidak akan menarik suaminya, tetapi jika seorang istri tidak tertarik pada suaminya tidak akan ada anak yang lahir. Striya tu rocamanayam sarwam tadrocate kulam, Tasyam twarocamanayam sarwmena na rocate Artinya: Jika seorang istri selalu berseri-seri seluruh rumah akan kelihatan bercahaya, teapi jika ia tidak berwajah demikian semuanya akan kelihatan suram.12 Dalam agama Hindu terdapat praktek Sati yang merupakan dharma (kebaikan) dari pada menjanda yang merupakan suatu adharma (kejahatan). Jadi, ketika seorang suami meninggal dunia seorang istri harus memilih antara melakukan Sati dengan predikat kemuliaannya ataukah menjadi janda dengan predikat kesialannya. Bagi seorang perempuan yang memilih Sati, Sati adalah pelaksanaan upacara keagamaan yang dilakukan seorang istri demi kesetiaan terhadap suaminya. Seorang perempuan dengan penuh ketenangan dan penyerahan jiwa dan raga, rela ikut dibakar bersama jasad suaminya yang telah 11 12 Ni Made Sri Arwati, Swadarma Ibu dalam Keluarga Hindu, h. 7. Gede Pudja dan Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 148. 36 meninggal dunia. Masyarakat memandang seorang perempuan yang berani melakukan Sati, dianggap seorang istri yang baik atau seorang Sati sejati, yang mendatangkan kehormatan dan kemuliaan bagi diri, keluarga dan masyarakatnya. Masyarakat pun mengungkapkan rasa terima kasih terhadap perempuan tersebut karena memperoleh kesempatan menyaksikan pengorbanan mulia itu.13 Sedangkan perempuan yang memilih tetap menjadi janda, ia ditandai dengan “garis-garis ketidak beruntungan” tertulis di kening putihnya sebab di situ sudah tidak ada lagi titik merah (tilaka). Rambut kepalanya dicukur atau dibiarkan terurai tanpa hiasan bunga, hal ini memperlihatkan keadaannya yang sengsara. Tidak ada satu pun perhiasan menghiasi bagian-bagian tubuhnya, tubuhnya hanya dibalut kain Sari dari kain kapas berwarna buruk, sering kali tanpa blous dan seperti biasa ia berjalan tanpa alas kaki. Dalam masyarakat, ia dikucilkan seperti tidak boleh mengikuti pertemuan-pertemuan, perayaan-perayaan, pesta-pesta perjamuan bahkan kesenangan atau kenikmatan dalam bentuk apapun. Sebagai seorang manusia, ia dipandang sebagai seorang perempuan yang telah gagal dalam melakukan perbuatan dan tujuan keagamaannya.14 B. Konsep Ideal Perempuan Hindu 1. Perempuan sebagai istri Tuhan Yang Maha Esa menciptakan dua mahluk yang berlainan jenis dan menumbuhkan rasa saling mencintai antara keduanya, sehingga lahirlah perkawinan dan terwujudnya suatu keluarga.15 Perkawinan merupakan suatu 13 Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 100 Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 101. 15 Gusti Ayu Kade Jati Laksmi, Wanita Hindu dalam Perluasan Cakrawala Pembangunan, 14 h.45. 37 sakramen, yang dalam agama Hindu merupakan satu diantara empat ashrama.16 Perkawinan mengesahkan hak untuk berpadu bagi kedua mitra dengan mengucilkan semua orang lain, bila mereka berdua beranggapan bahwa perpaduan itu menyenangkan. Namun tidak diberi hak mutlak kepada masing-masing mitra untuk menuntut kepatuhan terhadap hasratnya untuk berpadu.17 Sakramen perkawinan yang dilakukan biasanya merupakan pengalaman traumatis bagi seorang gadis muda, karena saat perkawinan, Ia diambil dari rumahnya; dimana dia dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Dia dipindah ke keluarga suaminya dengan diawasi secara ketat oleh sanak familinya. Meskipun dirinya beruntung, karena status perkawinannya sesuai dengan ajaran-ajaran agama, namun stereotipe yang berkembang memperlihatkan bahwa keluarga suami seringkali menganggap dirinya sebagai figur yang berbahaya, seorang perempuan penggoda, hingga ia melahirkan anak pertama. Lebih disukai jika anak yang dilahirkan adalah anak laki-laki, dan setelah itu baru ia berada pada posisi aman.18 Dalam sastra-sastra Hindu telah menuliskan bahwa tujuan utama suatu pernikahan yaitu memperoleh keturunan, seperti do’a yang diucapkan ibu rumah tangga baru pada saat pernikahannya, oleh saudari-saudarinya yang lebih tua, yaitu semoga kami dikaruniai banyak anak. Hal ini menguatkan bahwa hidup 16 Empat ashrama merupakan ciri-ciri perkembangan kehidupan beragama manusia, yang terdiri dari Brahmachari (masa menuntut ilmu), Grhastha (masa berumah tangga), Wanaprastha (masa pertapa) dan Sanyasin (masa hidup dengan meninggalkan keduniawian). Lihat: Djam’annuri, Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-agama (sebuah pengantar) (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2000), h.36-37. 17 Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, terj. Kustiniyati Mochtar (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT. Gramedia, 1988), h. 191. 18 Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h.98. 38 bersama dalam pernikahan harus diperuntukkan bagi tujuan mendapatkan keturunan, tidak pernah untuk memuaskan hasrat seksual atau yang lainnya.19 Gandhi memberikan konsep pernikahan ideal, yaitu pernikahan yang mempunyai syarat bahwa perkembangan spiritual harus diletakkan dalam peringkat pertama sebagai satu alasan pernikahan. Kewajiban ada pada urutan berikutnya, pemahaman keluarga dan pentingnya tatanan sosial diletakkan dalam urutan ketiga dan saling tertarik atau cinta pada urutan keempat. Hal ini berarti bahwa pernikahan tanpa cinta harus dihindari meskipun syarat yang lainnya telah terpenuhi. Di sini Gandhi tidak memasukkan syarat tentang kekuatan genetik, karena menurutnya memperoleh keturunan merupakan tujuan sentral dari pernikahan. Kekuatan genetik tidak bisa diperlakukan sebagai “syarat” suatu pernikahan.20 Namun, tidak ada upaya yang dapat memberi pemahaman lebih baik dari pada pemahaman kepada kaum muda yang akan mengarungi kehidupan pernikahan untuk keseriusan hidup yang akan mereka jelang. Hal ini adalah keyakinan dan pendirian yang harus melandasi upacara pernikahan, bukannya pesta-pesta belaka tetapi merupakan upacara-upacara pertasbihan suci. Dalam sebuah ikatan pernikahan suami istri merupakan mitra yang sejajar. Apabila sang suami disebut swamin, maka istri disebut swamini-masing-masing menjadi guru bagi pasangannya, menjadi pasangan bagi yang lainnya, saling bekerja sama dalam menunaikan tugas dan kewajiban hidup. Gambaran tentang istri yang ideal seperti diungkapkan naskah-naskah suci Hindu. Naskah-naskah Hindu merupakan sumber pokok kedua agama Hindu. 19 Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, terj. Siti Farida (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h.160. 20 Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 162-163. 39 Ketaatan perempuan pada suaminya sebagai pati (istri yang setia) diilhami oleh metapor dewi, yang menjadikan pelajaran penting bagi perempuan dalam teksteks Smrti. Berbagai episode epik tulisan-tulisan metodologis mengenai hubungan suami istri mementingkan orientasi feminine Stri dharma yang menekankan pada kesetiaan, kesucian, kepatuhan, dan kerendahan hati dan juga kekuatan yang dihasilkan melalui tapa.21 Menurut ajaran Hindu, perkawinan dipandang sebagai dharma (kewajiban) tentang dharma tersebut. Maha Rsi Manu dalam Manawa Dharmasastra mengatakan sebagai berikut: Prajanartha striyah srstah samtanartham ca manawah, Tasmat sadharano dharmah crutau patnya sahaditah Artinya: Untuk menjadikan ibu, perempuan diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan upcara keagamaan karena itu ditetapkan didalam weda untuk dilakukan oleh suami bersama dengan istrinya, (manawa dharmasastra XI. 96).22 Kedudukan perempuan sebagai istri dalam rumah tangga selalu berkaitan dengan kewajiban-kewajibannya terutama terhadap suami diuraikan dalam kitab: Asitamaranat ksanta niyata brahmacarini, Yo dharma ekaptninam kangksanti tamanuttamam. Artinya: Sampai mati hendaknya ia sabar menghadapi kesulitan-kesulitan hidup, mengendalikan diri sendiri dan tetap suci serta berusaha memenuhi tugastugas mulia yang ditentukan untuk istri-istri yang mempunyai satu suami saja, (manawa Dharmasastra V sloka 158)23 Epik-epik mitologi Hindu menunjukkan tokoh-tokoh wanita seperti yang tersebut sebagai Ramayana dan Mahabarata. Di dalam cerita Ramayana dapat 21 Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h.93. Gede Pudja dan Tjokroda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 551. 23 Gede Pudja dan Tjokroda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 323. 22 40 ditemukan sosok dewi Shinta (istri Rama), Sinta sebagai istri yang harus mematuhi suaminya, dia tidak pernah menolak keinginan suaminya.24 Tokoh wanita yang terkenal karena kesetiaannya dan kejujurannya, dengan jiwa besar ia ikhlas untuk mendampingi suaminya dalam pembuangannya selama 14 tahun di hutan. Gambaran tentang Shinta merupakan ilustrasi paling jelas dari konsep perempuan ideal. Epik Ramayana ini lebih menggambarkan tentang kesetiaan perempuan ketimbang kebahagiaan perkawinan, dan dalam setiap episodeepisodenya tersisipi kepentingan-kepentingan untuk menjelaskan niali-nilai keutamaan Stridharma, seperti ketika Shinta bersikeras mengikuti Rama ke hutan, ia mengatakan bahwa tempat seorang perempuan adalah di samping suaminya, bahwa seorang istri berbagi keuntungan dan karena suaminya, bahwa naungan kakinya lebih besar daripada istana. Dengan tekadnya untuk mendampingi Rama, ia telah mempersiapkan pikirannya mengahdapi kesulitan di hutan.25 Di India, keberadaan seorang wanita dibawah perlindungan suaminya. Seorang istri terbiasa memanggil suaminya dengan sebutan “Yang Mulia” bahkan “Tuhan”, karena laki-laki memang dipandang sebagai penguasa bumi.26 Masyarakat menilai seorang istri yang baik adalah seorang wanita yang menyerahkan segenap pikiran, ucapan dan tubuhnya.27 Selalu bersikap simpatik terhadap suami, sehingga suami senantiasa merasa senang, patuh melaksanakan 24 Ida Rosyidah, Gandhi’s Ideas of Women in Hinduism, h. 266 Arvin Sharma, “Perempuan dalam Agama-agama Dunia”, h.94. 26 Said Abdullah Seif Al Hatimi, Citra Sebuah Identitas Wanita dalam Perjalanan Sejarah, terj. Hamid Abud (Surabaya: Risalah Gusti, 1994), h.4. 27 . Said Abdullah Seif Al Hatimi, Citra Sebuah Identitas Wanita dalam Perjalanan Sejarah, h.4. 25 41 kehendak suami dan etik serta mampu mengatur harta benda dan milik suami. Istri yang terpuji adalah istri yang selalu menjaga kehormatan suaminya.28 Dharma seorang istri yang setia (Pativrata) adalah memuja dan melayani suaminya sebagai dewa. Sebagai seorang Pativrata, ia dapat digambarkan dalam Padma Purana yaitu idealnya ia harus seperti seorang budak yang melayani, seorang perempuan sundal dalam bercinta, seorang ibu dalam memberi makan dan seorang penasehat saat diperlukan suaminya.29 2. Perempuan Sebagai Ibu Tingkatan hidup kaum perempuan di muka bumi ini mengalami tiga peredaran masa yaitu perempuan sebagai puteri, perempuan sebagai istri dan perempuan sebagai ibu. Perempuan sebagai ibu merupakan tugas istimewa seorang perempuan dan merupakan tugas mulia yang diberikan oleh Tuhan di samping posisi yang lainnya. Disadari atau tidak seorang perempuan setelah berumah tangga atau mulai memasuki masa grahasta mempunyai tugas dan tanggung jawab lebih berat dari masa sebelumnya dan diikat oleh dharmanya sebagai seorang grahastin (ibu rumah tangga), pendamping suami untuk melaksanakan tugas pengabdian dan mempunyai tanggung jawab berat untuk putera-puterinya. Bagaimana cara melahirkan, mengasuh dan mendidik secara baik lahir dan bathin, sehingga dikemudian hari dapat menciptakan putera-puteri yang bijaksana, berbudi luhur 28 Gusti Ayu Kade Jati Laksmi, Wanita Hindu dalam Perluasan Cakrawala Pembangunan, h.45. 29 Vasudha Narayanan, Persepsi-persepsi Hindu tentang Keberuntungan dan Seksualitas dalam Becher Jeanne, Perempuan, Agama dan Seksualitas, terj. Indriani Bone (Jakarta: Gunung Mulia, 2001), h. 99. 42 serta dapat mengabdikan diri kepada bangsa, negara dan agama. 30 Menjadi seorang perempuan yang sempurna bukanlah tugas yang ringan. Mengadakan keturunan harus dilakukan dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya. Seorang ibu harus menyadari kewajibannya mulai dari saat pembuahan sampai saat lahirnya anak.31 Ibu adalah seorang yang amat dekat dengan anak-anaknya, sehingga apa yang diajarkan oleh ibu selalu melekat dan melandasi alam pikiran si anak.32 Semenjak dalam kandungan sang ibu hingga lahir dan perkembangan selanjutnya, peranan ibu sangat menentukan terhadap perkembangan jiwa serta perangai anakanaknya. Hubungan ibu-anak merupakan ikatan simbiotik yang kuat di Hindu India. Pada tingkat personalitas, ini berarti bahwa anakakan mengembangkan ketergantungan yang kuat dan kebutuhan-kebutuhan pemeliharaan; kebutuhankebutuhan ini tetap harus dipenuhi hingga dalam kehidupan dewasa, karena ibu selalu hadir dalam keluarga. Kehadiran ibu secara fisik yang terus menerus dalam keluarga berarti bahwa ia tetap merupakan orang yang dominan bagi anaknya. Seorang ibulah yang selalu memberikan pemeliharaan dan cinta pada anaknya. 33 Dalam kegiatan rumah tangga yang menyangkut tugas dan kewajiban sehari-hari, seorang perempuan jika sebagai “ibu rumah tangga” maka dia mempunyai tanggung jawab agar dapat tercipta solidaritas dan stabilitas keluarga. Jika perempuan sebagai “ibu yang melahirkan anak” maka itu dianggap sebagai 30 Tjo Rai Sudharta, Manusia Hindu: Dari Kandungan Sampai Perkawinan, (Bali: Yayasan Dharma Naradha, 1997), h. 89. 31 Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 191. 32 Gusti Ayu Kade Jati Laksmi, Wanita Hindu dalam Perluasan Cakrawala Pembangunan, h. 45-46. 33 Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 98. 43 Tuhan, dan pada posisi yang demikian itu perempuan dihormati melebihi penghormatan terhadap ayah dan guru.34 Tugas dan kewajiban seorang ibu dijelaskan dalam Manu Smrti sebagai berikut: Apatyam dharma karyani cucrusa ratih uttama. Daradhinastatha suargah pitri rramat manaccaha. Artinya: Anak-anak, upacara agama, pengabdian (kepatuhan), kebahagiaan rumah tangga, sorga untuk leluhur maupun untuk diri sendiri semuanya didukung oleh kaum perempuan.35 Kedudukan seorang ibu di dalam rumah tangganya sebagai penyangga ciat-cita rohani (spiritual ideals) dan menjadi guru pertama anak-anaknya. Seorang ibu mempunyai kewajiban memberi contoh, anjuran dan ajaran yang baik, mengajarkan disiplin kepada anak-anaknya. Tentang keberhasilan pribadi, rendah hati, ramah tamah, berkelakuan baik dan pelayanan yang sopan santun serta memuja Tuhan dengan sepenuh hati. Setiap ibu harus selalu mengambil bagian dalam usaha untuk mengembangkan kesadaran tentang Tuhan dalam diri anak-anaknya, karena anak-anak merupakan tunas bangsa, tiang dan dasar sebuah negara.36 C. Peran Perempuan dalam Kegiatan Keagamaan Gerak sejarah manusia banyak didominasi kaum laki-laki sehingga penafsiran 34 doktrin agama pun secara sengaja maupun tidak banyak, Juwairiyah Dahlan, Wanita dalam Perspektif Agama Hindu, dalam M. Masyhur Amin (ed), Wanita dalam Percakapan Antar Agama Aktualisasinya dalam Pembangunan, (Yogyakarta: LKPSM NU, 1992), h. 77. 35 G. Pudja dan Tjokardja Rai Sudharta, Manawa Dharma Castra; Weda Smrti; Compendium Hukum Hindu, (Jakarta: Depag RI, 1983), h. 535. 36 Juwairiyah Dahlan, Wanita dalam Perspektif Agama Hindu, h. 81. 44 menguntungkan laki-laki dan menyudutkan perempuan. Seperti dalam mite penciptaan alam dalam Hindu dijelaskan bahwa Brahma; pencipta alam dipandang sebagai laki-laki dan sekaligus perempuan. Brahma membagi dirinya menjadi dua, sebagai Purusha (pria) dan sebagian yang lain Prakriti (wanita). Hal ini memberi pengertian lebih jelas bahwa pria dan wanita merupakan emanasi langsung dari jasad Tuhan sendiri, maka perempuan adalah bagian dari kekuatan Tuhan yang asli, yang berarti kekuatan Tuhan. Dengan demikian secara esensial terdapat kesamaan spiritual antara pria dan wanita. Interaksi yang harmonis antara Purusha dan Prakriti menyebabkan terciptanya alam ini.37 Pada hakekatnya menurut Gandhi laki-laki dan perempuan adalah menunggal, masalah merekapun pasti manunggal pula, kedua-duanya mempunyai jiwa yang sama pula, masing-masing menjalani kehidupan yang sama dan mempunyai perasaan yang serupa, yang satu merupakan pelengkap bagi yang lain, masing-masing tidak akan hidup tanpa bantuan aktif dari pasangannya.38 Gandhi menambahkan bahwa kita semua adalah anak Tuhan yang sama dan merupakan bagian dari keilahian yang sama.39 Gandhi meyakini akan ke-Esa-an mutlak Tuhan dan oleh sebab itu, keesaan umat manusia juga. Lebih lanjut Gandhi meyakini, memang badan kita sebagai manusia banyak, tetapi jiwa kita hanya satu. Seperti sinar matahari juga terpecah banyak melalui pembiasan, tetapi sumbernya tetap sama.40 Gandhi berkeyakinan bahwa semua manusia adalah sama dihadapan Tuhan, maka baik laki-laki maupun perempuan, baik kasta rendah maupun kasta 37 Juwairiyah Dahlan, Wanita dalam Perspektif Agama Hindu, h. 72. Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 186. 39 Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 98. 40 Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 92. 38 45 tinggi adalah sama yaitu makhluk yang rendah bila dibandingkan dengan Tuhan. Oleh sebab itu, Gandhi tidak banyak berbicara tentang peran perempuan dalam kegiatan keagamaan secara spesifik, namun demikian ia sedikit memberikan pembaharuan-pembaharuan dalam beberapa praktek kehidupan yang berkaitan dengan ajaran agama yang berpengaruh dalam gerakannya, diantaranya adalah: 1. Ajaran Cinta Kasih Dalam keadaan wajar, normal, manusia dilahirkan dan dibesarkan di atas dasar cinta kasih. Cinta kasih merupakan motif penggerak hidup dan kehidupan. Selain cinta kasih adalah unsur penting dalam menghayati berbagai usaha sosial dan kerukunan hidup bermasyarakat, cinta kasih juga bisa menghubungkan manusia dengan Tuhan YME (Hyang Widhi Wasa), dengan sesama manusia dan alam lingkungannya. Cinta kasih sangat membahagiakan, sebab cinta kasih menyamakan kehendak, tujuan dua orang atau lebih dalam kerjasama, seperti misalnya cinta kasih dalam kehidupan bermasyarakat akan mendorong anggota masyarakat itu untuk selalu bergotong-royong, bantu-membantu dalam kehidupan sehari-hari. Gandhi datang dari keluarga yang memeluk agama Djainisme, suatu jenis agama Hindu yang sangat keras melarang pemeluknya melakukan perbuatan yang bengis seperti menyakiti makhluk lain, apalagi membunuh. Cinta dan kasih sayang itulah yang menjadi dasar agama tersebut, selain itu Gandhi sangat keras dididik menurut ajaran-ajaran agamanya itu, sehingga dasar kasih sayang sudah sejak kecil menjadi dasar hidupnya pula.41 41 Mahatma Gandhi, Religi Susila, terj. Sumirat, (Jakarta: Balai Pustaka, 1950), h. 7. 46 Dalam kehidupan, Gandhi selalu berusaha untuk menangani kejahatan atau kekejaman terhadap sesama manusia maupun binatang dan lingkungan sekitar, hingga ia menjadi seorang vegetarian; seorang berpantang makan daging, sebagai wujud cinta kasihnya terhadap makhluk lain dan kepatuhannya terhadap ajaran agama. Sesungguhnya seluruh jiwa Gandhi adalah penjelmaan cinta dan kasih sayang semata-mata. Sekalipun ia sangat menentang ketidakadilan dan segala yang bertentangan dengan kebenaran namun ia tidak pernah beranggapan mempunyai musuh. Seolah-olah kata-kata musuh tidak ada dalam kamusnya, yang ada hanyalah sahabat yang berbeda paham dan keyakinan. Pernah ia berseru pada pengikutnya: “Kalau perjuangan kita sungguh-sungguh bersifat rohani yang sejati dan memberikan kemenangan kepada kita, maka haruslah dengan insaf kita membuang anggapan, bahwa perjuangan kita ini adalah sesuatu perjuangan antara musuh dengan musuh. Ini berarti, bahwa pada perjuangan kita ini, (berlainan dengan semua peperanganpeperangan duniawi) pihak-pihak yang berlawanan itu bukanlah musuh berlawanan musuh, melainkan sahabat berhadapan dengan sahabat, yang masing-masing berada di dalam tempat yang terpisah, oleh karena pendapat dan keyakinan masing-masing berlainan atau malah bertentangan satu sama lainnya. Pertentangan tersebut mungkin bersandar kepada sesuatu keyakinan yang jujur, tapi mungkin juga kepada ketamakan, keangkuhan bangsa atau keangkuhan sosial. Sekalipun pihak lain memandang kita sebagai kaum pemberontak, sebagai musuh atau sebagai apapun juga, namun dari pihak kita sendiri haruslah kita selamanya berpendirian, bahwa kita bukanlah musuh sesuatu pihak manapun juga.”42 Dengan prinsip-prinsip hidup yang selalu ia pegang dan selalu digunakan sebagai prinsip perjuangannya pula, ia tidak hanya merevolusi nasib bangsanya saja, tetapi juga merevolusi segenap umat manusia untuk diberi dasar peri kemanusiaan dan kasih sayang antar sesama makhluk hidup dengan membuang segala nafsu-nafsu yang buruk dan jahat. Semua itu menunjukkan betapa besarnya jiwa Gandhi yang universal itu, perjuangan Gandhi tidak hanya mempunyai arti 42 Mahatma Gandhi, Religi Susila, h. 15-16. 47 terbatas di lingkungan kebangsaannya semata, melainkan sudah meningkat pada tingkatan lebih tinggi derajatnya dengan mempunyai nilai abadi, yaitu perjuangan untuk membebaskan segenap manusia lahir dan batin dari segala macam penindasan dengan hanya taat kepada satu kekuasaan dan hanya mengakui satu undang-undang yaitu kekuasaan dan undang-undang kasih sayang.43 2. Brahmacharya Secara harfiah brahmacharya berarti cara hidup yang menuntun manusia kepada kesadaran akan adanya Tuhan.44 Brahmacharya atau selibat di kalangan para penganut mistik dan asketik Hindu dianggap sebagai puncak pengorbanan diri dan penolakan atas keberadaan person, cara paling hakiki untuk menghindari semua godaan dan menemukan Tuhan.45 Menurut Gandhi makna sebenarnya dari brahmacharya adalah pencarian terhadap Brahman. Dalam filsafat Hindu, Brahman adalah prinsip religius yang merupakan perwujudan dari Brahma, dan Brahma dalam berbagai manifestasinya Sang pencipta, penjaga dan pengrusak adalah Dzat Tertinggi. Dari sinilah segala sesuatunya berasal dan tujuan akhirnya, melalui siklus inkarnasi dan reinkarnasi, berjuang keras untuk bersatu kembali dengan Dzat Tertinggi. Karena Brahman selalu ada dalam setiap orang, ia bisa diketahui melalui kontemplasi dan pencerahan batin, pencerahan ini tidak mungkin tercapai tanpa kontrol yang sempurna terhadap semua alat indera.46 43 Mahatma Gandhi, Religi Susila, h. 16-17. Mahatma Gandhi, Berkawan dengan Alam Menuju Kesehatan Alternatif, terj. Siti Farida (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 77. 45 Ved Mehta, Ajaran-ajaran Mahatma Gandhi, terj. Siti Farida (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 362-363. 46 Ved Mehta, Ajaran-ajaran Mahatma Gandhi, h. 364. 44 48 Namun pada umumnya brahmacharya diartikan sebagai pengontrol alat kelamin dan pencegahan pengeluaran sperma melalui pengekangan penuh atas naluri seks dan alat kelamin sendiri. Kontrol terhadap naluri dan organ-organ seksual menjadi sesuatu yang alamiah, bagi seseorang yang selalu berlatih untuk serba bisa dalam hal pengendalian diri. Hal ini bisa terjadi hanya ketika ketaatan pada brahmacharya itu sungguh-sungguh alamiah bagi laki-laki atau perempuan yang mengambil manfaat terbesar dari sikap ini. Orang yang tengah menjalani brahmacharya harus benar-benar bebas dari nafsu amarah dan nafsu-nafsu sejenisnya. Gandhi meyakini bahwa hubungan seksual adalah kewajiban agama yang semata-mata bertujuan untuk menjadi sarana lahirnya anak (prokreasi), tetapi kewajiban untuk mengabdi kepada masyarakat adalah kewajiban agama yang lebih tinggi daripada prokreasi. Meskipun demikian Gandhi tidak anti terhadap perkawinan atau hubungan seksual. Ia tetap mendukung dan menganjurkan para muridnya tetap bertemu dan jatuh cinta di dalam kegiatan pengabdian mereka, tanpa meninggalkan sumpah brahmachari. Mereka mulai hidup bersama dalam apa yang mereka sebut sebagai “Pernikahan Spiritual” atau “Keluarga Spiritual”, dan kepada para muridnya yang telah menikah Gandhi menganjurkan untuk mengambil sumpah brahmachari segera setelah mereka menyempurnakan keluarga mereka semampu yang bisa mereka lakukan. Gandhi pun sangat mendukung orang yang tidak pernah menikah dan ingin mengabdikan dirinya secara total kepada masyarakat dengan menghilangkan hasrat seksual dan pernikahan sekaligus. Semua ini merupakan kesalehan yang diamalkan dalam 49 tradisi Gandhi, yang merupakan eksperimen-eksperimen lebih jauh dari praktek brahmacharya eksplorasi lebih jauh atas pemurnian pengorbanan diri.47 Bagi seorang brahmachari perbedaan antara laki-laki dan perempuan hampir lenyap, maka laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk menjalani kehidupan brahmacharya. Karena seorang brahmacharya yang sempurna akan hidup dalam keberadaan Tuhan, menyatu dengan Tuhan. Laki-laki atau perempuan mempunyai kedudukan yang sama di mata Tuhan dalam mencapai moksa dan kehidupan yang kekal di Nirvana. 3. Puasa Sebagai seorang brahmacharya, walaupun pada permulaan dirasakan berat dan sukar, namun setelah bertahun-tahun menjalani jatuh bangun dengan aneka eksperimen, Gandhi merasakan hidup seorang brahmachari lebih banyak memberikan kegembiraan. Dari pengalaman Gandhi, pengekangan diri dalam makanan sangat diperlukan mengingat terdapat hubungan yang erat antara pikiran dan badan. Makanan seorang brahmachari harus dijaga; bahkan puasa akan banyak menolong, namun manfaat puasa terbatas saja yakni bahwa pemadaman nafsu birahi pada umumnya tidak mungkin tanpa puasa. 48 Menurut Gandhi, selama pikiran belum seluruhnya dikuasai oleh kemauan maka brahmacharya tidak mungkin sempurna. Pikiran yang tiba-tiba muncul merupakan afeksi dari kalbu; sebab pengekangan pikiran berarti pengekangan kalbu, suatu pengendalian yang lebih sukar dilakukan daripada pengendalian angin. Dengan adanya atman dalam diri kita, atman itu memungkinkan 47 48 Ved Mehta, Ajaran-ajaran Mahatma Gandhi, h. 410. R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), h. 39. 50 pengendalian kalbu. Hal ini merupakan tujuan yang paling luhur, maka tidaklah mengherankan jika hanya usaha yang keraslah yang akan memungkinkan tercapainya tujuan tersebut. Pada bulan Shravan; seperti bulan Ramadhan dalam Islam, Gandhi pun mengajak anggota ashramnya untuk melakukan pradosha (berpuasa sampai malam) dan mengunjungi kuil-kuil Shaiva dan Vaishnawa. Tradisi ini merupakan warisan tradisi leluhur Gandhi, di mana ia melihat ibunya sendiri dan kerabatkerabatnya biasa melaksanakan puasa Shaiva dan Vaishnawa.49 Ketika Gandhi melakukan eksperimennya ini bersama keluarga ashramnya; termasuk anak-anak, beberapa orang anggota keluarganya adalah muslim yang ketika itu berbarengan bulan ramadhan bagi mereka. Maka Gandhi selalu membantu mengajarkan mereka untuk menaati petunjuk-petunjuk agama mereka, begitu juga Gandhi sendiri, anak-anak Kristen dan Parsi didorong untuk menjalankan ibadah mereka masing-masing. Oleh sebab itu, pada bulan tersebut Gandhi membujuk anak-anak muslim untuk melaksanakan puasa ramadhan dan ia sendiri melakukan puasa pradosha beserta anak-anak Hindu, Parsi dan Kristen diminta ikut melaksanakannya juga. Gandhi menjelaskan kepada mereka bahwa tidak perlu untuk mengikuti sampai hal-hal terkecil, cukuplah menghormati anakanak muslim yang harus menunda makannya sampai matahari terbenam. Selain yang muslim dapat menyiapkan hidangan-hidangan lezat untuk teman-teman muslim serta melayani mereka.50 Dari eksperimen ini Gandhi mencoba menanamkan sikap toleransi antar umat beragama pada anak-anak penghuni ashramnya di samping anjurannya untuk melaksanakan kewajiban berpuasa. 49 Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi; Kisah Eksperimen-eksperimen dalam Mencari Kebenaran, terj. Gd. Bagus Oka (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 1982), h. 305. 50 Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi, h. 205-206. 51 4. Sembahyang Puja Sembahyang, puja adalah meminta sesuatu kepada Tuhan dalam sikap yang penuh hormat. Sembahyang dapat diartikan juga sebagai suatu perbuatan pengabdian (Bhakti, devotion). Tindakan sembahyang ini mencerminkan sebuah kerinduan hati untuk menjadi satu dengan Sang Pencipta, suatu permohonan atas rahmat-Nya. Setiap kata-kata yang diucapkan memiliki suatu kekuatan atau pengaruh pada diri setiap orang yang melaksanakannya. Sembahyang, puja mengandung maksud menyadarkan manusia bahwa manusia hanyalah “segenggam lempung di tangan Sang Pembuat Tempayan”, tidak sesuatu pun terjadi tanpa kehendak-Nya. Maka dalam Hindu tidak ditentukan berapa banyak waktu yang dipergunakan untuk bersembahyang, hal ini tergantung diri masingmasing orang. Ketika Gandhi mendirikan ashramnya, kebenaran merupakan pondasinya dan sembahyang sebagai kekuatannya. Maka sejak ashram didirikan setiap penghuninya diharuskan melakukan sembahyang setiap harinya. Dalam setiap harinya dimulai puja pagi hari pada pukul 04.15 sampai 04.45 waktu setempat dan pada soere harinya puja petang pada pukul 07.00 sampai 07.30 petang atau 19.0019.30 waktu setempat.51 Tindakan sembahyang dengan pengucapan hal yang sama dari hari ke hari dianggap akan menjadi hal yang mekanis dan cenderung kurang bermanfaat maka tindakan ini mendapat tantangan. Menurut Gandhi memang benar bahwa dengan jalan demikian doa akan menjadi mekanis. Kita sendiri adalah mesin, dan bila kita 51 Mahatma Gandhi, Kehidupan Ashram Dari Hari Ke Hari, terj. Gd. Bagoes Oka (Bali: Yayasan Bali Canti Sena, 1981), h. 26. 52 percaya akan Tuhan sebagai penggerak kita, maka kita harus bersikap sebagai mesin di tangan-Nya.52 Puja bersama yang dilakukan di ashram bertujuan membuat hati kita bersujud setiap saat. Jika doa ashram masih belum menarik, dan jika warga ashram pun menghadirinya karena terpaksa, itu hanya berarti bahwa tak seorang pun di antara kita sudah merupakan orang yang bersujud dalam arti yang sejati.53 Selain dilakukan puja bersama, di ashram Gandhi juga menekankan puja perorangan dan doa dalam kesunyian. Seorang tidak pernah berdoa sendiri boleh saja ikut dalam doa bersama tetapi dia tidak akan dapt memperoleh banyak manfaat. Doa bersama mutlak perlu bagi umat yang mantap tetapi karena umat itu terdiri dari oknum-oknum, doa bersama tak ada manfaatnya tanpa ditunjang doa perorangan. Maka dari itu sekali-kali setiap warga ashram diperingatkan bahwa atas dasar kemauannya sendiri harus mengadakan mawas diri setiap hari. Dalam hal ini tidak ada seorang pun dapat mengawasinya dan tidak ada laporan yang dapat dibuat tentang doa yang dipanjatkan di hati. Gandhi pun tidak mengetahui sejauh mana hal ini berlaku di ashram. Tetapi ia percaya bahwa ada beberapa anggota senantiasa berusaha ke arah itu.54 52 Mahatma Gandhi, Kehidupan Ashram Dari Hari Ke Hari, h. 34-35. Mahatma Gandhi, Kehidupan Ashram Dari Hari Ke Hari, h. 38. 54 Mahatma Gandhi, Kehidupan Ashram Dari Hari Ke Hari, h. 39. 53 53 BAB IV KONTRIBUSI MAHATMA GANDHI BAGI PERGERAKAN PEREMPUAN HINDU DI INDIA A. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Mahatma Gandhi dalam Memperjuangkan Kaum Perempuan Mahatma Gandhi adalah pecinta kemanusiaan sejati, ia sangat gigih menentang setiap ketidakadilan dalam bentuk apapun. Oleh karena itu, Gandhi sangat mendukung perjuangan untuk mengatasi persoalan-persoalan perempuan, terutama menumbuhkan kesadaran kaum perempuan bahwa mereka mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki. Dalam pembaharuan dan penegakan kebenaran, ia memulai karya dan perjuangan bagi emansipasi kaum perempuan secara keseluruhan. Perjuangan Mahatma Gandhi ini dilandasi dari realitas social perempuan pada masa itu di mana status perempuan lebih rendah dari kaum laki-laki, bahkan di kalangan masyarakat Hindu berkembang pemahaman bahwa seseorang tidak akan masuk surga tanpa anak laki-laki, dan untuk hal itu seorang suami bisa menikahi 2, 3, atau 4 istri.1 Selain itu kebiasaan-kebiasaan di kalangan masyarakat Hindu seperti pernikahan dini, mengungkung perempuan pada bilik-bilik tersembunyi di rumahrumah, ajaran sati, kondisi yang menyedihkan untuk para janda muda serta masih banyak kaum laki-laki yang memandang rendah kaum perempuan, hal itu semua membuat kaum perempuan India menjadi suatu golongan yang lemah, tertindas, 1 Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, terj. Siti Farida. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 189. 53 54 tersingkirkan dan menjadi “warga kelas dua”. Realitas kaum perempuan Hindu yang sangat mengenaskan tersebut yang akhirnya menyebabkan Gandhi tergerak untuk membuat perubahan-perubahan kearah positif bagi perempuan Hindu di India. B. Usaha-usaha Gandhi dalam Membangkitkan Pergerakan Perempuan Hindu di India Melalui tulisan-tulisan dan ceramah-ceramahnya, Gandhi memahami bahwa hidupnya sebagai pengabdian dan kewajiban, ia tidak segan-segan menentang dan meluruskan kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan kepada kaum perempuan yang dilandasi hukum, tradisi bahkan agama. Kontribusi-kontrbusinya untuk memajukan kaum perempuan adalah sebagai berikut: 1. Reinterpretasi baru terhadap ajaran-ajaran Hindu tentang perspektif kesetaraan a. Ajaran Ahimsa Sumbangan Gandhi yang terbesar bagi kemanusiaan adalah pesannya mengenai Ahimsa (non-kekerasan) sebagai jalan menuju perdamaian, keadilan dan Tuhan. Gandhi menjalani dengan serius perintah-perintah Alkitab, “Jangan membunuh” dan “Kasihilah musuhmusuhmu,” bersama-sama dengan tradisi Hindu tentang ahimsa (tidak membunuh), dan menerapkan penolakan terhadap kekerasan ke dalam hati dan kehidupannya demikian pula kepada Afrika Selatan, India dan seluruh dunia. Tetapi dia mengajarkan pula bahwa non-kekerasan bukan hanya menolak membunuh: itu adalah tindakan kasih dan kebenaran sebagai 55 sebuah kekuatan perubahan sosial yang positif. Malahan, dia menegaskan bahwa non-kekerasan adalah kekuatan yang paling aktif. Ahimsa berarti cinta tak terhingga dan ini berarti kesanggupan tanpa batas untuk menderita.2 Gandhi menyebutkan bahwa suatu fitnah bila menyebut kaum perempuan sebagai makhluk yang lemah. Tindakan semacam itu merupakan tindakan yang tidak adil dari kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Bila yang dimaksud hanya terbatas pada kekuatan kasar, memang kaum perempuan kurang kasar daripada kaum laki-laki, tetapi bila yang dimaksudkan adalah kekuatan moral, kaum perempuan mengungguli kaum laki-laki. Bukankah intuisi kaum perempuan jauh lebih halus, bukankah kaum perempuan lebih rela mengorbankan diri, lebih kuat bertahan dan lebih berani. Tanpa adanya kaum perempuan kaum laki-laki tidak mungkin ada.3 Gandhi juga mengkritik hak yang tidak sama antara suami dan istri di dalam keluarga yang mana memposisikan wanita sebagai ardhangana, yang mana hanya memilki setengah dari hak suami dan sahadharmini, budak suami. Penggambaran ini sebagai bentuk ketidakpedulian tradisi Hindu terhadap eksistensi perempuan. Gandhi berpendapat, suami dan istri adalah patner yang setara,karena laki-laki dan perempuan adalah satu, masalah mereka harus menjadi satu wujud, yang satu tidak bisa hidup tanpa yang lain aktif 2 Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, terj. Kustiniyati Mochtar (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT. Gramedia, 1988), h. 186. 3 Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, h 189 56 membantu.4 Hal ini dapat dibuktikan yaitu tatkala perempuan mengandung janin selama Sembilan bulan lamanya dan ia merasakan bahagia karena penderitaannya itu. Ia mesti berjuang antara hidup dan mati ketika melahirkan, menanggung nyeri setiap hari agar sang bayi bertumbuh terus, ini merupakan penderitaan terbesar buat perempuan, namun ia melupakan penderitaan itu karena kebahagiaan dan kehidupan yang diciptakannya. Dengan tulus ia melimpahkan rasa cintanya dan ia pun merasa bangga menerima kedudukan di sisi pria sebagai ibunda, sebagai pencipta dan pemimpinyang diam. b. Ajaran Satyagraha Perlawanan pasif dipandang orang sebagai senjata bagi pihak yang lemah. Namun perlawanan pasif yang Gandhi ciptakan adalah istilah baru dan sesungguhnya merupakan senjata bagi pihak yang terkuat.5 Perlawanan pasif tersebut dinamakan Satyagraha (sat: kebenaran, agraha: tekad),6 istilah ini kemudian dipakai sebagai senjata perjuangannya. Inti dari Satyagraha adalah berpegang pada kebenaran, atau kekuatan jiwa. Dalam pelaksanaan Satyagraha, Gandhi menentang terhadap praktek kekerasan kepada lawan, sebaliknya ia harus menghentikan kesalahan lawan dengan kesabaran dan simpati, karena apa yang dianggap benar bagi seseorang dapat dianggap salah oleeh orang lain. Kesabaran berarti pengorbanan diri, jadi dalam ajaran Satyagraha berarti 4 Ida Rosyidah, Gandhi’s Ideas of Women in Hinduism, REFLEKSI Jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Vol. VIII, No. 3, 2006, h. 268 5 Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, h. 193 6 Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi; Kisah Eksperimen-eksperimenku dalam Mencari Kebenaran, terj. Gd. Bagoes Oka (Bali: Yayasan Bali Canti Sena, 1978), h. 296. 57 mempertahankan kebenaran bukan dengan membebani orang lain dengan penderitaan melainkan dengan membebani penderitaan kepada diri sendiri. Pada Satyagraha perlawanannya dilakukan dengan menderita sendiri atau pengendalian diri, seperti melalui puasa. Semenjak perlawanan dalam Satyagraha dialami melalui penderitaan diri sendiri yang merupakan senjata yang paling sesuai bagi kaum perempuan, banyak kaum perempuan di India di banyak instansi melebihi kaum lelaki mereka dalam menderita dan memainkan bagian yang mulia dalam kampanye.7 Pada masa perjuangan melawan pengusaan Inggris dapat disaksikan bahwa wanita India dalam banyak peristiwa mengungguli kaum prianya dalam menahan penderitaan dan bersama-sama kaum laki-laki. Dalam pandangan Gandhi, perwujudan kebenaran baru mungkin jika manusia bersih, artinya kebenaran tidak mungkin terwujud jika hati manusia penuh dengan dendam, dengki dan kebohongan. Maka manusia harus bersih dan murni, dan sebagai imbalan bagi mereka yang mendapatkan kebenaran, mereka akan merasakan adanya semangat dan keberanian, semangat untuk mengarungi kehidupan dan dorongan untuk merealisasikan diri lebih penuh lagi. Hal ini membuktikan kebenaran bukanlah sesuatu yang terletak di luar diri kita melainkan berada dalam diri kita, inheren dalam hidup kita. Kebenaran bukanlah sesuatu nilai yang abstrak, yang tak terbayangkan, tetapi sungguh-sungguh nyata, asalkan kita setia mempertaruhkan hidup kita sebagai kebenaran itu.8 7 8 Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h.407 R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, (Yogyakarta: kanisius, 1986), h. 23 58 Kebenaran juga merupakan hakekat moralitas manusia, yang merupakan pelaku moral, ia menghayati dan terus mencari kebenaran selama hidupnya. Hidup manusia seluruhnya harus mengarah pada titik konvergensi di mana manusia bertindak sesuai hukum kebenaran. Tanpa kebenaran tidak mungkin seseorang menghayati aturan-aturan dalam hidupnya. Kebenaran yang dipahami Gandhi adalah kenenaran abstrak. Menurutnya sebuah baru bernilai bagi kehidupan dan berdaya guna jika menjelma dalam kehidupan manusia setiap harinya. Usaha untuk menjelmakan kebenaran berarti pula suatu kegiatan untuk merealisasikan diri, usaha ini tidak pernah boleh berhenti. Dalam konteks pemahaman inilah kebenaran dikatakan bersifat kekal.9 Perlawanan tanpa kekerasan merupakan satu asas semesta dan pelaksanaannya tidak terbatas pada suatu lingkungan yang saling bermusuhan saja, namun manfaatnya hanya dapat diuji bila diterapkan dalam lingkungan dan ditentang oleh pihak lawan. Keberhasilan perjuangan ini tidak bernilai jika tergantung pada kemurahan hati pihak penguasa. Satu-satunya syarat dari perjuangan tanpa kekerasan adalah keadilan yang menyeluruh. Keberhasilan kekuatan ini terletak pada kesadaran akan adanya jiwa yang terpisah dari badan manusia dan sifatnya yang kekal. Keadaan ini berarti suatu keyakinan yang hidup dan bukan 9 R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 27-28. 59 semata-mata suatu keyakinan akal budi.10 Dalam pemikiran Gandhi, penderitaan tidak dipandang suatu hal yang negative, penderitaan bukannya tidak mempunyai makna kesialan hidup di dunia bukannya tidak mempunyai makna bagi kehidupan manusia, tapi justru sebaliknya penderitaan mempunyai makna yang sangat positif. Dengan tegas Gandhi menyatakan, hanya dengan pengorbanan diri manusia dapat mengembangkan kepribadiannya dan dapat hidup. Secara tersirat ditunjukan bahwa kekuatan dan daya hidup manusia terletak pada bagaimana manusia menghadapi kepahitan-kepahitan hidup. Dalam menghadapi kepahitan hidup itulah manusia sungguh-sungguh ditantang sebagai individu yang mempunyai kekuatan jiwa dan nafsunafsu. Melalui penderitaan itu manusia dihadapkan pada dua pilihan, menaati dan setia pada kebenaran atau menyerah kalah.11 Gandhi selalu menyatakan bahwa kaum wanita dan kaum pria adalah manunggal. Mereka bukanlah entitas yang terpisah tetapi merupakan satu kesatuan. Dalam hal kewajiban dalam pembelaan terhadap negarapun, Gandhi selalu menganjurkan wanita untuk ikut melakukan gerakan pembelaan terhadap negara, bahkan pemberontakan sipil terhadap segala pengekangan.12 Pada tanggal 6 april 1919, untuk pertama kalinya Gandhi mengajak para pengikutnya untuk menentang pemerintahan Inggris di India. Pada saat itu Gandhi memutuskan penentangan terhadap rencana Rowlatt Bill 10 Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, h. 103. 11 R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 64. 12 Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, h. 441. 60 dengan Hartal, yaitu suatu hari dimana orang harus berpuasa dan duduk tafakur, toko-toko harus ditutup, dan semua orang melakukan pemogokan kerja. Pada pemberontakan pertama kalinya ini masyarakat ini belum matang dalamperjuangan Satyagrahanya itu, maka terjadilah keributan dan pembantaian besar-besaran oleh tentara Inggris pada tanggal 13 april 1919 di Amritsar. Melihat kejadian tersebut, Gandhi menyerukan kepada seluruh wanita India agar mereka ikut terjun dalam perjuangan untuk menyelamatkan bangsa. Keterlibatan kaum wanita untuk bergabung dalam perjuangan tanpa kekerasan sangat di harapkan. Ratusan ribu wanita, yang sebelumnya tidak pernah keluar dari bilik-bilik tersembunyi didalam rumah mereka, ikut serta melakukan razia demi swaraj. Demikianlah Gandhi memulai revolusi sosial di India yang sama kuatnya dengan revolusi politik. 2. Pembelaan Mahatma Gandhi Terhadap Kekerasan DalamRumah Tangga a. Penolakan Terhadap Perkawinan Dini Salah satu pembaharuan dalam masyarakat Hindu yang sangat berat tantangannya yaitu penghapusan terhadap perkawinan dini. Kampanye yang rutin dan konsisten harus selalu dilakukan untuk menyelamatkan gadis-gadis India dari ketuaan yang dini dan kematian dini, dan menyelamatkan Hinduisme dari tanggung jawab atas munculnya generasi yang lemah dan tak berdaya. 61 Praktek pernikahan dini tidak hanya diyakini di satu propinsi atau kelas masyarakat tertentu, tetapi pada prakteknya hal ini merupakan kebudayaan yang universal di India. Pernikahan anak-anak juga merupakan praktek yang sudah sangat tua, sejak masa Ramayana.13 Menurut Gandhi kebiasaan pernikahan dini adalah sebuah kejahatan, baik dari tinjauan moral maupun kemampuan fisik. Kebiasaan tersebut menyebabkan kita terjauhkan dari Tuhan dan juga dari Swaraj (perjuangan penegakan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa).14 Perkawinan anak-anak dapat dikatakan sebagai penyebab yang menjadikan kita terjauhkan dari Tuhan karena perkawinan anak-anak telah meruntuhkan moral kita yaitu dengan membiarkan gadis yang masih di bawah umur untuk dinikahi. Perjuangan meraih kemerdekaan bangsa ini tidak hanya berarti perjuangan membangkitkan kesadaran politik saja akan tetapi membangkitkan seluruh kesadaran, baik social, pendidikan, moral, ekonomi, maupun politik. Pada bulan Agustus 1925 seorang aktivis perempuan mengeluarkan surat edaran yang ditujukan bagi pembentukan RUU di hadapan Majelis Dewan Perwakilan, lembaga yang bertujuan untuk menaikan standar usia akil baligh setidaknya dimulai dari umur 14 tahun. Gandhi memberikan dukungan terhadap gagasan tersebut, banhkan menurutnya tidak hanya pada usia 14 tahun tetapi hingga usia 16 tahun, karena Gandhi ingin menyelamatkan gadis-gadis usia kanak-kanak yang tidak bersalah dari nafsu laki-laki. Pernikahan pada anak-anak diusia 13 14 Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 68. Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial\, h. 65. 62 sangat muda merupakan suatu tindakan tak bermoral dan tidak manusiawi. Bahkan dalam teks-teks Sansekerta pun yang dianggap memilki otoritas menurut Gandhi tidak bisa dijadikan rujukan untuk menyerahkan praktek yang tak bermoral.15 Gandhi menyatakan: “Saya telah menyaksikan rusaknya kesehatan ibu-ibu muda yang masih anak-anak, dan ketika kengerian-kengerian pada pernikahan terlalu dini semakin bertambah dengan munculnya janda-janda yang masih muda, maka tragedy kemanusiaan menjadi kian sempurna. Suatu perundangan yang bijaksana dengan tujuan untuk menaikan usia baligh pasti saya akan dukung”. 16 Tetapi Gandhi kecewa karena dukungannya terhadap perundangan tersebut tidak mendapat dukungan publik. Hingga ketika ada kasus yang terjadi di Madras pada bulan Agustus 1926, yaitu yang mengenaskan menimpa seorang perempuan yang timbul dari pernikahan anak-anak, si gadis berumur 13 tahun dan suaminya 26 tahun. Pasangan itu hidup bersama selama 13 hari ketika gadis itu mati terbakar. Hakim mendapati bahwa gadis itu melakukan bunuh diri dengan memperlihatkan penderitaan yang tak tertanggungkan dan penistaan-penistaan tidak manusiawi yang dilakukan oleh suaminya. Pada kenyataannya kematian gadis itu memperlihatkan bahwa “si suami” telah membakar baju-bajunya, disebabkan karena nafsu yang memang tidak mengenal kebijaksanaan dan belas kasihan.17 Peristiwa di Madras menurut Gandhi tidak mungkin terjadi, apabila opini public untuk menentang pernikahan dini telah menjadi bagian dari nilai kehidupan. 15 Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 60. Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 61 17 Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 63. 16 63 Kejahatan pernikahan dini ternyata terjadi sangat meluas baik di pedesaan maupun di perkotaan. Persoalan ini merupakan tugas yang sangat utama bagi kaum perempuan. Kaum pria juga tentu saja harus terlibat dalam menangani tugas ini. Namun ketika laki-laki berubah menjadi jahat, dia tidak mungkin lagi mendengarkan alasan apapun juga, oleh karena itu, siapa yang bisa mengajarkan kepada kaum pria tentang persoalan yang menimpa perempuan selain ibu?. Dari hal tersebut, Gandhi berusaha menggerakan Konferensi Kaum Perempuan Seluruh India, untuk turun ke desa-desa, karena menurutnya apa yang diperlukan adalah sentuhan personal oleh kaum perempuan untuk membuka pikiran pada penduduk desa agar bisa hidup sesuai dengan pemikiran umat manusia yang semestinya.18 Sementara itu menurut norma-norma ajaran Hindu perkawinan anak-anak merupakan suatu kebaikan. Perkawinan ank-anak ini dilaksanakan karena alasan utama yaitu keperawanan. Dalam agama Hindu anak-anak yang suci mempunyai status yang tinggi dalam keluarga Hindu dan dipuja sebagai dewi perawan. Keperawanan khususnya kesucian sering digambarkan sebagai kijang betina yang menyenangkan tetapi liar, maka para orang tua menjadi obsesif dalam menjaga kemurnian dan kesucian anak-anak putri mereka. Mempertimbangkan sangat pentingnya kesucian mendorong orang tua merencanakan perkawinan anak-anaknya sedini mungkin bahkan lebih rendah dari usia pubertas.19 18 Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 82-83 Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, terj. Syafa’atun Al-Mirzanah, dkk., (Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA, Mc Gill Project, 2002), h. 96-97. 19 64 Pada masalah perkawinan dini ini Gandhi bertentangan dengan norma-norma Hindu jika alasan utamanya adalah menjaga kesucian dengan tidak melihat dampak yang disebabkan oleh perkawinan anak-anak tersebut. Ucapannya kepada kaum perempuan “Purity ask for no external protection”, Gandhi mengingatkan kaum perempuan bahwa perempuan punya kekuatan dan apapun yang dilakukan harus diuji dahulu kebenarannya, apakah tindakan itu adil dan manusiawi.20 b. Perkawinan Kembali Para Janda Bila kita bayangkan seorang gadis kecil, berumur lima tahu, dinikahkan dengan seorang laki-laki dewasa. Lima tahun kemudian, suaminya meninggal, dan janda muda itu dipersalahkan. Masyarakat mengecam karena dosa istrinyalah laki-laki itu meninggal. Anak perempuan yang baru berumur sepuluh tahun itu tidak mempunyai harapan untuk menikah lagi. Seumur hidup dia akan menjadi budak kepada keluarga almarhum suaminya. Rambutnya dicukur, perhiasannya dirampas, pakaiannya hanya sepotong baju yang kasar dan kusam, makannya hanya sekali sehari. Mungkin ia akan diperlakukan dengan kejam bahkan dianiaya.21 Demikianlah nasib para janda muda di India pada abad-abad yang lalu. Kaum wanita umumnya dipandang rendah. Seorang perempuan tidak boleh dididik, ia pun tidak boleh mengharapkan apa-apa baik di dunia maupun di akhirat, kecuali ia rela memperhambakan diri secara mutlak kepada suaminya. 20 Ni Nengah Ruktini, Spiritualitas Perempuan dalam Agama Hindu (sebuah refleksi), Gema Duta Wacana 1999, h. 127. 21 H. L. Cermat, Sastrawati Yang Membela Para Janda Muda, (Bandung: Lembaga Literatur Babtis, 1982), h. 1 65 Melihat keadaan semacam itu, Gandhi merasa iba dan perlu melakukan perubahan atas keadaan yang tidak berpihak kepada perempuan. Ia membela para janda muda dan perempuan malang lainnya yang dianggap sampah masyarakat. Menurut Gandhi, tidak ada ajaran berupa pemaksaan status janda. Status janda secara sukarela, secara sadar, dilakukan oleh seorang perempuan yang merasakan kedekatan yang luar biasa dengan pasangannya yang telah meninggal. Status janda yang dipaksakan oleh agama atau adat istiadat merupakan beban yang tidak tertanggungkan, dan dan merupakan sebuah penindasan rumah tangga yang buruk sekali oleh kejahatan yang dilakukan secara diam-diam dan atas nama agama yang jatuh derajat kemuliannya. Bukanlah status janda yang dipaksa dalam Hindu tetapi sebetulnya merupakan suatu kejahatan jika seorang laki-laki tua berumur lebih dari lima puluh tahun atau bahkan sering kali jauh lebih tua dan penyakitan mengambil seorang istri yang masih anak-anak. Menurut Gandhi selama India memilki ribuan janda di tengah-tengah masyarakatnya, India seperti tengah duduk di atas ranjau pada suatu saat pasti akan meledak, untuk menyelamatkan kemurnian Hinduisme maka harus melepaskan diri dari racun status janda yang dipaksakan.22 Dalam pemikiran Gandhi, ia mendukung pernikahan kembali para janda muda, karena meraka adalah orang-orang yang malang, dalam kehidupan mereka yang pahit mereka tidak tahu apa-apa tentang pativrata dharma. Mereka benar-benar asing dengan cinta, atau dengan kata lain 22 Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 226 66 gadis-gadis itu sama sekali belum pernah menikah. Apabila itu dikatakan sebuah pernikahan, sebagaimana seharusnya sebuah upacara suci, sebuah pintu gerbang untuk memasuki kehidupan baru, maka pilihan untuk memilih pasangan hidup harus berada di tangannya, dan mereka harus mengetahui akibat-akibat dari apa yang mereka perbuat. Sedangkan lakilaki yang menyebut pasangan anak-anak adalah sebuah status pernikahan dan memerintahkan status janda kepada gadis yang suaminya telah mati, adalah sebuah kejahatan melawan Tuhan. Gandhi meyakini bahwa janda Hindu yang sesungguhnya adalah sosok yang berharga. Dalam Hinduisme, dia adalah sebuah anugerah bagi kemanusiaan, tetapi keberadaan janda-janda yang masih sangat muda itu adalah setitik noda pada Hinduisme.23 Pemikiran Gandhi dipengaruhi oleh orang-orang islam dan Kristen. Seperti yang telah diketahui bahwa dalam Islam maupun Kristen tidak ada larangan para janda untuk menikah kembali. Hal itulah yang ingin dihapussnya dalam larangan bagi para janda di dalam agama Hindu. Meskipun ia juga tidak memaksakan kepada setiap janda untuk menikah kembali.24 Gandhi berpendapat bahwa adalah suatu dosa, orang tua yang telah menikahkan anak perempuan mereka dalam usia yang masih anak-anak, maka untuk menebus dosa itu yaitu dengan menikahkan kembali anakanak perempuannya ketika mereka telah menjadi janda meskipun dalam usia belasan tahun. Apabila gadis itu telah menjadi janda dalam usia yang 23 24 Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 229-230. Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 231. 67 sudah dewasa, itu merupakan urusannya sendiri apakah dia akan menikah lagi atau tetap menjanda. Pada norma-norma ajaran Hindu seorang janda dapat mensucikan diri dari karma buruknya yang telah menyebabkan kematian suaminya dengan bersatu kembali dengan suaminya dalam kehidupan mendatang, dan menghasilkan karma yang baik dalam kehidupan mendatang. Seorang janda diharuskan mempraktikkan kehidupan bertapa dalam tenggang waktu antara kematian suaminya dan kematiannya sendiri, karena dengan bertapa ia akan melaksanakan keutamaan kesempurnaan dalam perkataan, pemikiran dan tingkah laku, mengembangkan kemampuan untuk menderita dan akhirnya tidak acuh terhadap segala kepemilikan, dengan demikian akan dapat mencapai kedamaian sempurna.25 Agama Hindu tidak menghendaki perkawinan kembali para janda seperti yang disarankan oleh Mahatma Gandhi, karena melalui perkawinan seorang gadis memperoleh perlindungan dan dukungan dari keluarga suaminya selama sisa hidupnya. Jadi seorang janda sangat tepat untuk memperkecil kebutuhannya dalam bidang ekonomi, social dan fisik hingga tingkat yang minimum. Di samping itu, keharusan seorang janda muda hidup sederhana dan tampil tidak menarik membuat dirinya bukan sebagai ancaman seksual bagi keluarga.26 25 26 Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 101. Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 102. 68 68 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Mahatma Gandhi mempercayai konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan, karena pada pokoknya kaum laki-laki dan kaum perempuan adalah sama. Namun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa mereka memilki perbedaan yang utama, oleh karena itu mereka memilki tugas dan panggilannya masingmasing. Dalam agama Hindu perempuan memilki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam kegiatan keagamaan, karena semua manusia adalah sama dalam pandangan Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana yang tercantum dalam Bhagavad Gita 6. 47. perempuan Hindu yang ideal menurut Mahadma Gandhi adalah perempuan sejati, kuat dan bisa mengendalikan diri seperti Shinta. 2. Ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan Mahatma Gandhi telah menyentuh setiap aspek kehidupan perempuan. Kontribusi-kontribusi Gandhi untuk perempuan Hindu di India yang dilatarbelakangi oleh realitas perempuan Hindu pada saat itu yang sangat terdiskriminasi antara lain dengan usaha-usaha Gandhi dalam membangkitkan pergerakan perempuan Hindu di India, yang Gandhi mulai dengan menumbuhkan kesadaran kaum perempuan dan kaum laki-laki Hindu akan kesetaraan yaitu ajaran Ahimsa dan Satyagraha. Dan Gandhi melakukan pembelaan terhadap penindasan kaum perempuan didalam rumah tangga melalui penolakan terhadap perkawinan pada anak-anak dan menganjurkan untuk pernikahan kembali para janda. 68 69 B. Saran-saran 1. Pemikiran Gandhi tentang perempuan bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama, oleh karena itu diantara mereka terdapat hak dan kewajiban yang utama. Kaum perempuan tidak perlu mencari perlindungan kepada kaum pria. Kaum perempuan berdiri kepada kekuatannya sendiri dan tetap menjaga kesucian sifat utama dan tetap bersandar kepada Tuhan, pemikirannya ini patut untuk diikuti. 2. Memberi sebutan perempuan sebagai makhluk lemah adalah suatu tindakan tidak adil. Bila yang dimaksudkan adalah kekuatan fisik kasar, memang kaum perempuan kurang kasar dibandingkan kaum laki-laki. Tapi bila yang dimaksud kekuatan moral, kaum perempuan mengungguli kaum laki-laki karena mereka lebih halus intuisinya, lebih berani, lebih rela berkorban dan tanpa kaum perempuan tidak akan mungkin ada kaum laki-laki. 3. pemikiran Gandhi tentang perempuan dalam agama Hindu merupakan bagian terkecil dari pemikiran-pemikiran Gandhi, sehingga kajian pemikiran terhadap ajaran-ajaran Gandhi masih terbuka lebar untuk dilakukan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan,”Pendahuluan”,Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997. Ahmad, Imam,”Perempuan dalam Kebudayaan”, dalam Fauzi Ridjal dkk, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana,1993. As Siba’y, Musthofa, Wanita di antara Hukum Islam dan Perundang-Undangan, terj. Chodijah Nasution ,Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Bagus Oka, Gedong, Wanita dalam Agama Hindu, dalam M. Mansyur Amin (ed), Wanita dalam Percakapan Antar Agama Aktualisasinya dalam pembangunan. Yogyakarta: LKPSM NU. 1992. Cermat, H. L., Sastrawati Yang Membela Para Janda Muda, Bandung: Lembaga Literatur Babtis, 1982. Dahlan, Juwairiyah, “Wanita dalam Perspektif Agama Hindu” dalam M. Masyhur Amin (ed), Wanita dalam Percakapan Antar Agama Aktualisasinya dalam Pembangunan, Yogyakarta: LKPSM NU, 1992. Djam’annuri, Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-agama (Sebuah Pengantar) Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2000. Fischer, Lois, Gandhi Penghidupannya dan Pesannya Untuk Dunia, terj. Trisno Sumardjo, Jakarta: PT Pembangunan, 1967. Gandhi, Mahatma, “Gandhi Sebuah Otobiografi; Kisah Eksperimen-eksperimenku dalam Mencari Kebenaran”, terj. Gd. Bagoes Oka, Bali: Yayasan Bali Canti Sena, 1978. _________, “Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri”, terj. Kustiniyati Mochtar, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT. Gramedia, 1988. __________, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, terj. Siti Farida, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. __________, Kehidupan Ashram Dari Hari Ke Hari, terj. Gd. Bagoes Oka, Bali: Yayasan Bali Canti Sena, 1981. __________, Religi Susila, terj. Sumirat, Jakarta: Balai Pustaka, 1950. __________, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, terj. Kustiniyati Mochtar, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, 1988. Hadiwiyono, Harun, Agama Hindu dan Budha, Jakarta: Gunung Mulia, 1993. I. Marsana Windhu, Khotbah di Bukit Ahimsanya Mahatma Gandhi, Rohani, 1993. Jati Laksmi, Gusti Ayu Kade, “Wanita Hindu dalam Perluasan Cakrawala Pembangunan”, Mawas Diri, Vol. VI. 1984. Kararah, Abbas, Berbicara dengan Wanita, terj. Seyd Ali Amar, Jakarta: Gema Insani Press,1996. Kaur, Amrit, “Kata Pengantar” dalam Mahatma Gandhi, Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, terj. Siti Faridah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Khalil, Moenawar, Nilai Wanita, Solo: CV. Ramadhani, 1989. Koesno, F. X., “Sekilas Sari Filsafat India Hindu”, Mawas Diri, 02, Vol.IX 1987. Lardner Carmody, Dennis, dan John Tully Carmody, Jejak Rohani Sang Guru Suci Memahami Spiritulitas Budha, Konfusius, Yesus, Muhammad, terj. Tri Budi Satrio, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. Mehta, Ved, Ajaran-ajaran Mahatma Gandhi, terj. Siti Farida, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Narayanan, Vasudha, Persepsi-persepsi Hindu tentang Keberuntungan dan Seksualitas, dalam Becher Jeanne, Perempuan, Agama dan Seksualitas, terj. Indriani Bone, Jakarta: Gunung Mulia, 2001. Nicholson, Michael, Mahatma Gandhi Pahlawan yang Membebaskan India dan Memimpin Dunia dalam Perubahan Tanpa Kekerasan, terj. Hilmar Farid Setiadi, Jakarta: Gramedia Pustaka, 1994. Pudja, G, dan Tjokardja Rai Sudharta, Manawa Dharma Castra; Weda Smrti; Compendium Hukum Hindu, Jakarta: Depag RI, 1983. Rosyidah, Ida, Gandhi’s Ideas of Women in Hinduism, REFLEKSI Jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Vol. VIII, No. 3, 2006. Ruktini, Ni Nengah, “Spiritualitas Perempuan dalam Agama Hindu”, (sebuah refleksi)”, Gema Duta Wacana 1999. Seif Al Hatimi, Said Abdullah, Citra Sebuah Identitas Wanita dalam Perjalanan Sejarah, terj. Hamid Abud, Surabaya: Risalah Gusti, 1994. Sharma, Arvin, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, terj. Syafa’atun AlMirzanal. Dkk, Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA, Mc Gill Project, 2002. Sihombing, D. P., India, Sejarah dah Kebudayaannya, S-Grapenhage dsl: W. Van Hoeve, 1953. Sudharta, Tjo Rai, Manusia Hindu: Dari Kandungan Sampai Perkawinan (Bali: Yayasan Dharma Naradha, 1997). Suhardi, Adi, Status Wanita di dalam Agama Budha Suatu Uraian Singkat, Jakarta: Yayasan Dharma Duta Carika, 1986. Wegig, R. Wahana, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, Yogyakarta: Kanisius, 1986.