9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Kajian kepustakaan yang digunakan penulis sebagai referensi sekaligus pembanding dalam penelitian ini ada dua. Kajian pustaka pertama yang digunakan diambil dari jurnal karya Amelia Yuli Pratiwi tahun 2013 dengan judul Peran IAEA (International Atomic Energy Agency) dalam Menyikapi Tindak Korea Utara dalam Pengembangan Tenaga Nuklir untuk Tujuan Tidak Damai. Jurnal tersebut dipilih sebagai kajian pustaka karena sama-sama mengkaji persoalan program pengembangan nuklir yang tidak sesuai dengan ketentuan badan IAEA. Meskipun yang menjadi perbedaan ada pada negara yang menjadi fokus permasalahan, yakni Korea Utara, namun kerangka pembahasan dari tulisan Pratiwi hampir mirip dengan penelitian ini. Menurut Pratiwi (2013), tugas IAEA sebagai suatu organisasi internasional dalam mengontrol negara-negara yang menjalankan program nuklir tidaklah mudah, sebab hampir semua negara yang mampu mengembangkan nuklir, tentu tergiur dengan adanya potensi mengembangkan senjata nuklir. Maka dari itu, dalam menjalankan visi dan misinya, IAEA memiliki rencana strategis yang tertulis di dalam statutanya yang meliputi: keselamatan dan keamanan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perlindungan dan verifikasi. IAEA telah menetapkan standarstandar internasional tertentu terkait dengan permasalahan pengembangan nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara. Meskipun Korea Utara telah menandatangi 9 10 perjanjian Nuclear Non-Proliferation Treaty pada tahun 1985, peran yang dilakukan oleh IAEA tidak dapat hanya berpedoman pada aturan NPT. IAEA juga memiliki kekuatan (power) tersendiri untuk melakukan pendekatan ataupun intervensi terhadap program nuklir Korea Utara apabila tidak berpedoman pada aturan yang telah ditentukan. Oleh karena itu, jurnal Pratiwi dan penelitian ini memiliki kesamaan dalam mengkaji bagaimana kemampuan suatu organisasi internasional mempengaruhi kebijakan suatu negara terkait dengan pelaksanaan program pengembangan nuklir. Tulisan Pratiwi (2013) dapat memberikan kontribusi terhadap penelitian ini untuk melihat bagaimana masalah program pengembangan nuklir menjadi fokus perhatian suatu organisasi internasional yang memiliki visi dan misi menjaga perdamaian dunia. Seperti halnya yang dilakukan oleh Korea Utara dan Iran. Meskipun banyak negara yang mengakui melakukan program pengembangan nuklir untuk tujuan damai, tetap saja harus dilakukan pengawasan dan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap fasilitas-fasilitas yang dimiliki. Menurut Pratiwi, setiap negara berhak untuk menggunakan teknologi nuklir selama pelaksanaannya untuk tujuan damai dan berpedoman pada aturan-aturan yang tertulis di dalam NPT maupun IAEA safeguards agreement. Pratiwi (2013) juga memiliki pandangan yang relevan dengan penelitian ini bahwasanya power dari organisasi internasional sangat dibutuhkan untuk membuat negara-negara tersebut patuh dan taat terhadap aturan yang telah ditetapkan. Pratiwi (2013) di dalam tulisannya memang menjelaskan bahwa peran suatu organisasi internasional seperti IAEA ataupun Dewan Keamanan PBB sangat 11 diperlukan dalam menyelesaikan permasalahan nuklir dengan Korea Utara yang dapat mengancam perdamaian dunia. Meskipun demikian, konsep peran dalam hal ini cenderung masih bersifat luas untuk menggambarkan hal-hal atau upaya-upaya yang telah dilakukan IAEA dan Dewan Keamanan PBB untuk memberhentikan program pengembangan nuklir di Korea Utara yang dinilai tidak sesuai dengan standar keamanan. Pada penelitian ini, konsep peran tersebutlah yang akan lebih difokuskan, yaitu dikeluarkannya resolusi oleh Dewan Keamanan PBB, sebagai suatu bentuk konkrit kekuatan (power) yang dimiliki organisasi internasional untuk memaksa Iran menyetujui inspeksi IAEA terhadap fasilitas pengembangan nuklir Iran di Parchin tahun 2012. Kajian pustaka kedua dalam penelitian ini diambil dari jurnal karya Marko Divac Oberg tahun 2006 dengan judul The Legal Effects of Resolutions of the UN Security Council and General Assembly in the Jurisprudence of the ICJ. Menurut Oberg (2006), istilah resolusi yang digunakan oleh PBB tidak hanya mencakup sebuah rekomendasi, tetapi juga mencakup adanya keputusan. Resolusi yang dilahirkan dari Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB memiliki efek legal. Kemudian, efek legal itu ada yang bersifat mengikat secara intern bagi negaranegara anggota dari organisasi tersebut, dan ada juga yang mengikat bagi negaranegara bukan anggota. Biasanya, resolusi yang mencakup keputusan bersifat mengikat, sedangkan resolusi yang hanya berbasis rekomendasi bersifat tidak mengikat. Resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh organisasi internasional memiliki fungsi antara lain: fungsi substantif yang artinya menciptakan kewajiban, hak dan batas-batas kekuasaan atau wewenang; kemudian fungsi untuk menentukan 12 fakta atau situasi hukum yang berguna untuk membantu menentukan fungsi substantif tersebut; dan untuk menentukan kapan dan bagaimana fungsi substantif tersebut dapat diberlakukan. Oberg (2006) menjelaskan bahwa resolusi (decisions) yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB memiliki kekuatan normatif dan hukum yang lebih besar dibandingkan resolusi yang dikeluarkan Majelis Umum PBB. Bahkan dapat bertentangan dengan prinsip hukum internasional (treaties). Maka dari itu, efek legal yang dimiliki tidak hanya mengikat negara-negara anggota, tetapi juga mengikat negara-negara bukan anggota PBB. Berdasarkan ketentuan-ketentuan pada Piagam PBB, Dewan Keamanan di dalam menjalankan tugasnya menjaga keamanan dan perdamaian internasional, telah mendapat persetujuan untuk bertindak mengatasnamakan seluruh anggota PBB. Selain itu, di dalam piagam PBB juga disebutkan bahwa negara-negara anggota setuju untuk melaksanakan keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh Dewan Keamanan. Hal tersebutlah yang kemudian membuat resolusi-resolusi dari Dewan Keamanan PBB memiliki aturan hukum yang mengikat (legal binding). Meskipun Dewan Keamanan PBB memiliki kekuatan yang begitu besar dalam menjaga perdamaian dunia, namun tetap ada pasal-pasal di dalam Piagam PBB yang mengatur pembatasan-pembatasan Dewan Keamanan secara hukum. Selain itu, terdapat pula aturan di dalam Piagam PBB yang menyebutkan bahwa negara-negara baik yang menjadi anggota ataupun bukan anggota terikat oleh keputusan Dewan Keamanan apabila keputusan tersebut berkaitan dengan perdamaian dan keamanan internasional. Jika ada negara yang didapati melanggar 13 keputusan-keputusan Dewan Keamanan, maka akan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Piagam PBB. Oleh karena itu, pemaparan Oberg mengenai legal effects dari Resolusi Dewan Keamanan PBB akan membantu penelitian ini dalam memetakan fokus bahasan penelitian mengenai kekuatan (power) suatu organisasi internasional yang dapat mempengaruhi kebijakan suatu negara. 2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian ini menggunakan teori arsitektur organisasi (organizational architecture theory) beserta dua konsep yang akan digunakan untuk menganalisis bagaimana suatu organisasi internasional PBB menggunakan resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan untuk membuat Iran menyetujui inspeksi IAEA terhadap fasilitas pengembangan nuklir Iran di Parchin tahun 2012. Dua konsep tersebut adalah legal rational organization dan the power of IOs. 2.2.1. Teori Arsitektur Organisasi Sebelum membahas mengenai arsitektur organisasi dari suatu institusi internasional, ada baiknya untuk mengetahui terlebih dahulu perbedaan yang mendasar antara institusi internasional dan organisasi. Institusi merupakan kumpulan dari badan yang terdiri atas norma-norma, nilai, beserta standar-standar yang menegakkan dan mengabsahkan aktor-aktor politik, dan menyediakan mereka seperangkat aturan maupun ikatan dengan kapasitas penuh untuk menjalankan suatu aksi. Sedangkan organisasi adalah mekanisme-mekanisme yang digunakan untuk menyusun struktur atau aturan-aturan di dalam sebuah institusi. Hal ini dikarenakan struktur organisasi memberikan dampak yang signifikan terhadap 14 bagaimana institusi tersebut berperan (DeCanio, et al dalam Balding & Wehrenfennig, 2011). Keberadaan organisasi di dalam suatu institusi akan memunculkan beberapa hal, antara lain: hirarki, status, spesialisasi, rasionalisasi, efisiensi, dan kooptasi. Hirarki akan menggambarkan bagaimana struktur atau garis instruksi dan koordinasi yang berlaku dari tingkatan paling atas hingga bawah; status berfungsi untuk melihat bagaimana tingkat kehormatan, hak, dan tanggung jawab dari hirarki tersebut; spesialisasi berarti adanya pengelompokkan sesuai bidang-bidang tertentu; rasionalisasi berarti penentuan kebijakan yang didasarkan atas pertimbangan dari faktor-faktor terkait; efisiensi adalah bagaimana membuat kebijakan yang dikeluarkan dapat berjalan semaksimal mungkin; dan kooptasi dalam hal ini berarti pemilihan pemimpin baik untuk institusi maupun organisasi sesuai dengan kesepakatan seluruh anggota (Presthus dalam Martindale, 1966). Dengan adanya hirarki, status, spesialisasi, dan sebagainya, maka jelas bahwa desain arsitektur organisasi merupakan organisasi-organisasi yang dibentuk dan dirancang secara rasional dan sadar untuk bertugas di dalam bidang-bidang tertentu. Dengan kata lain, organisasi-organisasi yang ada pada arsitektur sebuah institusi akan menyediakan mekanisme-mekanisme khusus atau menjadi variabel penentu bagi institusi tersebut untuk meraih tujuan yang ingin dicapai maupun menjalankan misi-misinya. Variabel yang dimaksud dapat berupa penghalang maupun katalis atau pendorong dari institusi internasional dalam menyebarkan norma-norma dan menuntut ketaatan dari anggotanya. Secara sederhana dapat 15 digambarkan jika institusi internasional adalah sebuah permainan, maka organisasi adalah aturan-aturanya, dan negara atau aktor adalah pemainnya. Desain arsitektur organisasi akan memunculkan dorongan yang berupa aturan-aturan dalam berinteraksi, proses pendisiplinan, maupun penghargaan atas perilaku bagi institusi dan aktor-aktor terkait. Hal ini juga sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Frey dan Gygi (1991) bahwasanya: “An international organization’s performance or output cannot be prescribed by outside intervention (by a planner); the only way to influence performance is to set the rules under which the interaction take place. . . . Particular outcomes are connected with particular rules by the behavior of the decision makers. Provided an adequate theory of behavior is used, rules maybe suggested in order to determine the resulting outcome.” (Balding & Wehrenfennig, 2011). Dengan kata lain, desain arsitektur organisasi yang baik diperlukan agar aktor-aktor patuh terhadap mekanisme organisasi demi meraih tujuan yang ingin dicapainya dari institusi internasionalnya. Perbedaan desain arsitektur organisasi di suatu institusi internasional juga akan mempengaruhi strategi aktor-aktor tersebut terhadap tujuan-tujuan spesifik lainnya. Desain arsitektur organisasi ini juga memberikan pengaruh terhadap beberapa institusi internasional yang dianggap memiliki kesuksesan lebih tinggi di dalam menuntut ketaatan atas kewajiban formal, norma-norma informal ataupun nilai dari institusi tersebut. Hal tersebut akan dijelaskan menggunakan konsep legal rational organization. 2.2.2. Konsep Legal Rational Organization Konsep ini pertama kali diungkapkan oleh Weber pada tahun 1947 dan dilengkapi oleh Spencer pada tahun 1971 (Balding & Wehrenfennig, 2011). Mereka menjelaskan bahwa ada beberapa hal penting yang menjadi kunci dari konsep ini. 16 Pertama, legal rational organization bergantung pada struktur atau hirarki dari suatu organisasi sehingga baik negara anggota maupun non-anggota harus dapat mengakui dan memahami keberadaan dari suatu organisasi internaisonal. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Tunkin dalam Enkhee (n.d) yang menyatakan bahwa konstitusi yang dimiliki oleh organisasi internasional secara tegas menyatakan bahwa organisasi tersebut akan memiliki sifat legal atau legal personality. Ketentuan yang ada di dalam konstitusi tersebut mewajibkan seluruh negara untuk menerima keberadaan suatu organisasi internasional sebagai salah satu aktor yang berkompeten dalam hukum internasional dan setara dengan negaranegara. Kedua, konsep ini meminta seluruh negara baik anggota maupun nonanggota untuk memahami otoritas dan mengikuti serta menerapkan anjuran-anjuran hukum dari organisasi yang bersangkutan. Hal tersebut akan membuat organisasi internasional memiliki kewenangan menuntut persetujuan negara-negara atas norma-norma yang diberlakukan institusi internasional, baik secara langsung maupun melalui pihak penengah (adjudicator). Proses ajudikasi yang dimaksud dapat berupa penilaian terhadap suatu kasus apakah adanya pelanggaran hukum yang terjadi pada kasus tersebut, apakah diperlukan pemberian sanksi, atau sejauh mana tingkat sanksi yang harus diberikan. Ketentuan mengenai status legal di dalam konstitusi yang dimiliki merupakan prasyarat terpenting bagi suatu organisasi internasional untuk memetakan kekuatan dan kewenangannya lebih lanjut (Schermers & Blokker dalam Enkhee, n.d). 17 Ketiga, konsep ini juga menjelaskan tentang pembatasan organisasi internasional dengan negara-negara pendirinya untuk mewujudkan karakter (personality) organisasi yang legal dan objektif. Dengan kata lain, suatu organisasi internasional dapat bekerja tanpa terpengaruh oleh kepentingan negara-negara anggotanya. Hal ini bertujuan untuk membentuk organisasi yang independen dengan hak dan kewajiban yang setara terhadap seluruh negara anggota. Dari ketiga pernyataan di atas, suatu organisasi internasional akan dapat meningkatkan angka ketaatan negara anggota terhadap norma-norma yang diberlakukan. Hal ini dikarenakan legal rational organization membuat organisasi internasional dapat memberikan keuntungan terhadap negara yang mampu bekerjasama dengan baik, dan memberikan kerugian apabila tidak sejalan dengan aturan yang telah ditetapkan. Seperti halnya kemampuan untuk membagi atau memberikan pengecualian profit pada mereka. Pembagian tersebut dapat berdampak pada berkali-lipatnya profit yang didapat negara anggota terhadap sektor-sektor tertentu. Sedangkan pengecualian membuat organisasi memiliki kemampuan untuk mengurangi maupun menutup arus profit negara anggota tanpa harus mengganggu anggota lainnya. Bentuk nyata dari pengecualian tersebut salah satunya dapat tersirat di dalam sanksi-sanksi yang dijatuhkan organisasi kepada negara anggota. 2.2.3. Konsep The Power of IOs Meskipun suatu organisasi internasional dibentuk dan didanai oleh negara- negara, bukan berarti organisasi tersebut bergantung secara mutlak terhadap kekuatan (power) dari negara-negara pendirinya. Hal ini dikarenakan organisasi 18 internasional juga memiliki kekuatan tersendiri ketika sudah terbentuk secara resmi. Adapun beberapa organisasi internasional yang memiliki kekuatan tersendiri, yakni International Court of Justice (ICJ) dalam hal peradilan internasional dan UN Security Council untuk menjaga kemanan dan perdamaian dunia. Mereka bertugas untuk mengawasi dan memberikan pemahaman apabila ada aktor negara maupun non-negara yang mempermasalahkan aturan dalam sistem internasional (Moore & Pubantz, 2006). Menurut Barkin (2006), suatu organisasi internasional memiliki dua sumber utama yang menjadi kunci kekuatannya, yakni otoritas moral dan informasi. Otoritas moral adalah sumber kekuatan yang dimiliki suatu organisasi internasional untuk berperan sebagai pejabat dalam sistem internasional yang terlegitimasi dalam bidang-bidang tertentu agar masyarakat dan negara mau menghormati serta memperhatikan keberadaannya. Untuk menjalankan kekuatan otoritas moral, ada dua strategi turunan yang dapat diterapkan. Strategi yang pertama adalah kemampuan untuk mempermalukan (ability to shame). Strategi ini muncul sebagai bentuk reaksi atas keberadaan asas multilateralisme yang diterima oleh negaranegara di dunia. Oleh karena itu, organisasi internasional hadir dengan seperangkat aturan beserta prosedur yang telah disetujui oleh negara-negara anggotanya. Strategi tersebut menyebabkan negara-negara tidak akan ada yang mau untuk melawan ataupun terlihat sebagai pembangkang oleh negara lain, atau sebagai pihak yang merusak aturan dari organisasi internasionalnya sendiri. Apabila suatu negara didapati telah melakukan perusakan maupun pelanggaran dari aturan-aturan 19 tersebut, maka akan menjadi aib bagi dirinya di antara sesama negara anggota maupun di lingkungan internasional. Strategi kedua yang dapat diterapkan dari kekuatan otoritas moral adalah political entrepreneurship. Strategi political entrepreneurship ini merupakan penggunaan otoritas oleh suatu organisasi internasional untuk meningkatkan posisi politik tertentu atau untuk menempatkan isu-isu tertentu dalam agenda politik. Seorang pemimpin organisasi internasional, di dalam kapabilitasnya akan menggunakan hak otoritas yang dimiliki untuk memasukan atau menempatkan beragam hal dan isu-isu ke dalam agenda internasional, meskipun hal dan isu-isu tersebut pada awalnya tidak termasuk atau belum tentu ada di dalam agenda. Sumber kekuatan yang dimiliki organisasi internasional selain otoritas moral adalah informasi. Kemampuan untuk membuat dan mengontrol informasi juga merupakan poin penting di dalam politik internasional. Salah satu bentuk pengontrolan informasi dalam hal ini adalah dengan membuat suatu komunitas. Haas dalam Barkin (2006) dikatakan pernah mengemukakan teori yang menganggap bahwa organisasi internasional dapat berfungsi sebagai suatu epistemic communities, yang artinya jaringan dari para profesional dengan keahlian yang diakui, dan memiliki kompetensi dalam bidang tertentu serta memiliki klaim otoritatif untuk membuat kebijakan yang tepat di dalam suatu permasalahan yang menjadi bidangnya. Dengan kata lain, apabila para ahli telah menyepakati sebuah kebijakan terkait dengan isu yang menjadi bidangnya, hal itu dapat dikatakan sebagai suatu komunitas epistemik. Seperti halnya ketika International Maritime Organization (IMO) dan seluruh ahli terkait telah menyepakati sebuah kerangka 20 kerja untuk mengatasi masalah polusi yang ada di Laut Mediterania, maka akan sangat sulit bagi negara-negara yang ada di sepanjang Teluk Mediterania untuk tidak setuju dengan kerangka kerja yang telah ditentukan. Selain itu, komunitas epistemik ini juga dapat membantu organisasi internasional dalam menciptakan suatu standar yang akan mempengaruhi cara, baik pemerintah maupun negara dalam menjalankan bisnis. Seperti yang dikatakan Moore dan Pubantz (2006), dapat dilihat bahwa lahirnya Dewan Keamanan PBB tentu akan disertai dengan legal personality sehingga organisasi ini akan memiliki sumber-sumber kekuatan dalam menjalankan tugasnya menjaga keamanan dan perdamaian dunia. Kemudian, kekuatan tersebut akan termanifestasi ke dalam segala bentuk tindakan dan aktivitas yang dilakukan oleh Dewan Keamanan, salah satunya dalam memberikan resolusi terhadap suatu kasus. Manifestasi kekuatan yang dimiliki oleh Dewan Keaman ini akan dielaborasi lebih lanjut dalam bab pembahasan dalam proses bagaimana resolusi tersebut memaksa Iran untuk menyetujui inspeksi IAEA terhadap fasilitas pengembangan nuklir Iran di Parchin tahun 2012.