PENGEMBANGAN ASHRAM SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN HINDU DALAM KERANGKA SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL Oleh : I Ketut Sudarsana, S.Ag. Dosen Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar Agama telah memberikan tuntunan bahwa belajar merupakan tugas utama. Maka, apapun yang menjadi prosesi kehidupan dan penghidupan haruslah menjadi proses belajar. Belajar bukan karena mengejar target material dan duniawi tetapi sangat jauh dari itu, belajar merupakan salah satu bentuk bakti kepada Tuhan dan juga untuk menjadi alat dalam menjalankan proses kehidupan. Oleh karena itu, belajar merupakan aktivitas yang berkelanjutan dan tidak ada kata berhenti dalam proses menempuh pendidikan. Lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal adalah satu sarana belajar. Secara ringkas, belajar merupakan merupakan aktivitas yang suci yang tidak boleh sedikitpun terlepas dari kaitan agama. Belajar adalah aktivitas yang berada dalam kerangka keberagamaan, artinya semua awal, proses dan akhir dari belajar merupakan struktur yang harus relevan dengan agama. Kebenaran dan syarat dalam menempuh tata keyakinan dan tata pikir setiap gejala pendidikan, bermula dan berakhir pada titik agama. Dari gambaran ashram dan kepentingan belajar, diperlukan satu usaha dan upaya untuk melakukan dialog yang berkesinambungan sepanjang hayat dalam memahami kepercayaan terhadap ajaran dasar agama kemudian melakukan implementasi dalam bentuk kehidupan realitas sosial sehari-hari. Setiap aktivitas didasari, digerakkan dan diarahkan sebagai proses pendidikan. Perpaduan dari kepercayaan dan struktur kontekstual ini kemudian akan membentuk pandangan hidup yang paripurna. Kata Kunci : Ashram dan Sisitem Pendidikan Nasional I. Pendahuluan Manusia merupakan subyek dan obyek dalam pembangunan, artinya manusia menempati posisi sentral dan strategis. Pembangunan sumber daya manusia hanya dapat dilakukan melalui upaya pendidikan, baik di lingkungan keluarga (pendidikan informal), di sekolah (pendidikan formal), dan di masyarakat (pendidikan non formal). Pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3 dijelaskan bahwa : tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Konsekuensi dalam membentuk manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa tersebut, tidak lepas dari peranan pendidikan agama. Pendidikan agama merupakan salah satu pendidikan yang membantu perkembangan manusia, khususnya membantu dalam perkembangan etika dan moral. Dengan demikian, pendidikan agama di Indonesia mendapat porsi yang cukup dalam sistem pendidikan. Diharapkan, nantinya melalui pendidikan agama dapat meningkatkan etika moral dalam rangka memelihara kerukunan bangsa, saling hormat menghormati antar pemeluk agama yang berbeda. Kautsar Azhari Noer mempertegas bahwa pendidikan agama mempunyai tempat yang sangat strategis dan penting dalam sistem pendidikan nasional secara keseluruhan, karena pendidikan 1 agama pada intinya berujung pada pendidikan akhlak (Noer dalam Sumarthana, 2001:234 ) Bertitik tolak dari uraian di atas dan apabila dikaitkan dengan pengertian pendidikan agama Hindu akan terlihat menjadi selaras menuju terbentuknya karakteristik manusia Indonesia humanis. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari pengertian pendidikan Agama Hindu sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik untuk beriman dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Hindu dari sumber utamanya kitab suci: Sruti, Smerti, SiIa, Acara dan Atmanastuti. (Kurikulum Pendidikan Agama Hindu untuk SMA, 2004). Pendidikan nilai-nilai ajaran agama Hindu yang sistematis dan berkelanjutan perlu dilaksanakan dan dikembangkan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pengetahuan, kecerdasan dan nilai keagamaan umat Hindu pada umumnya dan terutama bagi generasi muda Hindu pada khususnya. Guna mencapai tujuan tersebut dibutuhkan adanya lembaga pendidikan agama Hindu baik formal maupun non formal sebagai wadah penyelenggara pendidikan nilai-nilai ajaran agama Hindu. Lembagalembaga seperti itulah yang diharapkan dapat berperan secara aktif dalam upaya pembentukan insan-insan Hindu yang berbudi luhur. Tujuan utama dari pembelajaran pendidikan Agama Hindu adalah membentuk manusia berbudi luhur, susila, dan bijaksana, yaitu manusia yang dapat menghayati hakikat dari kehidupan yang penuh dengan tantangan dan penderitaan, manusia yang benar-benar mengetahui sebab-musabab sampai terjadinya penderitaan dan yakin bahwa betapapun bentuk penderitaan itu akan dapat dilenyapkan, karena telah diketahui jalan yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan (Arsada, 2006:2). Pengembangan pendidikan Agama Hindu di Indonesia dan khususnya di Bali dapat dikatakan belum memenuhi harapan umat Hindu. Hal ini disebabkan belum adanya lembaga pendidikan Hindu dari tingkat sekolah dasar sampai menengah yang berbasiskan Hindu, sehingga Pendidikan Agama Hindu pada lembaga pendidikan formal masih terbatas yakni hanya dapat alokasi waktu 2 (dua) jam pelajaran perminggu. Di samping itu tidak adanya pembelajaran pendidikan Agama Hindu di luar jam-jam sekolah seperti pasraman, atau sejenisnya yang khusus memberikan pendalaman pendidikan Agama Hindu. Menurut Widyastana (2002:14) yang dimaksud dengan sekolah berbasis Hindu adalah sekolah yang di samping memberi pelajaran formal sesuai kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah, dalam pelajaran agama hanya memberi pelajaran agama Hindu saja bagi seluruh sisyanya, menambahkan pelajaran-pelajaran/ekstrakurikuler untuk meningkatkan pengetahuan dan keimanan mereka terhadap Tuhan serta mampu menerapkan nilai-nilai Hindu dalam kehidupan nyata. Perkembangan dewasa ini, pedidikan agama seakan-akan hanya menjadi tanggung jawab guru di sekolah, padahal penanaman nilai-nilai ajaran agama sangat sulit dan membutuhkan keberlanjutan. Sehingga tanggung jawab bersama antara guru di sekolah dan masyarakat khususnya orang tua sangat dibutuhkan. Kenyataan tentang tidak berperannya pendidikan Hindu di Indonesia tersebut dibenarkan oleh Wiana (2000:21). Menurutnya, dalam penerapan nilai-nilai ajaran Hindu khususnya di Bali telah terjadi pergeseran dari konsep dasar agama Hindu yang sebenarnya. Pergeseran tersebut terjadi karena dalam kurun waktu yang cukup lama umat Hindu di Indonesia tidak mendapat pendidikan dan pembinaan keagamaan yang bersistem dan berkelanjutan. Pembinaan yang dilakukan selama ini terlalu tradisional dan terhenti sebatas aspek ritual semata. Akibatnya terdapat praktek-praktek beragama Hindu yang telah jauh menyimpang dari nilai-nilai ajaran Weda yang sesungguhnya. 2 Pelaksanaan ajaran Agama Hindu di Bali lebih menekankan pada aspek ritual (upacara) dan belum disertai dengan upaya memberikan pemahaman terhadap nilainilai ketuhanan dalam Weda. Peningkatan kualitas pendidikan agama Hindu melihat penjelasan UndangUndang Nomor 20 tahun 2003 di atas seharusnya tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah melainkan juga menjadi masyarakat secara umum. Berdasarkan kajian sejarah, dalam masa perkembangan Agama Hindu di Indonesia, model Ashram atau pasraman pernah menjadi model pendidikan keagamaan yang dikembangkan oleh masyarakat yang kemudian mengalami perubahan nama menjadi mandala. Berdasarkan penelitian Pigeaud dan Koentjaraningrat (dalam Suryanto 2004:12) dinyatakan bahwa pada zaman Majapahit, terdapat lembaga pendidikan Hindu yang bernama mandala, yang merupakan pusat pendidikan agama bagi rakyat umum yang diselenggarakan oleh masyarakat. Pigeaud (dalam Suryanto 2004:13) menyatakan bahwa setelah Islam masuk ke Indonesia, secara berangsur-angsur mandala diubah menjadi pesantren yaitu lembaga pendidikan tradisional Islam yang berkembang pesat di Indonesia saat ini. Model pendidikan ashram seperti yang pernah ada pada zaman keemasan kerajaan Hindu, pada saat ini kembali dikembangkan di Indonesia khususnya di Bali. Hal tersebut dapat dilihat dari upaya merintis kembali pendirian ashram sebagai model pendidikan Hindu yang dari zaman ke zaman telah terbukti bermanfaat dan efektif sebagai tempat mengembangkan kepribadian khususnya pendalaman ajaran Agama Hindu. PEMBAHASAN Karakteristik Dasar Pendidikan Ashram Swami Sivananda dalam All About Hinduism (1988:259) menjelaskan tujuan pendidikan adalah untuk mengantarkan menuju jalan yang benar dan mewujudkan kebajikan, yang dapat memperbaiki karakter seseorang (menuju karakter yang mulia) yang dapat menolong seseorang mencapai kebebasan, kesempurnaan dan pengetahuan tentang Sang Diri (Àtmà), dan dengan demikian seseorang akan dapat hidup dengan kejujuran, hal-hal yang mengarahkan seperti tersebut adalah merupakan pendidikan yang sejati. Shri Sathya Narayana menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah membangun karakter yang baik. Karakter adalah kepribadian seseorang yang menyangkut aspek moralitas, intelegensia, dan perilaku seseorang. Lebih jauh Rabindranath Tagore menyatakan bahwa sistem pendidikan ashram (pasraman) adalah sistem pendidikan yang sejati yang sangat relevan sepanjang zaman. Tagore sangat menekankan pentingnya pendidikan moralitas, di samping kecerdasan intelektual. Dalam sistem ashram, hubungan guru dan sisya sangat akrab. Guru harus benar-benar dapat mendidik dan mengarahkan karakter sisyanya menuju karakter ke-devatà-an. Ashram merupakan salah satu pendidikan yang berbasis masyarakat, dimana masyarakat yang lebih banyak berperan dalam keberlangsungan Ashram, baik dalam hal pemenuhan sarana dan prasarana maupun biaya oprasionalnya. Tilaar (2000 : 105) menyatakan bahwa pendidikan yang terlepas dari masyarakat dan budaya yang ada didalamnya adalah pendidikan yang tidak memiliki akuntabilitas. Pendidikan berbasis masyarakat dan manajemen pendidikan berbasis sekolah adalah wujud nyata dari demokratisasi dan desentralisai pendidikan. Konsep pendidikan berbasis masyarakat atau juga disebut (community based aducation) secara jelas diperkenalkan juga di Indonesia melalui Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional 3 BAB XV bagian dua pasal 55. Dalam Undang-undang tersbut, pendidikan berbasis masyarakat didefinisikan sebagai bentuk penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan berbasis masyarakat memiliki tujuan utama untuk melayani kekhasan kebutuhan masyarakat secara menyeluruh dengan mengunakan sumber daya yang tersedia secara mandiri. Pendidikan berbasis masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap komponen dari masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk memecahkan problem sosial masyarakat dengan memobilisasi aksi bersama. Masyarakat dalam konteks pendidikan berbasis adalah agen, tujuan sekaligus fasilitator dalam proses pendidikan. Formulasi pendididikan berbasis masyarakat bertumpu pada tiga pilar utama yaitu “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidikan merupakan jawaban dari apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat merupakan pelaku atau subjek pendidikan yang aktif, bukan hanya sekedar sebagai objek pendidikan sehingga masyarakat betul-betul memiliki, bertangungjawab dan peduli terhadap pendidikan. (Noer, 2001:13) Implementasi pendidikan berbasis masyarakat diharapkan setiap warga masyarakat dapat belajar bersama dengan memanfaatkan segala potensi yang ada. Para guru, dewan pendidikan, pengelola dan pelajar adalah semua warga masyarakat dari semua generasi. Para guru tidaklah harus dari guru sekolah, akan tetapi mereka yang memiliki pengalaman atau keahlian dapat dijadikan sebagai guru. Guru bertindak sebagai pemimpin yang mengambil peran dalam mencarikan jalan para warga untuk mencapai pengetahuannya secara terbuka dan memberikan kebebasan untuk mengkaji dengan cara pandang yang berbeda. Pendidikan yang berbasis pada masyarakat dapat dimungkinkan hubungan antara guru dengan sisya berada dalam posisi sejajar sebagai subjek pendidikan. Jika selama ini sisya dalam proses pembelajaran umumnya berada dalam dominasi guru, maka dalam konteks pendidikan berbasis masyarakat sisya adalah pelaku utama dalam mengembangkan, mencari pengetahuan yang ia butuhkan. Guru adalah fasilitator sejati sebagai teman diskusi yang memberikan arah sisya dalam menggapai pengetahuan dan cita-citanya secara mandiri. Ciri khas ashram adalah adanya asrama atau pondok untuk para sisyanya. Model pembelajaran ashram seperti ini sangat baik untuk pembentukan kepribadian sisya. Setiap hari sisya dibimbing untuk melakukan praktik persembahyangan dan kegiatan keagamaan lainnya di samping pemahaman keagamaan yang cukup kuat. Dengan demikian pembelajaran agama tidak hanya dilakukan di kelas tetapi juga di luar kelas selama 24 jam. Warga Ashram wajib menerapkan pola makan vegetarian dengan waktu makan bersama, dimana proses memasak diatur lewat jadwal secara bergantian. Ashram dan Tuntutan Perubahan Zaman Ketika menginjak abad ke-20, yang sering disebut sebagai zaman modernisme dan nasionalisme, peranan ashram mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Yang menarik di sini adalah bahwa pendidikan ashram di Indonesia pada saat itu sama sekali belum terstandarisasi secara kurikulum dan tidak terorganisir sebagai satu jaringan ashram Indonesia yang sistemik. Ini berarti bahwa setiap ashram mempunyai kemandirian sendiri untuk menerapkan kurikulum dan mata pelajaran yang sesuai dengan paham yang mereka ikuti. 4 Seiring dengan keinginan dan niatan yang luhur dalam membina dan mengembangkan masyarakat, dengan kemandiriannya, ashram secara terus-menerus melakukan upaya pengembangan dan penguatan diri. Walaupun terlihat berjalan secara lamban, kemandirian yang didukung keyakinan yang kuat, ternyata ashram mampu mengembangkan kelembagaan dan eksistensi dirinya secara berkelanjutan. Mengutip Br. Indra Udayana (2004), ada tiga hal yang belum dikuatkan dalam pengembangan ashram, yakni : Pertama, memajukan ashram. Banyak ashram yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh pengasuhnya. Dalam hal ini, ashram perlu berbenah diri. Kedua, bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Hindu agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Hindu. Salah satu contoh para sisya masih setia dengan tradisi keashramannya. Tetapi, mereka juga harus akrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya. Ketiga, membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Hindu. Di sini, ashram diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Hindu di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi. Namun demikian, ashram akan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Hindu yang mempunyai visi mencetak manusia-manusia unggul. Prinsip ashram adalah tetap memegang tradisi yang positif, dan mengimbangi dengan mengambil halhal baru yang positif. Persoalan-persoalan yang berpautan dengan civic values akan bisa dibenahi melalui prinsip-prinsip yang dipegang ashram selama ini dan tentunya dengan perombakan yang efektif, berdaya guna, serta mampu memberikan kesejajaran sebagai umat manusia. Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan, pengembangan ashram harus terus didorong. Karena pengembangan ashram tidak terlepas dari adanya kendala yang harus dihadapinya. Apalagi belakangan ini, dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia ashram. Terdapat beberapa hal yang tengah dihadapi ashram dalam melakukan pengembangannya, yaitu: Pertama, image ashram sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan teropinikan sebagai lembaga yang keIndia-indiaan, telah mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia ashram. Hal tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera mungkin oleh dunia ashram dewasa ini. Kedua, sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya sisya. Selama ini, kehidupan pondok ashram yang penuh kesederhanaan dan kebersahajaannya tampak masih memerlukan tingkat penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang bersih dan sehat yang didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan prasarana yang layak dan memadai. Ketiga, sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peranan ashram dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang 5 manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, mesti menjadi pertimbangan ashram. Keempat, aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan networking merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan ashram. Penguasaan akses dan networking dunia ashram masih terlihat lemah, terutama sekali ashram-ashram yang berada di daerah pelosok dan kecil. Ketimpangan antar ashram besar dan ashram kecil begitu terlihat dengan jelas. Kelima, manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam pengelolaan ashram. Pada saat ini masih terlihat bahwa ashram dikelola secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian (data base) sisya dan alumni pondok ashram yang masih kurang terstruktur. Keenam, kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi kendala dalam melakukan aktivitas ashram, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan ashram maupun dalam proses aktivitas keseharian ashram. Tidak sedikit proses pembangunan ashram berjalan dalam waktu lama yang hanya menunggu sumbangan atau donasi dari pihak luar. Ketujuh, kurikulum yang berorientasi life skills sisya dan masyarakat. Ashram masih berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan pengalaman keagamaan sisya dan masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yang semakin berat, peningkatan kapasitas sisya dan masyarakat tidak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang bersifat keahlian. (Oka, 2001) Format Ashram Masa Depan Berangkat dari kenyataan, jelas ashram di masa yang akan datang dituntut berbenah, menata diri dalam mengahadapi persaingan pendidikan seperti yang telah dilakukan oleh Pesantren dalam Islam dan lainnya. Tapi perubahan dan pembenahan yang dimaksud hanya sebatas manajemen dan bukan coraknya apalagi berganti baju, karena hal itu hanya akan menghancurkan nilai-nilai positif ashram seperti yang terjadi sekarang ini.. Maka, idealnya ashram ke depan harus bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kehinduannya. Sekarang ini, ada dua fenomena menarik dalam dunia pendidikan di Indonesia yakni munculnya sekolahsekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah); dan penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Nama lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah didikan dan pengawasan para guru pembimbing. Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif. Selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus tadi, tak lupa mengekspresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai ketemu pagi lagi, mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula. Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua. Secara tradisional jejaknya dapat di selami dalam dinamika kehidupan ashram, pendidikan gereja, bahkan di bangsal-bangsal tentara. Pendidikan berasrama telah 6 banyak melahirkan tokoh besar dan mengukir sejarah kehidupan umat manusia. Kehadiran boarding school adalah suatu keniscayaan zaman kini. Keberadaannya adalah suatu konsekwensi logis dari perubahan lingkungan sosial dan keadaan ekonomi serta cara pandang religiusitas masyarakat. Pertama, lingkungan sosial kita kini telah banyak berubah terutama di kota-kota besar. Sebagian besar penduduk tidak lagi tinggal dalam suasana masyarakat yang homogen, kebiasaan lama bertempat tinggal dengan keluarga besar satu klan atau marga telah lama bergeser kearah masyarakat yang heterogen, majemuk, dan plural. Hal ini berimbas pada pola perilaku masyarakat yang berbeda karena berada dalam pengaruh nilai-nilai yang berbeda pula. Oleh karena itu sebagian besar masyarakat yang terdidik dengan baik menganggap bahwa lingkungan sosial seperti itu sudah tidak lagi kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan intelektual dan moralitas anak. Kedua, keadaan ekonomi masyarakat yang semakin membaik mendorong pemenuhan kebutuhan di atas kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bagi kalangan mengengah-atas yang baru muncul akibat tingkat pendidikan mereka yang cukup tinggi sehingga mendapatkan posisiposisi yang baik dalam lapangan pekerjaan berimplikasi pada tingginya penghasilan mereka. Hal ini mendorong niat dan tekad untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak melebihi pendidikan yang telah diterima orang tuanya. Ketiga, cara pandang religiusitas. Masyarakat telah, sedang, dan akan terus berubah. Kecenderungan terbaru masyarakat perkotaan sedang bergerak kearah yang semakin religius. Indikatornya adalah semakin diminati dan semaraknya kajian dan berbagai kegiatan keagamaan. Modernitas membawa implikasi negatif dengan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan ruhani dan jasmani. Untuk itu masyarakat tidak ingin hal yang sama akan menimpa anak-anak mereka. Intinya, ada keinginan untuk melahirkan generasi yang lebih agamis atau memiliki nilai-nilai hidup yang baik mendorong orang tua mencarikan sistem pendidikan alternatif. Dari ketiga faktor di atas, sistem pendidikan boarding school seolah menemukan pasarnya. Dari segi sosial, sistem boarding school mengisolasi anak didik dari lingkungan sosial yang heterogen yang cenderung buruk. Di lingkungan sekolah dan asrama dikonstruksi suatu lingkungan sosial yang relatif homogen yakni teman sebaya dan para guru pembimbing. Homogen dalam tujuan yakni menuntut ilmu sebagai sarana mengejar cita-cita. Dari segi ekonomi, boarding school memberikan layanan yang paripurna sehingga menuntut biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu anak didik akan benarbenar terlayani dengan baik melalui berbagai layanan dan fasilitas. Terakhir dari segi semangat religiusitas, boarding school menjanjikan pendidikan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani, intelektual dan spiritual. Diharapkan akan lahir peserta didik yang tangguh secara keduniaan dengan ilmu dan teknologi, serta siap secara iman dan amal soleh. Nampaknya, konsep boarding school menjadi alternatif pilihan sebagai model pengembangan ashram yang akan datang. Pemerintah diharapkan semakin serius dalam mendukung dan mengembangkan konsep pendidikan seperti ini. Sehingga, ashram menjadi lembaga pendidikan yang maju dan bersaing dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berbasis pada nilai-nilai spiritual yang handal. Sisya yag telah menamatkan pendidikannya di ashram akan memperoleh ijazah yang diakui dan setara dengan pendidikan formal. 7 Ashram dalam Kebijakan Sisdiknas Sudah tidak diragukan lagi bahwa ashram memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, ashram memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, ashram mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya. Pembangunan manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau masyarakat semata-mata, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen, termasuk dunia ashram. Ashram yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan masyarakat, kualitasnya harus terus didorong dan dikembangkan. Proses pembangunan manusia yang dilakukan ashram tidak bisa dipisahkan dari proses pembangunan manusia yang tengah diupayakan pemerintah. Proses pengembangan dunia ashram yang selain menjadi tanggung jawab internal ashram, juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari proses pembangunan pemerintah. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta ashram dalam proses pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun masyarakat, daerah, bangsa, dan negara. Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral. Ashram sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral, harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa. Sehingga, pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna. Ashram pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung kepada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu, ashram bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Hindu. Karena itu, ashram tidak mudah disusupi oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Hindu. Pendidikan ashram yang merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu: 1) Pengasuh/Guru sebagai pendidik sekaligus pemilik ashram dan para sisya; 2) Kurikulum ashram; dan 3) Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti Pura, Altar, dan Sabha Mandapan. Kegiatannya terangkum dalam "Tri Dharma Ashram" yaitu: 1) Kesradhaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa; 2) Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara. Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan ashram sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Namun, kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat Hindu. Karena kelahiran Undang-undang ini masih amat belia dan belum sebanding dengan usia perkembangan ashram di Indonesia. Keistimewaan ashram dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal dalam Undang-udang Sisdiknas sebagai berikut: Dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di ashram. Ashram sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia. 8 Ketentuan dalam BAB III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, pada Pasal 4 dijelaskan bahwa: (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. (4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. (5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. (6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Semua prinsip penyelenggaraan pendidikan tersebut sampai saat ini masih berlaku dan dijalankan di ashram. Karena itu, ashram sebetulnya telah mengimplementasikan ketentuan dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan Sistem pendidikan nasional. Tidak hanya itu, keberadaan ashram sebagai lembaga pendidikan yang didirikan atas peran serta masyarakat, telah mendapatkan legitimasi dalam Undangundang Sisdiknas. Ketentuan mengenai Hak dan Kewajiban Masyarakat pada Pasal 8 menegaskan bahwa Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Sedangkan dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketentuan ini berarti menjamin eksistensi dan keberadaan ashram sebagai lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dan diakomodir dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dipertegas lagi oleh Pasal 15 tentang jenis pendidikan yang menyatakan bahwa Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Ashram adalah salah satu jenis pendidikan yang concern di bidang keagamaan. Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, ashram, dan bentuk lain yang sejenis. Labih jauh lagi, saat ini ashram tidak hanya berfungsi sebagai sarana pendidikan keagamaan semata. Namun, dalam perkembangannya ternyata banyak juga ashram yang berfungsi sebagai sarana pendidikan nonformal, dimana para sisyanya dibimbing dan dididik untuk memiliki skill dan keterampilan atau kecakapan hidup sesuai dengan bakat para sisyanya. Ketentuan mengenai lembaga pendidikan nonformal ini termuat dalam Pasal 26 yang menegaskan: (1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. (2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. (3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, 9 pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. (4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. (5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Keberadaan ashram sebagai bagian dari peran serta masyarakat dalam pendidikan juga mendapat penguatan dari UU Sisdiknas. Pasal 54 menjelaskan: (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. Bahkan, ashram yang merupakan Pendidikan Berbasis Masyarakat diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: (1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. (2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. (3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Demikianlah, ternyata posisi ashram dalam sistem pendidikan nasional memilki tempat dan posisi yang istimewa. Karena itu, sudah sepantasnya jika kalangan ashram terus berupaya melakukan berbagai perbaikan dan meningkatkan kualitas serta mutu pendidikan di ashram. Pemerintah telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005 2009 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu: 1) meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, 2) meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan; dan 3) meningkatnya tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik. Maka, dunia ashram harus bisa merespon dan berpartisipasi aktif dalam mencapai kebijakan di bidang pendidikan tersebut. Ashram tidak perlu merasa minder, kerdil, kolot atau terbelakang. Karena posisi ashram dalam sistem pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan formal lainnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. PENUTUP Usaha untuk membangun atau meningkatkan mutu pendidikan menuju pendidikan yang berkualitas sangat tergantung dari kualitas SDM umat Hindu di samping keinginan baik aparat pemerintah dan pemegang kebijakan, dan terkait pula dengan kebijakan pendidikan nasional umumnya. Dalam masa transisi, kualitas 10 pendidikan dapat ditingkatkan melalui berbagai aktivitas dalam pendidikan formal, informal dan nonformal serta jaringan internasional dengan sungguh-sungguh memperhatikan aspek (pendidikan) moralitas. Di negara maju sekalipun, moralitas ataupun integritas seseorang dan masyarakat sangat menentukan. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas RI. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas RI. Noer, Kautsar Azhari, 2001. Pluralisme dan Pendidikan di Indonesia : Menggugat Ketidak Berdayaan Sistem Pendidikan Agama, Dalam Jurnal Pluralisme No. 7 Edisi Juni 2006, Yogyakarta : Institut Dian. Suryanto, 2004, ‘Problematika Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Hindu di Indonesia, Sebuah Kajian dari Perspektif Pendidikan Hindu Tradisional Model Gurukula di India’, Tesis Universitas Negeri Yogyakarta: Yogyakarta Tilaar. 2001. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta; Rineka Cipta Titib, Made. 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya : Paramita. Wiana, I. K., Penerapan Ajaran Weda di Bali, Majalah Hindu Raditya, Juni 2000, hal 26. 11