17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum a. Pengertian Perlindungan Hukum Dalam Kamus bahasa Inggris perlindungan adalah berasal dari kata protection yang berarti protecting or being protected, system protecting atau persoon or thing that protect (www.thelawdictionary.org diakses pada tanggal 10 April 2016 pukul 10.10 WIB). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perlindungan diartikan sebagai tempat berlindung, perbuatan atau hal dan sebagainya memperlindungi (www.kbbi.web.id diakses pada tanggal 10 April 2016 pukul 10.10 WIB). Pemaknaan tersebut pada dasarnya dapat ditarik unsur yang sama yaitu adanya perbuatan melindungi, pihak yang dilindungi dan cara melindungi (Wahyu Sasongko, 2007 : 30). Pengertian hukum adalah kumpulan peraturan atau kaedah mengandung isi yang bersifat umum dan normatif. Umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan dan kaedah (Sudikno Mertokusumo, 2003 : 39). Menurut Subekti (dalam Sudikno Mertokusumo, 2003 : 61) bahwa tujuan hukum itu harus mengabdi kepada tujuan Negara yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyatnya. Beberapa pendapat mengenai definisi perlindungan hukum dari undang-undang maupun para ahli adalah sebagai berikut ini: 1) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia yang dimaksud Perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada. 18 2) Perlindungan hukum adalah perlindungan oleh hukum atau perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana hukum (Wahyu Sasongko, 2007 : 31). 3) Perlindungan hukum adalah suatu tindakan untuk melindungi atau memberikan pertolongan kepada subjek hukum dengan menggunakan perangkat-perangkat hukum (Philipus M. Hadjon, 2011 : 10). 4) Perlindungan hukum adalah tindakan atau melindungi mayarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia (Setiono , 2004 : 3). 5) Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak dan kewajiban yang diberikan oleh hukum (Satjipto Raharjo, 2000 : 54). 6) Menurut Theresia Geme (dalam Salim H.S. dan Erlies S.N., 2014 : 262) mendefinisikan perlindungan hukum adalah berkaitan dengan tindakan negara untuk melakukan sesuatu dengan (memberlakukan hukum negara secara eksklusif) dengan tujuan untuk memberikan jaminan kepastian hak-hak seseorang atau kelompok orang. Definisi di atas dirasa belum lengkap, dikarenakan bentuk perlindungan dan subjek yang dilindungi berbeda antara satu dengan lainnya. Menurut Salim H.S. (2014 : 263) pembenaran pengertian perlindungan hukum yang tepat adalah upaya atau bentuk pelayanan yang diberikan oleh hukum kepada subyek hukum serta hal-hal yang menjadi objek yang dilindungi. b. Bentuk Perlindungan Hukum Menurut Philipus M. Hadjon (dalam Salim H.S. dan Erlies S.N., 2014 : 264) menyatakan bentuk perlindungan hukum dapat dibagi menjadi 2 yaitu: 19 1) Perlindungan Hukum yang Preventif Perlindungan hukum ini memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan atas pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak. Adanya perlindungan hukum yang preventif ini mendorong pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan asas freies ermessen dan rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut. 2) Perlindungan Hukum yang Represif Perlindungan ini berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat berbagai badan yang sangat partial menangani perlindungan hukum bagi rakyat yang dikelompokan menjadi 3 (tiga) badan yaitu: a) Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum. Dewasa ini dalam prakteknya telah ditempuh jalan untuk menyerahkan suatu perkara tertentu kepada Peradilan Umum sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa. b) Instasi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi. Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi adalah permintaan banding terhadap suatu tindak pemerintah oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Instansi pemerintah yang berwenang untuk merubah bahkan dapat membatalkan tindakan pemerintah tersebut. c) Badan-badan khusus. Merupakan badan yang terkait dan berwenang untuk 20 menyelesaikan suatu sengketa. Badan khusus tersebut antara lain adalah Kantor Urusan Perumahan, Pengadilan Kepegawaian, Peradilan Administrasi Negara. c. Cara Perlindungan Hukum Pada dasarnya hukum dalam memberikan perlindungan dapat melalui cara-cara tertentu yaitu dengan (Wahyu Sasongko, 2007 : 31): 1) Membuat peraturan (by giving regulation) yang bertujuan untuk: a) Memberikan hak dan kewajiban b) Menjamin hak-hak para subjek hukum 2) Menegakkan peraturan (by law enforcement) melalui: a) Hukum administrasi negara berfungsi untuk mencegah (preventif) terjadinya pelanggaran hak konsumen dengan perjanjian dan pengawasan b) Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi (represive) pelanggaran hak konsumen dengan mengenakan sanksi pidana dan hukuman c) Hukum perdata berfungsi untuk memulihkan hak (curative, recovery, remedy) dengan pembayaran kompensasi atau ganti kerugian 2. Tinjauan Umum tentang Perjanjian a. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis. Di Indonesia istilah verbintenis yaitu perikatan, perjanjian dan perutangan. Sedangkan untuk overeenkomst yaitu berarti perjanjian dan persetujuan. Menurut ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana suatu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap suatu orang lain atau lebih (Soeroso, 2011 : 3). Menurut Salim H.S. (2004 : 15) definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut tidak jelas karena setiap perbuatan dapat 21 disebut perjanjian, tidak tampak asas konsensualisme serta bersifat dualisme. Subekti (2002 : 1) berpendapat mengenai rumusan tersebut bahwa walaupun definisi perjanjian tersebut sudah otentik, namun rumusannya masih tidak lengkap karena hanya menekankan pada perjanjian sepihak saja dan sisi lain terluas karena dapat mengenai halhal yang berhubungan dengan janji kawin yaitu sebagai suatu perbuatan yang terdapat dalam bidang hukum keluarga. Hal tersebut juga didukung dengan adanya pendapat dari Abdul Kadir Muhammad (dalam Evi Ariyani, 2013 : 2-3) yang tidak setuju definisi perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata dikarenakan mempunyai banyak kelemahan, yaitu: 1) Hanya menyangkut sepihak saja. Hal tersebut diketahui dari adanya kata “satu orang atau lebih lainnya mengikatkan” yang sifat hanya datang dari satu pihak saja, tidak datang dari kedua belah pihak. Jadi rumusannya harus “saling mengikatkan diri” agar terdapat konsesus dari kedua belah pihak. 2) Kata perbuatan mencangkup juga tanpa konsesus karena pengertian “perbuatan” termasuk juga dalam tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan hukum yang tidak mengandung suatu konsensus, sehingga lebih tepat jika dipakai kata “persetujuan”. 3) Pengertian perjanjian telalu luas, karena mencangkup juga masalah perkawinan yang telah diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud dalam hal tersebut adalah hubungan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dimaksud dalam buku 1313 KUH Perdata sebenarnya hanya perjanjian yang bersifat kebendaan sematamata jadi bukan perjanjian yang bersifat personal. 4) Tanpa menyebutkan tujuan, karena rumusan Pasal itu tidak disebutkan tujuan untuk mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas. 22 Rumusan tersebut menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasinya tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu orang atau lebih, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010 : 91-92). Penyempurnaan terhadap definisi perjanjian menurut Handri Raharjo (2009: 41-42) adalah suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subyek hukum yang satu dengan yang lain dan di antara mereka (para pihak / subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum. Secara garis besar perjanjian dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: 1) Perjanjian dalam arti luas adalah setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak, misalnya perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru. 2) Perjanjian dalam arti sempit adalah hubungan-hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III KUH Perdata, misalnya perjanjian bernama. b. Unsur Perjanjian Suatu perjanjian seharusnya memuat tiga macam unsur yaitu: 1) Unsur Essentialia yaitu unsur yang mutlak harus ada agar perjanjian itu sah yang mana syarat sahnya perjanjian ialah adanya kata sepakat, 23 kecakapan para pihak, obyek tertentu dan kausa atau dasar yang halal (Evi Ariyani, 2013 : 6). Tanpa keberadaan unsur tersebut maka perjanjian yang dibuat para pihak menjadi berbeda dan karenanya menjadi tidak sejalan dan sesuai dengan kehendak para pihak. Sehingga unsur essentialia ini merupakan unsur pembeda dengan perjanjian lainnya. Semua perjanjian yang disebut dengan perjanjian bernama yang terdapat dalam KUH Perdata mempunyai unsur essentialia yang berbeda satu dengan yang lainnya dan karenyanya memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010 : 86). 2) Unsur naturalia yaitu unsur yang lazim melekat pada perjanjian yang mana unsur tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian. Misal dalam perjanjian jual beli haruslah penjual menjamin pembeli terhadap cacat-cacat tersembunyi. Ketentuan ini tidak dapat diimpangi oleh para pihak, karena sifat dari perjanjian jual beli menghendaki hal demikan (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010 : 88-89). 3) Unsur accidentalia yaitu unsur pelengkap dalam suatu perjanjian yang merupakan ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Sehingga pada hakikatnya unsur ini bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak. Misalnya dalam perjanjian jual beli adalah ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan kebendaan yang dijual atau dibeli (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010 : 89-90) c. Asas- Asas dalam Perjanjian Aturan –aturan hukum yang menguasai kontrak sebenarnya penjelmaan dari dasar-dasar filosofis yang terdapat pada asas-asas hukum secara umum. Asas-asas hukum ini bersifat sangat umum dan menjadi 24 landasan berfikir yaitu dasar ideologis aturan hukum. Beberapa asas bersifat samar dan hanya dengan upaya keras dapat baru dipahami. Asas hukum menurut Peter Mahmud Marzuki adalah sumber bagi sistem hukum sebagai landasan norma menjadi alat uji bagi norma hukum yang ada, dalam arti norma hukum tersebut pada akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas hukum yang menjiwainya (dalam Agus Yudha Hernoko, 2013 : 102-103). Menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, Oleh KUH Perdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010 : 14). M. Isnaeni (dalam Agus Yudha Hernoko, 2013 : 105-106) menyebutkan beberapa asas sebagai tiang penyangga hukum kontrak yaitu asas kebebasan berkontrak yang berdiri sejajar dengan asas lain berdasarkan proporsi yang berimbang, yaitu: 1) Asas pacta sunt servanda 2) Asas kesederajatan 3) Asas privaty of contract 4) Asas konsensualisme 5) Asas Iktikad baik Seminar tetang “Reformaasi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata” yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Hukum Nasional (BPHN) pada tahun 1981 menyatakan bahwa undang-undnag kontrak yang baru akan dibuat berlandasakan pada asas-asas berikut ini (dalam Agus Yudha Hernoko, 2013 : 106): 1) Asas kebebasan untuk mengadakan berkontrak 2) Asas menjamin perlindungan bagi kelompok-kelompok ekonomi lemah 3) Asas itikad baik 25 4) Asas keselarasan 5) Asas kesusilaan 6) Asas kepentingan umum 7) Asas kepastian hukum 8) Asas pacta sunt servanda Terkait asas hukum kontrak sebagaimana diuraikan para ahli di atas. Maka berikut ini terdapat empat asas dalam hukum kontrak yang dianggap sebagai saka guru hukum kontrak yaitu: 1) Asas kebebasan berkontrak Mempelajari asas kebebasan berkontrak maka dapat diketahui bahwa latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir pada zaman Yunani yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman renaisance melalui antara lain ajaranajaran Hugo de Grotth, Thomas Hobbes, John Locke dan Rosseau. Menurut paham individualisme sistemnya orang bebas untuk memperoleh apa yang dihendaki, hukum kontrak menerapkan asas ini sebagai perwujudan dalam kebebasan berkontrak. Teori Lisbet fair ini menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas, dikarenakan pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi di dalam kehidupan (sosial ekonomi) masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat (ekonomi) untuk menguasai golongan lemah (ekonomi). Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkraman pihak yang kuat, diungkapkan dalam exploitation de homme par l’homme (Salim H.S., 2004:9-10). Pada akhir abad ke-19 akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak mendapatkan perlindungan. Oleh 26 karena itu kehendak bebas tidak lagi diberikan dalam arti mutlak, tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu diawasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Melalui campur tangan pemerintah ini terjadi pemasyarakatan (vermastchappelijking) hukum kontrak (Salim H.S., 2004 : 9-10). Hukum perjanjian mempunyai sifat terbuka artinya memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi dan bermacam apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-Pasal dalam hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (option law) yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh dikesampingkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang mereka adakan (Soeroso, 2011 : 15-16) sesuai Pasal 1337 dan 1338 KUH Perdata. Hal tersebut dalam perkembangannya tidak lagi bersifat mutlak tetapi relatif (kebebasan berkontrak yang bertanggungjawab). Asas inilah yang menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka. PasalPasal dalam hukum perjanjian sebagian besar (karena Pasal 1320 KUH Perdata bersifat memaksa) dinamakan hukum pelengkap. Jika dipahami secara seksama maka asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: a) Membuat atau tidak membuat perjanjian. b) Mengadakan perjanjian dengan siapapun. c) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya. d) Menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis maupun lisan (Handri Raharjo, 2009 : 44). 27 2) Asas konsensualisme Apabila menyimak rumusan Pasal 1338 (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Istilah “secara sah” bermakna bahwa dalam pembuatan perjanjian yang sah (kaitannya dengan Pasal 1320 KUH Perdata) adalah mengikat karena asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian (Agus Yudha Hernoko, 2013 : 120-121). Konsensualisme pada dasarnya berasal dari kata consensus yang berarti sepakat. Sepakat berarti bahwa pada asasnya suatu perjanjian yang timbul sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan atau dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila sudah tercapai kata sepakat mengenai hal yang pokok dan tidak perlu suatu formalitas (R. Soeroso, 2011 : 16). Adanya kata sepakat pada prinsipnya sudah mengikat dan sudah mempunyai akibat hukum, sehingga mulai saat itu juga sudah timbul hak dan kewajiban diantara para pihak. Syarat tertulis pada dasarnya tidak diwajibkan untuk suatu kontrak. Namun terdapat beberapa kontrak yang memang harus ditulis, atau bahkan dibuat oleh atau dihadapan pejabat tertentu, sehingga disebut kontrak formal. Hal tersebut merupakan perkecualian dari prinsip umum tentang asas konsesualisme (Munir Fuady, 2011 : 31). Asas konsensualisme sebagaimana yang tersimpul dalam Pasal 1320 KUH Perdata syarat sahnya perjanjian yang pertama adalah tentang kesepakatan, hendaknya tidak juga diinterpretasikan sematamata secara gramatikal. Pemahaman asas konsensualisme yang menekankan pada “sepakat” para pihak ini, berangkat dari pemikiran bahwa yang berhadapan dalam kontrak itu adalah orang yang menjunjung tinggi komitmen dan tanggungjawab dalam lalu lintas hukum. Sehingga pemahaman asas konsensualisme tidak terpaku 28 sekadar mendasarkan pada kata sepakat saja tetapi juga syarat lain dalam Pasal 1320 KUH Perdata dianggap telah terpenuhi sehingga kontrak tersebut menjadi sah (Agus Yudha Hernoko, 2013 : 123). 3) Asas pacta sunt servanda Istilah pacta sunt servanda berarti janji yang mengikat maksudnya adalah bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak tersebut secara sah oleh para pihak mengikat para pihak tersebut secara penuh sesuai isi kontrak tersebut. Istilah terkenalnya adalah “my word is my bonds”. Mengikatnya secara penuh atas kontrak yang dibuat oleh para pihak tersebut oleh hukum kekuatannya dianggap sama dengan kekuatan mengikat dari suatu undang-undang. Apabila suatu pihak dalam kontrak tidak menuruti kontrak yang telah dibuatnya, oleh hukum disediakan ganti rugi atau bahkan pelaksanaan kontrak secara paksa (Munir Fuady, 2005 : 12-13) sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata. Asas pacta sunt servanda disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda menurut Salim H.S. (2004 : 10) adalah asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati subtansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap subtansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Di dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua belah pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangannya asas pacta sunt servanda diberi arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan 29 formalitas lainnya. Sedangkan nudus pactum sudah cukup dengan sepakat saja (Salim H.S., 2004 : 11). 4) Asas itikad baik Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik sesuai Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Perjanjianperjanjian harus dilaksanakan degan iktikad baik”. Apa yang dimaksud dengan iktikad baik (te goeder trouw, good faith) pada dasarnya perundang-undangan tidak memberikan definisi secara tegas dan jelas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud iktikad adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, kemauan yang baik (www.kbbi.web.id diakses pada tanggal 10 April 2016 pukul 10.10 WIB). Sedangkan dalam Kamus Hukum Fockema Andrea dijelaskan bahwa “goede trouw” adalah maksud semangat yang yang menjiwai para peserta dalam suatu perbuatan hukum atau tersangkut dalam suatu hubungan hukum. Sedangkan menurut Wirjono prodjodikoro memeberikan batasan iktikad baik dengan istilah dengan jujur dan secra jujur (dalam Agus Yudha Hernoko, 2013 : 134) Handri Raharjo (2009 : 45). membagi iktikad baik menjadi 2 yaitu: a) Bersifat objektif artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. b) Bersifat subjektif artinya ditentukan sikap batin seseorang. Wirjono Prodjodikoro (dalam Agus Yudha Hernoko, 2013 : 137) membagi itikad baik menjadi dua macam yaitu: a) Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan hukum kepada pihak yang beritikad baik harus bertanggungjawab dan menanggung risiko. Iktikad semacam ini dapat disimak dalam ketentuan Pasal 1977 ayat 1 KUH Perdata dan Pasal 1963 KUH Perdata dimana terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh 30 hak milik atas barang melalui daluwarsa. Iktikad ini bersifat subyektif dan statis. b) Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajibankewajiban yang termaktub dalam hubungan hukum itu. Pengertian itikad baik semacam ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata adalah bersifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik itikad baik disini terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu tindakan sebagai pelaksanaan sesuatu hal. Adapun asas-asas umum hukum perjanjian yang dikenal yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah sebagai berikut: 1) Asas Tidak Boleh Main Hakim Sendiri Maksudnya dengan tindakan menghakimi sendiri adalah tindakan untu melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan pihak lain yang berwenang melalui pengadilan atau meminta bantuan hakim, sehingga akan menimbulkan kerugian. Oleh karena itu, tindakan menghakimi sendiri tidak dibenarkan oleh hukum (R.Soeroso, 2011 : 14). Asas ini berkaitan dengan Pasal 1266 KUH Perdata yang menentukan persetujuan tidak batal demi hukum suatu perjanjian haruslah dimintakan kepada Hakim. 2) Asas Kepribadian (Personalitas) Pada umumnya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat di dalam Pasal 1317 KUH Perdata tentang janji untuk pihak ketiga (Handri Raharjo, 2009 : 45). Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang intinya seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Selain itu diatur pula di 31 dalam Pasal 1340 KUH Perdata yang intinya perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun ketentuan tersebut terdapat pengecualian, yaitu di Pasal 1317 KUH Perdata yang intinya bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan syarat yang ditentukan. Sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahlinya warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya. Kedua Pasal tersebut memberikan pegecualian yang intinya mengatur perjanjian untuk pihak ketiga yaitu untuk kepentingan (Salim H.S., 2004 : 13) : a) Dirinya sendiri b) Ahli waris c) Orang-orang yang memperoleh hak daripadanya 3) Asas Keadilan Pembahasan mengenai hubungan antara kedua belah pihak yang mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian yang kemudian akan dijadikan suatu dasar hukum bagi para penyepakat (Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata) tidak dapat dilepaskan hubungan dengan masalah keadilan. Berbagai cara telah ditempuh banyak ahli untuk menciptakan suatu kondisi yang kondusif dan win-win solution untuk berkontrak secara benar dan memperhitungkan berbagai latar belakang dan kondisi kedua belah pihak dan melahirkan suatu bentuk prestasi dan kontra prestasi yang dapat diterima dan dianggap adil bagi kedua belah pihak. Menurut Rawls keadilan itu diukur dengan tidak mengorbankan hak dari satu atau beberapa orang hanya demi keuntungan ekonomis yang lebih besar bagi masyarakat secara keseluruhan. Konsep ekonomis tidak boleh bertentangan dengan prinsip kebebasan dan hak sama bagi semua orang (Agus Yudha Hernoko, 2010 : 43). Keadilan haruslah dipahami sebagai kesetaraan kedudukan dan hak serta 32 bukanlah merupakan kesamaan hasil yang dapat diperoleh semua orang (Agus Yudha Hernoko,2014 : 58) Menurut John Boatright dan Manuel Velasques keadilan dibagi menjadi 3 yaitu: 1) Keadilan distributif (distributive justice) yaitu hak dan kewajiban harus dibagi secara adil. 2) Keadilan retributif (retributive justice) yaitu berkaitan dengan terjadinya kesalahan dimana hukum atau denda dibebankan kepada orang yang bersalah haruslah bersifat adil. 3) Keadilan kompensatoris (compensatory justice) menyangkut tentang kesalahan yang dibuat tetapi menurut aspek lain dimana orang mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada pihak lain yang dirugikan (Agus Yudha Hernoko, 2013 : 50). Kriteria ketidakadilan menurut menurut Munir Fuady adalah sebagai berikut: 1) Kriteria utama doktrin ketidakadilan Suatu kontrak yang sudah ditandatangani oleh kedua belah pihak, maka tidak semua ketidakadilan dalam kontrak dinyatakan batal atau dapat dibatalkan manakala dalam kontrak tersebut terdapat unsur-unsur ketidakadilan. Akan tetapi kontrak tersebut batal atau dapat dibatalkan jika memenuhi kriteria tersebut. Kriteria utama agar suatu kontrak batal atau dapat dibatalkan karena alasan ketidakadilan (unconscionability) adalah apakah dalam pengertian dan kebutuhan komersil dari suatu perdagangan atau suatu kasus, klausula tersebut telah memihak kesatu pihak sehingga hal tersebut menjadi tidak adil terhadap pihak lainnya menurut situasi dan kondisi pada saat dibuatnya kontrak yang bersangkutan (Munir Fuady, 2001 : 53). 2) Teori asumsi risiko dengan doktrin ketidakadilan Telah dijelaskan pula sebelumnya bahwa tidak semua klausula 33 yang tampaknya tidak adil batal atau dapat dibatalkan berdasarkan doktrin ketidakadilan (unconscionability) ini. Disamping harus memenuhi kriteria tertentu doktrin ketidakadilan ini juga berbenturan dengan prinsip yuridis tentang “asumsi risiko atau (assumption of risk). Menurut prinsip asumsi risiko ini, jika seseorang telah menandatangani suatu kontrak sungguhpun dia tidak membaca semua isi kontrak, oleh hukum dia dianggap telah mengasumsi risiko dari isi kontrakk yang mungkin tidak adil, artinya dia sudah bersedia menanggung risiko tersebut. Akan tetapi apabila seseorang tidak atau sangat terbatas pilihan atau sangat kurang kekuatan tawar menawarnya, dalam kontrak terdapat klausula yang begitu tidak adil dan memberatkan salah satu pihak, maka dia tidak dapat lagi dikatakan telah mengasumsi risiko. Dalam hal ini kepadanya (pihak yang dirugikan) bahkan diberikan kewenangan untuk meminta kontrak tersebut batal atau dibatalkan berdasarkan teori ketidakadilan (unconscionability) tersebut (Munir Fuady, 2001 : 53-54). 3) Ketidakadilan substantif dan prosedural Teori ketidakadilan (unconscionability) ini sering dibedakan ke dalam: a) Ketidakadilan yang bersifat prosedural Adanya doktrin ketidakadilan yang bersifat prosedural yang dimaksudkan adalah ketidakadilan dari klausula kontrak sebagai akibat dari kedudukan para pihak yang tidak seimbang dalam proses tawar menawar dari kontrak tersebut. b) Ketidakadilan yang bersifat substantif Adanya doktrin ketidakadilan yang bersifat substantif yang dimaksud adalah klausula dalam kontrak tersebut. Doktrin ketidakadilan yang bersifat substantif dari kontrak ini misalnya muncul melalui “doktrin harga yang tidak adil atau (doctrine on unfair price)” (Munir Fuady, 2001 : 54) 34 4) Keterkejutan yang tidak adil (unfair surprise) Salah satu wujud dari ketidakadilan dalam kontrak adalah apa yang disebut dengan keterkejutan yang tidak adil (unfair surprise). Suatu klausula dalam kontrak dianggap merupakan unfair surprise, manakala klasula tersebut bukan klausula yang diharapkan oleh orang yang normal dalam kontrak semacam itu, sementara pihak yang menulis kontrak mempunyai alasan untuk mengetahui bahwa klausula tersebut tidak akan sesuai dengan keinginan yang wajar dari pihak lain, tetapi pihak yang menulis kontrak tersebut tidak berusaha menarik perhatian pihak lainnya terhadap klausula tersebut. Salah satu contoh klausula yang bersifat (unfair surprise) adalah kontrak baku yaitu kontrak yang yang sudah secara baku yang menempatkan pihak lain tidak mempunyai posisi tawar menawar tetapi hanya memiliki pada posisi menerima atau menolak konrak tersebut (take it or leave it). Pandangan yang modern dalam hukum kontrak mengajarkan bahwa klausula dalam kontrak baku hanya mengikat sejauh klausula-klausula oleh manusia yang normal akan dipandangnya sebagai klausula yang wajar dan adil. Jika ada klausula tersebut berisat sebaliknya maka klausula yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah ada (Munir Fuady, 2001 : 554-55) 5) Klausula pembebasan (exculpatory clause) Klausula pembebasan (exculpatory clause) adalah suatu klausula dalam kontrak yang membebaskan salah satu pihak dari kewajibannya untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri. Klausula pembebasan ini dicakup juga oleh doktrin ketidakadilan baik klausula pembebasan yang membebaskan pihak pembuatnya dari kesalahan yang bersifat kesengajaan ataupun hanya kelalaian (Munir Fuady, 2001 : 55). 6) Ganti rugi campur aduk (remedy meddling) 35 Ganti rugi campur aduk (remedy meddling) juga merupakan salah satu perwujudan dari apa yang dilarang oleh doktrin ketidakadilan yang mana arti dari remedy meddling adalah suatu variasi dari berbagai taktik dimana pihak kreditor biasanya penjual berusaha untuk memperbesar haknya jika pihak debitor wanprestasi dan mengurangi atau menghapuskan kewajibannya jika digugat oleh pihak lain dalam kontrak tersebut.Berikut ini adalah wujud remedy meddling dari yaitu: a) Ganti rugi tetap (liquidated damages) Ganti rugi tetap (liquidated damages) merupakan suatu ganti rugi yang jumlahnya telah ditetapkan secara pasti dan sudah disebutkan dalam kontrak tersebut, sungguhpun kerugian pada saat itu belum terjadi. Ganti rugi tetap yang terlalu besar jumlahnya dianggap sebagai penalty dan tidak dianggap “tidak adil (unconscion)”. Demikian juga dengan gantirugi tetap yang terlalu kecil jumlahnya juga dianggap tidak adil. b) Pemilikan barang jaminan (repossess the security) Klausula yang memberikan hak kepada kreditor untuk memiliki barang jaminan jika keditur menganggap hutangnya atau pelaksanaan kewajiban dari pihak debitor diangap tidak terjamin lagi juga dapat dianggap sebagai klausula yang dilarang oleh doktrin ketidakadilan (unconscionability) c) Penolakan jaminan purna jual (warranty disclaimer) Pada prinsip pembatasan pemberian jaminan purna jual sampai batas-batas tertentu adalah sah-sah saja. Tetapi jika pembatasan tersebut sedemikan rupa misalnya pembatasan terhadap ganti rugi konsekuensi (consequential damages) terhadap kerusakan pada tubuh manusia. Karena tidak dibenarkan berdasarkan doktrin ketidakadilan. d) Pembatasan ganti rugi (limitation of remedies) Apabila sampai batas-batas teretntu, suatu ganti rugi dapat 36 saja dibatasi. Tetapi apabila gantirugi dibatasi secara tidak adil maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan. e) Klausula penjaminan silang (cross collateralization) Klausula penjaminan silang adalah suatu teknik dari masingmasing jual beli (secara kredit) terhadap masing-masing barang yang sampai dengan dibayar seluruh harga barang tersebut pihak penjual masih diberikan kewenangan untuk mereposes seluruh item dari barang tersebut, jual beli kredit dengan memakai sistem klausula penjaminan silang tersebut juga dirasakan tidak adil sehingga dianggap sebagi ketentaun yang bertentangan dengan doktrin ketidakadilan (unconscionability) (Munir Fuady, 2001 : 56-67). d. Syarat Sah Perjanjian Syarat sah perjanjian pada dasarnya dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi “Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat: 1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3) Suatu pokok persoalan tertentu 4) Suatu sebab yang tidak dilarang Keempat unsur tersebut selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang digolongkan ke dalam dua unsur,yaitu: 1) Dua unsur pokok yang menyangkut subyek atau pihak yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif). Unsur subyektif mencangkup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian yang mana bila salah satu unsur tak dipenuhi maka akibatnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan. 2) Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif). Unsur Objektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan objek yang diperjanjikan dan causa 37 dari objek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum yang mana bila salah satu unsur tak dipenuhi maka batal demi hukum dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003: 93-94). Berikut ini akan dijelaskan mengenai syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata: 1) Syarat Subyektif a) Kesepakatan kedua belah pihak Syarat sah sebuah kontrak yang pertama adalah adanya konsensus atau kesepakatan kedua belah pihak yang diatur dalam Pasal 1320 ayat 1 KUH Perdata. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Ada lima cara untuk terjadinya persesuaian pernyataan kehendak yaitu dengan cara (Salim H.S., 2005 : 33) sebagai berikut: (1)Bahasa yang sempurna dan tertulis (2)Bahasa yang sempurna secara lisan (3)Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima pihak lawan (4)Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan (5)Diam atau membisu tetapi asal dapat dipahami atau diterima pihak lawan Cara yang paling banyak digunakan adalah dengan menggunakan bahasa yang sempurna secara lisan dan tertulis. Kesepakatan yang dicapai tidak boleh karena adanya unsur paksaan atau dwang (Pasal 1324 KUH Perdata),penipuan (bedrog) (Pasal 1328 KUH Perdata) dan kekhilafan atau dwaling (Pasal 1322 KUH Perdata). Jika suatu kontrak atau perjanjian itu disebut atas dasar salah satu unsur tersebut di atas maka kontrak tersebut dapat dibatalkan (Evi Ariyani, 2013 : 7). 38 b) Kecakapan untuk bertindak Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum. Jika subyek hukumnya adalah orang maka, orang –orang yang mengadakan perjanjian haruslah orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana ditentukan olehundang-undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum merupakan orang yang sudah dewasa (yang berumur 21 tahun dan atau sudah kawin). Adapun orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah: (1) Orang yang belum dewasa (2) Mereka yang berada di bawah pengampuan (3) Istri (Pasal 1330 KUH Perdata), akan tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jo Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1963. Jika subyeknya adalah badan hukum maka harus memenuhi syarat formal suatu badan hukum. Badan hukum atau rechtspersoon berarti person atau badan hukum ini dapat memiliki hak dan kewajiban serta melakukan perbuatan hukum seperti manusia bahkan juga memiliki kekayaan sendiri. Suatu badan hukum maka cirinya bahwa harta kekayaan dari badan hukum tersebut harus terpisah dari kekayaan para pengurusnya (Evi Ariyani, 2013 : 8-9). 2) Syarat Objektif a) Suatu hal tertentu Berbagai literatur menyebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi atau pokok perjanjian dimana prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitor dan apa yang menjadi 39 hak kreditor baik dapat berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Prestasi harus dapat ditentukan, diperbolehkan, dimungkinkan dan dapat dinilai dengan uang. Hal ini sesuai dengan Pasal 1332 KUH Perdata yaitu bahwa hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi objek perjanjian (Evi Ariyani, 2013 : 8-9) b) Adanya sebab atau causa yang halal Pasal 1336 KUH Perdata menyatakan suatu perjanjian tidak mempunyai kekuatan mengikat apabila dibuat tanpa sebab atau dibuat dengan sebab yang palsu atau terlarang. Pengertian sebab yang halal dapat dilihat dalam Pasal 1337 KUH Perdata yang menyebutkan suatu sebab adalah terlarang apabla bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum (Evi Ariyani, 2013 : 9) e. Jenis-Jenis Perjanjian Menurut Handri Raharjo (2009 : 59-69) dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perjanjian di Indonesia” menyatakan bahwa perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, yaitu: 1) Perjanjian menurut sumbernya, menurut Sudikno Mertokusumo dapat dibagi menjadi: a) Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga. Misalnya perkawinan. b) Perjanjian yang bersumber dari hukum kebendaan adalah perjanjian yang berhubungan dengan peralihan hukum benda. c) Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban. d) Perjanjian yang bersumber dari hukum acara. e) Perjanjian yang bersumber dari hukum publik. 2) Perjanjian menurut hak dan kewajiban para pihak, menurut Salim H.S. dapat dibedakan menjadi: a) Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Perjanjian ini ada 2 40 (dua) macam yaitu timbal balik yang sempurna dan tidak sempurna. Contohnya perjanjian jual beli. b) Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada satu pihak saja sedangkan pada pihak lain hanya ada hak. Contoh: hibah (Pasal 1666 KUH Perdata) dan Perjanjian Pemberian Kuasa (Pasal 1792 KUH Perdata) c) Perjanjian menurut keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi pada pihak yang lain menurut Salim H.S. dapat dibedakan menjadi: (1) Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada salah satu pihak. Contoh Perjanjian Hibah. (2) Perjanjian atas beban yaitu perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain dan diantara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Misal Perjanjian Jual Beli dan Sewa Menyewa. 3) Perjanjian menurut namanya, menurut Salim H.S. dapat dibedakan menjadi: a) Perjanjian khusus / bernama / nominaat adalah perjanjian yang memiliki nama dan diatur dalam KUH Perdata. Contoh Perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata buku III Bab V-XVIII KUH Perdata antara lain jual beli, perjanjian tukar menukar, perjanjian perdamaian, perjanjian pemberian kuasa, perjanjian pinjam pakai, dan sebagainya. b) Perjanjian umum / tidak bernama / innominaat / perjanjian jenis baru adalah perjanjian yang timbul, tumbuh dan hidup dalam masyarakat karena asas kebebasan berkontrak dan perjanjian ini belum dikenal sebelum KUH Perdata diundangkan. Dimana unsur perjanjian ini adalah: (1) Perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata (2) Perjanjian yang timbul, tumbuh dan hidup dalam masyarakat 41 (3) Berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Contohnya perjanjian leasing, perjanjian sewa beli, franchise, joint ventura, kontrak production sharing, dan sebagainya. Dikarenakan perjanjian innominaat ini didasarkan pada asas kebebasan berkontrak maka sistem pengaturan hukum perjanjian innominaat adalah sistem terbuka / open system. Dilihat dari aspek pengaturannnya perjanjian innominaat dibedakan menjadi: (1)Perjanjian innominaat yang diatur secara khusus dan dituangkan dalam bentuk undang-undang dan atau telah diatur dalam Pasal tersendiri. Misalnya kontrak production sharing telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. (2)Perjanjian innominaat yang diatur dalam peraturan pemerintah, misalnya tentang waralaba / franchise yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan perjanjian lembaga pembiayaan konsumen yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang lembaga Pembiayaan. (3)Perjanjian innominaat yang belum diatur atau belum ada undang-undang di Indonesia. Misalnya kontrak rahim atau surrogate mother. 4) Perjanjian menurut bentuknya menurut Salim H.S dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu: a) Perjanjian Lisan/Tidak Tertulis,yang termasuk perjanjian lisan adalah: (1)Perjanjian Konsensual menurut J.Satrio adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan. (2)Perjanjian riil menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan barang atau kata sepakat bersamaan dengan penyerahan 42 barangnya. Misalnya perjanjian penitipan barang dan perjanjian pinjam pakai. b) Perjanjian Tertulis, yang termasuk perjanjian tertulis adalah: (1)Perjanjian Standar atau baku menurut Djaja S. Meliala adalah perjanjian yang berbentuk tertulis berupa formulir yang isinya telah distandarisasi (dibakukan) terlebih dahulu secara sepihak oleh produsen serta bersifat massal tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen. (2)Perjanjian Formal menurut Sudikno Mertokusumo adalah perjanjian yang ditetapkan dengan formalitas tertentu. Misalnya perjanjian perdamaian yang harus secara tertulis sesuai Pasal 1851 KUH Perdata, perjanjian hibah dengan akta notaris. Dimana dalam perjanjian ini dikenal istilah akta yaitu surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar dari pada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. 5) Perjanjian yang istimewa sifatnya, yang termasuk dalam perjanjian ini menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah: a) Perjanjian liberatoir adalah perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misalnya Pembebasan Hutang menerut Pasal 1438 KUH Perdata. b) Perjanjian pembuktian adalah perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka. c) Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi (Pasal 1774 KUH Perdata). d) Perjanjian publik adalah perjanjian yang sebagaian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah). Misalnya perjanjian ikatan dinas. e) Perjanjian Campuran / contrctus sui generis (Pasal 1601 C KUH Perdata) dimana dalam perjanjian ini terdapat unsur-unsur dari beberapa perjanjian bernama yang terjalin menjadi satu sedemikian 43 rupa sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri. Misal perjanjian anatara pemilik hotel dengan tamu. f) Perjanjian Penanggungan (Borgtocht) adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditor mengikatkan dirinya untuk memenuhi perikatan debitor bila debitor tidak memenuhi perikatannya (Pasal 1820 KUH Perdata). g) Perjanjian Garansi (Pasal 1316 KUH Perdata) dan Derden Beding (Pasal 1317 KUH Perdata) (1)Perjanjian Garansi adalah menjamin pihak lain (lawan janjinya) bahwa seorang pihak ketiga yang ada di luar perjanjian akan melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan kalau sampai terjadi pihak ketiga tidak memenuhi maka ia aka bertanggungjawab untuk itu. (2)Perjanjian Derden Beding (janji pihak ketiga) adalah suatu perjanjian berlakukan asas pribadi suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri (Pasal 1315 KUH Perdata jo Pasal 1340 KUH Perdata) dan para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang mengikat pihak ketiga kecuali dalam apa yang disebut janji guna pihak ketiga (Pasal 1317 KUH Perdata). 6) Perjanjian menurut sifatnya menurut Salim H.S. dapat dibedakan menjadi: a) Perjanjian Pokok yaitu perjanjian yang utama. b) Perjanjian accessoir yaitu perjanjian tambahan yang mengikuti perjanjian utamanya/pokoknya. Misalnya perjanjian fidusia. c) Perjanjian berdasarkan penggolongan yang lain adalah didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya kewajiban tersebut. d) Perjanjian Obligatoir adalah perjanjian yang hanya meletakkan hak dan kewajiban kepada memindahkan hak milik. masing-masing pihak dan belum 44 e) Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu kepada pihak lain. Misal Peralihan hak milik (dalam Handri Raharjo, 2009 : 59-69). 3. Tinjaun Umum tentang Lembaga Pembiayaan Konsumen a. Pengertian Pembiayaan yang disediakan di Inggris untuk pengadaan barang kebutuhan konsumen dikenal dengan istilah kredit konsumen (Consumer Credit) yang mana di atur dalam Undang-Undang Kredit Konsumen 1974 (Consumer Credit Act 1974). Tetapi di Indonesia, yang lebih dikenal adalah Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) yang pengertiannya meliputi juga Kredit Konsumen (Consumer Credit). Perbedaannya hanya pada perusahaan jasa keuangan yang membiayainya. Pembiayaan Konsumen dibiayai oleh Perusahaan Pembiayaan (Financing Company), sedangkan Kredit Konsumen dibiayai oleh Bank. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan Bank yang khususnya didirikan untuk melakukan kgiatan dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan (Abdulkadir M dan Rilda M, 2000 : 246). Pengertian Lembaga Pembiayaan consumer finance) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan berdasarkan Pasal 1 angka 1 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal. Sedangkan pengertian Pembiayaan Konsumen Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan berdasarkan Pasal 1 angka 7 adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran. 45 b. Dasar hukum 1) Dasar Hukum Substantif Berikut ini yang merupakan dasar hukum substantif eksistensi pembiayaan konsumen adalah perjanjian di antara para pihak berdasarkan asas kebebasan berkontrak, yakni perjanjian antara pihak perusahaan financial sebagai kreditor dan pihak konsumen sebagai debitor. Mengenai asas kebebasan berkontrak di atur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Pasal ini mengandung arti bahwa para pihak boleh membuat berbagai persetujuan / perjanjian baik yang sudah di atur dalam undang-undang, maupun yang tidak di atur dalam undang-undang, selama apa yang disepakati itu sah, artinya memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang di atur dalam Pasal 1320 KUH Perdata (Munir Fuady, 2002 : 164-165). 2) Dasar Hukum Administratif Dasar hukum yang dijadikan sebagai dasar hukum administratif bagi keberadaan perusahaan pembiayaan yaitu: a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. b) Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan. c) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor. d) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia (Munir Fuady,2002:164-165). e) Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia. f) Perjanjian Pembiayaan Konsumen pada Lembaga Pembiayaan Konsumen itu sendiri. 46 c. Pihak dalam Pembiayaan Konsumen Pihak dalam Pembiayaan Konsumen itu terdiri dari: 1) Perusahaan Pembiayaan Konsumen Perusahaan Pembiayaan Konsumen adalah badan usaha yang berbentuk PT atau Koperasi yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan sistem pembayar angsuran atau berkala oleh konsumen. Perusahaan tersebut menyediakan jasa kepada konsumen dalam bentuk pembayaran harga barang secara tunai kepada Pemasok (Supplier). Antara perusahan dan konsumen harus ada lebih dahulu kontrak Pembiayaan Konsumen yang sifatnya memberi kredit. Perusahaan wajib menyediakan kredit sejumlah uang kepada konsumen sebagai harga barang yang dibelinya dari pemasok, sedangkan pihak konsumen wajib membayar kembali kredit secara angsuran kepada Perusahaan tersebut (Abdulkadir M. dan Rilda M., 2000 : 247-248). Faktor yang mempengaruhi pembayaran angsuran yang diberikan oleh Perusahaan Pembiayaan Konsumen adalah: a) Tingkat suku bunga yang dikenakan yang mana penentuannya atas dasar tingkat bunga di pasaran dan hasil analisis dan evaluasi atas debitor. Faktanya, tingkat bunga dikenakan oleh kreditor bersifat fixed rated method untuk jangka waktu yang telah disepakati. Biasanya kreditor akan mengenakan tingkat suku bunga yang tinggi untuk mengantisipasi fluktuasi bunga. b) Cara pembayaran yang dilakukan debitor sangat dipengaruhi perhitungan umumnya dalam transaksi pembayaran pembiayaan yang dilakukan konsumen. bervariasi Pada bulanan, triwulan, semesteran sesuai kemampuan debitor. c) Lama Kontrak akan menentukan besar angsuran yang mana semakin cepat maka semakin besar bayaran angsuran. d) Fluktuasi mata uang dapat mempengaruhi dalam perhitungan transaksi pembiayaan konsumen. 47 e) Harga beli barang sangat berpengaruh terhadap net fasilitas yang dibiayai kreditor yang akhirnya mempengaruhi pembayaran angsuran yang dilakukan (Budi Rachmat, 2004 : 191) 2) Konsumen atau Debitor Konsumen atau Debitor adalah pihak pembeli barang dari Pemasok atas pembayaran oleh pihak ketiga yaitu Perusahaan Pembiayaan Konsumen. Konsumen tersebut berstatus perorangan (individu) dapat pula perusahaan bukan badan hukum. Pihak konsumen biasanya masyarakat karyawan, buruh, petani yang berpenghasilan menengah ke bawah yang belum tentu mampu bila membeli barang kebutuhannnya itu secara tunai. Dalam hal pemberian kredit, risiko menunggak angsuran oleh konsumen merupakan hal yang biasa terjadi. Oleh karena itu, pihak perusahaan konsumen dalam memberikan kredit kepada konsumen masih memerlukan jaminan terutama jaminan fidusia atas barang yang dibeli itu, di samping pengakuan hutang (promissory notes ) dari pihak konsumen (Abdulkadir M. dan Rilda M., 2000 : 248). Alasan Debitor menggunakan fasilitas Kredit dari Pembiayaan Konsumen adalah: a) Tidak terlalu banyak persyaratan dibandingkan dengan sumber pembiayaan lainnya. b) Tidak berorientasi pada jaminan. c) Tidak mengganggu keuangan konsumen karena angsuran disesuaikan dengan kemampuan konsumen. d) Proses cepat. e) Pembayaran angsuran dapat dibayar melalui anggaran rutin bulanan konsumen dari pendapatan yang diterimanya. f) Pembayaran angsuran tetap sehingga memudahkan pengaturan pengelolaan keuangan debitor (Budi Rachmat, 2004 : 188-199). 3) Pemasok (Supplier) Pemasok adalah pihak penjual barang kepada konsumen atas 48 pembayaran oleh pihak ketiga, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. Hubungan kontraktual antara pemasok dan konsumen adalah jual beli bersyarat yang mana pembayaran dilakukan oleh pihak ketiga atau pembiayaan konsumen. Antara pemasok dan konsumen terdapat hubungan kontraktual dimana pemasok wajib menyerahkan barang kepada konsumen dan konsumen wajib membayar harga barang secara angsuran kepada perusahaan yang telah melunasi harga barang secara tunai (Abdulkadir M. dan Rilda M., 2000 : 249). d. Kedudukan Para Pihak Ada tiga pihak yang terlibat dalam suatu transaksi pembiayaan konsumen yaitu pihak perusahaan pembiayaan, pihak konsumen dan pihak supplier. Hubungan satu sama linnya dapat dilihat dalam diagram berikut ini: Perusahaan Pembiayaan Konsumen (Kreditor) Supplier (Harga Barang) (Perjanjian Pembiayaan) (Perjanjian Jual Beli) Konsumen (Debitor) (Penyerahan Barang) Bagan I. Para Pihak dalam Pembiayaan Kosumen 1) Hubungan Pihak Kreditor dengan Konsumen Hubungan antara pihak kreditor dengan konsumen adalah hubungan kontraktual dalam hal ini kontrak pembiayaan konsumen. Dimana pihak pemberi biaya sebagai kreditor dan pihak penerima biaya (konsumen) sebagai debitor. Pihak pemberi biaya berkewajiban 49 utama untuk memberi sejumlah uang untuk pembelian suatu barang konsumsi, sementara pihak penerima biaya (konsumen) berkewajiaban utama untuk membayar kembali uang tersebut secara cicilan kepada pihak pemberi biaya. Jadi hubungan kontraktual antara pihak penyedia dana dengan pihak konsumen adalah sejenis perjanjian kredit (dalam KUH Perdata) berlaku, sementara ketentuan perkreditan yang diatur dalam peraturan perbankan secara yuridis formal tidak berlaku berhubung pihak pemberi biaya bukan pihak bank sehingga tidak tunduk kepada peraturan perbankan. Konsekuensi yuridis dari perjanjian kredit tersebut, maka seluruh kontrak ditandatangani, dan dana sudah dicairkan serta barang sudah diserahkan oleh supplier kepada konsumen, maka barang yang bersangkutan sudah langsung menjadi miliknya konsumen, walaupun kemudian biasanya barang tersebut dijadikan jaminan hutang lewat perjanjian fidusia. 2) Hubungan Pihak Konsumen dengan Supplier Pihak konsumen dengan pihak supplier terdapat suatu hubungan jual beli, dalam hal ini jual beli bersyarat, dimana pihak supplier selaku penjual menjual barang kepada pihak konsumen selaku pembeli, dengan syarat bahwa harga akan dibayar oleh pihak ketiga yaitu pihak pemberi biaya. Syarat tersebut mempunyai arti bahwa apabila karena alasan apapun pihak pemberi biaya tidak dapat menyediakan dananya, maka jual beli antara pihak supplier dengan pihak konsumen sebagai pembeli akan batal.Karena adanya perjanjian jual beli, maka seluruh ketentuan tentang jual beli yang relevan akan berlaku. Misalnya tentang adanya kewajiban “menanggung” dari pihak penjual, kewajiban purna jual “garansi”,dan sebagainya. 3) Hubungan Penyedia Dana dengan Supplier Pihak penyedia dana (pemberi biaya) dengan pihak supplier (penyedia barang) tidak mempunyai suatu hubungan hukum yang khusus, kecuali pihak penyedia dana hanya pihak ketiga yang 50 disyaratkan yaitu disyaratkan untuk menyediakan dana untuk digunakan dalam perjanjian jual beli antara pihak supplier dengan pihak konsumen(Munir Fuady, 2002 : 165-167). Oleh karena itu jika pihak penyedia dana atau pihak ketiga yang disyaratkan melakukan wanprestasi, padahal kontrak jual beli dan kontrak pembiayaan konsumen telah selesai dilaksanakan,maka jual beli bersyarat antara pihak supplier dengan konsumen akan batal oleh pemasok dan pihak konsumen dan pemasok dapat menggugat pihak pemberi dana atau pihak ketiga berdasarkan wanprestasi (Abdulkadir M. dan Rilda M., 2000 : 249). e. Jaminan dalam Pembiayaan Konsumen Jaminan-jaminan yang diberikan dalam transaksi pembiayaan konsumen ini pada prinsipnya serupa dengan jaminan terhadap perjanjian kredit bank biasa, khususnya kredit konsumsi. Berikut ini adalah pembagian jenis jaminan: 1) Jaminan Utama Dikarenakan sebagai suatu kredit, maka jaminan pokoknya adalah kepercayaan dari debitor (konsumen) bahwa pihak konsumen dapat dipercaya kepada debitor (konsumen) bahwa pihak konsumen dapat dipercaya dan sanggup membayar hutang-hutangnya. Jadi disini, prinsip pemberian kredit berlaku. Misalnya prinsip 5C (Collateral, Capacity, Character, Capital, Condition of Economy) 2) Jaminan Pokok Dikarenakan sebagai jaminan pokok terhadap transaksi pembiayaan konsumen adalah barang yang dibeli dengan dana tersebut. Jika dana tersebut diberikan misalnya untuk beli mobil, maka mobil yang bersangkutan menjadi jaminan pokoknya. Biasanya jaminan tersebut dibentuk dalam bentuk Fiduciary Transfer Of Ownership (fidusia), karena adanya fidusia ini, maka biasanya seluruh dokumen yang berkenaan dengan kepemilikan barang yang 51 bersangkutan akan dipegang oleh pihak kreditor (pemberi dana) hingga lunas. 3) Jaminan Tambahan Sering juga dimintakan jaminan tambahan terhadap transaksi pembiayaan konsumen ini, walaupun tidak seketat jaminan untuk pemberian kredit bank. Biasanya jaminan tambahan terhadap transaksi seperti ini berupa pengakuan hutang (Promissory Notes) atau Assignment of Proceed (cessie) dari asuransi. Disamping itu, sering juga dimintakan persetujuan istri/suami untuk konsumsi pribadi dan persetujuan komisaris (RUPS) untuk konsumsi perusahaan sesuai dengan anggaran dasarnya (Munir Fuady, 2002 : 168). f. Pembayaran Angsuran Sesuai dengan Perjanjian Pembiayaan Konsumen dan Perjanjian Jual Beli yang telah dilaksanakan, pihak konsumen membayar harga barang kepada Perusahaan Pembiayaan Konsumen secara angsuran sampai lunas. Sebelum pembayaran lunas, semua dokumen kepemilikan atas barang diserahkan kepada dan dikuasai oleh Perusahaan Pembiayaan Konsumen sebagai jaminan secara fidusia. Apabila konsumen melakukan wanprestasi dalam arti tidak mampu lagi membayar, maka Perusahaan Pembiayaan Konsumen berdasarkan Kuasa Untuk Menjual dapat melakukan penjualan barang guna menutup hutang konsumen yang belum dilunasi (Abdulkadir M. dan Rilda M., 2000 : 254). Faktanya terdapat beberapa kelompok dokumentasi yang sering diperlakukan dalam praktek pembiayaan konsumen, yang dapat digolongkan dalam: 1) Dokumen Pendahuluan Berikut ini yang termasuk dokumen pendahuluan,termasuk misalnya: a) Credit Application Form b) Surveyor Report c) Creditor Approval Memorandum 52 2) Dokumen Pokok Berikut ini yang termasuk dalam dokumen pokok adalah perjanjian pembiayaan konsumen itu sendiri. Perjanjian mana mempunyai terms and conditions yang mirip dengan kredit konsumsi dari perbankan. 3) Dokumen Jaminan Berikut ini termasuk dalam dokumen jaminan termasuk antara lain perjanjian fidusia, cessie asuransi, kuasa menjual (dan kuitansi kosong yang ditandatangani oleh konsumen) dan Pengakuan Hutang, persetujuan istri / suami atau persetujuan komisaris / Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). 4) Dokumen Kepemilikan Barang Berikut ini yang termasuk dalam dokumen kepemilikan barang, yang biasanya berupa BPKB, fotocopy STNK dan/atau faktur-faktur pembelian, kuitansi pembelian, sertifikat kepemilikan. 5) Dokumen Pemesanan dan Penyerahan Barang Dalam hal dokumen pemesanan dan penyerahan barang, biasanya diberikan Certificate of Delivery and AccePTance, Delivery Order, dan lain-lain. 6) Dokumen Pendukung (Supporting documents) Berikut ini yang termasuk supporting documents berisikan dokumen-dokumen pendukung lain-lain, yang untuk konsumen individu misalnya: a) Fotocopy KTP b) Fotocopy kartu keluarga (KK) c) Pas Foto d) Daftar gaji Sementara untuk konsumen yang merupakan suatu perusahaan dokumen pendukungnya adalah: a) Anggaran dasar perusahaan beserta seluruh perubahan dan tambahannya 53 b) Fotocopy KTP yang diberi hak untuk menandatangani c) NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) d) SIUP ( Surat Izin Usaha Perdagangan) e) TDP (Tanda Daftar Perusahaan) f) Bank Statements Faktanya biasanya sangat bertentangan dengan hal tersebut, dokumen-dokumen apa saja yang diperlukan sebenarnya sangat bervariasi, bergantung kepada jenis barang yang dibiayai dan juga kepercayaan kreditor terhadap konsumennya (Munir Fuady, 2002 : 169170). g. Mekanisme Pembiayaan Konsumen Mekanisme transaksi pembiayaan konsumen hampir sama dengan sewa guna usaha. Adapun mekanime pembiayaan konsumen yaitu: 1) Tahap permohonan Sebelum mengajukan permohonan untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan konsumen debitor lebih dahulu melampirkan dokumen pendukung yang mana permohonan pembiayaan konsumen biasanya dilakukan debitor di tempat supplier penyedia barang kebutuhan konsumen yang telah bekerja sama dengan perusahaan pembiayaan konsumen 2) Tahap pengecekan dan pemeriksaan lapangan Marketing department akan melakukan pengecekan atas kebenaran dari pengisian formulir aplikasi dengan melakukan analisis dan evaluasi terhadap data dan informasi yang telah diterima yang dilanjutkan dengan kunjungan,pengecekan, dan observasi secara umum. 3) Tahap pembuatan Costomer Profil Berdasarkan pemeriksaan lapangan, Marketing department akan membuat Customer Profil yang isinya menggambarkan tentang: a) Nama 54 b) Alamat c) Nomor telepon d) Nomor KTP e) Pekerjaan f) Alamat kantor g) Kondisi pembiayaan yang diajukan h) Jenis dan tipe barang kebutuhan konsumen i) Data lain yang mendukung j) Tahap pengajuan proposal kepada kredit komite Marketing department akan mengajukan proposal terhadap permohonan yang diajukan oleh debitor kepada Kredit Komite. Proposal yang diajukan biasanya terdiri dari tujuan pemberian fasilitas pembiayaan konsumen, latar belakang kreditor, analisis risiko, saran dan kesimpulan serta struktur fasilitas pembiayaan yang mencangkup harga barang, uang muka, bunga, jangka waktu, tipe, jenis barang. 4) Keputusan kredit komite Keputusan ini merupakan dasar bagi kreditor untuk melakukan pembiayaan atau tidak. Apabila ditolak maka harus diberitahukan melalui surat penolakan namun apabila disetujui maka Marketing department akan meneruskan ketahap selanjutnya. 5) Tahap pengikatan Berdasarkan keputusan kredit komite maka bagian legal akan mempersiapkan pengikatan kontrak perjanjian pembiayaan konsumen. 6) Tahap pemesanan barang kebutuhan konsumen Setelah proses penandatanganan perjanjian dilakukan oleh debitor dan kreditor maka akan dilakukan pemesanan barang kepada Supplier 7) Tahap pembayaran pada Supplier Setelah barang diserahkan oleh Supplier kepada debitor maka selanjutnya Supplier akan melakukan penagihan kepada kreditor dengan lampiran kuitansi penuh, kuitansi uang muka, bukti 55 pengiriman, surat pernyataan BPKB, dan lampiran lain yang dibutuhkan. 8) Tahap penagihan/ Monitoring pembayaran Monitoring yang dilakukan kreditor tidak hanya sebatas monitoring pembayaran angsuran dari debitor, kreditor juga melakukan monitoringterhadap jaminan, jangka waktu berlakunya jaminan dan masa berlaku penutupan asuransi. 9) Pengambilan Surat Jaminan Apabila seluruh kewajiban debitor telah dilunasi, maka kreditor akan mengembalikan jaminan berupa BPKB dan dokumen lain bila ada (Budi Rachmat, 2004 : 192-195). h. Bentuk dan Substansi Perjanjian Pembiayaan Pada umumnya sebuah kontrak haruslah memperhatikan struktur dan anatomi kontrak yang di buat. Adapun anatomi kontrak secara umum menurut Ray Wujaya (Salim H.S. dkk, 2008 : 96) yaitu: 1) Judul (heading) 2) Pembukaaan 3) Komparisasi (para pihak) 4) Premis (recital) 5) Isi perjanjian 6) Penutup 7) Tandatangan Berbeda halnya dengan anatomi sebuah kontrak yang berdimensi nasional. Berdasarkan hasil analisis terhadap berbagai kontrak yang dibuat oleh pihak yang mengacu pada dimensi kontrak nasional, maka anatominya adalah sebagai berikut (Salim H.S. dkk, 2008 : 98): 1) Judul Kontrak 2) Pembukaan kontrak 3) Komparisi 56 4) Resital (konsiderans atau pertimbangan) 5) Definisi 6) Pengaturan hak dan kewajiban 7) Domisili 8) Keadaan memaksa 9) Kelalaian dan pengakhiran kontrak pola penyelesaian sengketa 10) Penutup 11) Tanda tangan Begitupula dengan anatomi yang dimiliki oleh perusahaan pembiayaan pasti memiliki anatomi sendiri dengan perjanjiannya. Pada umumnya Perusahaan pembiayaan yang menyodorkan kontrak baku kepada debitor/penerima fasilitas/konsumen, maka para tinggal menyetujui atau tidak kontrak tersebut. Bentuk kontraknya adalah tertulis. Sementara isi kontrak ditentukan secara sepihak oleh perusahaan pembiayan (Salim H.S., 2008 : 139-140) Berdasarkan hasil kajian terhadap subtansi perjanjian pembiayaan yang disiapkan oleh perusahaan pembiayaan, maka dapat diketahui bahwa substansi kontraknya sangat singkat. Adapun struktur kontraknya secara umum dalam perusahaan pembiayaan meliputi (Salim H.S., 2008 : 139-140): 1) Judul Kontrak 2) Komparisi 3) Substansi 4) Penutup 57 B. KERANGKA PEMIKIRAN Perjanjian innominaat atau Perjanjian tidak bernama K R E D I T O R D E B I T O R Perjanjian Pembiayaan Konsumen PT Summit Oto Finance Bentuk Perjanjian Baku untuk pengadaan barang berupa kendaraan bermotor dengan sistem kredit Terdapat klausul yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan Dokumen Ditandatangani Para Pihak Perjanjian Mengikat Para Pihak Perlindungan Hukum dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata A Asas Kebebasan Asas Keadilan Berkontrak Bagan II. Kerangka Pemikiran Keterangan : Alur berfikir sebagaimana kerangka di atas akan memberikan 58 gambaran yang disusun secara sistematis oleh Penulis. Sehingga dapat berguna untuk menjawab perumusan masalah yang telah dipaparkan dimuka. Pemaparan akan dimulai dari bahasan umum mengenai perjanjian yang mana salah satu bentuk perjanjian adalah perjanjian innominaat atau perjanjian tidak bernama. Salah satu contohnya adalah perjanjian pembiayaan konsumen. Di sini penulis mengambil contoh perjanjian pembiayaan konsumen pada PT Summit Oto Finance yang mana bentuknya biasanya sudah berbentuk perjanjian yang tertulis yang telah dibakukan oleh lembaga pembiayaan tersebut. Bentuk perjanjiannya adalah perjanjian tertulis, dikarenakan lebih mudah dijadikan sebagai alat bukti terjadinya sebuah perjanjian. Di dalam perjanjian pembiayaan tersebut sudah berbentuk perjanjian baku, sehingga kreditor tinggal membubuhkan tandatangan bila menyetujui perjanjian tersebut. Setelah dikaji lebih mendalam, ternyata terdapat beberapa klasul yang memang menurut Penulis bertentangan dengan Peraturan PerundangUndangan. Selain itu dalam klausul tersebut menurut Penulis lebih banyak memberikan keuntungan bagi pihak Kreditor. Sedangkan pihak debitor di sini selaku pihak yang merasa dirugikan. Alasan pengefektifanlah yang selalu menjadi alasan bagi pelaku usaha dalam menerapkan perjanjian baku yang tidak banyak memberikan perlindungan hukum bagi pihak Debitor. Sehingga menarik untuk dikaji dalam penulisan ini mengenai bentuk perlindungan apa saja yang diberikan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam melindungi Debitor dalam sebuah perjanjian khususnya perjanjian Pembiayaan Konsumen pada PT Summit Oto Finance tersebut terhadap debitor yang telah mengikatkan diri dengan perjanjian tersebut. Bentuk perlindungan hukum kepada debitor yang telah tunduk dalam suatu perjanjian pembiayaan konsumen tersebut dapat pula di lihat dari penerapan terhadap asas kebebasan berkontrak dan asas keadilan apakah dalam pelaksanaannya telah sesuai dengan teori atau tidak.